Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

Vertigo Perifer susp. Benign Paroxysmal


Positional Vertigo (BPPV)

Dibuat oleh:
Reni Marselia
I4061162013

Pembimbing:
dr. Hanartoaji Sp. S
dr. I Nyoman Budi Antara
dr. Ridho Munanda

SMF ILMU KEDOKTERAN NEUROLOGI


KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD dr. ABDUL AZIZ
SINGKAWANG
2018
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. L
Usia : 84 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : wiraswasta
Alamat : Jl. Kaliasin Dalam 28/05 Sedau SKW Selatan
Agama : Katolik
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Masuk : 16 Februari 2018
Tanggal Keluar : 21 Februari 2018

II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh secara autoanamnesis pada:
 Tanggal : 17 Februari 2018
 Tempat : Bangsal Penyakit Dalam
 DPJP : dr. Hanartoaji A Pribadi Sp. S
A. Keluhan Utama
Pusing berputar yang bertambah parah sejak 8 jam SMRS

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSAA dengan keluhan pusing berputar
yang bertambah parah sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan
pasien muncul pertama kali sekitar 3 bulan yang lalu yaitu, pusing
berputar yang muncul secara tiba-tiba, terutama pada pagi dan malam hari
saat pasien bangun dari tempat tidur. Menurut pasien, keluhan dirasakan
hilang timbul, Keluhan dirasakan lebih parah dengan perubahan posisi
terutama saat bangun dari tidur dan tidur menyamping. Berkurang saat
memejamkan mata dan istirahat. Pasien tidak mengalami nyeri kepala
ataupun pingsan.
Menurut pasien, awalnya keluhan yang dirasakan tidak
mengganggu aktivitas dan bisa hilang dengan sendirinya jika pasien

2
beristirahat. Akan tetapi, keluhan tersebut dirasakan bertambah parah
sejak 8 jam yang lalu, sehingga pasien kesulitan untuk beraktivitas pasien
juga mengeluh mual dan muntah. Pasien muntah sebanyak 2 kali, sekitar
1 gelas aqua setiap kali muntah dan berisi makanan. Pasien juga
mengeluhkan adanya rasa berdengung pada kedua telinga pasien. Rasa
berdengung pada telinga dirasakan hilang timbul dan muncul secara tiba-
tiba. Pasien tidak dapat mengingat faktor yang membuat dengung pada
telinga muncul. Pasien juga tidak memiliki gangguan pendengaran dan
masih dapat mendengar dengan baik. Selain itu, pasien juga tidak
memiliki gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau gangguan
penglihatan lainnya. Nafsu makan pasien menurun, tidak batuk ataupun
pilek, tidak ada BAB dalam 2 hari. Pasien tidak jatuh dan kepala pasien
tidak terbentur sebelum keluhan muncul. Keluhan demam, sesak
disangkal.

C. Riwayat Penyakit Sebelumnya


1. Riwayat penyakit
Pasien juga belum pernah mengalami hal serupa sebelumnya.
2. Riwayat perawatan
Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.
3. Riwayat pembedahan
Pasien belum pernah menjalani operasi sebelumnya.
4. Riwayat pengobatan
Pasien pernah minum obat paracetamol dirumah.
5. Riwayat alergi
Menurut pasien, pasien tidak memiliki riwayat alergi.

D. Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit
serupa, darah tinggi ataupun kencing manis.

3
E. Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, konsumsi alkohol ataupun
NAPZA lainnya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal Pemeriksaan : 17 februari 2018
Tempat Pemeriksaan : Bangsal Penyakit dalam
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Lemah
Tinggi Badan : 156 cm
Berat Badan : 46 kg
Status Gizi : Baik
Tanda Vital
- Suhu Tubuh : 36.8oC (per axilla)
- Tekanan Darah : 120/70
- Nadi : 86 x/menit, regular
- Laju Nafas : 20 x/menit, reguler
B. Status Internus
- Kepala/leher : Normosefali, deformitas (-), bengkak (-)
: Pembesaran KGB -/-
: Pembesaran kelenjar tiroid -/-
- Mata : Reflek cahaya +/+
: Konjungtiva anemis -/-
: Sklera ikterik -/-
: Pupil isokor, 3mm/3mm
- Telinga/hidung : Deformitas (-), nyeri (-), sekret (-)
: Septum nasi ditengah
- Mulut/faring : Mukosa tidak pucat, hiperemis (-)
: Tonsil T1/T1
: Uvula ditengah
- Thorax
 Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal dan simetris

4
: Gerak napas tertinggal (-)
Palpasi : Tactile fremitus simetris, sama kuat
: Ekspansi normal
Perkusi : Bunyi sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, wheezing -/-, ronki -/-
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Pekak, batas jantung normal
Auskultasi : S1/S2 normal, (-) murmur, (-) gallop
- Abdomen
 Inspeksi : Cembung, bekas luka (-)
 Auskultasi : Bising usus normal, bruits (-)
 Perkusi : Timpani
 Palpasi : Nyeri tekan epigastrik (+)
: Hepatomegali (-), splenomegali (-)
- Punggung : Nyeri punggung bawah (-)
- Ekstremitas : Akral hangat
: Deformitas (-), edema (-)
: CRT <2 detik

C. Status Neurologis
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4 M6 V5
Saraf Cranial Kanan Kiri
N.I (Olfactorius)
 Daya pembau Tidak Dilakukan (TDL) Tidak Dilakukan
(TDL)
N.II (Optikus)
 Visus TDL TDL
 Lapang pandang Normal Normal
TDL TDL
 Funduskopi

5
N.III (Okulomotorius)
 Ptosis - -
 Gerakan Bola Mata Normal Normal
±3mm ±3mm
 Ukuran pupil
+ +
 Refleks cahaya direct + +
 Refleks cahaya indirect + +
 Refleks Kornea
N.IV (Trokhlearis)
 Gerakan Mata ke Medial Normal Normal
Bawah

N.V (Trigeminus)
 Menggigit Baik Baik
 Membuka mulut Baik Baik
Baik Baik
 Sensibilitas
Baik Baik
Oftalmikus Baik Baik
Maksilaris Baik Baik
Mandibularis TDL TDL
• Refleks Kornea
N.VI (Abdusen)
 Gerakan mata kelateral Normal Normal

N.VII (Fasialis)
 Kerutan kulit dahi Normal Normal
 Kedipan mata Normal Normal

 Lipatan naso labial Simetris


 Sudut mulut Simetris
 Menutup mata Normal
Normal
 Meringis
TDL
 Daya kecap lidah 2/3 depan
N.VIII (Vestibulocochlearis)
 Tes Rinne TDL TDL
 Tes Webber TDL TDL
TDL TDL
 Tes Schwabach
N.IX dan X (Glossofaringeus dan
vagus)
 Arkus faring TDL
 Arkus faring saat bergerak TDL
TDL
 Daya kecap lidah 1/3
TDL
belakang
 Refleks muntah

6
 Menelan

N.XI (Asesorius)
 Memalingkan wajah Baik Baik
 Mengangkat bahu Baik Baik
N.XII (Hipoglosus)
 Sikap lidah Baik
 Atropi otot lidah Normal
Normal
 Fasikulasi lidah
Tidak ada
 Deviasi

Motorik
- Trofi eutrofi eutrofi
eutrofi eutrofi
- Tonus normotonus normotonus
normotonus normotonus

- Kekuatan 5555 5555


5555 5555

- Refleks fisiologis : Bisep +/+


: Patella +/+
: Trisep +/+
: Achiles +/+
- Reflex patologis : Babinski -/-
: Chaddock -/-
: Gordon -/-
: Oppenheim -/-
: Schaffer -/-
: Hoffman Trommer -/-
Sensorik
- Ekstremitas atas : Raba +/+
: Nyeri +/+
: Suhu +/+

7
: Propioseptif +
- Ekstremitas bawah : Raba +/+
: Nyeri +/+
: Suhu +/+
: Propioseptif +

Saraf otonom
- Miksi : Normal
- Defekasi :-
- Sekresi keringat : Normal

Koordinasi dan Keseimbangan


- Tes tunjuk hidung : Normal
- Tes tumit-lutut : Normal
- Disdiadokokinesis : Normal

Fungsi Luhur : Normal

Tanda rangsang meningeal


- Kaku kuduk : (-)
- Lassegue : (-)
- Kernig : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium (16 Februari 2018)

8
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Leukosit 7.800 10 ^ 3/µl 3800 - 10600


Eritrosit 3,91 10 ^ 6/µl 4 – 5,5
Hemoglobin 11,4 g/dl 12 –14
Hematokrit 33,9 % 30 – 40
Trombosit 169.000 µl 150.000-440.000
GDS 106 mg/dl 75 – 150
Natrium 138,66 mmol/L 135-147
Kalium 4,28 mmol/L 3,5-5
Clorida 102,54 mmol/L 95-105

2. EKG

V. RESUME
Ny. L, 84 tahun, datang dengan keluhan pusing berputar yang bertambah parah
sejak 8 jam SMRS. Gejala muncul pertama kali 3 bulan yang lalu, muncul
secara tiba-tiba, bertambah parah dengan perubahan posisi terutama saat
bangun dari tidur, dan tidur menyamping. Mual (+), muntah (+) 2 kali, Nyeri
kepala (-), diplopia (-). Pasien juga memiliki keluhan kedua telinga berdengung
+), Gangguan pendengaran lain (-).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:


- Kesadaran : Compos mentis
- GCS : E4M6V5
- N. VIII : nistagmus + unidirectional horizontal kekiri
- Sensorik : propiosepsi nomal

9
- Koordinasi : tes tunjuk hidung normal
: tes tumit-lutut normal
: disdiadokokinesis normal

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Vertigo Perifer suspect BPPV
Diagnosis topis : Sistem Vestibular
Diagnosis etiologis : Idiopatik

VII. DIAGNOSIS KERJA


1. Vertigo perifer susp. BPPV
Keluhan pusing berputar yang muncul secara tiba-tiba, dipengaruhi oleh
posisi, terdapat mual muntah, terdapat tinitus, susah untuk melakukan
beraktivitas. Lingkungan berputar. Gejala sentral (-).

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Vertigo perifer Meniere BPPV Neuritis Vertigo central
disease vestibular
Kelainan pada Meningkatnya Ada benda Virus  Kelainan/abnorm
sistem vestibuler tekanan pada asing/batu pembengkakan alitas pada sistem
(hiperstimulasi) ruang kalsium yang nervus area saraf pusat yang
endolimfe dan bergerak vestibular berhubungan dg
perilemfe didalam keseimbangan
saluran
semisirkularis
Lebih banyak Lebih banyak Pada wanita Semua umur Semua umur
pada orang tua pada orang tua usia tua

Pusing berputar Pusing Berubah Vertigo berat Timbul lebih


hebat disertai berputar posisi dengan durasi lambat, rasa
mual muntah dengan menyebabkan yang lama, berputar ringan,
tinnitus dan vertigo sedang/pasca jarang disertai
penurunan muncul batuk/flu atau mual/muntah
pendengaran penyakit dg e.c
virus lain

10
IX. TATALAKSANA
a. Nonmedikamentosa
 Edukasi pasien untuk bangun dari tempat tidur secara perlahan-lahan.
 Memberitahu pasien tentang latihan Brandt-Daroff untuk latihan di
rumah agar pasien terbiasa dengan beberapa posisi sehingga tidak
muncul keluhan pusing berputar saat berpindah posisi.

b. Medikamentosa
• IVFD NaCl 0,9% 15 tpm
• Inj. Ranitidine 2 x 50 mg IV
• Inj. Ondansetron 3x4 mg kp muntah
• PO. Betahistin 3 x 6 mg
• PO. Flunarizin 1 x 10 mg

11
X. FOLLOW UP
Tgl S O A P

17/02/2018 Pasien masih KU/Kesadaran: Vertigo  IVFD NaCl 0,9% 15


merasakan pusing TSS/CM vestibular tpm
berputar yang GCS: 15 E4V5M6 perifer e.c.  Inj. Ranitidin 2 x 1
intensitasnya sudah TD:120/80 mmHg susp BPPV amp
berkurang, telinga HR: 86x/menit,  Inj. Ondansetron
berdenging (+), pasien reguler 3x4 mg k/p
masih sulit untuk RR: 20x/menit,  PO. Betahistine 3x6
duduk dan tidur regular mg
menyamping (+), mual T: 36,1oC  PO. Flunarizine
(+), muntah (-), tidak Nistagmus (+) 1x10 mg
ada BAB 2 hari unidirectional
horizontal kekiri
Pupil: Isokor Ø
3mm/3mm
RCL (+/+), RCTL
(+/+)
Meningeal sign:
Kaku kuduk (-),
Laseque (-),
Kernig (-),
Brudzinski ½ (-/-)
R. Patologis:
Babinski (-/-),
Hoffman Tromner
(-/-), Chaddock (-
/-), Oppenheim (-
/-).
R. Fisiologis:
Biceps (+2/+2)
Triceps (+2/+2)

12
Patella (+2/+2)
Achilles (+2/+2)
Motorik: +5 +5
+5 +5
Sensorik: 5 5
5 5
N. Kranialis: tidak
terdapat defisit
neurologis.
Otonom : miksi
(+)
Defekasi (-)

19/10/2017 Pasien mengatakan KU/Kesadaran: Vertigo  IVFD NaCl 0,9% 15


pusing berputar masih TSS/CM vestibular tpm
dirasakan namun GCS: 15 E4V5M6 perifer e.c.  Inj. Ranitidin 2 x 1
sudah berkurang. TD:150/80 mmHg susp. BPPV amp
Namun saat perubahan HR: 80x/menit,  Nj. Ondansetron 3x4
posisi dari berbaring reguler mg k/p stop
ke duduk masih terasa RR: 20 x/menit,  PO. Betahistine 2x1
pusing. Telinga regular tab
o
berdenging kadang- T: 36,7 C  PO. Flunarizine
kadang (+), Mual (+), Nistagmus: - 1x10 mg
BAB (-)

20/02/2018 Pasien mengatakan KU/Kesadaran: Vertigo  IVFD NaCl 0,9% 15


keluhan pusing TSS/CM vestibular tpm
berputar sudah jauh GCS: 15 E4V5M6 perifer e.c.  Inj. Ranitidin 2 x 1
berkurang. pasien TD: 130/80 susp. BPPV amp
sudah bisa duduk, mmHg  PO. Betahistine 2x6
telinga berdenging (-), HR: 80 x/menit, mg
mual (+), BAB - reguler  PO. Flunarizine 1x10
RR: 22 x/menit, mg
regular  PO. Laxadin 2x1 C

13
T: 36,5oC

21/02/2018 Pasien mengeluhkan KU/Kesadaran: Vertigo  IVFD NaCl 0,9% 15


pusing berputar sudah TSS/CM vestibular tpm
jauh berkurang dari GCS: 15 E4V5M6 perifer e.c.  Inj. Ranitidin 2 x 1
sebelumnya, keluhan TD: 130/80 susp. BPPV amp
hanya timbul kadang- mmHg  PO. Betahistine 3x6
kadang. Telinga HR: 80 x/menit, mg
berdenging (-), mual reguler  PO. Flunarizine 1x10
(+). RR: 20 x/menit, mg
regular  PO. Laxadin 2x1 C
o
T: 36,5 C  Latihan Brand Daroff
 Dapat Rajal

XI. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN
Vertigo berasal dari bahasa latin vertere yang artinya memutar, merujuk
pada sensasi berputar, rasa oleng, tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau rasa
pusing (dizziness) sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang,
umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan. Berbagai
macam defenisi vertigo dikemukakan oleh banyak penulis, tetapi yang paling
tua dan sampai sekarang nampaknya banyak dipakai adalah yang dikemukakan
oleh Gowers pada tahun 1893 yaitu setiap gerakan atau rasa (berputar) tubuh
penderita atau obyek-obyek di sekitar penderita yang bersangkutan dengan
kelainan keseimbangan.1
Vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ) atau disebut juga Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan perifer
yang sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang datang tiba-
tiba pada perubahan posisi kepala. Vertigo pada BPPV termasuk vertigo perifer
karena kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem vestibularis.
BPPV pertama kali dikemukakan oleh Barany pada tahun 1921. Karakteristik
nistagmus dan vertigo berhubungan dengan posisi dan menduga bahwa kondisi
ini terjadi akibat gangguan otolit.2,3

II. EPIDEMIOLOGI
Benign Paroxysmal Potitional Vertigo (BPPV) disebut sebagai
gangguan vestibular yang umum dikenal; dalam suatu kelompok pasien, onset
umur rata-ratanya adalah 54 tahun, dengan range 11 sampai 84 tahun. Froehling
et al. mengestimasikan bahwa insidennya sebanyak 107 kasus per 100.000
populasi per tahun. Sebuah penelitian di Jepang pada pasien dengan BPPV saja
jika mereka memiliki nistagmus pada tes Dix-Hallpike ditemukan insidensnya
sebanyak 10,7 kasus per 100000 per tahun. Pada pengalaman sebelumnya,
didapatkan adanya hubungan antara BPPV dengan vestibular neuritis pada 10%
pasien dan trauma kepala pada 20% pasien. Sama halnya, Baloh et al.
melaporkan bahwa 15% kasus-kasus BPPV diikuti oleh neurolabirintitis dan

15
18% oleh trauma kepala. Namun, pada kebanyakan pasien BPPV, tidak temukan
adanya hubungan tersebut.4

III. ANATOMI DAN FISIOLOGI ALAT KESEIMBANGAN


Alat vestibuler (alat keseimbangan) terletak di telinga dalam (labirin),
terlindung oleh tulang yang paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin
secara umum adalah telinga dalam, tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai
alat keseimbangan. Labirin terdiri atas labirin tulang dan labirin membran.
Labirin membran terletak dalam labirin tulang dan bentuknya hampir menurut
bentuk labirin tulang. Antara labirin membran dan labirin tulang terdapat
perilimfa, sedang endolimfa terdapat di dalam labirin membran. Berat jenis
cairan endolimfa lebih tinggi daripada cairan perilimfa. Ujung saraf vestibuler
berada dalam labirin membran yang terapung dalam perilimfa, yang berada
dalam labirin tulang. Setiap labirin terdiri dari 3 kanalis semi-sirkularis (kss),
yaitu kss horizontal (lateral), kss anterior (superior) dan kss posterior (inferior).
Selain 3 kanalis ini terdapat pula utrikulus dan sakulus. 5,6,7

Gambar 1. Anatomi labirin


Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan di
sekitarnya tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin,
organ visual dan proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik
tersebut akan diolah di SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh
pada saat itu. 5

16
Labirin terdiri dari labirin statis yaitu utrikulus dan sakulus yang
merupakan pelebaran labirin membran yang terdapat dalam vestibulum labirin
tulang. Pada tiap pelebarannya terdapat makula utrikulus yang di dalamnya
terdapat sel-sel reseptor keseimbangan. Labirin kinetik terdiri dari tiga kanalis
semisirkularis dimana pada tiap kanalis terdapat pelebaran yang berhubungan
dengan utrikulus, disebut ampula. Di dalamnya terdapat krista ampularis yang
terdiri dari sel-sel reseptor keseimbangan dan seluruhnya tertutup oleh suatu
substansi gelatin yang disebut kupula. 5,6,7

Gambar 2. Gambaran skematis dari epitel vestibular menggambarkan 2 tipe sel


dan hubungan nervus pada sel tersebut. Terlihat pula kupula dari kanalis
semisirkularis dan sel rambut.
(Dikutip dari kepustakaan 9)

Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan


perpindahan cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut akan
menekuk. Tekukan silia menyebabkan permeabilitas membran sel berubah,
sehingga ion kalsium akan masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya
proses depolari-sasi dan akan merangsang pelepasan neurotransmiter eksitator
yang selanjutnya akan meneruskan impuls sensoris melalui saraf aferen ke pusat
keseimbangan di otak. Sewaktu berkas silia terdorong ke arah berlawanan, maka
terjadi hiperpolarisasi. 5,7
Organ vestibuler berfungsi sebagai transduser yang mengubah energi
mekanik akibat rangsangan otolit dan gerakan endolimfa di dalam kanalis

17
semisirkularis menjadi energi biolistrik, sehingga dapat memberi informasi
mengenai perubahan posisi tubuh akibat per-cepatan linier atau percepatan
sudut. Dengan demikian dapat memberi informasi mengenai semua gerak tubuh
yang sedang berlangsung.5
Sistem vestibuler berhubungan dengan sistem tubuh yang lain, sehingga
kelainannya dapat menimbulkan gejala pada sistem tubuh bersangkutan. Gejala
yang timbul dapat berupa vertigo, rasa mual dan muntah. Pada jantung berupa
bradikardi atau takikardi dan pada kulit reaksinya berkeringat dingin.5

IV. ETIOLOGI
BPPV merupakan penyakit degenerative yang idiopatik yang sering
ditemukan, kebanyakan diderita pada usia dewasa muda dan usia lanjut.
Penyebab utama BPPV pada orang di bawah umur 50 tahun adalah cedera
kepala. Pada orang yang lebih tua, penyebab utamanya adalah degenerasi sistem
vestibuler pada telinga tengah. BPPV meningkat dengan semakin meningkatnya
usia. 2,10
Penyebab lain yang jarang ditemukan adalah labirintitis virus, neuritis
vestibularis, pasca stapedektomi, fistula perlimfa, dan penyakit meniere. BPPV
merupakan penyakit pada semua usia dewasa. Pada anak belum pernah
dilaporkan. 2,10

V. PATOFISIOLOGI
Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, antara lain :
• Teori Cupulolithiasis
Pada tahun 1962 Horald Schuknecht mengemukakan teori ini untuk
menerangkan BPPV. Dia menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi
kalsiurn karbonat dari fragmen otokonia (otolith) yang terlepas dari macula
utriculus yang sudah berdegenerasi, menernpel pada permukaan kupula. Dia
menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif akan
gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan
keadaan benda berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra ini menyebabkan
tiang sulit untuk tetap stabil, malah cenderung miring. Pada saat miring partikel
tadi mencegah tiang ke posisi netral. Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa
pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti

18
pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior berubah posisi dari inferior ke superior,
kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan
keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel otolith tersebut membutuhkan
waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing
dan nistagmus.3,11
• Teori Canalithiasis
Tahun1980 Epley mengemukakan teori canalithiasis, partikel otolith
bergerak bebas di dalam KSS. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan
partikel ini berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling
bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang partikel ini berotasi ke atas
sarnpai ± 900 di sepanjang lengkung KSS. Hal ini menyebabkan cairan
endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok
(deflected), hal ini menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi
waktu kepala ditegakkan kernbali, terjadi pembalikan pembelokan kupula,
muncul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah berlawanan. Model
gerakan partikel begini seolah-olah seperti kerikil yang berada dalam ban,
ketika ban bergulir, kerikil terangkat sebentar lalu jatuh kembali karena gaya
gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan menimbulkan
pusing. Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat
menerangkan keterlambatan "delay" (latency) nistagmus transient, karena
partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi manuver
kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam
menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yag dapat menerangkan
konsep kelelahan "fatigability" dari gejala pusing.3,11

VI. DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik
akibat perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di
tempat tidur pada posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan
belakang, dan membungkuk. Vertigo bisa diikuti dengan mual. 10

19
B. Pemeriksaan fisis
Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan
pada evaluasi neurologis normal. 6 Pemeriksaan fisis standar untuk BPPV
adalah Dix-Hallpike. Cara melakukannya sebagai berikut :2,4
- Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan,
dan vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa
detik.
- Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika
posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 30o – 40o, penderita diminta
tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul.
- Kepala diputar menengok ke kanan 45o (kalau KSS posterior yang
terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith untuk bergerak,
kalau ia memang sedang berada di KSS posterior.
- Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita
direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.
- Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut
dipertahankan selama 10-15 detik.
- Komponen cepat nistagmus harusnya “up-bet” (ke arah dahi) dan
ipsilateral.
- Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arah yang yang
berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar ke arah
berlawanan.
- Berikutnya maneuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri
45o dan seterusnya

20
Gambar. perasat Dix-Hallpike
A. Perasat Dix-Hallpike kanan,
B. perasat Dix-Hallpike kiri (dikutip dari kepustakaan 2)

Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan


provokasi ke belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak
lagi nistagmus. Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus
yang timbulnya lambat, ± 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang
dari satu menit bila sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus
dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul
bersamaan dengan nistagmus.2

21
vertigo

Anamnesis
Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan
Neurologis

Penemuan
sistem Penemuan
saraf pusat sistem saraf
abnormal pusat normal

MRI
Audiogram

abnormal normal
pendengaran pendengaran
simetris asimetris

Stroke EEG
Manuver MRI
Massa DixHallpike telinga
Neuroma akustik dalam
abnormal normal
Demyelinisasi positif negatif
Trauma abnormal normal
Kejang pemeriksaan
dengan vestibular pemeriksaan
aura BPPV
vestibular Akustik
vestibular pemeriksaan
neuroma vestibular
mungkin Cholesteatoma
gangguan
sistem saraf
pusat awal
psikogenik

Skema 2. Alur diagnosis Vertigo22


VII. DIAGNOSIS BANDING
 Vestibular Neuritis
Vestibular neuronitis penyebabnya tidak diketahui, pada hakikatnya
merupakan suatu kelainan klinis di mana pasien mengeluhkan pusing berat
dengan mual, muntah yang hebat, serta tidak mampu berdiri atau berjalan.
Gejala-gejala ini menghilang dalam tiga hingga empat hari. Sebagian pasien
perlu dirawat di Rumah Sakit wrtuk mengatasi gejala dan dehidrasi.
Serangan menyebabkan pasien mengalami ketidakstabilan dan
ketidakseimbangan selama beberapa bulan, serangan episodik dapat
berulang. Pada fenomena ini biasanya tidak ada perubahan pendengaran.10
 Labirintitis

22
Labirintitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan
mekanisme telinga dalam. Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan
patologik yang berbeda. Proses dapat akut atau kronik, serta toksik atau
supuratif. Labirintitis toksik akut disebabkan suatu infeksi pada struktur
didekatnya, dapat pada telinga tengah atau meningen tidak banyak bedanya.
Labirintitis toksik biasanya sembuh dengan gangguan pendengaran dan
fungsi vestibular. Hal ini diduga disebabkan oleh produk-produk toksik dari
suatu infeksi dan bukan disebabkan oleh organisme hidup. Labirintitis
supuratif akut terjadi pada infeksi bakteri akut yang meluas ke dalam
struktur-struktur telinga dalam. Kemungkinan gangguan pendengaran dan
fungsi vestibular cukup tinggi. Yang terakhir, labirintitis kronik dapat
timbul dari berbagai sumber dan dapat menimbulkan suatu hidrops
endolimfatik atau perubahan-perubahan patologik yang akhirnya
menyebabkan sklerosi labirin.12
 Penyakit Meniere
Penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin yang etiologinya
belum diketahui, dan mempunyai trias gejala yang khas, yaitu gangguan
pendengaran, tinitus, dan serangan vertigo. Terutama terjadi pada wanita
dewasa.
Patofisiologinya adalah pembengkakan endolimfe akibat
penyerapan endolimfe dalam skala media oleh stria vaskularis terhambat.
Manifestasi klinisnya adalah vertigo disertai muntah yang
berlangsung antara 15 menit sampai beberapa jam dan berangsur membaik.
Disertai pengurnngan pendengaran, tinitus yang kadang menetap, dan rasa
penuh di dalam telinga. Serangan pertama hebat sekali, dapat disertai gejala
vegetatif Serangan lanjutan lebih ringan meskipun frekuansinya bertambah.
13

VIII. PENATALAKSANAAN
a. Nonmedikasi
Penatalaksanaan utama pada BPPV adalah manuver untuk mereposisi
debris yang terdapat pada utrikulus. Yang paling banyak digunakan adalah
manuver seperti yang diperlihatkan pada gambar di bawah. Manuver mungkin
diulangi jika pasien masih menunjukkan gejala-gejala. Bone vibrator bisa

23
ditempatkan pada tulang mastoid selama manuver dilakukan untuk
menghilangkan debris. 14

Gambar. Maneuver Epley


(dikutip dari kepustakaan 14 )

Pasien digerakkan dalam 4 langkah, dimulai dengan posisi duduk dengan


kepala dimiringkan 45o pada sisi yang memicu. (1) pasien diposisikan sama
dengan posisi Hall-pike sampai vertigo dan nistagmus mereda. (2) kepala
pasien kemudian diposisikan sebaliknya, hingga telinga yang terkena berada
di atas dan telinga yang tidak terkena berada di bawah. (3) seluruh badan dan
kepala kemudian dibalikkan menjauhi sisi telinga yang terkena pada posisi
lateral dekubitus, dengan posisi wajah menghadap ke bawah. (4) langkah
terakhir adalah mendudukkan kembali pasien dengan kepala ke arah yang
berlawanan pada langkah 1. 14
Operasi dilakukan pada sedikit kasus pada pasien dengan BPPV berat.
Pasien ini gagal berespon dengan manuver yang diberikan dan tidak terdapat
kelainan patologi intrakranial pada pemeriksaan radiologi. Gangguan BPPV
disebabkan oleh respon stimulasi kanalis semisirkuler posterior, nervus
ampullaris, nervus vestibuler superior, atau cabang utama nervus vestibuler.
Oleh karena itu, terapi bedah tradisional dilakukan dengan transeksi langsung
nervus vestibuler dari fossa posterior atau fossa medialis dengan menjaga
fungsi pendengaran.2

24
a. Medikasi
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali merasa
sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali menggunakan
pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Sebagian besar
kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
1. Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo.
Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat,
difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti
vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di susunan saraf pusat.
Mungkin sifat anti-kholinergik ini ada kaitannya dengan kemampuannya
sebagai obat antivertigo. Efek samping yang umum dijumpai ialah sedasi
(mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat efek samping ini
memberikan dampak yang positif.
• Betahistin
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat meningkatkan
sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala
vertigo. Efek samping Betahistin ialah gangguan di lambung, rasa
enek, dan sesekali “rash” di kulit.
 Betahistin Mesylate (Merislon)
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) – 12 mg, 3 kali sehari per oral.
 Betahistin di Hcl (Betaserc)
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet dibagi
dalam beberapa dosis.
• Dimenhidrinat (Dramamine)
Lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Dapat diberi per oral atau
parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan
dengan dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping
ialah mengantuk.
• Difhenhidramin Hcl (Benadryl)
Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan dengan dosis 25
mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat juga
diberikan parenteral. Efek samping mengantuk.

25
2. Antagonis Kalsium
Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis kalsium
Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering digunakan.
Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut vestibular mengandung
banyak terowongan kalsium. Namun, antagonis kalsium sering mempunyai
khasiat lain seperti anti kholinergik dan antihistamin. Sampai dimana sifat
yang lain ini berperan dalam mengatasi vertigo belum diketahui.
Cinnarizine (Stugerone)
Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat mengurangi
respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah 15 – 30
mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek samping ialah rasa mengantuk
(sedasi), rasa cape, diare atau konstipasi, mulut rasa kering dan “rash” di kulit.
3. Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat antiemetik (anti muntah).
Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo. Khlorpromazine (Largactil)
dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif untuk nausea yang diakibatkan
oleh bahan kimiawi namun kurang berkhasiat terhadap vertigo.
4. Obat Simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah satunya obat
simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo ialah efedrin.
Efedrin
Lama aktivitas ialah 4 – 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25 mg, 4 kali
sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan obat anti
vertigo lainnya. Efek samping ialah insomnia, jantung berdebar (palpitasi) dan
menjadi gelisah – gugup.
5. Obat Penenang Minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan
yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo. Efek samping seperti mulut
kering dan penglihatan menjadi kabur.
- Lorazepam. Dosis dapat diberikan 0,5 mg – 1 mg
- Diazepam. Dosis dapat diberikan 2 mg – 5 mg
6. Obat Antikolinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas sistem
vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.

26
• Skopolamin
Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau efedrin dan
mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg – 0,6 mg,
3 – 4 kali sehari.

IX. PROGNOSIS
Prognosis setelah dilakukan CRP (canalith repositioning procedure)
biasanya bagus. Remisi dapat terjadi spontan dalam 6 minggu, meskipun
beberapa kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi sekitar
10-25%. 2

27
BAB III

PEMBAHASAN

Diagnosis vertigo dibuat atas dasar keluhan pasien merupakan keluhan


pusing berputar. Pasien tidak merasakan adanya nyeri kepala ataupun pingsan.
Vertigo yang dirasakan pasien merupakan vertigo perifer karena keluhan
muncul secara tiba-tiba, dipengaruhi oleh posisi, terdapat mual muntah,
terdapat tinitus, pasien sulit melakukan beraktivitas, pasien merasakan
lingkungan sekitar pasien yang berputar. Tidak ditemukan adanya gejala-
gejala sentral seperti gangguan penglihatan, penglihatan ganda, ataupun
kesulitan berbicara. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluhan vertigo pasien
adalah vertigo perifer.
Kecenderungan terhadap BPPV didapatkan karena sifat dari vertigo
pasien yang dipengaruhi posisi, yaitu saat bangun dari tempat tidur. Pasien
juga memiliki keluhan tinitus. Pasien tidak memiliki gangguan pendengaran
namun, diagnosis penyakit meniere belum dapat disingkirkan karena belum
dilakukan pemeriksaan terhadap pendengaran pasien secara lebih lanjut. Selain
itu, gangguan pendengaran pada penyakit meniere biasanya bersifat progresif
sehingga tidak terlalu terlihat pada fase-fase awal dan biasanya mengenai
gelombang suara dengan frekuensi lebih rendah. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan diagnosis penyakit meniere.
Mual muntah yang dirasakan pasien dapat disebabkan oleh gangguan
motion sickness karena pusing berputar yang dirasakan pasien. Akan tetapi, hal
ini dapat juga menimbulkan kecurigaan terhadap neuritis vestibularis, yaitu
keluhan vertigo yang disertai dengan mual muntah yang biasanya didahului
oleh suatu infeksi virus pada sistem pernapasan atas. Infeksi pada neuritis
vestibuler biasanya merupakan infeksi saluran napas atas. Pada pasien tidak
terdapat gejala batuk atau pilek. Pasien juga memiliki gejala telinga
berdengung, sedangkan vestibular neuritis tidak terdapat gangguan
pendengaran. Terapi yang diberikan pada pasien berupa ondansentron,
ranitidine, betahistin, dan flunarizin. Betahistine merupakan golongan
antihistaminik yang digunakan sebagai obat anti-vertigo, dosis yang biasa
digunakan adalah 3 x 6 mg per hari. Flunarizine yang merupakan derivat

28
cinnarizine. Flunarizine memiliki efek antihistamin dan penghambat ion
kalsium yang bekerja secara selektif. Flunarizine diabsorpsi baik di usus, dan
mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian oral.
Ondansetron adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati
mual dan muntah. Mual dan muntah disebabkan oleh senyawa alami tubuh
yang bernama serotonin.Serotonin akan bereaksi terhadap reseptor 5HT3 yang
berada di usus kecil dan otak, dan membuat kita merasa mual. Ondansetron
akan menghambat serotonin bereaksi pada receptor 5HT3 sehingga membuat
kita tidak mual dan berhenti muntah. Ranitidine pada pasien diberikan untuk
proteksi lambung sehingga tidak terjadi iritasi lambung. Dosis yang biasa
digunakan adalah 2 x 50 mg per hari dengan injeksi.

29
BAB IV
KESIMPULAN

Ny. L 84 tahun berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang didiagnosis dengan Vertiga vestibular perifer ec BPPV.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Joesoef AA. Vertigo. In : Harsono, editor. Kapita Selekta Neurologi.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2000. p.341-59
2. Bashiruddin J. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Dalam : Arsyad E, Iskandar
N, Editor. Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 104-9
3. Li JC & Epley J. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online] 2009 [cited
2009 May 20th]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/884261-overview
4. Furman JM, Cass SP. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. NEJM [online]
2009 [cited 2009 May 30th]. Available from :
http://content.nejm.org/cgi/reprint/341/21/1590.pdf
5. Bashiruddin J., Hadjar E., Alviandi W. Gangguan Keseimbangan. Dalam :
Arsyad E, Iskandar N, Editor : Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 94-101
6. Anderson JH dan Levine SC. Sistem Vestibularis. Dalam : Effendi H,
Santoso R, Editor : Buku Ajar Penyakit THT Boies. Edisi Keenam. Jakarta :
EGC. 1997. h 39-45
7. Sherwood L. Telinga, Pendengaran, dan Keseimbangan. Dalam: Fisiologi
Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC. 1996. p 176-189
8. Balasubramanian. BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo). [online]
2009 [cited 2009 May 30th]. Available from :
http://www.drtbalu.com/BPPV.html
9. Anonym. The Membranous Labyrinth Of The Vestibular. [online] 2009
[cited 2009 May 30th]. Available from : http://cache-
media.britannica.com/eb-media/86/4086-004-EA855487.gif
10. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setowulan W. Pusing .
Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI. 2001. Hal
51-53

31
11. Anonym. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. [online] 2009 [cited 2009
May 20th]. Available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/Benign_paroxysmal_positional_vertigo
12. Anonym. Labirinitis. [online] 2011 [cited 2011 December 16th]. Available
from : http://dokterspesialis.info/2011/12/16/labirinitis.html
13. Bashiruddin J., Hadjar E., Alviandi W. Penyakit Meniere. Dalam : Arsyad E,
Iskandar N, Editor : Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 102-3
14. Anonym. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (Benign Positional
Vertigo)/BPPV. [online] 2009 [cited 2009 December 20th]. Available from:
http://medicastore.com/penyakit/3327/Benign_Paroxymal_Positional

32

Anda mungkin juga menyukai