Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

ILMU PENYAKIT DALAM

MALARIA BERAT

Oleh : IMRON
ROSYADI
20141040201117

Pembimbing :
dr. MOH. MAHFUDZ,
Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH MALANG RSUD
JOMBANG
2015
DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ............................................................................................
1

................1
DAFTAR
ISI....................................................................................................
.2
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 5
2.1 Malaria Berat.................................................................................. 5
2.1.1
Definisi..................................................................................
......... 5
2.1.2 Epidemiologi
................................................................................. 6
2.1.3
Patofisiologi...........................................................................
........ 7
2.1.4 Manifestasi
Klinis ........................................................................ 8
2.1.5
Diagnosis....................................................................................
....10
2.1.6 Terapi
.............................................................................................12
2.1.7
Prognosis...................................................................................
.....15
BAB III
KESIMPULAN................................................................................1
6
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................1
7

BAB I
PENDAHULUAN

Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium


yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di
dalam darah. (Harijanto, 2009)
Malaria adalah penyebab kematian dan penyakit yang penting bagi orang
dewasa dan anak-anak, khususnya di negara tropis/sub-tropis. Malaria masih
merupakan masalah klinik bagi negara tropik/sub-tropis dan Negara berkembang
ataupun negara yang sudah maju. Malaria merupakan penyebab kematian utama
penyakit tropik, diperkirakan satu juta penduduk dunia meninggal tiap tahunnya
dan terjadi kasus malaria baru 200/300 juta/tahun (WHO, 2010).
Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami
komplikasi sistemik yang dikena dengan malaria berat (Harijanto, 2009). Malaria
berat biasanya menimbulkan satu atau lebih tanda/gejala seperti: koma (malaria
serebral), asidosis metabolik, anemia berat, hipoglikemia, gagal ginjal akut atau
edema paru akut. Pada tahap ini, kasus kematian

pada orang yang menerima

pengobatan sebanyak 10-20 %. Namun, pada orang yang tidak menerima


pengobatan malaria, malaria berat berakibat fatal pada sebagian besar kasus
(WHO, 2010).
Angka kematian malaria berat bervariasi tergantung pada beberapa faktor
ialah kecepatan penderita untuk mencapai fasilitas kesehatan, kemampuan tenaga
dokter dalam identifikasi dan penaganan kasus, ketersediaan obat malaria dan
kemampuan penaganan kegegalan organ (Harijanto, 2012).
Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan
tentang malaria berat dan penganganannya sebagai salah satu penyakit di bidang

ilmu Penyakit Dalam sehingga dapat melakukan diagnosis dini untuk menentukan
terapi bagi pasien.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Malaria Berat

2.1.1 Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium
yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di
dalam darah. (Harijanto, 2009)
Malaria berat adalah penyakit yang terutama disebabkan oleh plasmodium
falsiparum bentuk aseksual, dapat pula oleh plsaamodium vivax, dan knowlesi
yang memenuhi salah satu atau lebih dari kriteria berikut (Baso, 2012) :
1. Koma atau penurunan kesadaran dan kejang yang disebut Malaria Cerebral
2. Prostration (tidak dapat berdiri).
3. Ikterik (bilirubin serum >3 mgr%).
4. Peningkatan kreatinin serum (2,5 mgr%).
5. Anuria atau Black Water Fever.
6. Anemi berat (<5gr%).
7. Renjatan/syok hipovolemik.
8. Perdarahan spontan.
9. Hipoglikemia.
10. Hiperparasitemia (>100.00/uL pada tranmisi rendah dan >250.000 yang
stabil).
11. Hiperlaktinemia (>5mmol).
12. Stress pernafasan.
2.1.2 Epidemiologi
Malaria berat masih merupakan masalah di dunia termasuk di Indonesia,
angka kematian malaria berat masih tinggi, diperkirakan angka kematian malaria
berat

>20%

tergantung

fasilitas

perawatan,

kecepatan

diagnosis

dan

penatalaksanaan. Walaupun dalam WHO report 2011 mencatat penurunan


kematian 50% di dunia, namun Annual Parastitcal Index (API) masih tinggi
dibeberapa daerah di Indonesia (Baso, 2012).
Menurut laporan Depkes 2011, API turun dari 4,3/1000 penduduk pada
tahun 2005 menjadi 1,75/1000 penduduk di tahun 2011. Pada beberapa daerah
seperti di Papua API masih >5% (Baso, 2012).
Untuk eliminasi malaria tahun 2015 di Dunia dibutuhkan biaya 3,2 milyar
dolar. Depkes mentargetkan eradikasi malaria di Indonesia pada tahun 2030.
Wilayah

Indonesia

sangat

luas

sehingga

strategi

Depkes

RI

untuk

eliminasi/eradikasi beberapa cara, selain memakai kelambu dan penyemprotan


insektisida, pengobatan yang baik dengan memakai obat yang efikasinya >96%
dan membunuh gamet akan menghapuskan malaria dari Indonesia (Baso, 2012).
Sejak tahun 2006 WHO dan Depkes RI telah merekomendasikan
penggunaan artemisin untuk penanganan malaria berat yaitu obat artesunat dan
artemether. Obat terdahulu seperti kina injeksi hanya dipakai apabila obat
artesunat dan artemeter tidak tersedia (Harijanto, 2012).

2.1.3 Patofisiologi
Setelah sporozoit dilepas sewaktu nyamuk anopheles mengigit manusia
selanjutnya akan masuk ke dalam sel hati (hepatosit) dan kemudian terjadi
skizogoni ekstra eritrositer. Skizon hati yang matang selanjutnya akan pecah
dan

selanjutnya merozoit akan menginvasi sel eritrosit dan terjadi skizogoni intra
eritositer, menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit (EP) mengalami
perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan
parasit.

Gambar 2.1 Daur Hi dup Mal ari a

Perubahan tersebut melipu ti mekanisme transport membran se l, penur unan


deformabilitas, perubahan reolog i, pemben tukan knob , ekspres i varian neoant igen
di permukaan sel, sitoaderen, rosetting dam sekuestrasi.
EP memulai proses patologik infeksi malaria falsiparum dengan
kemampuan adhesi dengan sel lain yaitu endotel vaskular, eritrosit dan
menyebabkan sel ini sulit melewati kapiler dan filtrasi limpa. Hal ini berpengaruh
terjadinya sitoadherens dan sekuestrasi.
Sitoadherens adalah melekatnya EP matang di permukaan endotel
vaskular. Sitoaherens merupakan proses spesifik yang hanya terjadi di kapiler
dan

venula post kapiler. Penumpukan EP di mikrovaskular menyebabkan gangguan


aliran mikrovaskular sehingga terjadi anoksia/hipoksia jaringan.
Sitoadherens menyebabkan EP bersekuestrasi dalam mikrovaskular organ
vital. Parasit yang bersekuestrasi menumpuk di otak, paru, usus, jantung, limpa,
hepar, otot dan ginjal. Sekuestrasi menyebabkan ketidak sesuaian antara
parasitemia di perifer dan jumlan total parasit dalam tubuh. Penelitian di Vietnam
melaporkan bahwa sekuestrasi di otak terjadi baik pada kasus malaria serebral
maupun non serebral dengan jumlah kuantitatif lebih tinggi pada malaria serebral.
Dilaporkan juga tidak ada kasus malaria serebral yang tidak mengalami
sekustrasi. Dengan demikian sekuentrasi diperlukan dalam patogenesa malaria
serebral.
Rosetting adalah perlekatan antara satu buah EP matang yang diselubungi
oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga berbentuk seperti
bunga.Rosetting berperan dalam terjadinya obstruksi mikrovaskular. Meskipun
demikian peranan rosetting dalam patogenesis malaria berat masih belum jelas.
Kadar TNF-alfa di daerah perifer meningkat secara nyata pada penderita
malaria terutama malaria berat. Kadar IFN-gamma, IL-1, IL-6, LT dan IL-3 juga
meningkat pada malaria berat. Sitokin-sitokin ini saling berinteraksi dan
menghasilkan efek patologi Meskipun demikian peranan sitokin dalam
patogenesis malaria berat masih dalam perdebatan.
2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi malaria berat sangat bervariasi, manifestasi ini data berbedabeda menurut kategori umur pada daerah tertentu berdasarkan endemitas
setempat. Gejala klinis meliputi :
a) Malaria Serebral
Gejala klinis malaria serebral dapat ditandai dengan koma yang tak
bisa dibangunkan, bila dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale) ialah
dibawah 7 atau sama dengan keadaan klinis soporous (Zulkarnain,
Setawan & Harijanto, 2009).
Diduga pada malaria serebral terjadi sumbatan kapiler pembuluh
darah otak sehingga terjadi anoksia otak. Sumbatan tersebut terjadi karena
eritrosit yang mengandung parasit sulit melalui pembuluh darah kapiler
oleh karena proses sitoaderensi dan sekuestrasi parasit (Zulkarnain,
Setawan & Harijanto, 2009).
b) Gagal Ginjal Akut
Gangguan fungsi ginjal dapat pre-renal karena dehidrasi (>50%)
dan hanya 5-10% disebabkan nekrosis tubulus. Gangguan gijal diduga
disebabkan oleh anoksia Karen penurunan aliran darah ke ginjal akibat
dari sumbatan kapiler. Secara klinis dapat terjadi fase oliguria ataupun
poliuria (Zulkarnain, Setawan & Harijanto, 2009).
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan yaitu urin mikroskopik,
berat jenis urin, natrium urin, serum natrium, kalium, ureum, kreatinin,
analisa gas darah, serta produksi urin. Apabila berat jenis (BJ) urin <1.010

menunjukkan dugaan nekrosis tubulus akut, sedangkan urin yang bekat BJ


>1.015, rasio urin:darah >4:1, natrium urin <20 mmol/l menunjukkan
keadaan dehidrasi (Zulkarnain, Setawan & Harijanto, 2009).
c) Kelainan Hati (Malaria Biliosa)
Jaundice atau ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria
falsiparum. Pada penelitian di Minahasa pada malaria Biliosa (malaria
dengan ikterus) dijumpai ikterus hemolitik 17,2%, ikterus obstruksi intrahepatal 11,4% dan tipe campuran parenkimatosa, hemolitik dan obstruktif
78,6% peningkatan SGOT rata-rata 121 mU/ml dan SGPT 80,8 mU/ml
denga ratio de RItis 1,5. Penderita malaria dengan ikterus termasuk
malaria yang berat (Zulkarnain, Setawan & Harijanto, 2009).
d) Hipoglikemia
Hal ini disebabkan karena kebutuhan metabolik dari parasit telah
menghabiskan cadangan glikogen dalam hati. Hipoglikemi dapat tanpa
gejala pada penderita dengan keadaan umum yang berat ataupun
penurunan kesadaran (Zulkarnain, Setawan & Harijanto, 2009).
Penyebab terjadinya hipoglikemia yang paling sering adalah
karena pemberian terapi kina. Penyebab lainnya adalah kegagalan
glukoneogenesis pada penderita dengan ikterik, hiperparasitemia oleh
karena parasit mengkonsumsi karbohidrat (Zulkarnain, Setawan &
Harijanto, 2009).
e) Blakcwater Fever (Malaria Hamoglobinuria)

Suatu sindrom dengan gejala serangan akut, demam, hemolisis,


hemoglobinuria, dan gagal ginjal. Biasanya terjadi sebagai komplikasi dari
infeksi P. Falciparum yang berulang-ulang pada orang non-imun atau
dengan pengobatan kina yang tidak adekuat (Zulkarnain, Setawan &
Harijanto, 2009).
f) Syok Hipovolemik (Malaria Algid)
Syok

vaskular

yang

ditandai

dengan

hipotensi

(sistolik

<70mmHg), perubahan tahanan perifer, dan berkurangnya perfusi jaringan


(Zulkarnain, Setawan & Harijanto, 2009).
2.1.5 Diagnosis
2.1.5.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Tanda dan gejala malaria tidak spesifik. Diagnosis malaria
sebagian besar diduga atas dasar demam dan riwayat demam. Diagnosis
berdasarkan gambaran klnis saja memiliki spesifitas yang sangat rendah dan
mengakibatkan pengobatan yang berlebihan (over-treatment). Kemungkinan
penyebab lain dari demam dan kebutuhan untuk perawatan alterative lain harus
selalu dipertimbangkan (WHO, 2010).
Rekomendasi WHO untuk diagnosis klinis/kecurigaan terhadap malaria di
tempat epidemiologi berbeda adalah sebagai berikut :
a) Pada tempat dengan resiko malaria rendah diagnosis klinis didasarkan
pada kemungkinan paparan malaria dan riwayat demam 3 hari sebelumnya
tanpa adanya tanda penyait lain.

b) Pada tempat dengan resiko malaria tinggi diagnosis klinis didasarkan


riwayat demam dalam 24 jam terakhir atau ada tanda anemia.
Pada 2 tempat tersebut kecurigaan klinis harus dipastikan dengan
pemeriksaan parasitologis (WHO, 2010).
2.1.5.2 Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Tes Darah

Tetesan Preparat Darah Tebal : Preparat dinyatakan negatif apabila


setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran kuat 7001000 kali tidak didapatkan parasit.

Tetesan Preparat Darah Tipis : Pengecatan menggunakan cat Giemsa.


Pada preparat darah tipis dapat diidentifikasi jenis plasmodium dan
parasite count. Bila jumlah parasit >100.000/uL darah menandakan
infeksi yang berat.

b) Tes Antigen/Rapid Diagnostik Test


P-F Test mendeteksi antigen dari P. Falciparum (Histidin Rich
Protein II). Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar dipasaran dengan
metode ICT (Harijanto, 2009).

2.1.6 Terapi
Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan/pengobatan yang
perlu dilakukan adalah :

2.1.6.1 Tindakan Umum


Apabila fasilitas tidak memungkinkan untuk merawat penderita
malaria berat maka penderita dirujuk ke RS dengan pelayanan yang lebih tinggi,
tindakan awal:
a) Jaga jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, beri
oksigen.
b) Perbaiki keadaan umum penderita (kebutuhan cairan dan perawatan
umum).
c) Monitoring tanda vital antara lain : kesadaran, tekanan darah, suhu nadi
setiap 30 menit.
d) Untuk konfirmasi diagnosis, lakukan pemeriksaan malaria tetes tebal dan
lampirkan. Penilaian sesuai kriteria diagnostic mikroskopik.
e) Bila hipotensi , tidurkan dalam psisisi Trendelenburg dan diawasi terus
tensi, warna kuit, suhu, laporkan ke dokter segera.
f) Berikan satu dosis awal obat anti-malaria sebelum merujuk dengan
artemeter/artesunat atau kina. Lihat pemberian obat anti malaria sebelum
merujuk.

g) Buat/isi status penderita yang berisi catatan mengenai: identitas penderita,


riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu, riwayat perjalanan
(travel history), riwayat tranfusi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium, diagnosis kerja, diagnosis banding, tindakan dan pengobatan


yang telah diberikan. (Harijanto, 2012)
2.1.6.2 Pengobatan Simtomatik
Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia : paracetamol 15
mg/kgBB/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.
Bila kejang, beri antikonvulsan. Dewasa, Diazepam 5-10 mg IV (secara
perlahan lebih dari 5 mg/menit), ulang 15 menit kemudian bila masih
kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 mg/24 jam. Bila tidak tersedia
diazepam, sebagai alternatif dapat diapakai phenobarbital 100 mg im/x
(dewasa) diberikan 2 x sehari.
2.1.6.2 Pemberian Obat Anti Malaria
Pemberian obat anti malaria (OAM) pada malaria berat berbeda
dengan dengan malaria biasa karena pada malaria berat diperlukan daya bunuh
parasit secara cepat dan bertahan cukup lama dalam darah untuk segera
menurunkan derajat parasitemianya. Oleh karena itu dipilih pemakaina obat per
parenteral yang berfek cepat dan kurang menyebabkan terjadinya resistensi.

Pemberian OAM secara parenteral :


1. Artesunat Injeksi (1 flacon = 60 mg)

Dosis IV 2,4 mg/kgBB/kali pemberian. Pemberian intravena


dilarutkan pada pelarutnya 1 ml 5% bicarbonate dan diencerkan dengan 510 cc 5% dextrose disuntikkan bolus intravena. Pemberian pada jam 0, 12,
24 jam dan seterusnya tiap 24 jam sampai penderita sadar.
Bila pasien sadar diganti dengan tablet artesunat oral 2 mg/kgBB
sampai hari ke 7 mulai pemberian parenteral. Untuk mecegah rekrudensi
dikombinasikan dengan doksisiklin 2 x 100 mg/hari selama 7 hari atau
pada wanita hamil/anak diberikan clindamisin 2 x 10 mg/kg BB.
2. Artemeter I.M (1 amp = 80 mg)
Diberikan atas indikasi, tidak boleh pemberian intravena/infus,
tidak ada manifestasi perdarahan, dan pada malaria di RS perifer. Dosis
artemeter, hari I : 1,6 mg/kgBB tiap 12 jam. Hari ke 2-5 : 1,6 mg/kgBB.
3. Kina HCL 25% (1 ampul = 500 mg/2ml)
Dilarutkan dalam 500 cc dextrose 5%, dosis 10 mg/kgBB/dosis/4
jam diberikan setiap 8 jam, diulang dengan cairan dan dosis yang sama
setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat dan diganti dengan dosis
oral 3x10 mg/kgBB/hari sampai hari ke-7.

2.1.6.3 Tindakan Terhadap Komplikasi

Komplikasi

Tindakan Awal

Coma/Malaria Serebral

Pertahankan oksigenasi, letakkan pada sisi tertentu,


sampingkan penyebab lain dari koma, hindari obat
tak bermanfaat, intubasi bila perlu.
Hiperpireksia
Turunkan suhu badan dengan kompres, fan, AC,
antipiretika.
Kejang
Pertahankan oksigenasi, pemberian anti kejang iv/per
rectal diazepam, i.m paraldehyde.
Hipoglikemia (<40mg%)
Beri 50 ml dextrose 40% dan infus dextrose 10%
sampai gula darah stabil, cari penyebab
hipoglikemia.
Anemia berat (Hb <5gr%/PCV Tranfusi darah segar, cari penyebab anemia.
<15%)
Edema paru akut, sesak, RR Tidurkan 45, oksigenasi, berikan Furosemid 40
>35x/menit
mg iv, perlambat cairan infus.
Gagal Ginjal Akut
Kesampingkan gagal ginjal pre-renal, bila
dehidrasi koreksi, bila gagal ginjal renal segera
dialysis.
Perdarahan spontan
Beri vit. K 10 mg/hari selama 3 hari, tranfusi darah
segar, pastikan bukan DIC.
Asidosis Metabolik
Kesampingkan/koreksi
bila
hipoglikemia,
hipovolemia, septichaemia. Bila perlu dialysis.
Syok
Pastikan tidak hipovolemia, cari tanda sepsis, berikan
antibiotika broadspeectrum yang adekuat.
Hiperparasitemia
Segera anti malaria, tranfusi ganti.
Tabel 2.1 Tindakan terhadap komplikasi

2.1.7 Prognosis
Pada malaria berat, mortalitas tergantung pada kecepatan penderita tiba di
RS, kecepatan diagnosa dan penanganan yang tepat. Walaupun demikian
mortalitas penderita malaria berat masih cukup tinggi bervariasi 15%-60%
tergantung fasilitas pemberi pelayanan. Makin banyak jumlah komplikasi akan
diikuti dengan peningkatan mortalitas, misalnya penderita dengan malaria
serebral, hipoglikemi, peningkatan kreatinin, dan peningkatan bilrubinn lebih
tinggi daripada malaria serebral saja (Zulkarnain, Setawan & Harijanto, 2009).

BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:


1. Malaria dapat menjadi Malaria Berat apabila terdapat 1 atau lebih dari
komplikasi diatas.
2. Angka kematian malaria berat bervariasi tergantung pada beberapa faktor
ialah kecepatan penderita untuk mencapai fasilitas kesehatan, kemampuan
tenaga dokter dalam identifikasi dan penaganan kasus, ketersediaan obat
malaria dan kemampuan penaganan kegegalan organ.
3. Malaria Berat merupakan akibat dari sitoaderensi, rosetting, dan sekuestrasi.
4. Penatalaksanaan malaria berat terdiri dari 4 komponen yaitu, tindakan umum,
pengobatan simtomatik, pemberian anti-malaria dan pengobatan komplikasi.
5. Pemberian obat anti malaria (OAM) pada malaria berat berbeda dengan
dengan malaria biasa karena pada malaria berat diperlukan daya bunuh
parasit secara cepat dan bertahan cukup lama dalam darah untuk segera
menurunkan derajat parasitemianya.
6. OAM yang digunakan adalah Artesunat IV, Artemeter I.M atau Kina HCL.

DAFTAR PUSTAKA

Baso, SM 2012, Malaria Berat. Pertemuan Ilmiah Nasional PB PABDI,


PB PABDI, Balikpapan, hh. 281-287.

Harijanto, PN 2012, Penagananan Malaria Berat.


Pertemuan Ilmiah Nasional

PB PABDI, PB PABDI, Balikpapan, hh. 273-280.

Harijanto, PN 2009, Malaria dalam Buku Ajar


Penyakit Dalam Edisi 5 Jilid III, Sudoyo, AW, & Setiati,
S, Interna Publishing, Jakarta, hh: 2813-2825.

World Health Organization, 2010, Guidelines For The


Treatment of Malaria, 2 nd

Editions, WHO Library Cataloguing, Geneva.

Zulkarnain, I, Setiawan, B, & Harijanto, PN 2009,


Malaria Berat dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi
5 Jilid III, Sudoyo, AW, & Setiati, S, Interna
Publishing, Jakarta, hh: 2826-2849.

Anda mungkin juga menyukai