Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

SINDROM METABOLIK

Oleh :

Surya Ningsih

K1A1 14 069

Pembimbing :

dr. Fercee Primula, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Surya Ningsih

Stambuk : K1A1 14 069

Judul Referat : Sindrom Metabolik

Telah menyelesaikan tugas laporan referat dalam rangka kepaniteraan


klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu
Oleo.

Kendari, April 2019


Mengetahui :
Pembimbing,
`

dr. Fercee Primula, Sp. PD

2
SINDROM METABOLIK
Surya Ningsih, Fercee Primula

A. Pendahuluan
Sindroma Metabolik adalah kelainan metabolik kompleks yang
diakibatkan oleh peningkatan obesitas. Sindroma ini merupakan kumpulan
dari faktor-faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Prevalensi
kejadian sindroma metabolik meningkat setiap tahunnya. Data epidemiologi
menyebutkan prevalensi sindroma metabolik dunia adalah 20-25%. Penyebab
dari sindroma metabolik belum diketahui secara pasti namun berkaitan
dengan resistensi insulin yang akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif
dan terjadinya disfungsi endotel. Kriteria diagnosis sindroma metabolik saat
ini mengacu pada kriteria diagnosis WHO, NCEP ATP III, dan IDF yang
meliputi obesitas sentral, hipertrigliseridemia, HDL cholesterol, hipertensi,
hiperglikemia dan mikroalbuminuria.1,2
Konsep dari sindroma metabolik telah ada sejak ± 80 tahun yang lalu,
pada tahun 1920, Kylin, seorang dokter Swedia, merupakan orang pertama
yang menggambarkan sekumpulan dari gangguan metabolik, yang dapat
menyebabkan resiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis yaitu hipertensi,
hiperglikemi dan gout. Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan berbagai
faktor resiko seperti dislipidemi, hiperglikemi dan hipertensi secara
bersamaan dikenal sebagai multiple risk factor untuk penyakit kardiovaskuler
dan disebut dengan sindroma X. Selanjutnya Sindroma X ini dikenal dengan
sindroma resistensi insulin dan akhirnya sindrom metabolik. Dan kemudian
NCEP-ATP III menamakan dengan istilah sindroma metabolik. Konsep
sindroma metabolik ini telah banyak diterima secara Internasional.2,3
B. Definisi
Sindroma metabolik yang juga disebut sindrom resitensi isulin atau
sindrom X merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang berkaitan
langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler artherosklerotik pada
obesitas dan DM tipe 2. Berbagai penelitian membuktikan bahwa sindroma
metabolik meningkatkan risiko timbulnya DM tipe 2 sebesar 13 kali serta

3
risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler (PKV) sebesar 2-3 kali lipat.
Kebanyakan penderita dengan Sindroma Metabolik mengalami resistensi
insulin yang menyebabkan peningkatan risiko munculnya DM tipe 2. Bila
DM tipe 2 telah manifest, maka risiko kardiovaskuler seperti PJK akan
meningkat dengan tajam.4
C. Epidemiologi
Prevalensi sindroma metabolik bervariasi ditiap negara. Penelitian
WHO di Prancis menemukan bahwa prevalensi lebih besar pada populasi pria
(23%) dibandingkan dengan populasi wanita (12%), sedangkan menurut
kelompok usia, prevalensi terbanyak ditemukan pada kelompok usia antara
55–64 tahun yaitu pria (34%) dan wanita (21%).4
Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan
prevalensi sindrom metabolik. Prevalensi sindrom metabolik pada populasi
usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia > 50 tahun sebesar 45%. Pandemi
sindrom metabolik juga berkembang seiring dengan peningkatan prevalensi
obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Data
epidemiologis tentang sindroma metabolik di Indonesia masih sangat jarang,
dan masih belum ada data yang jelas mengenai prevalensi sindroma
metabolik di Indonesia. Meskipun demikian, survey Departemen Kesehatan
RI tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi terkait dengan kriteria
sindroma metabolik seperti obesitas abdominal sebesar 18,8%, hipertensi
29,8%, dan penderita diabetes melitus pada penduduk perkotaan sebesar
5,7%. Studi yang dilakukan di Depok (2001) menunjukkan prevalensi
sindrom metabolik menggunakan kriteria NCEP-ATP III dengan modifikasi
Asia Pasifik, terdapat pada 25,7% pria dan 25% wanita. Penelitian soegondo
(2004) melaporkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13% dan
menunjukkan bahwa kriteria IMT obesitas > 25 kg/m2 lebih cocok untuk
diterapkan pada orang Indonesia. Penelitian di DKI Jakarta pada tahun 2006
melaporkan prevalensi sindrom metabolik yang tidak jauh berbeda dengan
Depok yaitu 26,3% dengan obesitas sentral merupakan komponen terbanyak
(59,4%).5,6

4
D. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi sindrom metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu
hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah
resistensi insulin. Resistensi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi
penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi
peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel ß pankreas.5
Menurut pendapat Tenebaum penyebab sindrom metabolik adalah:1
a. Gangguan fungsi sel ß dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi
resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler
(komplikasi jantung).
b. Kerusakan berat sel ß menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin,
sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi
mikrovaskuler (nephropathy diabetica).
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan
tingginya akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak
visceral. Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah
terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan
mensekresi produk-produk metabolik, di antaranya sitokin proinflamasi,
prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen. Produk-produk dari sel
lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma bertanggung jawab
terhadap berbagai penyakit metabolik seperti diabetes, penyakit jantung,
hiperlipidemia, gout, dan hipertensi.7
Faktor risiko untuk sindrom metabolik adalah hal-hal dalam kehidupan
yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai
macam faktor risiko sindrom metabolik, antara lain adalah gaya hidup (pola
makan, konsumsi alkohol, rokok, dan aktivitas fisik), sosial ekonomi dan
genetik serta stres.1

E. Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik5


Sejak munculnya sindrom resistensi insulin, beberapa organisasi berusa
membuat kriteria sindrom metabolik supaya dapat diterapkan secara praktis

5
kliis sehari-hari. Secara umum, semua kriteria yang diajukan memerlukan
minimal 3 kriteria untuk mendiagnosis sindrom metabolik atau sindrom
resistensi insulin. World Health Organization (WHO) merupakan organisasi
pertama yang mengusulkan kriteria sindrom metabolik pada tahun 1998.
Menurut WHO pula, istilah sindrom metabolik dapat dipakai pada
penyandang DM mengingat penyandang DM juga dapat memenuhi kriteria
tersebut dan menunjukkan besarnya risiko terhadap kejadian kardiovaskuler.
Pada tahun 2001, National Cholesterol Education Program (NCEP)
Adult Treatment Panel III (ATP III) mengajukan kriteria baru yang tidak
mengharuskan adanya komponen resistensi insulin. Meski tidak pula
mewajibkan adanya komponen obesitas sentral, kriteria ini menganggap
bahwa obesitas sentral merupakan faktor utama yang mendasari sindrom
metabolik. Pada tahun 2003, American Association of Clinical
Endocrinologists (AACE) memodifikasi definisi dari ATP III. Bila sudah ada
DM, maka istilah sindrom resistensi insulin tidak digunakan lagi. Dua tahun
kemudian, pada tahun 2005, International Diabetes Federation (IDF)
kembali memodifikasi kriteri ATP III. IDF menganggap obesitas sentral
sangat berkorelasi dengan resistensi insulin, sehingga memakai obesitas
sentral sebagai kriteria utama. Nilai cut-off lingkar perut diambil dari
National Institute of Health Obesity Clinical Guidelines; ≥ 102 cm untuk
pria dan ≥ 88 cm untuk wanita. Untuk etnik tertentu seperti Asia, dengan cut-
off lingkar perut lebih rendah dari ATP III, sudah berisiko terkena sindrom
metabolik. Untuk Asia dipakai cut-off lingkar perut ≥ 90 cm untuk pria dan ≥
80 cm untuk wanita.
Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP III lebih banyak digunakan
karena lebih memudahkan seorang klinisi untuk mengidentifikasi seseorang
dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik ditegakkan apabila seseorang
memiliki sedikitnya 3 (tiga) kriteria.

6
Tabel 1. Kriteria diagnosis Sindrom metabolik menurut WHO (World Health
Organization), NCEP-ATP III dan IDF
Criteria diagnosis
Kriteria diagnosis WHO:
Komponen ATP III : 3 komponen IDF
Resistensi insulin plus :
di bawah ini
Obesitas abdominal/ Lingkar perut : Lingkar perut : Lingkar perut :
sentral Laki-laki : > 0,9 Laki-laki: > 102 cm Laki-laki: ≥ 90 cm
Wanita : > 0,85 atau Wanita : > 88 cm Wanita : ≥ 80 cm
IMT > 30 Kg/m
Hipertrigliseridemia ≥ 150 mg/dl (≥ 1,7 mmol/L) ≥ 150 mg/dl (≥ 1,7 ≥ 150 mg/dl
mmol/L)
HDL Cholesterol Laki-laki : < 35 mg/dl (< 0,9 Laki-laki : < 40 mg/dl Laki-laki : < 40 mg/dl (<
mmol/L) (< 1,036 mmol/L) 1,036 mmol/L)
Wanita : < 39 mg/dl (1,0 Wanita : < 50 mg/dl Wanita : < 50 mg/dl (1,295
mm0l/L) (1,295 mm0l/L) mm0l/L)
Hipertensi TD ≥ 140/90 mmHg atau TD ≥ 130/85 mmHg TD sistolik ≥ 130 mmHg
riwayat terapi anti hipertensif atau riwayat terapi anti TD diastolik ≥ 85 mmHg
hipertensif
Kadar glukosa Toleransi glukosa terganggu, ≥ 110 mg/dl atau ≥ 6,1 GDP ≥ 100mg/dl
darah tinggi glukosa puasa mmol/L
terganggu,resistensi insulin
atau DM
Mikroalbuminuri Rasio albumin urin dan
kreatinin 30 mg/g atau laju
eksresi albumin 20
mcg/menit

F. Patofisiologi5
Pengetahuan mengenai patofisiologi masing-masing komponen sindrom
metabolik sebaiknya diketahui untuk dapat memprediksi pengaruh perubahan
gaya hidup dan medikamentosa dalam penatalaksanaan sindrom Metabolik.
1. Obesitas Sentral
Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak
begitu sensitif dalam menggambarkan risiko kardiovaskular dan
gangguan metabolik yang terjadi. Studi menunjukkan bahwa obesitas
sentral yang digambarkan oleh lingkar perut (dengan cut-off yang
berbeda antara jenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi
gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar perut
menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan visceral. Meski
dikatakan bahwa lemak viseral lebih berhubungan dengan komplikasi
metabolik dan kardiovaskular, hal ini masih kontroversial. Peningkatan

7
obesitas berisiko pada peningkatan kejadian kardiovaskular. Variasi
faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun
kardiovaskular dari suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak
berkembang menjadi resistensi insulin, dan sebaliknya resistensi insulin
dapat ditemukan pada individu tanpa obes (lean subjects). Interaksi
faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik
dari suatu resistensi insulin maupun obesitas.
Jaringan adiposa merupakan sebuah organ endokrin yang aktif
mensekresi berbagai faktor pro dan anti inflamasi seperti leptin,
adiponektin, Tumor nekrosis factor a (T N F-a), Interleukin-G (L-6) dan
resistin. Konsentrasi adiponektin plasma menurun pada kondisi DM tipe
2 dan obesitas. Senyawa ini dipercaya memiliki efek anti aterogenik
pada hewan coba dan manusia, sebaliknya, konsentrasi leptin meningkat
pada kondisi resistensi insulin dan obesitas dan berhubungan dengan
risiko kejadian kardiovaskular tidak tergantung dari faktor risiko
tradisional kardiovaskular. lMT dan konsentrasi CRP. Sejauh ini belum
diketahui apakah pengukuran pengukuran marker hormonal dari
Jaringan adiposa lebih baik dari pada pengukuran secara anatomi dalam
memprediksi risiko kejadian kardiovaskular dan kelainan metabolik
yang terkait.
2. Resistensi Insulin
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom
metabolik. Sejauh ini belum disepakati pengukuran, yang ideal dan
praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp mempakan teknik yang
ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan giukosa
plasma puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa
puasa hanya dijumpai pada 10% sindrom metabolik. Pengukuran
Homeostatis Model Asessment (HOMA) dan Quantitative Insulin
Sensitivity Check Index (QUICKI) dibuktlkan berkorelasi erat dengan
pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur
resistensi insulin. Bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang

8
melibatkan jaringan adiposa dan sistem kekebalan tubuh. maka
pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin
(seperti rumus HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh
karenanya, penggunaan rumus ini secara rutin diklinis belum disarankan
maupun disepakati.
3. Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan
peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL
biasanya normal, namun mengalami perubahan struktur berupa
peningkatan small dense LDL. Peningkatan konsentrasi trigliserida
plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati
sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun studi pada
manusia dan hewan menunjukkan bahwa peningkatan trigliserida
tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh
peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati.
Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida
sehingga terjadi transfer trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek
dengan resistensi insulin dan konsentrasi trigliserida normal dapat
ditemukan penurunan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat
mekanisme Iain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL
disamping peningkatan trigliserida. Mekanisme yang dipikirkan
berkaitan dengan gangguan masukan lipid post prandial pada kondisi
resistensi insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-l
(Apo A-1) oleh hati yang selanjutnya mengakibatkan penurunan
kolesterol HDL. Peran sistem imunitas pada resistensi insulin juga
berpengaruh pada perubahan profil lipid pada subyek dengan resistensi
insulin. Studi pada hewan menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun
akan menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein transport,
reseptor dan enzim yang berkaitan sehingga terjadi perubahan profil
lipid.

9
4. Peranan sistem imun pada Resistensi Insulin
Inflamasi subklinis kronik juga merupakan bagian dari sindrom
metabolik. Marker inflamasi berperan pada progresifitas DM dan
komplikasi kardiovaskular. C-reactive protein (CRP) dilaporkan menjadi
data prognosis tambahan tentang keparahan inflamasi pada subyek
wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum didapatkan
kesepakatan alur diagnosis yang mampu menggabungkan peningkatan
CRP, koagulasi, dan gangguan fibrinolisis dalam memprediksi risiko
kardiovaskular.
5. Hipertensi
Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi.
insulin merangsang sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi
natrium ginjal, mempengaruhi transport kation dan mengakibatkan
hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut
dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan
bahwa hipertensi akibat resistensi insulin terjadi akibat
ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor. The Insulin
Resistance Atherosclerosis Study melaporkan hubungan antara resistensi
insulin dengan hipertensi pada subyek normal namun tidak pada subyek
dengan DM tipe 2.

10
Gambar 1. Patofisiologi sindroma metabolik

G. Penatalaksanaan
Untuk mencegah komplikasi kardiovaskuler pada individu yang telah
memiliki sindrom metabolik, diperlukan pemantauan yang terus menurus
dengan modifikasi komponen sindrom metabolik yang ada. Penatalaksanaan
sindrom metabolik masih merupakan penatalaksanaan dari masing-masing
komponen.5
Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan utnuk
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular aterosklerosis dan risiko diabetes
melitus tipe 2 pada pasien yang belum diabetes. Penatalaksanaan sindrom
metabolik terdiri atas 2 pilar, yaitu tatalaksana penyebab (berat badan
lebih/obesitas dan inaktivitas fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan
non lipid.5
1. Obesitas dan Obesitas Sentral5,8
Mempertahankan berat badan yang lebih rendah dikombinasi
dengan pengaturan asupan kalori dan peningkatan aktivitas fisik
merupakan prioritas utama pada penyandang sindrom metabolik. Target
penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12 bulan, dapat dicapai
dengan mengurangi asupan kalori sebesar 500-1000 kalori per hari

11
ditunjang dengan aktivitas fisik yang sesuai. Aktivitas fisik yang
disankan adalah selama 30 menit atau lebih setiap hari. Untuk subyek
dengan komorbid penyakit jantung koroner, perlu dilakukan evaluasi
kebugaran sebelum diberikan anjuran jenis-jenis olahraga yang sesuai.
Pemakaian obat-obatan dapat berguna sehingga dipertimbangkan
pada beberapa pasien. Dua obat yang dapat digunakan dalam
menurunkan berat badan adalah sibutramin dan orlistat. Dengan
mempertimbangkan peranan otak sebagai regulator berat badan,
sibutramin dapat menjadi pertimbangan walaupun tanpa
mengesampingkan kemungkinan efek samping yang mungkin timbul.
Cara kerjanya disentral memberikan efek mengurangi asupan energi
melalui efek mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan
pengeluaran energi setelah berat badan turun dapat memberikan efek
tidak hanya untuk penurunan berat badan yang sudah turun. Demikian
pula dengan efek metabolik, sehingga efek dari penurunan berat badan
pemberian sibutramin setelah 24 minggu yang disertai dengan diet dan
aktivitas fisik, memperbaiki konsentrasi trigliserida dan kolestrerol HDL.
Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien yang
berisiko serius akibat obesitas (IMT ≥ 40 kg/m2). Pembedahan untuk
menurunkan berat badan bisa bersifat restriktif (membatasi jumlah
makanan yang bisa diterima oleh lambung) seperti bedah laparoskopik
mengikat lambung dengan sabuk silokon yang bisa diatur (silicone
gastric banding), atau bersifat restriktif-malabsorptif seperti Roux-Y
gastric bypass. Prosedur ini umumnya akan menghasilkan penurunan
berat badan sebanyak 30-35% yang dapat dipertahankan selama 5 tahun
pada hampir 60% pasien.
2. Hipertensi5,9
Target tekanan darah berbeda antara subyek dengan DM dan tanpa
DM. Pada subyek dengan DM dan penyakit ginjal, target tekanan darah
adalah < 130/80 mmHg, sedangkan pada bukan, targetnya < 140/90
mmHg. Untuk mencapai target tekanan darah, penatalaksanaan tetap

12
diawali dengan pengaturan diet dan aktivitas fisik. Peningkatan tekanan
darah ringan dapat diatasi dulu dengan upaya penurunan berat badan,
berolahraga, menghentikan rokok dan konsumsi alkohol serta banyak
mengkonsumsi serat. Namun apabila modifikasi gaya hidup sendiri tidak
mampu mengendalikan tekanan darah maka dibutuhkan pendekatan
medikamentosa untuk mencegah komplikasi seperti infark miokar, gagal
ginjal kronik dan stroke.
Valsartan, suatu penghambat reseptor angiotensin, dapat
mengurangi mikroalbuminuria yang diketahui sebagai faktor risiko
independen kardiovaskuler. Beberapa studi menyarankan pemakaian
ACE inhibitor sebagai lini pertama pada penyandang hipertensi dengan
sindrom metabolik terutama bila ada DM. Angiotensin receptor blocker
(ARB) dapat digunakan apabila tidak toleran terhadap ACE inhibitor.
Meski pemakaian diuretik tidak dianjurkan pada subyek dengan
gangguan toleransi glukosa, namun pemakaian diuretik dosis rendah
yang dikombinasi dengan regimen lain dapat lebih bermanfaat dibanding
efek sampingnya.
3. Gangguan Toleransi Glukosa5
Penelitian-penelitian yang ada menunjukkan adanya hubungan
yang kuat antara toleransi glukosa terganggu (TGT) dan risiko
kardiovaskular pada sindrom metabolik dan diabetes. Perubahan gaya
hidup dan aktivitas fisik yang teratur terbukti efektif dapat menurunkan
berat badan dan TGT. Modifikasi diet secara bermakna memperbaiki
glukosa 2 jam pasca prandial dan konsentrasi insulin.
Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten
dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Tiazodindion
dan metformin juga dapat menurunkan konsentrasi asam lemak bebas.
Pada diabetes prevention program, penggunaan metformin dapat
mengurangi progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda
dengan obesitas.

13
4. Dislipidemia5
Pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup
yang diikuti dengan medikamentosa. Perubahan diet dan latihan jasmani
tidak cukup berhasil mencapai target. Oleh karena itu disarankan untuk
memberikan obat berbarengan dengan perubahan gaya hidup. Pada
konsentrasi trigliserida ± 200 mg/dl, maka target terapi adalah non
kolestrerol HDL setelah kolestrerol LDL terkoreksi. Terapi dengan
gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga secara
bermakna dapat menurunkan risiko kardiovaskular. Fenofibrat secara
khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan
kolesterol HDL, telah menunjukkan perbaikan profil lipid yang sangat
efektif dan mengurangi risiko kardiovaskular. Fenofibrat juga dapat
menurunkan konsentrasi fibrinogen. Kombinasi fenofibrat dan statin
memperbaiki konsentrasi trigliserida, kolesterol HDL dan LDL. Apabila
konsentrasi trigliserida ± 500 mg/dl, maka target terapi pertama adalah
penurunan trigliserida untuk mencegah timbulnya pankreatitis akut. Pada
konsentrasi trigliserida < 500 mg/dl, terapi kombinasi untuk menurunkan
trigliserida dan kolesterol LDL dapat digunakan. Untuk kolesterol HDL
tidak ada target terapi tertentu, hanya dinaikkan saja.
H. Komplikasi
Untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada individu yang telah
memiliki sindrom metabolik, diperlukan pemantauan yang terus menerus
dengan modifikasi komponen sindrom metabolik yang ada. Penatalaksanaan
sindrom metabolik masih merupakan penatalaksanaan dari masing-masing
komponennya. Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan untuk
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular aterosklerosis dan risiko diabetes
melitus tipe 2 pada pasien yang belum diabetes. Penatalaksanaan sindrom
metabolik terdiri atas 2 pilar, yaitu tatalaksana penyebab (berat badan lebih,
obesitas dan inaktifitas fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non
lipid.

14
I. Prognosis
Komponen sindrom metabolik dapat mengalami perbaikan dengan
tatalaksana yang memprioritaskan program tatalaksana berat badan yang
intensif, disamping modifikasi gaya hidup dan tatalaksana faktor risiko klinis
lain terkait dengan penyakit kardiovaskular.10

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Rini S. Sindrom Metabolik. J Majority. 2015; 4(4): 88-93.


2. Kurniawan H. Sindroma Mtabolik pada Lansia. Jurnal Penelitian IPTEK.
2017; 44-48.
3. Kassi E, Pervanidou P, Kaltsas G, Chrousos G. Metabolic Syndrome:
Definitions and Controversies. BMC Medicin. 2011; 9(46): 2-13.
4. Wulandari YM, Isfandiari MA. Kaitan Sindroma Metabolik dan Gaya
Hidup dengan Gejala Komplikasi Mikrovaskuler. Jurnal Berkala
Epidemiologi. 2013; 1(2): 224-233.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2014.
6. Chrisna FF, Martini S. Hubungan antara Sindrom Metabolik dengan
Kejadian Stroke. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2016; 4(1): 25-36.
7. Jafar N. Sindrom Metabolik dan Epidemiologi. Media Gizi Masyarakat
Indonesia. 2012; 1(2): 71-78.
8. Saputra L. Buku Saku Harrison Endokrinologi dan Metabilisme.
Tanggerang selatan: KARISMA Publishing Group; 2013.
9. Haris S, Tambunan T. Hipertensi pada Sindrom Metabolik. Sari Pediatri.
2009; 11(4): 257-263.
10. IDAI. Diagnosis dan Tatalaksana Sindrom Metabolik pada Anak dan
Remaja. Jakarta; 2014.

16
SUMBER REFERENSI

17

Anda mungkin juga menyukai