Disusun Oleh :
Anggita Pramudianti
P1337420922151
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit tidak menular yang prevalensi semakin
meningkat dari tahun ke tahun, penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi dan dapat timbul secara
perlahan, sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang lebih
banyak, buang air kecil ataupun berat badan yang menurun. Pada tahun 2000, lebih dari 100 juta
penduduk di dunia menderita diabetes mellitus.dan pada tahun 2010 jumlahnya meningkat
menjadi 150 juta yang merupakan 6 % dari populasi dewasa (Amiruddin,2012).
Pada penderita diabetes mellitus terdapat penurunan dalam kemampuan tubuh untuk
berespon terhadap insulin atau penurunan dan tidak terdapatnya pembentukan insulin oleh
pankreas. Kondisi ini mengarah pada hiperglikemia, hiperglikemia jangka panjang dapat
menunjang terjadinya komplikasi mikrovaskuler kronis (penyakit ginjal dan mata) serta
komplikasi neuropati seperti ulkus diabetikum (Boughman & Hackley, 2010).
Penderita diabetes mellitus diharapkan dapat lebih mematuhi dalam pengontrolan gula
darah, sehingga dapat mencegah komplikasi lebih lanjut. Kepatuhan pada penderita diabetes
mellitus diidentifikasi berdasarkan kelas sosial-ekonomi, pendidikan, umur, dan jenis kelamin.
Peningkatan kasus DM yang merupakan penyakit degeneratif akan menambah beban pemerintah
Penanganan diabetes mellitus bisa dilakukan dengan berbagai cara mulai dari penanganan medis,
non medis hingga bahan-bahan herbal. Perlunya pencegahan dan pengendalian yang harus
dilakukan oleh penderita DM. Dalam mengendalikan DM diperlukannya empat pilar penyangga
yang mendukung, yaitu edukasi, diet, olahraga, dan obat (Novitasari, 2012).
Banyak penderita DM yang lebih fokus dan hanya mengutamakan pada penanganan diet, dan
mengonsumsi obat–obatan. Namun penanganan diet yang teratur belum menjamin akan
terkontrolnya kadar gula darah, akan tetapi hal ini harus diimbangi dengan latihan fisik atau
senam yang sesuai (Sinaga, 2012).
Latihan jasmani atau senam selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan
dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah (Sugondo
et al, 2009). Terapi untuk mengontrol serta menurunkan kadar gula darah diharapkan setiap
minggu melakukan latihan jasmani secara rutin. Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali setiap
minggu selama 30 sampai 60 menit. Latihan jasmani yang terprogram dapat menurunkan kadar
glukosa darah memperbaiki kepekaan dan menambah jumlah reseptor insulin, dapat menurunkan
resistensi insulin.
Dalam Jurnal Keperawatan yang berjudul “Pengaruh Senam Diabetes Melitus Terhadap Kadar
Gula Darah Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Sanggar Senam Persadia Kabupaten
Gorontalo” mengatakan bahwa Upaya penanganan pada pasien diabetes melitus
sekaligus juga pencegahan terjadinya komplikasi adalah melakukan upaya pengendalian
DM yang salah satu teraturnya pasien DM dalam melakukan aktifitas berolahraga.
Dengan berolahraga diharapkan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga dapat
memperbaiki kadar gula dalam darah. Aktifitas fisik yang juga sering dianjurkan adalah senam
diabetes melitus.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda-
tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut
ataupun kronik, sebagai akibat dari kurangnya insulin efektif didalam tubuh, gangguan
primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai gangguan
metabolisme lemak dan protein (Aspiani, 2014).
Faktor utama pada diabetes ialah insulin. Suatu hormon yang dihasilkan oleh kelompok
sel beta di pankreas. Insulin memberi sinyal kepada sel tubuh agar menyerap glukosa.
Insulin, bekerja dengan hormon pankreas lain yang disebut glukagon, juga
mengendalikan jumlah glukosa dalam darah. Apabila tubuh menghasilkan terlampau
sedikit insulin atau jika sel tubuh tidak menanggapi insulin dengan tepat terjadilah
diabetes (Setiabudi, 2008).
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh pankreas, mengendalikan kadar
glukosa dalam darah dalam mengatur produksi dan penyimpanannya (Aspiani, 2014).
B. Etiologi
Diabetes melitus mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat
menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan
penting pada mayoritas diabetes melitus, faktor penyebab Diabetes Melitus adalah :
1. Kelainan sel beta pancreas menyebabkan hilangnya sel beta dan kegagalan sel beta
melepas insulin
2. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang
dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang
diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan
3. Ganguan sistem imunitas, sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai
pembentukan sel-sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan sel beta oleh virus
4. Kelainan Insulin, pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap
insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membrane sel yang
responsir terhadap insulin
C. Patofisiologi
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi
resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat
peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi
akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat
dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan
ciri khas diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat
untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena
itu , ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II (Corwin, 2009).
D. Manifestasi Klinis
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tidak
selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi
kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui
urin bila glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu
seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM
mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat. DM pada lansia
umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas
seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau
kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan
inkontinensia urin).
1. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel
menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti
menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler,
aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya
akan terjadi diuresis osmotic (poliuria).
2. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan
penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari
dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan
seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia).
3. Polyphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka
produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka
reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia).
4. Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan cairan dan
tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut,
sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan penurunan secara
otomatis (Burduly, 2009).
E. Penatalaksanaan
1. Jika pasien mengalami obesitas maka dietnya mengurangi kalori sampai berat badan
menurun
2. Untuk mencegah hiperglikemia post prandial dan glukosuria pasien Diabetik tidak
boleh makan karbohidrat berlebihan
3. Memeriksa semua makanan esensial (Vitamin, mineral)
4. Latihan pada diabetes melitus seperti:
5. Gunakan alas kaki yang tepat, bila perlu alat pelindung kaki lainnya.
6. Hindari dalam udara yang sangat panas dan dingin
BAB III
METODE PENULISAN
A. KESIMPULAN
Perawatan pasien diabetes melitus dengan gangguan kesemutan dapat diatasi salah
satunya dengan memberikan penerapan senam kaki, tujuan dilakukan intervensi ini
yaitu menstimulasi sistem persyarafan parasimpatis.
B. Saran
Berdasarkan implementasi yang dilakukan oleh Ny. S dengan penerapan senam kaki
dapat mengatasi penurunan glukosa dan kesemutan pada pasien yang mengalami
diabetes melitus, sehingga kami merekomendasikan bahwa senam kaku dapat
dimplementasikan pada pasien diabetes melitus yang mengalami kesemutan.
DAFTAR PUSTAKA
Arnaud, M.J. (2003). Mild dehydration: A risk factor of constipation? European Journal of
constipation? European Journal of Clinical Nutrition, 57 (2), 588–595.
Ginting, D. B., Waluyo, A., & Sukmarini, L. (2015). MENGATASI KONSTIPASI PASIEN STROKE
DENGAN MASASE ABDOMEN DAN MINUM AIR PUTIH HANGAT. 18(1), 23–30.
Gofir, A. (2009). Manajemen stroke: Evidence based medicine. Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press.
Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2006). Buku ajar fisiologi kedokteran (edisi 9) (Irawati Setiawan,
penerjemah). Jakarta: EGC.
Hamidin, A. (2012). Keampuhan terapi air putih: Untuk penyembuhan, diet, kehamilan dan
kecantikan. Yogyakarta: Media Presindo
Mckay, S.L., Fravel, M., & Scanlon, C. (2012). Evidence-based practice guildeline: management of
constipation. Gerontology nursing, 38 (7), 9–15. Journal of Gerontological Nursing. Diperoleh
dari http://www.healio.com/nursing/journals/jg
Mevita, D., & Maulidta. (2020). PENERAPAN MASSASE ABDOMEN UNTUK MENGATASI
KONSTIPASI PADA PASIEN STROKE NON HAEMORAGIK DI RSUD ADHYATMA
SEMARANG. Jurnal Manajemen Asuhan Keperawatan Vol., 4(2), 79–84.
Rantesigi, N. (2019). PENERAPAN MASSAGE ABDOMEN DAN MINUM AIR PUTIH HANGAT
UNTUK STROKE DI RSUD POSO. Jurnal Ilmu Kesehatan, 13(2), 91–95.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2008). Brunner & Suddarth: Textbook of medical surgical nursing.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.