Anda di halaman 1dari 13

AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat

Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

ASUPAN MAKAN, STRESS, DAN AKTIVITAS FISIK DENGAN


SINDROM METABOLIK PADA PEKERJA DI JAKARTA

Rahma Listyandini1, Fenti Dewi Pertiwi1, Dian Puspa Riana2


1
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Ibn Khaldun Bogor
2
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Tanjung Priok Jakarta
Email korespondensi: Listyandini@gmail.com

ABSTRAK
Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi penyakit tidak menular terus meningkat, utamanya pada
hipertensi, obesitas, dan diabetes mellitus. Sindrom metabolik ditandai dengan sekumpulan gejala
seperti obesitas sentral, dislipidemia, hipertensi, dan resistensi insulin. Pekerja kantoran di wilayah
urban diketahui lebih berisiko mengalami sindrom metabolik dibandingkan di wilaya rural. Tujuan
penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan usia, jenis kelamin, stress, asupan makan, dan
aktivitas fisik, dengan sindrom metabolik pada pekerja. Metode: Jenis penelitian adalah observasional
dengan desain cross-sectional. Sampel terdiri dari 256 pekerja. Data penelitian didapat melalui rekam
medis kesehatan pekerja dan kuesioner. Hasil penelitian ini ditemukan Sebanyak 38,7% pekerja
mengalami sindrom metabolik. Ada hubungan antara umur (p=0,0005), lama kerja (p=0,0005), asupan
karbohidrat (p=0,032), dan aktivitas fisik (p=0,003), dengan sindrom metabolik pada pekerja. Perlu
dilakukan perbaikan manajemen asupan makan, utamanya karbohidrat dan perlu membuat program
peningkatan aktivitas fisik pada pekerja kantoran.

Kata Kunci: Asupan Makan; Stress; Aktivitas Fisik; Sindrom Metabolik

ABSTRACT
Riskesdas 2018 have reported increasing prevalence of noncommunicable disease such as
hypertension, obesity, and diabetes mellitus. Metabolic syndrome is cluster of abdominal obesity,
dyslipidemia, hypertension, and insulin resistence. Risk of metabolic syndrome among workers in
urban is higher than workers in rural area. Objective this research to identify relationship between
age, sex, stress, food intake, physical activity, and metabolic syndrome. It was observational study
with cross sectional design. It consisted of 256 samples. Data was obtain from workers medical record
and questionnaire. Prevalence of metabolic syndrome among workers was 38,7%. There were
significant relationship between age (p=0,0005), work period (p=0,0005) carbohydrate intake
(p=0,032), and physical activity (p=0,003), with metabolic syndrome among workers. Conclusion, We
need to improve food intake management, especially for carbohydrate intake, and also creating
program to increase physical activity among workers.

Keywords: Food intake; stress; physical activity; metabolic syndrome

19
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

PENDAHULUAN O’Driscoll (2015) melakukan studi dengan


Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi membandingkan prevalensi SM menggunakan
penyakit tidak menular terus meningkat, kriteria NCEP ATP III dan IDF.7 Dijumpai
utamanya pada hipertensi, obesitas, dan sekitar 34,5%±0,9% penduduk Amerika
diabetes mellitus.1 Seseorang yang menderita mengalami sindrom metabolik dengan kriteria
beberapa komponen tersebut dapat dikatakan NCEP ATP III, sedangkan dengan kriteria IDF
mengalami gangguan metabolik. Sindrom ditemukan 39,0%±1,1% mengalami sindrom
metabolik (SM), yaitu merupakan sekumpulan metabolik.
gejala yang terdiri dari obesitas sentral, kadar Pada kelompok Asia, dijumpai
trigliserida (TG) yang tinggi, hipertensi (HI), prevalensi SM sebesar 10-30% dengan
high density lipoprotein (HDL) rendah, dan menggunakan kriteria yang telah diadaptasi
tingginya kadar glukosa darah puasa (GDP). untuk penduduk Asia (IMT ≥25 kg/m2 dan
Berdasarkan kriteria NCEP-ATP III (2001), lingkar pinggang ≥90 cm pada pria dan ≥80
seseorang dikatakan mengalami SM jika cm pada wanita). Kelompok yang memiliki
memiliki sedikitnya 3 dari 5 komponen SM, berisiko menderita penyakit diabetes dan
tersebut. Sindrom metabolik meningkatkan penyakit jantung koroner. Risiko diabetes
risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes mellitus tipe 2 sepuluh kali lebih tinggi pada
mellitus tipe 2 sebesar lima kali lipat dan risiko kelompok usia middle-aged yang memiliki
penyakit kardiovaskular sebesar tiga kali SM, dibanding pada populasi sehat. Penduduk
lipat.2,3 Selain itu, dampak lain yang Cina dan Jepang yang memiliki SM, berisiko
ditimbulkan SM ialah mikroalbuminuria, 3-10 kali menderita penyakit jantung.8
penyakit ginjal kronis, disfungsi seksual, Sindrom metabolik dikaitkan dengan
disfungsi kognitif, dan kanker.4 asupan makan. Insiden sindrom metabolik
Prevalensi sindrom metabolik cukup diduga berhubungan dengan pergeseran gaya
bervariasi yang disebabkan oleh adanya hidup akibat pengaruh globalisasi. Gaya hidup
perbedaan kriteria yang digunakan, perbedaan masyarakat berubah menuju masyarakat
kelompok etnis, umur, dan jenis kelamin.5 modern dengan pola konsumsi makanan
Secara global, insidens SM meningkat cepat tradisional beralih ke makanan instan dan
dengan prevalensi 20-25%. Menurut Pal dan kebarat-baratan. Berdasarkan penelitian kohort
Ellis (2010) sebanyak 20% penduduk belahan dalam waktu 9 tahun, didapati 40% kasus baru
dunia bagian barat mengalami sindrom sindrom metabolik. Dapat disimpulkan bahwa
metabolik.6 Berdasarkan kriteria NCEP ATP western food, seperti daging dan makanan
III, sebanyak 22,5% penduduk Amerika gorengan meningkatkan kasus sindrom
mengalami sindrom metabolik. Pada tahun metabolik. Sementara itu penelitian lain
2005, Ford yang dikutip oleh O’Neill & mendapati konsumsi dairy product, ikan, dan

20
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

sereal tinggi melindungi terjadinya sindrom Penelitian ini bertujuan: 1) mendapatkan


9,10
metabolik. informasi mengenai proporsi sindrom
Selain pola konsumsi, usia dapat metabolik pada pekerja di salah satu
meningkatkan risiko sindrom metabolik. perkantoran di kota Jakarta berdasarkan usia,
Peningkatan umur menyebabkan perubahan jenis kelamin, stress kerja, pola makan, indeks
komposisi tubuh meliputi peningkatan massa massa tubuh, dan aktivitas fisik; 2)
lemak, utamanya obesitas sentral yang menjadi mengidentifikasi hubungan usia, jenis kelamin,
salah satu faktor sindrom metabolik.11 Stress stress kerja, pola makan, indeks massa tubuh,
dapat memengaruhi terjadinya sindrom dan aktivitas fisik, dengan sindrom metabolik
metabolik, melalui mekanisme gangguan pada pekerja di salah satu perkantoran di kota
keseimbangan hormone hypothalamic- Jakarta;
pituitary-adrenal axis (HPA-axis).12 Aktivitas
fisik yang kurang memadai dan asupan kalori METODE
yang berlebih juga menjadi faktor risiko Penelitian ini merupakan penelitian
sindrom metabolik. Seseorang dengan aktivitas kuantitatif dengan desain cross sectional.
fisik yang rendah dapat mengalami risiko Populasi diambil pada pekerja instansi
sindrom metabolik 2 kali lebih besar dibanding pemerintah di lingkungan Pelabuhan Tanjung
mereka yang memiliki aktivitas fisik yang Priok, yang tidak hamil dan tidak menderita
baik.13 Di Indonesia, dengan menggunakan penyakit diabetes dan jantung coroner. Area
kriteria NCEP ATP III dengan modifikasi kerja yang diamati dalam penelitian ini
kriteria untuk Asia, dilaporkan bahwa meliputi Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I
prevalensi sindrom metabolik di Jakarta Tanjung Priok (55 sampel), Otoritas Pelabuhan
sebesar 21,6% yang terdiri dari 24,7% pada Tanjung Priok (49 sampel), Polres Pelabuhan
laki-laki dan 11,8% pada perempuan. Tanjung Priok (51 sampel), KPU Bea dan
Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui Cukai Tipe A Tj. Priok (60 sampel), dan Balai
bahwa usia pekerja khususnya pada kisaran Besar Karantina Pertanian Tj. Priok (41
30-55 tahun dan menduduki posisi manajerial, sampel). Besar sampel didapati menggunakan
14,15
berisiko mengalami sindrom metabolik software sample size 2.0 WHO. Pengambilan
dikarenakan memiliki beban kerja yang tinggi, sampel dilakukan dengan cara simple random
rentan mengalami stress kerja, aktivitas fisik sampling dan didapati total sampel sebanyak
yang kurang memadai, dan pola makan yang 256 pekerja.
didominasi oleh karbohidrat dan lemak. Maka Teknik pengumpulan data yaitu dengan
perlu dilakukan penelitian guna cara primer meliputi variabel independen yaitu
mengidentifikasi faktor yang dapat mencegah asupan makan, stress, aktivitas fisik, indeks
sindrom metabolik dengan efektif. massa tubuh, usia, dan jenis kelamin. Asupan

21
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

makan diukur menggunakan lembar Food dan Perempuan < 50 mg/dL; 5) Tekanan darah
Frequency Questionnaire (FFQ) semi- Sistolik > 130 mmHg, Diastolik > 85 mmHg.
kuantitatif. Asupan dalam penelitian ini VarIabil yang diteliti diuji dengan
dikelompokkan menurut asupan energy, analisis univariate dan bivariat. Analisis
karbohidat, protein, lemak, dan serat. Stress bivariate pada variabel umur dan lama kerja
diukur menggunakan Hamilton Anxiety Rating menggunakan uji t-test, sedangkan pada
Scale. Indeks massa tubuh diidentifikasi variabel jenis kelamin, pendidikan, asupan
berdasarkan pengukuran antropometri pada makan, aktivitas fisik, dan stress menggunakan
Tinggi Badan dan Berat Badan. Pengukuran uji chi square.
Tinggi Badan menggunakan microtoice dan
Berat Badan diukur menggunakan timbangan HASIL DAN PEMBAHASAN
digital. Aktivitas fisik diukur menggunakan Hasil penelitian dibagi menurut
Global Physical Activity Questionnaire - distribusi karakteristik individu pekerja (tabel
WHO. 1), distribusi faktor risiko sindrom metabolik
Selain itu, pengumpulan data untuk pada pekerja (tabel 2), yang meliputi variabel
variabel dependen, yaitu komponen Sindrom asupan makan, aktivitas fisik, dan stress, serta
Metabolik, dilakukan dengan mengambil data distribusi komponen sindrom metabolik (tabel
sekunder berupa rekam medis kesehatan 3). Hasil uji bivariate ditampilkan pada tabel 4.
peekrja. Komponen Sindrom Metabolik yang
diteliti dalam penelitian ini adalah Tekanan Karakteristik Individu Pekerja
Darah, Gula Darah, Lingkar Perut, kadar Berdasarkan tabel 1 didapati bahwa
Trigliserida, dan kadar HDL. Teknik sebagian besar sampel berjenis kelamin laki-
pengukuran gula darah, kadar TG, dan kadar laki yaitu sebanyak 68%, dibandingkan pekerja
HDL dilakukan dengan analisis biokimia perempuan (32%). Rerata umur pekerja dalam
darah. Pengukuran dilakukan oleh dokter, penelitian ini adalah 36 tahun. Umur pekerja
perawat, dan analis laboratorium. Pengukuran termuda adalah 20 tahun dan paling tua
sindrom metabolik dilakukan dengan berumur 58 tahun. Sebagian besar pekerja
mencocokkan rekam medis pekerja pada memperoleh pendidikan hingga jenjang
kriteria definisi NCEP ATP III revisi 2005 perguruan tinggi yaitu sebanyak 55%. Rerata
yang dimodifikasi untuk ras Asia, dengan lama kerja sampel dalam penelitian ini telah
memenuhi 3 dari 5 kriteria berikut: bekerja selama 10 tahun.
-laki ≥ 90 cm dan Berdasarkan tabel 2, variabel asupan
Perempuan ≥ 80 cm; 2) Kadar glukosa puasa ≥ makan dikelompokkan menurut kecukupan
energy, karbohidrat, protein, lemak, dan serta.
-laki < 40 mg/dL Asupan energy pekerja yang diamati hampir

22
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

seluruhnya dalam kategori cukup (77%). sebanyak 38,7%. Sementara yang tidak
Namun, pada aspek asupan karbohidrat, mengalami sindrom metabolik dijumpai
sebagian besar pekerja mengalami kelebihan sebanyak 61,3%. Komponen sindrom
asupan (68%). Demikian pula pada kecukupan metabolik terdiri dari obesitas sentral,
protein sebagian besar dalam kategori lebih hiperglikemia, hipertrigliserida, kadar HDL
(90%), dan kecukupan lemak sebagian besar rendah, dan hipertensi. Berdasarkan urutannya,
dalam kategori lebih (76%). Selain itu, komponen yang paling banyak dialami pekerja
didapati juga hampir seluruh pekerja adalah obesitas sentral (35,2%), kemudian
kekurangan serat (98%). disusul dengan kadar HDL rendah (34,8%),
hiperglikemia (29,3%), hipertensi (22,7%), dan
hipertrigliserida (18,8%).
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Individu
pada Pekerja Tabel 2. Distribusi Faktor Risiko Sindrom
Variabel Kategori N (%) Metabolik pada Pekerja
(n=256)
Variabel Kategori N (%)
Jenis Laki-laki 174 68
(n=256)
Kelamin
Asupan Makan
Perempuan 82 32
Energi Cukup 198 77
Umur Mean 35,89
Lebih 58 23
Median 34
Karbohidrat Cukup 82 32
Min - Maks 20 - 58
Lebih 174 68
Pendidikan SLTA 115 45
Protein Cukup 25 10
D3, S1, S2, 141 55
Lebih 231 90
S3
Lemak Cukup 61 24
Lama Mean 10,35
Lebih 195 76
Kerja
Serat Cukup 5 2
Median 6
Kurang 251 98
Min-Maks 1-37
Aktivitas Fisik Aktif 111 43
Kurang 145 57
Menurut variabel aktivitas fisik, Aktif
diketahui mayoritas pekerja dalam kategori Stress Tidak 213 83
Stress
kurang aktif (57%). Sedangkan dalam kategori Stress 31 12
aktif mencapat 43% pekerja. Ringan
Stress 9 4
Hasil pengukuran variabel Stress Sedang
dikelompokkan menjadi beberapa kategori, Stress 3 1
Berat
yaitu tidak stress (83%), stress ringan (12%), Stress 0 0
stress sedang (4%), stress berat (1%), dan Berat
Sekali
stress berat sekali (0%).
Berdasarkan tabel 3, diketahui jumlah Berdasarkan tabel 3, diketahui jumlah
pekerja yang mengalami sindrom metabolik pekerja yang mengalami sindrom metabolik
23
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

sebanyak 38,7%. Sementara yang tidak mengalami sindrom metabolik lebih banyak
mengalami sindrom metabolik dijumpai dialami oleh pekerja laki-laki yaitu 69 orang.
sebanyak 61,3%. Komponen sindrom Akan tetapi pada kelompok perempuan yang
metabolik terdiri dari obesitas sentral, mengalami sindrom metabolik didapati
hiperglikemia, hipertrigliserida, kadar HDL sebanyak 30 orang. Tidak ada hubungan antara
rendah, dan hipertensi. Berdasarkan urutannya, variabel jenis kelamin dengan sindrom
komponen yang paling banyak dialami pekerja metabolik pada pekerja (p=0,739).
adalah obesitas sentral (35,2%), kemudian Rerata umur pekerja yang mengalami
disusul dengan kadar HDL rendah (34,8%), sindrom metabolik adalah berumur
hiperglikemia (29,3%), hipertensi (22,7%), dan 41,55±11,12 tahun, sedangkan yang tidak
hipertrigliserida (18,8%). mengalami sindrom metabolik rerata berumur
32,33±10,62. Pada variabel lama kerja, rerata
Tabel 3. Distribusi Komponen Sindrom umur pekerja yang mengalami sindrom
Metabolik (SM) pada Pekerja metabolik adalah 15,25±11,44 tahun,
Variabel Kategori N (%) sedangkan yang tidak adalah 7,24±7,18 tahun.
(n=256) Ada hubungan antara variabel umur dan lama
Sindrom Tidak 157 61,3
Metabolik kerja dengan sindrom metabolik pada pekerja
Ya 99 38,7 (p=0,000%).
Komponen Obesitas Sentral 90 35,2
SM Berdasarkan variabel asupan energy,
Hiperglikemia 75 29,3 diketahui bahwa sebanyak 27 pekerja (46,6%)
Hipertrigliserida 48 18,8
HDL Rendah 89 34,8 memiliki asupan energy berlebih dan
Hipertensi 58 22,7 mengalami sindrom metabolik. Namun,
diketahui pada 31 pekerja (53,4%) memiliki
Tabel 4 menunjukkan variabel yang
asupan energy berlebih tidak mengalami
berhubungan dengan sindrom metabolik pada
sindrom metabolik. Tidak ada hubungan antara
pekerja adalah umur (p=0,0005), lama kerja
variabel asupan energy dengan sindrom
(p=0,0005), asupan karbohidrat (p=0,032), dan
metabolik (p=0,212).
Aktivitas fisik (p=0,0003). Namun, didapati
Pekerja dengan asupan karbohidrat
bahwa variabel yang tidak berhubungan
melebihi angka kecukupan yang mengalami
dengan sindrom metabolik yaitu jenis kelamin
sindrom metabolik sebanyak 59 orang
(p=0,739) pendidkan (p=0,61), asupan energy
(33,9%). Selain itu, pada pekerja dengan
(p=0,212), asupan protein (p=1,000), asupan
asupan karbohidrat yang berlebih diketahui
lemak (p=0,139), asupan serat (p=1,000), dan
bahwa sebanyak 115 orang (66,1%) tidak
stress (p=0,635).
mengalami sindrom metabolik. Ada hubungan
Berdasarkan kelompok jenis kelamin,
diketahui bahwa prevalensi pekerja yang
24
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

antara asupan karbohidrat dengan sindrom Berdasarkan variabel stress, didapati


metabolik (p=0,032). bahwa pada pada pekerja yang tidak stress
Pada variabel asupan protein, dapat yaitu sejumlah 213 orang, lebih banyak
dilihat bahwa sebanyak 89 pekerja (38,5%) dibandingkan pekerja yang stress, yaitu dalam
yang memiliki asupan protein berlebih kategori stress ringan (12%), stress sedang
mengalami sindrom metabolik. Selain itu, (4%), stress berat (1%), dan stress berat sekali
didapati bahwa pada pekerja dengan asupan (0%). Diketahui bahwa pekerja dalam
protein yang berlebih sebanyak 142 pekerja kelompok stress ringan yang mengalami
(61,5%) tidak mengalami sindrom metabolik. sindrom metabolik sebanyak 15 orang,
Tidak ada hubungan antara variabel asupan sedangangkan yang tidak mengalami sindrom
protein dengan sindrom metabolik (p=1,000). metabolik sebanyak 16 orang. Tidak ada
Pada variabel asupan lemak, diketahui hubungan antara variabel stress dengan
bahwa sebanyak 70 pekerja (35,9%) dengan sindrom metabolik (p=0,635).
asupan lemak yang berlebih mengalami Beberapa studi mengenai sindrom
sindrom metabolik, dan sebanyak 125 pekerja metabolik pada pekerja telah dilakukan
(64,1%) dengan asupan lemak berlebih tidak sebelumnya. Diketahui bahwa asupan makan
mengalami sindrom metabolik. Tidak ada yang kurang baik, aktivitas fisik yang rendah,
hubungan antara variabel asupan lemak dengan dan stress akibat beban kerja, berhubungan
sindrom metabolik (p=0,139). dengan terjadinya sindrom metabolik pada
Pada variabel asupan serat, didapati pekerja (11–13). Sindrom metabolik ditandai
bahwa 97 pekerja (38,6%) dengan asupan serat dengan munculnya obesitas sentral,
yang kurang mengalami sindrom metabolik, dislipidemia, hipertensi, dan resistensi insulin.
sedangkan 154 pekerja (61,4%) dengan asupan
serat yang kurang tidak mengalami sindrom Sindrom Metabolik
metabolik. Tidak ada hubungan antara asupan Pada penelitian ini prevalensi pekerja
serat dengan sindrom metabolik (p=1,000). yang mengalami sindrom metabolik sebanyak
Berdasarkan variabel aktivitas fisik, 38,7%. Jika dibandingkan dengan hasil
diketahui bahwa pada pekerja yang penelitian sebelumnya, angka ini termasuk
kekurangan aktivitas fisik, sebanyak 68 lebih besar dibandingkan penelitian pada
pekerja (46,9%) mengalami sindrom tahun-tahun sebelumnya. Studi yang dilakukan
14
metabolik, sedangkan pada 77 pekerja (53,1%) oleh Zahtamal dkk. (2014) pada kelompok
tidak mengalami sindrom metabolik. Ada pekerja dari dua perusahan yang berlokasi di
hubungan antara aktivitas fisik dengan sindrom Provinsi Riau, dari 552 pekerja, didapati
metabolik (p=0,003). sebanyak 21,58% pekerja mengalami sindrom
metabolik. Hal ini juga sejalan dengan

25
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

penelitian yang dilakukan oleh Kamso dkk Stress 4 (44,4) 5 (55,6)


sedang
15
(2011) Hasil penelitian tersebut menunjukkan Stress 15 (48,4) 16 (51,6)
ringan
bahwa dari 300 responden yang berasal dari Tidak 78 (36,6) 135 (63,4)
stress
kelompok eksekutif yang bekerja di beberapa
perusahan yang berlokasi di Jakarta, didapati
Pengukuran sindrom metabolik pada
bahwa 21,6% pekerja mengalami sindrom
penelitian ini merujuk pada kriteria definisi
metabolik. Hal tersebut diduga karena semakin
NCEP ATP III revisi 2005 yang dimodifikasi
tahun angka prevalensi penyakit tidak menular
untuk ras Asia, dengan memenuhi 3 dari 5
di Indonesia semakin meningkat. Riskesdas
kriteria berikut: obesitas sentral, tingginya
2018 menunjukkan prevalensi penyakit tidak
kadar glukosa puasa, tingginya kadar
menular terus meningkat dibandingkan pada
trigliserida, rendahnya kadar HDL, dan
tahun 2013, utamanya pada hipertensi,
tingginya tekanan darah. Berdasarkan
obesitas, dan diabetes mellitus. 1,16
urutannya, komponen yang paling banyak
dialami pekerja pada penelitian ini adalah
Tabel 4. Hubungan Karakteristik Individu dan
obesitas sentral (35,2%), kemudian disusul
Faktor Risiko dengan Sindrom Metabolik
dengan kadar HDL rendah (34,8%),
Variabel Sindrom Metabolik P
Ya Tidak hiperglikemia (29,3%), hipertensi (22,7%), dan
N (%) N (%)
Jenis Laki-laki 69 (39,7) 105 (60,3) 0,739 hipertrigliserida (18,8%).
Kelamin
Perempua 30 (36,6) 52 (63,4)
n
Umur (Mean± 41,55±11,1 32,33±10,6 0,000
SD) 2 2 5
Pendidika Rendah 42 (36,3) 73 (63,5) 0,61
n
Tinggi 57 (40,4) 84 (59,6)
Lama (Mean± 15,25±11,4 7,24±7,18 0,000 Obesitas sentral
Kerja SD) 4 5
Asupan
Obesitas sentral terjadi akibat
Makan penumpukan lemak di abdomen dan sangat
Energi Lebih 27 (46,6) 31 (53,4) 0,212
Cukup 72 (36,4) 126 (63,6) berkaitan erat dengan sindrom metabolik dan
KH Lebih 59 (33,9) 115 (66,1) 0,032
Cukup 40 (48,8) 42 (51,2) penyakit kardiovaskuler. Saat ini, prevalensi
Protein Lebih 89 (38,5) 142 (61,5) 1,000
Cukup 10 (40) 15 (60) obesitas sentral semakin meningkat. Menurut
Lemak Lebih 70 (35,9) 125 (64,1) 0,139 data Riskesdas (2018), penduduk Indonesia
Cukup 29 (47,5) 32 (52,5)
Serat Kurang 97 (38,6) 154 (61,4) 1,000 dengan obesitas sentral mengalami
Cukup 2 (40) 3 (60)
Aktivitas Kurang 68 (46,9) 77 (53,1) 0,003 peningkatan yang signifikan pada tahun 2018
Fisik aktif
Aktif 31 (27,9) 80 (72,1) yaitu sebanyak 31%, dibandingkan pada tahun
Stress Stress 0 0 0,635 2013 (26,6%) dan tahun 2007 (18,8%) 1,
berat
sekali Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Stress 2 (66,7) 1 (33,3)
berat

26
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

17
didapati bahwa komponen yang paling sudah dibahas sebelumnya. Didapati sebanyak
dominan adalah obesitas sentral (87,5%). 29,3% pekerja mengalami hiperglikemia dan
Obesitas sentral merupakan bentuk 22,7% hipertensi pada penelitian ini. Sama
manifestasi yang sering dijumpai pada sindrom dengan penelitian lain pada pekerja di kota
metabolik. Fungsi sel lemak pada obesitas Jakarta, dijumpai proporsi hipertensi sebanyak
sentral menjadi abnormal dan menimbulkan 23,3% dan intoleransi glukosa sebanyak
sekresi hormon berlebih sehingga 11,2%. Angka proporsi tersebut menempati
mengakibatkan munculnya berbagai kondisi proporsi terendah dibandingkan komponen SM
patologis. Proses tersebut, yaitu dari obesitas lainnya.15 Hipertensi (tekanan darah abnormal)
menjadi penyakit kronis, dikenal dengan istilah diketahui sebagai pusat patofisiologi SM, di
18
sindrom metabolic. mana 85% penderita SM memilikinya.
Hipertensi biasanya dapat dideteksi saat akhir
Kadar High Density Lipoprotein (HDL) dan dari perjalanan penyakit. Hal ini menandakan
Kadar Trigliserida ancaman dari suatu penyakit, seperti kerusakan
Dislipidemia merupakan salah satu ginjal dan gagal jantung. Resistensi insulin dan
tanda dari sindrom metabolik yaitu suatu obesitas sentral dikenal sebagai penyebab
kondisi profil lipid yang tidak normal, meliputi terjadinya hipertensi.7
kadar trigliserida (TGA), kolesterol total, Hubungan Karakteristik Individu dengan
kolesterol low density lipoprotein (LDL), dan Sindrom Metabolik
kolesterol high density lipoprotein (HDL)19. Pada penelitian ini, diketahui bahwa ada
Pada penelitian ini dijumpai sebanyak 34,8% hubungan antara variabel umur dan lama kerja
dari 256 pekerja memiliki kadar HDL yang dengan sindrom metabolik, sedangkan pada
rendah, dan terdapat 18,8% pekerja memiliki variabel jenis kelamin dan pendidikan tidak
hipertigliserida. Sejalan dengan Anita (2009) ada hubungan. Diketahui pada penelitian ini
yang meneliti sindrom metabolik pada 164 bahwa umur seseorang yang berkisar 41 tahun
(20).
pegawai negeri sipil di Kota Depok Hasil berisiko mengalami sindrom metabolik. Selain
penelitian Anita menemukan bahwa rendahnya itu didapati bahwa seseorang yang telah
kadar HDL pada pekerja menempati proporsi bekerja selama sekitar 15 tahun berisiko
terbesar (68,9%) dibanding komponen SM mengalami sindrom metabolik. Studi di
lainnya. Malaysia menunjukkan bahwa prevalensi
sindrom metabolik pada usia ≥40 tahun
Hipertensi dan Hiperglikemia sebesar 44,6% (50,5% pada wanita dan 38,7%
Persentase hipertensi dan hiperglikemia pada pria), lebih besar dibanding usia < 40
dalam penelitian ini menempati proposi yang tahun, 16% (16,6% pada wanita dan 15,5%
rendah dibandingkan komponen SM lain yang pada pria) (21). Temuan dalam penelitian ini

27
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

menunjukkan bahwa tempat kerja perlu hipoglikemia. Hipoglikemia dapat


membuat program skrining kesehatan pada menimbulkan stress, meningkatkan kelaparan,
kelompok usia di bawah 41 tahun sehingga menyebabkan kebutuhan karbohidrat
tanda-tanda sindrom metabolik dapat segera meningkat. 23
dideteksi dan dicegah. Serat diketahui dapat membantu dalam
Peningkatan lemak tubuh dan berat memperbaiki kadar profil lipid darah.
badan sejalan dengan bertambahnya umur. Dijumpai dari hasil penelitian ini terdapat 98%
Rata-rata, IMT akan meningkat paling besar pekerja kekurangan asupan serat. Serupa
pada kelompok usia muda. Pada kelompok dengan penelitian Anita20, dijumpai 91,5%
usia dewasa, terdapat penurunan massa otot pekerja mengalami kekurangan asupan serat.
dan peningkatan lemak tubuh. Penurunan Serat dapat dijumpai pada buah dan sayuran.
simpanan lemak terhadap usia dapat Menurut Riskesdas 2018, diketahui bahwa
disebabkan oleh kapasitas pra-sel adiposit 95,5% penduduk Indonesia kekurangan asupan
hingga menjadi sel matang. Hal ini disertai sayur dan buah.
dengan akumulasi lemak pada jaringan lemak Pada penelitian ini tidak ada hubungan
luar seperti otot, hati, dan jaringan lain juga antara asupan serat dengan sindrom metabolik.
22
mengalami disfungsi. Namun, hal ini tetap menjadi perhatian bagi
kelompok pekerja, sebab angka asupan serat
Hubungan Asupan Makan dengan Sindrom yang rendah sangatlah tinggi (98%). Selain itu,
Metabolik konsumsi serat yang cukup dapat menurunkan
Hasil temuan studi ini menunjukkan risiko mengalami sindrom metabolik karena
bahwa ada hubungan antara asupan dapat mengurangi berat badan, risiko
karbohidrat dengan sindrom metabolik, namun dyslipidemia, dan risiko hipertensi. Pada
tidak ada hubungan antara asupan energy, penelitian lain, ditemukan bahwa ada
protein, lemak, dan serat dengan sindrom hubungan antara asupan serat dengan sindrom
metabolik. Karbohidrat dengan indeks metabolik.24 Hal ini disebabkan karena serat
glikemik yang tinggi, lebih cepat dicerna pangan dapat mempengaruhi kadar kolesterol
tubuh, sehingga glukosa darah akan dengan cara menjerat lemak di usus halus,
meningkat. Di sisi lain, karbohidrat dengan mengikat asam empedu dan meningkatkan
indeks glikemik yang rendah akan dicerna dan ekskresinya ke feses sehingga dapat
diserap tubuh lebih lambat. Resistensi insulin menurunkan kadar kolesterol LDL dan
diketahui dapat disebabkan oleh meningkatnya trigliserida dan meningkatkan HDL.25
asupan karbohidrat dengan indeks glikemik
yang tinggi. Ledakan insulin dapat dengan Hubungan Aktivitas Fisik dengan Sindrom
cepat menurunkan glukosa darah, yang disebut Metabolik

28
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

Terdapat hubungan yang bermakna antara meningkatnya umur dan lama kerja. Asupan
variabel aktivitas fisik dengan sindrom makan, utamanya asupan karbohidrat yang
metabolik pada penelitian ini. Gaya hidup berlebih berkaitan dengan risiko sindrom
sedentari berkontribusi terhadap epidemi metabolik. Aktivitas fisik yang rendah
obesitas. Latihan fisik menghasilkan banyak berhubungan dengan risiko sindrom metabolik.
manfaat untuk tubuh seseorang. Pada orang
yang melakukan olahraga teratur, sensitivitas SARAN
insulinnya akan meningkat, dan kemampuan Diperlukan peningkatan promosi
mengatur meningkat. Namun, berhenti kesehatan di tempat kerja dengan: 1)
beraktivitas fisik dapat menurunkan melakukan pemeriksaan profil lipid secara
sensitivitas insulin. Otot seseorang yang dilatih berkala pada pekerja sebagai skrining awal
memiliki persediaan darah yang lebih baik, sindrom metabolik, utamanya pada pekerja di
karena glukosa dari darah diperoleh dengan bawah 41 tahun; 2) memperbaiki asupan
efektif. Hati menjadi lebih efisien dalam makan pekerja, utamanya karbohidrat.
memproduksi glikogen dari glukosa yang Perusahaan dapat menyediakan makanan bagi
terdapat dalam darah .4 pekerja dengan menerapkan gizi seimbang dan
“isi piringku”; 3) selain itu, perlu membuat
Hubungan Stress dengan Sindrom program guna meningkatkan aktivitas fisik
Metabolik pada pekerja kantoran di sela waktu bekerja.
Stress psikososial kronis dapat menimbulkan Hal ini dibutuhkan untuk meningkatkan
efek destruktif, menyebabkan perubahan kesehatan kerja pekerja sehingga menurunkan
fisiologis dan struktur tubuh sehingga angka absensi akibat sakit dan meningkatkan
berakibat pada kondisi resistensi insulin, produktivitas pekerja dan perusahaan.
atherosclerosis, dan pada akhirnya menjadi
penyakit kardio vascular.26 Namun, pada UCAPAN TERIMA KASIH
pennelitian tidak dijumpai adanya hubungan Peneliti sangat berterima kasih atas
antara stress dengan sindrom metabolik. Hal dukungan yang diberikan oleh Direktorat Riset
ini sama dengan penelitian oleh Kamso et.al dan Pengabdian Masyarakat Kementrian Riset,
(2011) bahwa tidak ada hubungan anatar stress Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah
15
dengan kejadian sindrom metabolik. membantu dalam pembiayaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2018.
Badan Penelitian dan Pengembangan
KESIMPULAN
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI;
Penelitian ini menunjukkan bahwa risiko 2018.
sindrom metabolik meningkat seiring

29
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

2. Stern MP, Williams K, González- 10. Ruidavets J, Bongard V, Dallongeville J,


Villalpando C, Hunt KJ, Haffner SM. Arveiler D, Ducimetière P, Perret B, et al.
Does the metabolic syndrome improve High consumptions of grain, fish, dairy
identification of individuals at risk of type products and combinations of these are
2 diabetes and/or cardiovascular disease? associated with a low prevalence of
Diabetes Care. 2004 Nov;27(11):2676–81. metabolic syndrome. J Epidemiol
Community Health. 2007 Sep;61(9):810–
3. Can AS, Yildiz EA, Samur G, Rakicioglu 7.
N, Pekcan G, Ozbayrakçi S, et al. Optimal
waist:height ratio cut-off point for 11. Guo S, Zeller C, Chumlea W, Siervogel R.
cardiometabolic risk factors in Turkish Aging, body composition, and lifestyle:
adults. Public Health Nutr. 2010 the Fels Longitudinal Study. Am J Clin
Apr;13(3):488–495 8p. Nutr. 1999;70(3):405–11.

4. Blaha MJ, Tota-Maharaj R. Metabolic 12. Tsigos C, Chrousos G. Hypothalamic-


Syndrome : From Risk Factors to pituitary-adrenal axis, neuroendocrine
Management [Internet]. Torino, ITA: factors and stress. J Psychosom Res.
SEEd Srl; 2012. Available from: 2002;53(4):865–71.
http://site.ebrary.com/lib/indonesiau/docD
etail.action?docID=10572356 13. Katzmarzyk P, Leon A, Wilmore J,
Skinner J, Rao D, Rankinen T, et al.
5. Jafar N. SINDROMA METABOLIK Targeting the Metabolic Syndrome With
DAN EPIDEMIOLOGI. MEDIA GIZI Exercise: Evidence From the HERITAGE
Masy Indones [Internet]. 2012;(Vol 1, No Family Study. Med Sci Sports Exerc. 2003
2 (2012)). Available from: Oct;35(10):1703–9.
http://journal.unhas.ac.id/index.php/mgmi/
article/view/423 14. Zahtamal Z, Prabandari YS, Setyawati L.
Prevalensi Sindrom Metabolik pada
6. Pal S, Ellis V. The Chronic Effects of Pekerja Perusahaan The Prevalence of
Whey Proteins on Blood Pressure, Metabolic Syndrome among Company
Vascular Function, and Inflammatory Workers. Kesmas J Kesehat Masy Nas.
Markers in Overweight Individuals. 2014 Dec 14;9(2):113–20.
Obesity. 2010 Jul;18(7):1354–9.
15. Kamso S, Purwantyastuti P, Lubis DU,
7. O’Neill S, O’Driscoll L. Metabolic Juwita R, Robbi YK, Besral B. Prevalensi
syndrome: a closer look at the growing dan Determinan Sindrom Metabolik pada
epidemic and its associated pathologies. Kelompok Eksekutif di Jakarta dan
Obes Rev Off J Int Assoc Study Obes. Sekitarnya. Kesmas J Kesehat Masy Nas
2015 Jan;16(1):1–12. [Internet]. 2011 [cited 2016 Feb 13];6(2).
Available from:
8. Nestel P, Lyu R, Lip Ping Low, Sheu WH- http://jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kes
H, Nitiyanant W, Saito I, et al. Metabolic mas/article/view/110
syndrome: recent prevalence in East and
Southeast Asian populations. Asia Pac J 16. Kemkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2013.
Clin Nutr. 2007 Jun;16(2):362–7. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI;
9. Lutsey P, Steffen L, Stevens J. Dietary 2013.
intake and the development of the
metabolic syndrome: the Atherosclerosis 17. Sihombing M, Tjandrarini DH. FAKTOR
Risk in Communities study. Circulation. RISIKO SINDROM METABOLIK
2008;117(6):754–61. PADA ORANG DEWASA DI KOTA
BOGOR. Penelit Gizi Dan Makanan J
Nutr Food Res. 2015;38(1):21–30.
30
AN-Nur: Jurnal Kajian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat
Website : https://jurnal.umj.ac.id/index.php/AN-NUR
Vol. 01 Nomor 01 Agustus 2020 Hal. 19 – 32

18. Shibata K, Suzuki S, Sato J, Ohsawa I, KEJADIAN SINDROMA METABOLIK


Goto S, Hashiguchi M, et al. Abdominal (Studi Di Poli Interna Rumah Sakit Umum
circumference should not be a required Haji Surabaya) [Internet] [skripsi].
criterion for the diagnosis of metabolic UNIVERSITAS AIRLANGGA; 2010
syndrome. Environ Health Prev Med. [cited 2020 Jun 30]. Available from:
2010;15(4):229–35. http://lib.unair.ac.id

19. Osuji C, Nzerem B, Meludu S, Dioka C, 25. Fairudz A, Nisa K. Pengaruh Serat Pangan
Nwobodo E, Amilo G. The prevalence of terhadap Kadar Kolesterol Penderita
overweight/obesity and dyslipidemia Overweight | Fairudz | Jurnal Majority.
amongst a group of women attending Med J Lampung Univ. 2015;4(8):121–6.
“August” meeting. Niger Med J.
2010;51(4):155–9. 26. Innes K, Vincent H, Ann Grill T. Chronic
Stress And Insulin Resistance-Related
20. Anita B. Hubungan Karakteristik Individu, Indices Of Cardiovascular Disease Risk,
Asupan Makan, dan Faktor Lainnya Part I: Neurophysiological Responses And
Terhadap Sindrom Metabolik pada Pathological Sequelae. Altern Ther Health
Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Med. 2007;13(4):46–52.
Pemerintah Daerah Kota Depok Tahun
2009. [Tesis]. [Depok]: Universitas
Indonesia; 2009.

21. Rampal S, Mahadeva S, Guallar E,


Bulgiba A, Mohamed R, Rahmat R, et al.
Ethnic Differences in the Prevalence of
Metabolic Syndrome: Results from a
Multi-Ethnic Population-Based Survey in
Malaysia. PLoS One [Internet]. 2012
Sep;7(9). Available from:
http://search.proquest.com/docview/13265
53209?accountid=17242

22. Udahogora M. Is a new waist


circumference and BMI needed for
African Americans for the diagnosis of
metabolic syndrome? [Internet] [Ph.D.].
[Ann Arbor]: University of Maryland,
College Park; 2011. Available from:
http://search.proquest.com/docview/10333
24642?accountid=17242

23. Mendelson S. Metabolic Syndrome and


Psychiatric Illness : Interactions,
Pathophysiology, Assessment and
Treatment [Internet]. Burlington, MA,
USA: Academic Press; 2007. Available
from:
http://site.ebrary.com/lib/indonesiau/docD
etail.action?docID=10204367

24. Rauf N. HUBUNGAN TINGKAT


KONSUMSI KARBOHIDRAT, LEMAK,
SERAT DAN GAYA HIDUP DENGAN
31

Anda mungkin juga menyukai