Disusun Oleh:
NIM : 202012031
2022
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETES MELITUS
A. PENGERTIAN
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu gejala klinis yang ditandai dengan
peningkatan glukosa darah plasma (hiperglikemia) (Ferri, 2015). Kondisi hiperglikemia
pada DM yang tidak dikontrol dapat menyebabkan gangguan serius pada sistem tubuh,
terutama saraf dan pembuluh darah
B. ETIOLOGI
Etilogi atau penyebab Diabetes Melitus (DM) adalah yaitu genetik atau faktor
keturunan, yang mana penderita Diabetes Melitus yang sudah dewasa lebih dari 50%
berasal dari keluarga yang menderita Diabetes Melitus dengan begitu dapat dikatakan
bahwa Diabetes Melitus cenderung diturunkan, bukan ditularkan. Faktor lainnya yaitu
nutrisi, nutrisi yang berlebihan (overnutrition) merupakan faktor risiko pertama yang
diketahui menyebabkan Diabetes Melitus, semakin lama dan berat obesitas akibat
nutrisi berlebihan, semakin besar kemungkinan terjangkitnya Diabetes Melitus (dr
Prapti dan Tim Lentera, 2003). Sering mengalami stress dan kecanduan merokok juga
merupakan faktor penyebab Diabetes Melitus.
C. MANIFESTASI KLINIK
Adanya penyakit diabetes mellitus ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan
tidak disadari oleh penderita. Manifestasi klinis Diabetes Melitus dikaitkan dengan
konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang
ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis
osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang ginjal untuk
ekskresi glukosa yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus (polidipsia). Rasa lapar yang
semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori (Price dan
Wilson, 2012).
Pasien dengan diabetes tipe I sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan
polidipsia, pliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama
beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul
ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi
insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka
terhadap insulin. Sebaliknya pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah
di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat
pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya
mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara
absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk
mnenghambat ketoasidosis (Price dan Wilson, 2012).
Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu gejala akut dan gejala kronik
(PERKENI, 2015) :
Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap penderita, bahkan mungkin tidak menunjukkan
gejala apa pun sampai saat tertentu. Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba
banyak (poli) yaitu banyak makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi), dan banyak
kencing (poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul gejala
banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang atau berat badan turun
dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas
diobati, akan timbul rasa mual.
kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram,
mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti kacamata, gatal di sekitar kemaluan
terutama pada wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun,
dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg .
D. KOMPLIKASI
Diabetes dapat menimbulkan komplikasi asidosis dan koma, serta pada jangka panjang dapat
menimbulkan komplikasi lain. Komplikasi tersebut mencakup gangguan mikrovaskular,
makrovaskular, dan neuropatik. Gangguan mikrovaskular adalah pembentukan jaringan parut
proliferatif di retina (retinopati diabetes) dan di ginjal (nefropati diabetes). Hal ini berpotensi
meningkatkan insidensi stroke dan infark miokard. Gangguan neuropatik (neuropati diabetes)
terjadi pada sistem saraf otonom dan perifer. Neuropati disertai dengan insufisiensi sirkulasi
aterosklerosis dan penurunan resistensi terhadap infeksi dapat menyebabkan ulkus kronik dan
gangren, terutama di kaki (Ganong, 2002).
F. PATHWAY
F. PENATALAKSANAAN Medis
Penatalaksanaan DM jangka pendek bertujuan untuk
menghilangkan/mengurangi gejala yang dirasakan penderita, sedangkan jangka
panjangnya bertujuan untuk mencegah komplikasi (Mansjoer dkk., 2001).
Penatalaksanaan DM terdiri dari pertama terapi non farmakologis yang meliputi
terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani, dan edukasi terkait penyakit DM
yang dilakukan secara kontinyu, kedua terapi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan insulin jika terapi non farmakologis yang dilakukan
tidak mampu mengontrol kadar glukosa darah (gambar 1) (Yunir & Soebardi, 2007).
G. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Pelaksanaan (implementasi) proses keperawatan merupakan komponen dari proses
keperawatan yang dikategorikan sebagai perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan
untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan
diselesaikan. Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan keperawatan mengikuti komponen
perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, di banyak lingkungan perawatan kesehatan,
implementasi mungkin dimulai secara langsung setelah pengkajian (Potter & Perry, 2005).
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
pada pasien DM tipe II dengan gejala klasik seprti poliuria, polidipsia dan polifagia. Gula
darah sewaktu diartikan kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan. Dengan
pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat menegakan
Penurunan BB
diagnosis DM tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (plasma vena)
maka penderita tersebut sudah dapat disebut DM. Pada penderita ini tidak perlu
dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa
jam sebelum tes dengan menghentikan semua obat yang digunakan, bila ada obat yang
harus diberikan perlu ditulis dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula darah puasa
sebagai berikut: kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal, ≥126
mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara 110-126 mg/dl disebut glukosa darah
puasa terganggu (GDPT). Pemeriksaan gula darah puasa lebih efektif dibandingkan
dengan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral.
Tes dilakukan bila ada kecurigaan DM. Pasien makan makanan yang
Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan apabila pada pemeriksaan
glukosa sewaktu kadar gula darah berkisar 140-200 mg/dl untuk memastikan diabetes
atau tidak. Sesuai kesepakatan WHO tahun 2006, tatacara tes TTGO dengan cara
melarutkan 75gram glukosa pada dewasa, dan 1,25 mg pada anak-anak kemudian
dilarutkan dalam air 250-300 ml dan dihabiskan dalam waktu 5 menit. TTGO
dilakukan minimal pasien telah berpuasa selama minimal 8 jam. Penilaian adalah
sebagai berikut; 1) Toleransi glukosa normal apabila ≤ 140 mg/dl; 2) Toleransi
glukosa
terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi < 200 mg/dl; dan e. Toleransi
glukosa ≥ 200 mg/dl disebut diabetes melitus.
2. Pemeriksaan HbA1c
dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai dengan umur eritrosit. Kadar
HbA1c bergantung dengan kadar glukosa dalam darah, sehingga HbA1c
menggambarkan rata-rata kadar gula darah selama 3 bulan. Sedangkan pemeriksaan
gula darah hanya mencerminkan saat diperiksa, dan tidak menggambarkan
pengendalian jangka panjang. Pemeriksaan gula darah diperlukan untuk pengelolaaan
diabetes terutama untuk mengatasi komplikasi akibat perubahan kadar glukosa yang
berubah mendadak.
I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan sekarang
1. Waktu terjadinya sakit : Berapa lama sudah terjadinya sakit
2. Proses terjadinya sakit : Kapan mulai terjadinya sakit, Bagaimana sakit itu mulai
terjadi
3. Upaya yang telah dilakukan : Selama sakit sudah berobat kemana, Obat-obatan
yang pernah dikonsumsi.
4. Hasil pemeriksaan sementara / sekarang : TTV meliputi tekanan darah, suhu,
respiratorik rate, dan nadi. Adanya patofisiologi lain seperti saat diauskultasi
adanya ronky,wheezing.
Adib, M., 2011. Pengetahuan Praktis Ragam Penyakit Mematikan yang Paling Sering Menyerang
Kita. Jogjakarta: BukuBiru
Albers A. R., Krichavsky M. Z. & Balady G. J., 2006. Stress Testing in Patients With Diabetes
Mellitus Diagnostic and Prognostic Value. Circulation is availablevol pp.583-592
American Diabetes Association (ADA), 2012. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.
Diabetes Care volume 35 Supplement 1 pp. 64-71.
Amalia F, 2013. Hubungan Lamanya Menderita Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 Terhadap
Tingkat Depresi Pada Pasien Poli Penyakit Dalam RSD Dr. Soeban di Jember
Anani, S. 2012. Hubungan antara Perilaku Pengendalian Diabetes kadar Glukosa Darah pasien
Rawat jalan Diabetes mellitus (Studi Kasus di RSUD Arjawinangun Kabupaten
Cirebon). Medicine Journal Indonesia Vol.20 No.4:466-478 .
Arisman, 2011. Diabetes Mellitus : Dalam Buku Ajar Ilmu Gizi Obesitas dan Diabetes Mellitus
dan Dislipidemia. Jakarta: EGC.
Aziz, A. H., 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.Jakarta: Salemba
Merdeka.
Balammal., G., Muneeshwari, K. & Khan, P. H., 2012. Recent Trends In Insulin Drug Delivery
System. International Journal of Pharmaceutical Development & Technology,
1(2), pp. 20-28
Bhandary B, Rao S & Sanal., 2013. The Effect of Perceived Stress and Family Functioning on
People with Type 2 Diabetes Mellitus. Journal of Clinical and Diagnostic
Research. Vol. 7(12), pp. 2929-2931
Baradero, M., Dayrit, M. W. & Siswadi, Y., 2009. Klien GangguanEndokrin: Seri Asuhan
Keperawatan. 1 ed. Jakarta: EGC.
Bustan, M.N., 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta. CDC. 2011.
Family History as a Tool for Detecting Children at Risk for Diabetes and
Cardiovascular Disease. (online)
http://www.cdc.gov/ncbddd/pediatricetics/genetics_workshop/detecting.html.
diakses pada tanggal 17 April 2013