Halaman
Sampul Depan
Kata Pengantar------------------------------------------------------------------------- 1
Daftar Isi-------------------------------------------------------------------------------- 2
Daftar Gambar-------------------------------------------------------------------------- 3
Daftar Tabel----------------------------------------------------------------------------- 4
BAB I PENDAHULUAN------------------------------------------------------------ 5
1.1 Latar Belakang----------------------------------------------------------------- 5
1.2 Batasan Masalah--------------------------------------------------------------- 5
1.3 Tujuan Penelitian--------------------------------------------------------------- 5
1.4 Metode Penelitian-------------------------------------------------------------- 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA----------------------------------------------------- 7
2.1 Definisi------------------------------------------------------------------------- 7
2.2 Etiologi------------------------------------------------------------------------- 7
2.3 Epidemiologi------------------------------------------------------------------ 7
2.4 Patogenesis-------------------------------------------------------------------- 8
2.5 Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit------------------------------ 11
2.6 Pemeriksaan Penunjang----------------------------------------------------- 11
2.6.1 Pemeriksaan Laboratorium-------------------------------------------- 11
2.6.2 Pemeriksaan Radiologis----------------------------------------------- 12
2.7 Diagnosis---------------------------------------------------------------------- 12
2.7.1 Demam Dengue-------------------------------------------------------- 13
2.7.2 Demam Berdarah Dengue--------------------------------------------- 13
2.8 Diagnosis Banding----------------------------------------------------------- 14
2.9 Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue------------------------------------ 14
2.10 Penatalaksanaan-------------------------------------------------------------- 15
BAB III KESIMPULAN-------------------------------------------------------------- 17
DAFTAR PUSTAKA------------------------------------------------------------------ 18
1
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Hipotesis Secondary Heterologus Infection............................................... 7
2
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue........................................ 12
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Penulisan makalah ini disusun dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
dirujuk dari berbagai literatur.
BAB 2
5
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue
yang ditandai oleh renjatan/syok (Suhendro, Nainggolan, Chen, 2006).
2.2. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara
serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West
Nile virus (Suhendro, Nainggolan, Chen).
2.3. Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan
pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun
1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama
A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang
berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
6
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu:
1) Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dai satu tempat ke tempat lain.
3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (WHO, 2000).
2.4. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. Respon
imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah :
a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody.
Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pad monosit
atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE).
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan
IL-10.
c) Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin
oleh makrofag.
d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.
7
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection
yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan
tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurang dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang
memfagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di
makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan
T sitotoksik sehingga diprosuksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan
mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1,
PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi
sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi
oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :
1) Supresi sumsum tulang
8
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah itu akan terjadi peningkatan proses
hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah pada saat
terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi tromobositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di
perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP,
peningkatan kadar b-tromoboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi
tromobosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue
terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi factor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor
complex) (Price, Wilson, 2006).
9
2.5. Manifestasi klinis dan perjalanan penyakit
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue
(SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis
selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko
untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat (Kabra, Jain, Singhal,
1999).
Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
10
Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi darah
atau komponen darah.
IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-
90 hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG
mulai terdeteksi hari ke-2.
Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan,
uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans. (WHO, 2006)
2.7. Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.
11
2.7.1. Demam Dengue (DD)
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi
klinis sebagai berikut:
Nyeri kepala.
Nyeri retro-oebital.
Mialgia / artralgia.
Ruam kulit.
Leukopenia.
Pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah
dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
- Perdarahan mukosa (epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain.
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut :
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumnya.
13
2.10 Penatalaksanaan
1. Protokol 1: Penanganan tersangka DBD dewasa tanpa syok
Seseorang yang tersangka menderita DBD di Unit Gawat Darurat (UGD) dilakukan
pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit. Bila :
Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000 maka pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit tiap 24 jam).
Jika keadaan penderita memburuk, segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
Hb dan Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb dan Ht meningkat tetapi trombosit normal atau menurun juga dianjurkan untuk
dirawat.
2. Protokol 2: Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat
Pasien tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok, diberikan
cairan kristaloid perharinya dengan rumus :
1500+[20 x (BB dalam Kg-20)]
Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit tiap 24 jam :
Bila Hb dan Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 maka jumlah pemberian
cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht, dan trombosit dilakukan
tiap 12 jam.
Bila Hb dan Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.
3. Protokol 3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%
Infus kristaloid sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam, dipantau selama 3-4 jam. Bila terjadi
perbaikan, maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam, dipantau lagi
selama 2 jam. Bila keadaan mengalami perbaikan lagi, maka jumlah cairan dikurangi
lagi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila kondisi pasien terus membaik maka infus cairan
dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Bila setelah terapi awal cairan 6-7 ml/kgBB/jam ternyata tidak ada perbaikan, maka
kita naikkan pemberian cairan menjadi 10 ml/kgBB/jam, dipantau selama 2 jam. Bila
mengalami perbaikan maka cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila tidak
membaik maka cairan ditingkatkan menjadi 15 ml/kgBB/jam, dan bila dalam
perkembangannya ternyata kondisi pasien semakin memburuk dan didapatkan tanda-
tanda syok maka pasien diterapi sesuai protokol tatalaksana sindrom syok dengue
14
pada dewasa. Setelah syok teratasi maka penatalaksanaan kembali seperti terapi
pemberian cairan awal.
4. Protokol 4: Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Penatalaksanaan sesuai dengan pemberian cairan pada DBD tanpa syok, namun nilai
Hb, Ht, dan trombosit harus diperiksa setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID).
FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan APTT
memanjang)
PRC diberikan bila Hb <10 gr/dl.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan
dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 dengan atau tanpa KID.
5. Protokol 5: Penatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada Dewasa.
Oksigen 2-4 liter/menit.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi, jumlah cairan dikurangi menjadi 7
ml/kgBB/jam dan evaluasi dalam waktu 1-2 jam. Bila kondisi pasien stabil maka
pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam dan evaluasi selama 1-2 jam lagi. Bila
pasien masih stabil, cairan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah
renjatan teratasi kondisi pasien menunjukkan stabil maka pemberian cairan perinfus
harus dihentikan. Tetap awasi kemungkinan renjatan berulang terutama dalam waktu
48 jam pertama sejak terjadi renjatan.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan dievaluasi
dalam 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat maka pertimbangkan untuk pemberian
cairan koloid, namun bila nilai hematokrit menurun berarti terjadi internal bleeding
maka pasien perlu diberi transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai
kebutuhan.
15
BAB III
KESIMPULAN
16