Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Abses peritonsil atau dikenal dengan Quinsy adalah kumpulan nanah

yang terdapat pada jaringan ikat longgar, diantara fossa tonsilaris dan muskulus

konstriktor faring superior. Pada abad XIV gejala dari penyakit abses peritonsil

ini sudah dialami oleh masyarakat Inggris, tetapi pada saat itu istilah abses

peritonsil belum dikenal, begitu juga penatalaksanaannya tidak seperti saat ini.

Abses peritonsil memiliki angka kejadian yang cukup tinggi dan dapat

menimbulkan komplikasi yang fatal, seperti dapat meluas ke daerah parafaring,

daerah intrakranial dan bila abses tersebut pecah spontan bisa terjadi

perdarahan serta terjadinya mediastinitis yang dapat menimbulkan kematian.

Hal ini bisa terjadi bila penanganan yang tidak tepat dan terlambat. Angka

kejadian pada penyakit abses peritonsil berdasarkan usia banyak menyerang

pada usia 15 tahun sampai dengan 35 tahun, berdasarkan jenis kelamin belum

ada literatur yang menggambarkan adanya perbedaan jumlah kejadian abses

peritonsil pada laki-laki dan perempuan.1

Di Amerika Serikat ditemukan 30 kasus abses peritonsil dari 100.000

penduduk pertahun mewakili sekitar 45.000 kasus baru tiap tahunnya. Di

Indonesia belum ada data tentang jumlah abses peritonsil secara pasti.

Penatalaksanaan abses peritonsil dilakukan insisi drainase pada daerah yang

paling lunak dan menonjol sehingga pus ke luar dari daerah peritonsil.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Faring

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.

Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam

rongga mulut yaitu tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil faring (adenoid), tonsil

lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding

faring/Gerlach’s tonsil). Tonsil palatina adalah suatu masa jaringan limfoid

yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh

pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).

Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing- masing tonsil

mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Permukaan

sebelah dalam tonsil atau permukaan yang bebas, tertutup oleh membran epitel

skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas ke dalam kantung

atau kripta yang membuka ke permukaan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi

seluruh fosa tonsil, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa

supratonsil. Bagian luar tonsil terikat longgar pada m.konstriktor faring

superior, sehingga tertekan setiap kali menelan. Muskulus palatoglosus dan

m.palatofaringeus juga menekan tonsil. Tonsil terletak di lateral orofaring,

dibatasi oleh:2

1. Lateral : m.konstriktor faring superior

2. Anterior : m.palatoglosus
3. Posterior : m.palatofaringeus

4. Superior : palatum mole

5. Inferior : tonsil lingual

Ruang peritonsil digolongkan sebagai ruang intrafaring walaupun

secara anatomi terletak di antara fasia leher dalam. Dinding medial ruang

peritonsil dibentuk oleh kapsul tonsil, yang terbentuk dari fasia faringo-basilar

dan menutupi bagian lateral tonsil. Dinding lateral ruang peritonsil dibentuk

oleh serabut horizontal otot konstriktor superior dan serabut vertikal otot

palatofaringeal. Pada sepertiga bawah permukaan bagian dalam tonsil, serabut-

serabut otot palatofaringeal meninggalkan dinding lateral dan meluas secara

horizontal menyeberangi ruang peritonsil kemudian menyatu dengan kapsul

tonsil. Hubungan ini disebut ligamen triangular atau ikatan tonsilofaring.

Batas-batas superior, inferior, anterior dan posterior ruang peritonsil ini juga

dibentuk oleh pilar-pilar anterior dan posterior tonsil.2


B. Definisi

Abses peritonsilar merupakan kumpulan pus yang terlokalisasi pada

jaringan peritonsilar yang terbentuk sebagai hasil dari tonsilitis yang supuratif.3

Abses dapat timbul dari peritonsilitis yang membentuk penonjolan ke dalam

rongga mulut yang terlihat jelas di arcus palatini.4 Gejala yang hanya

terlokalisasi pada satu sisi menandakan abses peritonsil.5


C. Epidemiologi

Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20-40 tahun.

Pada anak jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit

kekebalan tubuh, tetapi infeksi pada anak dapat menyebabkan obstruksi jalan

napas. Abses peritonsil pada anak-anak lebih sering terjadi pada anak diatas

usia 10 tahun, tetapi dapat juga terjadi diatas 1 tahun.10 Persentase efek

gangguan jalan napas sama pada anak laki-laki dan perempuan.Insiden abses

peritonsil di Amerika Serikat terjadi 30 per 100.000 orang/tahun. Dikutip dari

Hanna BC, Herzon melaporkan data insiden terjadinya abses peritonsil;

1/6500populasi atau 30.1/40.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Di

Irlandia Utaradilaporkan 1 per 10.000 pasien per tahun, dengan rata-rata usia

26,4 tahun.11

D. Etiologi

Etiologi penyakit ini adalah gabungan dari bakteri aerobik dan

anaerobik di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses

peritonsilar adalah di daerah pilar tonsil anterior, fossa piriformis inferior, dan

palatum superior. Abses peritonsilar terbentuk oleh karena penyebaran bakteri

anaerob, yaitu Streptococcus pyogenes (Group A Beta-Hemolitik

streptococcus), Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae. Sedangkan

organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella,

Porphyromonas, dan Peptostreptococcus spp.3


E. Patofisologi

Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat

longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil

tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.

Walaupun sangat jarang abses peritonsil dapat terbentuk dibagian posterior.

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat) selain pembengkakan tampak

permukaannya hipereremis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga

daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil

dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlangsung terus menerus,

peradangan akan terjadi dijaringan sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada

m. Pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan

sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.6

Pada sebagian besar kasus abses peritonsil, nanah ditemukan mengisi

supra peritonsil, yang ditandai dengan pembengkakan dan edem palatum mole

mengakibatkan tonsil terdorong ke bawah dan ke tengah. Pada kelompok kasus

lain, pus menyerang ke bawah dan kebelakang, mendorong tonsil ke depan dan

menimbulkan sedikit pembengkakan didaerah supratonsil. Pilar posterior

sangat menggembung dan abses terdapat dilokasi ini. Bila m. Konstriktor

superior dimasuki oleh abses dapat menimbulkan infeksi di ruang parafarng.

Pus masuk secara langsung lewat vena. Dari sini pus menyusup ke bawah dan

memasuki mediastinum. Pembuluh besar dileher dapat terkena, meskipun

jarang dan mungkin dapat menyebabkan kematian.7

E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis

Pada abses peritonsil biasanya didapatkan odinofagi yang hebat,

nyeri telinga pada sisi yang sama dengan bagian yang sakit (otalgia),

kadang-kadang terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),

hipersalivasi, hot potato voice (suara bergumam), dan kadang-kadang terjadi

trismus serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.6

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan faringoskop biasanya sulit didapatkan hasil yang

lengkap karena pasien sukar untuk membuka mulut. Pada abses peritonsil

ditemukan palatum mole tampak edem dan menonjol kedepan, dapat teraba

fluktuasi, uvula edem dan terdorong ke sisi kontralateral, tonsil hipertrofi,

hiperemis dan mungkin banyak detritus serta terdorong ke arah tengah,

depan dan bawah.6 Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole

superior dari tonsil yang terkena, di fossa supratonsiler serta dapat pula

ditemukan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional.8

3. Pemeriksaan Penunjang

Gold standar pemeriksaan yaitu aspirasi jarum (needle aspiration).

Tempat yang akan dilakukan aspirasi dianastesi dengan menggunakan

lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang

biasa menempel pada syringe 10cc. Aspirasi material yang purulen

merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibuat biakannya

sehingga dapat diketahui organisme yang membuat infeksi demi

kepentingan terapi antibiotik.9


Pada pasien abses peritonsil dapat dilakukan pemeriksaan:9

a. Darah rutin, pengukuran kadar elektrolit dan kultur darah.

b. Plain radiographs, yaitu foto pandangan jaringan lunak lateral

(lateral soft tissue views) dari nasofaring dan orofaring dapat

menyingkirkan diagnosis abses retrofaring.

c. CT Scan, biasanya tampak kumpulan cairan hipodens di apex

tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada peritonsil.

Pemeriksaan ini dapat membantu untuk perencanan operasi.


d. Peripheral rim enhancement ultrasound, contohnya intraoral

ultrasonografi, mempunyai tehnik yang simple dan noninvasif dan

dapat membedakan antara selulitis dan awal dari abses.10

F. Diagnosis Banding

Penonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiap pembengkakan pada

daerah peritonsilar harus dipertimbangkan penyakit lain selain abses peritonsil

sebagai diagnosis banding. Contohnya adalah infeksi mononukleosis, benda

asing, tumor / keganasan / limfoma, penyakit Hodgkin leukemia, adenitis

servikal, aneurisma arteri karotis interna dan infeksi gigi. Kelainan-kelainan ini

dapat dibedakan dari abses peritonsil melalui pemeriksaan darah, biopsi dan

pemeriksaan diagnostik lain.2

G. Tata Laksana
Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah

insisi, drainase dan terapi antibiotika, diikuti oleh tonsilektomi beberapa

minggu kemudian.2

1. Terapi antibiotika

Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam

penanganan abses peritonsil adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan

sesudah pembedahan. Antibiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis

tinggi disertai obat simptomatik, kumur- kumur dengan cairan hangat dan

kompres hangat pada leher (untuk mengendurkan tegangan otot). Dengan

mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi

antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul.

Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama kedua atau ketiga) biasanya

merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan

diberikan dengan mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi atau

timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi organisme. Penisilin dapat

digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan disebabkan

oleh kuman staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba yang

sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika

alternatif yang sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat

ini dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan untuk menangani bakteri

yang memproduksi beta laktamase.2

2. Insisi dan drainase


Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga

disebut intraoral drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan

drainase abses yang adekuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi

biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil

atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.2

3. Teknik insisi

Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi

duduk menggunakan anestesi lokal. Anestesi lokal dapat dilakukan pada

cabang tonsilar dari nervus glossofaringeus (N.IX) yang memberikan

inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan menyuntikkan lidokain

melalui mukosa ke dalam fosa tonsil. Pada penderita yang memerlukan

anestesi umum, posisi penderita saat tindakan adalah kepala lebih rendah

(trendelenberg) menggunakan ETT (Endotrakeal tube). Anestesi topikal

dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan lidokain 4-5% atau

tetrakain 2% untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain.

Menggunakan pisau skalpel no.11.2

Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap

dengan menggunakan alat penghisap.Tindakan ini (menghisap pus) penting

dilakukan untuk mencegah aspirasi yang dapat mengakibatkan timbulnya

pneumonitis. Biasanya bila insisi yang dibuat tidak cukup dalam, harus

lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup banyak pus yang keluar dan

lubang insisi yang cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur

dengan antiseptik dan diberi terapi antibiotika.Umumnya setelah drainase


terjadi, rasa nyeri akan segera berkurang. Pus yang keluar juga sebaiknya

diperiksakan untuk tes kultur dan sensitifitas, biasanya diambil saat aspirasi

(diagnosis).2

4. Drainase dengan aspirasi jarum

Model terapi abses peritonsil yang digunakan sampai saat ini,

pertama insisi dan drainase serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada

beberapa penelitian yang mendiskusikan tentang aspirasi menggunakan

jarum sebagai salah satu terapi bedah pada abses peritonsil. Beberapa

keuntungan dari evaluasi penatalaksanaan aspirasi jarum dibanding insisi

dan drainase adalah:2

a. Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah.

b. Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma minimal

(yang biasanya dapat dilakukan sebelum insisi dan drainase).

c. Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita / tidak menakutkan.

d. Tidak / kurang mencederai struktur jaringan sekitar.


e. Lebih memudahkan untuk mengumpulkan spesimen / pus guna

pemeriksaan mikroskopis dan tes kultur / sensitifitas.

f. Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan.

g. Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum.

h. Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses peritonsil.

Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah:2

a. Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang berulang.

b. Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara maksimal.

c. Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat menyebabkan

proses penyembuhan lama.

5. Teknik aspirasi

Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum no.18

setelah pemberian anestesi topikal (misalnya xylocain spray) dan infiltrasi

anestesi lokal (misalnya lidokain).Lokasi aspirasi pertama adalah pada titik

atau daerah paling berfluktuasi atau pada tempat pembengkakan maksimum.

Bila tidak ditemukan pus, aspirasi kedua dapat dilakukan 1 cm di bawahnya

atau bagian tengah tonsil. Aspirasi jarum, seperti juga insisi dan drainase,

merupakan tindakan yang sulit dan jarang berhasil dilakukan pada anak

dengan abses peritonsil karena biasanya mereka tidak dapat bekerja sama.

Selain itu tindakan tersebut juga dapat menyebabkan aspirasi darah dan pus

ke dalam saluran nafas yang relatif berukuran kecil.2


6. Tonsilektomi

Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang

kontroversial sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada

abses peritonsil adalah karena berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan

pada penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak sehingga tindakan

pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya

kekambuhan. Sementara insisi dan drainase abses merupakan tindakan yang

paling banyak diterima sebagai terapi utama untuk abses peritonsil,

beberapa bentuk tonsilektomi kadang-kadang dilakukan. Waktu pelaksanaan

tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi:2

a. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera / bersamaan dengan drainase

abses.

b. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase.

c. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.

Ming CF13 mengatakan tonsilektomi merupakan penanganan yang

terbaik untuk mencegah rekurensi abses peritonsil. Pada masa lalu, orang

berpendapat operasi harus dilakukan 2-3 minggu setelah infeksi akut

berkurang. Tetapi setelah 2-3 minggu, menimbulkan bekas luka yang


terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan

menimbulkan perdarahan serta sisa tonsil. Saat ini tampaknya dibenarkan

bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil, dilakukan dalam anestesi umum,

melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam perlindungan terapi

antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko yang sama dengan

tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy). Beberapa

keuntungan dari tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:2

a. Penanganan penderita dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit.

b. Memberikan drainase pus yang lengkap.

c. Mengurangi kesulitan tonsilektomi selang waktu yang kadang-kadang

timbul.

d. Mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit)

e. Mengurangi rasa sakit dengan segera dan menghilangkan perasaan tidak

enak mengalami prosedur yang lain (insisi dan drainase).

Beberapa kerugian tindakan tonsilektomi segera pada abses

peritonsil adalah:2

a. Dapat terjadinya perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi.

b. Dapat terjadi trombosis, sinus kavernosus, aspirasi paru, dan meningitis.

Indikasi tonsilektomi segera, yaitu:2

a. Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus

atau abses yang berlokasi di kutub bawah.

b. Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring,

dengan resiko meluas ke daerah leher dalam.


c. Penderita dengan DM (Diabetes Melitus) yang memerlukan toleransi

terhadap terapi berbagai antibiotika.

d. Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat, karena abses

akan sangat mudah meluas ke daerah leher dalam.

Pada umumnya insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12

minggu kemudian adalah prosedur terapi abses peritonsil. Dikutip dari Ming

CF13, KY Wen merekomendasikan bahwa pasien harus dilakukan operasi

2-3 hari setelah infeksi terkontrol jika ukuran luka pada abses yang pecah

spontan kurang dari 2,5 cm. Namun, bila ukuran luka pada abses yang pecah

spontan lebih dari 2,5 cm maka tindakan operasi harus dilakukan segera

dengan tetap memperhatikan kondisi umum dan komplikasi sistemik pada

pasien.2

G. Komplikasi

Komplikasi pada abses dapat berupa:6


1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau

piemia.

2. penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses

parafaring. Pada penjalaran selanjutnya dapat menginfeksi daerah

mediastinum sehingga menyebabkan mediastinitis.

3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus

sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.

H. Prognosis

Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan

kematian kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan terjadi

aspirasi ke paru dan juga terjadi komplikasi ke intrakranial. Abses peritonsil

hampir selalu berulang jika tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka biasanya

ditunda hingga 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut, peradangan telah

mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.9

DAFTAR PUSTAKA

1. Agus, F.W. Eka, D.A.P. Abses Peritonsiler. Jurnal Ilmia Kedokteran

Medicina. 2013. 186-189

2. Novialdi., Prijadi, J. Diagnosis dan Penatalaksaan Abses Tonsil. Jurnal

Universitas Andalas.

3. Palmasari, A., Hadi, P. Tatalaksana Ulkus yang Disebabkan oleh Pecahnya

Abses Periotinsiler. Jurnal Dentofasial. 2011. 10 (3). 166-168

4. Nagel, P. Gurkov, R. Dasar-Dasar Ilmu THT Edisi 2. Jakarta. EGC. 2012


5. Ludman, H., Bradley, P.J. ABC Telinga Hidung Tenggorok Edisi 5. Jakarta.

EGC. 2011

6. Fachruddin, D. Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga, Hidung, Tengoorok, Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta.

Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI. 2012

7. Ballenger, J.J. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Jilid

I Edisi 13. Jakarta.

8. Anggraini, D., Sikumbang, T. 2001. Atlas Histologi Di Fiore dengan

Korelasi Fungsional, Edisi 9. EGC. Jakarta

9. Kartosoediro, S.R. 2007. Abses Leher Dalam Edisi VI. Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

10. Henry. Peritonsillar Abscess. Available at:

http://www.revolutionultrasound.com. Accessed on September 22th

Anda mungkin juga menyukai