Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

"ASMA DAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS"

OLEH :

KELOMPOK 7 :

Angelina M. Jeniut

Christina M. Ramba

Daniel S. Selan

Efi S. Takib

Falentinus K. Payon

Marthady C. Malimou

Samuel U. Kabula

Trivonia A. Wea

Yermi A. Suek

1
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020

KATA PENGANTAR

2
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan berkat Tuhan yang melimpah sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini tepat pada waktunya dengan judul makalah “ASMA DAN PENYAKIT
PARU OBSTRUKSI KRONIS”.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis selalu menghadapi berbagai


kesulitan akan tetapi dengan bantuan dari teman terdekat dan keluarga sehingga
kesulitan yang dirasakan bisa teratasi dengan baik dan lancar. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan


baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada


pembaca khususnya bagi teman-teman dari Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Nusa Cendana Kupang.

Kupang, Maret 2020

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

3
Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit
di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari
Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa
perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta orang,
dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga 180.000 orang per
tahun (GINA,2012). Data WHO juga menunjukkan data yang serupa bahwa
prevalensi asma terus meningkat dalam tiga puluh tahun terakhir terutama di
negara maju. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di
rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap
tahunnya (Rengganis, 2008).
Pada umumnya penderita asma akan mengeluhkan gejala batuk, sesak
napas, rasa tertekan di dada dan mengi. Gejala asma sering terjadi pada malam
hari dan saat udara dingin. Karakteristik batuk pada penderita asma adalah
berupa batuk kering, paroksismal, iritatif dan non produktif yang kemudian
menghasilkan sputum yang berbusa, jernih dan kental. Jalan napas yang
tersumbat menyebabkan sesak napas sehingga ekspirasi selalu lebih sulit dan
panjang dibanding inspirasi yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan
menggunakan setiap otot aksesori pernapasan. Penggunaan otot aksesori
pernapasan yang tidak terlatih dalam jangka panjang dapat menyebabkan
penderita asma kelelahan saat bernapas ketika serangan atau saat beraktivitas
(Brunner & Suddard, 2002).
Secara definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah
penyakit pernafasan yang bersifat kronis progresif. PPOK merupakan
permasalahan global yang terjadi di masyarakat hingga sekarang yang
disebabkan oleh karena angka kejadian serta angka kematian yang terus
meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia.1 PPOK saat ini berada di
urutan ke empat penyebab kematian terbanyak di dunia setelah penyakit
jantung, kanker, serta penyakit serebrovaskular, dan memiliki potensi untuk
naik ke urutan ke tiga terbanyak pada tahun 2020 pada pria maupun wanita. 2

4
Pada tahun 2012 angka kematian yang disebabkan PPOK mencapai 3 juta
jiwa atau secara proporsi sekitar 6% dari angka seluruh kematian dunia.
Selama tahun 2000, insiden PPOK di instalasi gawat darurat seluruh rumah
sakit di Amerika mencapai 1,5 juta kasus, 726.000 kasus diantaranya
memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 diantaranya meninggal.
Total estimasi biaya untuk pengobatan penyakit PPOK sediri diperkirakan
mencapai $ 24 milyar per tahunnya. Di Indonesia, data mengenai insiden dan
prevalensi PPOK secara akurat belum dapat ditentukan, hal ini dikarenakan
masih banyak penderita yang tidak tercatat maupun tidak terdiagnosa
dikarenakan kurangnya fasilitas. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) Depkes. RI tahun 2004 angka kejadian PPOK sebesar 13 dari 1000
orang penduduk, dimana angka ini menempati urutan ke -5 terbesar sebagai
penyebab kesakitan dari 10 penyebab kesakitan terbanyak (Depkes RI, 2005).
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2007, PPOK bersama asma bronkial
menduduki peringkat ke enam sebagai penyakit penyebab tersering kematian
di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Asma ?
2. Apa saja penyebab penyakit Asma ?
3. Apa saja tanda dan gejala Asma ?
4. Bagaimana patofisiologi penyakit Asma ?
5. Apa saja faktor risiko penyakit Asma ?
6. Bagaimana epidemiologi penyakit Asma ?
7. Bagaimana gambaran permasalahan pada penyakit Asma ?
8. Bagaimana cara pencegahan penyakit Asma ?
9. Apa itu PPOK ?
10. Apa saja faktor resiko PPOK ?
11. Bagaimana patofisiologi dari PPOK ?
12. Bagaimana epidemiologi dari PPOK ?

5
13. Bagaimana diagnosis pada PPOK ?
14. Bagaimana diagnosis banding pada PPOK ?
15. Bagaimana penatalaksanaan PPOK ?
16. Bagaimana komplikasi pada PPOK dapat terjadi ?
17. Bagaimana cara pencegahan PPOK ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu Asma.
2. Mengetahui penyebab dari penyakit Asma.
3. Mengetahui tanda dan gejala penyakit Asma.
4. Mengetahui patofisiologi penyakit Asma.
5. Mengetahui faktor risiko penyakit Asma.
6. Mengetahui epidemiologi penyakit Asma.
7. Mengetahui gambaran permasalahan pada penyakit Asma.
8. Mengetahui cara pencegahan penyakit Asma.
9. Mengetahui apa itu PPOK.
10. Mengetahui faktor resiko PPOK.
11. Mengetahui patofisiologi PPOK.
12. Mengetahui epidemiologi PPOK.
13. Mengetahui diagnosis pada PPOK.
14. Mengetahui diagnosis banding pada PPOK.
15. Mengetahui penatalaksanaan PPOK.
16. Mengetahui komplikasi yang terjadi pada PPOK.
17. Mengetahui cara pencegahan PPOK.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penyakit Asma


2.1.1. Definisi Asma
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma adalah gangguan
inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan
inflamasi, mengakibatkan gejala episode mengi yang berulang, sesak
napas, dada terasa tertekan, dan batuk khususnya pada malam atau dini
hari. Gejala ini berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan
bervariasi dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun
dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas
jalan napas terhadap berbagai rangsangan.

2.1.2 Penyebab Asma


Asma dapat disebabkan oleh debu, asap rokok, bulu binatang, udara
dingin, aktivitas fisik, infeksi virus atau terpapar zat kimia. Namun, Asma
juga dapat disebabkan oleh:
A. Faktor Intrinsik
a. Infeksi:
1) virus yang menyebabkan ialah para influenza virus, respiratory
syncytial virus (RSV)
2) bakteri, misalnya pertusis dan streptokokkus jamur, misalnya
aspergillus
b. Cuaca:
Perubahan tekanan udara, suhu udara, angin dan kelembaban
dihubungkan dengan percepatan iritan bahan kimia, minyak wangi,

7
asap rokok, polutan udara emosional: takut, cemas dan tegang
aktifitas yang berlebihan, misalnya berlari.
c. Aspek genetik
1) Kemungkinan alergi
2) Saluran napas yang memang mudah terangsang
3) Jenis kelamin
4) Ras atau etnik

B. Faktor lingkungan
1. Bahan-bahan di dalam ruangan seperti tungau (sekelompok hewan
kecil bertungkai delapan) debu rumah, kecoa
2. Bahan-bahan di luar ruangan seperti tepung sari bunga dan jamur
3. Makanan-makanan tertentu seperti bahan pengawet, penyedap dan
pewarna makanan
4. Obat-obatan tertentu
5. Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray )
6. Ekspresi emosi yang berlebihan
7. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
8. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
9. Infeksi saluran napas
10. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas fisik tertentu.
11. Perubahan cuaca

2.1.3 Tanda dan Gejala Asma


Riwayat tentang penyakit atau gejala asma yaitu:
1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan.

8
2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap
alergen, gejala musiman, riwayat alergi atau atopi dan riwayat
keluarga pengidap asma.
3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik,
rasa berat di dada dan dahak yang berulang.
4. Gejala timbul atau memburuk terutama pada malam atau dini
hari.
5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik.
6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator.

2.1.4 Patofisiologi Asma


Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas
saluran napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas.
Kerusakan epitel saluran napas, gangguan saraf otonom dan adanya
perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada proses
hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi
karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran
nafas sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali
secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi
sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang dan dikenal dengan dua
jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh
IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen
Presenting Cells). Kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2. Sel T penolong inilah yang akan
memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma
membentuk IgE dan sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel,
eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator
inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet

9
activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-lain. Sel-sel
ini bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi
kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel
radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui mikrovaskuler
bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas
saluran napas.
Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah
obat-obatan, latihan, udara dingin dan stres. Selain merangsang sel inflamasi,
terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-alergik dengan hasil
akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen
akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus
dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya
peregangan nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel
mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga meningkatkan
reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa
keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan
SO2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak
melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi.

2.1.5 Faktor Risiko Asma


Faktor risiko asma dapat dibagi menjadi 3 domain besar yaitu alergen,
iritan dan hal-hal lain yang tidak tergolong dalam alergen maupun iritan
(State of the Region’s Health, 2002). Faktor risiko asma yang mempengaruhi

10
perkembangan dan ekspresi asma terdiri dari faktor internal (host factor) dan
factor eksternal (environmental factor). Faktor internal terdiri dari genetik,
obesitas, jenis kelamin, usia, aktivitas fisik dan ekspresiemosi yang kuat
atau berlebihan. Sedangkan factor eksternal meliputi occupational irritant,
infeksi virus di saluran nafas, alergen, asap rokok, polusi udara, obat-obatan
dan perubahan suhu terkait perubahan musim atau kondisi geografis lainnya
(Suyono, 2001 ; GINA, 2008).
Faktor eksternal menjadi peran dominan yang sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak penelitian telah
membuktikan hal ini. Riset di Kanada menunjukkan bahwa infeksi virus,
olahraga, asap rokok, debu dan serbuk sari bunga menempati lima peringkat
teratas sebagai penyebab asma terbanyak di semua golongan usia (State of
Region’s Health, 2002). Di lingkungan kerja, dimana asma meliputi asma
kerja (occupational asthma) dan asma di perberat di tempat kerja (work-
aggravated asthma), occupational irritant yang paling sering menginduksi
asma tersebut adalah isosianat (dari cat semprot) sehingga disebut
isocyanate-induced asthma (Wahyuningsih, et al,2003). Selain itu, riset di
London menunjukkan bahwa selama 2 jam di sepanjang jalan yang padat
kendaraan bermesin diesel mempengaruhi efek fungsional dan reaksi
inflamasi pada orang dewasa dengan asma (Kaufman, 2007). Di wilayah
kerja Puskesmas Selat Kabupaten Karangasem Bali, asma termasuk dalam 5
besar penyakit dengan angka kunjungan tertinggi di awal tahun 2009.
Penduduk setempat melaporkan bahwa faktor yang paling sering
menginduksi asma adalah polusi udara dengan daerah pertambangan dan
perubahan suhu serta kondisi geografis wilayah yang ada di daerah dataran
tinggi.
Peningkatan intensitas paparan faktor risiko asma akan menyebabkan
ekspresi asma lebih sering muncul. Hal ini menunjukkan kontrol penderita
yang rendah terhadap penyakit asma dan secara tidak langsung menunjukkan

11
kegagalan terapi asma sehingga perlu peninjauan kembali. Perilaku
pencegahan terhadap paparan faktor risiko asma yang dilakukan terus-
menerus seperti memakai alat pelindung diri saat bekerja yang sangat
membantu penderita asma untuk meningkatkan kontrol terhadap penyakit
asma. Semakin baik kontrol penderita terhadap asma, terapi farmakologis
dapat diminimalkan sehingga sangat berguna dalam menghindari efek
samping obat-obat anti asma.

2.1.6 Epidemiologi Asma


Penyakit Asma biasa terjadi pada semua kelompok umur baik laki-laki
maupun perempuan dan dapat muncul kapan saja. Menurut angka kejadian
Asma diseluruh dunia (GINA atau Global Initiative for Asthma) tahun 2003,
lebih dari 5,2 juta orang Inggris mendapat terapi Asma. Jumlah ini terdiri dari
1,1 juta anak-anak dan 4,1 juta orang dewasa.
Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan Asma pada anak laki-laki
dan perempuan sebesar 1,5 berbanding 1 dan perbandingan ini cenderung
menurun pada usia yang lebih tua. Pada orang dewasa serangan Asma dimulai
pada umur lebih dari 35 tahun dan jumlah perempuan lebih banyak dari pada
pria. Di Inggris perbandingan tersebut 25% perempuan dan 10% pria.
Penelitian Feni, dkk (2008) prevalensi Asma pada siswa SLTP yang berusia
13-14 tahun di Jakarta Selatan adalah 129 orang (6,4%) terdiri atas 63 orang
(48,8%) laki-laki dan 66 orang (51,2%) perempuan. Penelitian Wahani (2007)
di Rs Prof. R. D. Kandouw Malalayang Manado menyebutkan bahwa
berdasarkan usia kejadian Asma terbanyak pada usia 5-9 tahun adalah
(58,1%), jenis kelamin laki-laki (52,5%). Penelitian Sundaru H tahun 1990,
prevalensi Asma pada usia lebih dari 14 tahun di kelurahan Utan Kayu Jakarta
sebesar 6,91 %. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
prevalensi Asma pada anak kurang dari 14 tahun sebesar 2% jauh dibawah

12
hasil temuan Departemen Kesehatan pada tahun 1995 Asma pada anak usia
13-14 tahun sebesar 5,2%.

2.1.7 Gambaran Permasalahan Penyakit Asma


Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit
di Negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari
Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012, dinyatakan bahwa
perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta orang,
dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga 180.000 orang per
tahun (GINA,2012). Data WHO juga menunjukkan data yang serupa bahwa
prevalensi asma terus meningkat dalam tiga puluh tahun terakhir terutama di
negara maju. Separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah
sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya
(Rengganis, 2008).
Menurut Sidhartani (2007). Asma pada anak merupakan masalah
bagi pasien dan keluarga karena asma pada anak berpengaruh terhadap
berbagai aspek khusus yang berkaitan dengan kualitas hidup termasuk proses
tumbuh kembang, baik pada masa bayi, balita maupun remaja. Asma
merupakan suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan
karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang menyebabkan
peradangan dengan manifestasi, sesak nafas dan batuk terutama pada malam
hari dan pagi hari. Asma merupakan penyakit yang umumnya
mempengaruhi orang-orang dari semua usia dan dapat mempengaruhi
psikologis serta sosial yang termasuk domain dari kualitas hidup. Penyakit
ini pada umumnya dimulai sejak masa anak-anak (Wong, 2009).
Menurut Henneberger, dkk (2011). Asma adalah penyakit inflamasi
kronis saluran napas yang bersifat reversibel dengan ciri meningkatnya
respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi
adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-

13
ubah secara spontan yang ditandai dengan mengi episodik, batuk dan sesak
di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dampak penyakit kronis dan
ketidakmampuan pada anak cukup luas. Anak mengalami gangguan aktivitas
dan gangguan perkembangan. Serangan asma menyebabkan anak tidak
masuk sekolah berhari-hari, berisiko mengalami masalah perilaku dan
emosional dan dapat menimbulkan masalah bagi anggota keluarga lainnya,
orang tua sulit membagi waktu antara kerja dan merawat anak, masalah
keuangan, fisik dan emosional. Keadaan ini berdampak pada pola interaksi
orang tua dan anak serta upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan dan kualitas hidup anak.
Eksaserbasi (serangan asma) merupakan periode terberat yang
dialami anak dimana tanda dan gejalanya adalah sesak napas, batuk, dada
rasa tertekan atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya
eksaserbasi disertai distress pernapasan. Bila terjadi secara terus menerus,
kondisi ini dapat berakibat fatal pada periode tumbuh kembang anak. Pada
anak yang menderita asma berat dan sering kambuh akan menyebabkan
kekurangan oksigen sehingga daya ingat menurun dan mempengaruhi
prestasi belajar di sekolah. Anak menjadi sering tidak masuk sekolah dan
kegiatan olahraganya terbatas. Anak dengan asma membutuhkan biaya
perawatan 2,8 kali lebih tinggi dari pada anak tanpa asma (Rahajoe dkk,
2008).
Menurut Ratnawati (2011). Prevalensi asma di dunia sangat
bervariasi dan penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kekerapan asma
semakin meningkat terutama di negara maju. Studi di Australia, New
Zealand dan Inggris menunjukkan bahwa prevalensi asma pada anak
meningkat dua kali lipat lebih tinggi pada dua dekade terakhir. Global
initiative for asthma memperkirakan 300 juta penduduk dunia menderita
asma (GINA, 2011). Prevalensi asma pada anak di Amerika Serikat
mencapai 9,4% (National Center for Health Statistics, 2008). World Health

14
Organization (WHO) memperkirakan angka ini akan terus bertambah hingga
mencapai 180.000 orang setiap tahun. Prevalensi total asma di dunia
diperkirakan 6% pada dewasa dan 10% pada anak (Depkes RI, 2009).
Asma menempati urutan ketiga dari sepuluh penyebab utama
kematian di Indonesia (Sihombing, 2010). Prevalensi asma di Indonesia
belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2-5% penduduk Indonesia
menderita asma. Asma dapat muncul pada usia berapa saja mulai dari balita,
prasekolah, sekolah atau remaja. Prevelensi di Indonesia sekitar 10% pada
anak usia sekolah dasar dan 6,7% pada anak usia sekolah menengah.
Sebanyak 10-15% pada anak laki-laki dan 7-10% pada anak perempuan
(Pratiwi 2010). Penyakit asma masuk dalam sepuluh besar penyebab
kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) di Indonesia. Survei
Kesehatan Rumah Tangga mencatat 225.000 orang meninggal karena asma
(Dinkes Jogja, 2011). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Nasional tahun 2013, penyakit asma ditemukan sebesar 4,5% dari
222.000.000 total populasi nasional, sedangkan di Sumatera Barat
Departemen Kesehatan menyatakan bahwa pada tahun 2012 jumlah
penderita asma yang ditemukan sebesar 3,58% (Zara, 2011).
Menurut hasil Riskesdas provinsi Bali tahun 2013 penyakit asma di
Bali menempati ururtan ke-6 dari 33 provinsi di Indonesia. Menurut
Riskesdas (2013), prevalensi asma di Provinsi Bali mencapai 6,2%.
Menurut data SKRT tahun 2013, provinsi Bali mendapatkan urutan ke-20
dari 33 provinsi di Indonesia. Prevalensi asma di Provinsi Bali menjadi
2,3%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Bali tahun 2013,
Insiden asma pada anak prasekolah dan sekolah menurut karakterisik
tertinggi terdapat pada kelompok umur 1-10 tahun. Lima kabupaten atau
kota di Bali dengan insiden asma tertinggi pada anak prasekolah dan sekolah
adalah Klungkung (7,7%), Tabanan (7,2%), Bandung (5,9%), Denpasar
(4,8%) dan Gianyar (2,4%). Berdasarkan hasil data yang didapat di RSUD

15
Wangayadi Ruang Kaswaripada tahun 2015-2017, pada tahun 2015 jumlah
pasien asma sebanyak 14 orang dimana kelompok umur 1-10 tahun
berjumlah 9 orang, pada tahun 2016 jumlah pasien asma yaitu 42 orang
dengan kelompok umur 1-10 tahun berjumlah 20 orang, pada tahun 2017
jumlah pasien asma yaitu 47 orang dengan kelompok umur 1-10 tahun
berjumlah 30 orang (Riskesdas, 2013).
Tingginya kasus asma dan komplikasinya yang dapat mengakibatkan
kematian adalah apabila penanganannya tidak segera dilakukan, memerlukan
peran tenaga kesehatan untuk mengurangi angka kejadian asma. Perawat
dapat melaksanakan pemberian asuhan keperawatan yang meliputi
pengkajian yang dilakukan pada pasien anak dengan asma dan masalah
keperawatan gangguan ventilasi spontan yaitu berfokus pada keluhan utama
berupa sesak nafas, cemas, batuk, pucat dan lemah. Pemeriksaan fisik pada
tanda-tanda vital dapat ditemukan frekuensi nadi dan frekuensi pernapasan,
kemudian pemeriksaan pada kulit dapat di temukan warna kulit pucat sampai
sianosis dan terjadinya asma. Masalah keperawatan yang menjadi prioritas
adalah gangguan ventilasi spontan (Sujono Riyadi, 2011). Salah satu
intervensi keperawatan terhadap pasien dengan masalah keperawatan
gangguan ventilasi spontan pada anak asma adalah melakukan tindakan
keperawatan dengan pemberian oksigenasi, nebuleser dan memberikan
posisi semi fowler (Harwina, 2010).

2.1.8 Pencegahan Asma


Asma dapat dicegah melalui beberapa cara, diantaranya:
a) Mengenali dan menghindari pemicu asma
Misalnya, seseorang yang sudah mengetahui bahwa asma
yang terjadi dalam dirinya dipengaruhi oleh debu maka
cara yang harus dilakukan adalah menghindari debu ketika

16
ia terpapar langsung dengan debu seperti menggunakan
masker.
b) Beri perhatian pada udara
Hal ini berkaitan erat dengan polusi udara sehingga jika
kita beraktivitas di luar ruangan ataupun di dalam ruangan
yang dapat memicu terjadinya asma, maka gunakanlah
pelindung khusus agar tidak mudah terpapar penyakit.
c) Hindari rokok
Cara ini dapat dilakukan oleh orang yang menderita asma
akibat rokok atau menghirup asap rokok.
d) Berolahraga
Adalah cara yang paling tepat untuk menghindari asma
karena jantung dan paru-paru kita selalu diajarkan untuk
tetap sehat dan kuat sehingga kekuatan jantung dan paru-
paru dapat diatur secara baik.

17
2.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
2.2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit kronis
progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan
aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan
menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi
terhadap tingkat keparahan pasien. PPOK biasanya berhubungan dengan
respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya dalam udara.
PPOK merupakan suatu penyakit multikomponen yang dicirikan oleh
terjadinya hipersekresi mukus, penyempitan jalan napas dan kerusakan
alveoli paru-paru. Penyakit tersebut bisa merupakan kondisi terkait bronkitis
kronis, emfisema atau gabungan keduanya. Pada PPOK, seringkali
ditemukan bronkitis kronik dan emfisema bersama meskipun keduanya
memiliki proses yang berbeda.
Menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak
dimasukkan dalam definisi PPOK karena bronkitis kronik merupakan
diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.
Bronkitis kronis adalah kelainan saluran pernafasan yang ditandai oleh batuk
kronis yang menimbulkan dahak selama minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang- kurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak disebabkan oleh
penyakit lainnya. Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai
oleh pelebaran rongga udara distal pada bronkiolus terminal yang disertai
dengan kerusakan dinding alveolus. Tidak jarang penderita bronkitis kronik
juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema termasuk penderita asma
persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh dan
memenuhi criteria PPOK.

2.2.2 Faktor Resiko PPOK

18
Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya PPOK,
yaitu:
1. Asap Rokok
Dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok
merupakan salah satu penyebab utama dan kebiasaan merokok
merupakan faktor resiko utama dalam terjadinya PPOK. Asap rokok
yang dihirup serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada
kejadian PPOK karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin
dalam uterus. Sejak lama telah disimpulkan bahwa asap rokok
merupakan faktor resiko utama dari bronkitis kronis dan emfisema.
Serangkaian penelitian telah menunjukkan terjadinya percepatan
penurunan volume udara yang dihembuskan dalam detik pertama
dari manuver ekspirasi paksa (FEV1) dalam hubungan reaksi dan
dosis terhadap intensitas merokok yang ditunjukkan secara spesifik
dalam bungkus-tahun (rata-rata jumlah bungkus rokok yang dihisap
per hari dikalikan dengan jumlah total tahun merokok). Walaupun
hubungan sebab akibat antara merokok dan perkembangan PPOK
telah benar-benar terbukti, namun reaksi dari merokok ini masih
sangat bervariasi. Merokok merupakan prediktor signifikan yang
paling besar pada FEV1 hanya 15% dari variasi FEV1 yang dapat
dijelaskan dalam hubungan bungkus per tahun. Temuan ini
mendukung bahwa terdapat faktor tambahan dan atau faktor genetik
sebagai kontributor terhadap dampak merokok pada perkembangan
obstruksi jalannafas.
2. PaparanPekerjaan
Meningkatnya gejala-gejala respirasi dan obstruksi aliran udara dapat
diakibatkan oleh paparan debu di tempat kerja. Beberapa paparan
pekerjaan yang khas termasuk penambangan batu bara, panambangan

19
emas dan debu kapas tekstil telah diketahui sebagai faktor risiko
obstruksi aliran udara kronis.
3. PolusiUdara
Beberapa peneliti melaporkan meningkatnya gejala respirasi pada
orang-orang yang tinggal di daerah padat perkotaan dibandingkan
dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan, yang berhubungan
dengan meningkatnya polusi di daerah padat perkotaan. Pada wanita
bukan perokok di banyak negara berkembang adanya polusi udara di
dalam ruangan yang biasanya dihubungkan dengan memasak telah
dikatakan sebagai kontributor yang potensial.

4. Infeksi Berulang Saluran Respirasi


Infeksi saluran respirasi telah diteliti sebagai faktor risiko potensial
dalam perkembangan dan progresivitas PPOK pada orang dewasa,
terutama infeksi saluran nafas bawah berulang. Infeksi saluran
respirasi pada masa anak-anak juga telah dinyatakan sebagai faktor
predisposisi potensial pada perkembangan akhir PPOK.
5. Kepekaan Jalan Nafas dan PPOK
Kecenderungan meningkatnya bronkontriksi sebagai reaksi terhadap
berbagai stimulus eksogen termasuk methakolin dan histamin adalah
salah satu ciri- ciri dari asma. Bagaimanapun juga banyak pasien
PPOK memiliki ciri- ciri jalan nafas yang hiperesponsif.
Pertimbangan akan tumpang tindihnya seseorang dengan asma dan
PPOK dalam kepekaan jalan nafas, obstruksi aliran udara dan gejala
pulmonal mengarah kepada perumusan hipotesis Dutch yang
menegaskan bahwa asma, bronkitis kronis dan emfisema merupakan
variasi dari dasar penyakit yang sama yang dimodulasi oleh faktor
lingkungan dan genetik untuk menghasilkan gambaran patologis
yang nyata.

20
6. Defisiensi α1 Antitrypsin (α1AT)
Defisiensi α1AT yang berat merupakan faktor risiko genetik
terjadinya PPOK. Walaupun hanya 1-2% dari pasien-pasien PPOK
yang mewarisi defisiensi α1AT, pasien-pasien ini menunjukkan
bahwa faktor genetik memiliki pengaruh terhadap kecenderungan
untuk berkembangnya PPOK. α1AT adalah suatu anti-protease yang
diperkirakan sangat penting untuk perlindungan terhadap protease
yang terbentuk secara alami oleh bakteri, leukosit PMN dan monosit.
2.2.3 Patofisiologi PPOK
Hambatan aliran udara yang progresif merupakan perubahan
fisiologi utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara
anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru
karena adanya suatu proses peradangan atau inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan normal, radikal bebas dan
antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah yang seimbang sehingga bila
terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini, maka akan menyebabkan
kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.
Pajanan terhadap faktor pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup
bersama dengan udara akan memasuki saluran pernapasan dan mengendap
hingga terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus yang
melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Akibatnya,
pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi
pada sel mukosa sehingga merangsang kelenjar mukosa. Kelenjar mukosa
akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus
berlebih. Produksi mukus yang berlebihan akan menimbulkan infeksi serta
menghambat proses penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu siklus
yang menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang

21
terjadi adalah batuk kronis yang produktif.
Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa
rusaknya dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus
yang kemudian mengakibatkan bersatunya alveoulus satu dan yang lain
membentuk abnormal large- airspace. Selain itu, terjadinya modifikasi
fungsi anti-protease pada saluran pernafasan yang berfungsi untuk
menghambat neutrofil menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan
interstitial alveolus. Seiring terus berlangsungnya iritasi di saluran
pernafasan maka akan terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut.
Akan timbul juga metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa
yang menimbulkan stenosis dan obstruksi ireversibel dari saluran nafas.
Walaupun tidak menonjol seperti pada asma, pada PPOK juga dapat terjadi
hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan
gangguan sirkulasi udara.

2.2.4 Epidemiologi PPOK


Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada
setiap negara di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di Amerika
dan Eropa berkisar 5-9% pada individu usia lebih dari 45 tahun. Data
penelitian lain menunjukkan prevalens PPOK bervariasi dari 7,8 sampai
32,1% di beberapa kota Amerika Latin. Prevalens PPOK di Asia Pasifik
rata-rata 6,3% dan yang terendah 3,5 % di Hongkong dan Singapura,
tertinggi 6,7% di Vietnam. Untuk Indonesia, penelitian PPOK working
group tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi
prevalens PPOK Indonesia sebesar 5,6%. Data kunjungan pasien di RS
Persahabatan menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus PPOK. Pada
tahun 2000 PPOK menduduki peringkat ke 5 dari jumlah penderita yang
berobat jalan dan menduduki peringkat 4 dari penderita yang dirawat.
Kunjungan rawat jalan pasien PPOK di RS Persahabatan Jakarta meningkat

22
dari 616 pada tahun 2000 menjadi 1735 pada tahun 2007.10 Prevalens
PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia
harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola penyakit infeksi yang
menurun sedangkan penyakit degeneratif meningkat serta meningkatnya
kebiasaan merokok dan polusi udara. Merokok merupakan salah satu faktor
risiko terbesar PPOK.
Berdasarkan hasil penelitian, prevalens PPOK meningkat dari tahun
ke tahun sekitar 6% di periode tahun 1960-1979 mendekati 10% di periode
tahun 2000-2007. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah
satu penyebab utama kesakitan dan kematian di seluruh dunia. Menurut
prediksi WHO, PPOK yang saat ini merupakan penyebab kematian ke 4 di
seluruh dunia dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi penyebab
kematian ketiga di seluruh dunia. Sebagai pengingat pentingnya masalah
PPOK, WHO menetapkan hari PPOK sedunia (COPD day) diperingati
setiap tanggal 18 November.

2.2.5 Diagnosis PPOK


1) Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat
menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan
pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis
PPOK sesuai derajat penyakit.
1) Anamnesis
Dari anamnesis PPOK sudah dapat dicurigai pada hampir semua
pasien berdasarkan tanda dan gejala yang khas. Poin penting yang
dapat ditemukan pada anamnesis pasien PPOK diantaranya:
a. Batuk yang sudah berlangsung sejak lama dan berulang,
dapat dengan produksi sputum pada awalnya sedikit dan

23
berwarna putih kemudian menjadi banyak dan kuning
keruh.
b. Adanya riwayat merokok atau dalam lingkungan perokok,
riwayat paparan zat iritan dalam jumlah yang cukup banyak
dan bermakna.
c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga terdapat faktor
predisposisi pada masa kecil, misalnya berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran pernafasan berulang,
lingkungan dengan asap rokok dan polusi udara.
d. Sesak napas yang semakin lama semakin memberat
terutama saat melakukan aktivitas berat (terengah-engah),
sesak berlangsung lama hingga sesak yang tidak pernah
hilang sama sekali dengan atau tanpa bunyi mengi. Perlu
dilakukan anamnesis dengan teliti menggunakan kuisioner
untuk mengakses keparahan sesak napas.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak
ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
a. Inspeksi

1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup atau


mencucu)

Sikap seseorang yang bernafas dengan mulut mencucu


dan ekspirasi yang memanjang. Ini diakibatkan oleh
mekanisme tubuh yang berusaha mengeluarkan CO2
yang tertahan di dalam paru akibat gagal nafas kronis.
2. Penggunaan alat bantu napas
Penggunaan otot bantu napas terlihat dari retraksi
dinding dada, hipertropi otot bantu nafas serta pelebaran

24
sela iga
3. Barrel chest
Barrel chest merupakan penurunan perbandingan
diameter antero-posterior dan transversal pada rongga
dada akibat usaha memperbesar volume paru. Bila telah
terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai.
4. Pink puffer
Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema,
yaitu kulit kemerahan pasien kurus, dan pernafasan
pursed-lips breating.
5. Bluebloater
Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis
kronis, yaitu pasien tampak sianosis sentral serta perifer,
gemuk, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal
paru.
b. Palpasi

Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah


dan sela iga melebar. Terutama dijumpai pada pasien
dengan emfisema dominan.
c. Perkusi
Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara yang
terperangkap, batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah terutama pada emfisema.
d. Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki
dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung

25
terdengar jauh.
3) Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator(post-
bronchodilator), berguna untuk menegakkan diagnosis,
melihat perkembangan penyakit, dan menentukan
prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan
secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam
berbagai tingkat.
a. Spirometri digunakan untuk mengukur volume
maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi
maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC).
Spirometri juga mengukur volume udara yang
dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat
melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan
Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1).
Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC)
yang sering digunakan untuk menilai fungsi paru.
Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan
penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai FEV1
atau FVC kurang dari 70%.
b. Pemeriksaan post-bronchodilator dilakukan dengan
memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat
perubahan nilai FEV1. Bila perubahan nilai FEV1
kurang dari 20%, maka ini menunjukkan
pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam
keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut). Dari hasil
pemeriksaan spirometri setelah pemberian

26
bronkodilator dapat digunakan untuk menentukan
klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan derajat
obstruksinya. Klasifikasi berdasarkan GOLD
kriteria adalah:
1. Stage I: RinganPemeriksaan spirometri post-
bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1 atau
FVC kurang dari 70% dan nilai FEV1 lebih dari
80% dari nilai prediksi.
2. Stage II : Sedang Rasio FEV1 atau FVC kurang
dari 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-
80% dari nilai prediksi.
3. Stage III : Berat Rasio FEV1 atau FVC kurang dari
70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-
50% dari nilai prediksi.
4. Stage IV : Sangat Berat Rasio FEV1 atau FVC
kurang dari 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang
dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan
kegagalan respirasi kronik.
2. Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit paru lain. Pada penderita emfisema
dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma
rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar,
diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung atau
penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada
penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat
menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat
corakan bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian

27
bagian yang hiperlusen.
3. Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah
sangat penting dilakukan dan wajib dilakukan apabila nilai
FEV1 pada penderita menunjukkan nilai kurang dari 40%
dari nilai prediksi dan secara klinis tampak tanda-tanda
kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti
sianosis sentral dan pembengkakan ekstrimitas, dan
peningkatan jugular venous pressure. Analisa gas darah
arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien
dengan emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis
kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah
menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada
pemberian oksigen 100%. Dapat juga menunjukkan
hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi
alveolar, serta asidosis respiratorik kronik yang
terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan karena
pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi atau
perfusi (V/Q ratio) yang nyata. Sedangkan pada emfisema,
rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi
maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan
berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh
karena itu pada emfisema gambaran analisa gas darah arteri
akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan, dan
normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai
cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk
memantau keseimbangan asambasa.
4. Pemeriksaan sputum

28
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan memilih antibiotik yang
tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab
utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
5. Pemeriksaan Darah rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya
faktor pencetus seperti leukositosis akibat infeksi pada
eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik.
6. Pemeriksaan penunjang lainnya
Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk
mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh
kor pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain
yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih
kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-scan resolusi
tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1
antitryipsin.

2.2.6 Diagnosis Banding PPOK


Asma dan SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis) merupakan
penyakit paru obstruktif yang sering dijumpai selain PPOK. Selain itu
penyakit gagal jantung, bronkiektasis, dan TB aktif juga perlu
dipertimbangkan sebagai diagnosis banding PPOK. Ringkasan gambaran
klinis diagnosis banding PPOK disajikan pada Tabel dibawah ini.

Tabel Diagnosis Banding PPOK


Diagnosis Gambaran klinis
Onset usia pertengahan
Gejala progresif lambat
PPOK
Riwayat merokok
Sesak saat aktivitas

29
Hambatan aliran udara umumnya ireversibel
Asma Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada waktu malam/dini hari lebih menonjol
Dapat ditemukan alergi, rinitis dan/atau eksim
Riwayat asma dalam keluarga
Hambatan aliran udara umumnya reversible
Gagal jantung Riwayat hipertensi
Ronki basah halus di basal paru
Kongestif
Gambaran foto toraks pembesaran jantung dan
edema paru
Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan obstruksi
Bronkiektasis Sputum purulen dalam jumlah banyak
Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
Ronki basah kasar
Gambaran foto toraks tampak honeycombappearence
Penebalan dinding bronkus
Tuberkulosis Onset semua usia
Gambaran Infiltrat pada foto thoraks

Konfrmasi mikrobiologi (Basil Tahan Asam / BTA)

Sindrom Riwayat pengobatan anti tuberkulosis adekuat


Gambaran foto toraks bekas TB : fibrotik dan
Obstruksi Pasca
kalsifikasi minimal
TB(SOPT )
Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang
Irreversible
2.2.7 Penatalaksanaan PPOK
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala dan risiko
eksaserbasi akut. Indikator penurunan gejala adalah gejala membaik,
memperbaiki toleransi terhadap aktivitas dan memperbaiki status kesehatan.
Sedangkan indikator penurunan risiko adalah mencegah perburukan
penyakit, mencegah dan mengobati eksaserbasi, menurunkan mortalitas.
Secara umum, pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan obat,
seperti:

30
1. Bronkodilator

Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan


FEV1 dan atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja
dengan mengubah tonus otot polos pada saluran pernafasan dan
meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi
dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru. Bronkodilator
bekerja dengan menurunkan hiperventilasi dinamis saat istirahat dan
beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap akivitas. Pada
kasus PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk
memprediksi perbaikan FEV1 yang diukur saatistirahat.
Bronchodilator dose-respone (perubahan FEV1) kurang memberikan
respon relatif pada setiap kelas bronkodilator. Peningkatan dosis
beta2-agonist atau antikolinergik, khususnya yang diberikan dengan
nebulizer, menunjukkan efek positif pada episode akut, namun tidak
terlalu membantu pada kondisi stabil. Bronkodilator pada PPOK
diberikan sebagai dasar untuk mencegah atau menurunkan gejala.
Tidak direkomendasikan penggunaan bronkodilator dengan
kerjapendek.
2. Beta2-agonist
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran
pernafasan dengan menstimulasi reseptor beta2-adrenergik, dimana
akan meningkatkan siklus AMP dan memproduksi efek fungsional
yang berlawanan dengan bronkokonstriksi. Terdapat beta2-agonist
dengan kerja pendek (SABA) dan kerja panjang (LABA), dimana
efek SABA biasanya muncul dalam 4-6 jam. Penggunaan SABA
secara regular dapat meningkatkan FEV1 dan memperbaiki gejala.
Untuk dosis tunggal, khususnya pada kasus PPOK, tidak terdapat
keuntungan apabila digunakan secara rutin, contohnya levalbuterol

31
dibandingkan konvensional bronkodilator. LABA menunjukkan
durasi kerja 12 jam atau lebih dan tidak dimasukkan sebagai efek
tambahan pada terapi SABA. Folmetrol dan salmeterol merupakan
LABA yang diberikan 2 kali dalam sehari, dimana secara signifikan
memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak, laju eksaserbasi serta
jumlah kejadian masuk rumah sakit, namun tidak terdapat efek pada
perbaikan mortalitas atau fungsi paru. Indacaterol atau LABA yang
dikonsumsi 1 kali sehari dapat memperbaiki sesak, status kesehatan,
dan laju eksaserbasi. Beberapa pasien dengan riwayat batuk akan
diikuti dengan pemberian indacaterol inhalasi. Oladaterol dan
vilanterol merupakan tambahan LABA yang dapat dikonsumsi 1 kali
sehari dan dapat memperbaiki gejala dan fungsi paru. Stimulasi
reseptor beta 2-adrenergik dapat memproduksi sinus takikardia dan
memiliki potensi untuk menjadi gangguan ritme jantung. Tremor
dapat dirasakan pada pasien tua dengan dosis tinggi. Apabila terapi
dikombinasi dengan diuretik thiazide, dapat menimbulkan
hipokalemia dan peningkatan konsumsi oksigen pada pasien gagal
ginjal kronis, dimana terjadi efek penurunan metabolik.
3. Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin
pada reseptor muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan.
Short-acting antimuscarinic (SAMAS) seperti ipratropium dan
oxitroprium juga mem-blok reseptor neuronal M2, yang secara
potensial dapat memicu bronkokonstriksi. Long acting muscarinic
antagonist (LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium, glycopyrronium
bromide dan umeclidinium, mempunyai ikatan dengan reseptor
muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat dibandingkan
reseptor muskarinik M2 yang memperpanjang durasi

32
efekbronkodilator. Ipratropiun sebagai muskarinik antagonis kerja
pendek memiliki efek yang kecil dibandingkan beta2-agonist kerja
pendek dalam hal perbaikan fungsi paru, status kesehatan dan
kebutuhan terhadap oral steroid. Beberapa jenis LAMAs seperti
titropiun dan umeclidinium dikonsumsi 1 kali sehari, aclidinium
untuk 2 kali sehari, dan glycopyrronium, dimana beberapa negara
memberikan 1 kali sehari dan negara lain memberikan 2 kali sehari.
Pengobatan dengan tiotripium dapat memperbaiki gejala dan status
kesehatan, memperbaiki efektivitas rehabilitasi paru dan mengurangi
eksaserbasi terkait hospitalisasi. Beberapa penelitian menunjukkan
efek eksaserbasi yang lebih besar pada golongan obat LAMAs
(tiotropium) dibandingkan LABA. Efek samping yang dapat muncul
berupa mulut kering, gangguan buang air kecil, dan pada penggunaan
ipratropium menunjukkan gejala mulut terasa pahit dan gangguan
pengecapan serta sebagian kecil peningkatan kejadian
kardiovaskuler.
4. Methylxanthines
Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling sering
digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan
fungsi oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan fungsi
otot skeletal respirasi. Penambahan theophylline dengan salmeterol
memberikan efek perbaikan pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan
hanya pemberian salmeterol saja. Toksisitas methylxanthine
tergantung pada dosis yang diberikan, dimana efek yang ditimbulkan
berupa palpitasi akibat atrium dan ventrikel aritmia. Efek lain
termasuk sakit kepala, insomnia, mual, terasa panas di dada.
Pengobatan ini juga memiliki interaksi yang signifikan dengan
beberapa obat seperti digitalis dancoumadin.

33
5. Kombinasi terapi bronkodilator
Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan efek
perbaikan FEV1 dan gejala dibandingkan diberikan secara tunggal.
Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium inhaler memberikan
efek yang lebih besar terhadap FEV1, memperbaiki fungsi paru dan
status kesehatan pada pasien PPOK. Beberapa penelitian
menunjukkan pemberian kombinasi LABA/LAMA, memeberikan
efek terhadap laju eksaserbasi. Kombinasi ini juga dikatakan
lebihbaik dibandingkan kombinasi antara LABA dan ICS (inhaled
corticosteroid).
6. Anti-inflamasi
1. Inhaled corticosteroid (ICS)
Pada pasien PPOK, pengobatan dengan ICS menunjukkan
respon yang terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-agonist,
theophylline atau macrolide dapat mempengaruhi sensitivitas
kortikosteroid pada PPOK. Pengobatan dengan ICS saja, tidak
dapat memodifikasi penurunan FEV1. Pada pasien dengan
PPOK kategori sedang-berat, kombinasi ICS dengan LABA
lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru, status kesehatan
dan menurunkan eksaserbasi. Selain itu, pengobatan dengan
LABA/ICS fixed dose combination (FDC) memberikan efek
yang signifikan dibandingkan dengan LABA saja, pada pasien
dengan eksaserbasi maksimal 1 kali dalam setahun. Efek
samping yang ditimbulkan yaitu, candidiasis mulut, suara
parau, kulit memar, dan pneumonia. Peningkatan risiko
tersebut telah dikonfirmasi pada ICS dengan menggunakan
fluticasone furoate, walaupun pada dosis rendah. Pasien yang
memiliki risiko tinggi pneumonia apabila memeiliki riwayat

34
merokok, umur ≥ 55 tahun, memiliki riwayat eksaserbasi
pneumonia, BMI < 25 kg/m2, dan sesak berat. Pada
penggunaan ICS independent, peningkatan <2% eosinofil
darah, dapat meningkatkan risiko pneumonia. Pasien dengan
PPOK sedang, terapi ICS tunggal ataupun kombinasi dengan
LABA, tidak meningkatkan risiko pneumonia. Beberapa
penelitian menunjukkan peningkatan risiko fraktur dan
penurunan densitas tulang pada terapi ICS. Selain itu, terapi
ICS dapat berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes,
katarak, dan infeksi mikobakteri termasuk TB. Efek withdrawl
ICS, tergantung pada fungsi paru, gejala dan eksaserbasi.
Peningkatan eksaserbasi dan/atau gejala diikuti dengan efek
withdrawal ICS. Penurunan FEV1 (40 ml) dengan efek
withdrawal ICS berhubungan dengan peningkatan batas
eosinophil.
2. Terapi inhaler triple
Terapi inhaler triple berupa penambahan LABA, LAMA, dan
ICS, dimana efek yang diberikan berupa perbaikan fungsi
paru, pada risiko eksaserbasi.

3. Oral gluko kortikoid


Efek yang diberikan berupa steroid miopati yang
berhubungan dengan kelemahan otot, penurunan fungsional,
dan kegagalan pernapasan pada pasien dengan PPOK berat.
Sistemik glukokortikoid pada akut eksaserbasi menunjukkan
laju kegagalan terapi, laju kekambuhan, serta memperbaiki
fungsi paru dan sesak. Oral glukokortikoid memberikan efek
terapi pada akut eksaserbasi, namun tidak berperan pada
kondisi kronis karena memiliki komplikasi sistemik yang

35
tinggi.
4. Phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitors
Prinsip kerjanya adalah dengan menurunkan inflamasi
dengan menghambat pemecahan siklus intraseluler AMP.
Roflumilast merupakan obat oral yang dikonsumsi 1 kali
sehari tanpa aktivitas bronkodilator. Efeknya adalah
menurunkan eksaserbasi sedang dan berat yang telah diobati
dengan kortikosteroid sistemik pada pasien bronchitis kronis,
PPOK berat sampai sangat berat, dan riwayat eksaserbasi.
Efek pada fungsi paru dapat juga dilihat ketika roflumilast
ditambahkan pada bronkodilator kerja panjang dan pada
pasien yang tidak terkontrol pada kombinasi fixed-dose
LABA/ICS. Efek samping yang dapat ditimbulkan lebih
banyak jika dibandingkan dengan pengobatan inhaler untuk
PPOK. Efek tersering yaitu diare, mual, penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan (2 kg), nyeri perut, gangguan
tidur, dan sakit kepala. Pemberian roflumilast perlu
diperhatikan khususnya pada pasien underweight dan depresi.

36
7. Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara
regular dapat menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250
mg/hari atau 500 mg 3 kali per minggu) atau eritromycin (500 mg 2
kali per hari) dalam satu tahun dapat menurunkan risiko eksaserbasi.
Azithromycin berhubungan dengan peningkatan insiden resistensi
bakteri dan gangguan pendengaran.
8. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan
Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler,
terapi regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-
acetylcystein dapat menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki status
kesehatan.

2.2.8 Komplikasi PPOK


Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK:
a. Gagal Nafas (Kronis dan Akut)
Gagal nafas kronis dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan
PO2 dan PCO2, bronkodilator adekuat, terapi oksigen yang
adekuat terutama waktu aktivitas atau waktu tidur, antioksidan,
latihan pernapasan dengan pursed lips breathing. Gagal nafas
akut pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas dengan
atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam,
kesadaran menurun.
b. Infeksi Berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan
terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronis ini imunitas
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar

37
limfosit darah.
c. Korpulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat
disertai gagal jantung kanan.

2.2.8 Pencegahan PPOK


1. Mencegah terjadinya PPOK dengan menghindari asap rokok, hindari
polusi udara, hindari infeksi saluran pernapasan berulang.
2. Mencegah perburukan PPOK dengan berhenti merokok, gunakan obat-
obatan adekuat, mencegah eksaserbasi berulang. Strategi yang dianjurkan
oleh Public Health Service Report USA adalah: ask, lakukan identifikasi
perokok pada setiap kunjungan; advice, terangkan tentang
keburukan/dampak merokok sehingga pasien didesak mau berhenti
merokok; assess, yakinkan pasien untuk berhenti merokok; assist, bantu
pasien dalam berhenti merokok; dan arrange, jadwalkan kontak usaha
berikutnya yang lebih intesif, bila usaha pertama masih belum
memuaskan.

38
DATA KASUS PENYAKIT ASMA

39
40
41
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit
di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari
Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa
perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta orang,
dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga 180.000 orang per
tahun (GINA,2012).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit
paru kronik berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan
tidak sepenuhnya reversible yang diasosiasikan dengan respon inflamsi
abnormal paru terhadap gas berbahaya ataupun partikel asing.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai
penyakit Asma dan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) beserta gejala,
patofisiologi, faktor resiko dan pencegahannya. Selain itu, penulis
mengharapkan agar setelah pembaca membaca makalah ini, pengetahuan yang
sudah diperoleh dari pembaca dapat disebarkan atau dibagikan kepada
masyarakat.

42
DAFTAR PUSTAKA

Sari Pediatri, vol. 7, no. 1, Juni 2005: 19-25, Penyakit Alergi Saluran Napas yang
Menyertai Asma.
Nursalam, Layli Hidayati dan Ni Putu Wulan Purnama Sari. 2009. Faktor Risiko
Asma dan Perilaku Pencegahan Berhubungan dengan Tingkat Kontrol Penyakit
Asma. Jurnal ners vol. 1 hal. 10
Irianto Koes. 2014. Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular. Bandung:
Alfabeta
Antariksa, Budhi. 2009. Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran. FKUI: Jakarta
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. PPOK Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Tim Kelompok Kerja PPOK
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Petunjuk teknis penerapan pendekatan
praktis kesehatan paru di Indonesia. Jakarta: Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan.
GOLD. 2017. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention:
A Guide for Healthcare Professionals. ed. Sydney: Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease Inc.

43
44
45
46
47
48
.

49
50
51
52

Anda mungkin juga menyukai