Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

Peritonitis e.c Susp. Perforasi Gaster

Oleh
dr. Setya Zunia Nurrahman

Pembimbing
dr. Yenny Haryono

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA (PIDI)


ANGKATAN III PERIODE AGUSTUS 2022
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
RUMAH SAKIT MEDIKA MULIA TUBAN
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PERITONITIS E.C SUSP.PERFORASI GASTER

Telah disetujui sebagai hasil penelitian


untuk memenuhi persyaratan
Program Internship Dokter Indonesia Angkatan III Periode Agustus 2022

Tanggal :

Pembimbing

dr. Yeny Haryono


NIK. 010813292

KA.Bidang Medis

dr. Hartono
NIK.130616009

Mengetahui,
RS Medika Mulia
Direktur,

dr. Herry Widjianto


NIK. 180 213 270
2

BAB I
PENDAHULUAN

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek

dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke

dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk

terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan istilah

peritonitis). Perforasi lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang

disebabkan karena kebocoran asam lambung kedlam rongga perut. Perforasi dalam

bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus kegawatan

bedah.

Pada anak-anak cedera yang mengenai usus halus akibat dari trauma tumpul

perut sangat jarang dengan insidensinya 1-7 %. Sejak 30 tahun yang lalu perforasi

pada ulkus peptikum merupakn penyebab yang tersering. Perforasi ulkus duodenum

insidensinya 2-3 kali lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster. Hampir 1/3 dari

perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung. Sekitar 10-15 %

penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi perforasi bebas. Pada

pasien yang lebih tua appendicitis acuta mempunyai angka kematian sebanyak 35 %

dan angka kesakitan 50 %. Faktor-faktor utama yang berperan terhadap angka

kesakitan dan kematian pada pasien-pasien tersebut adalah kondisi medis yang berat

yang menyertai appedndicitis tersebut.

Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti

ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma

arteri mesenterika superior,dan trauma.

2
3

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 dentitas Pasien


a. Nama : Tn. Salamun
b. No. RM : 986553
c. Umur : 57 tahun
d. Jenis Kelamin : Laki-laki
e. Alamat :
f. Agama : Islam
g. Suku : Jawa
h. Jam datang : 10.10
i. Tanggal MRS : 24 Oktober 2022

2.2 Keluhan Utama


Nyeri Perut

2.3 Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut mendadak sejak tadi pagi. Nyeri

perut dirasakan seperti ditusuk.nyeri dirasakan diseluruh bagian perut. Nyeri tidak

membaik dengan perubahan posisi duduk, tidur maupun dengan posisi menekuk.

Nyeri dirasakan semakin memberta saat pasien batuk. Mual (+) muntah (+) 1 kali

di perjalanan dari rumah ke RS, dan 1 kali muntah saat tiba di IGD.

Pasien mengatakan nafsu makan menurun 1 minggu ini. BAB dan BAK masih

dalam batas normal, BAB terakhir hari ini. Pasien mengatakan memang sering

mengalami nyeri perut bagian ulu hati tetapi biasanya sudah membaik beberapa

saat setelah minum obat.

3
4

Pasien mengatakan sering minum jamu pegel inu, karena merasakan

badannya sakit semua. Riwayat HT (-) DM (-) Riwayat operasi

sebelumnya (+) operasi leher dalam kurang lebih 2 tahun yang lalu.

Riwayat trauma pada perut (-). Riwayat keluhan yang sama pada keluarga

(-). Riwayat keluarga yang menderita hipertensi (-), DM (-).

b. Riwayat Penyakit Dahulu/keluarga :


Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan yang serupa
sebelumnya. Riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, dan Jantung disangkal
pasien. Pasien juga menyangkal adanya penyakit yang serupa di keluarganya.

c. Lifestyle
Pasien makan tidak teratur, semenjak sakit nafsu makannya semakin
berkurang. Minum air putih cukup. Aktivitas sehari-hari dirasakan tidak
terlalu berat. Olahraga dan aktivitas fisik jarang. Kondisi ekonomi cukup.
Pasien dulunya merokok dan tidak mengonsumsi alkohol.

2.4 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum
Tampakan umum : pasien tampak nyeri
Status gizi : kesan cukup
Berat badan : 75 kg
b. Kesadaran/GCS : Compos Mentis /E4V5M6
c. Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 68 x/menit, reguler, teraba kuat angkat,
Frekuensi Napas : 20 x/menit, teratur
Suhu tubuh : 36,5 C

4
5

SpO2 : 98% room air

d. Kepala – Leher
Bentuk kepala normocephal, conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+),
mata cowong (-), hidung tidak tampak kelainan, lidah kotor (-), faring
hiperemis (-), limfonodi tidak teraba.

e. Thorax
Cor : Suara jantung S1-S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo : Penggunaan otot bantu napas (-), fremitus taktil tidak meningkat,
simetris, perkusi sonor pada seluruh lapang, suara napas vesikuler (+/+),
wheezing (-/-), ronkhi (--/--)

f. Abdomen
Inspeksi : Bekas luka operasi (-), Spider nevi (-), Caput Medusae
(-)
Auskultasi : Bising usus kesan menurun.
Perkusi : Shifting Dullness (-)
Palpasi : Distended, Undulasi (-), nyeri tekan pada Seluruh
lapang abdomen (+), Hepar dan lien sulit di evaluasi, Defans Muskular (+)

g. Ekstremitas
Akral hangat, nadi kuat, edema (-), CRT <2 detik.

h. Rectal Touche
Tidak dilakukan

2.5 Pemeriksaan penunjang


a. Laboratorium (24 Oktober jam 10.48 WIB)

5
6

Parameter Hasil Nilai normal Satuan Keterangan


Darah Lengkap
WBC 11.18 4.50 – 11.00 [10^3/uL] leukositosis
Limfosit # 0.78 0.90 – 5.50 [10^3/uL] Dbn
Monosit # 1.74 0.09 – 0.99 [10^3/uL] ↑
Eosinofil # 0.14 0.05 – 0.55 [10^3/uL] Dbn
Basofil # 0.02 0.00 – 0.22 [10^3/uL] Dbn
Neutrofil # 9.50 2.25 – 8.83 [10^3/uL] ↑
Limfosit % 7.0 20.0 – 50.0 [%] ↓
Monosit % 6.6 2.0 – 9.0 [%] Dbn
Eosinofil % 1.3 1.0 – 5.0 [%] Dbn
Basofil % 0.02 0.0 – 2.0 [%] Dbn
Neutrofil % 84.9 50.0 – 75.0 [%] ↑
RBC 5.14 4.00 – 5.00 [10^6/uL] ↑
Hb 16,6 12.0 – 16.0 [g/dL] Dbn
Hct 46.8 38.0 – 47.0 [%] Dbn
MCV 91.1 80.0 – 100.0 [fL] Dbn
MCH 32.2 27.0 – 31.0 [pg] ↑
MCHC 34.4 32.0 – 36.0 [g/dL] Dbn
RDW-SD 44.2 37.0 – 54.0 [fL] Dbn
RDW-CV 12.9 11.5 – 14.5 [%] Dbn
PLT 269 150.0 – 440.0 [10^3/uL] Dbn
MPV 10.3 6.3 – 11.1 [fL] Dbn
PCT 0.28 0.15 – 0.40 [%] Dbn
PDW 10.2 15.5 – 17.1 [fL] ↓
P-LRC 25.6 13.0 – 25.0 [%] Dbn
LED 0 (P 0 – 15) (L 0 – 20) mm/jam Dbn
Kimia Darah dan Elektrolit
GDA 133 <170 mg/dl Dbn

6
7

b. BOF / LLD

Kesan : air trapping di rongga peritoneum

2.6 Diagnosis
Peritonitis e.c Susp. Perforasi Gaster
2.7 Diagosis Banding
 Appendisitis perforasi

 Kolelitiasis akut

 Perforasi usus

2.8 Manajemen
a. Planning Diagnosis:
-
b. Planning terapi:

7
8

 Pasang NGT
 Pasang Kateter
 IVFD PZ 20tpm
 Inj. Ranitidin
 Inj. Ondansentron
 Inj.Omeprazole
 Pro. Laparotomi
c. Planning Monitoring
 TTV
 Keluhan pasien
 Keadaan klinis (nyeri perut)
d. Planning Edukasi:
 Memberitahu pasien dan keluarga pasien bahwa dari anamnesis, dan
pemeriksaan fisik, perut membesar yang dialami pasien kemungkinan
disebabkan oleh penyakit Peritonitis yang mungkin dikarenakan
adanya perforasi gaster.
 Menjelaskan komplikasi penyakit ini apabila tidak dilakukan
pengobatan, seperti timbulnya sepsis akibat infeksi yang berlanjut.

2.9 Follow Up Harian Pasien


No Tanggal Status Present Assesment Planning

1 24/10/2022 S: Pasien mengatakan nyeri perut Peritonitis e.c  Non medikamentosa


O: Cholelityasis+  USG abdomen
Pancreatitis  Pro. Laparotomi
GCS :4–5–6  Medikamentosa :
Tensi : 110/70 mmHg Post Operasi
Advice dr. Bella, Sp.B
Suhu : 36,50 C
 IVFD RL 35tpm
Nadi : 68 x/min  Inj. Merosom 2x1
RR : 20 x/min  Inj. Santagesik 3x1

8
9

SpO2 : 99%  Inj. Omeprazole 1x1


 PO. Bisolvon 3x1
A/I/C/D :-/-/-/-
Advice dr. Lusi, Sp.An
Kepala, leher : Dalam batas normal  Inj. Omeprazole 2x1
Cor : cor / S1S2 tunggal, murmur -,  Inj. Ondansentrin 3x1
 Inj. Santagesik 3x1
gallop ( - )
 Inj. Fentanyl pump
Pulmo : Pulmo/ auskultasi  Suara 2,5cc/jam
nafas tambahan rh -/-, wh -/-
Abdomen : Soepl, BU + N,
Timpani, defans muscular (+)
Ekstremitas : Akral Hangat Kering
Merah, edema -/-.  

2 25/10/2022 : Pasien mengatakan nyeri perut (-) nyeri Peritonitis e.c  Non medikamentosa
post operasi (+) Cholelityasis+  Diit Nasi Tim
Pancreatitis  Rawat luka Post
O: Operasi
GCS :4–5–6  Medikamentosa :
Post Operasi
Tensi : 110/60 mmHg
Advice dr. Bella, Sp.B
Suhu : 36,50 C  IVFD RL 35tpm
Nadi : 68 x/min  Inj. Merosom 2x1
 Inj. Santagesik 3x1
RR : 20 x/min
 Inj. Omeprazole 1x1
SpO2 : 99%  PO. Bisolvon 3x1
A/I/C/D :-/-/-/- Advice dr. Lusi, Sp.An
 Inj. Omeprazole 2x1
Kepala, leher : Dalam batas normal
 Inj. Ondansentrin 3x1
Cor : cor / S1S2 tunggal, murmur -,  Inj. Santagesik 3x1
gallop ( - )  Inj. Fentanyl pump
2,5cc/jam
Pulmo : Pulmo/ auskultasi  Suara
nafas tambahan rh -/-, wh -/-
Abdomen : Soepl, BU + N,
Timpani.
Ekstremitas : Akral Hangat Kering

9
10

Merah, edema -/-.  


3 26/10/22 : Pasien mengatakan nyeri perut (-) nyeri Peritonitis e.c  Non medikamentosa
post operasi (+) Cholelityasis+  Diit Nasi Tim
Pancreatitis  Rawat luka Post
O: Operasi
GCS :4–5–6  Medikamentosa :
 IVFD RL 20tpm
Tensi : 120/80 mmHg
 Inj. Merosom 2x1
Suhu : 36,50 C  Inj. Santagesik 3x1
Nadi : 88 x/min  Inj. Omeprazole 1x1
 Drip Cernevit 1x1
RR : 20 x/min
 PO. Bisolvon 3x1
SpO2 : 99%
A/I/C/D :-/-/-/-
Kepala, leher : Dalam batas normal.
Cor : cor / S1S2 tunggal, murmur -,
gallop ( - )
Pulmo : Pulmo/ auskultasi  Suara
nafas tambahan rh -/-, wh -/-
Abdomen : Soepl, BU + N, Timpani
Ekstremitas : Akral Hangat Kering
Merah, edema -/-.  

4. 27/10/22 : Pasien mengatakan nyeri perut (-) nyeri Peritonitis e.c  Non medikamentosa
post operasi (+) Cholelityasis+  Diit Nasi Tim
Pancreatitis  Rawat luka Post
O: Operasi
GCS :4–5–6  Medikamentosa :
 IVFD RL 20tpm
Tensi : 110/80 mmHg
 Inj. Merosom 2x1
Suhu : 36,50 C  Inj. Santagesik 3x1
Nadi : 85 x/min  Inj. Omeprazole 1x1
 Drip Cernevit 1x1
RR : 20 x/min
 PO. Bisolvon 3x1
SpO2 : 99% 
A/I/C/D :-/-/-/-

10
11

Kepala, leher : Dalam batas normal.


Cor : cor / S1S2 tunggal, murmur -,
gallop ( - )
Pulmo : Pulmo/ auskultasi  Suara
nafas tambahan rh -/-, wh -/-
Abdomen : Soepl, BU + N, Timpani
Ekstremitas : Akral Hangat Kering
Merah, edema -/-.  
5. 28/10/22 : Pasien mengatakan nyeri perut (-) nyeri Peritonitis e.c  Non medikamentosa
post operasi berkurang (+) Cholelityasis+  Rawat luka Post
Pancreatitis Operasi
O:  Medikamentosa :
GCS :4–5–6  ACC KRS
 Cefila 2x1
Tensi : 120/80 mmHg
 Lapistan 3x1
Suhu : 36,50 C
Nadi : 78 x/min
RR : 20 x/min
SpO2 : 99%
A/I/C/D :-/-/-/-
Kepala, leher : Dalam batas normal.
Cor : cor / S1S2 tunggal, murmur -,
gallop ( - )
Pulmo : Pulmo/ auskultasi  Suara
nafas tambahan rh -/-, wh -/-
Abdomen : Soepl, BU + N, Timpani
Ekstremitas : Akral Hangat Kering
Merah, edema -/-.  

11
12

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang

melapisi abdomen dan menutupi visera abdomen). Keadaan ini biasanya

terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna,

atau dari luka tembus abdomen1. Peritonitis merupakan suatu

kegawatdaruratan  yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.

Peritonitis akut merupakan penyakit infeksi tersering dan biasanya dikaitkan

dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan

sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis dikategori sebagai primary

peritonitis2.

I. EPIDEMIOLOGI

Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas 3, namun yang

pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder

merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik 3,4 .

Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus

gastrointestinal5. Penyebab umum dari peritonitis sekunder, antara lain

appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum),

perforasi kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan strangulasi

dari usus halus3. Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara

berkembang (berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada negara

12
13

berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara

lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid 6.

Sedangkan, di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap merupakan

penyebab utama peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon akibat

diverticulitis7. Tingkat insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara 1%-

20% pada pasien yang menjalani laparatomi8.

II. ETIOLOGI

1. Peritonitis primer (spontaneous)

Peritonitis primer merupakan peradangan pada peritoneum yang

penyebabnya berasal dari ekstraperitoneal dan umumnya dari

hematogenous dissemination5.

2. Peritonitis sekunder

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi

appendisitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenal, perforasi kolon

(paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta

strangulasi usus halus3.

3. Peritonitis tersier

Adanya peritonitis persisten atau rekuren setelah penanganan yang

tidak adekuat terhadap peritonitis primer atau sekunder3.

III. ANATOMI

13
14

Peritoneum

merupakan

membran serosa transparan yang terbesar di dalam tubuh manusia dan terdiri

dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain peritoneum parietal yang

melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis dan peritoneum visceral

yang melapisi organ-organ abdomen9. Hubungan peritoneum dan organ-organ

dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan menjadi, antara lain organ

intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan peritoneum, dan

retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, colon desendens, dan rectum)

yang tidak terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum. Peritoneum

visceral yang membungkus atau menunjang organ-organ bersama-sama

dengan jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan

istilah ligament peritoneum, omentum atau mesenterium9.

Mesenterium merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat

invaginasi peritoneum karena suatu organ dan berfungsi melekatkan organ

tersebut dengan dinding posterior abdomen (mesenterium dari usus halus dan

transverse mesokolon)9.

Ligamen peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang

menghubungkan organ satu dengan lainnya atau dengan dinding abdomen

(falciform ligament yang menghubungkan liver dengan dinding abdomen

anterior). Berbeda dengan ligamen peritoneum dan mesenterium, greater

omentum terdiri dari 4 lapisan peritoneum (karena peritoneum melipat

sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan sejumlah jaringan adiposa dan terdiri

14
15

dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic ligament, gastrosplenic ligament, dan

gastrocolic ligament, sedangkan lesser omentum terdiri dari hepatogastric dan

hepatoduodenal ligament9.

Gambar 4. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan peritoneum


parietal dan visceral (dikutip dari kepustakaan 9)

Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan

aferen yang mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen9,

sedangkan peritoneum visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen

yang juga memberikan suplai saraf otonom pada organ visceral tersebut10.

Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon

sensasi apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum

visceral atau parietal. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik,

termal, atau kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal.

Sensasi nyeri umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap

15
16

lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain

menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks

kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal peritoneum. Refleks inilah

yang menyebabkan hiperkontraksi lokal (muscle guarding) dan perut papan

(rigidity of abdominal wall)9.

Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi

nyeri dan refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal.

Ketika saraf visceral peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan

dialihkan ke salah satu daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium,

periumbilikal, dan suprapubik9.

IV. PATOFISIOLOGI

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya

eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara

perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan

sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila

infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak

dapat mengakibatkan obstuksi usus2.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran

mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan

agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator,

seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,

sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak

16
17

organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara

retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.

Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu

terjadi hipovolemia2.

Organ-organ di dalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen

mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah

kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga

peritoneum dan lumen-lumen usus serta edema seluruh organ intra peritoneal

dan udem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan

hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan

yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan

lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat

usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi2.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum

atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan

perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul

ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan

elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,

gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-

lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan

usus dan mengakibatkan obstruksi usus2.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan

ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan

17
18

peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat

berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya

pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi

obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi

yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren dan akhirnya

terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen

sehingga dapat terjadi peritonitis2.

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang

mulai di epigastrium dan meluas ke seluruh peritoneum akibat peritonitis

generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan

peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan

hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan

di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung,

empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar ke seluruh perut

menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi

bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu

menunjukkan rangsangan peritoneum berupa mengenceran zat asam garam

yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai

kemudian terjadi peritonitis bakteria2.

Pada appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan  lumen

apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena

fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang

diproduksi mukosa mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin

18
19

banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan

menghambat aliran limfe yang mengakibatkan udem, diapedesis bakteri,

ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian

aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti

dengan nekrosis atau gangren dinding apendiks sehingga menimbulkan

perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general2.

V. DIAGNOSIS

1. Manifestasi klinis

Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada

anamnesis dan pemeriksaan fisik3,5. Gejala utama pada seluruh kasus

peritonitis adalah nyeri perut yang hebat, tajam, dirasakan terus-menerus,

dan diperparah dengan adanya pergerakan5.

Mayoritas pasien cenderung diam terlentang di tempat tidur dengan

sedikit menekuk lutut untuk mengurangi nyeri perut (karena maneuver

tersebut mengurangi tekanan pada dinding abdomen). Adanya anoreksia,

mual, dan muntah seringkali pula ditemukan, namun bervariasi tergantung

etiologi dari peritonitis. Anamnesis harus pula mencari kemungkinan

sumber etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan

mengenai riwayat penyakit sekarang (riwayat dispepsia kronis

mengarahkan ke perforasi ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel

disease atau divertikulum mengarahkan perforasi kolon karena

19
20

divertikulitis, riwayat demam lebih dari 1 minggu disertai pola demam dan

tanda-tanda klinis khas untuk tifoid mengarahkan ke perforasi tifoid,

adanya riwayat hernia daerah inguinal (inguinalis atau femoralis) harus

dicurigai kemungkinan adanya strangulasi, sedangkan nyeri mendadak

tanpa disertai adanya riwayat penyakit apapun mengarahkan ke

appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen sebelumnya3.

Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis primer patut

dicurigai pada pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat

penyakit liver kronis (terutama sirosis hepatis)5,10.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat,

dengan temuan tanda-tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal

seperti dijelaskan pada manifestasi klinis. Pada tanda-tanda lokal dapat

dicari point of maximal tenderness (daerah dimana terjadi iritasi maksimal

dari peritoneum) untuk menentukan lokasi proses patologis awal (etiologi

dari peritonitis)3. Pemeriksaan colok dubur umumnya akan menunjukan

adanya nyeri pada seluruh lokasi.

2. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan

darah lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis, dengan shift to

the left yaitu peningkatan sel batang (PMN), kimia darah dapat ditemukan

kelainan seperti peningkatan ureum dan kreatinin (tanda syok hipovolemik

atau sepsis berat), dan pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat

20
21

menunjukan adanya asidosis metabolik, pemeriksaan urinalisis untuk

menyingkirkan diagnosis dari traktus urinarius. Selain pemeriksaan darah,

pemeriksaan radiologi seperti x-ray dapat berguna (free air under

diafragma yang terlihat pada posisi tegak pada perforasi ulkus peptikum11 ,

tetapi jarang pada etiologi lainnya).

Pemeriksaan CT-scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan

menunda penanganan pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan

berdasarkan klinis).

Apabila diagnosis klinis tidak konklusif dapat dilaksanakan

diagnostik peritoneal lavage (DPL) untuk analisis cairan peritoneum 5,

ditemukannya hasil yang positif (>500 leukosit/mL) mengarahkan

diagnosis peritonitis3.

VI. PENATALAKSANAAN

Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik

spektrum luas, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3 x 2

gram atau ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor

(piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi

ginjal normal)11.

Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien

dengan primary bacterial peritonitis (PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer

umumnya mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik

yang tepat. Antibiotik dapat diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung

21
22

perbaikan gejala dan kultur darah yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan

adalah kemungkinan terjadinya rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien

mengalami rekurensi dalam 1 tahun. Pemberian antibiotik profilaksis dapat

menurunkan tingkat rekurensi menjadi <20%. Regimen yang diberikan pada

pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain ciprofloxacin 750 mg/minggu,

norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim sulfamethoxazole11.

Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi

etiologi (terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian antibiotik

sistemik, dan terapi suportif (resusitasi)3. Tidak seperti penanganan peritonitis

primer yang secara prinsip adalah tindakan non-pembedahan, penanganan

peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan bersifat life-saving11.

Tindakan pembedahan tidak hanya dapat mengoreksi etiologi peritonitis

sekunder, tetapi juga dapat mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga

abdomen3.

Keterlambatan dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat

memperburuk prognosis. Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik

sistemik dan resusitasi cairan untuk mencegah terjadinya syok hipovolemik

(dan syok septik) yang memperparah disfungsi organ3.

Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram positif dan negatif serta

bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi traktus gastrointestinal atas

lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan kolon

lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob)3,5.

22
23

Beberapa pilihan regimen antibiotik yang direkomendasikan, antara lain

gabungan dari golongan penicillin/β-lactamase inhibitor (ticarcilin 4x1 gram

intravena), atau golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x750 mg intravena),

atau sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan

metronidazole 3x500 mg intravena (pada pasien yang masuk ICU diberikan

meropenem 3x 1gram intravena)11.

Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit

normal dan hitung jenis batang < 3%12. Resusitasi cairan dan monitoring

hemodinamik perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial

pressure >65 mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central

venous pressure CVP antara 8-12mmHg)5.

Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT) pada

pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan. Pada

pasien penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan

pemasangan intubasi3.

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari

kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri,

dan mencegah sepsis3,5. Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline

dengan tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit

tercapai3.

Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang

mengalami perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi

ulkus). Pada perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara

23
24

sementara sebelum dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari

(beberapa minggu setelah keadaan umum pasien membaik)12. Pembilasan

(peritoneal lavage) menggunakan cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan

hingga cairan bilasan jernih dengan tujuan mengurangi bacterial load dan

mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re-akumulasi dari pus)5,12.

Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau

agen kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali.

Secara ideal, fascia ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis dibiarkan

terbuka dan ditutup dengan kasa basah selama 48- 72 jam. Apabila tidak

terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan (delayed primary

closure technique). Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen, pada

laporan kasus ini tidak akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-

abdomen).

VII. PROGNOSIS

Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari di

bawah 10% - 40% pada perforasi kolon8. Faktor yang mempengaruhi tingkat

mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi

penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan

keadaan umum pasien. Tingkat mortalitas di bawah 10% ditemukan pada

pasien dengan perforasi ulkus atau appendisitis, pasien usia muda,

kontaminasi bakteri yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks

fisiologis yang buruk (APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat

24
25

penyakit jantung, dan tingkat serum albumin preoperatif yang rendah

merupakan pasien resiko tinggi yang membutuhkan penanganan intensif

(ICU) untuk menurunkan angka mortalitas yang tinggi12.

A. PERFORASI GASTER

I. DEFINISI

Perforasi akut mungkin merupakan gejala pertama daripada ulkus peptik

dan kasus mortilitas pada orang tua dapat mencapai sehingga 20 persen.

Tanda dan gejala klasik seperti nyeri epigastrium yang berat, rigiditas seperti

papan (board-like rigidity) serta adanya udara bebas di bawah diafragma pada

foto toraks, selalu mengarah kepada 80 % diagnosis pada pasien. Namun,

tidak semua kasus perforasi kelihatan jelas gejalanya (straightforward).13

II. ETIOLOGI

Non trauma  Akibat volvulus gaster karena overdistensi dan iskemia


 Spontan pada bayi baru lahir yang terimplikasi syok
dan stress ulcer.
 Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid :
terutama pada pasien usia lanjut.
 Adanya faktor predisposisi: termasuk ulkus peptik
 Perforasi oleh malignansi intraabdomen atau limfoma
 Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat
menyebabkan perforasi esofagus, gaster, atau usus
dengan infeksi intraabdomen, peritonitis, dan sepsis.
Trauma  Trauma iatrogenik setelah pemasangan pipa nasogastrik

25
26

saat endoskopi.
 Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen
(misalnya tusukan pisau)
 Trauma tumpul pada gaster : trauma seperti ini lebih
umum pada anak daripada dewasa dan termasuk trauma
yang berhubungan dengan pemasangan alat, cedera
gagang kemudi sepeda, dan sindrom sabuk pengaman.

III. ANATOMI

Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak di

antara esofagus dan duodenum. Dari hubungan anatomi topografik lambung-

duodenum dengan hati, pankreas, dan limpa, dapat diperkirakan bahwa tukak

peptik akan mengalami perforasi ke rongga sekitarnya secara bebas atau

penetrasi ke dalam organ di dekatnya, bergantung pada letak tukak.1

Gambar 5. Anatomi lambung (dikutip dari kepustakaan 9)

26
27

Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah peredaran

darahnya yang sangat kaya dan berasal dari empat jurusan dengan pembuluh

nadi besar di pinggir kurvatura mayor dan minor serta dalam dinding

lambung. Di belakang dan tepi medial duodenum, juga ditemukan arteri besar

(a.gastroduodenalis). Perdarahan hebat bisa terjadi karena erosi dinding arteri

itu pada tukak peptik lambung atau duodenum.1

Vena dari lambung duodenum bermuara ke vena porta. Peredaran vena

ini kaya sekali dengan hubungan kolateral ke organ yang ada hubungan

embrional dengan lambung dan duodenum. Saluran limf dari lambung juga

cukup rumit. Semuanya akan berakhir di kelenjar paraaorta dan preaorta di

pangkal mesenterium embrional. Antara lambung dan pangkal embrional itu

terdapat kelenjar limfe yang letaknya tersebar di mana-mana akibat putaran

embrional.1

Persarafan simpatis lambung seperti biasa melalui serabut saraf yang

menyertai arteri. Impuls nyeri dihantarkan melalui serabut eferen saraf

simpatis. Serabut parasimpatis berasal dari n.vagus dan mengurus sel parietal

di fundus dan korpus lambung. Nervus vagus anterior (sinistra) memberikan

cabang ke kandung empedu, hati dan antrum sebagai saraf Laterjet anterior,

sedangkan n.vagus posterior (dekstra) memberikan cabang ke ganglion

seliakus untuk visera lain di perut dan ke antrum sebagai saraf Laterjet

posterior.1

IV. PATOFISIOLOGI

27
28

Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan

mikroorganisme lain karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi.

Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster

normal dan tidak berada dalam resiko kontaminasi bakteri setelah perforasi

gaster.1

Namun, mereka yang sebelumnya sudah memiliki masalah gaster

beresiko terhadap kontaminasi peritoneal dengan perforasi gaster. Kebocoran

cairan asam lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis kimia

yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mencapai

rongga peritoneal, peritonitis kimia bertahap menjadi peritonitis bakterial.

Pasien mungkin bebas gejala untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal

sampai peritonitis bakterial kemudian.1

Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel

inflamasi akut. Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi

tempat inflamasi, membentuk flegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi

usus besar). Hipoksia yang diakibatkan di area memfasilitasi pertumbuhan

bakteri anaerob dan menyebabkan pelemahan aktivitas bakterisid dari

granulosit, yang mengarah pada peningkatan aktivitas fagosit granulosit,

degradasi sel, hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik,

mengalirnya lebih banyak cairan ke area abses, dan pembesaran abses

abdomen. Jika tidak diterapi, bakteremia, sepsis general, kegagalan multi

organ, dan syok dapat terjadi.1

28
29

V. DIAGNOSIS

1. Manifestasi klinik

Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang

mengalami perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di

perut. Nyeri ini timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah

epigastrium karena rangsang peritoneum oleh asam lambung, empedu

dan/atau enzim pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok

parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian

menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut.1

Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut

fase peritonitis kimia. Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya

rangsangan peritoneum di permukaan bawah diafragma. Reaksi

peritoneum berupa pengenceran zat asam yang merangsang itu akan

mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis

bakteria.1

Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans

muskuler. Pekak hati bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah

diafragma. Peristaltik usus menurun sampai menghilang akibat

kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakteria, suhu

badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita

tampak letargik karena syok toksik. Rangsangan peritoneum menimbulkan

nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran

antarperitoneum.1

29
30

2. Pemeriksaan penunjang

a. Radiologi14

i. Foto polos abdomen

- Posisi erect

 Sejumlah kecil udara bebas umumnya terlihat pertama di

kuadran kanan atas sebagai daerah radiolusen yang terletak di

antara hemidiafragma kanan dan hepar.

 Volume sekecil 2 ml sudah dapat diidentifikasi.

 Gas juga dapat dilihat di bawah hemidiafragma kiri.

 Pasien harus dalam posisi tegak selama minimal 5 menit

sebelum diambil untuk memungkinkan udara bebas untuk

menumpuk di bawah diafragma

30
31

Gambar 6. Foto polos abdomen posisi erect. Tampak udara


bebas pada subdiafragma kanan (tanda bintang
putih)

- Posisi dekubitus

 Pada pasien tidak mungkin dapat mempertahankan posisi

tegak cukup lama.

 Dalam posisi ini, udara bebas akan terletak antara aspek

lateral hepar dan diafragma.

VI. PENATALAKSANAAN

Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki

keadaan umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit,

pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan.1

Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan

nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap

bakteri gram-negatif dan anaerob.

Intervensi bedah hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomi

explorasi dan penutupan perforasi dan pencucian pada rongga peritoneum.

Terapi konservatif diindikasikan pada kasus pasien yang nontoksik dan secara

klinis keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena,

antibiotik, aspirasi NGT, dan dipuasakan.

31
32

Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan

saja setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya,

tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik, penderita usia

lanjut, dan terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan memungkinkan,

tambahan tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk mencegah

kekambuhan1.

Antibiotik terbukti efektif dalam menurunkan kadar infeksi post operasi

dan dapat memperbaiki hasil akhir dari pasien dengan infeksi intra peritoneum

dan septikemia15.

VII. KOMPLIKASI

1. Kegagalan luka operasi

Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap

lapisan luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat. 15 Faktor-faktor

berikut ini dihubungkan dengan kegagalan luka operasi:

- Malnutrisi

- Sepsis

- Uremia

- Diabetes mellitus

- Terapi kortikosteroid

- Obesitas

- Batuk yang berat

- Hematoma (dengan atau tanpa infeksi)

32
33

- Abses abdominal terlokalisasi

- Kegagalan multiorgan

2. Syok septik

Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang

menimbulkan manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi

(pada septikemia gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau

leukopenia (septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler.15 Syok septik

dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut:

- Hilangnya tonus vasomotor

- Peningkatan permeabilitas kapiler

- Depresi miokardial

- Pemakaian leukosit dan trombosit

- Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin, dan

prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler

- Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler

VIII. PROGNOSIS

Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas

cepat dilakukan maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila

diagnosis, tindakan, dan pemberian antibiotik terlambat dilakukan maka

prognosisnya menjadi dubia ad malam. Hasil terapi meningkat dengan

diagnosis dan penatalaksanaan dini.15 Faktor-faktor berikut akan

meningkatkan resiko kematian:

33
34

- Usia lanjut

- Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya

- Malnutrisi

- Timbulnya komplikasi

34
35

DAFTAR PUSTAKA

1. Riwanto. 2010. Lambung dan Duodenum. In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja


W, Prasetyono T, Rudiman R, editors. Sjamsuhidajat-de Jong buku ajar ilmu
bedah, ed 3. Jakarta: EGC. p. 643-60

2. Silen W. 2012. Chapter 300 Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo
DL, Fauci SA, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Braunwald E. Harrison's
principles of internal medicine. 18th ed. New york: Mcgraw-hill companies.
p. 2516-19

3. Daley BJ. 2015. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Medscape Reference,


Drug,Disease and Procedures. [cited March, 15 2016]. Available in
http://emedicine.medscape.com/article/180234

4. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg 2010;5:9

5. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill


Patient. Surg Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49

6. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis - the Eastern experience. World J Emerg Surg


2006; 1:13.

7. Malangoni M, Inui T. Peritonitis - the Western experience. World J Emerg


Surg 2006; 1(1):25

8. Williams N. 2008. Acute Peritonitis. In: Williams N, Bulstrode C, O’connell


PR, editors. Bailey & Love’s short practice of surgery ed. 25 th. London:
Hodder Arnold. p. 992-6

9. Standring S. 2008. Chapter 69. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In:


Standring S. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th
Edition. Churchill Livingstone El Sevier. p. 1127-32

10. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis: Update on


Pathophysiology, Clinical Manifestations, and Management. Clin Inf Dis
1997;24:1035-47

35

Anda mungkin juga menyukai