Disusun Oleh:
Diserahkan pada :
Hari : Sabtu
2. Etiologi
Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) atau diabetes mellitus
tergantung insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel P dan pulau
lagerhans akibat proses autoimun DM tipe 1 ini biasanya ditandai oleh
awitan mendadak yang terjadi pada segala usia, tetapi biasanya usia muda
(<30 tahun). Sedangkan Non-insulin dependent diabetes mellitus
(NIDDM) disebabkan oleh karena kegagalan relative sel P dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel P tidak mampu
mengimbangi resistensi ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relative
insulin. Ketidak kemampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa Bersama
bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel P pancreas mengalami
desintisasi terhadap glukosa (Marunung, 2018).
3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi metabolic
defisiensi insulin (Nurarif & Kusuma, 2015).
a. Kadar glukosa puasa tidak normal
b. Hiperglikemia berat akibat glucosuria yang akan terjadi diereis
osmotic yang meningkatkan pengeluaran urin (polyuria) dan timbul
rasa haus (polydipsia)
c. Rasa lapar yang semakin besar (polyfagia), BB berkurang
d. Lelah dan mengantuk
e. Gejala lain yang dikeluhkan adalah kesemutan, gatal, mata kabur,
impotensi, peruritas vulva
4. Patofisiologi dan Pathway
1. Patofisiologi
Sebagian besar bagian patologik dari DM dapat dihubungkan dengan
salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut: berkurangnya
pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya
konsentrasi glukosa darah setinggi 300-1200 mg/dl.
Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang
menyebabkan terjadinya metabolism lemak yang abnormal disertai
dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah dan akibat dari
berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi
sesudah makan. Pada hiperglikemia yang parah yang melebihi ambang
ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160-180 mg/100ml),
akan timbul glikosuria karena tubulus-tubulus renalis tidak dapat
menyerap Kembali semua glukosa. Glucosuria ini akan mengakibatkan
diuresis osmotic yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium,
klorida, potassium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi
dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar pada urine maka pasien
akan mengalami keseimbangan protein negative dan berat badan menurun
serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau
kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat Lelah dan mengantuk
yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga
berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi (Marunung, 2018).
Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis,
penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer ini akan
memudahkan terjadinya gangrene (Marunung, 2018).
2. Pathway/Penyimpangan KDM
5. Pemeriksaan Diagnostik
1. Kadar glukosa darah
2. Kriteria diagnostic WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya dua
kali pemeriksaan:
a. Glukosa plasma sewaktu >200mg/dl(11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140mg/dl(7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) >200
mg/dl)
3. Tes laboratorium DM
Jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring, terdiagnostik, tes
pemantauan, terapi dan tes untuk mendeteksi komplikasi
4. Tes saring
Tes-tes saring pada DM adalah:
a. GDP/GDS
b. Tes glukosa urin:
a) Tes konvensional (metode reduksi/benedict)
b) Tes Tarik celup (metode glucose exidase/hexokinase)
5. Tes diagnostic
Tes-tes diagnostic pada DM adalah: GDP<GDS, GD2PP (glukosa
darah 2 jam Post Prandial), Glukosa jam ke-2 TTGO
6. Tes monitoring terapi
Tes-tes monitoring terapi DM adalah:
a. GDP: plasma vena, darah kapiler
b. GD2PP: plasma vena
c. Alc: darah vena, darah kapiler
7. Tes untuk mendeteksi komplikasi
Tes-tes untuk mendeteksi komplikasi adalah:
a. Mikroalbuminuria: urin
b. Ureum, kreatinin, asam urat
c. Kolesterol total: plasma vena (puasa)
d. Kolesterol LDL: plasma vena (puasa)
e. Kolesterol HDL: plasma vena (puasa)
f. Trigliserida: plasma vena (puasa)
6. Penatalaksanaan Medic
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia atau Perkeni tahun
2015, terdapat 4 pilar dalam pelaksanaan DM tipe 2 yaitu edukasi, terapi
gizi medis, Latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Pada segi
edukasi seperti memberikan pengetahuan pemantauan glukosa mandiri.
Pada segi terapi gizi medis seperti pengaturan makan yang benar dan tepat
baik dalam hal jadwal, jenis serta jumlah makanan. Pada segi Latihan
jasmani, melakukan latihan sekitar 3-4 kali dalam seminggu dengan
durasi kurang lebih 30 menit. Intervensi farmakologis dilakukan apabila
sasaran glukosa darah belum tercapai (Soelistijo et ak, 2019).
Intervensi farmakalogis yang diberikan dapat berbentuk oral maupun
suntikan (Soelistijo et ak, 2019).
a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi lima golongan,
yaitu:
1. Pemicu sekresi insulin
a) Sulfonylurea Mekanisme aksi sulfonylurea adalah
meningkatkan sekresi insulin endogen dengan cara
berikatan dengan reseptor sulfonylurea spesifik pada sel
P pangkreas. Sulfonylurea yaitu mampu menurunkan
kadar A1C sekitar 0,8%. Contoh obat golongan
sulfonylurea yaitu glibenklamid, klorpropamid,
glimepirid, dan gliburid. Efek samping dari golongan
sulfonylurea adalah hipoglikemia, ruam, diare, muntah
(Harper et ak., 2013)
b) Glinid, glinid memiliki mekanisme aksi yang sama
dengan golongan sulfonylurea yaitu meningkatkan
sekresi insulin. Glinid mampu menurunkan nilaiA1C
sekitar 0,7%. Contoh obat golongan ini adalah
repaglinide dan nateglinid. Efek samping hipoglikemia
golongan glinid lebih ringan daripada sulfonylurea
karena durasinya pendek (Harper et ak., 2013)
2. Meningkatkan sensitivitas terhadap reseptor insulin
Tiazolidindion Mekanisme aksi golongan tiazolidindion
adalah meningkatkan sensitivitas reseptor insulin dijaringan dan
hati dengan berikatan pada peroxisome proliterative activated
receptor gamma (PPAR). Tiazolidindion mampu menurunkan
nilai A1C sekitar 0,8%. Contoh obat golongan ini adalah
pioglitazone. Efek samping umum golongan tiazolidindion
yaitu gagal jantung, patah tulang, dan retensi cairan (Harper et
ak., 2013).
3. Menghambat gluconeogenesis
Biguanid Mekanisme aksi golongan biguanid adalah
mengurangi produksi glukosa hati atau disebut
gluconeogenesis. Contoh obat golongan ini yaitu metformin.
Golongan obat ini dikontraindikasikan pada pasien DM tipe 2
yang mengalami gangguan ginjal dengan nilai
GFR<30mL/menit dan gangguan hati. Metformin biasanya
diresepkan untuk pasien DM tipe 2 yang mengalami obesitas.
Metformin mampu menurunkan nilai A1C sekitar 1,0-1,5%.
Efek samping metformin adalah gangguan gastrointestinal
seperti diare dan kram perut. Selain itu, metformin juga
menyebabkan mual sehingga diberikan pada saat makan atau
sesudah makan (Harper et ak., 2013).
4. Penghambat absorbs glukosa: penghambatan alfa glukosidae
mekanisme aksi golongan ini adalah mengurangi absorbsi
glukosa di usus halus. Contoh obatnya yaitu acarbose. Acarbose
mampu menurunkan nila A1c sebesar 0,6%. Efek samping yang
sering terjadi adalah kembung dan flatulens (Soelistijo et al.,
2019).
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian Fokus Keperawatan
a. Identitas Umum:
Nama pasien, usia pasien, jenis kelamin, agama, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, alamat tempat tinggal, suku, bangsa.
b. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan Utama:
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas
pasien mungkin berbau aseton pemapasan kussmaul, poliluri
polidipsi, penglihatan yang kabur, kelemahan, dan sakit kepala.
b) Riwayat Kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit, penyebab terjadinya
penyakit, serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita
untuki mengatasinya.
c) Riwayat Kesehatan dahulu
Adanya Riwayat penyakit DM atau penyakit-penyakit lain yang
ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit
pancreas. Adanya Riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun
arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun
obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
d) Riwayat Kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota
keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan
yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin missal
hipertensi, jantung.
e) Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang
dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta
tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.
c. Pemeriksaan fisik
1. Status Kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan,
berat badan, dan tanda-tanda vital.
2. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada
leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan
pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental,
gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah
penglihatan kabur/ganda, diplopia, lensa mata keruh.
3. Sistem integument
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas
luka, kelembaban, dan suhu kulit, tekstur rambut dan kuku.
4. Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM
mudah terjadi infeksi.
5. Sistem kardioveskuler\
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang,
takikardi/ bradikardi, hipertensi/ hipotensi, aritmia, kardiogalis.
6. Sistem gastroinstestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, kontipasi,
dehidrasi, perubahan berat badan, peningkatan lebar obdomen,
obesitas.
7. Sistem urinary
Polieri, retensi urin, inkontinensia urin, rasa panas atau sakit saat
berkemih.
8. System musculoskeletal
Penyebaran lemak, penyebarab mata otot, perubahan tinggi badan,
cepat Lelah, lemah, dan nyeri, adanya gangrene di eksremitas.
9. Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anestesia, letargi,
mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi (Sya’diah,
2018)
2. Diagnosis Keperawatan
1. Intoleransi aktivitas
2. Deficit nutrisi
3. Hipovelemia
4. Gangguan integritas kulit
5. Hipetermia
6. Risiko cidera
7. Perfusi perifer tidak efektif
8. Gangguan mobilitas fisik
9. Penurunan curah jantung
C. Evaluasi
1. Intoleransi aktivitas:
Toleransi aktivitas meningkat
a. Saturasi oksigen meningkat
b. Kemudahan dalam aktivitas sehari-hari meningkat
2. Deficit nutrisi
Status nutrisi membaik
a. Porsi makan yang dihabiskan membaik
3. Hipovolomia
Status cairan membaik
a. Kekuatan nadi membaik
b. Turgor kulit membaik\
4. Gangguan integritas kulit
Integritas kulit dan jaringan meningkat
a. Elastisitas meningkat
b. Hidrasi meningkat
5. Hipetermia
Termoregulasi membaik
a. Menggigil membaik
b. Kulit merah membaik
6. Risiko cidera
Tingkat cidera menurun
a. Toleransi aktivitas menurun
7. Perfusi perifer tidak efektif
Perfusi perifer meningkat
a. Denyut nadi perifer
8. Gangguan mobilitas fisik
Mobilitas fisik membaik
a. Pergerakan ekstremitas meningkat
b. Kekuatan otot meningkat
c. Rentang gerak ROM meningkat
9. Penurunan curah jantung
Curah jantung meningkat
a. Kekuatan nadi perifer meningkat
DAFTAR PUSTAKA
https://doi.Org/10.1016/j.jcjd.2013.10.021
Marunung, N. (2018). Keperawatan Medikal Bedah Jakarta Timur: CV. Trans Info Media.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Soelistijo, S. A., Lindarto, D., Decroli, E., Permana, H., Sucipyo, K. W., Kusnadi, Y.., …
Sanusi.