Anda di halaman 1dari 46

Laporan Kasus

DEHIDRASI LOW INTAKE + AKI STAGE III

Oleh:

Mohamad Fiqih Arrachman, S.Ked 04084821921031


Fadhila Khairunnisa, S.Ked 04084821820040

Pembimbing:
dr. Syamsu Indra, SpPD, K-KV, MARS, FINASIM, PhD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul

Dehidrasi Low Intake + AKI Stage III


Oleh:

Mohamad Fiqih Arrachman, S.Ked


Fadhila Khairunnisa, S.Ked

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang, Periode 29 Juli 2019 – 7 Oktober 2019.

Palembang, Agustus 2019


Pembimbing

dr. Syamsu Indra, SpPD, K-KV, MARS, FINASIM, PhD

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat
dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Dehidrasi Low Intake + AKI stage III”. Laporan kasus ini merupakan
salah satu syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Syamsu Indra,
SpPD,K-KV, MARS, FINASIM, PhD selaku pembimbing dalam penulisan laporan
kasus ini, serta kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat
diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini
dapat memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 5
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................ 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 15
BAB IV ANALISIS KASUS ........................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 45

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Dehidrasi merupakan keadaan di mana berkurangnya volume air saja atau


berkurangnya air jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel atau
keluarnya cairan hipotonik berlebihan dari ekstrasel yang mengakibatkan peningkatan
natrium di ekstrasel (hypernatremia). Hipernatremia meningkatkan tonisitas cairan
ekstrasel sehingga air dari intrasel keluar ke ekstrasel (volume cairan intrasel berkurang
dan volume cairan ekstrasel relatif tetap). Dengan kata lain, dehidrasi melibatkan
pengurangan cairan intra dan ekstrasel secara bersamaan di mana 40% dari cairan yang
hilang berasal dari ekstrasel dan 60% berasal dari intrasel.
Pada dehidrasi dapat terjadi gangguan elektrolit. Elektrolit adalah senyawa di
dalam larutan yang berdisosiasi menjadi partikel yang bermuatan (ion) positif atau
negatif. Ion bermuatan positif disebut kation dan ion bermuatan negatif disebut anion.
Keseimbangan keduanya disebut sebagai elektronetralitas. Sebagian besar proses
metabolisme memerlukan dan dipengaruhi oleh elektrolit. Konsentrasi elektrolit yang
tidak normal dapat menyebabkan banyak gangguan. Pemeliharaan homeostasis cairan
tubuh adalah penting bagi kelangsungan hidup semua organisme. Pemeliharaan
tekanan osmotik dan distribusi beberapa kompartemen cairan tubuh manusia adalah
fungsi utama empat elektrolit mayor, yaitu natrium (Na+), kalium (K+), klorida (Cl-),
dan bikarbonat (HCO3-). Pemeriksaan keempat elektrolit mayor tersebut dalam klinis
dikenal sebagai ”profil elektrolit”.
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq perkilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10-14 mEq/L)
berada dalam cairan intrasel. Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran
keseimbangan antara natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan
natrium yang berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi
dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit.

5
Hiponatremia, didefinisikan sebagai kadar natrium plasma <135 mmol/L, merupakan
gangguan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit yang paling sering ditemukan
dalam praktik klinis.
Kalium merupakan kation intraselular yang sangat penting yang dapat
diperoleh secara mencukupi lewat makanan sehari-hari. Kadar kalium normal
intraselular adalah 135–150 mEq/L dan ekstraselular adalah 3,5–5,5 mEq/L.
Penyerapan kalium dari saluran cerna menghasilkan kelebihan asupan sekitar 1
mEq/kg/24 jam (60-100 mEq). Sebagian besar kelebihan ini (90%) diekskresikan
melalui ginjal dan 10% melalui saluran cerna. Bila kadar kalium kurang dari 3,5 mEq/L
disebut sebagai hipokalemia. Perbedaan kadar kalium di dalam plasma dan cairan
interstisial dipengaruhi oleh keseimbangan Gibbs-Donnan, sedangkan perbedaan
kalium cairan intrasel dengan cairan interstisial adalah akibat adanya transpor aktif
(transpor aktif kalium ke dalam sel bertukar dengan natrium). Peningkatan kalium
plasma 3-4 mEq/L dapat menyebabkan aritmia jantung, konsentrasi yang lebih tinggi
lagi dapat menimbulkan henti jantung. Mengingat pentingnya peranan elektrolit dan
efek dari ketidakseimbangannya hingga menjadi komplikasi seperti terjadinya acute
kidney injury, akan dibahas lebih lanjut tentang dehidrasi dan gangguan keseimbangan
elektrolit.

6
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi Pasien

Nama : Tn. AA
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 27 Tahun
Alamat : Kertapati
Suku : Sumatera
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Buruh
MRS : 13 Agustus 2019 Pukul 05.00 WIB
No. RM : 1068327
Koas : Mohamad Fiqih Arrachman, S.Ked dan Fadhila Khairunnisa,
S.Ked

2.2 Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis dari pasien dan alloanamnesis dari
istri pasien.
Keluhan Utama:
Badan Lemas sejak 3 hari SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak ± 3 minggu yang lalu, pasien mengeluh nyeri pada perut sebelah kanan,
nyeri hilang timbul, bab cair 3 kali dalam sehari, kotoran lebih banyak dari air, berbau
busuk, darah (-). Pasien juga mengeluh muntah >4 kali dalam sehari, muntah apa yang

7
dimakan, darah (-), demam (-). Pasien mengeluh muncul benjolan di kepala seukuran
biji kelereng, tidak nyeri, tidak merah. Semua keluhan mulai muncul setelah pasien
melakukan radioterapi yang pertama pada tanggal 24/7/2019.
Sejak ± 2 minggu yang lalu pasien mengeluh kedua tungkai mulai terasa lemah.
Keram dan nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada. Pasien masih bisa bangun dan
beraktivitas terbatas. Penurunan kesadaran tidak ada, bicara pelo dan mulut mengot
tidak ada, kejang tidak ada, pusing tidak ada, pandangan berkunang-kunang tidak ada,
demam tidak ada. Sesak saat beraktivitas tidak ada, nyeri dada tidak ada, dada terasa
terhimpit tidak ada, berdebar-debar tidak ada, badan gemetar tidak ada. Pasien masih
mengeluh nyeri pada perut sebelah kanan, nyeri hilang timbul, bab cair (+) >4 kali
sehari, kotoran lebih banyak dari air, berbau busuk, darah (-). Muntah >4 kali dalam
sehari , berisi lendir (+), darah (-). Lidah terasa pahit (+), nafsu makan menurun (+),
demam (-), BAK normal. Pasien juga mengeluh benjolan dikepala semakin membesar.
Pasien berobat ke IGD RS bari, dirawat inap sehari, lalu dipulangkan setelah
ditatalaksana dan dikatakan keluhan muncul karena efek samping dari radioterapi. Pada
saat itu pasien telah menjalani 3 kali radioterapi.
Sejak ± 1 minggu yang lalu pasien merasa lemas dan mengeluh kedua tungkai
terasa lemah apabila berjalan. Keram dan nyeri otot ada, sering kesemutan, nyeri sendi
tidak ada. Pasien kesulitan untuk bisa bangun dan beraktivitas terbatas. Penurunan
kesadaran tidak ada, bicara pelo dan mulut mengot tidak ada, kejang tidak ada, pusing
tidak ada, pandangan berkunang-kunang tidak ada, demam tidak ada. Sesak saat
beraktivitas tidak ada, nyeri dada tidak ada, dada terasa terhimpit tidak ada, berdebar-
debar tidak ada, badan gemetar tidak ada. Pasien masih mengeluh nyeri pada perut
sebelah kanan, nyeri hilang timbul, keluhan bab cair masih sama dengan sebelumnya.
Muntah >6 kali dalam sehari, berisi lendir (+), darah (-). Lidah terasa pahit (+), rasa
perih ditenggorokan (+), rasa panas di dada (+), sariawan (+) nafsu makan menurun
(+), demam (-), Pasien juga sering merasa haus sehingga minum lebih banyak dari
biasanya. BAK normal.

8
Sejak ± 3 hari SMRS pasien merasa kondisinya semakin lemas, keram,
kesemutan dan nyeri otot ada, tidak bisa makan karena sariawan, minum masih mau
tetapi sedikit, dan setiap makan dan minum dimuntahkan, frekuensi muntah >10 kali
dalam sehari, muntah berisi lendir (+), darah (-), keluhan nyeri perut pada sebelah
kanan masih ada, nyeri semakin sering muncul dari sebelumnya, nyeri hilang timbul.
Keluhan benjolan dikepala semakin membesar seukuran bola golf. Keluhan BAB cair
masih sama dengan sebelumnya. BAK lebih pekat dari biasanya. Pasien lalu dibawa ke
IGD RSMH. Pasien telah menjalani 8 kali radioterapi sebelumnya dan terakhir pada
tanggal 5/8/2019.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Adeno Ca Rektosigmoid Stadium IV
Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat kencing manis (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat keganasan dalam keluarga (-)
Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat kencing manis (-)

Riwayat Pengobatan
Campto 280 g
Kemoterapi siklus ke II seri ke 7
Radioterapi sebanyak 8 kali

Status Sosial Ekonomi:


Pasien adalah seorang buruh pabrik. Saat ini pasien tidak bekerja lagi.
Kesan : Sosial ekonomi menengah ke bawah

9
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit, isi/kualitas cukup, reguler
Pernafasan : 22 x/menit, reguler, tipe pernafasan thorako-
abdominal
Suhu : 36,6 oC
Berat Badan : 44 kg
Tinggi Badan : 156 cm
IMT : 17,8 (underweight)
VAS score : 5

Pemeriksaan Khusus
Kepala : Tampak massa di region frontalis ukuran 3x3x2 cm , warna
rambut hitam, lurus, tidak mudah dicabut, alopesia (-), chovtek
sign (-).
Mata : Mata cekung (+), Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik
(-), eksoftalmus (-), pupil isokor Ø 3 mm, reflex cahaya positif
(+/+)
Hidung : Deviasi septum nasal (-), sekret (-)
Mulut : Mukosa kering (+), stomatitis (+), lidah kering (+), atropi papil
lidah (-), chelitis (-), caries gigi (-)
Leher : JVP (5-2 cmH2O), pembesaran kelenjar getah bening (-), struma
tidak teraba

10
Pulmo (Anterior)
Inspeksi : Statis simetris, dinamis kanan=kiri, retraksi dinding dada(-/-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, kesan normal
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-).
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Pulmo (Posterior)
Inspeksi : Statis simetris, dinamis kanan = kiri, retraksi dinding dada(-/-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan bawah ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Tampak kolostomi di regio lumbal kanan, venektasi (-), spider
navi(-), caput medusa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Tegang, nyeri tekan (+) epigastrium dan lumbal kanan, hepar dan
lien sulit dinilai.
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

11
Ekstremitas
Superior : Palmar pucat (+/+), edema pretibia (-/-), kekuatan 5/4 dan 5/4,
dan inferior tremor (-)

2.3 Pemeriksaan Penunjang


A. Laboratorium
Di RSMH tanggal 13/8/2019
Hb : 11 g/dL
Ht : 29 %
Leukosit : 12.320/mm3
Trombosit : 242.000/mm3
DC : 0/0/91/2/7
BSS : 118 mg/dl
MCV : 73,3
MCH : 28
MCHC : 38
Ureum : 261 mg/dl
Kreatinin : 4.21 mg/dl
Natrium : 123 mEq/l
Kalium : 2.6 mEq/l
Kalsium : 7.8 mg/dL
Kesan :
Anemia, Hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia, peningkatan ureum dan kreatinin.

12
B. EKG RSMH

Irama sinus, aksis normal, HR 82 kali/menit, , gelombang P normal, PR interval 0,16


detik, QRS kompleks 0,08 detik, R/S di V1< 1, S di V1 + R di V5/6 < 35, ST-T change
(-), gelombang U (+)
Kesan: Suspek Hipokalemia

2.5 Diagnosis Sementara


Dehidrasi derajat ringan sedang + Hipokalemia + Hipokalsemia + Hiponatremia ec.
Low intake + AKI Stage III + Adeno Ca Rectosigmoid
Diagnosis Banding
- Dehidrasi derajat ringan sedang + Hipokalemia + Hipokalsemia +
Hiponatremia ec. Gastrointestinal loss + CKD + Adeno Ca Rectosigmoid
- Dehidrasi derajat ringan sedang + Hipokalemia + Hipokalsemia +
Hiponatremia ec. Renal loss + CKD + Adeno Ca Rectosigmoid

2.6 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad malam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

13
2.7 Rencana pemeriksaan
 Ro thorax PA
 Pemeriksaan urinalisa
 Analisa gas darah, albumin
 Cek apusan darah tepi
 Cek feses rutin

2.8 Tatalaksana
Non Farmakologis :
 Istirahat
 Diet bubur (protein: 50 mg)
 Edukasi
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya, tentang kegiatan apa
saja yang sebaiknya boleh dan tidak boleh dilakukan pasien selama perawatan di
rumah sakit, tentang pentingnya mematuhi instruksi dari dokter dan paramedis,
serta prognosis berkenaan dengan penyakitnya.

Farmakologis :
 Rehidrasi: IVFD NaCl 0,9% 5 kolf/24 jam gtt XXXV/menit
 KCl 1 flash dalam NaCl 0,9% 500 cc/24 jam gtt XX/menit
 Inj. Ca glukonas 10% 1 gr dalam Nacl 0,9% 10 cc
 Inj. Ondancentron 3x4 mg iv
 Inj. Omeprazole 1x20 mg po

2.9 Follow Up
Tanggal 14 Agustus 2019
S Badan lemas, muntah (-)
O

14
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 120/70 mmHg
Nadi 84 x/menit

Pernapasan 20 x/ menit
Temperatur 36,5 oC

Keadaan spesifik
Kepala Tampak massa di region frontalis ukuran 3x3x2
cm, mata cekung (+), konjungtiva palpebra pucat (-
), sklera ikterik (-).

Mulut Mukosa lidah kering (+), stomatitis (+), atropi papil


(-)

Leher JVP (5-2) cm H2O


Pembesaran KGB (-)

Thorax:
Paru Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi:
Batas jantung atas ICS II linea midclavicularis
sinistra
Batas kanan bawah ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur
(-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi: Datar, tampak kolostomi (+)


Palpasi: Lemas, nyeri tekan (+) di lumbal dextra,
hepar dan lien sulit diraba
Perkusi: Timpani
Auskultasi: Bising usus (+) normal

15
Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Akral hangat (+), palmar pucat (-), edema(-)

A DLI derajat ringan-sedang (perbaikan) + imbalance


elektrolit + AKI Stage III + adeno ca rectosignmoid

P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet bubur (protein: 50 mg)
 Edukasi
 Cek ulang elektrolit

Farmakologis
 IVFD Kidmin:asering 1:2 gtt XX/m
 Inj. Ca glukonas 3x1 gr

Tanggal 17 Agustus 2019


S Badan lemas, mual (+), muntah (-)
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 82 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,7 oC

Keadaan spesifik Tampak massa di region frontalis ukuran 3x3x2


Kepala cm, mata cekung (-), konjungtiva palpebra pucat (-
), sklera ikterik (-).

Mulut Mukosa lidah kering (+), stomatitis (+), atropi papil


(-)

Leher JVP (5-2) cm H2O


Pembesaran KGB (-)

Thorax:
Paru Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri

16
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi:
Batas jantung atas ICS II linea midclavicularis
sinistra
Batas kanan bawah ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur
(-), gallop (-)

Inspeksi: Datar, tampak kolostomi (+)


Abdomen Palpasi: Lemas, nyeri tekan (+) di lumbal dextra,
hepar dan lien sulit diraba
Perkusi: Timpani
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Tidak diperiksa
Genitalia
Akral hangat (+), palmar pucat (-), edema(-)
Ekstremitas
A DLI derajat ringan-sedang (perbaikan) + imbalance
elektrolit + AKI Stage III+ adeno ca rectosignmoid

P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet bubur (protein: 50 mg)
 Edukasi
 Cek ulang elektrolit

Farmakologis
 IVFD Kidmin:asering 1:2 gtt XX/m
 Inj. Ca glukonas 3x1 gr
 Asam folat 3x1 gr PO
 Neurodex 1x1 tab PO
 Lansoprazole 1x30 g IV
 Metoclopramid 3x10 g IV

17
 Analgesic 3x 10 mg
 Nystatin drop 4x1 cc

Tanggal 19 Agustus 2019


S Badan lemas, mual (+), muntah (-)
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 88 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,9 oC

Keadaan spesifik Tampak massa di region frontalis ukuran 3x3x2


Kepala cm, mata cekung (-), konjungtiva palpebra pucat (-
), sklera ikterik (-).

Mulut Mukosa lidah kering (-), stomatitis (+), atropi papil


(-)

Leher JVP (5-2) cm H2O


Pembesaran KGB (-)

Thorax:
Paru Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi:
Batas jantung atas ICS II linea midclavicularis
sinistra
Batas kanan bawah ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur
(-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi: Datar, tampak kolostomi (+)

18
Palpasi: Lemas, nyeri tekan (+) di lumbal dextra,
hepar dan lien sulit diraba
Perkusi: Timpani
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Tidak diperiksa
Genitalia
Akral hangat (+), palmar pucat (-), edema(-)
Ekstremitas

Laboratorium 173
Ureum 4,32
Kreatinin 8,0
Ca 128
Na 1,8
K
A Adeno ca rectosigmoid + Hiponatremia +
Hipokalemia + Hipokalsemia + AKI Stage III

P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet bubur (protein: 50 mg)
 Edukasi
 Cek ulang elektrolit

Farmakologis
 IVFD Kidmin:asering 1:2 gtt XX/m
 Inj. Ca glukonas 3x1 gr
 Asam folat 3x1 gr PO
 Neurodex 1x1 tab PO
 Lansoprazole 1x30 g IV
 Metoclopramid 3x10 g IV -> Stop
 Analgesic 3x 10 mg
 Nystatin drop 4x1 cc
 Drip KCL 25 mEq dalam 500 cc Nacil
0,9% habis dalam 8 jam, 3x pemberian

Tanggal 22 Agustus 2019


S Badan lemas, mual (+), muntah (-)

19
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 80 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,6 oC

Keadaan spesifik Tampak massa di region frontalis ukuran 3x3x2


Kepala cm, mata cekung (-), konjungtiva palpebra pucat (-
), sklera ikterik (-).

Mulut Mukosa lidah kering (-), stomatitis (+), atropi papil


(-)

Leher JVP (5-2) cm H2O


Pembesaran KGB (-)

Thorax:
Paru Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi:
Batas jantung atas ICS II linea midclavicularis
sinistra
Batas kanan bawah ICS V linea sternalis dextra
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur
(-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi: Datar, tampak kolostomi (+)


Palpasi: Lemas, nyeri tekan (+) di lumbal dextra,
hepar dan lien sulit diraba
Perkusi: Timpani
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

20
Ekstremitas Akral hangat (+), palmar pucat (-), edema(-)

A Adeno ca rectosigmoid + Hiponatremia +


Hipokalemia + Hipokalsemia + AKI Stage III

P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet bubur (protein: 50 mg)
 Edukasi
 Cek ulang elektrolit
 Konsul kebagian nefrologi

Farmakologis
 IVFD Kidmin:asering 1:2 gtt XX/m
 Inj. Ca glukonas 3x1 gr
 Asam folat 3x1 gr PO
 Neurodex 1x1 tab PO
 Lansoprazole 1x30 g IV
 Metoclopramid 3x10 g IV -> Stop
 Analgesic 3x 10 mg
 Nystatin drop 4x1 cc
 Drip KCL 25 mEq dalam 500 cc Nacil
0,9% habis dalam 8 jam, 3x pemberian

21
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Dehidrasi
Dehidrasi adalah keadaan di mana berkurangnya volume air saja atau
berkurangnya air jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel atau
keluarnya cairan hipotonik berlebihan dari ekstrasel yang mengakibatkan peningkatan
natrium di ekstrasel (hipernatremia). Hipernatremia meningkatkan tonisitas cairan
ekstrasel sehingga air dari intrasel keluar ke ekstrasel (volume cairan intrasel berkurang
dan volume cairan ekstrasel relatif tetap). Dehidrasi melibatkan pengurangan cairan
intra dan ekstrasel secara bersamaan di mana 40% dari cairan yang hilang berasal dari
ekstrasel dan 60% berasal dari intrasel.
Dehidrasi dinilai berdasarkan keadaan klinis dan tanda vital seperti pada tabel
1. Dan diklasifikasikan menjadi tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan-sedang, dan dehidrasi
berat berdasarkan skor yang didapatkan dari penilaian. Klasifikasi dehidrasi ini penting
adanya untuk mengetahui deficit cairan dalam % BB dan deficit cairan dalam
mL/kgBB sehingga dapat ditentukan kebutuhan cairan dari dehidrasi yang dialami
seperti pada tabel 2.

Tabel 1. Penilaian derajat dehidrasi

22
Tabel 2. Defisit cairan pada dehidrasi

Evaluasi dan penatalaksanaan dehidrasi berdasarkan CDC AS 2008:


 Dehidrasi minimal (kekurangan cairan <3% dari kebutuhan normal/berat
badan):
- Kebutuhan cairan= 103/100x30-40 ml/kBB/hari atau
- Kebutuhan cairan= Pengeluaran (feses+ IWL (10%BB)) + 30-40 ml/kgBB/hari
 Dehidrasi ringan-sedang (kekurangan cairan 3-9% dari kebutuhan normal/berat
badan):
- Kebutuhan cairan= 109/100x30-40 ml/kBB/hari atau
- Kebutuhan cairan= Pengeluaran (feses+ IWL (10%BB)) + 30-40 ml/kgBB/hari
 Dehidrasi berat (kekurangan cairan >9% dari kebutuhan normal/berat badan):
- Kebutuhan cairan= 112/100x30-40 ml/kBB/hari atau
- Kebutuhan cairan= Pengeluaran (feses+ IWL (10%BB)) + 30-40 ml/kgBB/hari

a. Cairan tubuh total


Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan. Bayi prematur jumlahnya
sebesar 80% dari berat badan; bayi normal sebesar 70-75% dari berat badan, sebelum
pubertas sebesar 65%-70% dari berat badan; orang dewasa sebesar 50-60% dari berat
badan. Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dari pada kandungan air di
dalam sel otot, sehingga cairan tubuh total pada orang yang gemuk (obes) lebih rendah
dari mereka yang tidak gemuk. Cairan dalam tubuh dibagi dalam dua kompartemen
utama yaitu cairan ekstrasel dan cairan intrasel. Volume cairan intrasel sebesar 60%

23
dari cairan tubuh total atau sebesar 36% dari berat badan pada orang dewasa. Volume
cairan ekstrasel sebesar 40% dari cairan tubuh total atau sebesar 24% dari berat badan
pada orang dewasa.
Cairan ekstrasel dibagi dalam dua subkompartemen yaitu cairan interstisium
sebesar 30% dari cairan tubuh total atau 18% dari berat badan pada orang dewasa dan
cairan intravaskular (plasma) sebesar 10% dari cairan tubuh total atau 6% dari berat
badan pada orang dewasa (Gambar 1). Cairan ekstrasel dan cairan intrasel dibatasi oleh
membran sel (lipid-soluble), merupakan membran semipermeabel yang bebas dilewati
oleh air akan tetapi tidak bebas dilewati oleh solut yang ada di kedua kompartemen
tersebut kecuali urea. Cairan interstisium dan cairan intravaskular dibatasi oleh
membran permeabel yang bebas dilewati oleh air dan solut kecuali Albumin. Albumin
hanya terdapat di intravascular.
Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solut berupa kation dan
anion (elektrolit) yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel.
Ada dua kation yang penting, yaitu natrium dan kalium, keduanya mempengaruhi
tekanan osmotik cairan ekstrasel dan intrasel dan langsung berhubungan dengan fungsi
sel. Kation dalam cairan ekstrasel adalah natrium (kation utama), kalium, kalsium, dan
magnesium. Untuk menjaga netralitas (elektronetral), di dalam cairan ekstrasel terdapat
anion-anion seperti klorida, bikarbonat dan albumin. Kation utama dalam cairan
intrasel adalah kalium dan sebagai anion utama adalah fosfat.

24
Gambar 1. Cairan total tubuh dengan kompartemen intrasel dan ekstrasel

b. Gangguan Keseimbangan Air


Gangguan keseimbangan air dalam topik ini adalah ketidakseimbangan antara air
yang masuk ke dalam dan air yang ke luar dari tubuh, ketidakseimbangan antara cairan
intra dan ekstrasel serta ketidakseimbangan antara cairan interstisium dan
intravaskular. Ketidakseimbangan ini khususnya antara intra dan ekstrasel atau antara
interstisium dan intravaskular, sangat dipengaruhi oleh osmolalitas efektif atau tekanan
osmotik (tonisitas). Osmolalitas adalah perbandingan antara jumlah solut dalam
mmol/L dan air dalam kgH20. Solut-solut yang mempengaruhi osmolalitas dalam
tubuh adalah natrium, kalium, glukosa dan urea.
Natrium, kalium, dan glukosa disebut sebagai solut atau osmol yang efektif, karena
mempengaruhi tekanan osmotik. Makin tinggi osmolalitas solut efektif, maka makin
tinggi tekanan osmotik (tonisitas). Urea mempengaruhi osmolalitas akan tetapi tidak
berpengaruh terhadap tekanan osmotik oleh karena urea memiliki kemampuan untuk
menembus membran sel (lipid-soluble) berpindah bebas dari intrasel ke ekstrasel atau
sebaliknya, sehingga urea disebut sebagai solut atau osmol yang tidak efektif
(ineffective-osmole). Berpindahnya air dari intrasel ke ekstrasel atau sebaliknya,
dipengaruhi oleh perbedaan tekanan osmotik (tonisitas).

25
Air akan berpindah dari daerah yang tonisitas/tekanan osmotik lebih rendah ke
daerah dengan tonisitas/tekanan osmotik lebih tinggi. Dalam keadaan normal maka
osmolalitas cairan intrasel adalah sama dengan osmolalitas cairan ekstrasel.
Kandungan air di intrasel lebih banyak oleh karena jumlah kalium total dalam tubuh
lebih besar dari jumlah natrium total dalam tubuh. Natrium, kalium, glukosa bebas
berpindah antar interstisium dan intravaskular (plasma), sehingga ketiga osmol ini
tidak berpengaruh terhadap perpindahan air dari intersisium ke dalam plasma atau
sebaliknya.
Protein dalam plasma yaitu albumin tidak mudah berpindah dari intravaskular ke
dalam cairan interstisium sehingga albumin adalah osmol utama yang mempengaruhi
tekanan osmotik (tonisitas) di intravaskular. Tekanan osmotik dalam plasma ini disebut
juga sebagai tekanan onkotik dalam plasma. Berpindahnya air dari intravaskular ke
interstisium atau sebaliknya sangat dipengaruhi oleh kadar albumin dalam plasma.

3.2 Elektrolit
Elektrolit adalah senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi partikel
yang bermuatan (ion) positif atau negatif. Ion bermuatan positif disebut kation dan ion
bermuatan negatif disebut anion. Keseimbangan keduanya disebut sebagai
elektronetralitas. Proses metabolisme memerlukan dan dipengaruhi oleh elektrolit.
Konsentrasi elektrolit yang tidak normal dapat menyebabkan banyak gangguan.
Pemeliharaan homeostasis cairan tubuh adalah penting bagi kelangsungan hidup semua
organisme.
Pemeliharaan tekanan osmotik dan distribusi beberapa kompartemen cairan
tubuh manusia adalah fungsi utama empat elektrolit mayor, yaitu natrium (Na+),
kalium (K+), klorida (Cl-), dan bikarbonat (HCO3-). Pemeriksaan keempat elektrolit
mayor tersebut dalam klinis dikenal sebagai ”profil elektrolit”. Cairan tubuh terdiri dari
air dan elektrolit. Cairan tubuh dibedakan atas cairan ekstrasel dan intrasel. Cairan
ekstrasel meliputi plasma dan cairan interstisial.

26
3.2.1 Fisiologi Natrium
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa mencapai
60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10- 14 mEq/L) berada
dalam cairan intrasel. 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam
yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan
natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan
ekstrasel menggambarkan perubahan konsentrasi natrium.
Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial disebabkan oleh
keseimbangan GibbsDonnan, sedangkan perbedaan kadar natrium dalam cairan
ekstrasel dan intrasel disebabkan oleh adanya transpor aktif dari natrium keluar sel
yang bertukar dengan masuknya kalium ke dalam sel (pompa Na+ K +). Kadar natrium
dalam cairan ekstrasel dan cairan intrasel dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kadar natrium dalam ekstrasel dan intrasel

Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara natrium


yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang berasal dari diet
melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan pengeluarannya melalui

27
ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit. Pemasukan dan pengeluaran natrium
perhari mencapai 48-144 mEq.
Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang dari
10%. Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna bagian
atas hampir mendekati cairan ekstrasel, natrium direabsorpsi sebagai cairan pada
saluran cerna bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses hanya
mencapai 40 mEq/L. Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan klorida.
Kandungan natrium pada cairan keringat orang normal rerata 50 mEq/L. Jumlah
pengeluaran keringat akan meningkat sebanding dengan lamanya periode terpapar pada
lingkungan yang panas, latihan fisik dan demam.
Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini
dilakukan untuk mempertahankan homeostasis natrium. Natrium difiltrasi bebas di
glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus proksimal bersama dengan
H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi di lengkung henle
(25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi natrium di urine
<1%. Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi natrium bersama air
secara pasif dan mensekresi kalium pada isstem renin-angiotensin-aldosteron untuk
mempertahankan elektroneutralitas.
Nilai Rujukan Natrium pada:
- serum bayi : 134-150 mmol/L
- serum anak dan dewasa : 135-145 mmol/L
- urine anak dan dewasa : 40-220 mmo l/24 jam
- cairan serebrospinal : 136-150 mmol/L
- feses : kurang dari 10 mmol/hari

 Gangguan keseimbangan natrium


Hiponatremia, didefinisikan sebagai kadar natrium plasma <135 mmol/L,
merupakan gangguan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit yang paling sering

28
ditemukan dalam praktik klinis 15-20% perawatan kegawatdaruratan di rumah sakit,
mengenai hamper 20% pasien yang berada dalam kondisi kritis, manifestasnya luas
dari tidak bergejala sampai kondisi yang dapat mengancam nyawa.
Respons fisiologis dari hiponatremia (osmolalitas plasma rendah, kurang dari
290 mosm/kg H20) adalah tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga
ekskresi urin meningkat oleh karena saluran air (AQP2) di bagian apikal duktus
koligentes berkurang (osmolalitas urin rendah, kurang dari 100 mosm/kg H20).

 Penyebab hiponatremia
Kehilangan natrium klorida pada cairan ekstrasel atau penambahan air yang
berlebihan pada cairan ekstrasel akan menyebabkan penurunan konsentrasi natrium
plasma.
Hiponatremia terjadi bila :
a). Jumlah asupan air melebihi kemampuan ekskresi,
b). Ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melalui
saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH (syndrome of
inappropriate ADHsecretion).
Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi hipoosmotik seperti
pada keadaan berkeringat selama aktivitas berat yang berkepanjangan, berhubungan
dengan penurunan volume cairan ekstrasel seperti diare, muntah-muntah, dan
penggunaan diuretik secara berlebihan.
Hiponatremia juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit ginjal yang menyebabkan
gangguan fungsi glomerulus dan tubulus pada ginjal, penyakit addison, serta retensi air
yang berlebihan (overhidrasi hipo-osmotik) akibat hormon antidiuretik. Kepustakaan
lain menyebutkan bahwa respons fisiologis dari hiponatremia adalah tertekannya
pengeluaran ADH dari hipotalamus (osmolaritas urine rendah). Pseudohiponatremia
dapat dijumpai pada penurunan fraksi plasma, yaitu pada kondisi hiperlipidemia dan

29
hiperkolesterolemia, hiperproteinemia dan hiperglikemia serta kelebihan pemberian
manitol dan glisin.
Berdasarkan prinsip di atas maka hiponatremia dapat dikelompokkan atas :
a. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah serta ADH meningkat Pada
keadaan ini terjadi gangguan pemekatan di nefron sehingga osmolalitas urin
meningkat, lebih dari 100 mosm/kg H20.
ADH yang meningkat oleh karena deplesi volume sirkulasi efektif seperti pada :
muntah, diare, pendarahan, jumlah urin meningkat, pada gagal jantung, sirosis hati,
insufisiensi adrenal, hipotiroidisme. ADH yang meningkat pada SIADH.
b. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah serta ADH tertekan fisiologis.
Pada keadaan ini tidak ada gangguan pemekatan di nefron sehingga osmolalitas urin
rendah, kurang dari 100 mosm/kg H20. Polidipsia primer atau gagal ginjal merupakan
keadaan di mana ekskresi air lebih rendah dibanding dengan asupan air yang
menimbulkan respons fisiologis menekan sekresi ADH.
c. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau tinggi. Tingginya
osmolalitas plasma pada keadaan hiperglikemi atau pemberian manitol intra vena
menyebabkan air intrasel keluar dari sel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel yang
menyebabkan hiponatremia. Pemberian cairan isoosmotik tidak mengandung natrium
ke dalam cairan ekstrasel dapat menimbulkan hiponatremia disertai osmolalitas plasma
normal.
Pseudohiponatremia merupakan keadaan hiperlipidemia atau hiperproteinemia dimana
menyebabkan volume air plasma berkurang. Jumlah natrium tetap,osmolalitas normal
akan tetapi secara total dalam cairan intravaskular kadar natrium jadi berkurang.
Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah serta ADH meningkat, dapat dibagi
dalam :
- Volume sirkulasi efektif turun. Na keluar berlebihan dari tubuh.
1). Melalui ginjal: diuretik akut, renal salt wasting, muntah akut, hipoaldosteron.
2). Melalui non- ginjal: diare, dan muntah lama.
- Peningkatan volume air bebas elektrolit (hipervolemia).

30
1). gagal jantung.
2). sirosis hati
3).hipoalbuminemia
- Volume sirkulasi efektif tidak turun.
1). SIADH
2). Adrenal insufisiensi.
3). Hipotiroidism

Klasifikasi
a. Berdasarkan derajat berat nilai biokimiawi
 Ringan: temuan biokimia kadar plasma antara 130-135 mmol/L yang diukur
dengan ion elektroda khusus
 Sedang: temuan biokimia dari kadar natrium plasma antara 125-129 mmol/L yang
diukur dengan elektroda khusus
 Berat: temuan biokimia dari kadar natrium plasma antara <125 mmol/L yang
diukur dengan elektroda khusus

b. Berdasarkan waktu terjadinya


 Akut: jika hyponatremia ditemukan terjadi dalam <48 jam
 Kronik: jika hyponatremia ditemukan terjadi dalam sekurang-kurangnya 48 jam.
Jika tidak dapat diklasifikasikan, dianggap sebagai kronik, kecuali bukti klinis maupun
anamnesis dapat ditemukan.

c. Berdasarkan gejala
 Bergejala sedang: setiap derajat gangguan biokimia dari hyponatremia yang
ditandai dengan gejala hyponatremia yang cukup berat.
 Bergejala berat: setiap derajat gangguan biokimia dari hyponatremia yang
ditandai dengan gejala hyponatremia yang berat.

31
Tabel 4. Gejala hiponatremia

Tatalaksana Hiponatremia
Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari sebab terjadinya
hiponatremia dengan cara anamnesis yang teliti (antara lain riwayat muntah,
penggunaan diuretis, penggunaan manitol). Pemeriksaan fisis yang teliti (antara lain
apakah ada tanda tanda hipovolemi atau bukan), Pemeriksaan gula darah, lipid darah.
Pemeriksaan osmolalitas darah (antara lain osmolalitas rendah atau tinggi)
Pemeriksaan osmolalitas urin atau dapat juga dengan memeriksa BJ (berat jenis) urin
(interpretasi terhadap adakah ADH yang meningkat atau tidak, gangguan pemekatan)
Pemeriksaan natrium, kalium dan klorida dalam urin untuk melihat Jumlah ekskresi
elektrolit dalam urin.
Langkah selanjutnya adalah melakukan pengobatan yang tepat sasaran. Tanda
atau penyakit lain yang menyertai hiponatremia perlu dikenali (hipovolemia, dan
hipervolemia seperti pada gagal jantung, gagal ginjal). Koreksi Na dilakukan secara
cepat dengan pemberian larutan natrium hipertonik intravena untuk hiponatremi akut.
Kadar natrium plasma dinaikkan sebanyak 5 meq/L dari kadar natrium awal dalam
waktu 1 jam. Kadar natrium plasma dinaikkan sebesar 1 meq/L setiap 1 jam sampai
kadar natrium darah mencapai 130 meq/L.
Rumus yang dipakai untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium
hipertonik yang diberikan adalah 0,5 x Berat Badan (kg) x delta Na. Delta natrium

32
adalah selisih antara kadar natrium yang diinginkan denga kadar natrium awal.
Hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan yaitu sebesar 0,5 meq/L
setiap 1 Jam, maksimal 10 meq/L dalam 24 jam. Bila delta Na sebesar 8 meq/L,
dibutuhkan waktu pemberian selama 16Jam. Rumus yang dipakai adalah sama dengan
di atas. Natrium yang diberikan dapat dalam bentuk natrium hipertonik intravena atau
natrium oral.

3.2.2 Fisiologi Kalium


Kalium, kation intraselular terpenting, sangat penting untuk kehidupan organisme
dan dapat diperoleh secara mencukupi lewat makanan sehari-hari. Penyerapan kalium
dari saluran cerna sangat baik dan menghasilkan kelebihan asupan sekitar 1 mEq/kg/24
jam (60-100 mEq). 90% kalium yang berlebih diekskresikan lewat ginjal dan 10%
lewat saluran cerna. Keseimbangan kalium dipertahankan terutama lewat regulasi
ekskresi ginjal. Lokasi regulasi paling penting berada di duktus koledokus, di mana
terdapat reseptor aldosteron.13
Ekskresi kalium ditingkatkan oleh aldosteron, peningkatan hantaran natrium ke
duktus koledokus (seperti pada penggunaan diuretik), aliran urin (diuresis osmotik) dan
kadar kalium darah tinggi serta juga hantaran ion-ion negatif ke dalam duktus
koledokus (misal bikarbonat). Ekskresi diturunkan oleh ketiadaan relatif atau absolut
aldosteron, hantaran natrium ke duktus koledokus, aliran urin dan kadar kalium darah
rendah serta juga gagal ginjal.

a. Hipokalemia
Hipokalemia dapat disebabkan oleh :4-7
1. Penurunan asupan kalium
Asupan kalium normal berkisar antara 40-120 mEq per hari, kebanyakan
diekskresikan kembali di dalam urin.
2. Peningkatan laju kalium masuk ke dalam sel
a. Peningkatan pH ekstraselular
b. Peningkatan jumlah insulin

33
c. Peningkatan aktivitas beta adrenergik
d. Tirotoksikosis
e. Intoksikasi teofilin
f. Intoksikasi barium
g. Intoksikasi klorokuin

3. Peningkatan kehilangan gastrointestinal


Kehilangan sekresi gastrik atau intestinal dari penyebab apapun (muntah, diare,
laksatif) dikaitkan dengan kehilangan kalium dan kemungkinan hipokalemia.
Konsentrasi kalium pada kehilangan kalium saluran cerna bawah cukup tinggi (20-
50 mEq/L) pada sebagian besar kasus.
Hipokalemia oleh karena kehilangan saluran cerna bagian bawah paling sering
terjadi, seperti pada adenoma vilosa atau tumor pensekresi peptida intestinal
vasoaktif (VIPoma). Subyek normal biasanya mendapatkan asupan kalium sekitar
80 mEq per hari. Ekskresi kalium normal harus turun di bawah 15-25 mEq/hari
pada keadaan defisit kalium. oleh karenanya, kehilangan faeses (biasanya sekitar
10 mEq/hari) harus melewati 55-65 mEq/hari untuk dapat menginduksi
hipokalemia.

4. Peningkatan kehilangan urin


a. Diuretik
b. Kelebihan mineralokortikoid primer
c. Hiperaldosteronisme primer
d. Sindrom Liddle
e. Penyakit Cushing
f. Renal tubular asidosis tipe I dan tipe II
g. Sindroma Barrter dan Gittleman
h. Defisiensi magnesium

34
Manifestasi klinik hipokalemia
Derajat manifestasi cenderung seimbang dengan keberatan dan lama hipokalemia.
Gejala biasanya tidak timbul sampai kadar kalium berada di bawah 3,0 mEq/L, kecuali
kadar kalium turun secara cepat atau pasien tersebut mempunyai faktor-faktor yang
memperberat seperti kecenderungan aritmia karena penggunaan digitalis. Gejala
biasanya membaik dengan koreksi hipokalemia.4-9
Kelemahan otot berat atau paralisis, kelemahan otot biasanya tidak timbul pada
kadar kalium di atas 2,5 mEq/L apabila hipokalemia terjadi perlahan. Kelemahan yang
signifikan dapat terjadi dengan penurunan tiba-tiba, seperti pada paralisis hipokalemik
periodik, meskipun penyebab kelemahan pada keadaan ini mungkin lebih kompleks.
Hipokalemia juga dapat menyebabkan hal berikut ini: kelemahan otot pernapasan yang
dapat begitu berat sampai menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian.
Keterlibatan otot-otot pencernaan, menyebabkan ileus dan gejala-gejala yang
diakibatkannya seperti distensi, anoreksia, nausea dan vomitus.
Aritmia kardiak dan kelainan EKG, beberapa tipe aritmia dapat dilihat pada
pasien dengan hipokalemia. kelainan ini termasuk denyut atrial dan ventrikel prematur,
bradikardia sinus, takikardia atrial atau junctional paroksismal, blok atrioventrikular
sampai kepada takikardi atau fibrilasi ventrikel. Hipokalemia menghasilkan
perubahan-perubahan karakteristik pada EKG. Ditemukan depresi segmen ST,
penurunan amplitudo gelombang T dan peningkatan amplitudo gelombang U yang
timbul setelah akhir gelombang T. Gelombang U seringkali dapat dilihat pada lead
prekordial V4 sampai V6.
Rhabdomiolisis, penurunan kadar kalium berat (kurang dari 2,5 mEq/L) dapat
menyebabkan keram otot, rhabdomiolisis dan mioglobinuria. Pelepasan kalium dari sel
otot secara normal menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan aliran darah
ke otot selama olah raga. Penurunan pelepasan kalium oleh karena hipokalemia berat
dapat menurunkan aliran darah ke otot sebagai respons olah raga.
Kelainan ginjal, hipokalemia dapat menginduksi beberapa kelainan ginjal yang
kebanyakan dapat dipulihkan dengan perbaikan kadar kalium seperti gangguan

35
kemampuan konsentrasi urin (dapat timbul sebagai nokturia, poliuria dan polidipsia),
peningkatan produksi amonia renal oleh karena asidosis intraselular, peningkatan
reabsorpsi bikarbonat renal dan juga nefropati hipokalemik.

Diagnosis hipokalemia
Diagnosis ditegakkan dari menilai ekskresi kalium urin untuk membedakan
kehilangan pada saluran cerna dan kehilangan melalui urin. Kalium urin diperiksa
dengan cara mengumpulkan urin selama 24 jam. Bila kalium urin kurang dari 20
mmol/hari, menandakan bahwa adanya intake yang kurang, intracellular shift, atau
kehilangan kalium melalui saluran gastrointestinal.4-9
Penilaian terhadap status asam basa untuk membantu menyingkirkan diagnosis
banding. Apabila didapatkan adanya alkalosis metabolik, langkah selanjutnya adalah
pemeriksaan terhadap klorida urin. Apabila didapatkan kadar klorida urin kurang dari
20 mEq/L maka penyebabnya adalah akibat diuretic atau muntah. Jika kalium urin
lebih dari 20 mEq/L, maka langkah selanjutnya adalah mengukur tekanan darah
penderita.
Tekanan darah yang tinggi mengarahkan kita pada suatu kelaian seperti
aldosteronisme, sindrom cushing, atau sindrom Liddle. Tekanan darah yang normal
atau cenderung turun, akan mengarahkan diagnosis ke sindrom Bartter atau sindrom
Gittelman. Untuk membedakan keduanya dilakukan pemeriksaan magnesium serum
dan kalsium urin.

Tatalaksana hipokalemia
Indikasi koreksi kalium dapat dibagi dalam:
a. Indikasi Mutlak, pemberian kalium mutlak segera diberikan yaitu pada keadaan;
1) pasien sedang dalam pengobatan digitalis,
2) pasien dengan ketoasidosis diabetik,
3) pasien dengan kelemahan otot pernapasan,
4) pasien dengan hipokalemia berat (K < 2 meq/L).

36
b. Indikasi Kuat, kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu pada
keadaan;
1). insufisiensi koroner/ iskemia otot jantung,
2). ensefalopati hepatikum,
3). pasien memakai obat yang dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstrasel
ke intrasel.
c. Indikasi Sedang, pemberian kalium tidak perlu segera seperti pada; hipokalemia
ringan (K antara 3-3,5 meq/L) Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral
oleh karena lebih mudah. Pemberian 40 - 60 meq dapat menaikkan kadar kalium
sebesar 1-1,5 meq/L, sedang pemberian 135- 160 meq dapat menaikkan kadar kalium
sebesar 2,5-3,5 meq/L. Pemberian kalium intravena dalam bentuk larutan KCI
disarankan melalui vena yang besar dengan kecepatan 1020 meq/jam.
Keadaan aritmia yang berbahaya atau kelumpuhan otot pernapasan
ditatalaksana dengan pemberian KCL kecepatan 40-100 meq/jam. KCI dilarutkan
sebanyak 20 meq dalam 100 cc NaCI isotonik. KCI maksimal 60 meq dilarutkan dalam
NaCI isotonik 1000 cc diberikan melalui vena perifer.

3.2.3 Hipokalsemia
Hipokalsemia adalah penurunan kadar kalsium serum yang dapat terjadi pada
beberapa keadaan, seperti hipoparatiroidisme, defisiensi vitamin D, gangguan
metabolism vitamin D, hypomagnesemia dan gagal ginjal akut atau kronik.
hipokalsemia dengan kadar PTH yang rendah dan hipokalsemia dengan kadar PTH
tinggi.
 Tanda dan gejala
Gejala hipokalsemia utama merupakan peningkatan iritabilitas neuromuskuler yang
dapat bermanifestasi seperti kesemutan pada ujung-ujung jari dan sekitar mulut.
Ditemukan tanda-Chovstek atau tanda Trousseau. Gejala hipokalsemia lain adalah
kejang otot yang mengenai pinggang, tungkai, kaki, pada keadaan yang berat dapat

37
timbul spasme karpopedal spontan, laringospasme atau bronkospasme, sampai kejang-
kejang umum.
 Penunjang
Pada hipokalsemia dilakukan pemeriksaanlaboratorium berupa Ca total serum, ion
Ca, fosfat, Magnesium, alkali fosfatase, elektrolit, ureum, kreatinin, albumin, globulin,
ca urin 24 jam, PTH atas indikasi. Pada EKG dapat didapatkan interval QT memanjang,
yang reversible setelah hipokalsemia di koreksi.
 Terapi farmakologi
a. Ca glukonal 1-2 gram dalam 500 ml dextrose 5%, di drip IV selama 30-60 menit,
dapat diulang tiap 6 jam sampai kadar Ca total 7 mg/dL. Kadar ca total
dipertahankan sampai 8-8,5 mg/dL untuk mencegah hiperkalsiuria
b. Ergokalsiferol 50000-100000 IU/ hari peroral atau kalsitriol 0,25-2,0 µg/hari
c. Koreksi hypomagnesemia
d. Koreksi hypoalbuminemia

3.3 Acute Kidney Injury

Definisi Acute Kidney Injury (AKI) telah berkembang dari istilah lama gagal ginjal
akut menjadi satu kesatuan kriteria yang menggabungkan perubahan kecil dalam
kreatinin dan produksi urin yang akhirnya menentukan AKI. Definisi pertama AKI
yaitu Risk, Injury, Failure, Loss of kidney function and End-stage kidney disease
(RIFLE), ditetapkan pada tahun 2004. Klasifikasi Acute Kidney Injury Network
(AKIN), juga dikenal sebagai ‘modifikasi RIFLE’, telah ditetapkan pada tahun 2007.
Klasifikasi RIFLE dan AKIN telah digabungkan ke dalam klasifikasi Kidney Disease:
Improving Global Outcomes (KDIGO) untuk memberikan kriteria yang lebih
sederhana dan lebih terintegrasi yang berlaku dalam kegiatan klinis, penelitian, dan
pengawasan kesehatan masyarakat.

38
Tabel 5. Definisi AKI berdasarkan RIFLE, AKIN, KDIGO

AKI berdasarkan kriteria KDIGO dengan demikian didefinisikan sebagai AKI


yang terjadi dalam waktu satu minggu setelah operasi dengan criteria sebagai berikut.
Tahap 1: peningkatan kreatinin serum (SCr) dengan ≥ 0,3 mg / dl (≥ 26,5 μmol / l)
dalam waktu 48 jam; atau peningkatan SCr menjadi ≥ 1,5 kali dari nilai dasar, yang
diketahui atau diduga telah terjadi dalam 7 hari sebelumnya; atau volume urin <0,5 ml
/ kg / jam selama 6 jam. Tahap 2: peningkatan sCr menjadi 2,0–2,9 kali dari baseline
atau output urin <0,5 ml / kg / jam selama ≥12 jam. Tahap 3: 3 kali peningkatan sCr
dari awal atau ≥4,0 mg / dl (≥353,6 µmol / l) peningkatan sCr atau inisiasi RRT, atau
output urin <0,3 ml / kg / jam untuk ≥24 jam atau anuria untuk ≥12 h.9

Tabel 6. Perkiraan nilai dasar kreatinin serum

39
Kreatinin dasar dapat diperkirakan menggunakan Modification of Diet in
Renal Disease (MDRD). Gambar menjelaskan kisaran taksiran SCr yang
diperoleh dengan perhitungan kembali untuk berbagai kategori umur, jenis
kelamin, dan ras. Ketika SCr dasar tidak diketahui, SCr diperkirakan dapat
digunakan asalkan tidak ada bukti CKD. Untungnya, ketika ada riwayat CKD,
nilai SCr dasar biasanya tersedia. Penting untuk mengevaluasi pasien untuk
dugaan AKI dengan riwayat CKD.

Tabel 7. Contoh nilai serum kreatinin pada berbagai kasus

Diagnosis AKI dapat dibuat menggunakan estimasi MDRD SCr (Tabel 7).
Jika Kasus A adalah perempuan kulit putih berusia 70 tahun tanpa bukti atau
riwayat CKD, SCr awal adalah 0,8 mg/dl (71mmol/l) dan diagnosis AKI akan
dimungkinkan bahkan pada hari 1 (kriteria 1, Kenaikan x 50% dari nilai dasar).
Jika pasien adalah laki-laki kulit hitam berusia 20 tahun, nilai dasar SCr-nya akan
diperkirakan 1,5 mg/dl (133mmol/l). Nilai SCr lebih rendah dianggap sebagai
nilai dasar SCr sampai hari ke 7 ketika ia kembali ke nilai dasar aslinya, dan nilai
ini dapat diambil sebagai nilai dasar SCr.

40
Kreatinin dasar juga dapat ditentukan dengan menggunakan aturan berikut:
(1) nilai pra-ICU terbaru antara 30 dan 365 hari sebelum penerimaan ICU;
(2) nilai pra-ICU yang stabil> 365 hari untuk pasien berusia <40 tahun, (stabil
didefinisikan sebagai dalam 15% dari pengukuran ICU terendah) sebelum masuk
ICU;
(3) nilai pra-ICU> 365 hari sebelum masuk ICU dan kurang dari kreatinin serum
awal saat masuk ICU;
(4) nilai pra-ICU (antara 3 dan 39 hari sebelum masuk ICU) kurang dari atau
sama dengan inisial pada saat kreatinin serum masuk ke ICU;
(5) nilai terendah dari kreatinin serum awal saat masuk ke ICU, nilai ICU
terakhir, atau nilai minimum pada tindak lanjut hingga 365 hari.

41
BAB IV
ANALISIS KASUS

Laki-laki usia 27 tahun datang dengan keluhan badan lemas sejak 3 hari SMRS,
dari anamnesis didapatkan sejak 3 minggu pasien mengeluh nyeri pada perut sebelah
kananyang hilang timbul, bab cair 3 kali sehari, dengan kotoran lebih banyak dari air
dan berbau busuk. Pasien mengeluh muntah lebih dari 4 kali dalam sehari, muntah isi
makanan, pasien juga mengeluh timbul benjolan di kepala seukuran biji kelereng, tidak
terdapat tanda radang pada benjolan di kepala, semua keluhan ini muncul setelah pasien
radioterapi pertama pada tanggal 24/07/19. Sejak 2 minggu yang lalu pasien mengeluh
kedua tungkai mulai terasa lemah dan kram. Pasien masih bisa bangun dan beraktivitas
terbatas. Pasien masih mengeluh nyeri pada perut sebelah kanan, nyeri hilang timbul,
bab cair masih ada, lebih dari 4 kali sehari, kotoran lebih banyak dari air, berbau busuk.
Muntah masih ada, lebih dari 4 kali dalam sehari , berisi lendir (+), lidah terasa pahit
(+), nafsu makan menurun (+), BAK normal. Pasien juga mengeluh benjolan dikepala
semakin membesar. Pasien berobat ke IGD RS bari, dirawat inap sehari, lalu
dipulangkan setelah ditatalaksana dan dikatakan keluhan muncul karena efek samping
dari radioterapi. Pada saat itu pasien telah menjalani 3 kali radioterapi. Sejak 1 minggu
yang lalu pasien merasa lemas dan mengeluh kedua tungkai terasa lemah apabila
berjalan. Keram dan nyeri otot ada, sering kesemutan. Pasien kesulitan untuk bisa
bangun dan beraktivitas terbatas. Pasien masih mengeluh nyeri pada perut sebelah
kanan, nyeri hilang timbul, keluhan bab cair masih sama dengan sebelumnya. Muntah
>6 kali dalam sehari, berisi lendir (+), darah (-). Lidah terasa pahit (+), rasa perih
ditenggorokan (+), rasa panas di dada (+), sariawan (+) nafsu makan menurun (+),
demam (-), Pasien juga sering merasa haus sehingga minum lebih banyak dari biasanya.
BAK normal. Lalu sejak 3 hari SMRS pasien merasa kondisinya semakin lemas,
keram, kesemutan dan nyeri otot ada, tidak bisa makan karena sariawan, minum masih
mau tetapi sedikit dan setiap pasien makan minum dimuntahkan, frekuensi muntah
lebih 10 kali dalam sehari, muntah berisi lendir, keluhan nyeri perut pada sebelah kanan

42
masih ada, nyeri semakin sering muncul dari sebelumnya, nyeri hilang timbul. Keluhan
benjolan dikepala semakin membesar seukuran bola golf. Keluhan BAB cair masih
sama dengan sebelumnya. BAK lebih pekat dari biasanya. Pasien lalu dibawa ke IGD
RSMH. Pasien telah menjalani 8 kali radioterapi sebelumnya dan terakhir pada tanggal
5/8/2019.
Pasien telah mengalami ketidaksesuaian antara asupan dan pengeluaran,
dimana asupan sedikit karena pasien tidak bisa makan dan minum karena sariawan
serta pengeluaran terjadi terus menerus karena muntah dengan frekuensi lebih dari 10
kali dalam sehari, dan diare dengan frekuensi lebih dari 4 kali dalam sehari. Setelah
dihitung skor dehidrasi pada pasien ini didapatkan skor 9 yaitu keadaan umum
lesu/haus (2), mata cekung (2), mulut kering (2), pernapasan <30x/menit (1), turgor
masih baik (1), nadi <120x/menit (1). Sehingga pasien ini diklasifikasikan sebagai
dehidrasi derajat ringan-sedang. Pada dehidrasi seringkali terjadi gangguan
keseimbangan elektrolit dimana pada pasien ini didapatkan salah satu gejala gangguan
keseimbangan elektrolit pada kasus ini hipokalemia karena didapatkan kelemahan otot
dan kram pada otot ekstremitas bawah.
Terdapat perubahan pada EKG dimana didapatkan gelombang U prominen.
Terdapat peningkatan kadar serum kreatinin dan ureum, dimana kadar ureum 261 dan
kadar kreatinin 4,21 dan onset pada pasien <3 bulan. Berdasarkan KDIGO 2012, maka
pasien ini dikategorikan sebagai AKI Stage III. Pasien ditatalaksana berdasarkan
derajat dehidrasi, defisit cairan pada dehidrasi ringan-sedang dalam ml/kgBB 50-100
ml/kgBB = 2200-4400 ml. Dianggap pasien kehilangan sekitar 2500 ml, sehingga
ditatalaksana dengan NaCl 0,9% 5 kolf dalam 24 jam gtt XXXV/menit. Untuk koreksi
kalium : 1/3 x BB x (∑kalium) = 0,3 x 44 x (3,5-2,6) = 13,2 ditambah kebutuhan kalium
harian 1 mEq/kgBB = 44 mEq. Total kebutuhan kalium 57,2 mEq sehingga dilakukan
Drip KCL 2 flash (25 mEq) dalam NaCl 0,9% 500cc gtt VII/menit, dilanjutkan dengan
sisa kebutuhan kalium sampai kalium 3,5 mEq/l. Untuk mengkoreksi natrium: 0,6 x
BB x (∑natrium) = 0,6 x 44 x (135-123) = 316,8. Sehingga dilakukan IVFD NaCl

43
0,9% 2 kolf dalam 24 jam gtt XIV/menit. (1 Kolf NaCl 0,9% mengandung natrium
sebanyak 154 mEq).
Tatalaksana AKI pada pasien, disesuaikan dengan etiologic, pada pasien
kemungkinan karena pre-renal yaitu adanya dehidrasi sehingga perlu rehidrasi pada
pasien sesuai dengan derajat dehidrasinya, hemodialis dilakukan cito apabila terdapat
kondisi yang mengancam seperti kelebihan cairan yang tidak dapat ditangani dengan
obat-obatan, asidosis yang tidak dapat ditangani dengan obat-obatan, pericarditis atau
pleuritis uremikum, keracunan dan intoksikasi, seperti intoksikasi alcohol. Akan tetapi,
pada pasien ini tidak terdapat tanda-tanda tersebut, serta AKI merupakan penyakit yang
reversible sehingga dapat kembali normal apabila penyebab utama teratasi dengan
waktu yang tepat.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Widjajanti, Agustini. Hipokalemia periodik Paralisis. J Clinical Pathology and


Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 19-22.
2. Plamondon I,Leblanc M. Disorder of Potassium Balance. Dalam Simposium on
Hypertension. The 10th Jakarta Nephrologi and Hypertension Course,
PERNEFRI,Jakarta : 2010 : 103-119.
3. Emmet M. Disorders of Potassium Balance : Hypokalemia and hyperkalemia.
In :Lerma EV, Berns JS, Nissenson AR. Current Diagnosis and Treatment
Nephrology and Hypertension. New York : McGraw-Hill Companies 2009: 32-
8.
4. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit. Dalam : Setiati S, Alwi
I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi keenam. Jakarta : Internal Publishing 2014: 2247-
9.
5. Steddon S, Ashman N, Chesser A, Cunningham J. Fluids and Electrolytes. In :
Oxford Handbook of Nephrology and Hypertension Second Edition. Oxford :
Oxford University Press 2014: 777-838.
6. Mount DB. Fluid and Electrolyte Disturbances. In: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s Principle of Internal
Medicine 18th Ed. New York : McGraw-Hill Companies 2012: 351-5
7. Greenlee M, Wingo CS, McDonough AA, Youn JH, Kone BC. Narrative
review: evolving concepts in potassium homeostasis and hypokalemia. In :Ann
Intern Med. May 2009:619-25.

45
8. Assadi F. Diagnosis of Hypokalemia : a Problem-solving Approach to
Clinical Cases. Iran J Kidney Dis. Jul 2008;2(3): 115-22.
9. Allon M. Disorders of Potasium Metabolism. Dalam Buku Naskah Annual
Meeting Pernefri , Update in Nefrologi for Better renal care, Pernefri,
Surabaya, 2009: 263-275.
10. Anne Blanchard et al, Gitelman Syndrome : Consensus and Guidance from
a kidney disease : improving Global Outcomes ( KDIGO ) Controversies
Conference. Kidney International ( 2017 ) 91,24-33.
11. O’Callaghan CA,Brenner BM. Hypokalemia and Hyperkalemia. In the
Kidney at a Glance. Iowa state University Press. 2000: 54-5.
12. Huang CL, Kuo E. mechanism of Hypokalemia in Magnesium Deficiency.
J ; Am Soc Nephrol 2007:18 : 2649-2652.
13. Harvey TC. Addison’s Disease and The Regulation of Potassium: The Role
of Insulin and Aldosterone. Med Hypotheses. 20007;69(5):1120-6.
14. Frasetto LA. Bartter Syndrome. From
http://www.emedicine.medscape.com/article/238670.
15. Knoers NV, Levtchenko EN. Gitelman Syndrome. Orphanet Journal of Rare
Diseases 2008, 3:22doi:10.1186/1750-1172-3-22

Anda mungkin juga menyukai