Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PRATIKUM FARMAKOTERAPI

PERCOBAAN 1
REKAM MEDIS

Disusun oleh:
Nama : Muhammad Abdi
Putri Mulyani
Ignalia Niasti
Fitriani
Kelompok dan Kelas : 5/Banjarmasin
Tanggal Praktikum : 5 April 2023
Dosen Asisten Praktikum : Apt. Juwita Ramadhani, M. Farm
Apt. Aris Fadillah, M. Farm

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN FARMASI


KLINIS
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI BANJARMASIN
2023
A. DASAR TEORI
1. Patofisiologi & Etiologi Penyakit
a. DM tipe 2 hiperglikemia
Diabetes melitus atau penyakit kencing manis merupakan penya
kit menahun yang dapat diderita seumur hidup (Sihotang, 2017). D
iabetes melitus (DM) disebabkan oleh gangguan metabolisme yang
terjadi pada organ pankreas yang ditandai dengan peningkatan gula
darah atau sering disebut dengan kondisi hiperglikemia yang diseb
abkan karena menurunnya jumlah insulin dari pankreas. Penyakit
DM dapat menimbulkan berbagai komplikasi baik makrovaskuler
maupun mikrovaskuler. Penyakit DM dapat mengakibatkan ganggu
an kardiovaskular yang dimana merupakan penyakit yang terbilang
cukup serius jika tidak secepatnya diberikan penanganan sehingga
mampu meningkatkan penyakit hipertensi dan infark jantung (Sapu
tri, 2016).
Diabetes memiliki 2 tipe yakni diabetes melitus tipe 1 yang mer
upakan hasil dari reaksi autoimun terhadap protein sel pulau pankr
eas, kemudian diabetes tipe 2 yangmana disebabkan oleh kombinas
i faktor genetik yang berhubungan dengan gangguan sekresi insulin,
resistensi insulin dan faktor lingkungan seperti obesitas, makan be
rlebihan, kurang makan, olahraga dan stres, serta penuaan (Ozoug
wu et al., 2013). Olahraga atau aktivitas fisik berguna sebagai peng
endali kadar gula darah dan penurunan berat badan pada penderita
diabetes melitus. Manfaat besar dari berolahraga pada diabetes mel
itus antara lain menurunkan kadar glukosa darah, mencegah kegem
ukan, ikut berperan dalam mengatasi terjadinya komplikasi, gangg
uan lipid darah dan peningkatan tekanan darah (Bataha, 2016).
Etiologi dari penyakit diabetes yaitu gabungan antara faktor gen
etik dan faktor lingkungan. Etiologi lain dari diabetes yaitu sekresi
atau kerja insulin, abnormalitas metabolik yang menganggu sekresi
insulin, abnormalitas mitokondria, dan sekelompok kondisi lain ya
ng menganggu toleransi glukosa. Diabetes mellitus dapat muncul a
kibat penyakit eksokrin pankreas ketika terjadi kerusakan pada ma
yoritas islet dari pankreas. Hormon yang bekerja sebagai antagonis
insulin juga dapat menyebabkan diabetes (Putra, 2015).
Resistensi insulin pada otot adalah kelainan yang paling awal ter
deteksi dari diabetes tipe 1 (Taylor, 2013). Adapun penyebab dari r
esistensi insulin yaitu: obesitas/kelebihan berat badan, glukortikoid
berlebih (sindrom cushing atau terapi steroid), hormon pertumbuha
n berlebih (akromegali), kehamilan, diabetes gestasional, penyakit
ovarium polikistik, lipodistrofi (didapat atau genetik, terkait denga
n akumulasi lipid di hati), autoantibodi pada reseptor insulin, mutas
i reseptor insulin, mutasi reseptor aktivator proliferator peroksisom
(PPAR γ), mutasi yang menyebabkan obesitas genetik (misalnya:
mutasi reseptor melanokortin), dan hemochromatosis (penyakit ket
urunan yang menyebabkan akumulasi besi jaringan) (Ozougwu et a
l., 2013).
Hiperglikemia puasa terjadi karena produksi glukosa yang tidak
dapat diukur oleh hati. Meskipun glukosa dalam makanan tetap ber
ada di dalam darah dan menyebabkan hiperglikemia postprandial (s
etelah makan), glukosa tidak dapat disimpan di hati. Jika konsentra
si glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak akan dapat menye
rap kembali semua glukosa yang telah disaring. Oleh karena itu gin
jal tidak dapat menyerap semua glukosa yang disaring. Akibatnya,
muncul dalam urine (kencing manis). Saat glukosa berlebih diekskr
esikan dalam urine, limbah ini akan disertai dengan ekskreta dan el
ektrolit yang berlebihan. Kondisi ini disebut diuresis osmotik. Kehi
langan cairan yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan bua
ng air kecil (poliuria) dan haus (polidipsia). Kekurangan insulin jug
a dapat mengganggu metabolisme protein dan lemak, yang menyeb
abkan penurunan berat badan. Jika terjadi kekurangan insulin, kele
bihan protein dalam darah yang bersirkulasi tidak akan disimpan di
jaringan. Dengan tidak adanya insulin, semua aspek metabolisme l
emak akan meningkat pesat. Biasanya hal ini terjadi di antara wakt
u makan, saat sekresi insulin minimal, namun saat sekresi insulin
mendekati, metabolisme lemak pada DM akan meningkat secara si
gnifikan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah pemben
tukan glukosa dalam darah, diperlukan peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan oleh sel beta pankreas. Pada penderita gangguan
toleransi glukosa, kondisi ini terjadi akibat sekresi insulin yang berl
ebihan, dan kadar glukosa akan tetap pada level normal atau sedikit
meningkat. Namun, jika sel beta tidak dapat memenuhi permintaan
insulin yang meningkat, maka kadar glukosa akan meningkat dan d
iabetes tipe II akan berkembang.
Diabetes sering disebabkan oleh faktor genetik dan perilaku atau
gaya hidup seseorang. Selain itu faktor lingkungan sosial dan pema
nfaatan pelayanan kesehatan juga menimbulkan penyakit diabetes
dan komplikasinya. Diabetes dapat memengaruhi berbagai sistem o
rgan tubuh manusia dalam jangka waktu tertentu, yang disebut ko
mplikasi. Komplikasi diabetes dapat dibagi menjadi pembuluh dara
h mikrovaskular dan makrovaskuler. Komplikasi mikrovaskuler ter
masuk kerusakan sistem saraf (neuropati), kerusakan sistem ginjal
(nefropati) dan kerusakan mata (retinopat) (Rosyada, 2013). Faktor
risiko kejadian penyakit diabetes melitus tipe 2 antara lain usia, akt
ivitas fisik, terpapar asap, indeks massa tubuh (IMT), tekanan dara
h, stres, gaya hidup, adanya riwayat keluarga, kolesterol HDL, trigl
iserida, DM kehamilan, riwayat ketidaknormalan glukosa dan kelai
nan lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (2012) men
yatakan bahwa riwayat keluarga, aktivitas fisik, umur, stres, tekana
n darah serta nilai kolesterol berhubungan dengan terjadinya DM ti
pe 2, dan orang yang memiliki berat badan dengan tingkat obesitas
berisiko 7,14 kali terkena penyakit DM tipe dua jika dibandingkan
dengan orang yang berada pada berat badan ideal atau normal. Gej
ala dari penyakit DM yaitu antara lain:
1. Poliuri (sering buang air kecil)
Buang air kecil lebih sering dari biasanya terutama pada malam
hari (poliuria), hal ini dikarenakan kadar gula darah melebihi a
mbang ginjal (>180mg/dl), sehingga gula akan dikeluarkan mel
alui urine. Dalam keadaan normal, keluaran urine harian sekitar
1,5 liter, tetapi pada pasien DM yang tidak terkontrol, keluaran
urine lima kali lipat dari jumlah ini. Sering merasa haus dan ing
in minum air putih sebanyak mungkin (poliploidi). Dengan ada
nya ekskresi urine, tubuh akan mengalami dehidrasi atau dehidr
asi. Untuk mengatasi masalah tersebut maka tubuh akan mengh
asilkan rasa haus sehingga penderita selalu ingin minum air ter
utama air dingin, manis, segar dan air dalam jumlah banyak.
2. Polifagi (cepat merasa lapar)
Nafsu makan meningkat (polifagi) dan merasa kurang tenaga. I
nsulin menjadi bermasalah pada penderita DM sehingga pemas
ukan gula ke dalam sel-sel tubuh kurang dan energi yang dibent
uk pun menjadi kurang. Ini adalah penyebab mengapa penderit
a merasa kurang tenaga.
3. Berat badan menurun
Ketika tubuh tidak mampu mendapatkan energi yang cukup dar
i gula karena kekurangan insulin, tubuh akan bergegas mengola
h lemak dan protein yang ada di dalam tubuh untuk diubah men
jadi energi. Dalam sistem pembuangan urine, penderita DM ya
ng tidak terkendali bisa kehilangan sebanyak 500 gr glukosa da
lam urine per 24 jam (setara dengan 2000 kalori perhari hilang
dari tubuh). Kemudian gejala lain atau gejala tambahan yang da
pat timbul yang umumnya ditunjukkan karena komplikasi adala
h kaki kesemutan, gatal-gatal, atau luka yang tidak kunjung se
mbuh, pada wanita kadang disertai gatal di daerah selangkanga
n (pruritus vulva) dan pada pria ujung penis terasa sakit (balanit
is) (Simatupang, 2017).
Macam pemeriksaan diabetes melitus yang dapat dilakukan yait
u: pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS), pemeriksaan gula darah
puasa (GDP), pemeriksaan gula darah 2 jam prandial (GD2PP), pe
meriksaan hBa1c, pemeriksaan toleransi glukosa oral (TTGO) beru
pa tes ksaan penyaring. Menurut Widodo (2014), bahwa dari anam
nesis sering didapatkan keluhan khas diabetes berupa poliuria, poli
dipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak jelas penyeb
abnya. Keluhan lain yang sering disampaikan adalah lemah badan,
kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi dan pruritus vulvae.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kadar gula darah sebaga
i berikut: Gula darah puasa > 126 mg/dl, Gula darah 2 jam > 200 m
g/dl, Gula darah acak > 200 mg/dl.
Pengobatan yang dapat dilakukan untuk penderita diabetes melit
us yaitu dengan terapi insulin, mengonsumsi obat diabetes, mencob
a pengobatan alternatif, menjalani operasi dan memperbaiki life sty
le (pola hidup sehat) dengan memakan makanan yang bergizi atau
sehat, olahraga. Menurut Kementerian Kesehatan (2010), dengan
memahami faktor risiko, diabetes melitus dapat dicegah. Faktor risi
ko DM dibagi menjadi beberapa faktor risiko, namun ada beberapa
yang dapat diubah oleh manusia, dalam hal ini dapat berupa pola m
akan, pola aktivitas, dan pengelolaan stres. Faktor kedua merupaka
n faktor risiko, namun sifatnya tidak dapat diubah, seperti umur, je
nis kelamin, dan faktor penderita diabetes dengan latar belakang ke
luarga (Suiraoka, 2012).
b. Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah tinggi dengan tek
anan sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari
90 mmHg. Tekanan darah pada manusia secara alami berfluktuasi s
etiap harinya. Tekanan darah tinggi dianggap bermasalah apabila te
kanan tersebut bersifat persisten (Manutung, 2018). Hipertensi ters
ebut, apabila tidak terkontrol atau tidak diberi perhatian khusus dap
at menyebabkan berbagai komplikasi seperti bila mengenai jantung
kemungkinan dapat terjadi infark miokard, jantung koroner, gagal j
antung kongestif, bila mengenai otak terjadi stroke, ensefalopati hi
pertensif, dan bila mengenai ginjal terjadi gagal ginjal kronis, seda
ngkan bila mengenai mata akan terjadi retinopati hipertensif (Nurai
ni, 2015).
Hipertensi disebabkan oleh dua penyebab yakni, hipertensi prim
er dan hipertensi sekunder. Hipertesi primer merupakan penyebab
hipertensi terbanyak yakni sekitar 95% dari seluruh penyebab hiper
tensi Sekitar 5% dari seluruh penyakit hipertensi merupakan hipert
ensi sekunder (Kadir, 2016). Hipertensi primer adalah hipertensi di
mana etiologinya tidak diketahui (Yulanda, 2017). Sedangkan hiper
tensi sekunder terjadi dari proses penyakit lain, seperti penyakit par
enkim ginjal atau aldosteronisme primer. Faktor- faktor yang mem
pengaruhi hipertensi adalah jenis kelamin, umur,genetik, kurang ol
ahraga, stress, obesitas, pola asupan garam, dan kebiasaan merokok
dan meminum alcohol (Zheng, 2020).
Gejala klinis dari hipertensi kadang dapat berupa asimtomatik d
an simtomatik. Gejala klinik dari hipertensi yang dirasakan kadang
berupa sakit kepala, epistaskis, jantung berdebar sulit bernafas setel
ah bekerja keras atau mengangkat beban berat, mudah lelah, gampa
ng marah, telinga berdengung, pusing, tinnitus, dan pingsan. Akan t
etapi, gejala-gejala tersebut bukanlah gejala spesifik terhadap hiper
tensi sehingga gejala-gejala yang dirasakan mungkin dianggap geja
la biasa yang mengakibatkan keterlambatan penanganan (Sapitri, 2
016). Seseorang dengan hipertensi juga terkadang tidak menunjukk
an gejala apa-apa sehingga hipertensi dijuluki silent killer karena di
am-diam dapat menyebabkan kerusakan organ yang parah. Apabila
sudah terjadi komplikasi, maka gejala yang timbul sesuai dengan o
rgan yang diserang (Anggriani, 2016).
Tatalaksana dalam pengobatan hipertensi ketika seseorang sudah
terdiagnosis hipertensi yakni yang paling utama dan pertama adala
h memodifikasi gaya hidup lalu setelah itu dengan pemberian obat.
Tujuan utama dalam tatalakasana hipertensi adalah menurunkan m
ortalitas dan morbiditas yang berhubungan atau kemungkinan besa
r disebabkan karena seseorang tersebut menderita hipertensi seperti
kerusakaan organ (Longo, 2011). Target nilai tekanan darah yang d
irekomendasikan dalam JNC VII yakni dibawah <140/90 mmHg
(Chibanian, 2013).
c. Nausea voamite + dyspepsia
Mual adalah gejala yang biasa ditemui dengan daftar kemungkin
an penyebab yang luas. Ini telah didefinisikan sebagai 'perasaan su
byektif tanpa rasa sakit yang tidak menyenangkan bahwa seseorang
akan segera muntah' (Hasler dan Chey, 2003). Sementara mual dan
muntah sering dianggap ada pada kontinum temporal, hal ini tidak
selalu terjadi. Ada situasi di mana mual yang parah dapat hadir tan
pa muntah dan lebih jarang, ketika muntah dapat hadir tanpa mual
sebelumnya. Kebanyakan orang melaporkan bahwa mual lebih seri
ng terjadi, lebih melumpuhkan, terasa lebih buruk dan berlangsung
lebih lama daripada muntah (Stern et al . 2011). Mekanisme yang
mendasari yang terlibat dalam mual adalah kompleks dan mencaku
p keadaan psikologis, sistem saraf pusat, sistem saraf otonom, disri
tmia lambung, dan sistem endokrin. ntuk memahami patofisiologi
yang mendasari mual, penting untuk memperkenalkan konsep amb
ang dinamis. Diusulkan bahwa setiap individu memiliki ambang m
ual yang berubah dari menit ke menit. Pada saat tertentu, ambang b
atas bergantung pada interaksi faktor-faktor tertentu yang melekat
pada individu dengan keadaan psikologis kecemasan, antisipasi, ha
rapan, dan adaptasi yang lebih mudah berubah. Interaksi dinamis in
i kemungkinan menjelaskan variabilitas antar dan intra-individu ya
ng biasanya ditemui dalam menghadapi stimulus nauseogenic [ Ste
rn, 2002 ]. Stimuli yang menimbulkan mual dan muntah berasal da
ri input zona pemicu visceral, vestibular, dan kemoreseptor yang m
asing-masing dimediasi oleh serotonin/dopamin, histamin/asetilkol
in, dan serotonin/dopamin. Hubungan ini berfungsi sebagai dasar te
rapi farmakologis saat ini untuk mual dan muntah yang direkomen
dasikan [ Chepyala dan Olden, 2008 ].
d. CAP (Community-Acquired Pneumoni)
CAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi pada pasien
yang tidak mendapatkan perawatan inap di rumah sakit atau fasilita
s perawatan inap jangka panjang (panti) setidaknya lebih dari 14 ha
ri sebelum mulai munculnya tanda dan gejala tersebut. Diagnosis C
AP yaitu berdasarkan adanya gejala klinik dan didukung gambaran
radiologis paru (radiografi thoraks). Kriteria minimal untuk dapat
mendiagnosis klinis CAP adalah : adanya infeksi akut paru yang di
dapat dari komunitas dan tidak didapat di rumah sakit, dengan gam
baran radiologis infiltrat paru, dan ditandai dua atau lebih kelainan
berikut : Suhu badan lebih dari 370 C dengan atau tanpa menggigil,
Leukositosis lebih dari 10.000/mm3, Sputum purulen, lebih dari 23
neutrofil/ LPB, Batuk, sesak nafas, nyeri dada
e. PJK
Angina Prinzmetal: nyeri dada disebabkan oleh spasme arteri ko
ronaria, sering timbul pada waktu istirahat, tidak berkaitan dengan
kegiatan jasmani dan kadang-kadang siklik (pada waktu yang sama
tiap harinya). Sindroma Kororner Akut (SKA): sindrom klinik yan
g mempunyai dasar patofisiologi yang sama yaitu adanya erosi, fis
ur, ataupun robeknya plak atheroma sehingga menyebabkan tromb
osis intravaskular yang menimbulkan ketidakseimbangan pasokan
dan kebutuhan oksigen miokard. Yang termasuk dalam SKA adalah:
Angina Pektoris Stabil (APS): sindrom klinik yang ditandai denga
n rasa tidak enak di dada, rahang, bahu, pungggung ataupun lengan
yang biasanya dicetuskan oleh kerja fisik atau stres emosional dan
keluhan ini dapat berkurang bila istirahat atau oleh obat nitrogliseri
n. Angina pektoris tidak stabil (APTS, unstable angina): ditandai d
engan nyeri dada yang mendadak dan lebih berat, yang seranganny
a lebih lama (lebih dari 20 menit) dan lebih sering. Angina yang ba
ru timbul (kurang dari satu bulan), angina yang timbul dalam satu b
ulan setelah serangan infark juga digolongkan dalam angina tak sta
bil. Infark miokard akut (IMA): Nyeri angina pada infark jantung a
kut umumnya lebih berat dan lebih lama (30 menit atau lebih). Wal
au demikian infark jantung dapat terjadi tanpa nyeri dada (20 samp
ai 25%). IMA bisa nonQ MI (NSTEMI) dan gelombang Q MI (ST
EMI). Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan
mengalami kerusakan oleh adanya faktor risiko antara lain: faktor
hemodinamik seperti hipertensi, zat-zat vasokonstriktor, mediator
(sitokin) dari sel darah, asap rokok, diet aterogenik, penigkatan kad
ar gula darah, dan oxidasi dari LDL-C.
Di antara faktor-faktor risiko PJK; diabetes melitus, hipertensi, h
iperkolesterolemia, obesitas, merokok, dan kepribadian merupakan
faktor-faktor penting yang harus diketahui.
f. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan abnormalitas metabolisme lipid; dapat
berupa salah satu ataupun kombinasi tingginya kadar LDL-c, triglis
erida, dan/atau HDL-c (Anagnostis,2018). ASCVD merupakan pro
ses inflamasi kompleks ditandai dengan peningkatan inflamasi, aku
mulasi lipid pada dinding vaskular, dan penyempitan lumen arteri
(Aman, 2019).
kolesterol telah dianggap sebagai promotor utama perkembanga
n aterosklerosis, yaitu proses penumpukan lipid di arteri koroner, s
ehingga menyempitkan lumen pembuluh darah coroner (Raggi, 20
18). Lipid dalam makanan terdiri dari trigliserida, fosfolipid, dan k
olesterol. Fosfolipid merupakan jenis lipid yang membentuk komp
onen membran lipoprotein (Melmed, 2015). Pada manusia dapat d
ibedakan enam jenis lipoprotein, yaitu high-density lipoprotein (H
DL atau α-lipoprotein) sebagai pengangkut kolesterol; very low-de
nsity lipoprotein (VLDL atau pre-β-lipoprotein). yang berasal dari
hati untuk mengeluarkan trigliserida; intermediate-density lipoprot
ein (IDL) yang sebagian besar trigliseridanya sudah dikeluarkan; lo
w-density lipoprotein cholesterol (LDL-c atau β-lipoprotein) yang
merupakan tahap akhir katabolisme VLDL saat hampir semua trigli
serida telah dikeluarkan; kilomikron berasal dari penyerapan triglis
erida di usus. Kadar kolesterol LDL (LDLc) yang tinggi dalam kas
us dislipidemia berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian v
askular; setiap peningkatan 0,6 mmol/L kadar LDLc menaikkan ris
iko kejadian vaskular mayor sebesar 1,14 kali. Tatalaksana dislipid
emia yang tepat, baik dalam rangka pencegahan primer maupun se
kunder, menjadi salah satu kunci utama pencegahan Atheroscleroti
c Cardiovascular Disease (ASCVD) (Oktaviano, 2020).
Aterosklerosis merupakan gangguan umum akibat lemak, kolest
erol, dan endapan kalsium di lapisan arteri (Cabezas, 2018). Penum
pukan ini menghasilkan fibrous plaque yang terdiri dari tiga kompo
nen: 1) ateroma yang merupakan massa nodular berlemak berwarn
a kekuningan, 2) lapisan kristal kolesterol, dan 3) lapisan terluar ya
ng terkalsifikasi (Verman, 2016). Pecahnya plak akan mengakibatk
an trombosis akut dan menjadi penyebab ASCVD termasuk sindro
m koroner akut seperti; angina tidak stabil, nonST-elevation myoca
rdial infarction (NSTEMI), dan ST-elevation myocardial infarction
(STEMI), penyakit arteri perifer (peripheral arterial disease/PAD),
dan penyakit serebrovaskular (Cabezas, 2018).
Dislipidemia terbagi menjadi dislipidemia primer dan sekunder
(Aman, 2019). Dislipidemia primer terjadi karena masalah genetik
berupa mutasi protein reseptor yang mungkin disebabkan oleh caca
t gen tunggal (monogenik) atau beberapa gen (poligenik) (Onwe, 2
018). Sedangkan dislipidemia sekunder terjadi akibat perubahan po
la makan dan kurangnya aktivitas fisik yang tepat (Cabezas, 2018).
Dislipidemia sekunder muncul akibat penyakit yang mendasari sep
erti diabetes melitus, sindrom nefrotik, konsumsi alkohol menahun,
dan penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid, kontrasepsi ora
l, serta penyekat beta (Aman, 2019).
Dislipidemia merupakan faktor risiko utama penyakit jantung ko
roner (PJK) dan stroke di samping faktor risiko lain, baik faktor risi
ko konvensional (diabetes melitus, hipertensi, obesitas, inaktivitas f
isik, merokok, jenis kelamin, dan umur) maupun faktor risiko non-
konvensional (inflamasi, stres oksidatif, gangguan koagulasi, dan h
iperhomosistein) (Aman, 2019). Pedoman klinis pencegahan ASC
VD saat ini merekomendasikan penilaian total risiko penyakit kardi
ovaskular, salah satunya dengan menggunakan sistem SCORE (Sys
tematic Coronary Risk Estimation) untuk memperkirakan kejadian
kardiovaskular dalam 10 tahun. Sistem skor risiko SCORE. Penceg
ahan ASCVD pada populasi tertentu berhubungan dengan total risi
ko penyakit kardiovaskularnya; makin tinggi risikonya, makin agre
sif tindakan yang harus diberikan (Mach, 2020).
g. Geriatric problem
Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yang memiliki karakteri
stik khusus yang membedakannya dari pasien usia lanjut pada umu
mnya. Karakteristik pasien geriatri yang pertama adalah multipatol
ogi, yaitu adanya lebih dari satu penyakit kronis degeneratif. Karak
teristik kedua adalah daya cadangan faali menurun karena menurun
nya fungsi organ akibat proses menua. Karakteristik yang ketiga ad
alah gejala dan tanda penyakit yang tidak khas. Tampilan gejala ya
ng tidak khas seringkali mengaburkan penyakit yang diderita pasie
n. Karakteristik berikutnya adalah penurunan status fungsional yan
g merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas seh
arihari. Penurunan status fungsional menyebabkan pasien geriatri b
erada pada kondisi imobilisasi yang berakibat ketergantungan pada
orang lain. Karakteristik khusus pasien geriatri yang sering dijump
ai di Indonesia ialah malnutrisi (Mulley, 2016).

B. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN SOAP

KASUS

Ny. JM dengan umur 60 Tahun datang ke RS tanggal 3 April 2023 dengan


keluhan Mual muntah >5x disertai nafsu makan menurun, nyeri ulu hati, n
yeri perut, nyeri pinggang, demam dan pusing, disertai batuk kering.
Riwayat pasien sebelumnya yaitu DM Tipe II dan Hipertensi. Diagnosa
dokter adalah nursea voamite + dyspepsia, CAP, PJK, dislipidemia, dan
gastric problem. Obat yang digunakan lansoprazole 30mg/24 jam iv,
ceftriaxone 1gr/24 jam iv, metoklopramide 10mg/8 jam iv, novorapid 3x10
iu sc, lantus o-o-10 iu sc, paracetamol 3x500mg, NAC 3x200mg,
azithromycin 1x500mg, amlodipin 1x10mg, candesartan 1x16mg,
clopidogrel 1x75mg, simvastatin 1x20mg.
 Parameter Penyakit

TTV 03//04/2023 04/04/2023


TD 200/100 205/110
N 120 95
RR 20 20
Suhu 36,7 36,4
Pusing ++ ++

 Data Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Keteragan


Leukosit 14,4 Tinggi
RDW_CV 11,5 Rendah
Neutrofil % 86,1 Tinggi
Eosinofil % 0,4 Rendah
Linfosit % 10,7 Rendah
Neutrofil# 12,5 Tinggi
GDS 393 Tinggi
Natrium 133 Rendah
HBA1C 9,4 Tinggi
Kolesterol total 250 Tinggi
LDL kolesterol 186 Tinggi

 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

1. Subjektif
A. Identitas Pasien

Tanggal MRS : 3 April 2023 Umur/TTL : 60 Tahun


Nama : Ny. JM BB/TB : -
No. Rekam Medik : 01528554 Jenis Kelamin : Perempuan
R. Rawat : Mawar Alergi Obat : -
Alamat : - Status Jaminan : -
KONDISI KHUSUS :
Nausea voamite + dyspepsia, gangguan jantung, dan CAP
KELUHAN UTAMA :
Mual muntah >5x disertai nafsu makan menurun, nyeri ulu hati, nyeri
perut, nyeri pinggang, demam dan pusing, disertai batuk kering
DIAGNOSA DOKTER :
Nursea voamite + dyspepsia, CAP, PJK, dislipidemia, dan gastric
problem.

b. Riwayat Pasien

Riwayat Penyakit DM Tipe II dan Hipertensi


Riwayat Pengobatan Novorapid 3x10 iu sc, lantus o-o-10 iu sc,
amlodipin 1x10mg, candesartan 1x16mg.
Riwayat Keluarga -

2. Objektif
 Parameter Penyakit

04/04/202 Nilai nor


TTV 03//04/2023 Ket
3 mal
100-140 / Tinggi (hipe
TD 200/100 205/110
60-90 rtensi)
N 120 95 90-100 Pemeriksaan
pertama ting
gi dan peme
riksaan kedu
a normal
RR 20 20 16-20 Normal
Suhu 36,7 36,4 36-37 Normal
Pusing ++ ++

INTERPRETASI DATA PEMERIKSAAN KLINIK:


 Dari data pemeriksaan pada tanggal 3-4 mengalami kenaikan tekan
an darah yang dari nilai normalnya 110/80 mmHg, sehingga pasien
mengalami hipertensi
 Dari data pemeriksaan pada tanggal 3 denyut nadi pasien mengala
mi peningkatan, ditanggal 4 denyut nadi pasien normal
 Dari data pemeriksaan pada tanggal 3-4 respirasi dan suhu badan
pasien normal
 Dari data pemeriksaan pada tanggal 3-4 pasien mengeluhkan
pusing

 Data Laboratorium

Nilai norm
Pemeriksaan Hasil Keteragan
al
Leukosit 14,4 4,0-10,5 Tinggi
RDW_CV 11,5 12,1-14 Rendah
Neutrofil % 86,1 50,0-81,0 Tinggi
Eosinofil % 0,4 1,0-3,0 Rendah
Linfosit % 10,7 20,0-40,0 Rendah
Neutrofil# 12,5 2,50-7,00 Tinggi
GDS 393 <200,00 Tinggi
Natrium 133 136-145 Rendah
HBA1C 9,4 4,0-6,9 Tinggi
Kolesterol total 250 0-200 Tinggi
LDL kolesterol 186 0-100 Tinggi
INTERPRETASI DATA PEMERIKSAAN LAB:
 Pada data pemeriksaan laboratoriun HBA1C dan GDS yang tinggi
menandakan pasien mengalami Diabetes Mellitus.
 Pada data menunjukkan nilai kolesterol total dan LDL kolesterol ti
nggi yang menandakan kolesterol meningkat.
 Pada data menunjukkan nilai leukosit dan neutrofil tinggi yang
menandakan pasien mengalami infeksi.

3. Assesment

Guideline Terapi Insulin


Diabetes Melitus

(ADA, 2022)
A. Profil Penggunaan Obat

No JENIS OBAT Regimen Rute Tanggal Pemberian


Dosis Obat (Mulai MRS)
Nama Obat 03/04 04/04
1 NaCl 0,9%/24 Iv V -
jam(16tpm)
2 Lansoprazole 30mg/24 Iv V -
jam
3 Metoklopramide 10mg/8jam Iv V V
4 Ceftriaxone 1gr/24 jam Iv V V
5 Novorapid 3x10 iu Sc V V
6 Lantus o-o-10 iu Sc V V
7 Paracetamol 3x500mg Po - V
8 NAC 3x200mg Po - V
9 Azithromycin 1x500mg Po V V
10 Amlodipin 1x10mg Po V V
11 Candesartan 1x16mg Po V V
12 Simvastatin 120mg Po V V
13 Clopidogrel 1x75mg Po V V

b. Masalah Klinik & Drug Related Problem

1. Indikasi Pada Pasien dan Pemilihan Obat

Nama Obat Standar Terapi Intruksi Indikasi Ket


Dokter
NaCl 0,9%/24 jam 0,9%/24 jam Hiponatremia Sesuai
Lansoprazole Iv: 30 mg 1 kali 30mg/24 jam GERD Sesuai
sehari
Metoklopramide Iv: 10 mg 3-4 10mg/8jam GERD Sesuai
kali sehari
Ceftriaxone Iv: 1 gr-2 gr 1-2 1gr/24 jam Infeksi Sesuai
kali sehari
(dosis dapat
ditingkatkan
maksimal 4 gr)
Novorapid sc: 0,5 – 1,0 3x10 iu Diabetes Tidak
iu/KgBB/hari Sesuai
BB = 70 kg jadi
dosisnya 35 iu –
70 iu/ hari
Lantus sc: 0,2 – 0,4 o-o-10 iu Diabetes Tidak
iu/KgBB/hari Sesuai
BB = 70 kg jadi
dosisnya 12 iu –
24 iu/ hari
Paracetamol Oral: 500 mg 3- 3x500mg Demam Sesuai
4 kali sehari
NAC Oral: 200 mg 2- 3x200mg Batuk Sesuai
3 kali sehari
Azithromycin Oral: 500 mg 1 1x500mg Infeksi Sesuai
kali sehari
Amlodipin Oral: 10 mg 1 1x10mg Hipertensi Sesuai
kali sehari
Candesartan Oral: 8 mg - 16 1x16mg Hipertensi Sesuai
mg 1 kali sehari
(dosis dapat
disesuaikan
dengan respon
tubuh, dosis
maksimal 32 mg
perhari)
Simvastatin Oral: 10 mg 20 1x20mg Kolesterol Sesuai
mg kali sehari
Clopidogrel Oral: dosis 1x75mg PJK Sesuai
perawatan 75
mg 1 kali sehari

2. Drug Related Problem


Drug Related Problem Keterangan
Indikasi Tanpa Terapi -
Terapi Tanpa Indikasi Ada
Pemilihan Obat Yang Tidak Tepat -
Dosis Terlalu Tinggi -
Dosis Terlalu Rendah Ada
Reaksi Obat Yang Tidak Dihendaki -
Interaksi Obat Ada
Kepatuhan -

4. PLAN

A. Tujuan Terapi

̵ Mengatasi keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi


risiko komplikasi akut pada pasien.
̵ Mengatasi keluhan hipertensi stage II pada pasien.
̵ Mengatasi keluhan GERD seperti nyeri pada ulu hati, mual dan muntah
pada pasien.
̵ Mencagah kekambuhan dan perkembangan penyakit yang dialami
pasien.

B. Terapi non farmakologis

̵ Edukasi
Diabetes melitus terjadi karena pola gaya hidup dan perilaku
mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak terkontrol.
Pengobatan diabetes melitus secara mandiri diperlukan keaktifan dari
pasien, keluarga dan lingkungan sekitar. Untuk itu diperlukan edukasi
yang komprehensif (menyeluruh) dan motivasi. Dengan edukasi
diharapkan terjadi perubahan perilaku tingkat pemahaman dibidang
kesehatan yang maksimal dan optimal tentang penigkatan kualitas
hidup. (PERKENI, 2021).
̵ Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting dari penatalaksanaan
DM secara komprehensif. Pasien DM perlu diberikan penekanan
mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri. (PERKENI,
2021).
̵ Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.
Program latihan fisik secara teratur dilakukan 3 ʹ 5 hari seminggu
selama sekitar 30 ʹ 45 menit, dengan total 150 menit per minggu,
dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. (A).
Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam
latihan fisik. Latihan fisik selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga
akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan fisik yang dianjurkan
berupa latihan fisik yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 ʹ
70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. (A) Denyut jantung maksimal dihitung dengan
cara mengurangi 220 dengan usia pasien. (PERKENI, 2021).
̵ Pasien diabetes dengan usia muda dan bugar dapat melakukan 90
menit/minggu dengan latihan aerobik berat, mencapai > 70% denyut
jantung maksimal. Pemeriksaan glukosa darah dianjurkan sebelum
latihan fisik. Pasien dengan kadar glukosa darah < 100 mg/dL harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila > 250 mg/dL
dianjurkan untuk menunda latihan fisik. Pasien diabetes asimptomatik
tidak diperlukan pemeriksaan medis khusus sebelum memulai aktivitas
fisik intensitas ringan-sedang, seperti berjalan cepat. Subyek yang akan
melakukan latihan intensitas tinggi atau memiliki kriteria risiko tinggi
harus dilakukan pemeriksaan medis dan uji latih sebelum latihan fisik.
̵ Pada pasien DM tanpa kontraindikasi (contoh: osteoartritis, hipertensi
yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga melakukan
resistance training (latihan beban) 2 ʹ 3 kali/perminggu (A) sesuai
dengan petunjuk dokter. Latihan fisik sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran fisik. Intensitas latihan fisik pada pasien DM
yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada pasien DM yang
disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan
dengan masing-masing individu. (PERKENI, 2021).

C. Terapi Farmakologis Yang Diterima Ny. JM

1. Infus NaCl
NACL 0.9 % merupakan cairan infus yang mengandung NaCl
0.9%. Infus ini digunakan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit
pada dehidrasi. Ion natrium adalah elektrolit utama pada cairan
ekstraselular yang diperlukan dalam distribusi cairan dan elektrolit
lainnya. Ion klorida berperan sebagai buffering agen pada paru-paru dan
jaringan. Ion ini membantu memfasilitasi oksigen dan karbon dioksida
untuk berikatan dengan hemoglobin. Ion natrium dan ion klorida diatur
oleh ginjal yang mengontrol homeostatis dengan absopsi atau ekskresi
pada tubulus.
Secara farmakologi, cairan NaCl 0,9% memiliki komposisi yang
mirip dengan cairan ekstraseluler tubuh. Cairan ini bersifat isotonik dan
memiliki tekanan osmotik yang sama dengan cairan tubuh. Cairan infus
nacl terdiri dari sodium dan klorida yang terdisosiasi dalam air. Sodium
merupakan kation utama pada cairan ekstraseluler yang berperan dalam
keseimbangan cairan, pengontrolan distribusi cairan, dan kestabilan
tekanan osmotik cairan tubuh. Pada pengaturan keseimbangan asam basa
cairan tubuh dalam ginjal, peran sodium juga dipengaruhi oleh klorida
dan bikarbonat. Klorida adalah anion ekstraseluler utama yang
memengaruhi metabolisme natrium dan keseimbangan asam basa.
Klorida juga merupakan agen buffer dalam paru-paru dan jaringan, yang
memfasilitasi ikatan antara oksigen dan karbon dioksida terhadap
hemoglobin. Perpindahan air tergantung pada kadar sodium dan klorida
di berbagai kompartemen tubuh. Sodium berperan untuk menjaga
homeostasis dan distribusi air dalam berbagai kompartemen. Oleh karena
itu, cairan nacl umumnya dapat memperluas volume intravaskular tanpa
mengganggu konsentrasi ion, kecuali bila diberikan dalam volume terlalu
besar (Ahdi, I. R., & Sasiarini, L. 2022). Pasien diberikan infus Nacl
1500cc selama 24 jam jadi dosis yang diberikan pada pasien 16 tpm.
2. Lansoprazole
lansoprazole adalah proton pump inhibitor atau PPI yang bekerja
dengan cara menghambat enzim H+,K+-ATPase pada jalur sekresi asam
lambung. Obat ini digunakan untuk terapi penyakit yang berhubungan
dengan hipersekresi asam lambung. Penyerapan lansoprazole setelah
pemberian peroral sangat baik dan kadar plasma optimalnya tercapai
dengan cepat. Lansoprazole mengurangi sekresi asam lambung dengan
cara menghambat kerja enzim H+,K+-ATPase pada jalur sekresi asam
lambung, sehingga proses katalisasi sekresi asam lambung di sel parietal
tidak terjadi. Lansoprazole sediaan injeksi mengatasi penyakit esofagitis
erosif atau refluks esofagitis Dewasa: berikan 30 mg untuk sehari sekali
melalui infus (Dwiutama, A., & Darusman, F. 2022). Dosis yang
digunakan sesuai dengan yang telah diterima pasien yaitu 30mg/24 jam.
3. Ceftriaxone
Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan cefalosporin generasi
ketiga. Ceftriaxone adalah sebagai antibiotik dengan mekanisme aksi
menghambat dinding sel bakteri. Ceftriaxone berperan dalam melawan
berbagai mikroorganisme, terutama bakteri gram negatif. Ceftriaxone
didistribusikan dengan baik ke dalam cairan dan jaringan tubuh, dan
sebagian besar diekskresikan melalui urin. Ceftriaxone bekerja
membunuh bakteri dengan menginhibisi sintesis dinding sel bakteri.
Ceftriaxone memiliki cincin beta laktam yang menyerupai struktur asam
amino D-alanyl-D-alanine yang digunakan untuk membuat
peptidoglikan. Tautan silang peptidoglikan dikatalisasi oleh enzim
transpeptidase yang merupakan Penicillin-Binding Proteins (PBP).
Ceftriaxone adalah injeksi dosis tunggal 1-2 gram per hari, ceftriaxone
memiliki waktu paruh 5,4-10,9 jam (Setyoningsih, H, et al. 2022). Dosis
yang digunakan sesuai dengan yang telah diterima pasien yaitu 1 gr/24
jam.
4. Metoklopramide
Metoclopramide adalah antagonis reseptor dopamin dan telah
disetujui oleh FDA untuk mengobati mual dan muntah pada pasien
dengan penyakit gastroesophageal reflux atau gastroparesis diabetes
dengan meningkatkan motilitas lambung. Hal ini juga digunakan untuk
mengontrol mual dan muntah pada pasien kemoterapi. Selain itu,
metoclopramide dapat diberikan secara profilaksis untuk mencegah mual
dan muntah pada pasien pasca operasi. Metoclopramide bekerja dengan
memusuhi reseptor dopamin-dua (D2) pusat dan perifer di zona pemicu
kemoreseptor meduler di area postrema, biasanya distimulasi oleh
levodopa atau apomorphine. Ini dicapai dengan mengurangi sensitivitas
saraf aferen visceral yang mentransmisikan dari sistem gastrointestinal ke
pusat muntah. Selain memusuhi reseptor dopamin, metoklopramid adalah
antagonis pada 5HT3 (reseptor serotonin tipe 3) dan agonis pada reseptor
5HT4 (Dwiutama, A., & Darusman, F. 2022). Dosis yang digunakan
sesuai dengan yang telah diterima pasien yaitu injeksi 10 mg/8 jam.
5. Noporavid
Novorapid adalah insulin jenis rapid-acting (kerja cepat). Obat ini
golongan sekreagogue insulin yang bisa menekan tingkat gula darah
berlebih di dalam tubuh. Mekanisme kerja dengan interaksi membran sel
luar sitoplasma dengan reseptor khusus membentuk kompleks insulin
sampai merangsang proses intraseluler. Golongan ini bekerja dengan
cepat 10 sampai 20 menit setelah diberikan efek maksimumnya 1 sampai
3 jam setelah di suntikkan penyerapan melalui kandungan lemak
subkutan. Dosis yang di berikan 0,5 sampai 1,0 UI /kg berat badan / hari
pada saat makan, sebelum makan atau sesudah makan. Golongan obat ini
sebaiknya digunakan 5 – 15 menit sebelum makan (Ahdi, I. R., &
Sasiarini, L. 2022). Dosis yang digunakan tidak sesuai dengan yang telah
diterima pasien yaitu 3 x 10 iu dimana dosis sesuai literatur adalah 35 iu
– 70 iu/ hari (BB 70 Kg).
6. Lantus
Lantus adalah insulin jenis long-acting (kerja panjang). Kandungan
obat Insulin Glargine . Insulin ini bekerja meningkatkan penyerapan
glukosa oleh sel terutama di jaringan otot dan jaringan adiposa.
Mekanisme kerja dengan menurunkan kadar gula darah dengan
menstimulasi pengambilan glukosa perifer terutama otot skelet dan
jaringan adiposa, serta menghambat produksi glukosa hepar. Insulin
menghambat lipolisis sel adiposit, proteolisis dan meningkatkan sintesis
protein.. Pemberian Insuline Glargine di mulai 90 menit dan bekerja
selama 24 jam. Diabetes melitus tipe 1 di berikan dosis awal 0,2- 0,4 UI/
kg , sedangkan pada penderita Diabetes melitus tipe 2 diperlukan dosis
awal 0,2- 10 UI/ kg perhari (17). Digunakan 1 kali malam hari sebelum
tidur secara subcutan (Ahdi, I. R., & Sasiarini, L. 2022). Dosis yang
digunakan tidak sesuai dengan yang telah diterima pasien yaitu 1 x 10 iu
dimana dosis sesuai literatur adalah 12 iu – 24 iu/ hari (BB 70 Kg).
7. Paracetamol
Paracetamol (acetaminofen) merupakan obat antipiretik, analgetik,
dan antiinflamasi. Parasetamol bekerja secara non selektif dengan
menghambat enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2). Pada cox-1
memiliki efek cytoprotektif yaitu melindungi mukosa lambung, apabila
dihambat akan terjadi efek samping pada gastrointestinal. Sedangkan
ketika cox-2 dihambat akan menyebabkan menurunnya produksi
prostaglandin. Prostaglandin merupakan mediator nyeri, demam dan anti
inflamasi. Sehingga apabila parasetamol menghambat prostaglandin
menyebabkan menurunnya rasa nyeri. Sebagai Antipiretik, parasetamol
bekerja dengan menghambat cox-3 pada hipotalamus. Parasetamol
memiliki sifat yang lipofil sehingga mampu menembus Blood Brain
Barrier, sehingga menjadi first line pada antipiretik. Pada obat golongan
ini tidak menimbulkan ketergantungan dan tidak menimbulkan efek
samping sentral yang merugikan. Oleh karena itu parasetamol aman
diminum 30 menit – 1 jam setelah makan atau dalam keadaaan perut
kosong untuk mengatasi efek samping tersebut. Setiap obat yang
menghambat siklooksigenase memiliki kekuatan dan selektivitas yang
berbeda (Goodman and Gilman, 2012). Dosis yang digunakan sesuai
dengan yang telah diterima pasien yaitu 3 x 500 mg.
8. N-acetylcystein
Acetylcysteine antidot bekerja sebagai hepatoprotektor dengan cara
memperbanyak glutation pada hati, bekerja sebagai pengganti glutation
dan meningkatkan konjugasi sulfat non toksik dari paracetamol. L-sistein
merupakan prekursor antioksidan enzim glutation. Sekitar 4% fraksi
metabolit dari paracetamol dimetabolisme di hati oleh isoenzim CYP2E1
dan sitokrom P450 (CYP) menjadi N-acetyl-p-benzoquinoneimine
(NAPQI) yang merupakan zat yang toksik untuk hepar. Obat ini juga bisa
sebagai mukolitik klasik yang bekerja secara langsung melakukan
depolimerasi glikoprotein musin dengan menghidrolisasi ikatan disulfida
yang menghubungkan monomer musin. Dengan mendepolimerisasi
kompleks mukoprotein dan asam nukleat yang berperan dalam viskositas
mukus, maka mukus dapat mudah dikeluarkan dari saluran napas (Gerry,
K., & Scwalfenberg. 2021). Dosis yang digunakan sesuai dengan yang
telah diterima pasien yaitu 3 x 200 mg.
9. Azithromycin
Azitromisin merupakan antibiotik spektrum sedang yang bersifat
bakteriostatik ( menghambat pertumbuhan kuman). Antibiotik ini bekerja
dengan cara menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan
secara reversibel dengan ribosom subunit 50.13,14,15. Azitromisin tidak
menghambat pembentukan ikatan peptide, namun lebih pada
menghambat proses translokasi tRna dari tempat akseptor di ribosome ke
lokasi donor di peptidi. Azithromycin dengan cepat masuk ke dalam
aliran darah menuju ke jaringan, menembus membran sel bakteri
patogen. Azithromycin terikat pada porsi 23S dari subunit ribosom
bakteri 50S, kemudian mencegah perpindahan aminoacyl-tRNA dan
protein yang berkembang melalui ribosom, sehingga menghambat
sintesis protein bakteri, menghambat pertumbuhan sel dan pada akhirnya
kematian sel bakteri patogen. Pada pemberian oral, azitromisin dapat
diberikan dalam bentuk tablet dengan dosis 250mg dan 500mg untuk
dewasa yang dibagi dalam 1 kali pemberian dalam sehari. Bentuk lainnya
berupa suspensi yang mengandung 200mg/5ml untuk anak yang dibagi
dalam 1 kali pemberian sehari selama 3 hari. Sedangkan pada penderita
uretritis dapat diberikan 1g dosis tunggal perhari (Setyoningsih, H, et al.
2022). Dosis yang digunakan sesuai dengan yang telah diterima pasien
yaitu 1 x 500 mg.
10. Amlodipin
Amlodipine memberikan efek farmakologis sebagai agen
antihipertensi dengan mekanisme kerja Calcium Channel Blocker (CCB).
Amlodipine bekerja dengan cara menghambat ion kalsium masuk ke
dalam vaskularisasi otot polos dan otot jantung sehingga mampu
menurunkan tekanan darah. Selain sebagai agen antihipertensi,
amlodipine juga dapat digunakan untuk pengobatan angina pectoris
dengan cara meningkatkan aliran darah ke otot jantung sehingga mampu
menurunkan tekanan darah.. Selain sebagai agen antihipertensi,
amlodipine juga dapat digunakan untuk pengobatan angina pectoris
dengan cara meningkatkan aliran darah ke otot jantung. Dalam beberapa
sediaan farmasi umumnya amlodipine tersedia dalam bentuk sediaan
tablet dan sering dikombinasikan dengan senyawa anti hipertensi lainnya
seperti golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitory (ACEI) dan
atau dikombinasikan dengan senyawa antihiperlipidemia seperti
golongan statin (Alawiyah, A., & Mutakin. 2015). Dosis yang digunakan
sesuai dengan yang telah diterima pasien yaitu 1 x 10 mg.
11. Candesartan
Candesartan cilexetil adalah antagonis angiotensin II nonpeptida
yang menghambat secara selektif pengikatan angiotensin II pada reseptor
AT1 dalam jaringan seperti otot polos vaskular dan kelenjar adrenal.
Dalam sistem renin-angiotensin, angiotensin I diubah oleh angiotensin-
converting enzyme (ACE) untuk membentuk angiotensin II. Angiotensin
II merangsang korteks adrenal untuk mensintesis dan mengeluarkan
aldosteron, yang menurunkan ekskresi natrium dan meningkatkan
ekskresi kalium. Angiotensin II juga berfungsi sebagai vasokonstriktor di
otot polos vaskular. Dengan menghalangi pengikatan angiotensin II
dengan reseptor AT1, candesartan cilexetil menyebabkan vasodilasi dan
mengurangi efek aldosteron. Pengaturan umpan balik negatif dari
angiotensin II pada sekresi renin juga dihambat, mengakibatkan
peningkatan konsentrasi renin plasma dan berakibat meningkatnya
konsentrasi plasma angiotensin II, tetapi efek tersebut tidak meniadakan
penurunan tekanan darah yang terjadi. Onset terjadi sekitar 2 jam setelah
pemberian dan efek maksimum dapat dicapai dalam waktu 4 minggu
setelah memulai terapi. Dosis awal candesartan cilexetil adalah 4 mg per
had. Dosis dinaikkan sesuai dengan respon pengobatan sampai
maksimum 16 mg sehari. Efek antihipertensi maksimal akan dicapai
dalam waktu 4 minggu setelah pengobatan (Yulanda G, Lisiswanti R. 20
17). Dosis yang digunakan sesuai dengan yang telah diterima pasien
yaitu 1 x 16 mg.
12. Clopidogrel
Clopidogrel merupakan generasi kedua dari golongan
thienopyridine, yang bekerja menghambat Adenosine Diphosphate
(ADP) dengan mengikat reseptor P2Y12 pada permukaan trombosit.
Clopidogrel merupakan prodrug yang dimetabolisme di hepar dan hanya
sekitar 15% saja yang menjadi metabolit aktif. Metabolit aktif
clopidogrel ini akan berikatan secara irreversibel dengan reseptor P2Y12
dalam mencegah aktivasi dan agregasi trombosit yang diinduksi oleh
ADP. Clopidogrel sudah digunakan secara luas. Clopidogrel sangat
bermanfaaat dalam mengobati dan mencegah penyakit terkait trombosis.
Clopidogrel adalah obat untuk mencegah penyumbatan pembuluh darah
dan membantu melancarkan peredaran darah, sehingga obat ini dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke (Inayah, N., Marianti, A. M., Yunus,
A. 2018). Dosis yang digunakan sesuai dengan yang telah diterima
pasien yaitu 1 x 75 mg.
13. Simvastatin
Simvastatin berkaitan dengan farmakodinamiknya, zat aktif
simvastatin memiliki struktur yang mirip dengan HMG-CoA endogen
sehingga dapat mengelabui HMG-CoA reductase untuk berikatan dengan
zat aktif simvastatin. Farmakokinetik simvastatin segera dimulai saat
obat diabsorbsi setelah dikonsumsi peroral. Metabolisme utama
simvastatin terjadi di hati dan akan dieliminasi keluar bersama feses.
Simvastatin sangat bergantung pada bentuk aktifnya berupa bagian
termodifikasi asam dihidroksiglutarat-3,5, yang secara struktur mirip
dengan substrat HMG-CoA endogen dan mevaldyl CoA. Di Dalam
tubuh, bentuk lactone/simvastatin inaktif akan terhidrolisis menjadi
bentuk aktifnya. Zat aktif inilah yang selanjutnya berikatan dengan enzim
3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A (HMG-CoA) reduktase
sehingga menghambat fungsi enzim tersebut dalam mereduksi substrat
HMG-CoA menjadi bentuk mevalonate yang merupakan bagian penting
dalam sintesis kolesterol. Target kerja utama simvastatin adalah di hati.
Akibat penurunan produksi kolesterol hepatal maka tubuh akan
terstimulasi untuk menyerap kembali kolesterol low density lipoprotein
(LDL) yang telah beredar di seluruh tubuh. Di hati, simvastatin juga
menghambat pembentukan very low density lipoprotein (VLDL).
Sehingga terjadi penurunan konsentrasi LDL dan VLDL di plasma darah.
Melalui mekanisme farmakodinamik tadi, simvastatin terbukti dapat
menurunkan kadar LDL serum mulai dari 20% hingga 55%. Dosis
simvastatin yang biasa adalah 5 hingga 40 mg / hari. Dosis awal yang
dianjurkan adalah 10 atau 20 mg sekali sehari di malam hari (Ferry, F.,
Nugraha. 2021). Dosis yang digunakan sesuai dengan yang telah diterima
pasien yaitu 1 x 20 mg.

D. Saran terapi untuk pasien Ny. JM

Tanggal
Obat Dosis Frekuensi
03/04 04/04
IFVD Nacl 0,9% 16 tpm 0,9%/24 jam ✓ -
Lansoprazole Vial 30 mg 30 mg/24 jam ✓ -
Ceftriaxone Vial 1gr 1 gr/24 jam ✓ ✓
Metoklopramide Ampul 10 mg 10 mg/8 jam ✓ ✓
Insulin 3x100
Novorapid 3x12 iu ✓ ✓
iu/Ml
Insulin 3x100
Lantus 0-0-12 iu ✓ ✓
iu/Ml
Paracetamol Tablet 500 mg 3 x 1 tab - ✓
N-acetylcystein Tablet 200 mg 3 x 1 tab - ✓
Azithromycin Tablet 500 mg 1 x 1 tab ✓ ✓
Amlodipin Tablet 10 mg 1 x 1 tab ✓ ✓
Candesartan Tablet 16 mg 1 x 1 tab ✓ ✓
Clopidogrel Tablet 75 mg 1 x 1 tab ✓ ✓
Simvastatin Tablet 20 mg 1 x 1 tab ✓ ✓

E. Terapi yang disarankan saat KRS

Obat Dosis Frekuensi Jumlah


Insulin 3x100
Novorapid 3x12 iu 72 iu
iu/mL
Insulin 3x100
Lantus 0-0-12 iu 24 iu
iu/mL
Azithromycin Tablet 500 mg 1 x 1 tab 2 tab
Amlodipin Tablet 10 mg 1 x 1 tab 2 tab
Candesartan Tablet 16 mg 1 x 1 tab 2 tab
Clopidogrel Tablet 75 mg 1 x 1 tab 1 tab
Simvastatin Tablet 20 mg 1 x 1 tab 2 tab

F. Terapi saat KRS

Obat Dosis Frekuensi Jumlah


Novorapid 3x10 iu - -
Lantus 0-0-10 iu - -
Azithromycin 1 x 1 tab - -
Amlodipin 1 x 1 tab - -
Candesartan 1 x 1 tab - -
Clopidogrel 1 x 1 tab - -
Simvastatin 1 x 1 tab - -

G. KIE

1. Pasien
 Memberikan identitas serta menejelaskan nama obat beserta
komposisinya, lengkap dengan bentuk sediaan serta indikasi
 Memberikan informasi terkait cara penggunaan obat
 Memberikan informasi terapi non farmakologi yang dapat
dilakukan selain dari penggunaan terapi farmakologi
 Memberikan informasi terkait penyimpanan obat
 Hindari faktor yang dapat memicu naiknya tekanan darah seperti
menjaga asupan garam per hari dalam makanan
 Hindari gula dan asupan lemak jenuh
 Perlu menjaga berat badannya di kisaran indeks massa tubuh (IM
T) normal serta berolahraga secara teratur, setidaknya 30 menit sela
ma 3 kali seminggu
 Pasien perlu dimotivasi untuk minum obat secara terus-menerus wa
lau tidak merasa sakit
 Diet yang disarankan pada pasien DM tipe 2 adalah diet dengan ju
mlah kalori per hari sesuai berat badan ideal (BBI) dengan kompos
isi karbohidrat sebesar 45%-65% dan lemak 20-25%
 Program olahraga secara teratur dapat dilakukan 3 sampai 5 hari se
minggu selama 30 sampai 45 menit per latihan, dengan total 150 m
enit per minggu, dengan jeda latihan tidak lebih dari 2 hari berturu
t-turut. Olahraga yang dianjurkan adalah latihan aerobik, seperti jal
an cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
 Mengubah pola makan dengan diet rendah lemak
2. Tenaga Kesehatan
 Pengaturan laju infus IFVD NaCl harus diberikan secara tepat
untuk meminimalisir efek samping infus
 Tanda-tanda hiponatremia dan hipernatremia (lemas dan lelah pada
hiponatremia dan rasa haus yang berlebihan pada hipernatremia)
untuk menentukan titrasi pemberian IFVD NaCl

3. Keluarga pasien

Nama obat Jadwal Jumlah Manfaat Hal yang perlu


digunakan diperhatikan
IFVD Nacl 0,9%/24 Mengganti ▪ Tidak mengatur tetes
0,o9% jam cairan infus sendiri
tubuh yang ▪ Tidak diperkenankan
hilang merubah posisi klem
pengatur infus
Lansoprazol Pagi 30mg/24 Mengatasi ▪ Laporkan jika
jam nyeri pada mengalami reaksi
ulu hati alergi obat dan efek
samping obat
▪ Digunakan sebelum
makan
Metoklopramid Pagi, 10mg/8 Mengatasi ▪ Laporkan jika
e siang dan jam mual dan mengalami reaksi
malam muntah alergi obat dan efek
samping obat
▪ Digunakan sebelum
makan
Ceftriaxone Pagi 1gr/24jam Mengobati ▪ Laporkan jika
infeksi mengalami reaksi
alergi obat dan efek
samping obat
Novorapid Pagi, 3x10iu Mengobati ▪ Laporkan jika
siang dan diabetes mengalami reaksi
malam alergi obat dan efek
samping obat
▪ Digunakan 5-10
menit sebelum makan
atau sesudah makan
▪ Gunakan jarum yang
berbeda setiap kali
menggunakan obat
Lantus Pagi o-o-10iu Mengobati ▪ Laporkan jika
diabetes mengalami reaksi
alergi obat dan efek
samping obat
▪ Digunakan sebelum
makan
▪ Gunakan jarum yang
berbeda setiap kali
menggunakan obat
Parasetamol Pagi, 3x500mg Mengatasi ▪ Laporkan jika
siang dan demam mengalami reaksi
malam alergi obat dan efek
samping obat
▪ Digunakan sesudah
makan

NAC Pagi, 3x200mg Mengatasi ▪ Laporkan jika


siang dan batuk mengalami reaksi
malam alergi obat dan efek
samping obat
▪ Dikonsumsi dengan
makanan atau sesudah
makan
Azithromycin Pagi 1x500mg Mengobati ▪ Laporkan jika
infeksi mengalami reaksi
alergi obat dan efek
samping obat
▪ Digunakan 1 jam
sebelum makan atau 2
jam setelah makan
Amlodipin Malam 1x10mg Mengatasi ▪ Laporkan jika
hipertensi mengalami reaksi
alergi obat dan efek
samping obat
▪ Setelah
menggunakan
amlodipin akan
merasakan pusing
sehingga disarankan
untuk tidak melakukan
kegiatan yang
membutuhkan
kewaspadaan
▪ Dikonsumsi dengan
makanan atau sesudah
makan
Candesartan Pagi 1x16mg Mengatasi ▪ Laporkan jika
hipertensi mengalami reaksi
alergi obat dan efek
samping obat
▪ Dapat diminum
sebelum dan sesudah
makan
Simvastatin Malam 1x20mg Mengobati ▪ Laporkan jika
kolesterol mengalami reaksi
alergi obat dan efek
samping obat
▪ Dapat diminum
dengan atau tanpa
makanan
Clopidogrel Pagi 1x75mg Mengobati ▪ Laporkan jika
PJK mengalami reaksi
alergi obat dan efek
samping obat
▪ Dapat diminum
sebelum, saat atau
sesudah makan

4. Monitoring

Nama Obat Monitoring Target keberhasilan

Keberhasilan ESO
NaCl Natrium Sesak napas, dada Kadar natrium pasien
terasa tertekan normal dan kebutuhan
dan mulut kering cairan terpenuhi
Lansoprazol Nyeri di ulu Mual, perut Nyeri berkurang
hati kembung, sakit setelah pemakaian
perut, sembelit lansoprazol
atau malah diare,
sakit kepala dan
pusing
Metoklopramide Mual dan Kantuk, sakit Mual dan muntah tidak
muntah kepala, pusing, terjadi lagi pada pasien
diare, lelah, sulit
tidur, dan cemas
Ceftriaxone Infeksi Bengkak, Kadar leukosit menjadi
kemerahan, normal yaitu diantara
pusing, diare, 4,0-10,5 ribu/ui
ruam kulit,
keringat berlebih,
dan kantuk
Novorapid Diabetes Hipoglikemia dan GDS dan HBA1C
reaksi anafilaksis menjadi normal, GDS
<200 dan HBA1C
antara 4,0-6,9
Lantus Diabetes Hipoglikemia, GDS dan HBA1C
reaksi alergi, menjadi normal, GDS
lipodistropi, <200 dan HBA1C
ruam, pruritus, antara 4,0-6,9
edema dan
penambahan berat
badan
Parasetamol Demam Sakit perut, mual Demam tidak muncul
dan muntah kembali
NAC Batuk Mual dan muntah, Batuk tidak muncul
sakit maag, dan kembali
ruam kulit
Azithromycin Infeksi Sakit kepala, Kadar leukosit menjadi
kehilangan selera normal yaitu diantara
makan, kelelahan 4,0-10,5 ribu/ui
dan diare
Amlodipin Hipertensi Kantuk, pusing, Tekanan darah kembali
lelah, sakit perut, normal dibawah 140/90
kulit wajah atau
leher memerah
Candesartan Hipertensi Sakit kepala, Tekanan darah kembali
nyeri punggung, normal dibawah 140/90
pusing, batuk,
bersin, hidung
tersumbat dan
ruam kulit
Simvastatin Kolesterol Sembelit, sakit Kolesterol kembali
perut, sakit normal dibawah
kepala, hidung 200mg/dl
tersumbat, bersin
atau sakit
tenggorokan
Clopidogrel PJK Diare, nyeri perut, Serangan jantung tidak
mudah muncul kembali
mengalami mema
atau pendarahan,
perdarahan sulit
berhenti,
heartburn, nyeri
perut
C. PEMBAHASAN

Ny. JM dengan umur 60 Tahun datang ke RS tanggal 3 April


2023 dengan keluhan Mual muntah >5x disertai nafsu makan menur
un, nyeri ulu hati, nyeri perut, nyeri pinggang, demam dan pusing, di
sertai batuk kering. Riwayat pasien sebelumnya yaitu DM Tipe II
dan Hipertensi. Diagnosa dokter adalah nursea voamite + dyspepsia,
CAP, PJK, dislipidemia, dan gastric problem. Obat yang digunakan
lansoprazole 30mg/24 jam iv, ceftriaxone 1gr/24 jam iv,
metoklopramide 10mg/8 jam iv, novorapid 3x10 iu sc, lantus o-o-10
iu sc, paracetamol 3x500mg, NAC 3x200mg, azithromycin
1x500mg, amlodipin 1x10mg, candesartan 1x16mg, clopidogrel
1x75mg, simvastatin 1x20mg.
Pada saat MRS pasien memiliki data pemeriksaan klinik
sebagai berikut: pada tanggal 3 sampai tanggal 4 pernafasan pasien
tetap normal. Pada tanggal 3 nadi pasien mengalami peningkatan
sehingga menimbulkan aritmia, aritmia terjadi ketika impuls listrik
yang berfungsi mengatur detak jantung tidak bekerja dengan baik,
tanggal 4 nadi pasien kembali normal. Kemudian Pada tanggal 3-4
pasien mengalami kenaikan tekanan darah yang dari nilai normalnya
110/80 mmHg, sehingga pasien mengalami hipertensi.
Pada saat MRS pasien memiliki data pemeriksaan lab sebagai
berikut : data lab ini menunjukan Pada tanggal 3 nilai HBA IC
mengalami kenaikan semakin tinggi jumlah HbA1c berarti semakin
banyak hemoglobin yang berikatan dengan glukosa, dan ini
menandakan bahwa gula darah tinggi. Jika jumlah HbA1c melebihi
8% kemungkinan pasien mengalami Diabetes Mellitus yang tidak
terkontrol. Pada tanggal 3 leukosit dan neutrofil pasien mengalami
peningkatan sedangkan esionofil dan limfosit menurun yang berarti
indikator tubuh pasien terserang infeksi. Pada tanggal 3 nilai RDW-
CV menagalami penurunan yang mana hal ini menandakan volume
sel darah merah rendah. Pada tanggal 3 nilai natrium pada tubuh
pasien menurun yang menandakan pasien mengalami hiponatremia.
Diagnosis yang dokter berikan berupa Diabetes melitus (DM) dise
babkan oleh gangguan metabolisme yang terjadi pada organ pankrea
s yang ditandai dengan peningkatan gula darah atau sering disebut de
ngan kondisi hiperglikemia yang disebabkan karena menurunnya ju
mlah insulin dari pankreas. Penyakit DM dapat menimbulkan berbag
ai komplikasi baik makrovaskuler maupun mikrovaskuler. Penyakit
DM dapat mengakibatkan gangguan kardiovaskular yang dimana me
rupakan penyakit yang terbilang cukup serius jika tidak secepatnya d
iberikan penanganan sehingga mampu meningkatkan penyakit hipert
ensi dan infark jantung (Saputri, 2016). Pasien diberikan Lantus
adalah Jenis Insulin dengan masa kerja panjang (long acting) sekira
24 jam. Itulah mengapa Lantus biasanya diberikan hanya 1x sehari.
Karena sekali disuntikkan akan bekerja seharian.serta Novorapid
adalah jenis insulin Short Acting atau masa kerja pendek. Itulah
mengapa penggunaan pada umumnya adalah disuntikan 3x sehari
sekitar 10-15 menit sebelum jam makan rutin. Misalnya sebelum
sarapan, sebelum makan siang ataupun sebelum makan malam.
Karena insulin jenis ini bekerja hanya dalam jangka waktu 4-6 jam.
Tujuan pemberian adalah untuk mengatasi lonjakan atau banjiran
kadar gula darah yg meningkat drastis.
Penyakit jantung koroner (PJK). Penyakit jantung koroner
(PJK) merupakan keadaaan arteri koroner yang menyempit dan
tersumbat, sehingga menyebabkan aliran darah ke area jantung yang
disuplai arteri tersebut berkurang. Penyakit jantung koroner terjadi
ketika arteri yang mensuplai darah untuk dinding jantung mengalami
pengerasan dan penyempitan Pada penyakit ini diberikan terapi obat
berupa clopidogrel 1x75mg secara oral.
Hipertensi disebabkan oleh dua penyebab yakni, hipertensi
primer dan hipertensi sekunder. Hipertesi primer merupakan
penyebab hipertensi terbanyak, yakni sekitar 95% dari seluruh
penyebab hipertensi Sekitar 5% dari seluruh penyakit hipertensi
merupakan hipertensi sekunder (Kadir, 2016). Hipertensi primer
adalah hipertensi dimana etiologinya tidak diketahui (Yulanda.
2017). Sedangkan hipertensi sekunder terjadi dari proses penyakit
lain, seperti penyakit parenkim ginjal atau aldosteronisme primer.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi adalah jenis kelamin,
umur,genetik, kurang olahraga, stress, obesitas, pola asupan garam,
dan kebiasaan merokok dan meminum alcohol (Zheng, 2020). Pasien
diabetes mellitus dengan hipertensi dapat mengalami penurunan
kualitas hidupnya, karena keduanya mempunyai efek negatif pada
kemampuan aktivitas fisik. Resiko mikroalbuminuria juga meningkat
pada pasien diabetes mellitus dengan hipertensi. Sehingga pasien
diberikan obat antihipertensi kombinasi amlodipin-candesartan,
Kombinasi antara CCB- ARB digunakan untuk mencegah terjadinya
diabetes nefropati pada pasien diabetes mellitus dan hipertensi.
Kombinasi kedua golongan obat tersebut baik digunakan untuk
pasien diabetes mellitus dengan penyakit penyerta hipertensi karena
ARB dan CCB termasuk obat pilihan pertama yang dianjurkan.
Kedua obat tersebut dapat memberikan efek sinergis dengan
menargetkan dua jalur efek terutama melalui mekanisme berbeda
untuk menurunkan tekanan darah.
Nausea voamite + dyspepsia adalah gejala yang biasa ditemui
dengan daftar kemungkinan penyebab yang luas. Ini telah
didefinisikan sebagai 'perasaan subyektif tanpa rasa sakit yang tidak
menyenangkan bahwa seseorang akan segera muntah' (Hasler dan
Chey 2003). Pasien diberikan injeksi metoklopramide 10mg/8jam.
CAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi pada
pasien yang tidak mendapatkan perawatan inap di rumah sakit atau
fasilitas perawatan inap jangka panjang (panti) setidaknya lebih dari
14 hari sebelum mulai munculnya tanda dan gejala tersebut.
Diagnosis CAP yaitu berdasarkan adanya gejala klinik dan didukung
gambaran radiologis paru (radiografi thoraks).
Dislipidemia merupakan abnormalitas metabolisme lipid;
dapat berupa salah satu ataupun kombinasi tingginya kadar LDL-c,
trigliserida, dan/atau HDL-c (Anagnostis,2018). ASCVD merupakan
proses inflamasi kompleks ditandai dengan peningkatan inflamasi,
akumulasi lipid pada dinding vaskular, dan penyempitan lumen arteri
(Aman, 2019). Pasien diberikan simvastatin 1x16mg secara oral.
D. KESIMPULAN

1. Beberapa DRP yang terjadi pada kasus diantaranya interaksi obat dan
dosis yang tidak sesuai, yakni Insulin vs Candesartan, candesartan dapat
meningkatkan efek insulin maka disarankan monitoring gula darah. Dosis
novorapid yang digunakan tidak sesuai dengan yang telah diterima pasien
yaitu 3 x 10 iu dimana dosis sesuai literatur adalah 35 iu- 70 iu/ hari (BB
70 Kg). Dosis yang digunakan tidak sesuai dengan yang telah diterima
pasien yaitu 1 x 10 iu dimana dosis sesuai literatur adalah 12 iu - 24 iu/
hari (BB 70 Kg).
2. Penatalaksanaan terapi yang diberikan yaitu infus NaCl mengobati
hiponatremia, Lansoprazole untuk mengobati nyeri pada ulu hati,
Metoklopramide untuk mengobati mual dan muntah, Ceftriaxone dan
Azithromycin untuk mengobati infeksi, Novorapid dan Lantus untuk
mengobati diabetes, Parasetamol untuk mengobati demam, NAC untuk
mengobati batuk, Amlodipin dan Candesartan untuk mengatasi hipertensi,
Simvastatin untuk mengatasi kolesterol dan Clopidogrel untuk mengobati
penyakit jantung koroner.
3. Terapi non farmakologi yang dilakukan yaitu: Merubah gaya hidup, misal
berhenti merokok, Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL yang
memperbaiki koroner pada penderita penyakit jantung darah karena
memperbaiki fungsi paru-paru dan memperbanyak 02 masuk kedalam
miokard menurunkan tekanan darah. Diet dapat menurunkan kadar
hiperglikemia.
DAFTAR PUSTAKA

Ahdi, I. R., & Sasiarini, L. 2022. Hiperglikemia Pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 1 dan 2: Laporan Kasus. Journal of Islamic Medicine, 6(1).

Alawiyah, A., & Mutakin. 2015. Analisis Amlodipin Dalam Plasma Darah dan
Sediaan Farmasi. Jurnal Farmaka, 15(3).

Aman A, Soewondo P, Soelistijo S. 2019. Pedoman pengelolaan dislipidemia di In


donesia 2019. PB PERKENI.

Amrina Rosyada, I.T. 2013. Determinan komplikasi kronik diabetes melitus pada l
anjut usia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. vol. 7(9): 395- 401.

Anagnostis P, Paschou SA, Goulis DG, Athyros VG, Karagiannis A. 2018. Dietary
management of dyslipidaemias. Is there any evidence for cardiovascular b
enefit? Maturitas.;108:45-52.

Anggriani LM. 2016. Deskripsi Kejadian Hipertensi Warga RT 05/ RW 02 Tanah


Kali Kedinding Surabaya. Jurnal Promkes; 4(2):151-164 22.

Bataha, R.G. 2016. Hubungan antara perilaku olahraga dengan kadar gula darah p
enderita diabetes melitus di wilayah kerja Puskesmas Wolang. ejournal Ke
perawatan. vol. 4(1): 1-7.

Cabezas MC, Burggraaf B, Klop B. 2018. Dyslipidemias in clinical practice. Clini


ca Chimica Acta.;487:117-25.

Chepyala P., Olden K. 2008. Mual dan muntah . Curr Treat Options Gastroentero
l 11 : 135–144.

Chobaniam AV. 2013. Seventh report of the joint national committee on preventio
n, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. J Am Med
Assoc; 289:2560-72.

Dwiutama, A., & Darusman, F. 2022. Kajian Pengobatan Gastroesophageal


Reflux Disease (GERD). Pharmacy. 2(2).

Fera Sartika, N.H. 2019. Kadar HbA1c pada pasien wanita penderita diabetes mell
itus tipe 2 di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Borneo Journal Of
Medical Laboratory Technology. vol. 2(1): 97-101. Jurnal Ilmiah Farmasi,
3(1).

Gerry, K., & Scwalfenberg. 2021. N-AcetylCysteine: A Revie of Clinical


Usefulness. Journal of Nutrition and Metabolism.

Goodman and Gilman, 2012. Dasar Farmakologi Terapi Edisi 10. Diterjemahkan
Oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.

Hasler W., Chey W. 2003. Mual dan muntah . Gastroenterologi 125: 1860–1867.

Inayah, N., Marianti, A. M., Yunus, A. 2018. Analisis Efektivitas dan Efek
Samping Penggunaan Clopidogrel Tunggal dan Clopidogrel-Aspilet Pada
Pasien Stroke Iskemik di RSUD Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar,
Majalah Farmasi dan Farmakologi.

Kadir A. 2016. Hubungan Patofisiologi Hipertensi Primer dan Hipertensi Renal. J


urnal Ilmiah Kedokteran.; 5(1) :15-25

Kementrian Kesehatan. 2010) Petunjuk Teknis Pengukuran Faktor Risiko Diabete


s Mellitus. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. 2011. (ed
s.) Harrison’s principles of internal medicine. Edisi ke18. New York: Mc G
raw Hill;. 23.

Mach F, Baigent C, Catapano AL, Koskinas KC, Casula M. 2020 ESC/EAS guidel
ines for the management of dyslipidaemias: lipid modification to reduce ca
rdiovascular risk: the Task Force for the management of dyslipidaemias of
the European Society of Cardiology (ESC) and European Atherosclerosis
Society (EAS). European Heart Journal;41(1):111-88.

Manutung A. 2018. Terapi Perilaku Kognitif pada Pasien Hipertensi. Malang : Wi


neka Media; 5.

Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, Kronenberg HM. 2015. Williams textbook o
f endocrinology. Elsevier Health Sciences.
Muliani, E.L. 2015. Penggunaan obat tradisional oleh penderita diabetes mellitus
dan faktor-faktor yang berhubungan di wilayah kerja Puskesmas Rejosari
Pekanbaru Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Komunitas. vol. 3(1): 47-52.

Mulley G. 2016. A History of geriatrics and gerontology. European Geriatric Medi


cine.;3(4):225-7.

Nuraini B. 2015. Risko Factors of Hypertension. J Majority. 4 (5) : 10-19

Oktaviano YH, Subagjo A, Lefi A, Putra RM, editors. 2020. Transforming global
cardiovascular health through collaboration facing future challenge and in
ovations: Proceeding of 11th Surabaya Cardiology Update in Conjunction
with Continuing Medical Education XXII; 2020 December 18-20; Surabay
a, Indonesia: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

Onwe P, Folawiyo M, Anyigor-Ogah C, Umahi G, Okorocha A, Afoke A. 2015. H


yperlipidemia: Etiology and possible control. Dent Med Sci.;14(10):93-10
0.

Ozougwu, J.C., Obimba, K.C., Belonwu, C.D., & Unakalamba, C.B. 2013. The pa
thogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Jou
rnal of Physiology and Pathophysiology. vol. 4(4): 6-14. doi: 10.5897/JPA
P2013.0001 ISSN 2I41-260X.

PERKENI, 2021. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Type 2


di Indonesia. In Perkeni.

Raggi P, Genest J, Giles JT, Rayner KJ, Dwivedi G, Beanlands RS. 2018. Role of
inflammation in the pathogenesis of atherosclerosis and therapeutic interve
ntions. Atherosclerosis.;276:98-108. 2.

Ratnasari, N.I. 2018. Faktor risiko mempengaruhi kejadian diabetes mellitus tipe
dua. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan Aisyiyah. vol. 14(1): 59-68. Roy
Taylor, M.F. 2013. Etiology and reversibility. Journal Diabetes Care. vol. 3
6: 1-12.
Sapitri N, Suyanto, Butar-Butar WE. 2016. Analisis Faktor Risiko Kejadian Hipert
ensi pada Masyarakat di Pesisir Sungai Siak Kecamatan Rumbai Kota Pek
anbaru. Jom Fk.; 3(1):1- 15 21.

Sendika Widi Saputri, A.N. 2016. Studi Pengobatan diabetes melitus tipe 2 denga
n komplikasi hipertensi di instalasi rawat jalan RSU dr. H. Koesnadi Bond
owoso Periode Tahun 2014. Jurnal Pustaka kesehatan. vol. 4(3): 479-483

Setyoningsih, H, et al. 2022. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pada Pasien


Diabete Melitus Dengan Ulkus Diabetikum Berdasarkan Metode
GYSSENS di Rumah Sakit Islam Kudus. Cendekia Jurnal Of Pharmacy.
6(2).

Sihotang, H.T. 2017. Perancangan aplikasi sistem pakar diagnosa diabetes dengan
metode Bayes. Jurnal Mantik Penusa. vol. 1(1): 36-41.

Simatupang, R. 2017. Pengaruh pendidikan kesehatan melalui media leaflet tentan


g diet DM terhadap pengetahuan pasien DMDI RSUD Pandan Kabupaten
Tapanuli Tengah Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Kohesi. vol. 1(2): 163-174.

Stern R. 2002. Psikofisiologi mual . Acta Biol Hung 53 : 589–599.

Stern R., Koch K., Andrews P. 2011. Mual: mekanisme dan manajemen . New Yor
k: Oxford University Press.

Suiraoka. 2012. Penyakit Degeneratif. Yogyakarta: Nuha Medika.

Trisnawati, K,T., Soedijono, S. 2012. Faktor risiko kejadian diabetes melitus tipe I
I di puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Jurnal Il
miah Kesehatan. vol. 5(1): 6-11.

Verma N. 2016. Introduction to hyperlipidemia and its treatment: A review. Int J C


urr Pharm Res.;9(1):6-14.

Wayan Ardana Putra, K.N. 2015. Empat pilar penatalaksanaanpasien diabetes mell
itus Tipe 2. Majority. vol. 4(9): 8-12.

Widodo, F.Y. 2014. Pemantauan penderita diabetes mellitus. Jurnal Ilmiah Kedokt
eran. vol. 3(2): 55- 89
Yulanda G, Lisiswanti R. 2017. Penatalaksanaan Hipertensi Primer. Majority ; 6
(1) :25-33

Zheng Y, Ning C, Zhang X, et al. 2020. Association Between ALDH-2 rs671 and
Essential Hypertension Risk or Blood Pressure Levels: A Systematic Revie
w and Meta-Analysis. Front Genet; 11 (685) :1-12 20.
LAMPIRAN

Foto Keterangan
Diskusi kasus

Presentasi Kasus

Anda mungkin juga menyukai