Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH&ASKEP

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


DIABETES MELITUS PADA LANSIA

Disusun oleh:
Kelompok: 4
LIREN KUADA (1814201261)

FERNANDO ANIKI (19142010071)

IRFANI HARUN (19142010072)

NADILA MUAJA (19142010058)

JOBEL TUDA (19142010252)

VEREN LOMBOGIA (1714201133)


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA
MANADO
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat Menyusun makalah dalam bentukStudi Kasus
dengan “ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S.H DENGAN DIABETES
MELITUS WISMA BOUGENVILLE”
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan
kenaikan gula darah karena terganggunya hormon insulin yang berfungsi sebagai
hormon untuk menjaga homeostatis tubuh dengan cara penurunan kadar gula
darah (American Diabetes Association, 2017:16). Diabetes melitus merupakan
penyakit yang setiap tahun penderitanya meningkat. World Health Organization
(WHO) memperkirakan jumlah penderita diabetes melitus orang dewasa diatas 18
tahun pada tahun 2014 berjumlah 422 juta (WHO, 2016:25). Prevalensi diabetes
melitus Asia Tenggara telah berkembang pada tahun 1980 sebesar 4,1% .

Pada saat ini, jumlah usia lanjut (lansia, berumur >65 tahun) di dunia diperkirakan
mencapai 450 juta orang (7% dari seluruh penduduk dunia), dan nilai ini
diperkirakan akan terus meningkat. Sekitar 50% lansia mengalami intoleransi
glukosa dengan kadar gula darah puasa normal.1,2 Studi epidemiologi
menunjukkan bahwa prevalensi Diabetes Melitus maupun Gangguan Toleransi
Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan pertambahan usia, menetap sebelum
akhirnya menurun. Dari data WHO didapatkan setelah mencapai usia 30 tahun,
kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik
sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada 2 jam setelah makan.1,3 Seiring dengan
pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan mental yang
menimbulkan banyak konsekuensi. Selain itu, kaum lansia juga mengalami
masalah khusus yang memerlukan perhatian antara lain lebih rentan terhadap
komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular dari DM dan adanya sindrom
geriatri. Tulisan ini membahas perkembangan tata laksana DM tipe 2 pada lansia
dengan penekanan pada aspek khusus yang berkaitan dengan bidang geriatric.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan Diabetes Melitus ?
2. Apasaja manifestasi klinis dari DM pada lansia ?
3. Apa saja tatalaksana yang di lakukan pada pasien DM lansia ?
C. Tujuan Umum
1. Memberikan pengetahuan pada pasien lansia tentang penanganan
Diabetes Melitus tipe 2.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Diabetes Melitus/DM merupakan penyakit kronik ketika keadaan tubuh
tidak mampu untuk menggunakan insulin yang dihasilkan pankreas.2,3
Komplikasi yang kemungkinan terjadi pada penderita diabetes melitus
meliputi meningkatnya resiko penyakit jantung, stroke, neuropati,
retinopati diabetikum, dan gagal ginjal.4,5,6 Kawasan Asia Tenggara
merupakan kawasan terbanyak yang menderita diabetes melitus dengan
angka kejadian 78,3 juta jiwa.
B. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan
berat badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring
dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk
glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah
sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring
dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia
penderita DM mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat
hiperglikemia berat.5-8 DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik,
kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan,
letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau
kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi,
mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis
DM pada lansia seringkali agak terlambat.5,6 Bahkan, DM pada lansia
seringkali baru terdiagnosis setelah timbul penyakit lain. Berikut ini adalah
data M.V. Shestakova (1999) mengenai manifestasi klinis pasien lansia
sebelum diagnosis DM ditegakkan.
C. TATALAKSANA

1. Berdasarkan konsensus ini, terapi DM tipe 2 dibagi menjadi 2 tingkatan.


a. Tingkat 1: terapi utama yang telah terbukti (well validated core
therapies) Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan dan
paling cost effective untuk mencapai target gula darah. Terapi tingkat 1 ini
terdiri dari modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan berat badan & olah
raga), metformin, sulfonilurea, dan insulin.10
b. Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated
therapies) Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada
sebagian orang, tetapi dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena masih
terbatasnya pengalaman klinis. Termasuk ke dalam tingkat 2 ini adalah
tiazolidindion (pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-1 agonis
(exenatide).

2. Terapi diet pada lansia.

3. Control Lemak darah

DM dianggap sebagai faktor risiko yang setara dengan penyakit jantung


koroner, sehingga dislipidemia pada DM harus dikelola secara agresif
yaitu harus mencapai target kadar kolesterol LDL <100 mg/dl. Pada pasien
yang juga menderita penyakit pembuluh koroner atau mempunyai
komponen sindrom metabolik lain, maka dianjurkan kadar kolesterol LDL
<70 mg/dl. Banyak studi memperlihatkan bahwa penurunan kadar
kolesterol dapat mengurangi kejadian kardiovaskular pada lansia dengan
DM.

4. Control guladarah.

D. OBAT DM

1.Metformin

Metformin dianjurkan sebagai terapi obat lini pertama untuk semua


pasienDM tipe 2 kecuali pada mereka yang punya kon-traindikasi
terhadap metformin misalnya antara lain gangguan fungsi ginjal
(kreatinin serum >133 mmol/L atau 1,5 mg/dL pada pria dan >124
mmol/L atau 1,4 mg/dL pada wanita), gangguan fungsi hati, gagal
jantung kongestif, asidosis metabolik, dehidrasi, hipoksia dan
pengguna alkohol. Namun, karena kreatinin serum tidak
menggambarkan keadaan fungsi ginjal yang sebenarnya pada usia
sangat lanjut, maka metformin sama sekali tidak dianjurkan pada
lansia >80 tahun. Metformin bermanfaat terhadap sistem
kardiovaskular dan mempunyai risiko yang kecil terhadap kejadian
hipoglikemia. Meskipun demikian, penggunaan metformin pada lansia
dibatasi oleh adanya efek samping gastrointestinal berupa anoreksia,
mual, dan perasaan tidak nyaman pada perut (terjadi pada 30% pasien).
Untuk mengurangi kejadian efek samping ini, dapat diberikan dosis
awal 500 mg, kemudian ditingkatkan 500 mg/minggu untuk dapat
mencapai kadar gula darah yang diinginkan.

2. Insulin

insulin dapat diberikan bila target gula darah tidak tercapai dengan
modifikasi gaya hidup dan pemberian metformin. Selain itu, insulin
juga diberikan pada keadaan adanya kondisi akut, seperti sakit berat,
keadaan hiperosmolar, ketosis, dan pada pembedahan. Keputusan
untuk memulai pemberian insulin dibuat berdasarkan pertimbangan
akan kemampuan penderita untuk menyuntikkan sendiri insulin, dan
keutuhan fungsi kognitif. Pada lansia yang bergantung pada orang lain
untuk memberikan insulin, maka gunakan insulin masa kerja Panjang
(long-acting) dengan dosis sekali sehari, walaupun ini tidak dapat
memberikan kontrol gula darah sebaik yang dicapai dengan pemberian
insulin basal bolus atau regimen dua kali sehari.

3. Tiazolindindion
Tiazolidindion merupakan kelompok obat yang dapat memperbaiki
kontrol gula darah dengan meningkatkan kepekaan jaringan perifer
terhadap insulin. Penggunaan tiazolidindion (pioglitazon dan
rosiglitazon) sebagai monoterapi menyebabkan penurunan HbA1C
sebesar 0,5- 1,4%. Pada berbagai studi klinis didapatkan bahwa kontrol
gula darah dengan rosiglitazon lebih lama dibandingkan dengan
metformin.10,13,15,16 Tidak seperti obat DM lainnya, tiazolidindion
memperbaiki berbagai marker fungsi sel β pankreas yang antara lain
ditunjukkan dengan meningkatnya sekresi insulin selama 6 bulan.
Namun, efek ini hanya sementara, setelah 6 bulan terapi dengan
tiazolidindion, terjadi penurunan fungsi sel β pankreas. Di luar manfaat
tersebut, tiazolidindion mempunyai beberapa efek samping, antara lain
peningkatan berat badan dan edema yang terkait dengan risiko
kardiovaskular. Studi menunjukkan bahwa risiko gagal jantung
meningkat sebesar 1,2-2 kali lipat pada penggunaan tiazolidindion
dibandingkan obat hipoglikemik lain. Gagal jantung terjadi pada
median
terapi selama 6 bulan, baik pada dosis tinggi maupun rendah, dan ini
terutama terjadi pada lansia.
E. KOMPLIKASI DM TIPE 2.
DM tipe 2 merupakan penyakit kronik dan dapat menimbulkan komplikasi
kronik, baik berupa komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular.
Dalam studi United Kingdom Prospective Diabetes Study tampak bahwa
dalam 9 tahun, 9% pasien DM mengalami komplikasi mikrovaskular dan
20% mengalami komplikasi makrovaskular, dan komplikasi
makrovaskular berupa aterosklerotik merupakan 75% penyebab kematian
pada DM tipe 2. Mereka yang tidak ada riwayat serangan jantung berisiko
mengalami infark miokard sama dengan pasien non-DM yang punya
Riwayat serangan jantung. Ini menunjukkan bahwa DM merupakan faktor
risiko penyakit kardiovaskular. Komplikasi mikrovaskular antara lain
dapat berupa retinopati, nefropati, neuropati dan penyakit pembuluh darah
perifer. Kejadiannya berbanding lurus dengan lamanya menderita DM dan
control gula darah yang buruk. Di AS, dilaporkan bahwa DM merupakan
penyebab kebutaan dan gagal ginjal utama.
BAB III
KASUS DM PADA LANSIA
A. PENGKAJIAN

Pengkajian keperawatan merupakan dasar pemikiran dala memberikan


asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien. Pengkajian yang lengkap dan
sistematis sesuai dengan kebutuhan klien. Pengkajian yang lengkap dan sistematis
sesuai dengan fakta atau kondisi yang ada pada klien sangat penting untuk
merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan respon individu. Berdasarkan hasil pengkajian yang
didapatkan adalah Ny. S.H
mengalami sakit sedang, pada saat dilakukan pengkajian dan pemeriksaan fisik
tanggal 27 Mei 2019 pada Ny. S.H. mengatakan nyeri persendian, keram pada
kaki, waktu berjalan tampak wajah Ny. S.H. meringis kesakitan, skala nyeri 3,
tampak Ny. S.H. sering memegang daerah pinggul, Ny. S.H. juga mengatakan
tidak kuat berjalan dan kalau berjalan harus menggunakan tongkat dan kacamata.
tampak Ny. S.H. tidak bisa berjalan tanpa bantuan alat, Ny S.H mengatakan
bahwa dirinya sangat menyukai makanan manis seperti teh manis, Ny S.H juga
mengatakan sejak menderita penyakit diabetes mellitus sering keram dan
kesemutan pada ujung jari kaki. Pada kasus Ny. S.H. didapati data meliputi : GDS
211 mg/dL, tidak ada pemeriksaan penunjang, tau tentang diabetes mellitus tapi
tidak tau cara pencegahannya. Dari hasil studi kasus ini untuk tahap pengkajian
tidak di temukan adanya kesenjangan antara teori dan kasus nyata.

B. DIAGNOSA
Berdasarkan teori Nanda (2015), diagnosa keperawatan ditemukan 6 diagnosa
keperawatan yang muncul pada pasien yang mengalami penyakit diabetes militus:
Resikoketidakstabilan kadar glukosa darah Kode : 00179, Nyeri akut Kode :
000132, Resiko jatuh. Kode : 00155. Hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh
peniliti kepada Ny. S.H pada tanggal 27 Mei 2019 di Wisma Bougenville tidak
terdapat kesenjangan antara teori dan praktek.

C. INTERVENSI
Diagnosa 1. Resiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah dengan Kode 00179,
Noc Domain II : Kesehatan Fisiologi. Kelas AA-Respon Terapeutik :reaksi
sistemik individu terhadap perawatan agen maupun metode pengobatan yang
diberikan ditingkatkan dari 2 sampai 4 (kisaran normal) dengan indicator : Kode
2120 Manajemen Hiperglikemia 1.Monitor kadar glukosa darah, 2.Monitor tanda
dan gejala hiperglikemi, 3.Dorong asupan cairan oral, 4.Riview kadar gluokosa
pasien/keluarga, 5.Instruksikan pada pasien mengenai penggunaan obat oral, Kode
5614. Manajemen Berat Badan 1. Diskusikan dengan pasien mengenai hubungan
antara makanan dan penurunan BB, 2.Kaji motivasi pasien untuk perubahan pola
makan, 3.Hitung BBI, Kode 5612 Pengajaran : Peresepan Latihan 1. Nilai tingkat
latihan pengetahuan pasien (senam kaki diabetik) , 2.Informasikan pasien
mengenau tujuan dan manfaat latihan, 3.Instruksikan pasien bagaimana
melakukan latihan, 4.Instruksikan pasien melakukan latihan yang diresepkan, 5.
Instruksikan bagaimana melakukan pemanasan dan pendinginan. Pembahasan :
Rencana keperawatan untuk diagnosa I-III yang di temukan penulis sudah sesuai
dengan yang ada di teori sehingga tidak ada kesenjangan antara teori dengan
kasus nyata.

D. IMPLEMENTASI
Dalam melakukan tindakkan keperawatan kepada Ny. S.H semua tindakkan
dilakukan berdasarkan teori keperawatan yang berfokus pada
intervensi yang telah ditetapkan.Implementasi dilakukan setelah intervensi
dirancang dengan baik. Implementasi Keperawatan dilakukanmulai tanggal 27- 30
Mei 2019.
Untuk Diagnosa I Implementasinya adalah : Manajemen Hiperglikemi.
1.Memonitor kadar glukosa darah,
2.Memonitor tanda dan gejala hiperglikemi,
3.Mendorong asupan cairan oral,
4.Meriview kadar gluokosa pasien/keluarga,
5.Menginstruksikan pada pasien mengenai penggunaan obat oral, Manajemen
Berat Badan
1. Mendiskusikan dengan pasien mengenai hubungan antara
makanan dan penurunan BB,
2.Mengkaji motivasi pasien untuk perubahan pola makan,
3.Menghitung BBI,
Pengajaran :Peresepan Latihan 1. Menilai tingkat Latihan pengetahuan pasien
(senam kaki diabetik) , 2.Menginformasikan pasien 15 mengenai tujuan dan
manfaat latihan, 3.Instruksikan pasien bagaimana melakukan latihan, 4.
Menginstruksikan pasien melakukan latihan yang diresepkan, 5.Menginstruksikan
bagaimana melakukan pemanasan dan pendinginan. Semua tindakan yang
dilakukan sesuai dengan apa yang direncanakan, sehingga Peneliti tidak
menemukan kesenjangan antara intervensi dan implementasi.
E. EVALUASI
Menurut Yogiantoro (2006). evaluasi keperawatan adalah penilaian dengan cara
membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) Evaluasi adalah
respons pasien terhadap terapi dan kemajuan mengarah pencapaian hasil yang
diharapkan. Aktivitas ini berfungsi sebagai umpan balik dan bagian kontrol proses
keperawatan, melalui mana status pernyataan diagnostik pasien secara individual
dinilai untuk diselesaikan, dilanjutkan, atau memerlukan perbaikan
(Doenges,2000).

Evaluasi yang dilakukan pada Ny. S.H sesuai dengan hasil implementasi
yang telah dibuat pada kriteria objective yang telah ditetapkan. Dalam evaluasi
untuk diagnosa I, masalah belum teratasi karena BB 55 Kg, GDS : 211 mg/dL,
TD : 150/90mmhg, Nadi: 82x/menit Suhu: 37’C. Untuk diagnosa II, masalah
teratasi sebagian karena klien mengatakan nyeri berkurang, nyeri sesekali muncul
saat bejalan tanpa tongkat pada waktu yang lama, nyeri tertusuk (nyilu), nyeri
tidak menjalar dan berpusat pada daerah lutut, skala nyeri 2 (nyeri ringan), untuk
diagnosa III Masalah tidak terjadi karena pada evaluasi pasien tidak tejatuh.
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Gambaran karakteristik lansia dengan DM dari 134 responden yang diteliti terlihat
bahwa sebagian besar responden berusia 55-75 tahun, berjenis kelamin
perempuan, dan lama sakit >8 tahun. Gambaran dukungan keluarga lansia dengan
DM sebagian besar dengan dukungan keluarga baik, sedangkan gambaran kualitas
hidup juga mayoritas dengan kualitas hidup lansia baik. Hasil analisis bivariat
didapatkan adanya hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup (P value =
0,000; 95% CI).

B. SARAN

1) Untuk Institusi Pendidikan


Diharapkan lebih meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih tinggi dan
menghasilkan tenaga kesehatan yang profesional berwawasan global.
2) Bagi Pelayanan Kesehatan
Lebih meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya dalam memberikan asuhan
keperawatan lansia dengan kerusakan memori Demensia.
3) Untuk Penulis
Sebagai pembanding antara teori yang didapat selama perkuliahan dengan praktik
keterampilan dan pengalaman.
4) Untuk Panti Werda
Melanjutkan perawatan terhadap masalah kerusakan memori, hambatan
komunikasi, defisit perawatan diri: mandi, risiko jatuh yang belum teratasi.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, LM. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2011.

World Health Organization/WHO. Use of glycated haemoglobin (HbA1c) in the


diagnosis of diabetes mellitus. 2011 [Cited 12 Juni 2018]. Available from
https://www.who.int/diabetes/publications/diagnosis_diabetes2011/en/

Rochmah W. Diabetes Mellitus pada Usia Lanjut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2007.p.1915-18.

Kane RL, Ouslander JG, Abrass RB, Resnick B. Essentials of Clinical Geriatrics.
6th ed. New York: McGraw Hill; 2009.p.363-70.

Subramaniam I, Gold JL. Diabetes Mellitus in Elderly. J Indian Acad Geri


2005;2:77-81. Available from: http://www.jiag.org/ sept/diabetes.pdf

Chau D, Edelman SV. Clinical Management of Diabetes in the Elderly. Clin Diab.
2001. Available from: http://clinical.diabetes journals.org/content/19/4/172.full

American Diabetes Association. 2013. Diagnosis and classification of diabetes


mellitus. Diabetes care, 36(Supplement 1), S67-S74.

Anda mungkin juga menyukai