Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit sindrom metabolik merupakan suatu kumpulan dari faktor resiko

yang terdiri atas obesitas, hipertensi, hiperglikemia puasa dan dislipidemia yang

dapat menyebabkan peningkatan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler (Fauci

et al., 2015). Seiring dengan pertumbuhan di era global ini, masalah sindrom

metabolik menjadi salah satu momok kesehatan di dunia termasuk di Indonesia.

Dibuktikan dengan temuan dari World Health Organization (WHO) yang

menyatakan bahwa obesitas merupakan 10 besar kondisi berisiko di dunia.

Prevalensi tertinggi yang ada di dunia berada di Native America dimana tercatat

sebanyak 60% dari wanita berumur 45-49 dan sebanyak 45% dari pria berumur

45-49 (Fauci et al., 2015). Menurut laporan riset kesehatan dasar di indonesia,

sebanyak 7% dari seluruh penduduk di indonesia menderita hipertensi dan 0,7%

penduduk indonesia menderita diabetes melitus serta sebanyak 0,9% mengalami

penyakit jantung. Di dalam riskesdas juga tercatat sebanyak 7,3% penduduk di

jawa timur mengalami hipertensi dan 0,8% penduduk mengalami diabetes melitus.

Tren sindroma metabolik ini akan terus meningkat seiring waktu karena pola

konsumsi masyarakat yang tinggi kolesterol dan akan berdampak pada

peningkatan jumlah penderita penyakit kardiovaskuler dan kelangsungan hidup

seseorang.

Faktor resiko dari sindroma metabolik diantaranya obesitas sentral,

hipertrigliserida, rendahnya kadar Low Density Lipoprotein (LDL) kolesterol,

hiperglikemia, dan hipertensi. Hal tersebut didukung dengan adanya perubahan

1
pula makan dan konsumsi masyarakat ke arah tinggi lemak dan gula. Konsumsi

diet yang tinggi lemak bersifat anterogenik dan menyebabkan timbunan lemak

yang berlebihan sehingga terjadi obesitas dan dyslipidemia (Fauci et al., 2015).

Pada penderita dislipidemia, akan terjadi peningkatan peroksidasi lipid yang

berkelanjutan. Peroksidase lipid dan stres oksidatif mengakibatkan

ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang disebabkan oleh

peningkatan radikal bebas di dalam tubuh. Hasil dari peroksidase lipid salah

satunya adalah Malondialdehyde (MDA) (Nazarina et al., 2013). Oleh karena itu

hitungan MDA yang dihasilkan oleh peroksidasi lipid di dalam endotelium

pembuluh darah memiliki peran penting dalam aterosklerosis (Quan Liu et al.,

2018)

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki banyak kekayaan

sumber daya alam termasuk kekayaan mikroalga. Dunaliella sp. Merupakan

mikroalga yang sudah terkenal dengan berbagai manfaat seperti antioksidan, anti-

infalmasi, dan anti kanker (Chandran et al., 2014). Dunaliella sp. Memiliki

kandungan anti oksidan yang melimpah seperti beta karoten, astaxantin,

zeaxantin, lutein, dan asam lemah omega-3 (Abd El-Baky et al., 2007). Beta

karoten dan flavonoid merupakan anti oksidan yang mempu mengontrol dan

mengurangi proses peroksidasi lipid sehingga dapat meminimalisir kerusakan

jaringan lebih lanjut secara in vivo (Bender et al., 2015). Oleh karena itu, peneliti

ingin mengetahui potensi mikroalga Dunaliella sp. Sebagai terapi untuk

aterosklerosis dengan melihat kadar MDA jantung dari tikus wistar sindrom

metabolik

2
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini diajukan untuk menjawab

rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak mikroalga Dunaliella sp. terhadap kadar

malondialdehyde (MDA) jantung tikus (Rattus norvegicus) strain wistar model

sindrom metabolik?

Bagaimana pengaruh dosis ekstrak mikroalga Dunaliella sp. terhadap kadar

malondialdehyde (MDA) jantung tikus (Rattus norvegicus) strain wistar model

sindrom metabolik

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk membuktikan bahwa pemberian ekstrak mikroalga Dunaliella sp.

berpengaruh terhadap kadar malondialdehyde (MDA) jantung tikus (Rattus

norvegicus) strain wistar model sindrom metabolik.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh pemberian ekstrak mikroalga

Dunaliella sp. terhadap kadar malondialdehyde (MDA) jantung tikus

(Rattus norvegicus) strain wistar model sindrom metabolik bila

dibandingkan dengan pemberian statin.

2. Untuk mengetahui korelasi antara dosis ekstrak mikroalga Dunaliella sp.

terhadap kadar malondialdehyde (MDA) jantung tikus (Rattus norvegicus)

strain wistar model sindrom metabolik

3
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademis

Dapat digunakan sebagai dasar teori untuk menambah ilmu pengetahuan

dalam bidang kesehatan mengenai manfaat dari ekstrakmikroalga Dunaliella sp.

terhadap kadar malondialdehyde (MDA) jantung tikus (Rattus norvegicus) strain

wistar model sindrom metabolik.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Dapat digunakan sebagai dasar teori untuk mengembangkan penelitian

tentang potensi pemanfaatan mikroalga Dunaliella sp.

2. Dapat digunakan sebagai dasar teori untuk mengembangkan penelitian

tentang terapi aterosklerosis

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Metabolik

Sindrom metabolik (sindrom X, sindrom resistensi insulin) adalah suatu

kumpulan gejala abnormalitas metabolik yang dapat meningkatkan risiko

kardiovaskular dan diabetes mellitus (Fauci et al., 2015). Tanda-tanda mayor dari

sindrom metabolik adalah obesitas sentral, hipertrigliseridemia, rendahnya kadar

HDL kolesterol, hiperglikemia, dan hipertensi.

Prevalensi dari sindrom metabolik tidak dapat ditentukan begitu saja

karena tergantung dengan kriteria diagnosis yang dipakai untuk merefleksikan usia

dan etnis di populasi tertentu. Sehingga hasil prevalensi beragam di berbagai

negara. Secara umum, prevalensi sindrom metabolik semakin meningkat dengan

bertambahnya usia. Sebagai contoh di amerika, dari populasi orang dengan usia

50 tahun 50 % diantaranya memiliki sindrom metabolik. Pada usia 60 tahun wanita

memiliki resiko lebih tingi untuk memiliki sindrom metabolik dibanding laki laki.

Selain usia faktor resiko dari sindrom metabolik adalah obesitas, sedentary

lifestyle, diabetes melitus, penyakit kardiovaskular, dan lipodystrofi.

Hipotesis yang paling diterima untuk mendeskripsikan patofisiologi sindrom

metabolik adalah resistensi insulin, yaitu adanya defek tertentu pada aksi insulin

yang belum diketahui secara lengkap. Onset resistensi insulin dapat dilihat dengan

kondisi hiperinsulinemia postprandial, yang kemudian diikuti oleh fasting

hyperinsulinemia dan tentunya kondisi hiperglikemia.

5
Kontributor awal yang penting terhadap perkembangan resistensi insulin

adalah meningkatnya jumlah asam lemak yang bersirkulasi. Asam lemak berasal

dari hasil lipolisis lipoprotein yang kaya trigliserida di jaringan oleh enzim

lipoprotein lipase. Insulin berperan sebagai anti-lipolisis dan dalam proses

stimulasi lipoprotein lipase di jaringan adiposa. Sebagai catatan, penghambatan

lipolisis di jaringan adiposa merupakan peranan penting yang diperankan oleh

insulin. Oleh karena itu, dalam keadaan resistensi insulin, akan terjadi

peningkatan lipolisis dan menyebabkan peningkatan asam lemak, yang kemudian

akan lebih jauh menurunkan efek anti-lipolisis dari insulin. Asam lemak

mengganggu uptake glukosa yang diperantarai oleh insulin dan menyebabkan

akumulasi trigliserida pada otot rangka dan jantung, sedangkan peningkatan

produksi glukosa dan akumulasi trigliserida terjadi di liver.

Resistensi leptin juga dikatakan sebagai patofisiologi yang memungkinkan

dalam menjelaskan mekanisme sindrom metabolik. Secara fisiologis, leptin

menurunkan nafsu makan, pengeluaran energi, dan merangsang sensitivitas

insulin. Selain itu, leptin juga mengatur fungsi jantung dan vaskular melalui

mekanisme yang tergantung nitric oxide. Meskipun demikian, ketika obesitas

berkembang, terjadi hiperleptinemia, dengan bukti resistensi leptin di otak dan

jaringan lain yang menyebabkan terjadinya inflamasi, resistensi insulin,

hiperlipidemia, dan gangguan kardiovaskular, seperti hipertensi, aterosklerosis,

penyakit jantung kongestif, dan gagal jantung. Hipotesis stres oksidatif

memberikan teori tentang usia dan predisposisi sindrom metabolik. Penelitian

pada individu yang mengalami resistensi insulin dengan obesitas atau diabetes

mellitus tipe 2, ketururunan dari pasien diabetes mellitus tipe 2, dan usia lanjut,

memberikan hasil identifikasi adanya defek pada fosforilasi oksidatif mitrokondria

6
yang menyebabkan akumulasi trigliserida dan molekul lipid yang berhubungan di

otot.

Selain itu, sindrom metabolik juga dapat terjadi dengan adanya

dislipidemia. Dislipidemia ini akan menyebabkan hypertriglyceridemia dengan

meningkatkan jumlah VLDL. Hypertriglyceridemia merupakan marker yang sangat

bagus untuk mendeteksi resistensi insulin dan juga memiliki asosiasi dengan

penyakit kardiovaskular yang berhubungan dengan aterosklerosis. Hal ini juga

akan menginduksi clearence dari HDL di sirkulasi sehingga menyebabkan

ketidakseimbangan antara jumlah HDL dan LDL dimana LDL akan memiliki jumlah

yang banyak di sirkulasi. Dengan adanya perubahan lipoprotein tersebut juga

berkontribusi dengan resiko ateroslerosis pada penderita sindrom metabolik

Free fatty acids (FFAs) atau asam lemak bebas dilepaskan secara

berlimpah dari massa jaringan adiposa yang luas, seperti pada kondisi obesitas.

Di liver, FFAs menyebabkan peningkatan produksi glukosa dan trigliserida serta

sekresi very low density lipoproteins (VLDLs). Abnormalitas lipid/lipoprotein yang

berhubungan dengan hal tersebut adalah termasuk penurunan high-density

lipoprotein (HDL) cholesterol dan peningkatan jumlah partikel low-density

lipoprotein (LDL). FFAs juga menurunkan sensitivitas insulin di otot dengan

menghambat uptake glukosa yang diperantarai insulin. Defek yang terjadi

sehubungan dengan hal tersebut adalah penurunan partisi glukosa menjadi

glikogen dan peningkatan akumulasi lipid dalam trigliserida. Meningkatkan glukosa

di sirkulasi, dan juga FFAs, meningkatkan sekresi insulin pankreas yang

menyebabkan hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia mendorong reabsorbsi natrium

dan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis dan berkontribusi terhadap

terjadinya hipertensi dan juga kadar FFAs yang bersirkulasi. Status proinflamasi

7
terjadi bersamaan dan juga berkontribusi terhadap resistensi insulin yang

dihasilkan dari berlebihnya FFAs. Peningkatan sekresi interleukin 6 (IL-6) dan

tumor necrosis factor α (TNF-α) yang diproduksi oleh adiposit dan makrofag

menyebabkan peningkatan resistensi insulin. Lipolisis simpanan trigliserida

jaringan adiposa menjadi FFAs, IL-6, dan sitokin yang lain juga meningkatkan

produksi glukosa hepar, produksi VLDL oleh hepar, hipertensi, dan resistensi

insulin di otot. Sitokin-sitokin dan FFA juga meningkatkan produksi fibrinogen

hepar dan produksi plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) oleh adiposit yang

menyebabkan keadaan prothrombotic. Tingginya kadar sitokin yang bersirkulasi

menstimulasi hepar untuk memproduksi C-reactive protein (CRP). Penurunan

produksi anti-inflamasi dan adiponektin (insulin-sensitizing cytokine) juga

berpengaruh terhadap sindrom metabolik.

2.2 Aterosklerosis

Aterosklerosis adalah suatu keadaan dimana ada suatu penyumbatan

yangterjadi di dalam pembuluh darah arteri. Aterosklerosis merupakan salah satu

kausa tertinggi kematian dan disabilitas prematur di dunia. Selain itu, sebuah studi

memperkirakan bahwa pada tahun 2020 aterosklerosis akan menjadi (leading

global cause of total disease burden). Aterosklerosis dapat berkembang di

pembuluhdarah di mana saja dalam tubuh. Sebagai contoh jika terdapat di arteri

koroner dapat menyebabkan myocardial infarction dan angina pectoris. Jika

aterosklerosis terdapat di sistem saraf pusat dapat menyebabkan stroke dan

cerebral ischemia.

Aterosklerosis berawal dengan adanya “fatty streak”. Fatty streak ini

diyakini sangat berkolerasi dengan lipoprotein terutama LDL yang memiliki

8
apolipoprotein B. Lipoprotein ini akan menumpuk di daerah intima dari arteri dan

menempel pada matriks ekstraseluler. Di dalam intima arteri, lipoprotein ini akan

mengalami oksidasi yang akan menghasilkan hidroperoksida, lisofosfolipid,

oksisterol, dan aldehid yang merupakan oksidan dalam tubuh. Jika proses

aterosklerosis ini berlanjut, maka akan terjadi akumulasi leukosit di tempat

aterosklerosis tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan adanya proses inflamasi yang

berhubungan dengan proses aterosklerosis ini. Respon inflamasi ini dapat berupa

akumulasi dari makrofag, limfosit T dan B, sel dendrit dan sel mast. Di dalam arteri

terdapat sebuah proses fisiologis bernama laminar shear stress yang merupakan

proses yang meliputi KLF2. Proses ini akan menstimulasi peningkatan dari

dismutasi superoksida, dan enzim-enzim antioksidan. Hasil dari laminar shear

stress ini akan membantu dalam mengurangi dan mengganggu proses

aterosklerosis. Oleh karena itu, predileksi dari aterosklerosis tergantung pada

tinggi rendahnya laminar shear stress di daerah arteri tersebut. Proses

aterosklerosis akan menghasilkan kemoatraktan dan akan menginisiasi migrasi

leukosit ke tempat aterosklerosis. Leukosit yang tertangkap di arteri tersebut akan

diikat dengan reseptor adesi di intima arteri. Sel leukosit itulah yang akan

memperparah proses dari aterosklerosis (Fauci et al., 2015).

Sel – sel leukosit yang semakin banyak akan berubah menjadi lipid laden

foam cell yang yang merupakan lipoprotein yang terlah teroksidasi dan di fagosit

oleh makrofag yang ada dalam lesi aterosklerosis. Monosit berperat penting dalam

pembuatan foam cell dan hal ini lah sebagai prekursor terbentuknya plak dalam

lesi aterosklerosis. Di dalam plak terdapat sitokin-sitokin seperti IL dan TNF yang

akan mengaktifasi faktor pertumbuhan seperti PDGF dan TGF B. PDGF akan

menstimulasi migrasi otot polos dari tunika media ke tunika intima sedangkan TGF

9
B akan menstimulasi produkti kolagen oleh otot polos. Oleh harena itu, 2 proses

tersebut akan mempercepat transformasi dari fatty streaks menjadi extracellular

matrix-rich lesion yang sangat sensitif dengan terjadinya ruptur dan trombus.

2.3 Peroksidasi Lipid pada Aterosklerosis

Pada keadaan sindrom metabolik terjadi akumulasi lipidyang ada di dalam

tubuh. Lipid ini kemudian akan dapat mengalami peroksidasi. Peroksidasi atau

auto-oksidasi dari lipid yang terpapar oksigen bertanggungjawab tidak hanya

terhadap pembusukan makanan, tetapi juga terhadap kerusakan jaringan secara

in vivo yang dapat menyebabkan kanker, penyakit inflamasi, aterosklerosis, dan

penuaan degeneratf. Efek buruk ini diperankan oleh adanya radikal bebas, yaitu

suatu molekul yang memiliki electron valensi bebas yang tidak berpasangan

sehingga molekul ini sangat reaktif. Radikal bebas yang mengandung oksigen

disebut reactive oxygen species (ROS). ROS ini diproduksi dari pembentukan

peroksida dari asam lemak yang mengandung ikatan rangkap methylene yang

terinterupsi, dan dapat ditemukan pada polyunsaturated fatty acids. Peroksidasi

lipid adalah rangkaian reaksi yang menyediakan suplai ROS secara berkelanjutan

dan dapat menginisiasi proses peroksidasi lebih lanjut yang berpotensi memiliki

efek yang merusak. Seluruh tahapan proses peroksidasi lipid adalah sebagai

berikut.

10
Gambar 2.1 Tahapan Proses Peroksidasi Lipid

2.3.1 Malondialdehyde (MDA) sebagai Hasil Akhir Peroksidasi Lipid

Reaksi peroksidasi lipid diinisiasi oleh dengan adanya radikal bebas (X-)

oleh cahaya, atau oleh ion metal. Malondialdehyde hanya dibentuk oleh asam

Gambar 2.2 Malondialdehyde (MDA) sebagai Hasil Akhir Peroksidasi Lipid

11
lemak dengan tiga atau lebih ikatan rangkap. MDA digunakan sebagai ukuran dari

perkosidasi lipid bersama dengan etana dari karbon dua terminal asam lemak

omega 3 dan metana dari karbon lima terminal dari asam lemak omega 6 (Gambar

2.2) (Bender et al., 2015).

2.3.2 Prinsip Pengukuran Kadar Malondialdehyde (MDA)

Prinsip pengukuran: MDA yang merupakan produk sekunder dari

peroksidasi lipid akan bereaksi dengan asam thiobarbiturat (TBA) pada suasana

asam (pH 2-3) dan suhu 97-100oC memberikan warna pink (Rukmini et al., 2004).

2.3.3 Antioksidan sebagai Penghambat Peroksidasi Lipid

Antioksidan berfungsi sebagai pengontron dari proses peroksidasi lipid.

Propyl gallate, butylated hydroxyanisole (BHA), dan butylated hydroxytoluene

(BHT) adalah antioksidan yang sering digunakan sebagai aditif makanan.

Antioksidan yang terbentuk secara alami adalah vitamin E (tocopherol) yang larut

dalam lemak serta urat dan vitamin C yang larut dalam air. Beta karoten juga

merupakan antioksidan. Antioksidan dibagi menjadi 2 kelas, yaitu: (1) antioksidan

perventif yang berfungsi untuk menurunkan kecepatan inisiasi reaksi dan (2)

chain-breaking antioxidants yang dapat mengganggu reaksi pada proses

propagasi. Contoh antioksidan preventif adalah enzim katalase dan peroksidase

lain, seperti glutation peroksidase yang bereaksi dengan ROOH; selenium yang

merupakan komponen esensial dari glutation peroksidase dan mengatur

aktivitasnya, serta chelators of metal ion yaitu EDTA (ethylenediaminetetraacetate)

dan DTPA (diethylenetriaminepentaacetate). Secara in vivo, yang utama dari

chain-breaking antioxidants adalah superoksida dismutase yang bekerja untuk

12
menjebak radikal bebas superoksida pada fase aqueous untuk menjebak radikal

bebas superoksida, urat dan vitamin E yang berfungsi untuk menjebak radikal

bebas ROO• pada fase lipid . Peroksidasi lipid juga dikatalisa secara in vivo oleh

senyawa heme dan oleh enzim lipoksigenase yang terdapat pada trombosit dan

leukosit. Produk lain dari auto-oksidasi atau oksidasi enzymatic dari signifikansi

fisiologis adalah oxysterols (terbentuk dari kolesterol) dan isoprostanes (terbentuk

dari peroksidasi polyunsaturated fatty acids seperti asam arakidonat) (Bender et

al., 2015).

2.4 Dunaliella sp.

Dunaliella sp. (Gambar1.) merupakan sebuah fitoplankton yang memiliki

sepasang flagel yang sama panjang dan kloroplasnya berbentuk cangkir. Bentuk

selnya tidak stabil dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, dapat berbentuk

lonjong, bulat, silindris, dan oval. Pada umumnya, sel mikroalga ini berbentuk bulat

telur dengan lebar 4 - 5 μm dan panjang 6 - 25 μm, tetapi juga tergantung

pertumbuhannya. Media kultur Dunaliella sp. yang digunakan sebagai pupuk

teknis skala laboratorium adalah pupuk Walne.

2.4.1 Taksonomi Dunaliella sp.

Berikut adalah klasifikasi dari Dunaliella sp. (Teodoresco, 1905) :

Phylum : Chlorophyta

Subphylum : Chlorophytina

Class : Chlorophyceae

Ordo : Chlamydomonadales

Family : Dunaliellaceae
Gambar 2.3 Dunaliella sp.
Genus : Dunaliella

Spesies : Dunaliella sp.

13
2.4.2 Kandungan Dunaliella sp.

Dunaliella sp. mengandung jumlah karotenoid yang tinggi (12,6% berat

kering), antara lain seperti beta karoten (60,4% dari karotenoid total), astaxantin

(17,7%), zeaxantin (13,4%), lutein (4,6%), dan kriptoxantin (3,9%) (Abd El-Baky et

al., 2007). Kandungan astaxantin pada Dunaliella sp. terbukti dapat menetralkan

radikal bebas yang kemudian dapat mencegah dan menghentikan reaksi oksidasi.

Aktivitas dari astaxantin dipercaya sebagai mekanisme yang utama dari

antiinflamasi, antikanker, fungsi hati dan jantung (Guerin et al., 2003). Kandungan

karotenoid dalam mikroalga berperan sebagai antioksidan dan berfungsi dalam

penurunan reactive oxygen species (ROS). Selain sebagai antioksidan, karotenoid

mikroalga juga digunakan sebagai sumber pewarna. Mikroalga juga memiliki

kandungan EPA (eicosapentaenoic acid) dan DHA (docosaheaenoic acid) (Li et

al., 2009). EPA dan DHA merupakan asam lemak omega 3 tidak jenuh rantai

ganda panjang yang efektif untuk menurunkan kadar triasilgliserol dalam darah

(Micallef dan Garg, 2008). Menurut Boberg (1992), suplementasi asam lemak

omega 3 sebanyak 3 gram per hari dapat meningkatkan kadar HDL sebanyak 8%

dan menurunkan kadar trigliserida sebanyak 27%. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Astryanti et al. (2017), Dunaliella sp. mengandung DHA sebanyak

3,27% dan EPA sebanyak 10,93%.

Zat aktif polifenol dan flavonoid tersebut memiliki berbagai manfaat positif,

seperti antioksidan, antimutagenik, antiinflamasi, dan antikarsinogenik (Shahidul,

2007). Berdasarkan penelitian oleh Valcheva et al., kandungan total flavonoid

dalam Dunaliella salina adalah 3,61 mg/g. Flavonoid dapat berfungsi untuk

14
meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase sehingga berpengaruh terhadap

kadar trigliserida serum (Ling et al., 2001).

2.5 Metabolisme Lipid

Hepar memegang peran penting dalam metabolisme dan transport lipid.

Fungsi hepar pada metabolisme lipid, antara lain: (1) memfasilitasi pencernaan

dan absorbsi lemak dengan memproduksi cairan empedu yang mengandung

kolesterol dan garam empedu yang disintesis di dalam hepar secara de novo atau

setelah uptake lipoprotein kolesterol; (2) secara aktif, mensintesis dan

mengoksidasi asam lemak, mensintesis trigliserida dan fosfolipid; (3) mengubah

asam lemak menjadi benda keton (ketogenesis; (4) berperan dalam sintesis dan

metabolism lipoprotein plasma.

2.5.1 Jalur Eksogen

Jalur eksogen dimulai dengan usus penyerapan kolesterol dan asam lemak

makanan. Pada dalam sel usus, asam lemak bebas menggabungkan dengan

gliserol membentuk trigliserida, dan kolesterol diesterifikasi oleh asil-koenzim A:

kolesterol acyltransferase (ACAT) untuk membentuk ester kolesterol. Peran

penting dari ACAT pada hewan model defisiensi ACAT, yang ditemukan resistensi

lengkap untuk diet yang diinduksi hiperkolesterolemia karena kurangnya sintesis

kolesterol ester dan mengurangi kapasitas untuk menyerap kolesterol (Buhman et

al., 2000). Trigliserida dan kolesterol dibentuk intraseluler sebagai kilomikron.

Apolipoprotein (Apo) utama adalah B-48, tetapi C-II dan E yang diperoleh sebagai

kilomikron. Apo B-48 memungkinkan lipid mengikat chylomicron tetapi tidak

15
mengikat ke reseptor lipoprotein densitas rendah, sehingga mencegah

pembukaan lebih awal dari kilomikron peredaran sebelum ditindak lanjuti oleh

lipoprotein lipase (LPL).Apo C-II adalah kofaktor untuk LPL yang membuat

kilomikron semakin kecil, terutama oleh menghidrolisis trigliserida inti dan

melepaskan asam lemak bebas. Asam lemak bebas kemudian digunakan sebagai

sumber energi, dikonversi ke trigliserid, atau disimpan dalam jaringan adiposa.

Akhir dari metabolisme chylomicron adalah sisa-sisa chylomicron yang

dibersihkan dari sirkulasi oleh reseptor chylomicron sisa hati yang dimana apo E

adalah ligan afinitas tinggi. Sisa-sisa chylomicron mengandung inti yang lebih kecil

dari lipid yang diselimuti oleh komponen permukaan berlebih. konstituen

permukaan tersebut ditransfer dari sisa chylomicron untuk pembentukan densitas

lipoprotein tinggi (Mehta dan Bhatt, 2017).

2.5.2 Jalur Endogen

Jalur endogen atau lebih tepatnya adalah menggambarkan fungsi hati

untuk memetabolisme dan sekresi VLDL ke IDL dan LDL. Jalur endogen

metabolisme lipid dimulai dengan sintesis lipoprotein yang sangat rendah (VLDL)

oleh hati. Partikel VLDL mengandung inti trigliserida (60%) dan ester kolesterol

(20%). Mikrosomal Transfer trigliserida protein (MTP) adalah protein lipid transfer

intraseluler ditemukan di retikulum endoplasma. Protein ini berfungsi untuk transfer

molekul lipid (terutama trigliserida) ke apolipoprotein (apo) B 100 di hati (Raabe et

al., 1999). Protein apo di permukaan lipo untuk VLDL apo C-II memiliki fungsi

sebagai kofaktor untuk lipoprotein lipase, apo C-III berfungsi untuk menghambat

enzim ini serta apo B-100 dan E yang berfungsi sebagai ligan untuk apo lipo

16
protein B / E low density lipoprotein (LDL) reseptor (Rader et al., 1994). Dengan

tidak adanya MTP fungsional, VLDL tidak disekresikan ke dalam sirkulasi.

Trigliserida inti dari partikel VLDL yang baru dihidrolisis oleh lipase lipoprotein.

Selama lipolisis, inti dari partikel VLDL berkurang, menghasilkan VLDL partikel

sisa disebut juga lipoprotein densitas menengah (IDL) yang membawa ester

kolesterol dan trigliserida. Hal ini terkait dengan apolipoprotein (Apolipo B-100, C-

III dan E. Beberapa komponen permukaan dalam partikel sisa, termasuk fosfolipid,

kolesterol teresterifikasi, dan apo lipo protein A, C dan E, yang ditransfer ke

lipoprotein densitas tinggi (HDL) (Mehta dan Bhatt, 2017).

VLDL dari sirkulasi oleh apo B / E (LDL) atau reseptor sisa diperbaiki oleh

lipase hepatik untuk membentuk partikel LDL. Ada empat urutan umum

polimorfisme dalam promotor gen lipase hepatik, yang paling sering adalah C

untuk T substitusi (Tahvanainen et al., 1998). Kehadiran C alel dikaitkan dengan

aktivitas lipase hepatik lebih tinggi, lebih kecil, padat, serta partikel LDL yang lebih

aterogenik dan berbanding terbalik dengan tingkat yang lebih rendah dari HDL

kolesterol (Zambon et al., 2001).

17
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Diet tinggi lemak&gula

Dislipidemia Hiperglikemia Resisten insulin

Peningkatan LDL Hiperkolesterol

Ekstrak
Dunaliella sp. Stres oksidatif

MDA

Aterosklerosis

Penyempitan pembuluh darah

Pembentukan sel busa

Gangguan fungsi pembuluh


darah

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

18
3.1.1 Penjelasan Kerangka Konsep Penelitian

Diet tinggi lemak dan gula akan menyebabkan resistensi insulin di jaringan

perifer, hiperglikemia dan dislipidemia. Ketiga proses tersebut memicu terjadinya

stress oksidatif atau peroksidasi lipid. Salah satu hasil dari peroksidasi lipid ini

adalah MDA. Peroksidasi lipid ini akan meningkatkan resiko penyumbatan arteri

dan dapat menyebabkan aterosklerosis. Banyaknya peroksidasi lipid di arteri akan

menginisiasi migrasi dari leukosit seperti makrofag, sel mast, limfosit T dadn B.

Lipoprotein yang terjebak di intima arteri akan di endositosis oleh makrofag dan

akan membentuk sel busa. Sel busa yang ada akan mengaktifkan faktor

pertumbuhan dalam arteri dan akan membentuk plak yang mengganggu fungsi

dari pembuluh darah arteri. Ekstrak Dunaliella sp. dalam kaitan aterosklerosis yaitu

untuk memperbaiki dislipidemia dan menurunkan MDA pada organ jantung.

3.2 Hipotesis Penelitian

Ekstrak mikroalga Dunaliella sp. berpengaruh terhadap kadar

malondialdehyde (MDA) jantung tikus (Rattus norvegicus) strain wistar model

sindrom metabolik.

19
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimen murni (true experimental design)

secara in vivo dengan randomized post-test only controlled group design

menggunakan 30 Tikus (Rattus norvegicus) putih hewan coba berupa


strain Wistar
tikus.

Adaptasi hewan coba selama 10


hari

Kontrol (-) Diet tinggi lemak&gula pada minggu ke-2 hingga ke-10

Kontrol (+) Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 3

Ekstrak Ekstrak Ekstrak Simvastatin


Dunaliella sp. Dunaliella sp. Dunaliella sp. 4 mg
500 mg 1000 mg 1500 mg

Pembedahan Hewan Coba

MDA
jantung
Bagan 4.1 Desain Penelitian

20
Keterangan:

1. Kelompok 1: kelompok kontrol negatif (tikus yang tidak diberi diet tinggi

lemak&gula)

2. Kelompok 2: kelompok kontrol positif (tikus yang diberi diet tinggi lemak&gula

mulai minggu ke-2 hingga minggu ke-10)

3. Kelompok 3: tikus yang telah diberi diet tinggi lemak&gula selama 8 minggu dan

dengan diberikan terapi Dunaliella sp. 500 mg/kg BB selama 4 minggu

4. Kelompok 4: tikus yang telah diberi diet tinggi lemak&gula selama 8 minggu dan

dengan diberikan terapi Dunaliella sp. 1000 mg/kg BB selama 4 minggu

5. Kelompok 5: tikus yang telah diberi diet tinggi lemak&gula selama 8 minggu dan

dengan diberikan terapi Dunaliella sp. 1500 mg/kg BB selama 4 minggu

6. Kelompok 6 : tikus yang telah diberi diet tinggi lemak&gula selama 8 minggu

dan dengan diberikan terapi Simvastatin 4 mg/kg BB selama 4 minggu

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini menggunakan Rattus norvegicus strain Wistar jantan

dengan usia 2-3 bulan dan berat 150-200 gram.

4.2.2 Sampel Penelitian

4.2.2.1 Kriteria Inklusi

Tikus (Rattus norvegicus) strain wistar jantan, berbulu putih dan halus,

sehat ditandai dengan bergerak aktif dan tingkah laku normal, umur 2-3 bulan

(dewasa) dan berat badan ±150-200 gram.

21
4.2.2.2 Kriteria Eksklusi

Penampakan bulu tikus (Rattus norvegicus) strain wistar yang kusam,

rontok, botak, aktivitas kurang/tidak aktif, terdapat penurunan berat badan >10%

setelah masa adaptasi selama 10 hari dan tikus wistar cacat, sakit dan/atau mati.

4.2.2.3 Perolehan Sampel

Teknik randomisasi digunakan untuk pemilihan sampel dari populasi,

karena teknik ini dapat meminimalisasi bias. Jumlah minimal sampel yang

diperlukan dihitung menggunakan rumus dari Federrer, yaitu (t-1)(r-1)≥15, dengan

t merupakan jumlah kelompok perlakuan dan r adalah jumlah replikasi (sampel).

Pada penelitian ini jumlah kelompok perlakuan adalah 6, sehingga didapatkan nilai

r sebagai berikut:

(𝑡 − 1)(𝑟 − 1) ≥ 15 ; (6 − 1)(𝑟 − 1) ≥ 15 ; (5)(𝑟 − 1) ≥ 15 ; 𝑟 − 1 ≥ 3

𝑟≥4

jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 4 tikus per kelompok perlakuan.

Akan tetapi diperkirakan akan terjadi drop out pada hewan coba sehingga diberi

jumlah lebih satu ekor pada tiap perlakuan. Pada penelitian ini, jumlah total sampel

yang dibutuhkan adalah sebanyak 30 tikus.

4.3 Variabel Penelitian

4.3.1 Variabel Bebas

1. Kelompok 1: kelompok kontrol negatif (tikus yang tidak diberi diet tinggi

lemak&gula)

22
2. Kelompok 2: kelompok kontrol positif (tikus yang diberi diet tinggi

lemak&gula mulai minggu ke-2 hingga minggu ke-10)

3. Kelompok 3: tikus yang telah diberi diet tinggi lemak&gula selama 8 minggu

dan diberikan terapi Dunaliella sp. 500 mg/kg BB selama 4 minggu

4. Kelompok 4: tikus yang telah diberi diet tinggi lemak&gula selama 8 minggu

dan diberikan terapi Dunaliella sp. 1000 mg/kg BB selama 4 minggu

5. Kelompok 5: tikus yang telah diberi diet tinggi lemak&gula selama 8 minggu

dan diberikan terapi Dunaliella sp. 1500 mg/kg BB selama 4 minggu

6. Kelompok 6: tikus yang telah diberi diet tinggi lemak&gula selama 8 minggu

dan diberikan terapi Simvastatin 4 mg/kg BB selama 4 minggu

4.3.2 Variabel Tergantung

Variabel tergantung dari penelitian ini adalah kadar malondialdehyde

(MDA) pada organ jantung tikus wistar model sindrom metabolik.

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran

dan di Laboratorium Kultur di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Brawijaya Malang pada bulan Maret hingga Agustus tahun 2018.

4.5 Definisi Operasional

1. Rattus norvegicus strain Wistar yang digunakan berbulu putih, memiliki

jenis kelamin jantan dengan usia 2-3 bulan dan berat badan 150-200

gram.

2. Mikroalga Dunaliella sp. diperoleh dari hasil kultur yang dilakukan di

Laboratorium Kultur Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas

23
Brawijaya Malang. Hasil kultur tersebut kemudian dipanen dan

dilakukan ekstraksi. Semua proses dilakukan di Fakultas Perikanan

dan Kelautan Universitas Brawijaya Malang.

3. Tikus (Rattus norvegicus) wistar model sindrom metabolik adalah tikus

yang setelah berhasil melewati masa adaptasi selama 10 hari lalu

diinduksi diet tinggi lemak&gula selama 8 minggu.

4. Kadar malondialdehyde (MDA) yang diukur adalah kadar MDA dari

organ jantung tikus yang diukur dengan menggunakan metode

spektrofotometri pada panjang gelombang 532 nm dan dilakukan di

Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Malang.

4.6 Alat dan Bahan

4.6.1 Alat dan Bahan Sanitasi dan Higienisasi

Alat dan bahan yang digunakan adalah tempat cuci tangan, jas

laboratorium, masker, handscoen, alkohol 70%, kapas, dan sabun antiseptik.

4.6.2 Alat dan Bahan Pemeliharaan dan Perawatan Hewan Coba

Pada pemeliharaan tikus diperlukan bak plastik berukuran 45 cm x 35,5 cm

x 14,5 cm 25 buah, tutup kandang terbuat dari kawat 25 buah, botol air 25 buah,

sekam 6 karung, timbangan berat badan dengan neraca Sartorius, dan makanan

dengan pelet.

4.6.3 Alat dan Bahan Pemberian Diet Tinggi Lemak Hewan Coba

24
Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pemberian diet tinggi lemak hewan

coba setiap 1 kali sonde pertikus adalah minyak babi 2 ml, asam kolat 0.02 gram,

dan kuning telur puyuh rebus 1 gram, sonde, dan spuit.

4.6.4 Alat dan Bahan Pemberian Diet Tinggi Gula Hewan Coba

Alat dan bahan yang diperlukan untuk induksi hiperglikemi adalah fruktosa,

aquades murni, gelas ukur, pipet.

4.6.5 Alat dan Bahan Kultur Dunaliella sp.

Alat dan bahan yang diperlukan untuk kultur Dunaliella sp. adalah toples

kaca, lampu TL, blower, refraktometer, selang aerator, pupuk walne, vitamin B12,

media air laut 20 ppt.

4.6.6 Alat dan Bahan Pemberian Ekstrak Dunaliella sp.

Pemberian ekstrak Dunaliella sp. dilakukan dengan cara per oral sehingga

diperlukan sonde yang dihubungkan dengan spuit 3 cc, kapas alkohol, dan ekstrak

Dunaliella sp.

4.6.7 Alat dan Bahan Pembedahan dan Pengambilan Organ Jantung Tikus

Alat dan bahan yang digunakan untuk prosedur pengambilan jantung tikus

adalah gunting bedah 2, pinset 2, jarum pentul 2 set, steroform 2, kapas, kloroform

20 ml, alkohol, wadah plastik dan tutup 25 buah, spuit insulin 1 ml.

4.6.8 Alat dan Bahan Pembuatan Preparat untuk Pengukuran Kadar MDA

25
Alat yang digunakan adalah freezer dengan suhu -20OC, wadah untuk organ,

mortar, timbangan, gunting, dan pinset. Bahan yang digunakan adalah jantung

tikus yang telah diambil.

4.6.9 Alat dan Bahan Pengukuran Kadar MDA Jantung Tikus

Alat yang digunakan adalah tabung reaksi, pipet, sentrifus, kompor,

spektrofotometer. Bahan yang digunakan adalah buffer fosfat, TCA, HCl, Na

Thiobarbiturat.

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Prosedur Pemeliharaan Tikus

Setiap tikus ditimbang lalu dimasukkan ke dalam kandang yang telah diberi

label. Tikus kemudian dipelihara selama 8 minggu 10 hari (10 hari adaptasi dan 8

minggu perlakuan) dalam kandang plastik berukuran 45 cm x 35,5 cm x 14,5 cm

dengan alas sekam yang diganti setiap tiga hari dan diberi penutup anyaman

kawat. Satu kandang berisi 1 tikus. Tikus diberi siklus terang-gelap masing-masing

12 jam, diberi makan dan minum yang cukup serta situasi yang minimal dari stresor

lain.

4.7.2 Prosedur Kultur dan Ekstraksi Dunaliella sp.

Kultur Dunaliella sp. dilakukan di Laboraturium Kultur Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan. Ekstrak Dunaliella sp. dipanen dengan sentrifugasi pada 3500

rpm selama 15 menit. Setelah itu, emudian dikeringkan pada suhu 45-50OC

selama 24 jam. Ekstrak Dunaliella sp. yang kering tersebut kemudian dicampur

dengan methanol dan disonikasi untuk memecah dinding sel. Laurtan tersebut

kemudian ditempatkan pada platform pengocok selama 24 jam untuk proses

26
ekstraksi dingin lalu filtrate diuapkan dengan rotatory evaporator pada suhu 30-

35OC. (Fedekar et al., 2013).

4.7.3 Prosedur Induksi Diet Tinggi Lemak pada Hewan Coba

Induksi hiperkolesterolemia pada hewan coba dilakukan di lab.

Farmakologi FKUB. Pemberian diet tinggi lemak menggunakan pipa orogastrik

yang dihubungkan dengan spuit. Setiap tikus memperoleh komposisi 2 ml minyak

babi dicampur dengan asam kolat 0.02 gram dan kuning telur rebus 1 gram.

Komposisi ini diinduksikan pada tikus kelompok 2, 3, 4, 5, dan 4. Diet aterogenik

diberikan selama 8 minggu pada semua kelompok perlakuan (Gani et al., 2013).

4.7.4 Prosedur Induksi Diet Tinggi Gula pada Hewan Coba

Diet hiperglikemik dibuat dengan menggunakan konsentrasi fruktosa 20%.

Fruktosa sebanyak 545 mL dilarutkan dengan aquades murni 955 mL. Total

minum fruktosa 1,5 L untuk 1 hari minum. Minuman diganti setiap 2 hari sekali

selama perlakuan 8 minggu.

4.7.5 Prosedur Pemberian Ekstrak Dunaliella sp.

Pemberian ekstrak Dunaliella sp. dilakukan dengan metode sonde

menggunakan pipa orogastrik yang dihubungkan dengan spuit. Perlakuan dosis

yang diberikan hasil modifikasi penelitian Fedekar et al. (2013) yaitu, 500 mg/kg

BB, 1000 mg/kg BB dan 1500 mg/kg BB. Diberikan pada kelompok hewan coba 3,

4, 5 mulai minggu ke-2 hingga minggu ke-10 sebanyak 1 kali sehari dan tetap di

induksi aterogenik selama 8 minggu perlakuan dosis.

4.7.6 Prosedur Pembedahan dan Pengambilan Organ Jantung Tikus

27
Pembedahan tikus dan pengambilan organ dilakukan oleh pihak yang

berkompeten di lab. Farmakologi FKUB. Sebelum prosedur pembedahan, tikus

dianetesi terlebih dahulu secara per inhalasi dengan menggunakan kloroform

dalam suatu wadah tertutup llalu difiksasi untuk siap dibedah. Tikus diletakkan

pada penjepit (block holder) lalu dilakukan perfusi terlebih dahulu sebelum diambil

organ jantungnya (Sirois, 2005).

4.7.7 Prosedur Pembuatan Preparat untuk Pengukuran Kadar MDA Jantung

Tikus

Organ jantung yang telah dibedah tersebut disimpan dalam freezer dengan

suhu -20OC. Organ jantung ditimbang seberat 100 mg kemudian ditumbuk

menggunakan mortar hingga halus.

4.7.8 Prosedur Pengukuran Kadar MDA Jantung Tikus

Sampel yang telah dihaluskan seberat 100 mg dihomogenasi dengan

buffer fosfat dan EDTA sebanyak 2 cc (Shivarajashankara et al., 2001). Kemudian

sampel diambil sebanyak 200 uL dan ditambahkan dengan aquabidest 500 cc, HCl

200 uL, 250 uL TCA 40%, dan 250 uL NaThio 1.34%. Campuran larutan ini

kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama 25 menit (Abubakar et al., 2004).

Setelah itu disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit lalu diambil

supernatannya dan ditambahkan aquabidest hingga 3 cc. Sampel siap diukur

dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm. Penentuan kadar

dilakukan dengan menggunakan kurva baku. Contoh perhitungan:

𝑌 = 𝑎 + 𝑏𝑥

Keterangan:

28
Y: absorbansi sampel

a: intersep

b: kemiringan

x: konsentrasisampel

𝑚𝑔 (𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑝)


𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑀𝐷𝐴 ( )= 𝑥 𝐹𝑃
𝐿 𝑘𝑒𝑚𝑖𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛

4.7.9 Prosedur Pengolahan Data

Data yang didapat berupa konsentrasi kadar MDA (mg/g) pada organ

jantung tikus dari semua perlakuan dan akan diasumsikan normalitas distribusi

data dan homogenitas ragam datanya. Apabila data normal dan homogen maka

akan dianalisis menggunakan uji hipotesis one-way ANOVA. Bila tidak normal atau

tidak homogen, maka menggunakan ui hipotesis Kruskall-Wallis. Perbedaan yang

signifikan (p<0,05) akan dilanjutkan dengan Post-hoc (LSD) dan penghitungan

nilai korelasi Pearson.

29

Anda mungkin juga menyukai