PERCOBAAN 1
REKAM MEDIS
Disusun oleh:
Nama : Muhammad Abdi
Putri Mulyani
Ignalia Niasti
Fitriani
Kelompok dan Kelas : 5/Banjarmasin
Tanggal Praktikum : 5 April 2023
Dosen Asisten Praktikum : Apt. Juwita Ramadhani, M. Farm
Apt. Aris Fadillah, M. Farm
KASUS
Data Laboratorium
Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
1. Subjektif
A. Identitas Pasien
b. Riwayat Pasien
2. Objektif
Parameter Penyakit
Data Laboratorium
Nilai norm
Pemeriksaan Hasil Keteragan
al
Leukosit 14,4 4,0-10,5 Tinggi
RDW_CV 11,5 12,1-14 Rendah
Neutrofil % 86,1 50,0-81,0 Tinggi
Eosinofil % 0,4 1,0-3,0 Rendah
Linfosit % 10,7 20,0-40,0 Rendah
Neutrofil# 12,5 2,50-7,00 Tinggi
GDS 393 <200,00 Tinggi
Natrium 133 136-145 Rendah
HBA1C 9,4 4,0-6,9 Tinggi
Kolesterol total 250 0-200 Tinggi
LDL kolesterol 186 0-100 Tinggi
INTERPRETASI DATA PEMERIKSAAN LAB:
Pada data pemeriksaan laboratoriun HBA1C dan GDS yang tinggi
menandakan pasien mengalami Diabetes Mellitus.
Pada data menunjukkan nilai kolesterol total dan LDL kolesterol ti
nggi yang menandakan kolesterol meningkat.
Pada data menunjukkan nilai leukosit dan neutrofil tinggi yang
menandakan pasien mengalami infeksi.
3. Assesment
(ADA, 2022)
A. Profil Penggunaan Obat
4. PLAN
A. Tujuan Terapi
̵ Edukasi
Diabetes melitus terjadi karena pola gaya hidup dan perilaku
mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak terkontrol.
Pengobatan diabetes melitus secara mandiri diperlukan keaktifan dari
pasien, keluarga dan lingkungan sekitar. Untuk itu diperlukan edukasi
yang komprehensif (menyeluruh) dan motivasi. Dengan edukasi
diharapkan terjadi perubahan perilaku tingkat pemahaman dibidang
kesehatan yang maksimal dan optimal tentang penigkatan kualitas
hidup. (PERKENI, 2021).
̵ Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan
DM secara komprehensif. Pasien DM perlu diberikan penekanan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. (PERKENI,
2021).
̵ Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3 ʹ 5 hari seminggu
selama sekitar 30 ʹ 45 menit, dengan total 150 menit per minggu,
dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. (A).
Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam
latihan fisik. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan
berupa latihan fisik yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 ʹ
70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. (A) Denyut jantung maksimal dihitung dengan
cara mengurangi 220 dengan usia pasien. (PERKENI, 2021).
̵ Pasien diabetes dengan usia muda dan bugar dapat melakukan 90
menit/minggu dengan latihan aerobik berat, mencapai > 70% denyut
jantung maksimal. Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum
latihan fisik. Pasien dengan kadar glukosa darah < 100 mg/dL harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila > 250 mg/dL
dianjurkan untuk menunda latihan fisik. Pasien diabetes asimptomatik
tidak diperlukan pemeriksaan medis khusus sebelum memulai aktivitas
fisik intensitas ringan-sedang, seperti berjalan cepat. Subyek yang akan
melakukan latihan intensitas tinggi atau memiliki kriteria risiko tinggi
harus dilakukan pemeriksaan medis dan uji latih sebelum latihan fisik.
̵ Pada pasien DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi
yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan
resistance training (latihan beban) 2 ʹ 3 kali/perminggu (A) sesuai
dengan petunjuk dokter. Latihan fisik sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran fisik. Intensitas latihan fisik pada pasien DM
yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada pasien DM yang
disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan
dengan masing-masing individu. (PERKENI, 2021).
1. Infus NaCl
NACL 0.9 % merupakan cairan infus yang mengandung NaCl
0.9%. Infus ini digunakan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit
pada dehidrasi. Ion natrium adalah elektrolit utama pada cairan
ekstraselular yang diperlukan dalam distribusi cairan dan elektrolit
lainnya. Ion klorida berperan sebagai buffering agen pada paru-paru dan
jaringan. Ion ini membantu memfasilitasi oksigen dan karbon dioksida
untuk berikatan dengan hemoglobin. Ion natrium dan ion klorida diatur
oleh ginjal yang mengontrol homeostatis dengan absopsi atau ekskresi
pada tubulus.
Secara farmakologi, cairan NaCl 0,9% memiliki komposisi yang
mirip dengan cairan ekstraseluler tubuh. Cairan ini bersifat isotonik dan
memiliki tekanan osmotik yang sama dengan cairan tubuh. Cairan infus
nacl terdiri dari sodium dan klorida yang terdisosiasi dalam air. Sodium
merupakan kation utama pada cairan ekstraseluler yang berperan dalam
keseimbangan cairan, pengontrolan distribusi cairan, dan kestabilan
tekanan osmotik cairan tubuh. Pada pengaturan keseimbangan asam basa
cairan tubuh dalam ginjal, peran sodium juga dipengaruhi oleh klorida
dan bikarbonat. Klorida adalah anion ekstraseluler utama yang
memengaruhi metabolisme natrium dan keseimbangan asam basa.
Klorida juga merupakan agen buffer dalam paru-paru dan jaringan, yang
memfasilitasi ikatan antara oksigen dan karbon dioksida terhadap
hemoglobin. Perpindahan air tergantung pada kadar sodium dan klorida
di berbagai kompartemen tubuh. Sodium berperan untuk menjaga
homeostasis dan distribusi air dalam berbagai kompartemen. Oleh karena
itu, cairan nacl umumnya dapat memperluas volume intravaskular tanpa
mengganggu konsentrasi ion, kecuali bila diberikan dalam volume terlalu
besar (Ahdi, I. R., & Sasiarini, L. 2022). Pasien diberikan infus Nacl
1500cc selama 24 jam jadi dosis yang diberikan pada pasien 16 tpm.
2. Lansoprazole
lansoprazole adalah proton pump inhibitor atau PPI yang bekerja
dengan cara menghambat enzim H+,K+-ATPase pada jalur sekresi asam
lambung. Obat ini digunakan untuk terapi penyakit yang berhubungan
dengan hipersekresi asam lambung. Penyerapan lansoprazole setelah
pemberian peroral sangat baik dan kadar plasma optimalnya tercapai
dengan cepat. Lansoprazole mengurangi sekresi asam lambung dengan
cara menghambat kerja enzim H+,K+-ATPase pada jalur sekresi asam
lambung, sehingga proses katalisasi sekresi asam lambung di sel parietal
tidak terjadi. Lansoprazole sediaan injeksi mengatasi penyakit esofagitis
erosif atau refluks esofagitis Dewasa: berikan 30 mg untuk sehari sekali
melalui infus (Dwiutama, A., & Darusman, F. 2022). Dosis yang
digunakan sesuai dengan yang telah diterima pasien yaitu 30mg/24 jam.
3. Ceftriaxone
Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan cefalosporin generasi
ketiga. Ceftriaxone adalah sebagai antibiotik dengan mekanisme aksi
menghambat dinding sel bakteri. Ceftriaxone berperan dalam melawan
berbagai mikroorganisme, terutama bakteri gram negatif. Ceftriaxone
didistribusikan dengan baik ke dalam cairan dan jaringan tubuh, dan
sebagian besar diekskresikan melalui urin. Ceftriaxone bekerja
membunuh bakteri dengan menginhibisi sintesis dinding sel bakteri.
Ceftriaxone memiliki cincin beta laktam yang menyerupai struktur asam
amino D-alanyl-D-alanine yang digunakan untuk membuat
peptidoglikan. Tautan silang peptidoglikan dikatalisasi oleh enzim
transpeptidase yang merupakan Penicillin-Binding Proteins (PBP).
Ceftriaxone adalah injeksi dosis tunggal 1-2 gram per hari, ceftriaxone
memiliki waktu paruh 5,4-10,9 jam (Setyoningsih, H, et al. 2022). Dosis
yang digunakan sesuai dengan yang telah diterima pasien yaitu 1 gr/24
jam.
4. Metoklopramide
Metoclopramide adalah antagonis reseptor dopamin dan telah
disetujui oleh FDA untuk mengobati mual dan muntah pada pasien
dengan penyakit gastroesophageal reflux atau gastroparesis diabetes
dengan meningkatkan motilitas lambung. Hal ini juga digunakan untuk
mengontrol mual dan muntah pada pasien kemoterapi. Selain itu,
metoclopramide dapat diberikan secara profilaksis untuk mencegah mual
dan muntah pada pasien pasca operasi. Metoclopramide bekerja dengan
memusuhi reseptor dopamin-dua (D2) pusat dan perifer di zona pemicu
kemoreseptor meduler di area postrema, biasanya distimulasi oleh
levodopa atau apomorphine. Ini dicapai dengan mengurangi sensitivitas
saraf aferen visceral yang mentransmisikan dari sistem gastrointestinal ke
pusat muntah. Selain memusuhi reseptor dopamin, metoklopramid adalah
antagonis pada 5HT3 (reseptor serotonin tipe 3) dan agonis pada reseptor
5HT4 (Dwiutama, A., & Darusman, F. 2022). Dosis yang digunakan
sesuai dengan yang telah diterima pasien yaitu injeksi 10 mg/8 jam.
5. Noporavid
Novorapid adalah insulin jenis rapid-acting (kerja cepat). Obat ini
golongan sekreagogue insulin yang bisa menekan tingkat gula darah
berlebih di dalam tubuh. Mekanisme kerja dengan interaksi membran sel
luar sitoplasma dengan reseptor khusus membentuk kompleks insulin
sampai merangsang proses intraseluler. Golongan ini bekerja dengan
cepat 10 sampai 20 menit setelah diberikan efek maksimumnya 1 sampai
3 jam setelah di suntikkan penyerapan melalui kandungan lemak
subkutan. Dosis yang di berikan 0,5 sampai 1,0 UI /kg berat badan / hari
pada saat makan, sebelum makan atau sesudah makan. Golongan obat ini
sebaiknya digunakan 5 – 15 menit sebelum makan (Ahdi, I. R., &
Sasiarini, L. 2022). Dosis yang digunakan tidak sesuai dengan yang telah
diterima pasien yaitu 3 x 10 iu dimana dosis sesuai literatur adalah 35 iu
– 70 iu/ hari (BB 70 Kg).
6. Lantus
Lantus adalah insulin jenis long-acting (kerja panjang). Kandungan
obat Insulin Glargine . Insulin ini bekerja meningkatkan penyerapan
glukosa oleh sel terutama di jaringan otot dan jaringan adiposa.
Mekanisme kerja dengan menurunkan kadar gula darah dengan
menstimulasi pengambilan glukosa perifer terutama otot skelet dan
jaringan adiposa, serta menghambat produksi glukosa hepar. Insulin
menghambat lipolisis sel adiposit, proteolisis dan meningkatkan sintesis
protein.. Pemberian Insuline Glargine di mulai 90 menit dan bekerja
selama 24 jam. Diabetes melitus tipe 1 di berikan dosis awal 0,2- 0,4 UI/
kg , sedangkan pada penderita Diabetes melitus tipe 2 diperlukan dosis
awal 0,2- 10 UI/ kg perhari (17). Digunakan 1 kali malam hari sebelum
tidur secara subcutan (Ahdi, I. R., & Sasiarini, L. 2022). Dosis yang
digunakan tidak sesuai dengan yang telah diterima pasien yaitu 1 x 10 iu
dimana dosis sesuai literatur adalah 12 iu – 24 iu/ hari (BB 70 Kg).
7. Paracetamol
Paracetamol (acetaminofen) merupakan obat antipiretik, analgetik,
dan antiinflamasi. Parasetamol bekerja secara non selektif dengan
menghambat enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2). Pada cox-1
memiliki efek cytoprotektif yaitu melindungi mukosa lambung, apabila
dihambat akan terjadi efek samping pada gastrointestinal. Sedangkan
ketika cox-2 dihambat akan menyebabkan menurunnya produksi
prostaglandin. Prostaglandin merupakan mediator nyeri, demam dan anti
inflamasi. Sehingga apabila parasetamol menghambat prostaglandin
menyebabkan menurunnya rasa nyeri. Sebagai Antipiretik, parasetamol
bekerja dengan menghambat cox-3 pada hipotalamus. Parasetamol
memiliki sifat yang lipofil sehingga mampu menembus Blood Brain
Barrier, sehingga menjadi first line pada antipiretik. Pada obat golongan
ini tidak menimbulkan ketergantungan dan tidak menimbulkan efek
samping sentral yang merugikan. Oleh karena itu parasetamol aman
diminum 30 menit – 1 jam setelah makan atau dalam keadaaan perut
kosong untuk mengatasi efek samping tersebut. Setiap obat yang
menghambat siklooksigenase memiliki kekuatan dan selektivitas yang
berbeda (Goodman and Gilman, 2012). Dosis yang digunakan sesuai
dengan yang telah diterima pasien yaitu 3 x 500 mg.
8. N-acetylcystein
Acetylcysteine antidot bekerja sebagai hepatoprotektor dengan cara
memperbanyak glutation pada hati, bekerja sebagai pengganti glutation
dan meningkatkan konjugasi sulfat non toksik dari paracetamol. L-sistein
merupakan prekursor antioksidan enzim glutation. Sekitar 4% fraksi
metabolit dari paracetamol dimetabolisme di hati oleh isoenzim CYP2E1
dan sitokrom P450 (CYP) menjadi N-acetyl-p-benzoquinoneimine
(NAPQI) yang merupakan zat yang toksik untuk hepar. Obat ini juga bisa
sebagai mukolitik klasik yang bekerja secara langsung melakukan
depolimerasi glikoprotein musin dengan menghidrolisasi ikatan disulfida
yang menghubungkan monomer musin. Dengan mendepolimerisasi
kompleks mukoprotein dan asam nukleat yang berperan dalam viskositas
mukus, maka mukus dapat mudah dikeluarkan dari saluran napas (Gerry,
K., & Scwalfenberg. 2021). Dosis yang digunakan sesuai dengan yang
telah diterima pasien yaitu 3 x 200 mg.
9. Azithromycin
Azitromisin merupakan antibiotik spektrum sedang yang bersifat
bakteriostatik ( menghambat pertumbuhan kuman). Antibiotik ini bekerja
dengan cara menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan
secara reversibel dengan ribosom subunit 50.13,14,15. Azitromisin tidak
menghambat pembentukan ikatan peptide, namun lebih pada
menghambat proses translokasi tRna dari tempat akseptor di ribosome ke
lokasi donor di peptidi. Azithromycin dengan cepat masuk ke dalam
aliran darah menuju ke jaringan, menembus membran sel bakteri
patogen. Azithromycin terikat pada porsi 23S dari subunit ribosom
bakteri 50S, kemudian mencegah perpindahan aminoacyl-tRNA dan
protein yang berkembang melalui ribosom, sehingga menghambat
sintesis protein bakteri, menghambat pertumbuhan sel dan pada akhirnya
kematian sel bakteri patogen. Pada pemberian oral, azitromisin dapat
diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis 250mg dan 500mg untuk
dewasa yang dibagi dalam 1 kali pemberian dalam sehari. Bentuk lainnya
berupa suspensi yang mengandung 200mg/5ml untuk anak yang dibagi
dalam 1 kali pemberian sehari selama 3 hari. Sedangkan pada penderita
uretritis dapat diberikan 1g dosis tunggal perhari (Setyoningsih, H, et al.
2022). Dosis yang digunakan sesuai dengan yang telah diterima pasien
yaitu 1 x 500 mg.
10. Amlodipin
Amlodipine memberikan efek farmakologis sebagai agen
antihipertensi dengan mekanisme kerja Calcium Channel Blocker (CCB).
Amlodipine bekerja dengan cara menghambat ion kalsium masuk ke
dalam vaskularisasi otot polos dan otot jantung sehingga mampu
menurunkan tekanan darah. Selain sebagai agen antihipertensi,
amlodipine juga dapat digunakan untuk pengobatan angina pectoris
dengan cara meningkatkan aliran darah ke otot jantung sehingga mampu
menurunkan tekanan darah.. Selain sebagai agen antihipertensi,
amlodipine juga dapat digunakan untuk pengobatan angina pectoris
dengan cara meningkatkan aliran darah ke otot jantung. Dalam beberapa
sediaan farmasi umumnya amlodipine tersedia dalam bentuk sediaan
tablet dan sering dikombinasikan dengan senyawa anti hipertensi lainnya
seperti golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitory (ACEI) dan
atau dikombinasikan dengan senyawa antihiperlipidemia seperti
golongan statin (Alawiyah, A., & Mutakin. 2015). Dosis yang digunakan
sesuai dengan yang telah diterima pasien yaitu 1 x 10 mg.
11. Candesartan
Candesartan cilexetil adalah antagonis angiotensin II nonpeptida
yang menghambat secara selektif pengikatan angiotensin II pada reseptor
AT1 dalam jaringan seperti otot polos vaskular dan kelenjar adrenal.
Dalam sistem renin-angiotensin, angiotensin I diubah oleh angiotensin-
converting enzyme (ACE) untuk membentuk angiotensin II. Angiotensin
II merangsang korteks adrenal untuk mensintesis dan mengeluarkan
aldosteron, yang menurunkan ekskresi natrium dan meningkatkan
ekskresi kalium. Angiotensin II juga berfungsi sebagai vasokonstriktor di
otot polos vaskular. Dengan menghalangi pengikatan angiotensin II
dengan reseptor AT1, candesartan cilexetil menyebabkan vasodilasi dan
mengurangi efek aldosteron. Pengaturan umpan balik negatif dari
angiotensin II pada sekresi renin juga dihambat, mengakibatkan
peningkatan konsentrasi renin plasma dan berakibat meningkatnya
konsentrasi plasma angiotensin II, tetapi efek tersebut tidak meniadakan
penurunan tekanan darah yang terjadi. Onset terjadi sekitar 2 jam setelah
pemberian dan efek maksimum dapat dicapai dalam waktu 4 minggu
setelah memulai terapi. Dosis awal candesartan cilexetil adalah 4 mg per
had. Dosis dinaikkan sesuai dengan respon pengobatan sampai
maksimum 16 mg sehari. Efek antihipertensi maksimal akan dicapai
dalam waktu 4 minggu setelah pengobatan (Yulanda G, Lisiswanti R. 20
17). Dosis yang digunakan sesuai dengan yang telah diterima pasien
yaitu 1 x 16 mg.
12. Clopidogrel
Clopidogrel merupakan generasi kedua dari golongan
thienopyridine, yang bekerja menghambat Adenosine Diphosphate
(ADP) dengan mengikat reseptor P2Y12 pada permukaan trombosit.
Clopidogrel merupakan prodrug yang dimetabolisme di hepar dan hanya
sekitar 15% saja yang menjadi metabolit aktif. Metabolit aktif
clopidogrel ini akan berikatan secara irreversibel dengan reseptor P2Y12
dalam mencegah aktivasi dan agregasi trombosit yang diinduksi oleh
ADP. Clopidogrel sudah digunakan secara luas. Clopidogrel sangat
bermanfaaat dalam mengobati dan mencegah penyakit terkait trombosis.
Clopidogrel adalah obat untuk mencegah penyumbatan pembuluh darah
dan membantu melancarkan peredaran darah, sehingga obat ini dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke (Inayah, N., Marianti, A. M., Yunus,
A. 2018). Dosis yang digunakan sesuai dengan yang telah diterima
pasien yaitu 1 x 75 mg.
13. Simvastatin
Simvastatin berkaitan dengan farmakodinamiknya, zat aktif
simvastatin memiliki struktur yang mirip dengan HMG-CoA endogen
sehingga dapat mengelabui HMG-CoA reductase untuk berikatan dengan
zat aktif simvastatin. Farmakokinetik simvastatin segera dimulai saat
obat diabsorbsi setelah dikonsumsi peroral. Metabolisme utama
simvastatin terjadi di hati dan akan dieliminasi keluar bersama feses.
Simvastatin sangat bergantung pada bentuk aktifnya berupa bagian
termodifikasi asam dihidroksiglutarat-3,5, yang secara struktur mirip
dengan substrat HMG-CoA endogen dan mevaldyl CoA. Di Dalam
tubuh, bentuk lactone/simvastatin inaktif akan terhidrolisis menjadi
bentuk aktifnya. Zat aktif inilah yang selanjutnya berikatan dengan enzim
3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A (HMG-CoA) reduktase
sehingga menghambat fungsi enzim tersebut dalam mereduksi substrat
HMG-CoA menjadi bentuk mevalonate yang merupakan bagian penting
dalam sintesis kolesterol. Target kerja utama simvastatin adalah di hati.
Akibat penurunan produksi kolesterol hepatal maka tubuh akan
terstimulasi untuk menyerap kembali kolesterol low density lipoprotein
(LDL) yang telah beredar di seluruh tubuh. Di hati, simvastatin juga
menghambat pembentukan very low density lipoprotein (VLDL).
Sehingga terjadi penurunan konsentrasi LDL dan VLDL di plasma darah.
Melalui mekanisme farmakodinamik tadi, simvastatin terbukti dapat
menurunkan kadar LDL serum mulai dari 20% hingga 55%. Dosis
simvastatin yang biasa adalah 5 hingga 40 mg / hari. Dosis awal yang
dianjurkan adalah 10 atau 20 mg sekali sehari di malam hari (Ferry, F.,
Nugraha. 2021). Dosis yang digunakan sesuai dengan yang telah diterima
pasien yaitu 1 x 20 mg.
Tanggal
Obat Dosis Frekuensi
03/04 04/04
IFVD Nacl 0,9% 16 tpm 0,9%/24 jam ✓ -
Lansoprazole Vial 30 mg 30 mg/24 jam ✓ -
Ceftriaxone Vial 1gr 1 gr/24 jam ✓ ✓
Metoklopramide Ampul 10 mg 10 mg/8 jam ✓ ✓
Insulin 3x100
Novorapid 3x12 iu ✓ ✓
iu/Ml
Insulin 3x100
Lantus 0-0-12 iu ✓ ✓
iu/Ml
Paracetamol Tablet 500 mg 3 x 1 tab - ✓
N-acetylcystein Tablet 200 mg 3 x 1 tab - ✓
Azithromycin Tablet 500 mg 1 x 1 tab ✓ ✓
Amlodipin Tablet 10 mg 1 x 1 tab ✓ ✓
Candesartan Tablet 16 mg 1 x 1 tab ✓ ✓
Clopidogrel Tablet 75 mg 1 x 1 tab ✓ ✓
Simvastatin Tablet 20 mg 1 x 1 tab ✓ ✓
G. KIE
1. Pasien
Memberikan identitas serta menejelaskan nama obat beserta
komposisinya, lengkap dengan bentuk sediaan serta indikasi
Memberikan informasi terkait cara penggunaan obat
Memberikan informasi terapi non farmakologi yang dapat
dilakukan selain dari penggunaan terapi farmakologi
Memberikan informasi terkait penyimpanan obat
Hindari faktor yang dapat memicu naiknya tekanan darah seperti
menjaga asupan garam per hari dalam makanan
Hindari gula dan asupan lemak jenuh
Perlu menjaga berat badannya di kisaran indeks massa tubuh (IM
T) normal serta berolahraga secara teratur, setidaknya 30 menit sela
ma 3 kali seminggu
Pasien perlu dimotivasi untuk minum obat secara terus-menerus wa
lau tidak merasa sakit
Diet yang disarankan pada pasien DM tipe 2 adalah diet dengan ju
mlah kalori per hari sesuai berat badan ideal (BBI) dengan kompos
isi karbohidrat sebesar 45%-65% dan lemak 20-25%
Program olahraga secara teratur dapat dilakukan 3 sampai 5 hari se
minggu selama 30 sampai 45 menit per latihan, dengan total 150 m
enit per minggu, dengan jeda latihan tidak lebih dari 2 hari berturu
t-turut. Olahraga yang dianjurkan adalah latihan aerobik, seperti jal
an cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Mengubah pola makan dengan diet rendah lemak
2. Tenaga Kesehatan
Pengaturan laju infus IFVD NaCl harus diberikan secara tepat
untuk meminimalisir efek samping infus
Tanda-tanda hiponatremia dan hipernatremia (lemas dan lelah pada
hiponatremia dan rasa haus yang berlebihan pada hipernatremia)
untuk menentukan titrasi pemberian IFVD NaCl
3. Keluarga pasien
4. Monitoring
Keberhasilan ESO
NaCl Natrium Sesak napas, dada Kadar natrium pasien
terasa tertekan normal dan kebutuhan
dan mulut kering cairan terpenuhi
Lansoprazol Nyeri di ulu Mual, perut Nyeri berkurang
hati kembung, sakit setelah pemakaian
perut, sembelit lansoprazol
atau malah diare,
sakit kepala dan
pusing
Metoklopramide Mual dan Kantuk, sakit Mual dan muntah tidak
muntah kepala, pusing, terjadi lagi pada pasien
diare, lelah, sulit
tidur, dan cemas
Ceftriaxone Infeksi Bengkak, Kadar leukosit menjadi
kemerahan, normal yaitu diantara
pusing, diare, 4,0-10,5 ribu/ui
ruam kulit,
keringat berlebih,
dan kantuk
Novorapid Diabetes Hipoglikemia dan GDS dan HBA1C
reaksi anafilaksis menjadi normal, GDS
<200 dan HBA1C
antara 4,0-6,9
Lantus Diabetes Hipoglikemia, GDS dan HBA1C
reaksi alergi, menjadi normal, GDS
lipodistropi, <200 dan HBA1C
ruam, pruritus, antara 4,0-6,9
edema dan
penambahan berat
badan
Parasetamol Demam Sakit perut, mual Demam tidak muncul
dan muntah kembali
NAC Batuk Mual dan muntah, Batuk tidak muncul
sakit maag, dan kembali
ruam kulit
Azithromycin Infeksi Sakit kepala, Kadar leukosit menjadi
kehilangan selera normal yaitu diantara
makan, kelelahan 4,0-10,5 ribu/ui
dan diare
Amlodipin Hipertensi Kantuk, pusing, Tekanan darah kembali
lelah, sakit perut, normal dibawah 140/90
kulit wajah atau
leher memerah
Candesartan Hipertensi Sakit kepala, Tekanan darah kembali
nyeri punggung, normal dibawah 140/90
pusing, batuk,
bersin, hidung
tersumbat dan
ruam kulit
Simvastatin Kolesterol Sembelit, sakit Kolesterol kembali
perut, sakit normal dibawah
kepala, hidung 200mg/dl
tersumbat, bersin
atau sakit
tenggorokan
Clopidogrel PJK Diare, nyeri perut, Serangan jantung tidak
mudah muncul kembali
mengalami mema
atau pendarahan,
perdarahan sulit
berhenti,
heartburn, nyeri
perut
C. PEMBAHASAN
1. Beberapa DRP yang terjadi pada kasus diantaranya interaksi obat dan
dosis yang tidak sesuai, yakni Insulin vs Candesartan, candesartan dapat
meningkatkan efek insulin maka disarankan monitoring gula darah. Dosis
novorapid yang digunakan tidak sesuai dengan yang telah diterima pasien
yaitu 3 x 10 iu dimana dosis sesuai literatur adalah 35 iu- 70 iu/ hari (BB
70 Kg). Dosis yang digunakan tidak sesuai dengan yang telah diterima
pasien yaitu 1 x 10 iu dimana dosis sesuai literatur adalah 12 iu - 24 iu/
hari (BB 70 Kg).
2. Penatalaksanaan terapi yang diberikan yaitu infus NaCl mengobati
hiponatremia, Lansoprazole untuk mengobati nyeri pada ulu hati,
Metoklopramide untuk mengobati mual dan muntah, Ceftriaxone dan
Azithromycin untuk mengobati infeksi, Novorapid dan Lantus untuk
mengobati diabetes, Parasetamol untuk mengobati demam, NAC untuk
mengobati batuk, Amlodipin dan Candesartan untuk mengatasi hipertensi,
Simvastatin untuk mengatasi kolesterol dan Clopidogrel untuk mengobati
penyakit jantung koroner.
3. Terapi non farmakologi yang dilakukan yaitu: Merubah gaya hidup, misal
berhenti merokok, Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL yang
memperbaiki koroner pada penderita penyakit jantung darah karena
memperbaiki fungsi paru-paru dan memperbanyak 02 masuk kedalam
miokard menurunkan tekanan darah. Diet dapat menurunkan kadar
hiperglikemia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahdi, I. R., & Sasiarini, L. 2022. Hiperglikemia Pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 1 dan 2: Laporan Kasus. Journal of Islamic Medicine, 6(1).
Alawiyah, A., & Mutakin. 2015. Analisis Amlodipin Dalam Plasma Darah dan
Sediaan Farmasi. Jurnal Farmaka, 15(3).
Amrina Rosyada, I.T. 2013. Determinan komplikasi kronik diabetes melitus pada l
anjut usia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. vol. 7(9): 395- 401.
Anagnostis P, Paschou SA, Goulis DG, Athyros VG, Karagiannis A. 2018. Dietary
management of dyslipidaemias. Is there any evidence for cardiovascular b
enefit? Maturitas.;108:45-52.
Bataha, R.G. 2016. Hubungan antara perilaku olahraga dengan kadar gula darah p
enderita diabetes melitus di wilayah kerja Puskesmas Wolang. ejournal Ke
perawatan. vol. 4(1): 1-7.
Chepyala P., Olden K. 2008. Mual dan muntah . Curr Treat Options Gastroentero
l 11 : 135–144.
Chobaniam AV. 2013. Seventh report of the joint national committee on preventio
n, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. J Am Med
Assoc; 289:2560-72.
Fera Sartika, N.H. 2019. Kadar HbA1c pada pasien wanita penderita diabetes mell
itus tipe 2 di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Borneo Journal Of
Medical Laboratory Technology. vol. 2(1): 97-101. Jurnal Ilmiah Farmasi,
3(1).
Goodman and Gilman, 2012. Dasar Farmakologi Terapi Edisi 10. Diterjemahkan
Oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Hasler W., Chey W. 2003. Mual dan muntah . Gastroenterologi 125: 1860–1867.
Inayah, N., Marianti, A. M., Yunus, A. 2018. Analisis Efektivitas dan Efek
Samping Penggunaan Clopidogrel Tunggal dan Clopidogrel-Aspilet Pada
Pasien Stroke Iskemik di RSUD Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar,
Majalah Farmasi dan Farmakologi.
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. 2011. (ed
s.) Harrison’s principles of internal medicine. Edisi ke18. New York: Mc G
raw Hill;. 23.
Mach F, Baigent C, Catapano AL, Koskinas KC, Casula M. 2020 ESC/EAS guidel
ines for the management of dyslipidaemias: lipid modification to reduce ca
rdiovascular risk: the Task Force for the management of dyslipidaemias of
the European Society of Cardiology (ESC) and European Atherosclerosis
Society (EAS). European Heart Journal;41(1):111-88.
Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, Kronenberg HM. 2015. Williams textbook o
f endocrinology. Elsevier Health Sciences.
Muliani, E.L. 2015. Penggunaan obat tradisional oleh penderita diabetes mellitus
dan faktor-faktor yang berhubungan di wilayah kerja Puskesmas Rejosari
Pekanbaru Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Komunitas. vol. 3(1): 47-52.
Oktaviano YH, Subagjo A, Lefi A, Putra RM, editors. 2020. Transforming global
cardiovascular health through collaboration facing future challenge and in
ovations: Proceeding of 11th Surabaya Cardiology Update in Conjunction
with Continuing Medical Education XXII; 2020 December 18-20; Surabay
a, Indonesia: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
Ozougwu, J.C., Obimba, K.C., Belonwu, C.D., & Unakalamba, C.B. 2013. The pa
thogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Jou
rnal of Physiology and Pathophysiology. vol. 4(4): 6-14. doi: 10.5897/JPA
P2013.0001 ISSN 2I41-260X.
Raggi P, Genest J, Giles JT, Rayner KJ, Dwivedi G, Beanlands RS. 2018. Role of
inflammation in the pathogenesis of atherosclerosis and therapeutic interve
ntions. Atherosclerosis.;276:98-108. 2.
Ratnasari, N.I. 2018. Faktor risiko mempengaruhi kejadian diabetes mellitus tipe
dua. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan Aisyiyah. vol. 14(1): 59-68. Roy
Taylor, M.F. 2013. Etiology and reversibility. Journal Diabetes Care. vol. 3
6: 1-12.
Sapitri N, Suyanto, Butar-Butar WE. 2016. Analisis Faktor Risiko Kejadian Hipert
ensi pada Masyarakat di Pesisir Sungai Siak Kecamatan Rumbai Kota Pek
anbaru. Jom Fk.; 3(1):1- 15 21.
Sendika Widi Saputri, A.N. 2016. Studi Pengobatan diabetes melitus tipe 2 denga
n komplikasi hipertensi di instalasi rawat jalan RSU dr. H. Koesnadi Bond
owoso Periode Tahun 2014. Jurnal Pustaka kesehatan. vol. 4(3): 479-483
Sihotang, H.T. 2017. Perancangan aplikasi sistem pakar diagnosa diabetes dengan
metode Bayes. Jurnal Mantik Penusa. vol. 1(1): 36-41.
Stern R., Koch K., Andrews P. 2011. Mual: mekanisme dan manajemen . New Yor
k: Oxford University Press.
Trisnawati, K,T., Soedijono, S. 2012. Faktor risiko kejadian diabetes melitus tipe I
I di puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Jurnal Il
miah Kesehatan. vol. 5(1): 6-11.
Wayan Ardana Putra, K.N. 2015. Empat pilar penatalaksanaanpasien diabetes mell
itus Tipe 2. Majority. vol. 4(9): 8-12.
Widodo, F.Y. 2014. Pemantauan penderita diabetes mellitus. Jurnal Ilmiah Kedokt
eran. vol. 3(2): 55- 89
Yulanda G, Lisiswanti R. 2017. Penatalaksanaan Hipertensi Primer. Majority ; 6
(1) :25-33
Zheng Y, Ning C, Zhang X, et al. 2020. Association Between ALDH-2 rs671 and
Essential Hypertension Risk or Blood Pressure Levels: A Systematic Revie
w and Meta-Analysis. Front Genet; 11 (685) :1-12 20.
LAMPIRAN
Foto Keterangan
Diskusi kasus
Presentasi Kasus