Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

ABSES PERITONSIL

Oleh :
Ida Irmayanti, S.Ked
K1A1 14 137

Pembimbing :
dr. Yeni Haryani, M.Kes., Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Ida Irmayanti

Stambuk : K1A1 14 137

Judul Referat : Abses Peritonsil

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.

Kendari, januari 2020


Mengetahui :
Pembimbing,

dr. Yeni Haryani, M.Kes., Sp.A


ABSES PERITONSIL
Ida Irmayanti, Yeni Haryani
A. Pendahuluan
Abses peritonsil atau dikenal dengan Quinsy adalah kumpulan nanah
yang terdapat pada jaringan ikat longgar, diantara fossa tonsilaris dan muskulus
konstriktor faring superior. Pada abad XIV gejala dari penyakit abses peritonsil
ini sudah dialami oleh masyarakat Inggris, tetapi pada saat itu istilah abses
peritonsil belum dikenal, begitu juga penatalaksanaannya tidak seperti saat ini.
Abses peritonsil memiliki angka kejadian yang cukup tinggi dan dapat
menimbulkan komplikasi yang fatal, seperti dapat meluas ke daerah parafaring,
daerah intrakranial dan bila abses tersebut pecah spontan bisa terjadi
perdarahan serta terjadinya mediastinitis yang dapat menimbulkan kematian.
Hal ini bisa terjadi bila penanganan yang tidak tepat dan terlambat. Angka
kejadian pada penyakit abses peritonsil berdasarkan usia banyak menyerang
pada usia 15 tahun sampai dengan 35 tahun, berdasarkan jenis kelamin belum
ada literatur yang menggambarkan adanya perbedaan jumlah kejadian abses
peritonsil pada laki-laki dan perempuan.1
Di Amerika Serikat ditemukan 30 kasus abses peritonsil dari 100.000
penduduk pertahun mewakili sekitar 45.000 kasus baru tiap tahunnya. Di
Indonesia belum ada data tentang jumlah abses peritonsil secara pasti.
Penatalaksanaan abses peritonsil dilakukan insisi drainase pada daerah yang
paling lunak dan menonjol sehingga pus ke luar dari daerah peritonsil.1
B. Anatomi Faring
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil faring (adenoid), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding
faring/Gerlach’s tonsil). Tonsil palatina adalah suatu masa jaringan limfoid
yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh
pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing- masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Permukaan
sebelah dalam tonsil atau permukaan yang bebas, tertutup oleh membran epitel
skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas ke dalam kantung
atau kripta yang membuka ke permukaan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi
seluruh fosa tonsil, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa
supratonsil. Bagian luar tonsil terikat longgar pada m.konstriktor faring
superior, sehingga tertekan setiap kali menelan. Muskulus palatoglosus dan
m.palatofaringeus juga menekan tonsil. Tonsil terletak di lateral orofaring,
dibatasi oleh:2
1. Lateral : m.konstriktor faring superior
2. Anterior : m.palatoglosus
3. Posterior : m.palatofaringeus
4. Superior : palatum mole
5. Inferior : tonsil lingual
Ruang peritonsil digolongkan sebagai ruang intrafaring walaupun
secara anatomi terletak di antara fasia leher dalam. Dinding medial ruang
peritonsil dibentuk oleh kapsul tonsil, yang terbentuk dari fasia faringo-basilar
dan menutupi bagian lateral tonsil. Dinding lateral ruang peritonsil dibentuk
oleh serabut horizontal otot konstriktor superior dan serabut vertikal otot
palatofaringeal. Pada sepertiga bawah permukaan bagian dalam tonsil, serabut-
serabut otot palatofaringeal meninggalkan dinding lateral dan meluas secara
horizontal menyeberangi ruang peritonsil kemudian menyatu dengan kapsul
tonsil. Hubungan ini disebut ligamen triangular atau ikatan tonsilofaring.
Batas-batas superior, inferior, anterior dan posterior ruang peritonsil ini juga
dibentuk oleh pilar-pilar anterior dan posterior tonsil.2
C. Definisi
Abses peritonsilar merupakan kumpulan pus yang terlokalisasi pada
jaringan peritonsilar yang terbentuk sebagai hasil dari tonsilitis yang supuratif.3
Abses dapat timbul dari peritonsilitis yang membentuk penonjolan ke dalam
rongga mulut yang terlihat jelas di arcus palatini.4 Gejala yang hanya
terlokalisasi pada satu sisi menandakan abses peritonsil.5
D. Epidemiologi
Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20-40 tahun.
Pada anak jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit
kekebalan tubuh, tetapi infeksi pada anak dapat menyebabkan obstruksi jalan
napas. Abses peritonsil pada anak-anak lebih sering terjadi pada anak diatas
usia 10 tahun, tetapi dapat juga terjadi diatas 1 tahun.10 Persentase efek
gangguan jalan napas sama pada anak laki-laki dan perempuan.Insiden abses
peritonsil di Amerika Serikat terjadi 30 per 100.000 orang/tahun. Dikutip dari
Hanna BC, Herzon melaporkan data insiden terjadinya abses peritonsil;
1/6500populasi atau 30.1/40.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Di
Irlandia Utaradilaporkan 1 per 10.000 pasien per tahun, dengan rata-rata usia
26,4 tahun.11
E. Etiologi
Etiologi penyakit ini adalah gabungan dari bakteri aerobik dan
anaerobik di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses
peritonsilar adalah di daerah pilar tonsil anterior, fossa piriformis inferior, dan
palatum superior. Abses peritonsilar terbentuk oleh karena penyebaran bakteri
anaerob, yaitu Streptococcus pyogenes (Group A Beta-Hemolitik
streptococcus), Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae. Sedangkan
organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella,
Porphyromonas, dan Peptostreptococcus spp.3
F. Patofisologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil
tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.
Walaupun sangat jarang abses peritonsil dapat terbentuk dibagian posterior.
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat) selain pembengkakan tampak
permukaannya hipereremis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga
daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil
dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlangsung terus menerus,
peradangan akan terjadi dijaringan sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada
m. Pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan
sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.6
Pada sebagian besar kasus abses peritonsil, nanah ditemukan mengisi
supra peritonsil, yang ditandai dengan pembengkakan dan edem palatum mole
mengakibatkan tonsil terdorong ke bawah dan ke tengah. Pada kelompok kasus
lain, pus menyerang ke bawah dan kebelakang, mendorong tonsil ke depan dan
menimbulkan sedikit pembengkakan didaerah supratonsil. Pilar posterior
sangat menggembung dan abses terdapat dilokasi ini. Bila m. Konstriktor
superior dimasuki oleh abses dapat menimbulkan infeksi di ruang parafarng.
Pus masuk secara langsung lewat vena. Dari sini pus menyusup ke bawah dan
memasuki mediastinum. Pembuluh besar dileher dapat terkena, meskipun
jarang dan mungkin dapat menyebabkan kematian.7
G. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada abses peritonsil biasanya didapatkan odinofagi yang hebat,
nyeri telinga pada sisi yang sama dengan bagian yang sakit (otalgia),
kadang-kadang terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),
hipersalivasi, hot potato voice (suara bergumam), dan kadang-kadang terjadi
trismus serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.6
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan faringoskop biasanya sulit didapatkan hasil yang
lengkap karena pasien sukar untuk membuka mulut. Pada abses peritonsil
ditemukan palatum mole tampak edem dan menonjol kedepan, dapat teraba
fluktuasi, uvula edem dan terdorong ke sisi kontralateral, tonsil hipertrofi,
hiperemis dan mungkin banyak detritus serta terdorong ke arah tengah,
depan dan bawah.6 Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole
superior dari tonsil yang terkena, di fossa supratonsiler serta dapat pula
ditemukan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional.8
3. Pemeriksaan Penunjang
Gold standar pemeriksaan yaitu aspirasi jarum (needle aspiration).
Tempat yang akan dilakukan aspirasi dianastesi dengan menggunakan
lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang
biasa menempel pada syringe 10cc. Aspirasi material yang purulen
merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibuat biakannya
sehingga dapat diketahui organisme yang membuat infeksi demi
kepentingan terapi antibiotik.9
Pada pasien abses peritonsil dapat dilakukan pemeriksaan:9
a. Darah rutin, pengukuran kadar elektrolit dan kultur darah.
b. Plain radiographs, yaitu foto pandangan jaringan lunak lateral
(lateral soft tissue views) dari nasofaring dan orofaring dapat
menyingkirkan diagnosis abses retrofaring.

c. CT Scan, biasanya tampak kumpulan cairan hipodens di apex


tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada peritonsil.
Pemeriksaan ini dapat membantu untuk perencanan operasi.
d. Peripheral rim enhancement ultrasound, contohnya intraoral
ultrasonografi, mempunyai tehnik yang simple dan noninvasif dan
dapat membedakan antara selulitis dan awal dari abses.10

H. Diagnosis Banding
1. Abses Retrofaring

Abses retrofaring merupakan suatu peradangan yang disertai


pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah
satu infeksi pada leher bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya
sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung,
adenoid, nasofaring, dan sinus paranasalis yang menyebar ke kelenjar limfe
retrofaring.

Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada


anak di bawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang
retrofaring masih berisi kelenjar limfe. Penelitian selama 35 tahun terhadap
anak-anak yang diterapi di Children’s Hospital, Los Angeles dijumpai
sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan 71% kasus berusia
kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia didapati sebanyak 55%
kasus berusia kurang dari 1 tahun dimana 10% diantaranya dijumpai pada
periode neonatus.11

2. Abses Parafaring
Abses parafaring adalah infeksi di daerah parafaring yang dapat
meluas dan menyebabkan penimbunan nanah. Abses parafaring
merupakan salah satu infeksi ruang leher dalam yang terjadi akibat
komplikasi dari berbagai infeksi rongga mulut dan orofaring. Angka
kejadian abses parafaring tidak diketahui secara pasti, namun dari
beberapa literatur dilapor-kan 18-23,5%. Usia terbanyak penderita abses
parafaring adalah usia sekitar lima tahun dan tiga puluh tahun, dengan
predominasi pada lelaki.12

Gejala abses parafaring yaitu demam, pembengkakan dan nyeri


pada daerah infeksi terutama didaerah parafaring, regio tiroid dan regio
submandibular. Keluhan nyeri biasanya semakin hebat ketika pasien
menoleh atau sedang menggerakan leher. Pada beberapa pasien didapatkan
riwayat sakit gigi atau riwayat tertelan benda asing. Keluhan lain yang
didapatkan berupa sulit menelan, trismus bahkan sampai sesak napas.12

I. Tata Laksana
Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah
insisi, drainase dan terapi antibiotika, diikuti oleh tonsilektomi beberapa
minggu kemudian.2
1. Terapi antibiotika
Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam
penanganan abses peritonsil adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan
sesudah pembedahan. Antibiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis
tinggi disertai obat simptomatik, kumur- kumur dengan cairan hangat dan
kompres hangat pada leher (untuk mengendurkan tegangan otot). Dengan
mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi
antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul.
Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama kedua atau ketiga) biasanya
merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan
diberikan dengan mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi atau
timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi organisme. Penisilin dapat
digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan disebabkan
oleh kuman staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba yang
sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika
alternatif yang sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat
ini dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan untuk menangani bakteri
yang memproduksi beta laktamase.2
2. Insisi dan drainase
Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga
disebut intraoral drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan
drainase abses yang adekuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi
biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil
atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.2
3. Teknik insisi
Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi
duduk menggunakan anestesi lokal. Anestesi lokal dapat dilakukan pada
cabang tonsilar dari nervus glossofaringeus (N.IX) yang memberikan
inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan menyuntikkan lidokain
melalui mukosa ke dalam fosa tonsil. Pada penderita yang memerlukan
anestesi umum, posisi penderita saat tindakan adalah kepala lebih rendah
(trendelenberg) menggunakan ETT (Endotrakeal tube). Anestesi topikal
dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan lidokain 4-5% atau
tetrakain 2% untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain.
Menggunakan pisau skalpel no.11.2
Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap
dengan menggunakan alat penghisap.Tindakan ini (menghisap pus) penting
dilakukan untuk mencegah aspirasi yang dapat mengakibatkan timbulnya
pneumonitis. Biasanya bila insisi yang dibuat tidak cukup dalam, harus
lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup banyak pus yang keluar dan
lubang insisi yang cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur
dengan antiseptik dan diberi terapi antibiotika.Umumnya setelah drainase
terjadi, rasa nyeri akan segera berkurang. Pus yang keluar juga sebaiknya
diperiksakan untuk tes kultur dan sensitifitas, biasanya diambil saat aspirasi
(diagnosis).2

4. Drainase dengan aspirasi jarum


Model terapi abses peritonsil yang digunakan sampai saat ini,
pertama insisi dan drainase serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada
beberapa penelitian yang mendiskusikan tentang aspirasi menggunakan
jarum sebagai salah satu terapi bedah pada abses peritonsil. Beberapa
keuntungan dari evaluasi penatalaksanaan aspirasi jarum dibanding insisi
dan drainase adalah:2
a. Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah.
b. Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma minimal
(yang biasanya dapat dilakukan sebelum insisi dan drainase).
c. Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita / tidak menakutkan.
d. Tidak / kurang mencederai struktur jaringan sekitar.
e. Lebih memudahkan untuk mengumpulkan spesimen / pus guna
pemeriksaan mikroskopis dan tes kultur / sensitifitas.
f. Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan.
g. Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum.
h. Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses peritonsil.
Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah:2
a. Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang berulang.
b. Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara maksimal.
c. Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat menyebabkan
proses penyembuhan lama.
5. Teknik aspirasi
Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum no.18
setelah pemberian anestesi topikal (misalnya xylocain spray) dan infiltrasi
anestesi lokal (misalnya lidokain).Lokasi aspirasi pertama adalah pada titik
atau daerah paling berfluktuasi atau pada tempat pembengkakan maksimum.
Bila tidak ditemukan pus, aspirasi kedua dapat dilakukan 1 cm di bawahnya
atau bagian tengah tonsil. Aspirasi jarum, seperti juga insisi dan drainase,
merupakan tindakan yang sulit dan jarang berhasil dilakukan pada anak
dengan abses peritonsil karena biasanya mereka tidak dapat bekerja sama.
Selain itu tindakan tersebut juga dapat menyebabkan aspirasi darah dan pus
ke dalam saluran nafas yang relatif berukuran kecil.2

6. Tonsilektomi
Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang
kontroversial sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada
abses peritonsil adalah karena berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan
pada penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak sehingga tindakan
pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya
kekambuhan. Sementara insisi dan drainase abses merupakan tindakan yang
paling banyak diterima sebagai terapi utama untuk abses peritonsil,
beberapa bentuk tonsilektomi kadang-kadang dilakukan. Waktu pelaksanaan
tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi:2
a. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera / bersamaan dengan drainase
abses.
b. Tonsilektomi a tiede : dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase.
c. Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.
Ming CF13 mengatakan tonsilektomi merupakan penanganan yang
terbaik untuk mencegah rekurensi abses peritonsil. Pada masa lalu, orang
berpendapat operasi harus dilakukan 2-3 minggu setelah infeksi akut
berkurang. Tetapi setelah 2-3 minggu, menimbulkan bekas luka yang
terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan
menimbulkan perdarahan serta sisa tonsil. Saat ini tampaknya dibenarkan
bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil, dilakukan dalam anestesi umum,
melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam perlindungan terapi
antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko yang sama dengan
tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy). Beberapa
keuntungan dari tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:2
a. Penanganan penderita dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit.
b. Memberikan drainase pus yang lengkap.
c. Mengurangi kesulitan tonsilektomi selang waktu yang kadang-kadang
timbul.
d. Mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit)
e. Mengurangi rasa sakit dengan segera dan menghilangkan perasaan tidak
enak mengalami prosedur yang lain (insisi dan drainase).
Beberapa kerugian tindakan tonsilektomi segera pada abses
peritonsil adalah:2
a. Dapat terjadinya perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi.
b. Dapat terjadi trombosis, sinus kavernosus, aspirasi paru, dan meningitis.
Indikasi tonsilektomi segera, yaitu:2
a. Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus
atau abses yang berlokasi di kutub bawah.
b. Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring,
dengan resiko meluas ke daerah leher dalam.
c. Penderita dengan DM (Diabetes Melitus) yang memerlukan toleransi
terhadap terapi berbagai antibiotika.
d. Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat, karena abses
akan sangat mudah meluas ke daerah leher dalam.
Pada umumnya insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12
minggu kemudian adalah prosedur terapi abses peritonsil. Dikutip dari Ming
CF13, KY Wen merekomendasikan bahwa pasien harus dilakukan operasi
2-3 hari setelah infeksi terkontrol jika ukuran luka pada abses yang pecah
spontan kurang dari 2,5 cm. Namun, bila ukuran luka pada abses yang pecah
spontan lebih dari 2,5 cm maka tindakan operasi harus dilakukan segera
dengan tetap memperhatikan kondisi umum dan komplikasi sistemik pada
pasien.2

J. Komplikasi
Komplikasi pada abses dapat berupa:6
1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau
piemia.
2. penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya dapat menginfeksi daerah
mediastinum sehingga menyebabkan mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus
sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.
K. Prognosis
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan
kematian kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan terjadi
aspirasi ke paru dan juga terjadi komplikasi ke intrakranial. Abses peritonsil
hampir selalu berulang jika tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka biasanya
ditunda hingga 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut, peradangan telah
mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.9
DAFTAR PUSTAKA

1. Agus, F.W. Eka, D.A.P. Abses Peritonsiler. Jurnal Ilmia Kedokteran


Medicina. 2013. 186-189
2. Novialdi., Prijadi, J. Diagnosis dan Penatalaksaan Abses Tonsil. Jurnal
Universitas Andalas.
3. Palmasari, A., Hadi, P. Tatalaksana Ulkus yang Disebabkan oleh Pecahnya
Abses Periotinsiler. Jurnal Dentofasial. 2011. 10 (3). 166-168
4. Nagel, P. Gurkov, R. Dasar-Dasar Ilmu THT Edisi 2. Jakarta. EGC. 2012
5. Ludman, H., Bradley, P.J. ABC Telinga Hidung Tenggorok Edisi 5. Jakarta.
EGC. 2011
6. Fachruddin, D. Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tengoorok, Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta.
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI. 2012
7. Ballenger, J.J. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Jilid
I Edisi 13. Jakarta.
8. Anggraini, D., Sikumbang, T. 2001. Atlas Histologi Di Fiore dengan
Korelasi Fungsional, Edisi 9. EGC. Jakarta
9. Kartosoediro, S.R. 2007. Abses Leher Dalam Edisi VI. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
10. Henry. Peritonsillar Abscess. Available at:
http://www.revolutionultrasound.com. Accessed on September 22th
11. Kahn JH. 2018. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. (Online)
http://emedicine.medscape.com/article/764421-overview, diakses pada 18
Desember 2019
12. Lumba, B. parawati. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Abses Parafaring. SMF Ilmu
Kesehatan Telingan Hidung Tenggorok. RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai