Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN PEMICU 1

MODUL SARAF JIWA

Anggota DK 1:
Deril Rengga Permana I11108021
Christina Wiyaniputri I11112070
Reni Marsilia I11112080
Lya Novya I1011131004
Sandi Apriadi I1011131005
Jonathan M.S Pakpahan I1011131015
Atika I1011131018
Gusti Ahmad Faiz Nugraha I1011131040
Bella Faradiska Yuanda I1011131041
Inggri Ocvianti Ningsih I1011131051
Jefrianto I1011131078
Pamela Rita Sari I1011131085

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Pemicu 1
Seorang perempuan berumur 65 tahun dengan riwayat hipertensi tidak
terkontrol dan jarang periksa ke dokter dilaporkan secara mendadak mengalami
nyeri kepala hebat, bicara pelo, mulut perot, muntah hebat, kejang-kejang beberapa
kali kurang lebih selama 5 menit, kelemahan anggota gerak sebelah kiri, kemudian
tidak sadar selama 4 jam, kemudian pasien dibawa ke IGD rumah sakit umum
daerah. Pada pemeriksaan di unit gawat darurat, dokter menemukan pupil anisokor.

1.1 Klarifikasi dan Definisi


Pupil anisokor : Diameter pupil mata tidak sama antara mata kiri dan kanan.

1.2 Kata Kunci


1. Wanita, 65 tahun 6. Muntah hebat
2. Hipertensi tidak terkontrol 7. Kejang ( 5 menit)
3. Nyeri kepala hebat 8. Pupil anisokor
4. Bicara pelo 9. Tidak sadar selama 4 jam
5. Mulut perot 10. Kelemahan anggota gerak sebelah kiri

1.3 Rumusan Masalah


Wanita, 65 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala hebat, bicara
pelo, mulut perot, muntah hebat, kejang-kejang, kelemahan anggota gerak sebelah
kiri serta tidak sadarkan diri selama 4 jam dengan riwayat hipertensi tidak
terkontrol.

1
1.4 Analisis Masalah

Wanita, 25 tahun

IGD

Anamnesis: Riwayat Penyakit:

1. Nyeri Kepala Hebat Hipertensi Tak


Terkontrol
2. Bicara pelo
3. Mulut Perot
4. Muntah Hebat
5. Kejang-Kejang
6. Hemiparese Sinistra
7. Tidak Sadar

Pemeriksaan Fisik : Pupil Anisokor

Stroke

Stroke Hemoragik Stroke Non-Hemoragik

Pemeriksaan Penunjang

Tatalaksana Diagnosis Pasti Prognosis

7
1.5 Hipotesis
Wanita 65 tahun mengalami stroke .

1.6 Isu Pembelajaran


1. Anatomi sistem saraf
2. Vaskularisasi di otak
3. Jaras sistem sensorik dan motorik
4. Penilaian kesadaran secara kuantitatif dan kualitatif
5. Pemeriksaan fisik pasien neurologis
6. Diagnosis pasien neurologis
7. Patofisiologi penurunan kesadaran
8. Peningkatan tekanan intrakranial
9. Stroke
a) Definisi f) Gejala Klinis
b) Epidemiologi g) Diagnosis
c) Etiologi h) Tatalaksana
d) Klasifikasi i) Komplikasi
e) Patofisiologi j) Prognosis
10. Studi Kasus
a) Hubungan terjadinya kelemahan anggota gerak sebelah kiri dengan kasus
b) Hubungan hipertensi dengan kasus
c) Hubungan muntah dengan kasus
d) Hubungan nyeri kepala dengan kasus
e) Hubungan mulut perot dan bicara
f) Hubungan kejang dengan kasus
g) Hubungan pupil anisokor dengan kasus
h) Tatalaksana kegawatdaruratan pada kasus

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi sistem saraf
Pembagian utama susunan saraf pusat (SSP), tepi (SST), dan otonom
(SSO) yaitu sebagai berikut :
1. Susunan Saraf Pusat
A. Otak

Gambar 1. Lobi cerebri; dilihat dari superior.

Gambar 2. Area-area korteks fungsional pada hemispherium cerebri menurut


FOERSTER; dilihat dari kiri.

6
Gambar 3. Selaput pelindung otak.

1) Prosensephalon
Cerebrum
a. Merupakan derivat dari telensephalon
b. Terdiri dari dua hemisfer yaitu kanan dan kiri
c. Pada permukaannya terdapat gyrus, sulcus, dan fissure
d. Terdiri atas empat lobus : frontalis,parietalis,temporalis, occipitalis
Diensephalon (antara otak)
2) Mesensephalon
3) Rhombensephalon
a) Medulla oblongata
b) Pons
c) Cerebellum
Mesensephalon, pons, dan medulla oblongata membentuk batang otak.

7
Gambar 4. Susunan sistem saraf pusat; potongan median.

B. Medulla Spinalis
1) Pars cervicalis 4) Pars sacralis
2) Pars thoracica 5) Pars coccygea
3) Pars lumbalis

Gambar 5. Medulla spinalis dan saraf spinal; dilihat dari dorsal.

6
2. Susunan Saraf Tepi
Saraf-saraf kranial dan ganglianya 12 pasang yang keluar dari
tengkorak melalui foramen.
I. Olfactorius VII. Facialis
II. Opticus VIII. Vestibulocochlear
III. Oculomotorius IX. Glossopharyngeus
IV. Trochlearis X. Vagus
V. Trigeminus XI. Accessorius
VI. Abducens XII. Hypoglossus
Saraf-saraf spinal dan ganglianya 31 pasang yang keluar dari columna
vertebralis melalui foramen intervertebralis.

Gambar 6. Sistem Saraf Kranial


3. Susunan Saraf Otonom
a. Simpatetik
b. Parasimpatetik

7
Gambar 7. Saraf simpatetik dan parasimpatetik

a. ARAS
ARAS (ascending reticular activating system) adalah suatu sistem yang
mempertahankan seseorang dalam keadaan responsif. Lokasi di mana stimulasi
menyebabkan keadaan bangun terdiri dari berbagai titik yang menyebar mulai
dari nukleus thalamus non-spesifik sampai ke otak tengah bagian kaudal. Titik-
titik ini menempatkan diri di sepanjang inti neuron-neuron yang terorganisir
secara longgar, daerah yang dinamakan sebagai formatio retikularis oleh para
ahli anatomi.1

8
Gambar 8. Anatomi sistem ARAS1

2.2 Vaskularisasi di otak1


Otak diperdarahi oleh dua arteria carotis interna dan dua arteria
vertebralis. Keempat arteria terletak di dalam ruang subarakhnoid dan cabang-
cabangnya beranastomosis pada permukaan Inferior otak untuk membentuk
sirkulus willisi.
Arteria Karotis Interna
Berjalan naik melalui leher dan menembus basis cranii. Kemudian
berjalan secara horizontal ke depan melalui sinus cavernosus dan muncul
dengan menembus durameter, masuk ke dalam ruang subarakhnoid dengan
menembus arakhnoidea meter, berbelok ke posterior menuju ujung medial
sulkus lateralis serebri. Di daerah ini arteri carotis interna terbagi menjadi dua
yaitu arteri cerebri anterior dan arteri cerebri media.

7
Gambar 9. Vaskularisasi di Otak1

Cabang-cabang Pars Serebralis


1. Arteria opthalmica
Berasal dari arteri carotis interna muncul dari sinus cavernosus, kemudian
masuk ke orbita melalui canalis optikus di bawah nervus optikus. Arteri ini
memperdarahi mata dan strukur orbita lainnya.
2. Arteria communicans posterior
Merupakan pembuluh darah kecil dari percabangan arteria carotis interna.
Arteri ini berjalan kearah posterior diatas nervus oculomotorius untuk
bergabung dengan arteria cerebri posterior bergabung dengan arteria cerebri
posterior membentuk sirkulus willis.
3. Arteria choroidea
Merupakan cabang kecil dari arteria carotis interna. Berjalan ke posterior dekat
tractus optikus dan berakhir ke plexus choroideus, kemudian membentuk
cabang-cabang kecil disekitarnya.

8
4. Arteria cerebri anterior
Merupakan cabang terminal arteria carotis yang kecil. Berjalan ke depan dan
medial kemudian masuk ke fissura longitudinalis serebri, disini arteria ini
berhubungan dengan arteria cerebri anterior sisi kontralateral melalui arteri
comunicans anterior. Arteria melengkung kebelakang diatas corpus collasum.
Cabang-cabang kortikal memperdarahi seluruh permukaan medial cortex
cerebri dibagian Posterior hingga mencapai sulcus parieto-occipitalis. Cabang-
cabang tersebut juga memperdarahi corteks cerebri selebar pita 1 inchi pada
pemukaan lateral yang berdekatan, dengan demikian arteria ini memperdarahi
area tungkai gyrus precentalis. Sekelompok cabang sebtral menembus
substansia perforata ante dan membantu dalam menyuplai bagian-bagian
nucleus lentiformis, nucleus caudatus, dan capsula interna.
5. Arteria cerebri media
Cabang terbesar arteria carotis interna. Berjalan lateral di dalam sulcus lateralis
serebri. Cabang-cabang kortikal memperdarahi seluruh permukaan lateral
hemispherium, kecuali daerah pita sempit yang disuplai oleh arateria cerebri
anterior, polus ocipitalis, dan permukan inferolateral hemispherium cerebri
yang diperdarahi oleh arteri cerebri posterior. Dengan demikian arteri ini
memperdarahi seluruh daerah motorik kecuali area tungkai. Cabang-cabang
sentral masuk ke substansia perforata anterior dan menyuplai nukleus
lentiformis, nucleus caudatus, serta capsula interna. Arteria ini masuk ke
kranium melalui foramen magnum menembus dura mater dan arachnoidea
mater untuk msk ke ruang subarakhnoid. Kedua sisi arteri vertebralis
membentuk arteri basilaris.
Cabang-cabang pars kranialis :
1. Rami meningei
Cabang kecil dan memperdarahi tulang serta dura di fossa kranii posterior.
2. Arteria spinalis Posterior
Berasal dari arteria vertebralis. Arteria ini berjalan turun pada permukaan
posterior medulla spinalis di dekat radices posterior nervi spinalis.

7
3. Arteria spinalis anterior
Dibentuk dari cabang masing-masing arteria vertebralis dekat bagian
akhirnya. Berjalan turun pada permukaan anterior medulla oblongata dan
medulla spinalis. Terbenam di sepanjang pia mater di sepanjang fisura
mediana anterior.
4. Arteria inferior posterior serebelli
Cabang terbesar arteria verterbralis yang berjalan tidak teratur antara
medulla oblongata dan cerebellum. Memperdarahi permukaan inferior
vermis, permukaan bawah hemisferium serebelli. Menyuplai medulla
oblongata dan plexus choroideus ventriculi quarti (IV).
5. Arteria medullaris
Cabang-cabang yang sangat kecil yang didistribusikan ke medulla
oblongata.
Arteri Basillaris
Terbentuk dari 2 gabungan arteri vertebralis, berjalan ke atas di dalam
sulkus pada permukaan anterior pons. Arteri ini bercabang menjadi dua arteri
cerebri posterior.
Cabang- cabang arteri basilaris
1. Arteria Pontis
Pembuluh-pembuluh kecil yang masuk ke substansi pons
2. Arteria labyrinthi
Arteria panjang serta sempit yang menyertai nervus facialis dan nervus
vestibulo coklearis dan memperdarahi telinga dalam.
3. Arteria inferior anterior cerebelli
Memperdarahi anterior dan inferior cerebellum. Beberapa cabang berjalan
ke pons dan bagian atas medulla oblongata.
4. Arteria superior cerebelli
Berasal dekat terminal arteria basillaris. Memperdarahi permukaan
Superior serebellum dan juga menyuplai pons

8
Arteria cerebri posterior
Melengkung ke arah lateral dan belakang mesencephalon. Bergabung
dengan ramus communicans posterior arteria carotis interna. Cabang kortikal :
permukaan inferolateral, medial lobus temporalis, medial lobus oksipetalis.
Memperdarahi korteks visual.
Cabang sental : talamus, mesencephalon, glandula pinealis
Terletak dalam fossa interpeduncullaris basis cranii, dibentuk oleh anastomosis
kedua arteri carotis interna dan kedua arteria vertebralis. Memperdarahi semua
bagian di hemisferium serebri. Cabang-cabang kortkal dan sentral berasal dari
dari sirkulus ini dan menyuplai jaringan otak. Tidak ada satu atau kedua arteri
communicans posterior dilaporkan.
Sirkulasi Wilisi
Circulus Willisi terletak di dalam fossa interpeduncularis basis cranii.
Circulus ini dibentuk oleh anastomosis antara kedua A.carotis intema dan kedua
A.vertebralis. A. communicans anterior, A.cerebri anterior, A.carotis interna,
A.communicans posterior, A.cerebri posterior, dan A.basilaris ikut membentuk
circulus ini. Circulus Willisi memungkinkan darah yang masuk melalui
A.carotis internaa atau A.vertebralis untuk didistribusikan ke setiap bagian dari
kedua hemispherium cerebri. Cabang-cabang cortical dan central dari circulus
ini mendarahi substansi otak.

Gambar 10. Sirkulus Wilisi1

7
Vena-vena Otak
Vena-vena serebri tidak mempunyai jaringan muskular pada dindingnya
yang sangat tipis. Vena-vena ini tidak memiliki katup, muncul dari dalam otak
dan terletak di ruang subarakhnoid. Vena menembus arakhnoidea meter dan
lapisan meningeal durameter kemudian mengalir dalam sinus venosus kraanii.
2.1 Vena-vena cerebri eksterna
Terdiri dari vena cerebri superior ( bermuara dalam sinus sagitalis
superior), vena cerebri media superficialis( bermuara dalam sinus
cavenosus), vena cerebri media profunda( bermuara ke dalam sinus
rectus).
2.2 Vena-vena cerebri interna
Terdiri dari vena thalamostriata dan vena choroidea.

2.3 Jaras sistem sensorik dan motoric1


a. Sistem Motorik
Perjalanan saraf motorik terbagi dua yaitu sistem piramidalis dan
ekstrapiramidalis.
a. Sistem Piramidalis :
Pusat sistem motorik terletak di gyrus presentralis (area broadman
4) ditempat ini terdapat Motor Homonculus, serabut saraf kemudian
berjalan melalui traktus piramidalis ,yang dibentuk oleh neuron sel Batz
yang terdapat pada lapisan kelima gyrus presentralis, berjalan konvergen
ke kaudal ke kapsula interna menempati 2/3 krus posterior. Kemudian
berjalan ke pedunculus oblongata dan medulaspinalis. Pada kornu anterior
medula spinalis sebagian serabut saraf 85% berjalan ke kontralateral
(disebut traktus kortikospinal lateral), persilangan ini disebut decussatio
pyramidalis, sedangkan serabut yang lain 15% tidak menyilang berakhir
di kornu anterior homolateral (disebut traktus kortikospinal anterior).
b. Traktus ekstra piramidalis
Terdiri dari korteks, ganglia basalis, midbrain. Gangllia basalis
terdiri dari globus palidus, putamen, nukleus kaudatus, substansia nigra,

8
nukleus subthalamikus, nukleus rubra. Putamen dan nukleus kaudatus
disebut striatum.
Neuron-neuron motorik yang terletak di columnae griseae anteriores
medullae spinalle mengirimkan akson-akson untuk mempersarafi otot
skelet melalui radices anteriores nervi spinalis. Neuron-neuron motorik ini
kadang-kadang disebut lower motor neuron dan merupakan final common
pathway menuj otot-otot.
Lower motor neuron menerima impuls-impuls saraf secara terus
menerus yang turun dari medulla spinalis, pons, mesensephalon, dan
korteks serebri, seperti impuls yang masuk pada serabut sensorik dari
redices posteriors. Serabut-serabut saraf yang turun di dalam substansia
alba dari berbagai pusat saraf supraspinalis dipisahkan dalam berkas-
berkas saraf yang disebut traktus-traktus desendens. Neuron-neuron
supraspinalis bersama dengan traktus-traktusnya kadan disebut upper
motor neuron dan membentuk jaras-jaras berbeda yang dapat
mengendalikan aktivitas motorik.
a. Traktus corticospinales, merupakan jaras yan berkaitan dengan
gerakan-gerakan volunteer, tertentu, dan terlatih terutama pada bagian
distal ekstremitas. Serabut traktus corticospinales muncul sebagai
akson sel-sel pyramid yang terletak di lapisan kelima korteks serebri.
Asalnya di korteks motorik primer (area 4), korteks motorik sekunder
(area 6), dan lobus parietalis (area 3,1,2).
Serabut-serabut traktus ini sebagian besar menyilang di decussatio
piramidum dan berjalan turun sebagai traktus corticospinal lateralis;
beberapa juga turun sebagai traktus corticospinalis anterior dan
menyilan di tinkat yang sesuai denan tujuannya yaitu neuron
penghubung atau neuron motorik alfa.
b. Traktus reticulospinalis, memfasilitasi atau menghambat aktivitas
neuron motorik alfa dan gamma di columnae griseae anteriores
sehingga dapat memfasilitasi atau menghambat gerakan-gerakan
volunteer atau aktivitas reflex. Di seluruh mesencephalon, pons, dan

7
medulla oblongata terdapat kelomok-kelompok sel saraf dan serabut
saraf yang tersebar yang secara bersama-sama dikenal dengan
formation reticularis. Neuron-neuron ini mengirimkan akson yan
kebanyakan tidak menyilang dan turun ke medulla spinalis kemudian
membentuk traktus reticulospinalis. Serabut reticulospinalis dari pons
turun melalui columna alba anterior, sedangkan serabut dari medulla
turun melalui columna alba lateralis. Kedua kelompok serabut ini
masuk columnae albae anteriores medullae spinalis serta dapat
mengaktifkan atau menhambat aktivitas neuron motorik alfa dan
gamma. Dengan cara ini traktus reticulospinalis mempengaruhi
gerakan-gerakan volunteer dan aktivitas reflex.
c. Traktus tectospinalis, berkaitan denan gerakan-gerakan refleks
postural sebagai jawaban terhadap stimulus visual. Serabut itu yang
berhubungan dengan neuron simpatis di columna grisea lateralis dan
mengurus refleks dilatasi pupil sebagai respons terhadap situasi gelap.
Serabut traktus ini berasal dari sel-sel neuron di dalam colliculus
superior mesencephali. Sebagian besar serabut ini menyilan garis
tengah segera setelah keluar dari tempat asalnya dan turun melewati
batang otak dekat dengan fasciculus longitudinalis medialis. Traktus
tectospinalis turun di dalam columna alba anterior medulla spinalis
dekat fissure mediana anterior. Umumnya berakhir pada columna
grisea anterior di segmen cervical atas medulla spinalis dan bersinaps
dengan neuron penghubung.
d. Traktus rubrospinalis, bekerja pada neuron motorik alfa maupun
gamma di columnae griseae anteriores dan memacu aktivitas otot-otot
fleksor serta menghambat aktivitas otot-otot ekstensor. Nukleus ruber
terletak di dalam tegmentum mesencephali setinggi colliculus
superior. Akson neuron-neuron di dalam nucleus ini menyilang garis
tengah setinggi nucleus ini dan berjalan turun sebagai traktus
rubrospinalis melalui pons dan medulla oblongata untuk masuk ke
dalam columna alba lateralis medulla spinalis. Serabut-serabut

8
berakhir dengan bersinaps pada neuron-neuron penghubung di
columna grisea anterior medulla spinalis.
e. Traktus vestibulospinalis, bekerja pada neuron-neuron motorik di
columnae griseae anteriores dimana memfasilitasi otot-otot ekstensor,
menghambat aktivitas otot-otot fleksor dan mengurus aktivitas
postural yang berkaitan dengan keseimbangan. Nucleus vestibulares
terletak di dalam pons dan medulla oblongata di bawah lantai
ventriculus quartus. Nuclei vestibulares menerima serabut-serabut
dari telinga dalam melalui nervus vestibularis dan dari cerebellum.
Neuron-neuron nervus vestibularis lateralis akan memberikan akson-
akson yang akan membentuk tratus vestibulospinalis. Traktus ini
berjalan turun tidak menyilang melalu medulla dan melalui seluruh
panjang medulla spinalis di dalam columna alba anterior. Serabut
berakhir dengan bersinaps pada neuron penghubung di columna grisea
anterior medulla spinalis.
f. Traktus olivospinalis, mungkin berpengaruh pada aktivitas otot
namun masih diragukan keberadaannya. Traktus ini diduga berasal
dari nucleus olivarius inferior dan turun di dalam columna alba
lateralis medulla spinalis untuk mempengaruhi aktivitas neuron-
neuron motorik di dalam grisea anterior.
b. Sistem Sensorik
Sistem saraf sensoris memiliki dua jalur berdasarkan lokasi
penerimaan rangsang.
1. Sensibilitas permukaan
Rangsang diterima di reseptor kemudian serabut saraf berjalan ke
ganglion spinale, kemudian melalui radix posterior ke kornu posterior,
ditempat ini berganti neuran kemudian menyilang linea mediana
menjadi traktus spinothalamikus, kemudian ke atas ke thalamus. Pada
thalamus serabut saraf yang berasal dari badan bagian bawah berjalan
lebih lateral sedangkan badan bawah lebih medial, kemudian berganti
neuron kembali dan berakhir di gyrus sentralis posterior.

7
2. Sensibilitas dalam
Serabut saraf bejalan mulai dari reseptor ke ganglion spinale lalu ke
radix posterior, di sini serabut membagi dua menjadi funicullus gracilis
,untuk daerah sakralis, lumbalis dan thorakalis bawah, dan funiculus
cuneatus , untuk bagian thorakal atas dan sevikalis. Serabut secara
berurutan ini menuju nukleus goll dan nukleus burdach sebelumnya
berganti neuron. Kemudian bersilang membentuk lemniscuss medialis
menuju ke thalamus berganti neuron dan berakhir di di gyrus sentralis
posterior.

2.4 Penilaian kesadaran secara kuantitatif dan kualitatif 2,3


Tingkat kesadaran kualitatif yaitu :
1. Composmentis : Keadaan sisitim sensorik utuh, ada waktu tidur dan sadar
penuh serta aktivitas yang teratur.
2. Somnolen : Pasien dapat bangun spontan pada waktunya atau sesudah
dirangsang tapi kembali tidur setelah stimulasi dihilangkan.
3. Sopor : Pasien terlihat tertidur tapi dapat dibangunkan dengan rangsang
verbal yang kuat, dapat spontan hanya waktu singkat, sistem sensorik
berkabut, dapat mengikuti beberapa perintah sederhana.
4. Soporokoma : Pasien tidak ada respon dengan rangsang verbal, dengan
rangsang nyeri masih ada gerakan, reflekreflek (cornea, pupil dll) masih
baik dan nafas masih adekuat.
5. Koma : Gerakan spontan negatif, reflekreflek negatif, fungsi nafas
terganggu atau negatif.
Tingkat kesadaran kualitatif kurang akurat karena merupakan hasil
pemeriksaan individual.

8
Tingkat kesadaran kuantitatif :
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma
kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat
kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah;
a. Proses membuka mata (Eye Opening)
b. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
c. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel


Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
Table Skala Koma Glasgow
Eye Opening
RESPON 1 TAHUN 0-1 TAHUN
MATA
4 Mata terbuka dengan spontan Membuka mata spontan
3 Mata membuka setelah Membuka mata oleh teriakan
diperintah
2 Mata membuka setelah diberi Membuka mata oleh nyeri
rangsang nyeri
1 Tidak membuka mata Tidak membuka mata
Best Motor Response
RESPON 1 TAHUN 0-1 TAHUN
MATA
6 Menurut perintah Belum dapat dinilai
5 Dapat melokalisir nyeri Melokalisasi nyeri
4 Menghindari nyeri Menghindari nyeri
3 Fleksi (dekortikasi) Fleksi abnormal (decortikasi)
2 Ekstensi (decerebrasi) Eksternal abnormal
1 Tidak ada gerakan Tidak ada respon
Best Verbal Response
RESPON >5 TAHUN 2-5 TAHUN 0-2
MATA TAHUN
5 Orientasi baik dan mampu Menyebutkan kata-kata Menangis
berkomunikasi yang sesuai kuat
4 Disorientasi tapi mampu Menyebutkan kata-kata Menangis
berkomunikasi yangtidak sesuai lemah
3 Menyebutkan kata-kata yang Menangis dan menjerit Kadang-
tidak sesuai (kasar, jorok) kadang
menagis /
menjerit

7
2 Mengeluarkan suara Mengeluarkan suara Mengelua
lemah rkan suara
lemah
1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada
respon

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas :
1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 15
2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 13
3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 8

2.5 Pemeriksaan fisik pasien neurologis4,5


Bila selaput otak meradang (misalnya pada meningitis) atau di rongga
subarakhnoid terdapat benda asing (misalnya darah, seperti pada perdarahan
subarakhnoid), maka hal ini dapat merangsang selaput otak, dan terjadilah
iritasi meningeal atau rangsang selaput otak. Manifestasi subjektif dari keadaan
ini ialah keluhan yang dapat berupa sakit kepala, kuduk terasa kaku, fotofobia
(takut cahaya, peka terhadap cahaya) dan hiperakusis (peka terhadap suara).
Gejala lain yang dapat dijumpai ialah : sikap tungkai yang cenderung
mengambil posisi fleksi, dan opistotonus, yaitu kepala dikedikkan ke belakang
dan punggung melengkung ke belakang, sehingga pasien berada dalam
keadaan ekstensi, (opisto = belakang, tonos = tagangan) karena terangsangnya
otot-otot ekstensor kuduk dan punggung. Opistotonus ini lebih sering kita
jumpai pada bayi dan anak yang menderita meningitis, misalnya meningitis
tuberkulosa. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada keadaan pasien
seperti ini adalah sebagai berikut:
1. Kaku Kuduk (nuchal rigidity)
Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan
rangsang selaput otak. Kita jarang mendiagnosis meningitis tanpa adanya
gejala ini.
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan hal berikut: Tangan
pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring.
Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai

8
dada. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat
kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada.
Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat,
kepala tidak dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik ke belakang. Pada
keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu
menekukkan kepala. .
Pada pasien yang pingsan (koma) kadang-kadang kaku kuduk menghilang
atau berkurang. Untuk mengetahui adanya kaku kuduk pada penderita
dengan kesadaran yang menurun, sebaiknya penekukan kepala dilakukan
sewaktu pernafasan pasien dalam keadaan ekspirasi, sebab bila dilakukan
dalam keadaan inspirasi, biasanya (pada keadaan normal) kita juga
mendapatkan sedikit tahanan, dan hal ini dapat mengakibatkan salah tafsir.
Selain dari rangsang selaput otak, kaku kuduk dapat disebabkan oleh
miositis otot kuduk, abses retrofaringeal, atau artritis di servikal.
Pada kaku kuduk oleh rangsang selaput otak, tahanan didapatkan bila kita
menekukkan kepala, sedangkan bila kepala di rotasi, biasanya dapat
dilakukan dengan mudah, dan umumnya tahanan tidak bertambah.
Demikian juga gerak hiperekstensi dapat dilakukan.
Hal ini mungkin tidak demikian pada kelainan lain tersebut di atas. Untuk
menilai adanya tahanan saat rotasi kepala, letakkan tangan anda pada dahi
pasien kemudian secara lembut dn perlahan-lahan anda putar kepalanya
dari satu sisi ke sisi lainnya, dan nilai tahanannya. Pada iritasi meningeal,
pemutaran kepala dapat dilakukan dengan mudah dan tahanan tidak
bertambah. Untuk menilai keadaan ekstensi kepala, angkat bahu pasien
dan lihat apakah kepala dapat dengan mudah jatuh ke belakang. Pada
keadaan iritasi selaput otak, tes rotasi kepala dan hiperekstensi kepala
biasanya tidak terganggu, sedangkan pada kelainan lain (misalnya miositis
otot kuduk, artritis servikalis, tetanus, penyakit Parkinson) biasanya
terganggu. Selain itu, Tanda Kernig positif pada rangsang selaput otak,
namun tidak demikian pada kelainan lain tersebut di atas.

7
2. Tanda Lasegue
Untuk pemeriksaan ini dilakukan hal berikut: Pasien yang sedang
berbaring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya. Kemudian satu tungkai
diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya.
Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus).
Pada keadaan normal, kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul
rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum
kita mencapai 70 derajat, maka disebut tanda Lasegue positip. Namun
demikian, pada pasien yang sudah lanjut usianya diambil patokan 60
derajat. Tanda Lasegue positip dijumpai pada kelainan berikut: rangsang
selaput otak, isialgia, dan iritasi pleksus lumbosakral (misalnya hernia
nukleus pulposus lumbalis).

Gambar 11. Tes Lasegue4


3. Tanda Kernig
Pada pemeriksaan ini, penderita yang sedang berbaring difleksikan
pahanya pada persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat.
Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya
kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derajat, antara tungkai
bawah dan tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum
tercapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda Kernig positip.
Sebagaimana halnya dengan tanda Lasegue, maka tanda Kernig positif
terjadi pada kelainan rangsang selaput otak, dan iritasi akar lumbosakral
atau pleksusnya (misalnya pada HNP-lumbal). Pada meningitis tandanya
biasanya positif bilateral, sedangkan pada HNP-lumbal dapat unilateral.

8
Gambar 12. Tes Kernig4
4. Tanda Brudzinski I (Brudzinskis neck sign)
Untuk memeriksa tanda ini dilakukan hal berikut: dengan tangan yang
ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan
kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi
sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan.
Bila tanda Brudzinski positip, maka tindakan ini mengakibatkan fleksi
kedua tungkai. Sebelumnya perlu diperhatikan apakah tungkainya tidak
lumpuh. Sebab jika lumpuh, tentulah tungkai tidak akan difleksikan.

Gambar 13. Tes Brudzinski I4


5. Tanda Brudzinski II (Brudzinskis contralateral leg sign)
Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada
persendian panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan
ekstensi (lurus). Bila tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi, maka disebut
tanda Brudzinski II positip. Sebagaimana halnya dalam memeriksa adanya
tanda Brudzinski I, perlu diperhatikan terlebih dahulu apakah terdapat
kelumpuhan pada tungkai.

7
Gambar 14. Tes Brudzinski II4
Memeriksa reflek kedalaman tendon
Reflek fisiologis
1) Reflek bisep:
a) Posisi:dilakukan dengan pasien duduk, dengan membiarkan lengan untuk
beristirahat di pangkuan pasien, atau membentuk sudut sedikit lebih dari
90 derajat di siku.
b) Identifikasi tendon:minta pasien memflexikan di siku sementara
pemeriksa mengamati dan meraba fossa antecubital. Tendon akan terlihat
dan terasa seperti tali tebal.
c) Cara : ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon
m.biceps brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku.
d) Respon : fleksi lengan pada sendi siku
2) Reflek trisep :
a) Posisi :dilakukan dengan pasien duduk. dengan Perlahan tarik lengan
keluar dari tubuh pasien, sehingga membentuk sudut kanan di bahu. atau
Lengan bawah harus menjuntai ke bawah langsung di siku
b) Cara : ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada sendi
siku dan sedikit pronasi
c) Respon : ekstensi lengan bawah pada sendi siku
3) Reflek brachiradialis
a) Posisi: dapat dilakukan dengan duduk. Lengan bawah harus beristirahat
longgar di pangkuan pasien.
b) Cara : ketukan pada tendon otot brakioradialis (Tendon melintasi (sisi ibu
jari pada lengan bawah) jari-jari sekitar 10 cm proksimal pergelangan
tangan. posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi.
c) Respons: - flexi pada lengan bawah dan supinasi pada siku dan tangan

8
4) Reflek patella
a) Posisi klien: dapat dilakukan dengan duduk atau berbaring terlentang
b) Cara : ketukan pada tendon patella
c) Respon : plantar fleksi kaki karena kontraksi m.quadrisep femoris
5) Reflek achiles
a) Posisi : pasien duduk, kaki menggantung di tepi meja ujian. Atau dengan
berbaring terlentang dengan posisi kaki melintasi diatas kaki di atas yang
lain atau mengatur kaki dalam posisi tipe katak.
b) Identifikasi tendon:mintalah pasien untuk plantar flexi.
c) Cara : ketukan hammer pada tendon achilles
d) Respon : plantar fleksi kaki krena kontraksi m.gastroenemius
Reflek Pathologis
Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus tertentu.
1) Reflek babinski:
a) Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki diluruskan.
b) Tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki tetap
pada tempatnya.
c) Lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior
d) Respon : posisitf apabila terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki dan
pengembangan jari kaki lainnya.
2) Reflek chaddok
a) Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis dari
posterior ke anterior
b) Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari, disertai mekarnya (fanning)
jari-jari kaki lainnya.
3) Reflek schaeffer
a) Menekan tendon achilles.
b) Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.
4) Reflek oppenheim
a) Pengurutan dengan cepat krista anterior tibia dari proksiml ke distal

7
b) Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.
5) Reflek Gordon
a) Menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis)
b) Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.
6) Reflek gonda
a) Menekan (memfleksikan) jari kaki ke-4, lalu melepaskannya dengan
cepat.
b) Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.

2.6 Diagnosis pasien neurologis6


Dalam neurologi dikenal 3 jenis diagnosis neurologi, yaitu :8
1. Diagnosis Klinis
Diagnosis Klinis didapatkan dari deskripsi gejala dan temuan-temuan
klinis yang diperoleh ketika memeriksa pasien.
Contoh :
a) Hemiparesis tipika : Hemiparesis + paresis Nn Craniales lesi
kontralateral
b) Hemiparese alternans : hemiparese kontralateral lesi + parese Nn Cr
ipsi/homolateral lesi
c) Tetraparese / paraparese UMN/LMN
d) Sefalgia, kejang, demensia, afasia motorik
e) Ensefalopati, dll
2. Diagnosis Topis
Diagnosis topis yaitu diagnosis berdasarkan gejala dan tanda yang
diperoleh dihubungkan dengan lokalisasi lesi di susunan saraf.
Contoh :
a) (lesi di) hemisfer serebri sinistra / dekstra
b) (lesi di) batang otak (pons / medulla oblongata / mesensefalon)

8
c) (lesi di) medulla spinalis, nervi spinalis, dll.
3. Diagnosis Etiologis
Diagnosis etiologis adalah diagnosis berdasarkan gejala, tanda, lokalisasi
lesi dihubungkan dengan proses patologi di susunan saraf
Contoh :
a) tumor med spinalis
b) infeksi selaput otak
c) trauma med spinalis, dll
Dengan demikian resume suatu status neurologis, selalu diakhiri dengan Contoh :
1. Diagnosis Klinis : hemiparese sinistra cum parese N VII dan XII tipe sentral.
2. Diagnosis topis : hemisfer serebri dekstra
3. Diagnosis etiologis : tumor intra cranial

2.7 Patofisiologi penurunan kesadaran7,8


a. Neurologik
1) Lesi Supratentorial
Pada lesi supratentorial terjadi kerusakan langsung pada jaringan otak atau
akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses tersebut
maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang di akibatkannya.
Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudia kea rah rostro-
kaudal sepanjang batang otak
2) Lesi Infratentorial
Pada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan
ARAS baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun proses
ekstrinsiknya.
b. Non neurologik
Pada beberapa proses penyakit yang mengganggu kesadaran, dapat
ditemukan gangguan langsung terhadap aktivitas metabolik sel saraf di korteks
serebri dan nukleus sentral otak. Hipoksia, iskemia global, hipoglikemia,
keadaan hiper dan hipoosmolar, asidosis, alkalosis, hipokalemia,
hiperamonemia, hiperkalsemia, hiperkarbia, intoksikasi obat dan defisiensi

7
vitamin berat merupakan beberapa contoh yang telah dikenal. Secara umum,
kehilangan kesadaran pada beberapa keadaan ini sesuai dengan penurunan
metabolisme atau aliran darah serebral. Sebagai contoh, pada iskemia global
penurunan aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) sampai 25ml/menit/100g
jaringan dari keadaan normal 55ml/menit/100g jaringan otak menyebabkan
pelambatan EEG dan sinkop atau gangguan kesadaran; penurunan CBF sampai
di bawah 12-15ml/menit/100g jaringan otak menyebabkan kesunyian aktivitas
elektroserebral, koma dan pengentian hampir semua fungsi metabolik dan
sinaptik neuron. Kadar yang lebih rendah dapat ditoleransi bila terjadi dalam laju
yang lebih lambat, namun pada dasarnya neuron tidak dapat bertahan bila aliran
darah menurun di bawah 8-10ml/menit/100g jaringan.
Toksin metabolik endogen yang bertanggung jawab terjadinya koma
tidak dapat selalu diindentifikasi. Pada diabetes, badan keton dapat ditemukan
dalam konsentrasi tinggi; pada uremia diduga terjadi akumulasi toksin-toksin
molekular kecil yang dapat didialisis, terutama turunan asam amino fenolik.
Pada koma hepatikum, peningkatan kadar NH3 darah antara lima sampai enam
kali normal berkaitan secara kasar dengan tingkatan koma. Asidosis laktat dapat
mempengaruhi otak dengan menurunkan pH darat arterial sampai di bawah 7.0.
Gangguan kesadaran yang menyertai insufisiensi pulmonar biasanya terkait
dengan hiperkapnia. Pada hiponatremia (Na+<120 meq/L) oleh sebab apapun
dapat menyebabkan disfungsi neuronal oleh karena pergerakan air ke dalam sel,
sehingga menyebabkan edema neuron dan kehilangan kalium klorida dari dalam
sel. Mekanisme aksi toksin bakterial terhadap koma masih belum diketahui.7
Obat-obatan seperti anestesia umum, alkohol, opiat, barbiturat, fenitoin,
antidepresan dan diazepin dapat menginduksi koma dengan efek langsung
mereka kepada membran neuron di dalam serebrum dan sistem aktivasi retikular
atau kepada neurotransmiter-neurotransmiter dan reseptor mereka. Zat lainnya,
seperti metanol dan etilen glikol, menyebabkan asidosis metabolik. Meskipun
koma oleh karena penyakit metabolik dan zat racun biasanya berevolusi melalui
stadium mengantuk, kebingungan, dan stupor (dengan urutan terbalik pada saat
pulih dari koma), tiap-tiap penyakit memberikan gambaran klinis yang khas. Hal

8
ini memberikan kemungkinan bahwa tiap penyakit mempunyai mekanisme dan
lokus spesifik untuk efek metabolik mereka yang berbeda dari satu penyakit ke
penyakit lainnya.7

2.8 Peningkatan Tekanan Intrakranial7,9


Edema otak barangkali merupakan sebab yang paling lazim dari
peningkatan tekanan intrakranial dan memiliki banyak penyebab antara lain
peningkatan cairan intrasel, hipoksia, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit,
iskemia serebral, meningitis, dan tentu saja cedera.
Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-
angsur. Setelah cedera kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai
48 jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33
mmHg mengurangi aliran darah otak secara bermakna. Iskemia yang timbul
merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan
pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi
lambat. Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu
mempertahankan aliran darah otak. Akan tetapi, menurunnya pernapasan
mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang
membantu menaikkan tekananan intrakranial.
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak sawar
darah orak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul
edema. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya
menngkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran darah
otak(ADO), iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan penigkatan PCo2),
dan kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut sehingga terjadi
kematian sel dan edema bertambah secara progresif kecuali bila dilakukan
intervensi.

7
2.9 Stroke
a) Definisi10
Stroke adalah istilah umum yang digunakan untuk satu atau sekelompok
gangguan cerebro vasculer, termasuk infark cerebral, perdarahan
intracerebral dan perdarahan subarachnoid serta merupakan penyebab
kecacatan dan kematian yang utama di seluruh dunia1.
b) Etiologi9,11,12
1. Emboli
Merupakan kasus tersering. Kemungkinan emboli meningkat dari lesi
ateroma lokal (atheromatous thromboembolism) pada dinding arteri
besar (macroangiopathy) pada otak maupun jantung.
a. Sumber di jantung: fibrilasi atrium (tersering), infark miokardium,
b. penyakit jantung reumatik, penyakit katup jantung, katup prostetik,
c. kardiomiopati iskemik.
d. Sumber tromboemboli aterosklerosis di arteri: bifurkasio karotis
e. komunis, arteri vertrebralis distal.
f. Keadaan hiperkoagulasi : kontrasepsi oral, karsinoma.
2. Trombosis
Oklusi pada ujung arteri kecil (microangiopathy) yang menyebabkan
infark lakunar. Hal ini disebabkan oleh hialin atau sklerosis proksimal
pada penetrasi arteri. Dapat disebabkan oelh hipertensi, diabetes dan
gangguan sawar darah otak yang menyebabkan kerusakan protein
plasma pada dinding arteri.
a. Aterosklerosis (tersering).
b. Vaskulitis : arteritis temporalis, poliarteritis nodosa.
c. Robeknya arteri: karotis, vertebralis (spontan atau traumatik).
d. Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel sabit).
3. Vasokonstriksi.
a. Vasospasma serebrum setelah peradarahan subaraknoid.

8
4. Kasus lain
Yaitu termasuk kelainan hematologi seperti koagulopati, abnormal
viskositas darah, anemia, leukimia.

Penyebab stroke hemoragik sangat beragam, yaitu:


a) Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)
b) Ruptur kantung aneurisma
c) Ruptur malformasi arteri dan vena
d) Trauma (termasuk apopleksi tertunda pasca trauma)
e) Kelainan perdarahan seperti leukemia, anemia aplastik, ITP, gangguan
fungsi hati, komlikasi obat trombolitik atau anti koagulan,
hipofibrinogenemia, dan hemofilia.
f) Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak.
g) Septik embolisme, myotik aneurisma
h) Penyakit inflamasi pada arteri dan vena
i) Amiloidosis arteri
j) Obat vasopressor, kokain, herpes simpleks ensefalitis, diseksi arteri
veretbral, dan acute necrotizing haemorrhagic encephalitis
c) Epidemiologi13,14,15
Stroke merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung
dan kanker, serta merupakan penyakit penyebab kecacatan tertinggi di
dunia. Menurut American Heart Association (AHA), angka kematian
penderita stroke di Amerika setiap tahunnya adalah 50 100 dari 100.000
orang penderita.1 Prevalensi stroke di Indonesia berada dalam angka 7 per
1.000 penduduk yang didapat berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
sedangkan 12,1 per 1.000 penduduk yang didapat hanya dengan gejala.Data
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dokter Soedarso Pontianak tahun
2009-2012 menunjukkan peningkatan kasus stroke setiap tahunnya. Jumlah
penderita stroke pada tahun 2009 sebanyak 498 orang, tahun 2010 sebanyak
548 orang, tahun 2011 sebanyak 560 orang , dan tahun 2012 sebanyak 978
orang.

7
d) Klasifikasi16
Stroke diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Stroke Hemoragik
Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke
jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau
kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan
serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh
hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya.
Peningkatan tekanan intrakranial akan menimbulkan herniasi jaringan
otak dan menekan batang otak. Berdasarkan etiologinya stroke
hemoragik dibagi menjadi:
a. Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus
stroke, terdiri dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak
dan serebelum. Sebagian besar perdarahan terjadi disebabkan oleh
perubahan drastis pada fungsi arteri. Dipicu oleh adanya hipertensi
jangka panjang dan ruptur dari banyak arteri kecil yang menembus
jauh ke dalam jaringan otak. Perdarahan ini sering terjadi pada
pasien yang dalam kondisi terjaga dan aktif dan menyebabkan
defisit neurologic fokal yang cepat dan memburuk secara progresif
dalam beberapa menit. Angka kematian untuk perdarahan ini juga
sangat tinggi yaitu mendekati 50%. terutama terjadi bila tekanan
darah tinggi sekali, sampai otak tidak berfungsi lagi, dan bila
pembuluh darahnya rapuh atau ada aneurisma maka pembuluh
darah dapat pecah dan terjadi Infark hemorragik.
b. Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi
perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer, dapat
disebabkan karena adanya suatu trauma kepala, aneurisma atau
terjadi malformasi pada arteriovena (AVM). Perdarahan ini dapat
bersifat massif dan ekstravasasi darah ke dalam ruangan

8
subaraknoid berlangsung cepat, maka angka kematian sangat tinggi
sekitar 50% pada bulan pertama setelah perdarahan. Penyebab
tingginya angka kematian ini semakin didukung oleh adanya 4
penyulit utama yaitu vasospasme reaktif disertai infark, rupture
ulang, hiponatremia dan hidrosefalus. Namun, hal ini kembali lagi
pada tingkat keparahan dan distribusi pembuluh-pembuluh yang
terlibat.
2. Stroke Non-Hemoragik
Iskemia jaringan otak timbul akibat sumbatan pada pembuluh darah
serviko-kranial atau hipoperfusi jaringan otak oleh berbagai faktor
seperti aterotrombosis, emboli/ketidakstabilan hemodinamik.
Aterotrombosis terjadi pada arteri-arteri besar dari daerah kepala dan
leher dan dapat juga mengenai pembuluh arteri kecil atau
percabangannya. Trombus yang terlokalisasi terjadi akibat
penyempitan pembuluh darah oleh plak aterosklerotik sehingga
menghalangi aliran darah pada bagian distal dari lokasi penyumbatan.
Gejala neurologis yang muncul tergantung pada lokasi pembuluh darah
otak yang terkena. Stroke non hemoragik dapat dibagi berdasarkan
manifestasi kliniknya menjadi:
a. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di
otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
b. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic
Neurological Deficit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
c. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
d. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi

7
Stroke non hemoragik dapat dibagi berdasarkan sumber penyebabnya
menjadi:
a. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada
pembuluh darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh
darah yang besar dan pembuluh darah yang kecil. Pada pembuluh
darah besar trombotik terjadi akibat aterosklerosis yang diikuti oleh
terbentuknya gumpalan darah yang cepat. Selain itu, trombotik
juga diakibatkan oleh tingginya kadar kolesterol jahat atau Low
Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan pada pembuluh darah
kecil, trombotik terjadi karena aliran darah ke pembuluh darah
arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan
indikator penyakit aterosklerosis. Masih bersifat reversibel dan
dapat membaik bila tekanan darah cepat naik kembali/membaik
(fase penumbra).
b. Stroke Emboli/Non Trombotik
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau
lapisan lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan
pembuluh darah yang mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri
oksigen dan nutrisi ke otak.
e) Patofisiologi17,18,19,20
Infark regional kortikal, subkortikal, ataupun infark regional di batang
otak terjadi karena kawasan perdarahan suatu arteri tidak/ kurang mendapat
jatah darah.Aliran darah ke otak normalnya adalah 5060 mL/100 gr
jaringan otak per menit. Jika turun hingga dibawah 20 mL/100 gr jaringan
otak per menit, aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel
masih baik, sehingga gejala klinis masih reversible. Jika aliran darah ke otak
turun sampai <10mL/100 gr jaringan otak per menit, akan terjadi rangkaian
perubahan biokimiawi sel dan membran yang ireversibel membentuk daerah
infark.17,18

8
Gambar 15. Cerebral iskemik
Penurunan aliran darah otak menghasilkan beberapa aliran kejadian,
yang jika tidak diatasi dapat menyebabkan produksi dan akumulasi toksin
serta apoptosis sel neuron otak.

Gambar 16. Aliran darah cerebral dan metabolik


Sirkulasi yang menurun ke daerah tersebut oleh karena arteri yang
bersangkutan tersumbat ataupun pecah.Lesi yang terjadi dinamakan infark
iskemik jika arteri tersumbat dan infark hemoragik jika arteri pecah.Maka
dari itu, stroke dapat dibagi dalam stroke iskemik dan stroke hemoragik.
Penyakit pembuluh darah kecil (mis. vaskulitis atau lupus) dan kualitas
darah (mis. polisitemia atau koagulopati) juga menentukan proses patologis
dari stroke.17,18

7
Gambar 17. Patofisiologi stroke

Stroke Haemorrhagic (Intracerebral Haemorrhage)


Data menunjukkan kebanyakan kasus perdarahan intracerebral
(Intracerebral Haemorrhage/ICH) dipredisposisi oleh faktor risiko vaskular
seperti hipertensi yang tidak terkontrol. ICH biasanya terjadi akibat ruptur
spontan arteri kecil yang berpenetrasi di parenkim otak. Lokasi tersering
adalah ganglia basalis (khususnya putamen), thalamus, cerebellum, dan
pons. Arteri-arteri kecil di daerah ini rentan mengalami hypertension-
induced vascular injury.19,20
ICH awalnya berkembang selama 30-90 menit. Hematoma yang
terjadi dapat kecil atau bertambah besar. Volume ICH dibagi menjadi tiga
kategori: kecil ketika volume <30 cm3, medium antara 30 dan 60 cm3, dan
besar ketika volume >60cm3. Jaringan otak yang intact atau parsial intact di
sekitar hematoma dapat sama seperti otak yang iskemik, neuron akan mati
dengan mekanisme yang sama atau akibat efek toksik produk-produk darah.
Disrupsi blood brain barrier dan kebocoran liquor dan protein berkontribusi
menyebabkan oedema otak, yang umumnya meningkat selama beberapa
hari dan selanjutnya merusak otak.19,20
ICH merupakan proses dinamis dan hematoma yang bertambah
besar terjadi pada satu pertiga pasien. Ekspansi ini menyebabkan midline
shift dan mempercepat deteriorasi neurologis. Mekanisme ekspansi

8
hematoma masih belum diketahui, namun terdapat bukti mendukung adanya
perdarahan sekunder dari pembuluh darah yang berdekatan dengan lokasi
awal perdarahan. Perdarahan ulang dapat terjadi dalam 14-16 jam pertama.
Kombinasi berbagai derajat perdarahan dan ekpansi intraventrikular yang
selanjutnya meningkatkan morbiditas dan menyebabkan hydrocephalus.19
f) Manifestasi Klinis21
Manifestasi klinis yang terjadi bergantung pada arteri yang terkena.
1) Sindroma oklusi arteri serebri media
Oklusi arteri serebri media biasanya bersifat embolisasi. Jika
seluruh kawasan arteri tersebut terkena, maka gambaran klinis nya ialah
sebagai berikut. Hemiparalisis dan hemihipestesia kontralateral;
hemianopia homonim kontralateral dengan deviation conjugee ke
arah lesi afasia jika hemisferium dominan yang terkena.
Jika salah satu cabang arteri serebri media saja yang tersumbat;
inilah yang paling sering terjadi, maka yang akan dijumpai ialah
sindroma arteri serebri media yang tak lengkap:
a) Afasia motorik dengan hemiparesis dimana lengan dan muka
bagian bawah lebih lumpuh daripada tungkai, atau
b) Afasia sensorik dengan hemihipestesia lebih jelas daripada
hemiparesis.
Pada sindroma (a) ialah cabang arteri serebri media atas yang
tersumbat dan pada sindroma (b) cabang arteri serebri media yang
bawah yang tersumbat.
2) Sindroma oklusi arteri serebri anterior
Oklusi arteri serebri anterior biasanya bersifat embolisasi juga.
Gambaran klinis yang dapat timbul ialah sebagai berikut. Paralisis kaki
dan tungkai kontralateral dengan hipestesia kontralateral, refleks
memegang pada tangan sisi kontralateral, hilangnya semangat hidup
(abulia), hilangnya pengendalian gerakan untuk melangkahkan kedua
tungkai, mengulang-ulangi saja suatu kata atau pernyataan (persevarsi)
dan hilangnya kelola terhadap kandung kemih (ngompol).

7
3) Sindroma oklusi arteri karotis interna
Kelainan pada subendotelium arteri karotis interna dapat
menimbulkan dua kemungkinan:
(a) Stenosis yang menimbulkan insufisiensi vaskular dan
(b) Sumber embolisasi yang menimbulkan oklusi di arteri serebral.
Bila terjadi embolisasi dari plaque atheromatosa di
dinding arteri karotis interna, maka setiap arteri serebral dapat
menjadi sasaran oklusi. Tetapi karena pola percabangannya, maka
yang paling sering menjadi sasaran embolisasi tersebut ialah arteri
serebri anterior. Dalam urutan nomor kedua ialah arteri serebri
posterior
Buta sesisi yang sementara dan seringkali timbul secara
berulang-ulang (buta fugax) merupakan manifestasi embolisasi
yang bersumber pada arteri karotis interna. Sindroma oklusi arteri
karotis interna yang mudah dimengerti ialah gambaran penyakit
yang timbul akibat oklusi di dinding arteri karotis interna tepat
pada orificium arteri oftalmika, sebagai cabang pertama dari arteri
karotis interna.
Gejala yang bangkit ialah buta mutlak pada sisi ipsilateral
(sisi oklusi) dengan hemiparesis sisi kontralateral. Tanda yang
dapat dijumpai pada sindroma tersebut ialah tekanan intra-arterial
pada arteri-arteri retinal ipsilateral yang rendah.
4) Sindroma oklusi arteri serebri posterior
Oklusi arteri serebri posterior dapat bersifat trombotik atau
embolik. Manifestasinya dapat terdiri dari kombinasi gejala-gejala
tersebut di bawah ini. Hemianopia homonim kontralateral (biasanya
kuadran atas), daya ingat sangat terganggu, daya untuk membaca sangat
terganggu (aleksia), hemiparesis kontralateral yang ringan sekali,
hemihipestesia yang ringan pula, paresis N. III ipsi lateral dengan
ataksia atau gangguan gerakan involunter sisi kontralateral.
5) Sindroma oklusi arteri vertebro-basilaris

8
Oklusi pada arteri vertebralis atau basilaris atau cabang-
cabangnya dapat menimbulkan gejala gangguan saraf otak, gangguan
serebelar, gerakan involuntar dan gerakan tangkas yang dikenal sebagai
sindroma mesensefalon, sindroma pontin atau sindroma medula
oblongata. Ciri pokoknya ialah adalah adanya sifat alternans. Gangguan
saraf otak timbul pada sisi ipsilateral yang berkombinasi dengan
gangguan ketangkasan gerakan atau kelumpuhan pada anggota gerak
sisi kontralateral. Atau gangguan saraf otak ipsilateral yang
berkombinasikan dengan hemihipestesia sisi kontralateral. Adapun
sindroma-sindroma batang otak yang sering dijumpai ialah:
(a) Sindroma Wallenberg: sindroma yang terjadi oleh penyumbatan
arteri serebeli posterior inferior. Sindroma ini terdiri dari vertigo,
hemihipestesia fasialis ipsilateral dengan hemihipestesia
(hemihipestesia alternans), gangguan serebelar ipsilateral, paresis
N. IX dan N. X ipsilateral dan adanya sindroma Horner ipsilateral.
(b) Sindroma Foville dan Sindroma Raymond-Cestan, yang terjadi
akibat penyumbatan arteri serebeli anterior inferior. Gejala-
gejalanya dapat terdiri dari kombinasi gejala-gejala tersebut
dibawah ini:
Hemiparesis kontralateral, hemihipestesia ipsilateral dengan
Sindroma Horner ipsilateral, kelumpuhan saraf otak ketiga atau
keempat atau keenam atau ketujuh ipsilateral dan oftalmoplegia
internuklearis. Gejala yang tersebut terakhir merupakan
manifestasi lesi di kawasan fasikulus longitudinalis medialis.
Tanda-tandanya ialah:
Paralisis unilateral atau bilateral otot rektus internus pada
gerakan konjugat horizontal, tetapi otot rektus internus masih dapat
bergerak pada waktu berkonvergensi. Nistagmus mengiringi
kelumpuhan otot okular dan diju,pai pada mata yang berdeviasi ke
samping dengan kelainan posisi bola mata, yaitu bola mata pada
sisi lesi berkedudukan agak tinggi.

7
6) Sindroma infark serebelum
Gejala-gejala serebelat akibat lesi vaskular memperlihatkan ciri-
ciri berikut. Vertigo, muntah, mual, nistagmus dan ataksia yang bangkit
secara tiba-tiba. Orang sakit tidak dapat berjalan tanpa dibantu. Dalam
waktu 2-3 hari dapat timbul gejala-gejala yang mencerminkan edema
serebeli. Karena itu batang otak mengalami desakan sehingga timbul
gejala-gejala kompresi batang otak yang terdiri dari deviation
conjugee, gangguan saraf otak, terutama N. V, N. VI, dan N. VII dan
kemunduran kesadaran umum. Besar/kecilnya pupil sesisi dipakai
pegangan dalam penilaian gangguan kesadaran umum tersebut.
7) Sindroma hemoragia serebri
Ciri-ciri manifestasi hemoragia serebri ialah timbulnya defisit
neurologis secara maksimal dan tiba-tiba yang serentak disertai sopor
dan koma. Karena orang sakit pingsan, maka pemeriksaan fisik
diagnostik yang khas bagi suatu lokalisasi hanyalah tanda-tanda klinis
mengenai sikap kedua bola mata dan keadaan pupil. Adapun sindroma
hemoragia serebri yang dapat dibeda-bedakan menurut tanda-tanda
tersebut diatas ialah:
(a) Sindroma hemoragia serebri putamenal: hemiplegia dan koma
yang ditandai Deviation conjugee ke arah lesi. Umumnya
meninggal dalam 2 x 24 jam.
(b) Sindroma hemoragia serebri talamik: hemiplegia dan koma yang
ditandai Deviation conjugee kearah hidung dengan pupil miosis
yang tidak bereaksi terhadap cahaya. Umumnya meninggal dalam
24 jam.
(c) Sindroma hemoragia pontin: hemiplagia atau diplegia dan koma
yang ditandai kedudukan kedua bola mata ditengahh-tengah yang
tidak dapat berubah bila kepala dimiringkan (reaksi gerakan bola
mata dolls head yang negatif), namun gerakan bola mata
spontan yang vertikal timbul secara intermiten. Umumnya
meninggal dalam 24 jam.

8
(d) Sindroma hemoragia serebelar: mulai timbulnya dengan sakit
kepala di oksiput, vertigo dan muntah yang kemudian disusul
dengan kesadaran yang menurun sampai koma. Namun sebagian
tidak pingsan. Jika kesadaran masih baik gejala disartria
merupakan gejala yang paling pertama diketahui oleh keluarga
penderita. Pada penderita yang sudah tidak sadar ditemukan
Deviation conjugee atau justru kebalikannya, yakni sama sekali
tidak dapat melirik ke kedua samping akibat paresis N. VI.
Tergantung pada besar kecilnya hematoma di serebelum, maka
penderita pingsan atau hanya menunjukkan gangguan serebelar
belaka. Sebagian besar penderita terhindar dari kematian.
g) Diagnosis22,23
Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan
utama pasien. Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis
stroke antara lain: hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh,
hemianopia atau buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia, disfagia,
disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya
terjadi secara mendadak.22
1. Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM)23
Untuk membedakan jenis atau penyebab stroke bisa menggunakan
algoritma stroke Gadjah Mada (ASGM) dan penilaian skor Siriraj.
Pada ASGM hal yang dinilai :
1. Penurunan kesadaran
2. Nyeri kepala
3. Reflek babinski.
Menurut ASGM, jika terdapat 2 atau 3 dari ketiga kriteria tersebut,
maka dapat ditegakkan diagnosis stroke perdarahan ( hemoragik). Jika
ditemukan 1 kriteria yaitu penurunan kesadaran atau nyeri kepala saja,
maka dapat ditegakkan diagnosis stroke perdarahan.Jika hanya
didapatkan uji babinski positif atau dari ketiga kriteria tidak ada yang
terpenuhi, maka dapat ditegakkan diagnosis stroke iskemik.

7
2. Siriraj Hospital Score 23
Versi orisinal:

= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan darah
diastolik) (0.99 x atheromal) 3.71.

Versi disederhanakan:

= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah


diastolik) (3 x atheroma) 12.

Kesadaran:

Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2

Muntah: tidak = 0 ; ya = 1

Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1

Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1

(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)

Pembacaan:

Skor > 1 : SH

< 1 : SNH

0 : Ct-scan

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung


diagnosis
< -1:stroke dan menyingkirkan diagnosis bandingnya.
Infark otak
Laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita stroke
Sensivitas : Untuk perdarahan: 89.3%.
diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah,
Untuk infark: 93.2%.
kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa.
Ketepatan diagnostik : 90.3%.
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis.
Pencitraan otak adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan
harus didapatkan dalam basis kedaruratan. Pencitraan otak
membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat
menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan intraventrikular,
edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI
otak merupakan pilihan yang dapat digunakan.
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan
stroke hemoragik dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk

8
membedakan stroke dari patologi intrakranial lainnya. CT non
kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma yang
berdiameter lebih dari 1 cm.
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat
dan lebih bisa diandalkan daripada CT scan, terutama stroke
iskemik. MRI dapat mengidentifikasi malformasi vaskular yang
mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah
elektrokardiogram (EKG) untuk memulai memonitor aktivitas
hantung. Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki kejadian
signifikan dengan stroke.
h) Tatalaksana24,25
Tatalaksana stroke dapat dibagi menjadi berdasarkan fase-fasenya menjadi:
1. Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan
merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi
oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian
cairan dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT
scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan
jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia
darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah.
Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan
mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya
agar tetap tenang.
2. Stadium akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun
penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan
psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien.
Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut

7
dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan
pasien yang dapat dilakukan keluarga.
a. Stroke iskemik
1) Terapi umum
Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu
bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap
bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas,
beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas
darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan
kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika
kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter
intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid
1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan
mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral
hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan
menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang
nasogastrik. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai
batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin dripintravena
kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah
< 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan
dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya.
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-
obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan,
kecuali bila tekanan sistolik 220 mmHg, diastolik 120 mmHg,
Mean Arterial Blood Pressure (MAP) 130 mmHg (pada 2 kali
pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark
miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan
tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang

8
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-
beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium.
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik
70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan
500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai
hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah
sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 g/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg. Jika kejang, diberi
diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100
mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral
(fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu,
diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang.
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol
bolus intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika
dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari.
Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai
alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau
furosemid.
2) Terapi khusus
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti
aspirin dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik
rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator). Dapat juga
diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika
didapatkan afasia).
b. Stroke hemoragik
1) Terapi umum
Pasien strokehemoragik harus dirawat di ICU jika volume
hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan
hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk.

7
Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid
atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120
mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila
terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan
dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20
mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv
0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral.
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi
kepala dinaikkan 300, posisi kepala dan dada di satu bidang,
pemberian manitol (lihat penanganan strokeiskemik), dan
hiperventilasi (pCO220-35 mmHg).
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak
lambung diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau
inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah dengan
fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas.
2) Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator.
Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan
yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan
perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut
akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-
shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan
tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.
Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium
(nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi,
maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau
malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM).
3. Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi
wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan
penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca

8
stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti,
memahami dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder. Terapi
fase subakut:
a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
b. Penatalaksanaan komplikasi,
c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi
wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,
d. Prevensi sekunder
e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning
Farmakoterapi
Untuk stroke iskemik25:
1) Tissue Plasminogen Activator (tPA)
Indikasi: tPA sebagai obat untuk menghilangkan bekuan darah untuk
memecahkan bekuan darah penyebab stroke. Dosis : tPA 0,9 mg/kg lebih dari
1 jam, dengan 10% diberikansebagai bolus awal lebih dari 1 menit
2) Aspirin
Indikasi: digunakannya aspirin yaitu untuk menurunkan resiko TIA atau stroke
berulang pada penderita yang pernah menderita iskemi otak yang diakibatkan embolus.
Dosis: 300 mg/hari
3) Dipiridamol
Indikasi: untuk terapi tambahan/kombinasi dengan aspirin dalam bentuk
extended release. Dosis: aspirin 25 mg + 200 mg dipiridamol
4) Klopidogrel
Indikasi: untuk menurunkan kejadian aterosklerosis seperti stroke. Dosis lazim:
75 mg/hari.
Untuk stroke hemoragik20:
1) Infus manitol
Indikasi: untuk menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi akibat edema
serebral. Dosis: 1,5-2 g/kg dosis IV dalam 15, 20 atau 25% larutan selama
30-60 menit.

7
2) Nimodipine
Indikasi: untuk menurunkan insiden dan keparahan defisit iskemik pada
pasien dengan pendarahan subarachnoid dari pecahnya aneurisma. Dosis:
PO/nasogastrik 60 mg/4 jam selama 21 hari berturut-turut. Terapi dimulai
dalam waktu 96 jam pendarahan subarachnoid.
3) Asam traneksamat
Indikasi: menghambat pemutusan benang fibrin. Dosis: Dosis oral : 1-1.5 gram
(atau 15-25 mg/kg) 2 sampai 4 kali sehari. Dosis injeksi intravena perlahan : 0.5 -1
g (atau 10 mg/kg) 3 kali sehari. Dosis infus kontinyu : 25-50 mg/kg setiap hari.

Rehabilitasi Medik
Upaya rehabilitasi harus dikerjakan sedini mungkin apabila keadaan pasien
sudah stabil. Fisioterapi pasif perlu diberikan bahkan saat pasien masih di ruang
intensif yang segera dilanjutkan dengan fisioterapi aktif bila memungkinkan.
Apabila terdapat gangguan bicara dan menelan, upaya terapi wicara dapat
diberikan. Setelah pasien bisa berjalan sendiri, terapi fisis dan okupasi perlu
diberikan, agar pasien bisa kembali mandiri. Pendekatan psikologis terutama
berguna untuk memulihkan kepercayaan diri pasien yang biasanya sangat
menurun setelah terjadinya syok. Kalau perlu dapat diberikan antidepresan
ringan.25
i) Komplikasi7
Komplikasi yang umum terjadi adalah bengkak otak (edema) yang terjadi
24 jam sampai 48 jam pertama setelah stroke. Berbagai komplikasi lain yang
dapat terjadi adalah sebagai berikut:10
1. Kejang. Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke perdarahan.
Kejadian kejang umumnya memperberat defisit neurologic.
2. Nyeri kepala, walaupun hebat, umumnya tidak menetap.
3. Hiccup / cegukan. Penyebabnya adalah kontraksi otot-otot diafragma.
Sering terjadi pada stroke batang otak, bila menetap cari penyebab lain
seperti uremia dan iritasi diafragma. Selain itu harus diwaspadai adanya
transformasi hemoragik dari infark dan hidrosefalus obstruktif.

8
4. Peningkatan tekanan darah. Sering terjadi pada awal kejadian dan turun
beberapa hari kemudian.
5. Abnormalitas jantung. Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, timbul
bersama, atau akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke
menderita komplikasi gangguan ritme jantung.
6. Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia. Dengan fluoroskopi
ditemukan 64% penderita stroke menderita gangguan fungsi menelan.
Penyebab terjadi pneumonia kemungkinan tumpang tindih dengan keadaan
lain seperti imobilitas, hipersekresi dan lain-lain.
7. Kelainan metabolik dan nutrisi. Keadaan undernutrisi yang berlarut-larut
terutama terjadi pada pasien umur lanjut. Keadaan malnutrisi dapat menjadi
penyebab menurunnya fungsi neurologis, disfungsi kardiak dan
gastrointestinal, dan abnormalitas metabolisme tulang.
8. Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia. Akibat pemasangan kateter
dauer, gangguan fungsi kandung kencing, atau sfingter uretra eksternum
akibat stroke.
9. Perdarahan gastrointestinal. Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat
merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke.
Dianjurkan untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.
10. Dehidrasi.
11. Hiponatremi
12. Hiperglikemia
13. Hipoglikemia. Dapat karena kurangnya intake makanan dan obat-obatan.
j) Prognosis26
Sekitar 25% pasien meninggal dalam 2 tahun setelah serangan stroke
pertama. Sekitar 30% dari kelompok ini meninggal dalam bulan pertama.
Prognosis bertambah buruk jika terjadi koma dan hemiplegia berat. Stroke
rekuren biasa terjadi( 10% dalam tahun pertama) dan banyak yang meninggal
akibat miokard infark. Untuk perbaikan bicara, prognosisnya bagus. Namun,
tetap meninggalkan sedikit defisit, berupa kesulitan pemilihan kata. Khusus
untuk stroke hemoragik, prognosis bergantung pada volum dan letak perdarahan.

7
Orang yang menderita stroke iskemik memiliki kesempatan yang lebih
baik untuk bertahan hidup daripada mereka yang mengalami stroke hemoragik.
Di antara kategori stroke iskemik, bahaya terbesar adalah yang ditimbulkan oleh
stroke emboli, diikuti oleh stroke trombotik dan lakunar. Stroke hemoragik tidak
hanya menghancurkan sel-sel otak, tetapi juga menimbulkan komplikasi lain,
termasuk peningkatan tekanan pada otak atau kejang pada pembuluh darah, yang
keduanya bisa sangat berbahaya.

2.10 Studi Kasus


a) Hubungan terjadinya kelemahan anggota gerak sebelah kiri dengan
kasus27
Paresis (kelemahan) adalah berkurangnya tenaga otot sehingga gerak
voluntar sukar tapi masih bisa dilakukan walaupun dengan gerakan yang
terbatas. Paresis disebabkan oleh kerusakan yang menyeluruh, tetapi belum
menruntuhkan semua neuron korteks piramidalis sesisi, menimbulkan
kelumpuhan pada belahan tubuh kontralateral yang ringan sampai berat.
Jenis-jenis paresis, yaitu:
a. Monoparesis. Monoparesis adalah kelemahan pada salah satu
ekstremitas atas atau salah satu ekstermitas bawah.
b. Hemiparesis. Hemiparesis adalah kelemahan otot pada lengan dan
tungkai pada satu sisi.
c. Paraparesis. Paraparesis adalah kelemahan pada kedua ekstremitas
bawah.
d. Tetraparesis/Quadraparesis. Tetraparesis adalah kelemahan pada kedua
ekstremitas atas dan kedua ekstemitas bawah.
Hemiparase yang terjadi memberikan gambaran bahwa adanya
kelainan atau lesi sepanjang traktus piramidalis. Lesi ini dapat disebabkan
oleh berkurangnya suplai darah, kerusakan jaringan oleh trauma atau
infeksi, ataupun penekanan langsung dan tidak langsung oleh massa
hematoma, abses, dan tumor. Hal tersebut selanjutnya akan mengakibatkan

8
adanya gangguan pada tractus kortikospinalis yang bertanggung jawab pada
otot-otot anggota gerak atas dan bawah.
b) Hubungan hipetensi dengan kasus28
Hipertensi merupakan faktor resiko stroke yang paling konsisten dan
penting. Hipertensi meningkatkan resiko stroke 2-4 kali lipat tanpa
tergantung pada faktor resiko lainnya. Hipertensi kronis dan tidak terkendali
akan memacu kekakuan dinding pembuluh darah kecil yang dikenal dengan
mikroangiopati. Hipertensi juga memacu munculnya timbunan plak (plak
atherosklerotik) pada pembuluh darah besar. Timbunan plak yang tidak
stabil akan mudah ruptur/pecah dan terlepas. Plak yang terlepas
meningkatkan risiko tersumbatnya pembuluh darah otak yang lebih kecil.
Hal ini menyebabkan timbulnya gejala-gejala stroke.
c) Hubungan muntah pada kasus
Muntah disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang
diakibatkan oleh perdarahan intraserebral karena pecahnya pembuluh darah
di otak pada pasien yang mengalami stroke hemoragik. Peningkatan tekanan
intrakranial ini dapat disebabkan juga oleh CSF yang banyak, massa tumor,
perdarahan pada otak maupun edema otak.
d) Hubungan nyeri kepala dengan kasus9
Struktur-struktur kranium yang peka nyeri dan terlibat dalam nyeri
kepala adalah semua jaringan ekstrakranium, termasuk kulit kepala, otot,
arteri, dan priosteum tengkorak; sinus kranialis, sinus vena intrakranium dan
vena-vena cabangnya; bagian dari dura di dasar otak dan arteri di dalam
dura; dan nervus kranialis trigeminus, fasialis, vagus, dan glosofaringeus
serta nervus servikalis. Pada stroke, terjadi peregangan atau pergeseran
pembuluh darah intrakranium dan traksi pembuluh darah. Hal ini akan
menyebabkan terstimulasinya pembuluh darah yang peka terhadap nyeri.
Stimulus yang semakin kuat menyebabkan peningkatan intensitas nyeri
yang terjadi.

8
e) Hubungan kejang pada kasus9
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenic, sedagkan lesi di
serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat
membrane sel, focus kejang memperlihatkan fenomena biokimia seperti :
1. Instabilitas membrane sel saraf, sehingga lebih mudah mengalami
pengaktifan
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hiperpolarisasi atau selang
waktu dalam polarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetikolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA)
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat
menjadi 1000 pe rdetik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga
respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul dicairan serebrospinal
selama dan setelah kejang. Asam glumatamat mengalami deplesi selama
aktivitas kejang. Lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural.

7
f) Hubungan mulut perot dan bicara pelo1
Nervus hypoglossus mempersarafi otot-otot intrinsik lidah serta m.
styloglossus, m. hyoglossus, dan m. genioglossus. Untuk memeriksa
keutuhan nervus hypoglossus, pasien diminta menjulurkan lidahnya; jika
terdapat lesi lower motor neuron, lidah akan berdeviasi ke arah lesi. Lidah
pada sisi lesi menjadi lebih kecil akibat atrofi, dan fasikulasi dapat
mendahului atau menyertai atrofi. Ingatlah bahwa sebagian besar nucleus
hypoglossus menerima serabut-serabut kortikonuklear dari kedua
hemispherium cerebri. Akan tetapi, bagian nukleus yang mempersarafi
musculus genioglossus hanya menerima serabut kortikonuklear dari
hemispherium cerebri sisi kontralateral. Jika terdapat lesi pada serabut-
serabut kortikonuklear, tidak terjadi atrofi atau fibrilasi lidah. Bila
dikeluarkan, lidah akan berdeviasi ke sisi yang berlawanan dengan lesi.
(Perhatikan bahwa musculus genioglossus adalah otot yang menarik lidah
ke depan).
Lesi-lesi nervus hypoglossus dapat terjadi di sepanjang perjalanannya
dan dapat terjadi akibat tumor, penyakit demyelinisasi, siringomielis, dan
penyakit vaskular. Cedera nervus hypoglossus dileher juga dapat terjadi
akibat luka tusuk atau luka tembak.
g) Hubungan pupil anisokor dengan kasus29
Pupil anisokor yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar. Pupil dilatasi
atau anisokor menandakan peningkatan tekanan intrakranial (papiledema).
Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi
cahaya yang pada permulaannya masih positif akan menjadi negative.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir,
kesadaran akan menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga
mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak lagi menunjukkan
reaksi cahaya. Terjadinya papil edema karena pembengkakan diskus saraf

8
optik akibat tertahannya aliran aksoplasmik dengan edema intra-axonal
pada daerah diskus saraf optic. Ruang subaraknoid pada otak dilanjutkan
langsung dengan pembungkus saraf optik. Oleh karenanya, jika tekanan
cairan serebrospinal meningkat, maka tekanan akan diteruskan ke saraf
optik, dan pembungkus saraf optik bekerja menghalangi transport
aksoplasmik. Hal ini menyebabkan penumpukan material di daerah lamina
kribosa, menyebabkan pembengkakan yang khas pada saraf kepala.
h) Tatalaksana kegawatdaruratan30
Pengenalan cepat dan reaksi terhadap tanda-tanda stroke dan TIA.
Keluhan pertama kebanyakan pasien (95%) mulai sejak di luar rumah sakit.
Hal ini penting bagi masyarakat luas (termasuk pasien dan orang terdekat
dengan pasien) dan petugas kesehatan profesional (dokter umum dan
resepsionisnya ,perawat penerima telpon, atau petugas gawat darurat) untuk
mengenal stroke dan perawatan kedaruratan.
Tenaga medis atau dokter terlibat di unit gawat darurat atau pada
fasiltas prahospital harus mengerti tentang gejala stroke akut dan
penanganan pertama yang cepat dan benar. Pendidikan berkesinambungan
perlu dilakukan terhadap masyarakat tentang pengenalan atau deteksi dini
stroke.
Konsep time is brain berarti pengobatan stroke merupakan keadan
gawat darurat. Jadi, keterlambatan pertolongan pada fase prahospital harus
dihindari dengan pengenalan keluhan dan gejala stroke bagi pasien dan
orang terdekat. Pada setiap kesempatan, pengetahuan mengenai keluhan
stroke, terutama pada kelompok resiko tingi (hipertensi, atrial fibrilasi,
kejadian vaskuler lain dan diabetes) perlu disebarluaskan. Keterlambatan
manajemen stroke akut dapat terjadi pada beberapa tingkat. Pada tingkat
populasi, hal ini dapat erjadi karena ketidaktahuan keluhan stroke dan
kontak pelayanan gawat darurat.
Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke
antara lain hemiparesis, ganguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau
buta mendadak, diplopia, vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, kejang

7
atau penurunan kesadaran yang kesemuanya terjadi secara mendadak.
Untuk memudahkan digunakan istilah FAST (Facial movement, Arm
movement, Speech, Test al thre). Tes ini sangat mudah. Bila ada angota
keluarga, rekan, kerabat, atau tetanga yang dicurigai tekena stroke, dan
menunjukan hasil tes yang positf segeralah minta pertolongan medis.
Tindakan yang tepat dan cepat diharapkan akan membuahkan hasil yang
lebih baik pula.
FAST merupakan suatu metode deteksi dini pasien stroke yang bisa
dilakukan secara cepat. FAST terdiri dari Facial Movement, Arm movement
dan Speech. Facial movement merupakan penilaian pada otot wajah,
pemeriksan ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1) Minta pasien untuk tersenyum atau menunjukan giginya.
2) Amati simetrisitas dari bibir pasien, tandai pilhan YES bila terlihat
ada deviasi dari sudut mulut sat diam atau sat ersenyum.
3) Kemudian identifikasi sisi sebelah mana yang tertingal atau tampak
tertarik, lalu tandai apakah di sebelah kiri L atau sebelah kanan R
Arm movement merupakan penilaian pergerakan lengan untuk
menentukan apakah terdapat kelemahan pada ekstremitas, pemeriksanya
dilakukan dengan tahapan berikut:
1) Angkat kedua lengan atas pasien bersaman dengan sudut 90o bila
pasien duduk dan 45o bila pasien terlentang. Minta pasien untuk
menahanya selama 5 detik.
2) Amati apakah ada lengan yang lebih dulu terjatuh dibandingkan lengan
lainya
3) Jika ada tandai lengan yang terjatuh tersebut sebelah kiri atau kanan.
Speech merupakan penilaian bicara yang meliputi cara dan kualitas
bicara. Pemeriksanya dilakukan dengan tahapan berikut:
1) Perhatikan jika pasien berusaha untuk mengucapkan sesuatu
2) Nilai apakah ada Ganguan dalam berbicara
3) Dengarkan apakah ada suara pelo

8
4) Dengarkan apakah ada kesulitan untuk mengungkapkan atau
menemukan kata- kata. Hal ini biasa dikonfirmasi dengan meminta
pasien untuk menyebutkan benda-benda yang terdapat di sekitar,
seperti pulpen, gelas, piring dan lain-lain.
5) Apabila terdapat ganguang penglihatan, letakan barang tersebut di
tangan pasien dan minta pasien menyebutkan nama benda tersebut.

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Wanita 65 tahun mengalami stroke hemoragik

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Richard SS. Neuroanatomi Klinik. 7th edition. Jakarta: EGC. 2011.


2. Cambell W, DeJongs The Neurologic Examination Sixth edition, Lippincott
Williams and Wilkins, Philadelpia, 2005;19-20,37-40,97-277
3. Lumbantobing SM, Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental, FKUI,
Jakarta, 2004; 7-111
4. Lumbantobing S. M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
FK UI; 2015.
5. Juwono T. Pemeriksaan Klinik Neurologik dalam Praktek, EGC, Jakarta, 2009.
6. Aulina S dan Maricar N. Diagnosis Topis. Jakarta : FKUI. 2010.
7. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press; 2011.
8. Sumantri S. Setiati S Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana Penurunan
Kesadaran. Jakarta. 2009
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
6th ed. Jakarta: EGC; 2006.
10. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ (Buddy), Culebras
A, et al. An Updated Definition of Stroke for the 21st Century A Statement for
Healthcare Professionals From the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke. 7 Januari 2013;44(7):206489.
11. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia.Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia: Jakarta, 2007.
12. Silbernagl, S., Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC:
Jakarta, 2007
13. American Heart Association (AHA). Executive summary: heart disease and
stroke statistic 2014 update: a report from the American Heart Association.
Circulation 2014; 129: 399-410
14. Depkes, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS), Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013.

7
http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%202013.p
df
15. Reinanda, Hardy . Hubungan Nilai Ankle Brachial Index Dengan Stroke
Iskemik Di Rsud Dokter Soedarso Pontianak Tahun 2013. (skripsi).
Pontianak. Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, 2013.
16. Amarenco P, Bogousslavsky J, Caplan LR, Donnan GA, Hennerici MG.
Classification of stroke subtypes. Cerebrovasc Dis. 2009;27(5):493501.
17. Lindsay KW, Ian B, Geraint F. Neurology and neurosurgery illustrated. 5th
ed. New York: Elsevier; 2010.
18. Setyopranoto I. Stroke: gejala dan penatalaksanaan. Yogyakarta: Fakulas
Kedokteran Gajah Mada; 2011.
19. Norrving B. Oxford textbook of stroke and cerebrovascular disorders. Oxford:
Oxford University Press; 2014.
20. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J.
Harrisons principles of internal medicine. 19th edition. New York: McGraw
Hill Education; 2015.
21. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi: Anamnesa Kasus
Kelumpuhan. Edisi 2. Jakarta: Dian Rakyat; 2004.
22. Mahar M & Priguna S. 1997. Neurologi Klinik Dasar. Edisi ke-7. Jakarta: Dian
Rakyat, pp: 279-481.
23. National Clinical Guideline for diagnosis and Initial for Management of Acute
Stroke and Transient Ischemic Attack. Royal College of Physicians,
London, 2008.
24. Ismail Setyopranoto. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. Jogyakarta: CDK,
2011: 38(4)
25. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Ed 5. Jakarta:
InternalPublishing; 2009.
26. Lee G, Dennis A. Cecil Medicine. 23rd ed. New York: Elsevier; 2007. p.
1211-1215.
27. Bruce F, Barbara CF. Mechanisms of thrombus formation. N Engl J Med.
2008;359:938-49.

8
28. Pinzon. R, Asanti. L. Awas Stroke! Pengertian, Gejala, Tindakan, Perawatan
dan Pencegahan. Yogyakarta: Andi Offset. 2010.
29. Vaughan Daniel G, Asbury Taylor, Riordan Eva Paul. Oftamologi Umum.
Edisi 14. Cetakan 1. Jakarta : Penerbit Widya Medika. 2000.)
30. AHA/ASA Guideline. Guidelines for the early management of adults with
ischemic stroke. Stroke 207; 38: 165-1711

Anda mungkin juga menyukai