Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
GRIEVING
Disusun Oleh:
Ridha Eka Dharmayanthi
1810029008
Pembimbing:
dr. Yenny , Sp.KJ
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang penguasa
seluruh alam, karena atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan tutorial klinik
yang berjudul gangguan depresi berat ini tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang episode
depresi, dan bagaimana menghadapi masalah ini dalam praktik kedokteran.
Penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada dr. Yenny Sp. KJ, M.Kes,
selaku pembimbing penulis atas segala bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan
makalah ini.
Oleh karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan kepustakaan, penulis
mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat menjadi masukan yang berarti dalam perbaikan proses
pembelajaran.
Penulis
ii
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
telah meninggal. Banyak orang yang kehilangan mengalami kesulitan dalam
mengenali dan mengekspresikan kemarahan atau perasaan ambivalen terhadap
orang yang meninggal, dan mereka harus diyakinkan bahwa perasaan tersebut
adalah normal.5
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Berduka adalah proses dimana seseorang mengalami respon psikologis,
sosial dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Respon ini dapat berupa
keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah dan marah.
Proses dukacita memiliki sifat yang mendalam, internal, menyedihkan dan
berkepanjangan. Dukacita dapat ditunjukkan melalui pikiran, perasaan maupun
perilaku yang bertujuan untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan
mengintegrasikan kehilangan ke dalam pengalaman hidup. Pada saat seseorang
yang berduka ingin mencapai fungsi yang lebih efektif, maka dibutuhkan waktu
yang cukup lama dan upaya yang cukup keras untuk mewujudkannya.1
3
bukan oleh dirinya sendiri. Orang yang selamat menganggap bahwa mereka
seharusnya menjadi orang yang meninggal dan dapat (jika rasa bersalah menetap)
memiliki kesulitan dalam menegakkan hubungan intim yang baru yang bebas dari
rasa takut mengkhianati orang yang telah meninggal. Bentuk penyangkalan terjadi
sepanjang periode dukacita; sering kali, orang yang berdukacita secara tidak
bijaksana berpikir atau bertindak seakan-akan tidak terjadi kehilangan. Usaha
untuk menghidupkan terus menerus hubungan yang hilang ditandai dengan
investasi dalam objek yang disimpan oleh orang yang meninggal atau yang
mengingatkan orang yang tertimpa kesedihan pada orang yang telah meninggal.2,4
Suatu perasaan kehadiran orang yang telah meinggal mungkin sangat kuat
sehingga menyebabkan suatu ilusi atau halusinasi ( sebagai contoh , mendengar
suara orang yang telah meninggal atau merasa kehadiran orang yang telah
meninggal ). Tetapi , di dalam dukacita normal , orang yang selamat menyadari
bahwa persepsi tersebut adalah tidak nyata. Sebagai bagian dari apa yang disebut
fenomena identifikasi,orang yang selamat mungkin mengambil kualitas, perangai,
atau karakteristik dari orang yang telah meninggal untuk mengekalkan orang
tersebut dalam cara yang konkret. Tindakan tersebut dapat menyebabkan ekspresi
patolgis yang kemungkinan fatal dengan perkembangan gejala fisik yang mirip
dengan apa yang dialami oleh orang yang telah meninggal atau dengan yang
mengarahkan penyakit yang menyebabkan kematian orang yang telah
meninggal.2,5
2.3 Tahap Berduka
1) Tahapan berduka menurut Kubler-Ross pada tahun 1969 Elisabeth Kubler-
Ross menetapkan lima tahapan berduka, yaitu :
i. Penyangkalan adalah syok dan ketidakpercayaan tentang kehilangan.
ii. Kemarahan dapat diekspresikan kepada Tuhan, keluarga, teman atau pemberi
perawatan kesehatan.
iii. Tawar-menawar terjadi ketika individu menawar untuk mendapat lebih banyak
waktu dalam upaya memperlama kehilangan yang tidak dapat dihindari.
iv. Depresi terjadi ketika kesadaran akan kehilangan menjadi akut.
v. Penerimaan terjadi ketika individu memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia
menerima kematian.
4
Model ini menjadi prototype untuk pemberi perawatan ketika mereka mencari
cara memahami dan membantu klien dalam proses berduka.
2) Teori Bowlby
Pemahaman Bowlby tentang berduka akan menjadi kerangka berpikir yang
dominan dalam bab ini. Ia mendeskripsikan proses berduka akibat suatu
kehilangan memiliki empat fase :
i. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan.
ii. Kerinduan emosional akibat kehilangan orang yang dicintai dan memprotes
kehilangan yang tetap ada.
iii. Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari.
iv. Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat mengembalikan
hidupnya.
3) Teori John Harvey pada tahun 1998 , John Harvey menetapkan 3 tahap
berduka, yaitu :
i. Syok, menangis dengan keras, dan menyangkal.
ii. Instruksi pikiran, distraksi dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif.
iii. Menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi dan secara
kognitif menyusun kembali peristiwa kehilangan.
4) Teori Rodebaugh et al. pada tahun 1999
Proses dukacita sebagai suatu proses yang melalui empat tahap, yaitu :
i. Reeling : klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal.
ii. Merasa (feeling) : klien mengekspresikan penderitaan yang berat, rasa bersalah,
kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan tidur,
perubahan nafsu makan, kelelahan, dan ketidaknyamanan fisik yang umum.
iii. Menghadapi (dealing) : klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan
melibatkan diri dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca dan
bimbingan spiritual.
iv. Pemulihan (healing) : klien mengintegrasikan kehilangan sebagai bagian
kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa
kehilangan tersebut dilupakan atau diterima. 5
5
2.4 Lama Dukacita
Karena orang sangat bervariasi dalam ekspresinya tentang dukacita,
kemungkinan tanda, gejala, dan fase berkabung dan kehilangan adalah tidak
sejelas karakteristiknya. Namun demikian, manifestasi dukacita biasanya
cenderung menghilang dengan berjalan nya waktu. Lama dan intensitas dukacita,
terutama dalam fase akut, dapat dibentuk oleh mendadaknya kematian. Jika
kematian terjadi tanpa peringatan terlebih dahulu, guncangan dan rasa tidak
percaya dapat terjadi untuk waktu yang lebih lama; jika kematian telah lama
diperkirakan, banyak proses berkabung telah terjadi pada saat kematian terjadi.
Biasanya, dukacita berlangsung 6 bulan – 1 tahun , saat orang yang berdukacita
mengalami sekurangnya 1 tahun tanpa orang yang meninggal. Beberapa tanda dan
6
gejala dukacita dapat menetap lebih lama daripada 1-2 tahun, dan orang yang
selamat mungkin mempunyai berbagai perasaan, gejala, dan perilaku yang
berhubungan dengan sukacita. Tetapi, akhirnya dukacita yang normal
menghilang, dan orang kembali ke keadaan produktivitas dan kesehatan relative.
Pada umumnya gejala dukacita akut secara bertahap menghilang, dalam 1 atau 2
bulan orang yang berdukacita mampu untuk makan, tidur, dan kembali
berfungsi.4,5
2.5 Dukacita Patologis (Abnormal)
Dukacita yang ditunda, ditekan, atau disangkal yaitu tidak adanya
ekspresi dukacita pada saat kehilangan dimana hal tersebut biasanya diperkirakan.
Dalam beberapa keadaan, dukacita semata-mata ditunda sampai tidak dapat
dihindari lebih lama lagi. Dukacita yang ekspresinya ditekan atau disangkal
kemungkinan patogenik karena orang yang berdukacita menghindari berhadapan
dengan kenyataan kehilangan. Euphoria palsu dapat timbul, yang menyatakan
bahwa dukacita berada dalam perjalanan yang patologis. Reaksi dukacita yang
tertekan atau disangkal mengandung bibit akibat-akibat tertentu yang tidak
menguntungkan seperti mengalami gejala fisik yang terus menerus yang mirip
dengan apa yang dialami oleh orang yang telah meninggal atau reaksi yang tidak
dapat diperhitungkan terhadap peringatan kehilangan atau kadang-kadang
kepentingan bagi orang yang telah meninggal. 5
Identifikasi berlebihan atau psikosis dalam dukacita yaitu bentuk
dukacita abnormal terjadi jika sesorang dengan aspek normal mengalami
penyimpangan atau penguatan proporsi psikotik. Mengidentifikasi dengan orang
yang telah meninggal, seperti mengambil sifat tertentu yang dikagumi atau
menyimpan barang-barang tertentu adalah normal; menganggap seseorang adalah
orang yang telah meninggal ( jika pada kenyataannya, hal tersebut adalah tidak
benar) adalah tidak normal. Mendengar langkah kaki, suara-suara orang yang
meninggal secara sementara mungkin normal; halusinasi dengar yang kompleks,
persisten, mengganggu adalah tidak normal. Penyangkalan yang menganggap
orang yang telah meninggal adalah masih hidup adalah tidak normal.5
7
2.6 Dukacita pada anak-anak
Prosesnya adalah mirip dengan pada orang dewasa, khususnya jika anak
mampu untuk mengerti sifat tidak dapat dibatalkannya kematian. Proses
berkabung menyerupai perpisahan dimana terdapat 3 fase : protes, putus asa, dan
melepaskan. Dalam fase protes anak mempunyai keinginan yang kuat terhadap
ibu atau pengasuh lainnya yang telah meninggal dan menangis supaya mereka
kembali ; dalam fase putus asa, anak mulai merasa tidak mempunyai harapan
akan kembalinya mereka, menangis adalah sebentar-sebentar, dan terlihat
penarikan diri dan apati. Di dalam fase pelepasan anak mulai melepaskan suatu
perlekatan emosional dengan orangtuanya yang telah meninggal dan
menunjukkan kebangkitan kembali dalam minat terhadap sekelilingnya.
Pertanyaan apakah anak harus menghadiri pemakaman adalah pertanyaan
yang sering, dan tidak ada aturan yang keras dan cepat. Sebagian besar ahli anak
setuju jika anak menunjukkan keinginan untuk pergi, dan keinginannya harus
dihormati. Pada sebagian besar keadaan kemungkinan lebih baik mendorong anak
untuk menghadiri pemakaman sehingga ritual tidak dilapisi fantasi atau misteri
yang menakutkan dan menyimpang.3,4,5
8
berbicara tentang perasaan kehilangan dan tentang orang yang telah meninggal.
Banyak orang yang kehilangan mengalami kesulitan dalam mengenali dan
mengekspresikan kemarahan atau perasaan ambivalen terhadap orang yang
meninggal, dan mereka harus diyakinkan bahwa perasaan tersebut adalah normal.
Selama terapi dukacita,suatu perlekatan kepada ahli terapi biasanya terjadi;
perlekatan memberikan orang pada yang kehilangan suatu bantuan sementara
sampai rasa percaya akan masa depan berkembang. Ahli terapi secara bertahap
mendorong pasien untuk mengambil beberapa tanggungjawab baru dan untuk
mengembangkan rasa otonomi. Untuk melakukan terapi dukacita, ahli terapi harus
tenang dalam menghadapi masalah kematian dan akan meninggal dan harus
mampu untuk menangani reaksi emosional pasien yang kuat terhadap kesedihan,
kemarahan, bersalah, dan merusak nama diri sendiri. Di samping itu, terapi
dukacita mengharuskan ahli terapi bersikap aktif dan berperan serta dalam proses
pengambilan keputusan dengan pasien, khususnya dalam keputusan yang
membimbing pasien kearah kemandirian.
Terapi dukacita tidak perlu dilakukan hanya atas dasar satu dengan
satu;konseling kelompok juga efektif. Kelompok menolong diri sendiri (self help
group) mempunyai nilai dalam kasus tertentu. Kira-kira 30% janda dan duda
melaporkan bahwa mereka menjadi terisolasi dari teman, menarik diri dari
kehidupan sosial dan dengan demikian mengalami perasaan isolasi dan kesepian.
Kelompok menolong diri sendiri menawarkan persahabatan, kontak sosial, dan
bantuan emosional; kelompok tersebut akhirnya memungkinkan anggotanya
untuk memasuki kembali masyarakat didalam cara yang berarti.5
9
BAB III
KESIMPULAN
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Tipe-
tipe beduka yaitu ada tipe berduka yg normal maupun yang abnormal ( patologis)
dimana lama proses berduka berlangsung 6 bulan – 1 tahun , saat orang yang
berdukacita mengalami sekurangnya 1 tahun tanpa orang yang meninggal. Tahap
berduka meliputi yaitu Penyangkalan, Kemarahan, Tawar-menawar, Depresi,
dan penerimaan. Karena reaksi dukacita dapat berkembang menjadi gangguan
depresif atau berkabung patologis, sesi konseling spesifik untuk orang yang
kehilangan sering kali sangat bernilai.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Yusuf, Ah. Fitryasari,, Rizky dan Nihayati, Hanik endang. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta Selatan : Salemba medika
2. Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. Mc. Closkey. 2012.
Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa: Mosby
Elsavier
3. Jhonson, Marion. 2012. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC).
St. Louis, Missouri; Mosby.
4. Potter, patricia A dan Perry, Annc Griffin. 2005. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, proses, dan praktik. Edisi 4. Volume 1. Jakarta :
EGC 5.
5. Sadock, B., & Sadock, V. (2015). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
11