Anda di halaman 1dari 4

Obesitas merupakan suatu keadaan dimana terjadi penumpukan lemak berlebih di dalam

tubuh. Obesitas diketahui menjadi salah satu faktor risiko munculnya berbagai penyakit
degeneratif seperti penyakit jantung dan stroke. Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab
kematian terbesar penduduk dunia, terutama pada kelompok usia lanjut. Selain penyakit tersebut,
obesitas pada lansia juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kerusakan pada tulang dan sendi
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya jatuh atau kecelakaan. Obesitas sentral juga
berkaitan erat dengan peningkatan risiko penyakit degenerative dimana obesitas sentral ini
merupakan penumpukan lemak di perut yang diukur dengan menggunakan indikator lingkar
perut. Lemak viseral merupakan lemak tubuh yang terkumpul di bagian sentral tubuh dan
melingkupi organ internal. Kelebihan lemak viseral berhubungan erat dengan peningkatan risiko
penyakit kardiovaskuler, sindrom metabolik(hipertensi, dislipidemia, dan diabetes tipe II), dan
resistensi insulin. Suatu penelitian menyatakan bahwa seseorang yang mengalami obesitas
cenderung memiliki lemak viseral tubuh yang berlebih.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas di antaranya yaitu tingkat pendidikan
dan pekerjaan, asupan makanan, stress, aktivitas fisik, jenis kelamin serta usia,genetik , pola
hidup. Berdasarkan penelitian analisis lanjutan data Riskesdas 2007 di Jakarta, faktor risiko
obesitas sentral di antaranya yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan per
kapita, makanan berlemak, dan gangguan mental. Lemak viseral dapat juga mempengaruhi besar
lingkar perut sehingga semakin tinggi persen lemak viseral akan semakin meningkatkan risiko
mengalami obesitas sentral. lemak viseral dapat berisiko mengalami resistensi insulin. Pada
obesitas abdominal laju ambilan glukosa yang distimulasi glukosa pada otot dan pada seluruh
depo lemak berkurang, penurunan ambilan glukosa ini berhubungan dengan jumlah lemak
intraabdomen. Pada resistensi insulin, massa lemak (khususnya lemak subkutan) memberi tempat
bagi glukosa, sebagai bentuk kompensasi pengurangan dari resistensi insulin

Obesitas dapat diukur dengan menggunakan rumus indeks massa tubuh (IMT) dan obesitas
sentral dapat diperikirakan dengan mengukur lingkar pinggang, hanya saja kedua teknik ini tidak
dapat memberikan gambaran massa lemak tubuh secara spesifik. Pemeriksaan lemak tubuh
secara akurat dilakukan dengan dual energy X-ray absorptiometry (DEXA), namun pemeriksaan
ini relative mahal dan tidak praktis diterapkan dalam praktek klinik sehari-hari maupun dalam
studi populasi. Massa lemak tubuh dapat diperkirakan dengan menggunakan teknik
bioimpedance, pemeriksaan ini bersifat non invasif, relatif murah, serta memungkinkan untuk
diterapkan dalam studi populasi. Resistensi insulin adalah kondisi yang mendasari terjadinya
diabetes tipe 2 (DMT2). Terjadinya DMT2 adalah melalui masa yang panjang diawali dari
episode pre diabetes hingga manifestasi diabetes, sehingga mengenali resistensi insulin sebagai
kondisi yang berisiko menjadi pre diabetes dalam upaya pencegahan DMT2 merupakan salah
satu upaya penting pada populasi dengan faktor risiko diabetes

Peningkatan Konsentrasi Asam lemak Plasma

Asam lemak yang disekresi dari sel-sel lemak (adiposit) dianggap hanya ber- fungsi
sebagai sumber energi untuk kebutuhan jaringan tubuh lainnya. Pemikiran bahwa asam lemak ini
berfungsi sebagai faktor endokrin yang mengatur fungsi metabolik pertama kali
diajukan >40 tahun lalu ketika Randle dkk. pada 1963 berhipotesis bahwa terjadinya resis- tensi
insulin terkait obesitas hanya dapat di- jelaskan oleh adanya kompetisi antara kadar asam lemak
yang meningkat dalam sirkulasi dan glukosa untuk metabolisme oksidatif pada sel-sel yang
responsif terhadap insulin.

Setelah makan atau infusi lipid, konsen- trasi asam lemak plasma meningkat dan asam lemak
lalu ditransport ke dalam sel β melalui protein pengikat asam lemak (fatty acid- binding protein).
Di dalam sitosol, asam lemak diubah menjadi turunan asam lemak koA, yang pada gilirannya
mengganggu sekresi insulin melalui berbagai mekanisme :

1) peningkatan pembentukan asam fosfatidat dan diasilgliserol yang baik secara langsung atau
tidak langsung menyebabkan eksositosis dari insulin yang disimpan dalam granul sekretorik,

2) perangsangan Ca2+-A TP retikulum endoplasma yang mengakibatkan peningkatan


konsentrasi kalsi- um intraseluler dan penguatan sekresi insulin.

3) penutupan kanal K+-ATP yang mengha- silkan depolarisasi dari membran sel β, yang
menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler dan perangsangan eksositosis dari granul yang
mengandung insulin .

Hiperglikemia yang terjadi setelah makan akan meningkatkan konsentrasi malonil koA di dalam
sel β. Malonil ko A menghambat karnitin palmitoil transferase-1, dan meng- ganggu transport
asil koA lemak ke dalam mi- tokondria di mana ia akan dioksidasi melalui siklus Krebs.
Peningkatan asil koA lemak di sitosol bekerja sejalan dengan keadaan hiper- glikemia untuk
memperkuat sekresi insulin. Konsisten dengan observasi in vitro ini, peningkatan konsentrasi
asam lemak plasma jangka pendek (2 sampai 6 jam) diketahui meningkatkan sekresi insulin pada
rodensia dan manusia, dan sebaliknya, penurunan akut- nya akan menghambat sekresi insulin
yang dis- timulasi oleh glukosa.

Komplikasi obesitas tersebut dapat dikatakan sebagai sindrom metabolik, yang


dapatmeningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Sindrom ini ditandai oleh obesitas
abdominal, resistensi insulin, dislipdemia, hipertensi, glukosa puasa tinggi, prokoagulan, dan
keadaan proinflamasi, yaitu peningkatan faktor nekrosis tumor (TNF), protein C-Reaktif (CRP),
dan interleukin (IL). Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadiya diabetes mellitus tipe
2 dikarenakan obesitas menyebabkan resistensi insulin. Resistensi insulin dipicu oleh obesitas
abdominal karena adanya peningkatan asam lemak bebas (FFA) ke hati dan peningkatan sekresi
mediator inflamasi. Menurut World Health Organization Europe, obesitas bertanggungjawab
dalam 65-80% kasus baru diabetes mellitus. Diabetes mellitus yang terjadi pada sebagian besar
kelompok obesitas memiliki dampak pada resistensi insulin. Seseorang dikatakan mengalami
diabetes mellitus tipe 2 berdasarkan tingkat hiperglikemianya yaitu dengan kadar gula darah
puasa ≥70 mol/L, kadar gula darah sewaktu ≥11 mmol/L, atau kadar glycated HbA1c ≥6.5 %.
Dalam salah satu teori dijelaskan bahwa jaringan lemak merupakan jaringan endokrin aktif yang
berhubungan dengan hati dan otot yang merupakan dua jaringan sasaran insulin, melalui
pelepasan zat perantara yang akan mempengaruhi kerja insulin dan penumpukkan jaringan lemak
yang menimbulkan resistensi insulin. Resistensi insulin yang terjadi pada penderita obesitas
kemudian akan mengakibatkan penurunan kerja insulin sehingga menyebabkan glukosa sulit
memasuki ke dalam sel. Keadaan ini akan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa dalam
darah.

Glycated hemoglobin (HbA1c) merupakan indikator dalam mendiagnosis terjadinya diabetes


mellitus tipe 2. Uji HbA1c bertujuan dalam memprediksi timbulnya penyakit diabetes mellitus
karena uji ini mengukur kadar glikemik kronis yang berhubungan dengan risiko komplikasi
diabetes. Menurut American Diabetes Association (ADA) seseorang menderita diabetes jika
kadar HbA1c ≥6.5% dan menderita prediabetes jika kadar HbA1c 5.7-6.4%. Obesitas adalah
salah satu faktor risiko utama untuk diabates dan gangguan regulasi glukosa. Pada subyek
obesitas terjadi peningkatan risiko kelainan glukosa dengan kadar HbA1c yang lebih tinggi
dibandingkan dengan subyek berat badan normal. Sebuah studi terbaru telah menunjukkan
adanya peningkatan risiko terjadinya diabetes yang berhubungan dengan obesitas. HbA1c tidak
memerlukan keadaan puasa dalam pemeriksaanya, menggambarkan keadaan glukosa darah
dalam jangka waktu yang lebih lama (2-3 bulan), tidak dipengaruhi perubahan gaya hidup jangka
pendek, serta merupakan prediktor yang baik terhadap komplikasi yang berhubungan dengan
diabetes mellitus merupakan alasan penggunaan uji kadar HbA1c.

Pendekatan farmakologis menggunakan obat metformin dapat menghasilkan kontrol


glukosa darah yang intensif serta dapat meningkatkan sensitivitas pada insulin perifer dan
hepatik penderita DMT2.2,4,5 American Diabetes Association (ADA) dan American Association
of Clinical Endocrinologists and American College of Endocrinology (AACE) .
Merekomendasikan pengobatan pada DMT2 dapat dimulai dengan pemberian metformin sebagai
obat antidiabetes lini pertama apabila glukosa darah dengan intervensi gaya hidup tidak
terkontrol.

Metformin sebagai obat antidibetes oral pilihan pertama sering menimbulkan reaksi obat
yang merugikan (ROM) yang berupa efek samping gangguan gastrointestinal seperti diare, mual,
muntah, dan perut kembung. Kejadian ini dilaporkan sehubungan dengan penggunaan metformin
tanpa disertai asupan makanan.Dilaporkan bahwa faktor risiko terkait reaksi efek samping pada
penggunaan metformin yang terjadi terutama gangguan gastrointestinal antara lain dipengaruhi
oleh faktor usia, cara minum obat, dan dosis dari obat metformin. Faktor usia dalam hal ini
adalah usia lanjut yang dikaitkan dengan penurunan pada fungsi ginjal karena karakteristik
farmakokinetika dari metformin diantaranya yaitu sebesar 90% diekskresi dalam bentuk tidak
berubah melalui urin. Faktor cara minum obat disertai makanan dan dimulai dengan dosis rendah
dan titrasi lambat tidak melebihi dosis maksimum harian (>2.550 g/hari) dapat meminimalkan
frekuensi efek samping metformin. Kejadian efek samping metformin sering terjadi pada awal
penggunaan yang dapat menyebabkan penghentian penggunaan obat oleh penderita sehingga
pengendalian glukosa darah sebagai tujuan pengobatan mengalami kegagalan. Obat ini tidak
menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan gula darah pada orang sehat. Zat ini juga
menekan nafsu makan (efek anoreksan) hingga berat badan tidak meningkat, maka layak
diberikan pada penderita yang kegemukan. Penderita ini biasanya mengalami resistensi insulin,
sehingga sulfonilurea kurang efektif. Mekanisme kerjanya hingga kini belum diketahui dengan
eksak. Telah dibuktikan bahwwa metformin mengurangi terjadinya komplikasi makrovaskular
melalui perbaikan profil lipida darah, yaitu peningkatan HDL, penurunan LDL dan trigliserida,
juga fibrinolisis diperbaiki dan berat badan tidak begitu meningkat.
Efek samping yang serius adalah asidosis asam laktat dan angiopati luas,

Durasi kerja sampai 24 jam, tidak berikatan dengan protein plasma, tidak terjadi metabolisme
dan diekskresikan oleh ginjal sebagai senyawa aktif Waktu paruh: 3-6 jam

Dosis: 3 dd 500 mg atau 2 dd 850 mg, bila perlu setelah 1-2 minggu perlahan-lahan dinaikkan
sampai maksimal 3 dd 1g.

Mekanisme : Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Tidak
merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas.

Efek samping: Flu, palpitasi, sakit kepala, asidosis laktat, anoreksia, diare, dan gangguan
penyerapan vitamin B12 , terjadi pada hingga 20% pasien Kombinasi Obat: Gliburid, Glipizid,
Glibenklamid, dan Rosiglitazon .

Anda mungkin juga menyukai