Anda di halaman 1dari 24

BAB I

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Asma Bronkial merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan yang
banyak dijumpai pada anak-anak maupun dewasa. Menurut global initiative for
asthma (GINA, 2015) asma didefinisikan sebagai “ suatu penyakit yang heterogen, yang
dikarakteristik oleh adanya inflamasi kronis pada saluran pernafasan. Hal ini ditentukan oleh
adanya riwayat gejala gangguan pernafasan seperti mengi, nafas terengah-engah dada terasa
berat/tertekan, dan batuk, yang bervariasi waktu dan intensitasnya, diikuti dengan
keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi, (Kementrian Kesehatan RI, 2017).
Asma Bronkial adalah penyakit gangguan pernapasan yang dapat
menyerang anak-anak hingga orang dewasa, tetapi penyakit ini lebih banyak
terjadi pada anak-anak. Menurut para ahli, prevalensi asma akan terus meningkat.
Sekitar 100 - 150 juta penduduk dunia terserang asma dengan penambahan
180.000 setiap tahunnya (Dharmayanti & Hapsari, 2015). Angka kejadian asma
bervariasi diberbagai negara, tetapi terlihat kecendrungan bahwa penderita
penyakit ini meningkat jumlahnya, meskipun belakang ini obat-obatan asma
banyak dikembangkan.
Asma Bronkial disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, secara
intrinsik asma bisa disebabkan oleh infeksi seperti virus influensa, pneumonia
mycoplasmal, melalui fisik asma dapat terjadi seperti dicuaca dingin, perubahan
tempratur, faktor emosional seperti takut, cemas dan tegang, juga aktivitas yang berlebihan.
Secara ekstinsik atau imunologik asma bisa disebabkan oleh reaksi
antigen, anti body dan inhalasi alergen seperti debu, serbuk, bulu binatang.
(Danusantoso, 2011).
Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi.
Berdasarkan data dari GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300
juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma
mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat saja lebih besar mengingat asma merupakan
penyakit yang underdiagnosed. Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola
hidup masyarakat diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita asma.
Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma berkisar
antara 1-18% (Infodatin, 2017)
Hasil RESKESDAS tahun 2018, melaporkan prevalensi asma di
Indonesia adalah 4,5% dari populasi, dengan jumlah kumulatif kasus asma sekitar
11.179.032. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi asma di
Indonesia 2,4%. Angka ini mengalami penurunan.dibanding tahun 2013, yaitu 4,5%.
Prevalensi asma untuk seluruh kelompok.usia sebesar 3,5% dengan prevalensi penderita
asma pada anak usia 1 - 4 tahun sebesar 2,4% dan usia 5 - 14 tahun sebesar 2,0% (Infodatin,
2019).
Sementara itu, di Provinsi Sumatera Barat prevalensi asma untuk semua.umur mencapai
2,0% (Infodatin, 2019). Kekambuhan asma.ditandai dengan batuk, wheezing, dan kesulitan
bernapas (Ikawati, 2016). Proporsi kekambuhan asma.dalam 12 bulan terakhir
pada penduduk semua umur di Indonesia mencapai 57,5%. Hal ini menunjukkan masih
banyak orang yang.belum dapat mencegah atau meminimalkan kekambuhan asma tersebut.
Proporsi kekambuhan asma dalam 12 bulan terakhir.pada anak-anak umur 0-14 tahun,
pravelansi asma mencapai 3,9%. pada.anak umur 5-14 tahun mencapai 2,2% (Infodatin,
2019)
Dampak buruk dari asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas
yang menurun, peningkatan biaya kesehatan, bahkan kematian (Nugraheni,
2015). Selain itu ada faktor lain yang dapat meningkatkan keparahan asma.
Beberapa diantaranya adalah rinitis yang tidak diobati atau sinusitis, gangguan
refluks gastroesofagal, sensitivitas terhadap aspirin, pemaparan terhadap
senyawa sulfit atau obat golongan beta bloker, dan influenza, faktor mekanik,
dan faktr psikis (stress), (Zullies, 2016).
Solusi yang dilakukan pada anak dengan asma yaitu jauhkan anak-anak
dari agen-agen yang dapat membuat asma kambuh seperti debu, bulu binatang,
perubahan cuaca, dll. Serta selalu berikan masker pada anak dan kenakan pakaian
yang hangat pada anak, saat cuaca yang dingin agar tidak terjadinya kekambuhan
asma pada anak. Upaya yang dilakukan dalam menurunkan angka kejadian asma dengan
menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, hindari merokok dan asap rokok serta
asap korbondiaksoda, hindari binatang yang mempunyai bulu yang halus dan
menjaga pola makan agar tidak terjadinya obesitas, karena obesitas juga
merupakan faktor resiko terjadinya asma pada individu
B. Tujuan
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien anak dengan asma bronkial?

C. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien anak dengan asma bronkial?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori
1. Pengertian

Kata “Asthma” berasal dari bahasa yunani yang berarti “terengah-engah” atau sukar
bernapas. Asma Bronkial adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang
ditandai dengan adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang berulang dan timbul
terutama pada malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernapasan
(Infodatin, 2017). Asma Bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan
peradangan. (Amin & Hardi, 2016).
Penderita asma bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari luar,
seperti debu rumah, bulu binatang, asap dan bahan lain penyebab alergi. Gejala
kemunculannya sangat mendadak, sehingga gangguan asma bisa datang secara tiba-tiba.
Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaranadanya radang yang mengakibatkan
penyempitan saluran pernapasan bagian bawah. Penyempitan ini akibat berkerutnya otot
polos saluran pernapasan, pembengkakan selaput lendir, dan pembentukan timbunan lendir
yang berlebihan (Amin & Hardi, 2016).
2. Etiologi
a. Faktor instrinsik
Faktor pada penderita meliputi faktor genetik (keturunan
penderita asma), alergi, saluran napas yang tidak normal (mudah
terangsang benda-benda halus) yang menyebabkan penyempitan,
jenis kelamin, dan ras/etnis tertentu (Mumpuni & Wulandari,
2013).
b. Faktor ekstrinsik (lingkungan)
Menurut (Doenges et al.,& Mumpuni & Wulandari 2013) faktor lain yang dapat
menyebabkan sseorang terpapar asma adalah sebagai berikut :
1) Perubahan cuaca
2) Makanan tertentu dengan bahan pengawet, penyedap rasa,
maupun zat aditif lain.
3) Bahan-bahan kecil dari dalam ruangan (binatang kecil, kecoa,
hewan peliharaan, debu rumah) maupun dari luar ruangan (jamur, asap, serbuk sari,
lateks, polusi udara)
4) Obat-obatan atau medikasi tertentu.
5) Bau-bauan yang menyengat yang bersifat merangsang.
6) Kondisi emosi yang tidak stabil (marah, depresi, sedih atau senang yang berlebihan).
7) Asap rokok
8) Aktivitas fisik yang terlalu berat dan olahraga
3. Manifestasi Kinis
Secara umum tanda-tanda serangan asma bronkial yaitu
a. sering batuk (terutama pada malam hari) baik disertai dahak maupun tidak. Batuk
adalah pertanda ada yang tidak beres dengan saluran pernapasan.
b. sulit bernapas/sesak napas. Dada terasa sesak karena adanya penyempitan saluran
pernapasan akibat rangsangan tertentu. Akibatnya, untuk memompa oksigen ke
seluruh tubuh harus ekstra keras (memaksa) sehingga dada menjadi sesak.
c. Perasaan selalau merasa lesu dan lelah. Ini akibat kurangnya pasokan oksigen ke
seluruh tubuh.
d. adanya penurunan fungsi paru-paru diukur dengan peakflowmeter
e. Susah tidur karena sering batuk atau terbangun akibat dada sesak.
f. kesulitan melakukan aktivitas normal sehari-hari.
g. Lebih sensitive terhadap alergi.
h. Paru-paru tidak berfungsi secara normal (Mumpuni & Wulandari, 2013).
Gejala lain dari serangan asma yaitu mengi yang parah saat menarik maupun
mengeluarkan napas, batuk terus-menerus, pernapasan yang sangat cepat, nyeri dada,
tarikan otot bantu pernapasan, kesulitan berbicara, perasaan cemas/panik, pucat,
berkeringat dingin, bibir biru atau kuku menjadi biru (sianosis) (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (PDPI, 2018).
4. Klasifikasi Derajat Asma Bronkial
Klasifikasi keparahan asma sebagi berikut :
KLASIFIKA FREKUENSI GEJALA GEJALA DI FUNGSI PARU-
SI MALAM PARU
HARI
Stadium 1  Gejala kurang dari 2 kali ≤ 2 kali dalam atau PEF ≥ 80%
Intermiten seminggu sebulan prediksi
ringan  Serangan singkat Variabilitas PEF <
(beberapa jam hingga 20%
beberapa hari) sengan
intensitas beragam
 Asimtomatik dan
kecepatan aliran ekspirasi
(peak respiratory flow,
PEF) normal diantara
serangan

Stadium 2  Gejala > 2 kali tetapi < 1 > 2 kali atau PEF ≥80%
Persisten kali dalam sehari sebulan prediksi
ringan  Eksaserbasi dapat Variabilitas PEF
memengaruhi aktivitas 20-30%

Stadium 3  Gejala terjadi setiap hari. >1 kali atau PEF > 60%
Persisten  Harus menggunakan seminggu hingga < 80%
sedang bronkodilator kerja prediksi
singkat setip hari. variabilitas PEF >
 Eksaserbasi memengaruhi 30%
aktivitas
 Eksaserbasi > 2 kali
seminggu, dan dapat
bertahan dalam beberapa
hari.

Stadium 4  Gejala berlanjut atau Sering atau PEF ≤ 60%


Persisten berat gejala terus menerus prediksi
timbul Variabilitas PEF >
 Aktivitas fisik terbatas 30%
 Eksaserbasi sering terjadi

Sumber (Black & Hawks, 2014; Lemone et al., 2016)


5. Patofisiologi
Faktor-faktor penyebab seperti virus, bakteri, jamur, parasit, alergi, iritan, cuaca,
kegiatan jasmani dan psikis akan merangsang reaksi hiperreaktivitas bronkus dalam
saluran pernafasan sehingga merangsang sel plasma menghasilkan imunoglubulin E
(IgE). IgE selanjutnya akan menempel pada reseptor dinding sel mast, kemudian sel mast
tersensitasi. Sel mast tersensitasi akan mengalami degranulasi, sel mast yang mengalami
degranulasi akan mengeluarkan sejumlah mediator seperti histamin dan bradikinin.
Mediator ini menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga timbul edema
mukosa, peningkatan produksi mukus dan kontraksi otot polos bronkiolus. Hal ini akan
menyebabkan proliferasi akibat terjadinya sumbatan dan daya konsulidasi pada jalan
nafas sehingga proses pertukaran O2 dan CO2 terhambat akibatnya terjadi ganguan
ventilasi. Rendahnya masukan O2 ke paru-paru terutama pada alveolus menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan CO2 dalam alveolus atau yang disebut dengan
hiperventilasi, yang akan menyebabkan terjadi alkalosis respiratorik dan penurunan CO2
dalam kapiler (hipoventilasi) yang akan menyebabkan terjadi asidosis respiratorik. Hal
ini dapat menyebabkan -paru tidak dapat memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran
gas yaitu membuang karbondioksida sehingga menyebabkan konsentrasi O2 dalam
alveolus menurun dan terjadilah gangguan difusi, dan akan berlanjut menjadi gangguan
perfusi dimana oksigenasi ke jaringan tidak memadai sehingga terjadi hipoksemia dan
hipoksia yang akan menimbulkan berbagai manifestasi klinis (Nugroho, T. 2016)
Hiperplasia otot polos dan hiperresponsif bronkial akibat proses inflamasi
kronis menyebabkan menyempitnya saluran udara, hal ini menimbulkan gejala-
gejala mengi, batuk, sesak dada dan nafas pendek. Serangan asma berkaitan dengan
obstruksi jalan nafas secara luas yang merupakan kombinasi spasme otot polos bronkus,
edem mukosa, sumbatan mukus, dan inflamasi saluran nafas. Sumbatan jalan nafas
menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas, terperangkapnya udara, dan distensi paru
yang berlebih (hiperinflasi). Perubahan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh
jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dan perfusi.
Hiperventilasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi
peningkatan kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk
ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, dapat semakin sempit atau
menyebabkan penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya pnemotoraks.

6. Komplikasi

Menurut (Wahid & Suprapto, 2013) komplikasi yang dapat timbul pada klien
dengan asma bronkial adalah :
a. Status asmatikus
Status asmatikus (SA) adalah suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut
yang bersifat refrator terhadap pengobatan yang lazim dipakai. Harus selalu diingat
bahwa timbulnya pneumothoraks pada klien SA, terutama bila sudah ada emfisema paru
sebelumnya. Selain itu, bisa juga timbul komplikasi sekunder akibat shock dan/atau
infeksi pada paru (Danusantoso, 2018).
b. Atelektasis
Atelectasis merupakan suatu kondisi dimana paru tidak mampu untuk berkembang dan
mengempis.
c. Hipoksemia
d. Pneumothoraks
Pneumothoraks disebabkan oleh distensi paru yang berlebih dan ruptur bleb
pleura. Impaksi mukus dapat memperlihatkan adanya kontaminasi oleh spesies jamur
Aspergillus yang dapat memicu asma (Herrington, 2017).

e. Deformitas thoraks

f. Gagal napas

g. Emfisema

h. Bronkiestasis

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik digunakan untuk menentukan derajat keterlibatan jalan
napas selama dan antara episode akut dan mengidentifikasi faktor penyebab seperti
allergen dan asuhan keperawatan yang terkait pemeriksaan diagnosa ini (Lemone et al.,
2016). Pemeriksaan diagnostik yang dibutuhkan dalam penanganan klien asma bronkial
adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum bertujuan untuk melihat adanya :
(a) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari Kristal eosinophil.
(b) Spinal curshman, yakni merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
(c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
(d) Netrofil dan eosinophil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
b. Pemeriksaan darah
1) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat terjadi hipoksemia,
hipercapnia atau sianosis. Analisa gas darah bertujuan untuk menilai efisiensi
pertukaran gas di paru-paru, menilai integritas system pengendalian ventilasi,
menentukan kadar asam basa dalam darah, dan untuk memantau terapi pernapasan
(Kowalak & Welsh, 2011).
2) Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH.
3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang diatas 1500/ yang menandakan adanya
infeksi.
4) Pemeriksaan alergi meningkatkan peningkatan Ig. E pada waktu serangan dan
menurun pada saat bebas serangan asma (Wahid & Suprapto, 2013).
c. Pemeriksan penunjang
1) Pemeriksan radiologi
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflamasi paru yakni radiolusen
yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Pada penderita dengan
komplikasi akan terdapat gambaran sebagai berikut :
(a) Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak-bercak di hillus akan bertambah.
(b) Bila ada emfisema (COPD), gambaran radiolusen semakin bertambah.
(c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltraste paru.
(d) Dapat menimbulkan gambaran atelectasis paru.
(e) Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada paru (Wahid &
Suprapto, 2013).
2) Pemeriksaan tes kulit
Menurut (Wahid & Suprapto, 2013) tes ini dilakukan untuk mencari dan
mengidentifikasi allergen spesifik yang dapat memicu terjadinya serangan asma.
Dalam (Lin & Rypkema, 2010) dijelaskan bahwa pengujian kulit ini merupakan
modalitas yang paling cepat dan spesifik. Hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 20
menit setelah uji di mulai. Uji ini mengevaluasi degranulasi sel mast ketika kulit klien
terpajan oleh alergen. Antihistamin menyekat efek uji kulit, sehingga harus
dihentikan sebelum pengujian.
3) Elektrokardiografi
(a) Terjadi right axis deviation.
(b) (2) Adanya hipertropi otot jantung Right bundle branch block.
(c) (3) Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi, SVES, VES atau terjadi depresi
segmen ST negative.
4) Scanning paru
Melalui inhilasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma
tidak menyeluruh pada paru-paru (Wahid & Suprapto, 2013).
5) Uji In Vitro (uji radioalergosorben (RAST) atau uji PRIST)
Pengujian ini dapat mengevaluasi adanya Ig.E dalam serum klien melawan
alergen tertentu, yang biasanya diimobilisasi pada suatu cakram atau lempeng plastic.
Uji ini hanya menentukan apakah terdapat Ig.E spesifik dalam darah dan mempunyai
potensi memberikan hasil positif pada alergen yang tidak dipajankan pada klien atau
terhadap alergen yang secara klinis tidak menyebabkan alergi pada klien. Pada
umumnya, sensitivitas dan spesifisitas uji in vitro sama dengan pengujian kulit
intradermal (Wahid & Suprapto, 2013).
6) Spirometri
Menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara tepat diagnosis asma
adalah dengan melihat pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri
dilakukan sebelum atau sesudah pemberian aerosol bronkodilator (inhaler dan
nebulizer), peningkatan FEV1 dan FCV sebanyak lebih dari 20% menunjukkan
diagnosis asma (Wahid & Suprapto, 2013).

8. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis
dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas
hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktivitas sehari hari. Untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang
terkontrol (Putri K,D Eds. 2019).
a. Penanganan Asma :
1) Agonis beta : untuk mendilatasi otot-otot polos bronkial dan meningkatkan
gerakan sililaris. Contoh obat : epineftrin, albutenol, meta profenid, iso
proterenoliisoetharine, dan terbutalin. Obat-obat ini biasa digunakan secara
parenteral dan inhalasi.
2) Bronkodilator, merilekskan otot-otot polos, dan meningkatkan gerakan mukus
dalam jalan nafas. Contoh obat : aminophyllin, teophyllin, diberikan secara IV
dan oral
3) Antikolinergik, contoh obat : atropin, efeknya : bronkodilator, diberikan secara
inhalasi.
4) Kortikosteroid, untuk mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor. Contoh
obat : hidrokortison, dexamethason, prednison, dapat diberikan secara IV dan
oral.
5) nhibitor sel mast, contoh obat : natrium kromalin , diberikan melalui inhalasi
untuk bronkodilator dan mengurangi inflamasi jalan nafas.
6) Oksigen, terapi diberikan untuk mempertahankan PO2 pada tingkat 55 mmHg.
7) Fisioterapi dada, teknik pernafasan dilakukan untuk mengontrol dispnea dan
batuk efektif untuk meningkatkan bersihan jalan nafas, perkusi dan postural
drainage dilakukan hanya pada pasien dengan produksi sputum yang banyak.
Pertolongan pertama pada penderita asma :
a. Jangan panik dan tenangkan diri anda dan penderita diri asma tersebut sampai
benar-benar rileks.
b. Bawa penderita ke tempat yang nyaman dengan udara yang bersih serta
sirkulasinya baik. Hindari penderita dari allergen yang mungkin memicu asma.
c. Atur posisi duduk yang nyaman pada pasien.
d. Bantulah penderita untuk menghirup inhaler-nya.
e. Sarankan penderita untuk bernafas dalam dan perlahan.
f. Jika serangan asma berhenti dalam 5-10 menit, sarankan agar penderita untuk
menghirup kembali 1 dosis inhaler.
g. Hubungi dokter jika serangan asma tersebut adalah serangan yang pertama kali
dialami.
h. Jika inhaler tidak berfungsi dan serangan asma tidak berhenti dalam 5-10
menit, segera bawa penderita ke rumah sakit terdekat secepatnya.
i. Jika penderita berhenti bernafas atau kehilangan kesadaran, periksa pernafasan
serta peredaran darahnya. Lalu lakukan resusitasi pada penderita.
b. Penatalaksanaan Medis :
1) Oksigen 4-6 liter / menit
2) Pemenuhan hidrasi via infus
3) Terbutalin 0,25 mg / 6 jam secara subkutan (SC)
4) Bronkodilator / antibronkospasme dengan cara :
(a) Nebulizer (via inhalsi) dengan golongan terbutaline 0,25 mg (Bricasma),
fenoterol HBr 0,1 % solution (berotec), orciprenaline sulfur 0,75 mg
(Allupent).
(b) Intravena dengan golongan theophyline ethilenediamine (Aminophillin)
bolus IV 5-6 mg/ kg BB
(c) Peroral dengan aminofillin 3x150 mg tablet, agonis B2 (salbutamol 5 mg
atau feneterol 2,5 mg atau terbutaline 10 mg
(d) Antiedema mukosa dan dinding bronkus dengan golongan kortikosteroid,
deksamethasone 4 mg IV setiap 8 jam
(e) Mukolitik dan ekspektoran :
(1) Bronhexime HCL 8 mg per oral 3x1
(2) Nebulizer (via inhalsi) dengan golongan bronhexime HCL 8 mg
dicampur dengan aquades steril. (Nugroho, T. 2016).
B. Asuhan Keperawatan Secara Teoritis pada Asma Bronkial
1. Pengkajian
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), meliputi :
a. Identitas pasien berisikan nama pasien, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, tanggal
masuk sakit, rekam medis.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma adalah dispnea (sampai bisa
berhari-hari atau berbulan-bulan), batuk, dan mengi (pada beberapa kasus lebih banyak
paroksimal).
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan yang dikaji adalah gejala yang dirasakan saat ini, termasuk
kekakuan dada, sesak napas, durasi serangan saat ini, dan tindakan yang digunakan
untuk meredakan gejala dan efek yang ditimbulkan (Lemone et al., 2016).
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor prediposisi timbulnya penyakit ini, di
antaranya adalah riwayat alergi dan riwayat penyakit saluran nafas bagian bawah
(rhinitis, utikaria, dan eskrim).
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien dengan asma sering kali didapatkan adanya riwayat penyakit turunan, tetapi
pada beberapa klien lainnya tidak ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota
keluarganya.
f. Riwayat psikososial
1) Pola interaksi
Pada pasien asma, biasanya interaksi dengan orang lain berkurang.
2) Pola kesehatan sehari-hari
a) Pola Nutrisi
Perlu dikaji tentang status nutrisi pasien meliputi, jumlah,
frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya.
Serta pada pasien sesak, potensial sekali terjadi kekurangan dalam
memenuhi kebutuhan nutrisi, hal ini karena dispnea saat makan,
laju metabolisme serta ansietas yang dialami pasien.
b) Pola Eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna,
bentuk, konsistensi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam
eliminasi. Penderita asma dilarang menahan buang air kecil dan
buang air besar, kebiasaan menahan buang air kecil dan buang air
besar akan menyebabkan feses menghasilkan radikal bebas yang
bersifat meracuni tubuh, menyebabkan sembelit, dan semakin
mempersulit pernafasan (Mumpuni & Wulandari, 2013).
c) Pola Istirahat
Perlu dikaji tentang bagaimana tidur dan istirahat pasien meliputi
berapa lama pasien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat
kelelahan yang dialami pasien. Adanya wheezing dan sesak dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat pasien.
d) Pola Personal Hygiene
Perlu dikaji personal Hygiene pada pasien yang mengalami asma.
Terkadang ada hambatan dalam personal hygiene.
e) Aktivitas
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian pasien, seperti olahraga,
bekerja, dan aktfitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor
pencetus terjadinya asma. Turunnya toleransi tubuh terhadap
kegiatan olahraga (Mumpuni dan Wulandari, 2013).
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum klien
Keadaan umum pada pasien asma yaitu compos mentis, lemah, dan
sesak nafas.
2) Kepala
Simetris, tidak ada nyeri tekan, warna rambut hitam atau putih, tidak
ada lesi.
3) Telinga
Inspeksi : Simestris, tidak ada lesi, tidak ada benjolan.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
4) Mata
Inspeksi : Simestris, tidak ada lesi, tidak ada odema
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, konjungtiva merah muda, sklera putih
5) Hidung
Inspeksi : Simetris, terdapat rambut hidung, terdapat pernafasan cuping hidung,
tidak ada lesi
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
6) Mulut
Inspeksi : Mukosa bibir lembab, tidak ada lesi disekitar mulut, biasanya ada
kesulitan untuk menelan.
7) Leher
Inspeksi : Simetris, tidak ada peradangan, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
8) Thoraks
Inspeksi: Batuk produktif/nonproduktif, terdapat sputum yang kental dan
sulit dikeluarkan, bernafas dengan menggunakan otot-otot
tambahan, pernafasan cuping hidung, penggunaan oksigen, dan sulit bicara
karena sesak nafas
Palpasi : fremitus raba kanan dan kiri sama
Perkusi : hipersonor
Auskultasi : Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (Whezzing)
9) Jantung
Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis terletak di ICS V mid clavicula kiri
Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 terdengar tunggal, tidak ada suara
tambahan
Perkusi : suara pekak
10) Abdomen
Inspeksi : dinding perut cekung dari dada, tidak ada lesi
Palpasi: tidak ada nyeri tekan, dan tidak ada penumpukan cairan
Perkusi : terdengar suara tympani
Auskultasi : terdengar bising usus dan peristaltik usus 15x/menit.
11) Genetalia
Kaji apakah ada kelainan pada genetalia anak
12) Ekstermitas :
1) Atas : kaji kekuatan otot, CRT , akral .
2) Bawah: kaji kekuatan otot, CRT, dan akral
h. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium meliputi :
a) Pemeriksaan sputum
b) Pemeriksaan darah (Analisa gas darah, peningkatan dari SGOT dan LDH, kadar
leukosit)
2) Pemeriksaan Radiologi
3) Gambaran radiologi
4) Pemeriksaan tes kulit

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah fase kedua proses keperawatan. Pada fase
ini, perawat menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk menginterpretasi
data pengkajian dan mengidentifikasi kekuatan serta masalah klien. Diagnosis
adalah langkah yang sangat penting dalam proses keperawatan. Semua aktiftas
sebelum fase ini ditunjukkan untuk merumuskan diagnosis keperawatan, semua
aktivitas perencanaan asuhan setelah fase ini didasarkan pada diagnosis
keperawatan (Kozier, Berman & Snyder, 2011). Diagnosa yang mungkin muncul pada
pasien asma
a. Bersihan jalan nafas b.d mucus dalam jumlah
berlebihan, peningkatan produksi mucus, eksudat dalam alveoli, dan
bronkospasme
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane
alveolus-kapiler
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
e. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan mencerna
makanan

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian kelinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018). Intervensi keperawatan pada kasus asma berdasarkan buku
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia sebagai berikut:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
Definisi : Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas untuk
mempertahakan jalan nafas tetap paten.
b.d
 Spasme jalan nafas
 Hipersekresi jalan nafas
 Disfungsi neuromuscular
 Benda asing dalam jalan nafas
 Adanya jalan nafas buatan
 Sekresi yang tertahan
 Hyperplasia dinding jalan nafas
 Proses infeksi
 Respon alergi
 Efek agen farmakologis (mis : anastesi)
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas
meningkat, Kriteria hasil:
1) Batuk efektif meningkat
2) Produksi sputum menurun
3) Mengi menurun
4) Wheezing menurun
5) Dispnea menurun
6) Sianosis menurun
7) frekuensi nafas membaik
8) pola nafas membaik

Manejemen jalan napas :


Definisi :
Mengidentifikasi dan mengelola kepatenan jalan napas.
Observasi
1) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2) Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing,
ronkhi kering)
3) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
1) Posisikan semi-Fowler atau Fowler
2) Berikan minum hangat
3) Lakukan fisioterapi dada
4) Lakukan hiperoksigenasi sebelum pengisapan endotrakeal
5) Berikan oksigen
Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
2) Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut
dengan bibir mecucu (dibulatkan) selam 8 detik
3) Anjurkan tarik nafas dalam hingga 3 kali
4) Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik nafas dalam yang ke-3
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik jika perlu
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
1) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola nafas membaik
Kriteria hasil:
(a) Kapasitas vital meningkat
(b) Tekanan ekspirasi dan inspirasi meningkat
(c) Dispnea menurun
(d) Penggunaan otot bantu nafas menurun
(e) Pernafasan cuping hidung menurun
(f) Frekuensi nafas membaik
(g) Kedalaman nafas membaik
Pemantauan Respirasi
Definisi: Mengumpulkan dan menganalisis data untuk memastikan
kepatenan jalan napas dan keefektifan pertukaran gas.
Tindakan :
Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas.
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne- Stokes, Biot, ataksik)
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai A G D
 Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumtasikan hasil pemantauan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantaun
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
c. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolus-
kapiler
kriteria hasil :
1) Tingkat kesadaran meningkat
2) Dyspnea menurun
3) Bunyi napas tambahan menurun
4) Pusing menurun
5) Penglihatan kabur menurun
6) Diaphoresis menurun
7) Gelisah menurun
8) Napas cuping hidung menurun
9) PCO2 membaik
10) PO2 membaik
11) Takikardia membaik
12) pH arteri membaik
13) Sianosis membaik
14) Pola napas membaik
15) Warna kulit membaik
Terapi Oksigen
Definisi: Memberikan tambahan oksigen untuk mencegah dan mengatasi kondisi
kekurangan oksigen jaringan.
Tindakan :
Observasi
 Monitor kecepatan aliran oksigen paru
 Penyakit membran hialin
 Monitor posisi alat terapi oksigen
 Monitor aliran oksigen secara periodic dan pastikan fraksi yang diberikan cukup
 Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. oksimetri, analisa gas darah), jika perlu
 Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
 Monitor tanda – tanda hipoventilasi
 Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelectasis
 Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
 Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen
Terapeutik
 Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trakea, jika perlu
 Pertahankan keptenan jalan napas
 Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
 Berikan oksigen tambahan, jika perlu
 Tetap erikan oksigen saat pasien ditransportasi
 Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat mobilitas pasien
Edukasi
 Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen di rumah
Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis oksigen
 Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur.

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara


suplai dan kebutuhan oksigen
Kriteria hasil :
1) Keluhan lelah menurun
2) Dispnea saat aktivitas menurun
3) Dispnea setelah aktivitas
4) Perasaan lemah menurun
5) Frekuensi nadi menurun
6) Aritmia saat aktivitas menurun
7) Aritmia setelah aktivitas menurun
8) Tekanan darah membaik
9) EKG iskemia membaik
10) Sianosis menurun
Manajemen energi
Tindakan:
Observasi
 Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
 Monitor kelelahan fisik dan emosional
 Monitor pola dan jam tidur
 Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Terapeutik
 Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
 Lakukan latihan rentang gerak pasif dan atau aktif
 Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
 Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
 Anjurkan menghubungiperawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkuran
 Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

e. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan mencerna makanan


Kriteria hasil :
1) Porsi makanan yang dihabiskan meningkat
2) Kekuatan otot menelan meningkat
3) Kekuatan otot pengunyah meningkat
4) Nafsu makan membaik
5) Perasaan cepat kenyang menurun
6) Frekuensi makan membaik
7) Bising usus membaik
8) Pengetahuan tentang makanan dan minuman yang sehat meningkat
9) Pengetahuan tentang standar asupan nutrisi yang tepat meningkat
10) Berat badan (Indeks Masa Tubuh) membaik
Manajemen Nutrisi
Observasi :
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi nutrisi dan intoleransi makanan
 Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
Terapeutik :
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Edukasi :
 Ajarkan diet yang diprogramkan

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan inisiatif dari rencana
tindakan dalam mencapai tujuan yang spesifik. Implementasi keperawatan
dengan posisikan pasien asma bronkhial untuk memaksimalkan ventilasi
sudah dilakukan.Tahap pelaksanaan ini dilaksanaan setelah intervensi
disusun dan telah ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien
dalam mencapai tujuan yang diharapkan (Sitiatava, 2012).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan berisi tentang kriteria keberhasilan proses
dan tindakan keperawatan. Evaluasi keperawatan dengan posisikan pasien
asma untuk memaksimalkan ventilasi sudah dilakukan pada kedua pasien.
Keberhasilan tersebut dapat dilihat dengan membandingkan antara proses
pedoman/ rencana tersebut sedangkan keberhasilan tindakan dilihat dengan
membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan sehari-
hari dan tingkat kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang telah
dirumuskan sebelumnya (Sitiatava, 2012).

Anda mungkin juga menyukai