KELOMPOK 10:
KUPANG
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas tuntunan-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah tentang Stunting dan Anemia.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh akan kesempurnaan, sehingga saran dan kritikan
yang konstruktif sangat penulis harapkan guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga Makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan .....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Stunting................................................................................................3
2.2 Gambaran Permasalan Kasus Stunting di Global dan Indonesia...........................3
2.3 Epidemiologi Stunting..............................................................................................8
2.4 Patofisiologi Stunting..............................................................................................10
2.5 Faktor Resiko dari Stunting.....................................................................................10
2.6 Pencegahan Stunting................................................................................................11
2.7 Pengertian Anemia...................................................................................................13
2.8 Gambaran Permasalahan Kasus Stunting di Global dan Indonesia.........................13
2.9 Epidemiologi Anemia..............................................................................................15
2.10 Patofisiologi Anemia.............................................................................................16
2.11 Faktor Resiko dari Anemia....................................................................................16
2.12 Pencegahan Anemia...............................................................................................18
3.1 Simpulan..................................................................................................................20
3.2 Saran........................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Stunting juga sering disebut sebagai RetardasiPertumbuhan Linier (RPL) yang muncul
pada dua sampai tiga tahun awalkehidupan dan merupakan refleksi dari akibat atau pengaruh
dari asupan energidan zat gizi yang kurang serta pengaruh dari penyakit infeksi, karena
dalamkeadaan normal, berat badan.
Anemia adalah salah satu penyakit yang sering diderita masyarakat, baik anak-anak,
remaja usia subur, ibu hamil ataupun orang tua. Penyebabnya sangat beragam, dari yang karena
perdarahan, kekurangan zat besi, asam folat, vitamin B12, sampai kelainan hemolitik.
Indonesia ?
3. Bagaiamana epidemiologi stunting dan anemia ?
1.3 Tujuan
a. Mampu mengetahui pengertian stunting dan anemia.
PEMBAHASAN
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis
terutama dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2013 menunjukkan bahwa satu dari tiga anak balita di Indonesia mengalamai masalah stunting.
Permasalahan gizi ini terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia dan tidak hanya terjadi pada
kelompok penduduk miskin tetapi juga pada kelompok kaya.
Stunting memiliki dampak yang besar terhadap tumbuh kembang anak dan juga
perekonomian Indonesia yang akan datang. Dampak stunting terhadap kesehatan dan tumbuh
kembang anak sangat merugikan. Stunting dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang
anak terutama pada anak berusia di bawah dua tahun. Anak-anak yang mengalami stunting pada
umumnya akan mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif dan motoriknya yang akan
mempengaruhi produktivitasnya pada saat dewasa. Selain itu, anak stunting juga mempunyai
risiko yang lebih besar untuk menderita penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, dan
penyakit jantung pada saat dewasa. Secara ekonomi, hal tersebut tentunya akan menjadi beban
bagi negara terutama akibat meningkatnya pembiayaan kesehatan. Potensi kerugian ekonomi
yang diakibatkan oleh stunting sangat besar. Laporan World bank pada tahun 2016 menjelaskan
bahwa potensi kerugian ekonomi akibat stunting mencapai 2-3% Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan demikian, apabila PDB Indonesia sebesar Rp 13.000 trilyun, maka potensi kerugian
ekonomi yang mungkin dialami adalah sebesar Rp260-390 trilyun per tahun. Di beberapa negara
di Afrika dan Asia potensi kerugian akibat stunting bahwa lebih tinggi lagi bisa mencapai 11%.
Permasalahan kekurangan gizi pada anak erat kaitannya dengan tingkat pendapatan
keluarga. Keluarga dengan tingkat pendapatan yang rendah pada umumnya memiliki masalah
dalam hal akses terhadap bahan makanan terkait dengan daya beli yang rendah. Selain
pendapatan, kerawanan pangan di tingkat rumah tangga juga sangat dipengaruhi oleh inflasi
harga pangan. Faktor penting lain yang mempengaruhi terjadinya masalah kekurangan gizi pada
anak balita adalah buruknya pola asuh terutama pemberian ASI eksklusif akibat rendahnya
tingkat pengetahuan orang tua, buruknya kondisi lingkungan seperti akses sanitasi dan air bersih,
rendahnya akses pada pelayanan kesehatan.
Di Indonesia menurut hasi Riskesdas 2007, 2013 dan 2018 masih menunjukan angka
stunting pada balita di atas 30%. Artinya ada 3 balita stunting dari 10 balita yang dilahirkan di
Indonesia (National Institute of Health Research and Development of Ministry of Health of the
Republic of Indonesia, 2019). Hal ini menunjukan bahwa stunting merupakan permasalahan
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Pendek dan sangat pendek atau yang sering disebut sebagai stunting merupakan status
gizi yang berdasarkan pada indeks tinggi badan menurut umur. Persentase balita sangat pendek
dan pendek usia 0-23 bulan di Indonesia tahun 2018 yaitu 12,8% dan 17,1%. Kondisi ini
meningkat dari tahun sebelumnya dimana persentase balita sangat pendek yaitu sebesar 6,9%
dan balita pendek sebesar 13,2%. Pada tahun 2018, Provinsi Aceh memiliki persentase terendah
untuk kategori tersebut.
GAMBAR 1.1
PERSENTASE SANGAT PENDEK DAN PENDEK PADA BALITA 0-23 BULAN
MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2018
Secara global, pada tahun 2010 prevalensi anak pendek sebesar 171 juta anak-anak di
mana 167 juta kejadian terjadi di negara berkembang. Prevalensi stunting pada anak, menurun
dari 39,7 (95% CI: 38,1-41,4)% pada tahun 1990 menjadi 26,7 (95% CI: 24,8-28,7)% pada tahun
2010. Tren ini diperkirakan akan mencapai 21,8 (95% CI: 19,8-23,8)% atau 142 juta pada tahun
2020 (Onis et al, 2011).
Secara global , sekitar 151 juta anak di bawah lima tahun diperkirakan akan mengalami
stunting pada tahun 2013. Pada tahun 2017, sekitar setengah dari semua anak yang mengalami
stunting tinggal di Asia dan lebih dari sepertiga di Afrika (United Nations Children’s Fund,
World Health Organization and World Bank Group, 2018).
Masalah Gizi kini bukan hanya gizi kurang, gizi buruk dan gizi lebih, ada juga masalah
stunting (pendek). Stunting (pendek) adalah salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan
tinggi badan menurut umur diukur dengan standar deviasi dengan referensi WHO tahun 2005.
Status gizi anak dipengaruhi pada asupan gizi nya pada usia 0-3 tahun atau yang disebut dengan
masa emas, jika asupan gizi nya kurang optimal akan mengganggu atau menghambat
pertumbuhan dan perkembangannya.
Hasil Riskesdas 2010 ditemukan anak balita yang menderita gizi kurang dan buruk
sebanyak 17,9%; balita yang kurus dan sangat kurus sebanyak 13,3%; serta balita yang pendek
dan sangat pendek sebanyak 35,6%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010,
untuk skala nasional, prevalensi anak balita stunting (pendek) sebesar 35,6 % atau turun 1,2 %
dibandingkan tahun 2007 (36,8 %) dan angka tertinggi kejadian stunting (pendek) yakni pada
usia 12-23 bulan dengan presentase sebesar 18,5% dengan kategori pendek dan 23,0% dengan
kategori sangat pendek.
Kurangnya asupan zat gizi makro dan mikro dapat menyebabkan stunting pada anak,
selain faktor genetik, lingkungan, sosial dan ekonomi. Kondisi stunting dapat dikarenakan
kekurangan asupan zat gizi dalam jangka waktu yang cukup lama. Peran orang tua dalam pola
asuh dan pola makan pada balita umur 0-2 tahun sangat berpengaruh pada status gizi anak,
karena pada usia tersebut, anak belum dapat memilih sendiri makanan yang ia mau, tetapi pada
usia 2 tahun ke atas anak sudah mulai selektif dalam menerima makanan yang ia sukai dan ia
tidak sukai. Peran ibu sangat berpengaruh pada status gizi keluarga, karena ibu yang memegang
peranan dalam memilih makanan, memasak makanan dan merencanakan menu makan.
Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung yang
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi
kurang akan menyebabkan janin mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga
bayi akan lahir dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Gangguan pertumbuhan itu terutama saat menjelang dan saat pertumbuhan pesat yaitu
pada saat baduta dan saat awal remaja, untuk wanita yaitu pada usia 11-13 tahun dan pria13-15
tahun.
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan tinggi badan menggambarkan berkurangnya
jumlah dan kualitas sel dan jaringan organ internal anak, yaitu ginjal, endokrin, hati, pancreas,
jantung dll. Juga gangguan pada sel otak dan sistim hormon.
Berikut ini adalah jaring-jaring sebab akibat epidemiologi terkait dengan masalah
stunting:
Hal penting yang harus dipahami, tidak ada solusi sederhana untuk mencegah stunting.
Namun, berfokus pada rentang waktu antara kehamilan ibu dan ketika anak berusia dua tahun
adalah kunci untuk memastikan perkembangan anak yang sehat.
Belakangan ini stunting sedang hangat diperbincangkan banyak orang, khususnya para ibu.
Berdasarkan WHO, stunting adalah gangguan tumbuh kembang anak yang disebabkan
kekurangan asupan gizi, terserang infeksi, maupun stimulasi yang tak memadai.
Jumlah penderita stunting di Indonesia menurut hasil Riskesdas 2018 terus menurun. Tetapi
langkah pencegahan stunting sangat perlu dilakukan.
Anemia berasal dari bahasa Yunani “Anaimia” yang artinya adalah tanpa darah. Anemia
adalah penyakit kekurangan darah. Kekurangan darah disini arinya kadar Hemoglobin (Hb) dan
sel darah merah (Eritrosit) lebih rendah daripada kondisi normal.
Penyakit anemia merupakan kondisi ketika jumlah sel darah merah lebih rendah dari
jumlah normal. Anemia juga terjadi ketika hemoglobin di dalam sel-sel darah merah tidak cukup,
seperti protein kaya zat besi yang memberikan warna merah darah. Protein ini membantu sel-sel
darah merah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Anemia terjadi ketika jumlah
sel darah merah atau hemoglobin dalam tubuh tidak kuat sehingga tidak dapat berfungsi dengan
baik di dalam tubuh.
Pada umumnya, anemia lebih sering terjadi pada wanita dan remaja putri dibandingkan
dengan pria, yang sangat disayangkan adalah kebanyakan penderita tidak tahu atau tidak
menyadarinya, bahkan ketika tahu masih menganggap anemia sebagai masalah sepele. Anemia
pada remaja putri sampai saat ini masih cukup tinggi, menurut World Health Organization
(WHO), prevalensi anemia dunia berkisar 40-88%. Menurut WHO, angka kejadian anemia pada
remaja putri di negara-negara berkembang sekitar 53,7% dari semua remaja putri, anemia sering
menyerang remaja putri disebabkan karena keadaan stress, haid, atau terlambat makanan.
Angka anemia gizibesi di Indonesia sebanyak 72,3%. Kekurangan besi pada remaja
mengakibatkan pucat, lemah, letih, pusing, dan menurunnya konsentrasi belajar. Penyebabnya,
antara lain: tingkat pendidikan orang tua, tingkat ekonomi, tingkat pengetahuan tentang anemia
dari remaja putri, konsumsi Fe, Vitamin C, dan lamanya menstruasi. Jumlah penduduk usia
remaja (10-19 tahun) di Indonesia sebesar 26,2% yang terdiri dari 50,9% laki-laki dan 49,1%
perempuan. Selain itu,berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi anemia di Indonesia
yaitu 21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar 26,4% dan 18,4% penderita
berumur 15-24 tahun. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2012 menyatakan
bahwa prevalensi anemia pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil sebesar 50,5%, ibu nifas sebesar
45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19-45 tahun sebesar 39,5%. Wanita
mempunyai risiko terkena anemia paling tinggi terutama pada remaja putri. Angka prevalensi
anemia di Indonesia, yaitu pada remaja wanita sebesar 26,50%, pada wanita usia subur sebesar
26,9%, pada ibu hamil sebesar 40,1% dan pada balita sebesar 47,0%. Anemia merupakan suatu
keadaan di mana ada penurunan hemoglobin (pemberi warna merah dan pengakut oksigen darah)
per unit volume darah dibawah kadar normal yang sudah di tentukan untuk usia dan jenis
kelamin tertentu. Ketentuan WHO mengenai anemia ialah di bahwa 12 gmHb/dl darah bagi
perempuan dan di bawah 14 gmHb/dl darah untuk laki-laki dan hematocrit di bawah 34%.
Berdasarkan data Riskesdas 2018 yang dirilis di Jakarta, Jumat (2/11/2018), persentase
ibu hamil yang mengalami anemia tersebut meningkat dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2013
yaitu sebesar 37,1persen. Dari data tahun 2018, jumlah ibu hamil yang mengalami anemia paling
banyak pada usia 15-24 tahun sebesar 84,6 persen, usia 25-34 tahun sebesar 33,7 persen, usia 35-
44 tahun sebesar 33,6 persen, dan usia 45-54 tahun sebesar 24 persen. Sementara data
perempuan usia subur yang mengalami kekurangan energi kronis justru menunjukkan trenpositif
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Proporsi risiko kurang energi kronis pada perempuan usia
subur menurun dibanding tahun 2013. Yaitu dari 24,2 persen pada perempuan usia subur yang
hamil di 2013 menjadi 17,3 persen di 2018. Selain itu untuk perempuan usia subur tidak hamil
20,8 persen di 2013 menurun jadi 14,5 persen pada 2018. Prevalensi anemia dan risiko kurang
energi kronis pada perempuan usia subur tersebut sangat memengaruhi kondisi kesehatan anak
pada saat dilahirkan. Kedua hal tersebut termasuk beberapa hal yang berpotensi membuat
terjadinya kekerdilan pada anak dilihat dari berat dan tinggi badan saat lahir.
Secara epidemiologi, prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa
kanak- kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh
masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan
susu formula dengan kadar besi kurang. Kurang lebih terdapat 370 juta wanita di berbagai negara
berkembang menderita anemia defisiensi zat besi dengan 41% diantaranya wanita tidak hamil.
Prevalensi anemia di India menunjukkan angka sebesar 45% remaja putri telah dilaporkan
mengalami anemia defisiensi zat besi. Prevalensi anemia di Indonesia masih cukup tinggi.
Kemenkes RI (2013) menunjukkan angka prevalensi anemia secara nasional pada semua
kelompok umur adalah 21,70%. Prevalensi anemia pada perempuan relatif lebih tinggi (23,90%)
dibanding laki-laki (18,40%). Prevalensi anemia berdasarkan lokasi tempat tinggal menunjukkan
tinggal di pedesaan memiliki persentase lebih tinggi (22,80%) dibandingkan tinggal di perkotaan
(20,60%), sementara prevalensi anemia pada perempuan usia 15 tahun atau lebih adalah sebesar
22,70%. Hasil penelitian Listiana (2016) menunjukkan bahwa prevalensi anemia defisiensi zat
besi pada remaja putri di tahun pertama menstruasi sebesar 27,50%, dengan rata-rata usia
pertama kali mengalami menstruasi pada usia 13 tahun.
Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa mengandung rata-rata 3 – 5 gr besi, hampir
dua pertiga besi terdapat dalam hemoglobin dilepas pada proses penuaan serta kematian sel dan
diangkat melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Pada peredaran zat
besi berkurang, maka besi dari diet tersebut diserap oleh lebih banyak. Besi yang dimakan
diubah menjadi besi keto dalam lambung dan duodenum, penyerapan besi terjadi pada
duodenum dan jejenum proksimal, kemudian besi diangkat oleh tranferin plasma ke sumsum
tulang, untuk sintesis hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di jaringan.
Pembentukan Hb terjadi pada sumsum tulang melalui semua stadium pematangan besi
merupakan susunan atau sebuah molekul dan hemoglobin, jika zat besi rendah dalam tubuh maka
pembentukan eritrosit atau eritropoetin akan mengganggu sehingga produksi sel darah merah
berkurang, sel darah merah yang berkurang atau menurun mengakibatkan hemoglobin menurun
sehingga transportasi oksigen dan nutrisi ke jaringan menjadi berkurang, hal ini mengakibatkan
metabolisme tubuh menurun . Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan
juga diperlukan oleh berbagai enzim sebagai factor penggiat. Zat besi yang terdapat dalam enzim
juga diperlukan untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan oksigen (oksidase
dan oksigenase).
2.10 Faktor Resiko dari Anemia
Darah terdiridari plasma dan sel. Ada tiga jenis sel darah:
1. Sel darah putih (leukosit). Sel darah ini berguna untuk melawan infeksi.
2. Platelets / keping darah. Sel darah ini membantu membekukan darah saat terluka.
3. Sel darah putih /eritrosit. Sel darah merah ini membawa oksigen dari paru-paru melalui
aliran darah menuju otak dan organ serta jaringan lain.
Tubuh memerlukan suplai oksigen untuk berfungsi. Sel darah merah mengandung
hemoglobin yang merupakan protein yang kayak dengan zat besi yang memberikannya warna
merah. Banyak sel darah diproduksi oleh sumsum tulang belakang. Untuk dapat memproduksi
sel darah merah dan hemoglobin, tubuh anda membutuhkan zat besi, mineral, protein dan
vitamin lainnya dari makanan yang anda makan.
1) Kekurangan vitamin dan nutrisi seperti rendah zat besi, vitamin B-12, dan
folat.
2) Gangguan usus, sehingga kemampuan menyerap nutrisi dan vitamin
berkurang.
3) Memiliki penyakit kronis.
4) Terdapat riwayat penyakit yang sama di keluarga pengidap
5) Faktor lain seperti paparan zat beracun, kondisi imun tubuh, dan lain
sebagainya.
Penyebab Anemia
Sumsum tulang adalah jaringan lunak di tengah tulang yang membantu membentuk
semua sel darah. Sel-sel darah merah yang sehat akan bertahan antara 90 hingga 120 hari.
Setelah itu, sel-sel darah tua dalam tubuh akan diganti dengan yang baru. Proses ini berlangsung
secara terus-menerus. Di dalam tubuh terdapat hormon yang disebut erythropoietin (EPO) yang
dibuat di ginjal. Tugasnya adalah untuk memberikan sinyal kepada sumsum tulang untuk
“menciptakan” lebih banyak sel darah merah bagi tubuh.
Hemoglobin adalah protein pembawa oksigen dalam sel darah merah dan protein inilah
yang memberikan warna merah pada sel darah merah. Bagi pengidap anemia, mereka tidak
memiliki cukup hemoglobin.
1. Perbanyak makanan yang mengandung zat besi, vitamin B12, vitamin C dan asam folat.
Zat tersebut banyak terdapat pada daging, kacang, sayuran berwarna hijau jeruk, pisang,
sereal, susu, melon, dan buah beri.
2. Hindari minum kopi, teh atau susu sehabis makan karena dapat mengganggu proses
penyerapan zat besi dalam tubuh.
3. Transfusi darah.
Tambahan darah sesuai kebutuhan akan cepat mengembalikan jumlah sel darah merah
dalam kondisi normal. Namun, setelah normal, pasien hendaknya menjaga agar terus
stabil.
4. Konsumsi suplemen.
Pilih suplemen yang mengandung zat besi dan vitamin pelengkap lainnya sebagai
penunjang pembentukan sel darah merah.
5. Cukupi kebutuhan kalsium.
Sama seperti vitamin C, kalsium berfungsi Sama seperti vitamin C, kalsium berfungsi
untuk memaksimalkan penyerapan zat besi dalam tubuh. Kalsium bisa didapatkan dari
susu dan aneka produk olahannya, ikan yang dimakan bersama tulangnya, serta telur.
6. Stop merokok
Merokok bisa membuat kondisi anemia semakin buruk. Ini karena asap rokok merupakan
radikal bebas yang bersifat racun di dalam darah yang menyebabkan penyerapan nutrisi
terganggu, termasuk penyerapan zat besi.
7. Hindari alkohol
Alkohol dapat memperberat bahkan merusak ginjal. Ketika ginjal rusak, produksi zat
kimia melambat, dan berakibat menurunnya produksi sel darah di sumsum.
BAB III
PENUTUP
1.1 Simpulan
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima tahun) akibat
dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi
terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi,
kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Umumnya disebabkan asupan
makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Penyakit anemia merupakan kondisi ketika jumlah sel darah merah lebih rendah dari
jumlah normal. Anemia juga terjadi ketika hemoglobin di dalam sel-sel darah merah tidak cukup,
seperti protein kaya zat besi yang memberikan warna merah darah. Protein ini membantu sel-sel
darah merah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Anemia terjadi ketika jumlah
sel darah merah atau hemoglobin dalam tubuh tidak kuat sehingga tidak dapat berfungsi dengan
baik di dalam tubuh.
1.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa dalam memberikan
pelayanan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan RI, 2018, Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia, Jakarta: Buletin
Jendela Data dan Informasi Kesehatan
The World Bank. 2016. Reaching the Global Target to Reduce Stunting: How Much Will it Cost
and How Can We Pay for it?. In The Economics of Human Challenges, ed B. Lomborg.
Cambridge, U. K: Cambridge University Press.
The World Bank. Reaching the Global Target to Reduce Stunting: How Much Will it Cost and
How Can We Pay for it?. In The Economics of Human Challenges, ed B. Lomborg.
Cambridge, U. K.: Cambridge University Press. 2016.
World Economic Forum. 2017. The Global Human Capital Report 2017, Preparing People for
the Future of Work.
World Economic Forum, The Global Human Capital Report 2017, Preparing People for the
Future of work’
Profil Kesehatan Indonesia, 2018, Jakarta: Kemenkes Kesehatan RI. 2019
Mitra, 2015. Permasalahan Anak Pendek (Stunting) dan Intervensi untuk Mencegah Terjadinya
Stunting (Suatu Kajian Kepustakaan), Jurnal Kesehatan Komunitas,2(6): 254-261
Laksono, A. & Kusrini I. 2019. Gambaran Prevalensi Balita Stunting dan Faktor yang
Berkaitan di Indonesia: Analisis Lanjut Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017,
Publitbang Humaniora dan Manajemen dan Unit Litbangkes Magelang, 21: 1-12
http://www.mayoclinic.org/disease-conditions/anemia/manage/ptc-201883235
http://www.varia.id/2015/02/11/upaya-pemerintah-percepat-perbaikan-kesehatan-dan-gizi-
masyarakat/#ixzz4uUz0Xi00
http://promkes.kemkes.go.id/pencegahan-stunting
https://iid.wikipedia.org/wiki/Anemia