Anda di halaman 1dari 224

290

SINDROM METABOLIK
Sidartawan Soegondo, Dyah Purnamasari

Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi


peningkatan prevalensi sindrom metabolik. Prevalensi
sindrom metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar
25o/o dan pada usia > 50 tahun sebesar 45Yo. Pandemi
sindrom metabolik juga berkembang seiring dengan
peningkatan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi
Asia, termasuk Indonesia. Studi yang dilakukan di Depok

PENDAHULUAN
Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi faktor

risiko pada pasien-pasien dengan resistensi insulin yang


dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular
yang disebutnya sebagai sindromX. Selanjutnya, sindrom
X ini dikenal sebagai sindrom resistensi insulin dan
akhirnya sindrom metabolik.
Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana terjadi

(2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik


menggunakan kriteria National Cholesterol Education
Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP IID

penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin


sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai
bentuk kompensasi sel beta pankreas. Resistensi insulin
terjadi beberapa dekade sebelum timbulnya penyakit
diabetes mellitus dan kardiovaskular lainnya. Sedangkan
sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik adalah

dengan modifikasi Asia Pasifik,

(2004) melaporkan prevalensi sindrom metabolik


sebesar 13,1306 dan menunjukkan bahwa kriteria
Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas >25 kglm2
lebih cocok untuk diterapkan pada orang Indonesia.
Penelitian di DKI Jakarta pada tahun 2006 melaporkan

kumpulan gejala yang menunjukkan risiko kejadian


kardiovaskular lebih tinggi pada individu tersebut.
Resistensi insulin juga berhubungan dengan beberapa
keadaan seperti hiperurisemia, sindrom ovarium polikistik

prevalensi sindrom metabolik yang tidak jauh berbeda


dengan Depok yaitu 26,3Yo dengan obesitas sentral

danperlemakan hati non alkoholik.

merupakan komponen terbanyak (59,4%). Laporan

N (usia)

Budhiarta

Suhartono

Pranoto
Adam

Denpasar
D. Sangsit
D. Sembiran

888
354
443
90 (30-60)

20,3
24,8

Bandung
Medical check up

497
(-)

22,94
(bukan modifikasi)

Semarang
(poli RS)
Pekajangan

Surabaya
(general check up)

C)

Makasar
(general check up)

(21-82)

Bali

2005

2005

2002-2004

'
Asia)

Prevalensi (%)
(ATP lll

Komponen sindrom
metabolic Terbanyak (%)

J Kolesterol HDL (39,1)

19,2

7,8

190 (> 50)

'16,6

1230 (> 30)

20,3

100

34

Obesitas sentral
Hipertrigliseridemia (85,29)

334

Obesitas sentral (58,2)

1219

Hipertensi (89,7)

Dikutip dari Purnamasari. Gambaran Resistensi lnsulin Subyek dengan Saudara Kandung DM tipe 2. Tesis. 2006

I
!

terdapat

pada 25.7o/o pria dan 25%o wanita. Penelitian Soegondo

186

1866

METABOLIKENDOKRIN

prevalensi sindrom metabolik di beberapa daerah di


Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Dibandingkan dengan komponen-komponen pada
sindrom metabolik, obesitas sentral paling dekat untuk

istilah sindrom resistensi insulin tidak digunakan lagi. Dua


tahun kemudian, pada tahun 2005, International Diabetes
Federation (IDF) kembali memodifrkasi kriteriaATP III. IDF
menganggap obesitas sentral sangat berkorelasi dengan

memprediksi ada tidaknya sindrom metabolik. Beberapa


studi di wilayah Indonesia termasuk Jakarta menunjukkan
obesitas sentral merupakan komponen yang paling banyak
ditemukan pada individu dengan sindrom metabolik.
Meski mendapat sebutan sindrom, namun secaraumum

resistensi insulin, sehingga memakai obesitas sentral


sebagai kriteria utama. Nilai cut-off yang digunakan juga
dipengaruhi oleh etnik. UntukAsia dipakai cut-offlingkar
perut > 90 cm untuk pria dan > 80 cm untuk wanita.
Beberapa kriteria sindrom metabolik dapat dilihat pada

penatalaksanaan sindrom metabolik sejauh ini


masih merupakan penatalaksanaan masing-masing

Thbel2.
Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP III lebih banyak
digunakan, karena lebih memudahkan seorang klinisi untuk
mengidentifikasi seseorang dengan sindrom metabolik.
Sindrom metabolik ditegakkan apabila seseorang memiliki
sedikitnya 3 (tiga) kriteria.

komponennya. Masih menjadi perdebatan apakah sebutan


sindrom ini masih memiliki arti klinis mengingat tidak ada
perbedaan penatalaksan aan pada tiap komponennya.
Pada akhirnya tampilan klinis sindrom metabolik ini

sangat dipengaruhi oleh faktor etnik dan herediter,


sehingga pola klinis di setiap populasi berbeda.
PATOFISIOLOGI
KRITERIA
Sejak munculnya sindrom resistensi insulin, beberapa
organisasi berusaha membuat kriteria sindrom metabolik
supaya dapat diterapkan secara praktis klinis sehari-hari.
Secara umum, semua kriteriayang diajukan memerlukan
minimal 3 kriteria untuk mendiagnosis sondrom metabolik
atau sindrom resistensi insulin. World Health Organiza-

tion (WHO) merupakan organisasi pertama yang


mengusulkan kriteria sindrom metabolik pada tahun 1998.

Menurut WHO pula, istilah sindrom metabolik dapat


dipakai pada penyandangi DM mengingat penyandang

DM juga dapat memenuhi kriteria tersebut dan


menunjukkan besarnya risiko terhadap kejadian

kardiovaskular. Setahun kemudian pada tahun 1999, the


European Group for Study of Insulin Resistance (EGIR)
melal<ukan modifftasi pada kriteria WHO. EGIR cenderung
menggunakan istilah sindrom resistensi insulin. Berbeda

dengan WHO, EGIR lebih memlih obesitas sentral


dibandingkan IMT dan istilah sindrom resistensi insulin
tidak dapat dipakai pada penyandang DM karena resistensi
insulin merupakan faktor risiko timbulnya DM. Pada tahun
2001, National Cholesterol Education Program (NCEP)
Adult Treatment Panel III (ATP III) mengajukan kriteria

baru yang tidak mengharuskan adanya komponen


resistensi insulin. Meski tidak pula mewajibkan adanya
komponen obesitas sentral, kriteria ini menganggap bahwa
obesitas sentral merupakan faktor utama yang mendasari
sindrom metabolik. Nilai cr.r t-offlingkar perut diambil dari
National Institute of Health Obesity Clinical Guidelines;
> 102 cmuntukpriadan > 88 cmuntukwanita. Untuketnik
tertentu seperti Asia, dengan cut-off lingkar perut lebih
rendah dari ATP III, sudah berisiko terkena sindrom
metabolik. Pada tahun 2003, American Association of
Clinical Endocrinologisls (AACE) memodifikasi definisi
dariATP IIL Sama seperti EGIR, bila sudah ada DM, maka

Pengetahuan mengenai patofisiologi masing-masing


komponen sindrom metabolik sebaiknya diketahui untuk
dapat memprediksi pengaruh perubahan gaya hidup dan
medikamentosa dalam penatalaksanaan sindrom metabolik.

Obesitas sentral
Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh

tidak begitu sensitif dalam menggambarkan risiko


kardiovaskular dan gangguan metabolik yang terjadi. Studi
menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan
oleh lingkar perut (dengan cut-off yang berbeda antara
jenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi gangguan

metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar perut


menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan vis-

ceral. Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih


berhubungan dengan komplikasi metabolik dan
kardiovaskular, hal ini masih kontroversial. Peningkatan
obesitas berisiko pada peningkatan kejadian
kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan
dampak metabolik maupun kardiovaskular dari suatu

obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak


berkembang menjadi resistensi insulin, dan sebaliknya
resistensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa
obes (lean subjects). Interaksi faktor genetik dan
lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik dari
suatu resistensi insulin maupun obesitas.
Jaringan adiposa merupaka sebuah organ endokrin
yang aktif mensekresi berbagai faktor pro dan anti inflamasi
seperti leptin, adiponektin, Tumor nekros is factor o (TNF-

u), Interleukin-6 (IL-6) dan resistin. Konsentrasi

adiponektin plasma menurun pada kondisi DM tipe 2 dan


obesitas. Senyawa ini diprcaya memiliki efek antiaterogenik
pada hewan coba dan manusia. Sebaliknya, konsentrasi
leptin meningkat pada kondisi resistensi insulin dan

obesitas dan berhubungan dengan risiko kejadian

1867

SINDROMMEDABOLIK

Kriteria Klinis

wHo (1998)

EGIR

ATP !!r (2001)

Resistensi
insulin

TGT, GDPT, DMT2,


atau sensitivitas
insulin menurun*
Ditambah 2 dari
kriteria berikut

lnsulin plasma >


persentil ke-75
Ditambah dua dari
kriteria berikut

Tidak ada, tetapi


mempunyai 3 dari
5 kriteria berikut

Berat badan

Pria: rasio pinggang


panggul > 0,90
Wanita: rasio
pinggang panggul >
0,85
dan/atau IMT > 30

LP > 94 cm pada pria


atau > 80 cm pada
wanita

LP > 102 cm pada


pria atau > 88 cm
pada wanitat

TG > '150 mg/dL


dan/atau HDL-C < 39
mg/dl pada pria atau
wanita

TG

Lipid

kg/m2
TG 2 150

mg/dl

dan/atau HDL-C < 35


mg/dL pada pria atau
< 39 mg/dl pada
wanita

2 150 mg/dL

HDL-C < 40 mg/dL


pada pria atau < 50
mg/dL pada wanita

rDF (2005)

AACE (2003)
TGT atau GDPT
Ditambah salah
satu dari kriteria
berikut
berdasarkan
penilaian klinis
IMT > 25 kg/m2

TG > 150 mg/dl


dan HDL-C < 40
mg/dL pada pria
atau < 50 mg/dL
pada wanita

Tidak ada

LP yang
meningkat
(spesifik
tergantung
populasi) ditambah
dua dari kriteria
berikut
TG >'150 mg/dl
atau dalam
pengobatan TG
HDL-C < 40 mg/dL
pada pria atau <
50 mg/dl pada
wanita atau dalam
pengobatan HDL_

c
Tekanan darah

> 140/90 mm Hg

> 140/90 mmHg atau

> 130/85 mmHg

1130/85 mmHg

dalam pengobatan
hipertensi

Glukosa

TGT, GDPT atau


DMT2

TGT atau GDPT


(tetapi bukan
diabetes)

3 110 mg/dL
(termasuk
penderita

TGT atau GDPT


(tetapi bukan
diabetes)

> 130 mm Hg
sistolik atau > 85
mm Hg diastolik
atau dalam
pengobatan
hipertensi
> 100 mg/dL
(termasuk
diabetes)

diabetes)*
Lainnya

Kriteria resistensi
insulin lainnya$

Mikroalbuminuria

DMT2 menunjukkan diabetes melitus tipe 2; LP, lingkar pinggang; lMT, indeks massa tubuh; dan TG, trigliserida, semua singkatan lainnya terdapat
dalam teks.
Sensitivitas insulin diukur pada kondisi euglikemia hiperinsulinemia, ambilan glukosa di bawah kuartil terendah sebagai latar belakang populasi yang
diteliti
tBeberapa pasien pria dapat akan mempunyai faktor-faktor risiko metabolik saat lingkar pinggang meningkat meskipun hanya sampai nilai ambang
(yakni 94 hingga 102 cm [37 sampai 39 inci]). Pasien seperti itu mungkin mempunyai kontribusi genetik yang cukup kuat terhadap resistensi insulin.
Mereka akan mendapatkan manfaat dari perubahan kebiasaan dan gaya hidup, seperti halnya pria dengan peningkatan lingkar pinggang kategorik.
pada tahun 2004
+ Definisi tahun 2001 menilai kadar glukosa puasa > 110 mg/dL (6,1 mmol/L) sebagai kadar yang meningkat. Nilai ini dimodifikasi
o7 77
menjadi > '100 mg/dl (5,6 mmol/L), seiuai dengan definisi terkini daii American biabetes Associatio.ir"ng";"i definisi GDPT.a6
S Meliputi riwayat penyakit keluarga berupa diabetes melitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik, gaya hidup yang kurang banyak gerak, usia lanjut dan
etnis tertentu yang rentan terhadap diabetes melitus tipe 2.
Dikutip dari Grundy et al. Diagnosis and management of metabolic syndrome. Circulation 2005

'

kardiovaskular tidak tergantung dari faktor risiko

berkorelasi erat dengan pemeriksaan standar, sehingga

tradisional kardiovaskular, IMT dan konsentrasi CI{P.

dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin. Bila


melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan

Sejauh ini belum diketahui apakah pengukuran pengukuran


markerhormonal dari jaringan adiposa lebihbaik daripada

pengukuran secara anatomi dala memprediksi risiko


kej adian kardiovaskular dan kelainan metabolik yang terkait.

Resistensi lnsulin
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada

jaringan adiposa dan sistem kekebalan tubuh, maka


pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran
glukosa dan insulin (seperti rumus HOMA dan QUICKI)
perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan rumus
ini secara rutin di klinis belum disarankan maupun
disepakati.

sindrom metabolik. Sejauh ini belum disepakati pengukwan


yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp
merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis untuk
klinis sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plaama puasa juga
tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa
hanya dijumpai pada l0% sindrom metabolik. Pengukuran
Homeostasis Model Asessment (HOMA) dan'Quantitative Insulin Sensitivity Check Index (QUICKD dibuktikan

Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai


dengan peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol
HDL. Kolesterol LDL biasanya nornal, namun mengalami
perubahan struktur berupa peningkatan

sm a II

dens e

LDL.

Peningkatan konsentrasi trigliserida plasma dipikirkan


akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati

1868

sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun

studi pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa


peningkatan trigliserida tersebut bersifat multifaktorial dan
tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam
lemak bebas ke hati.
Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan
trigliserida sehingga terjadi transfer trigliserida ke HDL.

Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan


konsentrasi trigliserida normal dapat ditemukan pemrnrnan
kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat mekanisme

lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL


disamping peningkatan trigliserida. Mekanisme yang
dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post
prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi
gangguan produksi Apolipoprotein AJ (Apo A-1) oleh
hati yang selanjutnya mengakibatkan penurunan
kolesterol HDL. Peran sistem imunitas pada resistensi insulin juga berpengaruh pada perubahan profil leipid pada

subyek dengan resistensi insulin. Studi pada hewan


menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun akan
menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein transport, reseptor dan enzim yang berkaitan sehingga terjadi
perubahanprofil lipid.

Peran sistem imunitas pada resistensi insulin


Inflamasi subklinis lronik juga merupakan bagian dari
sindrom metabolik. Marker inflamasi berperan pada
progresifitas DM dankomplikasi kardiovaskular. C reactive protein (CRP) dilaporkan menjadi data prognosis
tambahan tentang keparahan inflamasi pada subyek
wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum
didapatkan kesepakatan alur diagnosis yang mampu
menggabungkan peningkatan CRP, koagulasi, dan

gangguan fibrinolisis dalam memprediksi risiko


kardiovaskular.

MEDABC'LIKENDOIRIN

yang telah memiliki sindrom metabolik, diperlukan


pemantauan yang terus menems dengan modifikasi
komponen sindrom metabolik yang ada. Penatalaksanaan
sindrom metabolik masih merupakan penatalaksanaan dari
masing-masing komponennya (Tabel 3)
Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan

untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular


aterosklerosis dan risiko diabetes melitus tipe 2 pada
pasien yang belum diabetes. Penatalaksanaan sindrom
metabolik terdiri atas 2 pila4 yaitu tatalaksana penyebab
(berat badan lebih/obesitas dan inaktifitas fisik) serta
tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid.

Obesitas dan Obesitas Sentral


Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan
sindrom metabolik serta peranan otak dalam pengaturan
energi, merupakan titik tolak yang penting dalam
penatalaksanaan klinik. Pengaturan berat badan
merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas tapi juga
sindrom metabolik. Mempertahankan berat badan yang
lebih rendah dikombinasi dengan pengurangan asupan
kalori dan peningkatan aktifitas fisik merupakan prioritas
utama pada penyandang sindrom metabolik. Target
pennnrnan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12bulan,
dapat dicapai dengan mengurangi asupan kalori sebesar
500-1000 kalori per hari ditunjang dengan aktifitas fisik
yang sesuai. Aktifitas f,rsik yang disarankan adalah selama
30 menit atau lebih setiap hari. Untuk subyek dengan
komorbid penyakit jantung koroner, perlu dilakukan
evaluasi kebugaran sebelum diberikan anjuran j enis-j enis
olah raga yang sesuai.

Pemakaian obat-obatan dapat berguna sehingga


dipertimbangkan pada beberapa pasien. Dua obat yang
dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah

sibutramin dan orlistat. Dengan mempertimbangkan


peranan otak sebagai regulator berat badan, sibutramin

Hipertensi
Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis
hipertensi. Insulin merangsang sistem saraf simpatis
meningkatkan reabsorpsi natrium ginj al, mempengaruhi
transport kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot
polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut dapat
menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga
disimpulkan bahwa hipertensi akibat resistensi insulin
terjadi akibat ketidakseimbangan antura efek pressor dan
depressor. The Insulin Resistance Atherosclerosis Study
melaporkan hubungan antara resistensi insulin dengan
hipertensi pada subyek normal namun tidak pada subyek
dengan DM tipe 2

TERAPI

dapat menjadi pertimbangan walaupun tanpa


mengesampingkan kemungkinan efek samping yang
mungkin timbul. Cara kerjanya di sentral memberikan efek
mengurangi asupan onergi melalui efek mempercepat rasa
kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi setelah

berat badan turun dapat memberikan efek tidak hanya

untuk penurunan berat badan namun juga


mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian
pula dengan efek metabolik, sebagai efek dari penumnan
berat badan pemberian sibuffamin setelah 24 minggu yang
disertai dengan diet dan aktifitas fisik, memperbaiki

konsentrasi trigliserida dan kolesterol HDL.Terapi


pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien
yang berisiko serius akibat obesitasnya.

Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular.

Untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada individu

Hipertensi juga mengakibatkan mikroalbuminuria yang

1869

SINDROMMETABOLIK

Rekomendasi terapi

Target dan tujuan terapi

Pencegahan jangka panjang penyakit KVR dan pencegahan (terapi) diabetes


melitus tipe 2

Faktor risiko gaya hidup


Obesitas abdomen
Mengurangi berat badan sebanyak 7 o/o
hingga 10% selama satu tahun pertama
terapi. Sesudah itu, teruskan penurunan
berat badan sebisa mungkin dengan
tujuan akhir mencapai berat badan yang
diinginkan
(lMT<25 kg/m')

Secara konsisten memberikan semangat agar berat badan terjaga / berkurang


melalui program keseimbangan aktivitas fisik, asupan kalori dan modifikasi
perilaku formal yang sesuai, bila diperlukan, untuk menjaga/mencapai lingkar
pinggang < 40 inci pada pria dan < 35 inci pada wanita. Mula-mula, targetkan
pengurangan secara perlahan sebanyak 7% hingga 10% berat badan awal.

Penurunan berat badan yang kecil sekalipun berkaitan dengan manfaat


kesehatan yang signifikan.

lnaktivitas fisik

Aktivitas fisik intensitas sedang secara


teratur; setidaknya 30 menit secara
kontinu maupun intermiten (dan lebih
baik bila > 60 menit), 5 hari/minggu,
tetapi lebih baik lagi bila setiap hari.

Pada pasien yang sudah menderita penyakit KVR, nilailah risiko dengan riwayat

aktivitas fisik yang rinci dan/atau uji latihan fisik, sebagai petunjuk dalam
meresepkan. Dorong pasien untuk melakukan aktivitas fisik aerobik intensitas
sedang selama 30 sampai 60 menit: berjalan cepat, sebaiknya setiap hari,
ditambah dengan peningkatan aktivitas dalam gaya hidup sehari-hari (yakni
menaiki tangga pedometer, berjalan saat istirahat kerja, berkebun, mengerjakan
pekerjaan rumah tangga). Waktu latihan yang panjang dapat dicapai dengan
akumulasi latihan fisik yang dilakukan sepanjang hari. Dorong latihan tahanan
(resistance training) 2 hari/minggu. Sarankan program yang diawasi secara
medis untuk pasien berisiko tinggi (misalnya pasien dengan sindrom koroner
akut atau revaskularisasi, GJK)

Diet aterogenik

Mengurangi asupan lemak jenuh, lemak


trans dan kolesterol

Faktor risiko metabolik


Dislipidemia aterogenik
Target primer:
LDL-C meningkat (lihat Tabel 4 untuk
rinciannya)

Rekomendasi: lemak jenuh <TYokalori total; kurangi lemak trans; kolesterol


dalam diet < 200 mg/dL; lemak total 25% hingga 35% kalori total. Sebagian
besar diet lemak sebaiknya berupa lemak tidak jenuh; gula sederhana harus
dibatasi.
Pencegahan jangka pendek terhadap penyakit KVR atau terapi diabetes melitus
tipe 2

LDL-C meningkat (lihat Tabel 4 untuk rinciannya)

Target sekunder:
non-HDL-C meningkat

non-HDL-C meningkat

Pasien risiko tinggi':


< 130 mg/dl (3,4 mmol/L) {pilihan: <
100 mg/dl) [2,6 mmol/L] untuk pasien
yang berisiko sangat tinggif)

Mengikuti strategi di Tabel 4 untuk mencapai target LDL-C


Pilihan pertama untuk mencapai target non-HDL-C: Perkuat terapi penurunan
LDL
Pilihan kedua untuk mencapai target non-HDL-C: Tambahkan fibrat fiebih
disukai fenofibratl atau asam nikotinat bila kadar non-HDL-C tetap relatif tinggi
setelah terapi dengan obat penurun LDL diberikan

Pasien berisiko tinggi-sedangf:

Beri saran untuk menambah fibrat atau asam nikotinat pada pasien berisiko
tinggi

<1

60

mg/dl (4,1 mmol/L)


Pilihan terapi: <130 mg/dL (3,4 mmol/L)
Pasien berisiko sedang$: < 160 mg/dL
(4,1 mmol/L)

Beri saran untuk menghindari penambahan fibrat atau asam nikotinat pada
pasien berisiko tinggi sedang atau pasien berisiko sedang
Semua pasien: Bila TG > 500 mg/dl, mulai dengan fibrat atau asam nikotinat
{sebelum terapi penurun LDL; terapi non-HDL-C untuk mencapai tujuan setelah
memberikan terapi menurunkan TG)

Pasien berisiko rendahll: <190 mg/dL


(4,9 mmol/L)
Target tersier:
HDL-C berkurang
Tidak ada target spesifik: tingkatkan
HDL-C sebisa mungkin disertai terapi
standar dislipidemia aterogenik

HDL-C berkurang
Maksimalkan terapi gaya hidup: penurunan berat badan dan peningkatan
aktivitas fisik
Pertimbangkan menambahkan fibrat atau asam nikotinat setelah terapi obat
penurun LDL-C sebagaimana telah disebutkan untuk non-HDL-C yang
meningkat

1870

METABOUKENDOIGII{

TD meningkat
Turunkan TD serendah mungkin hingga
<140/90
setidaknya mencapai
130/80 mmHg bila
mmHg (atau

<

TD

terdapat diabetes). Kurangi TD lebih

lanjut sebisa mungkin

melalui

perubahan gaya hidup

Untuk TD 2120180 mmHg: awali atau jaga modifikasi gaya hidup pada semua

pasien dengan sindrom metabolik: pengendalian berat badan, meningkatkan


aktivitas fisik, meredam kebiasaan alkohol, pengurangan kadar garam dan
menekankan banyak makan buah dan sayuran segar, dan produk-produk susu
rendah lemak
Untuk TD > 140/90 mmHg (atar > 130/80 mmHg untuk individu dengan penyakit
ginjal kronik atau diabetes); Bila dapat ditoleransi, tambahkan pengobatan
tekanan darah sebagaimana dipedukan untuk mencapai TD target

Kadar glukosa meningkat


Untuk GDPT, tunda perkembangan ke arah
diabetes melitus tipe 2. Untuk diabetes,
hemoglobin A1.<7,0o/o

Untuk GDPT, dorong semangat untuk menurunkan berat badan dan


meningkatkan aktivitas fi sik
Untuk diabetes melitus tipe 2, bila perlu, terapi gaya hidup dan farmakoterapi
perlu dipakai agar HbAIC mendekati normal (< 7%).
Modifikasi faktor-faktor risiko lainnya dan modifikasi perilaku (yakni obesitas
abdominal, inaktivitas fisik, TD meningkat, abnormalitas lipid)

Kondisi Protrombotik
Kurangi faktor-faktor risiko trombotik dan
fibrinolitik

Kondisi proinflamasi

Pasien-pasien berisiko tinggi: mulai dan teruskan terapi aspirin dosis rendah;
pada pasien dengan KVRAS, pertimbangkan klopidogrel bila aspirin merupakan
kontraindikasi.
Pasien berisiko tinggi sedang: pertimbangkan profilaksis aspirin dosis rendah
Rekomendasi: tidak ada terapi spesifik yang melebihi terapi gaya hidup

TG menunjukkan trigliserida; TD, tekanan darah, KVR, penyakit kardiovaskular; GJK, gagal jantung kongestif; lMT, indeks massa tubuh, GDPT,
glukosa darah puasa terganggu dan KVRAS, penyakit kardiovaskular aterosklerotik
; Pasien berisiio tinggi aOatin pasien dengan diagnosis KVMS, diabetes, atau risiko 10 tahun terhadap penyakit jantung koroner > 20% Untuk
penyakit serebrovasiular, kondisi berisiko tinggi meliputi TIA atau stroke yang berasal dari karotid atau stenosis karotid > 50%
iPa;ien berisiko sangat tinggi adalah pasien yang cenderung menderita kejadian KVR dalam beberapa tahun mendatang, dan diagnosis
bergantung pada penilaian klinis. Faktor-faktor ying dapat turut berkontribusi pada risiko sangat tinggi ini meliputi sindrom koroner akut yang baru
salJ terjadi, dan diagnosis penyakit jantung koroner + salah satu dari hal berikut ini: faktor-faktor risiko mayor multipel (terutama diabetes), faktorfaktor risiko berat dan terkontrol buruk (terutama kebiasaan merokok sigaret yang terus berlanjut) dan sindroma metabolik.
+Pasien berisiko tinggi-sedang adalah pasien dengan risiko 1O tahun terhadap penyakitjantung koroner sebesar 10% hingga 20%. FaKor-faktor
yang mendukung pitinan terapi non-HDL-C < 100 mg/dl adalah faKor-faktor yang dapat meningkatkan individu hingga masuk ke kisaran atas
iisito tinggi sedang meliputi: faKor-faKor risiko mayor multipel, faktor-faktor risiko berat dan terkontrol buruk (terutama kebiasaan merokok sigaret
yang terui berlanjuD, sindroma metabolik dan penyakit aterosklerotik subklinis yang nyata (yaitu ketebalan kalsium koroner atau lapisan media
tunika intima karotid > persentil ke-75 yang sesuai dengan usia dan jenis kelamin).
< 1 0%
S Pasien berisiko sedang adalah pasien dengan 2 atau lebih faktor risiko mayor dan risiko 1 0 tahun
< 10%
10
tahun
pasien
0
atau
1
dan
risiko
faktor
risiko
mayor
rendah
adalah
dengan
Pasien
berisiko
ll
Dikutlp dari Grundy et al. Diagnosis and management of metabolic syndrome. Citculetion 2005

dipakai sebagai indikator independen morbiditas

penghambat beta adrenergik, diuretik dan antagonis

kardiovaskular pada pasien tanpa diabetes atau hipertensi.

kalsium. Valsartan, suatu penghambat reseptor

Target tekanan darah berbeda antara subyek dengan DM


dan tanpa DM. Pada subyek dengan DM dan penyakit

angiotensin, dapat mengurangi mikroalbuminuria yang


diketahui sebagai faktor risiko independen kardiovaskular.
Beberapa studi menyarankan pemakaian ACE inhibitor
sebagai lini pertama pada penyandang hipertensi dengan
sindrom metabolik terutama bila ada DM. Angiotensin receptor blocker (ARB) dapat digunakan apabila tidak
toleran terhadap ACE inhibilor. Meski pemakaian diuretik
tidak dianjurkan pada subyek dengan gangguan toleransi
glukosa, namun pemakaian diuretik dosis rendah yang
dikombinasi dengan regimen lain dapat lebih bermanfaat
dibandingkan efek sampingnya.

< 130/80 mmHg,


<
I 40 I 9 0 mmHg. Untuk
sedangkan pada bukan, targetnya
mencapai target tekanan darah, penatalaksanaan tetap
diawali dengan pengaturan diet dan aktifitas fisik.
Peningkatan tekanan darah ringan dapat diatasi dulu
dengan upaya penurunan berat badan, berolah raga,
menghentikan rokok dan konsumsi alkohol serta banyak
ginjal, target tekanan darah adalah

mengkonsumsi serat. Namun apabila modifrkasi gayahidup


sendiri tidak mampu mengendalikan tekanan darah maka
dibutuhken pendekatan medikamentosa untuk mencegah
komplikasi seperti infark miokard, gagal ginjal konik dan
stroke.
Dalam suatu penelitian meta-analisis didapatkan bahwa
enzim pengkonversi angiotensin dan penghambat reseptor
angiotensin mempunyai manfaat yang bermakna dalam
meregresi hiperhofi ventrikel kiri dibandingkan dengan

Gangguan Toleransi Glukosa


Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi
sindrom metabolik yang dapat menjadi awal suatu

diabetes melitus. Penelitian-penelitian yang ada


menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara toleransi
glukosa terganggu (TGT) dan risiko kardiovaskular pada

t87l

SINDROMMEIABOIIK

Tujuan Terapi

Pasien berisiko tinggi*: < 100 mg/dl (2,6 mmol/L) (untuk


pasien berisiko sangat tinggif dalam kategori ini, target
lainnya < 70 mg/dL)

Rekomendasi Terapi
Pasien berisiko'tinggi: terapi gaya hidupf ditambah obat penurun
LDL-C untuk mencapai target yang direkomendasikan.

Bila kadar LDL-C dasar


penurun LDL.

100 mg/dl, mulailah terapi obat

Bila dalam pengobatan kadar LDL-C > 100 mg/dl, tingkatkan


terapi obat penurun LDL (mungkin memerlukan kombinasi obat
penurun LDL)

Bila kadar LDL-C dasar < 100 mg/dl, mulai terapi penurun
kadar LDL berdasarkan penilaian klinis (yakni penilaian yang
menunjukkan bahwa pasien termasuk yang berisiko sangat
tinggi)

Pasien berisiko tinggi-sedang$: < 130 mg/dl (3,4 mmol/L)


(untuk pasien berisiko lebih tinggi)ll dalam kategori ini, target
lainnya adalah < 100 mg/dl (2,6 mmol/L)

+ terapi obat
penurun LDL bila dibutuhkan untuk mencapai target yang
direkomendasikan bila kadar LDL-C > 130 mg/dl (3,4 mmol/L)
Pasien berisiko tinggi-sedang: terapi gaya hidup

setelah terapi gaya hidup

Bila kadar LDL-C adalah '100 hingga 129 mg/dl, terapi penurun
LDL dapat dimulai saat risiko pasien dinilai berada di kisaran atas

Pasien berisiko sedangfl: < 130 mg/dL (3,4 mmol/L)

Pasien berisiko rendah#: < 160 mg/dl (4,9 mmol/L)

dari kategori risiko tersebut


Pasien berisiko sedang: terapi gaya hidup + obat penurun LDL-C
bila dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan
ketika kadar LDL-C > 160 mg/dl (4,1 mmol/L) setelah terapi gaya
hidup diberikan
Pasien berisiko rendah: terapi gaya hidup + obat penurun LDL-C
bila dibutuhkan untuk mencapai target yang direkomendasikan
ketika kadar LDL-C > 190 mg/dl setelah terapi gaya hidup (untuk
kadar LDL-C 160 hingga 189 mg/dl, obat penurun LDL bersifat
opsional)

*Pasien berisiko tinggi adalah pasien dengan diagnosis ASCVD, diabetes atau risiko 10 tahun penyakit,antung koroner > 20%. Untuk penyakit
serebrovaskular, kondisi risiko tinggi meliputi transient ischemic aftack alau stroke yang berasal dari karotid atau stenosis karotid 50%
tTerapi gaya hidup meliputi penurunan berat badan, peningkatan aktivitas fisik, dan diet antiaterogenik (lihat Tabel 3 untuk rinciannya).
+ Pasien berisiko sangat tinggi adalah pasien yang cenderung menderita kejadian KVR mayor dalam beberapa tahun mendatang, dan diagnosis
tergantung pada penilaian klinis. Faktor-faktor yang dapat turut berkontribusi pada risiko sangat tinggi ini termasuk sindrom koroner akut yang baru
saja terjadi, dan diagnosis penyakitjantung koroner + salah satu dari hal berikut ini: faktor-faktor risiko mayor multipel (terutama diabetes), faktorfaktor risiko berat dan terkontrol buruk (terutama kebiasaan merokok sigaret yang terus berlanjut) dan faktor risiko multipel dari sindroma metabolik
$Pasien berisiko tinggi-sedang adalah pasien dengan risiko 10 tahun penyakitjantung koroner sebesa|10% hingga 20%
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan individu hingga masuk ke kisaran risiko tinggi sedang meliputi: faktor-faktor risiko mayor multipel, faktorfaktor risiko berat dan terkontrol buruk (terutama kebiasaan merokok sigaret yang terus berlanjut), sindroma metabolik dan penyakit aterosklerotik
subklinis yang nyata (yaitu ketebalan kalsium koroner atau lapisan media tunika intima karotid > persentil ke-75 yang sesuai dengan usia dan jenis
kelamin)

ll

flPasien berisiko sedang adalah pasien dengan 2 atau lebih faktor risiko mayor dan risiko 1 0 tahun < 1 0%
#Pasien berisiko rendah adalah pasien dengan faktor risiko mayor 0 atau 1 dan risiko 10 tahun < 10%

sindrom metabolik dan diabetes. Perubahan gaya hidup


dan aktifitas fisik yang teratur terbukti efektif dapat
menurunkan berat badan dan TGT. Modifikasi diet secara

hidup yang diikuti dengan medikamentosa. Namun

bermakna memperbaiki glukosa 2 jam pasca prandial dan

untuk memberikan obat berbarengan dengan perubahan


gaya hidup. MemrrutAIP III, setelah kolesterol LDL sudah

konsentrasi insulin.

demikian, perubahan diet dan latihan jasmani saja tidak


cukup berhasil mencapai target. Oleh karena itu disarankan

Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi


persisten dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik. Tiazolidindion dan metformin juga dapat
menurunkan konsentrasi asam lemak bebas. Pada
Diabetes Prevenlion Program, penggunaan metformin
dapat mengurangi progresi diabetes sebesar 3lo/o dan
efektifpada pasien muda dengan obesitas.

mencapai target, sasaran berikutnya adalah dislipidemia


aterogenik. Pada konsentrasi trigliserida + 200 mgldl, maka
target terapi adalah non kolesterol HDL setelah kolesterol
LDL terkoreksi. Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya
memperbaiki profil lipid tetapi juga secara bermakna dapat
menurunkan risiko kardiovaskular. Fenofibrat secara
khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan

DISLIPIDEMIA

risiko kardiovaskular. Fenofibrat juga dapal menurunkan


konsentrasi hbrinogen. Kombinasi fenofibrat dan statin
memperbaiki konsentrasi trigliserida, kolesterol HDL dan

Pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya

LDL.

meningkatkan kolesterol HDL, telah menunjukkan


perbaikan profil lipid yang sangat efektif dan mengurangi

1872

Target terapi berikutnya adalah peningkatan apoB.


Beberapa studi menunjukkan apoB lebih baik dalam
menggambarkan dislipidemia aterogenik yang terjadi
dibandingkan dengan konlesterol non HDL sehingga

menyarankan apoB sebagai target terapi. Meskipun


demikian, AIP III tetap menyarankan pemakaian kolesterol
non HDL sebagai target terapi mengingat di beberapa
tempat, sarana pemeriksaan apoB belum tersedia.

Apabila konsentrasi trigliserida + 500 mgldl-, maka


targetterupi pertama adalah penurunan trigliserida untuk
mencegah timbulnya pancreatitis akut. Pada konsentrasi

trigliserida < 500 mgldL, terapi kombinasi untuk


menurunkan trigliserida dan kolesterol LDL dapat
digrmakan. Berbeda dengan trigliserida dan kolesterol LDL,
untuk kolesterol HDL tidak ada target terapi tertentu, hanya

dinaikkan saja. Panduan terapi untuk dislipidemia dapat


dilihatpada Tabel3.

KESIMPULAN

Hughes

K, Aw T, Kuperan P, Choo M. Central obesity, insulin

X, ipoprotein (a), and cardiovascular risk in


Indians, Malays, and Chinese in Singapore. J Epidemol
Community Health 1997;5 I :394-9.
Indriyanti R, Harijanto T. Optimal cut-off value for obesity: using
resistance, sindrom

anthropometric indices to predict atherogenic dyslipidemia in


Indonesian population. In: Tjokroprawiro A, Soegih R, Soegondo
S, Wrjaya A, Sutardjo B, Tridjkaja B, et al., editors. 3rd National
Obesity Symposium (NOS III) 2004. Jakarta: Himpunan Studi
Obesitas Indonesia (HISOBI); 2004. p. 1-13.
Kahn R, Buse J, Ferrannini E, Stern M. The metabolik sindrom:
time for a critical appraisal Joint statement from the American
Diabetes Association and the European Association for the Study
of Diabetes. Diabetologia 2005.

National Cholesterol Education Program-ATP III. Executive


summary of the third report of the National Cholesterol
Education Program (NCEP) Expert Panel on detection, evaluation, and treatment of high blood cholesterol in adults (adult
treatment panel III). JAMA 2002;285:2846-97.
National Institute of Health. Clinical guidelines on the identification,
evaluation, and treatment of overweighty and obesity in adults:
the evidence report. Obes Res 1998;6(suppl 2):51S-209S.
Nestel P. Nutritional aspect in the causation and management of

the metabolik sindrom. Endocrinol Metab Clin N Am


Sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala yang
keberadaannya memrnjukkan peningkatan risiko kejadian
penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus. Obesitas

sentral memiliki korelasi paling erat dengan sindrom


metabolik dibandingkan dengan komponen yang lain.
Penatalaksanaan sindrom metabolik masih mengacu pada
tiap komponen, sejauh ini belum ada penatalaksanaan yang
berbeda bila dibandingkan dengan komponen secara

individual.

REFERENSI
Dekker JM, Girman C, Rhodes I Nijpels Q Stehouwer CD, Bouter
LM, et al. Metabolik sindrom and l0-year cardiovascular disease risk in the Hoorn Study. Circulation 2005;112(5):666-73.
Eckel R, Krauss R. American Heart Association call to action: obesity as a major risk factor for coronary heart disease. AHA
nutrition committee. Circulation 1998;97 (21):2099- 1 00.
Einhom D, Reaven G, Cobin R, Ford E, Ganda O, Handelsman Y, et
al. American college of endocrinology position statement on
the insulin resistance sindrom. Endocr Prac 2003;9(3):237-52.
Ford E, Giles W, Dietz W. Presence of the metabolik sindrom among
US adults: findings from the Third National Health and Nutrition Examination Survey. JAMA 2002;287 :3 56-9.
Grundy S, Cleeman J, Daniels S, Donato K, Eckel R, Franklin B.
Diagnosis and management of the metabolik sindrom. an American Heart AssociatiorV National Heart, Lung, and Blood Institute scientific statement. Circulation 2005;112.
Grundy SM, Hansen B, Smilh SC, Jr., Cleeman JI, Kahn RA. Clinical
management of metabolik sindrom: report of the American
Heart AssociationA.{ational Heart, Lung, and Blood Institute/
American Diabetes Association conference on scientific issues

to management. Arterioscler Thromb Vasc Biol


2004;24(2):el9-24.

related

2004;33:483-92.
Pan W. Metabolik sindrom-an important but complex disease
entity for Asians. Acta Cafiiol 2002;18:24-6.
Reaven GM. The metabolik sindrom: requiescat in pace. Clin Chem
2005;51(6):931-8.
Sy R, Punzalan F. The prevalence of dyslipidemia, diabetes,
hypertension, stroke and angina pectoris in the Philipines. Phil
J Intern Med 2003;163:427-36.
Soegondo S. Hubungan leptin dengan dislipidemia atherogenik pada
obesitas sentral: kajian terhadap small dense low density

lipoprotein. Disertasi 2004.


Tan C, Tai E. Genes, diet and serum lipid concentrations: lessons
from ethnically diverse populations and their relevance to their
relevance to the coronary hjeart disease in Asia. Curr Opinion
Lipidol 2004;15:5-12.

World Health Organization. Definition, diagnosis,

and

classification of diabetes mellitus and its complications:report


of a WHO consultation. In: Part l: diagnosis and classification

of diabetes mellitus: WHO;

1999.

Soewondo P, Purnamasari D, Oemardi M, Waspadji S, Soegondo S.


Prevalence of Metabolik Sindrom Using NCEP/ATP III Kriteria

in Jakarta, Indonesia. The Jakarta Primary Non-Communicable


Disease Risk Factor Surveillance 2006. Unpublished.
Purnamasari. Gambaran Resistensi Insulin Subyek dengan Saudara
Kandung DM tipe 2. Tesis. 2006.

Reilly MP, Rader DJ. The metabolic syndrome: more than the sum
of its part? Circulation 2003;108:1546-51.
Park YW, Zhu S, Palaniappan L, Heshka S, Carnethon MR,
Heymsfield SB. The metabolic syndrome. Prevalence and
associated risk factor findings in the US population from the
Third National Helth and Nutrition Examination Survey 19881994. Arch Intern Med. 2003;163:427-36.

29t
DIABETES MELITUS DI INDONESIA
Slamet Suyono

Melanesia dan Eskimo. Di samudera Pasifik, diabetes


melitus sangatjarang terdapat pada orang Polinesia yang
masih melakukan gaya hidup tradisional, beda dengan

EPIDEMIOLOGI DIABETES MELITUS


Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka hansisi

epidemiologis, suatu konsep mengenai perubahan pola

daerahurban seperti Mikronesia, Guam, Nauru dannegaranegara Polinesia seperti Tonga, Hawai, Tahiti, di mana
jumlah pasien diabetes sangat tinggi. Begitu pula banyak
penelitian yang menunjukkan adanya kenaikan prevalensi

kesehatan dan penyakit. Konsep tersebut hendak mencoba

menghubungkan hal-hal tersebut dengan morbiditas dan

mortalitas pada beberapa golongan penduduk dan


menghubungkamya dengan faktor sosioekonomi serta

diabetes pada penduduk emigran seperti pada orang


Yahudi yang berasal dari Yaman dan pindah ke Israel,
masyarakat India di Afrika Selatan, orang Indian di Amerika
Serikat dan penduduk asli di Australiayang ber"migrasi"

demografi masyarakat masing-masing.

Dikenal 3 periode dalam transisi epidemiologis. Hal


tersebut terjadi tidak saja di Indonesia tetapijuga di negaranegara lain yang sedang berkembang.

ke daerah perkotaan.

Sebagai dampak positif pembangunan yang

Periode I. Era pestilmce dankelaparan. Dengan kedatangan


orang-orang barat ke Asia pada akhir abad ke 15, datang
pula penyakilpenyakit menular seperti pes, kolera, influ-

dilaksanakan olehpemerintah dalamkurun waktu 60 tahun


merdeka, pola penyakit di Indonesia mengalami pergeseren
yang cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan

enza, tuberkulosis dan penyakit kelamin, yang

gizi berangsur turun, meskipun diakui bahwa angka

meningkatkan angka kematian, Harapan hidup bayi-bayi


rendah dan pertambahan penduduk juga sangat rendah
pada waktu itu.

Periode

II.

Periode

III.

penyakit infeksi ini masih dipertanyakan dengan timbulnya


penyakit baru seperti Hepatitis B dan AIDS, juga angka

kesakitan TBC yang tampaknya masih tinggi.dan akhirakhir ini flu burung, demam berdarah dengue (DBD),
antraks dan polio melanda negara kita yang kita cintai ini.
Di lain pihak penyakit menahun yang disebabkan oleh
penyakit degeneratif, di antaranya diabetes meningkat
dengan tajam. Perubahan pola penyakit itu diduga ada
hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola
makan di kota-kota telah bergeser dari pola makan
tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan

Pandemi berkurang pada akhir abad ke 19.


Dengan perbaikan gizi, higiene serta sanitasi, penyakit
menular berkurang dan mortalitas menurun. Rata-rata
harapan hidup pada waktu lahir meningkat dan jumlah
penduduk seperti di pulau Jawa nampakbertambah.
Periode ini merupakan era penyakit degeneratif

dan pencemaran. Karena komunikasi yang lebih baik


dengan masyafakat barat serta adopsi cara kehidupan barat,

serat dari sa)ruran, ke pola makan ke barat-baratan, dengan

penyakit-penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit


kardiovaskular dan diabetes melitus meningkat. Tetapi
apabila kontak dengan barat kurang dan masih terdapat
kehidupan tradisional, seperti di daerah pedesaan penyakitpenyakit tersebut umumnya jarang ditemukan.
Dari penelitian Zimmet (1978) dapat dilihat bahwa
beberapa golongan etnik mempunyai semacam proteksi
terhadap efek buruk pengaruh barat, antara lain bangsa

komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung


protein, lemak, gula, garam dan mengandung sedikit serat.
Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada
makanan siap santap yang akhir-akhir ini sangat digemari
terutama oleh anak-anak muda.
Di samping itu cara hidup yang sangat sibuk dengan
pekerjaan daripagi sampai sore bahkan kadang-kadang

r87

1874

sampai malam hari duduk di belakang meja menyebabkan

tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah


raga, apalagi bagi para eksekutif hampir tiap hari harus
lunch alau dinner dengan para relasinya dengan menu
makanan baratyang 'aduhai'. Pola hidup berisiko seperti
inilah yang menyebabkan tingginya kekerapan penyakit
jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes, hiperlipidemia.
Menarik sekali apa yang dimuat dalam majalah Fortune
edisi bulan Juni 1991 yang menganalisis perkembangan
ekonomi di Asia. Dikatakan bahwa perkembangan ekonomi
di kawasan ini sangat menggembirakan. Yang aneh tetapi

nyataadalahdiantaraparameteruntukmengukurkemajuan
ekonomi itu adalah jumlah re storan McDonald.DiThalIand
ada 6 buah, di Malaysia 23 buah, di Singapura 37 buah, di
Filippina 34 buah dan di Jepang 809 buah dan dua negara
yang mempunyai hanya 1 buah restoran McDonald yaitu
Indonesia dan Cina. Pada tahun 1996hanya dalam waktu

5 tahun saja di Indonesia sudah ada 40 gerai. 33 di


antaratya beradii di Jakarta. Data terakhir tahun 2006
jumlah restoran McDoanld di Indonesia sudah mencapai
120 gerai. Akibat lain dari cara hidup berisiko ini adalah
biaya kesehatan menjadi sangat mahal. Sebagai contoh,

dapat dikemukakan angka-angka di bawah inil. Di


Massachussetts AS, seorang laki-Iaki berumur 80 tahun
dirawat karena sakit jantung. Biaya perawatannya
mencapai 800.000 dollar. Masyarakat AS memang mulai

gelisah menghadapi biaya kesehatan yang makin


membengkak ini. Anggaran biaya kesehatan tahun l99l di
negara ini mencapai 671 mlliar dollar (12 % GNP AS).
Anehnya adalah, meskipun sudah sedemikian besarnya
biay a yang dikeluarkan, taraf kesehatan mereka tetap tidak
lebih baik daripada negara maju lain, seperti Kanada,
Inggris, Jerman, Swedia dan Jepang. Keadaan ini dapat
dilihat pada angka kematian bayi (tiap 1000 kelahiran)
misalnya di AS 10,4, jauh lebih tinggi daripada di Kanada
7,3, Inggris 7,3,Jerman 5,6, Swedia 5,9 dan Jepang4,5.

METABOLIKENDOKRIN

DIABETES MELITUS DI MASA DATANG

Di

antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu

di antara penyakit tidak menular yang akan meningkat


jumlahnya di masa datang. Diabetes sudah merupakan
salah sau ancaman utama bagi kesehatan umat manusia

pada abad 21. Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO)


membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah
pengidap diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150
juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahtn kemudian,
pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi
300juta orang.
Masalah diabetes melitus di negara-negara berkembang

tidak pernah mendapat perhatian para ahli diabetes di


negara-negara barat sampai dengan Kongres International Diabetes Federation (IDF) ke IX tahun 1973 di
Brussel. Baru pada tahunl976, ketika kongres IDF di New
Delhi India, diadakan acara khusus yang membahas diabetes melitus di daerah tropis. Setelah itu banyak sekali
penelitian yang dilakukan di negara berkembang dan data
terakhir dari WHO menunjukkan justru peningkatan
tertinggi jumlah pasien diabetes malah di negara Asia
Tenggara termasuk Indonesia

(Gambarl).

Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa


negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di
negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti.
Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya

hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan


peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti
penyakit j antung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia,
diabetes dan lain-lain. Data epidemiologis di negara
berkembang memang masih belum banyak. Oleh karena
itu angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal
dari negara maju.

Begitu juga dengan usia harapan hidup di AS baru


mencapai 75,6 tahun, sedangkan di Kanada 79,2 tahut,

DIABETES MELITUS TIPE2

Inggris 76,3 tahun, Jerman 77 ,2 tahun, Swedia 77,7 tahvn


dan Jepang 79,3 tahun. Ironisnya adalah bahwa biaya
kesehatan di negara-negara itu jauh lebih murah.

Prevalensi DM Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar


antara3-60/o dari orang dewasanya. Angka ini merupakan
baku emas untuk membandingkan kekerapan diabetes
antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia, hingga
dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di
suatu negara atau suafu kelompok etnik tertenfu dengan
kelompok etnik kulit putih pada umumnya. Misalnya di

Diakui bahwa perkembangan ilmu dan teknologi


kedokteran telah banyak menyelamatkan nyawa manusia.
Penyakit-penyakit yang selama ini tidak terdiagnosis dan

terobati sekarang sudah banyak yang teratasi. Tetapi


untuk memperbaiki taraf kesehatan secara global tidak
dapat mengandalkan hanya pada tindakan kuratif, karena
penyakit-penyakit yang memerlukan biaya mahal itu
sebagian besar dapat dicegah dengan pola hidup sehat
dan menjauhi pola hidup berisiko. Artinya para
pengambil kebijakan harus mempertimbangkan untuk
mengalokasikan dana kesehatan yang lebih menekankan
kepada segi preventif daripada kuratif. Rupanya inilah
keunggulan negara-negara maju di luar AS yang tadi
disebut.

negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan


ekonominya sangat menonjol, seperti di Singapura,
kekerapan diabetes sangat meningkat dibanding dengan
l0 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok
etnik di beberapa negara yang mengalami perubahan gaya
hidup yang sangat berbeda dengan cara hidup sebelumnya
karena memang mereka lebih makmur, kekerapan diabetes

bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa bangsa


Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indian Pima di AS,
orang Meksiko yang ada di AS, bangsa Creole di Mauritius

1875

DIABETES MELITUS DI INDONESIA

o
l

=
@

E
-9
(!

'6
6
E

@
LrJ

Afrika

Amerika Mediteranian

Eropa

Asia

tenggara

Pasifik baral

timur
Sumber: World Health Organization The World Health Report 1997

Gambar 1. Prediksi perkembangan rata-rata pasien DM di dunia

di r.egararya, masalah ini

dan Suriname, penduduk asli Australia dan imigran India


di Asia. Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab
Saudi, Indian Canada dan Cina di Mauritius, Singapura
dan Taiwan.
Tentang baku emas yang tadi dibicarakan, sebenarnya
juga ada kekecualiannya, misalnya suatu penelitian di
Wadena AS2, mendapatkan bahwa prevalensi pada orang

kesehatan

kulit putih sangat tinggi dibandingkan dengan baku emas


tadi (Eropa) yqi[u sebesar 23,2yo untuk semua ganggran
toleransi, terdiri dari 15,1% TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu) dan8,l%o DM Tipe 2.Dengan kenyataan ini

dilaksanakan

dapat diambil kesimpulanbahwa faktor lingkungan sangat


berperan. Hal ini dapat dilihat pada studi Wadena tadi

bahwa secara genetik mereka sama-sama kulit putih, tetapi


di Eropa prevalensinya lebih rendah. Di sini jelas karena
orang-orang di Wadena lebih gemuk dan hidupnya lebih

santai. Hal ini akan berlaku bagi bangsa-bangsa lain,


terutama di negara yang tergolong sangat berkembang
seperti Singapura, Korea dan barangkali Indonesia.
Contoh lain yang baikbahwa faktor lingkungan sangat
berpengaruh adalah di Mauritius, suatu negara kepulauan,
yang penduduknya terdiri dari berbagai kelompok etnik.
Pada suatu penelitian epidemiologi yang dilakukan di sana

dengan jumlah responden sebanyak 5080 orang,


didapatkan prevalensi TGT dan DMTTI seperti tertera
pada tabel 3. Dari tabel tersebut tampak bahwa pada

harus

dipertimbangkan.

DM TIPE 2 DI INDONESIA
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini

di Indonesia, kekerapan diabetes di

Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1 ,60lo, kecuali di dua


tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang,
2,3%o dan di Manado 6%o (Gambar 2).
Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di
daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan
di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu
tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orangorang yang datang dengan sukarela,jadi agak lebih selektif.
Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanyayang
dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi
di Manado memang tinggi, karena prevalensi diabetes di
Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4o/o sampai l2%o di daerah
urban dan 3,85 sampai 9,7yo di daerah rural.
Suatu penelitian yang dilakukan di Jakartatahw 1993,

kekerapan

DM di daerah urban yaitu di kelurahan

kuat yang akan meningkatkan kekerapan diabetes.


Keadaan ini tentu saja harus diantisipasi oleh pembuat
kebijaksanaan di tiap negara berkembang supaya dalam

Kayuputih adalah 5,690/0, sedangkan di daerah rural yang


dilakukan oleh Augusta Arifin6 di suatu daerah di Jawa
Barat tahun 1995, angka itu hanya l,l%. Di sini jelas ada
perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan
daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup
mempengamhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur
angka itu tidak berbeda yaitu 1.43 d/o di daerahurban dan
1,47o di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan
tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi
(DMTM) atauyang sekarang disebut diabetes tipe lain di
daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 2l ,2%o dari seluruh
diabetes di daerah itu.
Penelitian antara tahun 200 I dan 2005 di daerah Depok
didapatkan pevalensi DM Tipe 2 sebesar l4.7oh, statu

menentukan rencana jangka panjang kebijakan.pelayanan

angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makasar

bangsa-bangsa India, Cina dan Creole (campuran Afrika,


Eropa dan India) prevalensi DM jauh lebih tinggi dari baku
emas, padahal di negara asalnya prevalensi DM sangat

rendah. Perlu diketahui bahwa keadaan ekonomi di


Mauritius untuk golongan etnik tadi jauh lebih baik
dibanding dengan di negara asalnya. Dari data ini semua
dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama
peningkatan kemakmuran suatu bangsa merupakan faktor

1876

METABOLIKENDOIRIN

Gambar 2. Prevalens DM di lndonesia

prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 yang mencapai


12.5%.Pada tahun 2006, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekeda sama

bayi menurun dan usia harapan hidup orang Indonesia


makin panjang. Piramida penduduk akan mengalami

Penelitian dan Pengembangan Departemen


akukan Surveilans Faktor fusiko Penyakit
Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan 1591 subyek,
terdiri dari 640 laki-laki dan 951 wanita. Survei tersebut

lebih berbentuk panjang, mendekati stasioner di mana


penduduk usia dewasa dan lanjut usia lebih banyak dari
pada keadaan tahun 1990. Dari segi diabetes hal ini sangat

melaporkan prevalensi DM (unadjusted) di lima wilayah


DKI Jakarta sebesar l2,Io/o dengan DM yang terdeteksi

umumnya DM Tipe 2 timbul setelah dekade 4. Ini berarti bila


nanti pada tahun 2020 menjadikenyataan jumlah pengidap
diabetes akan mengalami ledakan yang luar biasa besarnya.

sebesar 3,80% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar lI,2yu


Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang

belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hamper 3x lipat


dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi,

Melihat tendensi kenaikan.kekerapan diabetes secara


global yang tadi dibicarakan terutama disebabkan oleh
karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka
dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau
lebih tepat lagi dalam kurun waktu I atau2 dekade yang
akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat
dengan drastis.
Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh
WHO seperti tampak pada tabel 2, Indonesia akan
menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah
pengidap diabetes sebanyak 12,4 jfia orang pada tahun
2025,naik2 tingkat dibanding tahun I 995.
Untuk dapat meramal keadaan diabetes di masa datang
ada baiknya kita menyimak sedikit apa yang dilakukar oleh
ahli-ahli demografi di Indonesia.

Ananta menyatakan bahwa revolusi demografi di

perubahan dari yang berbentuk kerucut (ekspansif) menjadi

menarik karena seperti tadi sudah dikatakan bahwa

Kenaikan

dibandingkan

Negara 1995 Urutan Negara 2025


(Juta)
(Juta)
.
1

2
3

lndia
Cina

Amerika
Serikat

lndia
Cina
Amerika

21

8.9

Pakistan

14 5

19.4
16.0
13.9

57 2
37 6

Federasi
Russia

Jepang

6.3

lndonesia

12.4

Brazil

4.9

Federasi

122

Indonesia adalah salah satu contoh di mana perubahan

7
8

demografik tidak perlu menunggu perubahan

10

sosioekonomi. Intervensi pemerintah secara langsung


dalam memperbaiki angka fertilitas dan mortalitas.jelas
mempercepat proses transisi demografi. Angka kematian

ini sungguh sangat besar

kenaikan seluruh penduduk dari 180,383,697 orang meniadi


253,667,565 omng atau kenaikan hanya sebesar 40,60 .
Selain itu penduduk perkotaan yangpada tahun 1990
berjumlah 51,932,467 orang atau 28,79% dari penduduk,
pada tahun 2020 akan meningkat menj adi 132,465,221 orung

lndonesia
Pakistan

Meksiko
Ukraine
Semua

4.5
4.3
3.8
3.6
49.7

Russia

I
I

10

Meksiko
Brazil
Mesir
Jepang

11.7

116
8.8
8.5
'103.6

1877

DIABETES MELITUS DI INDONESIA

atat 52,2%o dari semua penduduk. Hal lain yang menarik


adalah jumlah usia lanjut. Penduduk 65 tahun akan
bertambah dariT,l jutapadatahun lgg0menjadi 18,5 juta
pada tahua 2020. Jadi selama 30 tahun itujumlah penduduk
dengan usia lanjut akan bertambah sebanyak lI,4 julayang

menurutAnantajumlah itu saEra dengan jumlah penduduk


Jakarta ditambah penduduk Yogya saat ini. Kekerapan
diabetes pada usia lanjutjauh lebih tinggi lagi bisa 4 kali
lipat darirata-rata.
Dari angka-angka tadi dapat diambil kesimpulan bahwa
dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan
naik sebesar 40%o dengan peningkatan jumlah pasien
diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86-138%o, yang
disebabkan oleh karena:

faktor demografi: 1). Jumlah penduduk meningkat; 2).

Penduduk usia lanjut bertambah banyak; 3). Urbanisasi


makin tak terkendali
gaya hidup yang ke barat-baratan: l).Penghasllanper
capita linggi; 2). Restoran siap santap; 3). Teknologi

canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak

.
.

badan
berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
meningkatnya pelayanan kesehatan hrngga umur pasien
diabetes menjadi lebih panjang.

Langkah-langkah yang Dapat Dikerjakan


Mengingat jumlah pasien yang akan membengkak dan
besarnya biaya perawatan pasien diabetes yang terutama
disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang
paling baik adalah pencegahan.

Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada


diabetes ada tiga jenis atau tahap yaitu:
Pencegahan primer.. Semua aktivitas yang ditujukanuntuk
pencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang
berisiko untuk jadi diabetes ataupadapopulasi umum.
Pencegahan sekunder.. Menemukan pengidap DM sedini
mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada

populasi risiko tinggi, Dengan demikian pasien diabetes


yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga
dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegah
komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih
reversibel,

Pencegahan tersier. Semua upaya untuk mencegah


komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu. Usaha ini
meliputi:

.
.

mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak


menj adi kegagalan organ

mencegah kecacatan tubuh

Dalam hal ini Indonesia cukup beruntung karena sejak


tahun I 993 PERKENI telah menyusur dan memberlakukan

DM TIPE LAIN
Salah satu jenis

mencegahtimbulnyakomplikasi

ini

adalah Diabetes Melitus Tipe Lain.


Jenis ini sering ditemukan di daerah tropis dan negara
berkembang. Bentuk ini biasanya disebabkan oleh adanya
malnutirisi disertai kekurangan protein y ang nyata. Diduga
zat sianida yang terdapat pada cassava atatsingkong yang
menjadi sumber karbohidrat di beberapa kawasan di Asia
dan Afrika berperan dalam patogenesisnya. Di Jawa Timur
sudah dilakukan survei dan didapatkan bahwa prevalensi

diabetes di pedesaan adalah l,47yo sama dengan di


perkotaan (1,43%). Sebesar 2l ,2yo dari kasus diabetes di
pedesaan adalah jenis ini. Diabetes jenis ini di masa datang

masih akan banyak, mengingat jumlah penduduk yang


masih berada di bawah kemiskinan yang masih tinggi. Dulu
jenis ini disebut Diabetes Terkait Malnutrisi (MRDM), teapi
oleh karena patogenesis jenis ini tidak jelas maka jenis ini
pada klasifikasi terakhir (1999) tidak lagi disebut sebagai
MRDM tetapi disebut Diabetes Tipe Lain.

Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang timbul selama
kehamilan. Ini meliputi 2-5,% dari seluruh diabetes. jenis

konsensus pengelolaan diabetes

di Indonesia yang

ditandatangani oleh seluruh ahli di bidang diabetes. Di dalam


buku konsensus itu sudah dicanangkan bahwa pencegahan
adalah upaya yang harus dilaksanakan sejak dini. Mengenai

ini ada sedikit perbedaan mengenai def,rnisi


pencegahan yang tidak terlalu mengganggu. Dalam
pencegahan

konsensus yang mengacu ke pada WHO 1985, pencegahan

ada 3 jenis yaitu pencegahan primer berarti mencegah


timbulnya hiperglikemia, pencegahan sekunder mencegah
komplikasi sedangkan pencegahan tersier mencegah
kecacatan akibat komplikasi. Menunit laporan WHO 1994
pada pencegahan sekunder termasuk deteksi dini diabetes

dengan skrining, sedangkan mencegah komplikasi


dimasukkan ke dalarn pehcegahan tersier.

Strategi Pencegahan
Dalam menyelengg arakan upaya pencegahan ini
diperlukan suatu strategi yang efisien dan efektif untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada
pencegahan penyakit menular,ada2 macam strategi untuk
dijalankan, antara lain:
Pendekatan populasi/masy aral<at (poput ation/comm unity

dari wanita hamil. Karena pentingnya. masalah,inl'iikan


i
dibicarakan lebih lanjut dalam bab tbrsendiri. "':
:

METABOUKENDOIRIN

1878

hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga untuk


mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat
karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus
dilakukan tidak saja oleh profesi tetapi harus oleh segala
lapisan masyarakat termasuk pemerintah dan swasta (LSM,
pemuka masyarakat dan agama)

Pedekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya


pencegahan yang dilakukan pada individu-individu yang
berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak'
Pada golongan ini termasuk individu yang: berumur >40

tahun, gemuk, hipertensi, riwayal keluarga DM, riwayat


melahirkan bayi>4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan,
dislipidemia.

selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari

sepanjang tahun.

Di

samping

itu seperti tadi

sudah

dibicarakan, tekanan darah dan kadar lipid juga harus normal. Dan supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya

pengendalian kadar glukosa darah dan lipid itu harus


diutamakan cara-cara nonfarmakologis dulu secara
maksimal, misalnya dengan diet dan olah raga, tidak

merokok dan lain-lain' Bila tidak berhasil baru

menggunakan obat baik oral maupun insulin.


Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang

perilaku sehat seperti pada pencegahan primer harus


dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan
kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan
mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit paling depan

yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan

Pencegahan Primer

penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang

Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena


yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit
artinya mereka masih sehat. Cakupannya menjadi sangat
luas. Yang bertanggungjawab bukan hanya profesi tetapi
seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak

berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan


komplikasi. Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga yang
terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain yang

menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan kepada


masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik

ini

harus mempropagandakan pola hidup sehat dan

daripada mengobatinya. Kampanye makanan sehat dengan


pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola
makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan harus
sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak
taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah makanan
tradisional kita yang selain sangat bergizi, ternyata juga

banyak khasiatnya misalnya sifat anti bakteri dan


menurunkan kadar kolesterol.
Caranya bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio
atau televisi. Selain makanan juga cara hidup berisiko
lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk,
dengan olah raga teratur. Dengan menganjurkan olah raga
kepada kelompok risiko tinggi, misalnya anak-anak pasien
diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan primer
yang sangat efektif dan murah.

Motto memasyarakatkan olah raga dan mengolah-

sudah dapat pelatihan untuk

Usaha

ini

itu (diabetes educator)'

akan lebih berhasil bila cakupan pasien

diabetesnya juga luas, artinya selaiq pasien yang selama

sudah berobat juga harus dapat mencakup pasien


diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya
kelompok penduduk dengan risiko tinggi. Kelompok yang
tidak terdiagnosis ini rupanya tidak sedikit. Di AS saja
kelompok ini sama besar dengan yang terdiagnosis, bisa
dibayangkan keadaan di Indonesia.
Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan
bahwa pendeteksian pasien baru dengan cara skrining
dimasukkan ke dalam upaya pencegahan sekundet agar
supaya bila diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah
karena masih reversibel. Untuk negara berkembang
termasuk Indonesia upaya ini termasuk mahal.
Peran profesi sangat ditantang untuk menekan angka
pasien yang tidak terdiagnosis ini, supaya pasienjangan
datang minta pertolongan kalau sudah sangat terlambat
dengan berbagai komplikasi yang dapat mengakibatkan
kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang harus sudah
dilakukan upaya bagaimana catanya menjaring pasien

ragakan masyarakat sangat menunjang upaya pencegahan


primer. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konsekuensi,
yaitu penyediaan sarana olah raga yang merata sampai ke
pelosok, misalnya di tiap sekolahan harus ada sarana olah
raga yang memadai.

yang tidak terdiagnosis itu agar mereka dapat melakukan


upaya pencegahan baik primer maupun sekunder

Pencegahan Sekunder

Upaya ini terdiri dari 3 tahaP:

Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih


mudah karena populasinya lebih kecil, yaitu pasien
diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat' tetapi
kenyataannya tidak demikian. Tidak gampang memotivasi
pasien untuk berobat teratur, dan menerima kenyataan

bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat untuk


rrr"n""guh komplikasi adalah kadar glukosa darah harus

Pencegahan Tersier
Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang
diakibatkannya termasuk ke dalam pencegahan tersier'

o
.
.

pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus

dimasukkan sebagai pencegahan sekunder


mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk
tidak menjurus kepada penyakit organ
mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena
kegagalan organ atau jaringan
Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali

1879

DIABETES MELITUS DI INIX)NESIA

baik antara pasien dengan dokter maupun antara dokter


ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan
komplikasinya. Dalam hal peran penyuluhan sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk
mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan
merepotkan dokter yang jumlahnya terbatas. Oleh karena
itu dia harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk

keperluan itu yaitu penyuluh diabetes (diabetes


educator).

PENYULUH DIABETES

KESIMPULAN
Jumlah pasien diabetes dalam kurun waktu 25-30 tahun

yang akan datang akan sangat meningkat akibat


peningkatan kemakmuran, perubahan pola demografi dan
urbanisasi. Di samping itu juga karena pola hidup yang
akan berubah menjadi pola hidup berisiko. Pencegahan
baik primer, sekunder maupun tersier merupakan upaya
yang paling tepat dalam mengantisipasi ledakan jumlah
ini, dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait seperti
pemerintah, LSM, guru-guru dan lain-lain. Dari segi teknis,
karena cakupannya sangat luas dalam pelaksanaannya
perlu dibantu oleh para penyuluh diabetes yang trampil

Dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien


diabetes dan meningkatnya komplikasi terutama PJK, tadi
sudah diuraikan upaya pencegahan, baik primer, sekunder

maupun tersier adalah yang paling baik. Karena upaya itu


sangat berat, adalah tidak mungkin dilakukan hanya oleh
dokter ahli diabetes atau endokrinologis. Oleh karena itu
diperlukan tenaga trampil yang dapat berperan sebagai
perpanjangan tangan dokter endokrinologis itu. Di luar

negeri tenaga itu sudah lama

ad,a

disebut diabetes

educator yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi atau


pekerja sosial dan lain-lain yang berminat. Di Indonesia
atalu tepatlya di Jakarta oleh Pusat Diabetes dan Lipid
FKUV RSCM melalui SIDL-nya (Senhal Informasi Diabetes
dan Lipid) sejak tahun 1993 telah diselenggarakan kursus
penyuluh diabetes yang sampai saat ini masih berlangsung
secara teratw. Kursus ifu ternyata mendapat sambutan
luar biasa dari rumah sakit seluruh Indonesia, bahkan di
beberapa kota misalnya di Bandung, Surabaya, Bali, Ujung

Pandang, Manado dan lain-lain. Mereka sudah


melaksanakan sendiri kursus itu. Unfuk sementara kursus
itu dibatasi hanya untuk dokter, perawat dan ahli giziyang
merupakan satu-kesatuan kerja di rumah sakit masirigmasing. Sampai tahun 2006 sudah dididik sebanyak 1000

orang penyuluh, tersebar di 80 rumah sakit di seluruh


Indonesia. Karena kegiatan ini sudah dianggap mapan,
mulai tahun 1996 kursus ini dilaksanakan oleh Diklat RSCM
bersama dengan SIDL, hingga dengan demikian secara
formal keberadaan penyuluh diabetes tidak diragukan lagi.

Ini penting untuk yang bersangkutan dalam

pengembangan kariernya. Bila tenaga penyuluh diabetes

sudah banyak, maka penyuluhan akan lebih banyak


dilakukan oleh mereka dari pada oleh dokter spesialis yang
jumlah dan waktunya terbatas.
Dalam pelaksanaannya para penyuluh diabetes itu
sebaiknya memberikan pelayanan secara terpadu dalam
suatu instansi misalnya dalam bentuk sentral informasi
yang bekerja 24 jam sehari dan akan melayani pasien atau

siapapun yang ingin menanyakan seluk-beluk tentang


diabetes terutama sekali tentang penatalaks anaannya
termasuk diet dan komplikasnya.

REFERENSI

Adam JMF. Diabetes melitus gestasi. Cara skrining


penatalaksanaan. Acta Med Indones, 1991; XXIII: 87-94.

dan

YL. Deskripsi pasien Diabetes di suatu masyarakat di Jawa


Barat. Buku Program dan Kumpulan Ringkasan Simposium

Agusta A

Nasional Endokrinologi

II

Bandung 1995; 3.

Ananta A, Adioetomo SM. Perkembangan Penduduk Indonesia


Menuju tahun 2005. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi

UI. Jakarta, 1990.


Cheah JS, Yeo PPB, Thai AC, Lui KF, Wang KW, Lee KO, Tan Yl
Ng YK Tan BY. Epidemiology of diabetes melitus in Singapore:
comparison with other ASEAN countries. J AFES 1982; 2: 394'.7.

Dowse GK, Gareeboo H, Zimnet P et al. The high prevalence of


glucose intolerance in Indian, Creole, and Chinese Mauritians.
Diabetes 1990; 39: 390-6.
French LA, Boen JR, Martinez AM et al .Population-based study of
impaired glucose tolerance and type II diabetes in Wadena, Minnesota. Diabetes 1990; 39: 1131-7.
Konsensus Pengelolaan diabetes melitus di In- donesia .PERKENI

r993.
Samsuridjal. Catatan dari Salzburg. Dari orientasi penyakit ke perilaku
sehat. Anikel opini pada harian pelita tgl ll Oktober 1991.
Soegondo S, Pumamasari D, Waspadji S, Saksono D. Prevalence of
diabetes mellitus in Jakarta. The Jakarta Primary Non-Commu-

nicable Disease Risk Factors Surveillance 2006. Unpublished.


Sugijarto, Suyono S, Waspadji S, Budisantoso A, Soegondo S. pengaruh
tempe kedelai terhadap

profil lipid pasienhiperkolesterolemia

yang berobat di Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM


Jakarta. Kumpulan makalah KOPAPDI

VIII

Yoyakarta,(

990),

Jilid I,551-61.
Tjokroprawiro A. Prevalerisi dan profil klinik diabetes melitus di
pedesaan Jawa Timur. Naskah Lengkap Simposium Nasional

l99l ; 3347.
Waspadji S. Penelitian diabetes melitus suatu tinjauan tentang hasil
penelitian dan kebutuhan penelitian masa yang akan datang.
Acta Med Indonesiana 1988; XX: 87-98.
WHO Technical Report Series No 844: Prevention of Diabetes
Perkembangan Mutakhir Endokrinologi Metabolisme,

Melitus 1994.

292
DIAGNOSIS DAN KLASIFII(ASI
DIABETES MELITUS
Dyah Purnamasari

PENDAHULUAN

lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok

hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan


beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan
terjadinya DM tipe 2.

penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang


terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes


berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfirngsi
atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata,
ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health

Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan


bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat
tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu
kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari
sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut
atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus

Selain itu karena diabetes sudah merupakan suatu

penyakit global dan malahan menurut P. Zimmet sudah


merupakan suatu epidemi, banyak penelitian dilakukan
untuk mencoba mengatasinya. Saat ini terdapat berbagai
penelitian yang bertujuan untuk mtjmperbaiki kehidupan
orang dengan diabetes, adayang berusaha untuk mencari
obat untuk menyembuhkannya dan ada pula yang
mempelajari dampak diabetes pada beberapa populasi di
dunia.

PENAPISAN DAN DIAGNOSIS


Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan

menerus terjadi baik oleh WHO maupun American


Diabetes Association (ADA). Parapakar di Indonesiapun

konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis


DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan

bersepakat melalui PERKENI @erkumpulan Endokrinologi


Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan standar

cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis,


pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa

pengelolaan diabetes melitus, yang kemudian juga


melakukan revisi konsensus tersebut pada tahun 1998 dan
2002 yangmenyesuaikan dengan perkembangan baru.

darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang


terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali
mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan
kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh

Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak


terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya
diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,
sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus
yang tidak terdeteksi ini. Penelitan lain menyatakan bahwa

(whole blood), vena ataupun kapiler

dengan

dengan adanyaurbanisasi, populasi diabetes tipe2 akan

memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang

meningkat 5- I 0 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku


rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah
secara epidemiologi diperkirakan adalah: bertambahnya
usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi

berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan


hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan


pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada

1880

r881

DIAGNOSIS DAI\I KI.ASIFIKASII DIABETES MELITUS

mereka yang menunjukkan gejalaltanda DM, sedangkan


pemeriksaan penyaring berhrjuan untuk mengidentifikasi
mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM.
(Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada
mereka yang hasil pemeriksaan penyaringrrya positif, untuk
memastikan diagnosis defi nitif.)
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua
bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM.
Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia

dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas,


sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas,
kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila
ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah
abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM,
maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah
abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui
carapada Tabel 1

<l4}mg/dL )

normal

I40-<200m/dL )

toleransi glukosa terganggu

7-200mgldL

diabetes

GD 2 jam pasca pembebana

Gambar 1. : Langkah diagnostik DM dan TGT dari TTGO


Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu

1.

2.

Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl


(11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu
makan terakhir
Atau
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126 mg/dl
(7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam

4.

Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dl (11,1


mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan
beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa
anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Cara pelaksanaan TTGO


3 (tiga) hari sebelum
kebiasaan sehari-hari
dan tetap melakukan

.
.

(WHO 1 994):
pemeriksaan tetap makan seperti
(dengan karbohidrat yang cukup)
kegiatan jasmani seperti biasa

berpuasapaling sedikit 8jam(mulaimalamhari) sebelum

pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap

.
.
.
.
.

diperbolehkan
diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa
diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75
gram,&gBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan
diminum dalam waktu 5 menit

berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah


unhrkpemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa
selesai
diperiksa glukosadarah2 (dua)jam sesudahbeban glukosa
selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap
istirahat dan tidak merokok

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca


pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:

dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25 kglm2


dengan faktor risiko lain sebagai berikut:

l)

aktivitas fisik

kurang, 2) riwayat keluarga mengidap DM pada turunan


pertama (/irst degree relative),3) masuk kelompok etnik
risiko tinggi (African American, Latino, Native Americ an,

Asian American, Pacific Islander),4). Wanita dengan


riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau
riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG), 5). Hipertensi
(tekanan darah > 140190 mmHg atau sedang dalam terapi
obat anti hipertensi), 6) Kolesterol I{DL < 35 mg/dl dan
atau trigliserida> 250 mgdL,7) wanita dengan sindrom
polikistik ovarium, 8) riwayat Toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau Glukosa darah puasa terganggu (GDPT), 9)
keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin
(obesitas, akantosis nigrikans) dan 10) riwayat penyakit
kardiovaskular.
Pada penapisan dapat dilalarkan pemeriksaan glukosa
darah puasa atau sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok
risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,

pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun;


sedangkan bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa
faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap
3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masingmasing pasien.
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk
DM pada penduduk umumnya (mass screening) tidak
dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana
tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi
mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan

penyaring bersama penyakit lain (general check-up)


adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian
pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring


pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan

1882

METABOLIKENDOKRIN

glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat


ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien
dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara
menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok
TGT akan berkembang menjadi DM, l13 tetap TGT dan 1/
3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan
dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko

terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan


kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit
kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para

pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM


dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer
dan sekunder dapat segera diterapkan.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui


pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau
konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan tes tolerasi glukosa oral (TTGO) standar.
- Evaluasl Penyulit Divl
- Evaluasi den Perencanaan l\/akan
sesuai Kebutuhan

Belum

Bukan
DM

Konsentrasi

glukosa

Plasma vena

(mg/dl)

Darah kapiler

Darah sewaKu

Konsentrasi glukosa Plasma vena


darah puasa (mg/dL) Darah kapiler

<

100

<9
< 100
<90

DM

pasti DM
'1
00 - 199

> 200

90-199

> 200

100

- 125

90-99

> 126

GDP = Gllkosa Darah Puasa


GDS = Glukosa Darah Sewaktu
GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu

TGT

=ToleEnsiGlukosaTerganggu

Gambar 2. Langkah-langkah diagnostik DM dan toleransi glukosa


terganggu

> 100

Nilai atau lndeks Diagnostik Lainnya


Definisi keadaan diabetes atau ga\gguantoleransi glukosa
terganfung pada pemeriksaan konsentrasi glukosa darah.
Beberapa tes tertentu yang non glikemik dapat berguna
dalam memnentukan subklas, penelitian epidenmiologi,
dalam menenfukan mekanisme dan perjalanan alamiah
diabetes.

Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan


yangdapat dibagi atas 2bagian:
Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta. Hal ini dapat

1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu (plasma vena) > 200

mg/dl

atau
2 Konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg/dl ataLi
J Konsentrasi glukosadarah > 200 mg/dl pada2 jam
sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO"*

Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang


lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dengan
dekompensasi metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik :
poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun cepat
"* Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik Untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai
kriteria diagnostik kadar glukosa darah puasa dan 2 jam pasca
pembebanan Untuk Dlvl Gestasional juga dianjurkan kriteria
diagnostik yang sama

dinilai dengan pemeriksaan konsentrasi insulin,


pro-insulin, dan sekresi peptida penghubung (C-peptide).

Nilai-nilai "Glycosilated hemoglobin" (WHO memakai


islilah " G ly c I at e d h em o gl o b in "), nllai deraj at gliko silasi
dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa
juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.

Indeks proses diabetogenik. Untuk penilaian proses


diabetogenik pada saat ini telah dapat dilakukan penentuan
tipe dan sub-tipe HLA; adanya tipe dan titer antibodi dalam
sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau Langerhans

(islet cell antibodies), Anti GAD (Glutamic Acid


Decarboxylase) dan sel endokrin lainnya adanya
cel l-mediated immunity terhadap pankreas;

ditemukannya

susunan DNA spesifik pada genoma manusia dan


ditemukannya penyakit lain pada pankreas dan penyakit
endokrin lainnya.

Perkembangan Klasifikasi Diabetes Melitus


Dalam beberapa dekade akhir ini hasil penelitian baik klinik
maupun laboratorik menunjukkan bahwa diabetes melitus

merupakan suatu keadaan yang heterogen baik sebab


maupun macamnya. Selama berlahun-tahun hal ini telah
digumuli oleh banyak ahli ternama dengan tujuan mencapai

persejutuan internasional tentang prosedur diagnostik,


kriteria dan terminologi. Dahulu terdapat banyak perbedaan
dalam masing-masing bidang walaupun telah diusahakan
unfuk mendapat suatu konsensus
Walaupun secara klinis terdapat 2 macam diabetes
tetapi sebenamya ada yang berpendapat diabetes hanya
merupakan suatu spektrum defisiensi insulin. Individu
yang kekurangan insulin secara total atau hampir total

1883

DIAGNOSIS DAN KI.ASIFII(AI'I DIABETES MELITUS

dikatakan sebagai diabetes "Juvenile onset" atalu


"insulin dependent" atau "ketosis prone", karena tanpa
insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang
disebabkan ketoasidosis. Pada ekstrem yang lain terdapat
individu yang "stable" atau "maturity onset" atau "noninsulin dependent". Orang-orang ini hanya menunjukkan
defisiensi insulin yang relatif dan walapun banyak diantara
mereka mungkin memerlukan suplementasi insulin (Insr.r-

lin requiring), tidak akan terjadi kematian

l.

Diabetes Melitus Tipe 1


(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut)
A. Melalui proses imunologik
B. ldiopatik

ll.

Diabetes Melitus Tipe 2


(Bervariasi mulai yang pedominan resistensi insulin
disertai diefisiensi insulin relative sampai yang
predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin)

lll.

Diabetes Melitus Tipe Lain


A. Defek genetik fungsi sel beta
- kromosom 12, HNF- o (dahulu MODY 3)

karena

ketoasidosis walapun insulin eksogen dihentikan. Bahkan


diantara mereka mungkin terdapat kenaikan jumlah insulin
secara absolut bila dibandingkan dengan orang normal,

tetapi ini biasanya berhubungan dengan obesitas dan/


atau inaktif,rtas fisik.
Sesuai dengan konsep mutakhir, kedua kelompok besar
diabetes dapat dibagi lagi atas kelompok kecil. Pada satu
kelompok besar "IDDM" atau Diabetes tipe 1, terdapat
hubungan dengan HLA tertentu pada kromosom 6 dan

beberapa auto-imunitas serologik dan cell-mediated.


Infeksi virus pada atau dekat sebelum onset juga disebutsebut berhubungan dengan patogenesis diabetes. Pada
percobaan binatang, virus dan toksin diduga berpengaruh
pada kerentanan proses auto-imunitas ini.
Kelompokbesar lainnya (NIDDM atau diabetes tipe 2)
tidak mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau
autoimunitas dan biasanya mem-punyai sel beta yang
masih berfungsi, sering memerlukan insulin tetapi tidak
bergantung kepada insulin seumur hidup.
Dalam terminologi juga terdapat perubahan dimana
pada klasifikasi WHO 1985 tidak lagi terdapat istilah tipe I
dan tipe 2. Tetapi karena istilah ini sudah mulai dikenal
umum maka rmtuk tidakmembingungkan maka kedua istilah
ini masih dapat dipakai tetapi tanpa mempunyai arti khusus
seperti implikasi etiopatogenik. Istilah ini pun kemudian
kembali digunakan oleh ADA pada tahun 1997 sampai 2005 ,
sehingga DM tipe I dan tipe 2 merupakan istilah yang
saat ini dipakai ketimbang NIDDM (DMTTD dan IDDM
(DMTD

kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)


kromosom 20, HNF o (dahulu MODY 1)
kromosom 13, insulin promoter factor (lPF dahulu
MODY 4)
kromosom 17, HNF-18 (dahulu MODY 5)
kromosom2, Neuro D1(dahulu MODY 6) DNA
Mitokondria
lainnya
B Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe
A,l eprechaunism, sinrdom Rabson Mendenhall
diabetes lipoatrofik, lainnya

Penyakit Eksokrin Pankreas : pankreatitis,


trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik
hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya

D. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing,


feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma,
aldosteronoma, lainnya
E. Karena ObatlZat kimia : vacor, pentamidin, asam
nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid,
aldosteronoma, lainnya
F. lnfeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
lmunologi (jarang) : sindrom "Stiffman", antibodi anti
reseptor insulin, lainnya
H. Sindroma genetik lain : sindrom Down, sindrom
Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram's,
ataksia Friedreich's, chorea Huntington, sindrom
Laurence Moon Biedl distrofi miotonik, porfiria,
sindrom Prader Willi, lainnya

lV. Diabetes Kehamilan

REFERENSI
Stadtes dan Lipid RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo/Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta
2005 : hal l7 -28
WHO. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus
and its

Complications. World Health Organization Department of Noncommunicable Disease Surveil;lance. Geneva 1999.

293
FARMAKOTERAPI PADA PENGENDALIAN
GLIKEMIA DIABETES MELITUS TIPE 2
Sidaftawan Soegondo

PENDAHULUAN

dikompensasi oleh peningkatan sekresi insulin oleh sel


beta pankreas. Seiring dengan progresifitas penyakit maka

Kegagalan pengendalian glikemia pada diabetes mellitus

produksi insulin ini berangsur menurun meninmbulkan


klinis hiperglikemia yang nyata. Hiperglikemia awalnya

memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah

terjadipada fase setelah makan saat otot gagal melakukan


ambilan glukosa dengan optimal. Pada fase berikutnya
dimana produksi insulin semakin menurun, maka terjadi
produksi glukosa hati yang berlebihan dan mengakibatkan

(DM) setelah melakukan perubahan gaya hidup


terjadinya komplikasi diabetes atau paling sedikit dapat
menghambatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut sangat
diperlukan peran serta para pengelola kesehatan di tingkat
pelayanan kesehatan primer. Pedoman pengelolaan diabetes sudah ada dan disepakati bersama oleh para pakar diabetes di Indonesia dan dituangkan dalam suatu Konsensus

meningkatnya glukosa darah pada saat puasa.


Hiperglikemia yang terjadi memperberat gangguan sekresi
insulin yang sudah ada dan disebut dengan fenomena
glukotoksisitas.
Selain pada otot, resistensi insulin juga terjadi pada
jaringan adiposa sehingga merangsang proses lipolisis

Pengelolaan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia yang


mulai disebarluaskan seiak tahun 1994 dan beberapa kali
mengalami revisi dan yang terakhirpada tahun 2006.
Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang ditandai adanya gangguan
sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi
insulin) pada organ target terutama hati dan otot. Awalnya
resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes

dan meningkatkan asam lemak bebas. Hal ini juga


mengakibatkan gangguan proses ambilan glukosa oleh sel

otot dan mengganggu sekresi insulin oleh sel beta


pankreas. Fenomena ini yang disebut dengan
lipotoksisitas.

secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih

dapat mengkompensasi keadaan

ini

Dengan dasar pengetahuan ini maka dapatlah


diperkirakan bahwa dalam mengelola diabetes tipe 2,
pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat

dan terjadi suatu

hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru

sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidak

tergantung pada fase mana diagnosis diabetes ditegakkan

sanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes


melitus secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya
peningkatankadar glukosa darah yang memenuhi kriteria
diagnosis diabetes melitus. Otot adalahpengguna glukosa

yaitu sesuai dengan kelainan dasar yang terjadi pada saat


tersebut seperti (Gambar 1) :
. Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati

.
.

yang paling banyak sehingga resistensi insulin


mengakibatkan kegagalan ambilan glukosa oleh otot.
Fenomena resistensi insulin ini terjadi beberapa dekade
sebelum onset DM dan telah dibuktikan pada saudara
kandung DM tipe 2 yangnormoglikemik. Selain genetik,
faktor lingkungan juga mempengaruhi kondisi resistensi
insulin. Pada awalnya, kondisi resistensi insulin ini

Kenaikan produksi glukosa oleh hati.


Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas.
Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan

non farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi,


perencanum makarVterapi nutrisi medik, kegiatan jasmani
dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih

atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan


non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran

884

EARMAKOTERAPI PADA PENGENDALIAN GLIKEMIA DIABETES MELITUS TIPE 2

1885

menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan


makan.

Penelitian terakhir melaporkan bahwa efek metformin


diatas diduga terjadi melalui peningkatan penggunaan

glukosa oleh jaringan perifer yang dipengaruhi AMP


acticated protein kinase (AMPK), yang merupakan
regulator selular utama bagi metabolisme lipid dan glukosa.
Aktifasi AMPK pada hepatosit akan mengurangi aktifitas
Acetyl Co-A karbolsilase (ACC) dengan induksi oksidasi
asam lemak dan menekan ekspresi ensim lipogenik.
Gambar 1. Sebab hiperglikemia pada DM

pengendalian DM belum tercapai, maka dilanjutkan dengan


penggunaan perlu penambahan terapi medikamentosa atau

intervensi farmakologi disamping tetap melakukan


pengaturan makan dan aktifitas fisik yang sesuai. Dalam

melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu


diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam
penyebab terjadinya hiperglikemia sesuai dengan

Gambar2.
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat
meningkat akibat adanya infeksi, stres akut (gagaljantung,
iskemi jantung akut), landa-tanda defisiensi insulin yang

berat (penurunan berat badan yang cepat, ketosis,


ketoasidosis) atau pada kehamilan yang kendali
glikemiknya tidak terkontrol dengan perencanaan makan,
maka pengelolaan farmakologis umumnya memerlukan
terapi insulin. Keadaan seperti ini memerlukanperawatan

dirumahsakit.

MACAM{I,IACAM OBATANTI HIPERGLIKEMIK ORAL

Golongan lnsu lin Sensitizi ng


Biguanid
Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Saat

ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah

metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang


tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi
secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Proses tersebut
berjalan dengan cepat sehingga metformin bisanya
diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk
extended release. Setelah diberikan secara oral, metformin
akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam
dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan

waktuparuh2 5 jam.
Mekanismekerja

Metformin menurunkan glukosa darah melalui


pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular,
distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa
hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel
usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga

Metformin juga dapat menstimulasi produksi


Glucagon like Peptide-I (GLP-I) dari gastrointestinal yang

dapat menekan fungsi sel alfa pankreas sehingga


menurunkan glukagon serum dan mengurangi
hiperglikemia saat puasa.
Di samping berpengaruh pada glukosa darah, metformin
juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin
yaitu pada lipid, tekanan darah dan juga pada plasminogen activator inhibitor (PAI-1).
Penggunaan Dnlam Klinik dan Efek Hipoglikemia
Metformin tidak memeiliki efek stimulasi pada sel beta
pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan
penambahan berat badan. Pemberian metformin dapat
menurunkan berat badan ringan hingga sedang akibat
penekanan nafsu makan dan menurunkan hiperinsulinemia
akibat resistensi insulin. sehingga tidak dianggap sebagai
obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik.
Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan

sebagai terapi kombinasi dengan sulfonylurea (SU),


repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase dan
glitazone. Pada pemakaian tunggal metformin dapat
menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi
insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Penelitian
klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam
penurunan glukosa darah puas a (60-7 0 mgldL) dan IIbA I c

(l-2%) dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang


tidak dapat terkendali hanya dengan diet. Pada pemakaian
kombinasi dengan SU, hipoglikemia dapat terjadi akibat
pengaruh SUnya. Pengobatan terapi kombinasi dengan obat
anti diabetes yanglain dapat menurunkan IIbAlc 3-4%.
Efektivitas metformin menurunkan glukosa darah pada

orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU. Mengingat

keunggulan metformin dalam mengurangi resistensi

insulin, mencegah penambahan berat badan dan


memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai
monoterapi pilihanutama pada awal pengelolaan diabetes
pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka

dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti


diabetik lain.
Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini
merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai

cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat


menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada

1886

METABOLIKENDOKRIN

pengobatan tunggal masing-masing, baik pada dosis


maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah.

Kombinasi dengan dosis maksimal dapat menurunkan


glukosa darah yang lebih banyak. '

Pemakaian kombinasi dengan SU sudah dapat


dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan
hasil penelitian United Kingdom Prospective Diabetes
Study (UKPDS) dan hanya 50oh pasien DM tipe 2 yang
kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tunggal
metformin atau SU sampai dosis maksimal.

sudah berkurang. Pada pasien yang akan menggunakan


radiokontras disarankan untuk menghentikan metformin
24 jam sebelum dan 48 jam sesudah tindakan.
Metformin juga dapat menganggu absorbsi vitamin B 12
dan dapat menurunkan konsentrasi vitamin Bl2 serum
dengan mekanisme yang belum diketahui sepenuhnya.
Pada suatu uji klinik didapatkan anemiapada7%openggna
metformin dan kondisi ini membaik dengan cepat dengan

penghentian obat. Oleh karena itu disarankan untuk


melakukan monitor hematologi.

Kombinasi metformin dan insulin juga dapat


dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan glikemia yang
sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan SU lebih
baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Peneliti
lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan
insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja.

konsentrasi tefiinggi terjadi setelah l-2 jam. Makanan tidak

Efek Samping dan Kontraindikasi

berkisar antara3-4 jambagi rosiglitazone dan 3-7 jambagi

Efek samping gastrointestinal tidak jarang (-50%)


didapatkan pada pemakaian awal metformin dan ini dapat
dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis
rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan.
Efek samping lain yang dapat terjadi adalah asidosis

laktat, meski kejadiannya cukup jarang (0,03 per 1000


pasien) namun dapat berakibat fatal pada 30-50% kasus.
Pada gangguan fungsi ginjal yang berat, metformin dosis
tinggi akan berakumulasi di mitokondria dan menghambat

proses fosforilasi oksidatif sehingga mengakibatkan


asidosis laktat (yang dapat diperberat dengan alkohol).
Untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin > 1,3 mgl
dL pada perempuan dan > 1,5 mgldL pada laki-laki).

Glitazone
Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan mencapai


mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh
pioglitazon.

MekanismeKerja.

Glitazon (Thiazolidinediones), merupakan agonisl


peroxisome proliferator-activated receptor gamma
ePARa) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPARd
terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan
adiposa, otot skelet dan hati. Glitazon merupakan
regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan keq'a
insulin. Sama seperti metfomin, glitazon tidak menstimulasi

produksi insrilin oleh sel beta pankreas bahkan


menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada
metformin. Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa
dan lipid, glitazon dapat meningkatkan efisiensi dan

Metformin juga dikonhaindikasikan pada gangguan fungsi

respons sel beta pankreas dengan menurunkan

hati, infeksi berat, penggunaan alkohol berlebihan serta


penyandang gagal jantung yang memerlukan terapi.

glukotoksisitas dan lipotoksisitas.


Glitazon dapat merangsang ekspresi beberapa protein
yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan
memperbaiki glikemia, seperti gluco s e transporter-1 (GLUT:
1), GLUT 4, p856PI-3K dan uncouplingprotein-2 (UCP-2).

Pemberian metformin perlu pemantauan ketat pada usia


lanjut (> 80 tahun) dimana masaa otot bebas lemaknya

Selain itu juga dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan

mediator resistensi insulin, seperti TNF-6 dan leptin.


Glitazon dapat meningkatkan berat badan dan edema

Makanan
Diet

lnsulin malam hari

Alfa glukosidase inhibitor

Defisiensi<-

Sulfonylureas

p ada

3-

5Yo pasien

akibat beberapa mekanisme antara lain

penumpukan lemak subkutan di perifer dengan

pengurangan lemak viseral


meningkatnya volume plasma akibat aktivasi reseptor

PPARZdiginjal
edema dapat disebabkan penurunan ekskresi natrium
di ginjal sehingga terjadi peningkatan natrium dan
retensi cairan.

Rosiglitazon dan pioglitazon memiliki efek pada profil

Troglitazone

Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk


pengendalian kadar glukosa darah

lipid pasien. Rosiglitazon meningkatkan kolesterol LDL dan


HDL namun tidak pada trigliserida. Sedangkan pioglitazon
memiliki efek netral pada kolesterol LDL, menurunkan
trigliserida dan meningkatkan HDL. Baik rosi maupun
pioglitazon dapat menurunkan small dense LDL.

FARMAKOTERAPI PADA PENGENDALIAN GLIKEMIA DIABETES MELITUS TIPE 2

Glitazon dapat sedikit menurunkan tekanan darah,


meningkatkan hbrinolisis dan memperbaiki fungsi endotel.
Penggunaan Dalam Klinik dan Eefek HipogHkemia
Rosiglitazon dan pioglitazon saat ini dapat digunakan
sebagai monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan
metformin dan sekretagok insulin. Kemasan rosiglitazon
terdiri dari 4 dan 8 mg sedangkan pioglitazon 15 dan 30
mg. Pemakaian bersama dengan insulin tidak disarankan
karena dapat mengakibatkan peningkatan berat badan yang
berlebih dan retensi cairan. Secara klinik rosiglitazon
dengan dosis 4 dan 8 mglhari (dosis tunggal atau dosis

terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa


HbAlc sampai l,5Yo
dibandingkan dengan plasebo. Sedang pioglitazon juga
mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila

puasa sampai 55 mgldL dan

digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi


kombinasi dengan dosis maksimal45 mgldL dosis tunggal.

Monoterapi dengan glitazon dapat memperbaiki


konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan
HbA l c 1,4-2,60 dibandingkan dengan plasebo (ekuivalen
dengan metformin dan SU).
Efek Samping dan Kontraindikasi
Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan
yang bermakna sama atau bahkan lebih dari SU serta edema.

Keluhan infeksi saluran nafas atas (16%), sakit kepala


(7

,l%)

dan anemia dilusional (penurunan hemoglobin (Hb)

sekitar 1 grldl-) juga dilaporkan. Insiden fraktur ekstremitas


distal pada wanita pasca menopause dilaporkan meningkat.
Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan
enzim hati (ALT dan AST) lebih dari tiga kali batas atas
normal. Pemakaiannya harus hati-hati pada pasien dengan
riwayat penyakit hati sebelumnya, gagal jantung kelas 3
dan 4 (klasifikasi New york Heart Association, NYHA)
dan pada edema. Meski pada hasil meta analisis dilaporkan
risiko kematian akibat kardiovaskular meningkat43Yo dan

infark miokard

43%o,

belum ada simpulan yang jelas

mengenai hal tersebut.

Golongan Sekretagok Insulin


Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan
cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Golongan ini meliputi SU dan non SU (glinid).

Sulfonilurea
Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe
2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi

farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai,


terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi

r887

relatifmtrah. Berbagai rnacam obat golongan ini umumnya


mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikianjuga
efek klinis dan mekanisme keqanya.

Farmakokinetik dan Farmakodinamik


Efekakut obat golongan sulfonilureaberbeda dengan efek
pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya
mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi
pada pemakaian jangka lama > I 2 minggu, masa paruhlya
memanj ang sampai 12 jam. (B ahkan sampai >20 j am pada

pemakaian kronik dengan dosis maksimal). Karena itu


dianjurkan untuk memakai glibenklamid sehari sekali.

MekanismeKerja
Golongan obat ini beke{a dengan merangsang sel beta
pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan ,
sehingga hanya bermanfaal pada pasien yang masih
mampu mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat
dipakai pada diabetes melitus tipe 1.
Efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan
merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari
sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor
(SUR) channel tersebut maka akan terjadi penutupan.
Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya pemrrunan
permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi
membran dan membuka channel Ca tergantung voltase,
dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan
terikat pada Calmodulin, dan menyebabkan eksositosis
granul yang mengandung insulin.
Penggunaan Dalam Klinik
Beberapa obat golongan SU yang ada di Indonesia dapat
dilihat pada tabel l. Semuanya mempunyai cara kerja yang
serupa, berbeda dalam hal masa kerja, degradasi dan
aktivitas metabolitnya. Berdasarkan lama kerjanya, SU

dibagi menjadi tiga golongan yaitu generasi pefiama


generasi kedua dan ketiga. SU generasi pertama adalah
acetohexamide, tolbutamide dan chlorpropamide. SU
generasi kedua adalah glibenclamide, glipizide dan
gliclazide. SU generasi ketiga adalah glimepiride.
Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih
besar daripada glqkosa sesudah makan, masing-masing
sampai 36Yo dan2lo/o. Bila diperlukan, dosis terbagi dapat
diberikan dengan dosis sore yang lebih rendah. Pada
pemakaianjangka lama, efektivitas obat golongan ini dapat
berkurang. Pemberian SU sebagai terapi tunggal dapat
menurunkan IIb Alc 1,5-2o/o.
Pada pemakaian sulfonilureaSU, umumnya selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan
hipoglikemia. Pada keadaan tertentu di mana kadar glukosa
darah sangat tinggi, dapat diberikan SU dengan dosis yang

gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering

lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa

digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya

hari sudah dapat diperoleh efek klinis yangjelas dan dalam


I minggu sudah te{adi penurunan kadar glukosa darah yang
cukup bermakna. Segeralah periksa kadar glukosa darah
dan sesuaikan dosisnya.

untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi


insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang
dengan sedikit efek samping (termasuk hipoglikemia) dan

1888

METABOLIKENDOKRN

Efek Samping dan Kontraindikasi

Dosis permulaan sunfonilurea tergantung pada

Hipoglikemi merupakan efek samping terpenting dari SU


terutama bila asupan pasien tidak adekuat. Untuk
mengurangi kemungkinan hipoglikemia, apalagi pada
orang tua dipilih obat yang masa kerjanya paling singkat'
Obat SU dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak
dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua,

beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa puasa <


200 mg/ dL,SU sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis
kecil dan titrasi secara bertahap setelah l-2 minggu
sehingga tercapai glukosa darah puasa 90- I 3 0

mg/dl Bila

glukosa darah puasa > 200 mg/dL dapat diberikan dosis


awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah
jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada
obat yang diberikan satu kali sehari, sebaiknya diberikan
pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi

hipoglikemia juga lebih sering terjadi pada pasien dengan


gagal ginjal, ganguan fungsi hati berat dan pasien dengan
masukan makan yang kurang dan jika dipakai bersama obat

sulfa. Obat yang mempunyai metabolit aktif tentu akan

terbesar.

lebih mungkin menyebabkan hipoglikemia yang

Kombinasi SU dengan insulin diberikan berdasarkan


rerata kadar glukosa darah sepanjang hari terutama

berkepanjangan jika diberikan pada pasien dengan gagal


ginjal atau gagal hati.
Selain itu terjadi kenaikan berat badan sekitat 4-6kg,
gangguan pencernaan, fotosensitifitas, gangguan enzim

ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya


kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan kurang lebih
sama, tidak tergantung dari kadar glukosa darah pada
keadaan puasa. Dengan memberikan dosis insulin kerja
sedang atau insulin glargin pada malam hari, produksi
glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar

hati danflushing.
Pemakaiannya dikontraindikasikan pada DM tipe
hipersensitif terhadap sulfa, hamil dan menyusui.

glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar


glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian

clinid

SU seperti biasanya.

Farmakokinetik dan tr'armakodinamik

Kombinasi sulfonilurea dan insulin ini temyata lebih


baik daripada insulin sendiri, dosis insulin yang diperlukan
pun temyata lebih rendah dan cara kombinasi ini lebih dapat
diterima pasien daripada penggunaan insulin multi injeksi.

Biguanid

Generik
Metformin
Metformin

XR

Tiazolidindion/

Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea

(SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan


sulfonilurea, perbedaannya dengan SU adalah pada masa

mg/tab
500-850

Nama dagang
Glucophage

500
Glucophage-XR
Glumin-XR

Rosiglitazon

Avandia

Pioglitazon

Actos

arian
250-3000

Dosis

Keria
6-8

Lama

1-3

2-3

500-3000

500-750

500
4

Frek/ hari

500-2000

4-8

24
24

'l

24

glitazone

Sulfonilurea

Klorpropamid
Glibenklamid
Glipizid
Gliklazid
Glikuidon
Glimepirid

Deculin
Diabenese
Daonil Euglukon
Minidiab
Glucotrol-XL
Diamicron
Diamicron-MR
Glurenorm
Amaryl
Gluvas

Amadiab

15,30
1 00-250

5-30
15-45
1 00-500

2,5-5

2,5-15

12-24

5-1 0
5-1 0

5-20

10-16
12-16**
10-20

15,30

5-20
80-240

80
30
30
1,2,3,4
1,2,3,4
1,2,3,4
1,2,3,4

0,5-6
1-6
1-6
1-6

0.5, 1,2

Penghambat
Glukosidase o

Acarbose

Glucobay

50-1 00

Obat
Kombinasi
Tetap

Metformin

120

1-2
1-2
1

1-2

mg
mg

24
24
24
24
3
3

00-300

3
1-2

50012,5

500/5

1,5-6
360

25011 ,25

2mg/500
4mg/500

24-36

30-1 20

Metrix
NovoNorm
Starlix

+
Glucovance
Glibenklamid
Avandamet
Metformin +
Rosiolitazon

24

30-1 20

Repaglinid
Nateglinid

Glinid

1,

4mg/1000 mg
8mg/1000 mg

1889

EARMAKOTERAPI PADA PENGENDALIAN GLIKEMA DIABETES MELITUS TIPE 2

ke{anya yang lebih pendek. Mengingat lama ke{anya yang


pendek maka glinid digunakan sebagai obat prandial.

Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi


dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat
dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga
diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat
menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai
masa paruh yang singkat karena lama menempel pada
kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen

llbAlc

pada SU.
Sedang Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih
singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa.
Sehinga keduanya merupakan sekretagok yang khusus

menurunkan glukosa postprandial dengan efek


hipoglikemik yang minimal. Mengingat efeknya terhadap
glukosa puasa tidak begitu baik maka glinid tidak begitu
kuat menurunkan

HbAlc.

Penghambat Alfa Glukosidase

mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa posl

prandial.
Monoterapi dengan acarbose dapat menurunk an rala-

prandial sebesar 40-60 mgldl- dan


glukosa puas a r ata-rata l0 -20 mgl dL dan HbA I c 0. 5 -l %.
Dengan terapi kombinasi bersama SU, metformin dan
insulin maka acarbose dapat menurunkan lebih banyak
terhadap A 1 C sebesar 0,3 -0 ,5%o danruta-rata glukosaposl
prandial sebesar 20-30 mgldL dari keadaan sebelumnya.
rata glukosa post

Efek Samping dan Kontraindikasi


Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa
gejala gastrointestinal seperti; meteorismus,fl atulence dan
diare. Flatulence merupakan efek yang tersering terjadi
pada hampir 50% pengguna obat ini. Penghambat alfa
glukosidase dapat menghambat bioavailabilitas metformin
jika diberikan bersamaan pada orang normal.
Acarbose dikontraindikasikan pada kondisi iwitab le
bowel syndrone, obstruksi saluran cerna, sirosis hati dan
gangguan fungsi ginjal.

Farmakokinetik dan Farmakodinamik


Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada
saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme
didalam saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh
flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas ensim
pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam
pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui
feses. Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja
ertzim alfa glukosidase di dalam saluran cema sehingga
dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa

Golongan lncretin
Terdapat 2 hormon incretin yang dikeluarkan oleh saluran

dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini

cema yaitu glucose dependent insulinotropic polpeptide


(GIP) dan glucagonJike peptide-L (GLP-I). Kedua hormon
ini dikeluarkan sebagai respon terhadap asupan makanan
sehingga meningkatkan sekresi insulin. GIP diekspresikan
oleh sel K yang banyak terdapat di duodenum dan mukosa
usus halus. GLP- l diekspresikan di sel L mukosa usus dan
juga di sel alfa pancreas. Selain membantu meningkatkan
respon sekresi insulin oleh makanan, GLP-1 juga menekan

bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia


dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.

memperlambat pengosongan lambung dan memiliki efek

MekanismeKerja
Obat ini memperlambat dan pemecahan dan penyerapan

karbohirat kompleks dengan menghambat enzim alpha


glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang
terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis
akan terj adi hambatan pembentukan monosakarida inhalu-

minal, menghambat dan memperpanjang' peningkatan


glukosa darah postprandial, dan mempengaruhi respons
insulin plasma. Hasil akhimya adalah penurunan glukosa
darah post prandial. Sebagai monoterapi tidak akan

merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat


menyebabkan hipoglikemia.
Penggunaan dalam

klinik

Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau


sebagai kombinasi dengan insulin, metformin, glitazone
atau sulfonilurea. Untuk mendapat efek maksimal, obat ini
harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini
perlu karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah
harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama
karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya

15 menit sebelum atau sesudahnya makan akan

sel alfa pankreas dalam mensekresi glukagon,


anoreksia sentral sehingga menurunkan hiperglikemia.
Studi melaporkan penurunan GLP-I dan respons GLP-I
sebagai respons terhadap makanan.
Penghambat Dipeptidyl peptidase

(Penghambat DPP-

IV)
GLP-

endogen memiliki waktu paruh yang sangat pendek

(< I menit) akibat proses inaktivasi oleh enzim DPP-IV.


Penghambatan enzim DPP-IV diharapkan dapat
memperpanjang masa kerja GLP-I sehingga membantu
menurunkan hiperglikemia. Terdapat dua macam
penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan

vildagliptin.
Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat
menurunakn IIbA 1 c sebesar 0 ,7 9-0 ,94yo dznmemiliki efek
pada glukosa puasa danposl prandial. Penghambat DPPIV dapat digunakan sebagai terapi alternatifbila terdapat
intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia
lanjut.

DPP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun


kenaikan berat badan. Efek samping yang dapat ditemukan
adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran

1890

MEHBOITKENI'OIRIITI

kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi yang beratjarang


ditemukan.

GLP-I Mimetik dan Analog


Mengingat waktu paruh GLP-I yang pendek, penggunaan
GLP-I alamiah tidak banyak membantu, namun begitu
terdapat GLP-l mimetik dan analog yang memiliki
ketahanan terhadap degradasi oleh enzim DPP-IV. Berbeda

dengan penghambat DPP-IV GLP-I mimetik diberikan


dalam bentuk injeksi subkutan satu atau dua kali sehari.
Obat golongan ini masih belum beredar di Indonesia.

Dengan berbagai macam usaha tersebut, diharapkan


sasaran pengendalian glikemia pada diabetes melitus
seperti yang dianjurkan oleh pakar diabetes di Indonesia
dapat dicapai, sehingga pada gilirannya nanti komplikasi
kronik diabetes melitus iuga dapat dicegah dan pasien
diabetes melitus dapat hidup berbahagia bersama diabetes
yang disandangnya.

REFERENSI

American Diabetes Association: Clinical


Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Memllih
Obat Hipoglikemik Oral

a.
b.

Terapi dimulai dengan dosis rendah yang kemudian


dinaikkan secara bertiahap.
Harus diketahui betul bagaimana carake1a,lama ke{a

dan efek samping obat-obat tersebut. (misalnya

c.
d.

klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena


lamakeq'anya 2a jant)
Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan
kemungkinan adanya interaksi obat.
Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik

oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan

e.

lain, bila gagal, baru beralih kepada insulin.


Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

Practice

Recommendations, 2006
American Diabetes Association: Medical Management of Type 2
Diabetes, fifth edition, 2004
Bailey CJ. Biguanide in the treatment of type II diabetes. Current
Opinion in Endocrinology and Diabetes 1995;2:348-54.
Edelman SV White D, Henry RR. Intensive insulin therapy for

patients with type II diabetes. Current Opinion in


Endocrinology and Diabetes 1995;2: 333-40.
Holst JJ, Orskov C. The incretin approach for diabetes treatment.
Modulation of islet hormone release by GLP-1 agonism.
Diabetes2004:

5f (3):

5197-204

Inzucchi SE. Oral antihyperglycemic therapy for type

diabetes:scientific review. JAMA 2002; 287 (3): 360-72


Joshi. Oral hypoglycaemic drugs and newer agents use in type 2
diabetes mellitus. SA Fam Practice 2009; 51(l): l0-6.
Lebovitz HE. Stepwise and combination drug therapy for the

treatment of NIDDM. Diabetes Carc I994;I7:1542-44.


Olefsky JM. Insulin resistance in NIDDM. Current Opinion in
Endocrinology and Diabetes 1995; 2:290-9.
Pengurus Besar PERKEM. Konsensus Pencegahan dan Pengeloaan
Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia, 2006

Sedang
Glukosa darah
(mg/dL)

- puasa
-2jam

100
145

- 125
- 179

postprandial
A1c (oh)

Kol.total (mg/dL)
Kol LDL (mg/dL)
Kol.HDL (mgidL)
Trigliserida
(ms/dL)
IMT(kg/m'z)

Tekanandarah
(mmHg)

AL, Davidson MB. Sulfonylurea in the treatment of type II


Diabetes. Current Opinion in Endocrinology and Diabetes
Peters

80 - 100
80 - 144
< 6.5
< 200
< 100

>45
< 150

18.5 - 23
< 1 30/80

> 126

180

6.5-8

>8

200 -239

z24O

- 129
150 - 199
100

23-25
1

> 130

> 200

>25

30-

140/80-90

140/90

Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus


tipe 2, Perkeni 2006

Sasaran pengelolaan diabetes melitus bukan hanya


glukosa darah saja, tetapijuga termasuk faktor-faktor lain
yaitu berat badan, tekanan darah, dan profil lipid, seperti
tampak pada sasaran pengendalian diabetes melitus yang
dianjurkan dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan

DM Tipe 2 di Indonesia tahun 2006 (Perkumpulan


Endokrinologi Indonesia).

1995;2:325-32.

Saltiel A, Horikoshi H. Thiazolidinediones are novel insulin


sensitizing agents. Current Opinion in Endocrinolgy and
Diabetes

I 99 5 ;2:3

4l

-7

Soegondo S. Prinsip pengobatan diabetes, obat hipoglikemik oral


dan insulin. Dalam. Soegondo S, Soewondo P, Subekti I Eds.

Diabetes Melitus: Penatalaksanaan Terpadu. Balai Penerbit

FKUI 2005, ttt-29.


UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group, Intensive bloodglucose control with sulphonylureas or insulin compared with
conventional treatment and risk of complications in patients
with type 2 diabetes (UKPDS 33).Lancet 1998: 352:837.
Widen E, Groop L. Biguanide: metabolic effects and potensial use
in the treatment of insulin resistance syndrome. The Diabetes
Annual 8. Eds. Marshall SM and Home PD. Amsterdam, Elsevier
Publication 994; 227 -241

294
TERAPI NON FARMAKOLOGIS
PADA DIABETES MELITUS
Em Yunir, Suharko Soebardi

Tujuan Terapi Gizi Medis

PENDAHULUAN

Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk


mencapai dan mempertahankan :
1. kadar glukosa darah mendekati normal,
. glukosa puasa berkisar 90-130 mgldl

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes


melitus terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang

meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan


pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi
medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi
berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit

.
.

glukosadarah2jamsetelahmakan< 180mg/dl
kadar

Alc <7 %o

2. tekanandarah < 130/80mmHg


3. profil lipid
. toteslep[Pl< lO0mg/dl

diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua


terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti
diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini
pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non

'.

kq.leslqqlHDl > 4omgldl


<
I.tglise4da 150mg/dl

farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat

4. berat badan senormal mungkin

mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang


diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak

ini lebih difokuskan pada perubahan pola makan yang

Pada tingkat

meninggalkan terapi non farmakologis yang telah

indMdu target pencapaian terapi gizi medis

didasarkan pada gaya hidup dan pola kebiasaan makan,


status nutrisi dan faktor khusus lain yang perlu diberikan
prioritas. Pencapaian target perlu dibicarakan bersama
dengan diabetisi, sehingga perubahan pola makan yang
dianjurkan dapat dengan mudah dilaksanakan, realistik dan

diterapkan sebelumnya.

TERAPIGIZIMEDIS

sederhana.

Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non


farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi
penyandang diabetes (diabetisi). Tercpi gizi medis ini

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum


melakukan perubahan pola makan diabetisi antara lain,
tinggi badan, berat badan, status gizi, status kesehatan,
aktivitas fisik, dan faktor usia. Selain itu juga terdapat

pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan


pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi
dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi
medis ini antara lain: 1). Menurunkan berat badan;
2). Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik;
3). Menurunkan kadar glukosa darah; 4). Memperbaiki

beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa


pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan
lain lain. Pada keadaan infeksi berat dimana terjadi proses
katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian

profil lipid; 5). Meningkatkan sensitivitas reseptor

kebiasaan atau tradisi

insulin; 6). Memperbaiki sistem koagulasi darah.

bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.

nutrisi khusus. Masalah lain yang juga tidak kalah


pentingnya adalah masalah status ekonomi, lingkungan,

1891

di dalam lingkungan

yang

1892

METABOLIKENDORIN

Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah,


komposisi dari makanan yang akan dimakan oleh diabetisi.
Diabetisi harus dapat melakukan perubahan pola makan
ini secara konsisten baik dalam jadwal, jumlah dan jenis
makanan sehari-hari
Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien
yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, serta
mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus

diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi


kebutuhan diabetisi secara tepat.

JENIS BAHAN MAKANAN

diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari 55-65 % dai


total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari
70 % j ika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak
jenuh rantai tunggal (MUFA : monounsaturated fatty
acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan

l.

Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated

fatty acid : MUFA), merupakan salah satu

asam
lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan

dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total,

Qtolyunsaturated

kalori per hari , 60 - 7 lyo diantaranya

sebagai sumber energi, maka


jumlah karbohidrat maksimal 7 0%o dai total kebutuhan
kalori per hari
jumlah serat25-50 gramperhari
jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu
dibatasi, namun jangan sampai lebih dari total kalori

perhari

Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang

3.

asupan protein sampai

40 gram per hari, maka perlu

ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial.


Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalorilgram.
Rekomendasi pemberian protein :
1. kebutuhan protein 15 -20 %dari total kebutuhan energi

PUFA) dapat melindungi

perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL.


Rekomendasi pemberian lemak :
1. batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak
jenuh, jumlah maksimal l0% dari total kebutuhan kalori

dari 10 gram/hai

dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan

agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak


omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di
dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein
lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan

2.

fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari


makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu
dibatasi.

fatty acid

jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki

pemanis dapat digunakan pemanis non kalori


seperti sakarin, aspartame, acesulfam dan sulcralosa
penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih

Protein. Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan


sekitar 10-15 % dari total kalori per hari. Pada penderita

perhari.
jika kadar kolesterol LDL > 100 mg/dl, asupan asam
lemakjenuh diturunkan sampai maksimal 7%o dat'' tolal
kalori per hari
konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar

kolesterolLDL >

100 mgldl, makamaksimal kolesterol


yang dapat dikomsumsi 200 mg per hari
batasi asupan asam lemak bentuk trans

4.
5. konsumsi
6.

ikan seminggu 2-3 kall untuk mencukupi

kebutuhan asam lemak tidakjenuh rantai panjang


asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal

l0% daiasupan kalori

per hari.

PERHITUNGAN JUMLAH KALORI

kadar glukosa darah yang terkontrol,

Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur,


ada tidaknya stres akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan

aSUpor protein tidak akan mempengaruhi konsentrasi


glukosa darah.

status gizi dapat dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau


rumus Brocca.

per hari

2. pada keadaan
.

diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki prohl lipid

tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes.

jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu


sendiri

6. sebagai

jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan


lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi

kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL.

3. jika ditambah MUFA

8.
9.

Lemak. Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9


kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini sangat
penting untuk membawa vitamin yang larut dalam
lemak seperti vitaminA, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan

profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi


:

berasal dari sumber karbohidrat.

7.

5.

kandungan total kalori pada makanan yang


mengandung karbohidrat, lebih ditentukan oleh

2. dari total kebutuhan

4.
5.

4.

pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mglkg berat badan/


hari
pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein
diturunkan sampai 0,85 gramlkg berat badanltrari dan
tidakkurang dari 40 gram
jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber
protein nabati lebih dianjurkan dari protein hewani.

rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak

Karbohidrat. Sebagai sumber energi, karbohidrat yang

energi sebesar 4 kilokalori.


Rekomendasi pemberian karbohidrat

3. Ppada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol,

1893

TERAPI NON EARMAKOI.OGIS PADA DIABETES MELITUS

Penentuan Status Gizi Berdasarkan IMT


IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam
kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter)

Pasien seorang lakiJakiberusia48 tahun, mempunyai tinggi

kuadrat.

Perhitungan kebutuhan kalori

Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT


. Berat badan kurang < 18,5

. BBnormal 18,5-22,9
. BB lebih
>23,0
dengan risiko 23 - 24,9
obesl
25 -29,9
obes

160 cm dan berat badan 63 kg, mempunyai pekerjaan


sebagai penjaga toko.

:60kg-6kg

.
.

cm- 100)- 10%.


Untuk laki-laki < I 60 cm, wanita < I 50 cm, perhitungan
BB idaman tidak dikurangi l0 %.
Penentuan status gizi dihitung dari : (BB aktual : BB
idaman)x 100%
. Berat badan kurang
BB <90%BBI
. Berat badan normal
BB 90-I10% BBI
. Berat badan lebih
BB 110 -120%BBr

BB >I2O%BBI

Gemuk

Untuk kepentingan praktis dalam praktek di lapangan,


digunakan rumus Brocca.
Penentuan kebutuhan kalori per hari :
l. kebutuhan basal :
. Laki-laki : BB idaman (kg) X 30 kalor

. Wanita

3.

BB aktual : BB ideal ) x 100 %

116 %

Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman


berdasarkan rumus : berat badan idaman ( BBI kg ) : ( TB

2.

(63kg:54kg)x100%

Penentuan Status Gizi Berdasarkan Rumus Brocca

54k9.
Status gizi

>30

II

Beratbadanideal: (TB cm - 100) kg - l0%


:(160cm- 100)kg- l0%

:BBidaman(kg) X25kalori

koreksi atau penyesuaian :


. Umur diatas 40 tahun
:-5%o
. Aktivitas ringan
:+ l0Yo
(duduk-duduk, nonton televisi dll)

termasuk berat badan

lebih)
Jumlah kebutuhan kalori perhari :
- kebutuhan kalori basal : BB ideal x 30 kalori
: 54 x 30 kalori: l620kalori
- kebutuhan unhrk aktivitas ditambah 20%:20Yo x
I 620 kalori : 3 24kaloi
- koreksikarenakelebihanberatbadandikurangi 10%

=ljYoxlA0:l62V,abn
Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk

pendeita 1620

kalori + 324 kalori - 162 kalori: 1782 kalori. Untuk


mempermudah perhitungan dalam konsultasi gizi
digenapkan menjadi I 700 kalori.

Distribusi makanan

1.

2.

Karbohidrat 60% : 60% x 1 700 kalori : I 020 kalori dari


karbohidrat yang setara dengan 255 gramkarbohidrat
(1020 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat)
koten2}o/o: 20o/o x I 700 kalori : 340 kalori dari protein
yang setara dengan 85 gmm protein (340 kalori : 4kalorl

gramprotein)

3. Lemak20%:20%x

1700

kalori:340 kalori

dari lemak

yuang setara dengan 37,7 gram lemak (340 kalori : 9


kalori/gram lemak)

Aktivitas

(ke{a kantoran, ibu rumah tangga,perawat, dokter)


Aktivitas berat
:+30o/o

LATIHANJASMANI

.
.
.

(olahragawan, tukang becak dll)


Berat badan gemuk
Berat badan lebih
Berat badan kurus

Pengelolaan diabetes melitus (DM) yang meliputi 4pilar,


aktivitas fisik merupakan salah satu dari keempat pilar
tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar

sedang

4.

Stresmetabolik
(infeksi, operasi, shoke, dll)
kehamilan trimester I dan II

5.

kehamilan trimester III dan menyusui

+ 20o/o

:-20%
:

- l0%o

:+20%o

:+

l0-30%o

: +300Kalori
: +500Kalori

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk


makanpagi (20%), makan siang (30%), makan malamQl%)
serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar.
Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal,
kecuali dalam pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori.
Usahakan untuk merubah pola makan ini secara bertahap
sesuai dengan kondisi dan kebiasaan penderita.

Contoh:

yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan


oleh semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan
sehari-hari, seperti misalnya: bangun tidur, memasak,
berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat
kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan
kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa

disadari oleh diabetisi, telah sekaligus menjalankan


pengelolaan terhadap DM sehari-hari.

Diabetes merupakan penyakit sehari-hari. Penyakit


yang akan berlangsung seumur hidup. Kadang, diabetes
dipandang sebagai tantangan, diwaktu lain dianggap
sebagai beban. Tanggung jawab terhadap pengelolaan
diabetes sehari-hari, merupakan milik masing-masing

1894

METABOLIKENDOTRIN

diabetisi. Mereka yang telah memutuskan untuk hidup


dengan diabetes dalam keadaan sehat mempunyai satu

Ambilan glukosa oleh jaringan otot pada keadaan


istirahat membutuhkan insulin, hingga disebut sebagai

persamaan, bahwa mereka harus melakukan kegiatan hsik.

Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi


telah dilakukan sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter
dari dinasti Sui di China, dan manfaat kegiatan ini masih

terus diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan


sementara dari penelitian itu ialah bahwa kegiatan hsik
diabetisi (tipe I maupun 2), akan mengurangi risiko kejadian
kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan
fisik akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik,
psikis maupun sosial dan tampak sehat. Kemajuan teknologi

agak berseberangan dengan anjuran untuk melakukan


kegiatan fisik, karena akan membuat seseorang kurang

aringan insu I in - dep en d ent. Sedangpada otot aktif, walau


terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tapi kadar insulin
tak meningkat. Mungkin hal ini disebabkan karena
peningkatan kepekaan reseptor insulin otot dan
pertambahan reseptor insulin otot pada saat melakukan
latihan jasmani.Hingga, jaringan otot aktif disebut juga
sebagai jaringan non-insulin dependent. Kepekaan ini

akan berlangsung lama, bahkan hingga latihan telah


berakhir. Pada latihan jasmani akan terjadi peningkatan
aliran darah, menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler
terbuka hingga lebih banyak tersedia reseptor insulin dan
reseptor menjadi lebih aktif.

bergiat. Mengingat hal ini, maka harus dibuat suatu kegiatan


fisik yang ter-rencana dengan baik dan teratur bagi diabetisi.

FISIOLOGI KEGIATAN FISIK

MANFAAT, RISIKO DAN HAL.HAL YANG HARUS


DIPERHATIKAN BERKAITAN DENGAN LATIHAN
JASMANI SEORANG DIABETISI

Bila seseorang sehat melahrkan kegiatan fisik dinamik yang


berat dengan melibatkan kelompok otot-otot utamanya,
maka akan terjadi peningkatan ambilan oksigen sebesar
l5-20 kali lipat, karena peningkatan laju metabolik pada
otot yang aktif. Kemudian akan terjadi dilatasi pada arteriol
maupun kapiler danjugaterjadi pengumpulan cairan, baik
intra maupun ekstra selular. Ventilasi pulmoner dapat

Pada diabetes tipe 2, latihan jasmani dapat memperbaiki

melewati angka 100 Vmenit dan keluaranjantung meningkat

tekanan darah arteriil, sensitivitas barorefleks, vasodilatasi


pembuluh yan g endothelium-dependent, aliran darah pada
kulit, hasil perbandingan antara denyut jantung dan

hingga 20-30 l/menit, untuk memenuhi kebutuhan otot


yang aktif. Bersamaan dengan itu, akan terjadi pemrrunan
aliran darah ke otot yang tak aktif, daerah splangnik dan
ginjal. Panas yang ditimbulkan akan terkumpul pada tubuh
dan sebagian besar akan terbuang lewat proses evaporasi.
Pada kegiatan fisik dalam keadaan panas dan lembab, dapat
dihasilkan keringat sebanyak 2 Ujam.
Kegiatan fisik pada keadaan post absorbsi makanan,
maka kebutuhan energi otot yang bekerja akan dipenuhi

oleh proses pemecahan glikogen intramuskular,


cadangan trigliserida dan juga peningkatan sediaan
glukosa hati dan asam lemak bebas dari cadangan
trigliserida ekstramuskular.
Latihan jasmani pada diabetisi akan menimbulkan
perubahan metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama,
berat latihan dan tingkat kebugaran, juga oleh kadar
insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar benda keton
dan imbangan cairan tubuh.
Pada diabetisi dengan gula darah tak terkonhol, latihan
jasmani akan menyebabkan terjadi peningkatan kadar
glukosa darah dan benda keton yang dapat berakibat

kendali glukosa secara menyeluruh, terbukti dengan


penurunan konsentrasi HbAlc, yang cukup menjadi
pedoman untuk penurunan risiko komplikasi diabetes dan
kematian.

Selain mengurangi risiko, latihan jasmani akan


memberikan pengaruh yang baik pada lemak tubuh,

tekanan darah (baik saat istirahat maupun aktif),


hipertrigliseridemi dan fibrinolisis. Angka kesakitan dan
kematian pada diabetisi yang aktil 50 % leblh rendah
dibanding mereka yang santai.
Pada DM tipe l, latihan jasmani akan menyulitkan
pengaturan metabolik, hingga kendali gula darah bukan
merupakan tujuan latihan. Tetapi latihan endurance

ternyata

terbukti akan memperbaiki fungsi endotel

vaskular. Dari penelitian epidemiologi retro dan prospektif,


juga terbukti bahwa latihan jasmani yang teratur akan
mencegah komplikasi makro maupun mikrovaskular serta
meningkatkan harapan hidup.
Pada kedua tipe diabetes, manfaat latihan jasmani
secara teratur akan memperbaiki kapasitas latihan aerobik,
kekuatan otot dan mencegah osteoporosis.

RISIKO LATIHAN JASMANI

fatal. Satu penelitian mendapati bahwa pada kadar glukosa

Diabetisi yang mendapat terapi insulin, hipoglikemia

darah sekitar 332 mgldl, bila tetap melakukan_latihan


jasmani, akan berbahaya bagi yang bersangkutan. Jadi
sebaiknya, bila ingin melakukan latihan jasmani, seorang
diabetisi harus mempunyai kadar glukosa darah tak lebih

disertai kadar insulin yang berlebihan merupakan hal yang


perlu mendapat perhatian, terutama pada saat pemulihan.
Bila insulin disuntikkan pada lengan atau paha, akan
memperbesar kemungkinan terj adi hipoglikemia karena

dai250m/dl.

peningkatan hantaran insulin melalui darah akibat

1895

TERAPI NON FARMAKOI.OGIS PADA DIABETES MELITUS

pemompaan oleh otot pada saat berkontraksi. Sehingga


dianjurkan penyuntikan di daerah abdomen sebelum
latihan jasmani. Juga dianjurkan agar latihan jasmani
dilakukan setelah makan, yaitu pada saat kadar gula darah
berada pada puncaknya. Latihanjasmani yang dikerjakan
dalam waktu lama dan dalam keadaan metabolik yang tak
terkendali, akan menyebabkan peningkatan pelepasan
glukosa darah dari hati, disertai peningkatan produksi
benda-benda keton.

PRINSIP LATIHAN JASMANI BAGI DIABETISI


Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi, persis sama dengan
prinsip latihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi
beberapa hal, seperti : frekuensi, intensitas, durasi dan
Jenls.

Frekuensi

Intensitas

.
.

jumlah olahraga perminggu sebaiknya


dilakukan dengan teratur 3-5 kali per
minggu

ringan dan sedang (60-70% Maximum


Heart Rate)

Durasi
Jenis

30-60menit
latihan jasmani endurans (aerobik) untuk
meningkatkan kemampuan kardiorespirasi

seperti jalan, jogging, berenang dan


bersepeda.

Latihanjasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi


serta memungkinkan untuk dilakukan dan hendaknya
melibatkan otot-otot besar.
Latihan jasmani bagi diabetisi tipe 1, sebaiknya
dilakukan pada pagi hari.
Untuk menentukan intensitas latihan, dapat digunakan
Maximum Heart Rate (MHR) yaitu: 220 - umur. Setelah
MHR didapatkan, dapat ditentukan Thrget Heart Rate
(THR). Sebagai contoh : suatu latihan bagi seorang
diabetisi berumur 50 tahun disasarkan sebesar 75o/o,maka
THR : 75 % X (220 - 60) : I 20. Dengan demikian, diabetisi
tersebut dalam melakukan latihan jasmani, sasaran denyut
nadinya adalah sekitar 120/menit.

Untuk melakukan latihan jasmani, perlu diperhatkan halhal sebagai berikut:


Pemanasan (warm-ap'5. Bagian kegiatan

ini dilakukan

sebelum memasuki latihan yang sebenarnya, dengan tujuan

untuk mempersiapkan berbagai sistem tubuh seperti


menaikkan suhu tubuh, meningkatkan denyut nadi hingga
mendekati intensitas latihan.Pemanasan juga perlu untuk
menghindari cedera akibat latihan.Pemanasan cukup
dilakiikan selama 5-10 menit.

Latihan infi (conditioning). Pada tahap ini, diusahakan


denyut nadi mencapai THR,agar mendapatkan manfaat

latihan.Bila THR tak tercapai, maka diabetisi tak akan


mendapat manfaat latihan.Sedang bila lebih dari THR,
mungkin malatr bisa mendapatkan risiko yang tak diinginkan.

Pendinginan (cooling-down). Setelah selesai melalarkan


latihan j asmani, sebaiknya dilakukan pendinginan.Tahap
ini dilakukan untuk mencegah penimbunan asam laktat yang
dapat menimbulkan rasa nyeri pada otot setelah melakukan
latihan jasmani, atau pusing akibat masih terkumpulnya
darah pada otot yang aktif. Bila latihan berupa jogging,

maka pendinginan sebaiknya dilakukan dengan tetap


berjalan untuk beberapa menit. Bila bersepeda, tetap
mengayuh sepeda,tetapi tanpa beban.Pendinginan
dilakukan selama kurang-lebih 5-10 menit, hingga denyut
jantung mendekati denyrt nadi saat istirahat.

Peregangan (slrelching). Tahap ini dilakukan dengan


tujuan untuk melemaskan dan melenturkan otot-otot yang
masih teregang dan menjadikan lebih elastis. Tahapan ini
lebih bermanfaat terutama bagi mereka yang berusia lanjut.
Latihan jasmani teratur, penting bagi kesehatan setiap orang, karena akan:
. memberikan lebihbanyak tenaga
. membuat jantung lebih kuat

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

meningkatkansirkulasi
memperkuat otot
meningkatkankelenturan
meningkatkankemampuanbernafas
membantu mengatur berat badan
memperlambat proses penuaan
memperbaiki tekanan darah
memperbaiki kolesterol dan lemak tubuhyang lain

mengurangi stress
melawan akibat-akibat kekurangan aktivitas

REFERENSI
American Diabetes Association. Diagnosis and classification of
diabetes mellitus. Clinical practice recommendation 2004.
Diabetes care2AO4;27 (Suppl. l): S5-S10.
American Diabetes Association. Screning for type 2 diabetes. Clinical practice recommendation 2004. Diabetes care 2004;27
(suppl. 1): Sll-S14.
American Diabetes Association. Nutrition principles and recommendations in diabetes.Clinical practice recommendation 2004.
Diabetes carc.2004;27 (Suppl.l) : 536-546.
Flores JVPG Tan KM, Palanca A, Salvador MVC, Roman JA,Bongo
SSJ. An evidance approach to type 2 diabetes management for
health care professionals (a learning module series). Jonhson
and jonhson Pte. Ltd. 2003.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan
diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2002. Iakafia2O03.

296
INSULIN: MEI(ANISME SEKRESI
DAN ASPEK METABOLISME
Asman Manaf

Diketahui ada beberapa tahapan dalam proses sekresi


insulin, setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa.
Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membrane
sel. Untuk dapat melewati membran sel beta dibutuhkan

PROSES PEMBENTUKAN DAN SEKRESI INSULIN


Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam

amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas.

bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah


senyawa asam amino yang terdapat di dalam berbagai sel

Dalam keadaannormal, bila ada rangsangan pada sel beta,

insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam


darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan
regulasi glukosa darah. Secara fisiologis, regulasi

yang berperan dalam proses metabolisme glukosa.


Fungsinya sebagai "kendaraan" pengangkut glukosa
masuk dari luar kedalam sel jaringan tubuh. Glucose
transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta

glukosa darah yang baik diatur bersama dengan hormon

glukagon yang disekresikan oleh sel alfa kelenjar

misalnya, diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari


dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini
penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa
akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi didalam
sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul
AIP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahap selanjutnya

pankreas.

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin


(precursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma
sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin
mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin,
yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung
(secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi
dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi
insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah

yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada


membran sel. Penutupan ini berakibat terhambatnya
pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan
terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti
kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan
inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga
menyebabkan peningkatan kadar ion Ca intrasel. Suasana

siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui


membran sel.

Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya


proses metabolisme secara noflnal, karena fungsi insulin
memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa

ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin melalui


mekanisme yang cukup rumit dan belum seuhrhnya dapat
dijelaskan. (Gambar I )

yang ada dalam darah. Kadar glukosa darah yang


meningkat, merupakan komponen utama yang memberi

di atas, terjadinya aktivasi


K channel tidak hanya disebabkan oleh

Seperti disinggung

rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi


insulin. Ditamping glukosa, beberapa jenis asam amino

penutupan

rangsangan ATP hasil proses fosforilasi glukosa intrasel,

dan oba|obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam

tapi juga dapat oleh pengaruh beberapa faktor lain


termasuk obat-obatan. Namun senyawa obat-obatan

rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana


mekanisme sesungguhnya dari sintesis dan sekresi
insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan
hal yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat
dipahami secarajelas.

tersebut, misalnya obat anti diabetes sulfonil urea, bekerja


pada reseptor tersendiri, tidak pada reseptor yang sama

dengan glukosa, yang disebut sulphonylurea receptor


(SUR) padamembran sel beta.

1896

1897
INSULIN: MEKANISME SEKRESI DAN ASPEK METABOLISME

K+ channel

shut
Glucose

kadar glukosa darah di akhir fase l, disamping faktor


resistensi insulin. Jadi, terjadi semacam mekanisme
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase i
sebelumnya. Apabila sekresi fase I tidak adekuat, terjadi

[,J
+

Glucose-6-pho

+
ATP

K+'
+

Depolarization
of membrane

Glucose signaling

1897

berlangsung relatif lebih lama, seberapa tinggi puncaknya


(secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa besar

Ca"
channel

GLUT-2J
Glucose

cm

lnsulin + C peptide

l.I

ct""u"g"
enzymes

Proinsulin

Preproinsulin

Gambar 1. Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat


stimulasi Glukosa ( Kramer,95 )

mekanisme kompensasi dalam bentuk peningkatan sekresi


insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut
pada hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh
agar kadar glukosa darah (postprandial) tetap dalam batas
batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase
2 sekresi insulin akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada
gambar dibawah ini ( Gambar 2 ) diperlihatkan dinamika
sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi Glukosa
Terganggu ( Impaired Glucose Tolerance : IGT ), dan
Diabetes Mellitus Tipe 2.

DINAMIKA SEKRESI INSULIN


Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai
dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua

fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti


dikemukakan, sekresi insulin normal yan gbiphasic ini akart

terjadi setelah adanya rangsangan seperti glukosa yang


berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang
dihasilkan ini, berfungsi mengatur regulasi glukosa darah
agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa
maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua

fase sekresi insulin yang berlangsung secara sinkron


tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batasbatas normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang

fisiologis.

I (acute insulin secretion responce : AIR)


adalah sekresi insulin yang terjadi segera setelah ada
Sekresi fase

Gambar 2. Dinamika sekresi lnsulin setelah beban glukosa


intravena pada keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta
(Ward, 84)

rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir

juga cepat. Sekresi fase I (AIR) biasanya mempunyai


puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang
diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang
biasanya meningkat tajam, segera setelah makan. Kinerja

AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi


regulasi glukosa yang normal karena pasa gilirannya
berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa
darah postprandial. Dengan demikian, kehadiranAlR yang

normal diperlukan untuk mempertahankan berlangsungnya


proses metabolisme glukosa secara hsiologis. AIR yang

Biasanya, dengan kinerja fase I yang normal, disertai


pula oleh aksi insulin yang juga normal di jaringan ( tanpa
resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan berlangsung

normal. Dengan demikian.fidak dibutuhkan tambahan


( ekstra ) sintesis maupun sekresi insulin pada fase 2 diatas

normal untuk dapal mempertahankan keadaan


normoglikemia. Ini adalah keadaan fisiologis yang memang
ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darahyang

dapat memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa


hiperinsulinemia dengan berbagai dampak negatifnya.

berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah


terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan
glukosa darah postprandial Qtostprandial spike) dengan

AKSIINSULIN

hiperinsulinemia kompensatif.
Selanjutnya, setelah sekresi fase I berakhir, muncul
sekresi fase 2 (sustained phase, latent phase), dimana
sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan

Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses


metabolisme dalam tubuh terutama metabolisme
karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam
proses utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan

bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya


fase l, tugas pengaturan glukosa darah selanjutnya diambil

tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.


Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak,
insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin recep-

segala akibat yang ditimbulkannya termasuk

alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang

1898

MEXABOIII(ENDOIRII{

tor substrate

EFEK METABOLISME DARI INSULIN

IRS) yang terdapat pada membran sel

tersebut. Ikatan antara insulin dan reseptor akan


menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses
regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan
lemak, meskipun mekanisme kerja yang sesungguhnya
belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal
berperan dalam meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose
transporter-4) dan selanjutnya juga pada mendorong
penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan
translokasi GLUT-4 inilah yang bekerja memasukkan
glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjubrya mengalami
metabolism (Gambar 3). Untuk mendapatkan proses
metabolisme glukosa normal, selain diperlukan mekanisme
serta dinamika sekresi yangnormal, dibutuhkanpula aksi
insulin yang berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas
atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap insulin
merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes,
khususnya diabetes tipe 2.
Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya
berkaitan dengan metabolisme glukosa di jaringan perifer,

tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi

sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati


membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah jaringan hepar
ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh.
Peninggian kadar glukosa darah puasa, lebih ditentukan
oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen yang

berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis


di jaringan hepar. Kedua proses ini berlangsung secara
normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon
insulin. Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap
insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut terhadap
mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan
menjadi tidak lagi optimal. Semakin tinggi tingkat resistensi
insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap
proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin
tinggi tingkat produksi glukosa dari hepar.

Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin,


menyebabkan gangguan pada metabolisme glukosa,
dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada
dasamya ini bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa
yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar glukosa
darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai
gejala diabetes melitus. Pada diabetes melitus tipe 2

(DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering


ditemukan, gangguan metabolisme glukosa disebabkan
oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi
insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifirya jaringan
tubuh terhadap insulin (resistensi insulin), disertai oleh

faktor lingkungan (environmenl). Sedangkan pada


diabetes tipe I (DMTl), gangguan tersebut murni
disebabkan defisiensi insulin secara absolut.
Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali

oleh kelainan pada dinamika sekresi insulin berupa

gangguan pada fase I sekresi insulin yang tidak sesuai


kebutuhan (inadekuat). Defisiensi insulin ini secara
langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah

hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni peningkatan


kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban
glukosa (makan atau minum).
Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi
insulin merupakan faktor etiologi yang bersifat bawaan
(genetik). Secara klinis, ps{slanan penyakit ini bersifat
progressif dan cenderung melibatkan pula gangguan
metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar
glukosa darah oleh karenautilisasi yang tidak berlangsung

sempurna pada gilirannya secara

GLUGOSE

RECEPTOR

Gambar

3.

o
Ob
E

Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport

klinis

sering

memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Unnrk


mendapatkan kadar glukosayar'g normal dalam darah
diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta
untuk peningkatan sekresi insulin (insulin secretagogue)

RECEPTOR

glukosa jaringan perifer (Girard, 1995)

[lSUlII|: XEAIISESETSTITAI|

atau bila diperlukan secard $ubstitlsi imulin,

dismping

obat-obatan yang berkhasiat menunrnkan resistsnsi


insulin (fusulin sens itizer).
Tidak adekuatnya fase l, yang kemudian diililti
pe,ningkam kinerja frse 2 setrresi inslin,

@a

tahap awal

belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar


glukosa darah- Secara klinis, barulah pada tthap
dekompensasi, dryt trr;ffir/rFn keadlam ymgdinamakm
Toleransi Ghrkosa feryilggu yang dishf jWt s*gan
prediobetic state. Pada tahap ini mekmisme toryensasi
$dah milai tidak adelgld lagi tuhhmengatami dcnsiensi

yang mrmgkin souua relafif, trr;adi @*nm lodlar


glukosa darah postprandirl- Pada toleransi glukosa
terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah
posmrandiat, atau setelah dibed bebm lflrilan 75 g gbkosa
dengan Thxt Toleransi Ghftosa Oral ( TTGO ), beftisil
di'af,tfrx l40.-2(N_ mgldl. Juga dinamaken sebagai prediabetes, trila kadfi ghkosa darah prasa dra lu*126 @
dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa
Terganggu(GDPT).
Keadaan hipeqglikemia yamgtiltadd',tntksocra krronis
pada tahry diabeies, atau hipeqglikemia ahr possrmdial
yru,gtstaili ber-ulmgkali se/,larphanl sejak- h+ TGI

buruk tertadap jaulngan yang scara

memberi daryak
janeta panjang menimbulkan komplikasi kronis dari
diabetes-Tingginya kadar glukosa darfr (gluntoxicity)

yang

diikuti pula oleh dislipidemia (Iipotoxicity)

bertanggung jawab terh^dry kerusakan jaringan baik


proses
secara langsung melalui stres oksidatif,
glikosilasi yang mehras.
Resist,nsi in$lin mrlai menmjol peranmy'a smnjak

bt

perubahan atau konversi fase TGT menjadi DMT2Dikatzkan bahwa gadz razt tersebut falitor resistensi
insulin mulai dominan sbagai penyebab tipeqglikemia
mtuprm berbagai kenrsakan jaringan. Ini trlihat dari
bahwa pada taha;p twal DMT2, meskipun
dngan kadar insulin srum yang cuhry tinggi, ntmiln
hipeqgtikemia masih dapa terjadt Kerusakm jalitnganyruig

fcrjad\ tendama milfiovashdar, meningtat

secara tajam

prda *ahaf diabetes, sdangtan gangguan mahovaskular


telah muncul semenjak predia*tes. Semakin l' ggrnya

tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula dari

pin$tallsadat

gfukosa darah puasa naupun posbnan-' gei tinglot


Sejalan dngan iu1 padaheparsemakin
rcsistensi insulitu semakin rendah kemampan inhibisinya
terha.datp proses glikogenolisis dan glukoneogenesis,

diat

menyebabkan semakin tinggi pula tingkat produksi


glukoaa dad hepar.

tadt"

d^N

disimpulkan

@z awahgditenfikan

tt99

A$'IEIIELEE

prjalmn

pe,nyakit DMT2,

oleh kinerja fase I yang

kemdian

memberi dampak aegarlt trrhz.d^p kinerja fase 2, dzl


berakibat langsung tfrffip peninglsfan kadar glukosa
Aaran Giperetikemia). Hipergtikemia @adiitidak hanya
disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi
insulin), tapipad^ saat bersamaanjuga oleh rendahnya

rspons jarrngn tubuh terhadap insulin (resistensi


insulin). Gangguan tN pengmft linghmgan serti
gtythi,fury mtobesitas ak n meryercqld prroge$ivitas
perjalanm penyalsir Gmggum

Mbolim

ghkosa alrm

brrJor,llufi@^ sarygum metablisre lmak dm Fofiein


serta prroces lrerusatran ffigai jillmganutuh- nmgbian
keluiofryang dilililtrlrdr ng oleh resistensi insulin,
selain daripada intoleransi tfrhadilp glukosa herta
trrfragr atdfrffiyatsering meninhdkm hryilm gejala
ymg dinanrakan sindrcma metabolik

REFEREilSI

AtWt FLl Gribble FM 1999- AlP-*nsitive K+ chamels and


in$lin scrdfoil- Thcir rolc fu hcaftt d dirr:rr,-Darafrd*gp
42:9O3-19.

Arhcrolr FM, Gribble FM. 1999. Differcfiial rensitivity of


beta-cell ad efrryarcratic K AfP channels Io gliclaritriaDiabctologia 42: 84,5-8.
*age..
C.zroli E, 2iJlDl-Tfu irlct iD tt/p 2 fiahrfrer.:, Brar;k to
Diabeteo 50: Sl-S3.
Cerielro A,2W2. Thc poesibl,c rolc of po$randiat nypr4glycemia

6ts

in thc paihogenerir of diabctic complicationr. Diabctologia

42:ll7-22.
Kratw V, 1995. The mlslr

23:. 67

imcractim of sulphonyhear DRCP

8O

Fqtoptini E, l9{n- Imulin

rcsisbncc vcnous insulia

Mciercy

it

non insulin dcpendcnt diabcter mellitus: Problems and


procpccts- Endocrinc Reyicws 19:. 477-9OGerich JE, 199t. Thc genctic basis of tyae 2 diabas mellifis:
impairEd innulin scretion vcrrus iryaired insulin sensitivityEndocrine ReYisw$ 19. 491-5O7.
Git@d J, 1995- NIIDM and gftrcor fiaffport in cellr. h ( Assan,
& ed NIDDM and glucore tra$port in cclls- Molccular
Endoainology and Dcvelopmcm CNRS Mqdoo, Fr.lanrr: Gl6.
Krotw E I995.Tb mbflln fuffractfrn of rufhm1fucar" DRCP
?3: 67 tO
Nyholn B, Canno
N't?hett
Chorfuornouli rl klnonon WC,
Cobelli C. et al,2fiD. Prandial glucose effectiveness and

IE

frding gtlcmoogfleois in inilliHesi$tatrt frst{egr rclialivce


of @icnfs vift typ 2 diatrrr,s- Diabctcs 49: 213541.
Pldo SD.2W2. I-osi of dy insulin secrction lad$ to poslprandiat hypcrgtycacmia- Diabfiologia 29: 47 -53 &ryolrudoyo P, 2O(J/l.. Ilmu kdolderatr molelrrlcr. H I. Iakartz:
Pcrpustataan Narional, hlm 4&58StEuLi H, Fnb$hino M Usoni M lkedo M TmiSachi A, NaI@i Y,
et al2W3.Frctors respoosible for dcvelopmcnt from normal
glocorc toleranc to isolatcd posichallenge hyperglycemiaDiabctcs Calr- 26: l2ll-5.
\oboprawiro L 1999- Diabctes mellitra and st/dronc t2 (A *q
forwad to era of globalisatfun-2m3)- JSPS-DNC rympocium,
Suabaya: l{.
Wad VD, 1984. Pathophyriology of insulin secretion itr non
imrlin d4endertr diabfes rcllitrs. IXabetcs C.;ue 7 : 491 - frz
Wqer C, Bogar&ts C, Itdort DM Talaromi PA, Protlq RE,2(J/J/J.
Inrulin resistancc and iffulh screiory dysfimction are indcpe,ndcnt predictorr of worsening of glucorc tolerance during
eact stage oftyry2 diabeter devclopment. Diabtes Care24:.
89-94-

296
HIPOGLIKEMIA IATROGENIK
Djoko Wahono Soemadji

Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe I (DMT 1) dan


diabetes tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor penghambat
utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah
normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali
glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa menyebutkan
bebas dari hipoglikemia. Dokter dan tenaga kesehatan yang
lain harus memahami benar tentang hal ini dan pasien
diabetes serta keluarganya harus diberi informasi tentang
masalah hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat
ketidaksempumaan terapi saat ini, di mana kadar insulin di
antara dua makan dan pada malam hari meningkat secara
tidak proporsional dan kemampuan frsiologis tubuh gagal
melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman.
Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia
sangat penting dalam pengelolaan diabetes adalah
ketergantungan jaringan sarafpada asupan glukosa yang
berkelanjutan. Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme
yang utama untuk otak. Oleh karena otak hanya menyimpan
glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat

sedikit, fungsi otak yang normal sangat tergantung asupan


glukosa dari sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa yang
berlangsung lebih dari beberapa menit dapat menimbulkan
disfungsi sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma.
Dalam keadaan puasa dan makan, istirahat dan aktivitas
jasmani, masuknya glukosa ke sirkulasi serta ambilan dari
sirkulasi sangat bervariasi. Untuk mempertahankan kadar

DEFINISI, DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI


Definisi dan diagnosis. Hipoglikemia secara harfiah berarti
kadar glukosa darah di bawah harga normal. Walaupun
kadar glukosa plasma puasa pada orang nofinal jarang
melampaui 99mg% (5,5 mmol/L), tetapikadar<108 mg% (6
mmoVl) masih dianggap normal. Kadar glukosa plasma
kira-kira l0% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar
glukosa darah keseluruhan (whole blood) karena eritrosit
mengandung kadar glukosa yang relatif lebih rendah.
Kadar glukosa arteri lebih tinggi dibandingkan dengan
vena, sedang kadar glukosa darah kapiler di antara kadar
arteri dan vena.
Pada individu normal, sesudah puasa semalam kadar
glukosa darah jarang lebih rendah dari 4 mmoVL, tetapi
kadar kurang dai 50 mg%o (2,8 mmol/L) pernah dilaporkan
dijumpai sesudah puasa yang berlangsung lebih lama.
Hipogliken{ia spontan yang patologis mungkin terjadi
pada tumor yang mensekresi insulin atau insulin-like
growthfactor (IGF). Dalam hal ini diagnosis hipoglikemia
ditegakkan bila kadar gukosa <50 mg% (2.8 mmol/L) atau

bahkan <40 mg%o (2,2 mmoVL). Walaupun demikian


berbagai studi fisiologis menunjukkan bahwa gangguan

glukosa plasma dalam rentang batas yang sempit terdapat

fungsi otak sudah dapat terjadi pada kadar glukosa darah


55 mgYo (3 mmol/L). Lebih lanjut diketahui bahwa kadar
glukosa darah 55 mg% (3 mmol/L) yang te{adi berulangkali

mekanisme yang sangat peka dan terelaborasi. Kadar


glukosa plasma yang tinggi mengganggu keseimbangan
air di jaringan, menimbulkan glukosuria dan meningkatkan

merusak mekanisme proteksi endogen terhadap

glikosilasi j aringan, sebaliknya kadar y ans terlalu rendah

hipoglikemia yang lebih berat.


Respon regulasi non-pankreas terhadap hipoglikemia
dimulaipadaledar glukosa darah 63 -65 m{/o Q,54,6 mmol/L).

menyebabkan disfungsi otak, koma dan kematian.


Pada

hipoglikemia timbul karena pada diabetes dan akibat terapi


mekanisme homeostasis endogen tersebut terganggu.

individu normal yang sehat hipoglikemia yang sampai

menimbulkan gangguan kognitif yang bermakna tidak

Oleh sebab itu, dalam konteks terapi diabetes,

terjadi karena mekanisme homeostasis glukosa endogen

diagaosis hipoglikemia ditegakkan bila kadar glukosa


plasma<63 mg% (3,5 mmol/L).

berfungsi dengan efektif. Secara klinis masalah

r900

HIFOGLIIGMIA IAIROGENIK

Klasifikasi Pada diabetes, hipoglikemia juga sering


didefinisikan sesuai dengan gambaran klinisnya.
Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple
merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang
bermanfaat. Triad tersebut meliputi: a). keluhan yang
menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang
rendah, b). kadar glukosa darah yang rendah (<3 mmol./L
hipoglikemia pada diabetes), dan c). hilangnya secara
cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimiawi
dikorekasi.

Akan tetapi pasien diabetes (dan insulinoma) dapat


kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau
mendeteksi keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah
kriteria klinis pada pasien diabetes yang mendapatterapi,

hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan,


sedang dan berat (Tabet 1).

Ringan
Sedang
Berat

Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada


gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata
Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan
gangguan aktivitas sehari-hari yang nyata
Sering (tidak selalu) tidak simtomatik, karena
gangguan kognitif pasien tidak mampu
mengatasi sendiri
1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak
memerlukan terapi parenteral
2. Membutuhkan terapi parenteral (glukagon
intramuskular atau glukosa intravena)
3. Disertai dengan koma atau kejang

1901

PENYEBAB HIPOGLIKEMIA
Pada pasien diabetes hipoglikemia

timbul akibat

peningkatan kadar insulin yang kurang tepat, baik sesudah

penyuntikan insulin subkutan atau karena obat yang


meningkatkan sekresi insulin seperti sulfonilurea. Oleh
sebab itu dijumpai saat-saat dan keadaan tertentu di mana

pasien diabetes mungkin akan mengalami kejadian


hipoglikemia. Sampai saat ini pemberian insulin masih
belum sepenuhnya dapat menirukan(mimicking) pola
sekresi insulin yang fisiologis. Makan akan meningkatkan
kadar glukosa darah dalam beberapa menit dan mencapai
puncak sesudah I jam. Bahkan insulin yang bekerjanya
paling cepat (insulin analog rapid-acting) bila diberikan
subkutan belum mampu menirukan kecepatan peningkatan
kadar puncak tersebut dan berakibat menghasilkan puncak
konsentrasi insulin l-2 jam sesudah disuntikkan. Oleh
sebab itu pasien rentan terhadap hipoglikemia sekitar 2
jam sesudahmakan sampai waktu makanyang berikutnya.
Oleh sebab itu waktu dimana risiko hipoglikemia paling
tinggi adalah saat menjelang makan berikutnya dan malam
hari.

Hampir setiap pasien yang mendapat terapi insulin,


dan sebagian besar pasien yang mendapat sulfonilurea,
pemah mengalami keadaan di mana kadar insulin di
sirkulasi tetap tinggi sementara kadar glukosa darah sudah

di bawah normal. Untuk menghindari timbulnya


hipoglikemia pada pasien perlu diajarkan bagaimana
menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan
jumlah makanan (karbohidrat), pengaruh aktivitas jasmani

EPIDEMIOLOGI

terhadap kadar glukosa darah, tanda-tanda dini


hip rglikemia dan cara penanggulangannya. Risiko

Karena definisi yang digunakan berbeda perbandingan


kekerapan kejadian hipoglikemia dari beri agai studi harus

hip rglikemia terkait dengan penggunaan sulfonilurea dan


inr -rlin dapat dilihat dalam Gambar 1.

dilakukan dengan hati-hati. Sangat be manfaat untuk

Pada pasien diabetes tipe 2 kejadian

hipoglikemia berat

dan

jr uh lebih sedikit. Dari the United Kingdom prospective


i )iqbetes Study (UWDS), pada kadar HbAlc yang setara
dengan DCCT, dalam l0 tahun pertama kejadian

pada 60 pasien/tahun pada kelompokyang mendapat terapi

hipoglikemia berat dengan terapi klorpropamid timbul pada


0,4o/o, glibenklamid0,6%o dan insulin 2,3Yo (Gambar l).
Kejadian hipoglikemia berat juga meningkat dengan
penggunaan insulin yang makin lama.

mencatat kekerapan kejadian hipoglikem r agar pengaruh


berbagai regimen terapi terhadap timbuln 'a hipoglikemia

cri-ciri klinik yang menyebabkan pasi, o 6"riripe dapat


dibandingkan. Dalam the Diabete: Control and
Complication Trial (DCCT) ya.rg dilal sanankan pada
pasien diabetes tipe l, kejadian hipoglikeniia berat tercatat
insulin intensif dibandingkan dengan 20 pasien/tahun
pada pasien yang mendapat terapi konvensional.
Sebaliknya, dengan kriteria yang berbeda kelompok
the Dusseldorf mendapat kejadian hipoglikemia

PROTEKSI FISIOLOGIS MEI-AWANHI POGLIKEMA

berat didapatkan pada 28 dengan terapi insulin intensif


dan 17 dengan terapi konvensional.

Mekanisme kontra regulator. Glukagon dan epinefrin


merupakan dua hormon yang disekresi pada kejadian

Walaupun tidak menyenangkan, hipoglikemia


yang ringan seringkali hanya dianggap sebagai
konsekuensi terapi menurunkan glukosa yang tidak
dapat dihindari.Walaupun demikian, hipoglikemia ringan

hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja di hati.


Glukagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis dan
kemudian glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan

glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati juga


lipolisis di jaringan lemak serta

tidak boleh diabaikbnl karena poteniiai dapat diikuti

menyebabkan

kejadian hipoglikemia yang lebih berat.

glikogenolisis danproteolisis di otot. Gliserol, hasil lipolisis,

l9u2

MEDABOIIKENIX)NRIN

a
@

E8

E
6

@
gfl!

o
c

e- zo
c
d

Ero
o

Dlulrip2
d[sqii

Di{ [Fc t
ydludts'eFii
&igmiiErlm
ffiftr

Dsll[ip2

ydw

ydtrs

dhqii

&lum$ilb[iltr@ etgmiimdlit

tu

Ba@r{

m)

yfl{ rlsrydlrt pe@c*t'

ffi

nnemeresffiAg h{pogftenft

ztdat:

K&riirm!fu bsbbihan

.
.

Dmishedebifianr

Mr

be@ai

atat

tfmv#ffiasinit: *ahsi yang lebih


gsffi qfi pstd" pmfuhan b lxnrlarl ktsl!ilr; antibodi
Fenirngkdaur
aEpdt (dldhuil8'F,twji,

gEgd

{F*n (cbarare iruun berkurarp);

"lwqtmmf gertUe

Fendtrgkffir eerditilas irsS


o DdHbrrsi funut Nntu14Hory: penyakitAddison;

tffffimaftmte

Ferunnnanberdbdr

[diltrarn jsmai" poc@afun;


3. Amapan [*arhd*H |lrang

o
e

Mhkan

ffimda

fir

vakxi

siHus menstnnsi

hpa" porsi makan kurang

Mc&mnt'r{t" eilwexb nentrsa


o Mluilah,,gdopaesis

MbtMmd

l-aiin+aiin

Bila sekresi glukagon dihambat secara farmakologis,


pemulihan kadar glukosa setelah hipoglikemia yang

diinduksi insulin (insulin-induced hipoglikemia)


berkurang sekitar40%. Bila selaesi glukagon dan epinefrin
dihambat sekaligus pemulihan glukosa tidak terjadi.
Sel b pankreas terhadap hipoglikemia adalah dengan
menghambat sekresi insulin dan turunnya kadar insulin di
daam sel b berperan dalam sekresi glukagon oleh sel a
Studi eksperimental pada hewan menunjukkan bahwa
respons fisiologi utama terhadap hipoglikemia terletak di
neuron hipotalamus ventromedial (VMH). Neuron-neuron
di VMH responsif terhadap glukosa, sebagian menjadi aktif
bila kadar glukosa meningkat, sebagian responsif terhadaF

Absorbciiyzrlg cepat" pemulihan glikogen otot


meningkatkan kerja
srdfionifrrca; perye*a F non-setektit pentamidin)

hipoglikemia.
Neuron-neuron tersebut diproyeksikan ke area yang
bekaitan dengan aktivasi pituitari-adrenal dan sistim
simpatis. Tampaknya respons fisiologi utama terhadap
hipoglikemia terjadi sesudah neuron-neuron di VMH yang

asm mino (alanin dan aspartat) merupakan bahan

sensitif terhadap glukosa teraktivasi dan kemudian


mengaktifkan sistem saraf otonomik dan melepaskan

o Aldrd" obd (=fslAt" sulbnamid

srta

Gambar 2. Pengaruh metabolik respons kontra regulator terhadap


hipoglikemia akW. Glukagon yang bekerja di hati dan epinefrin
yang bekeda di hati, jaringan lemak dan otot merupakan dua hormon
utama yang berperan dalam mekanisme kontra regulator pada
hipoglikemia akut. Growlh hormone dan kortisol berperan pada
hipoglikemia yang berlangsung lama (Heller, 2003).

ndolGr"frmai" pa;bn:

sesr*n dsUFr *ebuhist pasbl atau gaya


trdrg defter# welfu (ffiitxts r,@ffienia)

ii'rEtdht';

liE t ydE

1. Rlrfro tdeogfren*a bcllafiffiEf,t dengst

rcrq$dabetesO!#,

'!-

D|S

dbl4i@
iffiat@n)

fuku Qnecarcor) glukoneogenesis hati (Gambar 2).


Epinsf injupmeningkatkan glukoneogenesis di ginjal,

hormon-hormon kontra regulator (Gambar 3).

yngpad^ keadaan tertentu merupakan 25% produksi


gbkosa tubuh- Pada keadaan hipoglikemia yang berat,

walupun kecil hati juga menunjukkan kemampuan

KELUHAN DAN GEJALA HIPOGLIKEMIA

otoregulasi.

Kortisol dm growth hormon berperan pada keadaan


nipogtlteniayang hlangsung lam4 dengan caf,a melawan
kerja insulin di jarigan perifer (lemak dan otot) serta

Faktor utama mengapa hipoglikemia menjadi penting dalam


pengelolaan diabetes adalah ketergantungan j aringan saraf
terhadap asupan glukosa yang terus-menerus. Gangguan

meningkatkan glukoneogenesis. Defisiensi growth hor-

(interruption) asupan glukosa yang berlangsung

mone (panhipopituitarisme) dan kortisol (penyakit

beberapa menit rnenyebabkan gangguan fungsi sistim


saraf pusat (SSP), dengan gejala gangguan kognisi,
bingung (confus i on),dan koma. Seperti j aring an y anglarn,

Addison) pada individu menimbulkan hipoglikemia yang


umrurmyanngan

r903

HIFOGI.IIGMIA IA|IROGENIK

Pada pasien diabetes yang masih relatif


baru, keluhan dan gejala yang terkait dengan

gangguan sistim saraf otonomik seperti


palpitasi, tremor, atau berkeringat lebih
menonjol dan biasanya mendahului keluhan

dan gejala disfungsi serebral yang


disebabkan oleh neroglikopeni, seperti
gangguan konsentrasi atau koma. Sakit
kepala dan mual mungkin bukan merupakan
keluhan malaise yang khas. Pada pasien diabetes yang lama intensitas keluhan otonomik
cenderung berkurang atau menghilag. Hal

tersebut menunjukkan kegagalan yang


progresif aktivasi sistem saraf otonomik.
Pengenalan hipoglikemia. Respons pertama

Gambar 3. Komponen utama respons simpatis dan counter-regulatory terhadap


hipoglikemia (Heller, 2003)

pada saat kadar glukosa darah turun di


bawah normal adalah peningkatan akut

sekresi hormon caunter-regulatory


(glukagon dan epinefrin); batas kadar

jaringan saraf dapat memanfaatkan sumber energi


alternatil yaitu keton danlaktat. Pada hipoglikemia yang
disebabkan insulin, konsentrasi keton di plasma tertekan
dan mungkin tidak mencapai kadar yang cukup di SSR

sehingga tidak dapat dipakai sebagai sumber energi


altematif.
Pada individu yang mengalami hipoglikemia, respon
fisiologis terhadap penurunan glukosa darah tidak hanya

membatasi makin parahnya perubahan metabolisme


glukosa, tetapi juga menghasilkan berbagai keluhan dan
gejala yang khas. Petugas kesehatan, pasien dan
keluarganya belajar mengenal keluhan dan gejala tersebut
sebagai episode hipoglikemia dan dapat segera me

ang
Kemampuan mengenal gejala awal sangat
pasien diabetes yang mendapatterapi insulin yang ingin
mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah normal atau mendekati normal. Terdapat keragaman keluhan
yang menonjol diantara pasien maupun pada pasien itu
sendiri pada waktu yang bgrbeda. Walaupun demikian

pada umumnya keluhan biasanya timbul dalam pola


tertentu, sesuai dengan komponen fisiologis dan respon
fisiologis yang berbeda (Tabel 3).

glukosa tersebut adalah 65-68 mg%o(3,6-3,8

mmol/L). Lepasnya epinefrin menunjukkan aktivasi sistem


simpatoadrenal. Bila glukosa darah tetap turun sampai 3,2
mmoVl, gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Fungsi
kognisi, yang diukur dengan kecepatan reaksi dan berbagai
fungsi psikomotor yang lain, mulai terganggu pada kadar
glukosa 3 mmol/L. Pada individu yang masih memiliki
kesiagaan (aw arenes s) hipoglikemia, aktivasi sistem
simpatoadrenal tet'adi sebelum disfungsi serebral yang
bermakna timbul. Pasien-pasien tersebut tetap sadar dan

mempunyai kemampuan kognitif yang cukup untuk


melakukanti

HIPOGLIKEMIA YANG TIDAK DISADARI


AWARENESS)
respons proteksi fisiologis dan timbulnya
hipoglikemia yang tidak disadari Walaupun dengan
derajat yang berbeda-beda, hampir semua pasien diabetes yang mendapat terapi insulin mengalami gangguan
pada mekanisme proteksi terhadap hipoglikemia yang berat.
Pada pasien DMT 2 gangguan tersebut umumnya ringan.

Pada saat diagnosis

DM dibuat, respons glukagon

terhadap hipoglikemia umumnya normal. Padapasien DMT


I mulai turun sesudah menderita diabetes l-2 tahun, dan

sesudah 5 tahun hampir semua pasien mengalami

Otonomik

Neuroglikopenik

Berkeringat
Jantung berdebar
Tremor
Lapar

Bingung (confusion)
Mengantuk
Sulit berbicara
lnkoordinasi
Perilaku yang berbeda
Gangguan visual
Parestesi

gangguan atau kehilangan respon. Penyebabnya sampai


saat ini belum diketahui dengan pasti, tetapi tampaknya
tidak berkaitan dengan neuropati otonomik atau kendali
Mual

Sakit kepala

glukosa darah yang ketat. Sel a secara selektif gagal


mendeteksi adanya hipoglikemia dan tidak dapat
menggunakan hipoglikemia sebagai rangsangan untuk
mensekresi glukagon, walaupun sekresi yang glukagon
masih dapat dirangsang oleh perangsang lain seperti
alanin. Hipotesis yang paling meyakinkan adalah

1904

MEIABOIIKENDOICtr{

gangguan tersebut timbul akibat terputusnya paracrine-

insulin cross-talk di dalam islet cell, akibat produksi


insulin endogen yang turun.

Keadaan klinis

Pada diabetes yang sudah lama sering dijumpai respon


simpatoadrenal yang berkurang walaupun dengan tingkat

Diabetes yang
lama

gangguan yang bervariasi. Respons epinefrin terhadap


rangsang yang lain, seperti latihan jasmani tampaknya
normal. Seperti pada gangguan respons glukagon, kelainan
tersdbut merupakan kegagalan mengenal hipoglikemia
yang selektif.
Pasien diabetes dengan respon glukagon dan epinefrin
yang berkurang paling rentan terhadap hipoglikemia. Hal
tersebut terkait dengan hipoglikemia yang tidak disadari

Kendali
metabolik yang
ketat
Alkohol
Episode
nokturnal

karena hilangnya glucose counter regulation dan


gangguan respons simpatoadrenal.

Usia muda
(anak)
Usia lanjut

Hipoglikemia yang tidak disadari Hipoglikemia yang tidak


disadari merupakan masalah yang sering tet'adi pada pasien
diabetes yang mendapat terapi insulin. Sigi epidemiologis
melaporkan sekitar sekitar 25o/o pasien DMT I mengalami

diketahui, dan mungkin dianggap sebagai keluhan-keluhan


pusing (dizzy spelt) atau serangan iskemia yang sementara

ing (in t e r m i I t e n t). Kemampuan men genal


hipoglikemia mungkin tidak absolute, dan keadaan
be selang- sel

(transient ischemic altact). Hipoglikemia akibat

hipoglikemia unawareness yang parsial juga dijumpai. Dari


sekitar 25%o pasien yang sebelumnya menyatakan dirinya
tidak mengalami hipoglikemi a unawareness temyata waktu
menjalani tes gagal mengenal hipoglikemia. Bila didapatkan
hipoglikemia yang tidak disadari kemungkinan pasien
mengalami episode hipoglikemia yang berat6-7 kali lipat;
peningkatan tersebutjuga terjadi pada terapi standar. Pada

sulfonilurea tidak jarang, terutama sulfonilurea yang


bekerja lama seperti glibenklamid. Pada usia lanjut respons
otonomik cenderung hrun dan sensitifitas perifer epinefrin
juga berkurang. Pada otak yang menua gangguan kognitif
mungkin terjadi pada hipoglikemia yang ringan.
Pada anak dan usia lanjut sasaran kendali glikemia
sebaiknya tidak terlalu ketat dan oleh sebab itu dosis
insulin perlu disesuaikan. Lebih lanjut disarankan agar
sulfonilurea yang beke{a lamatidak digunakan padapasien
DMT 2 yang berusia lanjut.

pasien-pasien tersebut selayaknya tidak diberi terapi


intensif, tidak dirjinkan untuk memiliki ijin mengemudi, dan
mungkin juga tidak diperkenankan untuk menjalankan
pekerj aan-pekerjaan tertentu. Keluarga pasien selayaknya

juga diberitahu tentang kemungkinan terjadinya

Obat penghambat B (ftblocking agents) yang tidak


selektif sebaiknya tidak digunakan karena menghambat
lepasnya glukosa hati yang dimediasi oleh reseptor p2,
penghambat I yu.tg selektif dapat digunakan dengan

hipoglikemia berat dan cara penanggulangannya. Berbagai


keadaan klinis yang terkait dengan hipoglikemia yang tidak
disadari dapat dilihat dalam Tabel 4.

aman.

Alkohol. Pasien dan kerabatnyu huru, diberi informasi


tentang potensi bahaya alkohol. Alkohol meningkatkan
kerentanan terhadap hipoglikemia dengan cara menghambat
glukoneogenesis dan mengurangi hipoglikemia qwarenes s.
Episode hipoglikemia sesudah minum alkohol mungkin lebih

Usia muda dan usia lanjut. Pasien diabetes anak, remaja

dan usia lanjut rentan terhadap hipoglikemia. Anak


umumnya tidak dapat mengenal atau melaporkan keluhan
hipoglikemia dan kebiasaan makan yang kurang teratur ser|a

aktivitas jasmani yang sulit diramalkan menyebabkan


hipoglikemia menjadi masalah yang besar bagi anak. Otak
yang sedang tumbuh sangat rentan terhadap hipoglikemia.
Episode hipoglikemia yang berulang, terutama yang disertai
kejang dapat mengganggu kemampuan intelektual anak di

kemudianhari.

Tidak diketahui
Hipoglikemia yang berulang merusak
neuron yang glukosensitif (?)
Regulasi transpor glukosa neuronal yang
meningkat
Peningkatan kortisol dengan akibat
gangguan jalur utama transmisi neuron
Penekanan respons otonomi perifer
Gangguan kognisi
Tidur menyebabkan gejala awal
hipoglikemia tidak diketahui
Posisi berbaring mengurangi respons
simpatoadrenal
Kemampuan abstrak belum cukuP
Perubahan perilaku
Gangguan kognisi
Respons otonomik berkurang
Sensitivitas adrenergik berkurang

Keluhan hipoglikemia pada usia lanjut sering tidak

kesulitan mengenal hipoglikemia yang menetap atau

lama dan berat, dan mungkin karena dianggap mabuk


hipoglikemia tidak dikenali oleh pasien atau kerabatnya.

Kemungkinan mekanisme

TERAPI HIPOGLIKEMIA PADA DIABETES

(-

lukosa darah kapiler, 10-20 g glukosa


oral harus segera diberikan. Idialnya dalam bentuk tablet,
jelly, atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa
sepertijus buah segar dan nondiet cola. Sebaiknya coklat
manis tidak diberikan karena lemak dalam coklat dapat

menghambat absorbsi glukosa. Bila belum ada jadwal


makan dalam l-2jam perlu diberikan tambahan 10-20 g
karbohidrat kompleks.
Bila pasien mengalami kesulitan menelan dan keadaan
tidak terlalu gawat, pemberian madu atau gel glukosa lewat
mukosa rongga mulut(buccal) mungkin dapat dicoba.

=;,----

Glukagon intramuskular. G,l.ukagon I mg intramuskular


dapaf diberikan oleh tenaga nonprofesional yang tedatih
dan hasilnya akan tampak dalarn

1,0

r,nenit. Kecepatan

kerja

glukagon tersebut sam,a dengan pemberian glukosa


intravena. Bila pasien sudah sadar ponberian glukagon
harus diikuti dengan pernberian glukosa oral 20 g dan
dilanjutkan dengan pemberian 40 g karbohidrat dalam
benhrk tepung untnk mernpertahankall penrulihan. Fada
keadaan puasa yang panjang atau hipoglikemia yang
diinduksi alkohol, pemberian glukagon rnungkin ti'dak

efektif. Efektifitas glukagon fergantuag dari stimulasi


gliko genolisis yang terjadl
Glukora intravena. Glukosa intravena harus diberikan
dengan bertrati-hati. Pemberian glukosa dengan konsentrasi
ierla\v toksik urttrk ,jaringan dan 75- I 00 ml glukosa
20Vo ata;u 150-200 ml glukosa lA%o dianggap lebih aman.

50o/o

Ekshavasasi glukosa 5A% dapat menimbulkan nekrosis


yang memerlukan amputasi.

KE$Mfl,'I.AN
Untuk rnencegah tirnbulnya kmlplikasi rnenahun, :ancaman
timbulnya hipoglikemia rnerupakan f,aktsr lirnitasi utama
dalam kendali gliksni pada pasien DillfT I dan DN{T 2

yang mer,rdapat terapi insulin- Deagan meng.mal gejala


awal hipoglikemia pasien dan keluarga dapat mencegah
ke.jadian hipoglikemia yang lebih berat. Ketidakrnampuan

pasien mengenal gejala dini hipoglikernia (hipoglikemia

awar ene ss) rnenyebabkan pasien rentan f erhadap


kejadian hipogltkemia. Hipogly c emia unaworene s s tirnbul
akibat garigguan respon frsiologis sirnpatoadrenal dan
un

sekresi glukagon yang sering didapatkan pada pasien


diabetes yang mendapat terapi insulil. I{ipoglikemia akut
harus segela diterapi dengan pemberian glukosa oral
10-20 g dalam be.ntuk lmutan. B,ila g:lukosaoral tidak dapat
diberikan, perrberian glukagon I mg i.m atau 75-100 rnl
larutan glukosa infavena 2A%o nenryakan terapi yang

efektif

REFERENSI

Amiel

In: }oslin's Diabetes Mollitus,


King GI. Jacobson AM, Moses AC, Snith
RJ (Eds.), Lippincot Williams & Wilkinson, p. 671-85,2005
A.. latrogerric l{ipogliiker*ia.

,Kahn CR, Ty'ear,GC,

A, Smith EP et al.
Management "of Diabetes and Hypergtrycemia .in Hosp.itals.
Diabetes Cue 2004; 27:553-91.
,Cryer FE, Davis SN, Sha.mooa H. Hypoglycemia in Diabetes.
Diabetes Care 2003 ;26:7902-72
He'ller SR. Hipoglikemia,and diabetes. In:Textbook,of Medicine,
Pickup CrC and Williarns,c (Eds.), Blackwell Fubtishing, 33.133.t9, 2003
Feacey SR, R.ostamilhodjegan A, George E, TuckelGT, Itreller SR.
The use cf tolbutarnid-inducecl hypoglycernia to exarnine the
,intra ,islet role of insulin in nrediatir,rg glucagon release n normal
huanans. J Clin endosrirol Metab 1997; 82: 7458:61
The Dia:betes .Control and Conrplication Tl."ials Resealch Group.
Clement SC, Brailhwait SS, Magee MF, Ahmann

The Effect of in.tensive .tr.eafinat of diabetes ot fhe


cleveloprnent and progression of, long-terrn cor'qplioations in
insulia-dependent diabetes mellitus. N Engl J Med 1993;329:
58 3-9

LIK Frospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Intensive


blood-glucose ,oontrol with sulfonylurea or insulil compared
with conventional treatmnt and risk of oomplicatioris in
patient with type 2 diabetes. I-aocet 1998;352: 857-3.

297
KETOASIDOSIS DIABETIK
Pradana Soewondo

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan

pasien KAD usia muda, umumnya dapat dihindari dengan


diagrrosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional, serta

dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh


trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama
disebabkan oleh def,rsiensi insulin absolut atau relatif.
KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut
diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan
pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik,

memadai sesuai dengan dasar patofisiologinya. Pada


pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih
sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.

KAD

biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat


sampai menyebabkan syok.

Tahun

Jumlah Kasus

Angka
Kematian %

14

3'l,4

55

40

1983-84 ( 9 bulan)

EPIDEMIOLOGI

984

- 88 (48 bulan)

'1995 ( 12 bulan)
'1997 ( 6 bulan)
1998 - 99 ( 12 bulan)

Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester memrnjukkan


bahwa insidens KAD sebesar 8 per 1000 pasien DM per

tahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk


kelompok usia di bawah 30 tahun sebesar 13,4 per 1000

17

23
37

't8,7
51

Dari data yang ada tampak bahwa jumlah pasien KAD


dari tahun ke tahun relatiftetap/tidak berkurang dan angka

pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di

Indonesia belum ada, agaknya insidens KAD di


Indonesia tidak sebanyak di negara Barat, mengingat
prevalensi DM tipe-l yang rendah. Laporan insiden KAD

kematiannyajuga belum menggembirakan. Mengingat 80%


pasien KAD telah diketahui menderita DM sebelumnya,
upayapencegahan sangat berperan dalam mencegah KAD
dan diagnosis dini KAD.

di Indonesia umurnnya berasal dari data rumah sakit, dan


terutama pada pasien DM tipe-2.
Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka
kematian KAD berkisar antara9-10%o,sedangkan di klinik
dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka
kematian dapat mencap ai 2 5 - 50%. Angka kematian KAD

FAKTORPENCETUS

Ada sekitar

di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun

20%o pasien

KAD yang baru diketahui

menderita DM untuk pertama kali. Pada pasien KAD yang


sudah diketahui DM sebelumnya, 80o/o dapar dikenali

tampaknya belum ada perbaikan (Tabel 1). Selama periode

5 bulan (January-May 2002) terdapat 39 episode KAD

adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini


penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis
berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya
KAD adalah infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut,
penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau
mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20% pasien KAD
tidak didapatkan faktor pencetus.

dengan angka kemati an I 5Yo.

Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa

KAD seperti sepsis, syok yang


berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut,
konsentrasi glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan
konsentrasi keasaman darah yang rendah. Kematian pada
keadaan yang menyertai

1906

1907

KETOASII'OIiIS DIABETIK

Menghentikan atau mengurangi dosis insulin

dihasilkan adenin trifosfat (AIP) yang merupakan sumber

merupakan salah satupencetus te{adinya KAD. Data seri


kasus KAD tahun 1998-99 di RS Dr. Cipto Mangunkusumo

energi utama sel.


Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat
keadaan defisiensi insulin relatif. Meningkatnya hormon
kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas,
hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan
asam-basa dapat mengganggu sensitivitas insulin

menunjukkan Solo kasus menyuntik dosis insulin kurang.


Musey et al melaporkan 56 kasus KAD negro Amerika
yang tinggal di daerah perkotaan. Di antara 56 kasus
tersebut, 75%o telah diketahui DM sebelumnya dan 670/o
faktor pencetusnya adalah menghentikan dosis insulin.
Adapun alasannya adalah sebagai berikut: 50% tidak
mempunyai uang untuk membeli, 2l%o nafsu makan

menurun, l4%o masalah psikologis, l4oh tidak paham

PERANAN INSULIN

mengatasi masa-masa sakit akut. Pada seri kasus di atas


55Yo menyadari adanya gejala hiperglikemia, walaupun
demikian hanya 5Yo yang menghubungi klinik diabetes
untuk mengatasi masalah tersebut.

Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif


terhadap hormon kontra regulasi yang berlebihan

PATOFISIOLOGI

menyebabkan 3 proses patofrsiologi yang nyata pada 3


organ, yaitu sel-sel lemak, hati, dan otot. Perubahanyang

KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi

terjadi terutama melibatkan metabolisme lemak dan

insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra


regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi
glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh
menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan
hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan
berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis
KAD dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu

karbohidrat (Gambar 1).

(glukagon, epinefr in, kortisol, dan hormon pertumbuhan).

Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh resistensi


insulin atau suplai insulin endogen atau eksogen yang
berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut,

(Gambarl):

.
.

akibathiperglikemia
akibat ketosis
Walaupun sel tubuh tidak dapatmenggunakan glukosa,

sistem homeostasis tubuh terus teraktivasi untuk


memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga
terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan
peningkatan konsentrasi hormon kontra regulator terutama
epinefrin, mengaktivasi hormon lipase rgrqilllpadajaringan

Gambar 1. Patofisiologi KAD

lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi


peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas
sec ara b erleb ihan. Akum@
sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda
keton utama ialah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta
hidoksi butirat.(3HB); dalam keadaan normal konsentrasi
3HB meliputiT5-85% dan aseton darah merupakan benda
keton yang tidak begitu penting. Meskipun sudah tersedia
bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan
terut memproduksi glukosa.

*/IJunyu insulin yang dapal menginduksi transpor

glukosa ke dalam sel, memberi signal untuk proses


perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat'
lipolisis pada sel lemak (menekan pembenhrkan asam lemak
bebas), menghambat glukoneogenesis pada sel hati serta
mendorong proses oksidasi melalui siklus Krebs dalam
mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan

Peranan Glukagon
Di antara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang
paling berperan dalam patogenesis KAD. Glukagon
menghambat proses glikolisis dan menghambat
pembentukan malonyl CoA. Malonyl CoA adalah statt
penghambat c arnitine acyl transferases (CPT I dan 2) yang
bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam
mitokondria. Dengan demikian peningkatan glukagon akan
merangsang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis
(Gambar2).
Pada pasien DM tipe l, konsentrasi glukagon darah
tidak teregulasi dengan baik. Bila konsentrasi insulin

rendah maka konsentrasi glukagon darah sangat


meningkat serta mengakibatkan reaksi kebalikan respons
insulin pada sel-sel lemak dan hati.

1908

MEDABOLIKENIX)TRIN

kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila dijumpai


adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan kemungkinan
kolesistitis, iskemia usus, apendisitis, divertikulitis, atau
perforasi usus. Bila temyata pasien tidak menunjukkan
respons yang baik terhadap pengobatan KAD, maka perlu

dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses


gigi, abses perirektal).

DIAGNOSIS
Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis
Gambar 2. Proses ketogenesis di hati

Hormon Kontra Regulator Insulin Lain


Konsentrasi epinefrin dan kortisol darah meningkat pada
KAD. Hormon pertumbuhan (GH) pada awal terapi KAD

konsentrasinya kadang-kadang meningkat dan lebih


meningkat lagi dengan pemberian insulin.
Keadaan stres sendiri meningkatkan hormon kontra

regulasi yang pada akhirnya akan menstimulasi


pembentukan benda-benda keton, glukoneogenesis serta

potensial sebagai pencetus KAD. Sekali proses KAD


terjadi maka akan terjadi stres yang berkepanjangan.

GEJALAKLINIS
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah
dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk
mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut
DM dan segera mengatasinya.
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien
KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul),
berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah

diabetik ataupun hiperglikemia hiperosmolar nonketotik.


Beratnya hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis dapat
dipakai dengan kriteria diagnosis KAD (Tabel 2).
Walaupun demikian penilaian kasus per kasus selalu
diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien
dengan KAD terdiri dari anamnesis danpemeriksaan fisik
yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan
patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan
kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini
harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium
yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan
dapat segera dimulai Ianpa adanya penundaan.
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan
mudah untuk segera dilakukan setelah dilakukannya
anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan
konsentrasi glukosa darah dengan glucose sticlcs dan
pemeriksaan urine dengan menggunakan zrine stripunisk
melihat secara kualitatifjumlah glukosa, keton, nitrat, dan..leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap
untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan
KAD meliputi konsentrasi HCO' anion gap, pH darah dan
juga idealnya dilalcukan pemeriksaan konsentrasi AcAc

dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia


sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu
mudahtercium.

dan laktat serta 3HB.

Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai


berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului

Kadar glukosa > 250

KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik


insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan
gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak.
Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu
berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung.
Derajat kesadaranpasien dapat dijumpai mulai kompos
mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma. Bila
dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab
penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma,
infeksi, minum alkohol).
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering,

Di RS Dr. Cipto

Mangunkusumo Jakarta, faktor


pencetus infeksi didapatkan sekitar 80%. Infeksi yang
sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan
pneumonia.Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi,

mgo/o

pH<7,35
HCOorendah

Anion gap yang tinggi


Keton serum positif

PRINSIP PENGOBATAN

Begitu masalah diagnosis KAD ditegakkan, segera


pengelolaan dimulai. Pengelolaan KAD tentunya
berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit,
merupakan terapi titerasi, sehingga sebaiknya dirawat di

ruang perawatan intensif. Prinsip-prinsip pengelolaan


KAD ialah : l). penggantian cairan dan garam yang
hilang; 2). menekan lipolisis sel lemak dan menekan
glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin;

r909

TGTOASIT'O$SDIABENK

3). mengatasi stres sebagai pencetus KAD;

a).

mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari


pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Ada 6halyang
harus diberikan; 5 di antaranya ialah: cairan ) gatam,
insulin, kalium, dan glukosa. Sedangkan yang terakhir
tetapi sangat menentukan adalah asuhan keperawatan. Di
sini diperlukan kecermatan dalam evaluasi sampai keadaan
KAD teratasi dan stabil.

glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Kesalahan yang


sering tefadi ialah penghentian drip insulin lebih awal
sebelum klirens benda keton darah cukup adekuat tanpa
konversi ke insulin kerja panjang.
Tujuan pemberian insulin di sini bukan hanya untuk

mencapai konsentrasi glukosa normal, tetapi untuk


mengatasi keadaan ketonemia. Oleh karena itu bila

konsentrasi glukosa kurang dari 200 mgolo, insulin


diteruskan dan untuk mencegah hipoglikemia diberi cairan

mengandung glukosa sampai asupan kalori oral pulih

Gairan
Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam
fisiologis. Berdasarkan perkiraan hilangnya cairan pada
KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka pada jam
pertama diberikan I sampai 2liter, jam kedua diberikan I
liter dan selanjutnya sesuai protokol. Ada dua keuntungan
rehidrasi pada KAD: memperbaiki perfusi jaringan dan

menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila

kembali.

Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo cara pengobatan KAD

dengan insulin dosis rendah kontinu intravena


diperkenalkan sejaktahun 1980 dan sampai sekarang sudah
beberapa kali mengalami modifikasi. Perubahan terakhir
dikeluarkan sejak awal 1997. Dengan caraitu, dilaporkan
kejadian hipoglikemia 3,6-7,1o/o dankejadian hipokalemia
7,2Yo.

konsentrasi glukosa kurang dari 200 mgo% maka perlu


diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa

5olo

atau

rcva

Kalium
Pada awal KAD biasanya konsentrasi ion

lnsulin
Terapi Insulin harus segera dimulai sesaat setelah
diagnosis KAD dan rehidrasi yang memadai. Pemberian
insulin akan menurunkan konsentrasi hormon glukagon,
sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,

jaringa@pdepasar

pelepasan asam lemak bebas dari


asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi
glukosa oleh jaringan.

Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya


secara bolus melalui intravena, intramuskular, ataupun

serum

meningkat. Hiperkalemia yang fatalsangat jarang dan bila


terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat.
Bilapada elektrokardiogram ditemukan gelombang T yang

tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat segera


mengatasi keadaan hiperkelamia tersebut.

Yang perlu menjadi perhatian adalah terjadinya


hipokalemia yang dapat fatal selama pengobatan KAD.
Ion kalium terutama terdapat intraselular. Pada keadaan
KAD, ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan
melalui urin. Total defisit K yang terjadi selama KAD
diperkirakan mencapai 3-5 mEq/kg BB. Selama terapi KAD

ion K kembali ke dalam sel. Untuk mengantisipasi


K ke dalam sel serta mempertahankan

subkutan. Sejak pertengahn tahun I970-an protokol


pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena dosis

masuknya ion

rendah mulai digunakan dan menjadi popular. (Soken et al,

konsentrasi K serum dalambatas normal, perlupemberian

ini dianjurkan oleh karena lebih

mudah

kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal serta tidak

mengontrol dosis insulin, menurunkan konsentrasi

ditemukannya gelombang T yang lancip dan tinggi pada

1912). Caru

glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang,

elektrokardiogram, pemberian kalium segera dimulai setelah

masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi


hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit. Butkeiwicz et

jumlah urin cukup adekuat.

al

menganalisis data pengobatan KAD sebelum dan


sesudah tahun 1970 dan melaporkan bahwa pemberian
insulin kontinu secara intravena lebih jarang menyebabkan
hipoglikemia dibandingkan cara bolus. Sedangkan untuk
hipokalemia tidak berbeda.
Efek kerja insulin tet'adi dalam beberapa menit setelah
insulin berikatan dengan reseptor. Kemudian reseptor yang
telah berikatan akan mengalami internalisasi dan insulin
akan mengalami destruksi. Dalam keadaan hormon
kontraregulator masih tinggi dalam darah, dan untuk
mencegah terj adinya lipolisis dan ketogenesis, permberian
insulin tidak boleh dihentikan tiba-tiba dan perlu dilanjutkan
beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia tercapai
bersamaan dengan pemberian larutan menganndung

Glukosa
Setelah rehidras i awal 2 jam pertama, biasanya konsentrasi
glukosa darah akan turun. Selanjutnya denganpemberian

insulin diharapkan terjadi penurunan konsentrasi glukosa


sekitar 60 mg%oljam. Bila konsentrasi glukosa mencapai
<2UUmg%omaka dapat dimulai infus mengandung glukosa.
Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan terapi KAD bukan

untuk menormalkan konsentrasi glukosa tetapi untuk


menekan ketogenesis.

Bikarbonat
Terapi bikarbonat pada KAD menjadi topik perdebatan
selama beberapa tahun. Pemberian bikarbonat hanya

1910

dianjurkan pada KAD yang berat.Adapun alasankeberatan

pemberian bikarbonat adalah: 1. menurunkan pH


intraselular akibat difusi CO2yang dilepas bikarbonat, 2.

efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan, 3.


hipertonis dan kelebihan natrium, 4. meningkatkan insidens
hipokalemia, 5. gangguan fungsi serebral, dan 6. terjadi
alkaliemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto
Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari
7,1 walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan
hiperkalemi yang mengancam totap merupakan indikasi
pemberian bikarbonat.

METABOLIKENDORtr{

pada saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya


batukpilek, diare, demam, luka).

Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada

penatalaksanaan DM secara komprehensif. Upaya


pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya
komplikasi DM kronik dan akut, melalui edukasi sangat
penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang
baik.
Khusus mengenai pencegahan KAD dan hipoglikemia,

program edukasi perlu menekankan pada aara-cata


mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi mengenai
pemberian insulin kerja cepat, target konsentrasi glukosa
darah pada saat sakit, mengatasi demam dan infeksi,

PENGOBATAN UMUM

memulai pemberian makanan cair mengandung karbohidrat


dan garam yang mudah dicerna, Yang paling penting ialah

Di samping hal tersebut di atas pengobatan umum tak kalah


penting. Pengobatan umum KAD terdiri atas : l). antibiotik
yang adekuat, 2). oksigen bilapA2 < 80 mmHg, 3). heparin
bila ada DIC ataubila hiperosmolar (>380 mOsm/l)

hipoglikemia oral dan sebaiknya segera mencari


pertolongan atau nasihal Ienaga kesehatan yang

PEMANTAUAN
Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam
pengobatan KAD mengingat penyesuaian terapi perlu
dilakukan selama terapi berlangsung. Untuk itu perlu
dilaksanakan pemeriksaan : l). konsentrasi glukosa darah
tiap jam dengan alat glukometer;2). elektrolit setiap 6 jam
selarna24 jarn selanjutnya tergantung keadaan; 3). analisis
gas dara[ bila pH< 7 waktu masuk periksa setiap 6 jam
sampai pH >7,1 selanjutnya setiap hari sampai stabil; 4).
tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan dan temperatur
setiap jam; 5). keadaan hidrasi, balans cairan; 6). waspada
terhadap kemungkinan DIC.
Agar hasil pemantauan efektif dapat digunakan lembar
evaluasi penatalaksanaan ketoasidosis yang baku.

KOMPLIKASI

agar tidak menghentikan pemberian insulin atau obat

profesional.
Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri
terutama saat mengalami masa-masa sakit, dengan

melakukan pemantauan konsentrasi glukosa darah dan


keton urin sendiri. Di sinilah pentingnya edukator diabetes yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutama
pada keadaan sulit.

PENUTUP
Telah dibicarakan mengenai insidens, patofisiologi, gejala
klinis, dan diagnosis KAD. Prinsip pengobatan KAD ialah
pemberian cairan, menekan lipolisis dan glukoneogenesis

dengan pemberian insulin, mengatasi stres, serta


pemantauan yang ketat. Komplikasi iatrogenik dapat
dicegah dengan pemantauan cermat dengan menggunakan
lembar penatalaksanaan ketoasidosis diabetik yang baku.
Program edukasi DM, khususnya bagaimana penyandang
DM menghadapi sakit akut, dapat mencegah KAD ataupun
KAD berulang.

Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama


pengobatan KAD ialah sebagai berikut edema paru,
hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan komplikasi

REFERENSI

iatrogenik. Komplikasi iatrogenik tersebut ialah

Batubara M. Faktot-faktor yang mempengaruhi hasil

hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema otak dan

di UPF Penyakit Dalam


RSCM tahun 1984-88. Makalah akhir FKUI 1989.
Butkeiwicz EK, Leibson CL, O'Brien PC, Palumbo PJ, Rizza RA.
Insulin therapi for diabetecs ketoacidosis: bolus insulin injection continuos insulin infusion. Diabetes Caare 1995; 188: 1187I 190.
Delaney MF, Zisman A and Kettyle WM. Diabetic ketoacidosis and
hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome. Endocrinology and Metab Clin of North Am 2000; 29:- 683-705.

hipokalsemia

PENCEGAHAN
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan kejadian infeksi. Pada
beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan

akses pada sistem pelayanan kesehatan lebih baik


(termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama

penatalaksanaan ketoasidosis diabetik

Fleckman AM. Diabetic Ketoacidosis. Endokrinol and Metab


Cin of North Am 1993; 232: 183-205.
Fulop M, Murthy V, Michilli A, Nalamati J, Qian Q and Saitowitz A.

1911

IGTOASIDOSBDIABETIK

Serum b-hydroxybutyrate measurement in patients with uncontrolled diabetes mellitus. Arch Intern Med 1999; 159: 381-4.
Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg
RA, Malone JI et al. Management of hyperglycemic crises in

patients with diabetes. Diabetes Care 2001;24(I): 131-53,


Kuzuya T. Diabetic Ketoacidosis and Non-ketotic Hyperglycemia.
Dalam: Turtle JR, Kaneko T dan Osato S ed. Diabetes in the
new millennium. The endocrinology and Diabetes Research
Foundation of The University of Sydney. Sydney 1999: 297305.
Musey VC, lee JK, Crowford R, Klatika MA, Adam DM, Philips LS.
Diabetes in Urban African-Americans. Cessation of Insulin
Therapy is the Major precipitating Cause of Diabetic Ketoacidosis. Diabetes Care 19995; 184: 483-89.
Noor R. Makalah akhir FKUI 2000
PERKENI. Konsesus pengeloaan Diabetes Melitus di Indonesia.
Denpasar 1998.
Protokol ketoasidosis Diabetik. Prosedur pelayanan baku. Instalasi
Gawat Darurat RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo-Jakarta,

t997.
AB, Suyono S, Supartondo. Pengobatan Ketoasidosis
Diabetikum dengan skema sederhana pada periode tahun 1971-

Ranakusuma

74 di RSCM. Naskah Lengkap KOPAPDI III Bandung,


197

5.p.128-35.

Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Penatalaksanaan Kedaruratan

di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Prosiding Simposium, April


2000.
Supartondo. Ketoasidosis. Dalam: Sjaifoellah Noer MH et al. ed.
Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I, edisi ketiga. Jakarta,
Balai penerbit FKUI, 1996: 622-626.
Suyono S, Waspadji S, Soegondo S, Ranakusuma AB, Supartondo,
Sukaton U. Pengalaman pengobatan ketoasidosis Diabetik dengan
lnfus Insulin Dosis Rendah. Dalam: Markum MS et al. ed, Naskah
lengkap KOPAPDI VI. 1984: 1004-14.
Thompson CJ, Cumming F, Chalmers J, Newton RW. Abnormal
Insulin Treatment Behaviour: a Major Cause of Ketoasidosis in
the Young Adult. Diabetic Medicine 1995:12: 429-432 American Diabetes Association. Hlperglycemia crises in patients with
diabetes mellitus. Diabetes Care 2001; 24(l): 154-60.
Wiggam MI, O'Kane MJ, Harper R, Atkinson AB, Hadden DR,
Trimble ER et al. Treatment of diabetic ketoacidosis using
normalization of blood b-hydroxybutyrate concentration as the
endpoint of emergency management. Diabetes Care 1997; 20(9):
1347 -52.

298
KOMA HTPEROSMOLAR HIPERGLIKEMIK
NON KETOTIK
Pradana Soewondo

Keto asidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar


hiperglikemik non ketotik (IIHNK) merupakan komplikasi
akuV emergensi Diebetes Melitus (DM). Sindrom HHNK
ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai
adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat,
hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan
neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam
jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa
minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus
disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma
hanya ditemukan kurang dari l0% kasus.
Ditinjau dari sudut patofisiologi, HHNK dan KAD
merupakan suatu spektrum dekompensasi metabolik pada
pasien diabetes; yang berbeda adalah awitan (onset), derajat
dehidrasi, dan berafiiya ketosis. (Tabel 1)

Kadar Glukosa
Plasma (mg/dL)
Kadar pH arteri
Kadar Bikarbonat
Serum (mEq/L)
Kgton pada Urine
atau Serum
Osmolaritas Serum

>250
-7,30
't5-18

7,25

Positif
Beruariasi

250

> 600

<

7,00
< 10

> 7,30
>'15

Positif

Positif

Sedikiv
negatif

Beruariasi

Bervari

>320

>250
7,0A

-7,24
10-<15

EfeKif (mosm/kg)
Anion gap
Kesadaran

>

ast

>10
Sadar

>12
Sadar,
drowsy

> 12
Beruariasi
Stupor, Stupor,
koma koma

Dikutip dari Kilabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Banett EJ, Kreisberg
RA, Malone Jl, et al. Hypsglycemic crises in diabetes. Diabetes Care
2004;27(suppl 1 ):S95

EPIDEMIOLOGI
Data di Amerika menunjukkan bahwa insidens HHNK
sebesar 17,5 per 100.000'penduduk.Insiden ini sedikit lebih

tinggi dibanding insiden KAD. HHNK lebih sering


ditemukan pada perempuan dibandingkan dengag laki-laki.
HHNK lebih sering ditemukan pada orang l6njut usia,
dengan rata-rata usia onset pada dekade ketujuh. Angka
mortalitas pada kasus HHNK cukup tinggi, sekitar lO-20%.

FAKTORPENCETUS
HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang
mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan
menurunnya asupan makanan.l Faktor pencetus dapat
dibagi menjadi enam kategori: infeksi, pengobatan,
noncompliance, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan
obat, dan penyakit penyerta (Tabel 2). Infeksi merupakan
penyebab tersering (57.1%). Compliance yang buruk
terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan

HHNK(21%).

PATOFISIOLOGI
Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis
glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada
kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
akan semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada
keadaan normal, ginjal berfimgsi mengeliminasi glukosa
di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan

volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada

t912

KOMA HIPE,ROSMOIAR HIPERGLIIGMIK NON

1913

ETOTIK

hilangnya cairan intravaskular menyebabkan keadaan


Penyakit Penyerta
lnfark miokard akut
Tumor yang
menghasilkan hormon
adrenokortikotropin
Kejadian

serebrovaskular
Sindrom cushing
Hipertermia
Hipotermia
Trombosis mesenterika
Pankreatitis
Emboli paru
Gagal ginjal
Luka bakar berat

Tirotoksikosis
lnfeksi
Selulitis
lnfeksi gigi
Pneumonia
Sepsis
lnfeksi saluran kemih

Pengobatan

Antagonis kalsium
Obat kemoterapi
Klorpromazin (thorazine)
Simetidin (tagamet)
Diazoxid (hyperstat)
Glukokortikoid
Loop diuretics
Olanzapin (zyprexa)
Fenitoin (dilantin)
Propranolol (inderal)
Diuretik tiazid
Nutrisi parenteral total

Noncunpliance
Penyalahgunaan obat
Alkohol
Kokain
DM tldak terdiagnosis

Dikutip dari Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American


Academy of Family Physician, http:1/www.aafp.orglafp/20050501
l1723.hlml

sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular,

hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi


hormone anti diuretik. Keadaa hiperosmolar ini juga akan
memicu timbulnya rasa haus.
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini
jika kehilangan cairan tidak dikompensasi dengan masukan
cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudain
hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi
dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi
jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir
dari proses hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan
elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi.

GEJALAKLINIS
Pasien dengan HHNK, umufirnya berusia lanjut, belum

diketahui mempunyai DM, dan pasien DM tipe-2 yang


mendapatpengaturan diet dan atau obat hipoglikemik oral.
Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin
memperberat masalah, misalnya diuretik.
Keluhan pasien HHNK ialah: rasa lemah, gangguan
penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemuJ<an keluhan

menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya


air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan
keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk

mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan


dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan
saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau

memrmnkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika


terdapat resistensi insulin.
Tidak seperti pasein dengan KAD, pasien HHNK tidak
mengalami ketoasidosis, namun tidak diketahui dengan
jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh

koma

Pada pemeriksaan

fisik ditemukan

tanda-tanda

dehidrasi berat seperti furgor yang buruk, mukosa pipi


yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang
dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula

adalah keterbatasan ketogenesis karena keadaan

ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi.

hiperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas yang rendah


untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk

Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdo-

menghambat ketogenesis namun tidak cukup untuk


mencegah hiperglikemia, dan resistensi hati terhadap

Perubahan pada status mental dapat berkisar dari


disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis
yang timbul berhubungan secara langsung dengan
osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas
semmmencapai lebih dari 350 mOsmperkg (350 mmol per
kg). Kejang ditemukan pada21o/opasien dan dapat berupa
kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapatjuga terjadi
hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit

glukagon.

Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan


timbulnya hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa
oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sel lemak,
ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen
pada otot dan hati, dan stimulasi glukagon pada sel hati
untuk glukoneogenesis mengakibatkan semakin naiknya
konsentrasi glukosa darah. Pada keadaan dimana insulin
tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan konsentrasi
glukosa darah juga tergantung dari status hidrasi dan
masukan karbohidrat oral.
Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis
osmotik, dan mengakibatkan menurunnya cairan tubuh
total. Dalam ruang vaskular, dimana glukoneogenesis dan
masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan

cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan

hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan


peningkatan konsentrasi protein plasma yang mengikuti

men, yang membaik setelah rehidrasi adekuat.

cairan.
Secara klinis HHNK akan sulit dibedakan dengan KAD
terutama bila hasil laboratorium seperti konsentrasi glukosa

darah, keton dan analisis gas darah belum ada hasilnya.


Berikut di bawah ini adalah beberapa gejala dan tanda
sebagai pegangan :
. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari
60 tahun, semakin muda semakin berkurang, dan pada
anak belum pemah ditemukan.
. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM
atau DM tanpa insulin.
. Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85o/opasien

tgl4

METABOLIKENI'OKIITI

mengidap penyakit ginjal atau kardiovaskular, pernah


ditemukan penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan
penyakit Cushing.
Sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain tiazid,

mEq per L ( 145 mmol per L) dan konsentrasi glukosa darah


I . I 00 mg per dL (61 . I mmol per L) maka konsentasi natrium

(2xsodium(mEqpertr*

furosemid, manitol, digitalis, reserpin, steroid,


klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidin dan haloperidol (neuroleptik).
Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit

ry

koreksi:

Untuk menghitung osmolaritas serum efektif dapat


digunakan rumus:

kardiovaskular, aritmia, pendarahan, gangguan


keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik dan
operasi.

PEMERIKSAAN LABORATORIU M
Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK
adalah konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi
(> 600 mg per dL) dan osmolaritas serum yang tinggi
(> 320 mOsm per kg air [normal :290 + 5]), dengan pH
lebih besar dari 7.30 dan disertai ketonemia ringan atau

tidak. Separuh pasien akan menunjukkan asidosis


metabolik dengan anion gap yang ringan (10 - 12). Jika
anion gap nya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis
diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan
penggnnaan diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis

metabolik yang dapat menutupi tingkat keparahan


asidosis. Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN),

dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK


menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai macam

elektrolit.
Konsentrasi natrium harus dikoreksi jika konsentrasi
glukosa darah pasein sangat meningkat. Jenis cairan yang
Sodium + 165 x (Glukosa darah (mg per dL)
r00

(mEq/L)

100)

diberikan tergantung dari konsentrasi natrium yang sudah


dikoreksi, yang dapat dihitung dengan rumus :
Misalkan, konsentrasi natrium hasil pemeriksaan 145

(2x l5o)*

l'lP:3oo+61:361
l8

mosm/kg

Misalkan, konsentrasi natrium I 5 0 mEq per L ( I 5 0 mmol


per L), dan konsentrasi glukosa darah 1,100 mg per dL.
Maka osmolaritas serum efektifnya :

PENATAI-AKSANAAN

KAD, hanya cairan


yang diberikan adalah cairan hipotonis (1/2N, 2A).
Penatalaksanaannya serupa dengan

Pemantauan konsentrasi glukosa darah harus lebih ketat,

dan pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati.


Respons penurunan konsentrasi glukosa darah lebih baik.
Walaupun demikian, angka kematian lebih tinggi, karena
lebih banyak terjadi pada usia lanjut, yang tentu saja lebih
banyak disertai kelainan organ-organ lainnya.
Penatalaksanaan HHNK memerlukan monitoring ketat
terhadap kondisi pasien dan responsnya terhadap terapi
yang diberikan. Pasien-pasien tersebut harus dirawat, dan
sebagian besar dari pasien-pasien tersebut sebaiknya
dirawat di ruang rawat intensif atau intermediate.
Penatalaksanaan HHNK meliputi lima pendekatan: 1).
Rehidrasi intravena agresif; 2). Penggantian elektrolit; 3 ).
Pemberian insulin intravena; 4). Diagnosis dan manajemen
faktor pencetus dan penyakit penyerta; 5). Pencegahan.

Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan

HHNK adalah penggantian cairan yang agresif, dimana


145 1 155-x11=100-100)
100

t4s

t6,s

16l,

mEq/L

sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan


defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau
totalrata-rata 9 L). Penggunaan cairan isotonik akan dapat

menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik


Elektrolit
Natrium
Klorida
Kalium
Fosfat
Kalsium
Magnesium
Air

Hilang
7 - 13 mEq per kg

3-TmEqperkg

5-15mEqperkg
70 - 14O mmol per kg
50 - 100 mEq per kg
50 - 100 mEq per kg
100 - 200 mL per kg

Dikutip dari Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American


Acdemy of Family Physician, htto://wrvw.aafo.oro/afol20050501/ 1723.
html

mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan


potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus.
Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan lL normal
saline perjam. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemilg
mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jkapasien dalam
keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor
hemodinamik.

Pada orang dewasa,

risiko edema serebri rendah

sedangkan konsekuensi dari terapi yang tidak memadai


meliputi oklusi vaskular dan peningkatan mortalitas.

1915

KOMA HIPEROSMOIAR HIPERGLIKEMIK NON I(ETOTIK

Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan


menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini
dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi
cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak
bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini
biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang
atau gangguan ginjal.

pasien dengan hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini,

Elektrolit

Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi

Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui


pasti, karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan
terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan

mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel.


Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan

irama jantung pasien juga harus dimonitor.


Jika konsentrasi kalium awal <3.3 mEq per L (3.3 mmol
per L), pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium(2/
3 kalium klorida dan ll3 kalium fosfat sampai tercapai

konsentrasi kalium setidaknya 3.3 mEq per L). Jika


konsentrasi kalium lebih besar dari 5.0 mEqperL (5.0 mmol
per L), konsentrasi kalium harus diturunkan sampai di
bawah 5.0 mEq per L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika konsentrasi awal
kalium antara 3.3-5.0 mEq per L, maka 20-30mEq kalium
harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang
diberikan (2/3 kalium kloridadanll3 kalium fosfat) untuk

peningkatan konsentrasi C-reactive protein dan


interleukin-6 merupakan indikator awal sepsis pada pasien

denganHHNK.

KOMPLIKASITERAPI

vaskular, infark miokard, low-flow syndrome, disseminated

intravascular coagulopathy dan rabdomiolisis.


Overhidrasi dapat menyeb abkan adult respiratory dis tres s
syndrome dan edema serebri, yang jarang ditemukan namun
fatal pada anak-anak dan dewasa muda. Edema serebri
ditatalaksana dengan infus mnitol dengan dosis l-2glkgBB
selama 30 menit dan pemberian deksametason intravena.

Memperlambat koreksi hiperosmolar pada anak-anak,


dapat mencegah edema serebri.

PENCEGAHAN

Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah


perlunya penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan
konsentrasi glukosa darah dan compliance yang tinggi
terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yangjuga

perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap

persediaan air. Jika pasein tinggal sendiri, teman atau

Hal yang penting dalampemberian insulin adalahperlunya

menengok pasien untuk memperhatikan adanya perubahan


status mental dan kemudian menghubungi dokter jika hal
tersebut ditemui.
Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam

mempertahankan konsentrasi kalilxn antara 4.0 mEq per


(4.0 mmolperL) dan 5.0 mEqperL.

lnsulin
pemberian cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika
insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan
akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan
perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau kematian.
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB
secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,lU/kgBB per
jam sampai konsentrasi glukosa darah turun antara 250
mg per dL (13.9 mmol per L) sampai3OO mg per dL. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mgldL
per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika
konsentrasi glukosa darah sudah mencapai di bawah 300
mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena
dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai
pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.

anggota keluarga terdekar sebaiknya secara rutin

perawatan harus diberikan edukasi yang memadai


mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga edukasi
mengenai pentingnya asupan cairan yang memadai dan
pemantauan yang ketat.

PROGNOSIS
Biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien bukan
disebabkan oleh sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh

penyakit yang mendasari atau menyertainya. Angka


kematian berkisar antara 30-50o/o. Di negara maju dapat
dikatakan penyebab utama lematian adalah infeksi, usia
lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara
maju, angka kematian dapat ditekan menj adisekitar l2o/o.

IDENnHKASI DAN MENGATASI FAKIOR PETIYEBAB


Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan
antibiotik kepada semua pasien yang dicurigai mengalami

infeksi, namun terapi antibiotik dianjurkan sambil


menunggu hasil kultur pada pasien usia lanjut dan pada

REFERENSI
Boedisantoso Asman. Korna Hiperosmolar Hiperglikemik Non

Ketotik. Dalam : Sjaifullah Noer Mh et al Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid I. Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit

19L6

FKUr, 1996. 627-30.


A and Kettyle WM. Diabetic ketoacidosis

Delaney MF, Zisman

MEXABOI.U(ENDOTRIN

Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state. American Academy


and

hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome. Endocrinol


and Metab Clin North Am 2000 ;29 : 683-705.
Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Barrett EJ, Kreisberg
RA, Malone JI, et al. Hyperglycemic crises in diabetes. Diabetes
Care 20O4;27 (suppl 1):595.
Sagarin M. Hyperosmolar Hyperglycemic nonketotic coma.
Accessed from: wwwemedicine.com. Accessed at : November
20,2005. Last updated : January 13, 2005.
Soewondo P. Ketoasidosis diabetik. Dalam : Penatalaksanaan
Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ; 2000.p. 89-96

of

Family Physician, Accessed from : http://www.aafp.org/ afp/


2005050I/I723.html. Accessed at : 20th Januari 2006.
Trachtenbarg

7t (9):

D. Diabetic ketoacidosis. Am Fam Physician. 2005


1705-14.

Osama Hamdy. Diabetic ketoacidosis. Accessed from:


www.emedicine.com. Accessed at '. 20h November 2005. Last
updated: June 13,2004.
Waspadji Sarwono. Kegawatan pada diabetes melitus. Dalam:
Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000.p. 83-8.

299
ASIDOSIS LAKTAT
Pradana Soewondo, Hari Hendafto

sebesar 10-30%. Stabilitas konsentrasi asam laktat dalam

PENDAHULUAN

keadaan basal merupakan gambaran keseimbangan antara

Asam laktat merupakan zat perantara metabolik yang tidak


toksik dan dapat diproduksi oleh semua sel. Banyaknya
asam laktat yang terdapat di berbagaijaringan dan organ
bervariasi tergantung pada keadaan hemodinamik maupun
metabolik seseorang. Asam laktat darah juga telah lama
dikenal sebagai indikator beratnya penyakit dan sebagai
prediktor prognosis.
Peningkatan konsentrasi asam laktat dalam darah

produksi dan penggunaan asam laktat.


Meskipun hampir semua jaringan dapat memproduksi
asam laktat; eritrosit, otot skelet, otak, dan medulla ginjal
merupakan sumber utama asam laktat. Asam laktat dibentuk
daripiruvat dalam sitosol oleh enzim dehidrogenase (LDH)

sering dihubungkan dengan defek pada metabolisme


aerob, akibat hipoksia atau iskemia yang terjadi pada

mitokondria. Asam laktat merupakan suatu berfiik end product sehingga sebelum dapat memasuki suatu jalur reaksi
metabolisme tertentu harus diubah dahulu menjadi piruvat

yang terdapat di semua sel dalam konsentrasi yang tinggi.


Sintesis asam laktat meningkat jika laju pembentukkan

piruvat dalam sitosol melebihi laju penggunaan oleh

pasiensyok, atau sebagai petunjuk pasien berada dalam


keadaan gawat.Untuk kebutuhan energi, eritrosit dan sel
anaerob memproduksi adenosinetriphosphate (NIP)
melalui jalur glikolisis non oksidatif dengan melepas asam
laktat. Melalui proses daru ulang, hati mensintesis glukosa

kernbali.

Laktat dehidrogenase

dari asam laktat, dengan menggunakan AT? hasil oksidasi


beta asam lemak bebas.

Piruvat

Hipoksia yang terjadi pada keadaan sepsis

NADH +

menyebabkan gangguan pada sistem metabolisme,


konsentrasi asam laktat darah akan meningkat dan ini
dianggap sebagai akibat peningkatan produksi asam

Laktat

H-

NAD'

Gambar 1. Metabolisme laktat dan piruvat

laktat perifer dan inhibisi metabolisrne asam laktat di hati.


Reaksi ini akan menyebabkan proses oksidasi NADH

menjadi NAD* yang dibutuhkan untuk proses glikolisis.


Pada keadaan anaerob misal pada aktivitas fisik berat,
dimana oksigen tidak mencukupi untuk mengoksidasi
piruvat untuk membentuk ATP, NADH yang dihasilkan
dari proses glikolisis tidak dapat direoksidasi karena
kurangnya oksigen untuk membentuk NAD* sehingga
rangkaian proses glikolisis akan berhenti. Pada keadaan
tersebut oksidasi glukosa oleh sel otot tidak dapat
berlangsung sempurna, tapi bahkan dalam keadaan
demikianpun sejumlatr kecil energi tetap dapat dikeluarkan
ke sel melalui proses awal glikolisis karena reaksi kimia

METABOLISME ASAM LAKTAT


Asam laktat merupakan produk sampingan dari proses
akhir glikolisis, oleh karena itu asam laktat dapat
diproduksi oleh semua sel. Produksi asam laktat kurang
lebih 1400 mmol per harinya dan konsentrasinya dalam
darah normal berkisar antara 0,4-1,2 mmol/L. Hati
merupakan organ utama tempat metabolisme asam laktat,
yaitu sekitar40% dari asam laktat yang diproduksi dalam
keadaan basal, sedangkan penggunaan lainnya oleh ginjal

t9l

1918

MEIABOIJI(ENT'OIRIN

pada pemecahan glukosa menjadi asam piruvat tidak


memerlukan oksigen. Dalam keadaan darurat seperti ini,

sel akan tergantung

dengan cepat dioksidasi sehingga konsentrasi zat tersebut

berkurang. Sebagai akibatnya reaksi kimia untuk

sepenuhnya pada reaksi

pembentukkan asam laktat berbalik, asam laktat kini diubah


kembali menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis

pembentukkan asam laktat untuk memperoleh NAD * yang


harus dibentuk melalui reaksi lain yaitu dengan meminjam
elektron dari NADH melalui perubahan piruvat menjadi

dihati.

Keseluruhan rangkaian proses mulai perubahan

asam laktat sesuai reaksi di atas.

glukosa menjadi asam laktat dijaringan perifer dan asam

Jadi pada keadaan anaerob, proses pembentukkan


energi melalui metabolisme piruvat terhambat, oksidasi
aerobik pada siklus asam sitrat terblokade dan piruvat
akhirnya terkonversi menjadi asam laktat. Perubahan
NADH menjadi NAD* selama konversi piruvat menjadi
asam laktat tadi menyebabkan proses glikolisis dapat
berlangsung tanpa harus melalui oksidasi NADH oleh
oksigen. Pada keadaan di atas jika kemudian oksigen

laktat kembali diubah menjadi glukosa di hati dikenal


sebagai siklus Cori. Pada keadaan normoksia (Gambar 2),
konsentrasi laktat yang dilepas oleh eritrosit biasanya

perlahan kembali normal setelah otot diistirahatkan,

tidak tinggi dan laktat terutama didaur ulang di hati melalui


proses glukoneogenesis. Pada organ lain seperi otot atau
jantung, dalam keadaan normoksia substrat utama adalah
glukosa yang akan dioksidasi menjadi CO, dan hanya
sebagian kecil akan dilepas sebagai laktat.
Pada keadaan hipoksia (Gambar 3), akan menyebabkan
konsentrasi laktat menjadi lebih tinggi akibat inhibisi laktat

NADH

dan H* serta asam piruvat ekstra yang telah dibentuk

GLUKOSA

GLUKOSA

PIRUVAT ---}

Gambar 2. Jalur laktat saat normoksia. Hampir semua laktat yang diproduksi akan dioksidasi di hati menjadi
glukosa kemudian dipakai oleh organ-organ

PIRUVAT

---}

K._

Gambar 3. Jalur laktat saat hipoksia. Akibat inhibisi phosphoenol pyruvate karboksikinase (PEPK), di hati laktat
meningkat sehingga dapat digunakan oleh otot. Glukosa tetap digunakan oleh jantung dan organ vital lain.

t9t9

ASIDOSISLAKIAI

di hati. Di banyak tempat seperti di otot, kompetisi antara


laktat dengan glukosa sebagai sumber karbohidrat untuk

yang dilakukan oleh Mehta dld<. Nilai pH serum juga kurang


sensitif untuk menilai keadaan asidosis laktat karena dalam

oksidasi akan didominasi oleh laktat. Keadaan ini

beberapa kasus bisa didapatkan pH serum normal pada

memungkinkan glukosa dicadangkan untuk organ--organ


yang penting seperti jantung.
Pada manusia telah dibuktikan bahwa hipoksia kronis

pasiensakit berat, kemungkinan akibat kompensasi dari


pernapasan atau pada saat bersamaan terjadi alkalosis

akan menyebabkan peningkatan oksidasi glukosa di


jantung, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa
peningkatan asam laktat adalah suatu kejadian yang
memungkinkan oksidasi asam laktat atau glukosa sebagai
substrat aerob sesuai dengan prioritas metabolisme pada
pasien - pasien yang kritis.
Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa sulit
unhrk menentukan mekanisme peningkatan konsentrasi
asam laktat darah hanya dari pemeriksaan biokimiawi rutin. Konsentrasi asam laktat yang tinggi dapat disebabkan
peningkatan produksi asam laktat atau penurununan
pemakaian asam laktat atau kedua-duanya sekaligus.
Pemeriksaan asam laktat dan piruvat dapat memberikan
estimasi defisit metabolisme oksidatif oleh karena rasio
laktat piruvat menggambarkan akumulasi ekuivalen reduksi
(NADII) dalam sel. Normal ratio L/P adalah 10 : I . Meskipun

merupakan estimasi yang kasar, peningkatan rasio L/P

menunjukkan gangguan oksidasi meskipun mungkin


hanya terjadi pada gangguan oksidasi yang berat
(kapasitas metabolisme tubuh terutama hati sangat tinggi

metabolik.

Peningkatan asam laktat sering dihubungkan dengan

defek pada metabolisme aerob akibat hipoperfusi dan


hipoksia atau sebagai petunjuk terapi pasien dalam keadaan
gawat. Walaupun demikian tidak semua asidosis laktat

disertai hipoksia. Cohen dan Wood kemudian


mengklasifftan asidosis laktat menj adi 2 kelas, yaitu tipe A
yang umumnya disebabkan hipoksia dan tipe B yang
bukan disebabkan hipoksia dan masih dibagi lagi menjadi
tipe Bl yang disebabkan adanya penyakit dasar tertentu,
B2 jika penyebabnya obat-obatan atau intoksikasi dan
83 jika penyebabnya gangguan metabolisme sejak lahir.

PENGUKURAN ASAM LAIfiAT DARAH


Asam laktat darah telah lama diketahui sebagai indikator
beratnya penyakit dan sebagai faktor prediktor progrrosis. Asam laktat darah juga dapat digunakan sebagai

monitor pengelolaan syok dan sebagai variabel

tingginya konsentrasi asam laktat dalam darah dengan

prognosis pada berbagai keadaan akut dan kritis. Misalnya


dengan memantau laktat darah pada pasien infark miokard
akut dapat diprediksi pasien yang akan jatuh ke dalam
syok kardiogenik. Pada sebagian besar pasien yang masuk
ke ruang darurat, nilai laktat sangat sensitif dan prediktif
untuk menilai angka mortalitas di rumah sakit.
Peretz dkk mendapatkan peningkatan angka kematian
dari 1 8 %ohinggaT3 %opadapasiensakit berat dengan nilai
asam laktat > 4,4 mmol,/L. Iberti dkk melaklkan penelitian
terhadap 56 pasien dewasa yang dirawat di ICU dengan
konsentrasi asam laktat > 2,5 mmoL. Dari penelitian itu
didapatkan bahwa peningkatan konsentrasi asam laktat
dalam darah tanpa memandang berat ringannya asidosis
yang te{adi, berhubungan dengan prognosis pasien yang
dirawat di ICU. Broder & Weil mendapatkan 89 % dan

angka mortalitas pada pasien yang dirawat di rumah sakit.

pasiensyok dengan konsentrasi laktat > 4 mmol/L

Anion gap menggambarkan selisih antara nilai anion


dan kation serum tak terukur dan bisa dihitung dengan
rumus: Anion gap: Na - (Cl+ HCO,). Peningkatan nilai
anion gap sering terjadi akibat peningkatan anion tak

meninggal dunia. Pengukuran laktat untuk memprediksi


kemungkinan timbulnya syok sepsis maupun gagal organ
multipel juga dinilai lebih baik dibanding dengan
pengukuran variabel - variabel transpor oksigen.
Beberapa penulis mengatakan bahwa pemeriksaan
konsentrasi asam laktat secara serial selama pengobatan

unhrk mempertahankan keadaan aerob).

DIAGNOSIS
Asidosis laktat adalah suatu keadaan asidosis metabolik
dengan peningkatan asam laktat dan nilai anion gap. Pada
pasiensakit berat, nilai asam laktat masih dianggap normal
sampai < 2 mmoVL. Batasan peningkatan konsentrasi asam
laktat yang digunakan bervariasi diantara masing-masing
peneliti antara 1,3-9,0 mmol,/L sedangkan nilai pH bervariasi
antna7,37 - 7,20 narrtxrkriteria manapun yang digunakan
temyata tetap didapatkan hubturgan bermakna antara semakin

terukur, misal akibat peningkatan anion organik seperti pada


kasus asidosis laktat atau ketoasidosis dan nilai normalnya
adalah sekitar 8 mM. Nilai an ion gap yangmerungkatdisertai

denganpemrunanpH serum lazim digunakan sebagai dasar


diagnosis asidosis laktat meskipun pada prakteknya sering
dijumpai keadaan dimana konsenfiasi asam laktat meningkat
dalam serum namun tidak disertai dengan peningkatan nilai
anion gap. Iberti dkk menunjukkan bahwa temyata anion
gap bukan merupakan parameter yang sensitifuntuk menilai
tet'adinya asidosis laktat. Hasil ini sesuai dengan penelitian

merupakan parameter yang lebih bermakna untuk menilai

prognosis penyakit dibanding pemeriksaan konsentrasi


laktat non serial. Dengan memantau nilai laktat serial dapat
dibedakan antara pasien yang prognosisnya baik atau
buruk. Dari sebuah penelitian didapatkan bahwa pasien
yang menderita syok ternyata prognosisnya lebih baik jika
didapatkan penurunan konsentrasi laktat ( 5-rc %) dalam I
jam setelah mulainya pengobatan.

1920

METABOIIKENDOIRXN

pada sepsis karena endotoksin menghambat enzim


tersebut. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
Tipe A :
Syok (kardiogenik, sepsis, hipovolemi)
Hipoperfusi setempat (hipoksia mesentrika)
Hipoksemia berat
Peningkatan karbon monoksida
Asma berat
Tipe B, terdiri dari :
- Tipe 81:
Diabetes melitus
Gangguan fungsi hati
Keganasan
Sepsis
Feokromasitoma
Defisiensi tiamin
- Tipe 82 :
Biguanid
Etanol
Metanol
Stilene glikol
Fruktosa
Sorbitol
Xilitol
Salisilat
Asetaminofen
Epinefrin
Ritodrin
Terbutalin
Sianida
Nitroprusid
lsoniazid
Propilen glikol
- Tipe 83 :
Defisiensi glukosa-6-fosfatase
Defi siensi fruktosa-1,6-difosfatase
Defisiensi piruvat karboksilase
Defisiensi piruvatdehidrogenase
Gangguan fosforilasi oksidatif

peningkatan metabolisme aerob mungkin lebih


penting daripada defek metabolisme atau metabolisnae
anaerob. Produksi serta oksidasi glukosa dan piruvat
justru meningkat pada keadaan sepsis. Jika piruvat
dehidrogenase distimulasi oleh dikloroasetat, konsumsi
oksigen akan meningkat tetapi produksi glukosa dan
piruvat akan menurun. Hal ini menunjukkan bahwb
hiperlaktatemia pada sepsis terjadi akibat peningkatan
metabolisme aerob.

ASIDOSIS LAKTAT KARENA OBAT

Biguanid
Metformin sudah digunakan lebih dari 40 tahun dalarn
pengobatan DM tipe II. Walaupun demikian, terdapat
kekhawatiran akan efek samping dari metforrnin yang dapat
menyebabkan timbulnya asidosis laktat, dimana angka
mortalitasnya dapat mencap ai So%io.
Penyakit hati dan ginjal, alkoholisme, dan kondisi yang
berkaitan dengan hipoksia (misalnya penyakit jantung dan
paru, pembedahan) merupakan kontraindikasi penggunaan
metformin. Faktor risiko lain asidosis laktat yang diindulcsi
oleh metformin adalah sepsis, dehidrasi, dosis tinggi dan

usia tua. Asidosis laktat itu mungkin disebabkan oleh


pengaruh biguanid menyebabkan naiknya produksi dan
penumnan klirens dari asam laktat yang mengakibatkan

naiknya konsentrasi laktat seluler. Potensial redoks


intraseluler akan beralih dari metabolisme aerobik ke
anaerobik. Penurunan aktivitas piruvat karboksilase yang

ASIDOSIS LAKTAT PADA PASIEN SEPSIS


Hubungan antara perfusi jaringan dengan pH darah
pertama kali dilaporkan oleh Cannon pada tahun 1918.
Metabolisme oksidatif akan tertekan sebagai respon dari
efek sitotoksik yang disebabkan oleh gangguan lintasan
H* di mitokondria-sitoplasma. Hal ini akan menyebabkan
kebutuhan ATP tidak dapat dipenuhi melalui proses
glikolisis dan menyebabkan terjadinya asidosis laktat.
Berdasarkan logika di atas, seharusnya peningkatan
konsentrasi laktat akan berkurang sebanding dengan
perbaikan oksigenasi selular. Namun dalam banyak
kasus seringkali didapatkan konsentrasi laktat yang
tetap meningkat meskipun oksigenasi selular membaik.
Defek produksi energi oksidatif memang menyebabkan
peningkatan laktat namun hal sebaliknya belum tentu
benar, yaitu peningkatan laktat tidak harus merupakan
akibat dari defek proses energi oksidatif.
Saat ini asidosis laktat pada pasiensepsis diduga
lebih banyak disebabkan oleh perubahan pada regulasi

metabolisme dibanding akibat hipoksia jaringan.


Gangguan pada enzim piruvat dehidrogenase dapat terjadi

merupakan rate limiting enzyme pada pembentukan


glukosa dari laktat dapat juga menurunkan metabolisme
laktat di hati.
Pada tahun 1998 Brown dkk membandingkan angka

insidens dari asidosis laktat sebelum dan sesudah


beredarnya Metformin di Amerika Serikat, mereka
menemukan tidak ada perbedaan insidens. Sebelum
adanya metformin, insidensnya sebesar 9,7-16,9 per
100.000. Pada suatu meta analisis oleh Salpeter, insidens
asidosis laktat pada pasien DM tipe II yang menggunakan
metformin sebesar 9,9 per 100.000, sedangkan yang tidak

menggunakan metformin sebesar 8,1 per 100.000.


Sepertinya memang tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara insindens asidosis laktat pada pengguna
Metformin dengan insidens pada pasien dengan DM tipe
II. Hal ini menunjukkan bahwa DM merupakan fakor risiko

untuk terjadinya asidosis laktat, bukan penggunaan


metformin.

Sementara

itu pada penelitian lain ditemukan

bahwa konsentrasi plasma metformin tidak berhubungan


dengan konsentrasi asam laktat dalam darah. Temuan ini

tentunya semakin mempertanyakan hubungan kausal


antara penggunaan metformin dan asidosis laktat.

ASIDOSISL/\KUTT

Etanol
Penyebab penting dari asidosis laktat tipe B adalah
intoksikasi etanol. Metabolisme etanol akan mengasilkan
NADH dan akan mengakibatkan konversi dari piruvat
menjadi laktat (Gambar 4). Keadaan ini biasanya ringan
dan tidak membutuhkan pengobatan.

Etanol

Z5|

NA
Laktat

{-

Asetildehid

DH

+H-

54:505 -8.

Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB, Rumbak MJ. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic, hyperosmolar nonketotic state. In:
Kahn CR & Weir GC, eds. Joslin's Diabetes, 2"d ed. A Waverly

Company 1994:738-770.

Piruvat

Glukosa
Gambar 4. Etanol menyebabkan asidosis laktat

Guyton AC. Human physiology and mechanisms of disease. 3'd ed.


W.B. Saunders Company, Philadelphia 1982.
Huckabee W. Relationships of pymvate and lactate during anaerobic metabolism: Effects of infusion of pyruvate or glucose and
ofhyperventilation. J Clin Invest 1958; 37:244-54.
Iberti TJ, Leibowitz AB, Papadakos PJ, Fischer EP. Low sensitivity
of the anion gap as a screen to detect hyperlactatemia in criticaly
ill patients. Crit Care Med 1990; 18l 275-6.
James JH, Luchette FA, Mc CarterFD, Fischer IE. Lacttte is an unreliable indicator of tissue hypoxia in injury or sepsis. Lancet 1999;

KESIMPULAN
Asidosis laktat terjadi akibat peningkatan konsenhasi asam
laktat darah, yang disebabkan gangguan perfusi dan
hipoksemia. Dalam keadaan normoksemia, asidosis laktat
dapat disebabkan oleh beberapa keadaan seperti biguanid
dan etanol. Tingginya konsenfrasi asam laktat dapat dipakai
sebagai prediktor kegagalan metabolisme karbohidrat dan
berat penyakitlkematian.

REFERENSI
Bakker J, Coffemils M, Leon M, Gris B Vincent J-L. Blood lactate
levels are superior to oxygen-derived variables in predicting
outcome in human septic shock. Chest 1991; 99(4):956-62.
Bakker J, Gris P, Coffemils M, Kahn RJ, Vincent J-L. Serial blood
lactate levels can predict te development of multiple organ
failure following septic shock. Am J Surg 1996; l7l(2):221-6.
Broder G, Weil MH. Excess lactate : An index of reversibility of
shock in human patients. Science, March 1964; 143:. 1457-9.
Glycolysis and the catabolism of hexoses. In: Lehninger AL, Nelson
DL, Cox M, eds. Principles of Biochrmistry, 2"d ed. Worth
Publishers Inc 1993: 400-39.

Luft Friedrich. Lactic Acidosis Update for Critical Care Clinicians. J


Am Soc Nephrol 12:S15-S19, 2001. Disitasi dari : http://
jasn.asnjournals.orglcgilcontent/ful1/l 2/suppl-1 /S I 5 Disitasi
langgal 20 Januari 2006.

Luft FC. Lactic acidosis update for critical care clinicians. J Am

Soc

Nephrol 20OI; 12: S15-S19.


Luft D, Deichsel G, Schmulling RM, Stein W, Eggstein M. Definition of clinicalty relevant lactic acidosis in patients with internal diseases. Am J Clin Pathol 1983; 80: 484-9.
McCormacUames, Kevin Johns, Hugh Tildesley. Metformin's
contra indications should be contraindicated. Canadian Medical

Association. Journal. Ottawa: Aug 30, 2005. VoI.173, Iss.5;


pg. 502,3 pgs. Disitasi dari : http://proquest,umi.com/

pqdweb?did= 893593471 &sid:1&Fmt= 3&clientld=


45625&RQT:309&\rName=PQD Disitasi tanggal 15 September 2005.
Mizock BA, Falk JL. Lactic acidosis in critical illness. Crit care med
1992:'20: 80-93.
Mizock BA. Controversies in lactic acidosis: Implications in critically ill patients. Jama 1987; 258(4):497-501.
Mustafa I. Pintas jantung paru pada bedah jantung menyebabkan
gangguan metabolisme laktat di hati. Disertasi. Jakarta: Bagian

Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2000.


Oh MS, Carroll HJ. Current concepts: The anion gap. N Engl J Med
1977;297(15):814-7.
Pillans. Metformin and fatal lactic acidosis. Centre for Adverse
Reactions Monitoring (CARM), Dunedin. Disitasi dari http://
wwwmedsafe.govt.nzlProfs/PUarticles/5.htm. Disitasi tanggal
20 Jantari 2006.
The peripheral circulation during septic shock. In: Dhainaut JF,
Thijs LG, Park G, eds. Septic shock, l"ted. WIi Saunders 2000:
149-94.

300
KOMPLIKASI KRONIK DI.ABETES:
MEKANISME TER'ADINYA, DIAGNOSIS
DAN STRATEGI PENGELOLAAN
Sarwono Waspadji

PENDAHULUAN
Dari berbagai penelitian epidemiologis sudahjelas terbukti

bahwa insidensi diabetes melitus (DM) meningkat


menyeluruh di semua tempat di bumi kita ini. Penelitian
epidemiologis yang dikerjakan di Indonesia dan terutama
di Jakarta dan berbagai kota besar di Indonesiajugajelas

menunjukkan kecenderungan serupa. Peningkatan


insidensi diabetes melitus yang eksponesial ini tentu akan

diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya


komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai penelitian
prospektif jelas menunjukkan meningkatnya penyakit
akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular
seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti

penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh


darah tungkai bawah. Retinopati merupakan sebab
kebutaan yang paling mencolok pada penyandang
diabetes melitus. Penyandang diabetes melitus semakin
banyak memenuhi ruang dialisis dibanding dengan
beberapa dekade sebelumnya. Demikian pula halnya
dengan penyakit jantung koroner. Tentu saja pengaruh
terhadap kesehatan masyarakat terutama jika ditinjau dari
sudut biaya yang perlu dikeluarkan untuk mengelola
komplikasi kronik tersebut akan sangat membengkak.
Berbagai penelitian baik di r'egara maju maupun negara
berkembang seperti di Republik Rakyat Cina jelas
menunjukkan peningkatan biaya yang harus dikeluarkan

jika komplikasi kronik diabetes sudah terjadi.


Mengelola penyandang diabetes merupakan tugas
yang akan menjadi semakin penting pada pelayanan

primer sebagai mini klinik diabetes. Demikian pula berbagai


rumah sakit dengan saranapengelolaanyang lebih canggih
akan disibukkan dengan rujukan untuk kasus yang lebih
kompleks. Baik apabila para penyandang diabetes melifus
tersebut di kelola pada tingkat pelayanan kesehatan primer
maupun kemudian di tingkat pelayanan kesehatan yang

lebih lengkap peralatannya, jelas tidak diragukan lagi


perlunya identifikasi dini orang yang mempunyai risiko
tinggi untuk terjadinya komplikasi dan kemudian perlunya
ditegakkan diagnosis dini komplikasi kronik DM. Semua
hal tersebut diharapkan akan dapat mengurangi beban
biaya yang harus dipikul masyarakat dibandingkan dengan
mengelola komplikasi yang sudah terjadi.
Walaupun jelas akan terjadinya beban komplikasi
kronik DM yang semakin menggunung di depan kita, saat
ini agaknya nasib para penyandang DM mungkin akan
lebih cerah. Dari berbagai penelitian berskala besar sudah
dapat dibuktikan bahwa dengan cara pengelolaan yang
modern, disertai dengan pemantauan yang juga lebih baik
akan dapat dicapai pengendalian keadaan metabolik yang
lebih baik lagi. Demikian pula halnya dengan pengaruh
yangjelas nyata dan baik dari pendidikan danpenyuluhan,
semuanya bersama secara bermakna akan dapat mencegah
kemungkinan terjadinya komplikasi lconik DM, setidaknya
mengurangi laju perburukan komplikasi DM yang sudah
terjadi.
Mengingat adanya berbagai kemajuan dalam bidang
ilmu biologi kedokteran dan juga teknologi informasi, para
klinisi dan para peneliti ditantang untuk selalu menambah

kesehatan saat ini. Pengelolaan diabetes melitus akan

khasanah pengetahuannya dan menerapkan apa yang


diketahuinya sedemikian rupa sehingga bermanfaat untuk

banyak dilaksanakan pada tingkat pelayanan kesehatan

efisiensi dan keberhasilan pengelolaan kesehatan terutama

1922

L923

KOMPI.IKAIII RONIK DTABETES

pengaruh terhadap terjadinya komplikasi kronik melalui

darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh


sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespons terhadap

adanya perubahan pada sistem vaskular. Pada


penyandang diabetes melitus terjadi berbagai macam
perubahan biologis vaskular dan perubahan-perubahan

berbagai susbtansi vasoaktif dalam darah, terutama


angiotensin IL Di pihak lain adanya hiperinsulinemia
seperti yang tampak pada DM tipe 2 ataru pun juga

lersebut meningkatkan kemungkinan tojadinya komplikasi

pemberian insulin eksogen ternyata akan memberikan


stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan yang
te4adi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot polos
pembuluh darah maupun pada sel mesangial. Jelas baik
faktor hormonal maupun faktor metabolik berperan dalam
patogenesis teqadinya kelainan vaskular diabetes.
Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain

untuk penyandang diabetes. Diabetes memberikan

kronik diabetes melitus. Dengan demikian, pengetahuan


mengenai diabetes dan komplikasi vaskularnya baik
mengenai mekanisme terjadinya, metoda deteksi dini
maupun sfiategi pengelolaannya menjadi penting untuk
dimengerti dan diketahui.

yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik


diabetes (jaringan

MEKANISME TERJADINYA KOMPLIKASI KRONIK


DIABETES MELITUS

sel reti

Jika dibiarkan tidak dikelola dengan bail! diabetes melitus


akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik,

akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum


glukosa tenebut dipakai untuk energi di otot maupun untuk
kemudian disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada

baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya


pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal

merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik

keadaan hiperglikemia

diabetes melitus. Kelainan dasar tersebut sudah dibuktikan

kronih tidak cukup teqadi down

regulation dari sistem transportasi glukosa yang noninsulin dependen ini, sehingga sel akan kebanjiran

|r;rjudi pada parz penyandang diabetes melitus maupun


juga pada berbagai binatang percobaan. Perubahan dasar/
disfirngsi tersebut terutamaterjadi pada endotel pembuluh
darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel
mesangial ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada
pertumbuhan dan kesintasan sel, yang kemudian pada

masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai

hiperglisolia.

Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis

biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi untuk


te{adinya perubahan dasar terbentrknya komplikasi kronik
gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi
diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti
vaskular diabetes. Pada retinopati diabetik proliferatif, ' ^5
jalur
reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik,
\S
pembenhrkan
perisit
didapatkan hilangnya sel

dan terjadi

mikroanewisma.Di
aliranpembuluhdar

.N

jalur pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya spesies


glikosilasi lanjut intaselular.

Jalu
Endothelial Growth Factor=VEGF) dan

selanjutnya

Pada
glomeruakan
menyebabkan terjadinya penebalan membran basal,
ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua itu
akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan

memacu te{adinya neovaskularisasi pembuluh darah.


nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan
lar, dan disertai meningkatnya matriks ekstraselular

kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang


ke terjadinya
Terjadinya plak aterosklerosis pada daerah

glomerulosklerosis.

mengarah

subintimal

Pad^
deng

enzimredukiase aldosa,

, glukosa akan diubah


menjadi sorbitol. Kemudian oleh sorbitol dehidrogenase
dengan memanfaatkan nikotiamid adenin dinukleotida
teroksidasi (NAD*), sorbitol akan dioksidasi menjadi

fruktosa. Sorbitol dan fruktosa keduanya tidak


terfosforilisasi, tetapi bersifat sangat hidrofilik, sehingga

lamban penetrasinya melalui membran lipid bilayer.


Akibatnyaterjadiakumulasipoliolintaselular,danselakan
kembang, bangftak akibat masgkrya air ke dalam sel karena
proses osmotik. Sebagai akibat lainkeadaantersebut, akan

terjadi pula imbalans ionik dan imbalans metabolit yang

pembuluh darah yang kemudian berlanjut pada


secara keseluruhan akan mengakibatkan terjadinya
terbentuknyapenyumbatanpembuluhdarahdankemudian kerusakanselterkait.
Aktivasi jilur poliol akan menyebabkan meningkatnya
sindrom koroner akut semuanya sudah dibicarakan dengan
lebih rinci pada berbagai kesempatan lain.
turn over NADPH, diikuti dengan menurunnya rasio
Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada
NADPH sitosol bebas terhadap NADP*. Rasio sitosol
diabetes melitus meliputi terjadinya imbalans metabolik NADPH terhadap NADP* ini sangat penting dan kritikal
maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh untuk fungsi pembuluh darah. Menurunnya rasio NADPH

1924

METABOLIKENDOIGIN

sitosol terhadap NADP* ini dikenal sebagai keadaan


Hal lain yang penting pula adalah bahwa
ing dan diperlukan
Juga

Jalur Stres Oksidatif


Stres oksidatif terjadi jika ada peningkatan pembentukan
radikal bebas dan menurunnya sistem penetralan dan

Glutation reduktase

pembuangan radikal bebas tersebut. Adanya peningkatan

untuk menetralisasikan
Juga
berbagai oksidans intraselular. Menurunnya rasio NADPH

menyebabkan terjadinya proses autooksidasi glukosa dan

untuk

terhadap NADP* dengan demikian menyebabkan


terjadinya stres oksidatif yang lebih besar. Terjadinya
hipergliksolia melalui jalur sorbitol ini juga memberikan
pengaruh pada beberapa jalur metabolik lain seperti
terj adinya glikasi nonenzimatik intraselular dan aktivasi
protein kinase C.

Jalur Pembentukan Produk Akhir Glikasi Lanjut


Pioses glikasi protein non-enzimatik terjadi baik intra
maupun ekstraselular. Proses glikasi ini dipercepat oleh
adanya stres oksidatif yang meningkat akibat berbagai
keadaan dan juga oleh peningkatan aldosa. Modifikasi
protein oleh karena proses glikasi ini akan menyebabkan
terjadinya perubahan pada jaringan dan perubahan pada
sifat sel melalui terjadinya cross linking protein yang

terglikosilasi tersebut. Perubahan ini akan menyebabkan


perubahan fungsi sel secara langsung, dapat juga secara
tidak langsung melalui perubahan pengenalan oleh
reseptornya atau perubahan pada tempat pengenalannya
sendiri.
Pengenalan produk glikasi lanjut yang berubah oleh
reseptor AGE (RAGE : Rec eptorfor Advanced Glycation
End Product)mungkin merupakan hal yang penting untuk
kemudian terjadinya komplikasi kronik diabetes. Segera
setelah perikatan antara RAGE dan ligandnya, akan terjadi

aktivasi mitogen activated protein kinase (MAPK)


dan transformasi

inti dari faktor traskripsi NF-kB, sehingga

terjadi perubahan transkripsi gen target terkait


dengan mekanisme proinflamatori dan molekul perusak
jaringan.

Jalur Protein Kinase


Hiperglikemia intraselular (hiperglisolia) akan
menyebabkan meningkatnya diasilgliserol (DAG)

stres oksidatif pada penyandang diabetes akan


berbagai substrat lain seperti asam amino dan lipid.
Peningkatan stres oksidatif juga akan menyebabkan
terjadinya peningkatan proses glikasi protein yang
kemudian berlanjut dengan meningkatnya produk glikasi
lanjut. Peningkatan stres oksidatif pada gilirarurya akan
menyebabkan pengaruh langsung maupun tidak langsung

terhadap sel endotel pembuluh darah yaitu dengan


terjadinya peroksidasi membran lipid, aktivasi faktor
transkripsi (NF-rB), peningkatan oksidasi LDL dan
kemudian juga pembentukan produk glikasi lanjut.
Memang didapatkan saling pengaruh antara produk
glikasi lanjut dan spesies oksigen reaktif(reactive oxygen
spesies: ROS). Produk glikasi lanjut akan memfasilitasi

pembentukan spesies oksigen reaktif, sebaliknya spesies


oksigen reaktif akan memfasilitasi pembentukan produk
glikasi lanjut. Spesies okigen reaktif akan merusak lipid
dan protein melalui proses oksidasi, cross linking dan
fragmentasi yang kemudian memfasilitasi meningkatnya
produksi AGE. Sebaliknya produksi AGE juga akan
memfasilitasi pembentukan ROS, melalui perubahan
struktural dan perubahan fungsi protein (pembuluh darah,
membran sel dsb)
Seperti telah dikemukakan, proses selanjutnya setelah
berbagai jalur biokimiawi yang mungkin berperan pada
pembentukan komplikasi kronik DM melibatkan berbagai
proses patobiologik seperti proses inflamasi, prokoagulasi

dan sistem renin angiotensin. PPAR juga dikatakan


mungkin terlibat pada proses patobiologik terjadinya
komplikasi kronik DM.

lnflamasi
Dari pembicaraan di atas tampak bahwa berbagai
mekanisme dasar mungkin berperan dalam terbentuknya

intraselular, dan kemudian selanjutnya peningkatan

komplikasi kronik DM yaitu antara lain aktivasi jalur


reduktase aldosa, stres oksidatif, terbentuknya produk
akhir glikasi lanjut atau prekursornya serta aktivasi PKC,

protein Kinase C, terutama PKC Beta. Perubahan tersebut

yang semuanya itu akan menyebabkan tet'adinya disfungsi

kemudian akan berpengaruh pada sel endotel,

endotel, mengganggu dan mengubah sifat berbagai

menyebabkan terjadinya perubahan vasoreaktivitas

protein penting dan kemudian akan memacu terbentuknya

melalui keadaan meningkatnya endotelin I

dan

menumnnya e-NQS. Peningkatan PKC akan menyebabkan

proliferasi sel otot polos dan juga menyebabkan


terbentuknya sitokin serta berbagai faktor perhrmbuhan
seperti TGF Beta dan VEGF. Protein kinase C juga akan
berpengaruh menurunkan aktivitas fibrinolisis. Semua

keadaan tersebut akan menyebabkan perubahanperubahan yang selanjutnya akan mengarah kepada
proses angiopati diabetik.

sitokin proinflamasi serta faktor pertumbuhan seperti


TGF-B danVEGF. Berbagai macam sitokin seperti rnolekul
adhesi (ICAM, VICAM, E-selectin, P-selectin dsb.)
dengan jelas sudah terbukti meningkat jumlahnya pada
penyandang DM. Prototipe petanda adanya proses
inflamasi yaitu CRP dan NF-rB pada penyandang DM juga
jelas meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi
Al c. Jelas bahwa proses inflamasi penting pada terjadinya
komplikasi kronikDM.

t92s

KOMPT.IKASI KRONIK DIABETES

Peptida Vasoaktif
Berbagai peptida berpengaruh pada pengaturan pembuluh

darah, dan disangka mungkin berperan pada terjadinya


komplikasi kronik DM. Insulin merupakan peptida pengatur

yang terutama mengatur konsentrasi glukosa darah.

Setelah melihat berbagai kemungkinan

jalur mekanisme

terjadinya komplikasi kronik DM serta selanjutnya


keterlibatan berbagai proses patobiologik lain, tampak
bahwa yang terpenting pada pembentukan dan kemudian
lebih lanjut progresi komplikasi vaskular diabetes adalah

Insulin juga mempunyai peran pengatur mitogenik. Pada


konsenkasi yang biasa didapatkan pada penyandang DM
dan hipertensi, insulin dapat memfasilitasi terjadinya

hiperglikemia, resistensi insulin, sitokin dan substrat


vasoaktif. Tampak pula bahwa apa pun jalur mekanisme

proliferasi sel seperti sel otot polos pembuluh darah.


Insulin juga mempunyai pengaruh lain yaitu sebagai

adalah adanya hiperglikemia kronik dan selanjutnya


peningkatan glukosa sitosolik (hiperglisolia). Apakah
dengan menurunkan dan memperbaiki keadaan

hormon vasoaktif. Insulin secara fi siologis melalui NO dari

yang terjadi dan proses lain yang terlibat yang terpenting

endotel, mempunyai pengaruh terhadap terjadinya

hiperglikemia ini kemudian dapat terbukti akan menurunkan

vasodilatasi pembuluh darah. Pengaruh ini bergantung


pada banyaknya insulin dalam darah (dose dependent).

komplikasi kronik DM?


Beberapa penelitian epidemiologis dalam skala besar
dan jangka lama seperti UKPDS telah dapat membuktikan

Pada keadaan resistensi insulin dengan adanya


hiperinsulinemia pengaruh insulin untuk terjadinya
vasodilatasi akan menurun.
Peptida vasoaktifyang lain adalah angiotensin II, yang

dikenal berperan pada patogenesis terjadinya


pertumbuhan abnormal pada jaringan kardiovaskular dan

jaringan ginjal. Pengaruh angiotensin II dapat terjadi


melalui 2 macam reseptor yaitu regeptor ATI dan reseptor
AT2. Sebagian besar respons fisiologis terhadap
angiotensin berj alan melalui reseptor AI 1 . Penghambatan
terhadap kerja angiotensin II memakai Ace
inhibitor terbukti dapat mengurangi kemungkinan
te4'adinya penyakit kardiovaskular.

dengan sangat baik bahwa dengan memperbaiki


hiperglikemia melalui berba gai cara dapat secara bermakna
menurunkan komplikasi kronik DM, terutama komplikasi
mikrovaskul ar, y ang merupakan komplikasi kronik khas
DM akibat hiperglikemia. Sedangkan untuk komplikasi
makrovaskular walaupun jelas didapatkan penurunan
tetapi penurunan tersebut tidak bermakna. Kemungkinan
besar karena untuk terjadinya komplikasi makrovakular
banyak sekali faktor lain selain hiperglikemia yang juga
berpengaruh, seperti faktor tekanan darah danjuga faktor
lipid. Pada UKPDS jelas didapatkan bahwa menurunkan
tekanan darah tinggi dapat memberikan pengaruh yang

nyata bermakna terhadap penurunan komplikasi


Prokoagulan
Segera setelah terjadi aktivasi PKC akan te{adi penumnan

makrovaskular DM. Berbagai faktor lain terkait komplikasi

kronik DM, termasuk merokok tentu saja harus

fungsi fibrinolisis dan kemudian akan menyebabkan

diperhatikan dalam usaha menurunkan tingkat kejadian

meningkatnya keadaan prokoagulasi yang kemudian pada


gilirannya akan menyebabkan kemungkinan penyumbatan
pembuluh darah. Pada penyandang DM dengan adanya

berbagai komplikasi laonik DM. Pada pembicaraan berikut

hiperglikemia melalui berbagai mekanisme akan


menyebabkan terjadinya gangguan terhadap pengaturan
berbagai macam fungsi trombosit, yang kemudian juga
akan menambah kemungkinan terjadinya keadaan
prokoagulasi pada penyandang DM. Dengan demikian
jelas adanya peran faktor prokoagulasi pada kemungkinan
terjadinya komplikasi kronik DM.
PPAR
Ekspresi PPAR didapatkan pada berbagaijaringan vaskular

dan berbagai kelainan vaskular, terutama pada sel otot


polos, endotel dan monosit. Ligand terhadap PpAR alpha
terbukti mempunyai efek inflamasi. Pada tikus percobaan
yang tidak mempunyai PPAR alpha didapatkan respons
inflamasi yang memanjang jika tikus tersebut distimulasi
dengan berbagai stimulus. Pada sel otot polos pembuluh
darah, asam fibrat, (suatu ligand PPAR) terbukti dapat
menghambat signal proinflamatori akibat rangsangan

sitokin dari NF-kB dan APl. Dari beberapa kenyataan


tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPAR terkait juga
dengan terjadinya komplikasi kronik DM.

akan dikemukakan hal-hal yang perlu dikerjakan untuk


berbagai faktor terkait komplikasi DM tersebut, yaitu
untuk diagnosis dini dan strategi pengelolaannya.

CARA DIAGNOSIS DINI


Mencegah jauh lebih baik dari mengobati. Pemeo ini juga
sangat tepat untuk diterapkan pada komplikasi kronik

DM. Biaya yang diperlukan akan sangat membengkak


sekiranya sudah terjadi komplikasi kronik DM. Oleh
karena itu mengenal berbagai faktor risiko terjadinya
komplikasi vaskular kronik DM dan kemudian usaha
menegakkan diagnosis dini menjadi sangat penting
maknanya.

Retinopati
Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai
dari retinopati diabetik non-proliferatif sampai perdarahan

retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut lagi


dapat mengakibatkan kebutaan. Diagnosis dini retinopati
dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin.

METAE()IIKENIPIRD{

1926

Pada

praktik pengeloaan DM sehari-hari, dianjurkan untuk

memeriksa retina mata pada kesempatan pefiama


pertemuan dengan penyandang DM dan kemudian setiap
tahun atau lebih cepat lagi kalau diperlukan sesuai dengan
keadaan kelainan retinanya.
Ada beberapa cara unfirk memeriksa retina:
Cara Langsung dengan memanfaatkan oftalmoskop

.
.
.
.
.
.

standard
Oftalmoskopi Indirek denganslit lamp bio-microscope

Fotografi Retina (cara penjaringan yang paling


dianjurkan)

Kelainan yang ada pada retina sangat bervariasi.


Beberapa keadaaan memerlukan rujukan pada ahli
penyakitmata.
Rujukanharus sesegeramungkin: retinopatiproliveratif,
rubeosis iridis/glaukoma neovaskular, perdarahan
vitreous, retinopati lanjut

Rujukan sedini mungkin: Perubahan-perubahan


pre-proliveratif, Makulopati, Menurunnya tajam
panglihatan lebih dari 2 baris pada kartu Snellen

Rujukan Rutin: katarak, retinopati diabetik non


proliferatif yang tidak mengancam makula/ fovea

Nefropati
Kelainan yang tedadi pada ginjal penyandang DM dimulai

dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian


berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut
dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan
berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan
pengelolpan dengan pengobatan substitusi. Pemeriksaan

untuk m'encari mikroalbuminuria seyogyanya selalu


dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan dan setelah
itu diulang setiap tahun. Penilaian terhadap adanya

mikroalbuminuria harus dilakukan dengan cermat


dan perlu diulang beberapa kali untuk memberikan
keyakinan yang lebih besar. Beberapa keadaan dapat
memberikan hasil positif palsu, seperti misalnya latihan

Penyakit Jantung Koroner


Kewaspadaan untuk kemungkinan terjadinya penyakit
pembuluh darah koroner harus ditingkatkan terutama
untuk merek a yangmempunyai risiko tinggi terjadinya

kelainan aterosklerosis seperti mereka yang


mempunyai riwayat keluarga penyakit pembuluh darah
koroner atau pun riwayat keluarga DM yang kuat. Jika

ada kecurigaan seperti misalnya ketidak-nyamanan


pada daerah dada, harus segera dilanjutkan dengan
pemeriksaan penjaring yang teliti untuk mencari dan
menangkap kemungkinan adanya penyakit pembuluh
darah koroner, paling sedikit dengan pemeriksaan EKG

saat istirahat, kemudian dilanjutkan dengan


pemeriksaan EKG dengan beban, serta sarana
konfirmasi diagnosis lain untuk deteksi dini CAD. Pada
penyandang DM, rasa nyeri mungkin tidak nyata akibat
adanya neruopati yang sering sekali terjadi pada
penyandang DM.

Penyakit Pembuluh Darah Perifer


Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait
terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan
hal yang paling penting dalam usaha pencegahan
terjadinya masalah kaki diabetes. Adanya perubahan
bentuk kaki (callus,kapalan, dll.), neurupati dzn adznya
penurunan suplai darah ke kaki merupakan hal yang
harus selalu dicari dan diperhatikan pada praktik
pengelolaan DM sehari-hari. Penyuluhan pada para
penyandang DM mengenai diabetes melitus pada
umumnya serta perawatan kaki pada khususnya harus
digalakkan. Memberdayakan penyandang diabetes agar
dapat mandiri mencegah dan mengelola berbagai hal
sederhana terkait terbentuknya ulkus kaki diabetes
maupun berbagai komplikasi kronik DM lain merupakan

hal yang sangat penting untuk dilewatkan begitu sajaPenggunaan monofilamen SemmesWeinstein yang
sangat mudah dan sangat sederhana perlu digalakkan

berlebihan, cara penampungan yang tidak tepat danjuga

untuk mendeteksi insensitivitas pada kaki yang


potensial rentan untuk menyebabkan terjadinya

semen.

masalah kaki diabetes danulkus diabetes. Demikianjuga

jasmani, infeksi saluran kemih, hematuria, minum

Ditemukannya mikroalbuminuria mendorong


dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang

lebih intensif termasuk pengelolaan berbagai faktor


risiko lain untuk terjadinya komplikasi kronik DM seperti
tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok'
Penyandang DM dengan mikroalbuminuria seyogyanya

pengukuran rutin indeks ankle-brachial merupakan hal


yang harus dilakukan pada setiap pengunjung poliklinik

DM.
Pendekatan multidisipliner dengan mengaltiftan tim
multidisiplin pengelola kaki sangat penting dikembangkan di setiap sarana pengelola DM. Setiap penyandang

dikelola oleh dokter yang berpengalaman

DM seyogyanya mendapatkan pencerahan

menit seyogyanya sudah dirujuk ke ahli penyakit ginjal

terjadinya kaki diabetes/ulkus-gangren diabetes yang


merupakan salah satu kompliksai kronik DM yang paling

dan
mumpuni dalam memodifikasi berbagai faktor risiko terkait
terjadinya komplikasi konik DM. Penyandang DM dengan
laju filtrasi glomerulus atau bersihan kreatinin < 30 fliLl
untuk menjajagi kemungkinan dan untuk persiapan terapi
pengganti bagi kelainan ginjalnya, baik nantinya berupa
dialisis maupun transplantasi ginjal.

dan

kemudahan untuk mendapat layanan tim multidisipliner


tersebut. Pemeriksaan kaki lengkap berkala setiap tahun
merupakan hal yang perlu dikerjakan untuk mencegah

ditakuti para penyandang DM maupun para pengelola


DM.

1927

K(XIPI.IKAIII ICOTflK DIABETES

STRATEGI PENGELOI.AAI.I BERBAGAI

KOil'PUI(AiI

KRONIK DM
Dengan mengetatrui berbagai faktor risiko terkait terjadinya
komplikasi kronik diabetes melitus secara umum maupun

faktor risiko lfiusus kompikasi kronik diabetes melitus yang


tertentu se,perti mikroalbuminuria untuk nefropati atau pun
deformitas kaki untuk penyakit pembuluh darah perifer,
kemudian dapat segera dilalokan berbagai usaha umum
untuk pencegahan kemungkinan terjadinya komplikasi

kronik diabetes melitus.

Pengendalian Konsentrasi Glukosa


ini pilar utama pengelolaan DM meliputi penyululran,
pengaturan makan, kegiatan jasmani dan pemakaian obat
hipoglikemiak oral maupun insulin, baik sendiri maupun
de,ngan cara kombinasi be6agai obat hipoglikemiak. Usaha
menggabungkan berbagai sarana pengelolaan tersebut
sudah terbukti dapat dengan bermakna menurunkan
Saat

insidensi komplikasi kronik DM, seperti yang sudah


dibuktikanpada studi UKPDS, dan studi Kumamotopada
DM tipe 2 serta studi DCCT pada penyandang DM tipe
l.Banyak sekali ditemui berbagai algoritrna dan petunjuk
p'raktis pengelolaan DM, termasuk yang diajukan oleh
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia pada tahrn 2002.
Mengenai sasaran pengelolaan konsentrasi glukosa darah
rmtuk dapat menghasilkan pencegahan komplikasi kronik
yang malcsimal juga banyak didapatkan pada berbagai buku
dan sumber/ bacaan lain.

Tekanan Darah
Untuk mendapatkan tekanan darah yang sebaik-baiknya
gmamencegah komplikasi kronik DM, sudahbanyakbuku
petunjuk dan algoritma yang dikemukakan, juga oleh
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Obat penghambat
sistem renin angiotensin (Inhibitor ACE, ARB atau pun
kombinasi keduanya) dapat dipergunakan unflrk mencegah

kemungkinan terjadinya dan kemungkinan semakin


bertambah beratnya mikroalbuminuria. Cara menurunkan
tekanan darah dan sasaran tekanan darah yang harus

dicapai pada penyandang DM juga sudah dibicarakan


dengan lebih rinci pada bagian lain buku ini.

Pengendalian Lipid
Mengenai pengelolaan lipid pada penyandang diabetes
melitus juga sudah dibicarakan secara ekstensif. Pada
pengelolaan dislipidemia, DM dianggap sebagai fallor
risiko yang setara dengan penyakit jantung koroneq
sshingga adanya DM pada dislipidemia harus dikelola
secara lebih agresif dan sasaran pengelolaan lipid untuk

penyandang

DM seyogyanya lebih rendah daripada

orang yang normal, non-DM, yaitu konsentrasi kolesterol


LDL kurang dari 100 mg/dl. Dianjurkan untuk menunrnkan

konsentrasi kolesterol LDL sampai 70 ngldLpadapasien


dengan penyakit pembuluh darah koroner yang disertai
DM atau dengan berbagai komponen sindrom metabolik
lain seperti konsentrasi kolesterol HDL yang rendah, dan
konsenhasi trigliserida yang tinggi. Demikianjuga dengan
adanya faktor risiko lain yang kuat, seperti misalnya pada
perokok berat.

Faktor Lain
Pola hidup sehafi Pengubahan pola hidup ke arah pola
hidup yang lebih sehat merupakan dasar penting utama
usaha pencegahan dan pengelolaan komplikasi laonik DM.
Pola hidup sehat harus selalu diterapkan dan dibudayakan
sepanjang hidup.
Walaupun belum ada bukti yang meyakinkan, merokok
dikatakan dapat mempercepat timbulnya mikroalbtrminuria

dan kemudian perkembangan lebih lanjut ke arah


makroproteinuria. Merokok juga sudah dengan sangat

jelas berperan penting pada terjadinya kelainan


makrovaskular pada penyandang DM. Oleh karena itu
berhenti merokok merupakan satu anjuran yang harus
digalakkan bagi semua penyandang DM dalam rangka
pencegahan terjadinya komplikasi kronik DM secara
ununl.
Perencanaan makan: Perencanaan makan yang sesuai
dengan anjuran pelaksanaatt pola hidup meliputi anjuran
mengenai jumlah masukan kalori secara keseluruhan

maupun persentase masing komponen diet baik


makronutrien maupun mikronutriennya, yang tercakup
secara keseluruhan dalam anjuran gizi seimbang bagi
penyandang DM.
Walaupun hubungan antara masukan protein tinggi
dengan risiko terjadinya mikroalbuminuria maupun
perburukan lebih lanjut mikroalbumiuria belum secara
konklusiftelbukti, pada metanalisis zudah dapat ditunjul&an
bahwa paling sedikit pada penyandang DM tipe I yang
ein terbukti dapat

di
m

omerular. Saat ini

dianjurkan unhrk memberikan masukan protein sebanyak


0,8 g lkg berat badan idaman bagi penyandang DM dengan
nefropati. Dianjurkan untukmerrberikanprotein dengan nilai
biologis yang tingCr.
Sebagai pencegahan primer teqadinya komplikasi
laonik DM, Aspirin sebanyak 75- I 62 mg terbukti bermanfaat
dan dianjurkan pada semua penyandang DM di atas umur

40 tahun yang mempunyai risiko tambahan untuk


terjadinya komplikasi seperti riwayat keluarga yang
kuat, adanya hipertensi, dislipemia, merokok dan
milooalbuniwia
Alfa tokoferol, asam alfa lipoilq dan asam askorbat
merupakan zat yang dikatakan dapat mengurangi efek

negatif stres oksidatif dan inflamasi pada penyandang


DM.

1928

MEIABOIJKENDOKRIN

CARA KHUSUS PENCEGAHAN DAN PENGELOI-AAN


BERBAGAI KOMPLIKASI KRONIK DM

diperhatikan bahwa berbagai aspek pengelolaan harus

usaha pencegahan primer komplikasi kronik


DM secaraumum seperti yang sudah dikemukakan di atas,
berbagai usaha khusus dapat dikerjakan untuk masingmasing komplikasi kronik DM, baik berupa pencegahan
primer komplikasi kronik maupun usaha memperlambat
progresi komplikasi kronik yang sudah terjadi.

untuk tidak mendapat beban, penyuluhalr agat

Di samping

dicermati dengan baik: kendali metabolik, kendali infeksi,


kendali vaskular, keharusan untuk mengistirahatkan kaki
penyandang DM dengan ulkus dan gangren DM dapat
bekerja sama mencapai tujuan untukmenyelamatkan kaki,
semua harus dikerjakan secara menyeluruh.
Pendekatan pengelolaan dengan memanfaatkan kerj a
sama tim akan sangat membantu tercapainya keberhasilan
usaha penyelamatan kaki diabetes ini.

Retinopati
Pengobatan koagulasi dengan sinar laser terbukti dapat
bermanfaat mencegah perburukan retina lebih lanjut yang
kemudian mungkin akan mengancam mata. Fotokoagulasi
dapat dikerjakan secara pan-retinal. Tindakan lain yang
mungkin dilakukan adalah vitrektomi dengan berbagai
macam cara. Demikian pula tindakan operatif lain seperti

perbaikan ablasio retinanya dapat dilakukan untuk


menolong mencegah perburukan fungsi mata.

Nefropati
Setelah berbagai cara pencegahan konservatif tidak
berhasil menghambat laju perburukan filtrasi glomerular,
dan kemudian sudah mencapai tahap gagal ginjal-penyakit

ginjal tahap terminal, dapat dilakukan pengelolaan


pengganti untuk membantu fungsi ginjal, baik berupa
hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Di samping kedua
modalitas tersebut di atas, transplantasi ginjal merupakan

pilihan lain terapi pengganti fungsi ginjal yang dapat


dilakukan pada penyandang DM dengan gagal ginjal.

Penyakit Pembuluh Darah Koroner

Neuropati
Adanya keluhan dan kemudian ditegakkannya diagnosis
neuropati diabetik mengharuskan kita untuk berusaha
mengendalikan konsentrasi glukosa darah sebaik mungkin.
Pengelolaan keluhan neuropati umumnya bersifat
simtomatik, dan sering pula hasilnya kurang memuaskan'
Pada keadaan neuropati perifer yang disertai rasa sakit,
berbagai usaha untuk pencegahan dan pengelolaan DM
serta berbagai faktor risikonya harus juga dikerjakan.
Berbagai obat simtomatik untuk nyerinya dapat pula
diberikan, namun umumnya tidak banyak menjanjikan hasil
yang baik. Saat ini didapatkan berbagai sarana yang dapat
diberikan untuk mengatasi keluhan rasa nyeri yang hebat
pada penyandang neuropati DM dengan nyeri ini. Berbagai

obat untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan,


Demikian pula obat berupa obat gosok seperti krim
Capsaicin (Capzacin) dapat dipakai pada penyandang DM
dengan neuropati yang menyakitkan.
Dengan adanya pengetahuan baru mengenai terjadinya

komplikasi kronik DM, dan berbagai cara baru untuk


mendeteksi dan kemudian mengelola komplikasi kronik DM
dapat dimungkinkan keberhasilan usaha untuk mencegah,

Pengelolaan konservatif untuk penyakit pembuluh darah


koroner dapat diberikan kepada penyandang DM. Berbagai
obat tersedia untuk keperluan ini. Saat ini banyak cara
baik semi-invasif maupun invasifyang dapat dipakai untuk
menolong penyandang DM dengan penyakit pembuluh
darah koroner. Tindakan melebarkan pembuluh darah
koroner secara peniupan dengan balon dan pemasangan

memperbaiki, atau paling sedikit mengurangi berbagai


akibat komplikasi kronik DM ini. Nasib penyandang DM

gorong-gorong (stent) merupakan cara yang banyak

dimanfaatkan untuk memperbaiki fungsi pembuluh darah


koronerjantung. Beberapa kasus lain memerlukan tindakan
operatif bedah pintas koroner untuk memperbaiki fungsi

jantungnya.

Penyakit Pembuluh Darah Perifer


Usaha mencegah terjadinya ulkus dan gangren kaki
diabetik sering gagal dan penyandang DM jatuh ke
keadaan terjadinya ulkus bahkan kemudian disertai
gangren yang dapat merenggut nyawa. Usaha untuk
menyelamatkan kaki dengan meng-optimalisasikan
pengelolaan kaki menjadi sangat penting untuk diketjakan.
Pada pengelolaan ulkus/gangren kaki diabetik harus selalu

diharapkan akan lebih cerah.

KESIMPULAN DAN SARAN

.
.

Insidensi DM dan komplikasi kronik akibat DM


meningkat dengan pesat di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia
Mekanisme te{adinya komplikasi kronik DM sangat
kompleks, mencakup beberapa jalur mekanisme
biokimiawi dan beberapa proses patobiologik
Deteksi dini berbagai komplikasi kronik DM seyogyanya

merupakanbagianrutin

praktik pengelolaan DM

sehari-hari
Usaha pencegahan terjadinya komplikasi kronik DM

seyogyanya dilakukan dengan cermat dan sedini


mungkin, yaitu dengan melakukan pengelolaan DM

sedemikian rupa sehingga tercapai sasaran


pengendalian metabolik DM secara komprehensif dan

1929

KOMPLIKAIiI KRO?{IK DIABETES

holistik (mencakup bukan hanya mengenai konsentrasi

glukosa darah, tetapijuga mengenai tekanan darah,


lipid, kegemukan dan mencegah merokok serta berbagai
faktor risiko terjadinya komplikasi DM yang lain)

Kemungkian terjadinya komplikasi kronik DM harus


diantisipasi sedini mungkin dengan usaha deteksi
dini, dan kemudian komplikasi yang sudah timbul
segera dikelola sebaik-baiknya dengan memanfaatkan
berbagai sarana dan cara yang mungkin dilalcukan baik
cara yang non invasif maupun kemudian juga berbagai
carayang invasif .

REFERENSI
Devaraj S, Yega-Lopez S, Jialal I. Antioxidants, oxidative stress and
inflammation in diabetes. In: Marso SP, Stem DM, Eds. Diabetes and Cardiovascular Disease: Integating Science and Clinical
Medicine. Philadelphia: Lipincot Williams & Wilkins; 2004.p
19 -29.
Fisher M, Shaw KM. Diabetes and the heart. In: Shaw KM and
Cummings MH, Eds. Diabetes Chronic complications, Second
Edition. John Wiley & Sons Ltd; 2005.p. l2I-41.
Grant PJ, Lucinda K, Summers M. Diabetes, impaired fibrinolysis and
thrombosis. In: Marso SP, Stem DM, Eds. Diabetes and Cardiovascular Disease: Integrating Science and Clinical Medicine. Philadelphia: Lipincot Williams & Wilkins; 2004.p.269-85.
Grundy SM, et al. Circulation 2004;110:227-39.
He Zhiheng, Ma RCW, King GL. Role of Protein Kinase C Isoforms
in Diabetic Vascular Dysfunction. In: Marso SP, Stem DM, Eds.
Diabetes and Cardiovascular Disease: Integrating Science and
Clinical Medicine. Philadelphia: Lipincot Williams & Wilkins;

2004.p.37-48.
Kelly R, Steinhubl SR. Platelet Dysfunction. In: Marso SP, Stem DM,
Eds. Diabetes and Cardiovascular Disease: Integrating Science
and Clinical Medicine. Philadelphia: Lipincot Williams& Wilkins;

2004.p.2st-61.

LaRosa JC et al. N Engl J Med 2005;352:e-pages.


Maclsaac RJ, Watts GF. Diabetes and the Kidney. In: Shaw

KM and

Cummings MH, Eds. Diabetes Chronic Complications. Second


Edition. John Wiley & Sons Ltd. 20O5.p. 27-41.
Marrero MB, Stern DM. Structure and Function of the Vessel Wall.
In: Marso SP, Stern DM, Eds. Diabetes and Cardiovascular

Disease: Integrating Science and Clinical Medicine.


Philadelphia:Lipincot Williams & Wilkins; 2004.p. 3-18.
Meeking D, Holiand E, Land D. Diabetes and Foot Disease. In: Shaw
KM and Cummings MH, Eds. Diabetes Chronic Complications.
Second Edition. John Wiley & Sons Ltd; 2005p 2l-41.
Shotliff K, Duncan G Diabetes and the Eye. In : Shaw KM and
Cummings MH, Eds. Diabetes Chronic Complications. Second
Edition. John Wiley & Sons Ltd. 2005 p. 1-21.
The Indonesian Society of Endocrinology. Guidelines for the Management of Diabetes in Indonesia. Jakarta 2002.
The American Diabetes Association. Standard of Medical Care in

Diabetes. Diabetes Carc. 2004;27(1); S15-35.


The American Diabetes Association. Nutrition Principles and
Recommendation in Diabetes. Diabetes Carc. 2004;27(1'); 53646.

The American Diabetes Association. Preventive foot care in


diabetes 2004; 27 (1); 563-4.
The American Diabetes Association. Dyslipidemia danagement in
adults with diabetes Diabetes Care. 2004;27(I);568-71.
The American Diabetes Association. Smoking and diabetes.
Diabetes Care. 2004; 27 (1); 57 4-5.
The American Diabetes Association. Aspirin in diabetes. Diabetes
Care. 2004; 2'7(l); 572-3.
The American Diabetes Association. Nephropathy in diabetes.
Diabetes Care 2004;27(1); 579-83.
The American Diabetes Association. Retinopathy in Diabetes.
Diabetes Care 2004;27(l); S84-87.
The American diabetes association. Hypertension Management in
Adults with Diabetes Mellitus. Diabetes Care 2004;27(1):565-7.

West IC. Radicals and oxidative stress


Medicine. 2000117: l7l-80.

in

diabetes. Diabetic

301
RETINOPATI DIABETIK
KarelPandelaki

Jalur Poliol

PENDAHULUAN

Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan


produksi berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu suatu
senyawa gula dan alkohol, dalam jaringan termasuk di
lensa dan saraf optik. Salah satu sifat dari senyawa poliol
ialah tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan
tertimbun dalam jurnlah yang banyak di dalam sel. Senyawa
poliol menyebabkan peningkatan tekanan osmotik sel dan
menimbulkan gangguan morfologi maupun fungsional sel.
Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling


sering ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74
tahun. Pasien diabetes memiliki risiko 25kali lebih mudah

mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko


mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat
sejalan dengan lamanya diabetes. Pada waktu diagnosis
diabetes tipe I ditegakkan, retinopati diabetik hanya
ditemukan pada kurang dai 5% pasien. Setelah I 0 tahun,
prevalensi meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20
tahun lebih dai 90o/o pasien sudah menderita retinopati
diabetik. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes

aldose reduktase (sorbinil) yang bekerja menghambat


pembentukan poliol, dapat mengurangi atau memperlambat

terjadinya retinopati diabetik. Namun, uji klinik pada

ditegakkan, sekitar 25o/o stdah menderita retinopati

manusia belum menunjukkan perlambatan dari progresifitas

diabetik nonproliferatif (ba ckground retinop athy). Setelah


20 tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi
lebih dari 60%o dalamberbagai derajat. Di Amerika Utara,
3,6%opasiendiabetes tipe I dan 1,60% pasien diabetes tipe
2 mengalami kebutaan total. Di Inggris dan Wales, sekitar

retinopati. Penggunaan sorbinil dalam penelitian Sorbinil


Retinopathy Trialterhadap 497 pasien diabetes tipe I yang

1000 pasien diabetes tercatat mengalami kebutaan sebagian

penghambat enzim aldose reduktase yang lebih kuat.

diamati selama 3-4 tahun tidak memberi pengaruh terhadap

timbulnya retinopati dan neuropati. Sampai saat ini masih

terus diupayakan penelitian dengan menggunakan

atau total setiap tahun. Metode pengobatan retinopati


diabetik dewasa ini telah mengalami perkembangan yang

Glikasi Nonenzimatik
Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan asam

sangat pesat sehingga risiko kebutaan banyak berkurang.


Namun demikian, karena angka kejadiandiabetes di seluruh
dunia cenderung makin meningkat maka retinopati diabetik
masih tetap menjadi masalah penting.

deoksiribonukleat (DNA) yang terjadi selama hiperglikemia


dapat menghambat aktivitas enzim dan keutuhan DNA.
Protein yang terglikosilasi membentuk radikal bebas dan
akan menyebabkan perubahan fungsi sel. Penggunaan

ETIO.PATOGENESIS

aminoguanidin, yaitu suatu bahan yang menghambat


pembentukan advanced glycation end product (AGE),

Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini


belum diketahui secara pasti, namun keadaaan
hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai
faktor risiko utama. Ada tiga proses biokimiawi yang te{adi

pada tikus diabetes dilapurkan dapat mengurangi pengaruh


diabetes terhadap aliran darah di retina, permeabilitas dan
parameter mikrovaskular yang lain. Juga dilapurkan bahwa

aminoguanidin dapat menghambat produksi senyawa

pada hiperglikemia yang diduga berkaitan dengan


timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur poliol, glikasi

vasoaktif oksida nitrat. Beberapa efek lain dari

nonenzimatik dan pembentukan protein kinase C.

aminoguanidin kemungkinan bukan hanya disebabkan oleh

1930

1931

RETINOPATIDIABETIK

penghambatan terhadap pembentukan AGE. Penelitian


dengan menggunakan penghambat pembentukan AGE
saat ini juga masih terus dilakukan.

Protein Kinase C

Mekanisme
Aldose
reduktase

Protein kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh


terhadap permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis
membrana basalis dan proliferasi sel vaskular. Dalam
kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel

lnflamasi

endotel meningkat akibat peningkatan sintesis de novo


dari diasilgliserol, yaitu suatu regulator PKC, dari glukosa.
Diasilgliserol terbukti diproduksi dalam jumlah yang
banyak di retina mata dari anjing dengan galaktosemia
yang disertai retinopati. Saat ini sedang dilakukan uji klinik
penggunaan ruboxistaurin, suatu penghambat PKCAisoform, pada pasien retinopati diabetik. Frank RN,

Protein
kinase C

ROS

AGE

mengemukakan beberapa hipotesis mengenai mekanisme


patogenesis retinopati diabetik dan kemungkinan terapi

Nitrit oxide

yang dapal dilakukan (Tabel 1). Selain pengaruh

Menghambat
ekspresi gen

hiperglikemia melalui berbagai jalur metabolisme, sejumlah


faktor lain yang terkait dengan diabetes melitus seperti
peningkatan agregasi trombosit, peningkatan agregasi
eritrosit, viskositas darah, hipertensi, peningkatan lemak
darah dan faktor pertumbuhan, diduga turut juga berperan
dalam timbulnya retinopati diabetik.

PATOFISIOLOGI
Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari
fotoreseptor dan sel saraf. Kesehatan dan aktivitas
metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan kapiler
retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar
ke seluruh permukaan retina kecuali suatu daerah yang

disebut fovea. Kelainan dasar dari berbagai bentuk


retinopati diabetik terletak pada kapiler retina tersebut.
Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari luar ke

synthase

Apoptosis sel
perisit dan
sel endotel
kapiler retina
VEGF

PEDF

GH dan IGF-I

Cara kerja
Meningkatkan produksi
sorbitol, menyebabkan
kerusakan sel
Meningkatkan perlekatan
leukosit pada endotel
kapiler, hipoksia,
kebocoran, edema
makula
Mengaktifkan VEGF,
diaktiftan oleh DAG pada
hiperglikemia
Menyebabkan kerusakan
enzim dan komponen sel
yang penting
Mengaktifkan enzim-enzim
yang merusak
Meningkatkan produksi
radikal bebas,
meningkatkan VEGF
Menyebabkan hambatan
terhadap jalur
metabolisme sel
Penurunan aliran darah ke
retina, meningkatkan
hipoksia
Meningkat pada hipoksia
retina, nenimbulkan
kebocoran, edema
makula, neovaskular
Menghambat
neovaskularisasi,
menurun pada
hiperglikemia
Merangsang
neovaskularisasi

Terapi
Aldose
reduktase
inhibitor
Aspirin

lnhibitor
terhadap
PKC Bisoform
Antioksidan

Aminoguanidi
n

Amioguanidin

Belum ada

Belum ada

Fotokoagulasi
pan-retinal

lnduksi
produksi
PEDF oleh
gen PEDF
Hipofisektomi,
GH- receptor

blocker,
octreotide.
PKC= protein kinase C; VEGF= vascular endothel grovtth
factor; DAG= diacylglycerol; ROS= reactive oxygen species;
AGE= advanced glycation end-product; PEDF= pigmentepithelium-derived factor; Q,l-l= growth factor; IGFJ= isulinIike growth factor I

dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel endotel.


Sel perisit dan sel endotel dihubungkan oleh pori yang

terdapat pada membran sel yang terletak diantara


keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah

sel perisit dan sel endotel kapiler retina adalah l:1


sedangkan pada kapiler perifer yang lain perbandingan

tersebut mencapai 20:1. Sel perisit berfungsi


mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktilitas,
membantu mempertahankan fungsi barrier dan transportasi
kapiler serta mengendalikan proliferasi endotel. Membran
basalis berfungsi sebagai barrier dengan mempertahankan

permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Sel


endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersamasama dengan matriks ekstasel dari membran basalis
membentuk barrier yang bersifat selektif terhadap beberapa

jenis protein dan molekul kecil termasuk bahan kontras


fluoresensi yang digunakan untuk diagnosis penyakit

kapiler retina. Perubahan histopatologis kapiler retina pada


retinopati diabetik dimulai dari penebalan membran basalis, hilangnya perisit dan proliferasi endotel dimana pada
keadaan lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel
perisit dapat mencapai 10: L Patofisiologi retinopati diabetik
melibatkan lima proses dasaryang terjadi di tingkat kapiler

yaitu:

l)

pembentukan mikroaneurisma, 2) peningkatan

permeabilitas pembuluh darah, 3) penyumbatan pembuluh


darah,4) proliferasi pembuluh darah baru (neovascular)
dan jaringan f,rbrosa di retina, 5) kontraksi dari jaringan
fibrosis kapiler dan jaringan vitreus. Penyumbatan dan
hilangnya perfusi (nonperfusion) menyebabkan iskemia
retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua
komponen darah. Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat
terjadi melalui beberapa mekanisme berikut: 1). edema

1932

METABOLIKENDOKRIN

makula atau nonperfrrsi kapiler,2). pembentukan pembuluh

diameter antara 15-60 im dan sering kelihatanpadabagian

darah baru pada retinopati diabetik proliferatif dan


konhaksi jaringan fibrosis menyebabkan ablasio retina
(retinal detachment), 3). pembuluh darah baru yang

posterior. Meskipun belum jelas penyebabnya, namun


terj adinya mikroaneurisma diduga berhubungan dengan
faktor vasoproliferatif yang dihasilkan endotel, kelemahan

terbenfuk menimbulkan perdarahan preretina dan vitreus,


4). pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan
glaukoma.

dinding kapiler akibat berkurangnya sel perisit, serta


meningkatnya tekanan intra luminal kapiler. Kelainan
morfologi lain ialah penebalan membran basalis,
perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai
bercak berwarna kuning dan eksudat lunak yang tampak
sebagai cotton wool spot. Perdarahan terjadi akibat

Perdarahan adalah bagian dari stadium retinopati


diabetik proliferatif dan merupakan penyebab utama dari
kebutaan pennanen. Selain itu, kontraksi dari jaringan

fibrovaskular yang menyebabkan ablasio retina


(terlepasnya lapisan retina) juga merupakan salah

satu

penyebab kebutaan pada retinopati diabetik proliferatif.

kebocoran eritrosit, eksudat terjadi akibat kebocoran dan


deposisi lipoprotein plasma, sedangkan edema terjadi

akibat kebocoran cairan plasma. Retinopati diabetik


nonproliferatifberat sering disebutjuga sebagai retinopati

Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil

diabetik iskemik, obstruktif atau preproliferatif. Gambaran


yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang berkelok
tidak teratur akibat dilatasi yang tidak beraturan dan
cotton wool spot, yaitu daerah retina dengan gambaran

pemeriksaan funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal


fluorescein angiography (FFA) merupakan metode
diagnosis yang paling dipercaya. Namun dalam klinik
pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat digunakan
untuk skrining. Ada banyak klasifikasi retinopati diabetik

bercak berwarna putih pucat dimana kapiler mengalami


sumbatan. Dalam wakhr 1-3 tahun, RDNP berat (retinopati
preproliferatif.l sering berkembang menjadi retinopati
diabetik proliferatif sehingga merupakan calon untuk
mendapat terapi fotokoagulasi, baik disertai maupun tidak

yang dibuat oleh para ahli. Pada umumnya klasifikasi

disedai edemamakula.

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

didasarkan atas beratnya perubahan mikrovaskular retina


dan ada atau tidakadanya pembentukan pembuluh darah

baru di retina. Early Treatment Diabetic Retinopathy


Study Research Group (ETDRS) membagi retinopati
diabetik atas nonproliferatif dan proliferatif. Pertemuan

Airlie House membagi retinopati diabetik

atas 3 stadium
yaitu stadium nonproliferatif preproliferatif dan proliferatif.
Retinopati diabetik digolongkan sebagai retinopati diabetik

nonproliferatif (RDNP) apabila hanya ditemukan


perubahan mikrovaskular dalam retina. Kelainan fundus
pada RDNP dapat berupa mikroaneurisma atau kelainan

intraretina yang disebut intraretinal microvascular


abnormalities (IRMA) akibat peningkatan permeabilitas
kapiler. Penyrmbatan kapiler retina akan menimbulkan
hambatan perfusi yang secara klinik ditandai dengan
perdarahan, kelainan vena dan IRMA. Iskemia retina akibat
hambatan perfusi akan merangsang proliferasi pembuluh
darah baru (neovaskular). Neovaskular merupakan tanda
khas retinopati diabetik proliferatif (RDP).

Retinopati Diabetik Nonproliferatif


Retinopati diabetik nonproliferatif merupakan bentuk yang

paling ringan dan sering tidak memperlihatkan gejala.


Stadium ini sulit dideteksi hanya dengan pemeriksaan
oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung. Cara yang

paling baik ialah dengan menggunakan foto fundus dan


FFA. Mikroaneurisma yang terjadi pada kapiler retina
merupakan tanda paling awal yang dapat dilihat pada
RDNP. Dengan oftalmoskopi atau foto warna fundus,
mikroaneurisma tampak berupa bintik merah dengan

Retinopati Diabetik Proliferatif


Retinopati diabetik proliferatif ditandai dengan
pembentukan pembuluh darah baru. Pembuluh darah baru
tersebut hanya terdiri dari satu lapisan sel endotel tanpa
sel perisit dan membrana basalis sehingga bersifat sangat
rapuh dan mudah mengalami perdarahan. Pembuluh darah
baru tersebut yangat berbahaya karena bertumbuh secara
abnormal keluar dari retina dan meluas sampai ke vitreus,
menyebabkan perdarahan di sana dan dapat menimbulkan
kebutaan. Perdarahan kedalam vitreus akan menghalangi
transmisi cahaya ke dalam mata dan memberi penampakan
berupa bercak warna merah, abu-abu atau hitam pada
lapangan penglihatan. Apabila perdarahan terus berulang,
dapat terjadi jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina.
Oleh karena retina hanya berupa lapisan tipis yang terdiri
dari beberapa lapis sel saja, maka sikatriks dan jaringan
fibrosis yang terjadi dapat menarik retina sampai terlepas

sehingga terjadi ablasio retina (retinal detachment).


Pembuluh darah baru dapat juga terbentuk di dalam stroma
dari iris dan bersama dengan jaringan fibrosis yang terjadi

dapat meluas sampai ke sudut dari chamber antrior.


Keadaan tersebut dapat menghambat aliran keluar dari
aqueous humor dan menimbulkan glaukoma neovaskular
yang ditandai dengan meningkatnya tekanan intraokular.
Kebutaan dapat terjadi apabila ditemukan pembuluh darah
baru yang meliputi la daerah diskus, adanya perdarahan
pre-retina, pembuluh darah baru yang terjadi di mana saja
(neov as culariz ation els ew here) yang disertai perdarahan,
atau perdarahan di lebih dari separuh daerah diskus atau
vitreus.

1933

RETINOPATIDIABETIK

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


Retinopati diabetik nonproliferatif
Retinopati nonproliferatif minimal: terdapat > 1 tanda
berupa dilatasi vena, mikoroaneurisma, perdarahan
intraretina yang kecil atau eksudat keras
Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang:
terdapat > 1 tanda berupa dilatasi vena derajat ringan,
perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA
Retinopati nonproliferatif berat: terdapat > 1 tanda
berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4
kuadran retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau
IRMA pada 1 kuadran
Retinopati nonproliferatif sangat berat: ditemukan > 2
tanda pada retinopati non-proliferatif berat.

1.

2.
3.
4

Retinopati diabetik proliferatif


Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi): bila
ditemukan minimal adanya neovaskular pada diskus
(NVD) yang mencakup </odari daerah diskus tanpa
disertai perdarahan preretina atau vitreus; atau
neovaskular di mana saja di retina (NVE) tanpa disertai
perdarahan preretina atau vitreus
Retinopati proliferatif risiko tinggi: apabila ditemukan 3
atau 4 dari faktor risiko sebagai berikut, a) ditemukan
pembuluh darah baru di mana saja di retina, b)
ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat
diskus optikus, c) pembuluh darah baru yang tergolong
sedang atau berat yang mencakup > % daerah diskus,
d) perdarahan vitreus
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus
optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang
disertai perdarahan, merupakan dua gambaran yang
paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif
dengan risiko tinggi.

1.

EIDRS= Early Treatment Diabetic Retinopathy Study; NVD=


new vesse/s on disc; NVE= new yesse/s elsewhere

Pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik


merupakan upaya yang harus dilakukan secara bersama
untuk mencegah atau menunda timbulnya retinopati dan
juga untuk memperlambat perburukan retinopati. Tujuan

utama pengobatan retinopati diabetik ialah untuk


mencegah terjadinya kebutaan pe(nanen. Pendekatan
multidisiplin dengan melibatkan ahli diabetes, perawat
edukator, ahli gizi, spesialis mata, optometris dan dokter

umum, akan memberi harapan bagi pasien untuk


mendapatkan pengobatan yang optimal sehingga kebutaan

dapat dicegah. Kontrol glukosa darah yang baik


merupakan dasar dalam mencegah timbulnya retinopati
diabetik atau memburuknya retinopati diabetik yang sudah

ada. Metode pencegahan dan pengobatan retinopati


diabetik saat ini meliputi:

.
.
.
.

kontrol glukosa darah


kontrol tekanan darah
ablasi kelenjarhipohsis melalui pembedahan atau radiasi

farang dilakukan)
fotokoagulasi dengan sinar laser:

fotokoagulasi panretinal unfuk RDP atau glaukoma

neovaskular

- fotokoagulasi fokal untuk edema makula


vitrektomi untukperdarahan vitreus atau ablasio retina.
Pasien dengan retina normal atau RDNP minimal perlu

diperiksa setiap tahun karena pasien yang sebelumnya


tanpa retinopati pada waktu diagnosis diabetes ditegakkan,
5%-10% akanmengalamiretinopati setelah I tahun. Pasien
RD*{P derajat sedang dengan mikroaneurisma, perdarahan

Makulopati Diabetik

yar 3 jarang, atau ada eksudat keras tetapi tidak disertai

Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan

ed, ma makula perlu pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan

paling sering pada retinopati diabetik.

Ma

elopati diabetik

cenderung berhubungan dengan diabt es tipe 2 usia


lanjut, sedangkan retinopati prolifer tif cenderung
ditemukan pada usia muda. Terganfung p rrufahan utama
yang terjadi pada kapiler retina, makulope i diabetik dapat

dibedakan dalam beberapa bentuk ya tu makulopati


iskemik, makulopati eksudatif dan e ,lema makula.
Makulopati iskemik terjadi akibat penyurnbatan yang luas
dari kapiler di daerah sentral retina. MalcLrlopati eksudatif
terjadi karena kebocoran setempat sehingga terbentuk
eksudat keras seperti pada RDNP. Makulopati akesudatif

perlu segera dilakukan terapi fotokoagulasi untuk

ka ena sering progresif. Suatu penelitian terhadap pasien


drrbetes tipe I ditemukan 16%o dari RDNP derajat sedang
r Lng hanya ditandai eksudat keras dan mikroaneurisma,
';erkembang kearah stadium proliferatif hanya dalam wakhr
4 tahun.

KontrolGlukosa Darah
Untuk mengetahui pengaruh kontrol glukosa darah
terhadap retinopati diabetik, Diabetes Control and
Complication Trial (DCCT) melakukan penelitian pada
1441 pasien diabetes tipe I yang belum disertai retinopati
dan yang sudah menderita RDNP. Kelompok pasien yang

mencegah hilangnya visus secara permanen. Edema

belum disertai retinopati dan mendapat terapi intensif

makula terjadi akibat kebocoran yang difus. Apabila

dengan insulin selama 36 bulan mengalami penurunan risiko


tejadi retinopati sebesar 76%. Demikian juga pada kelompok

keadaan tersebut menetap, maka akan terbentuk kista berisi

cairat yang dikenal sebagai edema makula kistoid.


Bila keadaan ini terjadi maka gangguan visus akan
menetap dan sukar diperbaiki. Dibanding dengan metode
diagnostik yang lain, optical coherence tomography (OCT)
merupakan metode yang paling baik untuk mendiagnosis
makulopati diabetik.

yang sudah menderita retinopati, terapi intensif dapat


mencegah risiko perburukan retinopati sebesar 54%.Efek
perlindungan melalui mengendalikan glukosa darah juga
terlihat dari hasil penelitian United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UI<PDS) terhadap diabetes tipe 2. Pasien
diabetes yang diterapi secara intensif, setiap penurunan

1934

1%

HbAlc akan diikuti

MEIABOLIKENDOKRIN

dengan penurunan risiko

komplikasi milrovaskular sebesar 35%. Hasil penelitian dari

DCCT dan UKPDS tersebut memperlihatkan bahwa


meskipun kontrol glukosa darah secara intensiftidak dapat
mencegah terjadinya retinopati secara sempuma, namun
dapat mengurangi risiko timbulnya retinopati diabetik dan

memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada. Secara


klinik, kontrol glukosa darah yang baik dapat melindungi
visus dan mengurangi risiko kemungkinan menjalani terapi
fotokoagulasi dengan sinar laser.

Kontrol Hipertensi
Untuk mengetahui pengaruh hipertensi terhadap
retinopati diabetik, UKPDS menganalisis pasien diabetes
tipe 2 yang dilakukan kontrol tekanan darah secara ketat
dibanding dengan kontrol tekanan darah sedang melalui
pengamatan selama 8 tahun. Kelompok pasien dengan
kontrol tekanan darah secara ketat mengalami penurunan
resiko progresifitas retinopati sebanyak 34o/o. Apropriate

Blood Control in Diabetes (ABCD) Study melakukan


penelitian terhadap kelompok pasien diabetes yang
mendapat terapi hipertensi dengan target tekanan diastolik

Fotokoagulasi
Suatu uji klinik berskala besar yang dilakukan National
Institutes of Health diAmerika Serikatjelas menunjukkan
bahwa pengobatan fotokoagulasi dengan sinar laser
apabila dilakukan tepat pada waktunya, sangat efektif
untuk pasien dengan retinopati diabetik proliferatif dan

edema makula. Indikasi terapi fotokoagulasi ialah


retinopati diabetik proliferatif, edema makula dan
neovaskular yang terletak pada sudut chamber anterior.
Ada tiga metode terapi fotokoagulasi dengan laser, yaitu:
l). s catter (p anretinal) photo co agulation, dllakukan pada
kasus dengan kemunduran visus yang cepat dan unfuk
menghilangkan neovaskular pada saraf optikus dan
permukaan retina atau pada sudut chamber anlerior; 2).
focal photocoagttlation, ditujukan pada mikroaneurisma
di fundus posterior yang mengalami kebocoran untuk
mengurangi atau menghilangkan edema makula; 3). grid
pholocoagulation, sratu teknik penggunaan sinar laser
dimana pembakaran dengan bentuk kisi-kisi diarahkan pada
daerah edema.

Terapi edema makula sering dilakukan dengan


menggunakan kombinasi/oc al dan grid photocoagulation.

<75 mmHg dibanding dengan kelompok dengan target


tekanan darah diastol antara 80-89 mmHg. Sebanyak 470
pasien diberi terapi nisoldipin atau enalapril secara acak
kemudian dilakukanpengamatan selama 5 tahun. Tekanan

Vitrektomi
Vitrektomi dini perlu dilakukan pada pasien yang
mengalami kekeruhan (opacity) vitreus dan yang

darahrata-ratayangdicapaipadakelompokpertamaadalah
132178 mmHg sedangkan kelompok kedua mencapai
tekanan darahrata-rata 138/86 mmHg. Hasil analisis
statistik menunjukkan antara kedua kelompok tidak

mengalami neovaskularisasi aktif. Vitrektomi dapat juga


membantu bagi pasien dengan neovaskularisasi yang
ekstensif atau yang mengalami proliferasi fibrovaskular.
Selain itu, vitrektomi juga diindikasikan bagi pasien yang
mengalami ablasio retina, perdarahan vitreus setelah
fotokoagulasi, RDP berat, dan perdarahan vitreus yang

ditemukan perbedaan bermakna dalam mencegah


progresifitas retinopati.

tidak mengalami perbaikan.

Ablasi Kelenjar Hipofisis


Dugaan adanya hubungan antara growth hormone dat
retinopati diabetik didasarkan laporan dari sarjana
Poulsen mengenai kasus retinopati diabetik pada pasien
diabetes wanita yang mengalami infark hipofisis sewaktu

melahirkan. Setelah dilakukan hipofi sektomi lernyata


retinopati diabetik yang sudah ada mengalami perbaikan.
Sejak itu tindakan hipofisektomi sering dilakukan pada
pasien diabetes yang sudah disertai retinopati diabetik
proliferatif dan memberikan hasil yang baik .Peran growth

hormone terhadap timbulnya retinopati diabetik


didasarkan atas fakta bahwa retinopati diabetik
berkembang cepat selama usia pubertas. Pada masa
tersebut kepekaan jaringan terhadap growth hormone
sangat tinggi. Bukti lain yang memperkuat hipotesis

tersebut ialah pasien kerdil akibat defisiensi growth


hormone yang juga menderita diabetes tidak pernah
mengalami retinopati diabetik dan penyakit mikrovaskular
yang lain. Meskipun demikian, hipofisektomi pada pasien
diabetes dengan retinopati diabetik saat ini sudah sangat
jarang dilakukan.

PERJALANAN KLINIS DAN PROGNOSIS

Pasien RDNP minimal dengan hanya ditandai


mikroaneurisma yang jarang, memiliki prognosis baik
sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang setiap I
tahun. Pasien yang tergolong RDNP sedang tanpa disertai
edema makula, perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap
6-12 bulan oleh karena sering bersifat progresif. Pasien
RDNP derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema
makula yang secara klinik tidak signifikan, perlu diperiksa
kembali dalam waktu4-6 bulan olehkarenamemiliki risiko
besar untuk berkembang menjadi edema makula yang
secara klinik signifikan (CSME). Untuk pasien RDNP
dengan CSME harus dilakukan terapi fotokoagulasi. Risiko
kebutaan pada stadium ini akan berkurang sampai 50%
apabila dilakukan terapi fotokoagulasi. Pasien RDNP berat
memiliki risiko tinggi menjadi RDP. Separuh dari pasien
RDNP berat akan berkembang menjadi RDP dalam I tahun
di mana l5%o diantaranya tergolong I{DP dengan risiko

1935

RETINOPAII DIABETIK

tinggi. Pasien RDNP sangat berat, risko menjadi RDP dalam


i tahun adalah l5%o dimana 45o/o diantaranya tergolong
RDP risiko tinggi. Oleh sebab itu pasien RDNP sangat
berat perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 3-4 bulan.
Pasien dengan RDP risiko tinggi harus segera diterapi

dengan fotokoagulasi. Teknik yang dilakukan ialah


dengan scatter photocoagulation. Pasien RDP risiko
tinggi yang diserlai dengan CSME, terapi lbtokoagulasi
mula-mula dengan menggunakan metode focal dan
panretinal (scatter). Oleh karena metode fotokoagulasi
panretinal dapat menimbulkan eksaserbasi dari edema
rnakula, maka untuk terapi dengan metode panretinal
(scatter) perlu dibagi dalam2 tahap atau lebih.

1 BDR with the white fluffy lesions called cotton wool

Gambar
spots (CWS), microaneurysms (red dots), and macular edema

Gambar 2. Background diabetic retinopathy

Gambar 3. Exudative maculopathy

Gambar 4. Advanced background retinopathy


significant macular edema

with

clinically

Gambar 5. Preproliferative retinopathy with venous beading


cotton wool spot, and some hard exudate

Gambar 6. Advanced background retinopathy

Gambar 7. Proliferative diabetic retinopathy neovascularization

l-1936

MEf,ABOLIKENDOKRIN

REFERENSI
Aiello LM and Cavallerano JD. Ocular complication. In: Lebovitz

Gambar 8. Proliferative diabetic retinopathy with optic disc


subhyaloid and haemorrhage

HE (Ed.). Therapy for Diabetes and Related Disease. Alexandria, American Diabetes Association, I99l.p. 226-240.
Brownlee M. The pathobiology of diabetic compliations a unifying
mechanism. Diabetes 2005, 54:1615-25
Chalam KV, Lin S, Mostafa S. Management of diabetic retinopathy
in the twenty-first century. Northeast Florida Medicine, Spring,
2005, p.8-1s
Chew EY. Pathophysiology of diabetic retinopathy. In: LeRoith D
et a1 (Eds.). Diabetes Mellitus a Fundamental and Clinical Text.
2"d edition, Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2000.

p. 890-98
Constable IJ. Diabetic retinopathy: pathogenesis, clinical feature
and treatment. In: Turtle JR et al (Eds.). Diabetes in the New
Millennium. Sydney: University of Sydney; 1999.p.365-16
Fing SD, Aiello L, Gardner TW, King GL, Blankenship G, Cavallerano
JD, Ferris FL, Klein R. Retinopathy in diabetes. Diabetes Care
2004,27: suppl. 64-87
Frank RN. Diabetic retinopathy. N Engl J Med. 2004; 35): 48-58
Heaven CJ and Boase DL. Diabetic retinopathy. In: Shaw KN (Ed.).
Diabetic Complications. Bafhns Lane, John Wiley & Son, 1996.

p.

Gambar 9. FFA of the left eye in patient with PDR

Gambar 10. PDR with fibrovascular causing a localized traction


retinal detachment

Gambar 11. Panretinal photocoagulation in PDR with vitreous


bleeding

1-26.

Oishi N, Kubo E, Takamura Y, Maekawa K, Tanimoto T, Akai Y


Correlation between erythrocyte aldose reductase leve1 and
human diabetic retinopathy. Br J Ophthalmol 2002; 86: 1367-6
The Diabetes Control and Complications Trial Rechearch Group
The effect of intensive treatment of diabetes on the development and progression of long-term complications in insulindependent diabetes mellitus. N Eng J Med. 1993; 329: 9'7'7-86
UK Prospective Diabetes Study (UI(PDS) Group. Intensive bloodglucose control with sulphonylureas or insulin compared with
conventional treatment and risk of complications in patient
with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet 1998;352:837-53
Watkins PJ. ABC of diabetic retinopathy. BMJ 2003, 326:924-26

302
KOMPLII(ASI KRONIK DM
AlwiShahab

Dari hasil penelitian didapatkan kenyataan bahwa: 1).


Angka kejadian aterosklerosis lebih tinggi pada pasien

PENDAHULUAN

DM dibanding populasi non DM;'2). Pasien DM

Penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM


(baik DM tipe I maupun DM tipe 2) adalah Penyakit Jantung

Koroner, yang merupakan salah satu penyulit


makrovaskular pada diabetes melitus. Penyulit

mempunyai risiko tinggi untuk mengalami trombosis,


penurunan fibrinolisis dan peningkatan respons inflamasi;
3). Pada pasien DM terjadi glikosilasi protein yang akan

makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis

mempengaruhi integritas dinding pembuluh darah.

dini yang dapat mengenai organ-organ vital (antung dan


otak). Penyebab aterosklerosis pada pasien DM tipe 2
bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks

Haffner dan kawan-kawan, membuktikan bahwa


aterosklerosis pada pasien DM mulai terjadi sebelum

timbul onset klinis DM. Studi epidemiologi juga


menunjukkan terjadinya peningkatan risiko payah jantung
pada pasien DM dibandingkan populasi non DM, yang
ternyata disebabkan karena kontrol glukosa darah yang
buruk dalam waktu yang lama. Disamping itu berbagai
faktor turut pula memperberat risiko terjadinya payah
jantung dan strok pada pasien DM, antara lain hipertensi,

dari berbagai keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia,

stres oksidatif, penuaan dini, hiperinsulinemia dan/atau

hiperproinsulinemia serta perubahan-perubahan


dalam proses koagulasi dan fibrinolisis. Pada pasien DM,
risiko payah jantung kongestif meningkat 4 sampai 8 kali.

Peningkatan risiko

ini tidak hanya disebabkan

resistensi insulin, hiperinsulinemia, hiperamilinemia,


dislipidemia, dan gangguan sistem koagulasi serta

karena penyakit jantung iskemik. Dalam beberapa tahun

terakhir ini diketahui bahwa pasien DM dapat


pula mempengaruhi otot jantung secara independen.

hiperhomosisteinemia.
Semua faktor risiko ini kadang-kadang dapat terjadi
pada satu individu dan merupakan suatu kumpulan gejala
yang dikenal dengan istilah sindromresistensi insulin atau
sindrom metabolik. Lesi aterosklerosis pada pasien DM

Selain melalui keterlibatan aterosklerosis dini arteri koroner

yang menyebabkan penyakit jantung iskernik juga


dapat terjadi perubahan-perubahan berupa fibrosis
interstisial, pembentukan kolagen dan hipertrofi sel-sel otot
jantung. Pada tingkat seluler terjadi gangguan pengeluaran
kalsium dari sitoplasma, perubahan struktur troponin T
dan peningkatan aktivitas piruvat kinase. Perubahanperubahan ini akan menyebabkan gangguan kontraksi dan
relaksasi otot janh.rng dan peningkatan tekanan end4iastolic
sehingga dapat menimbulkan kardiomiopati restriktif.

dapat terjadi akibat

Hiperglikemia
Hiperglikemia kronik menyebabkan disfungsi endotel
melalui berbagai mekanisme antara lain :
hiperglikemia kronik menyebabkan glikosilasi non
enzimatik dari protein danmakromolekul seperti DNA,
yang akan mengakibatkan perubahan sifat antigenik

PATOFISIOLOGI

dari protein dan DNA. Keadaan ini akan menyebabkan

Dasar terjadinya peningkatan risiko penyakit jantung


koroner pada pasien DM belum diketahui secara pasti.

perubahan tekanan intravaskular akibat gangguan


keseimbangan Nitrat Oksida (NO) dan prostaglandin,

193

1938

.
.
.

hiperglikemia meningkatkan aktivasi PKC intraselular


sehingga akan menyebabkan gangguan NADPH pool
yang akan menghambat produksi NO.
overekspresi growth factors meningkatkan proliferasi
sel endotel dan otot polos pembuluh darah sehingga
akan terj adi neovaskularisasi.
hiperglikemi akan meningkatkan sintesis diacylglyerol
(DAG) melalui jalur glikolitik. Peningkatan konsentrasi

DAG akan meningkatkan aktivitas PKC. Baik DAG

maupun PKC berperan dalam memodulasi terjadinya


vasokonstriksi.

sel endotel sangat peka terhadap pengaruh stres


oksidatif. Keadaan hiperglikemia akan meningkatkan
tendensi untuk terjadinya stres oksidatif dan
peningkatan oxidized lipoprotein, terutama small dense
LDL-cholesterol (oxidized LDL) yang lebih bersifat
aterogenik. Disamping itu peningkatan konsentrasi
asam lemak bebas dan keadaan hiperglikemia dapat
meningkatkan oksidasi fosfolipid dan protein.

. hiperglikemia akan disertai dengan tendensi

METABOLIKENDORIN

endotel. Peneliti ini menyimpulkan bahwa insulin tidak


hanya memiliki efek vasodilatasi akut melainkan juga
memodulasi tonus pembuluh darah. Toksisitas insulin
(hiperinsulinemi/hiperproinsulinemi) dapat menyertai
keadaan resistensi insulin/ sindrom metabolik dan stadium
awal dari DM tipe 2. Insulin meningkatkan jumlah reseptor
AT-1 dan mengaktifkan Renin Angiotensin Aldosterone
System (RAAS). Akhir-akhir ini telah dapat diidentifikasi
adanya reseptor AT-l di dalam sel-sel beta pankreas dan
didalam sel-sel endotel kapiler pulau-pulau Langerhans
pankreas. Jadi, hiperinsulinemi mempunyai hubungan
denganAng-Il dengan akibat akan te{adi peningkatan stres
oksidatif didalam pulau-pulau Langerhans pankreas akibat
peningkatan konsentrasi insulin, proinsulin dan amilin.

Hiperamilinemi
Amilin

atau

disebutjugalslet Amyloid Polyeptide QAPP)

merupakan polipeptida yang mempunyai 37 gugus asam


amino, disintesis dan disekresi oleh sel-sel beta pankreas

bersama-sama dengan

insulin. Jadi

keadaan

protrombotik dan agregasi platelet. Keadaan ini


berhubungan dengan beberapa faktor antara lain
penumnan produksi NO dan penurunan aktivitas
fibrinolitik akibat peningkatan konsentrasi PAI-1.
Disamping itu pada DM tipe 2 terjadi peningkatan

hiperinsulinemi akan disertai dengan hiperamilinemi dan


sebaliknya bila terjadi penurunan konsentrasi insulin akan
disertai pula dengan hipoamilinemi. Hiperinsulinemi dan
hiperamilinemi dapat menyertai keadaan resistensi insu-

aktivitas koagulasi akibat pengaruh berbagai faktor


seperti pembentukan advanced glycosylation end

amiloidosis (penumpukan endapan amilin) didalam islet

products (AGEs) dan penurunan sintesis heparan sulfat.


walaupun tidak ada hubungan langsung antara aktivasi

koagulasi dengan disfrrngsi endotel, namun aktivasi


koagulasi yang berulang dapat menyebabkan stimulasi
yang-berlebihan dari sel-sel endotel sehingga akan
terjadi disfungsi endotel.

Resistensi lnsulin dan Hiperinsulinemia


Jialal dan kawan-kawan menemukan adanya reseptor
terhadap insulin yaitu IGF-I dan IGF-II pada sel-sel
pembuluh darah besar dan kecil dengan karakteristik ikatan
yang sama dengan yang ada pada sel-sel lain. Peneliti ini

menyatakan bahwa reseptor IGF-I dan IGF-II pada sel


endotel terbukti berperan secara fisiologik dalam proses
tef adinya komplikasi vaskular pada pasienDM. Defisiensi

insulin dan hiperglikemi kronik dapat meningkatkan


konsentrasi total protein kinase C (PKC) dan diacylglycerol
(DAG). Insulin juga mempunyai efek langsung terhadap
jaringan pembuluh darah. Pada penelitian terhadap jaringan
pembuluh darah dari obese Zucker rat didapalkanadanya

resistensi terhadap sinyal PI3-kinase. Temuan ini


membuktikan bahwa resistensi insulin akan menimbulkan
gangguan langsung pada fungsi pembuluh darah. King
dan kawan-kawan dalam penelitiannya menggunakan
konsentrasi insulin fisiologis mendapatkan bahwa hormon
ini dapat meningkatkan konsentrasi dan aktivitas mRNA
dari eNOS sebesar 2 kali lipat setelah 2-8 jam inkubasi sel

lin/ sindrom metabolik dan DM Iipe 2. Terjadinya


diduga berhubungan dengan lama dan beratnya resistensi

insulin dan DM tipe 2. Sebaliknya , penumpukan endapan


amilin didalam sel-sel beta pankreas akan menurunkan
fungsinya dalam mensekresi insulin. Sakuraba dan kawankawan dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pada
pasienDM tip e 2, peningkatan stres oksidatif berhubungan
dengan peningkatan pembentukan IAPP di dalam sel-sel
beta pankreas. Dalam keadaan ini terjadi penurunan
ekspresi enzim Super Oxide Dismutase (SOD) yang
menyertai pembentukan IAPP dan penurunan massa sel
beta. Temuan ini menunjukkan adanya hubungan antara
terjadinya stres oksidatif dan pembentukan IAPP serta
penurunan massa dan densitas sel-sel beta pankreas.
Amilin juga dapat merangsang lipolisis dan merupakan salah
satu mediator terjadinya resistensi insulin. Baru-baru ini
ditemukan pula amylin binding site didalam korteks ginjal,
dimana amilin dapat mengaktivasi RAAS dengan akibat
terj adinya peningkatan konsentrasi renin dan aldosteron.
Janson dan kawan-kawan mendapatkan adanya partikelpartikel amilo rd, (intermediate sized toxic smyloid particles
= ISTAPs/ yang bersifat sitotoksik terhadap sel-sel beta
pankreas, dapat mengakibatkan apoptosis dengan cara
merusak membran sel beta pankreas.

Inflamasi
Dalam beberapa tahun terakhir, terbukti bahwa inflamasi
tidak hanya menimbulkan komplikasi sindrom koroner akut,
tetapi juga merupakan penyebab utama dalam proses

1939

KOMPLIKASI KRONIK DM PEDTYAIST JANTUNG KORONER

terjadinya dan progresivitas aterosklerosis. Berbagai


pertanda inflamasi telah ditemukan didalam lesi
aterosklerosis, antara lain sitokin dan growthfactors yang

dilepaskan oleh makrofag dan T cel/s. Sitokin akan


meningkatkan sintesis Platelet Activating Factor (PAF),
merangsang lipolisis, ekspresi molekul-molekul adhesi dan
upregulasi sintesis serta ekspresi aktivitas prokoagulan
di dalam sel-sel endotel. Jadi sitokin memainkan peran
penting tidak hanya dalam proses awal terbentuknya lesi

aterosklerosis, melainkan juga progresivitasnya. Pelepasan

sitokin lebih banyak terjadi pada pasienDM, karena


peningkatan dari berbagai proses yang mengaktivasi
makrofag (danpelepasan sitokin), antara lain oksidasi dan
glikoksidasi protein dan lipid. Pelepasan sitokin yang

dipicu oleh terbentuknya Advanced Glycosylation


Endproducts (AGEs) akan disertai dengan over produksi
berbagai growthfactors seperti :

.
.
.
.

PDGF (Platelet Derived Growth Factor)


IGF I(Insulin Like Growth Factor I)
GMCSF (Granulocyte/Monocyte Colony Stimulating

Sindrom KoronerAkut.
Sampai sekarang masih terdapat kontroversi tentang
mengapa pada pemeriksaan patologi anatomi, plak pada
DM tipe 1 bersifat lebihfibrous dan calcffied, sedangkan
pada DM tipe 2 lebih seluler dan lebih banyak mengandung
lipid. Dalam suatu seri pemeriksaan arteri koroner pada
pasienDM tipe 2 setelah sudden death, didapatkan area
nekrosis, kalsifikasi dan ruptur plak yang luas. Sedangkan
pada pasienDM tipe I ditemukan peningkatan kandungan
jaringan ikat dengan sedkitfoam cells didalamplakyang
memungkinkan lesi aterosklerosisnya relatif lebih stabil.

Trombosis/Fibri nol isis

Diabetes Melitus akan disertai dengan keadaan


protrombotik yaitu perubahan-perubahan proses
trombosis dan fibrinolisis. Kelainan ini disebabkan karena
adanya resistensi insulin terutama yang terjadi pada

pasienDM tipe 2. Walaupun demikian dapat pula

Factor)

ditemukan pada pasienDM tipe 1. Peningkatan hbrinogen


serta aktivitas faktor VII dan PAI-I baik di dalam plasma
maupun didalam plak aterosklerotik akan menyebabkan

TGF-a (Transforming Growth Factor-a)

penurunan urokinase dan meningkatkan agregasi

Semua faktor ini mempunyai per-rgaruh besar terhadap


fungsi sel-sel pembuluh darah. Di samping itu terjadi pula

peningkatan pembentukan kompleks imun yang


mengandung modiJied lipoprotein. Tingginya konsentrasi
kompleks imun yang mengandung modified LDL, akan

meningkatkan risiko komplikasi makrovaskular pada


pasienDM baik DM tipe 1 maupun DM tipe 2. Kompleks
imun ini tidak hanya merangsang pelepasan sejumlah besar
sitokin tetapi juga merangsang ekspresi dan pelepasan
matrix metal loproleinas e- I (MMP- 1 ) tanpa merangsang
sintesis inhibitomya. Aktivasi makrofag oleh kompleks imun

tersebut akan merangsang pelepasan Tumor Necrosis


Factor-a (TNF-c) , yang menyebabkan up regulasi sintesis

C-reactive protein. Baru-baru ini telah ditemukan Creactive protein dengan konsentrasi yang cukup tinggi
pada pasiendengan resistensi insulin. Peningkatan

konsentrasi kompleks imun pada 'pasien DM tidak


hanya menyebabkan timbulnya aterosklerosis dan
progresivitasnya, melainkan juga berperan dalam proses
rupturnya plak aterosklerotik dan komplikasi Jantung
Koroner selanjutnya. Kandungan makrofag didalam lesi
aterosklerosis pada pasienDM mengalami peningkatan,
sebagai akibat dari peningkatan rekrutmen makrofag

kedalam dinding pembuluh darah karena pengaruh


tingginya konsentrasi sitokin. Peningkatan oxidized LDL

pada pasien

DM akan meningkatkan aktivasi sel T

yang akan meningkatkan pelepasan interferon-y.


Pelepasaninterferon g akan menyebabkan gangguan
homeostasis sel-sel pembuluh darah. Aktivasi sel T juga
akan menghambat proliferasi sel-sel otot polos pembuluh
darah dan biosintesis kolagen, yang akan menimbulkan

vulnerable plaque, sehingga menimbulkan komplikasi

platelet. Penyebab peningkatan fibrinogen diduga karejna


meningkatnya aktivitas faktor VII yang berhubungan

dengan terjadinya hiperlipidemi post prandial.


Over ekspresi PAI-l diduga terjadi aklbat pengaruh
langsung dari insulin dan pro insulin. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi PAI- I setelah
pengobatan DM tipe 2 dengan tiazolidinedione menyokong
hipotesis adanya peranan resistensi insulin dalam proses
terjadinya over ekspresi PAI-I. Peningkatan PAI-I baik
did alam plasma maupun di dalam plak aterosklerotik tidak
hanya menghambat migrasi sel otot polos pembuluh darah,
melainkan juga disertai penurunan ekspresi urokinase
didalam dinding pembuluh darah dan plak aterosklerotik.
Terjadinya proteolisis pada daerahJibrous cap dari plak
yang menunjukkanpeningkatan aktivasi sel T danmakrofag
akan memicu terj adinya ruphr plak dengan akibat terj adinya

sindrom koroner akut. Mekanisme yang mendasari


terjadinya keadaan hiperkoagulasi pada pasienDM dan
resistensi insulin, masih dalam penelitian lebih lanjut.

Dislipidemia
Dislipidemia yang akan menimbulkan stres oksidatifumum
terjadi pada keadaan resistensi insulirVsindrom metabolik
dan DM tipe 2. Keadaan ini terjadi akibat gangguan
metabolisme lipoprotein yang sering disebut sebagai lipid
triad, meliputi : 1. peningkatan konsentrasi VLDL atau
trigliserida, 2. penurunan konsentrasi kolesterol HDL , 3.

terbentuknya small dense LDL yang lebih bersifat


aterogenik.
Peningkatan konsentrasi VLDL, trigliserida dan small
dense LDL kolesterol serta penurunan konsentrasi HDL
kolesterol yang bersifat anti-aterogenik, anti oksidan dan

1940

anti inflamasi akan mengurangi cadangan anrt oksidan


alsmiuh.
Lipoprotein mempunyai fungsi mengangkut lipid
keseluruh tubuh, dimana LDL terutama berperan dalam
transport apolipoprotein (Apo) B 100; VLDL berperan
dalam transpor trigliserida yang mengandung Apo E,
sedangkan HDL berperan dalam mengangkut kembali

kolesterol yang mengandung anti inflamasi dan anti


oksidan alamiah yaitu Apo A. Molekul protein dari
lipoprotein ini akan mengalami modifrkasi karena proses
oksidasi, glikosilasi dan glikoksidasi dengan hasil akhir
akan terjadi peningkatan stres oksidatif dan terbentuknya
Spesies Oksigen Radikal. Di samping itl modiJied

METABOIII(ENDOKRIN

Angina pektoris. Rasa nyeri dada dan sesak napas yang


disebabkan karena gangguan suplai oksigen yang tidak
mencukupi kebutuhan otot jantung, Keadaan ini terutama
terjadi pada saat latihan fisik atau adanya stres.

Angina pektroris tidak stabil. Dikatakan Angina Pektoris


tidak stabil bila nyeri timbul untuk pertama kali, atau bila
Angina Pektoris sudah ada sebelumnya namun menjadi
lebih berat. Dan biasanya dicetuskan oleh faktor yang lebih

ringan dibanding sebelumnya. Keadaan ini harus


diwaspadai karena kelainan bisa berlanjut menjadi berat,
bahkan menjadi infark miokard.

Infark miokard.

1).

Kerusakan ototjantung akibat blokade

lipoprotein akan mengalami retensi didalam tunica intima

arteri koroner yang terjadi secara total dan mendadak.

yang memicu terjadinya aterogenesis.

Biasanya terjadi akibat ruptur plak aterosklerosis didalam

Hipertensi

dengan nyeri dada seperti pada Angina Pektoris, namun


lebih berat dan berlangsung lebih lama sampai beberapa
jam. Tidak seperti pada AP yang dicetuskan oleh latihan
dan dapat hilang dengan pemakaian obat nitrat di bawah
lidah, pada infark miokard biasanya te{adi tanpa dicetuskan
oleh latihan dan tidak hilang dengan pemakaian nitrat.
3).Kadang-kadang gejala bisa berupa sesak napas, atau

arteri koroner. 2). Secara klinis infark miokard ditandai


Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi
insulin/ sindrom metabolik dan sering menyertai DM
tipe 2. Sedangkan pada pasienDM tipe 1, hipertensi
dapat terjadi bila sudah ditemukan tanda-tanda gangguan
fungsi ginjal yang ditandai dengan mikroalbuminuri.
Adanya hipertensi akan memperberat disfungsi endotel

dan meningkatkan risiko Penyakit Jantung Koroner.


Hipertensi disertai dengan peningkatan stres oksidatif
dan aktivitas spesies oksigen radikal, yang selanjutnya
akan memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah
akibat aktivasi Ang II dan penurunan aktivitas enzim
SOD. Sebaliknya glukotoksisitas akan menyebabkan
peningkatan aktivitas RAAS sehingga akan meningkatkan
risiko terjadinya hipertensi. Penelitian terbaru mendapatkan
adanya peningkatan konsenhasi amilin (hiperamilinemia)
pada individu yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi
dan dengan resistensi insulin.

Hiperhomosisteinemia
PadapasienDM baikDM tipe I maupun DM tipe 2 ditemukan

polimorfisme gen dari enzim methylene tetrahydrofolate


reductase yang dapat menyebabkan hiperhomosisteinemi.

Polimorfisme gen ini terutama terjadi pada pasien yang


kekurangan asam folat di dalam dietnya. Hiperhomo-

sinkop (kehilangan kesadaran). 4). Biasanya disertai


komplikasi seperti; gangguan irama jantung, renjatan
jantung (shock cardiogenic), gagal jantung kiri, bahkan
kematiqn mendadak (sudden death).
Sindrom koroner akut : Spektum klinis yang tet'adi mulai

dari angina pektoris tidak stabil sampai terjadi infark


miokard akut.
Pada pasienDM, te{adinya iskemi atau infark miokard
kadang-kadang tidak disertai dengan nyeri dada yang khas

(angina pektoris). Keadaan ini dikenal dengan Silent


Myocardial Ischqemia atat Silent Myocardial

Infarction (SMI). Te{adinya SMI pada pasienDM diduga


disebabkan karena:
. Gangguan sensitivitas sentral terhadap rasa nyeri
. Penurunan konsentrasi b endorphin
. Neuropati perifer yang menyebabkan denervasi sensorik.

sisteinemi dapat diperbaiki dengan suplementasi asam folat.


Homosistein terutama mengalami peningkatan bila te{adi

DIAGNOSIS

gangguan fungsi ginjal. Peningkatan konsentrasi

Diagnosis Penyakit Jantung Koroner pada pasien

homosistein biasanya menyertai penurunan laju filtrasi


glomerulus. Hiperhomosisteinemi dapat menyebabkan
inaktivasi nitrat oksida melalui hambatannya terhadap
elrspres i glutathione peroxidas e (GPx).

Diabetes Melitus ditegakkan berdasarkan:

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis


Pada pasienDM tipe 1, yang umumnya datang tanpa

disertai faktor-faktor risiko tradisional, lamanya


menderita DM dapat dijadikan sebagai prediktor
penting terhadap timbulnya Penyakit Jantung Koroner.

MANIFESTASI KLINIS

Karena DM tipe

DM, Penyakit Jantung Koroner dapat


memberikan manifestasi klinis berupa :

Penyakit Jantung Koroner dapat terjadi pada usia antara


30 sampai 40 tahun. Sebaliknya pada pasienDM tipe 2,
sering disertai dengan berbagai faktor risiko, dan PJK

Pada individu non

sering terjadi pada usia muda,

t94l

I(OMPUKASI KRONIK DM PEI{YAKIT JANTUNG KORONER,

biasanya terjadi pada usia 50 tahun keatas. Seringkali,


DM baru terdiagnosis pada saat pasien datang dengan
keluhan angina, infark miokard atau payah jantung.
Sedangkan pada pasienDM dengan SMI, gejala yang

Kontrol glikemik

timbul biasanya tidak khas seperti mudah capek,

.
.
.
.
.

dyspnoe d'effort atau dispepsia.


PemeriksaanLaboratorium. Terdiri atas : 1. darahrutin,
2. konsentrasi gula darahpuasa,3. prohl lipid : kolesterol

total, kolesterol HDL, kolesterol LDL , Trigliserida 4,


Enzim-enzimjantung, 5. C-reactive protein (CRP), 6.
Mikroalbuminuri atau proteinuri
Elekhokardiografi
Pemeriksaan fFoto dada

Ekokardiografi
Pemeriksaan baku emas adalah angiografi koroner

American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan pemeriksaan-pemeriksaan sebagai berikut:


. Elektrokardiograh (EKG) sebagai pemeriksaan awal
terhadap setiap pasien DM
. Ujilatlh(Treadmill test) dilakukan terhadap pasien DM
The

dengan:
- Gejala-gejalaanginapektoris
- Dyspnoe d'effort
- Gejalagastrointestinal
- EKGistirahatmenunjukkantanda-tandaiskemiatau
:

90

o/o

130 mg/dl (5.0 - 7.2


mmol/l)
< 180 mg/dl (< 10.0 mmol/l)

< 130/80 mmHg


< 100 mg/dl (< 2.6 mmol/l)
< 150 mg/dl (< 1.7 mmolil)
> 40 mg/dl (>1.1 mmolil)

infarkmiokard

REFERENSI
American Diabetes Association. Standards of Medical Care for
Patients with Diabetes Mellitus (Position Statement). Diabetes
Carc 2003;26

(Sl):

33-50.

Aronow WS. Silent MI. Prevalence and prognosis in older patients


diagnosed by routine electrocardiograms. Geriatrics 2003;58:2440.
Calles-Escandon J, Mirza SA, Garcia-Rutri E, Mortensen A. Type 2
DM: one disease, multiple cardiovascular risk factors. Coron

Artery Dis 1999; 10:23-30.


Giugliano D, Ceriello A, Paolisso G. Oxidative stress and diabetic
vascular complications. DM Care 1996; 19:.257-67.

Haffner SM, Lehto S, Ronnemaa T, Py<iriill K, Laakso M.


Mortality from coronary heart disease in subjects with Type

diabetes and in nondiabetic subjects with and without prior myocardial infarction. N Engl J Med 1998;339:229-34.

Disertaipenyakit arteri perifer atau oklusi arterikarotis


Disertai adanya 2 atau lebih faktor-faktor risiko
kardiovaskular sebagai berikut : kolesterol total
> 240 mgldl,kolesterol LDL > I 60 mg/dl, kolesterol
HDL: 35 mg/dl, tekanan darah > 140190 mmHg,

Hayden MR, Tyagi SC. '4," is for amylin and amyloid in type 2 DM
mellitus. JOP. J Pancreas (Online) 2001;2:124-39.
Hogikyan RY Galecki AT, Pitt B, Halter JB, Greene DA, Supiano

merokok, riwayat keluarga menderita PJK,

Jialal

mikroalbuminuria atau proteinuria

PENATALAKSANAAN
Berdasarkan rekomendasi ADA, penatalaksanaan terhadap
semua pasien DM terutama ditujukan terhadap penurunan

risiko kardiovaskular secara komprehensif , yaitu meliputi


. Pengobatan hiperglikemia dengan diet, obat-obat
hipoglikemiak oral atau insulin
. Pengobatanterhadapdislipidemia
Pemberian aspirin

Pengobatan terhadap hipertensi untuk mencapai


tekanan darah < 130/80 mmHg denganACE inhibitor,
angiotensin receptor blockers (ARB) atau penyekat B

<7

Kadar glukosa darah


preprandial
Kadar glukosa darah
postprandial
Tekanan darah
Lipid :
LDL
Trigliserida
HDL

Uji latlh(treadmill test)

(kateterisasi)

.
.

2
3

- A1C

dan diuretik

Menasihati pasien untuk berhenti merokok.

Rekomendasi ADA tentang target yang harus dicapai


dalam penatalaksanaan Diabetes Melitus dalam upaya
menurunkan risiko kardiovaskular :

MA. Specific impairment of endothelium-dependent v


asodilation in subjects with \pe 2 DM independent of obesity.
J Clin Endocrinol Metab 1998;83:1946-1952.
I, Crettaz M, Hachiya HL, Kahn CR, Moses AC, Buaney SM,
King GL. Characterization of the receptors for insulin and the
insulinlike growth factors on micro-ard macrovascular tissues.
Endocrinology 1 985 ;l 17 :1222-9.
Krauss RM. Lipids and Lipoproteins in Patients With Type 2
Diabetes Diabetes Car e 20O4;27'.1 49 6-5Q4.
Lauer MS. Coronary artery disease in diabetes: Which
is best? Cleveland Clin J Med 2005;72 (l):6-9.

(if

any) test

Pinkney JH, Downs L, Hopton M, Mackness MI, Bolton CH.


Endothelial dysfunction in Type 1 DM mellitus: relationship
with LDL oxidation and the effects of vitamin E. Diabet Med
1999;16:993-999.
Quyyumi AA. Endothelial function in health and disease: new
insights into the genesis of cardiovascular disease. Am J Med
I 998;1

05:32S-393.

Steinberg HO, Chaker H, Leaming R, Johnson A, Brechtel G Baron


AD. Obesity/insulin resistance is associated with endothelial

dysfunction. Implications for the syndrome of insulin


resistance. J Clin Invest 19961,97:2601-2614.
Tabibiazar R, Edelman S. Silent Ischemia

in People With Diabetes:

Condition That Must Be Heard. Clin Diab 2003;21(1):5-9.


Zellweger MJ,Pfisterer ME. Silent coronary artery disease in patients with diabetes mellitus. Swiss Med Wkly 2001;131:42?432.

303
NEFROPATI DIABETIK
Hendromaftono

melitus lebih banyak dipelajari pada diabetes melitus tipe


I dari pada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi menjadi 5
tahapan (Tabel 1).

PENDAHULUAN
Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai
sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai
dengan albuminuria menetap (>300 m! 24j am atau >200
iglmenit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun

Tahap 1. Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat


diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju
ekskresi albumin dalam urin meningkat.

waktu3sampai6bulan.
Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan
penyebab utama gagal ginjal terminal. Angka kejadian
nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe 1 dan 2
sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar
daripada tipe I karena jumlah pasien diabetes melitus tipe 2
lebih banyak daripada tipe I . Di Amerika, nefropati diabetik
merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara
semua komplikasi diabetes melitus, dan penyebab kematian
tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular.
Secara epidemiologis, ditemukan perbedaan terhadap

kerentanan untuk timbulnya nefropati daibetik, yang


antara lain dipengaruhi oleh etnis, jenis kelamin serta
umur saat diabetes timbul.

Tahap 2. Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti,


laju filtrasi glomerulus tetap meningkat, ekskresi albumin
dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan
histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang

tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan volume


mesangium fraksional (dengan peningkatan matriks
mesangium).

Tahap 3. Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau


nefropati insipien. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau
dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi
albumin dalam urin adalah 20 - 200 ig/menit (30-300 m!24
jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara hiStologis,
didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan
volume mesangium fraksional dalam glomerulus.

KLASIFIKASI

Tahap 4. Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut.


Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi

Pedalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes

pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering

Tahap Kondisi Ginjal


1
Hipertrofi
2
3
4
5

Hiperfungsi
Kelainan struktur
Mikroalbuminuria
persisten
Makroalbuminuria
Proteinuria
Uremia

Prognosis

N
Reversibel
{.
t|t
N
Mungkinreversibel
6/N
Mungkinreverdbel
20- 200 mg/menit
6
6/N
> 200 mg/menit
Rendah Hipertensi Mungkin bisa stabilisasi
Tinqoi/ Rendah < 10 ml/ menit Hipertensi Kesintasan 2 tahun + 50%
N

AER= Albumin Excretion Rate , LFG = Laju Filtrasi Glomerulus (GFR), N = normal, TD

1942

Tekanan Darah

1943

NEFROPAIIDIABETIK

ditemukan pada tahap ini. Laju hltrasi glomerulus menurun,


sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini
berhubungan dengan tingginya tekanan darah.

Urinalisis rutin untuk deteksi protein

Tahap 5. Timbulnya gagal ginjal terminal.

Disamping klasifikasi dari Mogensen, ada beberapa


pembagian-pembagian lain seperti oleh National Kidney

Nefropati yang jelas.


Tentukan jumlah ekskresi protein

Foundation (NKF) (dalam kelompok Diabetic Kidney

Memulai terapi

Disease),kementerian kesehatan Jepang dan lain-lain yang

umumnya bertujuan untuk menyeragamkan serta


mempermudah diagnosis dan tatalaksana.

Jika tes mikroalbumin


positif, ulang dua kali
dalam 3 bulan

MIKROALBUMINURIA
Mikroalbuminuria umumnya didef,rnisikan sebagai ekskresi
albumin lebih dari 30 mg per hari dan dianggap sebagai

prediktor penting untuk timbulnya nefropati diabetik

Gambar 1. Penapisan untuk mikroalbuminuria. (Disadur dari


DeFronzo Diabetic Nephropathy, ADA, 2004)

(Tabet2).
Periksa adanya
retinopati

Laju Ekskresi
Albumin Urin
Kondisi

24iam

Sewaktu

(mg/hari)

(pg/menit)

30 - 300
> 300

20 -200
> 200

Perbandingan
Albumin Urin

Kreatinin
<30

Mikroalbuminuria

Makroalbuminuia

30

300 (299)
> 300

International Society of Nephrology (ISN) menganjurkan


penggunaan perbandingan albumin - kreatinine (albumincreatinine ratlo -ACR) untuk kuantilftasi proteinuria serta

Gambar 2. Pemeriksaan lanjutan mikroalbuminuria. (Disadur dari


Vora JP & lbrahim AA: Clinical Manifestations and Natural History
of Diabetic Nephropathy, 2003)

sebagai sarana follow-up.


Perlu diingat bahwa banyak penyebab mikroalbuminuria di
samping diabetes. Beberapa penyebab proteinuria lain yang
juga sering ditemukan adalah tekanan darah tinggi, serta
umur lanjut. Selain itu, kehamilan, asupan protein yang
sangat tinggi, stress, infeksi sistemik atau saluran kemih,
dekompensasi metabolik akut, demam, latihan berat dan
gagal jantung dapat meningkatkan laju ekskresi albumin urin.

Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksaan


berturut-turut dalam 3 bulan menunjukkan adanya
mikroalbuminuria (Gambar

l).

Ada beberapa kondisi yang berhubungan dengan


mikroalbuminuria, antaralain'. 1). mikroangiopati diabetik;
2). penyakit kardiovaskular; 3). hipertensi, 4). hiperlipidemia
karena itu jika ditemukan mikroalbuminuria, maka perlu

dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan lain


(Gambar2).

dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal.


Penelitian Brenner dkk pada hewan menunjukkan bahwa

saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang


berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih
sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi.
Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat
lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron
tersebut.

Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi


glomerulus pada nefropati diabetik ini masih belum jelas
benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol

aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang


diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide,
prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari
hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis
matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-p yang
diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang

PATOFISIOLOGI
Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal

termasuk dalam serinethreonin kinase yang memiliki fungsi


pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi
sel dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat
menyebabkan terj adinya glikasi nonenzimatik asam amino

1944

MEHBOLIKENDOKRIN

dan protein (reaksi

Mallard dan Browning). Pada awalnya,


glukosa akan mengikat residu amino secara non-enzimatik
menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang

untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih


reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses

ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation


End-Products (AGE$ yang ireversibel. AGEs diperkirakan
menjadi perantara bagi beberapakegiatan seluler seperti

.
.
.

pelepasan growth factors


kelainan metabolisme karbohidrat / lemak / protein
kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi
mesangium, penebalan membrana basalis glomerulus)
gangguan ion pumps (peningkatan Na*-H* pump dan
penurunan Ca2*-AIPase pump)

.
.
.

hiperlipidemia(hiperkolesterolemiadanhipertrelrseride-mia)

aktivasi protein kinase C

ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam


penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya
hiperlrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi
sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut

PATOLOGI

sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan


nodul serta fibrosis tubulointerstisialis sesuai dengan
tahap-tahap dari Mogensen. Hipertensi yang timbul

Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah


penebalan membran basalis, ekspansi mesangium (berupa
akumulasi matriks eksha seluler; penimbunan kolagen tipe

bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal, juga akan

IV, laminin dan fibronektin) yang kemudian akan

mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes.

menimbulkan glomerulosklerosis noduler danlatau difu s


(Kimmelstiel-Wilson), hyalinosis arteriolar aferen dan
eferen, serta fibrosis tubulo-interstisial (Tabel 3).

Penelitian pada hewan diabetes menunjukkan adanya


vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan renin/
angiotensin sistem. Diperkirakan bahwa hipertensi pada
diabetes terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen
intrarenal atau intraglomerulus.
Secara ringkas, faktor-faktor etiologis timbulnya
penyakit ginjal diabetik adalah :
. kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah
puasa > I 40- I 60 mgldl [7,7 -8,8 mmoVl]) ; A I C >7 -\y6
. faktor-faktorgenetis
. kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus, peningkatan tekanan
intraglomerulus)
. hipertensi sistemik
. sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik)

.
.
.
.

keradangan
perubahan permeabilitas pembuluh darah
asupan protein berlebih
gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol,
pembentukan advanced glycation end products,
peningkatan produksi sitokin)

.
.
.
.
.
.

Peningkatan material matriks mesangium


Penebalan membran basalis glomerulus
Hialinosis arteriol aferen dan eferen
Penebalan membran basalis tubulus
Atrofi tubulus
Fibrosis interstisial

TATAI.AKSANA
Evaluasi. Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan,
kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal juga harus
diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani
pengobatan rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh

American Diabetes Association (ADA) adalah


pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta
penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin (Tabet 4).

Evaluasi awal
Penentuan
m ikroa lbu m in

uria

Sesudah
pengendalian
gula darah

awal (dalam 3
bulan
diagnosis

Sitokin

Tnnslorning
Grouvlh
Factor\

Vascular
Endothelial
Gtowth Factor

ditegakkan)
Klirens kreatinin

Kreatinin serum

Gambar 3. Patogenesis nefropati diabetik. (Disadur dari Cooper


ME, Gilbert RE: Pathogenesis, Prevention, and Treatment of
Diabetic Nephropathy, 2003)

Saat awal
diagnosis
ditegakkan

Saat awal
diagnosis
ditegakkan

Follow-up'

Diabetestipel:tiap
tahun setelah 5
tahun
Diabetes tipe 2: tiap

tahun setelah
diagnosis
ditegakkan

Tiapl-2tahun
sampai laju filtrasi
glomerulus <100
ml/men/1.73m',
kemudian tiap
tahun atau lebih
sering*
Tiap tahun atau lebih
sering tergantung
dari laju penurunan
fungsi ginjal

1945

NEFROPATIDIABETIK

Untuk mempermudah evaluasi, NKF menganjurkan


perhitungan laju filtrasi glomerulus dengan menggunakan
rumus dari Cockroft -Gault yaitu:

tekanan darah (diet rendah garam, obat antihipertensi);


3). perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor [ACE-I] dan/

ata:l Angiotensin Receptor Blocker

(140

umur) x Berat Badan

Klirens

Kreatinin*

[ARB]); a).
lain
ko-morbiditas
pengendalian faktor-faktor

(0,85 untukwanita)

Terapi non farmakologis nefropati diabetikberupa gaya

T2xKreatinin Serum

*Glomerular Filtrqtion Rate I laju filtrasi glomerulus


(GFR) dalam mVm erutl 1,7 3rr]
Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada
pasien diabetes adalah diabetik nefropati. Tetapi harus
tetap disadari bahwa ada kasus-kasus tertentu yang
memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama jika ada
gambaran klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium yang
mengarah kepada penyakit-penyakit glomerulus nondiabetik (hematuria makroskopik, casl sel darah merah dll),
atau kalau timbul azotemia bermakna dengan proteinuria

derajat sangat rendah, tidak ditemukannya retinopati


(terutama pada diabetes melitus tipe

(pengendalian kadar lemak, mengurangi obesitas dll).

l),

atau pada kasus

proteinuria yang timbul sangat mendadak serta tidak


melalui tahapan perkembangan nefropati. Pada kasuskasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsi
ginjal (Gambar4).
Terapi. Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada
tahapan-tahapan apakah masih normoalbuminuria, sudah
terjadi mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, tetapi
pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati
diabetik adalah melalui : 1). pengendalian gula darah

(olahraga, diet, obat anti diabetes); 2). pengendalian

hidup yang sehat meliputi olah raga rutin, diet,


menghentikan merokok serta membatasi konsumsi alkohol.
Olah raga rutin yang dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5
km/trari dengan kecepatan sekitar 10-12 menir/km, 4 sampai
5 kali seminggu. Pembatasan asupan garcmadalah4-5 gl
hari (atau 68-85 meq/hari) serta asupan protein hingga 0,8
glkglberat badan ideal/hari.
Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah

<130/80 mmHg (Tabel 5). Obat antihipertensi yang


dianjurkan adalah ACE-I atau ARB, sedangkan pilihan lain
adalah diuretika, kemudian beta-blocker atan
calcium-channel bl ocker.
Walaupun pasien nefropati diabetik memiliki tekanan
darah normal, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa

pemberian ACE-I dan ARB dapat mencegah laju


penurunan fungsi ginjal. Diperkirakan bahwa efek ini
dicapai akibat penurunan tekanan darah, penurunan
tekanan intraglomerulus, peningkatan aliran darah ginjal,
penurunan proteinuria, efek natriuretik serta pengurangan
proliferasi sel, hipertrofi, ekspansi matriks, sitokin dan

factor, disamping hambatan aktivasi,


proliferasi dan migrasi makrofag, serta perbaikan
sintesa growth

sensitivitas terhadap insulin.

Gambar4. Evaluasi klinis nefropati diabetik. (Disadurdari Vora JP & lbrahim


of diabetic nephropathy, 2003\

M:

Clinical manifestations and natural history

1946

Tanpa

Mikro-

<6-7o/o

<6-7o/o

Mikroalbuminuria albuminuria
A1C
Tekanan Darah*
Sistolik / Diastolik (mmHg)
Mean Afterial Pressure (mmHg)
Asupan protein (g/kg/hari)

120-130t80
90-95
>'1.0-1.2

20-1 30/80

Albuminuria
klinis/lnsufisiensi ginjal
<7-8o/o
1

20-1 30i80

90-95

90-95

0,8-1 ,0

0,6-0,81

. jika tekanan darah pasien diabetes diketahui sebelumnya dan <120-130/80- 85 mmHg, nilai ini dipakai sebagai endt

pointle'api
jika pasien mendapat ACE-|, asupan diet bisa lebih tinggi (0,S-1,0 g/kg/hari) [ADA]

Pada pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya


berjalan terus, maka saat laju filtrasi glomerulus mencapai

l0 - 12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin < 15 ml/


menit atau serum kreatinin > 6 mg/dl) dianjurkan untuk
memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis),
walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan

sebaiknya terapi pengganti ginjal

ini dimulai. Pilihan

pengobatan gagal ginjal terminal yang lain adalah cangkok


ginjal, dan pada kasus nefropati diabetik di negara maju

sudah sering dilakukan cangkok ginjal dan pankreas


sekaligus.

Rujukan. BaikADAmaupun ISN dan NKF menganjurkan


rujukan kepada seorang dokter yang ahli dalam perawatan
nefropati diabetikjika laju filtrasi glomerulus mencapai < 60
mUmen/1,73rfr, atau jika ada kesulitan dalam mengatasi
hipertensi atau hiperkalemia, serta rujukan kepada
konsultan nefrologi jika laju filtrasi glomerulus mencapai <
30 mVmen/l,73nf , atau lebih awal jika pasien berisiko
mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau
diagnosis dan prognosis pasien diragukan.

REFERENSI
American Diabetes Association: Standards of medical care in diabetes (Position statement). Diabetes Care, 2004; 27(Suppl. 1):S 15.
American Diabetes Association: Nephropathy in diabetes (Position
statement). Diabetes Carc, 2004; 27(Suppl. 1):579.
Brownlee M: Mechanisms of hyp6rglycemic damage in diabetes, in:
Kahn CR (ed): Atlas of diabetes. Science Press Ltd;2000, p.l2l.
Car SJ: Management of end-stage renal disease in diabetes, in Johnson
RJ et al (eds): Comprehensive Clinical Nephrol, 2"d ed. St
Louis:Mosby; 200L p.451.
Chobanian AV et al: The Seventh report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA 2003;

289:2560.
Cooper ME, Gilobert RE: Pathogenesis, prevention, and treatment
of diabetic nephropathy, in Johnson RI et al (eds): Comprehensive Clinical Nephrology, 2"d ed. St Louis: Mosby; 2001, p. 439.
The DCCT / EDIC Research Group: Retinopat\ and nephropathy
in patients with type I diabetes four years after a trial of intensive therapy. N Eng J Med 2000; 342:381.

DeFronzo RA: Diabetic nephropathy, in Lebovitz HE (ed): Therapy


for diabetes mellitus and related disorders, 4s ed, American Diabetes Association, 2004, p. 369.
Haneda M, Koya D, Kikkawa: Mesangial cell dysfunction as a pathogenesis of diabetic nephropathy, in Tomino Y (ed): Diabetic
nephropathy in Japan. From bench to bedside. Tokyo; Karger:
2001. p.16.
The Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) Study Investigators: Effects of ramipril on cardiovascular and microvascular outcomes in people with diabetes mellitus: Results of the
HOPE study and MICRO-HOPE study. Lancet 2000;355: 253.
Lubis HR: Penanganan dini untuk memperlambat progresi penyakit
ginjal diabetik. The 5b Jakarta Nephrology and Hypertension
Course and Symposium on Hypertension. Jakarta: 2005.
Mogensen CE: Nephropathy and hypertension in diabetic patient,
in: Belfiore F, Mogensem CE (eds): New concept in diabetes and
its treatment. Bazel, Karger, 2000. p.52.
National Kidney Foundation: K,/DOQI Clinical Practice Guidelines
for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and
Stratification. Am J Kidney Dis 2002;39:51.
National Kidney Foundation: K/DOQI Clinical Practice Guidelines

on Hypertension and Antihypertensive Agents in Chronic


Kidney Disease. Am J Kidney Dis 2004;43:Sl.
Powers AC: Diabetes Mellitus, in Kasper DL et.al (eds): Harrison's
Principles of Internal Medicine, l6'h ed. New York: McGraw
HLLI; 2005. p.2152.
Roesli RMA: Peran faktor risiko pada progresivitas penyakit ginjal
diabetik. The 5th Jakarta Nephrology and Hypertension Course
and Symposium on Hypertension. Iakarta:2005.
Schrier et al (eds): The role of hypertension in progression of chronic
renal disease, in: Essential atlas of nephrology. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2001.p.153.
Situmorang TD: Perjalanan klinik penyakit ginjal diabetik. The 5th
Jakarta Nephrology and Hypertension Course and Symposium
on Hypertension. Jakarta: 2005.

Skyler JS: Microvascular complications, retinopathy


nephropathy. Endocrinol. Metab. Clin. North.

and

Am 2001;30:833.

The UK Prospective Diabetes Study Group: Tight blood pressure

control and risk of macrovascular and microvascular


complications in type 2 diabetes: UKPDS 38. BMJ
1998;317:'703.
Vora JP, Ibrahim AAH: Clinical Manifestation and natural history
of diabetic nephropathy, in Johnson RJ et al (eds): Comprehensive Clinical Nephrology, 2"d ed. St Louis: Mosby; 2001. p.425.
Wolf G, Ritz E: Diabetic nephropathy in type 2 diabetes.
Prevention and patient management. J. Am. Soc. Nephrol
2003;14:2.

304
NEUROPATI DIABETIK
Imam SubeKi

PENDAHULUAN

tidak mengurangi keluhan, sehingga kualitas hidup dapat


diperbaiki.

Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi

Dengan demikian, memahami mekanisme te{adinya ND


dan faktor-faktor yang berperan, merupakan landasan

kronis paling sering ditemukan pada diabetes melitus (DM).


Risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND antara lain
ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh
dan amputasi jarilkaki. Kondisi inilah yang menyebabkan

penting dalam pengelolaan danpencegahanND yang lebih

rasional.

bertambahnya angka kesakitan dan kematian, yang


berakibat pada meningkatnya beaya pengobatan pasien
DM denganND.
Hingga saat ini patogenesis ND belum seluruhnya
diketahui dengan jelas. Namun demikian dianggap bahwa
hiperglikemia persisten merupakan faktor primer. Faktor
metabolik ini bukan satu-satunyayang bertanggung jawab
terhadap terjadinya ND, tetapi beberapa teori lain yang
diterima ialah teori vaskular, autoimun dan nerve growth
factor. Studi prospektif oleh Solomon dkk, menyebutkan
bahwa selain peran kendali glikemik, kejadian neuropati
juga berhubungan dengan risiko kardiovaskular yang

DEFINISI
Dalam konferensi neuropati perifer pada bulan Februari
1988 di SanAntonio, disebutkanbahwaND adalah istilah
deskriptif yang menunjukkan adanya gangguan, baik klinis
maupun subklinis, yang te{adi pada diabetes melitus tanpa
penyebab neuropati perifer yang lain. Ganggrran neuropati
ini termasuk manifestasi somatik dan atau autonom dari
sistem sarafperifer.

potensial masih dapat dimodifikasi.


Manifestasi ND bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa
keluhan dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan
elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa

Berbagai studi melaporkan prevalensi ND yang bervariasi.


Bergantung pada batasan definisi yang digunakan, kriteria

juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau

diagnostik, metode seleksi pasien dan populasi yang

sistemik, yang semua itubergantung pada lokasi danjenis


saraf yang terkena lesi.
Mengingat terjadinya ND merupakan rangkaian proses
yang dinamis dan bergantungpadabanyak faktor, maka

diteliti, prevalensi ND berkisar dari 12-50%. AngKakejadian


dan derajat keparahan ND juga bervariasi sesuai dengan
usia, lama menderita DM, kendali glikemik, juga fluktuasi
kadar glukosa darah sejak diketahui DM. Pada suatu
penelitian besar, neuropati simtomatis ditemukan pada

pengelolaan atau pencegahan ND pada dasarnya


merupakan bagian dari pengelolaan diabetes secara

PREVALENSI

28,5yo dari 6.500 pasien

DM. Pada studi Rochester,

keseluruhan. Untuk mencegah agar ND tidak berkembang


menjadi ulkus diabetik seperti ulkus atau gangren pada
kaki, diperlukan berbagai upaya khususnya pemahaman
pentingnya perawatan kaki. Bila ND disertai dengan nyeri,
dapat diberikan berbagai jenis obat-obatan sesuai tipe

walaupun neuropati simtomatis ditemukan h any a pada l3o/o


pasien DM, ternyata lebih dari setengahnya ditemukan

nyerinya, dengan harapan menghilangkan atau paling

neuropati hanya dijumpai pada 2,3o/o.

neuropati dengan pemeriksaan klinis. Studi lain


melaporkan kelainan kecepatan hantar saraf sudah didapati

pada

1947

15,2%o

pasien DM baru, sementara tanda klinis

1948

PATOGENESIS

MEIABOIJKENIPTRIN

Kelainan Vaskular
Penelitian membuktikan bahwa hiperglikemia juga

Proses kejadian ND berawal dari hiperglikemia


berkepanj angan yang berakibat terj adinya peningkatan
aktivitas jalur poliol, sintesis advanee glycosilation end
products (AGEs), pembenhrkan radikal bebas dan aktivasi
protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut

mempunyai hubungan dengan kerusakan mikrovaskular.


Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal
bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species
(RO.D Radikal bebas ini membuat kerusakan endotel
vaskular dan menetralisasi NO, yang berefek menghalangi

berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran

vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kelainan

darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya

mikrovaskular tersebut dapat melalui penebalan membrana


basalis; trombosis pada arteriol intraneural; peningkatan

mioinositol dalam sel terjadilah ND. Berbagai penelitian


membuktikan bahwa kejadian ND berhubungan sangat
kuat dengan lama dan beratnya DM.

Faktor Metabolik
ND berawal dari hiperglikemia yang

Proses terjadinya

berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan


aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim
aldose-reduktase, yang merubah glukosa menjadi sorbi-

agregasi trombosit dan berkurangnya deformabilitas


eritrosit; berkurangnya alirandarah saraf dan peningkatan
resistensi vaskular; stasis aksonal, pembengkakan dan
demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut. Kejadian
neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular masih bisa
dicegah dengan modifikasi faktor risiko kardiovaskular,
yaitu kadar trigliserida yang tinggi, indeks massa tubuh,
merokok dan hipertensi.

tol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol


dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan

fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalui


mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinarurya

ialah akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf


menyebabkan keadaan hipertonik intraselular sehingga
mengakibatkan edem saraf. Peningkatan sintesis sorbitol
berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel
saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol secara
langsung menimbulkan stres osmotik yang akan merusak
mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C

(PKC). Aktivasi PKC ini akan menekan fungsi NaK-ATP-ase, sehingga kadar Na intraselular menjadi
berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol
masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan

Mekanisme lmun
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 22% dari I20
penyandang DM tipe I memiliki complement fixing
antisciatic nerve antibodies dan 25% DM tipe 2
memperlihatkan hasil yang positip. Hal ini menunjukkan
bahwa antibodi tersebut berperan pada patogenesis ND.

Bukti lain yang menyokong peran antibodi dalam


mekanisme patogenik ND adalah adanya antineural anti-

bodies pada serum sebagian penyandang DM.


Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat
merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa
dideteksi dengan imunofloresens indirek. Disamping itu
adanya penumpukan antibodi dan komplemen pada
berbagai komponen saraf suralis memperlihatkan

transduksi sinyal pada saraf.


Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya
persediaan NADPH saraf yang merupakan kofaktor
penting dalam metabolisme oksidatif. Karena NADPH
merupakan kofaktor penting untuk glutathion dan nitric
oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor tersebut
membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal
bebas dan penurunan produksi nitric oxide (NO).

NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan


pertumbuhan saraf. Pada penyandang diabetes, kadarNGF
serum cenderung turun dan berhubungan dengan derajat
neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen

Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol,


hiperglikemia berkepanjangan akan menyebabkan
terbentuknya advance glycosilation end products
(AGEs). AGEs ini sangat toksik dan merusak semua

(CGRP). Peptida ini mempunyai efek terhadap vasodilatasi,


motilitas intestinal dan nosiseptif, yang kesemuanya itu
mengalami gangguan pada ND.

protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya


AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO akan
menurun, yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran

darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya


mioinositol dalam sel saraf, terjadilah ND. Kerusakan
aksonal metabolik awal masih dapat kembali pulih dengan

kendali glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan


metabolik ini berlanjut menjadi kerusakan iskemik, maka
kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat diperbaiki
lagi.

kemungkinan peran proses imun pada patogenesis ND.


Peran" werve G rowth Factor (NGF)

substance

dan calcitonin-gen-regulated peptide

KLASIFIKASI
Neuropati diabetik merupakan kelainan yang heterogen,
sehingga ditemukan berbagai ragam klasifikasi, Secara
umum ND yang dikemukakan bergantung pada 2 hal,
pertama, menurut perjalanan penyakitnya (lama menderita
DM) dan kedua, menurut jenis serabut saraf yang terkena
lesi.

1949

hIEUROPATIDIABETIK

Menurut perjalanan penyakitrrya, ND dibagi menjadi:


- neuropati fungsional/subklinis, yaitu gejala yang
muncul sebagai akibatperubahan biokimiawi. Pada
fase ini belum ada kelainan patologik sehingga masih

reversibel.

neuropati struktural/klinis, yaitu gojala timbul


sebagai akibat kerusakan struktural serabut saraf.
"Pada fase ini masih ada komponen yan g reversible.

'kematian neuron/tingkat lanjut, yaitu terjadi


penurunan kepadatan serabut saraf akibat kematian
neuron. Pada fase ini sudah irreversible.Kensakan

serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal


menuju ke proksimal, sedangkan proses perbaikan
mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu lesi

distal paling banyak ditemukan,

seperti

polineuropati simetris distal.


Menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi:

NeuropatiDifus

.
.
.

Polineuropati sensori-motor simetris distal,


Neuropati otonom : Neuropati sudomotor, Neuropati
otonom kardiovaskular, Nurropati gastrointestinal,
Neuropati genitourinari a

oukup untuk mengeluarkan kemungkinan adanya


neuropati.
Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian
terhadap: l), refleks motorik; 2). fungsi serabut sarafbesar
dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa getar
(biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filamen
mono Semmes-Weinstein); 3). fungsi serabut saraf kecil
dengan tes sensasi suhu; 4). untuk mengetahui dcngan
lebih awal adanya gangguan hantar saraf dapat dikerjakan

elekhomiografi.
Bentuk lainND yangjuga sering ditemukan ialahneuropati

otonom (parasimpatis dan simpatis) atau diabetic


autonomic neuropathy (DAN).

Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan

1). Tes respons denyut jantung terhadap maneuver


valsava; 2). Variasi denyutjantung (interval RR) selama
napas dalam (denyut jantung maksimum-minimum
Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan : 1),
Respons tekanan darah terhadap berditi (penurunan

sistolik); 2). Respons tekanan darah terhadap


genggaman (peningkatan diastolik).

Neuropati lower limb motor simetris proksimal


(amiofropi)

Neuropati Fokal

.
.
.

dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak

Neuropati kranial

Radikulopati/pleksopati
Entrapmentneuropathy

KlasifikasiND di atas berdasarkan anatomi serabut saraf


perifer yang secara umum dibagi atas 3 sistem yaitu sistem
motorik, sensorik dan sistem autonom. Manifestasi klinis
ND bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami
lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa
yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal
.atau difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka
manifestasi klinis ND menjadi bervariasi, mulai kesemutan;
kebas; tebal; mati rasa; rasa terbakar; seperti ditusuk;
disobek, ditikam.

PENGELOI.AAN
Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati
3 bagian. Strategi pertama adalah

diabetik dibagi ke dalam

diagnosis ND sedini mungkin, diikuti strategi kedua


dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaikbaiknya, dan strategi ketiga ditujukanpada pengendalian
keluhan neuropati/ nyeri neuropati diabetik setelah strategi
kedua dikerjakan.

Mengingat ND merupakan komplikasi kronik dengan


berbagai faktor risiko yang terlibat, maka pada pengelolaan

ND perlu melibatkan banyak aspek, seperti perawatan


umum, pengendalian glukosa darah dan parameter
metabolik lain sebagai komponen tak terpisahkan secara
terus menerus.

Perawatan Umum/Kaki
kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu
yang sempit. Cegah trauma berulang pada neuropati
Jaga kebersihan

DIAGNOSIS
Polineuropati sensori-motor simetris distal atau distal
symmetricql sensorymotor polyneuropathy (DPN)
merupakan jenis kelainan ND yang paling sering terjadi,
DPN ditandai denganberkurangnya fungsi sensorik secara

kompresi.

Pengendalian Glukosa Darah


Berdasarkan patogenesisnya, maka langkah pertama yang
harus dilakukan ialah pengedalian glukosa darah dan

progresif dan fungsi motorik (lebih jarang) yang

monitor HbAlc seoara berkala, Disamping itu

berlangsung pada bagian distal yang berkembang ke arah

pengendalian faktor metabolik lain seperti hemoglobin,


albumin, dan lipid sebagai komponen tak terpisahkan juga
perlu dilakukan.
Tiga studi epidemiologi besar, Diabetes Control and

proksimal. Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam


praktek sehari-hari, sangat bergantung pada ketelitian
pengambilan anamnesis- dan pemeriksaan fisik. Hanya

1950

METABOLIKENI'OIRIN

Complications Trial (DCCT), Kumamoto Study danUnited

Pedoman pengelolaan ND dengan nyeri, yang dianjurkan

Kingdom Prospective Diabetes Sladl (UKPDS)

ialah:

membuktikan bahwa dengan mengendalikan glukosa darah,

komplikasi kronik diabetes termasuk neuropati dapat


dikurangi. Pada DCCI kelompok pasien dengan terapi
intensif yang berhasil menurunkan HbAlc dari 9 ke 7Yo,
telah menurunkan risiko timbul dan berkembangnya
komplikasi mikrovaskular, termasuk menurunkan risiko
timbulnya neuropati sebesar 6 \Yo dalarn 5 tahun. Pada studi
Kumamoto, suatu penelitian mirip DCCT tetapi pada DM
tipe 2,juga membuktikan bahwa dengan terapi intensif
mampu menurunkan risiko komplikasi, termasuk perbaikan
kecepatan konduksi saraf dan ambang rangsang vibrasi.
Demikian juga dengan UKPDS yang memberikan hasil
serupa dengan 2 studi sebelumnya.

Terapi Medikamentosa
Sejauh ini, selain kendali glikemik yang ketat, belum ada
bukti kuat suatu terapi dapat memperbaiki atau mencegah
neuropati diabetik.a Namun demikian, untuk mencegah

timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik DM


termasuk neuropati, saat ini sedang diteliti penggunaan
obat-obat yang berperan pada proses timbulnya
komplikasi kronik diabetes, yaitu:
. golongan aldose reductase inhibitor, yang berfrrngsi
menghambat penimbunan sorbitol dan fruktosa
. penghambat ACE
. neurotropin
- Nerve growth factor

Brain-derived neurotrophicfactor
alpha Lipoic Acid, suatu antioksidan kuat yang dapat
membersihkan radikal hidroksil, superoksida dan

.
.

peroksil serta membentuk kembali glutation.


penghambat protein kinase C
Gangliosides, merupakankomponen utama membran

.
.
.

sel

.
.
.
.

NSAID (ibuprofen 600mg 4xlhari, sulindac 200m92x1


hari)
antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150mg malam hari,
imipramin l00ng/hari, norhiptilin 50- I 50mg malam hari,

paroxetine 40mg/hari)
antikonvulsan (gabapentin 900mg 3xlhari, karbamazepin
200mg4xlharr)
antiaritrnia (mexilletin 150-45ftn9/hari)
topikal: capsaicin 0,07 5oh xlhai,fluphenazine lmg 3xl
hai, transcutaneous electrical nerve stimulation.

Dalam praktek sehari-hari, jarang ada obat tunggal


mampu mengatasi nyeri neuropati diabetes. Meskipun
demikian, pengobatan nyeri umumnya dimulai dengan obat
anti-depresan atau anti-konulsan tergantung ada tidaknya
efek samping. Dosis obat dapat ditingkatkan hingga dosis
maksimum atau sampai efek samping muncul. Kadangkadang kombinasi anti-depresan dan anti-konvulsan cukup
efektif. Bila dengan regimen ini belum atau kurang ada
perbaikan nyeri, dapat ditambahkan obat topikal. Bila tetap
tidak atau kurang berhasil, kombinasi obat yang lain dapat
dilalarkan.

Edukasi
Disadari bahwa perbaikan total sangat jarang terjadi,
sehingga dengan kenyataan seperti itu, edukasi pasien

menjadi sangat penting dalam pengelolaan nyeri ND.


Target pengobatan dibuat serealistik mungkin sejak awal,
dan hindari memberi pengharapan yang berlebihan. Perlu
penjelasan tentang bahayakurang atau hilangrrya sensasl'

rasa

di kaki, perlunya pemeriksaan kaki pada setiap

pertemuan dengan dokter, dan pentingnya evaluasi secara


teratur terhadap kemungkinan timbulnya ND pada pasien

DM.

Gamma linoleic acid (GLA), suatuprekursormembran

fosfolipid
Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan
AGEs

Human intravenous immunoglobulln, memperbaiki


gangguan neurologik maupun non neurologik akibat
penyakit autoimun.

KESIMPULAN
Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik

DM dengan prevalensi dan manifestasi klinis amat


bervariasi. Dari 4 faktor (metabolik, vaskular, imun danNGF)

yang berperan pada mekanisme patogenik ND,

sangat dianjurkan untuk memahami mekanisme yang


mendasari keluhan nyeri tersebut, antara lain aktivasi
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang berlokasi
di membran post sinaptik spinal cord dan pengeluaran
substance P dari serabut saraf besar A yang berfungsi
sebagai neuromodulator nyeri. Manifestasi nyeri dapat
berupa rasa terbakar ;hiperalgesia; alodinia, nyeri menjalar
dll. Pemahaman terhadap mekanisme nyeri penting agar
dapat merhberi terapi yang lebih rasional, meskipun terapi

hiperglikemia berkepanjangan sebagai komponen faktor


metabolik- merupakan dasar utama patogenesis ND.
Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan
ND pada pasien DM, yang penting ialah diagnosis diikuti
pengendalian glukosa darah dan perawatan kaki sebaikbaiknya. Usaha mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya
bersifat simtomatis, dilakukan dengan memberikan obat
yang bekerja sesuai mekanisme yang mendasari keluhan
nyeri tersebut. Pendekatan nonfarmakologis termasuk
edukasi sangat diperlukan, mengingat perbaikan total sulit

nyeri neuropati diabetik pada dasamya bersifat simtomatis.

bisa dicapai.

Sedangkan untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri,

NEUROPAIIDIABETIK

REFERENSI
American Diabetes Association Position Statement: Implications
of the United Kingdom Prospective Diabetes Study. Diabetes
Care 2003;26(Suppl I ):S28-S32.

BoultogAJM. Management of diabetic peripheral neuropathy.


Pf-escribers' Journal 2000;40:l 07 -I2.
DCCT Research Group. N Eng J Med 1993;329:977-86.
Duby JJ., Campbell RK., Setter SM., dkk. Diabetic neuropathy: an
intensive review. Am J Health-Syst Pharm 2004;61(2):160t7 6.
Feldman EL., Stevens MJ., Greene DA. Diabetic neuropathy. Dalam
Diabetes in the New Millennium. John R Turtle, Toshio Kaneko

and Shuichi Osato (ed). The Endocrinology and Diabetes

of Sidney, Sidney, NSW


2006, Australia 1999:38'7 -402.
Jude EB., Boulton AJM. The diabetic foot. Dalam Diabetes Current
Perspective. Betteridge DJ (ed). Martin Dunitz Ltd, United
Kingdom 2000:l'l 9-196.
Research Foundation of the University

Lehtinen JM., UUsitupa M., Siitonen O., dkk. Prevalence of

1951

neuropathy in newly diagnosed NIDDM and non diabetic


control subjects. Diabetes 1989;38:1307-1313.
Malik RA. Current and future strategies for the management of
diabetic neuropathy. Treat Endocrinol 2003;2(6):389-400.
Report and Recommendation of the San Antonio Conference on
Diabetic Neuropathy. Diabetes 1 988 ;3 7 : 1 000-4.
Shichiri M., Kishikawa H., Ohkubo Y., dkk. Long-term results of
the Kumamoto study on optimal diabetes control in type 2
diabetic patients. Diabetes Care 2000 ;23 (S uppl 2) :B2 I -B29.
Tesfaye S., Chaturvedi N., Eaton SEM., dkk. Vascular risk factors
and diabetic neuropathy. N Engl J Med 2005;352:341-50.
Thomas PK. Classification, differential diagnosis and staging of
diabetic peripheral neuropathy. Diabetes 1 997;46(suppl 2): S54s57.
Vinik AL, Park TS., Stansberry KB., dkk. Diabetic neuropathies.

Diabetologia 2000 ;43 :9 57 -7 3.


Vinik AI. Diabetic neuropathy: patlogenesis and therapy. Am J Med
1999 ; 107 (28) :l 75-265.
Vinik AI. Neuropathy: new concepts in evaluation and treatment.
Shouth Med I 2002;95(l):21-3.

305
DIABETES MELITUS GESTASIONAL
John M.F. Adam, Dyah Purnamasari

PENDAHULUAN

Publikasi pertama mengenai diabetes melitus dan


kehamilan dilaporkan oleh Duncan pada tahun 1982 yang
melaporkan sebanyak 22 wanita diabetes melitus hamil.
Peel dkk pada tahun I 909 mengumpulkan 66 kasus diabetes melitus hamil, dimana22Yodi antaranya meninggal saat
hamil atau l-2 minggu setelah persalinan. Seperdelapan
dari kehamilan berakhir dengan abortus, sedang sepertiga

dari kehamilan aterm melahirkan bayi yang mati.


Kecenderungan kematian ibu dan janin yang tinggi
berkurang setelah ditemukan insulin pada tahun 1922.
Setelah era insulin angka kematian ibu menurun dengan
mencolok, dari 450lo menurun sampai hanya 2%(gambatl).
Namun demikian angka kematian perinatal menurun sangat
lambat, dari angka kematian sekitar 80olo menurun sampai
mencapai sekitar 3-5% di sentra yang maju.

Menurunnya angka kematian perinatal disebabkan


karena penatalaksanaan diabetes melitus yang semakin
baik, antara lain melalui penatalaksanaan terpadu, adanya
insulin jenis baru, dan diperkenalkannya cara memantau
glukosa darah sendiri oleh pasien untuk mencapai kendali
glikemik yang ketat. Pada saat ini di senta yang maju pasien
diabetes melitus hamil diperlakukan sebagai kehamilan
dengan risiko tinggi, karena itu perlu pentalaksanaan
terpadu antara ahli penyakit dalam/endokrinologis, ahli
obsteti-ginekologi, dan ahli gizi. Dengan penatalaksanaan
diabetes melitus yang semakin baik, komplikasi perinatal
akan lebih ditentukan olehkeadaan normoglikemi sebelum
dan selamahamil.

DEFINISI DAN PREVALENSI


Secara umum, DM pada kehamilan dibagi menjadi dua
kelompok yaitu 1) DM yang memang sudah diketahui

sebelumnya dan kemudian menjadi hamil (Diabetes


Mellitus HamiV DMIV DM pragestasional) dan 2) DM
yang baru ditemukan saat hamil (Diabetes Mellitus
Gestasional/ DMG). Diabetes melitus gestasional
didefrnisikan sebagai suatu intoleransi glukosa yang terjadi
atau pertama kali ditemukan pada saat hamil. Definisi ini
berlaku dengan tidak memandang apakah pasien diabetes
melitus hamil yang mendapat terapi insulin atau diet saja,
juga apabila pada pasca persalinan keadaan intoleransi
glukosa masih menetap. Demikian pula ada kemungkinan
pasien tersebut sebelum hamil sudah terjadi intoleransi

glukosa. Meskipun memiliki perbedaan pada awal


perjalanan penyakitnya, baik penyandang DM tipe I dan
2 yang hamil maupun DMG memiliki penatalaksanaan yang
kurang lebih sama.
Prevalensi diabetes melitus gestasional sangat bervariasi
dari 1 - l4o/o, terganitng dari subyek yang diteliti dan
terutama dari kriteria diagnosis yang digunakan. Dengan
menggunakan kriteria yang sama yaitu yang digunakan oleh
American Diabetes Association prevalami berkisar antara
21o/o.Penelitian di Makassar menggunakan kriteria yang
sedikit berbeda melaporkan angka prevalensi sebesar 2,07o.
Ksanti melalarkan studi retrospektif pada 37 wanita hamil

yang dikelola sebagai DMG

di RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo dalam rentang tatrun 2000-2003. DMG lebih


banyak didapatkan pada usia di atas 32 tahun dan lebih dari
50% memiliki riwayat keluarga DM. Pada kelompok DMG
dengan hasil pemeriksaan TTGO menunjukkan TGT (3 dari
37 subyek), semuanya dapat terkendali dengan pengahrran
diet saja. Sedangkan pada kelompok yang memenuhi kriteria
DM pada pemeriksaan awal (18 dan37 subyek), sebanyak
70Yo mendapat terapi insulin. Sedangkan pada kelompok
DMG yang meragukan (tidak memenuhi kriteria diagnosis
ADA I 997 maupun Perk eni 2002 untuk DMG), sebanyak

80% dikelola dengan pengaturan diet saja. Tidak ada


pemakaian insulin analog pada periode tersebut.

19s2

t
a

1953

DIABETES MELITUS GESI:ASIOT.TAL

100

A
80

s
I
!60

E40
o

20

1900 '05

I0 '15 '2O 25 30 '35 '40 '45 '50 55 .60 65 '70 '75 '80
Tahun

'85

05 10 15 20 25 30 35 40 45',50'55 60 65 70 75 80
Tahun

85

90

95

Gambar 1. GambarA memperlihatkan penurunan kematian ibu yang tajam setelah era insulin, dan gambar B tampak
penurunan kematian perinatal yang lebih lambat setelah era insulin dibandingkan dengan kematian ibu

PATOFISIOLOGI
Pada kehamilan terjadi resistensi insulin fisiologis akibat
peningkatan horrnon-hornon kehamilan (human placental lactogen/ HPL, progesterone, kortisol, prolaktin) yang

mencapai puncaknya pada trimester ketiga kehamilan.


Tidak berbeda pada patofisiologi DM tipe 2, pada DMG
juga terjadi gangguan sekresi sel beta pancreas. Kegagalan
sel beta ini dipikirkan karena beberapa hal diantaranya: l)

autoimun, 2) kelainan genetic dan 3) resistensi insulin


kronik. Studi oleh Xiang melaporkan bahwa pada wanita
dengan DMG mengalami gangguan kompensasi produksi
insulin oleh sel beta sebesat 67Yodibandingkan kehamilan
normal. Ada sebagian kecil populasi wanita ini yang antibody isclet cell (1,6-3,8%). Sedangkan sekitar 5%o dari
populasi DMG diketahui memiliki gangguan sel beta akibat
defek pada sel beta seperti mutasi pada glukokinase.

Resistensi insulin selama kehamilan merupakan


mekanisme adaptif tubuh untuk menjaga asupan nutrisi
ke janin. Resistensi insulin kronik sudah terjadi sebelum
kehamilan pada ibu-ibu dengan obesitas. Kebanyakan
wanita dengan DMG memiliki kedua jenis resistensi insulin ini yaitu kronik dan fisiologis sehingga resistensi
insulinnya biasanya lebih berat dibandingkan kehamilan
normal. Kondisi ini akan membaik segera setelah partus
dan akan kembali ke kondisi awal setelah selesai masa
nifas, dimana konsentrasi HPL sudah kembali seperti awal

PENJARINGAN DAN DIAGNOSIS

banyak dipakai diperkenalkan oleh American Diabetes


Association dan umumnya digunakan di negara Amerika
Utara, dan kriteria diagnosis dari WHO yang banyak
digunakan di luarAmerika Utara.

Kriteria American Diabetes Association


American Diabetes Association menggunakan skrining
diabetes melitus gestasional melalui pemeriksaan glukosa
darah dua tahap. Tahap pertama dikenal dengan nama tes

tattangan glukosa yang merupakan tes skrining. Pada


klinik diberikanminum

semua wanita hamil yang datang di

glukosa sebanyak 50 gram kemudian diambil contoh darah


satujam kemudian. Hasil glukosa darah (umumnya contoh

darah adalah plasma vena)

>

140 mgldl disebut tes

tantangan positif dan harus dilanjutkan dengan tahap


kedua yaitu tes toleransi glukosa oral. Untuk tes toleransi
glukosa oral harus dipersiapkan sama dengan pada
pemeriksaan bukan pada wanita hamil. Perlu diingat apabila

pada pemeriksaan awal ditemukan konsentrasi glukosa


plasma puasa > 126 mgldl atau glukosa plasma sewaktu
> 200 mgldl, maka mereka hanya dilakukan pengulangan
tes darah, apabila hasilnya sama maka diagnosis diabetes
melitus sudah dapat ditegakkan dan tidak diperlukan lagi
pemeriksaan tes toleransi glukosa oral.
Untuk tes toleransi glukosa oral American Diabetes
Association mengusulkan dua jenis tes yaitu yang disebut
tes toleransi glukosa oral tiga jam, dan tes toleransi glukosa
oral dua jam. Perbedaan utama ialah jumlah beban glukosa,

yaitu pada yang tiga jam menggunakan beban glukosa


100 gram sedang yang pada dua jam hatya 75 gram
(Gambar2)

Berbeda dengan diabetes melitus yang sudah mempunyai

keseragaman kriteria diagnosis, diabetes melitus


gestasional sampai saat ini belum ada kesepakatan
mengenai kriteria diagnosis mana yang harus digunakan.
Pada saat ini terdapat dua kriteria diagnosis yaitu yang

Penilaian hasil tes toleransi glukosa oral untuk


menyatakan diabetes melitus gestasional, baik untuk tes

toleransi glukosa tigajam maupun yang hanya duajam


berlaku sama yaitu ditemukannya dua atau lebih angka
yang abnormal (Tabet 1).

1954

METABOLIKENIX)TRIN

Dinyatakan diabetes melitus gestasional bila glukosa

> 126 mgldl danJatau 2 jam setelah beban


glukosa > 200 mg. atau toleransi glukosa terganggu.
Definition, Diagnosis and classification of diabetes
mellitus and its complications. Report of a WHO Consul-

plasma puasa
Hasil tes toleransi glukosa
oral 2 jam dengan beban
glukosa 100 9r (mg/dl)

Hasil tes toleransi glukosa


oral 3 jam dengan beban
glukosa 100 gr (mg/dl)
OA

Puasa

Puasa

95
'180

1-jam
2-jam

180

1-

155

2-

- jam

140

jam
jam

tation. World Health Organization, Geneva 1999 (Tech Rep


Ser 894).

155

Diagnosis diabetes melitus geslasional ditegakkan apabila


ditemukan dua atau lebih angka yang abnormal

Wanita dengan diabetes melitus gestasional hampir tidak


pemah memberikan keluhan, sehingga perlu dilakukan
skrining. Oleh karena hanya sekitar 3 -4Yo daiwanita hamil

Wanita hamil

yang menjadi diabetes melitus gestasional, menjadi

I 50 gr

pertanyaan apakah semua wanita hamil harus dilalcukan


skrining untuk diabetes melitus gestasional atau hanya
pada mereka yang dikelompokkan sebagai risiko tinggi.
Penelitian di Makas sar oleh Adam dari 207 4 wanita hamil
yang diskrining ditemukan prevalensi 3,0ohpada mereka
yang berisiko tinggi dan hanya 1,2%o pada mereka yang

Glukosa

< 140

mgTo

tl

Normar

Siapa yang Harus Diskrining dan Kapan Harus


Diskrining

> 140 mg%

,rJ;:)"r;;',,:""

tanpa risiko. Sebaiknya semua wanita hamil harus


dilakukan skrining untuk diabetes melitus gestasional.
Beberapa klinik menganjurkan skrining diabetes melitus
gestasional hanya dilakukanpada mereka dengan risiko
tinggi diabetes melitus gestasional. Pada mereka dengan
risiko tinggi, skrining sebaiknya sudah dimulai pada saat

Normal

Gambar 2. Tes toleransi glukosa oral 2 jam


dengan beban glukosa 75 g

WHO dalam buku Diagnosis and classification of


Diabetes mellitus tahun 1999 menganjurkan untuk

pertama kali datang ke klinik tanpa memandang umur


kehamilan. Apabila hasil tes normal, maka perlu dilakukan
tes ulangan pada minggu kehamilan antaru24-28 minggu.
Sedang pada mereka yang tidak berisiko tinggi tidak perlu
dilakukan skrining.

diagnosis diabetes melitus gestasional harus dilakukan

Faktorrisiko DMG yang dikenal adalah:

KRITERIA DIAGNOSIS MENURUT WHO

tes toleransi glukosa oral dengan beban glukosaT5 gram.


Kriteria diagnosis sama dengan yang bukan wanita hamil
yaitu puasa > 126 mgldl dan dua jam pasca beban > 200
mgidl, dengan tambahan mereka yang tergolong toleransi

a.

Riwayat keguguran beberapa kali


Riwayat melahirkan bayi meninggal tanpa sebab jelas
Riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan

glukosa terganggu didiagnosis juga sebagai diabetes

Riwayat melahirkan bayi > 4000 gram


Riwayatpre eklamsia

melitus gestasional. (Tabel 2)

b.
Glukosa plasma puasa
<110 mg/dl
Normal
Glukosa puasa terganggu > 1 10 mg/dl - < 126 mgldl
> 126 mg/dl
Diabetes

melitus

Glukosa plasma 2 jam setelah pemberian 75 gram glukosa


oral
< 140 mg/dl
Normal
Toleransi glukosa terganggu > 140 mg/dl - < 200 mg/dl
sedang puasa < 126 mg/dl
> 200 mg/dl
Diabetes melitus

Faktorrisikoobstetri

Polihidramnion
Riwayatumum
Usia saat hamil > 30 tahun
Riwayat DM dalam keluarga
Riwayat DMG pada kehamilan sebelumnya
Infeksi saluran kemih berulang saat hamil
Di Indonesia, untuk dapat meningkatkan diagnosis lebih

baik, Perkeni menyarankan untuk melakukan penapisan


pada semua ibu hamil pada pertemuan pertama dan

Dinyatakan diabetes melitus gestasional bila glukosa plasma puasa


126 mgldl dan/atau 2 jam setelah beban glukosa > 200 mg. atau
toleransr glukosa terganggu Definition, Diagnosis and classification ot
diabetes mellitus and its complications. Repoft of a WHO Consultation
World Health Organization, Geneva 1999 (Tech Rep Ser 894)

mengulanginya pada usia kehamllan26-28 minggu apabila


hasilnya negatif.

Perkeni memodifikasi cara yang dianjurkan WHO


dengan menganjurkan pemeriksaan TTGO menggunakan
75 gram glukosa dan penegakan diagnosis cukup melihat

1955

DIABETES MELITUS GESTAI;IONAL

hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan


glukosa. Seperti yang tercantum pada consensus Perkeni
2006, persiapan TTGO adalah sebagai berikut:
- Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti
kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup)
dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
- Berpuasapaling sedikit delapanjam (mulai malamhari)
sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap
diperbolehkan.
- Diberikan glukosa 7 5 gramyangdilarutkan dalam250
ml air dan diminum dalam waktu lima menit.
- Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah
untuk pemeriksaan dua jam setelah minum larutan

glukosa selesai

Diperiksa konsentrasi glukosa darah 2 jam sesudah

beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap
beristirahat dan tidak merokok.

berolah raga agar dapat mendeteksi kontraksi subklinis


dan bila ada segera menghentikan olah raganya. Namun,
mengingat dampak positif yang didapat dengan berolah
raga (penurunan Al c, glukosa puasadan 1 jam post prandial), ADA menyarankan untuk melanjutkan aktifrts fisik
sedangpada ibu hamil tanpa kontraindikasi medis maupun
obstetric.
Sasaran glukosa darah yang ingin dicapai adalah
konsentrasi glukosa plasma puasa puasa < 105 mg/dl dan

dua jam setelah makan < 120 mg/dl. Apabila sasaran


tersebut tidak tercapai maka perlu ditambahkan insulin.
Beberapa klinik menganjurkan apabila konsentrasi glukosa
plasma puasa > 130 mg/dl dapat segera dimulai dengan
insulin (Gambar 3).

- GDP < 130

Hasil pemeriksan TTGO dibagi menjadi 3 yaitu:


- Glukosadarah2jam<I4}m/dL ) normal
- Glukosadarah2jaml4O -<200mgldl, > TGT

- Glukosadarah2jam>20Omg/dl >

GDP > 130 mg/dl

Perencanaan
Makan 1 minggu

DM

Pada kehamilan, subyek dengan hasil pemeriksaan


TTGO menunjukkan TGT akan dikelola sebagai DMG.

PENATAI.,/MSANMN DAN TARGET PENGENDALAN


Penatalaksanaan DMG sebaiknya dilaksanakan secara
terpadu oleh spesialis penyakit dalam, spesialis obstetric

ginekologi, ahli gizi dan spesialis anak. Tujuan


penatalaksanaan adalah untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian ibu, kesakitan dan kematian
perinatal. Penggunaan obat hipoglikemi oral sejauh ini tidak
direkomendasikan. Beberapa ahli tidak mutlak melarang
penggunaan OHO pada kehamilan untuk daerah-daerah
terpencil dengan fasilitas kurang dan belum ada insulin.
Penatalaksanaan harus dimulai dengan terapi nuhisi
medik yang diatur oleh ahli gizi. Secara umum, pada
trimester pertama tidak diperlukan penambahan asupan
kalori. Sedangkan pada ibu hamil dengan berat badan
normal secara umum memerlukan tambahan 300 kcal pada
trimester kedua dan ketiga. Jumlah kalori yang dianjurkan
adalah 30 kcal./berat badan saat hamil. Pada mereka yang

obes dengan indeks massa tubuh

mg/dl

> 30 kglm2 maka

pembatasan kalori perlu dilalcukan yaitujumlah kalori hanya

25 kcall kg berat badan. Asupan karbohidrat sebaiknya


terbagi sepanjang hari untuk mencegah ketonemia yang
berdampak pada perkembangan kognitif bayi.
Aktifrtas fisik selama kehamilan sempat menjadi topik
yang kontroversial karena beberapa tipe olah raga seperti
sepeda ergometer, senam erobik dan readmill dapat memicu
kontraksi uterus. Para ahli menyarankan pada setiap ibu
hamil yang sedang berolah raga untuk meraba perut selama

GDP < 105 dan GD 2 jam


setelah makan < 130

ll

Teruskan
perencanaan makan

GDP > '105 dan GD 2 jam


setelah makan > 130

Perencanaan makan
+ insulin

Gambar 3. Bagan penatalaksanaan diabetes melitus gestasional

Jenis insulin yang dipakai adalah insulin human.


Insulin analog belum dianjurkan untuk wanita hamil
mengingat struktur asam aminonya berbeda dengan
insulin human. Perbedaan struktur ini menimbulkan
perbedaan afinitas antara insulin analog dan insulin
human terhadap reseptor insulin dan reseptor IGF-1.
Mengingat ke{ a Human Placental Lactogera (HPL) melalui
reseptor IGF- I , maka perubahan afinitas ini dikhawatirkan
dapat mempengaruhi janin atau kehamilan. Beberapa studi
tentang pemakaian insulin lispro menunjukkan dapat
memperbaiki profrl glikemia dengan episode hipoglikemia

yang lebih sedikit, pada usia kehamilan 14-32 minggu.


Namun dirasa masih perlu penelitian jangka penjang untuk

menilai keamanannya pada kehamilan dan FDA


mengkategorikan keamanannya di tingkat B.

Dosis dan frekuensi pemberian insulin sangat


tergantung dari karakteristik rerata konsentrasi glukosa
darah setiap pasien. Berbeda dengan diabetes hamil
pragestasional, pemberian insulin pada diabetes melitus
gestasional selain dosis yang lebih rendahjuga frekuensi
pemberian lebih sederhana. Pemberian insulin kombinasi

kerja singkat dan kerja sedang seperti Mixtard


(Novo-Nordik) atau Humulin 30-70 (Eli Lilly) dilaporkan
sangat berhasil.

1956

METABOLIKENIX)KRIN

Kendali glikemik ketat sangat dibutuhkan pada semua


wanita diabetes melitus dengan kehamilan. Penting sekali
memantau glukosa darah sendiri oleh pasien di rumah,
terutama pada mereka yang mendapat suntikan insulin.
Pasien perlu dibekali dengan alat meter (Reflectance meter)

untuk memantau glukosa darah sendiri di rumah.


Penggunaan HbAlc sebagai pemantauan belum
menunjukkan dampak yang signifikan dalam kendali
glukosa darah.

toleransi glukosa pasca melahirkan pada kelompok wanita

hamil dengan gangguan toleransi glukosa selama


kehamilan. Hasil studi tersebut menyarankan untuk
mengulang pemeriksaan skrining TTGO pada 6 minggu
post partum dan setiap tahun setelahnya. Studi di Ujung
Pandang dengan lama pemantauan selama 6 tahun pada
46 wanitapascaDMG melaporkan angkakejadian DM tipe
2 dan toleransi glukosa terganggu sebesar 56,60 .
Mengingat diabetes melitus gestasional mempunyai
risiko tinggi untuk mendapat diabetes melitus di kemudian
hari, maka disepakati agar enam minggu pasca persalinan

KOMPLIKASI PADA IBU DAN ANAK

harus dilakukan tes toleransi glukosa oral untuk


mendeteksi adanya diabetes melitus, glukosa puasa

Dibandingkan dengan diabetes melitus pragestasional,


komplikasi pada ibu hamil diabetes melitus gestasional
sangat kurang. Komplikasi dapat mengenai baik ibu
maupun bayinya. Komplikasi yang dapat ditemukan pada
ibu antara lain preeklamsi, infeksi saluran kemih, persalinan
seksio sesaria, dan trauma persalinan akibat bayi besar.
Hasil penelitiain di Ujung Pandang dari 40 pasien diabetes
melitus gestasional yang dipantau selama 3,5 tahun, seksio
sesaria dilakukan sebanyak 17,5yo.
Komplikasi p adabayi antara lain makrosomia, hambatan

terganggu, atau toleransi glukosa terganggu. Apabila hasil


tes toleransi glukosa oral normal, maka dianjurkan untuk
tes ulangan setiap tiga tahun. Bagi mereka dengan glukosa
puasa terganggu dan toleransi glukosa terganggu harus
dilakukan tes ulangan setiap tahun. Perlu dilakukan studi
epidemiologis untuk menghitung kekerapan kejadian TGT
dan DM tipe 2 pada subyek DMG dan faktor-faktor yang
dapat dijadikan prediktomya, mengingat ras Asia memiliki
risiko kejadian DMG lebih tinggi dibandingkan ras kaukasia
dan perubahan gaya hidup yang mengarah ke sedenter

pertumbuhan janin, cacat bawaan, hipoglikemia,

pada dekade terakhir.

hipokalsemia dan hipomagnesemia, hiperbilirubinemia,


polisitemia hiperviskositas, sindrom gawat napas neonatal. Komplikasi yang paling sering adalah terjadinya
makrosomia, hal ini mungkin karena pada umumnya
diabetes melitus gestasional didiagnosis agak terlambat
terutama di negarakita.
Selain komplikasi jangka pendek, juga teradapat
komplikasi jangka panjang. Pada anak, dapat terjadi
gangguan toleransi glukosa, diabetes dan obesitas,
sedangkan pada ibu adaTah gangguan toleransi glukosa
sampaiDM.

PEMANTAUAN PASCA PERSALINAN


Mestman et al (1972) meneliti kekerapankejadian gangguan
toleransi glukosa pasca persalinan sampai dengan lima
tahun kemudian pada 360 wanita hamil. Pada masa

kehamilan, sebanyak 51 subyek (14,2%) memiliki


peningkatan glukosa darah puasa, 181 subyek (50,3%)
memiliki hasil pemeriksaan TTGO abnormal, 90 subyek
(25%) memlliki hasil positif pada Prednisolone Glucose
Tolerance kst (PGTT) dan 38 subyek (10,5%) sisanya
normal. Pada kelompok dengan GDP meningkat,hanya2o/o
yang menunjukkan pemeriksaan GDP, TTGO dan PGTT
normal selama pemantauan post partum hingga 5 tahun
kemudian. Sedangkan pada kelompok TTGO abnomal,

PGTT positif dan normal, pada periode pemantauan,


seb any ak 22,6%o ; 41,1 o/o dan 89 oh tetap menunj

ukkan hasi I

normal. Ini menunjukkan tingginya kekerapan gangguan

REFERENSI
Adam JMF. Diabetes me1itus gestasional: inseidens, karakteristik ibu
dan hasil perinatal. Penelitian Universitas Hasanuddin, 1989
American Diabetes Association Clinical practice recommendations.
Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes Care
2004;27 (suppl 1): 55 S10.
Buchanan T. Gestational diabetes mellitus. Therapy for diabetes
mellitus and related disorders 4th ed. Lebovitz HE (ed), 1992:
20- 8.

Konsensus diagnosis dan penatalaksanaan diabetes melitus


gestasional. Persatuan Endokrinologi Indonesia, 1997.
Metzger BE, Coustan DR (Eds): Proceedings of the fourth international workshop - conference on gestational diabetes mellitus
Daibetes Care 1998; 21 (suppl 2): Bl - 8167
Reece EA. The history of diabetes mellitus. Diabetes mellitus in
pregnancy 2nd ed. Reece EA, Coustan DR, 1995; 1 - 10.
Report of a WHO Consultation. World Health Organization, Geneva
1999 (Tech Rep Ser 894)
Weiss PAM. Gestational diabetes: a survey and the graz approach to

diagnosis and therapy. Weiss PAM, Coustan DR (eds). Gesta-

tional Diabetes 1988; 1 - 55.

Mestman JH, Anderson GV, Guadalupe V Follow up study of 360


subjects with abnormal carbohydrate metabolism during pregnancy. Obstetric Gynecology 1972;39 (3): 421-5.
Retnakaran R, Hanley AJG, Connely PW, Sermer M, Zinman B.
Ethnicity modifies the effect of obesity on insulin resistance in
pregnancy: A comparison ofAsian, South Asian and Caucasian
women. J Clin Endocrinol Metab 2006;91:93-7.
Setji TL, Brown AJ, Feinglos MN. Gestational Diabetes Mellitus.
Clinical diabetes 2005; 23:17 -24

306
DIABETES MELITUS DALA,M PEMBEDAHAN
Supartondo

PENDAHULUAN

TINDAKAN BEDAH MAYORDAN MINOR

Dengan bertambahnya jumlah penduduk berusia lanjut di


seluruh dunia, jumlah pengidap diabetes melitus tipe 2

Tindakan bedah mayor menimbulkan reaksi stres yang


besar, mengakibatkan penghentian makan dan biasanya
berarti membuka rongga perut, dada dan tengkorak.

yang terutama ditemukan pada usia dewasa tua juga

Tindakan bedah minor biasanya menggunakan bius

bertambah.

setempat atau endoskopi dan biasanya kesempatan makan

Hal ini terungkap pada survei diAmerika Serikatyang


menghasilkan kenaikan prevalensi DM tipe 2 dari 8,9o/o
(

tidak terlalu lama mundurnya. Sekarang tindakan dengan


rawat siang kurang dari 14 jam jugatermasukjenis minor.
Penggolongan tindakan seperti ini berakibat cara kerja
yang kurang ketat tentang penilaian pra bedah.
Sebaiknya tindakan dianggap "berisiko tinggi" dan
"rendah", bergantung pada tingkat pengendalian glukosa
darah, jenis komplikasi yang ada dan sifat tindakan.

976- 1 980) ke 12,3% (1988-1990).

Walaupun menggunakan batas umur yang berbeda,


survei epidemiologi di Jakartajuga menemukan peningkatan
dail,1 Yoke 5,7 % dalamkurunwaktu 10 tahun (1992 - 1993

dm200l-2002).
Peran pengetahuan tentang patofisiologi yang makin

lengkap serta penggunaan obat antidiabetes yang


baru seperti analog insulin (insulin lispro, insulin
glargine) dan repaglinid, troglitason di samping
obat lama, telah berhasil memperpanjang umur
pengidap diabetes. Di antaranya mungkin bertambah
jumlah pasien yang pada suatu saat perlu mengalami

PENILAIAN PRA BEDAH


Jenis Diabetes dan Tingkat Pengendalian Glukosa
DM tipe

pembedahan.
Tanpa maksud mengecilkan segi persiapan mental pada
seseorang yang akan mengalami pembedahan, tulisan
mendahulukan aspek klinis operasi.

perlu insulin. Pada DM tipe 2 insulin kadang-

kadang dapat ditangguhkan sesudah tindakan singkat


selesai.

ini

Periksalah catatan konsentrasi glukosa darah,


konsentrasi glukosa sewaktu, frukto samin (pengendalian
2-3 minggu sebelumnya), Hbo,. (pengendalian 2-3 bulan
sebelumnya). Catalan glukosa darah sebaiknya berupa
konsentrasi puasa, postprandial dan sebelum makan.
Bila pengendalian tidak baik, pembedahan mungkin
perlu diundur untuk menetapkan dosis baru insulin atau
dosis insulin sesudah beralih dari obat hipoglikemiaa oral

Tetap perlu diingatkan bahwa petunjuk yang


diterima oleh pasien yang akan menjalani tindakan di klinik

siang seperti endoskopi usus (tumor ganas?),


angiografi koroner, pemasangan stent, umumnya
menyebutkan supaya pasien datang dalam keadaan
puasa, menghentikan semua obat (termasuk insulin !).
Dengan sendirinya timbul hiperglikemia sesudah
tindakan yang disebut tadi, suatu akibat yang tidak

(oHo).

OHO kerja panjang seperti klorpropamid dan

Segi persiapan mental akan membahas perlunya

glibenklamid harus diganti dengan OHO kerja pendek


tanpa metabolit yang bersifat hipoglikemiaa seperti

menghubungi dokter primer yang biasa menangani pasien


diabetes ini.

glipizid, gllklaztd, atau OHO kerja sangat singkat seperti


repaglinid.

perlu.

195

1958

METABOLIKENDOKRIN

Komplikasi Diabetes

Cara Pemberian lnsulin

Pada tindakan ringan harus dipastikan penyakit jantung


iskemia, hipertensi, nefropati, infeksi saluran kemih dan
neuropati. Pemeriksaan klinis rutin dilengkapi pemeriksaan
laboratorium sederhana termasuk EKG tes fungsi ginjal

Para ahli mencatat 4 carapemberian insulin pada anestesia

dan elekholit.

Perlu diingat kemungkinan iskemia otak dan hipotensi

posturnal serta gangguan sirkulasi kaki. Pada tindakan


bedah mayor seperti cangkok ginjal dan bedah vaskular,
pemeriksaan jantung harus lebih lengkap seperti isotope
exercise lesl untuk menyingkirkan penyakit jantung
iskemia dan gated isotope heart scan atau USG jantung
(ECHO) untuk menilai firngsi miokard.
Pada bedah pintas

dan pembedahan.
. Infus insulin dan glukosa terpisah.
. Infus glukosa - insulin - kalium kombinasi.
. Secara intermiten bolus insulin kerja pendek i.v. atau
subkutan.

Kombinasi insulin kerja pendek dan intermediet


subkutan dengan dosis 30-50
hari bila pasien makan.

%o

dibawahdosis sehari-

Cara dengan infus lebih sering dipakai dan terutama


cara infus terpisah lebih luwes.

jantung atau bedah vaskular dengan

risiko hipotensi pemeriksaan Doppler Ultrasound

lnsulin regular 25 U dalam 250 ml NaCl 0,9 % (lV / 10 ml)


lnsulin diberikan dalam infus i.v
50 ml diguyurkan ke dalam tabung infus sebelum disambungkan
pada pasren lnfus insulin ini bermuara
infus cairan
penoperasr.
lnfus cairan perioperasi harus berisi glukosa 5 % (laju 100 ml/jam)
Glukosa darah (GD) ditetapkan tiap jam selama operasi.

pembuluh darah leher juga perlu.

di

PENGENDALIAN METABOLISME SELAMA


PEMBEDAHAN

GO {ms/dl)

<80

Pengobatan

81

Yangmemerlukaninsulin.

100

Semua pasien yang menggunakan insulin sebelum


pembedahan perlu meneruskan insulin selama

tindakan.

Pasien DM tipe 2 dengan diit dan OHO dan glukosa


darah puasa > 180 mg/dl, HbArc > 10o%.

>u1

Yang kadang-kadang perlu insulin. Pasien DM tipe 2


dengan diit dan OHO, glukos a darah puasa < I 80 mg/
dl, HbAIC < I 0% lama pemb edahan < 2 jamruang tubuh

tidak dibuka boleh makan sesudah operasi

. Metformin

harus dihentikan 2-3 hari sebelum

05
10

20
25
30
40
50

0,0
5,0
'10

15
2A

25
30
40

GD < 80 mg/dl: hentikan insulin, bolus glukosa 50 % i.v (25 ml).


Sesudah GD > 80 mg, infus insulin mulai lagi. Mungkin perlu
penyesuaian pedoman ini selanjutnya

Kebutuhan insulin berkurang: pasien dengan diit saja, OHO atau


insulin
50 U sehari, penyakit endokrin lain.

Kebutuhan insulin naik: obesitas, sepsis, terapi steroid, cangkok


ginjal, pintas koroner jantung.

pembedahan untuk mencegah asidosis laktat dan dapat


diganti dengan sulfonilurea sementara.

PEMBEDAHAN RAWATJALAN

Pemantauan Glukosa
Selama pembedahan konsentrasi glukosa harus ditetapkan
: l). Sebelum induksi anestesia; 2). 30 menit sesudah
induksi; 3). Setiap 45 menit selamatindakan; 4). Pada akhir
tindakan; 5). 30 menit sesudah sadar; 6). Setiap jam selama
6 jamatau sampai boleh makan.

Pemeriksaan glukosa lebih sering (tiap 30 menit) bila


glukosa > 200 mg/dl dan tiap 15 menit jika < 80 mg/dl selama
anestesia.

Cara ini dapat menguntungkan pasien, karena ia dapal


pulang sesudah tindakan bedah selesai. Walaupun
tindakan termasuk bedah minor, ada kemungkinan
diperlukan anestesia umum. Dalam hal ini insulin perlu
digunakan dan cara infus insulin sebaiknya dipakai. Jika
anestesia umum tidak diperlukan, pasien sebaiknya
mendapat giliran sepagi mungkin, jadi sebelum atau
sesudah makan pagi. Kalau ia harus menunggu lama,
penggunaan insulin lalu memakai cara infus insulin.
Pedoman untuk tindakan bedah minor tertera di bawah ini.

lnfus Glukosa
Tujuannya ialah pengendalian konsentrasi glukosa dan
pencegahan hipoglikemiaa. Juga sebagai pemasok energi

ASUHAN PASCA.BEDAH

untukmenekanpembenfukan gliserol dan asam lemak serta


mengurangi katabolisme protein, yang dapat menghambat
pemulihan. Laju infu s 0,07 - 0, I g glukosa,&g/j am ternyata

Infus glukosa dan insulin dilanjutkan sampai pasien dapat


makan lagi dan kemudian kembali ke cara pengobatan

mernadai.

sebelumnya.

1959

DIABETES MELITUS DAIAM PEMBEDAI{AT{

Bila infus insulin akan dihentikpn, insulin subkutan


harus segera disuntikkan, karena insulin i.v. tidakberperan
lagi sejak 30 menit penghentian infus. Bagaimanakita mulai

dengan terapi insulin pasca bedah ?


Gavin memakai cara berikut :
. Hitungjumlah insulin selama24 jam(:dosis lama)
. Dosis baru ialah 80 - 100 % jurnlah ini, diberikan sebagai
insulin reguler sebelum makan pagi (25 0/o), sebelum
makan siang (25 %) sebelum makan malam (25 %),
seb elum tidur (25Yo) seb agai NPH.
. Tujuan : GD 120-220mgldl.
. Diteruskan untuk mendapat dosis insulin tepat, atau
dosis sebelum pembedahan.

emosional menghadapi "serangan" terhadap tubuhnya.


pengetahuan tentang kejadian pasca bedah yang dapat
diperkirakan, menambah rasa mampu kendali pasien.
penjelasan tentang tugas dokter dan karyawan rumah
sakit selama masa pasca bedah dapat memberikan
gambaran tentang pertolongan yang dapat diharapkan.

.
.

PROSES PENJAJAGAN PERSETUJUAN


Diabetes melitus sudah sering ditemukan di Indonesia
seperti dijelaskan sebelum ini. Pasien tanpa komplikasi
biasanya dikelola oleh dokterumum atau spesialis penyakit
dalam.

Bila timbul komplikasi akut dokter umum merujuk pasien

a
a

Pasien dengan insulin

Pasien dengan OHO

DM tipe 1 dan DM tipe 2

Hentikan OHO pagi


Periksa GD sebelum dan
sesudah tindakan
Berikan OHO petang
Jarang perlu insulin
Bila perlu berikan sesuai
pedoman ini :

lnfus insulin
GD diperiksa tiap 24 jam
DM tipe 2 (< 50 U /hari)
Hentikan insulin intermediet
pagi, ganti dengan insulin
reouler
GD
(mg / dl)

160
- 200
- 240
> 240

sesudah penjelasan awal disampaikan. Kerja sama antara


ke tiga unsur : pasien - dokter primer (dokter umum atau

spesialis penyakit dalam)

dokter konsulen (spesialis

bedah) akan mempermudah tercapainya persetujuan.

lnsulin reguler (U)


(subkutan tiap 6 jam)

< 120
120
161
201

ke spesialis penyakit dalam. Jika masalahnya perlu


pembedahan rujukan diteruskan ke spesialis bedah

10

4
5

Arti dan tujuan tindakan akan ditentukan dan dijelaskan


dalam bahasa awam.
Risiko, kendala, budaya dan masalah masa pemulihan
akan dibeberkan sehingga semua keterangan yang
diperlukan untuk penetapan keputusan oleh orang wajar,
disampaikan.
Kemungkinan cara pengobatan lain akan dijelaskan.
Semua pertanyaan pasien dijawab.
Barulah, persetujuan tanpa tekanan dapat diberikan.

Rockwell, 1979
GD sebelum makan
(mg / dl)

<80

- 120
'121 - 180
81

181

-240

241 -300
> 300

Dosis baru

(insulin reguler)
Kurangi 4 U
Kurangi 3 U
Dosis lama
Ditambah 2 U
Ditambah 3 U
Ditambah 4 U

PENUTUP
Prevalensi diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) meningkat
di seluruh dunia, juga di Indonesia.
Penggunaan obat baru a.1. generasi ke 2 dan ke 3

sulfonilurea, repaglinid, troglitazon berhasil mengatur

PERSIAPAN PASIEN SECARA PSIKOLOGIS


Keadaan sakit merupakan sesuatu yang memberatkan
pasien apalagi jika ia perlu menjalani pembedahan.
Warga masyarakat yang sudah maju dengan mudah
mendapat pengetahuan berbagai bidang dan akan meminta
penjelasan tentang perlunya pembedahan. Pengetahuan
akan menambah kekuatan ke arah positif, kata Maslow,

seorang psikolog dan mengurangi kemungkinan


perjalanan pasca bedah yang buruk. Informed Consent
(izin berdasarkan pemahaman) dari pasien membuka 3 jalan

pembahasan risiko dan manfaat tindakan bedah


menolong pasien mempersiapkan dirinya secara

konsentrasi glukosa darah. Penambahan umur pasien diabetes menambah kemungkinan perlunya tindakan bedah
karena suatu sebab suafu saat.
Cara pengelolaan diabetes pada tahap pra bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah dijelaskan.
Kerja sama antara pasien, dokter primer (dokter umum,
spesialis penyakit dalam) dan dokter konsulen (spesialis

bedah, anestetis) sangat penting.

REFERENSI
Colagiuri S. Diabetes and surgery - theory and practice. In Baba S et
al (eds) Diabetes 1994. Proceedings 15th IDF Congress, Kobe
1994. A 'dam : Elsevier, 1995.p.649 - 52.

1960

METIABOLIKEhIDOKRIN

Diabetes towards the new Millennium (abstract), 3'd IDF Western


Pacilrc reg. Congress 1996 Hongkong; 1996. p.90 - 4.

Gavin LA.Perioperative management of the


patient.Endocrin Metab Clin North

Am 1992;

21,

diabetic
457- 473.

Kidson W. Surgery, Anesthesia and Diagnostic Procedures in


Diabetes In Diabetes in the New Millennium, Endocrin Diab
Res Found, Univ Sydney 1999p.495-504.
NHANES II, Diabetes 1987 ; 36 : 523-534. b. NHANES III,

Diabetes Care 1998; 2l :518 -24.


Rockwell DA and Papitone - Rockwell F. The emotional impact of
surgery and the value of informed consent. Med Clin North Am
1919:63 : 1341-52.

307
I(AKI DIABETES
Sarwono Waspadji

PENDAHULUAN

usaha menormalkan konsentrasi glukosa darah untuk


mencegah terjadinyaberbagai komplikasi DM tipe 2 sudah

Diabetes melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis


kelainan metabolik, ditandai oleh adanya hiperglikemia
yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek keqa

terbukti pada berbagai penelitian epidemiologis skala besar


dan lama sepefii misalnya pada UKPDS.
Hiperglikemia pada DM dapat terjadi karena masukan
karbohidrat yang berlebih, pemakaian glukosa di jaringan

insulin atau keduanya. Dari berbagai penelitian


epidemiologis, seiring dengan perubahan pola hidup
didapatkan bahwa prevalensi DM meningkat terutama di
kota besar. Jika tidak ditangani dengan baik tenru saja

tepi berkurang, akibat produksi glukosa hati yang

angka kejadian komplikasi kronik DM juga akan meningkat,


tennasuk komplikasi kaki diabetes, yang akan menjadi topik
bahasan utama kali ini.
Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada

terjadinya hiperglikemia ini, dapat ditempuh berbagai


langkah yang Lepat dalam usaha untuk menurunkan

semua tingkat sel dan semua tingkatan anatomik.


Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat
pembuluh darah kecil (mikrovaskular) berupa kelainan
pada retina mata, glomerulus ginjal, syaraf dan pada otot
jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar,
manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi pada
pembuluh darah serebral, jantung (penyakit jantung
koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah).
Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih
terhadap infeksi dengan akibat mudahnya terjadi infeksi
saluran kemih, tuberkulosis paru dan infeksi kaki, yang
kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren

Pilar pengelolaan diabetes terdiri dari penyuluhan,


perencanaan makan yang baik, kegiatan jasmani yang

bertambah, serta akibat insulin berkurang jumlah maupun

kerjanya. Dengan memperhatikan mekanisme asal

konsentrasi glukosa darah sampai batas yang aman untuk


menghindari terjadinya komplikasi kronik DM.

memadai dan penggunaan obat berkhasiat menurunkan


konsentrasi glukosa darah seperti goiongan sekretagog
insulin (sulfonilurea, repaglinid dan nateglinid), golongan
metformin, golongan inhibitor alfa glukosidase, golongan
tiazolidindion dan insulin. Dengan mengkombinasikan
berbagai macam obat berkhasiat menurunkan konsentrasi
glukosa darah, akan dapat dicapai sasaran pengendalian
konsentrasi glukosa darah yang optimal untuk mencegah
terjadinya komplikasi kronik DM.

diabetes.

Berbagai teori dikemukakan untuk menjelaskan

KAKIDIABETES

patogenesis terjadinya komplikasi DM .Di antaranyayang


terkenal adalah teori jalur poliol, teori glikosilasi dan terakhir

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM

adalah teori stress oksidatif, yang dikatakan dapat

yang paling ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering

menj elaskan secara keseluruhan berbagai teori sebelumnya

mengecewakan baik bagi dokter pengelola maupun

(unifying mechanism). Apapun teori yang dianut,

penyandang

DM dan keluarganya. Sering kaki diabetes


berakhir dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini,
di Indonesia kaki diabetes masih merupakan masalah yang
rumit dan tidak terkelola dengan maksimal, karena sedikit
sekali orang berminat menggeluti kaki diabetes. Juga belum

semuanya masih berpangkal pada kejadian hiperglikemia,


sehingga usaha untuk menumnkan terjadinya komplikasi
DM harus dilakukan dengan memperbaiki, mengendalikan
dan menormalkan konsentrasi glukosa darah. N4anfaat

1961

1962

ada pendidikan khusus untuk mengelola kaki diabetes


(podiatrist, chiropodistbelum ada). Di samping itu, ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetes masih sangat

mencolok, lagi pula adanya permasalahan biaya


pengelolaan yang besar yang tidak terjangkau oleh
masyarakat pada umumnya, semua menambah peliknya
masalah kaki diabetes.

Di negara maju kaki diabetes memang juga masih


merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar,
tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan, dan adanya
klinik kaki diabetes yang aktif mengelola sejakpencegahan
primer, nasib penyandang kaki diabetes menjadi lebih
cerah. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan
sampai sangat rendah, menurun sebanyak 49-85%o dari
sebelumnya. Tahun 2005 International Diabetes Federation mengambil tema Tahun Kaki Diabetes mengingat

pentingnya pengelolaan kaki diabetes untuk


dikembangkan
Di RSUPN dr CiptoMangunkusumo, masalah kaki diabetes masih merupakan masalah besar. Sebagian besar
perawatan penyandang DM selalu menyangkut kaki diabetes. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi,
masing-masing sebesar 16 o/o dan25 % (data RSUPNCM
tahun 2003). Nasib para penyandang DM pasca amputasi
pun masih sangat buruk. Sebanyak I4,3 oA akan meninggal
dalam setahun pasca amputasi,dan sebanyak 37 o/o akan
meninggal 3 tahun pasca amputasi.

PATOFISIOLOGI KAKI DIABETES


Te{adinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada
penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati

dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik


neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot,
yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan
distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan
mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan
terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak
menjadi infeksi yang luas. Faktor alirandarahyang kurang
juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan
kaki diabetes (gambar patofisiologi terjadinya kaki
diabetes-lampiran).

KLASIFIKASI KAKI DIABETES


Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari
yang sederhana seperti klasifikasi Edmonds dari Kingb
College Hospital London, Klasifikasi Liverpool yang
sedikit lebih ruwet, sampai klasifikasi Wagner yang lebih
terkait dengan pengelolaan kaki diabetes, dan juga
klasifikasi Texas yang lebih kompleks tetapi juga lebih
mengacu kepada pengelolaan kaki diabetes. Suatu

MEIABOLIKENTIOIRIN

klasifikasi mutakhir dianjurkan oleh International


Working Group on Diabetic Fool (Klasifikasi PEDIS
2003Jihat lampiran). Adanya klasilftasi kaki diabetes
yang dapat diterima semua pihak akan mempermudah para

peneliti dalam membandingkan hasil penelitian dari


berbagai tempat di muka bumi. Dengan klasifikasi PEDIS
akan dapat ditentukan kelainan apayang lebih dominan,

vaskular, infeksi atau neuropatik, sehingga arah


pengelolaan pun dapat terhrju dengan lebih baik. Misalnya
suatu ulkus gangren dengan critical limb ischemia (P3)
tentu lebih memerlukan tindakan untuk mengevaluasi dan
memperbaiki keadaan vaskularnya dahulu. Sebaliknya

kalau faktor infeksi menonjol (I4), tentu pemberian


antibiotik harus adekuat. Demikian juga kalau faktor
mekanik yang dominan (tus ens it iv e fo ot, S2), tentu koreksi
untuk mengurangi tekanan plantar harus diutamakan.
Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan
sangat erat dengan dengan pengelolaan adalah klasifrkasi
yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes
@dmonds 2004-2005):

.
.
.
.
.

Stagel:Normalf'oo/
2 : High Risk Foot

Stage
Stage
Stage
Stage
Stage

3 : Ulcerated Foot

4: InfectedFoot
5 : Necrotic Foot
6 : Unsalvable Foot

Unitk stage I dan2, peran pencegahan primer sangat


penting, dan semuanya dapat dikef akan pada pelayanan
kesehatan primer, baik oleh podi atrist/chiropodis t maopttn

oleh dokter umum/dokter keluarga.


Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan

perawatan di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih


memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan
spesialistik.
Untuk stage 5 , apalagi stage 6, jelas merupakan kasus
rawat inap, dan jelas sekali memerlukan suatu kerja sama
tim yang sangat erat, di mana harus ada dokter bedah,
utamanya dokter ahli bedah vaskular/ahli bedah plastik
dan rekonstruksi.
Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetes, pada
setiap tahap harus diingat berbagai faktor yang yang harus
dikendalikan, yaitu:

.
.
.
.
.
.

mechanical Control-Pressure Confrol


metabolic Control
vascular Control
educational Control
wound Control
microbiological Control-Infection Control

Pada tahap yang berbeda diperlukan optimalisasi hal


yang berbeda pula. Misalnya pada stadium I dan 2 tentu

saja faktor wound control dan infection control belum


diperlukan, sedangkan untuk untuk stadium 3 dan
selanjutnya tentu semua faktor tersebut harus dikendalikan,
disertai keharusan adanya kerjasama multidisipliner yang

1963

KAKIDI,ABETES

I dan 2, peran usaha


pencegahan untuk tidak terjadi ulkus sangat mencolok.
Peran rehabilitasi medis dalam usaha mencegah teg'adinya
ulkus dengan usaha mendistribusikan tekanan plantar kaki
memakai alas kaki khusus, serta berbagai usaha untuk n onweight bearing lain merupakan contoh usaha yang yang
sangat bermanfaat untuk mengurangi kecacatan akibat
deformitas yang terjadi pada kaki diabetes.
baik. Sebaliknya, untuk stadium

te{adinya ulkus karena faktor mekanik akan dapat dicegah.


Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko

tersebut: Untuk kaki yang kurang merasa/insensitif


(kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan benar, untuk
melindungi kaki yang insensitif tersebut.
Kalau sudah ada deformitas (kategori risiko 2 dan 5),
perlu perhatian khusus mengenai sepahr/alas kaki yang
dipakai, untuk meratakan penyebaran tekanan pada
kaki.

PENGELOLAAN KAKI DIABETES


Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok

besar, yaitu pencegahan terjadinya kaki diabetes dan


terjadinya ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi
perlukaan pada kulit) dan pencegahan agar tidak terjadi
kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan
pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang sudah terjadi).

Untuk kasus dengan kategori risiko 4 (permasalahan


vaskular), latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk
memperbaiki vaskularisasi kaki.
Untuk ulkus yang complicated, lenht saja semua usaha
dan dana seyogyanya perlu dikerahkan untuk mencoba
menyelamatkan kaki dan usaha ini masuk ke usaha
pencegahan sekunder yang akan dibahas lebih lanjut di
bawah ini.

PENCEGAHAN SEKUNDER

PENCEGAHAN PRIMER

Pengelolaan HolistikUlkus/Gangren Diabetik


Kiat-kiat Pencegahan Terjadinya Kaki Diabetes
Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat
penting unhrk pencegahan kaki diabetes. Penyuluhan ini
harus selalu dilakukan pada setiap kesempatan pertemuan
dengan penyandang DM, dan harus selalu diingatkan
kembali tanpa bosan. Anjuran ini berlaku untuk semua
pihak terkait pengelolaan DM, baik para ners, ahli gizi, ahli

perawatan

kaki, maupun dokter sebagai dirigen

pengelolaan. Khusus untuk dokter, sempatkan selalu


melihat dan memeriksa kaki penyandang DM sambil
mengingatkan kembali mengenai cara penc egahan dan cara
perawatan kaki yang baik. Berbagai kejadian/tindakan kecil
yang tampak sepele dapat mengakibatkan kejadian yang
mungkin fatal. Demikian pula pemeriksaan yang tampaknya
sepele dapat memberikan manfaat yang sangat besar.
Periksalah selalu kaki pasien setelah mereka melepaskan
sepatu dan kausnya.

Keadaan kaki penyandang diabetes digolongkan


berdasar risiko terjadinya dan risiko besamya masalah yang

Dalam pengelolaan kaki diabetes, kerja sama multidisipliner sangat diperlukan. Berbagai hal yang harus
ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan
yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan
semuanya harus dikelola bersama:

.
.
.
.
.
.

mechanical Confrol-Pressure Control

wound Control
microbiological Control-Infection Control
vascular Control
metabolic Control
educational Control

Untuk pengelolaan ulkus/gangren diabetik yang


optimal, berbagai hal di bawah ini merupakan penjabaran
lebih rinci dari keenam aspek tersebut pada tingkat

pencegahan sekunder dan tersier,yaitu pengelolaan


optimal ulkus/gangren diabetik

Kontrol metabolik.

Keadaan umum pasien harus


Konsentrasi glukosa darah
dan
diperbaiki.
diperhatikan

mungkin timbul. Penggolongan kaki diabetes berdasar


risiko terjadinya masalah (Frykberg): 1). sensasi normal
tanpa deformitas; 2). sensasi normal dengan deformitas
atau tekanan plantar tinggi; 3). insensitivitas tanpa
deformitas; 4). iskemia tanpa deformitas; 5). kombinasi/

diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk

complicated: (a) kombinasi insensitivitas, iskemia dan/atau


deformitas, (b) riwayat adanya tukak, deformitas Charcot.

Nutrisi yang baik jelas membantu kesembuhan luka.

Pengelolaan kaki diabetes tervtama ditujukan untuk


pencegahan terjadinya tukak, disesuaikan dengan keadaan
risiko kaki. Berbagai usaha pencegahan dilakukan sesuai

dengan tingkat besarnya risiko tersebut. Peran ahli


rehabilitasi medis terutama dari segi ortotik sangat besar

pada usaha pencegahan terjadinya ulkus. Dengan


memberikan alas kaki yang baik, berbagai hal terkait

memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang

dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya


diperlukan insulin untuk menormalisasi konsentrasi glukosa
darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki.
Berbagai hal lain harus juga diperhatikan dan diperbaiki ,
seperti konsentrasi albumin serum, konsentrasi Hb dan

derajat oksigenisasi jaringan. Demikian juga fungsi


ginjalnya. Semua faktor tersebut tentu akan dapat
menghambat kesembuhan luka sekiranya tidak diperhatikan
dan tidak diperbaiki.

Kontrol vaskular. Keadaan vaskular yang buruk tentu akan

1964

METABOIIKENDOIRIN

menghambat kesembuhan luka. Berbagai langkah


diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan
pasien dan juga sesuai kondisi pasien. Umumnya kelainan
pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara
sederhana seperti: warna dan suhu kulit, perabaan arteri
Dorsalis Pedis dan arteri Tibialis Posterior serta ditambah
pengukuran tekanan darah. Di samping itu saat ini juga
tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi
keadaan pembuluh darah dengan cara non-invasif maupun
yang invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle
brachial index, ankle pressure, toe pressure,TIPO2, dan

pemeriksaan ekhodopler dan kemudian pemeriksaan


arteriograh.

Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya,


dapat dilakukan pengelolaan untuk kelainan pembuluh
darah perifer dari sudut vakular, yaitu berupa:

Modifikasi Faktor Risiko

.
.

bergantung pada berbagai faktor lain yang juga masih


banyak jumlahnya.
Terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk
memperbaiki vaskularisasi dan oksigenisasi jaringan luka
pada kaki diabetes sebagai terapi ajuvan. Walaupun
demikian masih banyak kendala unhrk menerapkan terapi
hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum kaki
diabetes.
Woand control.Perawatan luka sejakpertama kali pasien
datangmerupakan hal yang harus dikerjakan dengan baik
dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin.
Klasifikasi ulkus PEDIS dilalcukan setelah debridemen yang
adekuat. Saat ini terdapatbanyak sekali macam dressing
(pembalut) yang masing-masing tentu dapat dimanfaatkan
sesuai dengan keadaan luka, danjuga letak luka tersebut.
Dressing yangmengandung komponen zat penyerap seperti
carbonated dressing, alginate dressing akan bermanfaat
pada keadaan luka yang masih produktif. Demikian pula

Stop merokok

hydrophilic

Memperbaiki berbagai faktor risiko terkait aterosklerosis


. Hiperglikemia

dressing akan dapat bermanfaat untuk luka produktif dan


terinfeksi. Tetapi jangan lupa bahwa tindakan debridemen

.
.

Hipertensi
Dislipidemia

Walking P.rogram - Latihan kaki merupakan domain


usaha yang dapat diisi oleh jajaran rehabilitasi medik.

Terapi Farmakologis
Kalau mengacu pada berbagai penelitian yang sudah
dikerjakan pada kelainan akibat aterosklerosis di tempat
lain (antung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain
sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan
bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki penyandang
DM. Tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup
kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna
memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki
penyandang DM.

Revaskularisasi
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jikalau

ada klaudikasio intermiten yang hebat, tindakan


revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum tindakan
revaskularisasi diperlukan pemeriksaan arteriografi untuk
mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih jelas,
sehingga dokter ahli bedah vaskular dapat lebih mudah
melakukan rencana tindakan dan mengerjakannya.
Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah
pintas terbuka. Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan
untuk prosedur endovascular - PTCA. Pada keadaan
sumbatan akut dapat pula dilakukan tromboarterektomi.
Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi
daerah distal dapat diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan
ulkus diharapkan lebih baik. Paling tidak faktor vaskular
sudah lebih memadai,.sehingga kesembuhan luka tinggal

fiber dressing

alau silver impregnated

yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus


dikerjakan dahulu sebelum menilai dan mengklasikasikan
hka. Debridementyatgbaik dan adekuat tentu akan sangat

membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus


dikeluarkan tubuh, dengan demikian tentu akan sangat
mengurangi produksi pus/cairan dari ulkusigangren.

Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk


mengurangi mikroba pada luka, seperti cairan salin sebagai
pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver sebagai

bagian dari dressing, dll. Demikian pula berbagai caru


debridemen non surgikal dapat dimanfaatkan untuk
mempercepat pembersihan jaringan nekrotik luka, seperti

preparalenzim.

Jika luka sudah lebih baik dan tidak terinfeksi lagi,


dressing seperti hydrocolloid dressing yang dapat
dipertahankan beberapa hari dapat digunakan. Tentu saja

untuk kesembuhan luka kronik seperti pada luka kaki


diabetes, suasana sekitar luka yang kondusif untuk
penyembuhan harus dipertahankan. Yakinkan bahwa luka
selalu dalam keadaan optimal, dengan demikian penyembuhan luka akan terjadi sesuai dengan tahapan yang harus
selalu dilewati dalam rangka proses penyembuhan.

Selama proses inflamasi masih ada, proses


penyembuhan luka tidak akan beranjak pada proses selanjutnya yaitu proses granulasi dan kemudian epitelialisasi.
Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan
luka dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin.
Cara tersebut saat ini dipakai di banyak sekali tempat
perawatan kaki diabetes.

Berbagai sarana dan penemuan baru dapat


dimanfaatkan lur;lt.tk wound control seperti: dermagraft,
apligraft, growth factor, protease inhibitor dsb, untuk
mempercepat kesembuhan luka. Bahkan ada dilaporkan

196s

I(AKIDIABETES

terapi gen untuk mendapatkan bakteri E coli yang dapat


menghasilkan berbagai faktor pertumbuhan. Ada pula
dilaporkan pemakaian maggot (belatung) lalat (lalat hijau)
untuk membantu membersihkan luka. Berbagai laporan
tersebut umunmya belum berdasar penelitian besar dan
belum cukup terbukti secara luas untuk dapat diterapkan
dalam pengelolaan rutin kaki diabetes.

Microbiological control Data mengenai pola kuman perlu


diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah yang berbeda.

Di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta data terakhir


menunjukkan bahwa pada pasien yang datang dari luar,
umumnya didapatkan infeksi bakteri yang multipel, anaeob

dan anerob. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu


disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya.
Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RS. Dr.Cipto
Mangunkusumo Jakarta, umumnya didapatkan pola kuman

keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan


mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk
kesembuhan luka yang optimal.
Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting
yang harus dilaksanakan untuk pengelolaan kaki diabetes. Bahkan sejak pencegahan terjadinya ulkus diabetik
dan kemudian segera setelah perawatan, keterlibatan ahli
rehabilitasi medis sangat diperlukan untuk mengurangi
kecacatan yang mugkin timbul pada pasien. Keterlibatan
ahli rehabilitasi medis berlanjut sampai jauh sesudah
amputasi, untuk memberikan bantuan bagi paru amputee
menghindari teq'adinya ulkus baru. Pemakaian alas kaki/
sepatu khusus untuk mengurangi tekanan plantar akan
sangat membantu mencegah terjadinya ulkus baru. Ulkus
yang te{adi berikut memberikan prognosis yang jauh lebih
buruk daripada ulkus yang pertama.

yang polimikrobial, campuran gram positif dan gram negatif


serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau.
Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik harus

REFERENSI

diberikan antibiotik dengan spektrum luas, mencakup

American Diabetes Association Expert Committee. Report of the


Expert Committee on the Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care 1997;20-1183.
American Diabetes Association. Peripheral Arterial Disease in People

kuman gram positif dan negatif (seperti misalnya golongan

sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang


bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti misalnya
metronidazol).
Pressure control. Jka tetap dipakai untuk berjalan (berarti
kaki dipakai untuk menahan berat badan-weight bearing),
luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat
menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian

plantar seperti luka pada kaki Charcot. Peran jajaran


rehabilitasi medis pada usaha pressure control ini juga
sangat mencolok.

Berbagai cara untuk mencapai keadaan non weightbearing dapat dilakukanantara lain dengan:
. Removable cast walker
. Total contact casting

.
.
.
.
.
.

Temporary shoes

Felt padding
Crutches

Wlteelchair
Electric carts

Craddled insoles
Berbagai cara surgikal dapat dipakai untuk mengurangi

tekanan pada luka seperti: 1). Dekompresi ulkus/abses


dengan insisi abses, 2). Prosedur koreksi bedah seperti

operasi untuk hammer toe, metatarsal head


resection, Achilles tendon lengthening, partial
calcanectomy.

Educution control. Edukasi sangat penting untuk semua


tahap pengelolaan kaki diabetes. Dengan penyuluhan yang
baik, penyandang DM danulkus/gangren diabetik maupun

with Diabetes. Diabetes

Ca:.e 2003:26(72): 3333-41.

Boulton AJM. The Diabetic Foot. Medicine International


2002:2(1):36-40.
Edmonds ME, Foster AVM, Sanders LJ. A Practical Manual of
Diabetic Footcare. Blackwell Publishing Ltd. 2004.
Edmonds ME, Foster AVM. Managing the Diabetic Foot. Second
edition. Blackwell Publishing Ltd. 2005.
Flakol PJ, Carlson M, Cherington A. Physiologic action of insulin.
Dalam: Diabetes Mellltus. A Fundamental and Clinical Text.
LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM (eds). Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincot- Williams & Wilkins; 2000. p.148-61
Grugliano D, Ceriello A. Paulisso G Oxidative stress and diabetic
vascular complications. Diabetes Care 1996;19(3):257 -67 .
International Working Group on the Diabetic Foot. International
Consensus on the Diabetic Foot. Noordwijkerhout, the

Netherland 2003.
Kusmardi Sumarjo. Hubungan gambaran klinis pasiendan jenis kuman
penyebab infeksi kaki diabetes. Tesis PPDS Ilmu Penyakit Dalam

FKUI 2005.
Levin ME. Pathogenesis and general management of foot lesions in
the diabetic patients. Dalam: Levin ME, O'Neal LW, Bowker
JH, Pfeifer MA, editors. The Diabetic Foot, Edisi 6, St Louis.
The CV Mosby Company 2001.
Perkeni. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di
Indonesia. Jakarta:PB Perkeni; 2002.
Retno Gustaviani. Data Perawatan Kaki Diabetes di Ruang Rawat
Inap Kelas 2 dan 3 RSUPN dr. CiptoMangunkusumo 2003.
Sarwono Waspadji. Pengelolaan Kaki Diabetes Sebagai Suatu Model
Pengelolaan Holistik, Terpadu dan Komprehensif di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Pidato pada Upacara Pengukr.rhan sebagai Guru
Besar Tetap IPD FKUI 2004
Sarwono Waspadji. Antibiotic choices in the infected diabetic fooV
ulcer. Acta Medica Indonesrana 2005;37(2): 94-101.

1966

MMABOLIKENDOKRIN

LAMPIRAN

Tingkat

Stadium

Klasifikasi PEDIS lnternational Consensus on the


Diabetic Foot2O03

tukak Luka
ataupasca superfisial,
tukak, kulit tidak samoai
intaUutuh tendon atau
tulang kaosul sendi

Tanpa

Luka
sampar

tendon atau
kapsul
sendi

Luka
sampar
tulang/

lmpaired
Perfusion

'l

PAD + but not critical


Critical limb ischemia

sendi

None

Size/Extent in
mm2

Tissue
Loss/Depth

1=

)=
!=

lnfection

1=
z-

3=
a,=

lmpaired
Sensation

2 =

Superficial fullthickness, not deeper


than dermis
Deep ulcer, below dermis, involving
subcutaneous structures, fascia,
muscle or tendon
All subsequent layers ofthe foot
involved including bone and or joint
No symptoms or signs of infection
lnfection of skin and subcutaneous
tissue only
Erythema > 2 cm or infection
involving subcutaneous structure(s)
No systemic sign(s) of inflammatory
response
lnfection with systemic
manifestation:
Fever, leucocytosis, shift to the left
Metabolic instability
Hypotension,azotemia

Absent
Present

Klasifikasi Wagner (Klasifikasi yang saat ini masih


banyak dipakai)
0

Lampiran 2. Patofisiologi terjadinya ulkus pada kaki diabetik


(Sumber: Boulton AJM. Diabetic Med. 1996:3;(Suppl.1)

2
3

4
5

Kulit intak / utuh


Tukak superfisial
Tukak Dalam (sampai tendo, tulang)
Tukak Dalam dengan lnfeksi
Tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki
Tukak dengan gangren luas seluruh kaki

Klasifikasi Liverpool
Klasifikasi primer

Klasifikasi sekunder

Vaskular
Neuropati
Neuroiskemik
Tukak sederhana, tanpa
komplikasi
Tukak dengan komplikasi

308
DIABETES MELITUS PADA USIA LANJUT
Wasilah Rochmah

PENDAHULUAN
Umur merupakan salah faktor yang sangat penting dalam

pengaruhnya terhadap prevalensi diabetes maupun


gangguan toleransi glukosa. Dalam studi epidemiologi,
baik yang dilakukan secara cross-sectional ma'upvn longitudinal, menunjukkan bahwa prevalensi diabetes
maupun gangguan toleransi glukosa naik bersama
bertambahan umur, dan membentuk suatu plateau dan
kemudian menurun. Waktu terjadinya kenaikan dan
kecepatan kenaikan prevalensi tersebut serta pencapaian
puncak dan pemrnrnannya sangat bervariasi diantara studi
yang pemah dilakukan. Namun demikian tampaknya para

peneliti mensepakati bahwa kenaikan prevalensi


didapatkan mulai sejak awal masa dewasa. WHO
menyebutkan bahwa setelah seseorang mencapai umur
30 tahun, maka konsentiasi glukosa darah akan naik l-2
mgo/oltahun pada saat puasa dan akan naik sekitar
5 ,6-13 mg%o pada 2 jam setelah makan. Berdasarkan hal
tersebut tidaklah mengherankan apabila umur merupakan
faktor utama te{ adinya kenaikan prevalensi diabetes serta
gangguan toleransi glukosa. Dalam dua dekade terakhir

ini dari

pengamatan berbagai peneliti tentang


perkembangan penduduk dunia, jumlah usia lanjut
semakin bertambah.
Pada saat ini statistik penduduk dunia menunjukkan

bahwa jumlah usia lanjut umur 65 tahun atau lebih,


berjumlah sekitar 450 juta jiwa (7% dari jumlah total
penduduk dunia). Diperkirakan bahwa jumlah tersebut
pada tahun 2025 dapatmencapai dua kali lipatjumlah saat
ini. Dari beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan,
usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa
mencapai sekitar 50 - 92%. Dapat dibayangkan bahwa
dengan laju kenaikan jumlah penduduk usia lanjut yang
semakin cepat, maka prevalensi pasienganguan toleransi
glukosa dan diabetes usia lanjut akan meningkat lebih

cepat pula. Yang menjadi pertanyaan sekarang: Apakah


pengelolaan diabetes yangtimbulpada usia lanjut sama
dengan diabetes yang telah diderita sejak usia muda? Hal
ini perlu difikirkan dan dicermati mengingat bahwa populasi
ini umumnya telah diseriai dengan berbagai penumnan
baik fisis, psikis maupun finansial dengan segala akibatakibatnya.

TUA DAN PROSES MENUA


Menjadi tua atau menua (aging) adalah suatu keadaan
yang terjadi karena suatu proses yang disebut proses
menua. Proses menua merupakan fenomena universal,
yang kecepatannya atau laju prosesnya bervariasi dari satu
ke lain individu. Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktorfaktor endogen (genetis dan biologis) serta faktor- faktor
eksogen (lingkungan, gizi, pola dan gaya hidup, sosial,
budaya, ekonomi dan penyakit). Menua adalah proses
sepanjang hidup, yang dimulai sejak permulaan kehidupan
itu sendiri, tidak dimulai dari umur 55 tahun, atau umur 60
tahun, atau dari umur 65 tahun sebagai batas umur usia

lanjut menurut WHO. Oleh karena itu proses menua


merupakan suatu proses sepanjang hidup, yang dimulai
dari sejak kehidupan janin, berkembang ke kehidupan bayi,
balita, anak-anak,remaja, dewasa muda, dewasa tua, dan
akhirnyaproses menua ini akan sampai pada segmen akhir
kehidupan. Segmen akhir kehidupan menurut Krammer dan
Schrier dibagi menjadi tiga subkelas, yaitu kelas young

old,umtxantara65-T4tahtn,kelasaged(old)umurarfiara
75-84 tahun, dan yang terakhir oldest old atau extreme
aged ialah mereka yang berumur lebih dari 84 tahun.
Proses menua yang berlangsung sebelum umur 30

tahun, akan berjalan bersama dengan proses-tumbuh


kembang yang bersifat lebih dominan. Kedua proses yang

berjalan bersama

1967

ini akan mengakibatkan

perubahan

1968

METABOLIKENDOKRIN

anatomis, fisiologis, dan biokimiawi menuju suatu titik


kehidupan maksimal sebagai seorang manusia pada

puncak kehidupan produktif. Proses menua yang


berlangsung sesudah umur 30 tahun akan mengakibatkan
perubahan-perubahan anatomis, fisiologis dan biokimiawi
juga, tetapi menuju jalan penurunan kualitas hidup sebesar

l"/o Iiap tahun. Selanjutnya Miller mengatakan bahwa


proses menua ini mengubah seorang dewasa sehat menjadi
seorang tua yang rapuh (frai[),yangmengalami penurunan

dari hampir seluruh sistem fisiologis tubuh. Penurunan ini


akan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit,
dan akhirnya meninggal dunia. Pada usia 60 tahun, proses

menua berjalan lebih cepat, sehingga memperlihatkan

fisik yang tampak progresif.

Menua,
karakteristis ditandai oleh kegagalan tubuh dalam
mempertahankan homeostasis terhadap suatu stres
walaupun stres tersebut masih dalam batas-batas

penurunan

fi

siologis. Kegagalan mempertahankan homeostasis akan

menurunkan ketahanan tubuh untuk hidup dan


mengakibatkan meningkatnya kemudahan kerusakan pada

diri individu tersebut. Tiga fakta yang penting dalam


biologi menua yaitu: pertama sifatnya yang universal
(semua yang hidup dimanapun juga akan mengalaminya),
kedlla deter i or at iv e (makinlama akan makin memburuk),
dan yang ketiga walaupun memburuk tidak menyebabkan
berhentinya fungsi suatu sistem secara total.
Tua adalah suatu keadaan yatg dapat dipandang dari
tiga sisi, yaitu sisi kronologis, biologis, dan psikologis.
Sesuatu dianggap atau dipandang tua apabila dinyatakan
telah berumurlama. Hal tersebut pertama kali dilontarkan
oleh Weismann pada tahun 1882, kemudian dipelajari oleh
Pearl tahun 1928 dan Wartin tahun 1929, dan muncul

kemudian theories related to wear and tear. WHO


memberikan definisi bahwa seseorang disebut tua atau
usia lan1ut apabrla orang tersebut secara kronologis telah
berumur 65 tahun atau lebih. Seseorang yang belum
berumur 65 tahun, tetapi secara fisik sudah tampak sefua
usia 65 tahun karena suatu stres emosional, maka orang
tersebut masuk dalam definisi tua psikologis; lain halnya
apabila seseorang tampak fua karena menderita suatu
penyakit kronik, maka orang tersebut termasuk tua frsik.
Cox mengatakan bahwa tua kronologis disebut menua
primer dan yang lainnya disebut menua sekunder. Seperti
telah disebutkan sebelumnya, Miller mengatakan bahwa
proses menua adalah suatu proses yang mengubah
seorang dewasa sehat menjadi seorang fua yang bersifat
rapuh. Apa yang terjadi dan apa yang bisa menyebabkan
keadaan seperti ifu, sampai saat ini belum ada satu teori
ataupun pembuktian yang dapat menerangkan dengan
jelas. Lebih dari 200 teori menua yang pemah diajukan,
namun sekarang tinggal beberapa saja yang masih banyak
pendukungnya, antara lain adalah: 1. Teori radikal bebas
Harmon, 2.Teori glikosilasi Monnier, 3. Teori laju reparasi
DNA Hart dan Setlow, merupakan hasil penelitian Hart dan
Setlow, 4. Teori pemendekan telomer Hastie dkk, 5. Teori

mutasi DNA mitokondria (mtDNA), mengatakan bahwa


telah lama diduga kalau metabolisme energi dan nutrisi
yang berlangsung dalam mitokondria berperan penting
dalam proses menua.
Manusia dapat dipandang sebagai suatu mesin dengan

kehebatan susunan dan ketahanannya. Namun suatu


mesin yang tanpa henti-hentinya menunaikan tugas yang
menjadi bebannya, cepat atau lambat akhirnya akan

mengalami penyusutan, dan akhirnya cacat. Tingkat


kecacatan atau kerusakan yang terjadi pada suatu mesin
tergantung kompleksitas komposisi mesin tersebut. Deraj at
paling rendah adalah kerusakan yang tidak dapat dielakkan
karena umur suatu bahan dasar dari salah satu komponen,

sedangkan tingkat tertinggi adalah kerusakan dari


beberapa komponen mesin yang mengampu satu fungsi.
Demikian pula yang terjadi pada prosbs menua, ada tiga
tingkatan sampai terjadinya kecacatan atau kerusakan.
Kerusakan yang peftama pada tingkat sel, kedua pada
tingkatjaringan, dan akhirnya pada tingkat organ. Tingkat
kerusakan tertinggi pada apabila terjadi pada berbagai
organ yang mengampu satu fungsi. Salah satu contoh yang
dapat diibaratkan fungsi pada suatu mesin adalah fungsi
homeostasis glukosa.

Toleransi tubuh terhadap glukosa merupakan


manifestasi dari tanggung jawab beberapa komponen
tubuh yang mengampu satu fungsi, yaitu fungsi ambilan
glukosa. Komponen yang dimaksud di atas adalah sel-sel
beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin, sel-sel
jaringan target yang menggunakan glukosa, sistem lain
seperti sistem saraf dan peran hormon-hormon lain yang

diproduksi oleh berbagai organ seperti glukagon,


kortikosteroid, epinefrin dan lain sebagainya. Walaupun
demikian kompleksnya fungsi homeostasis glukosa

tersebut, tetapi tubuh selalu berusaha untuk


memperlahankannya. Namun demikian, seperti halnya
mesin, akhirnya terjadi kecacatanyang dapat kita amati
dengan timbulnya apa yang disebut gangguan toleransi
glukosa (GTG). Dikatakan bahwa 50-92% usia lanjut
menderita GTG. Gangguan toleransi glukosa yang timbul
pada usia lanjut tersebut, ada yang masuk kriteria toleransi
glukosa terganggu, ada yang masuk kriteria diabetes
melitus. Hal tersebut menggambarkan adanya penurunan
kemampuan ambilan glukosa oleh sel-sel jaringan sasaran,
khususnya otot rangka. Seperti disebutkan dalam teoriteori proses menua sebelumnya, kemampuan ambilan
glukosa ini tidak lepas dari peran mitokondria, yang
merupakan pusat metabolisme energi. Dampak yang
ditimbulkan oleh penurunan kemampuan ambilan glukosa
tersebut adalah terjadinya kelambatan pembentukan
molekulAlP (adenosintrifosfat) sebagai energi siap pakai.
Hal ini akan mengakibatkan kelambatan aktivitas dalam
sel, jaringan dan akhirnya organ dan manifestasinya dapat
terlihat dari penampilan seorang usia lanjut, karena

penurunan fungsi sistem muskuloskeletal, neuromuskuler, dan berbagai penurunan fungsi sistem lain,
seperli sistem kardiovaskular dan respirasi.

1969

DIABETES MELITUS PA)A USIA LANJUT

Proses menua yang berjalan setelah seseorang berusia


fisik memberikan akibat terhadap susunan
komposisi tubuh. Pada saat umur di bawah 30 tahun, tubuh
30 tahun, secara

diketemukan pada otopsi dari mereka yang meninggal


dunia pada usia lanjut. Sedangkan ahli-ahli lain rnenemukan
konsentrasi insulin plasma yang cukup tinggipada2 jam

610/o air, 19% sel solid, l4Yo lemak, 6Yo tulang


danmineral. Padausia lebih dari 65 tahun, komposisi tubuh
tersebut berubah menjadi air 53o/o, sel solid l2o/o, lemak
30olo, sedangkan tulang dan mineral menurun 1% sehingga
tinggal 5%. Perubahan fisik karena perubahan komposisi

konsentrasi glukosa darah 2 jam setelah makan atau setelah


pembebanan glukosa pada usia lanjut diduga disebabkan
oleh karena adanya resistensi insulin. Kedua pendapat di

tubuh yang menyertai pertambahan umur umumnya bersifat


fisiologis, seperti kulit yang keriput, turunnya tinggi badan,

atas merupakan pendapat yang bersifat kontroversial.


Goldberg dan Coon menyebutkan bahwa umur memang

terdiri atas

setelah pembebanan glukosa 75 gram dengan konsentrasi

glukosa yang tinggi pula, oleh karena itu kenaikan

berat badan, kekuatan otot, daya lihat, daya dengar,

sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan

kemampuan berbagai rasa (senses), dan penurunan fungsi


berbagai organ termasuk apa yang terjadi terhadap fungsi
homeostasis glukosa.

konsentrasi glukosa darah, sehinggapada golongan

unur

yang makin tua prevalensi gangguan toleransi glukosa


akan meningkat dan demikian pula prevalensi diabetes
melitus berdasarkan kriteria yang telah disetujui.

Timbulnya resistensi insulin pada usia lanjut


TUA DAN PERUBAHAN HOMEOSTASIS GLUKOSA

disebabkan oleh 4 faktor yaitu pertama adanya perubahan


komposisi tubuh sepeti telah diterangkan sebelumnya.

Secara garis besar konsentrasi glukosa darah pada orang


dewasa normal merupakan manifestasi dari kemampuan

Penurunan jumlah masa otot dari l9o/o menjadi I2%o,


disamping peningkatan jumlah jaringan lemak dari 14Yo
menjadi 30olo, mengakibatkan memrnrnnya jumlah serta
sensitivitas reseptor insulin. Faktor yang kedua adalah

sekresi insulin oleh pankreas dan kemampuan ambilan


glukosa oleh sel-seljaringan sasaran. Pada situasi tertentu
konsentrasi glukosa darah dipengaruhi oleh berbagai hal,

seperti proses glukogenolisis pada saat puasa,


glukoneogenesis apabila diperlukan sumber tenaga
tambahan karena sumber tenaga dari karbohidrat tidak
dapat memenuhi kebutuhan..
Gangguan toleransi glukosa (GTG) adalah suatu

keadaan perubahan homeostasis glukosa sehingga


didapatkan konsentrasi glukosa darah 2 j am sesudah makan
lebih tinggi dari 140 mgldl. Apabila konsentrasi tersebut
lebih tinggi atau sama dengan20} mgldl keadaan tersebut
dimasukkan dalam kriteria diabetes melitus (DM). WHO'?

menyebutkan bahwa tiap kenaikan satu dekade umur,


konsentrasi glukosa darah puasa akan naik sekitar I-2mgl
dl dan 5,6-13 mg/dl pada 2 jam sesudah makan. Morrow

dan Halter, mengatakan bahwa KGD 2 jam sesudah


pembebanan glukosa sebanyak 75 gram akan naik 15mg/
dl tiap penambahan I dekade umur apabila seseorang telah
melampaui umur 30 tahun. Hal ini didapatkan dari hasil
penelitian terhadap 3 kelompok umur, yaitu kelompok umur
dekade 4,5 dan 6. Sampai saat ini, belum ada laporan
bagaimana KGD usia di atas 30 tahun pada 3 jam setelah
makan atau setelahpembebanan glukosa. Namun demikian

turunnya aktivitas fisik yang akan mengakibatkan


penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan
dengan insulin sehingga kecepatan translokasi GLUT-4
juga menurun. Kedua hal tersebut akan menurunkan baik

kecepatan maupun jumlah ambilan glukosa. Ketiga


perubahan pola makan pada usia lanjut yang disebabkan
oleh berkurangnya gigi geligi sehingga prosentase bahan

makanan karbohidrat akan meningkat. Faktor keempat


adalah perubahan neuro-hormonal, khususny a insulinlike growth factor-l (IGF-I) dan dehydroepandrosteron
(DHEAS) plasma. Konsentras IGF-I serum turun sampai
50Yo pada usia lanjut. Penurunan hormon ini akan
mengakibatkan penurunan ambilan glukosa karena
menurunnya sensitivitas reseptor insulin serta
menurunnya aksi insulin. Hal ini didasarkan atas percobaan
in vitro serta in vivo bahwa IGF-I meningkatkan baik
ambilan glukosa maupun kecepatan oksidasi. Demikian
pula konsentrasi DHEAS plasma menunrn pada usia lanjut.
Tampaknya penunman DHEAS tersebut ada kaitannya
dengan kenaikan lemak tubuh serta turunnya aktivitas fisik.
Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa penurunan DHEAS mempunyai hubungan terbalik

ini belum jelas atau dapat dikatakan belum

dengan tingginya konsentrasi insulin plasma puasa.


Keempat faktor di atas menunjukkan bahwa kenaikan
konsentrasi glukosa darah pada usia lanjut karena

seluruhnya diketahui. Selain faktor intrinsik, faktor


ekstrinsik seperti memrrunnya ukuran masa tubuh dan
naiknya lemak tubuh mengakibatkan kecenderungan
timbulnya penurunan aksi insulin pada jaringan sasaran.
Timbulnya gangguan toleransi glukosa pada usia lanjut
semula oleh sementara ahli diduga karena menurunnya
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Hal ini didasarkan

resistensi insulin.
Barbien et al menemttkan adanya penurunan resistensi
insulin pada usia lanjut umur 90-100. Dari penemuan ini
Barbieri et al.mengajukan suatu hipotesis yang isinya
bahwa selama proses menua berjalan, tet'adi metabolic
age remodeling yang menumbuhkan age related metabolic adaptation sehtngga pada usia lanjut terdapat age

histologis pankreas yang

related insulin action dan preserted insulin action de-

Morrow & Halter selanjutnya mengatakan bahwa


patofisiologi gangguan toleransi glukosa pada usia lanjut
sampai saat

atas adanya perubahan gambaran

1970

MEIABOLTKENDOIRIN

spite age. Wasilah pada studi tes toleransi glukosa

Selain terjadi gangguan metabolisme gula pada

terhadap usia lanjut sehat tanpa kelainan fungsi hati dan


ginjal denganbeban 75 gramyang diikuti sampaijamke 3,
menemukan bahwa konsentrasi glukosa darah rerata usia
lanjut sehat tersebut lebih rendah dari konsentrasi glukosa
darah puasanya, dengan konsentrasi insulin plasma dalam
batas normal puasa. Sedangkan pada saat 2 jam setelah
pembebanan masih didapatkan konsentrasi glukosa darah
yang lebih tinggi dari l4}mgo/o dengan konsentrasi insu-

pasiendiabetes mengalami juga gangguan metabolisme

lin rerata yang tinggi pula. Hasil tes klem euglikemik


menunjukkan bahwa kecepatan ambilan glukosa oleh sel
jaringan sasaran pada usia lanjut memang lebih rendah
kecepatannya dibanding pada usia muda. Hasil studi

lipid, sering disertai kenaikan berat badan sampai te{adinya


obesitas dan tidak sedikit pula timbul gejala hipertensi.
Kalau keadaan tersebut didapatkan pada seorang diabetes maka yang kita hadapi adalah seorang pasiensindroma
metabolik. Patofisiologi diabetes tipe 2 secara garis besar
disebabkan oleh kegagalan kelenjar pankreas dalam
memproduksi insulin danJ atat terj adinya resistensi insulin baik pada hati maupun pada jaringan sasaran. Kedua

hal tersebut mengakibatkan kegagalan hati dalam


meregulasi pelepasan glukosa dan menyebabkan

insulin. bukan resistensi insulin, karena fungsi homeostasis glukosa pada usia lanjut tersebut akhirnya selesai
walaupun diselesaikan sampai 3 jam.

ketidakmampuan jaringan otot serta jaringan lemak dalam


tugas ambilan glukosa. Sampai saat ini masih merupakan
pendapat yang bersifat kontroversi antara kemungkinan
penyebab diabetes usia lanjut. Apakah suatu resistensi
insulin, inefisiensi insulin atau penurunan produksi insu-

Berdasarkan teori proses menua baik teori radikal bebas


yang menimbulkan stres oksidatif atau teori mutasi DNA
mitokhondria serta hasil penelitian di atas, dapat dikatakan

penanganan yang agak berbeda modelnya, walaupun dasar


dan tujuannya sama. Perlu ditentukan dahulu apakah dia-

tersebut memberikan kesan adanya suatu inefisiensi

terjadinya perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa


pada usia lanjut cenderung karena proses pasca reseptor.
Penelitian dasar tentang mitokhondria sehubungan dengan

metabolisme karbohirdat pada usia lanjut sangat


diperlukan. Sedangkan di bidang klinis tampaknya perlu
difikirkan apakah diagnosis diabetes pada usia lanjut
memerlukan hasil konsentrasi glukosa darah 3 jam sesudah
makan atau akan tetap seperti konsensus, mengingat
bahwa proses menua memang berperan dalam terjadinya
perubahan homeostasis glukosa. Hal ini sangat berkaitan
dengan pengelolaan yang akan dilakukan, khususnya
pada pemberian terapi medikamentosa yang sangat

berisiko terjadinya hipoglikemiaa. Di bidang Geriatric


Medicine dapat diambil manfaat bahwa pada diabetes usia
lanjut tidak harus diketemukan adanya resisitensi insulin,
dan dari fakta bahwa pada diabetes usia lanjut terjadi

preserved insulin action despite age,atau ineficienfy


insulin despite age menggambarkan suatu model gaya
hidup yang baik yang merupakancirisuccessful metabolic

aging.

TUA DAN DIABETES MELITUS

lin? Penyebab tersebut memang akan memberikan


betes yang

dideritausia lanjutmemang dimulai sejakwaktu

dewasa, atau baru diderita pada saat menjelang/sudah tua


(usia lanjut)?
Untuk menentukan apakah diabetes usia lanjut baru
timbul pada saat tua, pendekatan selalu dimulai dengan
anamnesis, yaitu tidak adanya gejala klasik seperti poliuri
polidipsi dan polivagi. Demikian pula gejala komplikasi
seperti neuropati, retinopati dan lain sebagainya, umumnya
bias dengan perubahan fisik karena proses menua, oleh
karena itu memerlukankonfrmasi pemeriksaan fisik, kalau
perlu dengan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan
fisis, pasien diabetes yang timbul padausia lanjut dikatakan
kebanyakan tidak diketemukan adanya kelainan-kelainan
yang sehubungan dengan diabetes seperti misalnya kaki

diabetes serta tumbuhnya jamur pada tempat-tempat


tertentu. Konsentrasi glukosa darah, sampai saat ini baik
diabetes usia lanjut yang diderita sejak muda atau timbul
setelah tua, kriteria yang dipakai adalah konsentrasi
glukosa darah puasa > 126 mgYo menurutAmerican Diabetes Association. Sedangkan menurut WHO konsentrasi
glukosa darah puasa > 140 mg%o danJatau 2 jam sesudah
makan >200 mg%. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi
insulin plasma baik pada saat puasa dan 2 jam sesudah

makan sangat membantu untuk menentukan penyebab


Umur ternyaia merupakan salah satu faktor yang bersifat
mandiri dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi
tubuh terhadap glukosa. Hampir setiap studi epidemiologi
baik yang bersifat cross-sectional maupun longitudinal
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan toleransi
glukosa dan diabetes meningkat bersama pertambahan

diagnosis tersebut, apakah produksi insulin yang menurun


atau resistensi insulin. Namun di Indonesia pemeriksaan

insulin atau peptida-C belum lazim dilakukan untuk


pendukung diagnosis. Berdasarkan hasil penelitian

umur. Umumnya diabetes orang dewasa hampir 90% masuk


diabetes tipe 2. Dari jumlah tersebut dikatakan bahwa 50%
adalah pasienberumur lebih dari 60 tahun. Kita menyadari

Wasilah, bahwa konsentrasi glukosa darah rerata usia


lanjut pada 3 jam setelah pembebanan glukosa, tanpa
perlakuan apapun menurun sendiri sampai setinggi
sebelum pembebanan glukosa, walaupun pada 2 jam
sesudah pembebanan masuk kriteria gangguan toleransi

bahwa penyakit diabetes tidak hanya sekedar adanya


kenaikan konsentrasi glukosa darah alau hiperglikemia.

glukosa. Hal ini memberikan kesan bahwa pada usia lanjut


terjadi inefisiensi insulin.Oleh karena itu apakah prosedur

t97t

DIABETES MELXTUS PADA USIA LAI{JUT

pemeriksaan

3 jam sesudahmakan dapat dipertimbangkan


guna menentukan apakah diabetes pada usia lanjut
tersebut disebabkan oleh resistensi insulin atau karena

mengingat protein binding drug pada usia lanjut sangat


menurun, agar tidak sampai terjadi hipoglikemiaa. Dari
pembicaraan di atas tampaknya perlu dipertimbangkan

inefisiensi insulin. Hal ini akan lebih mendasar lagi apabila

suatu konsensus khusus dalam menangani pasiendiabetes


usia lanjut.

dilakukan pemeriksaan insulin basal guna mendukung


penilaian adanya resistensi insulin. Semua itu sangat
penting untuk mempertimbangkan pemberian terapi
farmakologis, agar kemungkinan teq'adinya hipoglikemiaa
dapat dihindari.
Mengingat pola makan dan pola hidup usia lanjut
sudah berbeda dengan usia muda, maka terapi diit dan
latihan tidak dapat diharapkan sebagaimana mestinya.
Namun demikian, bagaimanapun juga konsentrasi glukosa
darah kapan saja lebih dari 165 mgYobaik akut maupun
kronis akan memudahkan timbulnya berbagai ganggua\
antara lain hemoreologi, vaskular atau neuropati. Oleh
karena itu apabila konsentrasi glukosa darah seorang usia
lanjut sewaktu atau 2 jampasca makan melampaui kriteria
konsensus diagnosis diabetes, tentu saja hal ini akan
membawa konsekuensi pemberian terapi. Menurut Orimo

indikasi pengobatan diabetes usia lanjut apabila


konsentrasi glukosa darah puasa sama atau lebih dari 140
mgoh, atalu HbAIC sama atau lebih dari 7o/o, atau
konsentrasi glukosa darah 2jam pasca makan setinggi 250
mgolo dan pasienmemperlih atkan adany a retinopati diabetik
atau mikroalbuminuria. Lain halnya dengan pendapat dari
Edelman & Chau indikasi pengobatan diabetes pada usia
lanjut memakai dasar kriteria ADA (American Diabetes

Association) Mengingat farmakokinetik

dan

farmakodinamik obat pada usia lanjut mengalami


perubahan, serta terjadinya perubahan komposisi tubuh,
maka dianjurkan dosis obat yang diberikan dimulai dengan
dosis rendah dan kenaikannya dilakukan secara lambat
baik mengenai dosis maupun wakfi (start low go slow).

Pemilihan obat didasarkan atas kasus perkasus, bisa

RINGKASAN
Diabetes melitus usia lanjut, prevalensinya semakin
meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena jumlah usia
lanjut yang makin meningkat pula. Jumlah pasiendiabetes
usia lanjut terdiri atas pasiendiabetes yang telah dimulai
sejakmuda, karenaumw harapan hidup yang makin tinggi
sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan pasiendiabetes yang timbul karena pertambahan usia.
Patofisiologi diabetes yang timbul pada usia lanjut belum
dapat diterangkan seluruhnya, namun dapat didasarkan
atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses
menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antata lain
perubahan komposisi tubuh, menurumya aktivitas fisik,
p erubahan I ife - s ty I e, faktor perubahan neuro -hormonal

khususnya penurunan konsentrasi DHES dan IGF-1


plasma, serta meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut

diduga terjadi age related metabolic adaptation, oleh


karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut
kemungkinan karena age related insulin resistance atau

age related insulin infficiency sebagai hasil dari


preserved insulin action despite age. Berdasarkan hal
tersebut maka pada diabetes usia lanjut tidak harus
diketemukan adanya resistensi insulin, sehingga seorang
usia lanjut sehat merupakan contoh model gaya hidup dari
s u c c es sful m et ab o I i c a ging. D asar diagnosis diabetes usia

lanjut perlu dikembangkan, serta perlu modifikasi terapi

dari konsensus-konsensus yang telah ada.

dengan guar gum (belum beredar di Indonesia), alpha glu-

cosidase inhibitor (acarbose), bisa dengan biguanide


(metformin) dan dapat juga dengan sulfonilurea. Acarbose
dan metformin umumnya diberikan bersama dengan waktu
makan, sedangkan usia lanjut pola makan sering mengalami

perubahan, baik waktu, jumlah maupun frekuensi. Mana


yang makan pokok dan mana.yangmakan tambahan sulit

dibedakan. Oleh karena itu pemberian acarbose atau


metformin mas,ih memerlukan pertimbangan pula. Untuk
sulfonilurea perlu dipilih yang mempunyai sifat menaikkan
sensitifitas insulin di perifir, efek hipogliglikemik yang
rendah, meningkatkan glikogen sintase dan menurunkan
pembentukan glukosa hepatik. Saat ini telah banyak
sulfonilurea generasi kedua yang dibuat sedemikian rupa
sehingga dapat mengatur konsentrasi insulin yang alami.
Obat-obat tersebut diharapkan lebih aman bagi kedua jenis
diabetes padausia lanjut. Khusus diabetes usia lanjutyang
dimulai sejak umur lebih muda prinsipnya sama dengan
diabetes tipe 2, obat yang telah dipakai dan cocok dapat

dilanjutkan, hanya dosis mungkin perlu diturunkan

REFERENSI
Aguilar-Salinas CA,Garcia-Garcia E, Lerman-Garber I, Perez FJG
Rull JA. Making Things Easier Is Not So Easy. The 1997
American Diabetes Association Criteria and Glucose Tolerance.
Diabetes Care 1998:'2I:1027 -8.
Askandar ljokropawiro, Diabetes Mellitus: Kapita Selekta-l 999.4'
(DM-Praktis dan OHO dalam Menyongsong Milenium Baru).
Kumpulan Naskah Lengkap Simpop.ium Diabetes Mellitus

1999;t-45
Barbieri M, Rizzo MR, Manzella D, Paulisso G. Age-related insulin
resistance: is it an obligatory finding? The lesson from healthy
centerians. Diabetes Metab Res Rev 2001;17: 19-26.
Brocklehurst JC & Allen SC. Theory on the nature of aging. Dalam
Geriatric Medicine for Student, 3'd ed. London New York:

Churchill Livingstone;

198'7

3-12.

Broughton DL, Taylor R. Deterioration of Glucose Tolerance with

Age: The Role of Insulin Resistance. Age and Ageing,


7991:20:221-225.
Carter RJM. Energy metabolism, nutrition and ageing. Congress of

1972

METABOIII(ENDOIRIN

Gerontology. Austr J Ageing (Suppl), 1997:l'l (l):56-9.


JM and Mooradian AD. Drug therapy: Current and Emerging Agents, in Sinclair AJ & Finucane P (Eds.) Diabetes in Old
Age, 2d ed. John Wiley & Son LTD Chichester New York
Singapore, 2001: 199-214.
Cox HG. Later Life. The Reality of aging. 2'd ed. New Yersey:
Prentice-Hall, Englewood Cliffs; I 988.p. I -2 L
Cox GH, Cortright RN, Dohm GL, et al. Effect of aging on response
to exercise training in humans: Skeletal muscle GLUT-4 and
insulin sensitivity. J Appl Physiol 1999;86:2019-25.
Cusi K, De Fronzo RA. Treatment of NIDDM, IDDM and other
insulin resistant state with IGF-1. Physiological and clinical
considerations. Diabetes Rev 1995;3: 206-36.
Davidson, MB. The effect of aging on carbohydrate metabolism. A.
review of the English literature and a practical approach to the
diagnosis of diabetes mellitus in elderly. Metabolism 1979;28:

Chechade

6E 8-705.
Davidson, MB. Diabetes Mellitus Diagnosis and Treatment. New
York Brisbane Toronto: A Wiley Medical Publication John &

Sons;1981.p.3-24.
deFronzo RA. Glucose intolerance and aging: evidence for tissue in-

sensitivity to insulin. Diabetes, 1979; 28:1095-101.


Dimitriadis G, Parry-Billing M, Bevan S, et al. Effect of insulin like
growth factor I on the rates of glucose transport and utilisation
in rat skeletal muscle in vitro. Biochem J 1992,285:269''74.

colorectal carcinoma and with ageing . Nature, 1990;346:866.


Katz P; Dube D. and Calkins E. Aging and Disease. Dalam Calkin E,
Davis PJ, and Ford AB (Eds.) The Practice of Geriatrics. Philadelphia London Toronto: WB Saunders Company; 1986.p.1-2.
Kramer AM & Schrier RW. Demographic, Social, and Economic
Issues. Dalam R. W. Schrier (Ed.) Geriatric Medicine. Philadelphia London Toronto: W. B. Saunders Company; 1990.p.1-10.
Meneilly GS. Pathophysiology of Diabetes in the Elderly in Sinclair
AJ & Finucane P (Eds.) Diabetes in Old Age, 2"d ed. New York
Singapore: John Wiley & Son LTD Chichester; 2001.p.I7-23.

Merriman A. Handbook of International Geriatric Medicine'


Singapore Hongkong New Delhi Boston Auckland: PG Publishing; 1989.p.117 -123.
Morrow LA and Halter JB. Treatment of the Elderly with Diabetes

Mellitus dalam CR Kahn &CG Weir (Eds.) Joslin's Diabetes


Mellitus 13'h ed. Philadelphia London Tokyo: Lea & Febriger,
A Waverly Company; 1994.p.552-559.
Miller RA. The biolory of aging and longevity. In: Hazzard W& Bierman
EL, Blass JP, Ettinger Jr. WH, Halter JB (eds.) Principle of Geriatric Medicinp and Gerontology, 3d ed. New York McGraw-Hill Inc;
1994.p.3- l8.
O'sullivan, J.B. & Mahan, C. Relationship of age to diagnostic

Ebeling P, Kolvisto PA. Physiological importance of

blood glucose level. Diabetes 1969;28:1039- 1042.


Orimo H. Management of diabetes mellitus in the elderly. Asian
Med. J. 1997:40(6):310-315.
PERKENI, Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia,

dehydroepiandrosterone. Lancet 1994;343:147 9-81.


Edelman SV and Chau D. Clinical Management of Diabetes in the
Elderly. Clinical Diabetes 2001 ;19 (4) : I7 2-'7 5.
Fink R.I. Mechanism of insulin resistance on aging. J. Clin' Invest.

Ramachandran A, Snehalatha C, Syiamak R Vrjay V & Viswanathan


M. High prevalence of NIDDM & IGT in an Elderly South Indian
population with low rates of Obesity. Diabetes Care, 1994,Oct.;

998.

17(10):1 190-2.

1983:71:1523-1535
Finucane P & Popplewell P. Diabetes Mellitus and Impaired Glucose
Regulation in Old Age: The Scale of the Problem. In Sinclair AJ,
Finucane P (Eds.) Diabetes in Old Age, 2'd ed. New York Singapoe
Toronto: John Wiley & Sons, LTD Chichester; 200l.p. 3-14.
Goldberg, AP & Coon PJ. Diabetes Mellitus and Glucose Metabolism
in the Elderly dalam W. R.Hazzard, E. L. Bierman, J. P. Blass,

W. H. Ettinger Jr., J. B. Halter (Eds.), R. Andres (Ed.Em.) Principle of Geriatric Medicine and Gerontology, 3'd ed. International Ed. New York Paris Sydney Tokyo: McGraw-Hill, Inc;

1994.p.825-43.
Haffner SM, Valdez RA, Mykkanen I, et al. Decreased testosteron
and dehydroepiandrosterone sulfate cocentrations are associ-

ated

with

increased insulin and glucose concentrations in nondiabetic men.

Metabolism 1994;43: 599-603.


Haffner SM, Valdez RA,. Endogenous sex hormones: impact on
lipids, lipoproteins and insulin. Am J Med 1995;98 (Suppl. lA):
40s-47S.

Hall DA. Theory of Ageing, The Biomedical Basic of Gerontology,


1984: 18-47
Harmon D. Aging: A theory based on free radical and radiation
chemistry. J Gerontol, 1956;ll:298.
Hart RW, and Setlow RB. Correlation between deoxyribonucleic
acid excision repair and lifespan in a number of mammalian
species. Proc Natl Acad Sci USA, 1974;71:2169.
Hastie ND, Dempster M, Dunlop MG. Telomere reduction in human

& Wilcock GK. Hyperinsulinemia and Alzheimer Disease.


Age and Ageing, 1994;Sep.23(5):396-9.

Razay G

Sell DR, Monnier VM. End-stage renal disease and diabetes catalyze
the formation of a pentose-derived cross-link frgm aging human collagen. J Clin Invest 1990;85:380.
Sinha B and Nattras SS. Efficacy of New Drug Therapies for Diabetes in Elderly. Annals of Long-Term Care 2001;9(6):23-9.
Troll LE. Continuations: Adult Development and Aging. Brooks
Publishing Company Monterey, California 1982.
Walker M. Obesity, Insulin Resistance and its link to Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus. Metabolism, 1995:Sep. 44 (9
Suppl.3): I 8-20.
Wasilah-Rochmah. Hubungan antara Konsentrasi Insulin dan Kadar

Glukosa Plasma Darah pada Golongan Lanjut usia, Laporan

penelitian DPP UGM.1994.


Wasilah-Rochmah. Gangguan toleransi glukosa pada usia lanjut lakilaki: Kajian pengaruh pembebanan glukosa terhadap sekresi insulin dan peran insulin dalam ambilan glukosa oleh sel jaringan
sasaran (in vivo). Desertasi Universitas Gadjah Mada, 2002:
Feb. 25.
WHO Diabetes Mellitus. Report of a WHO Study Group. WHO
Technical Report Series'127. 1985.
Williams DP, Boyden TW, Pamenter RW, et al. Relationship of

body fat percentage and fat distribution with


dehydroepiandrosterone sulfat in premenopausal women. J Clin
Endocrinol Metab 1993;77: 80-5.

309
OBESITAS
Sidaftawan Sugondo

orang-orang dengan obesitas masif dengan berat badan


berkisar antara 280 hingga 485 kg.
Sauvages dan Cullen pertama kali mencoba melakukan
klasifikasi obesitas. Istilah yang dipakai pada saat itu
adalah polysarcie. Pada abad ke 19 kata "obesitas" mulai
menggantikan nama-nama sebelumnya seperti, po lys arcie,

PENDAHULUAN
Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang

terjadi akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan,


sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi

bila besar dan jumlah sel lemak bertembah pada tubuh


seseorang. Bila seseorang bertambah berat badannya maka
ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian

embonpoint dan corpulence.


Penelitian untuk mempelajari berbagai hormon dan
sistem neuroendokrin, yang mengatur keseimbangan

jumlahnya bertambah banyak.


Di daerah antara Perancis dan Rusia (sekitar laut Hitam)
diketemukan artefak mengenai obesitas dafi zananbatu
(era paleolitrk,23.000-25.000 tahun yang lalu), yang
umumnya terbuat dari gading, granit, atau terakota.

energi dan lemaktubuh merupakan tantangan lama dalam


bidang biologi, dengan obesitas sebagai fokus kesehatan
masyarakat yang penting.
Saat ini kitahidup pada masa dimanaberat badan lebih
(indeks massa tubuh (IMT) 23-24.9 kglm2) dan obesitas
(IMT 25-30 kglm2) sudah menjadi suatu epidemi, dengan
dugaan bahwa peningkatan prevalensi obesitas akan

Venus dari Willendorf adalah artefak yang paling terkenal.

Artefak tersebut berupa sebuah patung kecil setinggi l2


cm dengan gambaran obesitas abdominal dan buah dada
yang besar. Desain serupa juga terdapat di seluruh daratan

mencapai 50 % pada tahun 2025 bagi negara - negara maju.


Dokter dan tenaga kesehatan yang berhubungan dari
semua subspesialisasi, saat ini menghadapi dampak dari
peningkatan epidemi obesitas baik diklinik maupun rumah
sakit. Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan
yang sukar diatasi. Kegagalan para dokter dan spesialis
untuk secara sistematis dan efektif mengatasi peningkatan

eropa yang diperkirakan berasal dari periode glasiasi.


Berbagai artefak tersebut menggambarkan bahwa pada

zaman

itu obesitas

sudah merupakan suatu fakta,

setidaknya dialami oleh wanita Paleolitik. Selain itu, juga


ditemukan artefak terbuat dari terakota, granit atalu
alabaster, dengan gambaran dada yang besar dan daerah
abdominoglutpal yang besar yang berasal dari era Neolitik
(8000-5500 $M), dimana manusia mulai menetap dan
bercocok tanam.
Ketika kedokteran tradisional berkembang pada semua
kultur di dunia, ditemukan pula bukti mengenai obesitas.
Kedokteran Mesop0tamia, Mesir, India, Cina-Tibet, Mesoamerika, Greco-Roman danArab semua mempunyai caracara mengobati obesitas.
Pada masa kedokteran ilmiah (1500 hingga sekarang)
obesitas dipelajari dengan menggunakan ilmu anatomi,
histologi, fisiologi, kimia dan biokimia, genetika dan biologi
molekular, farmakologi, ilmu syaraf, dan kedokteran klinik.
Sebelum era ilmiah (awal 1500 M) dilaporkan adanya

problem abad keduapuluh satu ini, telah membuat


masyarakat berpaling pada banyak program yang
diiklankan, yang menjanjikan keadaan yang kurang pada
tempatnya, karena mengklaim mempunyai efek yang cepat

dan menyembuhkan bagi masalah "kosmetik" yang


menakutkan ini. Belum lagi, mass media didominasi oleh
iklan pengobatan overweighl atau obesitas yang tidak jelas
dan kurang memiliki bukti-bukti ilmiah. Saat ini sebenamya
tenaga kesehatan harus bersama-sama lebih tampil dan
lebih tahu mengenai regulasi berat badan, mekanisme
perkembangn berat badan dan obesitas, dan banyaknya
komorbiditas yang berhubungan dengan hampir semua
subspesialisasi. Karena hanya dengan mendalami ini kita

197

1974

dapat melakukan pendekatan komprehensif pengobatan


yang efektif bagi obesitas.

SEL LEMAK DAN JARINGAN LEMAK

MEXABOIJKENI'OI(RIN

Komposisi selular. Komposisi selular terdiri dari

komponen: sel, cairan ekshasel dan bagian padat ekstrasel.


Massa sel dibagi lagi atas lemak (komponen molekular)
dan bagian yang aktif secara metabolik yaitu massa sel
tubuh. Sehinggapada akhimya akan terdiri dai body cell
mass, cairan ekstrasel dan solid ekstrasel.

paling besar bagi mamalia. Tugas utamanya'adalah untuk


menyimpan energi dalam bentuk trigliserida melalui proses

Komposisi jaringan dan organ. Sel akan membentuk


jaringan dan organ tubuh, sepefii jaringan adiposa, otot
skelet, tulang, kulit, jantung, dan organ viseral lainnya.

lipogenesis yang terjadi sebagai respons terhadap

Jaringan dan organ tubuh akan membentuk tubuh manusia

kelebihan energi dan memobilisasi energi melalui proses


lipolisis sebagai respons terhadap kekurangan energi. Pada
keadaan normal, kedua proses ini diregulasi dengan ketat.

yang merupakan perpaduan 5 komponen tubuh, yaitu

Jaringan lemak merupakan depot penyimpanan energi yang

atomik, molekular, selular, jaringan, dan organ serta tubuh


secara keseluruhan.

Jaringan lemak merupakan jaringan ikat yang


mempunyai fungsi sebagai tempat penyimpanan lemak
dalam bentuk trigliserida. Pada mamalia, jaringan lemak
terdapat dalam 2 bentuk jaringan lemakputih danjaringan
lemak coklat. Keberadaannya, jumlah dan distribusi
tergantung pada spesies. Jaringan lemak putih mempunyai
3 fungsi, yaitu isolasi panas, bantalan mekanik, dan yang
paling penting sebagai sumber energi. Jaringan lemak
subkutan yang terletak langsung di bawah kulit, merupakan
penahan panas bagi tubuh, karena ia mempunyai daya
konduksi sebesar l/3 dibandingkan denganjaringan lain.
Kemampuan menahan panas tergantung pada tebal lapisan
lemak. Jaringan lemak juga melapisi organ tubuh bagian
dalam dan bertindak sebagai pelindung organ tersebut.
Jaringan lemak coklat berfrmgsi untuk mempertahankan
panas tubuh (termogenesis). Fungsi utama jaringan lemak
adalah untuk tempat penyimpanan energi dalam bentuk
trigliserida dan melepaskannya sebagai asam lemak bebas
dan gliserol yang merupakan sumber energi yang berasal
dari lemak.
Tubuh manusia dibagi menjadi2bagian yang saling
berhubungan, yaitu bahan yang diperlukan untuk energi
(lemak dan glikogen) dan air. Sebenarnya komposisi tubuh
manusia jauh lebih kompleks dan terdiri dari 4 macam

Morfologi dan Perkembangan Jaringan Lemak


Droplet lemak dalam jaringan lemak dapat berbentuk
unilokular dan/atau multilokular. Sel unilokular merupakan
suatu droplet lipid yang besar, yang akan mendorong inti
sel ke arah membran plasma sehingga sel akan menyerupai

sebuah cincin. Sel unilokular merupakan karakteristik


jaringan lemak putih dan mempunyai berbagai ukuran yang
berkisar anlara 20--200 mikron. Mitokondrianya terutama
ditemukan pada daerah pinggir sel yang lebih tebal
sitoplasmanya di dekat inti sel. Sel droplet lemak besar
tidak mempunyai organel kecil intrasel. Sel multilokular
yang umumnya didapat di sel lemak coklat mengandung
banyak droplet yang lebih kecil.

Distribusi Jaringan Lemak


Akumulasi lemak ditentukan oleh keseimbangan antara
sintesis lemak (lipogenesis) dan pemecahan lemak (lipolisis
- oksidasi asam lemak). Di samping kedua faktor tersebut,
faktor lain yang juga berpengaruh adalah gender.

Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko


penyakit adalah kelebihan lemak viseral dan bukan lemak
subkutan pada tubuh.

komposisi:
Komposisi atomik. Dari sudut pandang komposisi atomik,
berat badan merupakan akumulasi sepanjang hidup dari 6
elemen utama, yaitu: oksigen, karbon, hidrogen, nitrogen,
kalsium, dan fosfor. Kurang dari 2o/oberutbadanterdiri dari
sulfur, kalium, natrium, klorida, magnesium dan 40 elemen
lain yang secara nonnal terdapat dalam jumlah kurang dari
10gnm.

Komposisi molekular. Elemen terbagi dalam komponen


molekular yang dapat dikelompokkan dalam 5 kategori
besar, yaitu: lemak, protein, glikogen, air, dan mineral.
Tingkat molekular ini secara praktis seringkali dibagi atas:
lemak dan massa bebas lemak. Model yang lain adalah
pembagian menurut lemak, lean soft tissue, dan mineral
tulang. Komposisi molekular menyusun dasar untuk sel
yang fungsional.

Metabolisme Lemak
Pemahaman mengenai nutrisi, hormonal, dan terutama

regulasi transkripsional lipogenesis telah berkembang


pesat. Lipogenesis dirangsang oleh diet tinggi karbohidrat,
namun juga dapat dihambat oleh adanya asam lemak tak
jenuh ganda dan dengan berpuasa. Efek tersebut sebagian
diperantarai oleh hormon yang dapat menghambat (seperti

hormon pertumbuhan, leptin) atau merangsang (seperti


insulin) lipogenesis. Sterol regulatory element binding
protein- I adalah mediator penting pada kerja proJipogenik
atau anti-lipogenik beberapa hormon dan nutrisi. Faktor
transkripsi lain yang berhubungan dengan lipogenesis
adalah peroxisome proliferator activated receptor-y.
Kedua faktor transkripsi tersebut merupakan target menarik

untuk intervensi farmakologi pada kelainan seperti


hipertrigliseridemia dan obesitas.

1975

oBESmASI

baik dari yang masuk maupun yang akan keluar (Gambar 1).
Insulinmungkin merupakan faktor hormonal terpenting

Lipogenesis. Lipogenesis harus dibedakan dengan adipogenesis yang merupakan proses diferensiasi pra-adiposit
menjadi sel lemak dewasa. Lipogenesis adalah proses
deposisi lemak dan meliputi proses sintesis asam lemak
dan kemudian sintesis trigliserida yang tet'adi di hati pada
daerah sitoplasma dan mitokondria dan jaringan adiposa.
Energi yang berasal dari lemak dan melebihi kebutuhan
tubuh akan disimpan dalam jaringan lemak. Demikianpula
dengan energi yang berasal dari karbohidrat dan protein
yang berasal dari makanan dapat disimpan dalam jaringan

yang mempengaruhi lipogenesis. Insulin menstimulasi


lipogenesis dengan cara meningkatkan pengambilan
glukosa di jaringan adiposa melalui transporter glukosa
menuju membran plasma. Insulinjuga mengaktivasi enzim

lipogenik dan glikolitik melalui modifikasi kovalen


(Gambar 2). Efek tersebut dicapai dengan mengikat
insulin pada reseptor insulin di permukaan sel sehingga
mengaktivasi kerja tirosin kinasenya dan meningkatkan
efek downstream melalui fosforilasi tirosin. Insulin juga
mempunyai efek jangka panjang pada gen lipogenik,
mungkin melalui faktor ftanskripsi Sterol Regulatory Elemmt Binding Protein-I (SREBP-I) (Gambar 2). Selain itu,
insulin menyebabkan SREBP-I meningkatkan ekspresi dan

lemak(Gambarl).
Asam lemak, dalam bentuk trigliserida dan asam lemak
yang terikat pada albumin didapat dari asupan makanan
atau hasil sintesis lemak di hati. Trigliserida yang dibentuk
dari kilomikron atau lipoprotein akan dihidrolisis menjadi
gliserol dan asam lemak bebas oleh enzim lipoprotein
lipase (LPL) yang dibentuk oleh adiposit dan disekresi ke

kerja enzim glukokinase, dan sebagai akibatnya,


meningkatkan konsentrasi metabolit glukosa yang
dianggap menjadi petantara dari efek glukosa pada

dalam sel endotelial yang berdekatan dengannya


(adjacent). Aktivasi LPL dilakukan oleh apoprotein C-II
yang dikandung oleh kilomikron dan lipoprotein (VLDL).

ekspresi gen lipogenik.

Hormon pertumbuhan (growth hormonelGH)


menurunkan lipogenesis di jaringan adiposa secara
dramatis, sehingga terjadi penurunan lemak yang

Kemudian asam lemakbebas akan diambil oleh sel adiposit


sesuai dengan derajat konsentrasinya oleh suatu protein
transpor transmembran. Bila asam lemak bebas sudah
masuk ke dalam adiposit maka akan membenhrkpoo/ asam
lemak Pool im akan mengandung asam lemak yang berasal

Lipolisis/Oksidasi
Asam Lemak

bermakna, dan berhubungan dengan penambahan massa


otot. Efek tersebut diperantarai melalui dua jalur:

Hormon pertumbuhan menurunkan sensitivitas

Droplet Lemak
Besar

Pool

Asam Lemak
bebas

Sirkulasi Pool Substrat


Gambar 1. Mekanisme keseimbangan lipolisis dan lipogenesis

1976

MEXABOTIIT,ENIPKRtr{

Asam Lemak Tidak


jenuh rantai Ganda
lnsulin

lnsulin+Glukosa
Glukosa

Leptin

Asam
lemak

Asetil KoA
Sitrat
Liase

Enzim I
I

Malonil KoA
Enzim

I
I sir...
I A."t
I lemat

Gambar 2. Regulasi lipogenesis pada hepatosit dan adiposit

insulin sehingga terjadi down-regulafion ekspresi


enzim sintetase asam lemak di jaringan adiposa.

Beberapa studi fu vitro menunjukkan bahwa ASP


menstimulasi akumulasi trigliserida di sel adiposa.

Mekanisme tersebut masih belum jelas, namun Gll


mungkin mempengaruhi sinyal insulin di tingkat post-

Akumulasi tersebut terjadi karena terdapat peningkatan

reseptor.

pada saat yang bersamaan.

GH dapat menurunkan lipogenesis dengan cara


memfosforilasi faktor transkripsi Stat5a dan 5b.
Hilangnya Stat5a dan 5b pada model knock-out

Lipolisis. Lipolisis merupakan suatu proses di mana terjadi


dekomposisi kimiawi dan penglepasan lemak darijaringan

memperlihatkan penurunan akumulasi lemak di jaringan

adiposa. Mekanisme bagaimana protein Stat5


meningkatkan penyimpanan lemak, masih belum
diketahui.

Leptin adalah hormon yang berhubungan dengan


lipogenesis. Leptin membatasi penyimpanan lemak tidak
hanya dengan mengurangi masukan makanan, tetapi juga
dengan mempengaruhi jalur metabolik yang spesifik di

adiposa dan jaringan lainnya. Leptin merangsang


pengeluaran gliserol dari adiposit, dengan menstimulasi
oksidasi asam lemak dan menghambat lipogenesis. Efek
yang terakhir tercapai dengan down-regtlaflon ekspresi
gen yang berhubungan dengan asam lemak dan sintesis
trigliserida, sebagaimana digambarkan pada oligonucleotide micro-array analysis. Target negatif leptin yang lain
mungkin SREBP-I, karena faktortranskripsi ini mungkin
ikut berperan dalam mediasi efek inhibisi leptin dalam
ekspresi gen lipogenik.
Faktor endokrin atau autokrin yang berhubungan
dengan sintesis trigliserida setelah insulin, GH dan leptin
adalah Acylation Stimulating Protein (ASP). ASP adalah
peptida kecil yang sama dengan C3adesArg, suatu produk
dari faktor komplemen q ASP diproduksi oleh jaringan

adiposa dan kemungkinan bekerja secara autokrin.

sintesis trigliserida dan penurunan lipolisis jaringan adiposa

lemak. Bilamana diperlukan energi tambahan maka lipolisis


merupakan proses yang predominan terhadap proses lipo-

(fISI) akan
menjadi
asam
trigliserida
menyebabkan terjadinya hidrolisis
gliserol.
lemak bebas dan
Asam lemak yang dihasilkan akan masuk ke dalampoo l
asam lemak, di mana akan terjadi proses re-esterifikasi,
beta oksidasi atau asam lemak tersebut akan dilepas masuk
ke dalam sirkulasi darah untuk menjadi substrat bagi otot
skelet, otot jantung, dan hati. Asam lemak akan dibentuk
menjadi AIP melalui proses beta oksidasi dan asam lemak
akan dibawa ke luar jaringan lemak melalui sirkulasi darah
untuk kemudian menjadi sumber energi bagi jaringan yang
membutuhkan.
Hormon insulin akan mengurangi mobilisasi asam lemak
genesis. Enzim Hormone Sensitive Lipase

dari jaringan lemak dengan cara menghambat enzim


trigliserid lipase. Mekanisme penghambatan ini terjadi
melalui proses pengurangan siklik AMP yang pada
waktunya akan menghambat siklik AMP dependent protein kinase. Supresi lipolisis ini akan mengurangi jumlah

asam lemak ke hati dan jaringan perifer. Dengan


berkurangnya asam lemak ke hati maka pembentukan asam
keto berkurang. Insulinjuga akan merangsang penggunaan
asam keto ini oleh jaringan perifer sehingga tidak akan
tet'adi akumulasi asam ini di darah.

--'/

r977

OBESfftrS

Jaringan Lemak sebagai Kelenjar Endokrin


Adiposit yang sebelumnya dikenal hanya sebagai tempat
penyimpanan trigliserida, sekarang diketahui dapat
mensekresi beberapa peptida dengan berbagai efek kerja
yang sebagian mempunyai sifat sebagai kelenjar endokrin.
Sel endokrin akan mensekresi hormon untuk suatu efek
yang terletak jauh (efek endokrin) dan juga mempunyai
efek lokal (parakrin). Selain itu, dapatjuga mempunyai efek
terhadap dirinya sendiri (autokrin). Penelitian eksperimental
pada hewan menunjukkan bahwa hormon dan sitokin yang
dihasilkan adiposit mempunyai efek terhadap susunan
syarafpusat, hati, otot, dan tulang serta beberapa organjaringan lain.

Penemuan baru yang menggunakan pendekatan


genomik dan proteomik telah mengidentifikasi berbagai
faktor sekresi adiposit baru yang fungsinya belum jelas.
Jaringan adiposa yang terlalu sedikit maupun terlalu

banyak menyebabkan gangguan metabolik seperti


resistensi insulin. Obesitas sentral sangat berkorelasi
dengan timbulnya diabetes, hipertensi, dan penyakit
kardiovaskular.

OBESITAS

Definisi dan Klasifi kasi Obesitas


Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan
nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan

oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik


diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan
penyakit ini. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan
sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak
normal atauberlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat
mengganggu kesehatan.

Keadaan obesitas ini, terutama obesitas sentral,


meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena
keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindrom
resistensi insulin yang terdiri dari resistensi insulin/
hiperinsulinemia, intoleransi glukosa/diabetes melitus,
dislipidemia, hiperuresemia, gangguan fibrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi.
Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit
dan sebagai pengukur pengganti dipakai body mass in-

gemuk, akan lebih berat dari orang yang lebih kecil.


Karena IMT menggunakan ukuran tinggi badan, maka
pengukurannya harus dilakukan dengan teliti. IMT dapat

memperkirakan jumlah lemak tubuh yang dapat dinilai


dengan menimbang di bawah air (r2 = 79o/o) dengan
kemudian melakukan koreksi terhadap umur dan jenis
kelamin. Bila melakukan penilaian IMI perlu diperhatikan
akan adanya perbedaan individu dan etnik.
Hubungan antara lemak tubuh dan IMT ditentukan
oleh bentuk tubuh dan proporsi tubuh, sehingga dengan
demikian IMT belum tentu memberikan kegemukan yang
sama bagi semua populasi. IMT dapat memberikan kesan
yang umum mengenai derajat kegemukan (kelebihan jumlah
lemak) pada populasi, terutama pada kelompok usia lanjut
dan pada atlit dengan banyak otot. IMT dapat memberikan
gambaran yang tidak sesuai mengenai keadaan obesitas
karena variasi lean body mass.
Tabel 1, merupakan klasifikasi yang ditetapkan World

Health Organization (WHO), nilai IMT3 30 kglm2


dikatakan sebagai obesitas dan nilai lill{T 25-29,9 kglrfi,
sebagai "Pra Obese".

Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda,


dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang
sama, memrnjukkan etnikAmerika berkulit hitam memiliki
IMT lebih tinggi 1,3 kglm2 dan etnik Polinesia m6miliki
IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan etnik
Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT pada bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia, dan Thailand adalah 1,9, 4,6, 3,2 dan 2,9 kgl
m2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Hal itu
memperlihatkan adanya nilai cutoff IMT untuk obesitas
yang spesifik untuk populasi tertentu.
WilayahAsia Pasifik pada saat ini telah mengusulkan
kriteria dan klasifftasi obesitas sendiri (Tabel 2).
Penelitian lainnya melaporkan bahwa orang Indonesia
dengan berat badan, tinggi badan, umur, dan jenis kelamin
yang sama umumnya memiliki 4,8 + 0,5 (SEM) Yolemak

tubuh lebih tinggi daripada orang Belanda. Dengan


persentase lemak tubuh, umllr, dan jenis kelamin yang
sama, IMT antara orang Indonesia dan Belanda (etnik
Kaukasia) berbeda sekitar 3 unit (2,9 + 0,3 (SEM) kglm'.

Mengacu pada angka-angka ini, maka

titik cutoff I}l{T

dex (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) untuk


menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang
dewasa.

IMT merupakan indikator yang paling sering


digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi
berat badan lebih dan obes pada orang dewasa. Untuk
penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks
Quetelet, yaitu berat badan dalam kilogram (kg) dibagi

tinggi dalam meter kuadrat (m?). Saat ini IMT merupakan


indikator yang paling bermanfaat untuk menentukan berat
badan lebih atau obes. Orang yang lebih besar-tinggi dan

Berat Badan Kurang


Kisaran Normal
Berat Badan Lebih
Pra-Obes
Obes Tingkat

< 18,5
18,5

30,0 35,0 25,0

Obes Tingkat ll
Obes Tingkat lll

Sumber : WHO fechnical series, 2000

-24,9

>25
29,9
34,9
39,9

>40

1978

METABOLIKENDOIRIN

Risiko Ko-Morbiditas
Klasifikasi

Berat Badan Kurang

<

Kisaran Normal
Berat Badan Lebih
Berisiko

18,5 -22,9
> 23,0

Obes

Obes ll
Sumber

Lingkar Perut

IMT (kg/m2)

18,5

23,0 -24,9
25,0 - 29,9
> 30,0

< 90 cm (Laki-Laki)
< 80 cm (Perempuan)

> 90 cm (Laki-Laki)
> 80cm (Perempuan)

rendah (risiko meningkat


pada masalah klinis lain)
sedang

Sedang

meningkat
moderat
berat

meningkat
moderat
berat
sangat berat

WHO WPFyIASO/IOTF dalam The Asia-Pacffic Perspective: Redefining Obesity and its Treatment (2000)

orang Indonesia seharusnya27 danbukan 30

kglm'.

Sebenarnya sangat sulit untuk mendapatkan angka

obesitas secara global dengan tepat karena sulit


didapatkannya angka-angka yang akurat dan yang dapat
saling dibandingkan. Pada obesitas, jumlah lemak tubuh
lebih banyak. Pada dewasa muda laki-laki lemak tubuh >

> 35yo. Keadaan ini sesuai dengan


indeks masa tubuh (IMT): 30 kg/nf pada orang Kaukasia
25o/o dan perempuan

berkembang berdampak pada peningkatan prevalensi


obesitas pada populasi di negara-negara ini, termasuk di
Indonesia. Walaupun belum ada penelitian epidemiologi
yang baku mengenai obesitas, datayangada saat ini sudah
menunjukkan terjadinya pertambahan jumlah penduduk
dengan obesitas, khususnya di kota-kota besar. Penelitian
epidemiologi yang dilakukan di daerah sub urban di daerah

Jumlah lemak tubuh dapat ditentukan in vivo dengan

Koja, Jakarta Utara, pada tahun 1982, mendapatkan


prevalensi obesitas sebesar 4,2oh; di daerah Kayu Putih,
Jakarta Pusat, sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun

cara menimbang di bawah permukaan air, Dual Energt XRay Absorptiometry (DEXA) atau dengan mengukurtebal

ditemukan prevalensi obesitas pada laki-laki dan

lipatankulit.

perempuan masing-masing, 10,9o/o dan 24,lYo. Pada

Obesitas dapat disebabkan oleh banyak hal. Kembar


identik yang hidup terpisah akan mempunyai berat badan
yang tidak jauh berbeda. Berat badan seseorang 40-70%

populasi obesitas ini, dislipidemia terdapat pada l9%lakilaki dan 10,8olo perempuan, dan hipertrigliseridemia pada
l6,6Yo lakr-laki. Pada penelitian epidemiologi di daerah
Abadijaya, Depokpada tahun 2001 didapatkan 48,6o/o,pada
tahun 2002 didapat 45oh dan 2003 didapat 44Yo orang
dengan berat badan lebih dan obes; sedang IMT pada
tahun 2 00 I adalah 2 5,1 kgl rfr , tahw 2002 ; 2 4,8 kgl rfi dan

muda.

ditentukan secara genetik. Berat badan dipengaruhi


lingkungan, kebiasaan makan, kurangnya kegiatan fisik,
dan kemiskinar/ kemakmuran. Obesitas pada perempuan
berakar pada obesitas pada masa kecil, obesitas pada lakilaki terjadi setelah umur 30 tahun.

Epidemiologi Obesitas
Saat

IMT

ini diperkirakan jumlah orang di seluruh dunia dengan


3
30 kglm2 melebihi 250 juta orang, yaihr sekitar 7Yo

dari populasi orang dewasa di dunia. Bila kita


mempertimbangkan masing-masing negara, kisaran
prevalensi obesitas meliputi hampir semua spektrum, dari
< 5Yo di China, Jepang, dan negara-negaraAfrika tertentu
sampai lebih dari 75% di daerah urban Samoa. Angka
obesitas tertinggi di dunia berada di Kepulauan Pasifrk

pada populasi Melanesia, Polinesia and Mikronesia.

Misalnya pada tahun 1991, di daerah urban Samoa


diperkirakan 75Yo perempuan dan 60Yo laki-laki
diklasifikasikan sebagai obes.
Prevalensi obesitas berhubungan dengan urbanisasi
dan mudahnya mendapatkan makanan serta banyaknya
jumlah makanan yang tersedia. Urbanisasi dan perubahan
status ekonomi yang terjadi di negara-negarayangsedang

1992,prevalensi obesitas sudah mencapai l7,lYo, di mana

tahun2003; 24,3k9/nl.
Pada tahun 1997 dan 1998 dilakukan penelitian
komposisi tubuh di beberapa daerah di Indonesia dan
didapatkan bahwa pada umur, gender dan IMT yang sama
dibandingkan dengan Kaukasia (Belanda), lemak tubuh
orang Indonesia 5oh lebih tinggi, sehingga seharusnya
IMT juga 3 kg/m2 lebih rendah. Dalam penelitian pada 6.3 I 8

orang pada tahun 2003-2004 HISOBI (Himpunan Studi


Obesitas Indonesia) mendapatkan nilai IMT dan lingkar
perut yang tidak berbeda jauh dari yang diusulkan oleh
WHO/IOTF/IDF Western Pacific (Asia Pacific Criteria),
yaitu nilai batas (cutffi IMT: 24,9 kglm2 untuk perempuan
dan laki-laki dengan lingkar perut 82,5 cm untuk perempuan
dan 88,7 onunhrk lakiJaki.23 Penelitian-penelitian mengenai
obesitas di Indonesia tidak melaporkan konsentrasi leptin,
kecuali penelitian pada populasi obes di Minahasa di mana
dilaporkan bahwa hiperleptinemia didapatkan pada 63,4Yo

dari populasi obes.


Pada subyek obes, konsentrasi asam lemak bebas,

1979

OBESITAS

trigliserida, kolesterol LDL dan apoB lebih tinggi

Obesitas Sentral

dibandingkan orang non-obes dan terdapat morbiditas


dan mortalitas yang lebih tinggi akibat PJK dan stroke
dibandingkan dengan orang non-obes. Pada laki-laki
yang berumur 30-59 tahun didapatkan perbedaan yang
kuat antara jenis pekerjaan dan insidensi Infark Miokard
Akut (IMA), kejadian koroner dan angka kematian.

Pada obesitas yang moderat, distribusi lemak regional


tampaknya dapat merupakan indikator yang cukup penting

Di Indonesia saat ini penyakit kardiovaskular masih


merupakan penyebab kematian utama. Menurut survei
kesehatan rumah tangga, prevalensi penyakit jantung
dan pembuluh darah menduduki urutan ke-3 pada tahun
1980 dengan prevalensi sebesar 9,9olo, meningkat menjadi
9,loA di urutan ke-2 pada tahun 1986, dan menduduki
peringkat I pada tahun 1990 dengan prevalensi sebesar
l6,5Yo.

Mortalitas yang berkaitan dengan obesitas, terutama


obesitas sentral, sangat erat hubungannya dengan
sindrom metabolik. Sindrsnl metabolik merupakan satu

kelompok kelainan metabolik yang, selain obesitas,


meliputi, resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa,
abnormalitas trigliserida dan hemostasis, disfungsi endotel
dan hipertensi yang kesemuanya secara sendiri-sendiri
atau bersama-sama merupakan faktor risiko utama untuk

terjadinya aterosklerosis dengan manifestasi penyakit

jantung koroner danlatau strok. Mekanisme dasar


bagaimana komponen-komponen sindrom metabolik ini
dapatlerjadi pada seorang dengan obesitas sentral dan
bagaimana komponen-komponen ini dapat menyebabkan
terjadinya gangguan vaskular, hingga saat ini masih dalam

terhadap terjadinya perubahan metabolik dan kelainan


kardiovaskular, walaupun hubungan antara IMT dan
komplikasi-komplikasi tersebut belum terlalu meyakinkan.
Lemakdaerah abdomenterdiri dari lemak subkutan dan
lemak intra-abdominal yang dapat dinilai dengan cara CT
dan MRI. Jaringan lemak intra abdominal terdiri dari lemak
viseral atau intraperitoneal yang terutama terdiri dari lemak
omental dan mesenterial serta massa lemak retroperito-

neal (sepanjang perbatasan dorsal usus dan bagian


permukaan ventral ginj al).
Pada laki-laki, massa retroperitoneal hanya merupakan

sebagian kecil dari lemak intra abdominal. Kira-kira


seperempatnya terdiri dari lemak viseral. Lemak subkutan
daerah abdomen sebagai komponen obesitas sentral
mempunyai korelasi yang kuat dengan resistensi insulin
seperti lemak viseral. Keadaan ini tetap berbeda bermakna
setelah disesuaikan lemak viseralnya.
Vena porta merupakan saluran pembuluh darah tunggal
bagi jaringan adiposa dan berhubungan langsung dengan
hati. Mobilisasi asam lemak bebas akan lebih cepat dari

daerah viseral dibandingkan lemak daerah subkutan.


Aktivitas lipolitik yang lebih besar dari lemak viseral, baik
pada obes maupun non-obes merupakan kontributor
terbesar asam lemak bebas dalam sirkulasi.

Lingkar Perut pada Obesitas Sentral

penelitian.

Obesitas sentral dapat dinilai memakai beberapacara. Cara

Meskipun struktur, fungsi dan metabolisme lipoprotein telah diteliti selama lebih dari tiga dasawarsa, namun
hubungan fungsi heterogenitas lipoprotein ini dengan
peningkatan maupun penghambatan terhadap proses

yang paling baik adalah memakai computed tomography

'

aterogenesis masih belum diketahui denganjelas. Sebagai

contoh, partikel LDL. Ukuran partikel LDL berkorelasi


positif dengan konsentrasi trigliserida dan apoB, tetapi
berkorelasi negatif dengan konsentrasi HDL. Di samping
itu tidak kalah pentingnya adalah interaksi faktor-faktor
yang berperan dalam metabolisme lipoprotein. Misalnya,
ekspresi LDL subklas fenotipe B (small dense LDL)tidak
hanya ditentukan oleh faktor genetik, tetapi juga oleh
faktor-faktor lain, seperti obesitas, hiperinsulinemia dan
hiperlipidemia.
Insidensi obesitas di negara-negara berkembang makin
meningkat, sehingga saat ini banyaknya orang dengan
obesitas di dunia hampir sama jumlahnya dengan mereka
yang menderita karena kelaparan. Beban finansial, risiko
kesehatan dan dampak pada kualitas hidup berhubungan

dengan epidemi tersebut sehingga memerlukan


pemahaman mendalam tentang mekanisme molekular yang

mengatur berat badan untuk kemudian dapat


mengidentifikasi cara-cara pengobatan baru untuk
mengatasinya.

(CT)atzumagneticresonanceimaging(MRl),tetapikedua
cara ini mahal harganya danjarang digunakan untuk menilai
keadaan ini. Lingkar perut atau rasio antara lingkar perut
dan lingkar pinggul (WHR, Waist-Hip ratio) mentpakan
alternatif klinis yang lebih praktis. Lingkar perut dan rasio
lingkar perut dengan lingkar pinggul berhubungan dengan
besarnya risiko untuk terjadinya gangguan kesehatan.

WHO menganjurkan agar lingkar perut sebaiknya


diukur pada pertengahan antara batas bawah iga dan krista
iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara horisontal
pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan
20-30 cm. Subyek diminta untuk tidak menahan perutnya
dan diukur memakai pita dengan tegangan pegas yang
konstan.
Lingkar perut menggambarkan lemak tubuh dan di
antatanya tidak termasuk sebagian besar berat tulang
(kecuali tulang belakang) atau massa otot yang besar yang

mungkin akan bervariasi dan mempengaruhi hasil


pengukuran. Ukuran lingkar perut ini berkorelasi baik
dengan rasio lingkar perut dan pinggul (WHR) baik pada
laki-laki maupun perempuan serta dapat memperkirakan
luasnya obesitas abdominal yang tampaknya sudah
mendekati deposisi lemak abdominal bagian viseral. Lingkar

1980

perut juga berkorelasi baik dengan

IMT (laki-laki dan


perempuan: r : 0,89, P<0,001).
Pada tahun 1995 penelitian di Belanda mendapatkan
bahwa lingkar perut > 102 cm pada laki-laki dan > 88 cm
pada perempuan, berhubungan dengan peningkatan
substansial risiko obesitas dan komplikasi metabolik.
Sedangkan Asia Pasif,rk memakai ukuran lingkar pinggang

laki-laki: 90 cm danperempuan 80 cm sebagaibatasan.


Walaupun IMT < 25kglm2, obesitas sentral dapat saja
terjadi, sehinggapenyesuaian IMT pada keadaan obesitas
sentral perlu diperhatikan, terutama bila IMT di antara
22-29 k/m'?. Lingkar perut dikatakan mempunyai korelasi
yangtinggi denganjumlah lemakintra abdominal dan lemak
total dan telah digunakan baik secara mandiri atau bersamasama tebal kulit subkutan untuk mengembangkan suatu

korelasi regresi untuk mengoreksi massa lemak intra


abdominal. Ekuasi ini telah divalidasi dalam sebuah
penelitian yang besar jumlahnya di negeri Belanda. Ekuasi
dengan menggunakan lingkar perut saja disesuaikan untuk
umur, menunjukkan prediksi lemak tubuh yang baik pada

spesimen subyek orang Belanda (r2:78Yo) dengan


kesalahan yang sama dalam prediksi seperti penelitian lainnya.

Hubungan Obesitas Sentral dengan Resistensi


lnsulin dan Dislipidemia
Resistensi insulin pada obesitas sentral diduga merupakan
penyebab sindrom metabolik. Insulin mempunyai peran
penting karena berpengaruh baik pada penyimpanan lemak
maupun sintesis lemak dalamjaringan adiposa. Resistensi

insulin dapat menyebabkan terganggunya proses

MEIABOLIKEI\DOKRIN

pemrnrnan berat badan sebesar 5 sampai

l0

persen dari

berat awal dapat mengakibatkan perbaikan kesehatan


secara signifikan.

Walaupun belum ada penelitian retrospektif yang


menunjukkan perubahan pada angka kematian dengan
penurunan berat badan pada pasien obese, dengan
penunrnan berat badan, pengurangan pada faktor risiko
ini dianggap akan menurunkan perkembangan diabetes
tipe 2 serta kardiovaskular
Terdapat bukti kuat bahwa penurunan berat badan pada
individu obesitas dan overweight mengxangi faktor risiko
diabetes dan penyakit kardiovaskular. Bukti kuat lainnya
juga menunjukkan bahwa penumnan berat badan dapat
menurunkan tekanan darah pada individu overweight
normotensi dan hipertensi; mengurangi serum trigliserida
dan meningkatkan kolesterol-HDl; dan secara umum
mengakibatkan beberapa pengurangan pada kolesterol
serum total dan kolesterol-LDl. Penurunan berat badan
juga dapat mengurangi konsentrasi glukosa darah pada
individt overweight dan obesitas tanpa diabetes; dan juga
mengurangi konsentrasi glukosa darah serta lIbA," pada
beberapa pasien dengan diabetes tipe 2.
Tidak ada terapi tunggal yang efektif untuk orang
dengan kelebihan berat badan dan obesitas, dan masalah
cenderung muncul setelah penurunan berat badan
Harapan penurunan berat badan dari seseorang seringkali
melebihi kemampuan dari program yang ada sehingga
untuk mencapai keberhasilan semakin sulit.
Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi

fisi\
obat-obatanlbedah. \

empat pilar, yaitu diet rendah kalori, aktivitas


perubahan perilaku dan

penyimpanan lemak maupun sintesis lemak.

Hubungan sebab-akibat (kausatif) antara resistensi

insulin dan penyakit jantung koroner dan stroke dapat


diterangkan dengan adanya efek anabolik insulin. Insulin
merangsang lipogenesis pada jaringan arterial dan jaringan

adiposa melalui peningkatan produksi acetyl-CoA,

meningkatkan asupan trigliserida dan glukosa.


Dislipidemia yang ditandai dengan peningkatan
konsentrasi trigliserida dan penurunan kolesterol HDL
merupakan akibat dari pengaruh insulin terhadap Cholesterol Ester Transfer Proteir (CETP) yang memperlancar

transfer Cholesteryl Ester (CE) dari HDL ke VLDL


(trigliserida) dan mengakibatkan terj adinya katabolisme
dari apoA, komponenprotein HDL. Resistensi insulin dapat
disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Jenis
kelamin mempengaruhi sensitivitas insulin dan otot rangka
laki-laki lebih resisten dibandingkan perempuan.

MANAJEMEN BERAT BADAN PADA PASIEN OTIER.


WEIGHTDAN OBESITAS

Penurunan berat badan mempunyai efek yang


menguntungkan terhadap komorbid obesitas. Bahkan,

Tujuan Penurunan Berat Badan


Pennrunan berat badan harus SMARI: Spestfic, Measurable, Achievable, Realistic and Time limited. Tujuan awal

dari terapi penurunan berat badan adalah untuk


mengurangi berat badan sebesar sekitar 10 persen dari
berat awal.
Batas waktu yang masuk akal untuk penurunan berat
badan sebesar 10 persen adalah 6 bulan terapi. Untuk pasien
overweight dengan rentang BMI sebesar 27 sampai 35,
penurunan kalori sebesar 300 hingga 500 kcal,/hari akan
menyebabkan pemrmnan berat badan sebesar % sanpai I
kg/minggu dan penurunan sebesar I 0 persen dalam 6 bulan.
Setelah 6 bulan, kecepatan pemrmnan berat badan
lazimnya akan melambat dan berat badan menetap karena

seiring dengan berat badan yang berkurang terjadi


penurunan energi ekspenditure.
Oleh karena itu, setelah terapi penurunan berat badan
selama 6 bulan, program penunrnan berat badan harus
terus dilakukan. Jika dibutuhkan penurunan berat badan
lebih banyak, dapat dilakukan penyesuaian lebih lanjut
terhadap anjuran diet dan aktivitas fisik.
Untuk pasien yang tidak mampu untuk mencapai
penurunan berat badan yang signifikan, pencegahan

1981

OBESITTTS

kenaikan berat badan lebih lanjut merupakan tujuan yang


paling penting. Pasien seperti ini tetap diikutsertakan dalam
program manajemen berat badan.

Strategi Penurunan dan Pemeliharaan Berat


Badan
Terapi Diet. Pada program manajemen berat badan, terapi
diet direncanakan berdasarkan individu. Terapi diet ini harus

dimasukkan ke dalam status pasien overweight. Hal ini


bertujuan untukmembuat defisit 500 hingga 1000 kcal/hari

menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program


penumnan berat badan apapun.
Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500
hingga 100 kcal/hari sebaiknya diukur kebutuhan energi
basal pasien terlebih dahulu. Pengukuran kebutuhan energi

basal dapat menggunakan rumus dari Harris-Benedict

B.E.E:66.5 + (13.75 xkg) + (5.003 x cm) - (6.775xage)

B.E.E

pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 sampai 200


kalori per hari dapat dicapai.
Regimen ini dapaldiadaplasi ke dalam berbagai bentuk
aktivitas fisik lain, tetapi jalan kaki lebih menarik karena
keamanannya dan kemudahannya. Pasien harus dimotivasi

untuk meningkatkan aktivitas sehari-hari seperti naik


tangga dari pada nalk lift. Seiring waktu, pasien dapat
melakukan aktivitas yang lebih berat.
Strategi lain untuk meningkatkan aktivitas fisik adalah
mengurangi waktu santai (sedentary) dengan cara
melakukan aktivitas fisik rutin lain dengan risiko cedera
rendah.

Terapi perilaku. Untuk mencapai penurunan berat badan

/
655.

I + (9.563 x kg) + (1.850 x cm)

dan aktivitas

fisik. Strategi yang spesifik meliputi

pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan

aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control,

jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini,

dan mempertahankannya, diperlukan suatu strategi untuk


mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi diet

Laki-laki:
Wanita

selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan


dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan

- (4.67 6

x age)

Kebutuhan kalori total sama dengan BEE dikali dengan

jumlah faktor stress dan aktivitas. Faktor stress ditambah


aktivitas berkisar dari 1,2 sampai lebihdan2.

pemecahan masalah, contigency management, cognitive


restructuring dan dukungan sosial.

Farmakoterapi. Farmakoterapi merupakan salah satu


komponen penting dalam program manajemen berat badan.

Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak

Sibutramine dan orlistat merupakan obat-obatan penurun

seharusnya kurang dan sama dengan 30 persen dari total


kalori. Pengurangan persentase lemak dalam menu seharihari saja tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan,
kecuali total kalori jugaberkurang. Ketikan asupan lemak

berat badan yang telah disetujui oleh FDA di Amerika


Serikat, nntuk penggunaanjangka panjang. Pada pasien
dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat

dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi

Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas


dan
mempertahankannya. Dengan pemberian sibutramine
dapat muncul peningkatan tekanan darah dan denyut
jantung. Sibuhamine sebaiknya tidak diberikan pada pasien

lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk menurunkan


konsentrasi kolesterol-LDl.

Aktivitas fisik. Peningkatan aktivitas fisik merupakan


komponen penting dari program pemrnrnan berat badan;
walaupun aktivitas fisik tidak menyebabkan penurunan
berat badan lebih banyak dalam j angka waktu enam bulan.

Kebanyakan penurunan berat badan terjadi karena


penumnan asupan kalori. Aktivitas fisik yang lama sangat
membantu pada pencegahan peningkatan berat badan.

Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi


pengurangan risiko kardiovaskular dan diabetes lebih
banyak dibandingkan dengan pengurangan berat badan
tanpa aktivitas fisik saja.
Aktivitas fisik yang berdasarkan gaya hidup cenderung
lebih berhasil menurunkan berat badan dalam jangka
panjang dibandingkan dengan program latihan yang
terstruktur.
Untuk pasien obese, terapi harus dimulai secara
perlahan, dan intensitas sebaiknya ditingkatkan secara
bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu
saat atau secara bertahap sepanjang hari.
Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan beq'alan

berguna.

fisik terbukti efektif menurunkan berat badan

dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal

jantung kongestif, aritmia atau riwayat strok.


Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30
persen. Dengan pemberian orlitas, dibutuhkan penggantian

vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial.


Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang

timbul. Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter


dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efikasi dan
keamanan.

Terapi bedah. Terapi bedah merupakan salah satu pilihan


untuk menurunkan berat badan. Terapi ini hanya diberikan
kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI
> 40 atat> 35 dengan kondisi komorbid. Terapi Bedah ini
harus dilakukan sebagai altematif terakhir untuk pasien
yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi
obesitas yang ekstrem.

Bedah Gastrointestinal (restriksi gastrik lbanding


vertical gastricl atau bypass gastric (Roux-en Y) adalah

1982

METAAOLIKENDOI(RII{

suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek yang


bermotivasi dengan risiko operasi yang rendah.
Suatu program yang terintegrasi harus dilakukan baik
sebelum maupun sesudah untuk memberikan panduan diet,

aktivitas fisik, dan perubahan perilaku serta dukungan


sosial.

REFERENSI
Assimacopoulos-Jeannet F, Brichard S, Rencurel F, et al: In vivo
effects of hyperinsulinemia on lipogenic enzymes and glucose
transporter expression in rat liver and adipose tissues. Metabo-

lism 44:228, 1995


Bai Y, Zhang S, Kim K, et al: Obese gene expression alters the
ability of 30,45 preadipocytes to respond to lipogenic hormones. J Biol Chem 1996;271:13939,
Boden G, Chen X, Capulong E, et al: Effects of free fatty acids on
gluconeogenesis and autoregulation of glucose production in
type 2 diabetes. Diabetes 2001;50:810,
Bray G: Contemporary diagnosis and management of obesif. Health
Care CO 1998; l:6,
Bray G: Historical framework for the development of Ideas about
obesity. 1n Bray GA, Bouchard C (eds): Handbook of Obesity,
Etiology and Pathophysiology. New York: Marcel Dekker Inc;
2004,

p.

Carey D: Abdominal obesity. Curr Opin

Lipidol 1998;9:35.

Carpentier A, Mittelman S, Bergman R, et al: Prolonged elevation


of plasma free fatty acids impairs pancreatic beta-cell function
in obese nondiabetic humans but not in individuals with type 2
diabetes. Diabetes 2000;49:399.
Corry D, Tuck M: Selective aspects of the insulin resistance syndrome. Curr Opin Nephrol Hypertens 2001;10:507.
Despres J, Prud'homme D, Pouliot M, et al: Estimation of deep
abdominal adipose-tissue accumulation from simple anthropometric measurements in men. Am J Clin Nutr 199l;54:471.
Deurenberg P, Yap M, van Staveren W: Body mass index and percent body fat: a meta analysis among different ethnic groups.
Int J Obes Relat Metab Disord 1998;22:1164.
Etherton T: The biology of somatotropin in adipose tissue growth
and nutrient partitioning. J Nutr 2000;130:2623.
Executive summary of the third report of the national cholesterol
education program (NCEP) expert panel on detection, evaluation, and treatment of high blood cholesterol in adults (adult
treatment panel III). Jana 2001;285:2486.
Faraj M, Havel P, Phelis S, et al: Plasma acylation-stimulating protein, adiponectin, leptin, and ghrelin before and after weight
loss induced by gastric bypass surgery in morbidly obese subjects. J Clin Endocrinol Metab 2003;88:1594.
Foretz M, Guichard C, Ferre P, et al: Sterol regulatory element
binding protein-lc is a major mediator of insulin action on the
hepatic expression of glucokinase and lipogenesis-related genes.
Proc Natl Acad Sci U S A 1999;96:12737.
Fruhbeck G, Aguado M, Martinez J: In vitro lipolyic effect of'leptin
on mouse adipocytes: evidence for a possible autocrine/paracrine
role of leptin. Biochem Biophys Res Commun 1997;240:590.
Goodpaster B, Thaete F, Simoneau J, et al: Subcutaneous abdominal

fat and thigh muscle composition predict insulin sensitivity


independently of visceral fat. Diabetes 1997;46:1579.
Gurrici S, Hartriyanti Y, Hautvast J, et al: Relationship between
body fat and body mass index: differences between Indonesians

and Dutch Caucasians. Eur J Clin Nutr 1998;52:779.


! Richmond P, Avenell A, et al: Waist circumference reduction
and cardiovascular benefits during weight loss in women. Int J
Obes Relat Metab Disord 1997;21:127.
Han I Seidell J, Cunall J, et al: The influences ofheight and age on
waist circumference as an index of adiposity in adults. Int J Obes
Relat Metab Disord 1997;21:83.
Heo Y, Claycombe K, Jones B, et al: Effects of fatty (fa) allele and
high-fat diet on adipose tissue leptin and lipid metabolism. Horm
Metab Res 2002;34:686.
Heymsfield S, Hoffman D, Testolin C, et al: Evaluation of human
Han

adiposity.

ft Bjorntorp P (ed): International textbook of

& Sons, Ltd; 2001. p. 85


Indriyanti R, Harijanto T: Optimal cut-off value for obesity: using
anthropometric indices to predict atherogenic dyslipidemia in
Indonesian population. : ljokroprawiro A, Soegih R, Soegondo
obesity. New York: John Wiley

S, et al (eds): 3rd National Obesity Symposium (NOS III) 2004.


Jakarta: Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI), 2004,
Vol 3, p. 1

Inoue S, Zimmet P: The Asia-Pacifik perspective, redefining


obesity and its treatment. Australia: Health communications
Australia Pty limited on behalf of the steering commitee, 2000
Kakuma T, Lee Y, Higa M, et al: Leptin, troglitazone, and the
expression of sterol regulatory element binding proteins in liver
and pancreatic islets. Proc Natl Acad Sci U S A 2000;97:8536.
Kopelman P: Obesity as a medical problem. Nature 404:635, 2000
Lane M, Flores-Riveros J, Hresko R, et al: Insulin-receptor tyrosine
kinase and glucose transport. Diabetes Care 1990;13:565.
I Ducimetiere P, Arveiler D, et al: Incidence, case fatality,
risk factors of acute coronary heart disease and occupational

Lang

categories in men aged 30-59 in France. Int J Epidemiol


1997;26:4'7.
Laws A: Free fatty acids, insulin resistance, and lipoprotein metabolism. Curr Opin Lipidol 1996;7:172.
Lean M, Han I Morrison C: Waist circumlerence as a measure for
indicating need for weight management. Bmj 1995;311:158.
Leyva \ Godsland I, Ghatei M, et al: Hyperleptinemia as a component of a metabolic syndrome of cardiovascular risk. Arterioscler
Thromb Vasc Biol 1998;18:928,
Lonnqvist F, Thome A, Large V, et al: Sex differences in visceral fat
lipolysis and metabolic complications of obesity. Arterioscler
Thromb Vasc Biol 1991;17 1472.
Lukito B, Sumual A, Pandelaki K: Konsentrasi leptin serum pada
suku Minahasa yang obes dan hubungannya dengan resistensi
insulin. In: Buku abstrak KONAS VI Perkeni. Medan: PERKENI

MEDAN, 2OO3
Marin P, Andersson B, Ottosson M, et al: The morphology and
metabolism of intraabdominal adipose tissue in men. Metabo-

lism 1992;4I:1242.
McGarvey S, Forrest W, Weeks D, et al: Human leptin locus (LEP)
alleles and BMI in Samoans. Int J Obes Relat Metab Disord
2002;26:783.
Obesity: preventing and managing the global epidemic. Report of a
WHO consultation. World health organ tech rep ser 2000;894:i.
Rosen E, Spiegelman B: Molecular regulation of adipogenesis. Annu

Rev Cell Dev Biol 2000;16:145.


Seidell J, Oosterlee

A, Deurenberg B et al: Abdominal fat

depots

with computed tomography: effects of degree of obesity, sex, and age. Eur J Clin Nutr 1988;42:805.
Siegrist-Kaiser C, Pauli V, Juge-Aubry C, et al: Direct effects of
leptin on brown and white adipose tissue. J Clin Invest
measured

997; 1 00:28

58

1983

OBESIITTS

A, Cianflone K, Arner P, et al: The adipocyte, fatty acid


trapping, and atherogenesis. Arterioscler Thromb Vasc Biol

Sniderman

998;1 8: 1 47.
Sniderman A, Maslowska
1

M, Cianflone K: Of mice and men (and

women) and the acylation-stimulating protein pathway. Curr


Opin Lipidol 2000;ll:291.
Soukas A, Cohen P, Socci N, et al: Leptin-specific pattems of gene
expression in white adipose tissue. Genes Dev 2000;14:963.
Subekti I, Yunir E, Soebardi S, et al: Studi prevalensi DM dan faktor
risiko yang berhubungan di desa Abadi Jaya Depok. 1n Buku
abstrak KONAS VI Perkeni. Medan: PERKEM MEDAN, 2003
Teglund S, McKay C, Schuetz E, et al: Stat5a and Stat5b proteins
have essential and nonessential, or redundant, roles in cytokine
responses.

Cell 1998;93:841.

van Baak M: The peripheral sympathetic nervous system in human


obesity. Obes Rev 2001;2:3.
Wang M, Lee Y, Unger R: Novel form of lipolysis induced by leptin.
J Biol Chem 1999;274:17541.

Waspadji S: Kegemukan: risiko untuk berbagai penyakit dan


pengelolaannya, in Pusat Diabetes dan Lipid, Sub-bag MetabEndo, Bag IPD FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Jakarta.
1982, p. I
Waspadji S, Soewondo P, Suyono S, et al: Obesitas berdasarkan tebal
lemak bawah kulit pada pasienhiperlipidemia. In: Waspadji S,

Suyono S, Sukardji K (eds): Pengkajian status gizi. Studi


epidemiologi. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 1993
Waspadji S, Suyono S, Soewondo P, et al: Pengkajian diet pada
pasienpenyakit jantung koroner. In: Waspadji S, Suyono S,
Sukardji K (eds): Pengkajian status gizi. studi epidemiologi.
Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2003
Wijaya A: Leptin, TNF-o dan reseptor adrenergik-b3, peranannya
pada obesitas dan resistensi insulin. Forum Diagnosticum 1997;
Suppl 2:1,

310
DISHPIDEMIA
John MF, Adam

LIPID DAN LIPOPROTEIN

Di dalam

darah kita ditemukan tiga jenis

protein berbentuk sferik dan mempunyai inti trigliserid dan


kolesterol ester dan dikelilingi oleh fosfolipid dan sedikit
kolesterol bebas. Apoprotein ditemukan pada permukaan

lipid yaitu

kolesterol, trigliserid, dan fosolipid. Oleh karena sifat lipid


yang susah larut dalam lemak, maka perlu dibuat bentuk
yang terlarut. Untuk itu dibutuhkan suatu zat pelarut yaitu
suatu protein yang dikenal dengan nama apolipoprotein

lipoprotein(Gambar 1)
Setiap lipoprotein berbeda dalam ukuran, densitas,
komposisi lemak, dan komposisi apoprotein. Dengan
menggunakan ultrasentrifusi, pada manusia dapat
dibedakan enam jenis lipoproteisn yaifi l-high-density

atau apoprotein. Pada saat ini dikenal sembilan jenis


apoprotein yang diberi nama secara alfabetis yaitu Apo
A, Apo B, Apo C, dan Apo E. Senyawa lipid dengan
apoprotein ini dikenal dengan nama lipoprotein. Setiap

lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein (LDL),


intermediate-density lipoprotein (IDL), very low density
lipoprotein (VLDL), kilomikron, dan lipoprotein a kecil

jenis lipoprotein mempunyai Apo tersendiri. Sebagai

(Lp(a) (Tabel 2).

contoh untukVLDL, IDL, dan LDL mengandungApo B I 00,


sedang Apo B48 ditemukan pada kilomikron. Apo A I , Apo
42, danApo A.3 ditemukan terutama pada lipoprotein HDL

METABOLISME LIPOPROTEIN

dan

kilomikron (Tabel 1)

Setiap lipoprotein akan terdiri atas kolesterol (bebas


atau ester), trigliserid, fosfolipid, dan apoprotein. Lipo-

Apolipoprotein

Massa

Metabolisme lipoprotein dapat dibagi atas tiga jalur yaitu


jalur metabolisme eksogen, jalur metabolisme endogen, dan

Lipoprotein

Fungsi Metabolik

Molekul
Apo Al
Apo All
Apo AIV

Apo 848
Apo 8100
Apo Cl
Apo Cll
Apo Clll
Apo E

28.016
17.414
46.465
264.000

HDL, Kilomikron
HDL, Kilomikron
HDL, Kilomikron
Kilomikron

54O.OOO VLDL,IDL,

6630
8900
8800
34.145

LDL

Kilomikron,

VLDL, IDL, LDL


Kilomikron,

Komponen struktural HDL; aktivator LCAT


Belum diketahui
Belum diketahui: mungkin sebagai fasilitator transferApo lain antara HDL
dan kilomikron
Dibutuhkan for assembly dan sekresi kilomikron dari usus halus
Dibutuhkan for assembly dan sekresi VLDL dari hati, struktur protein dari
VLDL, lDL, LDL; ligand untuk reseptor LDL
Dapat menghambat ambilan hati terhadap LDL lDL, LDL, kilomikron dan
remnant VLDL
Aktifator enzim lipoprotein lipase

VLDL, IDL, HDL


Kilomikron, LDL,
Kilomikron,

VLDL, lDL,

LDL,
HDL

lnhibitor enzim lipoprotein lipase; dapat menghambat ambilan

kilomikron,VlDl, lDL, HDL, dan VLDL di hati


Ligand untuk beberapa lipoprotein dari reseptor LDL, LRP, dan kemungkinan

terhadap apo E reseptor hati lain

Dikutipdari.GinsbergHN,GoldberglJ.Disordersof lipoproteinmetabolism.Principlesof
2138

2152

1984

internal medicinel4th lntemational edition.Harrison's1998; 2:

1985

DISLIPIDEMIA

asam lemak bebas (free

A PLASMA LIPOPROTEIN
Kolesterol bebas

fatty acid (FFA)

non-esteriJied

fatQ acid G\fEFA) Asam lemak bebas dapat disimpan


sebagai trigliserid kembali di jaringan lemak (adiposa),
tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sebagian
akan diambil oleh hati menjadi bahanuntukpembentukkan
higlisend hati. Kilomikron yang sudah kehilangan sebagian

besar trigliserid akan menjadi kilomikron remnant yang


mengandung kolesterol ester dan akan dibawa ke hati.

JALI,.! R METABOLISME ENDOGEN

Apolipoprotein + Lipid = Lipoprotein


Gambar 1. Bentuk Suatu Lipoprotein (Feher MD, Richmond W
Lipoproteins: structure and function. ln: Lipids and Lipid Disorders
2nd

ed. Bayei'. 1996, 6

13)

jalur reverse cholesterol transport. Kedua jalur pefiama


berhubungan dengan metabolisme kolesterol-LDl dan

trigliserid, sedang jalur reverse chlesterol transport


khusus mengenai metabolisme kolesteroi-HDl.

Jalur Metabolisme Eksogen


Nlakanan berlemak yang kita makan terdiri atas trigliserid
dan kolesterol. Selain kolesterol yang berasal dari makanan,
dalam ususjuga terdapat kolesterol dari hati yang diekskresi
bersama empedu ke usus halus. Baik lemak di usus halus
yang berasal dari makanan maupun yang berasal dari hati
disebut lemak eksogen. Trigliserid dan kolesterol dalam
usus halus akan diserap ke dalam enterosit mukosa usus
halus. Trigliserid akan diserap sebagai asam lemak bebas
sedang kolesterol sebagai kolesterol. Di dalam usus halus
asam lemak bebas akan diubah lagi menjadi trigliserid,
sedang kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi
kolesterol ester dan keduanya bersama dengan fosfolipid

dan apolipoprotein akan membentuk lipoprotein yang


dikenal dengan kilomikron.
Kilomikron ini akan masuk ke saluran limfe dan akhimya
melalui duktus torasikus akan masuk ke dalam aliran darah.
Trigliserid dalam kiiomikron akan mengalami hidrolisis oleh
enzim lipoprotein lipase yang berasal dari endotel menjadi

Densitas
HDL
LDL
IDL

VLDL
Kilomikron
Lp (a)

1.21-1 063
1 063-1 019
1.019-1 006

<1006
< 1.006
1 04-1.08

Trigliserid dan kolesterol yang disintesis di hati dan


disekresi ke dalam sirkulasi sebagai lipoprotein VLDL.
Apolipoprotein yang terkandung daiam VLDL adalah
apolipoprotein B 100. Dalam sirkulasi, trigliserid di VLDL
akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase
(LPL), dan VLDL berubah menjadi IDL yang juga akan
mengalami hidrolisis dan berubah menjadi LDL. Sebagian
dari VLDL, IDL, dan LDL akan mengangkut kolesterol
ester kembali ke hati. LDL adalah lipoprotein yang paling
banyak mengandung kolesterol. Sebagian dari kolesterol
di LDL akan dibawa ke hati dan jaringan steroidogenik
lainnya seperli kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang
mempunyai reseptor untuk kolesterol-LDl. Sebagian lagi
dari kolesterol-LDl akan mengalami oksidasi dan ditangkap
oleh reseptor scavenger-A (SR-A) di makrofag dan akan

menjadi sel busa (foam cell). Makin banyak kadar


kolesterol-LDl dalam plasma makin banyak yang akan
mengalami oksidasi dan ditangkap oleh sel makrofag.
Jumlah kolesterol yang akan teroksidasi tergantung dari

kadar kolesterol yang terkandung di LDL. Beberapa


keadaan mempengaruhi tingkat oksidasi seperti:
. Meningkatnya jumlah LDL kecil padat (small dense
LDL) seperti pada sindrom metabolik dan diabetes

Kadar kolesterol-HDl, makin tinggi kadar kolesterolHDL akan bersifat protektif terhadap oksidasi LDL.

Reverse Cholesterol Transport


HDL dilepaskan sebagai partikel kecil miskin kolesterol
yang mengandung apolipoprotein (apo) A, C dan E; dan
Jaf ur

disebut HDL r ascent.HDL nascent berasal dari usus halus

Lipid utama
Kolesterol
Kolesterol
Kolesteroi
Trigliserid
Trigliserid
Kolesterol

melitus

ester
ester
ester, trigliserid

Diameter
7 5-10.5
21 5

25-3
39-1 00
60-500

ester

21-30

Apolipoprotein menurut
urr,ltan yang terpenting
A-1, A-ll, C, E
B-1 00
B-100, C dan E
B-100, c, E
B-48, C, E, A-1, A-ll, A-lV
B-100, Lp (a)

Dikutip dari: Malloy MJ, Kane JP. Disorder of lipoprotein metabolism Greenspan FS, Gardner DG (eds) Basic and
clinical endocrinology 7th ed ,2004;766-793

1986

MEXABOLIKENDOIRIN

fungsi HDL sebagai "penyerap" kolesterol dari makrofag


mempunyai duajaluryaitu langsungke hati dan jalurtidak

langsung melalui

VLDL dan IDL untuk

membawa

kolesterol kembali ke hati.

Pada gambar

4 diperlihatkan keseluruhan jalur

i";

Reseptor LDL
Scavenger replor-A / CD 36

ABC-1
SRB-1

Gambar 2. Jalur metabolisme eksogen. (Dikutip dari: Shepherd


J. Eur Heart J Supplements 2001;3(Suppl E):E2-E5)

Gambar 4. Jalur reverse cholesterol transpod. (Dikutip dari,


Kwiterovich PO, Jr.. Am J Cardiol 2000; 86: 5L

....
i..r

10L)

ReseptorLDL
Adenosine triphosphate - binding
Cassettetransporler-1(ABC-1)

Gambar 3. Jalur metabolisme endogen (Dikutip dari: Kwiterovich


PO, Jr. Am J Cardiol 2000: 86; 5L - 10 L)

dan hati, mempunyai bentuk gepeng dan mengandung


apolipoprotein A I . HDL zras cent akanmendekati grakrofag
untuk mengambil kolesterol yang tersimpan di makrofag.
Setelah mengambil kolesterol dari makrofag, HDL nascent
berubah menjadi HDL dewasa yang berbentukbulat. Agar
dapat diambil oleh HDL nascent, kolesterol (kolesterol
bebas) di bagian dalam dari makrofag harus dibawa ke
permukaan membran sel makrofag oleh statutransporter
yang disebut adenosine triphosphate-binding cassette
transporter- I atau disingkat ABC-I.
Setelah mengambil kolesterol bebas dari sel makrofag,
kolesterol bebas akan diesterifikasi menjadi kolesterol

ester oleh enzim lecithin cholesterol acyltransferase


(LCAT). Selanjutnya sebagian kolesterol ester yang
dibawa oleh HDL akan mengambil duajalur. Jalur pertama
ialah ke hati dan ditangkap oleh scavenger receptor class
B type I dikenal dengan SR-BI. Jalur kedua adalah
kolesterol ester dalam HDL akan dipertukarkan dengan
trigliserid dari VLDL dan IDL dengan bantuan cholesterol ester transfer protein (CETP). Dengan demikian

Gambar 5. Jalur metabolisme lipoprotein. (Dikutip dari: Shepherd J. Eur Heart J Supplements 2001;3(suppl E):E2-E5)

metabolisme lipoprotein baik yang berasal dari eksogen,


endogen, dan jalur reverse cholesterol transport.

KLASIFIKASI DISLIPIDEMIA, DAN KADAR LIPID


NORMAL
Klasifftasi dislipidemia dapat berdasarkan atas primer yang
tidak jelas sebabnya dan sekunder yang mempunyai
penyakit dasar seperti pada sindroma nefrotik, diabetes
melitus, hipotiroidisme. Selain itu dislipidemi dapat juga
dibagi berdasarkan profil lipid yang menonjol, seperti
hiperkolesterolemi, hiperhigliseridemi, isolated low HDLcholestrol, dan dislipidemi campuran. Bentuk yang terakhir
ini yang paling banyak ditemukan. Dilihat dari pemilihan
obatpenurun lipid mungkin klasifikasi yang terakhir yang
lebih tepat.

1987

DISLIPTDEMIA

Kapan disebut lipid normal, sebenarnya sulit dipatok


pada satu angka, oleh karena normal unfuk seseorang
belum tentu normal untuk orang lain yang disertai faktor
risiko koroner multiple (lihat bawah). Walaupun demikian
National Cholesterol Education Program Adult Panel III
(NCEP-ATP III) telah membuat satu batasan yang dapat
dipakai secara umum tanpa melihat faktor risiko koroner
seseorang (Tabel 3).

Umur pria > 45 tahun dan wanita > 55 tahun


Riwayat keluarga PAK dini yaitu ayah usia < 55 tahun dan ibu
< 65 tahun
Kebiasaan merokok
Hipertensi (2 140/90 mmHg atau sedang mendapat obat
antihipertensi) Kolesterol HDL rendah (< 40 mg/dl)Dikutip dari: Executive summary of the third report of the National
Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection,
Evaluation, and Treatment of High blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel lll) JAMA 2001; 285:2486-2497
* Kolesterol HDL > 60 mg/dl, mengurangi satu faktor risiko

Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL,


dan trigliserid menurut NCEP ATP lll 2001 mg/dl

Kolesterol total
< 200
200 -239

> 240

Optimal
Diinginkan
Tinggi

Kategori Risiko

Kolesterol LDL
< 100
'100

- 129
130 - 159
160 - 189

> 190

Kolesterol HDL
<40
>60
Trigliserid
< 150

150-199
200-499
> 500

Optimal
Mendekati optimal
Diinginkan
Tinggi
Sangat tinggi
Rendah
Tinggi
Optimal
Diinginkan
Tinggi
Sangat tinggi

Dikutip dari: Executive summary of the third report of the National


Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection,
Evaluation, and Treatment of High blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel lll) JAMA 2001; 285:2486-2497

FAKTOR RISIKO KORONER


DAN MENENTUKAN RISIKO SESEORANG
Langkah pertama untuk pencegahan penyakit arteri
koroner ialah menentukan seberapa banyak faktor risiko
yang dimiliki seseorang (selain kadar kolesterol LDL) untuk
menentukan sasaran kadar kolesterol LDL yang akan
dicapai. National Cholesterol Education Programme, Adult
Panel Treatment III (NCEP-ATP III) telah menetapkan
faktor risiko selain kolesterol LDL yang digunakan untuk
menentukan sasaran kadar kolesterol LDL yang diinginkan
pada orang dewasa > 20 tahun (Tabel 4).

Risiko tinggi
Mempunyai riwayat PAK dan
b) Mereka yang disamakan
dengan PAK
Diabetes melitus
Bentuk lain penyakit
aterosklerotik yaitu strok,
penyakit arteri perifer,
aneurisma aorta
abdominalis
Faktor risiko multipel (> 2
risiko) yang diperkirakan
dalam kurun waktu 10
tahun mempunyai risiko
PAK> 20 %
Risiko multipel (> 2 faktor risiko)
Risiko rendah (0 - 1 faktor risiko)

Sasaran Kolesterol
LDL (mg/dl)
< 100

a)

< 130
< 160

Dikutip dari: Executive summary of the third report of the National


Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection,
Evaluation, and Treatment of High blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel lll). JAMA 2001; 285: 2486-2497
PAK = Penyakit arteri koroner

OBAT UNTUK DISLIPIDEMIA


Pada saat ini dikenal sedikitnya 6 jenis obat yang dapat
memperbaiki prof,rl lipid serum yaitu bile acid sequestran,
HMG-CoA reductase inhibitor (statin), deivat asam fibrat,
asam nikotinik, ezetimibe, dan asam lemak omega-3. Selain
obat tersebut, pada saat ini telah dipasarkan obat kombinasi
dua jenis pemrnrn lipid dalam satu tablet seperti Advicor

(lofastatin dan niaspan), Vytorin (simvastatin dan

Tiga Kelompok Risiko Penyakit Arteri Koroner


Berdasarkan banyaknya faktor risiko di atas yang

ezetimibe).

ditemukan pada seorang pasien, maka NCEP - ATP III


membagi tiga kelompok risiko penyakit arteri koroner yaitu
mereka dengan risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko
rendah. Berbeda dengan NCEP-ATP II, mereka yang
tergolong risiko tinggi dimasukkan juga kelompok yang
disamakan dengan penyakit arteri koroner yaitu diabetes
melitus, mereka dengan risiko multiple yang diperkirakan
dalam l0 tahun mempunyai risiko PAK > 20 o/o (Tabel 5).

Bile Acid Sequestrants


Terdapat tiga jenis bile acid sequestrans yaitlu
cholestyramin, colestipol, dan colesevelam. Obat ini tidak
diserap diusus, dan beke{amengikat asam empedu di usus
halus dan akan dikeluarkan dengan tinja. Dengan demikian
asam empedu yang kembali ke hati akan menurun, hal ini

akan memacu hati memecahkan kolesterol lebih banyak


unhrk menghasilkan asam empedu yang dikeluarkan ke

1988

METABOLIKENDOKRIN

Akibatnya kolesterol darah akan lebih banyak ditarik


ke hati sehingga kolesterol serum menurun.
Dosis untuk kolestiramin adalah 8 - 16 grhari, kolestipol
l0 20 grlhan(keduanya dalam bentuk granul), dan6,5 gl
usus.

hari kolesevelam. Obat golongan resin ini dapat


menurunkan kadar kolesterol-LDl sebesar I 5 - 3 0o/o1 . Obat
ini digunakan untuk pasiendengan hiperkoleterolemi saja
(isolated high hypercholesterolaemia). Sejak
diperkenalkannya obat H MG- CoA reduct as e inhib itor,
obat bile acid sequestranls semakin jarang digunakan.

LDL

'\-."d

ror.t.,o

Asam empedu

(S

J
Asam empedu

H M G-CoA Red u ctase I n hibitor


Pada saat ini telah dipasarkan enam jenis yaitu lofastatin,

simvastatin, pravastatin, fluvastatin, atrovastatin, dan


rosuvastatin. Obat ini bekerja mencegah kela enzim HMGCoA reducta.re yaitu suatu enzim di hati yang berperan
pada sintesis kolesterol. Dengan menurunnya sintesis
kolesterol di hati akan menurunkan sintesis Apo 8100,
disamping itu meningkatkan reseptor LDL pada permuk-aan
hati. Dengan demikian kadar kolesterol-LDl darah akan
ditarikke hati, hal mana akan menurunkan kadarkolesterol-

LDL, danjugavlDl.
Efek samping yang sering terjadi ialah adanya miositis
yang ditandai dengan nyeri otot dan meningkatnya kadar

Gambar 7. Mekanisme kerja HMG-CoA reductase inhibitor.

(Betterridge DJ and Morrell JM. Lipid lowering drugs ln


Ctinician's Guide to lipid and coronary Hearl Disease. 2'd ed,
2003; 208 235)

kerjanya memecahkan trigliserid. Selain menurunkan kadar

trigliserid, obat ini juga meningkatkan kadar kolesterol


HDL yang diduga melalui peningkatan apoprotein A-I,
dan A II. Pada saat ini yang banyak dipasarkan di Indonesia adalah gemfibrozil dan fenofibrat.

creatin phophokinase. Efek samping yang paling

Asam Nikotinik

ditakutkan adalah terjadinya rhabdomyolisis yang dapat

Asam nikotinik merupakan obat penurun lipid yang

mematikan. Efek sarnping lainnya ialah terjadinya gangguan


fungis hati. Oleh karena itu penting sekali untuk memantau
fungsi hati. Tampaknya ada korelasi antara efek samping

pertama kali dipekenalkan. Oleh karena bentuk yang lama


yaitu asam nikotinik serap cepat mempunyai efek samping
cukup banyak, maka obat ini tidakbanyak dipakai. Dengan

dengan dosis obat, makin tinggi dosis makin besar

diperkenalkannya asam nikotinik yang lepas lambat

kemungkinan terjadinya efek samping obat.

(Niaspan) sehingga absorpsi di usus berjalan lambat, maka


efek samping menjadi lebih kurang.
Obat ini diduga bekerja menghambat enzim hormone
sensitive lipase di jaringan adiposa, dengan demikian akan
mengurangi jumlah asam lemak bebas. Diketahui bahwa

Derivat Asam Fibrat


Terdapat empat jenis yaitu gemfibrozil, bezafibrat,
ciprofibrat, dan fenofibrat. Obat ini menurunkan trigliserid
plasma, selain menurunkan sintesis trigliserid di hati. Obat

ini bekeria mengaktifkan enzim lipoprotein lipase yang


Tanpa

obat

Asam empedu berkurang

Plasma

asam lemak bebas ada dalam darah sebagian akan


ditangkap oleh hati dan akan menjadi sumber
pembentukkan VLD. Dengan menurunnya sintesis VLDL
di hati, akan mengakibatkan penurunan kadar trigliserid,
dan juga kolesterol-LDl di plasma. Pemberian asam
nikotinik temyata juga meningkatkan kadar kolesterol-

HDL bahkan merupakan obat yang terbaik untuk


meningkatkan kolesterol-HDl. Oeh karena menurunkan
trigliserid, menumnkan kolesterol-HDl, dan meningkatkan

kolesterol-HDl maka disebut juga sebagai broad


spectrum lipid lowering agent.
Efek samping yang paling sering terjadi adalahflush-

ing yaitu perasaan panas pada muka bahkan di badan.


Untuk mencegah hal tersebut, pada penggunaan asam

Gambar 6. Mekanisme kerja resin (Betterridge DJ and Morrell


JM. Lipid lowering drugs. ln Clinician's Guide to lipid and
coronary Heaft Disease 2nd ed, 2003; 208 - 235)

nikotinik sebaiknya dimulai dengan dosis rendah kemudian


ditingkatkan, misalnya selama satu minggu 375 mglhari
kemudian dtingkatkan secara bertahap sampai mencapai
dosis maksiak sekitar 1500-2000 mg/hari. Dengan asam
nikotikin yang baru yaitu lepas lambat (Niaspan) efek

1989

DISLIPIDEMIA

samping sangat berkurang. Hasil yang sangat baik

PENATALAKSANAAN

didapatkan bila dikombinasikan dengan golongan HMG-

CoA reductase inhibitor.

Ezetimib
Ezetimib tergolong obat penurun lipid yang terbaru dan
beke{a sebagai penghambat selektif penyerapan kolesterol
baik yag berasal dari makanan maupun dari asam empedu
di usus halus. Pada umumnya obat ini tidak digunakan
secara tunggal, tetapi dikombinasikan dengan obat

penurun

lipid lain misalnya HMG-CoA

reductase

inhibitor.

Sudah disebut di atas, langkah awal penatalaksanaan


dislipidemi harus dimulai dengan penilaian jumlah faktor
risiko koroner yang ditemukan pada pasientersebut (risft
assesment) untuk menentukan sasaran kolesterol - LDL
yang harus di capal P enatalaksanaan dislipidemi terdiri atas
penatalaksanaan non-farmakologis dan penggun aan obat
penurun lipid. Pada Gambar 8 diperlihatkan langkahlangkah yang harus dilakukan dalam mengambil keputusan
apakah seseorang harus mendapat obat atau tidak.
Dianjurkan agar pada semua pasiendislipidemi harus

dimulai dengan pengobatan non-farmakologis terlebih


dahulu, baru dilanjutkan dengan pemberian obat penurun

lipid. Pada umumnya pengobatan non-farmakologis


Asam Lemak Omega -3
Minyak ikan, kaya akan asam lemak omega -3 yaitu asam
eicosapentaenoic (EPA) dan asam docasahexaenoic
(DHA). Minyak ikan menurunkan sintesiss VLDL.
Dengan demikian dapat juga menurunkan kadar kolesterol.
Obat ini dipasarkan dalam bentuk kapsul dengan dosis
yang tergantung dari jenis asam lemak omega - 3.
Dosis obat tergantung dari jenis kombinasi asam lemak.
Sebagai contoh Maxepa yang terdiri atas 18olo asam

eicosapentaenoic dan l2%o asam docasahexaenoic


diberikan dengan dosis 10 kapsul sehari.

Jenis

J LDL-C 20-30%
t HoL-c, and

HMG-CoA
reductase
inhibitors

J Sintesis kolesterol

Derivat asam
fibrat

Asam nikotinik

Reseptor LDL

TG

lol-c

,
t
I

Sintesis VLDL
dan LDL

zs-+o

vt-ol

LPL dan hidrolisis


TG
SintesiS VLDL
Katabolisme LDL

ltc

zs-+o y"
or J LoL-c

vlol-c

zs-

To

rol-c

Asam lemak
omega 3

J Sintesis VLDL

Dosis
Kolestiramin 8-12 g
Dua atau tiga kali
Pemberian
Kolestipol 10-15 g
Dua atau tiga kali
pemberian
Lovastatin 10-80mg/dl
Pravastatin 10-40m9/dl
Simvastatin 5-40m9/dl
Fluvastatin 20-40mgldl
Atorvastatin 10-80m9/dl
Rosuvastatin 10-20 mg
Gemfibrozil 600 - 1200 mg
Fenofibrat 160 mg

Efek samping
Obstipasi, mual, perut tidak
enak,

Gangguan fungsi hati, miositis

Mual, gangguan fungsi hati,


miositis

FIushing, takikardia, gatal,


mual, diare, hiperurisemia., ulkus
peptik, intoleransi glukosa,
gangguan fungsi hati

25-4oo/o

HDL mungkin
di usus halus

Penatalaksanaan non - farmokologis dikenaljuga dengan


nama perubahan gaya hidup, meliputi terapi nutrisi medis,
aktivitas fisik, serta beberapa upaya lain seperti hentikan

Niasin 50-100 mg tiga kali


pemberian,kemudian
tingkatkan 10-2.59 tiga kali
pemberian

lriglrseflda
25-85 %
35

J Absorpsi kolesterol

PENATALAKSANAAN NON - FARMOKOLOGI

uor

Ezetimibe

pemberian obat (Tabel 7).

Lipoprotein

Cara kerja
Menghambat sirkulasi
enterohepatik asam
empedu; Sintesis
asam empedu dan
resptor LDL

Bile acidsequestran

dilakukan selama tiga bulan sebelum memutuskan untuk


menambahkan obat penurun lipid. Pada keadaan tertentu
pengobatan non-farmakologis dapat bersamaan dengan

ror-c

ro-

18o/o

J 50 -60% pada
hiper TG berat

10

mg / hari

Sakit kepala, Nyeri perut, dan


diare
Mua

Dikutip dari Ginsberg HN, Goldberg lJ. Disorders of lipoprotein metabolism. Harrison's Principles of internal medicine
lnternational edition. 1998; 2'. 2138 - 2152. (dengan modifikasi)

14th

1990

MEXABOLIKENDOKRIN

Kadar kolesterol LDL dimana perlu


dipertimbangkan pemberian obat

kolesterol
LDL (ms/dl)

Kadar kolesterol LDL


dimana harus mulai
perubahan gaya hidup

PAK atau yang


disamakan PAK

< 100

> 100

Kadar kolesterol LDL di mana perlu


dipertimbangkan pemberian obat

> 2 faktor risiko

< 130

> 130

10 tahun risiko 10 - 20 o/o : > 130


10 tahun risiko < 10 o/o i > 160

0-lfaktorrisiko

< 160

> 160

> 190 (160-189 pemberian obat opsional)

Sasaran

Kelompok
risiko

Dikutip dari: Penatalaksanaan dislipidemia. Buku petunjuk praktrs penatalaksanaan dislipidemia. Perkumpulan Endokrinologi
lndonesia 2005;5 - 14

Makanan
Total lemak

lemak jenuh

lemak PUFA
lemak MUFA

Karbohidrat

Faktor risiko utama

...

..__

y)f,f

menentukan sasaran

LD!(terkecuali kolesterol-LDl)

Tiga kategori risiko yang menentukan


sasaran kolesterol -LDL

0-1

>2

Faktor risiko

Faktor risiko

Risiko PAK dan


yang disamakan

Serat
Protein
Kolesterol

Asupan yang dianjurkan


20 - 25 % dari kalori total
< 7 Yo dari kalori total
sampai 10 % dari kalori total
sampai 10 o/o dari kalori total

60 % dari kalori total (terutama


karbohidrat kompleks)
30 gr per hari
sekitar 15 % dari kalori total
< 200 mg / hari

Dikutip dari: Penatalaksanaan dislipidemia. Buku petunjuk praktis


penatalaksanaan dislipidemia. Perkumpulan Endokrinologi lndonesia
2005i 5 - 14

raga disesuaikan dengan kemampuan dan kesenangan


pasien, selain itu agar berlangsung terus menerus.

Gambar 8. Urutan penatalaksanaan dislipidemia. (PAK = Penyakit

arteri koroner)

PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGI

merokok, menurunkan berat badan bagi mereka yang

Apabila gagal dengan pengobatan non-farmakologis maka


harus dimulai denganpemberian obatpenurun lipid. NCEPAIP III menganjurkan sebagai obat pilihan pertama adalah
golongan HMG-CoA reductase inhibitor, oleh karena

gemuk, dan mengurangi asupan alkohol.

Terapi NutrisiMedis
Selalu merupakan tahap awal penatalaksanaan seseorang

dengan dislipidemi, oleh karena itu disarankan untuk


berkonsulatsi dengan ahli gizi. Pada dasarnya adalah
pembatasan jumlah kalori dan jumlah lemak. Pasiendengan
kadar kolesterol LDL atau kolesterol total tinggi dianjurkan

unfuk mengurangi asupan lemak jenuh, dan meningkatkan


asupan lemak tidak jenuh rantai tunggal dan ganda (mono

unsaturated fatty

acid:

fatty acid: PUFA).

MUFA dan poly unsaturated


Pada pasiendengan kadar trigliserid

yang tinggi perlu dikurangi asupan karbohidrat, alkohol


dan lemak (Tabel8).

Aktivitas Fisik
Pada prinsipnya pasiendianjurkan untuk meningkatkan
aktivitas fi sik sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.
Semua jenis aktivitas fisik bermanfaat, seperti jalan kaki,
naik sepeda, berenang, dll. Penting sekali agarjenis olah

sesuai dengan kesepakatan kadar kolesterol-LDL


merupakan sasaran utama pencegahan penyakit arleri
koroner. Pada keadaan dimana kadar trigliserid tinggi
misalnya>400 mg/dl makaperlu dimulai dengan golongan
derivat asam fibrat untuk menurunkan kadar trigliserid,

oleh karena kadar trigliserid yang tinggi dapal


mengakibatkan pankreatitis akut. Apabila kadar trigliserid
sudah turun dan kadar kolesterol-LDl belum mencapai
sasaran maka dapat diberikan pengobatan kombinasi

dengan HMG CoA reductase inhibitor. Kombinasi


tersebut sebaiknya dipilih asam fibrat fenofibrat jangan
gemfibrozil.
Dengan dikembangkannya obat kombinasi dalam satu
tablel (fixed dose combination), makapilihan obat mungkin
akan mengalami perubahan. Sebagai contoh kombinasi
lovastatin dan asam nikotinik lepas lambat (Niaspan)
dikenal dengan namaAdvicor telah dibuktikan jauh lebih
efektifdibandingkan dengan lovastatin sendiri atau asam

t99t

DISLIPIDEMIA

Jumlah faKor risiko 0-1

Kol - LDL<'|30 mg/dl


Gaya hidup sehat
periksa ulang setiap 1-2 tahun atau
3-5 tahun bila kol-LDL< 130 mg/dl

Cari dan obati


- Gaya hidup sehat
- periksa ulang setiap l-2 tahun

diel

periksa ulang 3 bulan

- Mulaistatin

- Mulai statin

c
Kol - LDL<100 mg/dl

- Gaya hidup sehat


- periksa ulang setiap 6-12 tahun

- Mulai slatin

Gambar 9. Bagan penatalaksanaan dislipidemia:A. Faktor risiko 0 - 1, B. Fasktor risiko multiple > 2, dan C. Faktor risiko tinggi. (Dikutip dari:
Penatalaksanaan dislipidemia. Buku petunjuk praktis penatalaksanaan dislipidemia. Perkumpulan Endokrinologi lndonesia. 20OS: S - 14).

nikotinik sendiri dalam dosis yang tinggi. Kombinasi


simvastatin dengan ezetimibe yaitu Vytorin, ternyata
mempunyai efek lebih baik dibandingkan dengan
simvastatin dosis tinggi tunggal. Obat kombinasi dalam
satu tablet mungkin akan lebih banyak digunakan bagi
mereka dimana kadar kolesterol-LDl harus sangat rendah
atau kadar kolesterol-HDl perlu ditingkatkan.

DISLIPIDEMIA PADA DIABETES MELITUS TIPE


2 DAN SINDROMA METABOLIK

sensitive lipase dijaringan adipose akan menjadi aktif


sehingga lipolisis trigliserid di jaringan adiposa semakin
meningkat. Keadaan ini akan menghasilkan asam lemak
bebas (:FFA:NEFA) yang berlebihan. Asam lemak bebas
akan memasuki aliran darah, sebagian akan digunakan
sebagai sumber energi dan sebagian akan dibawa ke hati
sebagai bahan baku pembentukan trigliserid. Di hati asam
lemakbebas akan menjadi trigliseridkembali dan menjadi
bagian dari VLDL. Oleh karena itu VLDL yang dihasilkan
pada keadaan resistensi insulin akan sangat kaya akan

trigliserid, disebut VLDL kaya trigliserid atau VLDL besar


(enriched triglyceride VLDL

Metabolisme Lipoprotein pada Resistensi


lnsulin
Diabetes melitus dan sindroma metabolik mempunyai
kelainan dasar yang sama yaitu adanyaresistensi insulin.
Pada mereka ini, metabolisme lipoprotein sedikit berbeda
dengan mereka yang bukan resistensi insulin. Dalam
keadaan normal tubuh menggunakan glukosa sebagai
sumber energi. Pada keadaan resistensi insulin, hormone

large

WDL).

Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan


bertukar dengan kolesterol ester dari kolesterol-LDl. Hal
mana akan menghasilkan LDLyangkaya akan trigliserid
tetapi kurang kolesterol ester (cholesterol ester depleted

LDL). Trigliserid yang dikandung oleh LDL

akan

dihidrolisis oleh enzim hepatic lipase (yang biasanya


meningkat pada resistensi insulin) sehingga menghasilkan
LDL yang kecil tetapi padat, yang dikenal dengan LDL

1992

METABOLIKENDOKRIN

all denseLDL). Partikel LDL kecil padat ini


sifatnya mudah teroksidasi, oleh karena itu sangat
aterogenik. Trigliserid VLDL besar juga diperhrkarkan
dengan kolesterol ester dari HDL dan menghasilkan HDL
miskin kolesterol ester tapi kaya trigliserid. Kolesterol HDL
bentuk demikian lebih mudah dikatabolisme oleh ginjal
sehingga jumlah HDL serum menurun. Oleh karena iru
pada resistensi insulin terjadi kelainan profil lipid serum
yang khas yaitu kadar trigliserid tinggi, kolesterol-HDl
rendah dan meningkatnya subfraksi LDL kecil padat,
dikenal dengan nama fenotipe lipoprotein aterogenik atau
lipid triad (Gambar l0).

kecil padat

(srlr

Mengingat pada pasiendiabetes melitus dislipidemi


disifati oleh adanya peningkatan trigliserid, fllenumnnya
kolesterol-HDl, dan bertambahnya subfraksi kolesterol -

LDL kecil padat maka beberapa penelitian telah


membuktikan keberhasilan asam nikotinik. Walaupun
demikian perlu diingat bahwa sampai saat ini sasaran yang
ingin dicapai untuk pencegahan penyakit kardiovaskular
adalah kadar kolesterol-LDL. Mungkin kombinasi
golongan asam nikotinik dengan HMG-CoA reductase
inhibitor merupakan pilihan yang perlu dipertimbangkan.

R.EFERENSI
Colhoun HM, Betteridge DJ, Durrington PN, Hitman GA, Neil HAW,
Livingtone SJ, Thomasan Mi, Mackness M, Menys VC, Fuller

JH, on behalf of the CARDS investigators. Primary prevention


of cardiovascular disease with atorvastatin in type 2 diabetes in

VLDL
besar

the Collaborative Atorvastatin Diabetes Study (CARDS):

(cErP) TG
LDL
LDL

Kecil

(Lipoprotein atau
lipase hati)

Gambar 10. Metabolisme lipoprotein pada resistensi insulin.


(Kwiterovich PO, Jr The metabolic pathways of high-density
lrpoprotein, low-density lipoprotein, and triglycerides: A current
review. Am J Cardiol 2000: 86: 5L-101)

McGraw-Hil, Health Professions division, 1998,2: 2138

Penatalaksanaan tidak banyak berbeda dengan dislipidemi

yaitu terdiri atas pentalaksanaan non-farmakologis dan


penggunaan obat penurun lipid. Perbedaan utama adalah

kolesterol-LDl

harus < 100 mg/dl. Penelititian Heart Protection Stud)),


dan Collaborative Atorvastatin Diabetes Study (CARDS)

telah membuktikan bahwa dengan menurunkan kadar


kolesterol - LDL sampai mencapai 70 mgldl akan lebih
bermanfaat. Oleh karena itu untuk pencegahan penyakit

kardiovaskular pada pasiendiabetes melitus ada


kecenderungan untuk mencapai sasaran kadar kolesterol-

LDL sampai 70mgldl.

Lipids and Lipid Disorders 2"d ed Bayer 1996, 6 13Ginsberg HN, Goldberg IJ. Disorders of lipoprotein metabolism. In:
Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB'

Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, editors. Harrison's


Principles of internal medicine l4th. International edition

PENATALAKSANAAN

pada semua pasiendiabetes melitus kadar

multicenter randomized placebo controlled trial. Lancet 2004;


364: 585 - 96.
D J. Bettel'idge and Morrell JM. Lipid lowering drugs ln: Clinician's
Guide to lipid and coronary Hearl Disease. 2'd ed,2003;208 - 35'
Executive summary of the third report ol the National Cholesterol
Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel III). JAMA 2001; 285: 2486-9'7.
Feher MD, Richmond W. Lipoproteins: structure and function. In:

52.

Kwiterovich PO, Jr. The metabolic pathways of high-density


lipoprotein, iow-density lipoprotein, and triglycerides: A current review Am J Cardiol 2000; 86: 5L-10L.
Malloy MJ, Kane JP" Disorders of lipoprotein metabolism.
In: Greenspan FS, Gardner DG (eds), Basic and clinical endocrinology 7th ed. 2004, p. 766-93.
MRC/ BHF Heart Protection Study of cholesterol-lowering with
simvastatin in 5963 people with diabetes: a randomized
placebo-controlled trial. Lancet 2003; 361: 2005-16.
Penatalaksanaan dislipidemia. Buku petunjuk praktis
penatalaksanaan dislipidemia. Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia 2005; 5 14.
Shepherd J The role of the exogenous pathway in
hypercholesterolaemia Europ Heart J Supplements 2001; 3
(Suppl E): E2 - E5.

311
KELENJAR TIROID, HIPOTIROIDISME,
DAN HIPERTIROIDISME
R. Djokomoeljanto

terangkatnya kelenjar kearah kranial, yang merupakan ciri


khas kelenjar tiroid. Sifat inilah yang digunakan di klinik

ANATOMI, FAAL KELENJAR TIROID DAN HORMON

TIROID

untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher


berhubungan dengan kelenjar tiroid atau tidak. Setiap
lobus tiroid yang berbentuk lonjong berukuran panjang
2.5-4cm,lebar 1.5-2 cmdantebal 1-1,5 cm. Beratkelenjar
tiroid dipengaruhi oleh berat badart dan masukan yodium.
Pada orang dewasa beralnya berkisar antara l0-20 gram.
Vaskularisasi kelenjar tkoid termasuk amat baik. A. tiroidea
superior berasal dari a. karotis komunis atau a. karotis
eskterna, a. tiroidea inferior dari a. subklavia, dan a. tiroid
ima berasal dari a. brakiosefalik salah satu cabang arkus
aorta. Ternyata setiap folikel tiroid diselubungi olehjalajala kapiler dan limfatik, sedangkan sistem venanya berasal
dari pleksus perifolikular yang menyatu di permukaan
membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior.
Aliran darah ke kelenjar tiroid diperkirakan 5 ml /gram
kelenjar/menit; dalam keadaan hipertiroidisme aliran ini
akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar

PENDAHULUAN
Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin berukuran
3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan.
Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faringantara branchial

pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul


divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah
bawah mengalami migrasi ke bawah yang akhirnya
melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, ia berbentuk
sebagai duktus tiroglosus, yang berawal dari foramen
sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan
menghilang pada usia dewasa, tetapi pada beberapa
keadaan masih menetap, sehingga dapat terjadi kelenjar di
sepanjang jalan tersebut, yaitu antara kartilago tiroid

dengan basis lidah. Dengan demikian, kegagalan


menutupnya duktus akan mengakibatkan terbentuknya
kelenjar tiroid yang letaknya abnormal yang disebut

bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah

persistensi duktus tiroglosus. Persistensi duktus


tiroglosus dapat berupa kista duktus tiroglosus, tiroid
lingual atau tiroid servikal. Sedangkan desensus yang

kelenjar.
Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid,
sepasang kelenjar paratiroid menempel di belakang lobus

terlalu jauh akan menghasilkan tiroid substemal. Sisa ujung


kaudal duktus tiroglosus ditemukan pada lobus piramidalis

superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius,

yang menempel

sedangkan nenars laringeus rekuren berjalan di sepanjang


trakea dibelakang tiroid.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan
secara bebas dengan pleksus trakealis. Selanjutnya dari
pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada di
atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik

di ismus tiriod. Branchial pouch

keempatpun ikut membentuk bagian kelenjar tiroid, dan


merupakan asal mula sel-sel parafolikular atau sel C,yang
memproduksi kalsitonin.
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri

atas dua lobus, yang dihubungkan oleh ismus yang


menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa

dan sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus.


Hubungan getah bening ini penting untuk menduga
penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.

menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga


pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan

(Gambarl)

199

1994

Gambar 1

METABOUKENDOKRIN

Potongan horizontal faring fetus manusia menunjukkan


asal kelenjar tiroid dan paratiroid
Variasi letak kelenjar tiroid sehubungan dengan proses

migrasinya ke kaudal
Sistem limfatik tiroid dengan arah penyalurannya.

Dengan mikroskop terlihat kelenjar tiroid terdiri atas


folikel dalam berbagai ukwan antara 50-500 mm. Dinding
folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak
menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya

menghadap kearah membran basalis. Folikel ini


berkelompok-kelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk
membentuk lobulus yang mendapat darah dari end artery.
Folikel mengandung bahan yang jika diwarnai dengan
hematoksilin-eosin berwarna merah muda yang disebut
koloid dan dikelilingi selapis epitel tiroid. Temyata tiap folikel

merupakan kumpulan dari klon sel tersendiri. Sel ini


berbentuk kolumnar apabila dirangsang oleh TSH dan pipih
apabila dalam keadaan tidak terangsang/istirahat. Sel folikel
mensintesis tiroglobulin (Tg) yang disekresikan ke dalam
lumen folikel. Tg adalah glikoprotein berukuran 660kDa,
dibuat di retikulum endoplasmik, dan mengalami glikosilasi
secara sempurna di aparct golgi. Protein lain yang amat

penting disini ialah tiroperoksidase (TPO). Enzim ini


berukuran dengan 103kDa yang 44Yo-nya berhomologi
dengan mieloperoksidase. Baik TPO maupun Tg bersifat
antigenik seperti halnya pada penyakit tiroid autoimun,
sehingga dapat digunakan sebagai penanda penyakit.
Biosintesis hormon To dan T, terjadi di dalam tiroglobulin
pada batas antara apeks sel - koloid. Di sana terlihat tonjol
tonjol mikrovili folikel ke lumen; dan tonjol ini terlibatjuga
dalam proses endositosis tiroglobulin. Hormon utama yaitu
tiroksin (T) dan triiodotironin (Tr) tersimpan dalam koloid
sebagai bagian dari molekul tiroglobulin. Hormon ini hanya
akan dibebaskan apabila ikatan dengan tiroglobulin ini
dipecah oleh erzim khusus.

Mengingat yodium merupakan unsur pokok dalam


pembentukan hormon tiroid, maka harus selalu tersedia
yodium yang cukup dan berkesinambungan.Yodium dalam
makanan berasal dari makanan laut, susu, daging, telur, air

minum, garam beryodium dan sebagainya. Faktor


kandungan yodium dalam lahan setempat sangat penting,
khususnya bagi daerah terpencil di mana penduduknya
hanya khusus makan makanan yang berasal dari produksi

setempat yang lahannya mempunyai kandungan yodium


rendah.
Yodium diserap oleh usus halus bagian atas dan lambung,
dalr ll3 hingga Y, ditangkap kelenjar tiroid, sisanya
dikeluarkan lewat air kemih. Ditaksir 95% yodium tubuh
tersimpan dalam kelenjar tiroid, sisanya dalam sirkulasi (0,04
- 0,57%) dm jaringan. Dalam gambar 2 terlihat bahwa, dalam
keadaan keseimbangan (homoeostasis) masukan yodium
sehari dapat diperkirakan dengan mengukur jumlah yodium
yang dikeluarkan dalam air kemih per hari.
Hormon kalsitonin, yang juga dihasilkan oleh kelenjar
tiroid, berasal dari sel parafoli-kular (sel CO). Hormon ini
berperan aktif dalam metabolisme kalsium dan tidak berperan
sama sekali dalam metabolisme yodium. Mengingat asal
hormon ini, kalsitonin seringkali digunakan sebagai penanda
untuk mendeteksi adanya carcinoma medullare tlryroid.

BIOSINTESIS HORMON TIROID


Hormon tiroid amat istimewa karena mengandung 59-65%
elemen yodium. Hormon To dan T, berasal dari yodinasi

cincin fenol residu tirosin yang ada di tiroglobulin.


Awalnya terbentuk mono dan diiodotirosin, yang kemudian
mengalami proses penggandengan (coupling) menj adi T,
dan To.
Proses biosintesis hormon tiroid secara skematis dapat
dilihat dalam beberapa tahap, sebagian besar distimulir

oleh TSH, yaitu tahap a). tahap trapping; b). tahap


oksidasi; c). tahap coupling; d). tahap penimbunan atau
storage; e). tahap deiyodinasi; f). tahap proteolisis dan
g). tahap pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid.
Yodida (I-) bersama dengan Na* diserap oleh transporter
yang terletak di membran plasma basal sel folikel. Protein
hanporter ini disebut sodium iodide symporter (NIS), berada
di membran basal, dan kegiatannya tergantung adanya
energi, membutuhkan Oryan9 didapat dariAIP. Proses ini

distimulir oleh TSH sehingga mampu meningkatkan


konsentrasi yodium intrasel 100-500X lebih tinggi dibanding

kadar ekstrasel. Hal ini dipengaruhi juga oleh tersedianya

yodium dan aktivitas tiroid Beberapa bahan seperti tiosianat


(SCN) dan perklorat (ClO. ) justru menghambat proses ini.
Beberapa ion lain dapat menghambat pompa yodida ini
dengan urutan kekuatan sebagai berikut: T"Oo,SeCN,NO,
Br. Baik T"Q maupun perklorat secara klinis dapat digunakan

dalam memblok uptake yodida dengan cara inhibisi


kompetitifpada pompa yodium. Meskipun kalah kuat, tetapi
nitrit (NOr) dan Br juga dapat menghambat, asal kadamya
cukup tinggi. Berdasarkan hal ini maka 'perchlorate discharge /esl' dilakukan untuk mendiagnosis adanya defek

proses yodinasi yang bersifat kongenital. Pertechnetat


(TcOo ) juea mampu lewat pompa yang sama, dan dalam

ldinkp eft e c hn et at rudio aIdlf dimanfaatkan


kelenjartiroid. (Gambar3 dan 4)

untuk memindai

199s

KEI.EN'AR TIROID, HIPTOTIROIDISME DAN HIPERTIROIDTSME

Makanan
Tahap yodinasi tiroglobulin dalam pembentukan tiroksin

C]

NADPH +

OZ

CA**

NADPH oksidase
TPO

-)

H2O2+ NADP

)lo

H2O2+ 1-

g-DlT

l" + Tg-Tyr

Tg-DlT

Ts-T 4

PTU menghambat
yodinasi tiroglobulin

Gambar 2.
Na'
Organtifikasi :
sintesis T3+ T Ferta
disimpan di tiroglobulin

r
Na'

K
Koloid

Sel Thyroid

?r\
a't1\@f

Aplkal mikrovili
(Pendrin l;Cl tEnspoter)

Gambar4. Peran NIS dalam transportasi yodium masuk selfolikel.

Bulatan terbuka adalah Na'K*ATPase pendorong reaksi ini,


f,

skEe

(st

wleolisis

sedang transpor l- lewat membran apeks oleh pendrin. Sintesis


hormon terjadi di koloid tepatnya di 'colloid-apical membrane'yang
dikatalirsir oleh. TPO)

Sesudah pembentukan hormon selesai, Tg disimpan


ekstrasel yaitu di lumen folikel tiroid. Umumnya sepertiga

Gambar 3. Gambar skema proses biosintesis hormon tiroid

Tiroglobulin satu glikoprotein 660kDa disintesis di

retikulum endoplasmik tiroid dan glikosilasinya


diselesaikan di aparat Golgi. Hanya molekul Tg tertentu

(folded molecule) mencapai membran apikal, dimana


peristiwa selanjutnya terjadi. Adapun protein kunci lain
yang akan berperan adalah tiroperoksidase (TPO). Proses

di apeks melibatkan iodide, Tg, TPO dan hidrogen


peroksida (HrOr). Produksi HrO, membutuhkan kalsium,
NADPH dan NADPH oksidase. Yodida dioksidasi oleh
HrO, dan TPO yang selanjutnya menempel pada residu
tirosil yang ada dalam rantai peptida Tg , membentuk
3-monoiodotirosin (MIT) atau 3,5-diiodotirosin (DIT).
Kemudian , dua molekul DIT (masih berada dan merupakan
bagian dari Tg) menggabung menjadi To, dengan cara
menggabungkan grup diiodofenil DII donor, dengan DIT
akseptor dengan perantaraan diphenyl ether link. Dengan
cara yang sama dibentuk T, dari donor MIT dengan

aseptorDIT. (Tabel

l)

yodium disimpan sebagai T, dan To dan sisanya dalam


MIT dan DIT. Bahan koloid yang ada dalam lumen
sebagian besar terdiri dari Tg. Koloid merupakan tempat
untuk menyimpan hormon maupun yodium, yang akan
dikeluarkan apabila dibutuhkan. Bagaimana ini terjadi ?
Pengeluaran hormon dimulai dengan terbentuknya
vesikel endositotik di ujung vili (atas pengaruh TSH
berubah menjadi tetes koloid) dan digesti Tg oleh enzim
endosom dan lisosom. Enzim proteolitik utama adalah
endopeptidase katepsin C, B dan L, dan beberapa
eksopeptidase. Hasil akhirnya ialah dilepaskan To dan T,
(yodotironin) bebas ke sirkulasi, sedangkan Tg-MIT dan
Tg-DIT (yodotirosin) tidak dikeluarkan tetapi mengalami
deiodinasi oleh yodotirosin deyodinase, dan iodidanya

masuk kembali ke simpanan yodium intratiroid


(intrathyroidal pool) sebagai upaya untuk konservasi
yodium.
Proses katalisasi yodinasi tiroglobulin ini terjadi secara
maksimal pada tiroglobulin yang belum diyodinasi sama
sekali dan mengurang padayangtelah diyodinasi. Proses
yodinasi ini dipengaruhi berbagai obat seperti : tiourea,

propil-tiourasil (PTO), metiltiourasil (MTU), yang


semuanya mengandung grup N C SH. Dengan demikian

t996

MEHBOLIKENI'OIRIN

obat ini amat berguna untuk mengham-bat pekerjaan


kelenjar yang hiperaktif dan digunakan di klinik.
Metilmerkaptoimidazol (MMD adalah obat yang populer
Amerika sedangkan karbimazol (CBZ) populer di Inggris
Secara klinis antara keduanya tak banyak berbeda, sebab

di

karbimazol akan segera dihidrolisis men-j adi metilmerkaptoimidazol (MMD dalam tubuh. Proses tangkapan yodium,

sintesis Tg, proses yodinasi

di

apeks serta proses


endositosis dipengaruhi oleh jenuhnya yodium intrasel.
Dalam hal ini akan dibentuk yodolipids atau yodolakton
yang berpengaruh atas generasi HrO, yang mempengaruhi

keempat proses tersebut. Hal ini dikenal sebagai


autoregulasi kelenjar tiroid. Pemberian yodium dalam
jumlah banyak dan akut menyebabkan terbentuknya
yodolipid banyak yang berakibat uptake yodium dan
sintesis hormon berkurang, dikenal sebagai efek Woffi

Chaikoff. Namun, proses akan berkurang dengan


sendirinya karena yodolipid yang dibentuk akan juga
berkurang atau hilang , dan terjadi escape. Apabila tiroid
tidak dapat mengadakan adaptasi - misalnya pada tiroiditis
autoimun atau pasien dengan dishormonogenesis, maka
akan terjadi hipotiroidisme yang iodine induced.
Beberapa goitrogen alamiah berefek di tahap ini juga,
sehingga produksi hormon berkurang dan sebagai
akibatnya memberi reaksi umpan balik berupa gondok.

Dalam sebaran tertentu yodinasi tiroglobulin ini


dipengaruhi kadar yodium plasma, sehingga makin tinggi
kadar yodium intrasel akan makin banyak yodium terikat,
dan sebaliknya pada defsiensi yodium, yodiuni yang terikat
menjadi kurang (dengan akibatnya T, dibuat lebih banyak
daripada T) (Apabila hormon ini disekresikan akan terlihat
kadar T, di darah meningkat, satu fenomen yang lazim
ditemukan di daerah GAKI berat, dikenal sebagaipreferential secretion of hormone).
Kelenjar tiroid manusia mempunyai kemampuan untuk
menyerap serta mengkonsentrasikan yodida dari sirkulasi.
Kemampuan ini dipunyai juga oleh sel-sel kelenjar ludah,

mukosa lambung, kelenjar susu, meskipun tidak satupun


mempunyai kapasitas unhrk mengubahnya menjadi hormon
tiroid. Demikian pula ditemukan NIS di sel payudara. Sifat

ini sekarang sedang diteliti bagaimana meningkatkan


eskpresi NIS hingga yodium radioaktif dapat masuk ke sel
sel kanker payudara dalam rangka pengobatannya.

Cara keluarnya hormon tiroid dari tempat


penyimpanannya di sel belum diketahui secara sempurna,

tetapi jelas dipengaruhi TSH. Hormon

Lokasi pada
Tiroid transkripsi
faktor (TTF)
reseptor TSH
(TSHr)
Nall sympofter
(Nrs)
Tiroglobulin (tg)
Tiropeioksidase

(rPo)
HzOz
Pendrin
Katepsin C,D,L
Tiroid
yodotirosin
deyodinase
5'-yodotironin
deyodinase

Gen

Membran

Fungsi
Transkripsi gen
Tg,TPO,TSHT
Mediasi efek TSH

basal

Membran
basal
Sel, lumen
folikel
Membran
apikal
Membran
apikal
Membran
apikal
Lisosom
Sitoplasma

Transpor l- masuk sel

Membran

Deyodinasi T4 menjadi

Matriks untuk formasi


hormon
Katalisis oksidasi l- dan
coupling yodotirosin
Substrat TPO
Cl-

/ l- transporter

Digesti Tg
Deyodinasi DIT dan MIT

T3

basal

Transportasi Hormon
Baik T, maupun To diikat oleh protein peng-ikat dalam serum (binding protein).Hanya0,350/0 To total dan0,25Yo
T, total berada dalam keadaan bebas. Ikatan T, dengan
protein tersebut kurang kuat dibandingkan dengan To,
tetapi karena efek hormonnya lebih kuat dan turnover nya
lebih cepat, maka T, ini sangat penting. Ikatan hormon
terhadap protein ini'makin melemah berturut ntrut TBG
(thyroxin binding globulin), TBPA (thyroxin binding
prealbumin, disebut pula transtiretin), serum albumin.

Dalam keadaan normal, kadar yodotironin total


menggambarkan kadar hormon bebas, namun pada keadaan
tertentu jumlahprotein binding dapat berubah. Meninggi

pada neonatus, penggunaan estrogen termasuk


kontrasepsi oral, penyakit hati kronik dan akut, naiknya
sintesis di hati karena pemakaian kortikosteroid dan
kehamilan, dan menurun pada penyakit ginjal dan hati

kronik, penggunaan androgen dan steroid anabolik,


sindrom nefrotik, dan dalam keadaan sakit berat.
Penggunaan obat tertentu misalnya salisilat, hidantoin dan
obat anti inflamasi seperti fenklofenak menyebabkan kadar

hormon total menurun karena obat tersebut mengikat protein secara kompetitif, akibatnya kadar hormon bebas
meningkat. Arti klinis kadar hormon perlu diinterpretasikan
dengan memperhatian faktor faktor tersebut

ini melewati

membran basal, fenestra sel kapiler, kemudian ditangkap

Metabolisme T. dan

oleh pembawanya dalam sistem sirkulasi yaitu thyroid


binding protein. Yodium kadar tinggi menghambat tahap
ini. Sifat ini digunakan dokter untuk mengelola krisis tiroid,

Waktu paruh T, di plasma ialah 6 hari sedangkanT r24 30


jam, Sebagian To endogen (5 l7%) mengalami konversi
lewat proses monodeyodinasi menjadi Tr. Jaringan yang
mempunyai kapasitas mengadakan perubahan (konversi)
ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam
proses konversi ini terben-tuk juga rT, (rev ers ed Tr, 3, 3, 5'
triiodotironin) yang secara metabolik tidak aktif. Agaknya
deyodinasi To menjadi rT, ini digunakan untuk mengatur

di mana harus diusahakan penurunan kadar hormon secara


cepat di sirkulasi. Produksi sehari To kira kira 80 100 mg
sedangkan Tr 26 39 mg. Akhir akhir ini dibukti-kan bahwa

30 40% T, endogen berasal dari konversi ekstratiroid To


menjadiTr. (Tabel2)

To

1997

IG,I.ENJAR TIROID, HIFOTIROIDISME, DAT{

metabolisme pada tingkat selular. Karena hormon aktif ialah


Trbukan To maka harus terjadi dulu konversi menjadi T,
dahulu supaya mampu berfungsi dengan baik. Dengan

dan T, bergerak ke arah inti dan berikatan dengan TR-LBD

dari monomer TR. Ikatan ini menyebabkan lepasnya TR


homodimer dan heterodimerisasi dengan RXR pada TRE

adanya deiodinases, hormon aktif dapat dipertahankan


guna mendukung kebutuhan manusia Dikenal 3 macam
deyodinase utama: DI, DII and DIII masing masing dengan
fungsi khusus. Deyodinasi tipe I : konversi T4 d T3 di perifer
dan tidak berubah pada waktu hamil. Deyodinasi tipe II
mengubah T4 e T3 secara lokal (di plasenta, otak serta
susunan saraf pusat, dan mekanisme ini penting unfuk
mempertahankan kadar T, lokal. Deyodinasi tipe III:
mengubah To menjadi rT, dan T3 el T2 , khususnya di
plasenta dan dimaksud mengurangi masuknya hormon
berlebihan dari ibu ke fetus.
Keadaan di mana konversi T, atau T, berkurang terjafi
pada : kehidupan fetal, restriksi kalori, penyakit hati,
penyakit sistemik berat, defisiensi selenium dan pengaruh
berbagai obat (propiltiourasil, glukokortikoid, propanolol,
amiodaron, beberapa bahan kontras seperti asam
yopanoat, natrium ipodas).

dan dilepasnya korepresor. Sebaliknya terjadi ikatan dengan

koaktivator. Dengan adanya kompleks TR-koaktivator ini


terjadi transkripsi gen yang menyebabkan sintesis protein
khas sel tersebut.

EFEK METABOLIK HORMON TIROID


Hormon tiroid memang satuhormon yang dibutuhkan oleh
hampir semua proses tubuh termasuk proses metabolisme,

sehingga perubahan hiper atau hipotiroidisme


berpengaruh atas berbagai peristiwa. Efek metaboliknya
antara lain seperti texrsebut di bawah ini.

.
.

MEKANISME KERJA HORMON TIROID DI TINGKAT


SEL
Kerja hormon di perifer dapat dilihat pada Gambar 5 dalam
Panel A dan Panel B. Keduanya menggambarkan sel dalam
keadaan pasif , sebelum dimasuki hormon tiroid, dan fase

t.
I
I

ffi

.-l

katabolik.

MetabolismekarbohidratBersifatdiabeto-genik,karena

kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.


Vltamin l" Konversi provitamin A menj adi vitamin A di
hati memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada

Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total,

khusus sel.

Hormon bebas masuk ke sel dengan sisitem transpor


khusus. Di sel terjadi konversi T4 d Tr oleh 5'-deyodinasi

Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya


bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat

aktif, dimana hormon T, baik langsung dari sirkulasi

Fase inaktif: ikatan TR dimer pada TRE bersama


co-represor menghambat transkripsi gen.Panel B. Fase aktif

kalorigenik

resorpsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati


menipis, demikian pula glikogen otot menipis dan
degradasi insulin meningkat.
Metabolisme lipid. Meski To mempercepat sintesis
kolesterol, tetapi proses degradasi kolesterol dan
ekskresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat,
sehingga pada hiperfungsi tiroid kolesterol rendah.

maupun T,, yani masih harus dikonversi dari Tomenjadi


T, mempengaruhi transkripsi gen, sehingga terjadi efek

PanelA.

Termoregulasi (ielas pada miksedema atau koma


miksedema dengan temperatur sub-optimal) dan

hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia, kulit


kekuningan.

&represg

".k".,

Gambar 5, Keterangan : TR-LBD = T, receptor ligand-binding domain, TR-DBD T" receptor DNA-binding
domain, RXR-LBD retinoid X receptor ligand-binding domain; RXR-DBD retinoid X receptor DNA-binding
domain', TRE thyroid hormone responsive element; TBPs thyioxine-binding proteins;S'Dl = 5'=deiodinase.

1998

METABOIII(ENDOIRIN

Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat

tulang lebih terpengaruh dari pada pembentukannya.

menyebabkan miopati, tonus traktus gastrointestinal


meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi diare;

gangguan faal hat|, anemia defisiensi Fe dan

Hipertiroidisme dapat menyebabkan osteopenia. Dalam


keadaan berat mampu menghasilkan hiperkalsemia,
hiperkalsiuria dan penanda hidroksiprolin dan crossJink

hipertiroidisme.

piridium

Efek neuromuskular. Turn-over yang meningkat juga


EFEK FISIOLOGIK HORMON TIROID
Efeknya membutuhkan waktu beberapa jam sampai hari.

Efek genomnya menghasilkan panas dan konsumsi


oksigen meningkat, pertumbuhan, maturasi otak dan
susunan saraf yang melibatkan Na*K*ATPase sebagian

lagi karena reseptor beta adrenergik yang bertambah.


Tetapi ada juga efek yang nongenomik misalnya
meningkatnya transpor asam amino dan glukosa,
menurunnya e nzim tipe-2 5' -deyodinasi di hipofisis.

Pertumbuhan fetus. Sebelum mi I I tiroid fetus belum


bekerja, juga TSlInya. Dalam keadaan ini karena DIII tinggi

di plasenta hormon tiroid bebas yang masuk fetus amat


sedikit, karenadi inaktivasi diplasenta. Meski amat sedikit
krusial, tidak adanya hormon yang cukup menyebabkan
lahirnya bayi kretin (retardasi mental dan cebol).

Efekpada konsumsi oksigen, panas dan pembentukan


radikal bebas. Keduaperistiwa di atas dirangsang oleh T'
lewat Na*K*AIPase di semua jaringan kecuali otak, testis
dan limpa. Metabolisme basal meningkat. Hormon tiroid
memrrunkan kadar superoksida dismutase hingga radikal
bebas anion superoksida meningkat.

Efek kardiovaskular. T, menstimulasi a). transkripsi miosin


hc-p dan menghambat miosin hc-B, akibatnya kontraksi
otot miokard menguat. b). transkripsi Ca2 *ATPase di
retikulum sarkoplasma meningkatkan tonus diastolik , c).
mengubah konsentrasi protein G, reseptor adrenergik,
sehingga akhimya hormon tiroid ini punya efek yonotropik
positif. Secara klinis terlihat sebagai naiknya curahjantung
dantakikardia.

Efek simpatik. Karena bertambahnya reseptor


adrenergik-beta miokard, otot skelet, lemak dan limfosit,
efek pasca reseptor dan menurunnya reseptor adrenergik
alfa miokard, maka sensitivitas terhadap katekolamin amat

tinggi pada hipertiroidisme dan sebaliknya pada


hipotiroidisme.

Efek hematopoetik. Kebutuhan akan oksigen pada


hipertiroidisme menyebabkan eritropoiesis dan produksi
eritropoetin meningkat. Volume darah tetap namtnred cell

turn overmeningkat.
Efek Gastrointestinal. Pada hipertiroidisme motilitas usus
meningkat. Kadang ada diare. Pada hipotiroidisme terjadi
obstipasi dan transit lambung melambat. Hal ini dapat
menyebabkan bertambah kurusnya seseorang.

Efek pada skelet. Turn-over tulang meningkat resorsbi

menyebabkan miopati disamping hilangnya otot. Dapat


terjadi kreatinuria spontan. Kontraksi serta relaksasi otot
meningkat (hiperrefl eksia).

Efek endokrin. Sekali lagi, hormon tiroid meningkatkan


metabolic turn-over banyak hormon serta bahan
farmakologik. Contoh: waktu paruh kortisol adalah 100
menit pada orang nornal tetapi menurun jadi 50 menit
pada hiperhoidisme dan 150 menit pada hipotiroidisme.

Untuk ini perlu diingat bahwa hipertiroidisme dapat


menutupi (masking) atau memudahkan unmasking
kelainan adrenal.

PENGATURAN FAAL KELENJAR TIROID

Ada 3 dasar pengaturan faal tiroid yaitu oleh:


a). autoregulasi

b). TSH dan c). TRH.

Autoregulasi
Seperti disebutkan di atas, hal ini lewat terbentuknya
yodolipid pada pemberian yodium banyak dan akut,
dikenal sebagai efek Wolff-Chaikoff. Efek ini bersifat
sefflimiling. Dalam beberapa keadaan mekanisme
escape ini dapat gagal dan terjadilah hipotiroidisme

TSH
TSH disintesis oleh sel tirotrop hipofisis anterior. Banyak
homologi dengan LH dan FSH. Ketiganya terdiri dari
subunit c,- dan p dan ketiganya mempunyai subunit cryang sama, namun berbeda subunit p- Efek pada tiroid
akan terjadi dengan ikatan TSH dengan reseptor TSH
(TSHr) di membran folikel. Sinyal selanjutnya te{adi lewat
protein G (khusus G.a). Dari sinilah terjadi perangsangan
protein kinase A oleh oAMP untuk ekspresi gen yang
penting untuk fungsi tiroid seperti pompa yodium, Tg,
pertumbuhan sel tiroid dan TPO , serta faktor transkripsi
TTFI, TTF2 dan PAXS. Efek klinisnya terlihat sebagai
perubahan morfologi sel, naiknya produksi hormon , folikel

dan vaskularitasnya bertambah oleh pembentukan


gondok, dan peningkatan metabolisme.
T, intratirotrop mengendalikan sintesis dan keluarnya
(mekanisme umpan balik) sedang TRH mengontrol
glikosilasi , aktivasi dan keluarnya TSH. Beberapa obat

bersifat menghambat sekresi TSH : somatostatin,


glukokortikoid, dopamin, agonis dopamin (misalnya

bromokriptin), juga berbagai penyakit kronik dan akut.


Pada morbus Graves, salah satu penyakit autoimun,

1999

IGLENJIR TIROID, HIPCTTIROIDTSME! DAT{ HTPERTIROIDISME

TSHr ditempati dan dirangsang oleh imunoglobulin,


antibodi-anti-TsH (TSAb : thyroid stimulating antibody,

TSI: thyroid slimulat-ing immunoglobulin), yang


secara fungsional tidak dapat dibedakan oleh TSHr
dengan TSH endogen. Rentetan peristiwa selanjutnya
juga tidak dapat dibedakan dengan rangsangan akibat

TSH endogen.
TRH (Thy rotroph i n Releasi n g Horm onel
Hormon ini satu hipeptida, dapat disintesis neuron yang

korpusnya berada

di nukleus

paraventrikularis

HUBUNGAN KELENJAR TIROID DENGAN


BEBERAPA KELENJAR ENDOKRIN LAIN

Korteks adrenal
Kortikosteroi d dan adrenoc ortic otropin hormon (ACTH)
menghambat tiroid dengan cara meningkatkan klirens
yodium dan meng-hambat TSH hipofisis. Pada
hipertiroidisme waktu paruh 17 OHCS memendek.
Seringkali memang pada krisis tiroid terlihat insufisie4si
adrenal karena diss appearance rate dipercepat.

hipotalamus (PVN). TRH ini melewati median eminence,

tempat ia disimpan dan dikeluarkan lewat sistem

Medula adrenal

hipotalambhipofiseal ke sel tirotrop hipofi sis. Akibatnya

Banyak gejala klinis hipertiroidisme yang dihubungkan


dengan peningkatan sensitisasi jaringan terhadap efek
katekolamin dan bukan-nya dengan produksi katekolamin
yang tinggi. Dalam bidang ini banyak yang masih perlu
dikaji. Lihat bahasan dalam efek hormon di atas.

TSH meningkat. Meskipun tidbk ikut menstimulasi


keluarnya growth ltormone dan ACTH, tetapi TRH
men-stimulasi keluarnya prolaktin, kadang- FSH dan LH.

Apabila TSH naik dengan sendirinya kelenjar tiroid


mengalami hiperplasi dan hiperfungsi.
Sekresi hormon hipotalamus dihambat oleh hormon
tiroid (mekanisme umpan balik), TSH, dopamin, hormon

I
I

korteks adrenal dan somatostatin, serta stres dan sakit


lc,erat (non thyroidal illness).
Kompensasi penyesuaian terhadap proses umpan balik
ini banyak memberi informasi klinis. Sebagai contoh,
naihya TSH serum sering menggambarkan produksi
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid yang kurang memadai,
sebaliknya respon yang rata (blunted response) TSH
tqhadap sti-mulasi TRH eksogen menggambarkan supresi
krcnik di tingkat TSH karena kebanyakan hormon, dan
sering merupakan tan-da dini bagi hipertiroidisme ringan
atau sub-klinis. (Gambar 6)

Gonad
Kadar tiroid normal diperlukan sekali untuk pengeluaran
LH hipofisis, menstruasi ovulatoar, fertilitas, dan kehidupan
fetus. Kebanyakan hormon tiroid akan menghambat
menarche, meningkatkan infertilitas dan kematian fetus.
Pada hipotiroidisme terjadi menstruasi anovulatoar dengan

menoragia, sedangkan pada hipertiroidisme terjadi


hipomenorea dan ovulatoar.

Tiroid dan Kehamilan


Ada beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan
dengan kehamilan ini. Pertama TBG (thyroxin binding
globulin) meningkat sehingga sebagai hasilnya terjadi
pennnrnan turn oyer rate T dan juga kadar To bebas. Hal
o

ini menimbulkan stimulasi TSH

sehingga terjadi

keseimbangan baru dengan hiperplasia kelenjar. Oleh


karena itu perlu waspada dalam rnenilai angka laboratorik
kadar T, total dan I total seorang pasien yang diperkirakan
mempunyai perubahan TBG. Pada keadaan hamil atau
pengguna kontrasepsi oral sebaiknya diperiksa kadar
hormon bebas.
Pada kehamilan normal PBI akan naik, tetapi apabila
terjadi defisiensi yodium sedang, maka kenaikan ini tidak

terjadi atau terganggu. TSH (thyroxin stimulating

Ginjal,Hati, Otot, Otak dsb

hrbar

6. Jalur umpan balik positip maupun negatif pada aksis

lipotalamus
TS[}.

hipofisis

tiroid. TSHr-Ab = antibodi terhadap

hormon) ibu tidak melewati plasenta, sehingga bayi ini


sama sekali bergantung pada TSHnya sendiri. Tiroid
fetus mulai menangkap radioaktif yodium pada minggu 12
14 danmulai memproduksi hormon sendiri pada minggu
19 22. Aksis hipofisis tiroid pada fetus mulai berfungsi
(intact) pada bulan ke-5. Dengan demikian kita perlu hati
hati untuk menggunakan obat antitiroid sejak minggu 19
22, supaya tidak terjadi supresi TSH endogen dengan
akibat timbulnya hipotiroidisme fetal. Umumnya dikatakan
bahwa hormon T, dan To hampir tak melewati plasenta,

tetapi akhir-akhir ini ditunjukkan sebaliknya meskipun


dalam jumlah yang amat kecil. T3 lebih banyak jika
dibandingkan dengan To. Perhitungan yang agak cermat
menunjukkanbahwaklirens plasenta To ibu dalam sirkulasi
fetus hampir sama dengan jumlah yang dibutuhkan fetus

ini. Dengan demikian apabila ada gangguan dalam


kecepatan transpor ini, akan terjadi gangguan

fT4 turun. Manifestasi klinis hipotiroidisme tidak


tergantung pada sebabnya.
Hipotiroidisme lebih dominan pada wanita. Dibedakan

hipotiroidisme klinis dan hipotiroidisme subklinik.


Hipotiroidisme klinik ditandai dengan kadar TSH tinggi
dan kadar fT4 rendah, sedangkan pada hipotiroidisme
subklinis ditandai dengan TSH tinggi dan kadar fT4

perkembangan fetus, baik somatik maupun mental. Hal ini

normal, tanpa gejala atau ada gejala sangat minimal.

terbukti bahwa sepertiga kasus dengan kretin atirotik

Hipotiroidisme merupakan kumpulan tanda dan gejalayang


manifestasinya tergantung dari: a). Usia pasien b). Cepat
tidaknya hipotiroidisme terjadi c). Ada tidaknya kelainan

menderita hipotiroidisme.

lain. Hipotiroidisme intrauterin dan

HIPOTIROIDISME

neonatal

mengakibatkan retardasi mental dan fisik yang ireversibel

Pendahuluan
Status tiroid seorang ditentukan oleh kecukupan sel atas
hormon tiroid dan bukan kadar normal hormon tiroid dalam
darah. Ada beberapa prinsip faali dasar yang perlu diingat
kembali. Pertama bahwa hormon yang aktif ialah freehormon, kedua bahwa metabolisme sel didasarkan adanya

apabila tidak diberi pengobatan segera setelah lahir'


Sedangkan apabila terjadi pada anak dan dewasa, meskipun

berat tetapi reversibel Pada usia lanjut, klinisnya


cenderung kurangjelas dan spesifik, sebab banyak yang
menyerupai gejalausia lanjut. Makin cepat hipotiroidisme
terjadi makinjelas gejala dan tanda klinisnya. Pada tiroiditis
autoimun kronik mengalami fase subklinis terjadi selama
bertahuntahun sebelum terj adi manifestasi klinis.

free-T rbukan free-To, ketiga bahwa distribusi ensim


deyodinasi I, II dan III (DI, DII, DIII) di berbagai organ
tubuh berbeda, di mana DI banyak ditemukan di hepar,
ginjal dan tiroid, DII utamanya di otak, hipofisis dan DIII
hampir seluruhnya ditemukan di jaringan fetal (otak,

SEBAB TERJADINYA HIPOTIROIDISME


Hipotiroidisme dibedakan atas hipotiroidisme sentral dan
primer. Berbagai penyebab te{adinya hipotiroidisme dapat
dilihat di Tabel3.

plasenta). Hanya DI yang direm oleh PTU.

Hipotiroidisme
Definisi lama bahwa hipotiroidisme disebabkan oleh faal
tiroid berkurang sudah tidak tepat lagi. Kini dianut keadaan
di mana efek hormon tiroid di jaringan kurang. (contoh

Hipotiroidisme Sentral (HS)


Apabila gangguan faal tiroid terjadi karena ada kegagalan
hipofisis, maka disebut hipotiroidisme sekunder (HS),
sedangkan apabila kegagalan terletak di hipotalamus
disebut hipotiroidisme tertier. 50% HS terjadi karena
tumor hipohsis. Keluhan klinis tidak hanya karena desakan
tumor, gangguan visus, sakit kepala, tetapi juga karena

pada defisiensi yodium tiroid justru bekerja keras). Secara


klinis dikenal 1. Hipotiroidisme sentral, karena kerusakan

hipofisis/hipotalamus; 2. Hipotiroidisme primer apabila


yang rusak kelenjar tiroid dan 3. Karena sebab lain: sebab
farmakologis, defisiensi yodium, kelebihan yodium dan
resistensi perifer. Yang paling banyak ditemukan ialah

produksi hormon yang berlebih (ACTH

hipotiroidisme primer. Oleh karena itu, umumnya

diagnosis ditegakkan berdasar atas TSH meningkat dan

Penyebab

Hipotiroidisme Sentral

Penyebab Hipotiroidisme
Primer (HP)

Hipotiroidisme
Sepintas ('transient')

(HS)
Lokalisasi hipofisis atau
hipotalamus
1. tumor, infiltrasi
tumor,
2. nekrosis iskemik
(sindrom Sheehan
pada hipofisis)
3. iatrogen (radiasi,
operasi)
4. infeksi (sarcoidosis,
histiosis

1. hipo- atau agenesis


kelenjar tiroid
2. destruksi kelenjar tiroid
pasca radiasi
b. tiroiditis autoimun,
Hashimoto
c. tiroiditis De Quervain
d. postpartum tiroiditis
3. atrofi (berdasar autoimun)
4. dishormonogenesis
sintesis hormon
5. hipotiroidisme transien
(sepintas)

2000

penyakit

akromegali, prolaktin
galaktorea pada wanita dan impotensi pada pria). Urutan

Cushing, hormon pertumbuhan

Tiroiditis de
Quervain
2. Silent thyroiditis
3. Tiroiditis postpartum
4. Hipotiroidisme
neonatal sepintas
1.

2001

KELENJAR TIROID, HIFOTIROIDISME, DAI{ HIPERTTROIDISME

kegagalan hormon akibat desakan tumor hipofisis lobus


anterior adalah: gonadotrophin, ACTH, hormon hipofisis

lain dan TSH.

Hipogenesis atau agenesis kelenjar tiroid. Hormon


berkurang akibat anatomi kelenjar. Jarang ditemukan, tetapi

merupakan etiologi terbanyak dari hipotiroidisme


kongenital di negara barat. Umumnya ditemukan pada program skrining massal.

Kerusakan tiroid dapat terjadi karena : l). Operasi; 2).


Radiasi; 3). Tiroiditis autoimun;4). karsinoma; 5). Tiroiditis
subakut; 6). Dishormonogenesis dan 7). Atrofi.
Pascaoperasi. Strumektomi dapat parsial (hemistrumektomi
atau lebih kecil), subtotal atau total. Tanpa kelainan lain,
strumektomi parsial jarang menyebabkan hipotiroidisme.

Strumektomi subtotal M. Graves sering menjadi


hipotiroidisme dan 40o/o mengalaminya dalam I 0 tahun, baik
karena jumlah jaringan dibuang tetapi juga akibat proses
autoimun yang mendasarinya.

Pascaradiasi. Pemberian RAI (radioactive iodine) pada


hipertiroidisme menyebabkan lebih dai 400-50%o pasien
menjadi hipotiroidisme dalam l0 tahun. Tetapi pemberian
RAI pada nodus toksik hanya menyebabkan hipotiroidisme
sebesar < 5%o. Juga dapat tet'adi pada radiasi eksternal di
usia <20 th : 52Yo 20 tahun dan 67%o 26 tahun pascaradiasi,

namun tergantung juga dari dosis radiasi.

Tiroiditis autoimun. Disini te{adi inflamasi akibat

i s e a s e)

didap aI

5 . 5o/o.

Tiroiditis subakut (De Quervain) Nyeri dikelenjar/sekitar,

Hipotiroidisme Primer (HP)


I

Prevalensi PNID (Postpartum Autoimmune Thyroid


D

proses

autoimun, di mana berperan antibodi antitiroid, yaitu Ab


terhadap fraksi tiroglobulin (antibodi-antitiroglobulin, AIgAb) dan/atau fraksi mikrosomal (antibodi-antimilffosomal
AM-Ab). Kerusakan yang luas dapat menyebabkan
hipotiroidisme. Faktor predisposisi meliputi: toksin, yodium,
hormon (estrogen meningkatkan respon imun, androgen
dan supresi kortikosteroid), stres mengubah interaksi
sistem imun dengan neuroendokrin. Pada kasus tiroiditisahofis gejala klinisnya mencolok. Hipotiroidisme yang
terjadi akibat tiroiditis Hashimoto tidak pernanen. Dengan
obat To selama setahun, 200lo kasus memburuk, 40% kasus
tetap, dan ada perbaikan pada I 9% sedangkan I I .4olo kasus

sembuh.

Tiroiditis pascapartum. Merupakan peristiwa autoimun


yang terjadi pada wanita postpartum, dengan silih berganti
antara hipotiroidisme dan hipertiroidisme Dapat sebagai
penyakit sendiri atau eksaserbasi Graves. Ada fase toksis
d"n fase hipotiroidisme dengan depresi. Apabila ditemukan
mtibodi tiroid di trimester pertama kehamilan, maka peluang
menderita tiroiditis di fase postpartum sebesar 33-50%.
Monitoring jangka panjang penting sebab 23Yo akan
menjadi hipotiroidisme menetap, dan selebihnya eutiroid
dalam tempo setahun. Antibodi-anti TPO dan antibodi-anti

Tg merupakan penanda untuk AIT pada kehamilan.

demam, menggigil Etiologi: virus. Akibat nekrosis jaringan,


hormon merembes masuk sirkulasi dan te{adi tirotoksikosis

(bukan hipertiroidisme) Penyembuhan didahului dengan


hipotiroidisme sepintas
Dishormonogenesis. Ada defek pada enzim yang berperan
pada langkah-langkah proses hormonogensis. Keadaan ini
diturunkan, bersifat resesif. Apabila defek berat maka kasus

sudah dapat ditemukan pada skrining hipotiroidisme


neonatal, namun pada defek ringan baru pada usia lebih
lanjut. Defective organification adalah salah satu sebab
hipotiroidisme kongenital. Meskipun terdeteksi mutasi titik
tunggal dari GaC pada 1265 pasang basa gen TPO, tetapi
ekspresi asam aminonya tidak berubah. Diduga ada
perubahan struktur tersier molekul TPO. Satu kasus usia
16 th dengan dishomonogenesis dari RS Dr. Kariadi telah
dilaporkan di Medikatahun 2001.

Karsinoma. Kerusakan tiroid karena karsinoma primer/


sekunder, arnatjarung.

Hipotiroidisme sepintas. Hipotiroidisme sepintas


(lransient) adalah keadaan hipotiroidisme yang cepat
menghilang. Kasus ini sering dijumpai. Misalnya
pascapengobatan RAI, pascatiroidektomi subtotalis. Pada
tahun pertama pasca operasi morbus Graves, 40% kasus
mengalami hipotiroidisme ringan dengan TSH naik sedikit.
Sesudah setahun banyak kasus pulih kembali, sehingga
j angan tergesa memberi substitusi. Pada neonatus di daerah
dengan defisiensi yodium keadaan ini banyak ditemukan,
dan mereka berisiko mengalami gangguan perkembangan
saraf.

PENGARUH OBAT FARMAKOLOGIS


Dosis OAT (Obat anti tiroid) berlebihan menyebabkan
hipotiroidisme. Dapat juga te{adi pada pemberian litium
karbonat pada pasien psikosis, terlebih kalau AM/ATantibodi pasien (+). Hati-hatilah menggunakan fenitoin dan
fenobarbital sebab meningkatkan metabolisme tiroksin di
hepar. Kelompok kolestiramin dan kolestipol dapat
mengikat hormon tiroid di usus. Defisiensi yodium berat

serta kelebihan yodium kronis menyebabkan


hipotiroidisme dan gondok, tetapi sebaliknya kelebihan
akut menyebabkan IIT (iodine induced thyrotoxcisos).
Penyebab lain: sitokin (IF-a, IL-2), aminoglutamid,
etioamida, sulfonamid, sigaret, lingual tiroid. Untuk ini
kasus dengan hepatitis virus C yang diobati dengan IF-c
perlu diperiksa status tiroidnya. (Tabet 2)

Bahan farmakologis yang menghambat sintesis


hormon tiroid yaitu tionamid (MTU, PTU, karbimazol),
perklorat, sulfonamid, yodida (obat batuk, amiodaron,

2002

METABOLIKENDOKRIN

normal. Pada wanita hamil (termasuk pengguna kontrasepsi


oral) karena perubahan pada TBCa memeriksa TSH, fT4
dan fT3 merupakan langkah tepat. Kadang fT4 wanita hamil
agak naik sehingga memeriksa fT3 masih relevan. Apabila

media kontras Ro, garam litium) dan yang meningkatkan

katabolisme/penghancuran hormon tiroid: fenitoin,


fenobarbital , yan9 menghambat jalur enterohepatik
hormon tiroid: kolestipol dan kolestiramin).

memungkinkan wanita hamil dengan hipotiroidisme


diperiksa juga antibodi (anti-Tg-Ab, anti-AM-Ab) Indeks
GEJALA SERTA TANDA TANDA HIPOTIROIDISME

diagnostik Billewicz, analog dengan indeks Wayne dan


New Castle pada hipertiroidisme, juga tersedia untuk

Gejala hipotirodisme dapat dibedakan menjadi 2 kelompok:

memisahkan antara eutiroidisme dan hipotiroidisme.

bersifat umumkarenakekurangan hormon tiroid


di jaringan 2). Spesifik, disebabkan karena penyakit
dasarnya. (Tabel 4 )
Keluhan utama yaitu kurang energi, manifestasinya
sebagai lesu, lamban bicara, mudah lupa, obstipasi.
Metabolisme rendah menyebabkan bradikardia, tak tahan

Interpretasi skor : bukan hipotiroidisme kalau skor I -30 ,


diagnostik apabila skor >25 dan meragukan apabila skor
antara - 29 dan + 24 dan dibutuhkan pemeriksaan
konfirmasi.

1). Yang

Pengobatan Hipotiroidisme

dingin, berat badan naik dan anoreksia. Psikologis: depresi,


meskipun nervositas dan agitasi dapat terjadi. Reproduksi:

Yang perlu diperhatikan ialah a). Dosis awal b). Cara

menaikkan dosis tiroksin. Tujuan pengobatan

oligomenorea, infertil, aterosklerosis meningkat. Semua

hipotiroidisme ialah: l). Meringankan keluhan dan gejala;

tanda di atas akan hilang dengan pengobatan. Ada


tambahan keluhan spesifik, terutama pada tipe sentral.

2). Menormalkan metabolisme; 3). Menormalkan TSH Oukan

mensupresi); 4). Membuat T, (dan To) normal; 5).

Pada tumor hipofisis mungkin ada gangguan visus, sakit


kepala, muntah. Sedangkan dai gagalnya fungsi hormon
tropiknya, misalnya karena ACTH kurang, dapat terjadi
kegagalan faal korteks adrenal dan sebagainya.

Menghindarkan komplikasi dan risiko. Beberapa prinsip


dapat digunakan dalam melaksanakan subsitusi : (a) Makin

berat hipotiroidisme, makin rendah dosis awal dan makin

landai peningkatan dosis, (b) Geriatri dengan angina


pektoris, CHF, gangguan irama, dosis harus hati hati.
Prinsip substitusi ialah mengganti kekurangan produksi

MENEGAKKAN DIAGNOSIS

hormon tiroid endogen pasien. Indikator kecukupan


optimal sel ialah kadar TSH normal. Dosis supresi tidak

Sebaiknya diagnosis ditegakkan selengkap mungkin :


diagnosis klinis-subklinis, primer-sentral, kalau mungkin
etiologinya. Karena sebagian besar etiologi hipotiroidisme
adalah HP, kemungkinan HP kecil apabila dijumpai TSH

Keluhan
Rasa capek
lntoleransi terhadap dingin
Kulit terasa kering
Lamban
Muka seperti bengkak
Rambut alis mata lateral rontok
Rambut rapuh
Bicara lamban
Berat meningkat
Mudah lupa
Dispnea
Suara serak
Otot lembek

dianjurkan, sebab ada risiko gangguan jantung dan


densitas mineral. Tersedia L-tiroksin (To), L-triodotironin

(T,), maupun puhus tiroid. Pulvus tak digunakan lagi

Rel %
99
92
88
88
88
81

76
74
68
68
64
64
61

60

DeDresi

Tanda klinik
Kulit kering
Gerak lamban
Edema wajah
Kulit dingin
Alis lateral rontok
Rambut rapuh
Fase relaksasi refleks achll/es menurun
Bicaranya lamban
Lidah tebal

Keluhan
Obstipasi
Edema ekstremitas
Kesemutan
Rambut rontok
Pendengaran kurang
Anoreksia
Nervositas
Kuku mudah patah
Nyeri otot
Menorrhagia
Nyeri sendi
Angina pectoris
Dysmenorrhoea
Eksoftalmos

Rel %
58
56
56
49
45
43
43
41

36
33
29
21

18
11

Rel %

Tanda klini*

Rel %

88
88
88

Suara serak
Kulit pucat
Otot lembek, kurang kuat
Obesitas
Edema perifer
Eksoftalmos
Bradikadikardia
Suhu rendah

64
63

82
81

76
76
7

61

59
56
11

?
2

2003

KELEMAR TIROID, HIPIOTIROIDISME DAN

Oveft
Mitd

Subclinical
Presubclinical

Gambaran

Serum

klinis

TSH

++
+++
0++

Thyroid
re:;eNe

++

Thyroid
antibodies

++

000

Serum

thyroxin

TsH
serum response
to

cniieslerot

+or0

++

+or0
+or0

+or0

++
+

0
0

+or0
0or+

Supranormal
Supranormal
Supranormal
Supranormal

ECG
++
+

+or0
+or0

Key : 0 = normal, ++ = definite abnormality, + = slight abnomalfty

karena efeknya sulit diramalkan. T, tidak digunakan sebagai

substitusi karena waktu paruhnya pendek hingga perlu


diberikan beberapa kali sehari. Obat oral terbaik ialah To.
Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa kombinasi pengobatan
To dengan T, (50 uB To diganti 12.5 ug T3) memperbaiki
mood dan faal neuropsikologis
Tiroksin dianjurkan diminum pagi hari dalam keadaan

perut kosong dan tidak bersama bahan lain yang


mengganggu serapan dari usus. contohnya pada penyakit
sindrom malabsorbsi, short bowel syndrome, sirosis, obat

(sukralfat, aluminium hidroksida, kolestiramin, formula

kedele, sulfas ferosus, kalsium karbonat. Dilantin,


rifampisin, fenobarbital dan tegretol meningkatkan ekskresi
empedu Dosis rerata substitusi L-T4 ialahll2uglhari atau
l.6ug,&gBB atau 100-125 mg sehari. UntukL-Tr 25-50ug.
Kadar TSH awal seringkali dapat digunakan patokan dosis

pengganti: TSH 20 uU/ml butuh 50-75 ug tiroksin sehari,


TSH 44 -7 5 uU/ml butuh I 00- I 50 ug. Sebagian besar kasus
butuhkan I 00-200 ug L-To sehari.

hipertiroidisme. Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis


kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi.
Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh
kelenjar tiroid yang hiperaktif. Apapun sebabnya
manifestasi kliniknya sama, karena efek ini disebabkan
ikatan T3 dengan reseptor T3-inti yang makin penuhRangsang oleh TSH atau TSH-/ike substances (TSI,
TSAb), autonomi instrinsik kelenjar menyebabkan tiroid
meningkat, terlihat dari radioactive neck-uptake naik.
Sebaliknya pada destruksi kelenjar misalnya karena radang,
inflamasi, radiasi, akan te{adi kerusakan sel hingga hormon
yang tersimpan dalam folikel keluar masuk dalam darah.
Dapat pula karena pasien mengkonsumsi hormon tiroid

berlebihan. Dalam hal ini justru radioactive neck-uptake


turun. Membedakan ini perlu, sebab umumnya peristiwa
ke dua ini, toksikosis tanpa hipertiroidisme, biasanya self-

limiting

disease.

Dalam setiap diagnosis penyakit tiroid dibutuhkan


deskripsi mengenai (sehingga diagnosis hendaknya
mampu menerangkan) kelainan faalnya (status tiroid),

Hipotiroidisme Subklinis (HSK)

gambaran anatominya (difus, uni/multinodul dan

Disebut demikian kalau TSH naik, kadar hormon tiroid


dalam batas normal. Umumnya gejala dan tanda tidak ada
atau minimal. Banyak ditemukan pada wanita usia lanjut.
Akibat jangka panjangnya yaitu hiperkolesterolemia dan
memrrunnya faal jantung. Masih ada kontroversi tentang
diobati atau tidak diobati kasus hipotiroidisme subklinis
ini. Pengalaman menunjukkan substitusi tiroksin pada
kasus dengan TSH > l0 mU/ml memperbaiki keluhan dan
kelainan objektifjantung. Dosis harus disesuaikan apabila
pasien hamil. Untuk mencegah krisis adrenal pada pasien
dengan insufisiensi adrenal, glukokortikoid harus
diberikan terlebih dahulu sebelum terapi tiroksin.
Pemberian substitusi tiroksin pada usia lanjut harus

sebagainya) dan etiologinya (autoimun, tumor, radang)

berhati hati, mulai dengan dosis kecil, misalnya25 mg sehari

dan ditingkatkan perlahan-lahan untuk menghindari


te{adinya fibrilasi maupun gagal jantung. Harus lebih hati

hati pada mereka dengan hipotiroidisme berat dan


larna

Penyebab Tirotoksikosis.
Penggolongan sebab tirotoksikosis dengan atan tanpa
hipertiroidisme amat penting, di samping pembagian
berdasarkan etiologi, primer maupun sekunder. Kira kira
70% tirotoksikosis karena penyakit Graves, sisanya karena
gondok multinoduler tg$sik dan adenoma toksik. Etiologi

lainnya baru dipikirkan setelah sebab tiga di atas


disingkirkan. (Tabel 6)

Penyebab Tirotoksikosis

Hipertiroidisme
Primer

Tirotoksikosistanpa

Hipertiroidisme
Sekunder

Penyakit Graves
Gondok multinodula
toksik
Adenoma toksik
Obat: yodium lebih,

Hormon tiroid berlebih


(Tirotoksikosis faKisia)
Tiroiditis subakut (viral
atau De Quervain
Silent thyroiditis
Destruksi kelenjar:
amiodaron,
l-131, radiasi,
adenoma, infark

TSH-secratng
tumorchGH

litium

TIROTOKSIKOSIS DAN HIPERTIROIDISME


Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan

Karsinoma tiroid
yang berfungsi
Struma ovarii
(ektopik)
Mutasi TSH-r, G""

Hipertiroidisme

secreting
tumor
Tirotoksikosis
gestasi
(trimester
pertama)
Resistensi
hormon tiroid

2044

METABOLIKENDOIRIN

Gejala dan tanda

Gejala dan tanda


Umum

Gastrointestinal

Muskular
Genitourinaria
Kulit

Psikis dan
saraf

Tak tahan hawa panas


hiperkinesis, capek, BB turun, tumbuh cepat,
toleransi obal, youthful I ne ss
Hiperdefekasi, lapar,
makan banyak, haus,
muntah, disfagia, splenomegali
Rasa lemah
Oligomenorea, amenorea. Libido turun,
lnfertil, ginekomasti
Rambut rontok, berkeringat, kulit basah, sl/ky
hair dan onikolisis

Jantung

Darah dan
limfatik
Skelet

Labil, iritabel, tremor, psikosis,


nervositas, paralisis periodik dispneu,
ipertensi,aritmia, palpitasi, gagal jantung
Limfositosis, anemia, splenomegali,
leher membesar

Osteoporosis, epifisis cepat menutup dan


nyeri tulang

Spesifik untuk penyakit Graves ditambah dengan:

Optalmopati

(507o) edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, visus menurun, ulkus kornea

Akropaki

(0.5 - 4%)
(1%)

Dermopati

Dari daftar di atas tirotoksikosis didominasi oleh


morbus Graves, struma multinoduler toksik (morbus
Plummer) dan adenoma toksik (morbus Goetsch). Sebab
lain amat jarang ditemukan dalam praktik dokter seharihari. Ciri Morbus Graves ialah hipertiroidisme, optalmopati
dan struma difus. Rokok temyata merupakan faktor risiko
Graves pada wanita tetapi tidak pada pria (DenganOR2%).

takiaritmia; d). Lebih jarang dijumpai takikardia (40o/o); e).


Eye signs tidak nyata atau tidak ada; f). Bukannya gelisah
justru apatis (memberi gambaran masked hyperthyroidis

m dan apathetic form).

PENGOBATAN
Prinsip pengobatan: tergantung dari etiologi tirotoksikosis,

Diagnosis Tirotoksikosis
Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh
kecurigaan klinis. Untuk ini telah dikenal indeks klinis

usia pasien, riwayat alamiah penyakit, tersedianya

Wayne dan New Castle yang didasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik teliti. Kemudian diteruskan dengan

pengobatan dsb. Perlu diskusi mendalam dengan pasien


tentang cara pengobatan yang dianjurkan. Pengobatan
tirotoksikosis dapat dikelompokan dalam a. Tirostatika b.
Tiroidektomi c. Yodium radioaktif.
Tirostatika. (OAT-obat anti tiroid). Terpenting adalah
kelompok derivat tioimidazol (CBZ, karb imaz o I 5 mg, MT Z,
metimazol atau tiamazol 5, I 0, 3 Omg) dan derivat tiourasil
(PTU propiltiourasil 50, l00mg) menghambat proses
organifikasi dan reaksi autoimun, tetapi PTU masih ada
efek tambahan yaitu menghambat konversi To d T, di perifer.

pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis


anatomis, status tiroid dan etiologi.

Untuk fungsi tiroid diperiksa kadar hormon beredar


(T- total) (dalam keadaan tertentu sebaiknya fT4

TT4, TT3
dan

fT3) dan TSH, ekskresi yodium urin, kadar tiroglobulin,

uji tangkap Ir3r, sintigrafi dan kadang dibutuhkan pula


FNA (fne needle aspiration biopsy), antibodi tiroid
(ATPO-Ab, ATg-Ab), TSI. Tidak semua diperlukan.
Untuk fase awal penentuan diagnosis, perlu To (Tr)
dan TSH, namun pada pemantauan cukup diperiksa To
saja, sebab sering TSH tetap tersupresi padahal keadaan
membaik. Hal ini karena supresi terlalu lama pada sel
tirotrop oleh hormon tiroid sehingga lamban pullh (lazy

pituitary). Untuk mbmeriksa mata disamping klinis


digunakan alat eksoftalmometer Herthl. Karena hormon
tiroid berpengaruh terhadap semua sel/organ maka tanda
kliniknya ditemukan pada semua organ kita.
Pada kelompokusia lanjut gejala dan tanda tanda tidak
sejelas pada usia muda, malahan dalam beberapa hal sangat
berbeda. Perbedaan ini antara lain dalam hal: a). Berat
badan menurun mencolok (usia muda 20% justru naik);
b). Nafsu makan menurun, mual, muntah dan sakit perut;
c). Fibrilasi atrium, payah jantung, blok jantung sering

merupakan gejala awal dari occult hyperthyroidism,

modalitas pengobatan, situasi pasien (misalnya: apakah

ia ingin punya anak dalam waktu singkat ?), risiko

CBZ dalam tubuh cepat diubah menjadi MTZ. Waktu


parvhMTZ 4-6 jam dan PTU l-2 jart. MTZ berada di folikel
+20 jam,PTU lebih pendek. Tirostatika dapat lewat sawar
plasenta dan air susu ibu. Dibanding MTZ, kadar PTU 10x
lebih rendah dalam air susu. Dengan propanolol dan
liamazol aktivasi endotel pulih menjadi normal, OAI juga
menghambat ekspresi HLA-DR di sel folikel sehingga
imunologis membaik (lihat penggunaannya dalam metoda
blok-suplemen di bawah ini). Pemakaian teratur dan lama
dosis besar tionamid berefek imunosupresif intratiroidal.
Dosis dimulai dengan 30 mgCMZ,3O mgMTZ atau 400
mg PTU sehari dalam dosis terbagi. Biasanya dalam 4-6

mihggu tercapai eutiroidisme. Kemudian dosis dititrasi


ssuai respons klinis. Lama pengobatan 1-1,5 tahun,
kemudian dihentikan untuk melihat apakah teri adi remisi.

(Tabel8).

2005

IGIINJAR TIROID, HIFOTIROIDISME, DAI{ HIPERTIROIDISME

Kelompok obat
Obat Anti Tiroid
Propiltiourasil (PTU)
Metimazol (MMl)
Karbimazol (CMZ) MMI)
Antagonis adrenergik-p

Efeknya
Menghambat sintesis hormon
tiroid dan berefek imu nosupresif
(PTU juga menghambat konversi

Pengobatan lini pertama pada


Graves. Obat jangka pendek
prabedah/pra-RAl

T4)T3

B-adrenergic-antagonis
Propranolol
Metoprolol
Atenolol
Nadolol

Mengurangi dampak hormon

tiroid pada jaringan

Obat tambahan , kadang sebagai


obat tunggal pada tiroiditis

Menghambat keluarnya T+dan Ta


Menghambat Ta and Ts serta
produksi Ta ekstratiroidal

Pesiapan tiroidektomi. Pada krisis


tiroid, Bukan untuk penggunaan
rutin

Menghambat transpor yodium,


sintesis dan keluarnya hormon
Memperbaiki efek hormon di
jaringan dan sifat imunologis

Bukan indikasi rutin


Pada subakut tiroiditis berat, dan
krisis tiroid

Bahan mengandung lodine


Kalium iodida
Solusi Lugol
Natrium lpodat
Asam lopanoat

Obat lainnya
Kalium perklorat
Litium karbonat
Glukokortikoids

Ada dua metoda yang dapat digunakan dalam

residif. Operasi yang tidak dipersiapkan dengan baik

penggunaan OAT ini. Pertama berdasarkan titrasi: mulai

membawa risiko terjadinya krisis tiroid dengan mortalitas


amat tinggi. Di Swedia dari 308 kazus operasi, 9l%o mengalami
tiroidektomi subtotal dan disisakan 2 gram jaingan, 9%o
tiroidektomi total, hipokalsemia berkepanjangan 3,lYo dart
hipoparatiroid pennanen I o%, serta mortalitas 0 %o.

dengan dosis besar dan kemudian berdasarkan klinis/


laboratoris dosis diturunkan sampai mencapai dosis

terendah

di

mana pasien masih dalam keadaan

eutiroidisme. Kedua disebut sebagai blok-substitusi, dalam


metoda ini pasien diberi dosis besar terus rnenerus dan
apabila mencapai keadaan hipotiroidisme, maka ditambah
homton tiroksin hingga menjadi eutiroidisme pulih kembali.
Rasional cara kedua ini yaitu bahwa dosis tinggi dan lama
memberi kemungkinan perbaikan proses imunologik yang
mendasari proses penyakit Graves.
Efek samping yang sering rash,urtikaria, demam dan
malaise, alergi, eksantem, nyeri otot dan artralgia, yang
jarang keluhan gastrointestinal, perubahan rasa dan kecap,
artritis dan yang paling ditakuti yaitu agranulositosis. Yang
terakhir ini kalau terjadi hampir selalu pada 3 bulan pertama

penggunaan obat. Yang amat jaran9 trombositopenia,

anemia aplastik, hepatitis, vaskulitis, hipoglikemiaa


(insulin autoimmune syndrome). Untuk evaluasi gunakan
gambaran klinis, dengan misalnya indeks Wayne atau
indeks New Castle (termasuk lingkar leher) dan kadang
kadang diperlukan pemeriksaan T 4lfT 4.

Tiroidektomi. Prinsip umum : operasi baru dike{akan kalau


keadaan pasien eutiroid, klinis maupun biokimiawi.
Plumerisasi diberikan 3 kali 5 tetes solusio lugol fortior 7- I 0
jam preoperatif, dengan maksud menginduksi involusi dan
mengurangi vaskularitas tiroid. Operasi dilakukan dengan
tiroidektomi subtotal dupleks mensisakan jaringan seujung
ibujari, atau lobektomi total termasuk ismus dan tiroidetomi
zubtotal lobus lain. Komplikasi masih teq'adi di tangan ahli
sekalipun, meskipun mortalitas rendah. Hipoparatiroidisme
.

dapat permanen atau sepintas. Setiap pasien pascaoperasi

perlu dipantau apakah te{adi remisi, hipotiroidisme atau

Yodium radioaktif (radio active iodium-RAl). Untuk


menghindari krisis tiroid lebih baikpasien disiapkan dengan

OAT menjadi eutiroid, meskipun pengobatan tidak


mempengaruhi hasil akhir pengobatan RAI. Dosis RAI
berbeda: ada yang bertahap untuk membuat eutiroid tanpa
hipotiroidisme, ada yang langsung dengan dosis besar
unhrk mencapai hipotiroidisme kemudian ditambah tiroksin

sebagai substitusi. Kekhawatiran bahwa radiasi


menyebabkan karsinoma, leukemia, tidak terbukti. Dan satusatunya konta indikasi ialah graviditas. Komplikasi ringan,

kadang terjadi tiroiditis sepintas. Di USA usia bukan


merupakan masalah lagi, malahan cut off-nya 17 -20 tahttn.
80o/o Graves diberi radioaktif,TIYo sebagai pilihan pertama
dan l0o/o karena gagal dengan aara lain. Mengenai efek

terhadap optalmopati dikatakan masih kontroversial.


Meskipun radioterapi berhasil tugas kita belum selesai,
sebab kita masih harus memantau efek jangka panjangnya
yaitu hipotiroidisme. Dalam observasi selama 3 tahunpascaRAI, tidak ditemukan perburukan optalmopati {berdasarkan

MR[, total muscle volumes (TMV)].


Namun disarankan sebaiknya jangan hamil selama 6
bulan pascaradiasi. Setiap kasus RAI perlu dipantau kapan
terjadinya hipotiroidisme (dengan TSH dan klinis).
Titik tangkap berbagai obat yang digunakan dalam
pengobatan hipertiro-idisme dapat dilihat dalam skema ini.
Jelas bahwa untuk menurunkan secara cepat, maka kran
pelepasan hormon perlu ditutup segera dengan yodium
dosis tinggi atau litium. Untung rugi dari masing masing
skor Hertlrel, OI,

2006

METABOLIKENDOIRIN

modus pengobatan dapat dilihat dalam Tabel. 9 dan titik


tangkap dari masing masing pengobatan ini ditunjukkan

Untuk memudahkan pemantauan maupun diagnosis


dibuat klasifikasi beberapa klas dengan singkatan NO

dalamGambarT.

SPECS, di mana:

Klas0
Klas I
Cara
Pengobatan

kemungkinan
remisi jangka
panjang tanpa
hipotiroidisme
cukup banyak
menjadi eutiroid

Tirostatika

(oAr)
Tiroidektomi

o relatif cepat
o relatifjarang

Yodium
radioaktif

(lt")

residif
sederhana
jarang residif
(tergantung
dosis)

TPO

l+l'

Kerugian

Keuntungan

LI

+T,+T,-|T!+T,

lt'll

Rantai pptida liroglobulin

Yodinasi
oksidatif

angka residif cukup


tinggi
pengobatan jangka
panjang dengan
kontrol yang sering
dibutuhkan
ketrampilan bedah
masih ada morbiditas
40% hipotiroid dalam
1

0 tahun

daya kerja obat


lambat
50% hipotiroid pasca
radiasi

"-_l
PTUp
pDpqnolol
Na-ypadst
Kodikostercid

r,

P4ghambat bta

Gambar 7. skema titik tangkap kerja obat-obat yang digunakan


pada pengelolaan hipertiroidisme

Oftalmopati Graves

Klas 2

N o physical signs or symptoms


O nly signs, no symptom (hanya stare, lidlag,
upper eyelid retraction)
oft lissue involvement (palpebra bengkak,
kemosis

Klas 3

etc) Wo

roptosis ( > 3mm dari batas atas normal)


3U/o

Klas 4

xtruocalar muscle involvement (sering dgn

diplopia) 60%
Klas 5
Klas 6

C orneul involvement 9/o


S ighl loss (karena sarafoptikus tetllbat)

34%o

Oftalmopati Graves disebut juga sebagai TAO


(thy r o i d a s s o c i a t e d op t h almo p athy), nilai propto si s
normal ialah 22 mm pada Kaukasus dan kulit hitam, 18 mm
untuk Asia. Oftalmopati ditemukan padaTToh Graves,2o/o

pada hipotiroidisme dan 20%o pada kasus eutiroidisme.


Pengobatan terhadap TAO hanya akan berhasil apabila
diberikan pada puncak aktivitas penyakitnya. Oftalmopati
dapat terjadi secara unilateral, namun hendaknyajuga di
pikirkan akan kemungkinan masa retroorbital.
Padawaktu ini dikenalpengobatanbagi yang OG berat.

Cara yang sudah diakui yaitu glukokortikoid (oral,


intravena, lokal), radioterapi supravoltase, operasi
rehabilitatif (dekompresi mata, operasi otot mata
ekstraokuler, operasi kelopak mata). Carayang masih dalam

tahap pengembangan: analog somatostatin (oktreotid,


lanreotid). imunoglobulin.
Dari berbagai studi 101 kasus OQ hanya l5Yo yang
memburuk dalam 5 tahun, sisanya membaik dengan
sendirinya. Dari 120 kasus, 74o/o tidak membutuhkan
pengobatan atau hanya obat ringan saja.
Prinsip umum OG: a). Keduanya mempunyai kesamaan

Dalam mengobati morbus Graves sering kita melupakan

dasar imunologik, namun bukanlah sebab-akibat b).

optalmopati Graves (OG) OG mengganggu kualitas hidup


pasien. Meskipun patogenesis sudah sedikit terungkap,
pengobatan belum memadai. OG ringan cukup diberi
pengobatan lokal (air mata artifisial dan salep, tetes mata
obat penghambat beta, kacamata hitam, prisma, mata waktu
malam ditutup dan hindari rokok). Pada OG yang lebih
berat (3-5%) dibutuhkan pengobatan agresif. Kalau OG
aktifmodus pengobatan ialah : glukokortikoid dosis besar,

Perbaikan status tiroid tidak menjamin perbaikan oftalrnopati;

radioterapi orbital atau dekompresj orbital. Apabila keadaan

c). Sering terlihat oftalmopati mendahului, bersama atau


mengikuti terjadinya gejala dan tanda klinis penyakit Graves;
d). Tidak semuakasus Graves disertai oftalmopati Graves.

KRISIS TIROID

Krisis tiroid adalah tirotoksikosis yang

amat

hipotiroidisme maupunhipertiroidisme mutlak perlu. Kalau


operasi dan OAI tidak berpengaruh pada perjalanan OG,
radioterapi pada perokok berpengaruh terhadap progresi

membahayakan, meskipun jarang terjadi. Hampir semua


kasus diawali oleh faktor pencetus. Tidak satu indikator
biokimiawipr.rn mampu meramalkan te{adinya krisis tiroid,
sehingga tindakan kita didasarkan pada kecurigaan atas
tanda-tanda krisis tiroid membakat, dengan kelainan yang

OG. Sesuai dengan model hipotesis yang menghubungkan

khas maupun yang tidak khas. Pada keadaan ini dijumpai

OG dengan otoimunitas dua organ ini, maka ablasi tiroid


dianggap berpengaruh baik.

mortalitas amat tinggi, kecurigaan krisis saja cukup menjadi

berat namun inaktif, dianjurkan dekompresi. Di luar


pengobatan optalmologis koreksi terhadap adanya

dekompensasi satu atau lebih sistem organ. Karena

2007

IGLENJAR TTROID, HIFOTIROIDISME, DAI{

dasar mengadakan tindakan agresif. Hingga kini


s i snya b elum jelas: fr e e -hormon meningkat,

yodida jenuh, 5 tetes setiap 6 jam). Apabila ada, berikan


endoyodin (NaI) IV, kalautidak solusio lugoVSSKItidak

pato gene

nallayafree-hormon mendadak, efek T3 pasca transkripsi,


meningkatnya kepekaan sel sasaran dan sebagainya.
Faktor risiko krisis tiroid: surgical cisis (persiapan operasi
yang kurang baik, belum eutiroid), medical crlsis (stres
apapun, fisik serta psikologik, infeksi dan sebagainya)
Kecurigaan akan te{adi krisis apabila terdapat triad l).
Menghebatnya tanda tirotoksikosis 2). kesadaran menurun
dan 3). Hipertermia. Apabila terdapat triad maka kita dapat
meneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis krisis
tiroiddari Burch-Wartosky. Skor menekankan 3 gejala pokok:

hipertermi4 takikardia dan disfi.rngsi susunan saraf.


I

Pada kasus toksikosis pilih angka tertinggi,>45 highly


suggestive,25-44 suggestive of impending storm,di bawah

kemungkinankecil.
Pengobatan harus segera diberikan, kalau mungkin
dirawat di bangsal dengan kontrol baik
. IJmum. Diberikan cairan unhrk rehidrasi dan koreksi
elektrolit (NaCl dan cairan lain) dan kalori (glukosa),
vitamin, oksigen, kalau perlu obat sedasi, kompres es.
. Mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat: a).
Memblok sintesis hormonbaru : PTU dosisbesar (load25

ing dose600-1000 mg) diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4

jam dengan dosis sehari total 1000-1500 mg); b).


Memblok keluamya cikal bakal hormon dengan solusio
lugol (10 tetes setiap 6-8 jam) atau SSKI (larutankalium

memadai; c). Menghambat konversi perifer dari T4 )


T3 dengan propranolol, ipodat, penghambat beta danl
atau kortikosteroid.
Pemberian hidrokortison dosis stres (100 mgtiap 8jam

atau deksametason 2 mg tiap 6 jam). Rasional


pemberiannya ialah karena defi siensi steroid relatif akibat
hipermetabolisme dan menghambat konversi perifer T4.

Untuk antipiretik digunakan asetaminofen jangan


aspirin (aspirin akan melepas ikatan protein-hormon
tir oid, hinggafr e e - h o rmo n meningkat).
Apabila dibutuhkan , propranolol dapat digunakan,

sebab di samping mengurangi takikardi juga menghambat

konversi To ) T, di perifer. Dosis 2040mg tiap 6 jam.


Mengobati faktorpencetus (misalnya infeksi). Respons
pasien (klinis dan membaiknya kesadaran) umunmya
terlihat dalan24 jam, meskipun ada yang berlanjut
hingga seminggu.

PE NYAKIT G RAVES PADA WAN ITA HAMI L


Secara klinis mendeteksi Graves pada wanita hamil tidak
selalu mudah, sebab banyak keluhan yang mirip dengan
hipediroidisme (keringat banyak, berdebar dan sebagainya).
Diagrosis biokimiawi ditegakkan dengan memeriksa hormon

Kriteria diagnostik untuk Krisis Tiroid


Disfungsi pengaturan panas

Suhu

99- 99.0
100-100 9
101-101 9

10
15
20
25
30

102-',t02.9
1

Disfungsi
Kardiovaskular
Takikardi 99 - 109

03-1 03.9

>'104.0

Efek pada susunan saraf pusat


Tidak ada
Ringan (agitasi)
Sedang (delirium,psikosis,letargi berat)
Berat (koma,kejang)

110-119
't20 - 129
130 - 139

>140
Gagal jantung
Tidak ada
Ringan (edema kaki)
Sedang (ronki basal)
Berat (edema paru)
Fibrilasi atrium
Tidak ada
Ada
Riwayat pencetus
Negatif
Positif

10
20
30

Disfungsi gastrointestinal-hepar
Tidak ada
Ringan (diare, nausea/muntah/nyeri perut)
Berat (ikterus tanpa sebab yang jelas)

0
10

20

5
10
15

20
25
0
5
10
15
0
10

0
10

Pada kasus toksikosis pilih angka tertinggi, > 45 highly suggestive,25-44 suggesflve of impending
sform, di bawah 25 kemungkinan kecil.

Hipotiroidisme Subklinis
Prevalensi

Riwayat
alamiah

wanita > pria (2-3x)


usia lanjut > muda
TSH pulih dalam 5%
Hipoitiroidisme pd 5% kasus per tahun (risiko:
wanita dengan Ab)
25-30% membaik dengan T4

Pengelolaan

60/0

Hipertiroidisme Subklinis

1o/o

wanita > pria ( 1,5 x)


usia lanjut > muda
TSH pulih normal pada t 55%
Hipertiroidisme dalam t 100/o (struma noduler
berisiko)
Terapi dengan
nodosa

1131

pada AF atau pada struma

2008

MEIABOIJIKENDOIRIN

AIT tipe

Ada penyakit tiroid


sebelumnya
Struma

RAluptake
tL-6

Patogenesis

Terapi

AIT tipe ll

Ada

Tidak ada

Sering, difus
atau noduler
Normal atau
tinggi
Agak naik
Sintesis hormon
tiroid karena
yod berlebihan
Kalium perklorat,
MMZ

Jarang
Struma kecil dan
difus
Rendah - tertekan
Banyak hormon
sebab Tiroiditis
destruktif
Prednison

tioid bebas (fl odan TSI{), bukan hormon total. Sehubungan


dengan pengelolaan pada wanita hamil perlu diingat hal
sbb: l). Pengobatan radioaktif adalah kontraindikasi 2). kalau
diperlukan operasi dapat dilalcukan pada trimester kedua, 3.
OAT dapat diberikan dengan dosis minimal yang masih
efektif (meski semua'OAl sama efektifnya, PTU lebih
dianjurkan). Karena aksis tiroid-hipofrsis baru mulai
berfungsi setelah 12 minggu gestasi, maka penggunaan
OAT penuh di trimesterpertamamasih aman.

Dianjurkan untuk memberi dosis OAT sedemikian


hingga kadar tiroksin ibu berada dalam tingkat normal
tinggi atau mildly thyroloxic range. Jangan gunakan
metoda blok-suplemen pada wanita hamil.

Hipertiroidisme Subklinis (HSK)


HSK ialahkeadaan dimana kadar TSH rendah danhormon
tiroid bebas normal, 'tanpa' atau sedikit disertai tanda atau
gejala tirotoksikosis. Penyebabnya: endogen (struma MN,
nodul otonom, morbus Graves, tiroiditis postpartum) atau
eksogen (kelebihan tiroksin). Dalam kurun waktu tertentu
55% TSH rendah akan naik,3lYomenelap.
Kira kira l0% HSK berubah menjadi klinis. Wanita
> 60thdenganTSH<0.1 mU/nrlber- RR3.kmengalami fibrilasi
atrium dalam 10 tahun. Keluhan hipeniroidisme memang
kwang k4ras (BMD menurun, nadi lebih cepat, kadang AF,
kontraksi jantung meningkat, biokimiawi : LDL menurun,
osteokalsin moringkat CPKmeningka! erzim hati meningkat).
Meskipun studi pengobatan secara sistematis belum banyak,
namun banyak kasus dengan AF dan HSK membaik dengan
Ir3r atau karbimazol. Hingga sekarang memang belum ada
konsensus tentang pemberian obat pada HSK ini. Perlu
diperhatikan bahwa keadaan serupa (fT4 dan fT3 normal
sedang TSH rendah) dapat terlihat akibat pengobatan atau
resolusi spontan ov ert t hyro t ox i c o s is, karena supresi TSH
yang persisten, dikenal sebagai lazy pituitary.

Amiodarone I ndu ced Thyrotoxicosrb (AlT)


Karena sekarang banyak digunakan amiodaron dalam
pengobatan gangguan kardiovaskular, maka di bawah ini
disajikan keluhan, gejala serta pengelolaan Amiodarone
Induced Toxicosis (AIT). Gambaran klinik AIT ada dua

macam, AIT tipe I danAIT tipe II, yang dibedakan karena


sebelumnya ada atau tidak ada kelainan dasar tiroid.
Penggunaan 1 tablet amiodaron 200mg mengekskresikan
I 50.000 ug/y odium/24 jam atau 100x kebutuhan manusia.
Efek pada tiroid disebabkan karena amiodaron sendiri dan

metabolitnya (desethyylamiodaron) yang jauh lebih kuat,


mampu mengakibatkan tiroiditis destruktif.

REFERENSI
Bartalena L, Pinchera A, Marcocci C. Management of Graves'
Opthalmopathy: reality and perspectives. Endocrine Reviews,
2000:21:168-199.
Billewicz WZ, Chapman RS, Crooks J, Day ME, Cossage J, Sir
Edward Wayne and JA Young. Statistical methods applied to the
diagnosis of hypothyroidism. Quarterly J Med 1969; 150 : 255.
Braverman LE, Roti E. Iodine excess and thyroid function. In: 'The
Thyroid and Iodine'. Eds. J Naumann, D Glinoer, LE Braverman,

U Hostalek. Merck European Thyroid Sympsoium, Warsaw


1996. Schattauer, Stuttgartd new York, 1996
Burggraaf J, Lalezari S, Emeis JJ et al. Endothelial function in pa-

tients with hyperthyroidism before and after treatment with


propanolol and thiamazol. THYROID 2001;11 : 153.
Djokomoeljanto R, Davis JRF. Endocrine diseases. In: Drug benefits
and riks. International Textbook of Clinical Pharmacology.
Eds: CJ van Boxtel, Budiono Santosa and IR Edwards. Chichester
Toronto: John Wiley and ons, Ltd; 2001.p 659.
Dunn JT, Dunn AD. Thyroid physiology. In: Comprehensive Clinical Endocrinology. 3d edition. Editors: GM Besser, MO Thomer.
Section 2 Chapter 10. Mosby 2002
Greenspan FS. The Thyroid Gland. In. Basic & Clinical Endocrinology. 7b edition. Editors FS Greenpan, DG Gardner, Lange Medical Books? New York-Toronto: mcGraw-Hill Medical Publishing Division;2004

Vitti B Chiovato L, Tonacchera M, Giachetti M. Stategy


in the evaluation of the hypothyroidism and thyrotoxicosis in

Pinchera A,

pregnant women. In: The Thyroid and pregnancy. Eds: Beckers


C, Reinein D. Int'l Merck Symposium in Brussels, 1991.

Schattauer. 1991. p. 95.


Ross DS. Subclinical thyrotoxicosis. In: Werner & Ingbar's The
Thyroid. A fundamental and clinical text. 8th ed. LE Braverman
and RD tiger. philadelphia, Tokyo: Lippincott Williams Wilkins.
A Woler Kluwer Co; 2000.p 1007
Stevenson JC, Chalal P. Aids to Endocrinology. Edinburg London
Melboume New York, Chur-chill Livingstone, 1986.
Weetman AP. Chronic autoimmune thyroiditis . In: In: Werner &
Ingbar's The Thyroid. A fundamental and clinical text. 8th ed.
LE Braverman and RD Utiger. Philadelphia, Tokyo: Lippincott
Williams Wilkins. A Woler Kluwer Co; 2000. p.721.
Werner & Ingbar's The THYROID, a fundamentral and clinical

text. 9th edition. In: L.E.Braverman, R. D Unger, editors.


Lippincott Williams & Wilkins; 2005.
Wiersinga WM, Krenning EP. Thyreotoxicosis. In
Schildklierziekten. 2e druk. Bohn Stafleu Van Loghum. HouterV
Diegem 1998 (a) , pagina 95
Wiersinga WM, Krening EP. Schildklierziektan. Tweede druk. Bohn
Stafleu Van Loghum, Houten / Diegem 1998.
Zantut-Wittman DE, Tambascia MA, da Silva Trevisan MA et al.
Antithyroid drugs inhibit in vivo HLA-DR expression in thyroid follicular cells in Graves' disease. THYROID l1: 575, 2001.

3t2
GANGGUAN AKIBAT KURANG IODIUM
R. Djokomoeljanto

PENDAHULUAN
Sampai tahun 1960-an defisiensi yodium (DY) selalu
dihubungkan dengan gondok, sehingga muncullah kata
gondok endemik. Memang benar bahwa etiologi terpenting

dari gondok endemik ialah defisiensi yodium. Adapun

laut. Hal ini terlihat jelas bahwa banyak daerah gondok


endemik terjadi pada daerah berkapur dan daerah yang
banyak mengalami erosi. Sumber yodium antara lain: a).
air tanah, tergantung sumber air berasal dari batuan
tertentu (kadar paling tinggi apabila air ini bersumber dari
igneous rock,900 uglkg bahan); b). air laut mengandung
sedikit yodium, sehingga kandungan yodium garam
rendah; c). plankton, ganggang laut dan organisme laut

keadaan lain yang sering dihubungkan dengan gondok


endemik ialah: faktor goitrogen, kelebihan unsur yodium,
faktornutrisi, faktor 'trace element' lain dan faktor genetik.
Namun kemudian terungkap bahwa bagi manusia dampak

mengkonsentrasikan yodium dari lingkungan sekitarnya;

defisiensi yodium terbesar adalah adanya gangguan

d). sumber bahan organik yang berada dalarn oksidan,

perkembangan susunan saraf pusat termasuk intelegensi.

desinfektan, yodofor (iodophor), zatwama makanan dan


kosmetik, dan vitamin yang beredar di pasaran menambah
yodium juga; e). ikan laut, cumi-cumi yang dikeringkan
mengandung banyak yodium.
Sejak masa geologik tertentu, unsur yang langka ini
telah dikikis dari lahannya dan terbawa ke laut. Unsur ini
dibawa oleh angin dan hujan ke daratan kembali melewati
siklus laut udara daratan. Pada umumnya air minum

DY dengan mengganggu perkembangan otak manusia


telah menyebabkan berjutajuta orang menjadi kurang maju.

WHO menyebutkan bahwa secara global ...iodine


deficiency is the single most important preventable cause
of brain damage...Dai berbagai deklarasi intemasional
dimana Indonesia juga ikut menandatangani, muncullah
semboyan sebagai berikut:

Every child has the right to an adequate supply

of

iodine to ensure his (or her) normal developments.... ......


......fo, the unborn child...
Every mother has the right to an adequate iodine nutrition to ensure her unborn child experiences normal mental development ............

lain berkadar yodium tinggi sebab organisme ini

merupakan sumber yodium yang sangat terbatas.


Kebanyakan unsur yodium didapat lewat makanan.
Tumbuhan memperolehyodium dari lahan di mana tanaman
tumbuh, sehingga makin tinggi kadar yodium lahan, makin
tinggi pula kadar yodium tanaman yang tumbuh disitu.

Kekurangan yodium berakibat jelek, tidak hanya untuk


manusia tetapi juga untuk hewan.

Declarations from 1989, 1990, 1991, 1992

FAKTOR DEFISIENSI YODIUM


YODIUM DIALAM
Yodium termasuk unsur kelumit (trace elementy'. Meskipun

kadar yodiurn dalam air laut dan udara sedikit, tetapi


merupakan sumber utama yodium alam. Karena yodium
larut dalam air, maka erosi karena sebab apapun akan
mengikisnya dari permukaan tanah dan membawanya ke

Defisiensi yodium merupakan sebab utama terjadinya


gondok endemik di mana-mana. Gondok adalah cara
adaptasi manusia terhadap kekurangan unsur yodium
dalam makanan dan minumannya. Yodium organik ditimbuu

dalam kelenjar tiroid atau diekskresikan lewat urin,


Mengingat bahwa dalam keadaan seimbang, kecepatan

2010

MEXABOLIKENI'OI(RIN

clearance yodiumkonstan dan ekskresi bergantung pada


kadar yodium plasma (dan ini bergantung pada resopsi di
usus) maka secara praktis jumlah yang keluar dalam urin
sepadan dengan yang masuk tubuh lewat resorpsi usus.
Klinis terbukti juga bahwa ada korelasi negatif antara
ambilan yodium radioaktif dengan ekskresi yodiumurin di
berbagai daerah endemik.
Belum ada kesepakatan akan kebutuhan tubuh atas
yodium. Dengan dasarperhitungan Pl I (plasma inorganic
iodide) kebutuhan sehari diduga antara 100 200 mg I untuk
dewasa dan 200 ug I untuk usia akil baliq. Sebaliknya dari
studi epidemiologis membuktikan bahwa 100 mg sudah
dianggap cukup untuk menanggulangi gondok masyarakat
dengan segala akibatnya. Korelasi negatif terlihat antara
prevalensi gondok dengan masukan yodium serta ekskresi

apabila setelah yodium secara adekuat diberikan tetapi tak

terlihat penurunan prevalensi gondok seperti yang


diharapkan. Bagaimanapun juga, seperti di Zafte dan
Columbia, defisiensi yodium tetap merupakan faktor pokok
dan permissive terhadap timbulnya gondok dan bukan
faktor tiosianat.
Meskipun sayur kol bersifat goitrogen pada binatang,
pada manusia hanya akan bersifat membesarkan gondok
apabila orang tersebut makan dalam jumlah yang amat
besar (sampai 10 kg kol sehari). Terhadap kenyataan di
atas, dapat disimpulkan bahwa makanan atau zaI yang

pada binatang berpotensi bersifat goitrogen, belum


konklusif sebagai penyebab gondok pada manusia.
Periksalah Tabel l dan Gambar 1.

yodium urin, lagipula pemberian yodium menurunkan


prevalensi gondok endemik secara drastis. Kadang kadang
kelainan ini ditemukan di tempat di mana nilai ekskresi
yodium urin44lmg sehari seperti di Sri Langka, namun

juga di Hokkaido di mana yodium amat lebih tinggi.


Sedangkan di lianJaya, di Lembah Mulia, dengan ekskresi

Mekanisme
yang

Kelompok

goitrogen

dipengaruhi
Transportasi
yodium

Tiosianat
cyanogentc
Glycosides

Oksidasi,
organifikasi

Tioglikosid,
isotiosianat,
disulfid dan
water borne
goitrogens

Proteolisis,
penglepasan
hormon dan
dehalogenasi

Yodida
(ganggang laut

yodium urin 13,6 ug sehari, PBI normal, tak ditemukan


gondok maupun kretin endemik.

WHO, Unicef dan ICCIDD menganjurkan kebutuhan


yodium sehari sebagai berikut:

.
.
.
.

90 mg untuk anakprasekolah (0 - 59 bulan)


120 mg unhrk anak sekolah dasar (6 12 tahun)
150 mg untuk dewasa (di atas 12 tahun ) dan;
200 mg untuk wanita hamil dan wanita menyusui

Masukan yodium diperiksa dengan cara langsung


maupnn tidak langsung. Pemeriksaan langsung dengafl aara

menganalisis makanan duplikat yang terdapat dalam


makanan seseorang. Sedang untuk pemeriksaan tidak
langsung dipakai berbagai cara i a\tata lain dengan
memeriksa kadar yodium dalam urin, dan dengan studi
kinetik yodium. Hasil observasi di atas jelas menunjukkan
bahwa defisiensi yodium memang merupakan penyebab
utama endemi ini, namunpada beberapakeadaan defisiensi
yodium merupakan faktor yang mempermudah (per-missive

Tiosianat
(Glikosid
Sianogenik)

factor) bagi terjadinya gondok.


Transpor
Yodida

dan

sebagainya)

Tioglikosid
'Goitrin'

lsotiosianat
Disulfid
'Water - borne'
Goitrogen
Oksidasi
Organiflkasi

dan'Coupling'

Keterangan
Dampak kelompok ini
dapat dicegah dengan
pemberian yodium
cukup. Banyak
terdapat di alam:
crucifera, cassava,
rebung, ubi jalar,lima
beans
Efeknya tak dapat
dihambat
Hanya dengan yodium
saja Contoh:
brambang, bawang,
Brassica, yellow
turnips
Yodium lebih dari 2
gram sehari akan
menghambat sintesis
dan penglepasan
hormon

Yodida
(Rumput Laut)
'Coast Goiter'

Proteolisis
pelepasan dan
Dehaloqenasi

FAKTORGOITROGEN
Goitrogen adalah zatlbahan yang dapat mengganggu
hormonogenesis tiroid sehingga akibatnya tiroid dapat
membesar. Sebagianbesar efek goihogen dibuktikan secara

pasti pada binatang percobaan, tetapi pada manusia


perannya kecil. Secara epidemiologis hanyaada dua daerch
endemis di mana goitrogen penting. Pertama di pulau Idjwi,
Zair e, karena cyano genic gluco s ide (liosianat) berasal dari

ketela; dan di Candelaria, Columbia, karena sulphurated


hydrocarbon dalam air minum yang bersumber dari karang
sedimen tertentu. Peran klinis goitrogen baru dipikirkan,

Gambar 1. beberapa goitrogen dan letak titik tangkapnya dalam


proses hormonogenesis

20tt

GAT{GGUAT{AXIB'TT KI,'RANG IODIUM

Dengan demikian kepentingan klinisnya tidak saja


didasarkan atas akibat desakan mekanis yang ditimbulkan
oleh gondok, tetapi justru gangguan fungsi lainyang dapat
dan sering menyertainya seperti gangguan perkembangan

YODTUM BERLEBTHAN (rODrDE EXCESS)

Yodium disebut berlebih apabila masukan melebihi jumlah


yang diperlukan untuk sintesis hormon secara fisiologis.
Syarat mutlak terjadinya iodide excess ialah masukan
yodium dosis besar dan terus menerus, seperti halnya yang
terjadi di Hok-kaido, Jepang. Mereka sangat suka akan
ganggang laut yang kaya yodium (mengandung I 4,5 g
yodium/kg bahan kering). Dengan dosis besar yodium
terjadi inhibisi hormono-genesis khusus yodinisasi tironin
dan proses coupling nya. Pada pemberian secara kronik,
dapat terjadi escape atau adaptasi terhadap hambatan
tersebut.(vide Wolff-Chaifoff effect) Bila tidak mampu
melaksanakan escape terhadap hambatani, maka ia akan

mengalami inhibisi hormoge-nesis dan terjadilah


hipotiroidisme. TSH meninggi dan muncul gondok.

mental dan rendahnya IQ, hipotiroidisme dan kretin


endemik.

Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) atat lodine


Deficiency Disorders (IDD) adalah satu spektrum

gangguan yang luas sebagai akibat defrsiensi yodium


dalam makananyang berakibat atas menurunnya kapasitas

intelektual dan fisik pada mereka yang kurang yodium ;


serta dapat bermanifestasi sebagai gondok, retardasi
mental, defek mental serta fi sik dan kretin endemik. Semua
gangguan pada populasi tersebut akan tercegah dengan
masukan yodium cukup pada penduduknya.

Epidemiologi GAKI

KONSEPGAKI

Telah banyak diterbitkan buku dan publi-kasi yang

Gondok endemik hingga kini masih merupakan masalah


kesehatan masyarakat yang penting, di Indonesia maupun
di negara berkernbang. Akhir ini masalah mulai mencuat
kembali di Eropa. Seperti disebutkan di atas kalau dahulu

kita selalu ter-pancang pada gondok endemik

saja,

sekarang kita lebih memfokuskanpada masalah gangguan

yang lebih luas yang digabung dalam GAKI atau IDD


(GangguanAkibat Kekurangan lodium, Iodine Deficiency
Disorders), di mana akibat defisiensi yodium merupakan
satu spektrum luas dan mengenai semua segmen usia, dari
fetus hingga dewasa. Dengan demikian jelaslah bahwa
gondok tidak identik dengan GAKI. Dari tabel terlihat
gondok hanya merupakan sebagian kecil saja dari spektrum

GAKI(Tabel2).

melaporkan prevalensi serta penye-baran gondok endemik


di dunia. Terakhir dila-porkan dalam MDIS Working Paper, 1993. Gondok memang sering ditemukan di daerah

pegunungan seperti pegunungan Alpen, Hima-laya,


Andes, Bukit Barisan dan sebagainya. Meskipun demikian
terlihatjuga di dataran ren-dah seperti Finlandia, Belanda
dan malahan di tepi pantai seperti di Junani, Jepang, pantai
Ke-bumen di Jawa Tengah dan kepulauan Maluku.

Survei Epidemiologis Gondok Endemik


Survei epidemiologis untuk gondok en-demik biasanya
didasarkan atas besamya kelenjar tiroid , dilakukan dengan

metoda palpasi, menurut klasifikasi Perez atau


modifikasinya (1960):

(A)

Neonatus

Abortus
Lahir mati (stillbirth)
Anomali kongenital
Meningkatnya kematian perinatal (PMR)
Meningkatnya kematian anak (lMR)
Kretin endemik tipe neurologik
Retardasi mental
Bisu tuli
Diplegia spastik
Mata juling
Kretin miksudematosa
Cebol
Defisit mental
Hipotiroidisme
Defek psikomotor
Gondok neonatal
Hipotiroidisme neonatal
Gondok

Anak dan

Hipotiroidisme juvenil

remaja

Retardasi mental
Gangguan perkembangan fisik
lodine induced hyperthyroidism (llT)
Gondok dengan segala akibatnya
Hipotiroidisme
Gangguan fungsi mental
Kepekaan thd radiasi nuklir meningkat

Grade0 : tidakteraba

GradeI : teraba dan terlihat hanya dengan kepala


ditengadahkan

Grade
Grade

II : mudah dilihat, kepala posisi biasa


III: terlihat darijarak tertentu

(B)
Karena perubahan awal gondok perlu diwaspadai maka
grading system, khususnya grade I dibagi lagi dalam 2
klas : Grade Ia dan Grade Ib, didefiniskan sebagai berikut:
. Grade la : tidakteraba ataujikaterabatidak lebihbesar
dari kelenjar tiroid normal.
. Grade lb : jelas teraba dan membesar, tetapi umumnya
tidak terlihat meskipun kepala posisi tengadah. Ukuran
tiroid disebut normal apabila sama atau lebih besar dari
falangs akhir ibujari tangan pasien

(c)
Akhir ini kriteria palpasi disederhanakan untuk mencegah
kesulitan membedakan grade Ia dan Grade Ib di atas
dengan modifikasi sebagai berikut (2001)
Grade O ; tidak terlihat maupun teraba gondok

2012

Grade

METABOLIKENDOI(RIN

Oleh sebab itu dianjurkan mulai dengan survei anak


sekolah dahulu dan jika angka melebihi l0% maka dapat
diteruskan dengan survei pada masyarakat seluruhnya.
Penulis sendiri menganjurkan untuk mulai melakukan studi
masyarakat apabila angka ini sama atau lebih dari 30%
(termasuk grade 1 nya).
Di samping untuk menilai berat ringannya dehsiensi
yodium, survei epidemiologis digunakan untuk mengikuti
dampak pengobatan dan profilaksis. Di th 1974 k;rrteria

: Gondok teraba tetapi tidak terlihat apabila

leher dalam posisi normal (tiroid tak terlihat membesar).

Meskipuntidakmembesaradanyanodulmesl<tpwtlidak
membesar dimasukkan dalam grade ini.
Grade 2 : Pembengkakan di leher yangjelas terlihat
pada leher dalam posisi normal dan pada palpasi
memang m e mb es ar (kelenlar tiroid dianggap membesar

apabila besar setiap lobus lateral lebih dari


volume falangs terminal ibujari pasienyang diperiksa.

WHO untuk satu daerah sebagai endemi yaitu

(D)

ditemukannya 5% gondok atau lebih pada penduduk usia


remaja atau lebih muda, berderajat Ib atau apabila > 30yo
populasi dengan gondok Ia atau >. Gondok dapat terjadi
secara fisiologis pada wanita meskipun yodium cukup.
Gondok dapat terjadipada4 5% penduduk normal. Untuk
mudahnya endemi perlu mendapat perhatian apabila TGR
(total goiter rate) > 5o/o dan perlu mendapat pencegahan
apabila >lUyo. Batas ini dipilih berdasarkan kenyataan
bahwa prevalensi yang > 1006temyata disebabkan akibat
pengaruh faktor lingkungan, sedang di bawah l0o/o ini
dapat terladi meskipun tampaknya "semua" faktor telah
disingkirkan. Namun akhir akhir ini para ahli sepakat untuk
tetap menggunakan nilai 5%o sebagai batas, sebab banyak
ditemukan kelainan metabolik (T4 yang rendah serta
kenaikan TSH pada penduduk ketika prevalensi gondoknya
ditemukan antaru 5 l0o/").
Dalam memilih segmen penduduk yang dipantau secara
epidemiologis perlu dipikirkan faktor kerawanan vulnerability regmen (sejauh mana mudah terkena gangguan,
dan respons biokimiawi mauprin klinis yang terlihat akibat
kekurangan maupun intervensi), terwakiliny a repres ent ativeness penduduk secara menyeluruh, dan mudahnya
diperoleh dalanya accessibility. Untuk ini yang diajurkan
adalah segmen anak sekolah dan wanita hamil atau
menyusui yatg ada di KIA atau puskesmas.

Untuk masa depan besamya tiroid dianjurkan diperiksa


dengan ultrasonografi, sebab cara ini mudah, peka, reliabel,

objektif dibanding palpasi. Nilai normatif volum tiroid


berbeda dari satu populasi ke populasi lain. Di Indonesia,
berdasarkan pemeriksaan 1447 anak sekolah usia 6-12
tahun dari propinsi Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DIY dan Bali telah dibuat nilai normatif volume
tiroid sebagai berikut (bandingkan nilai Eropa) Tabel 3.

Usia
(tahun)
6
7
8

10
11

12

Eropa

5.4
5.7
6.1
6.8
7.8
9.0
10.4

Djokomoeljant et al. 2001

lndonesia

5.0
5.9
6.9
8.0
9.2
10.4
11.7
.

4.0

2.4
3.9
4.6
5.9
6.8
7.8

4.1
6.1

67
7.5
8.0
9.9

8.1

Angka berdasar 97 persentil

Dalam survei epidemiologi dapat digunakan dua teknik


deteksi a. memeriksa seluruh penduduk atau b. memeriksa
satu kelompok terbatas (anak sekolah calon perwira, calon
pegawai negeri, dan sebagainya). Dengan memakai cara
pertama diperoleh angkapasti, menemukan gondok dengan
berbagai variasi besar, menemukan kasus kretin endemik
yang biasanya tak diperoleh pada survei terbatas, tetapi
cara mengorganisasinya lebih sulit, butuh waktu, tenaga
dan dana banyak. Dengan memakai cara kedua, cepat
diperoleh kesan pada populasi tertentu, tetapi jelas akan

Berat ringannya endemi di samping dapat dinilai


dengan prevalensi, dapat juga dengan memeriksa ekskresi
yodium urin (EYU). Dalam keadaan seimbang yodium yang

masuk tubuh dianggap sama dengan yang diekskresikan

lewat urin. Jadi pemeriksaan urin

sulit menjumpai komplikasi yang sering menyertai

sampel win 24 jam di lapangan), dinyatakan dalam


mikrogram yodiumper gram kreatininurin sewaktu (ug Vg
kreatinin urin) atau ug l/dl urin.

defisiensi yodium berat, yaitu kretin endemik dan berbagai

kelainan lainnya. Juga gondok yang besar tidak akan


dijumpai pada anak sekolah.

Tanpa
Endemi

lndikator
Prevalensi
Kretin dan

median
l/grcreat

UEI pg l/dl
pg

gondok

hipotiroidi

(N.B.UEl

0- 4.9 o/o
Tidak ada

> 10
> 100

5pgl/dl =s0 Fsl/L)

Endemi

flngan

5-19,9

7o

Tidak ada
5.0

- 9.9

>50

dianggap

menggambarkan masukan yodium. Data y ang dimaksud


dinyatakan sebagai jumlah mikrogram ekskresi yodium
sehari (ug I124 jamwin) atau (karena sulit mendapatkan

Endemi sedang

Endemi
berat

o/o

> 30o/o
20 - 29,9
Kretin tidak terlihat jelas, namun 1 - 10%
risiko hipotiroidisme ada

2 0-4.9

25-50

<2

<25

2013

GANGGUAIiIAISBA|T KI.'RANG IODIUM

I (endemi ringan) : Endemi dengan nilai


median ekskresi yodium urin lebih dari 50 ug Vg kreatinin,
atau median urin antara 5,0-9,9 ug/dl. Dalam keadaan ini
kebuhrhan hormon tiroid untukpertumbuhan fisis maupun
mental terpenuhi, Prevalensi gondok anak sekolah 5-20%.
Endemi grade

.
.

dibawah ini :
- gejala neurologis yang mencolok yang terdiri atas
gangguan pendengaran (bilateral dan nada tinggi)

II (endemi sedang) : Endemi di mananilai


median ekskresi yodium urin antara25 50 ug Vg kreatinin,
atau median anIara2,O 4,9 ugldl. Hormon tiroid mungkin
Endemi grade

dan wicara, gangguan cara berjalan (gait) dan sikap


badan.waktu berdiri yang khas atau

tidak mencukupi. Ada risiko terjadi hipotiroidisme tetapi

- gejala yalg mencolok adalah gangguan

tidak terlihat kretin endemik yang jelas. Prevalensi gondok


anak sekolah sampai 30olo,

Endemi grade

III (endemi berat)

endemik dapat mencap ai I I Uoh.

Status nutrisi yodium (berdasarkan UEI anak usia


sekolah) memberikan indikasi untuk berbagai kelainan dan
diharapkan mampu memberi ramalan, serta interpretasinya

(Tabel5)

Median
UEI pg/L

<20
- 49
50 - 99
100 199
200 -

20

Masukan
Yodium
Tak mencukupi
Tak mencukupi
Tak mencukupi
Cukup
Lebih dari cukup

299

>

300

Berlebihan

pertumbuhan (cebol) dan hipotiroidisme. Meskipun


di beberapa endemi tipe satu atau tipe dua lebih

Endemi dengan nilai

median ekslaesi yodium urin kurang dari 25 ug 1/g kreatinin,


atau median <2 mgldl. Terjadi risiko sangat tinggi untulk
lahimya kretin endemik dengan segala akibabtya. Prevalensi
gondok anak sekolah lebih dari 30o/o, prevalensi kretin

Status Nutrisi Yodium


Defisiensi yodium berat
Defisiensi yodium sedang
Defisiensi yodium ringan
Optimal
Ada risiko iodine-induced
hyperthyroidism (llH) dalam
kurun waktu 5-10 th
sesudah pemberian garam
beryodium pada kelompok
yang rawan.
Ada risiko kesehatan yang
tidak menguntungkan (llH,
autoimmune thyroid
diseases)

Meskipun semua keadaan di atas perlu ditangani, tetapi

Segi epidemiologis. Kretin endemik selaluberhubungan


dengan defisiensi yodium berat.
Segi klinis. Yang penting dari segi ini ialah adanya
defisiensi mental yang disertai dengan salah satu gejala

predominan, tetapi gabungan dua sindrom tadi


banyak terjadijuga.
Segi pencegahan. Terjadinya kretin endemik akan
dicegah dengan pemberian unsur yodium yang adekuat.

Kriteria WHO tahun 1980 di atas berlaku untuk


kelompok, tetapi untuk diagnosis kretin endemik secara
individu perlu juga ditegakkan. Kriteria yang digunakan di
Indonesia, berdasarkan studi cohort/populasi adalah
sebagai berikut; kretin endemik adalah seorang yang lahir
di suatu daerah dengan defisiensi yodium berat yang
memrnjukkan dua atau lebih kombinasi gejala ireversibel
ini : retardasi mental, kelainan neuromotorik (gangguan
bicaru,cara berjalan yang khas, refleks patologis dan refleks
hsiologis meninggi, matajuling, gangguan akibat kerusakan
batang otak serta late walker) dan gangguan pendengaran
(bilateral, tipe perseptif dan pada nada tinggi). Keadaan
tersebut dapat disertai atau tidak disertai hipotiroidisme.
Definisi ini ditujukan untuk membuat satu unifiing
diagnosis dan hipotesis atas kelompok yang dalam literatur

disebut kretin endemik tipe miksedematosa, kretin tipe


nervosa dan tipe campuran (mixedematous, nervous dan
mixed type endemic cretinism).
Karena kretin endemik hanya terdapat di daerah endemi
berat, maka ditemukannya kretin endemik mengisyaratkan
diluncurkannya program cras h-program penanggulangan

serta pencegahan segera.

prioritas program penanganan masalah harus diberikan


pada grade yang sedang dan berat (II dan III) dengan cara
crash program dan segera, sebab kita tidak boleh
membiarkan adanya risiko lahirnya bayi kretin dengan

cacat baik fisis dan mental yang ireversibel.

Survei Epidemiolgik Kretin Endemik


Kretin endemik merupakan akilbbt GAKI terparah pada
manusia. Umumnya dianggap merupakan dampak
kekurangan unsur yodium selama kehidupan fetal sampai

3 tahun pertama kehidupan bayi. Hingga kini masih


terdapat kesimpangsiuran mengenai definisi operasional,
khususnya tentang kretin endemik ini, lebih lebih apabila
diingat segi patofisiologinya. Kretin endemik dapat ditinjau
dari 3 segi, yaitu segi epidemiologis, segi klinis dan segi
pencegahan.

ETIOLOGI KRETIN ENDEMIK


Etiologi kretin endemik hingga kini belum diketahui dengan

tepat. Umumnya disepakati bahwa pada tipe nervosa


penyebabnya ialah kekurangan hormon tiroid intrauterin;

sedangkan kasus hipotiroidisme atau kretin


miksedematosa seperti di Zaire, disebabkan kekurangan
hormon tiroid intrauterin ditambah kerusakan kelenjar tiroid
karena atrofi kelenjar tiroid karena bermacam macam sebab
(antara lainbahan goitrogen, def,rsiensi zinc, efek defisiensi

per se dsb). Terjadinya gangguan kretin endemik


tergantung dari: berat ringan dehsiensi yodium in utero
dan post partum, kapan insult hipotiroidisme ini terjadi,
pada waktu itu bagian saraf mana yang sedang tumbuh,

2014

METABOLIKENI'OI(RIT{

Likely timing ol malor insulb to the CilS


in iodin6- definiciency edemic crelinism veFus congenlbl hypothyroidism:
Mixed: neurclooical and

Neurogical

Congenibl hypolhyrcidism

.J

menunjukkan prevalensi karsinoma tiroid anaplastik dan


folikular lebih banyak dijumpai di daerah endemik gondok.
Kanker ini jauh lebih ganas dari pada kanker tiroid
papiliferum yang memang sering dijumpai di klinik.
Defisiensi yodium dan kesuburan, menstruasi dan
sebagainya. Umumnya diakui bahwa pada hipotiroidisme
terdapat gangguan kesuburan dan kehamilan. Wanita hamil
dengan PBI rendah lebih banyak mengalami abortus.
Intelligence quotient (IQ) anak yang lahir dari ibu dengan
hormon tiroid rendah namun bila diberi terapi substitusi
akan lebih tinggi di-bandingkan dengan IQ anak yang lahir

dari ibu yang tidak diberikan substitusi. Stillbirth lbu


dengan gondok, di Brasil, lebih tinggi dibandingkan
dengan yangtanpa gondok. Observasi ini terlihatjuga di
dataran tinggi Irian Barat.
Gambar 2. Tahap pembentukan susunan saraf pusat dijajarkan
dengan tersedianya hormon tiroid bagi fetus. Gambar dikutip
dari G.Moreale de Escobar, F Escobar del Rey. Consequences
of iodine deficiency for brain development. ln The Thyroid and
Brain. Merck Thyroid Symposium. Eds. Moreale de Escobarm de
Vijlder, Butz and Hostalek,Seville, June 2002, Schattauer, Stuttgart,

New York, 2003.

lama defisiensi dsb. Beberapa data perkembangan


intrauterin yang penting sehubungan dengan masalah tadi
adalah: a). produksi To fetus baru mulai minggu 12-13 dan

sebelumnya disuplai oleh ibu; b). perkembangan


mielinisasi fetus mulai bulan 5, cerebelum dan hipocampus

bulan 8 dan diteruskan postpartum, sedangkan


pertumbuhan mata (mi 3-8), corpus callosum (4-14), jalur
subrachnoid (6- I 6), cochlea (9 - I 4), cortex cerebri (10 - 4 4).

Dengan demikian insult waktu intrauterin


menyebabkan kretin neurologik dengan gambaran
gangguan pada SSP yang terganggu selama perioda
intrauterin; insult gestasi akhir yang diteruskan postpartum menyebabkan kretin miksudematosa, sedangkan tipe
campuran (mixed type) te{adi karena insult intrauterin dan
post parhrm.

Hipotiroidisme
Hipotiroidisme terdapat di daerah dengan defisiensi
yodium sedang dan berat. Hipotiroidisme yang terjadi
sebelum 3 tahun akan menganggu perkembangan somatik,
sedangkan di atas usia tersebut hanya akan menganggu
perkembangan biokimiawi maupun klinik. Hipotiroidisme
sentral pada orang dewasa mengganggu konsentrasi dan
menyebabkan rasa lesu 'malaise'
Kretin endemik dan berbagai kelainan susunan saraf
pusat, merupakan akibat paling berat defisiensi yodium.
Di samping itu gangguannya berat,juga karena gangguan
ini bersifat ireversibel. Pemberian unsur yodium atau
substitusi tiroid hanya akan memperbaiki somatik tetapi
tidak akan mempengaruhi gejala kretinnya. Di beberapa

daerah

di Indonesia jumlah kretin endemik ini dapat

mencapai I IYo dari p enduduk.

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


Pemberian yodium atau hormon tiroid jangka lama
mengecilkan kelenjar. Pada kasus dengan gondok besar

Dampak Defisiensi Yodium


Pada berbagai observasi lapangan dan klinis terlihat
bahwa defisiensi yodium memberikan dampak negatif,
antara lain (Tabel 2).
Gondok. Gondok merupakan reaksi adaptasi terhadap

kekurangan yodium. Apabila ukurannya masih terbatas,


bukan merupakan masalah kecuali mungkin masalah

kosmetik. Gondok ukuran besar memang dapat


mengganggu pernapasan karena tekanan pada trakea.
Makin lama pembesaran ini makin bersifat lebih multinodular, Makin meningkat usia makin tinggi prevalensinya.
Pada pria prevalensi ini mulai menurun lebih banyak
sesudah usia dewasa daripada pemrnrnan padawanita,

Gondok Endemik dan Kanker Tiroid


Angka pasti belum ada, tetapi kesan epidemiologis

yang disertai gejala tekanan, perlu tindakan operasi. Tetapi


tindakan secaraperorangan ini sulit dijalankan secara luas,
apalagi bila mengingat jumlah penduduk yang terkena.
Prevensi dengan yodium merupakan satu satunyajalan.

Hampir 60 tahun cara pencegahan dengan garam


beryodium dilakukan. Cara ini pertama kali dilakukan di
Amerika Serikat oleh Marine dan Kimball, tahun l9l7 . Cara
ini dinilai sangat berhasil dan digunakan juga ditempat
-tempat lain di dunia, ternyata gondok menurun dan kretin
endemilk tidak muncul lagi. Ketidakberhasilan program ini
biasanya karena faktor lain, seperti faktor sosioekonomi,
cuaca atau keadaan geograf,r sehingga penyebaran garam
secara sistematis sukar dijalankan atau tidak dimungkinkan.
Penyebab ini justru sering terjadi di negara yang sedang
berkembang. Biasanya digunakan kalium yodida tetapi di
tempat yang agak lembab, KJ0, lebih banyak digunakan
karena lebih stabil.

2015

GAT{GGUANAIqBAT KIJRANG IODII,.IM

Berbagai cara telah ditempuh untuk meyampaikan


unsur yodium ini pada penduduk yang membutuhkannya.
Misalnya dalam bentuk pil, dimasukkan dalam coklat untuk
anak sekolah, dalam air minum seperti pemah dicoba di

Belanda, disebarkan lewat saluran air minum (PAM),


dimasukkan dalam roti, dan dalam garam beryodium serta
suntilkan minyak yang mengandung yodium. Di Indonesia digunakan garam beryodium dengan kadar, yodium 40
ppm. Dengan anggapan konsumsi garam 10 g sehari maka
di makan 400 mg potasiurn iodide dan ini sesuai dengan
237 mg iodide. Dengan demikian jumlah ini sudah
mencukupi baik untuk pengobatan maupun pencegahan.

Cara ini merupalkan cara terpilih dan menjadi cara


pencegahan jangka lama bagi Indonesia (longterm
prevention programme).
Meskipun penanggulangan dengan garam beryodium
ini secara teroritis sangat baik, namun temyata banyak
hambatan dalam segi pelaksanaannya arrtata. lain harga
yang agak lebih tinggi, penyebaran yang harus kontinu,
daerah dengan letak geografis yang sulit dicapai (di mana
pada umumnya justru banyak didapatkan kasus gondok
endemik), hambatan masalah perdagangan antar pulau dan
sebagainya. Dalam perkembangan selanjubrya dikembang-

kan penggunaan kapsul larutan yodium dalam minyak


yang diberikan setiap setahun sekali, sebelum ini suntikan
larutan sama diberikan 4-5 tahun sekali, namun lebih
banyak hambatannya.

Dalam setiap program pencegahan selalu harus


dilakukan pemantauan terhadap dampak program, antara
lain : menurunnya prevalensi total goiter rate sekolah,
sebab kelompok usia ini paling peka terhadap nutrisi yang
sedang berjalan. Pantauan terhadap angka demografik
(abortus, lahir mati, IMR, PMR dsb diperlukan. Apabila
dengan cara penanggulangan yang baik dan adekuat
prevalensi tidak turun seperti diharapkan, barulah kita
memikirkan adanya pengaruh falctor lingkungan, seperti
faktor zat goitrogen alami. Kelainan biokimiawi pada
defisiensi yodium yaitu

.
.
.
.

Ekskresiyodiumurinrendah
Ambilan yodium radioaktif yang meningkat (uptake)
KadarPBI dan T4 normal atau rendah, sedangkan T3
dapat normal, rendah atau tinggi (adanya sekresi

preferensial)
Reaksi yang berlebihan terhadap thyroid releasing
hormone (TRH)

ldine-lnduced Hyperthyroidrbm ( llH )


Pemberian yodium dalam bentuk apapun dapat menyulut
episode tirotoksikosis. Laporan dari Tasmania, Zaire,

Zimbabweedan Brasil dan daerah endemi lainmenguatkan


adanya IIH sesudah dimulainya profilaksis. Prevalensinya
rendah. Faktor risiko ada pada orang tua dengan gondok

noduler lama yang hidup di daerah endemi (meskipun


terdapat juga pada usia muda). Kejadian ini dihubungkan
dengan naiknya median UEI pada populasi. Adapun
sebabnya karena perubahan mutasi sel tiroid yang
menjadikannya bersifat otonom. Dengan bekal otonomi

bertambahnya yodium akan meningkatkan produksi


hormon tiroid. Teoretis dapat terjadi juga pada kasus
Graves' yang tidak manifes karena defisiensi yodium. Studi
di Afrika menunjukkan bahwa IIH hanya terjadi apabila
profilaksis terjadi belum lama berselang (< 2 tahun) dan
dengan dosis yodium tinggi.

REFERENSI
Bambang-Hartono. The influence of iodine dehciency during pregnancy on neurodevelopment from birth to two years. PhD
dissertation. Vrije Universiteit Amsterdam, Sept 5, 2001.

Benny Kodyat, Djokomoeljanto, Darwin Karyadi, Tarwotjo,


Muhilal, Husaini andAsmira Sukaton. Micronutrient
Malnutrition. Intervention program. An Indonesian experience.

Min of Health, Dir Gen Community Health, Directorate of


Community Nutrition 1991. p. 26
Delange F, de Benoist B, Alnwick D. Risks of iodine induced
hyperthyroidism after correction of iodine deficiency by iodized salt. THYROID, 1999;9: 545.
Djokomoeljanto R. The effect of severe iodine deficiency (a study
on a population in Central Java, Indonesia). PhD dissertation,
Diponegoro University Semarang Indonesia, Oct, 1974.
Djokomoeljanto R, Setyawan H, Dramaix M, Hadisaputro S,
Soehartono T, Delange F. The Thyromobil model for standardized evaluation of Iodine Deficiency Disorder Control in Indonesia. THYROID 2001; l1: 365.

Djokomoeljanto R, Satoto, Rachmi Untoro. Iodine deficiency


disorders in Indonesia. In: Towards the global elimination of
brain damage due to iodine deficiency : Basil Hetzel, Delange F,
John Dunn, Jack Ling, V Mannar, C Pandav, editors. new Delhi:
Oxford University Press YMCA Library building; 2001. p. 422
G.Moreale de Escobar, F Escobar del Rey. Consequences of iodine
deficiency for brain development. In The Thyroid and Brain.
Merck Thyroid Symposium. Eds. Moreale de Escobarm de Vijlder,
Butz and ostalek,Seville, June 2002, Schattauer, Stuttgart, New
York, 2003.
Stanbury JB, Hetzel BS. Endemic goiter and endemic cretinism. New
York Toronto: B A Wiley Medical Publication John Wiley &
Sons; 1980.
Stanbury JB, Ermans AE, Bourdoux P et al. Iodine - induced hyperthyroidism: occlrrence and epidemiology. TFIYROID 1998; 8 : 83.
WHO,NHD/O1.1. Assessment of iodine deficiency disorders and

monitoring their elimination. 2"d edition. 2001.

313
TIROIDITIS
Paulus Wiyono

PENGANTAR

Istilah tiroiditis mencakup segolongan kelainan yang

ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di


dalamnya keadaan yang timbul mendadak dengan disertai

rasa sakit yang hebat pada tiroid (misalnya subacute


granulomat ous thyroiditis dan infectious thyro idit is), dan
keadaan dimana secara klinis tidak ada inflamasi dan

manifestasi penyakitnya terutama dengan adanya


disfungsi tiroid atau pembesaran kelenjar tiroid (misalnya
subacute lymphocytic painless thyroiditis) dan tiroiditis
fibrosa (Riedels thyroiditis).
Pada golongan tiroiditis subakut pola perubahan fungsi
tiroid biasanya dimulai dengan hipertiroid, diikuti dengan
hipotiroid dan akhirnya kembali eutiroid. Hipertiroid terjadi
karena kerusakan sel-sel folikel tiroid dan pemecahan
timbunan tiroglobulin, menimbulkan pelepasan yang tidak

Tiroiditis Akut dan disertai rasa sakit

B.

: l).

Tiroiditis

infeksiosa akut : tiroiditis supurativa, 2). Tiroiditis oleh


karena radiasi, 3). Tiroiditis traumatika
Tiroiditis Subakut
A. Yang disertai rasa sakit : Tiroiditis granulomatosa:

tiroiditis non supurativa: tiroiditis de Quervain


Yang tidak disertai rasa sakit : l). Tiroiditis limfositik

subakut; 2). Tiroiditis post partum; 3). Tiroiditis oleh


karena obat-obatan
Tiroiditis Kronis: l). Tiroiditis Hashimoto;2). Tiroiditis
Riedel; 3). Tiroiditis infeksiosa kronis oleh karena
mikobacteri, jamur, dan sebagainya.

Tiroiditis Akut yang Disertai Rasa Sakit


Tiroiditis pada golongan ini di antaranya adalah tiroiditis
infeksiosa akut baik karena bakteri gram (+) maupun gram
(-), tiroiditis karena radiasi dan tiroiditis karena trauma.

terkendali dari hormon T3 dan T4. Hipertiroid ini

Tirolditis infeksiosa akut : Tiroiditis Supurativa. Te{adi


melalui penyebaran hematogen atau lewat fistula dari
sinus piriformis yang berdekatan dengan laring, yang
merupakan anomali kongenital yang sering te{adi pada

berlangsung sampai timbunan T3 dan T4 habis. Sintesis


hormon yang baru terhenti tidak hanya karena kerusakan
sel-sel folikel tiroid tetapi juga karena penurunan TSH
akibat kenaikan T3 dan T4. Hipotiroid yang te{adi biasanya
sementara. Bila inflamasinya mereda, sel-sel folikel tiroid
akan regenerasi, sintesis dan sekresi hormon akan pulih

anak-anak. Sebetulnya kelenjar tiroid sendiri resisten


terhadap infeksi karena beberapa hal di anlaranya
berkapsul, mengandung iodium tinggi, kaya suplai darah
dan saluran limfe untuk drainase. Karenanya tiroiditis

kernbali.

Tiroiditis dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi atau


penampilan klinisnya. Penampilan klinis dapat berupa
pery'alanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid.
Ada tidaknya rasa sakit ini penting karena merupakan
pertimbangan utama untuk menegakkan diagnosis.

infeksiosa ini jarang ter.1adi, kecuali pada keadaan-keadaan


tertentu seperti pada mereka yang sebelumnya mempunyai
penyakit tiroid (Ca tiroid, tiroiditis Hashimoto, struma
multinoduler), atau adanya supresi sistem imun, seperti
pada orang tua, debilated, dan lebih-lebih pada pasienAlDS.
Pasientiroiditis supurativa bakterial ini biasanya mengeluh
rasa sakit yang hebat pada kelenjar tiroid, panas, menggigil,
disfagia, disfonia, sakit leher depan, nyeri tekan, ada

Berdasarkan perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa


sakit tiroiditis dapat dibagi atas:

normal, sangat jarang terjadi tirotoksikosis atau hipotiroid.

KLASIFIKASI TIROIDITIS

fluktuasi dan eritema. Fungsi tiroidnya umumnya

2016

2017

TIROIDMS

Jumlah leukosit dan laju endap darah meningkat. Pada


skintigrafi didapatkan pada daerah supuratif tidak menyerap
iodium radioktif (dingin). Pasien harus segera dilakukan
aspirasi dan drainase dari daerah supuratifdan diberikan
antibiotik yang sesuai. Umumnya diperlukan penanganan
yang segera, penanganan yang terlambat dapat berakibat
fatal.

Pada pasienAlDS beberapa kuman patogen


oportunistik dapat menyerang kelenjar tiroid. Pada
pemeriksaan postmortem terbanyak adalah kuman CMV
walaupun demikian laporan tiroiditis oleh karena CMV tidak
diketemukan. Tiroid merupakan organ di luar pulmo yang

virus. Kompleks antigen-HlA-B

5 mengakti fl<an cy t ot oxi c

folikel tiroid. Berbeda


dengan penyakit tiroid autoimun, pada TGS reaksi imun
T lymphocytes yang akan merusak sel

tersebut tidak berlangsung terus, proses

ini

hanya

sementara.

Inflamasi pada TGS akan menyebabkan kerusakan


folikel tiroid dan mengaktifkan proteolisis dari timbunan
tiroglobulin. Akibatnya terjadi pelepasan hormon T3 dan
T4yangtidak terkendali ke dalam sirkulasi dan terjadilah
hipertiroid. Hipertiroid ini akan berakhir kalau timbunan
hormon telah habis, karena sintesis hormon yang baru
tidak terjadi karena kerusakan folikel tiroid maupun

rentan terhadap Pneumonitis carinii yang sering


menyerang pulmo pada pasienAlDs. Pada autopsi

penumnan TSH akibat hipertiroid tersebut. Pada keadaan

didapatkan lebih dari 20oh didapatkanadanya Pneumonitis


carinii pada tiroid walaupun tanpa gejala.

sembuh, terjadi perbaikan folikel tiroid, sintesis hormon


kembalinormal.
Gambaran patologi anatomi yang karakteristik dari
folikel tiroid adalah adanya inti tengah koloid yang
dikelilingi oleh sel raksasa yang berinti banyak, lesi ini
kemudian berkembang menjadi granuloma. Di samping itu
didapatkan infiltrasi neutrofil, limfosit dan histiosit,
disruption dan kolaps folikel tiroid, nekrosis sel-sel folikel.
Awitan dari TGS biasanya pelan-pelan tetapi kadangkadang dapat mendadak. Rasa sakit merupakan keluhan
yang selalu didapatkan dan mendorong pasienberobat.
Rasa sakit dapat terbatas pada kelenjar tiroid atau menjalar

Tiroiditis akut karena radiasi. Pasien penyakit Graves


yang diterapi dengan iodium radioaktif sering mengalami
kesakitan dan nyeri tekan pada tiroid 5-10 hari kemudian.
Keadaan ini disebabkan terjadinya kerusakan dan nekrosis
akibat radiasi tersebut. Rasa sakitnya biasanya tidak hebat
dan membaik dalam beberapa hari.
Tiroiditis akut karena trauma. Manipulasi kelenjar tiroid
dengan memijat-mijat yang terlalu keras pada pemeriksaan
dokter atau oleh pasien sendiri dapat menimbulkan tiroiditis

akut yang disertai rasa sakit dan mungkin dapat timbul


ini dapat juga terjadi akibat
penggunaan sabuk pengaman mobil yang terlalu kencang.

tirotoksikosis. Trauma

Tiroiditis Subakut
Tiroiditis subakut dapat dibagi

atas ada tidaknya rasa sakit.

Tiroiditis subakut yang disertai rasa sakit (Subacute


painful thyroiditis). Tiroiditis ini dikenal dengan beberapa
nama

di antaranya: tiroiditis

granulomatosa subakut,

tiroiditis nonsupurativa subakut, Tiroiditis de Quervain,


tiroiditis sel raksasa, subacute painful thyroiditis.
Tiroiditis granulomatosa subakut (TGS) penyebab yang

pasti belum jelas, diduga penyebabnya adalah infeksi

virus atau proses inflamasi post viral infection.


Kebanyakan pasienmempunyai riwayat infeksi saluran
pernapasan bagian atas beberapa saat sebelum terjadinya
tiroiditis. Kejadian tiroiditis ini juga berkaitan dengan
musim, tertinggi pada musim panas dan juga berkaitan
dengan adanya infeksi virus Coxsackie, parotitis epidemika,
campak, adenovirus. Antibodi terhadap virus juga sering
didapatkan, tetapi keadaan ini dapat merupakan nonspecific anamnestic response. Tidak didapatkan adanya inclusion bodies pada jaringan tiroid.
Tampaknya proses autoimun tidak berperan pada
terjadinya TGS ini, walaupun demikian TGS berkaitan
dengan HLA-B35. Kemungkinan bahwa sebelumnya tef adi

infeksi virus subklinis yang akan menyebabkan


terbentuknya antigen dari jaringan tiroid yang rusak akibat

ini dapat diikuti terjadinya hipotiroid. Bila radangnya

sampai leher depan, telinga, rahang dan tenggorokan yang

kadang-kadang menyebabkan pasienperiksa ke THT.


Biasanya terjadi demam, malaise, anoreksi dan myalgia.
Kelenjar tiroid membesar difus dan sakit pada palpasi.
Separo dari pasienmenunjukkan gejala klinis hipertiroid,
tetapi gejala rasa sakit lebih mendominasi. Inflamasi dan
hipertiroiditis bersifat sementara, berlangsung sekitar 2-6
minggu, kemungkinan diikuti oleh terjadinya hipotiroid
yang asimptomatik yang berlangsung 2-8 minggu dan
diikuti penyembuhan. Pada 20%o pasiendapat terjadi
kekambuhan dalam beberapa bulan kemudian.
Walaupun gejala klinis hipertiroid hanya terjadi pada
separo pasienTGS, tetapi pemeriksaan laboratorium hampir
selalu didapatkan peningkatan T3 dan T4 serta penurunan
SH. Uptake iodium radioaktif rendah, kadar tiroglobulin
serum tinggi, anemia ringan, leukositosis dan LED yang
T

meningkat. Biasanya tidak didapatkan peningkatan


antibodi terhadap tiroid peroksidase (TPO) maupun
tiroglobulin.
Pada dasarnya diagnosis dari TGS cukup diagnosis

klinis. Adanya pembesaran kelenjar tiroid yang difus


disertai rasa sakit dan nyeri pada palpasi yang menjalar ke
leher depan cukup untuk menduga adanya TGS. Gejala
hipertiroid belum tentu ada,tetapi T4 selalu naik dan TSH
turun. Meningkatnya LED memperkuat diagnosis TGS.

Ultrasonografi, RAIU, dan AJH dapat membantu


memastikan diagnosis. Diferensial diagnosis adalah
tiroditis infeksiosa akut dan perdarahan pada nodul. Kedua
keadaan tersebut menimbulkan rasa sakit pada tiroid dan

2018

METABOLIKENDOIRII{

nyeri tekan, tetapi kelenjar tiroid yang sakit biasanya

oleh karena tidak terjadi pembentukan hormon baru.


ini akan diikuti oleh terjadinya hipotiroid yang
diperberat oleh adanya penurunan TSH pada saat

unilateral dan fungsi tiroid normal.


Terapi TGS bersifat simtomatis. Rasa sakit dan inflamasi
diberikan NSAID atau aspirin. Pada keadaan yang berat
dapat diberikan kortikosteroid, misalnya prednison 40 mg
perhari. Tirotoksikosis yang timbul biasanya tidak berat,

Keadaan

bila berat dapat diberikan obat d bloker misalnya

Pada biopsi kelenjar tiroid didapatkan adanya infiltrasi


limfosit, kadang-kadang didapatkan germinal centre dan
sedikit fibrosis. Dibandingkan dengan tiroiditis autoimun
kronis gambaran PA tersebut jauh lebih ringan.

propranolol 40-120 mglhaiatau atenolol 25-50 mg per hari.


Pemberian PTU atau metimasol tidak diperlukan karena

tidak terjadi peningkatan sintesis atau sekresi hormon.


Pada perjalanan penyakitnya kadang-kadang dapat

timbul

hipotiroid yang ringan yang berlangsung tidak lama,

karenanya tidak memerlukan pengobatan. Bila


hipotiroidnya berat dapat diberikan L-tiroksin 50-100 mcg

per hari selama 6-8 minggu dan tiroksin kemudian


dihentikan.

TiroiditiS subakut yang tidak disertai rasa sakit. Ada 3


penyakit pada golongan ini yaitu : 1).Tiroiditis limfositik
subakut; 2). Tiroiditis post partuq 3). Tiroiditis karena obat.
Tiroiditis limfositik lubakut lanpa rasa sakit (Subacute
lymphocytic painless thyroiditis). Banyak istilah yang
digunakan untuk tiroiditis limfositik subakut tanpa rasa
sakit (TLSTRS) ini di antaranya : painless thyroiditis,
silent thyroiditis, lymphocytic thyroiditis with spontaneously resolving hyperthyroidism, painless sporadic
tlryroiditis, sporadic silent thyroiditis. TLSTRS sebaiknya
dipedimbangkan sebagai penyebab hipertiroid pada setiap
wanita atau laki-laki yang mempunyai gejala hipertiroid
ringan kurang dai 2 bulan, tanpa pembesaran tiroid atau
membesar ringan dan tidak ada oftalmopati.
TLSTRS merupakan varian dari tiroiditis autoimun
l<r onis (H a s h i m o t o t hy r o i d i t i s), diduga merup akan ba gian

dari spektrum penyakit tiroid autoimun. Banyak

pasienTLSTRS mempunyai konsentrasi antibodi yang


tinggi baik terhadap TPO maupun tiroglobulin. Di samping
itu banyak didapatkan riwayat keluarga yang menderita
penyakit tiroid autoimun. Beberapa pasienberkembang

menjadi tiroiditis autoimun kronis beberapa tahun


kemudian. TLSTRS berkaitan dengan HLA haplotipe yang

spesifik yaitu HLA-DR3 yang menunjukkan adanya


inherited susceptibility walaupun asosiasinya lemah.
Faktor yang diduga sebagai pencetus TLSTRS antara

lain intake iodium yang berlebihan dan sitokin. Suatu


sindrom yang menyerupai TLSTRS dapat terjadi pada
pasienyang mendapat terapi amiodaron (yang kaya
iodium), interferon alfa, interleukin-2 dan litium. Keadaan
ini menunjukkan bahwa pelepasan sitokin sebagai akibat
dari kerusakan jaringan atau inflamasi mungkin sebagai
awal dari proses terjadinya TLSTRS.

Inflamasi yang terjadi pada TLSTRS akan


menyebabkan kerusakan folikel tiroid dan mengaktifkan
proteolisis tiroglobulin yang berakibat pelepasan hormon
T3 dan T4 ke dalam sirkulasi dan terjadilah hipertiroid.
Hipertiroid ini terjadi sampai timbunan T3 dan T4 habis,

hipediroid. Bila inflamasi mereda sel-sel folikel mengalami


regenerasi maka pembuatan hormon tiroid akan pulih
kembali.

Manifestasi klinis TLSTRS adalah terjadinya


hipertiroid yang timbul l-2 minggu dan berakhir 2-8
minggu. Gejala hipertiroidnya biasanya ringan. Kelenjar
tiroid membesar ringan, difus dan biasanya tidak disertai
iasa sakit. Gejala hipertiroid ini akan diikuti oleh adanya
perbaikan atau terjadinya hipotiroid selama 2-8 minggu
yang biasanya juga ringan atau malahan asimtomatik dan
diikuti perbaikan. Kadang-kadang dapat diikuti terjadinya

tiroiditis autoimun kronis dengan hipotiroid yang


permanent (20-50%).
Pada saat terjadi hipediroid terjadi peningkatan kadar
T3 dan T4, dan pemrmnan TSH. Kadang-kadang hanya
didapatkan penurunan TSH saja yang menunjukkan
adanya hipertiroid subklinis. Pada pasienyang mengalami
hipotiroid kadar T3 dan T4 turun diserlai peningkatan kadar
TSH. Kadang-kadang hanya didapatkan peningkatan TSH
saja (hipotiroid subklinis). Antibodi terhadap tiroid (antiTPO antibodi dan antitiroglobulin antibodi) meningkat
pada 50% pasiensaat terdiagnosis TLSTRS. Titer antibodi
ini akan memrrun (berbeda pada tiroiditis post partum yang

persisten). Jumlah leukosit biasanya normal dan laju endap


darah hanya sedikit meningkat.

Biasanya pasienTLSTRS tidak memerlukan


pengobatan baik pada fase hipertiroid maupun hipotiroid,
karena gejalanya ringan. bila gejala hipertiroid berat perlu
diberikan beta bloker propranolol (40-120 mg,/hari) atau
atenolol (25-50 mglhari). Pemberian PTU dan metimasol
tidak perlu karena tidak ada peningkatan sintesis hormon.

Pemberian prednison dapat memperpendek fase


hipertiroid. Kadang-kadan g gejala hipotiroid cukup berat
dan perlu diberikan L tiroksin 50- 100 mcg/hari selama 8- 12
minggu, yang penting pada pasienini perlu dipantau atas
kemungkinan terjadinya tiroiditis autoimun kronis.

Postpartum thyroiditis

ePD. Tiroiditis ini terjadi dalam


kurun waktu setahun sesudah persalinan. Dapat juga tdadi
sesudah abortus spontan atau yang dibuat. Gambarannya
menyerupai subacute lymphocyte painless thyroiditis,

perbedaannya pada PPT lebih bervariasi dan selalu terjadi


sesudah persalinan.
Seperti halnya TLSTRS,po st partum thyroiditis diduga

merupakan varian dari penyakit tiroid autoimun kronis


(tiroiditis Hashimoto). Lima puluh persen wanita yang

titer antibodi terhadap peroksidase meningkat'akan


berkembang menjadi PPT sesudah persalinan. Artibodi

2019

TIROIDMS

ini meningkat pada awal kehamilan, menurun selama


kehamilan (oleh karena adanya toleransi imunologik selama
kehamilAn) dan meningkat lagi setelah persalinan.
Seperti halnya pada TLSTRS pada awalnya terjadi
peningkatan hormon tiroid. Peningkatan ini terjadi karena
proses inflamasi menyebabkan kerusakan sel folikel tiroid
dan timbunan hormon dalam tiroglobulin akan tertumpah
dalam sirkulasi. Bila timbunan hormon telah habis, maka
akan terjadi pemrrunan hormon tiroid. Hipotiroid ini terjadi
karena sintesis hormon yang baru tidak terbentuk danjuga

TSH yang menurun waktu terjadi hipertiroid. Bila


peradangan telah membaik, sel-sel folikel telah pulih,
pembuatan hormon kembali normal. Gambaran hipertiroidhipotiroid dan eutiroid ini terjadi pada ll3 pasienPPT.
Gambaran patologi PPT yaitu adanya infiltrasi limfosit,
kerusakan sel-sel folikel dan kadang-kadang didapatkan
adanya germinal cenlers.
Tiga puluh persen pasienPPT menunjukkan gambaran
klinis yang berurutan yaitu hipertiroid yang timbul 1-4
bulan sesudah persalinan yang berlangsung 2-8 minggu,

diikuti hipotiroid yang juga berlangsung 2-8 minggu

dan

Pasienhepatitis B atau C yang mendapat interferon alfa 1mengalami disfrrngsi tiroid, baik berupa hipotiroid

5%o dapat

maupun hipertiroid. Tdadinya disfungsi tiroid berkaitan


dengan adanya titer antibodi tiroid yang tinggi. Pada mereka
yang antibodinya tinggi kejadian disfungsi tiroid dapat
mencapai 36,50/o dengan demikian pemberian interferon ini
dapat menyebabkan eksaserbasi tiroid autoimtur yang sudah
ada.

Amiodaron obat antiaritmia mengandung 35% iodium.

Amiodaron dapat menimbulkan hipertiroid maupun


hipotiroid. Hipertiroid yang terjadi dapat karena terjadinya
tiroiditis (tiroidnya normal), atau meningkatnya sintesis
hormon yang biasanya terjadi pada pasien struma nodosa
atau penyakit Graves yang laten. Bagaimana mekanisme
terjadinya hipertiroid belum diketahui. Tiroiditis yang

terjadi menyerupai subacut lymphocytic painless


tiroiditis. Hipotiroid yang terjadi merupakan efek dari
kelebihan iodium.

TIROIDITIS KRONIS

akhimya eutiroid. Kadang-kadan g pada 20-40% gejala yang

muncul hanya hipertiroid dan 40-50% hanya muncul


hipotiroid saja. Hipertiroid dan hipotiroid yang terjadi

Tiroiditis kronis meliputi tiroiditis Hashimoto, tiroiditis


Riedel dan tiroiditis infeksiosa kronis.

biasanya ringan. Pada 20-50% PPT dapat terjadi hipotiroid

yang permanen, keadaan ini berkaitan dengan tingginya

titer antibodi terhadap peroksidase. Tujuh puluh persen


pasienPPT dapat kambuh pada kehamilan berikutnya.
Kelenjar tiroid pada PPT biasanya sedikit membesar difus
dan tidak terasa sakit pada saat hipertiroid.
PPT harus dibedakan dengan penyakit Graves yang
bisajuga terjadi sesudah persalinan, baik penyakit Graves
yang baru ata:uyang rekuren. Bedanya pada PPT gejala

hipertiroidnya ringan dan tidak ada oftalmopati,


pembesaran tiroidnya juga minimal. Bila sulit dibedakan

dapat ditunggu 3-4 minggu, biasanya pada penyakit


Graves gejalanya akan memberat. Dapat juga dilakukan
RAIU dimana pada penyakit Graves akan meningkat
sedangkan pada PPT rendah.
Pengobatan pada PPT tidak berbeda dengan TLSTRS.
Pengobatan didasarkan atas gejala klinik dan bukan hasil

laboratorium. Pemberian PTU dan metimasol tidak


dianjurkan karena tidak terjadi peningkatan sintesis
hormon. Bila gejala hipertiroid nyata dapat diberikan
propranolol 40-120 mg/hari atau atenolol 25-50 mglhai
sampai gejala klinis membaik. Bila gejala hipotiroid nyata
dapat diberikan tiroksin 50- 100 mcg/hari selama 8- 12 minggu.

PasienPPT perlu diberitahu atas kemungkinan terjadi

hipotiroid atau struma di kemudian hari, karenanya


pasiendiberitahu gej ala-gej ala awal hipotiroid. Pasienjuga
diberitahu bila hamil lagi PPT ini dapat kambuh.

Tiroiditis Karena Obat. Beberapa obat dapat menimbulkan


tiroiditis yang tidak disertai rasa sakit di antaranya
interferon alfa, interleukin 2, amiodaron dan litium.

Tiroiditis Hashimoto
Penyakit ini sering disebut sebagai tiroiditis autoimun
kronis, merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah
yang iodiumnya cukup. Karakter klinisnya berupa
kegagalan tiroid yang terjadi pelan-pelan, adanya struma
atau kedua-duanya yang terjadi akibat kerusakan tiroid

yang diperantarai autoimun. Hampir semua pasien


mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi, infiltrasi
limfositik termasuk sel B dan I dan apoptosis sel folikel
tiroid.
Penyebab tiroiditis Hashimoto diduga kombinasi dari
faktor genetik dan lingkungan. Suseptibilitas gene yang

dikenal adalah HLA dan CTLA-4. Mekanisme


imunopatogenetik terjadi karena adanya ekspresi HLA
antigen sel tiroid yang menyebabkan presentasi langsung
dari antigen tiroid pada sistem imun. Adanya hubungan
familial dengan penyakit Graves dan penyakit Graves sering

terlibat pada tiroiditis Hashimoto atau sebaliknya


menunjukkan bahwa kedua penyakit tersebut patofisio-

loginya sangat erat, walaupun manifestasi klinis


berbeda.

Ada 2 bentuk tiroiditis Hashimoto yaitu bentuk


goitrous (90%) dimana terjadi pembesaran kelenjar tiroid
dan bentuk atrofi (10%) dimana kelenjartiroidnya mengecil.
Tiroiditis Hashimoto umumnya terdapat pada wanita
dengan rasio wanita : laki-laki 7: l. bentuk varian tiroiditis

Hashimoto termasuk subacute lymphocytic painless


thyroiditis dan postpartum tiroiditis.
Perjalanan penyakit TH ini pada awalnya mungkin dapat

2020

METABOLIKENDC'I(RIT{

Characteristic
Age at onset (yr)
Sex ratio (F:M)
Cause
Pathological
findings

Hashimoto's

thyroiditis
All ages, peak 30-50

Thyroid function

TPO antibodies

High titer, persistent

1231

thyroiditis

sporadic
thyroiditis

Childbearing
age

All ages, peak


30-40
2:1

8-9:1

Autoimmune
Lymphocytic
infaltration, germinal
centers, fibrosis
Hypothroidism

ESR
24 hour
uptake

Painless

Painless
postpartum

Normal
Variable

thyroiditis

20-60

Suppurative Riedel's
thyroiditis thyroiditis
Ch dren

20-

30-60

40
5:1

3-4:1

1:1

Autoimmune
Lymphocytic
infiltration

Autoimmune
Lymphocytic
infiltration

Unknown
Giant cells,
granulomas

lnfectious
Abscess
formation

Unknown
Dense
fibrosis

Thyrotaxicosi,
hypothyroidis,
or both
High titer,
persistent

Thyrotaxicosi,
hypothyroidi,
or both
High titer,
persistent

Thyrotaxicosis,
hypothyroidi,
or both

Usually
euthyroidis

Usually
euthyroidis

Low titer, or
absent,
transient

Absent

Normal
< 5o/"

TPOdenotesthyroidperoxidase,EsReMhrocytesedimentationrate,andl23l

terjadi hipertiroid oleh karena adanya proses inflamasi,


tetapi kemudian akan diikuti terjadinya penurunan flrngsi
tiroid yang terjadi pelan-pelan. Sekali mulai timbul
hipotiroid maka gejala ini akan menetap.
Gambaran PA-nya berupa infrltrasi limfosit yang profus,

lymphoid germinal centers dan destruksi sel-sel folikel


tiroid. Fibrosis dan area hiperplasi sel follikuler (oleh karena
TSH yang meningkat) terlihat pada TH yang berat.

Ada 4 antigen yang berperan pada TH yaitu


tiroglobulin, tiroid peroksidase, reseptor TSH dan sodium iodine symporter. Hampir semua pasienTH
mempunyai antibodi terhadap tiroglobulin dan TPO
dengan konsentrasi yang tinggi. Pada penyakit tiroid
yang lain dan pada orang normal kadang-kadang
didapatkan juga antibodi ini tetapi dengan kadar yang
lebih rendah. Antibodi terhadap reseptor TSH dapat
bersifat stimulasi atau memblok reseptor TSH. Pada
penyakit Graves antibodi yang bersifat memacu lebih kuat
dan karenanya menimbulkan hipertiroid, sedangkan pada
TH antibodi yang bersifat memblok lebih kuat dan
karenanya menimbulkan hipotiroid. Antibodi terhadap
reseptor TSH ini bersifat spesifik pada penyakit Graves
dan TH. Antibodi terhadap sodium iodide symporter
terdapat pada 0-20%o pasienTH. Antibodi ini dapat
menghambat RAIU yang dipacu TSH.
Pengobatan TH ditujukan terhadap hipotiroid dan
pembesaran tiroid. Levotiroksin diberikan sampai kadar

TSH normal. Pada pasiendengan struma baik hipotiroid


maupun eutiroid pemberian levotiroksin selama 6 bulan
dapat mengecilkan struma 30%.
PasienTH yang disertai adanya nodul perlu dilakukan

AJH untuk memastikan ada tidaknya limfoma atau


karsinoma. Walaupun jarang risiko limfoma tiroid ini
meningkat pada TH.

Painful
subacute

Normal
< 5o/o

High

<

s%o

High

Norma

Usually
present
Normal
Low or
normal

iodine-123. (Pearceetal.NEngl JMed,2003)

Tiroiditis Riedel
Tiroiditis Riedel dapat merupakan penyakit yang terbatas
pada kelenjar tiroid saja atau dapat merupakan bagian dari
penyakit infi ltratif umum suatu multifokal fibrosklerosis
yang dapat mengenai ruang retroperitoneal, mediastinum,
ruang retroorbital dan traktus billiaris. Kelenjar tiroid
membesar secara progresif yang tidak disertai rasa sakit,
keras dan bilateral. Proses fibrotik ini berkaitan dengan
adanya inflamasi sel mononuklear yang menjorok melewati

tiroid sampai ke jaringan lunak peritiroid. Fibrosis


peritiroidal
ini dapat mengenai kelenjar paratiroid yang
+
/ menyebabkan hipoparatiroid, n. laryngeus rekuren yang
. menyebabkan suara serak, ke trakea menyebabkan
kompresi, juga ke mediastinum dan dinding depan dada.

Penyebab PR belum jelas, diduga proses autoimun


mengingat adanya infiltrasi mononuklear dan vaskulitis
disertai adanya peningkatan titer antibodi terhadap tiroid.
Walaupun demikian, kemungkinan peningkatan antibodi
tersebut karena terlepasnya antigen yang terjadi akibat
kerusakan jaringan tiroid. Tampaknya fibrosklerosis
multifokal yang terjadi adalah kelainan fibrotik primer
dimana proliferasi fibroblas terpacu oleh sitokin yang
berasal dari sel limfosit B dan T.
TR jarang dijumpai kira-kira hanya 0,05o/o dari seluruh
operasi tiroid. Wanita lebih sering daripada laki-laki (4: l),
dengan umur 30-50 tahun. Pembesaran tiroid yang terjadi
pelan-pelan dan tanpa rasa sakit. Pembesaran ini menekan
leher depan menimbulkan disfagia, suara serak, sesak
napas dan kadang-kadang hipoparatiroid. Hipotiroid
sendiri terjadi 30-40o/o pasien, walaupun tidak hipotiroid
pasiensering mengeluh malaise umum dan kelelahan.
Kelenjar tiroid yang membesar bisa kecil atau besar,
biasanya kedua lobus walaupn tidak simetris. Kelenjar ini

teraba seperti batu dan melekat pada jaringan otot

2021

TIROIDMS

sekitamya dan keadaan ini yang menyebabkan TR tidak


bergerak waktu menelan. Kadang-kadang didapatkan
pembesaran kelenjar limfe sekitarnya. Semua kedaan
tersebut menyebabkan kesan suatu karsinoma.
Kebanyakan pasienTR kadarT3,T4 dan TSH normal,

sekitar 30-40% didapatkan hipotiroid subklinis atau


hipotiroid nyata. Pada 2/3 pasiendidapatkan peningkatan

Tiroiditls lnfeksiosa Kronis


Penyakit ini jarang terdapat. Penyebabnya di antaranya
jamur, mikobakteri, parasit atau sifilis. Tiroiditis oleh karena

mikobakteri tuberkulosis hanya sekitar l9 kasus yang


pernah dilaporkan. Tiroiditis TBC biasanya berkaitan
dengan TBC millier dan gejala berlangsung selama
beberapabulan. Rasa sakit dan demam jarang didapatkan.

antibodi terhadap tiroid. Perlujuga diperiksa kadar kalsium

dan fosfor untuk mengetahui kemungkinan adanya


hipoparatiroid. Skintigrafr tiroid menunjukkan gambaran
yang heterogen atau adanya uptake yang rendah.
Secara makroskopis gambaran TR adalah keras, putih,
avaskular. Secara histologi didapatkan hyalinized fibrosis
tissue dengan sedikit sel limfosit, plasma dan eosinofil,
disertai tidak adanya folikel tiroid. Jaringan fibrosis tersebut
menembus ke jaringan sekitarnya. Fibrosis tiroid ini juga
terdapat pada TH atau Ca papilare tetapi tidak menembus
jaringan sekitarnya.
TR yang tidak diobati biasanya pelan-pelan progresif
kadang-kadang stabil atau malahan regresi. Pengobatan
ditujukan terhadap hipotiroid yang terjadi dan penekanan
yang terjadi karena fibrosklerosis terutama pada trakea
dan esofagus. Operasi terbatas pada obstruksi saja karena
reseksi yang luas sulit karena medan yang sulit dan risiko
merusak struktur sekitarnya. Pemberian glukokortikoid dan

tamoksifen dapat diberikan walaupun belum banyak


dilakukan karena kasusnya j arang.

REFERENSI
L et al. Treatment of amiodaron-induced thyrotoxicosis,
a difficult challenge: Result of a propective study. J Clin
Endocrinol Metab 1996; 81:2930-2933,
Burman KD. Overview of thyroiditis, in UpToDate ver. 13.1, 2005.
Burman KD. Subacute granulomatous thyroiditis, in UpToDate ver.
13.1,2005.
Burman KD. Subacute lymphocytic (painless) thyroiditis, in
Bartalena

UpToDate ver. 13.1, 2005.


Burman KD. Postpartum thyroiditis, in UpToDate ver. 13.1, 2005.
Davies TF : Pathogenesis of Hashimoto's thyroiditis (chronic
autoimmune thyroiditis), in UpToDate ver. 13.1, 2005.
Farwell AP : Infectious thyroiditis, in Werner & Ingbarb The T
hyroid,LE Braverman, RD Utiger (eds). Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2000, pp 1044-1050.
Fatourechi V et al: Clinical Features and outcome of subacute
thyroiditis in an incidence cohort: Olmsted County, Minnesota,
Study. J Clin Endocrinol Metab 88:2100-2105, 2003.

Lee SL: Infiltrative thyroid disease, in UpToDate ver. 13.1, 2005.


Pearce EN et al: Current concept thyroiditis. N Engl J Med
2003:348 :2646-2655.

3t4
NODUL TIROID
Johan S. Masjhur

Secara klinik, nodul dibagi menjadi nodul tunggal


(soliter) atau multipel, sedangkan berdasarkan fungsinya
bisa didapatkan nodul hiperfungsi, hipofungsi, atau
berfungsi normal. Klasifikasi etiologi nodul tiroid dapat
dilihatpada Tabel l.

PENDAHULUAN
Nodul tiroid merupakan neoplasia endokrin yang paling
sering ditemukan di klinik. Karena lokasi anatomik kelenjar
tiroid yang unik, yaitu berada di superfisial, maka nodul
tiroid dengan mudah dapat dideteksi baik melalui
pemeriksaan fisik maupun dengan menggunakan berbagai

moda diagnostik seperti ultrasonografi, sidik tiroid


(sintigrafi), atav CT scan. Yang menjadi kepedulian klinik
adalah kemungkinan nodul tersebut ganas, di samping
keluhan pasien seperti perasaan tidak nyaman karena
tekanan mekanik nodul terhadap organ sekitarnya serta
masalah kosmetik. Diperlukan uji saring yang cukup

Adenoma
Adenoma makrofolikuler (koloid
sederhana)
Adenoma mikrofolikuler (fetal)
Adenoma embrional (trabekular)
Adenoma sel Htirthle (oksifilik,
onkositik)
Adenoma atipik
Adenoma dengan papila
Siqnet-inq adenoma

spesifik untuk mendeteksi keganasan mengingat


kemungkinannya hanya sekitar 5o/o dari nodul yang
ditemukan di klinik.
Dasar pemikiran pengelolaan nodul tiroid adalah

Karsinoma
Papiler (75 persen)
Folikuler (10 persen)
Meduler (5 - 10 persen)
Anaplastik (5 persen)
Lain-lain : Limfoma tiroid
(5 persen)

Lain-lain

bagaimana mendeteksi karsinoma yang mungkin


ditemukan hanya pada sebagian kecil pasien, serta

Kista sederhana (simple cysf)


Tumor kistiUpadat (perdarahan,
nekrotik)

menghindarkan pembedahan atau tindakan lain yang


sebenarnya tidak perlu pada sebagian besar pasien

Nodul kolloid
Nodul dominan pada struma
multinodosa

lainnya. Untuk itu perlu dipahami patogenesis, karakteristik

nodul serta penilaian risiko, manfaat spesifik dan


keterbatasan alat uji diagnostik serta jenis tindakan atau

lnflamasi tiroid
Tiroiditis subakut
Tiroiditis limfositik
khronik
Penjakit granulomatosa
Gangguan pertumbuhan
Dermoid
Agenesis lobus tiroid
unilateral (jarang)

Sumber : Welker JO and Odov D.

pengobatan yang akan dilakukan.

PREVALENSI
DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Di kepustakaan, selain istilah nodul tiroid sering digunakan
pula istilah adenoma tiroid. Istilah adenoma mempunyai
arti yang lebih spesifik yaitu suatu pertumbuhan jinak
jaringan baru dari sfuktur kelenjar sedangkan istilah nodul
tidak spesifik karena dapat berupa kista, karsinoma, lobul'
darijaringan normal, atau lesi fokal lain yang berbeda dari
jaringannormal.

2022

Prevalensi nodul tiroid berkisar antara 5o/o sampai 50%


bergantung pada populasi tertentu dan sensitivitas dari
teknik deteksi; prevalensi nodul tiroid meningkat sesuai
dengan umur, keterpajanan terhadap radiasi pengion dan
defisiensi iodium. Di Amerika Serikat prevalensi nodul
tiroid soliter sekitar 4-7o/o dari penduduk dewasa, 3-4 kali
lebih sering pada wanita dibandingkan pria. Nodul akan
ditemukan lebih banyak lagi pada waktu operasi, autopsi,

2023

NODULTIROID

dan dari hasil pemeriksaan ultrasonografi yang luput atau

tidak terdeteksi secara klinik. Pada autopsi nodularitas


ditemukan pada sekitar 37oh dari populasi, 12% di
antaranya dari kelompok yang tadinya dianggap sebagai
nodul soliter. Untungnya hanya sebagian kecil yaitu hanya

kurang dai 5%o nodul tiroid soliter ganas. Belum ada data
epidemiologi mengenai prevalensi nodul tiroid di berbagai

daerah di Indonesia yang dikenal memiliki tipologi


geografis dan konsumsi iodium yang bervariasi.

l. Adenoma
A. Folikuler
1. Varian koloid
2. Embrional
3. Fetal
4. Varian sel Hurthle
B. Papiler (kemungkinan ganas)
C. Teratoma

ll. Tumor Ganas


A. Berdiferensiasi
1. Adenokarsinoma papiler
a. Murni adenokarsinoma papiler

PATOGENESIS DAN PERJALANAN PENYAKIT

b. Campuran papiler dan follikuler (varian termasuk

2.

Lingkungan, genetik dan proses autoimun dianggap

nodul. Konsep yang selama ini dianut bahwa(hormon


perangsang tiroid) TSH secara sinergistik bekerja dengan

insulin danlatau insulin-like growth factor I dan


memegang peranan penting dalam pengaturan
pertumbuhan sel-sel tiroid perlu ditinjau kembali. Berbagai
temuan akhir-akhir ini menunjukkan TSH mungkin hanya

patogenesis nodul tiroid.

Adenoma tiroid merupakan pertumbuhan baru


monoklonal yang terbentuk sebagai respons terhadap
suatu rangsangan. Faktor herediter tampaknya tidak
memegang perananpenting. Nodul tiroid ditemukan 4 kali
lebih sering pada wanita dibandingkan pria, walaupun tidak

ada bukti kuat keterkaitan anlara estrogen dengan


perhrmbuhan sel. Adenoma tiroid tumbuh perlahan dan
menetap selama bertahun-tahun; hal ini mungkin terkait
dengan kenyataan bahwa sel tiroid dewasa biasanya
membelah setiap delapan tahun. Kehamilan cenderung
menyebabkan nodul bertambah besar dan menimbulkan
pertumbuhan nodul baru. Kadang-kadang dapat terjadi
perdarahan ke dalam nodul menyebabkan pembesaran
mendadak serta keluhan nyeri. pada waktu terjadi
perdarahan ke dalam adenoma, bisa timbul tirotoksikosis
selintas dengan peningkatan kadar T4 dan penurunan
penangkapan iodium (radioiodine uptake). Regresi
spontan adenoma dapat te{adi.
Apakah suatu adenoma dapat berubah menjadi
karsinoma ? Adenoma dari awalnya adalah jinak seperti
halnya karsinoma yang dari awalnyajuga ganas; walaupun

demikian pada beberapa kasus (yang jarang terjadi)


adenoma dapat bertransformasi menjadi ganas.
WHO menyusun klasifikasi histologi neoplasma tiroid

dengan membaginya atas dua kelompok besar yaitu


adenoma dan tumor ganas yang perlu dipertimbangkan
dalam menghadapi nodul tiroid (Tabet 2).

malignant
adenoma, karsinoma sel Hurthle atau oksifil, lear cell
carci noma, insul ar carcino ma)
B. Karsinoma medular (bukan berasal dari sel folikel)
C. Tidak berdiferensiasi
1. Small cel/ (perlu dibedakan dari limfoma)
2. Giant cell
3. Karsinosarkoma
D. Lain-lain
1. Limfoma, sarkoma
2. Karsinoma sel skuamosa epidermoid
3. Fibrosarkoma
4. Karsinoma mukoepitelial
5. Metastasis tumor

merupakan faktor-faktor penting dalam patogenesis nodul


tiroid. Namun masih belum dimengerti sepenuhnya proses
perubahan ataupertumbuhan sel-sel folikel tiroid menjadi

merupakan salah satu dari mata rantai di dalam suatu


jejaring sinyal-sinyal yang kompleks yangmemodulasi dan
mengontrol stimulasi pertumbuhan dan fungsi sel tiroid.
Penelitian yang mendalam berikut implikasi klinik dari
jejaring sinyal tersebut sangat diperlukan untuk memahami

tal I ce I l, folikular, oksifi l, padat)

Adenokarsinoma follikuler (varian

Direvisi oleh Pacini & De Groot (6)

Yang masih diperdebatkan apakah tumor tiroid papiler

merupakan suatu karsinoma atau tidak ? Ada yang


berpendapat bahwa tumor papiler harus dianggap sebagai
karsinoma, sedangkan yang lainnya menyatakan sebagian
tumor papiler adalah adenoma jinak. Tumor tiroid papiler

seyogyanya dianggap sebagai karsinoma, walaupun

tingkat invasifnya berbeda-beda. Sama halnya dengan


adenoma sel Hurthle, banyak ahli patologi yang
menganggapnya sebagai karsinoma dengan derajat rendah
(l ow - grade c ar c inom a).
Sekitar l|Yo adenomafolikuler merupakan nodul yang
hiperfungsi tampak sebagai nodul panas (hot nodule)pada
sidik tiroid yang menekan fungsi jaringan tiroid normal di

sekitarnya dan disebut sebagai nodul tiroid autonom


(Autonomously Functioning Thyroid Nodule : AFTlg.
Nodul tersebut dapat menetap selama bertahun-tahun,
beberapa di antaranya menyebabkan hipertiroidisme
subklinik (kadar T4 masih dalam batas normal tetapi kadar
TSH tersupresi) atau berubah menjadi nodul autonom
toksik terutama bila diameternya lebih dari 3 cm. Sebagian
lagi akan mengalami nekrosis spontan. Sekitar 2% dair
seluruh kasus tirotoksikosis disebabkan oleh nodul tiroid
autonom toksik.
Di daerah endemik sekitar sepertiga dari pasien
tirotoksikosis disebabkan adenoma hiperfungsi umumnya
berupa struma multinodosa toksik seperti yang banyak
ditemukan di beberapa daerah di Swiss.
Bagaimana nasib suatu nodul tiroid jinak ? Peq'alanan

2024

MEXABOUKENDOKIN

klinik dari suatu nodul belum dipahami

sepenuhnya.

Penelitian dari Kuma dkk. (1994) melaporkandari 134 pasien

dengan nodul jinak (dibuktikan secara sitologis) yang


diamati secara fisik dan ultrasonografi selama 9 sampai I I
tahun tanpa diberi pengobatan apapun: 43% nodul akan
mengalami regresi spontan, 23Yobertambah besar dan 33%
menetap. Yang menarik sebagian besar nodul jinak tidak

bertambah besar, dan kista dapat menghilang atau


mengecil tanpa pengobatan. Bila pasien-pasien tersebut
sebelumnya diobati dengan l-tiroksin, tentu tiroksinlah

Sangat Mencurigakan
Riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare atau MEN
Cepat membesar, terutama sewaktu terapi levotiroksin
Nodul padat atau keras
Sukar digerakkan/melekat pada jaringan sekitar
Paralisis pita suara
Limfadenopati regional
Metastasis jauh

Kecurigaan Sedang
Umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun
Pria
Riwayat iradiasi pada leher dan kepala
Nodul > 4 cm atau sebagian kistik

yang dianggap berperan dalam mengecilkan nodul


tersebut.

Keluhan penekanan, termasuk dusfagia, disfonia, serak,

KARAKTERISTIK NODUL DAN PENILAIAN RISIKO


Di klinikperlu dibedakan nodul tiroidjinak dari nodul ganas
yang memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut :
. Konsistensi keras dan sukar digerakkan, walaupun
nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan

kemudian menjadi lunak;


Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering
jinak, walaupun nodul yang mengalami kalsifikasi dapat
ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah
berlangsung lama;

Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan

dyspnea dan batuk


Nodul jinak
Riwayat keluarga : nodul jinak
Struma difusa atau multinodosa
Besarnya tetap
BAJAH :jinak
Kista simpleks
Nodul hangat atau panas
Mengecil dengan terapi supresi levotiroksin
Sumber: Hegedus, 2004 (dimodifikasi oleh penulis)

Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH)


Uji diagnostik in vivo:
Ultrasonografi
Sidik tiroid
Cf scan / MRI

petanda keganasan, walaupun nodul ganas tidak selalu

.
.
.

mengadakan infiltrasi

20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul


multipel jarangyangganas, tetapi nodul multipel dapat
ditemukan pada 40o/o keganasan tiroid;
Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu
dicurigai ganas.
Nodul dicurigai ganas bila disertai denganpembesaran
kelenjar getah bening regional atau perubahan suara

Uji diagnostik in vitro

Hormon tiroid dan TSHs


Kalsitonin

Jinak (negatif)
Tiroid normal

menjadi serak.

Nodul kolloid
Kista
Tiroiditis subakut
Tiroiditis Hashimoto

Tabel3 ditampilkan gambaran klinik dari nodul


tiroid jinak dan ganas pada pasien dengan nodul tiroid
Pada

Curiga (i n dete rm i natel


Neoplasma sel folikular
Neoplasma sel Hurthle
Temuan kecurigaan keganasan tapi tidak pasti
Ganas (positiO
Karsinoma tiroid papiler
Karsinoma tiroid medular

soliter; umumnya pasien dengan keganasan tiroid berada


dalam keadaan eutiroid.

DIAGNOSTIK

Karsinoma tiroid anaplastik

Dewasa ini tersedia berbagai modalitas diagnostik untuk


mengevaluasi nodul tiroid seperti biopsi aspirasi jarum
halus (BAJAH Fine Needle Aspiration Biopsy : FNAB),
ultrasonografi, sidik tiroid (sintigrafi; thyroid scan), dan
CT (Computed Tbmography) scan atau MRI (Magnetic

Gambaran ultrasonogram atau CT scan dari suatu nodul


dapat diklasifikasikan menjadi nodul padat, kistik atau

Resonance Imaging), serta penentuan status fungsi


melalui pemeriksaan kadar TSHs dan hormon tiroid.
Langkah-langkah diagnostik yang akan diambil dalam
pengelolaan nodul tiroid tergantung pada fasilitas yang

campuran padat-kistik. Sedangkan dari penyidikan


radiofarmaka, suatu nodul dapat berupa nodul hangat
(warm nodule), panas (hot nodule), atau dingin (cold

tersedia dan pengalaman klinik (Tabel5).

nodule).

Sumber: Castro and Gharib

is

otopik, berdasarkan kemampuannya menan gkap (up t ake)

2025

hIODULTIROID

Walaupun ada upaya untuk mencirikan proses


keganasan dari suatu nodul, namun sampai sekarang
belum ada teknik pencitraan yang secara spesifik dan
akurat dapat memastikan adanya proses keganasan
tersebut.

Biopsi Aspirasi Jarum Halus


Sebagian besar ahli endokrin sepakat menggunakan
biopsi aspirasi jarum halus sebagai langkah diagnostik
awal dalam pengelolaan nodul tiroid, dengan catatan harus
dilakukan oleh operator dan dinilai oleh ahli sitologi yang
berpengalaman. Di tangan yang ahli, ketepatan diagnosis
BAJAH berkisar antara 70-80%, dengan hasil negatif palsu
keganasan antara l-6oh. Sekitar l0% hasil sitologi positif

ganas dan sepertiganya (3-6%) positif palsu, yang


seringkali disebabkan tiroiditis Hashimoto. Sepuluh sampai
20% hasil BA J AH indeterminate atau mencurigakan; kirakra 20o/" dari jumlah tersebut berasal dari nodul ganas.

C. Karsinoma tiroid

Gambar 1. Gambar ultrasonografi:


tiroid; C. Karsinoma tiroid

Adenoma tiroid ; B. Kista

Hal ini disebabkan kesukaran dalam membedakan lesi


ganas dari tumor sel Hurlhle yang jinak atau tumor folikuler
yang kaya sel. Sebagian besar (80%) nodul demikian
memberikan gambaran nodul dingin pada sidik tiroid.
Ketepatan diagnostik BAJAH akan meningkat bila
sebelum biopsi dilakukan penyidikan isotopik atau

"i

:l

\''./

ultrasonografi . Sidik tiroid diperlukan untuk menyingkirkan

nodul tiroid otonom dan nodul fungsional hiperplastik,

A. Nodul panas di lobus kiri bawah

B. Struma multinodosa

sedangkan ultrasonografi selain rlntuk membedakan nodul

kistik dari padat dan menentukan ukuran nodul, juga


berguna untuk menuntun biopsi.
Teknik BAJAH aman, murah, dan dapat dipercaya, serta
dapat dilakukan pada pasien rawatjalan dengan risiko yang

sangat kecil. Dengan BAJAH, tindakan bedah dapat


dikurangi sampai 50olo kasus nodul tiroid, dan pada waktu
bersamaan meningkatkan ketepatan kasus keganasan pada
tiroidektomi. Hasil sitologi BAJAH dapat dikelompokkan
menjadi jinak (negatif), curiga (indeterminate) atau ganas
(positifl seperti dapat dilihat pada tabel 5.

Ultrasonografi. Ultrasonografi memberikan informasi


tentang morfologi kelenjar tiroid dan merupakan modalitas
yang andal dalam menentukan ukuran dan volume kelenjar

tiroid serta dapat membedakan apakah nodul tersebut


bersifat kistik, padat atau campuran kistik-padat.
Ultrasonografi juga digunakan sebagai penuntun biopsi.
Sekitar 20-40% nodul yang secara klinis soliter, temyata
multipel pada gambaran ultrasonogram. Namun demikian

belum diketahui pasti apakah multinodularitas tersebut


(seringkali berukuran <lcm) memiliki makna yang sama
dengan struma multinoduler pada pemeriksaan klinik atau
sidik tiroid. Gambaran ultrasonogram dengan karakteristik
dan risiko kemungkinan ganas adalah apablla ditemukan
nodul yang hipoechogenik, mikrokalsifikasi, batas ireguler,

dingin di lobus kiri

Gambar 2. Sidik Tiroid :A. Nodul Panas; B. Nodul Dingin Multipel;


C. Nodul Dingin

Masih diperdebatkan risiko keganasan lesi kistik


dominan yang ditemukan pada ultrasonogram; sebagian
peneliti menyatakan bahwa keganasan hanya ditemukan
antara 0.5 sampai 3o/o pada lesi seperti itu atau bahkan
tidak ada keganasan sama sekali. Di lain pihak ada yang
berpendapat tingkat keganasan hanya sedikit lebih rendah
dari lesi padat. Menurut beberapa peneliti lesi hipoekoik
cenderung ganas tetapi kemampuan diskriminannya hanya
sel<tiar 630/o, sedangkan lesi hiperekoikjarang ganas (hanya
sekitar 4o/o). Adanya halo sempurna (complete halo) di
sekeliling nodul lebih menunjukkan lesi jinak, hanya sekitar
60/o nodul dengan halo sempurna dan 160/o dengan halo
tidak sempurna (incomplete halo) temyata ganas.

peningkatan aliran vaskular pada nodul (melalui

Sidik tiroid. Sidik tiroid (sintigrafi tiroid; thyroid scan)

pemeriksaan dengan teknik Doppler), serta bila ditemukan

metupakan pencitraan isotopik yang akan memberikan

invasi atau limfadenopati regional

gambaran morfologi fungsional, yang berarti hasil

2026

METABOLIKENDOIRIN

pencitr ;mmerupakanrefleksi dari fungsi jaringan tiroid.


Radiofarmaka yarg digunakan adalah I- l3 I , Tc-99m
pertechndtate; Tc-99h MIBI, Tl-201 atau F-I8 FDG. I.131
memiliki perilaku sama dengan iodium stabil yaitu,ikut

1.

terapi supresi dengan hormon levotiroksin

bedah;

3.

iodium radioaktif
suntikan ethanol (percutaneous ethanol injection)
terapi laser dengan tuntunan ultrasonografi
(US guided laser therapy) ;
observasi, bila yakin nodul tidak ganas

dalarriproses trapping dan organifikasi untuk membentuk


hormon tiroid, sedangkan Tc-99m hanya ikut dalam proses

4.

trapping. Oleh karena itu ada kemungkinan terdapat


diskrepansi antara sidik tiroid menggunakan I- 13 I dengan
Tc-99m pertechnetate (hot atau warm area dengan
Tc-99m pertechnstale bisajadi cold area dengan I-131).
Pencitraan dengan Tc-99m MIBI, Tl-201 atau F-18 FDG

digr.makan unruk mendeteksi sisa jaringan residif karsinoma

tiroid pasca-tiroidektomi atau radiotiroablasi. Berdasarkan


distribusi radioaktivitas pada sidik tiroid dapat dilihat :
. Distribusi difus-rata di kedua lobi (normal);
. Distribusi kurang/tidak menangkap radioaktivitas pada
suatu area,/nodul, disebut sebagai nodd dingtrn (cold
nodule);
. Penangkapan radioaktivitas pada suatu arealnodul
lebih tinggi dari jaringan sekitarnya, disebut sebagai

nodul panas (hot nodule);


Penangkapan radioaktivitas di suatu daerah/nodul

sedikit meninggi/hampir sama dengan daerah

5.

Studi in-vitro. Penentuan kadar hormon tiroid dan TSHs


diperlukan untuk mengetahui fungsi tiroid. Nodul yang
fungsional (nodul autonom) dengan kadar TSHs tersupresi
dan hormon tiroid normal dapat menyingkirkan keganasan.
Kadar kalsitonin perlu diperiksa bila ada riwayat keluarga
dengan karsinoma tiroid medulare atau Multiple Endocrine
Neoplasia (MEN) ripe 2.

Algoritme diagnostik. Dalam kepustakaan

dapat
ditemukan berbagai algoritma pengelolaan nodul tiroid,
yang disusun berdasarkan pengalaman serta fasilitas
diagnostik yang tersedia. Beberapa senter menyusun

algoritma diagnostik dengan menggunakan BAJAH


sebagai alat uji diagnostik awal, diikuti dengan

sekitamya disebut sebagai nodul hangat (warm nodule/area); nodul hangat disebabkan oleh hiperplasia
jaringan tiroid fungsional di daerah tersebut.

ultrasonografi darVatau penyidikan isotopik (kalau fasilitas


kedokteran nuklir tersedia). Sebagai contoh di bawah ini
(Gambar 3) dicantumkan algoritmayang cukup sederhana

Nodul tiroid autonom (Autonomously Functioning


Thyroid Nodule--AFTII) adalah nodul tiroid fungsional
yg tampak sebagai nodul panas dan menekan fungsi

nuklir dan dapat dimodifikasi dengan melakukan BAJAH

jaringan tiroid normal sekitamya. Jaringan tiroid normal


akan terlihat berfungs! kembali pada sidik tiroid setelah
nodul tiroid otonom tersebut diablasi dengan iodium
radioaktif atau pembedahan.
Pencitraan isotopik (sidik tiroid) dilakukan untuk

dan praktis berdasarkan hasil BAJAH dan penyidikan


i sotopik seperti diajukan oleh Mazzafen i.
Algoritma di atas memerlukan fasilitas kedokteran
dengan funfunan ultrasonografi.

mengetahui apakah suatu nodul tiroid menangkap


radioaktivitas atau tidak, mendeteksi tiroid aberan
(misalnya tiroid lingual atau substernal), mendeteksi
jaringan tiroid sisa pasca-tiroidektomi atau jaringan

Berikutnya pada Gambar 4 disajikan algoritma lain yang


disusun oleh Hegedus (2004) dengan catatan sebagai
berikut:
. bila secara klinis curiga ganas, dianjurkan pembedahan
tanpa melihat hasil BAJAH;
. bila kadar TSHs tersupresi, lakukan sidik tiroid; nodul
yg berfungsi bukan kanker;

metastase fungsional dari karsinoma tiroid berdiferensiasi.


Dewasa ini dikembangkan teknik lain yaitu SPE CT ICT atau
PET/CT yang merupakan penggabungan antara pencitraan

dengan Single Photon Emmision Computed Tomography atau Positron Emitted Tbmography dengan CT Scan
(PET/CT). Dengan teknik tersebut sekaligus dapat
dideteksi lokasi anatomik dan frrngsi dari massa di leher
atau tempat lain yang dicurigar.
Arti klinik dari hasil pencitraan isotopik (sidik tiroid)
dari nodul tiroid dapat dilihat pada Tabei 6.
CT scun atau

MRI.

.
.
.

bila BAJAH non-diagnostik, biopsi ulangan akan


berhasil pada 50% kasus
bila pada USG ditemukan nodul lain dgn ukuran >10
mm, BAJAH diulangi pada nodul.
pilhan pengobatan tsb berlaku untuk nodul padat dan
kistik
bila ada nodul kisfik rekuren, pilihannya : ulangi BAJAH,
bedah atau etanol
hegedus tidak menganjurkan terapi supresi dengan l-

tiroksin pada nodul tiroid.

Seperti halnya ultrasonografi, CT scan

atau MRI merupakan pencitraan anatomi dan tidak


digunakan secara rutin untuk evaluasi nodul tiroid.

PENGELOLAAN NODUL TIROID

Penggunaannya lebih diutamakan untuk mengetahui posisi

anatomi dari nodul atau jaringan tiroid terhadap organ


sekitarnya seperti diagnosis struma sub-sternal dan

Tindakan atau pilihan terapi apayangdapatdilakukan pada


nodul tiroid? Pilihannya dapat dilihat pada Tabel6. Kapan

kompresi trakhea karena nodul.

nodul tiroid diamati saja perkembangannya (tanpa

2027

NODULTIROID

Ganas

.#

Bedah

Dingin/Hangat

BAJAH

Meragukan

--}

Bedah

Sidik Tiroid

t
I

Ulangi

Jinak

lkuti

Panas

---|

lkuti/pantau

Tidak adekuat

Gambar 3. Evaluasi Nodul Tiroid Berdasarkan Hasil BAJAH dan SidikTiroid. (Sumber: MazatemEL)

l-131; altematif;
observasi, bedah,
suntikan ethanol, laser

til.l

Bedah

Gambar4. Algoritme Pengelolaan NodulTiroid Soliter. (Sumber: Hegedus. Dimodifikasi)

pengobatan), atau diberikan terapi supresi hormonal,


sklerosing, laser, iodium radioaktif, serta kapan pula
dilakr:kan tindakan bedah ? Jawabannya tergantung dari
hasil uji diagnostik dan kebijakan masing-masing senter.
Bila risiko keganasan rendah atau hasil BAJAH negatif
pilihannya adalah diamati saja perkembangannya, diberikan
terapi supresi hormonal, terapi sklerosing dengan suntikan
ethanol, atau terapi laser dengan tuntunan ultrasonografi

(masih dalam taraf eksperimental). Atas pertimbangan

kosmetik tindakan bedah dapat dilakukan pada suatu nodul

jinak. Sebaliknya bila hasil BAJAH positif ganas, maka


perlu segera dilakukan tindakan pembedahan.

Perlu dicatat bahwa belum ada data yang


membandingkan hasil dan

c o s t- effect iv enes s berbagai


strategi evaluasi nodul (misalnya sidik tiroid dan

ultrasonografi sebagai penuntun BAJAH). Demikian juga


belum cukup data untuk membandingkan hasil (termasuk
kualitas hidup) dari berbagai cara pengelolaan noduljinak.

2028

METABOLIKENDORtr{

Terapi supresi dengan l-tiroksin. Terapi supresi dengan


hormon tiroid (levotiroksin) merupakan pilihan yang
paling sering dan mudah dilakukan. Terapi supresi dapat
menghambat pertumbuhan nodul serta mungkin bermanfaat

pada nodul yang kecil. Tetapi tidak semua ahli setuju


melakukan terapi supresi secara rutin, karena hanya sekitar
20%onodulyang responsif. Oleh karena itu perlu diseleksi
pasien yang akan diberikan terapi supresi, berapa lama,
dan sampai berapa kadar TSH yang ingin dicapai. Bila kadar

mengelilingi jaringan nekrotik. Nodul akan dikelilingi oleh


reaksi granulomatosa dengan multinucleated giant cells,
dan kemudian secara bertahap j aringan tiroid diganti dengan
j aringan parut granulomatosa.
Terapi sklerosing dengan etanol dilakukan pada nodul
jinak padat atau kistik dengan menyuntikkan larutan etanol
(alkohol); tidak banyak senter yang melakukan hal ini secara
rutin karena tingkat keberhasilannya tidak begitu tinggi.
dalam 6 bulan ukuran nodul bisa berkurang sebesar 45%. Di
samping itu dapat te{adi efek samping yang serius terutama

TSH sudah dalam keadaan tersupresi, terapi dengan ltiroksin tidak diberikan. Terapi supresi dilakukan dengan

bila dilakukan oleh operator yang tidak berpengalaman.

memberikan l-tiroksin dalam dosis supresi dengan sasaran

Efek samping yang mungkin terjadi adalah rasa nyeri yang

kadar TSH sekitar 0.1 - 0.3 mlU/ml. Biasanya diberikan


selama 6-12 buIan, dan bila dalam waktu tersebut nodul
tidak mengecil atau bertambah besar perlu dilakukan biopsi
ulang atau disarankan operasi. Bila setelah satu tahun nodul
mengecil, terapi supresi dapat dilanjutkan. Pada pasien
tertentu terapi supresi hormonal dapat diberikan seumur

hidup, walaupun belum diketahui pasti manfaat terapi


supresi jangka panjang tersebut. Banyak penelitian telah
dilakukan tentang manfaat terapi supresi ini dengan hasil
yang tidak konsisten satu sama lain.
Yang perlu diwaspadai adalah terapi supresi hormonal

jangka panjang yang dapat menimbulkan keadaan


hipertiroidisme subklinik dengan efek samping berupa
osteopeni atau gangguan pada jantung. Terapi supresi
hormonal tidak akan menimbulkan osteopenia pada pria
atauwanita yang masih dalamusia produktif, namun dapat
memicu terjadinya osteoporosis pada wanita pascamenopause walaupun ternyata tidak selalu disertai dengan
peningkatan kej adian fraktur.

Suntikan etanol perkutan (P erculaneous Ethano I Inj ection). Penyuntikan etanol pada jaringan tiroid akan
menyebabkan dehidrasi seluler, denaturasi protein dan
nekrosis koagulatif pada j aringan tiroid dan infark hemoragik
akibat trombosis vaskular; akan terjadi juga penurunan

aktivitas enzim pada sel-sel yang masih viable yang

Jenis
Pengobatan

Keuntungan

Bedah

Ablasi nodul, menghilangkan keluhan,


spesimen utk diagnostik histologi

Levotiroksin

Tidak perlu dirawat di RS, murah, dapat


mernperlambat pertumbuhan nodul dan
menghambat pem-bentukan nodul baru

lodium

Tidak perlu dirawat di RS, murah, efek


samping rendah, nodul mengecil
sampai 40% dalam satu tahun
Tidak perlu dirawat di RS, relatif murah,
tidak ada hipotiroidisme, nodul
mengecil 45% dalam 6 bulan

radioaktif
Suntikan
etanol

Terapi

laser

Masih dalam tahap eksperimental

Sumber: Hegedus, 2004 (8). Dimodifikasi.

hebat, rembesan (leakage) alkohol ke jaringan


ekshatiroid, juga ada risiko tirotoksikosis dan paralisis pita
suara.

Terapi Iodium Radioaktif(I-131). Terapi dengan Iodium


radioaktif (I- I 3 I ) dilakukan pada nodul tiroid autonom atau
nodul panas (fungsional) baikyang dalam keadaan eutiroid
maupun hipertiroid. Terapi iodium radioaktif juga dapat
diberikan pada struma multinodosa non-toksik terutama
bagi pasien yang tidak bersedia dioperasi atau mempunyai
risiko tinggi untuk operasi. Iodium radioaktif dapat
mengurangi volume nodul tiroid dan memperbaiki keluhan
dan gejala penekanan pada sebagian besar pasien. Yang
perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya tiroiditis
radiasi (arang) dan disfungsi tiroid pasca-radiasi seperti
hipertiroidisme selintas dan hipotiroidisme.

Pembedahan. Melalui tindakan bedah dapat dilakukan


dekompresi terhadap jaringan vital di sekitar nodul, di
samping dapat diperoleh spesimen untuk pemeriksaan
patologi. Hemitiroidektomi dapat dilakukan pada nodul
jinak, sedangkan berapa luas tiroidektomi yang akan
dilakukan pada nodul ganas tergantung padajenis histologi
dan tingkat risiko prognostik. Hal yang perlu diperhatikan
adalah penyulit seperti perdarahan pasca-pembedahan,
obstruksi trakea pasca-pembedahan, gangguan pada n.
rekurens laringeus, hipoparatiroidi, hipotiroidi atau nodul

Kekurangan/
Kerugian
Perlu perawatan di RS, mahal, risiko bedah: paralisis pita suara,
hipoparatiroidis, hipotiroidisme.
Efikasi rendah, pengobatan jangka panjang, nodul tumbuih
kembali setelah dihentikan, takiaritmia jantung, penurunan
densitas tulang, tidak berguna bila TSH tersupresi
Kontraindikasi pada wanita hamil, pengecilan nodul bertahap,
hipotiroidisme dalam 5 tahun (10% pasien), risiko tiroiditis dan
tirotoksikosis
Pengalaman masih terbatas, efikasi rendah pada nodul besar,
keberhasilan tergantung operator, rasa nyeri hebat, risiko
tirotoksikosis dan paralisis pita suara, perembesan etanol, etanol
mengganggu penilaian sitologi dan histologi

2029

II(X'TJLTIROID

kambuh. Untuk menekan kejadian penyulit tersebut,


pembedahan hendaknya dilakukan oleh ahli bedah yang
berpengalaman dalam bidangnya.

Terapi laser interstisial dengan tuntunan ultrasonografi.


Terapi nodul tiroid dengan laser masih dalam tahap
eksperimental. Dengan menggunakan "low power laser
energl

",

energi termik yang diberikan dapat mengakibatkan

nekrosis nodul tanpa atau sedikit sekali kerusakan pada


jaringan sekitarnya. Suatu studi tentang terapi laser yang
dilakukan oleh Dossing dkk (2005) pada 30 pasien dengan
nodul padat-dingin soliter jinak (benign s olitary solid-cold
nodule) mendapatkan hasil sbb: pengecilan volume nodul
sebesar 44%o (median) yang berkorelasi denganpemrmnan
gejala penekanan dan keluhan kosmetik, sedangkan pada
kelompok kontrol ditemukan peningkatan volume nodul
yang tidak signifikan sebesar 7%o (median) setelah 6 bulan.

Tidak ditemukan efek samping yang berarti. Tidak ada


korelasi antara deposit energi termal dengan pengurangan

volume nodul serta tidak ada perubahan pada fungsi


tiroid.

KONTROVERSI PENGELOLAAN NODU L TIROID


Seperti diutarakan masih terdapat kontroversi dalam
pengelolaan nodul tiroid yaitu mengenai langkah
,

diagnostik serta tindakan medik atau bedah yang akan


dilakukan. Pertimbangannya meliputi kapan akan dilakukan
ekstirpasi nodul atau tindakan bedah yang lebih ekstensif,
kapan suatu nodul dibiarkan atau diobservasi saja, dan
kapan serta ba gaimana caranyamelakukan tindakan medik.

Hasil survai dari Bennedbaek dan Hegedus yang


dilaporkan dalamJournal of Clinical Endocrinologl,' and
Metabolism menggambarkan perbedaan penanganan
nodul tiroid di antara para ahli endokrin anggota American Thyroid Association dengan European Thyroid

Association .
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) merupakan
langkah diagnostik awal nodul tiroid di kalangan ahli
endokrin Amerika Utara (the American Thyroid Association, ATA) dan Eropa (the European Thyroid Associa-

tion, ETA). Ahli endokrin di ATA lebih jaratg


menggunakan uji laboratorik dan pencihaan (penyidikan

isotopik dan atau ultrasonografi), bahkan mayoritas


anggota ATA (paling kurang 213) tidak melakukan
pencitraan sama sekali. Penyidikan isotopik dilakukan

tergantung hasil BAJAH (terutama bila BAJAH


memberikan hasil indeterminate), sedangkan
ultrasonografi hanya dilakukan pada pasien tertentu yaitu
sebagai penuntun biopsi dan pada nodul kistik.
Lebih dari setengah anggota ATA tidak memberikan
pengobatan khusus pada nodul tiroid jinak soliter nontoksik. Walaupun ada kontroversi mengenai efektivitas
dan penggunaan jangka panjang terapi supresi dengan

levotiroksin, 'lebih dari 40o/o anggota ETA dan ATA tetap


memberikannya dalam jangka waktu antara 3-6 bulan
sampai bertahun-tahun (tidak terbatas).

Pembedahan hanya direkomendasikan oleh

l%o

anggota ATA dibandingkan I dari 4 anggota ETA. Pada


kasus yang diduga ganas, lebih dai 90o/o anggota ATA
tidak melakukan biopsi dan langsung melakukan operasi;
sebaliknya hanya setengah anggota ETAyang mengambil
langkah seperti itu.

PENUTUP
Dasarpemikiran pengelolaan nodul tiroid adalah bagaimana
mendeteksi dan menyingkirkan kemungkinan keganasan
serta menghindari tindakan-tindakan yang sebenarnya

tidak perlu dilakukan. BAJAH, ultrasonografi, dan


penyidikan isotopik (sidik tiroid), serta penentuan kadar
TSH merupakan perangkat diagnostik yang paling sering
digunakan dalam evaluasi nodul tiroid. Sedangkan terapi
supresi hormonal, terapi iodium radioaktif, operasi, terapi
sklerosing, atau terapi laser, bahkan hanya diobservasi
saja (pada nodul jinak) merupakan pilihan pengobatan.
Terdapat kontroversi dan perbedaan pendekatan dalam
pengelolaan nodul tiroidi, tergantung pada pengalaman
klinik dan fasilitas yang tersedia. Sampai sekarang belum
tersedia datayang cukup untukmembandingkan hasil caracara evaluasi diaglostik dan pengelolaan nodul tiroid.

REFERENSI
L. Management of the Solitary Thyroid Nodule : Results of a North American Survey. J Clin

Bennedbaek FN and Hegedus

Endocrinol Metab 2000;85 (7):2493 -8.


Castro MR, Caraballo PJ, and Morris JC. Effectiveness of thyroid
hormone suppressive therapy in benign solitary nodules : a
meta-analysis. J Clin Endocrinol Metab 2002;87.4184-59.
Castro MR and Gharib H. Thyroid nodules and cancer. When to wait
and watch, when to refer. Postgrad Med 2000;107(l):ll3-24.
Derwahl M, Broecker M, and Kraiem Z. Thyrotropin May Not Be
the Dominant Growth Factor in Benign and Malignant Thyroid
Tumors. J Clin Endocrinol Metab 1999;84(3):829-34.
Dossing H, Bennedbaek FN, and Hegedus L. Effect of ultrasoundguided interstitial laser photocoagulation on benign solitary cold

thyroid nodules - a randomised study. Eur J Endocrinol


2005;152(3):34t-5).
Gharib H. Changing concepts in the diagnosis and management of
thyroid nodules. Endocrinol and Metab Clin 1997;26(4):778800.
Hamburger JL. Diagnosis of thyroid nodules by fine needle biopsy :
use and abuse. J Clin Endocrinol Metab 1994;79(2):335-9.
Hegedus L. The Thyroid Nodule. N Engl J Med,2004;351:1764-71.
Jennings A. Nonisotopic techniques of thyroid imaging. In Wemer
and Ingbar's The Thyroid. Braverman LE and Utiger RD (Eds.)
6rb edition. Philadelphia, JB Lippincott Comp. 1991:525-43.
Martino E and Bogazzi F. Percutaneous ethanol injection therapy
for thyroid diseases.Thyroid International 2000;5:3-9.

2030

Mazzafeni EL. Management of a solitary thyroid nodule. N Engl J


Med 1993;328(8):553-9.
Pacini F and DeGroot LJ. Thyroid Nodule. In Thyroid and its Disease. DeGroot LJ (Ed.). Thyroid Disease Manager.
www.thyroidmanager.org. May 2005 Edition.
Papini E, Petrucci L., Guglielmi R., et al. Long-term changes in

nodular goiter : a 5-year prospective randomized trial with


levothyroxine suppressive therapy for benign cold thyroid nodules. J Clin Endocrinol Metab 1998;83:780-3.
Kuma K, Matsuzuka F, Yokozawa ! et al. Fate of untreated benign
thyroid nodules. Results of long-term follow-up. World J Surg
1994;18:495.
Ross DS. Evaluation of t\roid nodule. J Nucl Med 199l:32:218192.
Shaha AR. Controversies in the Management of Thyroid Nodule'
The Laryngoscope 2000;1 10:183-93.

MEDABOLIKENDOTRtr{

Singer PA, Cooper DS, Daniels GH et al. Treatment Guidelines for

patients with thyroid nodules and well-differentiated thyroid


cancer. Arch Intern Med 1996;156:2165-72.
Welker JO and Orlov D. Thyroid Nodule. Am Fam Phys
20O3;69:559-66.
Wemeau J-L, Caron P, Schvartz C, et al. Effects of Thuyoid-Stimulating Hormone suppression with Levothyroxine in reducing the
volume of solitary thyroid nodules and improving extranodular
nonpalpable changes: a randomized, double blind, palcebo-con-

trolled trial by the French Thyroid Research Group' J Clin


Endocrinol Metab 2002;87 :4928-34.
Zelmanovitz F, Genro S, and Gross JL. Suppressive therapy with
levothyroxine for solitary thyroid nodules ; a double-blind controlled clinical study and cumulative meta-analyses. J Clin
Endocrinol Metab 1998;83:388 l-5.

315
KARSINOMA TIROID
Imam SubeKi

PENDAHULUAN

digunakan adalah pencitraan dan petanda keganasan.


Ruang lingkup bahasan tulisan ini adalah karsinoma
tiroid khususnya yang berdifer'ensiasi. Sedangkan jenis

Kelenjar tiroid termasuk bagian tubuh yang janng


mengalami keganasan, terjadi0,8syo dan2,5Yo dari seluruh
keganasan padapia dan wanita. Tetapi di antara kelenjar
endokrin, keganasan tiroid termasuk jenis keganasan
kelenjar endokrin yang paling sering ditemukan.
Secara klinis, antara nodul tiroid yang ganas dengan
yang jinak sering sulit dibedakan, bahkan baru dapat

karsinoma medulare dan anaplastik akan disinggung

dibedakan setelah didapatkan hasil evaluasi sitologi

Angka kekerapan keganasan pada nodul tiroid berkisar


5-10%. Prevalensi keganasan pada multinodular tidakjauh

prinsip-prinsipnya saja.

PREVALENSI

preparat biopsi jarum halus atau histopatologi dari jaringan


kelenjar tiroid yang diambil saat operasi.
Tampilan klinis karsinoma tiroid pada sebagian besar
kasus umumnya ringan. Pada nodul tiroid yang ganas,

berbeda. Gharib H dalam laporannya mendapatkan angka


4,1%o dan 4,7o/o masing-masing prevalensi untuk nodul
tunggal dan multipel. Bila dilihat dari jenis karsinomanya,
kurang lebih 90% jenis karsinomapapilare dan folikulare,
5-9% jenis karsinoma medulare, l-2 oh jenis karsinoma

bisa saja nodul tiroid tersebut baru muncul dalam


beberapa bulan terakhir, tetapi dapat pula sudah mengalami
pembesaran kelenjar tiroid berpuluh tahun lamanya serta
memberikan gejala klinis yang ringan saja, kecuali jenis

karsinoma tiroid anaplastik yang perkembangannya


sangat cepat dengan prognosis buruk. Dari berbagai
penelitian, terdapat beberapa petunjuk yang dapat
digunakan untuk menduga kecenderungan nodul tiroid
ganas atau tidak, antara lain riwayat terekspos radiasi,
usia saat nodul timbul, konsistensi nodul.
Dengan berbagai kemajuan teknologi kedokteran,
seperti aplikasi biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH),

anaplastik, 1-3% jenis lainnya. Anak-anak usia di bawah


20'h dengan nodul tiroid dingin mempunyai risiko
keganasan 2 kali lebih besar dibanding kelompok dewasa.

Kelompok usia di atas 60th, di samping mempunyai


prevalensi keganasan lebih tinggi, juga mempunyai tingkat
agresivitas penyakit yang lebih berat, yang terlihat dari

seringnya kejadian jenis karsinoma tiroid tidak

berdiferensiasi.

ultrasonograf,r (USG), thyroid stimulating hormone (TSH)


sensitif dan terapi supresi L-tiroksin, telah memungkinkan
para peneliti melakukan evaluasi nodul tiroid secara lebih
cermat hingga sampai pada diagnosis nodul jinak atau

Klasifrkasi karsinoma tiroid dibedakan atas dasar, 1. asal


sel yang berkembang menjadi sel ganas, dan 2. tingkat

ganas.

keganasannya.

Modalitas terapi karsinoma tiroid, khususnya yang


berdiferensiasi, adalah operasi, ablasi Iodium radioaktif

l.

KLASIFIKASI

dan terapi supresi L-tiroksin. Agresivitas terapi didasarkan


atas faktor risiko prognostik pada masing-masing pasien.

Untuk evaluasi hasil pengobatan, parameter yang

Asal Sel
. Tumorepitelial
a. Tumorberasal dari sel folikulare.
Jinak : Adenoma Folikulare, Konvensional,
Varia.

2031

2032

METABOLIKENDOKRIN

b.

Ganas: Karsinoma
. Berdiferensiasi baik : karsinoma folikulare,
karsinoma papilare (konvensional, varian)
. Berdiferensiasi buruk (karsinoma insular)
. Takberdiferensiasi (anaplastik)
Tumor berasal dari sel C (berhubungan dengan

c.

tumor neuroendokrin)
. KarsinomaMedulare
Tumor berasal dari sel folikulare dan sel C

. Sarkoma
. Limfoma Malignum
.

(dan neoPlasma

hematopoetik yang berhubungan)


Neoplasma Miselaneus

2. Tingkat keganasan. Untuk

ditanyakan, apakah ke arah ganas atau tidak. Seperti


misalnya usia pasien saat pertama kali nodul tiroid
ditemukan, riwayat radiasi pengion saat usia anak-anak,
jenis kelamin pria, meskipun prevalensi.nodul tiroid lebih
rendah, tetapi kecenderungannya menjadi ganas lebih
tinggi dibandingkan pada wanita. Respons terhadap
pengobatan dengan hormon tiroid juga dapat digunakan
sebagai petunjuk dalam evaluasi nodul tiroid.
Riwayat karsinoma tiroid medulare dalam keluarga,
penting untuk evalusi nodul tiroid ke arah ganas ataujinak.
Sebagian pasien dengan karsinoma tiroid medulare
herediterjuga memiliki penyakit lain yang tergabung dalam
MEN (multiple endocrine neoplas ia) 2A atau MEN2B.

kepentingan praktis,

karsinoma tiroid dibagi atas 3 kategori, yaitu:

Pemeriksaan Fisis

Karsinoma papilare,
(dengan
invasi
minimal)
b). Karsinoma folikular
folikulare
Karsinoma
Tingkat keganasan menengah : a).
(dengan invasi luas), b). Karsinoma medulare, c).
Limfoma maligna, d). Karsinoma tiroid berdiferensiasi
buruk

fisik diarahkan pada kemungkinan adanya


keganasan tiroid. Pertumbuhan nodul yang cepat
merupakan salah satu tanda keganasan tiroid, terutama
jenis karsinoma tiroid yang tidak berdiferensiasi

Tingkat keganasan tinggi : a). Karsinoma tidak

kelenjar getah bening di daerah leher. Pada tiroiditis,


perabaan nodul nyeri dan kadang-kadang berfluktuasi

Tingkat keganasan rendah

: a).

berdiferensiasi, b). Haemangioendothelioma maligna


(angiosarcoma).
Perangai karsinoma tiroid yang berdiferensiasi baik
relatifjinalq perkembangannya lambat dengan kelangsungan
hidup cukup panjang. Dilaporkan angka kelangsungan
hidup 10 tahun berkisar 74-93% untuk jenis papilare dan
43-94%wfikjenis folikulare. Sedang karsinoma tiroid yang
tidak berdiferensiasi (anaplastik) hampir semuanya
meninggal dalam I tahun. Di klinik Mayo, hanya 3.6Yo
karsinoma berdiferensiasi buruk yang mampu bertahan
hidup lebih dari 5 tahun, meskipun telah mendapatterapi
operasi, radiasi ekstemal dan kemoterapi.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Pemeriksaan

(anaplastik). Tanda lainnya ialah konsistensi nodul keras


dan melekat ke j aringan sekitar, serta terdapat pembesaran

karena ada abses/pus. Sedangkanjenis nodul tiroid lainnya


biasanya tidak memberikan kelainan fisik kecuali benjolan
leher.

Untuk memudahkan pendekatan diagnostik, berikut ini


adalah kumpulan riwayat kesehatan danpemeriksaan fisik

yang mengarah pada nodul tiroid jinak, tanpa


menghilangkan kemungkinan adanya keganasan, yaitu :
. Riwayat keluarga tiroiditis Hashimoto atau penyakit
tiroid autoimun
. Riwayat keluarga dengan nodul tiroid jinak atau goiter
. Gejala hipotiroidisme atau hipertiroidisme
. Nyeri dan kencang pada nodul

.
.

Lunak,ratadantidakterfiksir

Struma multinodular Ianpa nodul dominan dan


konsistensi sama

Pasien dengan karsinoma tiroid biasanya datang dengan


nodul soliter. Pengambilan keterangan riwayat penyakit

(anamnesis) merupakan bagian penting dalam rangka


penegakan diagnosis.

Anamnesis
Sebagian besar keganasan tiroid tidak memberikan gejala
yang berat, kecuali keganasanjenis anaplastik yang sangat
cepat membesar bahkan dalam hitungan minggu. Sebagian
kecil pasien, khususnya pasien dengan nodul tiroid yang
besar, mengeluh adanya gejala penekanan pada esofagus
dan trakhea. Biasanya nodul tiroid tidak disertai rasa nyeri,

Sedangkan di bawah ini adalah kumpulan riwayat


kesehatan dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan
kecurigaan ke arah keganasan tiroid, yaitu : usia <20th atau
>60th mempunyai prevalensi tinggi keganasanpada nodul
yang teraba. Nodul pada pria mempunyai kemungkinan 2
kali lebih tinggi menjadi ganas dari wanita
. Keluhan suara serak, susah napas, batuk, disfagia
. Riwayat radiasi pengion pada saat kanak-kanak

.
.
.

Padat, keras, tidakratadanterfiksir

Limfadenopatiservikal
Riwayat keganasan tiroid sebelumnya

kecuali timbul perdarahan ke dalam nodul atau bila


kelainannya tiroiditis akut/subakut. Keluhan lain pada

Pemeriksaan Penunjang

keganasan yang mungkin ada ialah suara serak.


Dalam hal riwayat kesehatan, banyak faktoryang perlu

Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH). Pemeriksaan


sitologi dari BAJAH nodul tiroid merupakan langkah

2033

I(ARSINOMATIROID

pertama yang harus dilakukan dalam proses diagnosis.


BAJAH oleh operator yang trampil, saat ini dianggap
sebagai metode yang efektifuntuk membedakan jinak atau
ganas pada nodul soliter atau nodul dominan dalam struma

multinodular. Gharib dkk melaporkan bahwa BAJAH


mempunyai sensitivitas sebesar 83%o dan spesifisitas 92%.
Bila BAJAH dikerjakan dengan baik, akan menghasilkan
angka negatifpalsu kurang dai 5yo, dan angka positip palsu

hampir mendekati 1%. Hasil BAJAH dibagi menjadi


yaitu : jinak, mencurigakan (termasuk adenoma
folikulare, Hurthle dan gambaran yang sugestif tapi tidak
konklusif karsinoma papilare tiroid), ganas dan tidak
4 kategori,

adekuat.

Jenis karsinoma yang dapat segera ditentukan ialah


karsinoma papilare, medulare atau anaplastik. Sedangkan
untuk jenis karsinoma folikulare, untuk membedakannya

dari adenoma folikulare, harus dilakukan pemeriksaan


histopatologi yang dapat memperlihatkan adanya invasi
kapsul tumor atau invasi vaskular. Mengingat secara
sitologi tidak dapat membedakan adenoma folikulare dari
karsinoma folikulare, maka keduanya dikelompokkan
menjadi neoplasma folikulare intermediate atau
suspicious. Pada kelompok suspicious, angka kejadian
karsinoma folikulare berkisar 20Yo dengan angka tertinggi
terjadi pada kelompok dengan ukuran nodul besaq usia
bertambah dan kelamin laki-laki.
Sekitar 15-20% pemeriksaan BAJAH, memberikan hasil
inadequat dalam hal materiaVsampel. Pada keadaan seperti
ini dianjurkan untuk mengulang BAJAH dengan bantuan
USG @uided USG) sehingga pengambilan sampel menjadi
lebih akurat.
Pemeriksaan potong beku (frozen section) pada saat
operasi berlangsung, tidak memberikan keterangan banyak

imunohistokimia biasanya juga tidak dapat membedakan

lesijinak dari lesi ganas.

Pencitraan. Pencitraan pada nodul tiroid tidak dapat


menentukan jinak atau ganas, tetapi dapat membantu
mengarahkan dugaan nodul tioid tersebut cenderung jinak
atau ganas. Modalitas pencitraan yang sering digunakan
pada nodul tiroid ialah sidik (sintigrafi) tiroid dan USG.
Sintigrafi tiroid pada keganasan hanya memberikan
gambaran hipofungsi atau nodul dingin, sehingga
dikatakan tidak spesifik dan tidak diagnostik. Sintigrafi
tiroid dapat dilakukan dengan menggunakan 2 macam
isotop, yaitu iodium radioaktif (t'3-I) dan technetium
pertechnetate ('n--Tc). t23-I lebih banyak digunakan dalam
evaluasi fungsi tiroid, sedang 99m-Tc lebih digunakan
untuk evaluasi anatominya.Pada sintigrafi tiroid, kurang
lebih 80-85% nodul tiroid memberikan hasil dingin(cold)
danl0-15%o dari kelompok ini mempunyai kemungkinan
ganas. Nodul panas (ftol) ditemukan sekitar 5o/o dengan
risiko ganas paling rendah, sedang nodul hangat (warm)
terdapat 10-15% dari seluruh nodul dengan kemungkinan
ganas lebih rendah dari l0%.
USG pada evaluasi awal nodul tiroid dilakukan untuk
menentukan ukuran dan jumlah nodul, meski sebenarnya
USG tidak dapat membedakan nodul jinak dari yang ganas.
USG pada nodul tiroid yang dingin sebagian besar akan
menghasilkan gambaran solid, campuran solid-kistik dan
sedikit kista simpel. Dari suatu seri penelitian USG nodul
tiroid, didapatkan 69%o solid, l2o/o campurandan I 9% kista.
Dari seluruh l9%o krsta tersebut, hanya 7o/o yang ganas,
sedangkan kemungkinan ganas dari nodul solid atau

mengkonfirmasi diagnosis dugaan karsinoma papilare.

campuran berkisar 20%. USG juga dikerjakan untuk


menentukan multinodularitas yang tidak teraba dengan
palpasi, khususnya pada individu dengan riwayat radiasi
pengion pada daerah kepala dan leher. Nodul soliter atau
multipel yang lebih kecil dari lcm yang hanya terdeteksi

Laboratorium. Keganasan tiroid bisa te{adi pada keadaan


fungsi tiroid yang normal, hiper maupun hipotiroid. Oleh
karena itu perlu diingat bahwa abnormalitas fungsi tiroid
tidak dengan sendirinya menghilangkan kemungkinan

pemeriksaan lanjutan lain kecuali evaluasi USG ulang


secara periodik. Nodul yang terdeteksi dengan USG pada
pasien Graves umunmya jinak. Dari 315 pasien Graves

untuk neoplasma folikulare, tetapi dapat membantu

keganasan. Sering pada Hashimoto juga timbul nodul baik

rmi/bilateral, sehingga pada tiroiditis kronik Hashimotopun masih mungkin terdapat keganasan.
Pemeriksaan kadar tiroglobulin serum untuk keganasan

tiroid cukup sensitif tetapi tidak spesifik, karena


peningkatan kadar tiroglobulin juga ditemukan pada
tiroiditis, penyakit Graves dan adenoma tiroid. Pemeriksaan
karlar tiroglobulin sangat baik untuk monitor kekambuhan
karsinoma tiroid pasca terapi, kecuali pada karsinoma tiroid
medulare dan anaplastik, karena sel karsinoma anaplastik
tidak mensekresi tiroglobulin. Pada pasien dengan riwayat

keluarga karsinoma tiroid medulare, tes genetik dan


pemeriksaan kadar kalsitonin perlu dikerjakan. Bila tidak
ada ftsgurigaan ke arah karsinoma tiroid medulare atau
neoplasia endokrin multipel 2, pemeriksaan kadar kalsitonin

tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin. Pemeriksaan

dengan USG umumnya

jinak dan tidak diperlukan

ditemukan 106 nodul ukuran Smm atau lebih, pada evaluasi


sitologi hanya ditemukan I (satu) kasus karsinoma.

Modalitas pencitraan lain seperti computed


tomographic scanning (CT Scan) danmagnetic resonance
imaging (MRI) tidak direkomendasikan untuk evaluasi
keganasan tiroid, karena disamping tidak memberikan
keterangan berarti untuk diagnosis, juga sangat mahal.
CT Scan atau MkIbaru diperlukan bila ingin mengetahui
adanya perluasan struma substernal atau terdapat kompresi
trakhea.

Terapi supresi siroksin (untuk diagnostik). Salah satu


meminimalisasi hasil negatif palsu pada BAJAH ialah

cara

dengan terapi supresi TSH dengan tiroksin. Yang dimaksud


terapi supresi TSH dengan L-tiroksin ialah menekan sekresi
TSH dari hipofisis sampai kadar TSH di bawah batas nilai

2034

METABOLIKENDOKRIN

terendah angka normal. Rasionalitas supresi TSH

central and bilateral lateral node dissection. Untuk

berdasarkan bukti bahwa TSH merupakan stimulator kuat


untuk fungsi kelenjar tiroid dan pertumbuhannya. Cara ini
diharapkan dapat memisahkan nodul yang memberikan
respon dan tidak, dan kelompok terakhir ini lebih,besar
kemungkinan ganasnya. Tetapi dengan adanya reseptor
TSH di sel-sel karsinoma tiroid, maka terapi tersebut juga
akan memberikan pengecilan nodul. Ini terbukti dari 13-

karsinoma anaplastik, mengingat perkembangannya yang


cepat dan umuilmya diketahui setelah kondisinya lanjut,
biasanya tidak dapat dioperasi lagi.

15olo pasien karsinoma tiroid mengecil dengan terapi


supresi. Oleh karena itu tidak ada atau adanya respons
terhadap supresi TSH tidak dengan sendirinya secara pasti
menyingkirkan keganasan.
Berdasarkan d.ata-daLa pada evaluasi klinis dan

pemeriksaan penunjang, maka dapat diduga kecenderungan


suatu nodul tiroid jinak atau ganas. (Tabel 1)

Beberapa pertimbangan dan keuntungan pilihan prosedur


operasi ini adalah sebagai berikut:
. Fokus-fokus karsinoma papilare ditemukan di kedua
lobus tiroid p ada 60 -85o/o pasien.

.
.

Sesudah operasi unilateral (lobektomi), 5-l0o


kekambuhan karsinoma tiroid papilare terjadi pada
lobus kontralateral.
Efektivitas terapi ablasi Iodium radioaktifmenjadi lebih
tinggi.
Spesifisitas pemeriksaan tiroglobulin sebagai marker
kekambuhan menjadi lebih tinggi setelah reseksi tumor
dan jaringan tiroid sebanyak-banyaknya.

Meskipun demikian kontroversi mengenai luasnya


Faktor Risiko

Risiko

Risiko
tinggi

{_____}

rendah

123
Usia Tua
Anak-anak
Sex : Pria
Wanita
Radiasi pengion dosis
kecil masa anak-anak
Riwayat Keluarga
Massa kistik
Massa solid
Nodul multipel
Nodul soliter
Berkembang cepat
Berkembang pelan
Nodul panas
Nodul dingin
Nodul hangat
BAJAH (-)
BAJAH (+)
KGB servikal
Respon komplit terapi

45
x
x
X

operasi masih terus berlangsung hingga kini. Pada analisis

retrospektif, dari 1685 pasien risiko rendah, angka


kekambuhan 20 tahun setelah lobektomi sebesar 22o/o
dibanding 8oh pada pasien yang menjalani tiroidektomi
total. Jenis tindakan lain seperti tiroidektomi subtotal,yang
menyisakan jaringan tiroid sebesar 59, tidak memperoleh
keuntungan-keuntungan seperti disebutkan di atas.
Sebaliknya, alasan prosedur tiroidektomi unilateral
(lobektomi) adalah tidak adanya manfaat memperbaiki

x
X
X

supresr

Respon parsial terapi


supresr
Respon negatip terapi
supresr

PENGELOLAAN KARSINOMA TIROID

angka kelangsungan hidup yang nyata dari tindakan


agresif, disamping prosedur tiroidektomi unilateral dapat
mengurangi risiko hipoparatiroidisme dan kerusakan
neryus laryngeus. Pada penelitian 465 pasien dengan risiko
rendah, angka kekambuhan lokal setelah follow up 20
tahun (4% vs lo/o) atau angka kegagalan menyeluruh ( I 3 %
vs 8%) tidak berbeda pada 276 kasus lobektomi dan 90
kasus tiroidektomi total.
Beberapa konsensus penatalaksanaan karsinoma tiroid

menyebutkan bahwa tiroidektomi total diperlukan pada


karsinoma tiroid papilare primer dengan diameter paling
tidak lcm, khususnya bila massa telah ektensi ke luar
kelenjar tiroid, atau ditemukan metastasis.
Pada karsinoma tiroid berdiferensiasi baik yang
ditemukan pada saat kehamilan berlangsung, menurut
Moosa M dkk, pengelolaannya dapat ditunda hingga
selesai persalinannya. Dalam laporannya, Moosa M dkk

menyebutkan bahwa prognosis karsinoma tiroid


Operasi
Tiroidektomi total, bila masih memungkinkan untuk
mengangkat sebanyak mungkin tumor dan jaringan tiroid
yang sehat, merupakan prosedur awal pada hampir sebagian
besar pasien karsinoma tiroid berdiferensiasi. Bila ditemukan
metastasis kelenjar getah bening (KGB) regional, diteruskan
dengan radical neck dissection. Pada karsinoma tiroid
medulare, setelah tiroidektomi total, mengingat tingginya

angka metastasis KGB regional, dilanjutkan dengan

berdiferensiasi baik sama baiknya antara wanita hamil dan


tidak hamil untuk kelompok usia yang sama dan bahwa
pada sebagian besar kasus, diagnosis dan pengelolaarrrya
dapat ditunda hingga selesai persalinan.

Terapi Ablasi lodium Radioaktif


Padajaringan tiroid sehat dan ganas yang tertinggal setelah
operasi, selanjutnya diberikan terapi ablasi iodium radioaktif
13r-J.
Dosis 131-I berkisar 80mCi dianjurkan untuk diberikan

203s

I(ARITINOMATIROID

pada keadaan tersebut, mengingat adanyauptake spesilft


iodium ke dalam sel folikulare, termasuk sel ganas tiroid
yang berasal dari sel folikulare. Karsinoma tiroid medulare

dan anaplastik tidak sensitif dengan terapi ablasi '31-I.


Sekali terkonsentrasi di dalam sel, r3rl akan mengalami

Banyak penelitian akhir-akhir ini yang menghubungkan


keadaan hipertiroidisme ini dengan gangguan metabolisme
tulang yaitu meningkatnya bone turnover; bone loss dan
risiko fraktur tulang. Umumnya pada kelompok usia tua
lebih nyata efek sampingnya dibanding usia muda. Rata-

penguraian b, mengeluarkan energi tinggi yang

rata efek samping yang dilaporkan terjadi setelah

menginduksi sitotoksisitas radiasi seperti pancaran sinar


g pada sel tiroid. Ada 3 alasan terapi ablasi pada jaringan
sisa setelah operasi, yaitu:
. Merusak atau mematikan sisa fokus mikro karsinoma
. Meningkatkan spesifisitas sintigrafi r3r-I untuk

pemberian L-tiroksin dosis supresi berkisar 7-15 tahun.


Pengamatan pada kelompok pre dan post menopause yang
mendapat terapi L-tiroksin dosis supresi jangka panjang

mendeteksi kekambuhan atau metastasis melalui


eliminasi uptake oleh sisa jaringan tiroid normal
Meningkatkan nilai pemeriksaan tiroglobulin sebagai
petanda serum yang dihasilkan hanya oleh sel tiroid.

Terapi ablasi iodium radioaktif umumnya tidak


direkomendasikan pada pasien dengan tumor primer soliter
diameterkurang dari lcm, kecuali ditemukan adanya invasi
ekstratiroid atau metastasis.
Untuk memaks imakan up t ake iodium radioaktif setelah
tiroidektomi total, kadar hormon tiroid diturunkan dengan
menghentikan obat L-tiroksin, sehingga TSH endogen
terstimulasi hingga mencapai kadar di alas 25-30 mUlL.
Mengingat waktu paruh L-tiroksin adalah 7 hari, biasanya
diperlukan waktu 4-5 minggu untuk mencapai kadar TSH
tersebut di atas. Pasien juga perlu menghindari makanan
yang mengandung tinggi iodium paling kurang 2 minggu
sebelum sintigrafi dikeq' akan, karena peningkatan iodium
non-radioaktif di dalam sel tiroid menekanuptake iodium

memberikan hasil yang bervariasi. Roti E. dkk melaporkan

banyak studi memperlihatkan penurunan densitas tulang


sebagai reaksi terhadap terapi supresi terjadi baik pada
pre maupun post menopause. Salah satu penelitian pada
pre menopause yang mendapat terapi L-tiroksin dosis
supresi selama kurang lebih 10,7 tahun memperlihatkan
penurunan densitas mineral tulang femoral neck yang
bermakna dan pada kelompok ini bone turnover ju:ga
meningkat. Gharib dkk melaporkan hasil yang berbeda
dimana penurunan densitas tulang tidak berbeda bermakna

antara kelompok premenopause dengan normal. Suatu


studi meta-analsis yang melibatkan 239 pasien, pada
kelompok pre menopause terdapat kehilangan massa
tulang sebesar 2,7%o setelah 8,2 tahun, tidak berbeda
dengan yang dialami kelompok wanita normal. Sementara

Schneider dkk melaporkan bahwa terapi estrogen


menghambat proses kehilangan massa tulang yang
diinduksi L-tiroksin. Terapi tiroksin yang tidak sampai
menekan sekresi TSH tidak menyebabkan osteopenia.

radioaktif.

FAKTOR RISIKO PROGNOSTIK

Terapi Supresi L-Tiroksin


Mengingat karsinoma tiroid berdiferensiasi baik jenis
papilare maupun folikulare -merupakan 90V' dari seluruh
karsinoma tiroid- mempunyai tingkat pertumbuhan yang
lambat, maka evaluasi lanjutan perlu dilakukan selama
beberapa dekade sebelum dikatakan sembuh total. Selama
periode tersebut, diberikan terapi supresi dengan L-tiroksin

dosis suprafisiologis untuk menekan produksi TSH.

Supresi terhadap TSH pada karsinoma tiroid pasca


operasi dipertimbangkan karena adanyareseptor TSH di
sel-sel karsinoma tiroid, sehingga bila tidak ditekan, TSH

tersebut dapat merangsang pertumbuhan sel-sel ganas


yang tertinggal. Harus dipertimbangkanuntuk selalu dalam
keseimbangan antaramanfaatterapi supresi TSH dan efek
samping terapi tiroksin jangka panjang. Target kadar TSH
pada kelompok risiko rendah untuk kesakitan dan kematian
karena keganasan tiroid adalah 0, I -0,5 mU lL, sedang untuk
kelompok risiko tinggi adalah 0,01 mU/L. Dosis L-tiroksin
untuk terapi supresi bersifat individual, rata-rata 2 ugl

kgBB.
Terapi supresi dengan L-tiroksin terhadap sekresi TSH
dalam jangka panjang dapat memberikan efek samping di
berbagai organ target, seperti tulang rangka danjantung.

Faktor risiko prognostik digunakan sebagai bahan


pertimbangan dalam mengambil keputusan jenis
pengobatan yang akan diberikan. Diharapkan dengan
mengetahui faktor risiko prognostik ini pengobatan dapat
dilakukan lebih selektif, sehingga tidak kecolongan pasien
keganasan tiroid tertentu yang memang harus mendapat
pengobatan agresif, demikian juga pada pasien tertentu
dapat terhindar dari pengobatan berlebihan yang tidak
perlu. Faktor risiok prognostik tersebut adalah sebagai
berikut:

AMES (Age, Metastasis, Extent ofprimary canceri tumor


Size) Age : pria <41 th, wanita < 5 I thlpria > 40 th, wanita >
50 th Metastasls : metastasis jauh/tanpa metastasis jauh
Exlent: papilare intratiroid atau folikulare dengan infasi
kapsul minimal/ papilare ekstratiroidal atau folikulare
dengan invasi mayor
Size z 5 cm/> 5 cm. Risiko rendah : 1). Setiap usia risiko
rendah tanpa metastasis, 2). Usia risiko tinggi tanpa meta
dan dengan ekstensi. dan ukuran tumor risiko rendah.
Risiko tinggi : 1). Setiap pasien dengan metastasis, atau
2). Usia risiko tinggi dengan salah satu ekstensi atau
ukuran tumor untuk risiko tinggi.

2036

METABOLIKENDOIRII{

DAMES (AMES * pemeriksaan DNA sel tumor dengan


flow cytometry)
AMES risiko rendah + DNA euploid : risiko rendah
AMES risiko rendah + DNA aneuploid : risiko sedang
AMES risiko tinggi + DNA aneuploid : risiko tinggi

dan pemeriksaan petanda keganasan (tiroglobulin dab


kalsitonin) senrm.

Sintigrafi Seluruh Tubuh (Whole Body Scanning/


lyBs)
bulan

AGES (Age, tumor Grade, tumor Extent, tumor Size)


Skor prognostik : 0.05 x usiaft ftecuali rr.iu.4gth: 0), +1

WBS dengan iodium radioaktifperlu dikerjakan

(grade2) atau *3 (grade 3 atau4), +1 (ika ekstratiroidal)


atau+3 fiika metastasis jauh), + 0.2 x ukuran tumor dalam
cm (diametermaksimum). Skala skorprognostik: 0-l L65,
median2.6. Kategori risiko : 0-3 .99:'4-4.99; 5-5 .99:,>6.

ditemukan abnormalitas, angka bebas kekambuhan dalam


10 tahun diprediksikan sebesar 90%. Sedangkan bila dari
2 kali WBS berturut-turut tidak ada kelainan, angka bebas
kekambuhan diprediksikan sebesar 95o/o.Dalamhal tidak
ada uptake yodium pada WB S tetapi terdapat peningkatan

MACIS (Metastasis, Age, Completeness of resection,


Invasion, Size)
Skor prognostik : 3.1 (usia<39b) atau 0.08 x usia (ika usia
>40*), + 0.3 x ukuran tumor dalam cm, *l (ika diangkat
tidak komplit), +l (ika invasi lokal), +3 (iika metastasis
jauh). Kategori risiko skor prognostik : 0-5.99; 6-6.99;
7-7.99;>8.
Dengan pengelompokan faktor risiko prognostik
tersebut, dapat diperkirakan angka kelangsungan pasien
keganasan tiroid, seperti pada Tabel 2.

6- 12

setelah terapi ablasi pertama. Bila pada WBS tidak

kadar tiroglobulin serum, atau sebaliknya ditemukan

uptake

di daerah tiroid pada WBS meskipun

tiroglobulinnya tidak meningkat, direkomendasikan terapi


ablasi r3r-I ulangan dosis sama, atau dosis 150mCi bila
ditemukan adany a metastasis.

Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi berperan pada evaluasi adanya
kekambuhan atau adanya kelenjar getah bening (KGB) lokal

atau metastasis regional. Walaupun USG ini dapat


digunakan untuk membedakan KGB jinak dari yang ganas
(berdasarkan ukuran, bentuk, ekogenisitas), tetapi BAJAH
guided USG perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnostik

AMES

Risk

Rendah

Tinggi

98Yo

54T"

adanya metastasis.

Group
Overall
suruival rate
Disease free
suruival rate

survival rate

AGES PS
20-year
suruival rate
MACIS PS

20-year

45o/"

9SYo

DAMES

Risk Group
Disese fres

Menengah

92Yo
<4
99%
<6
99%

Pencitraan Lain
Pemeriksaan pencitraan lain seperti CT scan, rongent dada,

45o/o

MRI

Tinggi
jYo

4-5
80%

5-6
33%

6-7
89Yo

7-8
56Yo

dan fluorodeoxyglucose posilron-emission

tomography (FDG-PET) tidak secara rutin diindikasikan.

Petanda Keganasan
>6
13o/o

>8
24%o

suruival rate

Dengan pengelompokan seperti ini, dapat disarankan,


misalnya pada pasien dengan angka kelangsungan hidup
20 tahun-nya 99%ia, tentu tidak memerlukan pengobatan

yang intensif, sehingga terhindar dari kemungkinan


timbulnya penyulit akibat pengobatan itu sendiri.

EVALUASI
Setelah berbagai terapi diberikan, perlu evaluasi secara
berkala, agar dapat segera diketahui adanyakekambuhan
atau metastasis. Monitor standar untuk keperluan itu ialah
pencitraan (sintigrafi seluruh tubuh dan kalau perlu USG)

Pemeriksaan petanda keganasan seperti kadar tiroglobulin


serum yang hanya diproduksi oleh sel folikel tiroid pada

karsinoma tiroid berdiferensiasi atau kalsitonin pada


karsinoma tiroid medulare dapat membantu mendeteksi
adanya sisa, kekambuhan dan metastasis. Tiroglobulin dan
TSH diperiksa setiap 6 bulan selama 3 tahun pertama,
selanjutnya setiap tahun. Sesudah tiroidektomi total dan
terapi ablasi yang berhasil, secara teoritis dalam waktu 3 bulan
-meskipwr kadang-kadang bisa sampai 1 -2 tatrun- tiroglobulin
serum tidak akan terdeteksi lagi.

Oleh karena itu, bila kadar tiroglobulin serum


meningkat, merupakan bukti tak langsung adanya sisa
jaringan tiroid normal atau tumor. Kadang ditemukan kadar
tiroglobulin meningkat tanpa disertai hasil positip pada
sintigrah seluruh tubuh atau dengan teknik pencitraan
lainnya. Caplan dkkmelaporkan dari observasi sendiri dan
dari observasi penelitian lain disimpulkan bahwaproduksi
tiroglobulin berhubungan dengan tumor tiroid, yang
kadang-kadang karena terlalu kecil sehingga tidak dapat
dideteksi dengan berbagai macam teknik pencitraan.

2037

TU}TOR,IilP(XT$S

Sensitivitas pemeriksaan tiroglobulin untuk mendeteksi


kekambuhan atau metastasis sebesar 85-95%o padakeadaarr
lepas hormon tiroid (TSH terstimulasi), dan sensitivitasnya
menunrn sampai 50% pada keadaan TSH tersupresi atau
pada karsinoma tidak berdiferensiasi.

REFERENSI
American Association

of Clinical Endocrinologists and

the

American College of Endocrinology. AACE Clinical practice


guidelines for the diagnosis and management ofthyroid nodules. Endocr Practice 1996;2: 78-84.
Burch HB. Evaluation and management of the solid thyroid nodule.
Endocrinol Metab Clin North Am 1995; 24: 663-710.
Cantalamessa L., Baldini M., Orsatti A., et al. Thyroid nodules in
Graves disease and the risk of thyroid carcinoma. Arch Intern

Med 1999; 159: 1705-1708.


Caplan RH., Wickus GG., Manske BR. Longterm follow up of a
patient with papillary thyroid carcinoma, elevated thyroglobulin levels, and negative imaging studies. Case Report. Endocrine
Practice 2005; ll(1): 43-48.
Fraker DL., Skarulis M., Livolsi V. Thyroid tumor. Dalam Cancer:

Principles

&

Practice of Oncology. Edisi 5. Devita Jr. VT.,

Hellman S., Rosenberg SA (Eds). Philadelphia: Lippincott-Raven;


1997.p. 1629-52.
Gagel RF., HoffAO., Cote GJ. Medullary Thyroid Carcinoma. Dalam
Werner and Ingbar's -The Thyroid- a fundamental and clinical
text. Braverman LE and Utiger RD (ed), edisi 9. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 20O5.p. 967 -88.
Gharib H. Changing concepts in the diagnosis and management of
thyroid nodules. Endocrinol Metab Clin North Am 1991; 26:
'777

-800.

Gharib H., Mazzaferri EL. Thyroxine suppressive therapy in


patients with nodular thyroid disease. Ann Intern Med. 1998;
128: 386-94.

MM., Jimenez FE., dkk. Bone loss in hyperthyroid


patients and in former hyperthyroid patients controlled on
medical therapy: influence of aetiology and menopause. Clin
Endocrinol 1997 ; 47 : 2'19-85.
Kaplan MM. Clinical evaluation and management of solitary thyroid nodules. Dalam Wemer and Ingbar's -The Thyroid- a fundamental and clinical text. Bravrman LE and Utiger RD (ed),
Jodar E., Torres

edisi 9.

Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins;2005.p.996- I 0 I 0.
Lewinski A., Forenc T., Spomy S., et al. Thyroid carcinoma: diagnostic and therapeutic approach; genetic background (review).
Endocrine Regulation 2000; 34: 99-l 13.
Moosa M, Mazzaferii EL. Outcome of differentiated thyroid carcinoma diagnosed in pregaant women. J Clin Endocrinol Metab
1991: 82: 2862-2866.
Rosai J., Carcangiu ML., Delellis RA. Tumor of the thyroid gland.
Atlas of Tumor Pathology. Rosai J., Sobin LH. (eds). Armed
Forces Institute of Pathology, Washirgton D.C.1992: 19-205.
Roti E., Minelli R., Gardini E., dkk. The use and misuse of thyroid
hormone. Endoc Rev 1993; 14:401-423.
Scheneider AB., Ron E. Carcinoma of follicular epithelium: 70A
epidemiology and pathogenesis. Dalam Werner and Ingbar's The Thyroid- a fundamental and clinical text. Braverrran LE
and Utiger RD (ed), edisi 9, Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins; 2005:

889-906.

Session RB, Davidson BJ. Thyroid cancer. Med Clin North dm


1993:77: 517-535.
Sherman SI. Thyroid carcinoma. Seminar. Lancet 2003;361: 3O.1-

5l

l.

Singer PA.,,Cooper DS., Daniels GH., dkk. Treatment guidglines for

patients with thyroid nodules and well differentiated thyroid


carcinoma. Arch Intern Med 1996; 156: 2165-2172.

316
TUMOR HIPOFISIS
Pradana Soewondo

PENDAHULUAN
Tumor hipofisis adalah neoplasma intrakranial yang relatif
sering dijumpai, serta merupakan 10-15 % dari seluruh

neoplasma intrakranial. Tumor jenis ini seringkali sulit


diobati dan tidak jarang terjadi kambuhan, meskipun telah

dilakukan tindakan bedah. Walaupun telah banyak


penelitian mengenai tumor hipofisis, patogenesis
terjadinya tumor ini belum jelas seluruhnya. Umumnya

pemeriksaan yang sebenarnya dilakukan untuk kondisi


yang tidak ada kaitannya dengan gangguan hipofisis.
Adenoma hipofisis yang ditemukan pada pemeriksaan
CT atau MRI tanpa disertai adanya gejala atau tanda yang
menunjukkan adanya gangguan hipofisis sering disebut
insidentaloma. Prevalensi insidentaloma hipofisis yang
ditemukan pada MRI sebesar kurang lebih 10%, dan hampir

995% diantaranya merupakan mikroadenoma.


Mikroadenoma juga dilaporkan ditemukan pada 1.5-27%
kasus otopsi tanpa kecurigaan gangguan hipofisis.

dianggap bahwa neoplasma hipohsis merupakan tumor


primer hipofisis. Penelitian biomolekular menunjukkan
bahwa tumor hipofisis, baik functioning mavpun non-

Sebagian besar tumor hipohsis ditemukan pada dewasa


muda, namun dapat pula ditemukan pada remaja maupun

functioning,berasal dari pertumbuhan satu klon (monoklonal)'


Diagnosis tumor hipohsis seringkali terlambat karena
kurangnya kewaspadaan, serta gejala dan tanda klinis yang
minimal. Dalam dua dekade terakhir, terjadi peningkatan
insiden tumor hipofisis yang disebabkan kemajuan pada

usia lanjut. Sementara itu, kepustakaan lain menuliskan


bahwa tumor hipof,rsis dapat ditemukan pada semua umur,

sarana diagnosis, seperti computed tomography (CT),


magnetic resonacte imaging (MRI), dan berbagai macam

Untuk dapat memperoleh perkiraan terbaik dari

namun insidensnya meningkat dengan semakin


meningkatnya usia, dan puncaknya antara dekade ketiga
dankelima.

tehnik radioimmunoassay baru untuk pemeriksaan

prevalensi adenoma hipofis pada populasi, telah dilakukan


sebuah meta analisis dari 12 manuskrip (7 pemeriksaan

hormon.

otopsi dan 5 pemeriksaan radiologi). Hasil penelitian


tersebut menunjukkan bahwa, ada hubungan yang jelas
antara prevalensi dengan metodologi yang digunakan.

EPIDEMIOLOGI

Dengan tehnik yang sensitif didapatkan prevalensi


mikroadenoma sekitar 20 oh; setidaktrya 1/3 dari tumor

Tumor hipofisis merupakan l0-15 % dari seluruh


neoplasma intrakranial; tiga perempat tumor hipofisis

tersebut secara klinis penting karena menghasilkan satu


atau lebih hormon hipofisis anterior; makroadenoma
ditemukan pada l/555 penduduk berusia di atas dekade

mensekresi hormon hipofisis dalam jumlah yang abnormal. Insidens per tahun dari neoplasma hipohsis bervariasi,
yaitu antara 1-71100.000 penduduk. Pada sebuah studi
10.370 kasus otopsi, Prevalensi mikroadenoma hipofisis

keempat.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut berarti banyak


pasien dengan mikro dan makroadenoma seringkali tidak

terdiagnosis. Sehingga harus dilakukan upaya untuk

sebesar llolo. Sementara penelitian lain menemukan


adenoma hipohsis pada l0-25%o kasus otopsi unselected
dan pada l0%o orangnormal yang menjalani pemeriksaan
MRI. Dengan adanya kemajuan MRI dengan resolusi

meningkatkan deteksi tumor tersebut karena dapat


berpengaruh secara signifikan terhadap (peningkatan
risiko osteoporosis, penyakitjantung) dan kualitas hidup
(libido, perubahan mood dan daya ingat).

tinggi, maka seringkali ditemukan lesi hipofrsis pada

2038

2039

TUMORHIFOFIIIIS

menekan struktur sekitar, misalnya kiasma optik.


Morbiditas mikroadenoma disebabkan oleh sekresi hormon
yang berlebih.
Morbiditas pada makroadenoma bervariasi, mulai dari

Tipe Adenoma
GH cell adenoma
PRL cell adenoma
GH and PRL cell adenoma
ACTH cell adenoma
Gonadotroph cell adenoma
Nonfunctioning adenoma
TSH cell adenoma
Unclassified adenoma

tumor nonfungsional sampai makroadenoma yang


menyebabkan disabilitas. Morbiditas disebabkan oleh efek

masa tumor (misalnya hemianopsia bitemporal),

ACT H= Ad renocotticotropic hormone; GH= G rovvth h ormone ;


RL= P rol a ct i ni f SH= T h y ro i d -sti m u I ati n g ho rm o n e

ketidakseimbangan hormonal (def,rsiensi hormon hipofisis


karena kompresi sel hipofisis normal atau produksi hormon
yang berlebih oleh tumor), dan komorbiditas pasien. Terapi
dari makroadenomajuga dikaitkan dengan morbiditas yang
bermakna.

KLASIFIKASI
Adenoma hipofisis biasanya pertumbuhannya lambat dan
bersifat jinak. Berdasarkan ukurannya, tumor hipofisis
dapat dibagi menjadi mikroadenoma (diameter <1 cm) dan

makroadenoma (diameter >1 cm). Tumor fungsional lebih


sering ditemukanpada usia yang lebih muda, sedangkan
tumor nonfungsional sebagian besar ditemukan pada usia
yang lebih tua. Tumor hipofis juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan karakteristik pewarnaan histopatologi (s taini n g), y aitu h,r omofobik dan kromo fi lik. Tumor kromofi lik
dapat dibedakan lagi berdasarkan pewarnaan hematoksilin
eosin menjadi eosinofilik dan basofilik.

Walaupun demikian, klasifikasi ini terbukti tidak


mempunyai nilai klinis dan sekarang sudah mulai

digantikan dengan klasifikasi yang bersifat lebih


fungsional dengan menggunakan mikroskop elektron dan

imunohistokimia. Tehnik ini dapat mengidentifikasi


produksi hormon pada adenoma kromofob, yang

MANIFESTASI KLINIS
Gangguan pada hipofisis dapat memiliki gambaran klinis
yang bervariasi. Gambaran klinis tersebut dapat berupa
satu atau lebih gejala/tanda di bawah ini :
. Dehsiensi satu atau lebih hormon hipofisis
. Kelebihanhormon(terutamaprolaktin, GH, danACTlI)
. Efekmasatumor(sakitkepala,hemianopsiabitemporal)
. Ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan CT

atauMRI
Tumor hipofis dapat menunjukkan gejala dan tanda
yang disebabkan oleh hipofungsi atau hiperfungsi dan atau
efek masa tumor. Kebanyakan pasien datang dengan gejala
dan tanda hipersekresi hormon, defek lapang pandang,
sakit kepala dan hipopituitarisme (Tabel 2). Diabetes
insipidus preoperatif sangat jarang ditemukan dan
menunjukkan kemungkinan adanya keterlibatan

memungkinkan ahli patologi untuk dapat mengidentihkasikan hormon yang diproduksi oleh tumor eosinofilik.

hipotalamus atau infark hipofisis.

Selain itu juga ditemukan bahwa banyak turnor

ditemukan adalah ganguan penglihatan (makroadenoma)


dan sakit kepala (makro dan mikroadenoama). Penekanan

mensekresikan lebih dari satu hormon. Bentuk mutasi dari


P53, suatu gen supressor tumor, juga dapat ditemukan
secara histologis serta menunjukkan bahwa tumor tersebut
pertumbuhannya akan sangat cepat.
Dengan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan
imunohistokimia, diketahui bahwa 85-90% tumor hipofisis

merupakan tumor functioning, yang

terdiri dari

prolaktinoma (60%), tumor yang memproduksi GH dan


ACTH masing-masing sebesar 20o/o dan 10olo; sementara
tumor dengan hipersekresi TSH dan gonadotropik sangat
jarang. Sedangkan tumor hipofisis yang nonfunctioning
hanyal0o/o.

MORBIDITAS DAN MORTALITAS

Morbiditas tumor hipofisis bergantung pada produksi


hormon berlebih, ataupun defisiensi hormon tertentu.
Mikroadenoma tidak secara langsung menyebabkan
mortalitas yang tinggi. Tumor ini biasanya terlalu kecil
untuk dapat menyebabkan erosi tulang atau untuk dapat

Efek masa tumor pada daerah sella yang sering

pada kiasma,optikum atau cabangnya akan mengakibatkan

defek pada lapang pandang. Gangguan lapang pandang

yang sering ditemukan berupa hemianopia bitemporal.


Ekstensi lateral dari masa tumor ke sinus kavernosus dapat

menyebabkan diplopia, ptosis, atau perubahan sensasi


wajah. Di antara saraf-sarafkranial yang ada, sarafkranial
III, merupakan saraf yang sering terkena. Mengenai sakit
kepala oleh efek masa tumor, tidak ditemukan adanya pola
yang spesifik dan biasanya sangat mengganggu namun
dapat hilang dengan pemberian analgetik.

Hipersekresi hormon
Gangguan lapang pandang
Sakit kepala
Hipopituitarisme
Apopleksi hipofisis
Hidrosefalus
Gangguan saraf kranial
Epilepsi lobus temporal

2040

METABOIJKENDOKRID{

ANAMNESIS

Insidentaloma biasanya tidak mempunyai gejala.


Incidentaloma terlalu kecil untuk dapat menyebabkan
gejala yang disebabkan oleh efek masa tumor. Pasien
dengan makroadenoma dapat asimtomatik atau datang
dengan keluh an yangdisebabkan oleh ketidak seimbangan
hormonal atau efek masa tumor.
Garnbaran klinis dari makroadenoma terutama berkaitan
dengan efek massa tumor dan penekanannya terhadap
struktur sekitar. Gejala yang paling sering timbul karena
massa tumor di daerah sella adalah gangguan penglihatan
dan sakit kepala. Lima puluh sampai enam puluh persen
gejala gangguan penglihatan disebabkan oleh kompresi

struktur saraf optik. Perluasan ke lateral

dapat

menyebabkan kompresi sinus kavernosus dan dapat


menyebabkan oftalmoplegia, diplopia dan atau ptosis.
Perluasan ke sinus sphenoidalis dapat menyebabkan
rinorea spontan (cairan serebrospinal).

Pasien dengan akromegali biasanya sudah mempunyai


gejala penyakit tersebut sejak 7 tahun sebelum diagnosis
ditetapkan. Dalam anamnesis dapat ditemukan adanya
pembesaran tangan, kaki dan tulang wajah; nyeri sendi ;
sleep apnea; keringat berlebih ; dan skin tags. Perubahan
tersebut terjadi secara gradual, sehingga tidak disadari

oleh pasien atau anggota keluarganya atau mungkin


dianggap sebagai proses menua.
Pasien dengan sindrom Cushing biasanya mengalami
kenaikan berat badan (kecuali pada pasien yang rajin
berolahraga yang biasanya tidak terdapat kenaikan berat

badan yang nyata), rasa lelah, susah tidur, mudah

tersinggung, depresi, hilang ingatan, kesulitan


berkonsentrasi, kelemahan otot, fraktur fulang, atau osteoporosis. Munculnya diabetes atau perburukan dari
kontrol diabetes dan timbulnya hipertensi atau perburukan
dari hipertensi yang sedang diobati juga merupakan hal

yang sering ditemukan pada pasien dengan sindrom


Cushing.

Apopleksi hipofisis merupakan akibat infark dari


tumor hipofisis atau dapat juga karena perdarahan
tiba-tiba. Merupakan suatu kedarutalan, dan pasien
Sakit kepala
Sindroma kiasma
Sindroma hipotalamus
Gangguan rasa haus, nafsu makan, rasa kenyang, tidur dan
pengaturan suhu
Diabetes insipidus
Syndrome of inappropriate ADH secretion (SIADH)
Hidrosefalus obstruktif
Disfungsi saraf kranial lll, lV, Vi, V2, Vl
Sindroma lobus frontal dan temporal
Rinorea cairan serebrospinal

biasanya datangdengan sakit kepala, kolaps tiba-tiba dan


dapat meninggal jika tidak ditangani segera. Biasanya
timbul pada makroadenoma. Pemberian agen stimulasi,
seperti thyroid-stimulating hormone (TSH), gonadotropin-releasing hormone (GnRH), and insulin-hypoglycemia, telah diperkirakan akan menyebabkan peningkatan

kebutuhan metabolik makroadenoma, yang akhirnya


mengakibatkan nekrosis.

Sakit kepala adalah gejala yang paling sering


dikeluhkan dan menjadi alasan untuk melakukan

PEMERIKSAAN FISIS

pemeriksaan MRI. Pendapat bahwa lesi hipofisis kecil tidak

gejala sakit kepala yang khas, yang dapat memandu kearah


lesi hipofisis. Pasien mungkin akan mengeluh sakit di daerah
frontal, temporal, atau oksipital atau rasa sakit di belakang

Kebanyakan pasien dengan lesi hipofrsis tampak sehat


pada pemeriksaan fisik, kecuali pada pasien dengan
akromegali, sindrom Cushing dan laki-laki dengan
hipogonadisme. Gambaran klinis akromegali meliputi
penonjolan frontal; gambaran muka yang kasar (coarse
fac ial featur es) termasuk diantaranya pembesaran hidung,
bibir, lidah, dan rahang (prognathism); peningkatan jarak
anlar gigi; large beefy hands and feet; sweaty palms; dan

mata.

skin tags.

Efek hormon hipofisis tergantung dari jenis hormon


yang terlibat. Semakin besar tumor, maka semakin besar
pula kemungkinan keterlibatan sebagian besar hormon.

Gambaran klinis sindrom Cushing meliputi facies


plethora, deposisi lemak supraklavikular, lemak servikal
posterior, acanthos is nigricans,jerawat, hirsutisme, kulit
tipis, ecchymoses, a\d violaceous striae. Pada sindrom
Cushing lanjut, dapat ditemukan muscle wasting yang
nyata pada lengan atas dan paha, dan pasien mungkin
tidak mampu untuk berubah posisi dari duduk ke berdiri

dapat menyebabkan sakit kepala, tidaklah sepenuhnya


benar. Mengingat ruang sella tursika cukup kecil, lesi tumor hipohsis sekecil apapun dapat menyebabkan atau
memperberat keluhan sakit kepala. Sayangnya, tidak ada

Sel-sel hipofisis anterior tidak semua sama kerentanannya


terhadap efek desakan massa tumor, Yang paling rentan

adalah somatotrophs dan gonadotrophs, sedangkan


corticotrophs dan thyrotropfts bersifat lebih resisten.
Selain dari efek desakan massa tumor, gambaran klinis
lainnya dapat berupa penunrnan libido dan ataupun
disfungsi ereksi pada laki-laki, haid yang tidak teratur atau
amenorea pada perempuan premenopause serta mudah
lelah (defisiensi hormon tiroid, kortisol, GH).

tanpa menggunakan bantuan tangan.


Laki-laki dengan hipogonadisme mempunyai testis
yang kecil dan lunak, serta pertumbuhan rambut yang
menurun. Hal ini menunjukkan defisiensi testosteron dalam
jangka cukup lama. Fine wrinkling pada kulit wajah

2041

TUMOR,TIIFOFISIST

merupakan hambaran khas dan mungkin merupakan akibat


defisiensi testosteron dan GH.

Pemeriksaan neurooftalmologi berupa tajam


penglihatan lapang pandang, dan pergerakan bola mata
penting dilakukan pada pasien dengan makroadenoma.
tajam penglihatan dapat menurun pada satu atau
keduabelah mata. Refleks cahaya pada pupil juga dapat
abnormal. Penglihatan wama juga dapat terkena, berupa
hemiakromatopsia bitemporal terhadap warna merah.
Karena kiasma optikum terletak dekat dengan
tuberkulum sela maka sering ditemukankompresi kiasma.
Kelainan utama pada kompresi kiasma optikum adalah
quadranopsia superior bitemporal. Lesi yang lebih besar

PRL
GH

ACTH

Gonadotropins

(LH

Prolaktin
IGF-1, OGTT
24-h UFC, LDDST, tes LDDST/CRH,
midnight salivary and serum coftisol
FSH, LH, a- and B-subunits

and FSH)
TSH
FTo index (freef o\. T". TSH
ACTH = Adrenocorticotropic hormone; CRH = Corticotropin-releasing
hormone; FTe = 16tro*'n"' FSH = Follicle-stimulating hormone; GH =
Growth hormone; IGF-1 = lnsulin-like growth factor-1; LDDST = Lowdose dexamethasone suppression test; LH = Luteinizing hormone;
OGTT = Oral glucose tolerance test; PRL = Prolactin; Ts =

triiodothyronine; T4 = Thyroxine; TSH = Thyroid-stimulating hormone;


UFC = Urinary free cortisol

dapat menyebabkan hemianopsia bitemporal. Pemeriksaan

lapang pandang selain dengan metode konfrontasi dapat


juga digunakan perimetri Goldman. Namun studi terbaru

menganjurkan penggunaan komputer (Allergan


Humphrey).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis sekresi hormon hipofisis yang meningkat atau

menurun dibuat berdasarkan temuan biokimia.


Hipopituitarisme diduga pada keadaan di mana
konsentrasi hormon perifer rendah namun tanpa disertai

peningkatan hormon tropiknya.


Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan kadar
basal hormon dan pengukuran dinamis kadar hormon,
tergantung dari jenis tumornya. Semua tumor harus

diperiksa kadar hormon basal untuk skrining, termasuk di


dalamnya pemeriksaan prolactin, thyrotropin, thyroxine,
adrenocorticotropin, cortisol, LH, FSH, estradiol, test-

osterone, growth hormone, insulinlike growth factor-I


(IGF-[), and alpha subunit glycoprotein Sementara itu,
kepustakaan lain hanya menganjurkan pemeriksaan kadar
prolaktin pada keadaan dimana tidak ada gejalaatautanda

yang mengarahkan pada kelebihan atau kekurangan


hormon tertentu, karena ini merupakan pendekatan yang
paling cost-effecfive. Tes hormon dinamis dilakukan unhrk
menilai fungsi tumor dan untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Selain itu juga dapat unutk menilai kapasitas
fungsi hipofi sis anterior.

PENCITRAAN
FoIo X-rays biasa kurang baik untuk pencitraan jaringan
lunak, sehingga sudah digantikan oleh CT scar dan MRI.

Kadar serum dari hormon-hormon berikut ini sebaiknya


diperiksa dengan menggunakan sampel darah pagi hari *
Prolaktin
o LH, FSH dan testosteron atau estradiol
o TSH dan tiroksin
ACTH dan kortisol
lnsulin like growth factor 1

.
.
.
'

Kadar kortisol dan testosterone paling tinggi pada pagi hari

Growth

hormone

IGF-1, lTT, GH-RH/arginine, arginine

Adrenocorticotropic Cortisol (pagi), LDCT, SDCT, overnight

hormone

metyrapone test, ITT


Estradiol (testosteron bebas dan
testosteron total pada laki-laki), FSH,
LH, prolactin
Thyroid-stimulating FT+ index (free Ta), TSH
hormone
FSH = Follicle-stimulating hormone; FTr = 16rro"'n"; GH-RH =
Growth hormone-releasing hormone; IGF-1 = lnsulinlike gro\,vth
factor-1; ITT = lnsulin tolerance test; LDCT = Low-dose cosyntropin
test; LH = Luteinizing hormone; SDCT = Standard-dose cosyntropin
Gonadotropins
and

FSH)

(LH

test; TSH = Thyroid-stimulating hormone

CT scan cukup spesifik dan dapat mendeteksi tumor


dengan kalsifikasi, namun detailnya masih kalah jika
dibandingkan dengan MRL CT scan lebih baik dalam
memperlihatkan struktur tulang dan kalsifikasi pada
jaringan lunak daripada X ray dan MRL CT scan juga
berguna jika terdapat kontraindikasi terhadap penggunaan
MRI, seperti pasien dengan pacu jantung. Kelemahan CT
scanyang lain adalah pajanan terhadap sinar radiasi yang
tinggi. Hal-hal inilah yang membuat MRI merupakan
modalitas terpilih untuk pencitraan hipofi sis.
MRI lebih mahal jika dibandingkan dengan CT scan,
namun memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap
struktur jaringan lunak dan pembuluh darah, selain itu juga
tidak terjadi pajanan terhadap radiasi pengion. Resolusi
yang tinggi membuat MRI dapat mengenali lesi kecil dan
dapat diperlihatkan pula hubungannya dengan struktur
sekitar. Sensitivitas MRI untuk mendeteksi mikroadenoma

(yang dibuktikan dengan operasi) mencapai 100%, jauh


lebih baikjika dibandingkan dengan CT scan yang hanya
mencapai 50%. Spesifitas dan sensitivitas MRI mecapai
90%o pada

tumor sekretori. Pemberian gadolinium

2042

diethylenetriamine pentaacetic

METABOLIKENDOTRIN

acid

(DTPA)

kambuhan penyakit ataupun kemungkinan hipopituitarism.

meningkatkan tingkat deteksinya. Angiografi serebral tidak


dikerjakan sgcara rutin, dan hanya dike{akan jika dicurigai
terdapat lesi vaskular.

Edukasi perlu diberikan sehubungan dengan terapi


substitusi hormon dalam rangka meningkatkan kualitas

hidup pasien.

DIAGNOSIS
Penatalaksanaan pasien dengan tumor hipofisis tentunya

KESIMPULAN

dimulai dengan diagnosis yang akurat. Diagnosis yang


akurat memerlukan beberapa unsur, yaifu :

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan

.
.
.
.

seksama
Review gambaran radiologis (terutama MRI)

Penentuan ada tidaknya hipersekresi atau defisiensi

hormon
Korelasi antara temuan klinis, anatomis dan hormonal.

Diagnosis biasanya sudah cukup jelas setelah anamnesi


dan pemeriksaan fisik, namun perlu dikonfrmasikan dengan
pemeriksaan radiologis dan laboratorium.

Telah terdapat beberapa konsensus mengenai


diagnosis dan penatalaksanaan akromegali dan
prolaktinoma, namun sayangnya belum ada konsensus
mengenai gangguan hipofisis yang lain. Namun secara
umum, jika pasien sudah didiagnosis menderita tumor
hipofisis maka diperlukanfollow Ltp seumur hidup untuk
mendeteksi rekurensi, memonitor pemberian hormon dan
untuk mengobati komplikasi yang timbul karena tumor

tersebut.
PENGOBATAN

Tujuan utama pengobatan tumor hipofisis ialah


mengembalikan fungsi hipofisis senormal mungkin dan
mencegah terjadinya kambuhan massa tumor. Tujuan lain
adalah memperbaiki gangguan penglihatan, mengatasi
gangguan neurologis, serta memperbaiki gangguan
endokrin dan metabolik.
Cara pengelolaan terbaik untuk tumor hipofisis, harus

ditentukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu: adanya gangguan
endokrin terkait, besar dan ekspansi massa tumor, usia
serta keadaan klinis pasien.

.
.

Adanya gejala dan tanda endokrin dapat merupakan


pertanda dini tumor hipofise
Penilaian status hormonal sebaiknya dilakukan pada
semua tumor hipofisis
Pilihan pengobatan sebaiknya dilakukan secara
komprehensif
Tindak lanjut dan edukasi sangat penting bagi kualitas

hidup pasien

REFERENSI
Daniels Gilbe(, Joseph Martin. Neuroendocrine regulation and diseases

of the anterior pituitary and hypothalamus. Dalam

of Internal
Medicine. Volume 2. Thirteenth Edition. McGraw-Hill; 1994.
Isselbacher, Braunwald, et al. Harrison's Principles

p.1891-918.
Hamrahian Amir. Pituitary Disorders. The Cleveland Clinic. Pub-

lished July 19,2002. Disitasi dari:

http://www.

clevelandclinicmeded.com/ diseasemanagement/endocrinology/
pituitary/pituitary.htm Disitasi tanggal 30 Januari 2006.
Hurley David, Ken K Y Ho. Pituitary disease in adults. Series
Editors: Donald J Chisholm and Jeffrey D Zajac MJA Practice
Essentials
MJA 2004; 180 (8): 419-25 Disitasi
-Endocrinology.
dari : http ://www.mja.com.aulpublic/issues / 1 80_08_ I 90404/
hurl051l_fm.html Disitasi tanggal 30 Januari 2006.
Indrajit IK, N Chidambaranathan, K Sundar, I Ahme. Value of dynamic MRI imaging in pituitary adenomas. Ind J Radiol Imag
2001 1 1 :4: 1 85-190. Disitasi dari : http://w$..wijri.orgl200l1l04l
neurorad.htm Disitasi tanggal 30 Januari 2006.

Kattah Jorge. Pituitary tumors. Disitasi dari : http:ll


www.emedicine.com/ neuro/topic3 12.htm. Last Updated: January 18,2002 Disitasi tanggal 30 Januari 2006.
Klachko David. Pituitary microadenomas. Disitasi d,ari : http:/l

tindakan bedah. Sedangkan untuk pasien dengan

www.emedicine.com/ med/ topic2973.htm Last Updated:


August 16, 2005 Disitasi tanggal 30 Januari 2006.
Levy, Lightman. Fortnightly Review: Diagnosis and management
of pituitary tumours. University of Bristol, Department of
Medicine, Bristol Royal Infirmary. BMJ 1994;308:1087-91
(23 April). Disitasi dari : http://bmj.bmjjournals.com/cgil
content/ full/308169361I087 Disitasi tanggal 30 Januari 2006.
Mary Lee Vance. Treatment of patients with a pituitary adenoma:
one clinician's experience. Neurosurg Focus l6(4), 2004.
American Association of Neurological Surgeons. MEDSCAPE.

prolaktinoma pilihannya menjadi lebih sulit serta masih


banyak silang pendapat. Terapi gen merupakan terapi
alternatif yang dapat dipertimbangkan, disamping terapi
klasik yang selama ini dilaksanakan.
Apapun terapi yang dipilih, kasus dengan tumor
hipofisis harus selalu diamati untuk menilai terjadinya

www.medscape.com/viewarticlel 47 4897 ? src:search. Disitasi


tanggal 30 Januari 2006.
Mulinda James. Pituitary macroadenomas. Disitasi d,ari : http:l/
www.emedicine.com/ med/ topic I 379.htm. Last Updated: January 17,2006 Disitasi tanggal 30 Januari 2006.
Pituitary Network Association. One out of hve adults worldwide

Pilihan terapi yang tersedia ialah: terapi medikamentosa

primer (terapi supresi hormon dengan bromokriptin dan


analog somatostatin) dan terapi substitusi hormon
(perioperatif dan post operatif), radiasi eksterna dan
tindakan bedah (adenomektomi). Pada umumnya, pasien
dengan tumor hipersekresi ACTH dan GH dilakukan terapi

Diabetes and Endocrinology. Disitasi dari..

htp../l

TUMORHIFOFISTS

may have a pituitary tumor, new study shows one third of these
mostly non-cancerous tumors may cause serious disorders. San
Antonio, TX - May 4th,2001. Last Revised : August 2003.
Disitasi dari : http://www.pituitary.cominews/Pituitary News
Updates/PituitaryNews/PNA Pharmacia News Flash. php Disitasi
tanggal 30 Januari 2006.

2043

3t7
GANGGUAN PERTUMBUHAN
Syafril Syahbuddin

PENDAHULUAN

PERAWAKAN PENDEK OLEH PEI.IYEBAB ENDOKRIN

Pertumbuhan seseorang menggambarkan kualitas


kesehatan fisik, mental dan lingkungan psikososialnya.

DefisiensiGH

Dua macam pengukuran yang penting dalam menilai


pertumbuhan adalah Tinggi Badan (TB) dan Berat Badan
(BB). Data dari pemeriksaan serial TB dan BB tergambar
pada grafik Tumbuh Kembang (Growth Chart) yang

Secara etiopatogenetis, defisiensi GH dapat terjadi akibat


gangguan terhadap poros hipotalamus-pituitari -GH- IGF-

1. Defisiensi GH idiopatik terjadi akibat defisiensi Gf1


Releasing Hormone (GHRH). Pada tumor pituitari dan
agenesis pituitari tidak terdapat produksi GH. Defek/mutasi
atau tidak adanya gen-gen tertentu dapat menyebabkan
defisiensi GH.

memungkinkan penilaian kecepatan pertumbuhan (growth


velocity: GV). Disamping itu, untuk menilai perhrmbuhan

tulang diperiksa umur tulang (bone age

BA)

secara

radiologik dan untuk perkembangan mental diperiksa umur


mental (mental age: MA). Secara keseluruhan, secara
periodik di bandingkan umur tinggi (height age : HA)
denganBA, MA danumurloonologis (chronological age : C1+)

Defisiensi GH kongenital. Pasienbiasanya pendelq gemuk,

muka dan suara imatur, pematangan fulang terlambat,


lipolisis berkurang, terdapat peningkatan kolesterol total

Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor intrinsik


(genetik) dan ekstrinsik (nutrisi, oksigen, hormon-hormon,

defisiensi TSH akan terdapat gejala-gejala hipotiroidisme.


Biasanya IQ normal, kecuali apabila telah sering mengalami
serangan hipoglikemiaa berat.

faktor-faktor pertumbuhan, psikososial dan berbagai


penyakit kronik). Gangguan pertumbuhan dapat
menyebabkan perawakan pendek (short stature) ataupun
perawakan j an gkung (t al I s t a tur e).

Dalam praktek sehari-hari, pada umumnya pasienpasien gangguan pertumbuhan datang dengan keluhan
perawakan pendek. Hal ini antara lain disebabkan oleh
karena masyarakat lebih memberikan aspresiasi kepada
perawakan jangkung, sebaliknya lebih kawatir akan
perawakan pendek. Oleh karena itu pada tulisan ini
dikemukakan sekitar masalah perawakan pendek.

LDL dan hipoglikemiaa. Apabila disertai defisiensiACTH,


gejala hipoglikemiaa lebih menonjol, apabila disertai

Defisiensi GH didapat. Biasanyakeadaanini bermula pada


penghujung masa kanak-kanak atau pada masa pubertas,
tersering akibat tumor-tumor pada hipotalamus-pituitari,
sehingga sering disertai defisiensi hormon-hormon tropik
lainnya (gonadotropin, TSH, dll) bahkan dapat disertai
dehsiensi hormon pifuitari posterior. Tumor-tumor tersebut
antara lain adalah kraniofaringioma, germinoma, glioma,
histiositoma. Iradiasi kronis terhadap hipotalamo-hipofisis
juga dapat menyebabkan defisiensi GH.

Lain-lain. Termasuk kelompok ini adalah sindrom Laron

PERAWAKAN PENDEK

dan suku Pygmi (Afrika). Pada sindrom Laron, sudah terlihat


perawakan sejak dari lahir oleh karena tidak adanya respons
terhadap GH. Keadaan ini merupakan defek reseptor/post
reseptor GH yang diturunkan secara autosom resesif.
Akibatnya, tet'adi peningkatan GH serum, sebaliknya IGFI hampir tidak ada. Pada Pygmi, GH serum normal, IGF-I

Dikatakan perawakan pendek apabila TB lebih dari 2 SD di


bawah TB rerata orang-orang yang sama usia dan jenis
kelaminnya. Perawakan pendek dapat terjadi oleh sebabsebab endokrin ataupun sebab-sebab non endokrin.

2044

GAI{GGUAT{ PERTUMBUT1III

2045

menurun dan IGF-II normal.

Sindrom Cushing
Peningkatan kadar glukokortikoid darah akan

Diagnosis defisiensi GH ditegakkan berdasarkan


gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium. Prinsip
pemeriksaan diagnostik secara laboratorium adalah
kurangnya respons sekresi GH terhadap stimulus
provokatif (latihan jasmani, insulin, dll) serta rendahnya

menyebabkan gangguan pertumbuhan. Penyebabnya


dapat oleh penyakit Cushing (adenoma hipohsis yang
mengeluarkan banyak ACTH), adenoma adrenal otonom,

kadar IGF-I dan IGFBP-3. Pemeriksaan yang banyak


dilakukan adalah pemeriksaan kadar GH pada keadaan

glukokortikoid (eksogen). Glukokortikoid yang berlebihan


dapat menekan sekresi GH, menekan pembentukan tulang,

hipoglikemiaa setelah pemberian insulin.

menekan retensi nitrogen dan menekan pembentukan

Pengobatan perawakan pendek oleh karena defisiensi


GH pada umumnya dengan suntikan GHrekombinan satu
kali dalam serninggu atau preparat depot satu kali dalam 2

kolagen.

4 minggu. Biasanya terlihat hasil pertambahan TB


paling besar dalam tahun pertama setelah suntikan. Makin

dini terapi diberikan akan makin besar kemungkinan tercapai

tinggi akhir yang normal. Untuk menilai keberhasilan


pengobatan perlu dilakukan monitoring terhadap

karsinoma adrenal dan terapi dengan hormon

Diagnosis sindroma Cushing ditegakkan dengan


pemeriksaan supresi kortisol darah oleh deksametason dan
pemeriksaan kortisol bebas (free cortisol) dalam urine.

Pemeriksaan MRI pituitari dapat menemukan kelainan


anatomik setempat. Pengobatan ditujukan terhadap
penyebabnya termasuk menghentikan terapi kortikosteroid
dan operasi.

kecepatan pertumbuhan, umur tulang, IGF-I, IGFBP-3 dan

fosfatase alkali. Pengobatan psikologis diperlukan pada

pasien-pasien dengan masalah-masalah emosi dan


personaliti.

Pseudoh ipoparatirodasme
Keadaan perawakan pendek ini disebabkan oleh kelainan
genetik dimana terdapat peningkatan hormon paratiroid
(PTH) dan fosfat, penurunan kalsium darah, disertai tidak

Perawakan Pendek Psikososial

adanya respons terhadap PTH eksogen. Pengobatan

Dalamhal ini defisiensi GH adalahbersifat fungsionalyang


berhubungan dengan kelainan psikiatris anak, akibat
kerusakan interaksi secara kronis dengan keluarga"/orang
tuanya. Secara klinis terlihat pertumbuhan yang kurang,
perut buncit dan imatur. Keadaan ini dapat disembuhkan
(reversibel) dengan mengeluarkan pasien dari lingkungan
keluarganya dan terapi keluarga, sehingga tidak dianjurkan
pengobatan dengan GH.

adalah dengan pemberian vitamin D/kalsitriol dosis tinggi

Hipotiroidisme
Defisiensi hormontiroidyang mulai sebelum atau saat lahir
mengakibatkan keterlambatan perkembangan yang berat.

Apabila terjadinya setelah lahir, mengakibatkan

disamping kalsium dan obat pengikat fosfat.

Gangguan Metabolisme Vitamin D


Rakhitis yang disebabkan defisiensi vitamin D
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perawakan
pendek.
Penyebabnya berupa defisiensi vitamin D (kurangnya
asupan vitamin D, malabsorpsi lemak, kurang terpapar

sinar matahari, antikonvulsan, penyakit hati/ginjal) dan


dapat berupa rakhitis yang tergantung pada vitamin D
secara herediter.
Gambaran klinis dapat berupasabershin (kaki pedang),

terlambatnya kecepatan pertumbuhan dan perkembangan

rachitic rossary (tasbih rakhitis), hipokalsemia,

tulang.
Hipotiroidisme yang didapat setelah lahir menyebabkan
kegagalan pertumbuhan yang ditandai oleh kurangnya
kecepatan pertumbuhan, perawakan pendek, kurangnya
BA, rasio atas/bawah (uper/lower ratio) lebih besar, apatis,
gerakan lambat, konstipasi, bradikardi, wajah dan rambut
kasar, suara serak dan terlambatnya perkembangan
pubertas.
Diagnosis hipotiroidisme kongenital, dipastikan dari
hasil pemeriksaan TSH dalam darah dari tumit/umbilikus
yang lebih besar dari 25 mU/I. Untuk anak yang lebih besar
diagnosis ditegakkan dari rendahnya FT4 dan tingginya
TSHserum.

hipofosfatemia dan peninggian fosfatase alkali. Pada,

Pengobatan untuk bayi adalah dengan levo-tiroksin

x-foto tulang terlihat gambaran khas.


Pengobatan yang efektif dengan vitamin D dan fosfat
dapat memperbaiki pertumbuhan.

PERAWAKAN PENDEK OLEH SEBABSEBAB NON.


ENDOKRIN
Termasuk dalam kelompok ini adalah sebagai berikut

Perawakan Pendek Konstitusional


Keadaan pertumbuhan dan adolesen yang terlambat secara

konstusional

ini hanya merupakan variasi

dari

l0- 15 uglkgBB/hari, untuk anak yang lebih besar 2-3


ug/kgBB/hari sampai tercapai kadar TSH serum

pertumbuhan normal. Dalam hal ini terjadi perlambatan


mulainya pubertas, umur tulang BA tertinggal dari umur

normal.

kronologis. Namun tinggi akhir tidak berkurang oleh karena

2046

waktu berhentinya pertumbuhan tulang juga tertunda.

Biasanya terdapat anggota keluarga dengan pola


pertumbuhan yang serupa. Pada pemeriksaan lengkap
tidak ditemukan penyebab lainnya. Oleh karena itu tidak
diperlukan pengobatan khusus. Yang penting adalah
menjelaskan dan meyakinkan kepada pasien dan
keluarganya bahwa keadaan ini adalah normal dan
prognosisnya baik.

MEIABOLIKENDOIRIN

Pengobatan yang berhasil terhadap penyakit dasarnya,


dapat memperbaiki ketinggalan dalam TB.

PENDEKATAN DIAGNOSTIK PERAWAI(AN PENDEK


Pada umumnya dari pemeriksaan dan gejala klinis yang
didapat sudah dapat ditetapkan apakah perawakan pendek

tersebut patologis dan memerlukan pemeriksaan yang

Perawakan Pendek Genetik


Keadaan ini bersifat familial tanpa keterlambatan
pertumbuhan dan dan BA. TB setelah dewasa tergantung
padarerata TB kedua orang tuanya.

Retardasi Pertumbuhan Intrauterin


Sekitar 30%bayi lahir dengan prematuritas dan retardasi
pertumbuhan intrauterin, tidak dapat mengejar ketinggalan
pertumbuhannya setelah 1-2 tahun lahir, akhimya tidak
mencapai tinggi dewasa yang normal. Penyebabnya,
banyak sekali, antaralain genetik (kecebolan RusselSilver), toksoplasma gondi, virus rubela, sitomegalo
virus, herpes, HIV, kokain, alkohol, fenetoin.
Oleh karena pemberian GH memberikan peningkatan
kecepatan pertumbuhan, obat ini di rekomendasikan untuk
pengobatan retardasi pertumbuhan intrauterin.

Sindrom-sindrom Perawakan Pendek


ini adalah sindrom Turner,

Termasuk dalam kelompok

sindrom Noonan (Pseudo Turner), sindrom PraderWilli, sindrom Lawrence-Moon, Sindrom Biedl-Bardet,
gangguan kromosom autosom dan displasia skeletal.
Sindrom Turner yang merupakan disgenesis gonad
pada wanita, secara kariotip adalah 45,X. Perawakan pendek
selalu ditemukan, disamping mikrognatia, lipatan epikantus,

telinga letak rendah, mulut ikan, ptosis, leher pendek


webbed neck, dada perisai dan lain-lain. Pengobatan

cukup lengkap dan mahal untuk kemudian diberikan


pengobatan sedini mungkin terhadap penyebabnya.
Dengan demikian, temyata banyak kasus yang tidak
memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang mahal dan
melelahkan.
Dari anamnesis dicari informasi mengenai keadaan
intrauterin, keterpaparan terhadap toksin, berat badan lehir
rendah, trauma lahir, perkembangan fisik dan mental, gejalagejala penyakit sistemik, diet, TB orang tualkeluarga, umur
pubertas, faktor psikososial keluarga dan hubungan anak

-orang tua.
Data yang perlu didapat dari pemeriksaan jasmani
adalah TB, BB, ukuran baju/sepatu, perbandingan TB dan
kecepatan pertumbuhan dengan teman sebaya/sekelas,
penyesuaian dengan tinggi rata-raIa orungtua. Status gizi,
span (perbandingan rentang lengan dengan tinggi badan),
lingkaran kep ala, r atio U lL, gejala- gejala/sindrom penyakit
dan gej ala-gej ala neurologik.
Dari pemeriksaan laboratorium dicari kelainan darah
dan urine rutin dan kimia darah (anemia, peningkatan laju
endapan darah, gangguan faal hatilginjal, intoleransi
glukosa, asidosis, kelainan kalsium, karoten serum,
penyakit jaringan ikat, malabsorpsi, T4 dan TSH, IGF-I
dan IGFBP-3, gonadotropin, PRL, hormon sex-steroid,

kortisol, antibodi tiroid, test provokatif untuk GH,


pemeriksaan kariotip, CZ.ScanlNIRI untuk hipotalamus/
hipofisis, pemeriksaan x-rayunitkBA, nutrisi dan fungsi

psikologis.

dengan GH cukup memberikan hasil.


Salah satu bentuk tersering dari displasia skeletal adalah

akondroplasia. Kelainan ini diturunkan secara dominan


autosom. Pasien biasanya sangat pendek oleh karena
ekstremitas pendek, kepala relatif besar, dahi menonjol,
hidung pesek, lain-lainnya normal, termasuk intraligensia.

Pengobatan pembedahan tulang dapat menambah TB,


sedangkan pemberian GH tidak dianjurkan.

Penyakit-penyakit Kronis
Perawakan pendek dapat disebabkan oleh penyakit

celiac, enteritis regionalis, penyakit Crohn, cystic


fibrosis, kanker, talasemia, artritis rematoid, gagal ginjal

kronis, renal tubular acidosis dan lain-lain. Pada


umumnya gangguan pertumbuhan terjadi akibat
malnutrisi yang diakibatkan penyakit-penyakit kronis
tersebut.

REFERENSI
Attanasio AF, Howell S, Bates PC et al. Body composition, IGF-I
and IGFBP-3 concentrations as outcome measures in severely
GH deficient (GHD) patients after childhood GH treatment : a
comparison witb adult onset GHD patients. J Clin Endocrinol
Metab 2002; 87 : 3368-3372.
Chiesa A, de Pependick LG, Keselman A et al. Final height in longterm primary hypothyroidism in children. J Pediatr Endocrinol
Metab 1998; l1:51.
GH Research Society. Consensus Guidelines for the diagnosis and
treatment of growth hormone (GH) deficiency in childhood
and adolescence : summary statement of the GH Research
Society. J Clin Endocrinol Metab. 2000; 85: 3990.
Grimberg A, Kutikov JK, Cucchiara AJ. Sex differences in patients

referred for evaluation ofpoor growth J Pediatr 2005;146

2t2.

GAT{GGUAT{ PERTT'MBUIIAN

2047

Hall D. Growth monitoring. Arch Dis Child 2000;82 ; 10 - 15.


Lai HC, Fitasimmons SC, Allen DB et al. Risk of persistence growth

impairment after alternate day prednisone treatment in


children with cystic fibrosis. N Engl J Med. 2000; 342 : 85I.
Leschek EW, Rose SR, Yanowsky JA et al. Effect of growth
hormone treatment on adult height in peripubertal children
with idiopathic short stature. A randomized, double blind,
placebo-controlled trial. J Clin Endocrinol Metab 2004: g9 :
3140

3148.

Melmed S, Jameson JL. Disorder of the anterior pituitary and


hypothalamus. In Kasper DL et al eds. Harrison,s principles of
Intemal Medicine, 16h ed, New York, Singapore: Mc Graw-Hill;
2005.p.2088-90,
Reiter EO, Rosenfeld RG. Normal and aberrant growth, In Wilson
JD et al. eds, Williams Textbook of Endocrinology, l0 th ed,
Saunders, 2002.

Saenger P. Groth-promoting strategies

in Tumer's syndrome. J Clin

Endocrinol Metab, 1999; 84:4345.


Saggese G, Federico

Q Barsanti S, Fiore L. The effect of administering gonadotropin releasing hormone agonist with recombinant
- human growth hormone (GH) on the final height of girls with
isolated GH deficiency: result from a controlled study. J Clin
Endocrinol Metab 2001; 86; 1900.
Styne D. Growth. In Greenspan FS, Gardner DC, eds. Basic & Clinical Endocrinology, Tb ed. New york, Singapore: Mc Graw Hill;
2004.p.176-2t4.
Van Wijk JJ, Smith EP. Insulin-like grorvth factors and skeletal
growth: Possibilities for therapeutic intervention. J Clin
Endocrinol Metab 1999; 84:4349.
Wit JM, Rekers-Mombarg LTM, Cutler GB Jr et al. Growth
Hormone (GH) treatment to final height in children with idiopathic short stature: evidence for a dose effect. J pediatr 2005;

146:45-53.

318
DIABETES INSIPIDUS
Asman Boedi Santoso Ranakusuma, Imam Subekti

PENDAHULUAN

DIABETES INSIPIDUS SENTRAL

Diabetes insipidus adalah suatu penyakit yang jarang

ditemukan. Penyakit

ini diakibatkan oleh

berbagai

Diabetes insipidus sentral (DIS) disebabkan oleh

penyebab yang dapat mengganggu mekanisme neurohy-

kegagalan penglepasan hormon anti- diuretik ADH yang


secara fisiologi dapat merupakan kegagalan sintesis atau

pophyseal-renal reflex sehingga mengakibatkan

penyimpanan. Secara anatomis, kelainan

kegagalan tubuh dalam mengkonversi air. Kebanyakan


kasus-kasus yang pernah ditemui merupakan kasus

akibat kerusakan nukleus supraoptik, paraventrikular dan

idiopatik yang dapat bermanifestasi pada berbagai


tingkatan umur dan jenis kelamin.

ini terjadi

filiformis hipotalamus yang menyintesis ADH. Selain


itu DIS juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus
supraoptikohipofi sealis dan akson hipofisis posterior
di manaADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan

GEJALAKLINIS

ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan.


Secara biokimiawi, DIS teriadi karena tidak adanya

Keluhan dan gejala utama diabetes insipidus adalah


poliuria dan polidipsia. Jumlah cairan yang diminum
maupun produksi urin per 24 jam sangat banyak, dapat

sintesis ADH, atau sintesis ADH yang kuantitatif tidak


mencukupi kebutuhan, atau kuantitatif cukup tetapi
merupakan ADH yang tidak dapat berfungsi sebagaimana
ADH yang normal. Sintesis neurofisin suatu binding
protein yang abnormal, juga dapat mengganggu
penglepasan ADH. Selain itu diduga terdapat pula DIS
akibat adanya antibodi terhadap ADH. Karena pada

mencapai 5 - I 0 liter sehari. Berat j enis urin biasanya sangat


rendah, berkisat antara I 001-1 005 atau 50-200 mOsmol.,/kg
berat badan. Selain poliuria dan polidipsia, biasanya tidak
terdapat gejala-gejala lain kecuali jika ada penyakit lain
yang menyebabkan timbulnya gangguan pada mekanisme

pengukuran kadar ADH dalam serum secara radio

pasien akan mengalami dehidrasi dan peningkatan

immunoassay, yang menjadi marker bagi ADH adalah


neurofisin yang secara fisiologis tidak berfungsi, maka
kadar ADH yang normal atau menfngkat belum dapat
memastikan bahwa fungsi ADH itu adalah normal atau
meningkat. Termasuk dalam klasifikasi DIS adalah
diabetes insipidus yang diakibatkan oleh kerusakan

konsentrasi zat-zat yang terlarut.

osmoreseptor yang terdapat pada hipotalamus anterior dan

neurohy-pophyseal-renal refl ex tersebut.


Selama pusat rasa haus pasien tetap ufuh, konsentrasi
zat-zat yang terlarut dalam cairan tubuh akan mendekati
nilai normal. Bahayabaru timbul jtkaintake airtidakdapat
mengimbangi pengeluaran urin yang ada dengan akibat

disebut Verney.s omoreceptor cells yang berada di luar


sawar darah otak.

PATOGENESIS
Secara patogenesis diabetes insipidus dibagi menjadi 2

DIABETES INSIPIDUS NEFROGENIK

jenis, yaitu diabetes insipidus sentral dan diabetes insipidus nefrogenik.

Istilah diabetes insipidus nefrogenik (DIN) dipakai pada

2048

2049

DIABETESINSIPIDUS

diabetes insipidus yang tidak responsif terhadap ADH


eksogen. Secara fisiologis DIN dapat disebabkan oleh :
. Kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradient

MEKANISMEHAUS
Peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat

osmotik dalam medula renalis.

haus, sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan

Kegagalan utilisasi gradient pada keadaan di mana


ADH berada dalam jumlah yang cukup dan berfungsi

menekan pusat haus. Seperti pada mekanisme penglepasan


AVP, pengaturan osmotik rasa haus dipengaruhi oleh vol-

normal.

ume sel pusat haus di hipotalamus. Ambang rangsang

Fisiologi Mekanisme Ekskresi Air


Dalam mengatur ekskresi air, ginjal mengikut sertakan
mekanisme neurohypophyseal-renal reflex. Komponen
humoral dalam mekanisme ini adalah ADH yang disebut
juga arginin vasopresin (AVP). AVP disintesis oleh suatu

molekul prekursor dalam nukleus supraoptik,


paraventrikular dan sedikit pada nukleus filiformis
hipotalamus. Setelah disintesis, AVP dibungkus ke
dalam semac am neurosecretoy granules pada retikulum

endoplasmik

di mana setiap granul

pusat haus (295 mOsmoUkg berat badan) ternyata lebih


tinggi daripada ambang rangsang osmotik penglepasan
AVP (280 mOsmol4<g berat badan). Hal ini merupakan suatu
perlindungan terhadap deplesi air.

Terdapat juga suatu jalur non-osmotik terhadap


stimulasi pusat haus. Diduga sistem renin-angiotensin
merupakan salah satu mediator sistem ini dan telah
dibuktikan renin atau angiotensin eksogen dapat
menimbulkan rasa haus dan nefrektomi dapat
menghilangkan rasa haus akibat deplesi ECF.

tersebut

mengandung baik AVP maupun suatu molekul carrier

yang disebut neurofisin. Granul-granul tadi


ditransportasikan melalui akson neuron hipotalamus
yang berakhir pada hipofisis posterior. PenglepasanAVp
oleh hipofisis posterior terjadi melalui proses eksositosis

di mana baik A VP maupun neurofisin dilepaskan ke


dalam sirkulasi.

MEKANISME AKSI SELULAR ARGININ VASOPRE.

srN (AVP)
Mekanisme yang pasti bagaimanaAVP dapat meningkatkan
permeabilitas epithel col- lecting duct terhadap air sampai
sekarang belum ielas. Kemungkinan setelah dilepaskan dari

hipofisis posterior, AVP masuk ke dalam sirkulasi ginjal


REGUTAS| ARG|N|N VASOPRESTN (AVp) SECARA
OSMOTIK DAN NON.OSMOTIK

Dalam mengatur sintesis dan penglepasan AVp


dipakai dua macam jalur yaitu jalur osmotik dan non-

dan terikat pada reseptornya di sisi contraluminal


(plasma) collecting duct. Penggabungan AVp dengan
reseptornya mengaktifkan adenilsiklase membran sel yang

mengkatalisis perubahan ATP menjadi cAMp. cAMp


protein kinase kemudian muncul untuk melakukan
fosforilasi protein membran sel yang kemudian

osmotik.

meningkatkan permeabilitas dengan cara melebarkan

Jalur osmotik mengikut sertakan Verney s osmoreceptor cells yangberada di hipotalamus anterior, di luar sawar

ukuran pori dan memperbanyakjumlah pori. Terdapat suatu

darah otak. Dengan ad,anya deplesi cairan, terjadi

fosfatase pada membran yang dapat mengembalikan


proses tersebut di atas. Integritas mikrotubulus dan
mikrofilamen merupakan faktor yang penting pula dalam

peningkatan osmolalitas cairan ekstra sel (ECF) yang


menye- babkan penurunan volume sel-sel osmoreseptor
sehingga teriadi stimulasi listrik yang mengakibatkan

proses peningkatan permeabilitas selain proses

depolarisasi membran sel, eksositosis dan penglepasan A


VP. Sebaliknyajika terjadi pemasukan air maka osmolalitas

prostaglandin dapat juga mengganggu pembentukan

ECF akan menurun dan pengembangan sel-sel

osmoreseptor akan menghambat te{adinya stimulasi lishik


dan depolarisasi membran sel. timulasi non-osmotikutama

yang menyebabkan penglepasan AVp tanpa adanya


perubahan osmolalitas ECF adalah deplesi volume ECF
dan hipotensi. Stimulasi lain adalah keadaan-keadaan

di mana teriadi peningkatan stimulasi adrenergik

termasuk rasa nyeri, takut, payah jantung dan hipoksia.


Evolusi filogenetik jalur non-osmotik agaknya merupakan
bagian yang integral dengan reaksi terhadap stress.
Dengan demikianAVP akan dilepaskan juga pada keadaan
s/ress di mana selain berfungsi sebagai ADH, AVp juga
mempunyai efek vasokonstriksi.

pembentukan cAMP.

Demeklotetrasiklin, hipokalemia, lithium dan

cAMP.

MEKANISME KONSENTRASI

ADH meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan


collecting duct terhadap air sehingga dapat berdifusi
secara pasif akibat adanya perbedaan konsentrasi. Dengan

demikianjika terdapatADH dalam sirkulasi, misalnya pada


keadaan hidropenia, akan tejadi difusi pasif di mana air
keluar dari tubulus distal sehingga terjadi keseimbangan
osmotik antara isi tubulus dan korteks yang isotonis.
Sejumlah kecil urin yang isotonis memasuki collecting duct

melewati medula yang hipertonis. Karena ADH juga

2050

menyebabkan keseimbangan osmotik anlara collecting


ductdan jaringan interstisial medula, maka air secara
progresif akan direabsorbsi kembali sehingga terbentuk
urin yang terkonsentrasi.

MEKANISME DTLUS! (PELARUTAN)


Jika ADH tidak disekresi, misalnya pada orang yang

METABOLIKENDOKRIN

terlarut akan membuat berat jenis urin berkisar antara 1010


atau 300 mOsmol/kg berat badan,yang jarang lebih tinggi

lagi karena juga disebabkan akibat aliran urin yang amat


cepat sehingga reabsorbsi airjuga terbatas. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa berat jenis atau osmolalitas urin
yang sangat rendah adalah diuresis air murni sedangkan
berat jenis urin yang mendeteksi iso-osmotik adalah
diuresis zat-zat terlarut atau kombinasi air dan zat-zat
terlarut.

terhidrasi baik, struktur-struktur distal tetap tidak


permeabel terhadap air. Dengan demikian sewaktu urin

yang hipotonis melewati tubulus distal, Na+ akan lebih


banyak dikeluarkan sehingga osmolalitas urin semakin

berkurang. Selanjutnya urin yang sangat hipotonis


memasuki co llecting duct yang juga relatif tidak permeabel
sehingga memungkinkan ekskresi sejumlah besar urin yang

terdilusi.

DIAGNOSIS BANDING ANTARA POLIURIA DAN


DIABETES INSIPIDUS
Pada tahap pertama perlu dijawab pertanyaan seperti di
bawah ini :

.
.

Apakah bahan utama yang membentuk urin pada


poliuria tersebut adalah air tanpa atau dengan zat-zaI
yang terlarut.

Apakah yang menyebabkan poliuria tersebut adalah


pemasukan bahan tersebut yang berlebihan ke ginjal
atau pengeluaran yang berlebihan.
Apakah yang menyebabkan diuresis ini faktor renal

PEMERIKSAAN KHUSUS UNTUK MENEGAKKAN


DIAGNOSIS DIABETES INSIPIDUS
Setelah dapat ditentukan bahwa poliuria yang terjadi adalah
diuresis air mumi, maka langkah selanjutnya adalah untuk
menentukan jenis penyakit yang menyebabkannya. Untuk
itu tersedia uji-uji coba berikut :

Hickey-Hare atau Cufier-Robbins test, pembeian infus


larutan garam hipertonis secara cepat pada orang noflnal
akan menurunkan jumlah urin, sedangkan pada diabetes
insipidus urin akan menetap atau bertambah. Pemberian
pitresin akan menyebabkan turunnya jumlah urin pada
pasien DIS dan menetapnya jumlah urin pada pasien DIN.
Kekurangan pada pengujian ini adalah :

pada sebagian orang normal, pembebanan larutan garam

akan menye- babkan terjadinya diuresis solute yang


akan mengaburkan efek ADH.
interpretasi penguiian coba ini adalah all or none
sehingga tidak dapat membedakan defect partial alau
komplit.

atau ekstrarenal.

Pertama ditentukan apakah diuresis tersebut


disebabkan oleh air atav zat-zatyang terlarut jika temyata

zat-zat yang terlarut maka langkah selanjutnya adalah

Fluid deprivation menurutMartin Goldberg.


. Sebelum penguiian dimulai, pasien diminta untuk

mengosongkan kandung kencingnya kemudian

menentukan j enis zat-zat yang terlarut tersebut. Jika jenis


diuresis sudah dapat ditentukan berup a air, zat- zat tertentu

ditimbang beratbadannya, diperiksa volume dan berat


jenis atau osmolalitas urin pertama. Pada saat ini diambil
sampel plasma untuk diukur osmolalitasnya.
Pasien diminta buang air kecil sesering mungkin paling
sedikit setiap jam.
Pasien ditimbang setiap jam bila diuresis lebih dari 300
mViam atau setiap 3 jam bila diuresis kurang dari 300 mil

air dan zat-zat yang tertentu, maka


selanjutnya ditentukan apakah karena terjadi suatu
pemasukan yang berlebihan atau pengeluaran yang
berlebihan. Selanjutnya harus dipisahkan apakah gejala ini

disebabkan oleh faktor renal atau ekstrarenal.


Cara yang paling sederhana untuk menentukan apakah
pasien poliuria mengalami diuresis air atau zat-zat yang
terlarut adalah dengan pengukuran berat jenis urin atau
lebih baik lagi osmolalitas urin. Secara umum diuresis air

. Setiap sampel urin sebaiknya

atau kombinasi

murni (pure water diuresls) oleh sebab apapun akan


mempunyai beratjenis kurang dari 1005 atau kurang dari
200 mOsmol/kg berat badan. Nilai terendah pada manusia
adalah 1001 atau 50 mOsmol/kg berat badan. Hal ini

jam

disebabkan karena aliran urin yang sangat cepat


menyebabkan reabsorbsi zat-zat yang terlarut sangat
terbatas sehingga walaupun disebut diuresis air murni
selalu masih ada walaupun sangat minim zat-zal terlarut
yang keluar bersama urin. Pada diuresis umumnya zat-zat

diperiksa

osmolalitasnya dalam keadaan segar atau kalau hal


ini tidak mungkin dilakukan semua sampel harus
disimpan dalam botol yang tertutup rapat serta
disimpan dalam lemari es.
Pengujian dihentikan setelah 16 jam atau berat badan
menurun 3-4oh teryantung mana yang terjadi lebih
dahulu.

Penguj ian dilanjutkan dengan

Ujinikotin

Pasien diminta untuk merokok dan menghisap dalam-

2051

DIABETESINSIPIDUS

dalam sebanyak 3 batang dalam waktu l5-20 menit.

Teruskan pengukuran volume, berat jenis dan


osmolalitas setiap sampel urin sampai osmolalitas/berat
diberikan nikotin.

Kemudian uji coba diteruskan dengan

B.

c.

UjiVasopresin:

.
.

D.

BerikanPitresindalamminyak5 m, inhamuskular.
Ukur volume, berat jenis, dan osmolalitas urin pada
diuresis berikutnya atau I jam kemudian.
E.

Pada Orang Normal


Akan terjadi peningkatan osmolalitas urin maksimal sampai
1000 mOsmollkg berat badan. Tidak adanya peningkatan
osmolalitas lebih lanjut setelah pemberian nikotin dan
pitresin menunjukkan adanya stimulasi penglepasan ADH
yang maksimal danrespons ginjal yang maksimal terhadap

P ada

defect parsial tet'adi sedikit peningkatan osmolalitas

stimulasi non-osmotik dapat menyebabkan peningkatan


sekresi ADH dan tubulus ginjal belum jenuh oleh ADH
endogen.

Defect Reglo hypoth. l.miconeurohypophyse./1 s


partial fluid deprivation defect akan terjadi
peningkatan osmolalitas urin sedikit, sedangkan pada
defect komplit os-molalitas tidak akan meningkat sama
Pada

sekali. Nikotin tidak menimbulkan respons apa-apa, akan


tetapi pitresin akan meningkatkan osmolalitas urin. Hal ini
menunjukkan adanya defect sentral dan respons tubular
yang normal.

Defecf Respons Tubular


Baik deprivation test, nikotin dan pitresin, tidak akan
menghasilkan peningkatan osmolalitas urin pada defect
tubular komplit. Pada partial fluid deprivation defect
akan menyebabkan sedikit peningkatan os-molalitas urin
sedangkan nikotin dan Setelah dapat ditentukan apakah
diabetes insipidus yang diderita merupakan DIS atau DIS

maka selanjutnya perlu dicari etiologinya walaupun

sebagian besar idiopatik. Untuk

itu diperlukan

anamnesis mengenai penyakit keluar ga, tta.uma, operasi,


radiasi, penyakit dahulu dan pemeriksaan khusus lainnya

seperti kampimetri, foto sela tursika, foto BNO-IVP,


ultrasonografr, sianning dan lain-Iain atas indikasi.
Daftar penyebab diabetes insipidus dapat dilihat seperti
dalam Tabel 1.

urin, pada defect yang komplit tidak terjadi peningkatan


osmolalitas urin sama sekali. Peningkatan osmolalitas urin
setelah pemberian nikotin dan pitesin memrnjukkan bahwa

Vaskular

ADH.
Defecf Osmoreseptor

Bentuk idiopatik
Bentuk non-familiar
Bentuk familiar
Pasca hipofisektomi
Trauma
Fraktur dasar tulang tengkorak
Tumor
Karsinoma metastasis
Kraniofaringioma
Kista supraselar
Pinealoma
Granuloma
Sarkoid
Tuberkulosis
Sifilis
lnfeksi
Meningitis
Ensefalitis
Landry-Guillain-Bane's Syndrome

jenis urin menurun dibandingkan dengan sebelum

Trombosis atau perdarahan serebral


Aneurisma serebral
Post paftum necrosis (Sheehan's syndrome)

Hisflocyfosr's

Granuloma eosinofilik
Penyakit Schuller-Chistian

PENGOBATAN DIABETES INSIPIDUS


Pengobatan diabetes insipidus harus disesuaikan dengan
gejala yang ditimbulkannya. Pada pasien DIS parsial
dengan mekanisme rasa haus yang utuh tidak diperlukan
terapi apa-apa selama gejala nokturia dan poliuria tidak
mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari. Tetapi pasien
dengan gangguan pada pusat rasa haus, diterapi dengan

pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya


dehidrasi. Inijuga berlaku bagi orang-orang yang dalam
keadaan normal hanya menderita DIS parsial tetapi pada

suatu saat kehilangan kesadaran atau tidak dapat


berkomunikasi.
Pada DIS yang komplit biasanya diperlukan terapi

hormon pengganti (hormonal replacemen). DDAVP


(l-des amino-8-d-arginine vas opress in) merupakan obat
pilihan utama untuk DIS. Obat ini merupakan analog
arginine vasopressin manusia sintetik, mempunyai lama
kerja yang panjang dan hanya mempunyai sedikit efek
samping jarang menimbulkan alergi dan hanya mempunyai
sedikitpressor effec). Vasopressin tannqte dalam minyak
(campuran lysine dan arginine vasopressin) memerlukan

suntikan setiap 3-4 har| Vasopressin dalam aqua hanya


bermanfaat untuk diagnostik karena lama kerianyayang
pendek.
Selain terapi hormon pengganti dapat juga dipakai terapi
adjuvant yang secara fisiologis mengatur keseimbangan
air dengan cara :
. Mengurangi jumlah air ke tubulus distal dan collecting
duct.

2052

.
.

METABOLIKENT'OIRIN

Memacu penglepasan ADH endogen.

Klofibrat

Meningkatkan efekADH endogen yang masih ada pada

Seperti klorpropamid, klofibrat juga meningkatkan


penglepasan ADH endogen. Kekurangan klofibrat

tubulus ginjal.

dibandingkan dengan klorpropamid adalah harus diberikan


kali sehari, tetapi tidak menimbulkan hipoglikemia. Efek

Obat-obatan adiuvan yang biasa dipakai adalah:

Diuretlk Tiazid

gangguan fungsi hati. Dapat dikombinasi dengan tiazid


dan klorpropamid untuk dapat memperoleh efek maksimal
dan mengurangi efek samping pada DIS parsial.

Menyebabkan suatu natriuresis sementara, deplesi ECF

ringan dan penurunan GFR. Hal ini menyebabkan


peningkatan reabsorbsi Na+ dan air pada nefron yang lebih
proksimal sehingga menyebabkan berkurangnya air yang

masuk ke tubulus distal dan collecting duct. Tetapi


penurunan EABY (Effective arterial blood volume) dapat
menyebabkan terjadinya hipotensi ortostatik. Obat ini
dapat dipakai pad a DIS maupun DIN.

Meningkatkan efek ADH yang masih ada terhadap t


ubulus ginjal dan mungkin pula dapat meningkatkan
penglepasan ADH dari hipofrsis. Dengan demikian obat
ini tidak dapat dipakai pada DIS komplit atau DIN. Efek
samping yang harus diperhatikan adalah timbulnya
hipoglikemia. Dapat dikombinasi dengan tiazid untuk
mencapai efek maksimal. Tidak ada sulfonilurea yang lebih

klorpropamid pengobatan diabetes insipidus.

D.
E.

Penyakit ginjal kronik

- Penyakit ginjal polikistik


- Medullary cysfic disease
- Pielonefritis
- Obstruksi ureteral
- Gagal gainjal lanjut
Gangguan elektrolit
- Hipokalemia
- Hiperkalsemia
Obat-obatan

Litium

"

Demeklosiklin
Asetoheksamid
Tolazamid
Glikurid
Propoksifen
Amfolarisin
Vinblastin
Kolkisin
Penyakit Sickle Cell
Gangguan diet
lntake air yang berlebihan
Penurunan rnlake NaCl
Penurunan rntake protein
Lain-lain
Multipel mieloma
Amiloidosis
Penyakit S.ybgren's
Sarkoidosis

Karbamazepin
Suatu antikonvulsan yang terutama efektif dalam
pengobatan tic doulourerl.x, mempunyai efek seperti
klofibrat tetapi hanya mempunyai sedikit kegunaan dan
tidak dianjurkan untuk dipakai secara rutin.
REFERENSI

Klorpropamid

efektif dan kurang toksik dibandingkan

samping lain adalah gangguan saluran cerna, miositis,

dengan

Goldberg, Martin. Abnormalities in the renal excretion of water


pathophysiology and differential diagnosis. Med Clin North
Am, Philadelphia, London, Toronto, Sydney: WB Saunders Co;
1963; 47:4:915-26.
Leaf, Alexander. Diabetes insipidus. In: Cecil Textbook of Medi-

cine. 15th ed, Tokyo:WB Saunders Co-lgaku Shoin Ltd;


1979.p.2010-l
Singer, Irwin. Differential diagnosis of polyuria and diabetes insipi-

dus. Med Clin North Am, Philadelphia, London, Toronto,


Sydney: WB Saunders Co, March; l98l :65:2:303-20.
Schrier, Robert W, Leaf, Alenxander. Effect of hormones on water
sodium chloride and potassium metabolism. In: William's (ed),
Textbook of Endocrinology, Sixth ed, Tokyo: WB Saunders
Co-lgaku Shoin Ltd; 1981.p.1032-6.

319
HORMON STEROID
Sjafii Piliang, Chairul Bahri

KELENJARADRENAL

bertahap mengalami involusi, mengakibatkan pemrrunan


berat adrenokortikal pada tiga bulan pertama setelah
kelahiran. Kelenjar adrenal relatifbesar semasa fetus dan
cepat menurun pada beberapa bulan pertama setelah lahir.
Pada tiga tehun berikutnya, korteks adrenal dewasa
berkembang dari sel-sel lapisan luar korteks adrenal dan

Kelenjar adrenal terdiri dari dua lapis: korteks dan


medulla. Korteks adrenal menghasilkan banyak hormon
steroid, dan yang terpenting adalah kortisol, aldosteron,

dan androgen adrenal, sedangkan medulla adrenal


menghasilkan katekolamin. Penyakit-penyakit kelenj ar

berdiferensiasi menjadi tiga zona sel-sel : zona

adrenal menyebabkan endokrinopati seperti sindrom


Cushing, penyakit Addison, hiperaldosteronisme, dan

glomerulosa (lapisan luar), zona fasikulata (lapisan


tengah), dan zona retikularis (lapisan dalam).
Kelenjar adrenal terdiri dari sepasang, berbentuk
piramid, terletak retroperitoneal di bagian atas atau medial
ginjal. Kapsul fibrosa menyelimuti kelenjar adrenal. Bagian
luar atau korteks adalah padat dan merupakan kira-kira
80-90 % berat adrenal normal, menghasilkan steroid.
Bagian dalam atau medulla adalah lembut, menghasilkan
katekalamin. Berat setiap kelenjar adrenal kira-kira 5 gram.
Korteks adrenal dialiri dan menerima suplai arteri utamanya

sindrom hiperplasia adrenal kongenital.

Kemajuan dalam prosedur diagnostik telah


menyederhanakan evaluasi penyakit-penyakit adreno-

kortikal, androgen, dan ACTH, dan memberikan


kemudahan, lebih cepat dan tepat dalam menegakkan
diagnosis. Kemajuan dalam bidang bedah dan pengobatan

telah memperbaiki pandangan dokter maupun pasien


terhadap penyakit-penyakit ini.
Tulisan ini membatasi pembicaraan pada steroidogenesis, hiperkortisolisme dan hipokortisolisme.

dari cabang arteri phrenicus inferior, arteri renalis, dan aorta.


Arteri-arteri kecil ini membentukpleksus arteri dalam kapsul
dan kemudian memasuki sistem sinusoid yang menembus
korteks dan medulla, mengalir kedalam vena sentralis di

ANATOMI

setiap kelenjar adrenal. Vena adrenalis kanan mengalir


langsung kedalam bagian porterior vena kava, sedangkan
vena adrenalis kiri memasuki vena renalis kiri. Gambaran
anatomik ini membuat lebih mudah melakukan kateterisasi
vena adrenalis kiri dari pada vena adrenalis kanan.

Pada minggu ke-4 sampai minggu ke-6 kehidupan fetus,

sel-sel mesoderm koelomik dinding perut belakang


mendekati mesoderm, membentuk sekelompok sel antara
mesenterium dan genital ridge diseblut korteks adrenal
fetus. Lima minggu kemudian, sel-sel basofilik kecil muncul
di sekitar korteks adrenal fetus untuk membentuk korteks

KORTEKSADRENAL

adrenal permanen. Pada minggu ke-7 perkembangan


embrio, korteks adrenal fetus disusupi sel-sel yang
medula adrenal. Selanjutnya medula adrenal membagi diri
membentuk sel ganglion dan sel kromatin. Sel-sel kromatin
menyekresi katekolamin. Adrenal fetal tetap dipertahankan

Sel-sel korteks adrenal dapat mensintesis kolesterol dan


juga mengambilnya dari sirkulasi. Kolesterol diubah menjadi
5-pregnenolon yang merupakan bahan dasar semua
kortikosteroid. Banyak steroid telah diisolasi dari korteks
adrenal tetapi ada ligayangpaling penting yaitu :

sampai lahir, dan pada waktu lahir adrenal fetal secara

Kortisol (hidrokortison) disekresi

bermigrasi dari neural crest yaitu simpatogonia menjadi

tn<

setiap hari, umrunnya

2ps4

MMABOLIKENDOIGIN

berasal dari zona fasikulata (lapisan tengah) danzonazona

mitokondria. Mutasi pada gen StAR mengakibatkan

retikularis (lapisan dalam) korteks adrenal.

hiperplasia adrenal lipoid kongenital dengan defisiensi berat


kortisol dan aldosteron pada waktu lahir.

Dehidroepiandrosteron (DHEA) disekresi oleh lapisan


yang sama dan kira-kira dalam jumlah yang sama dengan

Metabolisme Kolesterol

kortisol.

Aldosteron disekresi oleh zona glomerulosa (lapisan luar)


yang juga memproduksi beberapa jenis kortikosteroid lain
dan sedikit testosteron dan esterogen.

Pelepasan kortikosteroid ke dalam aliran darah


berlangsung secara intermiten, menghasilkan fase lonjakan
mendadak dalam plasma dan fase penurunan.

Kolesterol yang berasal dari diet dan dari sintesis endogen

merupakan substrat untuk steroidogenesis. Ambilan


kolesterol oleh korteks adrenal diperantarai oleh reseptor
LDL. Perangsangan terus-menerus korteks adrenal oleh
hormon adrenokortikohopik (ACTH), menj adikan jumlah
reseptor LDL bertambah. Konversi kolesterol menjadi
pregnenolon adalah rate-limiting step pada steroidogen-

Zona-zona korteks adrenal yang terpisah mensintesis

esis adrenal dan tempat utama kerjaACTH pada adrenal.


Langkah ini teq'adi dalam mitokondria danmelibatkan dua
hidroksilasi dan kemudian pemecahan rantai sisi kolesterol.

hormon spesihk, menunjukkan kemampuan enzimatik setiap


zona untuk mentransformasi dan hidrolisis steroid tertenfu.

lA, mengantarai proses ini, dan setiap


langkah membutuhkan molekul oksigen dan sepasang

Zona dan Steroidogenesis

Zona luar (glomerulosa) mengandung enzim untuk


biosintesis aldosteron, dan zona dalam (fasikulata dan
retikularis) adalah tempat biosintesis kortisol dan
androgen.

Oleh karena perbedaan enzimatik anlara zona


glomerulosa dan dua zona sebelah dalam, fungsi korteks
adrenal terbagi dua unit terpisah, dengan pengaturan dan

produk sekretori berbeda. Zona glomerulosa, yang


menghasilkan aldosteron, bila terj adi gangguan Aktivitas

l7o-hydroksilasi maka tidak dapat mensintesis l7


u-hidroksipregnenolon dan 17o-hidroksiprogesteron,
yang menjadi prekursor kortisol dan androgen adrenal.
Sintesis aldosteron oleh zona ini terutama diatur oleh
sistem renin-angiotensin dan kalium.

Zona fasikulata dan zona retikularis menghasilkan


kortisol, androgen adrenal, dan sejumlah kecil esterogen.

Zona-zona

ini, terutama diatur oleh ACTH, tidak

mempunyai gen CYP1lB2 (enkod P450aldo) dan tidak


dapat merubah

1I

-deoksikortikosteron menjadi aldosteron.

Satu enzim, CYPI

elektron. Elektron diberikan olehNADPH ke adrenodoksin,

suatu besi-sulfur protein, dan akhirnya ke CYP11A.


Adrenodoksin reduktase dan adrenodoksin juga terlibat
dalam kerja CYP1 lBl. Elektron diangkut ke mikrosom
sitokrom P450 melibatkan P450 reduktase, suatu flavoprotein berbeda dari adrenodoksin reduktase. Pregnenolon

kemudian diangkut keluar mitokondria sebelum


berlangsung sintesis steroid.

STEROID

Nomenklatur steroid
Steroid mengandung struktur dasar inti siklopentoperhidrofenenten yang terdiri dari tiga cincin 6-karbon
heksan dan satu cincin 5-karbon penten (Gambar 1).
Atom karbon dinomori berurutan mulai dengan cincinA.
Steroid adrenal mengandung 19 dan 2l alom karbon.
Steroid C19 mempunyai gugus metil pada C,, dan C,n.
Steroid C l9 dengan satu gugus keton pada C,, dinamakan

17-ketosteroid. Steroid C19 mempunyai Aktivitas

Ambilan dan Sintesis Kolesterol


Sintesis kortisol dan androgen oleh zona fasikulata dan
retikularis bermula dari kolesterol untuk sintesis semua
hormon steroid. Lipoprotein plasma merupakan sumber
utama kolesterol adrenal, juga terjadi sintesis steroid dalam

kelenjar adrenal dari asetat. Lipoprotein densitas rendah

(LDL) memasok kira-kira 80% kolesterol yang dikirim ke


kelenjar adrenal. Dalam kelenjar adrenal tersedia sejumlah
kecil kolesterol bebas dalam pol sebagai cadangan untuk
sintesis cepat steroid bila adrenal dirangsang. Bila ada
perangsangan, juga te{ adi peningkatan hidrolisis kolesterol
ester cadangan menjadi kolesterol bebas, peningkatan

predominan androgenik. Steroid C21 mempunyai satu rantai


sisi 2 karbon (Cro dan Cr,) melekat pada posisi l7 dan gugus
metil pada C', dan C,n. Steroid C21 dengan gugus hidroksil

pada posisi 17 dinamakan 17-hidroksikortikosteroid.


Steroid C2l mempunyai kandungan glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Glukokortikoid adalah steroid C2 I yang

bekerja predominan pada metabolisme intermedier,


sedangkan mineralokortikoid adalah steroid C2l yang
beke{a predominan pada metabolisme kalium dan natrium.

Sferordogenesrs

ambilan kolesterol dari lipoprotein plasma, dan peningkatan

sintesis

kolesterol

dalam

kelenjar

adrenal. Respon akut terhadap stimulus steroidogenik


diantarai oleh sleroidogenic scute regulatory protein
(StAR). Fosfoprotein mitokondria ini meningkatkan franspor

kolesterol dari lapisan luar ke lapisan dalam membran

Skema sintesis steroidogenik adrenal tertera pada gambar


2 dan3. Kebanyakan enzimyang terlibat pada steroidogenesis adalah keluarga sitokrom P450 oksigenase. Dalam
mitokondria, gen CYPI lA, terletak pada kromosom 15,
enkod enzim P45lscc,enzim yang bertanggungjawab pada

ITIRIIOT{STEROID

2055

pemecahan rantai sisi kolesterol. Gen CypllBl, yang


terletak pada khromosom 8, enkod enzim p450cI I, enzim
mitokondria lain, yang men gantarai I I p-hidrosilasi di zona

retikularis dan zona fasikulata. Reaksi ini merubah


I l{eoksikortikosteron menjadi kortikosteron. Dalam zona
glomerulosa, gen CYP I I B2, juga terletak pada khromosom
8, enkod enzim P4S1aldo,juga dikenal sebagai aldosteron

sintase. Enzim P450aldo mengantarai I I B-hidroksilasi,

l8-hidroksilasi, dan l8-oksidasi untuk merubah ll


deok s ikorti ko st e ron -+kort iko s teron -+ I g
hidroksikortikosteron -+aldosteron (Gambar 2). Dalam
retikulum endoplasmik, gen CYpl7, yang terletak pada
kromosom I 0, satu enzim tunggal, enkod enzim p 4 5 0c I 7,
yang mengantarai aktivitas I 7a-hidroksilase dan aktivitas
17 )O-liase,dan gen CYP2IM enkod enzim p450c2I,yang

mengantarai 2l-hidrosilasi progesteron dan 2l-

hidroksiprogesteron. Aktivitas 3B-hidroksisteroid

dehidrogenase: A5,a-isomerase diantarai oleh enzim hrnggal


non-P450 mikrosomal.

Sintesis Kortisol
Sintesis kortisol berlangsung melalui hidroksilasi-l 7a'
pregnenolon oleh gen CYP 17 dalam retikulum endoplasmik
membentuk I 7o-hidroksipregnenolon. Steroid ini kemudian

diubah menj adi 1 7u-hidroksiprogesteron setelah ikatan


ganda 5,6 di ubah menjadi ikatan ganda 4,5 oleh 3Bhidroksisteroid dehidro gen ase: Ls,a - ox o s t ero id is om eras e
enzyme complex, yang juga terletak dalam retikulum polos
endoplasmik. J ahx (pathw ay) altematif yang kLrang penting
pada zona fasikulata dan retikularis adalah dari pregnenolon

-+ progesteron -+ 17a-hidroksiprogesteron (Garnbar

l).

Langkah berikutnya, yang juga berlangsung di


mikrosom, melibatkan 21-hidrosilasi oleh Cyp2l A2 dai
I 7o -hidroksiprogesteron membentuk I I -deoksikortisol,
senyawa ini selanjutnya dihidroksilasi dalam mitokondria
oleh I I p-hidroksilase (CYPI lB l) membentukkortisol. Zona.

fasikulata dan retikularis juga menghasilkan

I l-deoksikortikosteron (DOC), 18 hidroksidoksikortikosteron, dan kortikosteron. Bila tidak ada gen Cypl lB2
mitokondria akan terhambat produksi aldosteron oleh zona
retikularis dan fasikulata korteks adrenal ini (gambar 2).
Sekresi kortisol pada keadaan basal (nonstres) berkisar

8-25 m{dl (22-69 mmol/dl), dengan rata-tata kira-kira


9,2mgldlQ5mmoUdl).

Kortisol dan aldosteron disekresi secara episodik, dan


umumnya kadar bervariasi pada siang hari, dengan nilai
puncak pada pagi hari dan kadar rendah pada sore hari.
C2lSteroid(Progesteron)

Kadar aldosteron plasma, bukan kortisol, meningkat

CjgSteroid(Dehidroepiandrosteran)

dengan pembebanan kalium makanan, dengan pembatasan


natrium, atau dengan sikap berdiri.

Sintesis Androgen
Produksi androgen adrenal dari pregnenolon dan
roid C-20 dan C-21 (progesteron) dan digantikan dengan atom O.

Kolesterol

l.

l.
'I 1

-Deoksikortikosteron

l.

Kortikosteron

+
11

-Deoksikortisol

lo

Kortisol

progesteron (Gambar 2) membutuhkan I 7c-hidroksilase

(CYPI7) dan tidak berlangsung di zona glomerulosa.

2056

METABOLIKENDOIRIN

Produksi utama androgen adalah dengan merubah

lTcr-hidroksipregnenolon menjadi senyawa l9-

Kolesterol

karbon (senyawa C-19): DHEA dan DHEA-sulfat.

Y
Prognenolon

7cr-hidroksipregnenolon mengalami pemindahan dua

Progesteron

11-Deoksikortikosteron

karbon rantai sisinya pada posisi C,, oleh l7-

t| "ouo"tao

20-desmolase mikrosom (ge,n CYP I 7), menghasilkan DIIEA


dengan gugus keto pada Crr. DHEA kemudian diubah

Kortikosteron

reversibel. Androgen adrenal utama lainnya,

Androstenedion dapat dirubah menjadi testosteron,


meskipun sekresi testosteron adrenal ini dalam jumlah
kecil. Androgen adrenal, DHEA dan DHEA-sulfat, dan

androstenedion, mempunyai aktivitas instrinsik


androgenik minimal, dan peran androgenesitas melalui
konversi perifer menjadi testosteron dan
dehidrotestosteron androgen yang lebih poten. Meskipun
DHEA dan DHEA-sulfat disekresi dalam jumlah besar,
androstenedion secara kualitatif lebih penting, oleh karena
siap di rubah di perifer menjadi testosteron. Pengukuran
DHEA sulfat bisa menggunakan indeks sekresi androgen
adrenal, hanya sedikit DHEA sulfat dibentuk dalam gonad
dan waktu-paruh (half-life) DHEA sulfat adalah 7-9 jan.
Kadar DHEA sulfat menggambarkan produksi DHEA dan
aktivitas DHEA sulfat.

PENGONTROLAN SEKRESI KORTIKOSTEROID

8-Hidroksikortikosteron

tI

androstenedion, dihasilkan terbanyak dari DHEA,

diantarai oleh gen CYPI7, dan bisa dari l'|uhidroksiprogesteron, juga oleh gen CYP 17.

e+so"too

menjadi DHEA-sulfat oleh adrenal sulfokinase yang

p+so"too

Aldosteron

Gambar 3. Biosintesis Steroid Dalam Zona Glomerulosa'


LangkahJangkah dari kolesterol menjadi 1 1 -deoksikortokosteron
adalah sama seperti pada zona fasikulata dan zona retikularis.
Zona glomerulosa tidak mempunyai aktivitas 17o-hidroksilase dan
tidak dapat menghasilkan kortisol. Hanya zona glomerulosa dapat
merubah kortikosteron menjadi 18-hidroksikortikosteron dan
aldosteron. Satu enzim tunggal P450aldo mengkatalisa konversi

11-deokaikortikosteron

-+

kortikosteron

-+

18-

hidroksikortikosteron -+ aldosteron.

Sekresi aldosteron dikontrol sebagian besar oleh


angiotensin II dari sistem renin-angiotensin. Renin berasal
dari apparatus jukstaglomerular pada tubulus proksimal
renalis. Sekresi renin meningkat dengan pemrmnan perfusi
ginjal, yang dirasakan oleh macula densa, dan beke{a pada
substrat renin plasma yang beredar yang dilepaskan dari
hati. Ini membentuk angiotensin I (suatu decapeptida), dan
angiotensin-converting enzyme (ACE) merubah menjadi

angiotensin

II

(suatu octadecapeptida). Angiotensin

II

menyebabkan vasokonstriksi dan sekresi aldosteron.

Struktur korteks adrenal dipertahankan olehACTH, yang


juga merangsang sintesis dan pelepasan kortisol, DHEA
dan kortikosteroid lainnya. Sekresi konisol diatur oleh tiga
sistem yang bekerja secara serentak :

Pelepasan

kortisol berlangsung bergelombang

menyebabkan adanya ritme diurnal sekresi kortisol


sehingga te{adi kadarplasma maksimal padajam 06.00
dan menurun sampai kira-kira setengah maksimum pada
jam 22.00. Ritme intrinsik ini diatur dari otak yang
dicetuskan oleh cahaya, melalui hipotalamus, yang
melepaskan corticotropin releasing faclor (CRF) dan
ACTH dilepaskan hipofisa.
Melalui respon terhadap stres mental dan fisis, juga
melalui CRF dan ACTH. Respons berlangsung hanya
beberapa menit dan menghasilkan kortisol serta

Sekresi aldosteron juga dirangsang oleh banyak


keadaan termasuk posisi berdiri, perdarahan, dehidrasi,
kehilangan atau pembatasan pemasukan natrium dan
pemberian kalium. Peningkatan kadar kalium menyebabkan
sekresi aldosteron secara langsung danjuga sekunder via

renin. ACTH juga mempunyai pengaruh kecil (minor)


terhadap sekresi aldosteron. Pengaruh lain termasuk
perangsangan B-adrenergik dari renin, dan serotonin pada
aldosteron.

TRANSPORSTEROID
Beberapa hormon steroid, misalnya testosteron dan
kortisol, beredar berikatan dengan protein plasma. Kortisol

menyimpannya dalam jumlah yang mampu

dalamplasmaterdiri dari

meningkatkan kadar kortisol plasma dua kali lipat atau


lebih sesuai kebutuhan. Sintesis dapat ditingkatkan

terikat protein, dan metabolit kortisol. Kortisol bebas

dengan cepat setiap saat sesuai dengan kebutuhan


melalui jalur ini.
Melalui mekanisme umpan-balik dengan pengaturan
sekresi ACTH oleh kortisol (dan oleh glukokortikoid
sintetik), sedangkan produk steroid lain dari korteks
adrenal tidak mempunyai efek ini.

bentuk '. kortisol bebas,hortisol

adalah hormon fisiologik aktif yang tidak terikat protein,


yang dapat bekerja langsring pada jaringan. Normal, kurang

dari

5%o

kortisol beredar adalah bentuk bebas. Hanya

kortisol tak terikat dan metabolitnya dapat melewati hltrasi


pada glomerulus. Peningkatan jumlah steroid bebas yang

diekskresikan dalam urin menunjukkan hipersekresi


kortisol, oleh karena fraksi kortisol plasma tak terikat

2057

I(X}K)NSTEROID

meningkat. Kortisol terikat protein berikatan secara


reversibel pada protein plasma yang beredar. Plasma
mempunyai dua sistem ikatan kortisol. Satu adalah ahnitas
frrggi, alpha-2-globulin berkapasitas rendah dinamakan
transcortin atat cortisol binding globulin (CBG), dan

yang lain adalah afinitas rendah, protein berkapasitas


tioggi, albumin. Afinitas ikatan CBG untuk kortisol
menurun pada daerah inflamasi, sehingga meningkatkan
kadar kortisol bebas lokal. CBG pada manusia normal dapat
mngikat kira-kira 700 nmol kortisol per liter (25 pgldl). Bila

kadar kortisol total melebihi kadar ini, maka kortisol tidak


hikat albumin yang beredar lebih besar dari biasa. Contoh,
bila kadar kortisol total I 400 nmol/L ( 50 1tg/ dl), 25Yo adalah

bebas. Kadar CBG meningkat pada keadaan estrogen

tinggi (mis. kehamilan, pemberian kontrasepsi oral).


Peningkatan CBG disertai oleh peningkatan kortisol tak
terikat protein, mengakibatkan kadar kortisol plasma
meningkat. Bila kadar kortisol bebas bisa tetap normal,
maka manifestasi kelebihan glukokortikoid tidak ada.

Kebanyakan glukokortikoid sintetik analog berikatan


hrang efisien terhadap CBG (berikatan kira-ktra 7O %).Iri
bisa menerangkan kecenderungan beberapa steroid
sintetik analog memberikan efek Cushingoid pada dosis
rendah. Metabolit kortisol secara biologik inaktif dan
berikatan lemah dengan protein plasma beredar.

kedaan tertentu, seperti gagal jantung, kecepatan inaktivasi

lnlmenurun.
Dari 7 sampai 15% aldosteron diekskre.l

duh- *in

sebagai ikatan glukoronid. Ikatan dengan-asam ini


berlangsung dalam hati dan ginjal. Pada orang-orang
dengan asupan garumrata-rata. ekskresi aldosteron urin
24 jamberadadalam ikatan dengan-asam dalam rentangan
15-50nmol (5-19 pg).

Androgen Adrenal
Androgen utama yang disekresi oleh adrenal adalah
dehidroepiandrosteron (DHEA) dan ester DHEA asam
sulfur pada C-3. Dari 15 - 30 mg senyawa ini diekskresi

setiap hari. Androstenedion, I I p-hidroksiandrostenedion,


dan testosteron diekskresi dalam jumlah kecil. DHEA
adalah prekursor utama l7-ketosteroid urin. Dua pertiga
l7-ketosteroid urin pada laki-laki berasal dari metabolit
adrenal, dan sisanya sepertiga berasal dari androgen
testis. Pada perempuan, hampir semua l7-ketosteroid urin
berasal dari adrenal.
Steroid berdifusi secara pasif melalui membran sel dan
berikatan dengan reseptor intraselular. Reseptor ini adalah
bagian dari faktor-faktor transkripsi pengatur' termasuk
reseptor hormon tiroid. Reseptor glukokortikoid ada dua
tipe : I dan II. Reseptor tipe I juga merupakan reseptor

mineralokortikoid. Mineralokortikoid tidak berikatan


dengan reseptor tipe II, tetapi hampir semua glukokortikoid

TETABOLISME DAN EKSKRESI STEROID

berikatan dengan kedua reseptor tersebut, meskipun

Glukokortikoid

dengan afinitas berbeda. Setelah steroid berikatan dengan


reseptor, kompleks steroid reseptor diangkut ke nukleus,
dimana ia berikatan pada tempat khusus pada steroidregulated genes, memodifikasi mRNA dan sintesis prorein.

Sekresi kortisol harian berkisar antara 40 dan 80 mmol

(15 dan 30 mg) dalam siklus sirkadian. Kortisol


didistribusikan dalam cairan tubuh, dengan lebih dari 90
lo berada dalam bentuk ikatan protein. Kadar kortisol
plasma ditentukan oleh kecepatan sekresi, kecepatan
inaktivasi, dan kecepatan ekskresi kortisol bebas. Hati
menrpakan organ utama yang bertanggung jawab untuk
inaktivasi steroid. Jalur utama adalah pengurangan cincin
A dan menghubungkan produk yang berkurang cincin ini
dengan asam glukoronat pada posisi C, membentuk
senyawa larut air. Enzim ll fthydroxysteroid dehydrogenase merubah kortisol menjadi kortison, metabolit inaktif
di ginjal. Aktivitas enzim ini dipengaruhi oleh kadar hormon
tiroid beredar, sehingga reaksi oksidatif ini meningkat pada
hipertiroid.

Oleh karena kortisol berikatan dengan reseptor


mineralokortikoid (reseptor glukokortikoid tipe I) dengan
afinitas sama seperti aldosteron. Spesifitas mineralokortikoid dicapai dengan metabolisme kortisol lokal menjadi
senyawa kortison tidak-aktif dengan I lA-hidroksisteroid
dehidrogenase. Kortison berikatan hanya minimal pada
reseptor tipe I. Efek glukokortikoid dari steroid lain, seperti
progesteron dosis tinggi, berhubungan dengan afinitas
ikatan dengan reseptor glukokortikoid tipe L Kerusakan
turunan pada reseptor glukokortikoid menyebabkan
resisten glukokortikoid. Contoh, individu dengan defek
reseptor tipe II mempunyai kadar kortisol tinggi tetapi tidak
mempunyai manifestasi kortisolisme.

tineralokortikoid

Fisiologi Glukokortikoid

Pada orang normal dengan asupan garam noflnal, ratarata sekresi harian aldosteron berkisar antara 0,1 dan0,7
mmol (50 dan 250 pg). Aldosteron berikatan lemah dengan
protein, volum distribusinya lebih besar dari pada kortisol,
kira-kira 35 L. Melalui hati, lebih dai 75% aldosteron
beredar diinaktifkan dengan pengurangan cincin A dan
menghubungkannya dengan asam glukoronat. Pada

Pembagian steroid adrenal dalam glukokortikoid dan


mineralokortikoidkurang tepat oleh karena hampir semua
glukokortikoid mempunyai kandungan mineralokortikoid.
Istilah glukokortikoid digunakan untuk steroid adrenal
yang mempunyai kerja predominan pada metabolisme
antara (intermediary metabolism). Glukokortikoid utama
adalah kortisol (hidrokortison). Efek glukokortikoid pada

2058

METABC'LIKENI'OTRIN

metabolisme - antar a melalui reseptor glukokortikoid tipe


tr.

Efek frsiologi glukokortikoid termasuk pengaturan

dan sintesis protein. Glukokortikoid menghambat produksi


dan kerja interferon oleh limfosit T dan produksi IL-l dan

IL-6 olehmakrofag.

metabolisme protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat.


Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah dengan
bekerja sebagai antagonis insulin dan dengan menekan

efeknya pada IL-1, yang menjadi pirogen endogen.


Glukokortikoid juga menghambat produksi faktor

sekresi insulin, dengan demikian menghambat ambilan


glukosa perifer, mempromosikan sintesa glukosa hati

pertumbuhan selT (cell T growthfactoa IL-2) oleh limfosit T.


Glukokortikoid membalikkan Aktivitas makrofag dan

(glukoneogenesis) dan meningkatkan kandungan glikogen


hati.
Kerja pada metabolisme protein terutama adalah efek
katabolik, mengakibatkan peningkatan pemecahan protein
dan ekskresi nitrogen. Bagian besar, kef a ini menunjukkan
mobilisasi prekursor asam amino glikogenik dari struktur

melawan kerja migration-inhibitory factor (MIF),


menyebabkan penurunan perlekatan makrofag pada

pendukung perifer, seperti tulang, kulit, otot, dan


jaringan ikat, oleh karena pemecahan protein dan
penghambatan sintesis protein dan ambilan asam amino.
Hiperaminoasidemia juga memfasilitasi glukoneogenesis
dengan merangsang ekskresi glukagon. Glukokortikoid

bekerja secara langsung pada hati untuk merangsang


sintesis enzim tertentu, seperti tyrosine aminotransferase
dan tryptophan pyrrolase. Glukokortikoid menghambat
sintesis asam nukleat di sebagian besar jaringan tubuh,
tetapi di hati, merangsang sintesis RNA.
Glukokortikoid mengattu mobilisasi asam lemak dengan

meningkatkan Aktivitas lipase sel oleh lipid-mobilizing


hormone (misal katekolamin dan peptida hipofisa).
Kerja kortisol pada protein,dan jaringan adiposa
berbeda pada bagian tubuh berbeda. Contoh, dosis
farmakologik kortisol dapat menurunkan rnatriks protein
pada kolumna vertebralis (tulang trabekula), tetapi pada
tulang panjang (terutama tulang padat) dipengaruhi hanya

sedikit; hal yang sama, massa jaringan adiposa


menurun, sedangkan lemak abdomen dan interscapular
bertambah.

Glukokortikoid mempunyai kandungan anti-infl amasi,

yang berkaitan dengan efek pada mikrovaskulatur-dan


menekan sitokin inflamasi. Dalam hal ini, glukokortikoid
memodulasi respon imun via immune adrenal axis. Loop
ini adalah salah satu mekanisme dimana stres, seperti
sepsis, meningkatkan sekresi hormon adrenal, dan
peningkatan kadar koitisol menekan respon imun. Contoh,
kortisol mempertahankan respon vaskular terhadap
vasokonstriktor yang beredar dan melawan peningkatan
permeabilitas kapiler selama inllamasi akut. Glukokortikoid
menyebabkan lekositosis oleh karena sumsum tulang
melepaskan sel-sel matang (dewasa) dan menghamb at jalan

Kerja antipiretik glukokortikoid bisa diterangkan melalui

endotel vaskular. Glukokortikoid menghambat produksi

prostaglandin dan leukotriene dengan menghambat

aktivitas phospholipase A' menghambat pelepasan


arachidonic acid dan posfolipid. Glukokortikoid
menghambat produksi dan efek inflamasi bradikinin,
platelet activatingfactor, dan serotonin. Mungkin hanya
pada dosis farmakologikproduksi antibodi berkurang dan

membran lisosom distabilkan, mempunyai efek menekan


pelepasan acid hydrolase.
Kadar kortisol berespon dalam menit terhadap stres,
apakah stres hsik (trauma, pembedahan, latihan hsik), shes

psikologik (kecemasan, depresi), atau stres fisiologik


(hipoglikemiaa, demam). Alasan kenapa peningkatan kadar
glukokortikoid melindungi organisme terhadap stres belum
dipahami, tetapi pada keadaan defisiensi glukokortikoid,
stres bisa menyebabkan hipotensi, shok, dan kematian.
Konsekwensinya pada individu dengan insufisiensi adrenal, kebutuhan pemberian glukokortikoid akan meningkat
semasa stres.

Kortisol mempunyai efek pada air tubuh. Kortisol


membantu mengafur volum cairan ekstraselular dengan
memperlambat perpindahan air kedalam sel dan dengan
mempromosikan ekskresi air kedalam ginjal, efek terakhir
ini diantarai dengan penekanan sekresi vasopresin, dengan
meningkatkan kecepatan filtrasi glomerulus, dan dengan
kerja langsung pada tubulus ginjal. Konsekwensinya
adalah mencegah intoksikasi air dengan meningkatkan
bersihan air bebas solut. Glukokortikoid juga mempunyai
sifat mineralokortikoid lemah, dan dalam dosis tinggi
mempromosikan reabsorpsi natrium tubulus ginjal dan
meningkatkan ekskresi kalium urin. Glukokortikoid dapat
juga mempengaruhi perilaku, gangguan emosi yang bisa
terjadi pada kelebihan atau kekurangan kortisol. Kortisol
menekan sekresi POMC hipofisa dan peptida turunannya
(ACTH, p-endorphin, dan B-lipotropin) dan sekresi CRH
hipotalamus dan vasopresin.

keluarnya melalui dinding kapiler. Glukokortikoid

Fisiologi Mineralokortikoid

mengakibatkanpemrmnan eosinofil yang beredar dan dari


jaringan limfoid, terutama sel I menyebabkan redistribusi

Mineralokortikoid mempunyai dua ke{a penting : regulator utama cairan ekstraselular dan metabolisme kalium. Efek

dari sirkulasi kedalam kompartmen lain. Kortisol

ini diperantarai ikatan aldosteron

menghambat cell-mediated immunity. Glukokortikoid juga


menghambat produLrsi dan ke{a mediator inflamasi, seperti
limfokin dan prostaglandin. Kerja ini terjadi via reseptor

glukokortikoid (mineralokortikoid) tipe I di jaringan target.


Volum cairan diatur melalui efek langsun gpada collecting
tubule, dimana aldosteron menyebabkan penurunan

II dan dihambat

ekskresi natrium dan peningkatan ekskresi kalium.

glukokortikoid tipe

oleh inhibitor RNA

dengan reseptor

2059

HORMONSTEROTD

natrium.
Kadar ion hidrogen lebih besar dalam lumen dari pada

Asupan kalium dan natrium diet sebelumnya


dapat merubah besarnya respon aldosteron terhadap
perangsangan akut. Efek ini akibat dari perubahan
pada sintesis aldosteron. Peningkatan asupan kalium
atau penurunan asupan natrium mensensitifkan respon
sel-sel glomerulus terhadap perangsangan akut oleh
ACTH, angiotensin II, dan/atau kalium. Pengaturan
sekresi aldosteron terjadi awal dan akhir pada synthetic

dalam sel, ion hidrogen juga disekresi secara aktif.

pathway.

Reabsorpsi ion natrium menyebabkan penurunan potensial

transmembran, peningkatan aliran ion positif, seperti


kalium, keluar dari sel kedalam lumen. Ion natrium yang
direabsorbsi diangkut keluar epitel tubulus dikirim kedalam
cairan interstisiel ginjal dan dari sana kedalam sirkulasi

kapiler ginjal. Air secara pasif mengikuti pengangkutan

Mineralokortikoid juga bekeq'a pada epitel saluran kelenjar

Neurotransmitter (dopamin dan serotonin)

ludah, kelenjar keringat, dan saluran gastrointestinal


menyebabkan reabsorpsi natrium sebagai pertukaran

dan beberapa peptida, seperti atrial natriuretic peptide,


y-melanocyte-stimulating hormone (y-MSH), dan

dengankalium.
Bila individu normal diberikan aldosteron, pada periode
awal retensi natrium diikuti dengan natriuresis, dan
keseimbangan natrium dikembalikan setelah 3-5 hari.
Sebagai akibabrya, oedematidakmuncul. Proses ini dirujuk
sebagai escape phenomenon, menandai escape dari
sodium-retaining action dari aldosteron pada tubulus
renalis. Faktor hemodinamik ginjal memegang peranan
pada escape, tetapi kadar atrial natriuretic peptide juga
meningkat. Penting untuk diingat bahwa tidak ada escape
dari p otas s ium-los ing effect dari mineralokortikoid.
Aldosteron dapat juga berinteraksi dengan reseptor
permukaan sel, mungkin bekerja dengan mekanisme
nongenomik.

B-endorphin, juga ikut berperan dalam pengaturan

Tiga mekanisme kontrol utama


aldosteronT+s

is

pelepasan

tem renin- angiotens in, kalium, dan ACTH.

Sistem renin-angiotensin mengontrol volum cairan


ekstraselular via pengaturan sekresi aldosteron.
Sistem renin-angiotensin mempertahankan volum

sekresi aldosteron. Kontrol sekresi aldosteron melibatkan

faktor-faktor perangsangan dan penghambatan.

Fisiologi Androgen
Androgen mengatur penanda seks sekunder laki-laki dan
dapat menyebabkan simtom kelaki-lakian (virilizing) pada

perempuan. Steroid dengan predominan aktivitas


androgenik mempunyai 19 atom karbon. Androgen
adrenal utama adalah DHEA (dehidroepiandrosteron),
androstenedion, dan I I -hidroksiandrostenedion. DHEA
dan androstenedion adalah androgen lemah dan
meningkatkan efeknya via konversi menjadi testosteron
androgen poten di jaringan ekstraglandular. DHEA juga
mempunyai efek yang belum jelas pada sistem imun dan
kardiovaskular. Pembentukan androgen adrenal diatur oleh

ACTH, bukan oleh gonadotropin. Androgen adrenal


tertekan dengan pemberian glukokortikoid eksogen.

darah yang beredar tetap konstan dengan meningkatkan

retensi natrium diinduksi-aldosteron (aldosteroneinduced sodium retention) selama kekurangan cairan


dan dengan mengurangi retensi natrium tergantungaldosteron (aldosterone-dependent sodium retention)
bila volume cairan besar.

Ion kalium secara langsung mengatur sekresi


aldosteron, secara independen melalui renin-angiotensin
yang beredar. Kalium merangsang produksi angiotensin

II adrenal, sedangkan converting-enzyme inhibitor


menghambat sintesis angiotensin II dan mengurangi
respon akut aldosteron terhadap kalium. Pemberian
kalium oral meningkatkan sekresi, ekskresi, dan kadar
aldosteron plasma. Peningkatan kalium serum sedikit saja
0,1 mmol,/L meningkatkan kadar aldosteron plasma pada
keadaan tertentu.
Jumlah fisiologik ACTH merangsang sekresi aldosteron
secara akut, tetapi kerja ini tidak terjadi jikaACTH diinftskan
lebih lama dari I 0- I 2 j am. Banyak studi mengabaikan ACTH
oleh karena peranannya kecil pada pengaturan aldosteron.
Contoh, subjek menerima dosis tinggi terapi glukokortikoid
dan dengan perkiraan te{adi penekanan sempurna ACTH,
tetapi mempunyai sekresi aldosteron normal sebagai respons
terhadap pembatasan natrium.

EVALUASI LABORATORIUM FUNGSI KORTEKS


ADRENAL
Penilaian dasar adalah pengukuran kadar steroid plasma
atau urin yang diberikan menggambarkan kecepatan
sekresi steroid adrenal. Nilai ekskresi steroid urin bisa tidak
menggambarkan angka sekresi yang sebenarnya oleh
karena pengumpulan urin yang tidak benar atau perubahan
metabolisme. Pengukuran angka sekresi yang sebenarnya

dari steroid yang diberikan sulit, melibatkan tehnik


pengenceran isotop setelah pemberian steroid radioaktif.
Kadar plasma menggambarkan kadar sekresi hanya pada

waktu pengukuran. Kadar plasma (plasma level, PL)


bergantung pada dua faktor : secrelion rale (SR) hormon
dan rate hormon yang dimetabolisme, misalnya Meta-

bolic Clearance Rate (MCR) steroid. Ketiga faktor ini


dapat dikaitkan sebagai berikut : SR: MCR x PL

Kadar Dalam Darah


Kadar ACTH plasma dapat diukur dengan immunoassay
techniques. Kadar ACTH berfluktuasi dari saat ke saat,
dan sekresi ACTH basal menunjukkan ritme sirkadian,

2060

dengan kadar lebih rendah pada sore hari dari pada pagi
hari. Kadar angiotensin II juga bervariasi pada siang hari
dan dipengaruhi oleh asupan natrium makanan dan sikap
tubuh. Sikap berdiri dan pembatasan nabium meningkatkan
kadar angiotensin II.
Kebanyakan penentuan klinik sistem renin-angiotensin
melibatkan pengukuran peripheral aktivitas renin plasma
(ytlasma renin activity, PRA) dimana aktivitas renin diukur
dengan pembentukan angiotensin selama periode inkubasi

yang standar. Metode ini bergantungpada kecukupan


angiotensinogen dalam plasma sebagai substrat.
Pembentukan angiotensin I diukur dengan radioimmunoassay. Aktivitas renin plasma bergantung pada asupan
natrium makanan dan pada apakah pasien berjalan. Pada
manusia normal, PRA menunjukkan diumal rythm ditandai
dengan nilai puncak pada pagi hari dan aktivitas menurun
pada sore hari.

Kadar Dalam Urin


Untuk penilaian sekresi glukokortikoid, pemeriksaan
I 7-hidroksikortikosteroid urin harus menj adi perhatian
dengan mengukur kortisol bebas urin. Peningkatan kadar
kortisol bebas urin berkaitan dengan hiperkortisolisme,
menggambarkan perubahan pada kadar tidak terikat,

secara fisiologi kortisol beredar aktif. Normal, angka


ekskresi adalah lebih tinggipada siang hari (07.00 - 19.00)
dari pada malam hari (19.00 -07.00).
l7-ketosteroid urin mengandung gugus keton pada
C- 17. Mereka berasal dari kelenjar adrenal atau gonad. Pada
perempuan normal, 90%o dari l7-ketosteroid urin berasal
dari adrenal, dan pada laki-laki 60-70% berasal dari adrenal. Nilai l7-ketosteroid urin tertinggi pada dewasa muda
dan menurun dengan bertambah usia.
Pengumpulan urin menjadi prasyarat untuk semua
pemeriksaan nilai ekskresi. Kreatinin urin harus diukur

secara bersamaan untuk menentukan ketepatan dan


adekwat prosedur pengumpulan.

Tes Stimulasi
Tes stimulasi digunakan untuk diagnosis defisiensi
hormon. Dilakrkan stimulus standar dan spesifft untuk
produksi dan pelepasan hormon yang diberikan, dan
jumlah hormon yang dilepaskan kemudian diukur.
Tes cadangan glukokortikoid Dalam hitungan menit
setelah pemberianACTH, kadar kortisol meningkat dalam

darah vena adrenal. Kemampuan reaksi

ini

dapat

digunakan sebagai indeks fungsi cadangan kelenjar adrenal untuk memproduksi kortisol. Pada stimulasi ACTH
maksimal, sekresi kortisol meningkat l0 kali, menjadi 800
pmol./hari (300 mglhari), tetapi stimulasi maksimal dapat
dicapai hanya dengan infus ACTH yang lama. Contoh,
pada orang normal, kadar kortisol melebihi 1100 nmoVl

(40

pg/dl) setelah infus

cosyntropin 24 jam dengan

kecepatan 0,02 mg/jam berkisar antara 280 dan I 100 nmoV

L (10 dan 49 1tg/dl).

Pasien dengan insufisiensi adrenal

primer mempunyai respon lebih kecil.

Tes skrining (disebut tes stimulasi ACTH cepat)


memberikan 25 unit (0,25 mg) cosyhopin intravena atau
intramuskular dan pengukuran kadar kortisol plasma
sebelum, 30 dan 60 menit setelah pemberian. Tes dapat
dilalcukan setiap saat sepanjang hari. Kriteria batas untuk
respon noflnal adalah kadar kortisol yang dirangsang >500
nmol./L (> 18 pgldl-), dan peningkatan kortisol normal
minimalyang dirangsang adalah >200 nmoVLQTytg/dL) di
atas batas dasar. Pasien-pasien sakit berat dengan
peningkatan kadar kortisol basal bisa menunjukkan tidak
ada peningkatan setelah pemberianACTH akut.
Tes Cadangan Mineralokortikoid dan Stimualsi
Sis t em Renin-Angiot ens in Tes stimulasi menggunakan
protokol yang dirancang rmtuk menentukan pengurangan
cairan, seperti pembatasan natrium, pemberian diuretik,
atau posisi berdiri. Tes sederhana dan poten terdiri dari
pembatasan berat natrium dan posisi berdiri. Setelah 3-5
hari asupan natrium 10 mmoVhari, kecepatan sekresi atau
ekskresi aldosteron akan meningkat 2-3 kali dari nilai
kontrol. Kadar aldosteron plasma pagi hari pada posisi
berbaring biasanya meningkat 3-6 kali, dan meningkat 2-4
kali sebagai respon terhadap posisi berdiri selama 2-3 hari.

Bila masukan natrium diet normal, tes stimulasi


memerlukan pemberian diuretik poten, seperti 40-80 mg
furosemid, diikuti oleh 2-3 hari sikap berdiri. Respon
normal adalah 2-4kalimeningkat kadar aldosteron plasma.

Tes Supresi
Tes supresi untuk menentukan hipersekresi hormon
adrenal melibatkan pemeriksaan respons hormon target
setelah supresi standar hormon tropiknya.

Test supresibilitas pituitari adrenal mekanisme


pelepasan ACTH sensitif terhadap kadar glukokortikoid
yang beredar. Bila kadar glukokortikoid darah meningkat

pada orang normal, berkurang ACTH dilepaskan dari


hipofisis anterior, dan berkurang steroid dihasilkan oleh
kelenjar adrenal. Integritas mekanisme umpan-balik ini
dapat diuji secara klinik dengan memberikan glukokortikoid
dan menentukan supresi sekresi ACTH dengan analisa
kadar steroid urin dan/atau kadar kortisol dan ACTH

plasma. Digunakan glukokortikoid poten seperti


deksametason, obat tersebut dapat diberikan dalam jumlah

cukup kecil yang tidak mempengaruhi secara bermakna


terhadap pol steroid untuk dianalisa.

Prosedur skrining terbaik adalah tes supresi


deksametason tengah malam. Ini melibatkan pengukuran
kadar kortisol plasma pada pukul 08.00 setelah pemberian
I mg deksametason pada tengah malam sebelumnya. Nilai
kortisol plsama pada pukul 08.00 pada orang normal kurang
dari 140 nmol/L (5 ttg/dl,).
Tes definitif supresibilitas adrenal terdiri dari pemberian
0,5 mg deksametason setiap 6 jam selama duahariberturut-

2061

IIORMOD{STEROID

turut sementara dilakukan pengumpulan urin selama 24


jam untuk penentuan kadar kreatinin dan kortisol bebas

REFERENSI

danJatat mengukur kadar kortisol plasma. Pada pasien


dengan noflnal hypothalamic-pituitary ACTH releqses
mechanism, penurunankortisol bebas urin menjadi kurang
dari 80 nmoVhari (30 pglhari) atau kortisol plasma kurang
dari 140 nmol/L (5 pgldl,) dijumpai pada hari kedua

Andrew R. Clinical measurement of steroid metabolism. Best Oract


Rs Clin Endocrinol Metab 2001; 15: l

pemberian.

Respons normal terhadap tes supresi menyiratkan


bahwa kontrol ACTH terhadap kelenjar adrenal secara

fisiologiknormal.

Tes supresibilitas mineralokortikoid Tes ini


bergantung pada ekspansi volume cairan ekstraselular,
yang akan mengakibatkan penurunan pelepasan renin
ginjal, penurunan aktivitas renin plasma yang beredar, dan
penurunan sekresi danJatau ekskresi aldosteron. Satu tes
supresi melibatkan infus intravena larutan salin normal
500 mVjam selama 4 jam, normal menekan kadar aldosteron
plasma menjadi < 220 pmoVl (.4 ngldl) pada diet terbatas

natrium ataumenjadi < 140 pmol/L (< SngldL)padaasupan


nahium normal. Tes tidak dilakukan pada pasien dengan

kaliummenurun.

Aron DC, Findling JW, Tyrrell JB. Glucocorticoids & Adrenal


Androgens, in Basic & Clinical Endocrinology edit. by. FS
Greenspan, DG Gardner. Lange Medical Books/ McGraw-Hill,
ed. 7'h 2004, p. 362-413.
Belchetz P, Hanrmond P : A&enal Disorden in Mosby's Color Atlas
and Text of Diabetes and Endocrinology. Mosby, 2003. p. 265.
Christenson LK, Straus JF 3rd: Steroidogenic acute regulatory pro-

tein: an update on its regulation and mechanism of action. Arch


Med Res 2001:32:. 576.
Fletcher RF: Lecture Notes on Endocrinology, 2'd ed. Blackwell
Scientific Publications 1978, p. l2l-145.

Kraan GP et al: The daily cortisol production reinvestigated in


healthy men. The serum and urinary cortisol production rates
are nor significantly different. J Clin Endocrinol Metab 1998;

83: 1247.
Miller WL, Tyller JB: The adrenal cortex. In: Endocrinology and
Metabolism, 4tl ed. Felig P , Baxter JD, Frohman LA (editors).
McGraw-Hill, 2002.

of
lld-hydroxysteroid dehydrogenase. Best Prac Res Clin

Tomlinson JW, Stewart PM: Cortisol metabolism and the role

Endcrinol Metab 2001; l5:61.


Turner HE, Wass JAH : Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Oxford University Press, 2002. p. 158, 261.
William GH, Dluhy RG : Disease of the Adrenal Cortex, in Harrison's

Principles of InternalMedicine, edit. by Fauci, Braunwald


Isselbacher et al,vol.

II, ed. 14s. p.2035-2056.

320
HIPERKORTISOLISME
Sjafii Piliang, Chairul Bahri

Kortisol plasma berlebihan (hiperkortisolisme)


menyebabkan suatu keadaan yang dikenal sebagai sindrom

Cushing, di mana aldosteron berlebihan menyebabkan

aldosteronisme, dan androgen adrenal berlebihan


menyebabkan virilisme adrenal. Sindrom-sindrom ini tidak

selalu dijumpai dalam bentuk "murni" tetapi bisa

Konsekuensinya akan membutuhkan kadar kortisol lebih


tinggi untuk menekan sekresi ACTH ke rentang normal.
Defek primer ini menyebabkan hiperstimulasi hipofisis,
mengakibatkan hiperplasia atau pembentukan tumor.
Pada waktu ini tumor hipofisis bisa menjadi independen
dari pengaruh pengaturan sistem saraf pusat danlatau

mempunyai gambaran tumpang tindih.

kadar kortisol yang beredar. Pada serangkaian

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

pembedahan, kebanyakan individu dengan hipersekresi


ACTH hipofisis menderita adenoma (diameter < l0 mm;
50 oh adalah 5 mm atau kurang), tetapi bisa dijumpai
makroadenoma (>10 mm) atau hiperplasia difusa sel-sel

Cushing melukiskan suatu sindrom yang ditandai


dengan obesitas bad,an (truncal obesity), hipertensi,
mudah lelah kelemahan, amenorea, hirsutisme, striae

kortikotropik. Dengan ditemukan mikroadenoma pada

hiperplasia adrenal tergantung hipofisis tidak


menyingkirkan disregulasi CRH hipotalamus sebagai
defek pada penyakit Cu s hi n g. Pada pengamatan j angka
lama menunjukkan kecepatan kekambuhan setelah
reseksi pembedahan yang berhasil perlu menjadi
perhatian. Pada beberapa studi, angka kekambuhan
adalah lebih besar dari 20 %. Mungkin sulit untuk
membedakan antara kekambuhan dengan terapi yang

abdomen berwarna ungu, edema, glukosuriaa,


osteoporosis, dan tumor basofrlik hipofisis. Sindrom ini
kemudian dinamakan sindrom Cushing. Sindrom dapat
diklasifikasikan seperti tertera pada Tabel 1. Tanpa

mempertimbangkan etiologi, semua kasus sindrom

Cushing endogen disebabkan oleh peningkatan

tidak adekwat. Hanya individu yang mempunyai

produksi kortisol oleh adrenal. Pada kebanyakan kasus


penyebabnya adalah hiperplasia adrenal bilateral oleh
karena hipersekresi ACTH hipofisis atau produksi ACTH
oleh tumor non endokrin. Insiden hiperplasia hipofisis
adrenal adalah tiga kali lebih besar pada wanita dari
pada laki-laki, kebanyakan muncul pada usia dekade
ketiga atau keempat. Penyebab hipersekresi ACTH
hipofisis masih diperdebatkan. Beberapa peneliti
bependapat bahwa defek adalah adenoma hipofisis,
pada beberapa laporan dijumpai tumor-tumor pada lebih
90% pasien dengan hiperplasia adrenal tergantung
hipofisis Qtituitary-dependent adrenal hyperplasia).
Di samping itu, defek bisa berada pada hipotalamus atau
pada pusat-pusat saraf lebih tinggi, menyebabkan
pelepasan corticotropin relaesing hormone (CRH) yang
tidak sesuai dengan kadar kortisol yang beredar.

tumor hipofisis yang menghasilkan ACTH dipastikan


sebagai penyakit Cushing, tetapi pada beberapa sentra
tujuan ini digunakan untuk seseorang yang menderita
hipersekresi ACTH hipofisis, tanpa mempertimbangkan
apakah tumor dikenali secara radiografi.
Tumor nonendokrin bisa mensekresi polipeptida yang
secara biologik, kimiawi, dan imunologik tak dapat

dibedakan dari ACTH dan CRH dan menyebabkan


hiperplasia adrenal bilateral. Produksi CRH ektopik
mengakibatkan, secara biokimia dan gambaran radiologis,

tak dapat dibedakan dari yang disebabkan oleh


hipersekresi ACTH hipofrsis. Tanda-tanda dan simtom khas

dari sindrom Cushing bisa tidak dijumpai atau minimal


dengan produksi ACTH ektopik, dan alkalosis hipokalemik
merupakan manifestasi yang predominan. Kebanyakan

2062

2063

HIPERKORTIITOIJSII'E

GEJAI.A KLINIK DAN GAMBARAN I.ABORATORIUM


Penyebab Sindrom Cushing

Banyak tanda-tanda dan simtom sindrom Cushing

Hiperplasia Adrenal
Sekunder terhadap kelebihan produksi ACTH hipofisa

menyertai kerja glukokortikoid (Gambar 2). Mobilisasi


jaringan ikat suportif perifer menyebabkan kelemahan
otot dan kelelahan, osteoporosis, striae kulit, dan

Disfungsi hipotalamik-hipofisa
Mikro dan makroadenoma yang menghasilkan ACTH
hipofisa
Sekunder terhadap tumor nonendokrin yang
menghasilkan ACTH atau CRH
(karsinoma bronkhogenik, karsinoid thimus, karsinoma
pankreas, adenoma bronkhus)
H iperpl asi a nod uler ad renal

Neoplasia adrenal
Adenoma
Karsinoma

Penyebab eksogen, iatrogenik


Penggunaan glukokortikoid jangka lama
Penggunaan ACTH jangka lama

mudah berdarah bawah

kulit. Osteoporosis bisa

menyebabkan kolaps korpus vertebra dan tulang lain.

Peningkatan glukoneogenesis hati dan resistensi


insulin dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa.
Diabetes melitus klinis dijumpai pada kira-kira 20 o/o

pasien, yang mungkin bersifat individu dengan


predisposisi diabetes. Hiperkortisolisme mendorong
penumpukan jaringan adiposa pada tempat-tempat

tertentu, khususnya di
(menyebabk an

m oon

waj

ah bagian

atas

fa c e), daerah antar a kedua tulan g

belikat (buffalo hump) dan mesenterik (obesitas


dari kasus ini berkaitan dengan primitive small cell (oat
cell) tipe dari karsinoma bronkogenik atau tumor timus,
pankreas, atau ovarium, karsinoma medula tiroid; atau
adenoma bronkus. Timbulnya sindrom Cushing bisa
mendadak, terutama pada pasien-pasien dengan karsinoma

paru, pasien tidak memperlihatkan manifestasi klinik.

Sebaliknya pasien dengan tumor karsinoid atau


feokromositoma mempunyai perjalanan klinis yang lebih
lams 64tr biasanya menunjukkan gambaran cushingoid
tipikal. Sekresi ACTH oleh tumor-tumor nonendokrin
juga disertai oleh penumpukan fragmen ACTH dalam
plasma dan peningkatan kadar molekul prekursor ACTH
plasma. Tumor-tumor

ini bisa memproduksi jumlah

besar ACTH, steroid biasanya jelas meningkat, dan bisa


dijunpai pigmentasi kulit. Hiperpigmentasi pada pasien

dengan sindrom Cushing hampir selalu menunjukkan


tumor ekstra adrenal, di luar kranium atau dalam

haniurr.

Kira-kira 20-25 % pasien dengan sindrom Cushing


menderita neoplasma adrenal. Tumor ini biasanya
unilateral dan kira-kira setengahnya adalah ganas
(maligna). Kadang-kadang pasien mempunyai gambaran
biokimia hipersekresi ACTH hipofisis. Individu ini biasanya
mempunyai mikro atau makronodular kedua kelenjar
adrenal mengakibatkan hiperplasia nodular. Dua bentuk

badan). Jarang, tumor lemak episternal dan pelebaran


mediastinum sekunder terhadap penumpukan lemak.
Alasan untuk distribusi yang aneh jaringan adiposa

ini belum diketahui, tetapi berhubungan dengan


resistensi insulin danlatau peningkatan kadar insulin.
Wajah tampak pletorik, tanpa disertai peningkatan
kadar gel darah merah. Hipertensi sering terjadi dan

bisa dijumpai perubahan emosional,

mudah
tersinggung dan emosi labil sampai depresi berat,
bingung, atau psikosis. Pada wanita, peningkatan
kadar androgen adrenal dapat menyebabkan jerawat,
hirsutis, dan oligomenorea atau amenorea. Beberapa
tanda-tanda dan simtom pada pasien dengan
hiperkortisolisme, misalnya obesitas, hipertensi, osteoporosis, dan diabetes, adalah.nonspesifik dan
karena itu kurang membantu dalam mendiagnosis
hiperkortisolisme. Sebaliknya, tanda-tanda mudah
berdarah, striae yang khas, miopati dan virilisasi
(meskipun kurang sering) adalah lebih sugestif sindrom
Cushing.

Kecuali pada sindrom Cushing iatrogenik,


kadar kortisol plasma dan win meningkat. Kadang-kadang

hipokalemia, hipokloremia, dan alkalosis metabolik


dijumpai, terutama dengan produksi ACTH ektopik.

spesifik menyebabkan hiperplasia nodular: penyakit


autoimun familial pada anak-anak atau dewasa muda
(disebut displasia korteks multinodular berpigmen) dan
hipersensitifitas terhadap gas tric inhibitory po lyp eptide,
mtmgkin sekunder terhadap peningkatan ekspresi reseptor
untuk peptida di korteks adrenal.

Penyebab terbanyak sindrom Cushing adalah


iarogenik pemberian steroid eksogen dengan berbagai
alasan. Sementara gambaran klinik mirip dengan yang

dijlmpai pada tumor adrenal, pasien-pasien ini biasanya


dapat dibedakan didasarkan pada riwayat dan pemeriksaan

laboratium.

Tanda klinik
Tipikal habitus
Berat badan bertambah
Lemah dan lelah
Hipertensi (TD >150/90 mmHg)
Hirsutisme
Amenore
Striae kutan
Perubahan personal
Ekimosis
Edema
Poliuria, polidipsia
Hipertrofi klitoris

97
94
87
82

80
77
67
66
65
62
23
19

2064

METABOLIKENDOTRIIII

DIAGNOSIS
Problem diagnostik utama adalah membedakan pasien
dengan sindrom Cushing ringan dari hiperkortisolisme

fisiologik ringan yang disebut sebagai sindrom pseudoCushing. Termasuk didalamnya fase depresi gangguan
afektif, alkoholisme, penghentian dari instoksikasi alkohol,
atau gangguan makan seperti anoreksia dan bulimia
nervosa. Keadaan ini bisa mempunyai gambaran sindrom

Cushing, termasuk peninggian kortisol bebas urin,

termasuk gangguan gambaran sekresi kortisol

yang ada untnk membedakan sindrom Cushing rngan dai


sindrom pseudo-Czsfting adalah penggunaan tes supresi
deksametason diikuti oleh stimulasi corticotropin-releasing hormone CRH.

Diagnosis sindrom Cushing bergantung pada kadar


produksi kortisol dan kegagalan menekan sekresi kortisol
secara noflnal bila diberikan deksametason. Sekali diagnosis ditegakkan, selanjutnya pemeriksaan dirancang
unflik menentukan etiologi (Gambar

1,

Thbel 3 dan Thbel4).

Untuk skrining awal dilakukan tes

supresi

bisa memberikan tanda spesifrk untuk diagnosa yang tepat,

deksametason tengah malam. Pada kasus sulit (mis. pada


pasien obes), pengukuran kortisol bebas urin 24 jam juga
bisa digunakan sebagai tes skrining. Bila kadar kortisol
bebas urin lebih tinggi dan 27 5 nmoVdl ( I 00 pgldl) adalah

konfrmasi biokimia bisa jadi mengalami kesulitan dan bisa


membutuhkan pemeriksaan ulang. Studi paling defrnitif

sugestif sindrom Cushing. Diagnosis definitif ditetapkan


bila gagal menurunkan kortisol urin menuju ke < 80 nmoV

diurnal, dan gangguan supresi kortisol setelah tes supresi


deksametason tengah malam. Meskipun pemeriksaan fisik

Tanda Klinik
Osteoporosis
Diabetes melitus
Hipertensi diastolik
Adipositas sentral
Hirsutisme dan amenorea

Tes skrlning
Kortisol plasma pada jam 08.00 > 140 nmol/L
(59/dL) setelah 1 mg deksametason
pada tengah malam; kortisol bebas urin
> 275 nmol/L (100 pg/hari)

Tes supresi deksametason


Respon kortisol pada heri k+2
menjadi 0,5 mg per 6 jam

Respon kortisol pada hari ke-2 suprsi


(2 mg per 6 j8m)

dek$meb$n

Supresi

lidak ada respon

Hiperplasia adrenal
sekunder terhadap sekresi
ACTH hipofisis

- Hiperplasia adrenal
sekunder terhadap tumor
yang menghasilkan ACTH
- Neoplasia adrenal

ACTH tinggi
Hiperplasia adrenal sekunder
terhadap tumor yang menghasilkan
ACTH
17-Ks-urin alau DHEA sulfat serum
sn abdomn

CT

Normal{endah (< 3 cm)


Adenoma adrenal

Gambar 1, alur diagnostik untuk mengevaluasi pasien tersangka menderita sindrom cushing

2065

HIPERKORTIIIOIISME

Makroadeno
ma Primer

Disfungsi.
ektooik
ntDotalamtK ACTH
tloJ,i*t'
pituitari &
'r
__
.

I umor
Adrenat

Mikroadenoma
Kadar ACTH plasma

N sampai 1

lsamparlll

<10

95

<10

<10

>90

>90

<10

<10

I sampar I

% yang respon

terhadap
deksametason
dosis tinggi
% yang respon
terhadap CRH

Disfungsi hipotalamik-pituitari

mensekresi ACTH atau tumor nonendokrin yang


Tergantung ACTH
Adenoma hipofisis
Neoplasma non-hipofisis (ACTH ektopik)
Tak Tergantung ACTH
latrogenik (glukokortikoid, megestrel asetat)
Neoplasma adrenal
Hiperplasia nodular adrenal
Primary pigmented nodular adrenal disease
Massive macronodular adenmonodular hyperplasia
Food-dependent (G P-mediated)
Factitious
I

dl (30 pgldl) atau kortisol plasma turun ke <140 nmol/L (5

pgldl) setelah tes supresi deksametason dosis-rendah


standar (0,5 mg setiap 6 jam selama 48 jam).
Penentuan etiologi sindrom Cushing diperumit dengan

semua tes yang tersedia oleh karena tidak spesifik dan

menghasilkan ACTH dan pada pasien dengan neoplasma


adrenal.

Kadar ACTH plasma dapat digunakan untuk


membedakan berbagai penyebab sindrom Cushing,
terutama untuk memisahkan penyebab tergantung-ACTH
dari tak tergantung-AcTH. Pada umumnya, pemeriksaan
ACTH plasma digunakan pada diagnosis etiologi sindrom
Cus hing tak-tergantung-ACTH, sedangkan kebanyakan
fumor adrenal menyebabkan kadarACTH rendah atau tidak

terdeteksi. Makroadenoma hipofisis yang mensekresi


ACTH dan tumor-tumor nonendokrin yang menghasilkan
ACTH biasanya mengakibatkan peningkatan kadarACTH.
Pada sindrom ACTH ektopik, kadar ACTH bisa jadi
meningkat di atas 110 pmol/L (500 pglml), dan pada
kebanyakan pasien kadarACTH berada di atas 40 pmoVl

(200 pglmL). Pada sindrom Cushing sebagai akibat

tumor-tumor yang menyebabkan sindrom Cushing

mikroadenoma atau disfungsi hopotalamik pituitari, kadar

cenderung spontan dan sering menyebabkan perubahan


dramatik sekresi hormon (hormogenesis periodik). Tidak
ada tes yang mempunyai spesifitas lebih besar dari95 %o,
dan mungkin perlu menggunakan kombinasi tes untuk

ACTH berkisar dari 6-30 pmol/L (30-150 pg/mL)

mencapai diagnosis yang tepat. Langkah yang digunakan

banding sindrom Cushing adalah kadarACTH bisa sama


dengan individu-individu dengan disfungsi hipothalamikhipofisis, mikroadenoma hipofisis, produksi CRH ektopik,
dan produksi ACTH dari tumor nonendokrin (terutama
tumor karsinoid).
Beberapa pemeriksaan tambahan dianjurkan, seperti
tes infus metirapon dan CRH. Rasional yang mendasari
tes ini adalah hipersekresi steroid oleh tumor adrenal atau
produksiACTH ektopik akan menekan aksis hipotalamik-

untuk membedakan pasien dengan ACTHsecret ing pituit ary micro adenoma atau hyp ot hal amicpituitary dysfunction dengan bentuk sindrom Cushing

yang lain adalah dengan menentukan respon pengeluaran

kortisol terhadap pemberian deksametason dosis


tinggi (2 me setiap 6 jam selama 2 hari). Bila
diagnosis sindrom Cushing tersingkirkan dengan
pemeriksaan kortisol basal urin dan plasma, bisa
digunakan tes supresi deksametason dosis tinggi tanpa
didahului tes supresi dosis rendah. Tes supresi dosis tinggi
mendekati spesifitas 100 % jika kriteria yang digunakan
adalah supresi kortisol bebas urin lebih besar dari 90 %o.
Kadang-kadang pada individu dengan hiperplasia nodul
bilateral danlatau produksi CRH ektopik, pengeluaran
steroid juga tertekan. Pemberian deksametason dosis

tinggi dan rendah untuk menekan produksi kortisol


mengalami kegagalan pada pasien dengan hiperplasia ad-

renal sekunder terhadap mikroadenoma hipofisis yang

fnormal < 14 pmol/L (< 60 pdml,)], dengan setengah kasus


nilai berada dalam rentangan normal. Problem utama
dengan menggunakan kadar ACTH pada diagnosis

pituitari sehingga penghambatan pelepasan ACTH


hipofisis. Kebanyakan pasien dengan disfungsi
hipotalamik-pituitari

dan/ atau mikroadenoma mengalami


peningkatan sekresi steroid atau ACTH sebagai respon
terhadap pemberian metirapon atau CRH, sedangkan
pasien dengan tumor yang memproduksi ACTH ektopik
tidak. Kebanyakan mikroadenoma hipofisis juga berespon
terhadap CRH, sedangkan responnya terhadap metirapon
bervariasi. Penggunaan tes infus CRH tidak memastikan
karena jumlah penelitian yang telah dilakukan terbatas dan

2066

MEIABOLIKENDOIRIN

CRH tidak tersedia. Tes CRH positif-palsu dan negatifpalsu dapat terjadi pada pasien-pasien dengan tumor

DIAGNOSIS BANDING

nonendokrin dan hipofisis.


Dilema diagnostik utama pada sindrom Cushing adalah
untuk membedakan disfungsi hipofisis dan/atau aksis

Diagnosis banding sindrom Cushing biasanya amat sulit

hipotalamik-pituitari dari tumor (mis. karsinoid atau


feokromositoma) yang menghasilkan CRH darVatauACTH
ektopik. Manifestasi klinik adalah sama kecuali tumor

ektopik menghasilkan gejala lain seperti diare dan


flushing daritumor karsinoid atau hipertensi episodik dari
feokromositoma. Kadang-kadang seseorang dapat
membedakan antara produksi ACTH ektopik dari ACTH
hipofisis dengan menggunakan tes metirapon atau CRH,
seperti diutarakan di atas. Pada keadaan ini, computed

tomography (CT) kelenjar hipofisis biasanya normal.


Magnetic resonance imaging (MRI) dengan
meningkatkan obat gadoliniumbisajadi lebihbaik dari CT

untuk maksud ini tetapi mikroadenoma hipofisis


menunjukkan hanya setengah pasien dengan sindrom
Cushing. Pada orang dengan imaging negatif, pada
beberapa sentra dilakukan pengambilan sampel darah vena

untuk pemeriksaan ACTH. Tidak ada tes yang tersedia


dapat dipercaya untuk membedakan jika tidak dijumpai
tumor ektopik ataujika tidak menghasilkan hormon lain.

Diagnosis adenoma adrenal yang menghasilkan-

dan harus selalu dilakukan konsultasi dengan


endokrinologi. Problem dalam menegakkan diagnosis
sindrom Cushing termasuk pasien obes, alkoholisme
kronik, depresi, dan penyakit-penyakit akut. Kegemukan
amat sangat jarang dijumpaipada sindrom Cushing,lagi
pula, dengan kegemukan eksogen, sering dijumpai
adipositas, bukan adipositas trunkal. Pada pemeriksaan
adrenokortikal, kelainan pada pasien-pasien dengan
kegemukan eksogen biasanya tidak memrnjukkan kelainan.
Kadar steroid urin basal pada pasien obes juga normal

atau sedikit meninggi. Beberapa pasien mengalami


peningkatan konversi kortisol yang disekresi menjadi
metabolit yang dikeluarkan. Kadar kortisol urin dan darah

biasanya normal, dan gambaran diurnal pada kadar


steroid urin dan darah normal.
Pasien dengan alkoholisme kronik dan depresi
mempunyai kelainan yang sama pada keluaran steroid:
peningkatan sedang kortisol urin, tidak ada irama
sirkadian kadar kortisol dan resisten terhadap supresi
dengan deksametason (terutama pada tengah malam dan

tes dosis rendah). Sebaliknya pada alkoholik, pasien


depresi tidak mempunyai tanda-tanda dangejala sindrom

kortisol disangkakan dengan peningkatan tidak

Cushing. Setelah penghentian alkohol danlatau

proporsional kadar kortisol bebas basal urin dengan hanya


perubahan sedang pada l7-ketosteroid urin atau DHEA
sulfat plasma. Sekresi estrogen adrenal biasanya menurun
pada pasien ini sehubungan dengan supresi ACTH yang
diinduksi-kortisol dan involusi zona retikularis yang
menghasilkan androgen.
Diagnosis karsinoma adrenal disangkakan dengan
massa abdomen yang teraba dan peningkatan nilai basal
l7-ketosteroid urin dan DIIEA sulfat plasma. Kadar kortisol
urin dan plasma meningkat bervariasi. Karsinona adrenal
biasanya resisten terhadap perangsangan ACTH dan
supresi deksametason. Peningkatan sekresi androgen
adrenal sering menyebabkan virilisasi pada perempuan.
Karsinoma adrenokortikal penghasil esterogen biasanya
disertai dengan ginekomastia pada laki-laki dan disfungsi
perdarahan uterus pada perempuan. Tumor adrenal ini
mensekresi jumlah androstenedion yang meningkat, di
perifer diubah menjadi esterogen : estron dan estradiol.
Karsinoma adrenal yang menyebabkan sindrom Cushing
paling sering dikaitkan dengan peningkatan kadar hasilantara biosintesis steroid (terutama 1l-deoksikortisol),
memberi kesan bahwa konversi hasil-antara tidak efisien
menjadi produk akhir. Kira-kira2D oh karsinoma adrenal
tidak ada kaitan dengan sindrom endokrin dan dikira

perbaikan status emosional, tes steroid biasanya kembali


ke normal. Respon kodisol normal terhadap hipoglikemiaa

menjadi tak berfungsi atau menghasilkan prekursor


biologik steroid inaktif. Kelebihan produksi steroid tidak
selalu secara klinik terbukti (mis. androgen pada laki-laki
dewasa).

diinduksi-insulin, yang bisa membedakan pasien-pasien


ini dari pasien sindrom Cushing. Pasien-pasien sakit akut
sering mempunyai hasil tes laboratorium abnormal dan
tidak menunjukkan supresi hipofisis adrenal sebagai
respon terhadap deksamateson, sedangkan stres berat
(seperti rasa sakit atau demam) mengganggu regulasi
sekresi ACTH normal. Penyebab hiperkortisolisme tanpa
stigma cusingoid Qarang) adalah resisten kortisol primer
oleh karena mutasi pada reseptor glukokortikoid tipe 1,

resisten tidak sempurna oleh karena pasien tidak


menunjukkan tanda-tanda insufisiensi adrenal. Sindrom

Cushing iatrogenik, diindus oleh pemberian


glukokortikoid atau steroid lain seperti megestrol yang
berikatan pada reseptor glukokortikoid, tidak dapat
dibedakan pada pemeriksaan fisik dari hiperfungsi
adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat dengan
mengukur kadar kortisol urin atau darah dalam keadaan
basal, pada sindrom iatrogenik kadar ini merendah
sekunder terhadap akses pituitari-adrenal. Keparahan
sindrom Cushing iatrogenik berkaitan dengan dosis steroid total, waktu paruh biologik steroid, dan lama terapi.
Juga individu yang minum glukokortikoid pada siang dan
malam hari lebih sering menimbulkan sindrom Cushing
dan dosis harian total lebih kecil dari pada pasien yang
hanya meminum pagi hari. Disposisi enzimatik dan ikatan
steroid yang diberikan berbeda diantara pasien.

2067

HIPERKORIISOLISME

EVALUASI RADIOLOGIK SINDROM CUSHING


Pemeriksaan radiologik untuk memeriksa adrenal adalah
pencitraan tomografi komputer (CT Scan) abdomen. CZ
scan bemrlai untuk menentukan lokalisasi tumor adrenal
dan untuk mendiagnosis hiperplasia bilateral. Semua
pasien yang mengalami hipersekresiACTH hipofisis harus

menjalani pemeriksaan pencitraan MRI scan hipofisis


dengan bahan kontras gadolinium. Dengan tehnik ini,
mikroadenoma kecil bisa ditemukan. Padapasien dengan
produksi ACTH ektopik, tomografi menjadi pilihan pertama.

untuk mengurangi kadarACTH, pengobatan ideal adalah


pengangkatan. Kadang-kadang (terutama dengan produksi
ACTH ektopik) eksisi tidak memungkinkan oleh karena
penyakit sudah lanjut. Pada keadaan ini, medik atau
adrenalektomi bisa memperbaiki hiperkortisolisme.
Ada kontroversi terhadap pengobatan hiperplasia
adrenal bilateral bila sumber produksi berlebihan ACTH
tidakjelas. Padabeberapa pusat pengobatan, pasien-pasien
ini (terutama yang ACTH tertekan setelah pemberian
deksametason dosis tinggi) menjalani eksplorasi bedah
hipofisis via trans-sfenoidal dengan harapan ditemukan

mikroadenoma. Pada banyak keadaan dianjurkan


selective petrosal sinus venous sampling, dan pasien
PENGOBATAN

Neoplasma Adrenal
Bila diagnosis adenoma atau karsinoma lebih ditegakkan,
dilakukan eksplorasi adrenal dengan eksisi tumor. Oleh karena
kemungkinan afrofi adrenal kontralateral, pasien diobati pradnn pascaoperatif jika akan dilakukan adrenalektomi total,
bila disangkakan lesi unilateral, rutin menjalani tindakan bedatr
elektif sama dengan pasien Addison.

Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal


meninggal dalam 3 tahun setelah diagnosis. Metastasis
tersering terjadi di hati dan paru. Obat utama untuk
pengobatan karsinoma kortikoadrenal adalah mitotan (o,p'-

DDD), isomer dari insektisida DDT. Obat ini menekan


produksi kortisol dan menurunkan kadar kortisol plasma
dan urin. Meskipun ke{a sitotoksiknya relatif selektifuntuk
daerah korteks adrenal yang memproduksi glukokortikoid,
zona glomerulosa juga bisa terganggu. Oleh karena mitotan
juga mengubah metabolisme kortisol ekstraadrenal, kadar
kortisol plasma dan urin harus dievaluasi untuk mentitrasi
efek. Obat ini biasanya diberikan dalam dosis terbagi tiga
sampai empatkali sehari, dengan dosis ditingkatkan secara
bertahap menjadi8 sampai l0 g perhari. Pada dosis tinggi
hampir semua pasien mengalami efek samping, bisa
mengalami gangguan gastrointestinal (anoreksia, diare,
muntah) atau neuromuskular (lesu, somnolen, pusing).
Semua pasien yang diobati dengan mitotan harus menjalani
terapi pemelihaan jangka lama, dan pada beberapa pasien
perlu dilakukan penggantian mineralokortikoid. Pada kirakira sepertiga pasien, tumor dan metastasis mengalami
kernunduran, tetapi survival jangka lama terbatas. Pada
kebanyakan pasien, mitotan hanya menghambat steroidogenesis dan tidak menyebabkan regresi metastasis tumor.
Metastasis ke tulang biasanya refrakter terhadap obat dan
harus diobati dengan terapi radiasi. Mitotan juga dapat
diberikan sebagai terapi tambahan setelah reseksi karsinoma
adrenal, meskipun tidak ada bukti bahwa ini memperbaiki
survival.

Hiperplasia Bilateral
Pasien dengan hiperplasia bilateral mengalami peningkatan

kadar ACTH absolut atau relatif. Terapi harus ditujukan

dirujuk ke senter yang lebih tepat jika prosedur tidak


tersedia. Jika mikroadenoma tidak dijumpai pada saat
eksplorasi, mungkin diperlukan hipofisektomi total.
Komplikasi pembedahan trans-sfenoidal adalah rinore.a

cairan serebrospinal renorea, diabetes insipidus,


panipopituitarisme, dan cedera saraf optik atau otak.
Neoplasma hipofisis ini bisa sembuh jika kelainan utama
berada di hipotalamus.

Pada senter tertentu, adrenalektomi total menjadi


pengobatan pilihan. Angka kesembuhan dengan prosedur
ini mendekati 100 %. Efek merugikan termasuk kebutuhan

penggantian mineralokortikoid dan glukokortikoid


sepanjang hayat dan 10-20 %kemungkinan muncul kembali
tumor hipofisis sepuluh tahun kemudian (sindrom Nelson).
Kebanyakan tumor ini membutuhkan terapi pembedahan.
Tidak pasti apakah mereka muncul de novo pada pasien

ini atau dijumpai

sebelum adrenalektomi, tetapi

kemungkinan ditemukan terlalu kecil. Evaluasi radiologik


kelenjar hipofisis secara periodik dengan MRI bersama
dengan pemeriksaan ACTH serial harus dilakukan pada
semua individu setelah adrenalektomi bilateral pada
sindrom Cushing. Tumor-tumor hipofisis bisa menjadi
invasif dan menekan chiasma opticum atau meluas ke
sinus kavernosa dan sfenoidalis.
Iradiasi hipofi sis jarang dilakukan sebagai pengobatan
primer, dicadangkan untuk tumor rekuren pascaoperasi.
Pada beberapa senter, kadar tinggi radiasi gamma dapat
ditujukan pada tempat yang diinginkan dengan kurang
penyebaran ke jaringan sekitar dengan menggunakan
teknik stereotaktik. Efek samping radiasi termasi.tk ocular
motor palsy dan hipopituitarisme. Long lag time antara
pengobatan dan remisi, dan angka remisi biasanya kurang

dai

50o/o.

Kadang-kadang pendekatan pembedahan tidak

memungkinkan, bisa diindikasikan "medical"


adrenalektomi. Penghambatan steroidogenesis juga bisa

diindikasikan pada subjek cushingoid berat sebelum


intervensi pembedahan. Adrenalektomi kimiawi mungkin
lebih unggul dengan pemberian penghambat steroidogenesis ketokonazol (600-1200 mg/hari). Mitotan (2-3 gtharl)
dan/ alau penghambatan sintesis steroid aminoglutetimid
(l g/hari) dan metiraponi (2-3 g/hari) mungkin efektif secara

2068

METABOIII(ENDORIN

tunggal atau gabungan. Mitotan lambat mencapai efek


(berminggu-minggu). Mifepristone, suatu inhibitor

REFERENSI

kompetitif ikatan glukokortikoid terhadap reseptomya, bisa

Aron DC, Findling JW, Tynell JB : Glucocorticoids & Adrenal Androgens, in Basic & Clinical Endocrinology edit. by. FS Greenspan,
DG Gardner. Lange Medical Booksi McGraw-Hill , ed. 7h 2004,
p. 362-413.
Aron DC, Tynell JB (editors): Cushing's syndrome. Endocrinol Met
Clin North Am 1994; 23: 451,925.
Belchetz P, Hammond P : Adrenal Disorders in Mosby's Color Atlas

menjadi pilihan pengobatan. Insufisiensi adrenal


merupakan risiko semua obat-obat ini, dan dibutuhkan
penggantian steroid.

PROGNOSIS

Adenoma adrenal yang berhasil diobati dengan


pembedahan mempunyai prognosis baik dan tidak mr:ngkin

kekambuhan terjadi. Prognosis bergantung pada efek


jangka lama dari kelebihan kortisol sebelum pengobatan,
terutama aterosklerosis dan osteoporosis.
Prognosis karsinoma adrenal adalah amat jelek,
disamping pembedahan. Laporan-laporan memberi kesan
survival 5 tahun sebesar 22oh dan waktu tengah survival
adalah 14 bulan. Usia kurang 40 tahun dan jauhnya
metastasis berhubungan dengan prognosis yang jelek.

and Text

of Diabetes and Endocrinology. Mosby, 2003. p.265.

Cavagnini F, Pecori Giraldi F: Epidemiology and follow-up of


Cushing's disease. Ann Endocrinol (Paris) 2001; 62: 168.
Chee GH et al: Transsphenoidal pituitary surgery in Cushing'
disease: can we predict outcome? Clin Endocrinol (Oxf) 2001;
54: 6l'7.
Fletcher RF: Lecture Notes on Endocrinology, 2"d ed. Blackwell
Scientific Publications 1978, p. I2I-45.
Findling JW, Raff H: Diagnosis and differential diagnosis of Cushing's
syndrome. Endocrinol Metab Clin North Am 2001;30: 729.
Lindholm J et al: Optimal response criteria for the human CRH test
in the differential diagnosis ofACTH-dependent Cushing's syndrome. J Clin Endocrinol Metab 2002;87: 640.
Quddisi S, Browne P, Hirach IB: Cushing's syndrome die to surreptitious glucocorticoid administration. JANA 1998; 158:. 294.
Swearingen B et al: Lomg-term mortaliity after transsphenoidal
surgery for Cushing disease. Ann Inem Med 1999; 130: 821.
Turner HE, Wass JAH : Oxford Handbook of Endocrinology and
Diabetes. Oxford University Press, 2002. p. 158,261.
William GH, Dluhy RG : Disease of the Adrenal Cortex, in Harrison's

Principles of InternalMedicine, edit. by Fauci, Braunwald


Isselbacher et al,vol.

II, ed. 14m. p.

2035-56.

32r
PENYAKIT KORTEKS ADRENAL LAINNYA
Sjafii Piliang

SINDROMADRENOGENITAL
Penyakit inijarang ditemukan, disebabkan oleh kegagalan
sebagian atau menyeluruh, satu atau beberapa er:zimyang
dibutuhkan untuk sintesis steroid. Penyebabnya adalah
genetik dan biasanya diturunkan secara autosomal resesif.
Efekutama sindrom ini adalahpada adrenal, tetapi kadang-

kadang gonad juga dipengaruhinya. Banyak tipe telah

ditemukan, tetapi yang telah ditemukan seperti pada


I

Gambarl.

defisiensi enzim steroid berkurang di dalam jalur yang


secara nonnal memang sedikit, akan tetapi mengakibatkan
produksi steroid berlangsung abnormal. Umumnya pasien
mempunyai genotip normal laki-laki atau perempuan dan
biasanya diferensiasi gonad dan organ kelamin internal
normal, tetapi karakteristik seksual lain bervariasi, sehingga
sindrom adrenogenital memrnjukkan 4 bentuk utama, yaitu
: 1). Neonatus perempuan dengan genitalia ekstema ganda

(female pseudo-hermaphroditism); 2). Terjadi salt


loosing danhipertensi pada kedua jenis kelamin. Neonatus
dengan salt loosing menunjukkan keadaan umum yang
berat; 3). Virilisasi prekoks dengan testikel kecil pada anak
laki-laki dan virilisasi pada anak perempuan; 4). Amenore
dengan virilisasi pada perempuan dewasa.

Patologi
Defisiensi C-20 hidrosilase. Merupakann tipe yang
paling berat. Kelainan terjadi pada sintesis steroid paling
awal. Gonad dipengaruhi sama seperti gangguan sintesis

hormon kelamin. Akibatnya, bayi laki-laki gagal

Gambar 1. Skema sintesis steroid. Nomor yang dikurung

menghasilkan testosteron intrauterin, sehingga genitalia


eksterna menunjukkan bentuk kelamin perempuan pada
waktu lahir. Kelenjar adrenal dibanjiri oleh kolesterol,
sehingga disebut lipid adrenal hyperplasia. Bila terjadi
gangguan biokimia berat, biasanya keadaaniniakan cepat

menunjukkan enzim yang terlibat

menyebabkan kematian.

Gejala klinis
Gejala klinis bervariasi, tergantung pada lokasi dan
parahnya gangguan enzim. Umumnya perubahan yang
terjadi oleh karena gabungan gangguan sintesis kortisol
dau aldosteron, kelainan mineralokortikoid dan keterlibatan
androgen. Defisiensi kortisol merangsang pelepasan

ACTH berlebihan yang menyebabkan hiperplasia


adrenal, disebut hiperplasia adrenal kongenital. Walaupun

Defisiensi C-3p-dehidrogenase. Kelainan ini juga


mempengaruhi gonad. Kortisol berkurang, tetapi sekresi
kortikosteroid meningkat, sehingga terjadi retensi garam
dan hipertensi. Pada wanita mempunyai genitalia ekstema
normal, tetapi tidak mengalami menstruasi, sedangkan pada
laki-laki menyebabkan pseudohermafr odit.

Delisiensi C-21 hidroksilase. Merupakan bentuk yang


palig umum, yang menyebabkan defisiensi kortisol dengan

2070

kelebihan pregnanetriol dan androgen. Pada bentuk yang


berat (paling jarang), terjadi pengeluaran natrium pada waktu
lahir, bisa fatal. Bayi laki-laki mempunyai genitalia ekstema
normal, tetapi bayi perempuan mengalami pertumbuhan
genitalia eksterna yang cepat. Pada bentuk yang ringan,
kehilangan natrium tidak nyata. Kelebihan androgen
menyebabkan perubahan pada masa kanak-kana( pada
anak laki-laki timbul pseudo-precocious puberty, tanpa
perkembangan testes, dan pada anak perempuan bisa
mengalami hipertrofr klitoris, cepat tedadi pertumbuhan
rambut ketiak dan pubes, sedangkan payudara tetap kecil
dan belum te{adimenstruasi.
Defisiensi C-11p-Hidroksilase. Kelainan ini terjadi pada
langkah terakhir sintesis kortison dan aldosteron dengan
keparahan yang bervariasi. Kortisol darah dapat normal,
tetapi adanya androgen deoksikortikosteron berlebihan
menyebabkan virilisasi dan hipertensi.

METABOLIKENDOI(Rtr{

Lokasi Tumor Adrenal


Kebanyakan tumor adrenal kecil dan berada di bagian dalam
sehingga sulit ditemukan. Tidak ada cara yang mempunyai

reliabilitas tinggi untuk mengenalinya. Dapat dicoba


dengan radiografi, termasuk pielografi intravena dengan
tomografi, penyrntikan gas retroperitoneal dan angiografi.
Dapat juga dibantu dengan pemeriksaan hornon, mungkin
akan memberikan hasil lebih baik. Walaupun demikian,
semua hasil pemeriksaan di atas dapat memberikan hasil
positif palsu.

HIRSUTISME DAN VIRILISASI


Kelainan ini amat jarangdijumpai pada laki-laki dan jelas
sulit untuk mengenalinya. Kelainan ini disebabkan oleh
tumor yang menghasilkan androgen. Sering dijump aipada
wanita, tetapi harus dibedakan antara hirsuitisme simpleks
dan sindrom virilisasi.

Diagnosis
Problem muncul pada masa neonatus, berupa virilisasi
genitalia eksterna yang luas pada anak perempuan,
hipertrofi klitoris sampai fusi lengkap labia dan adanya
hipospadia. Diagnosis banding harus dibuat dengan true
dan ps eudohermaphroditism denbgan melakukan buccal
smear dan analisis kromosom. Pemeriksaan steroid urin,
terutama indeks oksigenasi akan memastikan diagnosis.
Pada anak dewasa, perlu dilakukan pembedaan dengan
true precocious puberty dan virilising tumor ovaitxrt darr
adrenal.

Pengobatan. Pada tipe salt loosing, pemberian


kortikosteroid dan garam dapat menghindarkan pasien dari
kematian. Selanjutnya, pengobatan dilanjutkan dengan

kortikosteroid yang menekan produksi androgen


berlebihan dan berlangsung sampai pubertas normal dan
muncul kembali fungsi gonad. Kadang-kadang dianjurkan
pemberian kortikosteroid pada malam hari untuk menekan
ACTH. Pada anak perempuan, terapi kortikosteroid harus
dilanjutkan untuk mencegah virilisasi. Pengobatan jangka
panjang pada anak lakilaki masih diperdebatkan. Mungkin
diperlukan bedah plastik irntuk genitalia eksterna.

Prognosis. Kecuali pada bentuk terberat, respons terhadap


pengobatan memberikan hasil yang baik dan fertilitas
normal. Pasien mengalami respons stress tidak adekuat,
tetapi harapan hidup masih baik.

TUMORADRENAL
Tumor adrenal memiliki hubungan dengan sindrom
Cushing dan sindrom Conn serta tumor-tumor lain yang
mensekresi androgen (menyebabkan virilisasi pada
perempuan), yang mensekresi estrogen (menyebabkan
feminisasi pada laki-laki dan perdarahan uterus pada
perempuan pasca menopausal).

Rambut Normal
Manusia adalah mamalia berambut dan sernua kulit memiliki
folikel rarnbut, keculi telapak tangan, kaki dan kelopak mata.
Folikel rambut mula-mula berbentuk vilus, relatif kecil dan
menghasilkan rambut yang pendek.,.tipis, lembut dan
pucat. Semua folikel memiliki kemampuan berubah menjadi
bentuk terminal dengan folikel yang lebih besar dan
menghasikan rambut yang lebih panjang, lebih tebal, lebih
tegang dan lebih gelap. Perubahan ini terjadi pada kulit
kepala dan alis mata sebelum atau segera setelah lahir.
Perubahan berikutnya adalah pada waktu pubertas dimana

androgen ovarium atau testes merangsang perubahan


rambut terminal di ketiak dan pubis. Selanjutnya, pada
kebanyakan perempuan, perubahan rambut terjadi pada
tungkai bagian bawah dan lengan bawah. Pada keadaan
normal, tidak terjadi perubahan pada perempuan sampai
menopause, dimana sering terjadi pertumbuhan rambut
terminal pada bibir atas dan dagu dan hal ini menetap
sampai usia tua. Pada laki-laki, kadar androgen yang lebih
tinggi pada masa pubertas menyebabkan rambut terminal
tumbuh di daerah tertentu (male hirsutism), misalnya
janggut, perut bagian bawah , dada,tangandan paha. Botak
yang terjadi pada kepala bagian depan lakiJakiberlangsung
pada masa dewasa, diduga karena faktor genetik atau androgen yang tinggi. Dianggap bahwa male sexuql hair
tumbuh pada daerah-daerah dimana folikel membutuhkan
kadar androgen lebih tinggi untuk mengalami perubahan.

Istilah adrenarche kadang-kadang digunakan untuk


menunjukkan masa pubertas ketika androgen adrenal
meningkat dan rambut seksual tumbuh sedangkan gonad
belum berfungsi.

Hirsutisme Simpleks (ldiopatik)


Rambut terminal wajah dan badan pada wanita normal

2071

PENYAKIT KORTEKS ADRENAL LAINNYA

bervariasi. Ada perbedaat antara suku bangsa, misalnya


perempuan Asia dan Eropa Selatan mempunyai garis
rambut kepala lebih rendah dan bulu-bulu rambut badan
lebih banyak daripada perempuan Eropa Utara. Juga ada
unsur budaya mengenai apa yang diterima sebagai sesuatu
yang normal.

kandungan estrogen tinggi kadang-kadang dapat juga


diberikan, terutama bertujuan untuk menekan produksi

androgen ovarium bila diduga androgen berasal


dari ovarium. Alternatif lain adalah menggunakan
prednison dosis kecil untuk menekan produksi androgen
adrenal.

Gejala klinis. Pertumbuhan rambut ekstra seringkali

Prognosis. Riwayat hirsutisme simpleks tidak jelas tetapi

manyebabkan kesusahan oleh karena masalah kosmetik dan


ketakutan yang tak beralasan bahwa akan adapertumbuhan

memberi kesan rambut tubuh berlebihan, dan tidak

kelamin. Perubahan rambut biasanya mulai tampak antara


masa pubertas dan umur 20 tahun; cenderung meningkat
secara perlahan dan berhenti pada usia

5 tahun.

Keparahan

dan distribusi bulu-bulu rambut bervariasi. Daerah yang


ditumbuhi terutama pada wajah, bibir atas dan dagu.
Rambut pada lengan bawah meningkat dan rarnbut tumbuh
panjang antara payudara dan pubik, meluas sampai ke paha
atas dan dinding perut depan ( disebut male escutcheon) .Kulit
cenderung menjadi berkeriput dan dapat muncul jerawat.
Menstruasi dan fertilitas biasanya normal, tetapi pada
umunnya tidak teratur dan fertilitas berkurang. Kesehatan
fisilg tekanan darah, payudara dan klitoris normal.
Diagnosis. Lebih dari 95% wbnita dengan bulu rambut tubuh
berlebihan mengalami hirsutisme simpleks. Jika tidak ada
hiperhofi klitoris dan olulasi berlangsung normal, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada kelainan endokrin. Tes supresi

berkembang lebih luas setelah usia 35 tahun dan cendering


berkurang setelah menopause.

Sindrom Virilisasi
Sindrom virilisasi adalah peningkatan pertumbuhan rambut

disertai tanda-tanda aktivitas androgenik lain, seperti


amenore, hiperhofi klitoris, afrofi uterus dan atrofi payudara.
Kadang-kadang terjadi botak di bagian depan kepala.

Diagnosis banding. Sindrom polikistik ovarium harus


dipertimbangkan walaupun biasanya virilisasi pada keadaan
ini ringan. Penyebab lain adalah srndrom Cushing, adenonn
atau karsinoma adrenal, arenoblastoma ovarium, dan

sindrom adrenogenital late onset. Diperlukan tes


perangsangan atau supresi kadar hormon steroid di dalam

darah dan urin untuk menegakkan diagnosis, tetapi


laparotomi mungkin diperlukan.

dapat dilakukan dengan menggunakan kortikosteroid


sintetik dan estrogen/progesteron tablet secara berurutan
untuk menentukan apakah kelebihan androgen berasal dari
adrenal atau ovarium. Pemeriksaan ini memberikan hasil
bervariasi dan nilainya tidak pasti. Indeks oksigenasi ste-

roid urin dapat digunakan untuk mengetahui sindrom


adrenogenital.

Pengobatan. Fascial

hair

d,apat menyebabkan

kekhawatiran. Electrolysis merupakan pengobatan lokal


terbaik dengan mengalirkan arus listrik melalui folikel rambut

disertai diatermi pada folikel. Mungkin dibutuhkan


pengobatanjangka panjang oleh karena banyak bulu rambut
menjadi bentuk terminal. Cara ini membosankan, mahal, tidak
menyenangkan dan diperlukan tenaga ahli, tetapi hanya

cara inilah yang aman untuk merusak rambut tanpa


menimbulkan cacat. Mencukur merupakan cara alternatif,
murah danbeberapapasien dapat menerimanya. Juga dapat
digunakan depilatory cream, bleaches dan hea'vy layer
cosmetics.
Saat ini telah tersedia 3jenis obat siproteron asetat, yaitu
anti androgen yang digunakan secara luas di beberapa

negara. Penggunaannya harus digabungkan dengan


estrogen untuk menjamin bahawa kehamilan tidak terjadi

HIPERALDOSTERONISME

Hiperaldosteronisme Primer (Sindrom Conn)


ini paling sering terjadi pada wanita usia

Keadaan

pertengahan akibat sekresi aldosteron autonom. Gejala


klinisnya adalah hipertensi esensial benigna, disertai sakit
kepala, jarang dijumpai edema. Gejala yang terpenting
adalah hipokalemia (K < 3,0 mMoVL) tanpa sesuatu sebab
yang jelas seperti pemakaian diuretik atau muntah-muntah.
Kadang-kadang pasien mengalami simtom hipokalemia
yang mempengaruhi ginjal atau sistem neuromuskular
seperti poliuria, nokturia, parestesia, kelemahan otot,
hiporefleksi episodik atau paralisis.

Etiologi. Setengah sampai tigaperempat pasien men galami


adenoma adrenal soliter, kecil, dengan penampang bewama
kuning. Sisanya mengalami hiperplasia adrenokortikal milao-

atau makronoduler. Gambaran patologi disebabkan oleh


hipertensi dan hipokalemia.
Diagnosis. Hipokalemia merupakan gejala terpenting, jarang
ditemukan normokalemia. Diagnosis ditegakkan dengan
kadar aldosteron yang tinggi yang tinggi dan renin yang

teratogenik. Regimen siproteron asetat 2 x 50 mglhari pada


siklus haidhari 5-14 dikombinasi dengan etinil estradiol50
mg/hari pada siklus haid hari 5-21 dikatakan memberikan

rendah. Sukar dibedakan antara adenoma dengan


hiperplasia. Secara klinis juga sukar dibedakan antara
hiperaldosteronisme primer dengan hipertensi esensial.
Pemeriksaan kadar kalium plasma merupakan petunjuk

hasil yang memuaskan. Kontrasepsi oral dengan

diagnostik.

selama pengobatan, oleh karena kemungkinan efek

2072

METABOLIKENDOIRIN

Pengobatan. Spironolakton, suatu antagonis aldosteror-r

lnsufiensi Adrenokortikal Kronik (s)

dapat, menghilangkan gej ala-gejala hiperaldosteronisme.

Gejala klinisnya tergantung pada kecepatan dan tingkat

Obat ini juga dapat digunakan untuk tes diagnostik,

kerusakan adrenal. Biasanya ditemukan pada usia

persiapan operasi dan pengobatan jangka panjang jika


operasi merupakan kontraindikasi. Jika dijumpai adenoma

pertengahan. Penyakit ini berlangsung perlahan-lahan


selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dengan
keluhan tidak spesifik, seperti lesu, letih, lemah, anoreksia,
mual dan penurunan berat badan. Dapat juga disertai
muntah-muntah, nyeri perut, hipoglikemia dan hipotensi
postural. Dapat terjadi krisis adrenal akut akibat stres;
bahkan tidak jarang pasien mengalami depresi atau
psikosis.
Pada pemeriksaan, pasien kelihatan kurus, lemah dan
hipotensi. Pigmentasi adalah tanda yang paling menyolok,

harus diangkat.

iperaldosteronisme Sekunder

Dijumpai pada keadaan dimana terjadi perangsangan


renin persisten. Gejala klinis dan pengobatan ditujkan pada

penyebabnya dan jarang diperlukan pemeriksaan


aldosteron. Hiperaldosteronisme sekunder dapat dijumpai
pada keadaan hipersekresi renin primer akibat hiperplasi
sel

jukstaglomerulus di ginjal

(s

indrom

B artter).

NSU FISIE NSI ADRENOKORTI KAL

Insufisiensi Adrenokortikal Akut (Krisis adrenal)


Defisiensi kortisol absolut atau relatif yang terjadi
mendadak biasanya disebabkan oleh penyakit atau stres
yang berat. Gejala klinis ditentukan oleh keadaan penyakit
yang mendasarinya. Keadaan umum yang buruk, disertai
nyeri kepala, mual, muntah, diare dan hipotensi, dapat

berlanjut sampai timbul syok dan kematian. Kerusakan


adrenal dapat terjadi karena toksin bakteri pada infeksi
berat. Pada septikemia terutama oleh meningokokus, dapat

terjadi perdarahan adrenal bilateral akibat perdarahan


multipel di semua bagian tubuh (sindrom WaterhouseFredericl<son). Perdarahan adrenal masih dapat terjadi
pada bayi baru lahir, terutama setelah mengalami trauma
lahir. Insufisiensi adrenal akut juga dapat terjadi akibat
stres, infeksi ringan, pada pasien dimana respons adrenal
menurun karena sesuatu sebab atau gangguan pelepasan

ACTH akibat kerusakan hipofisis atau terapi


kortikosteroid. Saat ini pengobatan dengan kortikosteroid
danACTH digunakan secara luas, sehingga menjadi salah
satu penyebab insufisiensi adrenal yang tersering.

Diagnosis dan pengobatan. Diagnosis harus segera


ditegakkan agar dapat segera diberikan pengobatan. Perlu
diperhatikan prosedur berikut dalam memastikan diagnosi
dan penanganannya. Sampel darah harus diambil untuk
pemeriksaan kortisol darah. Kemudian diberikan NaCL 0,9
%o infravena I liter/jam dan pada setiap liter ditambahkan
deksametason sodium fosfat 4 mg dan aqueos tetrosuctin
200 mg. Setelah I jam, ulangi pengambilan sampel darah
untuk pemeriksaan kortisol darah. Cara ini efektif dan

pemeriksaan kortisol darah dapat memastikan


diagnosis klinis dan melihat respons adrenal. Pengobatan

selanjutnya adalah pemberian larutan NaCl 0,9%,


kortikosteroid, glukosa intravena dan pengobatan penyakit
pencetusnya. Alternatif lain dapat diberikan hidrokortison
intravena dengan latrutan NaCl 0,9olo, tetapi prosedur ini
harus diseertai pemeriksaan kortisol darah. Terapi jangka
panjang tergantung pada keadaan dan respons adrenal.

akibatpeningkatan melanin dengan pigmen ekstra di perut,

tempat-tempat yang tertekan, misalnya di darah tali


pinggang, lipatan telapak Iangan, areola dan perineum dan
daerahyang terpapar sinar matahai. Kadang-kadang dapat
dijumpai vitiligo, atau pigmentasi kelabu pada muka pipi,
gusi dan bibir. Pigmentasi pipi juga dapat dijumpai pada
orang kulit hitam normal. Bulu ketriak jarang, terutama pada
perempuan walaupun fungsi ovarium biasanya normal.

Patologi. Penyakit ini disebabkabn oleh kegagalan kerja


kortikosteroid, tetapi yang relatif lebih penting adalah
defisiensi gluko dan mineralokortikoid dengan gejala yang

belum jelas. Kegagalan aldosteron cenderung akan


menyebabkan kehilangan Na dan retensi K, serta glukosa
darah cenderung menurun. Pigmentasi terjadi karena
ekskresi melanocyte stimulating hormone (MSH)
berlebihan yang menyertai peningkatan sekresi ACTH yang

disebabkan oleh kadar kortisol plasma yang rendah.


Etiologinya antara lain adalah tuberkulosis, tetapi lebih
sering idiopatik. Dikemukakan adanya proses autoimun
oleh karena dijumai autoantibodi yang secara klinis ada
hubunganya dengan penyakit endokrin autoimun lain dan
gambaran histologik kelenjar adrenal mengingatkan pada

gondok limfadenoid. Amat jarang disebabkan oleh


neoplasma sekunder dan granuloma.

Diagnosis. Bergantung pada tingkat kegagalan respons


adrenokortikal terhadap ACTH. Kadar kortisol plasma
menurun dan ritem diurnal menghilang. Dapat juga terjadi
insufisiensi adrenal sedangkan kadar steroid basal normal

oleh karena kegagalan berespons terhadap stres.


Peningkatan kadar ACTH plasma merupakan petanda
diagnostik pasti. Kadar elektrolit plasma tidak berhubungan

dengan diagnosis. Pada pemeriksaan radiografi dapat


ditemukan kalsifi kasi adrenal.

Pengobatan. Terapi utama adalah dengan memberikan


kortisol. Mula-mula diberikan kortison dosis tinggi. Pada
terapijangka panjang, dosis yang tepat adalah kira-kira25
mg pagi hari dan 12,5 mg pada sore hari per-oral untuk
mencapai produksi dan ritme yang normal. Kadang-kadang

diperlukan penambahan mineralokortikoid (biasanya


fludrokortison 100 pglhari). Mungkin diperlukan

2073

PEITYAKIT KORTEKIi AI'RENAL L/IINITYA

penyesuaian dosis untuk memberikan perasaan sehat,


tekanan darah dan beralbadannormal tanpa edema. Perlu

REFERENSI

diberitahukan kepada pasien bahwa kegagalan ini

Fletcher RF. Lecture Notes on Endocrinology. 4th ed. Blackwell


Scientific Publications, Oxford, London, Edinburgh, Melbourne.
Jubiz W. Endocrinology: A Logical Approach for Clinicians. Inter-

permanen sehingga diperlukan pengobatan jangka panjang


dan penambahan dosis dalam keadaan stres. Pasienjuga
harus membawa steroid card setiap saat.
Prognosis. Kecuali risiko krisis adrenal, kesehatan dan usia
pasien biasanya normal, sedangkan pigmentasi dapat
menetap.

Insufisiensi Adrenokortikal Sekunder


Kelainan ini merupakan bagian dari sindrom kegagalan
hipofisis anterior. Respons terhadapACTH terhambat atau
menurun akibat atrofi adrenal. Dapat timbul manifestasi
akut oleh karena kegagalan respons terhadap stres pada
penyakit-penyakit hipofrsis atau setelah mendapat terapi
kortikosteroid.

national Student Edition. Tokyo: McGraw-HillKogakusha


Ltd; 1 989.

Liddle GW. The Adrenal. In: Williams RH (ed). The Text book of
Endocrinology.6th ed. WB Saunders Co, Igaku Shoin, Tokyo,
1982:249-92.
Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. Curent Medical diagnosis
& Treatment, International edition. Lange Medical Book, 1994.

322
METABOLISME I(ALSIUM
Agus

P.

Sambo, John MF Adam

PENDAHULUAN

Kalsium masuk ke dalam plasma melalui absorpsi dari

usus halus, dari tulang, dan reabsorpsi dari ginjal.


Tubuh orang dewasa mengandung l-2 kg kalsium, lebih

Sebaliknya kalsium ke luar dari plasma melalui saluran cema

dai 90 o/o diantarany aterdapat dalam tulang. Dalam keadaan

(100-200 mg/hari), air seni (50-300 mg/hari), disimpan

normal terdapat keseimbangan antara jumlah kalsium dalam

kembali ke dalam tulang melalui keringat (100 mg/hari)

tulang dengan kalsium dalam cairan ekstraselular.

(Gambarl).

Walaupun demikian hanya sebagian kecil saja yaitu 0.5 %

Tulang adalah suatu jaringan tubuh yang dinamik dan

yang dapat dipertukarkan. Kadar kalsium plasma total


berkisar antara 8,8 - I0,4 mg/dl, yang terdiri atas kalsium
ion sebesar 40 - 50 o/o, kalsium yang terikat pada protein

mengalami perubahan sepanjang kehidupan serta


merupakan tempat penyimpanan kalsium terbesar dan

terutama albumin sebesar 46 Yo dan sisanya 8 % kalsium


dalam kompleks organik yang terikat dengan anion yaitu

berbagai ion untuk keperluan keseimbangan berbagai filrgsi.

bikarbonat, sitrat, fosfat, laktat dan sulfat. Kalsium ion


merupakan kalsium yang secara biologis sangat penting
oleh karena peranannya dalam beberapa fungsi selular.

berlangsung lama karena berbagai sebab maka tubuh akan


mengambil kalsium dari tulang. Hal ini akan menyebabkan

penurunan kalsium tulang akibatnya tulang akan

Oleh karena itu kadar kasium ion selalu harus dipertahankan


dalam batas normal terutama oleh hormon paratiroid.

mengalami demineralisasi dan terjadilah osteoporosis.


Dengan meningkatnya usia seseorang akan mengalami

mineral lain seperti magnesium, fosfor, natrium dan

Bila terjadi penurunan kalsium plasma yang

pemrrunan jaringan tulang yang progresif. Penelitian longitudinal pada wanita pasca menopause akan kehilangan

0,5 - 1,5 g

kalsium dalam tubuh sebesar 20 mg sampai 60 mglhar|


walaupun ini sedikit akan tetapi dalamjangka l0 tahun
kehilangan kalsium mencap ai l3%o dai' total kalsium tubuh,

jumlah yang cukup untuk menimbulkan osteoporosis.


Pada makalah

ini akan dibicarakan lebih lanjut tentang

metabolisme kalsium dan hormon yang berhubungan


dengan metabolismne kalsium, serta osteoporosis.
Ginjal

HORMON DAN METABOLISME KALSIUM

0,15-39

Gambar 1. Homeostasis kalsium, hubungan antara kalsium

Metabolisme kalsium diatur oleh tiga hormonutamayaitu


dua hormon polipeptida masing -masing hormon paratiroid

ekstraselular dan tulang, demikian juga antara kalsium dalam diet


dan tinja. (Dikutip dari: Holick MF, Krane SM. lntroduction to bone
and mineral metabolism. ln: Braunld E, FauciAS, Kasper DL, Hause
SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison's Principles of lnternal Medic'ine. 15'h ed. New York, McGraw-Hill, Medical Pub.
Division. 2001, pp.2192 2204. ces = cairan ekstraselular)

dan kalsitonin dan satu hormon sterol yaitu 1,25


dihidroksikolekalsiferol {1,25 (OH)2D3}. Pada tabel 1
diperlihatkan titik kerja hormon tersebut pada tulang, ginjal

dan usus halus.

2074

2075

METABOLIIIME ITAISII.JM

paratiroid

Vitamin

Calcitonin

Meningkatkanabsorpsikalsium
dan fosfat

Mempertahankan transpor ion


Ca
Menekan absorpsi kalsium dan
fosfat

Usus halus

Ginjal

Tulang

Hormon

Meningkatkan reabsorpsi kalsium,


menekan reabsorpsi fosfat dan
bikarbonat.
Meningkatkan perubahan 25(OH)D3 ke
1,25 (OH)2D3
Menurunkan reabsorpsi kalsium
Menurunkan reabsorpsi kalsium dan
fosfat.
Efek terhadap metabolisme vitamin D?

Tidak ada efek


langsung

Meningkatkan absorpsi
kalsium dan fosfat
Tidak ada efek langsung

Dikulip dari: Arnaud D. Claude. The Calciotropic Hormone & Metabolis Bone Disease. ln: Greenspan FS Baxter JD, editors. Basic &
Clinical Endocrinology,4rh ed. Connecticut: Appleton & Lange. '1994, pp. 227 -306

di ginjal

Hormon Paratiroid

Merangsang kerja enzim 1p-dihidroksilase

Kelenjar paratiroid terdapat di bagian posteriu kelenjar


tiroid, ada dua buah pada tiap sisi. Kelenjar paratiroid
mengeluarkan hormon paratiroid dan merupakan horrnon

sehingga meningkatkan perubahan 25 hidroksikolekalsiferol

utama yang mengatur metabolisme kalsium untuk


mempertahankdnagar kadar kalsium plasma dalam batas
normal. Hormon paratiroid terdiri atas 84 asam amino rantai
tunggal.
Pada suatu keadaan hipokalsemi, sekresi hormon
paratiroid berlangsung dalam tiga tahap. Tahap dini
berlangsung beberapa menit, merupakan respon cepat dari
sel sel paratiroid melepaskan hormon paratiroid yang

sudah tersedia dalam sel terhadap suatu keadaan


hipokalsemi. Tahap kedua yang terjadi beberapa jam
kemudian merupakan aktivitas sel kelenjar paratiroid
menghasilkan hormon paratiroid lebih banyak. Tbhap ketiga

apabila hipokalsemi masih berlangsung maka dalam


beberapa hari akan terjadi replikasi sel untuk
memperbanyak masa sel kelenj ar paratiroid.

Hormon Paratiroid dan Metabolisme Kalsium


Dalam keadaan normal hormon paratiroid bekerja
mempertahankan kadar kalsium plasma agar tidak terjadi

hipokalsemi. Dalam kaitannya dengan metabolisme


kalsium, hormon paratiroid bekerja secara langsung pada
dua alat yaitu tulang dan ginjal, dan secara tidak langsung

pada usus halus melalui metabolisme vitamin D.

menjadi 1,25 dihidroksikolekalsiferol.

Regulasi Sekresi Hormon Paratiroid


Pelepasan hormon paratiroid sangat tergantung dari kadar

kalsium plasma. Pada keadaan hipokalsemi, kelenjar


paratiroid akan cepat bereaksi melepaskan hormon
paratiorid untuk meningkatkan kadar kalsium plasma agar
kembali normal. Pada saat kadar kalsium plasma sudah
normal, pelepasan hormon paratiroid akan kembali normal. Kalsitriol dapat menekan pelepasan hormon paratiroid.

Paratiroid Hormon-Related Protein


Faktor parakrin yang disebut parathiroid hormon-related
protein atau disingkat PTHrP adalah suatu hormon yang
dikeluarkan oleh jaringan diluar kelenjar paratiroid misalnya

otak, pankreas, payudara, jantung, hati, plasenta, sel


endotel, dan otot. Pada orang dewasa normal PTHrP tidak
berperan pada metabolisme kalsium, tetapi pada keganasan

terutama pada keganasan sel squamous, akan


menghasilkan PTHrP yang sangat tinggi sehingga akan
men

gakibatkan hiperkalsemi.

VITAMIN D

Mekanisme kerja hormon paratiroid pada organ tersebut


sebagai berikut

Pada tulang, hormon paratiroid meningkatkan resorpsi


kalsium dan fosfat dengan mengaktifkan sel osteoklas.
Pada ginj al, hormon paratiroid melalui dua j alur yaitu : a).

Reabsorpsi kalsium. Di ginjal hormon paratiroid


meningkatkan reabsorpsi kalsium dan menurunkan
reabsotpsi fosfat. Reabsorpsi kalsium di ginjal tet'adi pada
tubulus proksimal(600/o), ansa henle (25%) dansisanya di
tubulus distal. Selain meningkatkan reabsorpsi kalsium juga
meningkatkan reabsorpsi magnesium dan meningkatkan

ekskresi fosfat dan bikarbonat melalui air seni; b).

Vitamin D dalam tubuh kita berasal dari dua sumber yaitu


yang berasal dari makanan baik dari tumbuh-tumbuhan
(vitaminD, = ergoskalsiferol) maupundari hewan (vitamin
D, = kolekalsiferol), dan yang dibentuk di kulit. Di daerah
hopis, kulit kita cukup menghasilkan vitamin D, tetapi
didaerahjauh dari equator, asupan vitain D dari luar sangat
penting.

Vitamin D yang dibentuk di kulit yaitu vitamin D,


(7 dehidrokolesterol) akan mengalami dua kali hidroksilasi
sebelum menjadi vitamin D yang biologis aktif yaifu 1,25

dihidroksivitamin D atau kalsitriol, yang lebih tepat disebut


suatu hormon dari pada vitamin. Hidroksilasi vitamin D

2076

MEIABOIJKENDOIRIN

dalam tubuh terjadi sebagai berikut:

l).

Hidroksilasi

pertama terjadi di hati oleh enzim 25-hidroksilase menjadi


25-hidroksikolekalsiferol yang kemudian dilepas ke darah
dan berikatan dengan suatu protein (vitamin D-binding

protein) selanjutnya diangkut ke ginjal; 2). Hidroksilasi


kedua terjadi di ginjal yaitu oleh enzim I a-hidroksilase

sehingga 25-hidroksikolekalsiferol menjadi 1,25


dihidroksikolekal-siferol atau kalsitriol yang merupakan
suatu hormon yang berperan penting pada metabolisme

kalsium(Gambry2\.

Hati

25 (OH) vitamin D

(1

Ginjal
-0hidroksilase)

KALSITONIN
Kalsitonin adalah suatu peptida yang terdiri dari 32 asam
amino bekerja menghambat osteoklas sehingga resorpsi
tulang tidak terjadi. Dihasilkan oleh sel C parafolokular
kelenjar tiroid dan disekresi akibat adanya perubahan
kadar kalsium plasma. Kalsitonin baru akan dilepaskan bila
terjadi hiperkalsemi dan sekresi akan berhenti bila kadar
kalsium menurun atau hipokalsemi. Pemberian intravena
kalsitonin akan menyebabkan penurunan secara cepat
kalsium plasma dan fosfat plasma melalui pengaruh
kalsitonin pada tulang dengan menghambat osteoklas.
Osteoklas di bawah pengaruh kalsitonin akan mengalami
perubahan morfologi. Dalam beberapa menit osteoklas
akan menghentikan aktivitasnya kemudian mengkerut dan

rffied border dari permukaan tulang.


Reseptor kalsitonin selain terdapat pada sel osteoklas
juga terdapat pada sel tubulus proksimal ginjal sehingga
menarik

kalsitonin mempunyai peran pada ginjal. Pada ginjal


kalsitonin meningkatkan ekskresi fosfat melalui hambatan

absorpsi fosfat, mempunyai efek natriuresis ringan


sehingga ekskresi kalsium oleh ginjal dapat meningkat
namun hal ini tidak memberikan efekpada kalsium plasma.
Alat tubuh
tulang, usus, dan ginjal

Gambar 2. Sintesis dan tempat kerja vitamin D

Peranan hormon paratiroid dalam kaitan dengan


perubahan metabolisme vitamin D adalah dalam perubahan
dari 25-hidroksivitamin D menj adt 1,25 dihidroksivitamin D

atau kalsitriol di ginjal. Pada keadaan dimana terjadi


hipokalsemi, maka kelenjar paratiroid akan melepaskan
hormon paratiroid lebih banyak dan hormon ini akan
merangsang ginjal mengahasilkan lebih banyak 1,25
dihidroksivitamin D atau kalsitriol.

Vitamin D ( Kalsitriol) dan Kalsium


Fungsi dari kalsitriol adalah meningkatkan kadar kalsium

dan fosfat plasma, dengan demikian mempertahankan


keadaan agar mineralisasi tulang tetap te{amin. Vitamin D

bekerja pada liga alat yaitu : l). Usus, kalsitriol


meningkatkan penyerapan kalsium dan fosfat dan
dianggap sebagai fungsi utama kalsitriol dalam

metabolisme kalsium. Pada keadaan hipokalsemi berat


misalnya pada pasca tiroidektomi yang mengakibatkan
kelenjar paratiroid ikut terangkat, pemberian kalsium oral
tidak cukup untuk memperbaiki kadar kalsium tanpa
penambahan vitamin D; 2).Pada tulang, vitamin D
mempunyai reseptor pada sel osteoklas, oleh karena itu
vitamin D mempunyai efek langsung pada tulang yang

kerjanya mirip dengan hormon paratiroid yaitu


mengaktifkan resorpsi kalsium dari tulang dengan jalan
mengaktifl<an sel osteoklas; 3). Pada ginjal sendiri kalsitriol
menurunkan reabsorpsi kalsium di tubuli ginjal.

REFERENSI
Arnaud D. Claude. The Calciotropic Hormone & Metabolis Bone
Disease. In: Greenspan FS. Baxter JD, editors. Basic & Clinical
Endocrinology, 4th ed. Connecticut: Appleton & Lange. 1994;

p:227 - 306.
Bonjour J-P, Rizzoli R. Calcium and Nutrition in Adutthood and Old
Age. The Second Intemational Training Course on Osteoporosis
for Industry Specialist, and General Practitioners, University of
Melboume, Australia, 1999.
Clemens TL, O'Riordan JLH. Vitamin D. In: Becker KL, Belizikian
JP, Bremner WJ, Hung W Kahn CR, Loriaux DL, Nyle'n ES,
Rebar RW, Robertson GL, Wartofsky L, editors. Principles and
Practice of Edocrinology and Metabolism. second edition. Philadelphia: JB Lippincott Company. 1995; p: 483 - 491.
Dennison E, Cooper C. Osteoporosis. In: Pinchera A, Bertagna XY,
Fischer JA, Groop L, Schomaker J, Serio M, Wass JAH,
Braverman LE, editors. Endocrinology And Metabolism. London: McGraw-Hill Intemational (UK) Ltd. 2001; p: 271 - 280.
Gruenewald DA, Matsumoto AM. Aging and endocrinology. In: Becker
KL, Belizikian JP, Bremner WJ, Hung W' Kahn CR, Loriaux
DL, Nyle'n ES, Rebar RW, Robertson GL, Wartofsky L, editors.
Principles and Practice of Edocrinology and Metabolism. second edition. Philadelphia: JB Lippincott Company. 7995; p:
1664 - 1679.
Holick MF, Krane SM. Introduction to bone and mineral metabolism. In: Braunld E, Fauci AS, Kasper DL, Hause SL, Longo DL,
JL, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. l5'h ed. New York: McGraw-Hill, Medical Pub. Division.
Jarneson

2001; p: 2192 - 2204.


Lindlay R, Cosman F. Osteoporosis In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper
DL, Hause SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison's Principles of intemal medicinel5 h ed. New York: cMraw-Hill. 2001;
p: 2226-2237.

METABOLIITME

I(AI.$I,'M

Potts JT Jr. Disease of parathyroid gland other hyper- and hypocalcemic disorder. In: Braunld E, Fauci AS, Kasper DL, Hause SL,
Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 15th ed. New York: cGraw-Hill, Medical Pub. Division. 2001;p: 2205 - 2225.
Shoback D, Marcus R, Bikle D, Strewler G. Mineral Metabolism &
Metabolic Bone Disease. ln: Greenspan FS. Baxter JD, editors.
Basic & Clinical Endocrinology, 6h ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2001; p: 273 - 333.

2077

323
MENOPAUSE, ANDROPAUSE DAN
SOMATOPAUSE PERUBAHAN HORMONAL
PADA PROSES MENUA
Pradana Soewondo

harapan hidup orang Indone sia rata-rata adalah 66,8 tahun.

PENDAHULUAN
Proses menua adalah suatu proses multifaktorial, yang

akan diikuti oleh penurunan fungsi-fungsi fisiologis


organ tubuh yang progresif dan menyeluruh, disertai
penurunan kemampuan mempertahankan komposisi tubuh,
serta respon tubuh terhadap stres.
Perubahan hormonal-endokrin yang te{adi dalam proses
penuaan ialah:

.
.

daripada lakiJaki.

Dengan meningkatnya angka harapan hidup,


perempuan akan menjalani sepertiga masa hidupnya dalam

penurunan fungsi gonad-hormon seks (menopause-

keadaan kekurangan estrogen (menopause). Selain itu


diketahui bahwa sebagian kecil laki-laki mengalami
fenomena klinis yang mirip dengan menopause, yang
berkaitan dengan defisiensi hormonal secara parsial.
Andropause atau klimakterium pada laki-laki adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan beberapa gejala
dan tanda yang berhubungan dengan penurunan fungsi
gonad laki-laki oleh karena proses menua. Istilah ini
digunakan sebagai kesetaraan dengan istilah menopause.

andropause)

penurunan fungsi adrenal-dehidroepiandrosteron


(DIIEA, DIIEA-S) (adrenopause)
penurunan aktivitas aksis hormon pertumbuhan
(growth hormone: GH) - insulin growth factors I

.
.

penurunan melatonin

(IGF-l)

Dalam laporan tersebut disebutkan pula bahwa dari studi


selama tahun 1995-2000, persentase perempuan yang
mencapai usia 65 tahun lebih besar jika dibandingkan
dengan lakilaki, yaitu sebesar 7 2,lo/o berbanding 63,8oh.
Harapan hidup perempuan umumnya 5 tahun lebih lama

(somatopause)

peningkatan hormon insulin sebagai akibat resistensi


insulin.
Sistem hormonal mengatur komposisi tubuh, deposisi

lemak, massa otot, kekuatan otot, metabolisme, berat badan,

MENOPAUSE

dan keadaan fisik. Perubahan hormonal akan menyertai


perkembangan usia seseorang. Beberapa manifestasi dari

Menopause merupakan suafu bagian dari proses menua

proses menua disebabkan oleh menurunnya kadar hormon.

yang ireversibel yang melibatkan sistem reproduksi wanita.

Peningkatan harapan hidup manusia Indonesia yang


terjadi dalam tiga dekade terakhir telah mengakibatkan
masalah kesehatan akibat menopause, andropause serta
somatopause semakin menonjol. Pada tahun 1980, angka
harapan hidup orang Indonesia untuk laki-laki dan
perempuan berhrrut-turut ialah 50,9 dan 54 tahun. Menurut
United Nation Development Program (I-INDP) dalamHuman Developmental Report2005,pada tahun 2003 angka

Klimakterium merupakan istilah umum pada siklus


reproduksi perempuan untuk menunjukkan rentang

waktu mulai dari proses transisi sampai

pada

masa postmenopause awal. WHO mendefinisikan


perimenopause sebagai interval yang mendahului
berhentinya siklus menstruasi sampai pada masa I tahun
setelah siklus menstruasi terakhir, yang memrrut temuan
pada Massachusetts's Womens Health Study, jangka

2078

MENOPAUSE AT{DROPAUSE DAT{ SOMITIIOPAUSE PERUBATIAN HORMOITAL

2079

waktunya berkisar tiga setengah tahun. Perimenopause


ditandai dengan mulai timbulnya gejala vasomotor dan
ketidakteraturan haid. Pada masa perimenopause, hot

mungkin timbul pada wanita menopause. Meskipun

flushes seringkali mendahului siklus anovulasi. Keluhan

khusus untuk mengantisipasi timbulnya kelainan yang


serius akibat dampak menopause pada kondisi fisik,
psikologis dan sosial, serta memerlukan pendekatan yang
komprehensif dan logis berdasarkan bukti khnk (evidence-

fisik, seperti tegangnya payvdara, perdarahan menstruasi


yang tidak teratur, hot flushes, dan dispareunia; dan
masalah emosional, seperti gangguan tidur, kelelahan, rasa

tegang dan mudah tersinggung hampir selalu ditemukan.


Menopause dimulai sejak 12 bulan setelah haid terakhir
dan ditandai dengan berlanjutnya gejala vasomotor dan
gejala urogenital seperti keringnya vagina dan dispareunia.
Walaupun masawaktu yang dihabiskan selama menopause
(+l/3 dari masa hidup) terus meningkat, usia onset menopause tidak banyak berubah yaitu sekitar 50-51 tahun.
Perempuan pada zaman Yunani kuno mengalami menopause pada usia yang sama seperti perempuan modern,
dengan masa transisi simtomatik biasanya dimulai dari usia
45,5-47 ,7 tahun (McKinlay, 1981; Cramer, 1995). Faktorfaktor yang mempercepat terjadinya menopause sangat
sedikit, termasuk di antaranya merokok (Cramer, 1995),

histerektomi dan tinggal pada tempat yang tinggi


(pegunungan). Berdasarkan survei Perkumpulan
Menopause Indonesia tahun 2005, usia menopause ratarata wanita Indonesia adalah 49 +0,20tahun.
Dewasa ini, dengan semakin meningkatnya angka
harapan hidup, maka akan semakin banyak perempuan
yang akan menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam
keadaan hipoestrogenik. Pada hampir 70%owarita, proses
transisi menuju menopause dilalui tanpa keluhan yang
berarti. Walaupun demikian banyak perempuan datang ke

fasilitas kesehatan untuk berkonsultasi mengenai


pengobatan terhadap gejala-gejala yang mereka alami,
seperti hot Jlushes atau keringnya vagina, atau untuk
pencegahan masalah-masalah lain, seperti osteoporosis
dan penyakit jantung koroner.
Sampai saat ini, belum terdapattanda biokimia yang
dapat diandalkan sebagai petanda onset menopause.
Walaupun demikiarl kadar serum FSH seringkali meningkat
pada perempuan yang masih memiliki siklus menstruasi
yang teratur pada masa premenopause akhir. Pulsatilitas

dan keteraturan pelepasan LH juga terlebih dahulu


berubah sebelum terjadi perubahan siklus menstruasi.
Sekesi estrogen pada masa perimenopause bervariasi, dan
termasuk di dalamnya ada masa dimana terjadi peningkatan
estrogen. Stimulasi yang lebih besar dengan FSH akan

meningkatkan aktivitas aromatase folikular dan


mengakibatkan sekresi estrogen berlebih Konsentrasi

Inhibin menurun pada masa perimenopause

dan
berkontribusi terhadap peningkatan pelepasan FSH.
Pemeriksaan dan evaluasi pada wanita peri- dan pasca-

menopause harus diletakkan pada konteks promosi

menopause merupakan siklus biologik yang normal bagi


seorang wanita, perlu dilakukan pemeriksaan-pemriksaan

based).
Pemeriksaan yang komprehensifpada wanita peri- atau
pasca-menopause meliputi risiko terhadap timbulnya
penyakit-penyakit umum antara lain pemeriksaan riwayat
faktor personal, faktor sosial, gaya hidup dan perilaku
kesehatan, faktor lingkungan, pola menstruasi, kesehatan
mental dan fungsi kognitif. Selain itu perlu dilakukan
pemeriksaan terhadap faktor-faktor risiko yang spesifik
bagi penyakit-penyakit yang sering terjadi pada wanita
menopause yaitu penyakit kardiovaskular, osteoporosiS
dan kanker.
Selain pemeriksaan riwayat reproduksi dan pemeriksaan

dasar yang komprehensif, perlu dilakukan pemeriksaan


khusus terhadap faktor-faktor risiko yang spesifik terhadap

penyakit-penyakit yang sering terjadi pada wanita


menopause yaitu yang berkaitan dengan penyakit
kardiovaskular, osteoporosis, kanker payudara dan kanker
endometrium. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut antara
lain: pemeriksaan endokrinologik, Papanicolaou (Pap)
smears, mammografi, metabolisme lemak, pemeriksaan

kepadatan ttflang (bone density), dan bila ada indikasi


dilakukan pemeriksaan endometrium dan pemeriksaan
ultrasonografi transvaginal.
Meskipun patofi siologi menopause belum diketahui
dengan j elas tetapi defisiensi estrogen secara tradisional
dianggap bagian terpenting pada wanita menopause.
Pemeriksaan kadar gonadotropin FSH merupakan tes
laboratorium kunci untuk diagnosis menopause, namun
demikian pemerihsaan FSH, LH dan E2 secara random tidak
dianjurkan untuk memprediksi menopause oleh karena
belum didapatkan marker yang jelas untuk mendiagnosis
menopause.

Terdapat beberapa pilihan efektif yang dapat


dipertimbangkan untuk meringankan gejala menopause.
Terapi hormonal seringkali merupakan pilihan terapi
paling efektif, namun tidak selalu diperlukan. Terapi
estrogen dapat meringankan gejala hot flushes. Terapi
progesteron sajajuga dapat digunakan pada wanita yang
menolak pemberian estrogen. Clonidine (catapres), juga
dapat digunakan, dengan angka keberhasilan bervariasi.
Terapi lain untuk hot flushes adalah bromokriptin;
naloksory bellargal; veralipride; vitamin E 800IU/hari ;
Sel ective S erotonin Reuptake Inhib itors (S SRIs) termasuk
fluoxetine, paroxetine dan venlafaxine; gabapentin (obat

kesehatan secara menyeluruh. Selain pemeriksaan klinis


standar, harus pula meliputi evaluasi kualitas hidup dan
pemeriksaan faktor risiko. Tujuan pemeriksaan fbktor risiko

anti-kejang).
Terapi estrogen juga dapat memperbaiki mood dan

adalah untuk mengidentifikasi risiko penyakit yang

mempengaruhi metabolisme serotonin pada sistem saraf

disforia pada menopause, kemungkinan dengan

2080

MEIABOLIKENDOIGIN

pusat. Pemberian estrogen juga dapat mengurangi keluhan


subjektif inkontinensia dan mengurangi insidens rekurensi

infeksi saluran kemih pada menopause. Efek fisiologis


estrogen, seperti vasodilatesi arteri, penurunan kadar
fibrinogen, peningkatan HDL, dan pemrmnan LDL, akan
menurunkan resiko kardiovaskular. Beberapa penelitian
menunjukkan pemberian estrogen dikaitkan dengan
penurunan risiko penyakit jantung sebesar 40-50%.
Defisiensi estrogen merupakan penyebab utama
osteoporosis. Efek maksimal terapi estrogen pada densitas
jika terapi sulih hormon dimulai
dalam tiga tahun pertama menopause. Walaupun demikian,

massa tulang akan tercapai

beberapa penelitian menunjukkan efektivitas terapi,


walaupun dimulai setelah tahun ketiga. Obat lain yang
terbukti dapat meningkatkan densitas masa tulang pada
wanita menopause adalah alendronat, etidronat, kalsitonin
dan raloksifen.
Efek terapi sulih hormon pada pencegahan demensia
masih kontroversial namun menj aj ikan. Mekanismenya
kemungkinan dengan meningkatkan aliran darah ke otak
dan meningkatkan pertumbuhan dendrit neuron untuk
mendukung produksi neurotransmiter.
Regimen terapi sulih hormon yang paling sering
diberikan terdiri dari estrogen dengan atau tanpa progestin. Sebanyak empat puluh persen wanita menghentikan
penggunaan terapi sulih hormon pada delapan bulan
pertama terapi atau tidakpemah memulai terapi sama sekali.
Efek samping berupa payud ar a te gang, perdarahan, kanker

(payudara atari endometrium) dan tromboemboli. Pada


Nurses Health Study ditemukan bahwa risiko kanker
payudara tertinggi pada wanita yang mendapat terapi sulih
hormon selama 5 tahun atau lebih.
Terapi natural (altematif) sekarang telah menyebar ke
seluruh dunia. Jamu - jamuan dan tumbuh - tumbuhan

yang merupakan suplemen makanan telah banyak


diproduksi yang masih mempunyai banyak masalah
mengenai jumlah dan kemurniannya dari bahan aktif.
Produk tersebut dapat merupakan fitoestrogen termasuk

promensil yang merupakan ekstrak dari red clover


(trifolium prat ense); B I ack C o ho s h (cimicifuga racemosa)
juga disebut black snakeroot dan bugbane.
Beberapa pendekatan perubahan pola hidup dapat

direkomendasikan untuk meringankan gejala-gejala


menopause. Pendekatan itu di antaranya adalah pola makan

yang tinggi serat, rendah lemak, dan kaya akan antioksidan;

olah ragallatihan fisik; berhenti merokok; menurunkan


masukan alkohol; mempertahankan aktivitas seksual
secara reguler; pajananterhadap sinar matahari; relaksasi

dan mengurangi stres.

ANDROPAUSE
Keberadaan andropause pada laki-laki juga masih
diperdebatkan. Berbeda dengan perempuan, pada laki-laki
tidak ada perubahan drastis seperti perubahan pola haid
pada perempuan usia setengah baya. Pada laki-laki usia
lanjut, akan terjadi penurunan fungsi testis secara perlahan,
sehingga terjadi penurunan kadar total testosteron dan
perubahan irama sekresi sirkadian testosteron.

Sejalan dengan proses menua, laki-laki usia lanjut


memperlihatkan penurunan massa tulang dan otot beserta
kekuatannya. Penurunan massa densitas tulang tersebut
merupakan predisposisi bagi laki-laki usia lanjut untuk
menderita osteoporosis dan fraktur. Selain itu pada proses
menua terjadi perubahan distribusi lemak tubuh dari perifer
menjadi sentral. Selain itu pada laki-laki usia lanjut terdapat
peningkatan prevalensi BPH (Benign protatic hyperplasla) yang disertai keluhan-keluhan saluran kencing bagian
bawah (LUTS:Zower urinary tract symptoms).

Fenomena klinis

ini pertama kali dilaporkan pada

dekade tahun 1960-an. Akan tetapi studi yang besar baru


dilakukan pada awal 1990-an pada Massachusets Male
Aging Study (MMAS) yang melibatkan 41 5 laki-laki sehat

dan 1294 laki-laki dengan satu atau beberapa gejala


andropause yang berusia 39-70 tahun. Pada kedua
kelompok penelitian tersebut di atas, menunjukkan adanya

penurunan kadar testosteron bebas sebesar l,2Yo per


tahun, penurunan kadar testosteron terikat albumin
sebesar l,0olo pertahun, dan peningkatan kadar SHBG (sex
hormone binding globulin) sebesar l,2Yo pertahun Hasil
akhir dari perubahan ini menghasilkan kadar total testostencn
serum menurun lebih lamba! sebesar 0,40lo pertahun.

Perubahan hormon androgen yang terjadi pada lakilaki usia lanjut tersebut di atas sangat bervariasi dari satu
individu ke invidu yang lain dan biasanya tidak sampai
menyebabkan hipogonadisme yang berat. Pada beberapa
laki-laki sehat usia lanjut, memang terbukti adanya
kegagalan testis primer yang diperlihatkan dengan

adanya: penurunan produksi sperma sehari-hari,


penurunanan testosteron total dan testosteron bebas,
Kanker payudara dengan
estrogen reseptor
Kanker endometrium
Perdarahan vagina belum
terdiagnosis
Penyakit komboemboli aktif
Riwayat melanoma maligna

Penyakit hati kronik

berkurangnya respon sekresi testosteron setelah


pemberian gonadotropin eksogen, serta dengan

Hipertrigliseridemia berat
Endometriosis

peningkatan kadar gonadotropin. Beberapa penyakit dan


penggunaan obat-obatan dapat menggangu fungsi testis.

Riwayat penyakit
tromboemboli
Penyakit kantung empede

Meskipun demikian beberapa laki-laki dapat


mempertahankan kadar testosteron dalam kisaran normal
setelah usia di atas 80 tahun.

MENOPAUSE

2081

SOMATOPAUSE PERUBAI{AN HORMOTTAL

Di samping kegagalan testis primer, terdapat pula


perubahan fungsi aksis hipotalamus-hipofisis-testis.
Respons sekresi gonadotropin terhadap gonadotropin

dilanjutkan dengan pemeriksaan hormonal. Kuesioner ini


telah diuji-coba pada 316 laki-laki berusia40-62 tahun dan
dikorelasikan dengan kadar testosteron bioactive serum.

releasing hormone eksogen berkurang, dan menurunnya

Ternyata alat skrening tersebut

pulsatiflH pada beberapa laki-laki sehat usia lanjut.


Hanya sebagian kecil laki-laki sehat usia lanjut
memperlihatkan kegagalan testis dengan jelas, dengan
gambaran klinis defisiensi androgen yang nyata
(penurunan libido, disfungsi ereksi, osteoporosis,

sensitivitas 88 % dan spesifrtas 60 %.


Disamping daftar pertanyaan tersebut di atas, terdapat

ginekomastia dan gejala lain seperti rasa cemas, depresi,


daya ingat menurun, sukar berkonsentrasi, mudah lelah
sulit tidur, rasa panas dimuka, berkeringat hilang timbul,
hot flushes) disertai dengan kadar testosteron total di
bawah nilai normal. Pasien dengan gejala tersebut di atas

bila tidak ada kontra indikasi dapat diberikan substitusi


hormon testosteron.
Tetapi dalam praktek sehari-hari kita lebih sering
berhadapan dengan pasien laki-laki usia lanjut yang
mempunyai kadar testosteron sedikit menurun (antara
2,5-3,0 nglml) dengan gejala klinis yang tidak khas seperti
: disfungsi ereksi, penurunan libido, kelemahan otot, dan
osteopeni. Disini kita masih ragu dalam memberikan terapi

di atas, mempunyai

pula daftar pertanyaaan ANIS (aging male study) tntuk


andropause yang dikembangkan oleh peneliti dari Jerman.
Jumlah pertanyaannya lebih banyak (17 pertanyaan) dan

mencakup ranah gangguan psikologis, somatik dan


seksual.
Perlu juga kitaingat bahwa biasanya pada usia lanjut,
terdapat penyakit penyerta lain seperti: diabetes melitus,

hipertensi, obesitas, dislipidemia, hiperurisemia, strok,


penyakit jantung koroner, fraktur osteoporosis. Semua
keadaan ini membutuhkan penatalaksanaan klinis
tersendiri.
Hubungan antara hipogonadisme dan osteoporosis
pada laki-laki, telah terbukti pada berbagai keadaan

hipogonadisme seperti: sindrom Klenefelter,


hipogonadisme hipogonadotropik, hipogonadime
hiperprolaktinemia. Terjadinya osteopeni pada laki-laki

ini, lebih

zubstitusi mengingat belum ada bukti-bukti penelitian yang

dengan hipogonadime

cukup. Tremblay dan Morales menganjurkan bahwa


sebaiknya terapi hipogonadisme diberikan sesuai indikasi

pencapaian densitas massa tulang yang rendah dan bukan


sebagai akibat penurunan massa tulang yang terjadi lebih

spesifft yaitu: adanya gejala klinis dan kadar testosteron


serum yang rendah. Sayangnya sampai saat ini belum ada
batasan kriteria defisiensi testosteron (hipogonadisme)
untuk usia lanjut. Sampai saat ini sebagai acuan masih
dipakai nilai normal pada lakiJaki muda.
Skrining pasien dengan kemungkinan androgen

awal.

disebabkan oleh

Hipogonadisme yang terjadi pada andropause juga


dianggap sebagai faktor risiko osteoporosis pada laki-laki
dengan kompresi frakrur hrlang vertebra; dan kemungkinan
sebagai faktor risiko pada fraktur kolum femoris pada lakilaki lansia.

defisiensi dapat menggunakan daftar pertanyaan mengenai

gejala-gejala hypoandrogen yang dikembangkan oleh


kelompok studi St Louis-ADAM (Androgen defisiency in
the agingmale) dari Canada, seperti tersebut di bawah ini :
. Apakah anda mengalami penurunan libido akhir-akhir
ini ?
. Apakah anda sehari-hari selalu merasa lemas ?
. Apakah anda mengalami penurunan kekuatan fisilJ

.
.
.
.
.
.
.

endurace dalam menjalankan peket'aan ?


Apakah anda merasa tinggi badan berkurang ?
Apakah anda merasakan adanya penunrnan semangat

hidup

Apakah anda merasa sedih dan atau sendirian

Apakah anda mengalami penuunan kemampuan ereksi

Apakah anda akhir-akhir ini merasakan penurunan


kemampuan untuk olah raga ?
Apakah anda cepat mengantuk setelah makan malam ?
Apakah anda mengalami penunman dalam kemampuan
prestasi ke{a ?

Bila menjawab ya untuk pertanyaanl dan7, maka ada


kemungkinan menderita andropause atau PADAM. Atau
bila menjawab yaunhrk empatpertanyaan atau lebih selain
pertanyaan I danT,juga dinyatakan positif dan dapat

SOMATOPAUSE
Somatopause adalah proses menua normal yang ditandai
oleh penurunan secara bertahap sekresi GH oleh kelenjar
hipofisis anterior, dan disertai dengan penurunan masa
ttiarrydanlean body mass, serta pengingkatan masa lemak.
Pada usia lanjut, aksis GH mengalami perubahan yang
nyata. Sekresi pulsatif GH setelah usia 40 tahun menurun
secara progresif, sedemikian rupa sehingga setelah usia
70-80 tahun tinggal separuhnya yang masih mensrekresi
GH pada malam hari. Demikian pula IGF- I akan memrun,
tetapi sekresi IGF- I ini masih berespon terhadap pemberian
GH eksogen. Perubahan komposisi tubuh seperti obesitas
sentral, menurunnya massa otot dan tulang yang terjadi
pada defisiensi GH dewasa, mirip seperti yang terjadi pada
pasien defisiensi GH usia muda. Hal ini yang melahirkan
hipotesis bahwa perubahan komposisi tubuh yang terjadi
pada usia lanjut adalah akibat defisiensi GH dan dapat
diperbaiki dengan pemberian GH.
Pemberian substitusi GH selama l2-18 bulan dilaporkan
dapat meningkatkan massa otot dan tulang pada laki-laki
dan perempuan usia lanjut. Pemberian GH jangka pendek

2082

METABOLIKENI'OKtr{

akan menyebabkan lipolisis, menstimulasi sintesis protein,

Physician 2000;61:1391-40,1405-6. Disitasi dari : http://

meningkatkan lean body nass, menstimulasi turnoyer


tulang, bersifat antagonis insulin, dan mengubah cairan

www.aafp.org/afp120000301 / 139 1.html. Diakses tanggal : 6


Februari 2006.
Gruenewald DA dan Matsumoto AM. Aging and endocrinology. Dalam:
Becker KL etal editor. Principles and practice endocrinology
and metabolism edisi kedua. Philadelphia: JB Lippincott Co;
1995, p 1664-'79.

tubuh total. Efek metabolik GH yang paling besar adalah


hilangnya jaringan lemak visceral. GH sebagaiterapi anti-

aging telah mendapatkan perhatian khusus. Namun


pemberian GH belum disetujui oleh FDA dan masih

Ichramsjah Rachman,

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa proses penuaan adalah


multifaktorial dan penurunan fungsi hormonal-endokrin
hanya merupakan salah satu aspek. Menopause pada
perempuan disebabkan oleh penurunan fungsi ovarium
dalam menghasilkan estrogen, sedangkan andropause
pada laki-laki disebabkan oleh penurunan sekresi hormon
testosteron oleh testis. Somatopause adalah penurunan
aktivitas aksis GH - IGF-I yang menyebabkan perubahan

komposisi tubuh manusia. Terapi sulih hormon untuk


mengatasi fenomena klinis defisiensi hormonal tersebut
di atas telah dikembangkan dan memberi harapan dalam
memperbaiki kualitas hidup manusia di masa mendatang.

Baziad. Gambaran umum tentang meopause

Nasional

Perkumpulan Menopause Indonesia. hkafta 4-5 Febnrari 2006.


Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Menopause and
hormone therapy (HT): collaborative decision-making and management. Bloomington (MN): Institute for Clinical Systems
Improvement (ICSI); 2005 Aug. 64 p. [176 references]. Disitasi
dari : http://www.guideline.gov/summary/summary.aspx? view_id
: 1&doc_id=8003 . Diakses tanggal 6 Februari 2006.
Marin P, Holmag S, Jonsson L et al. The effect of testosterone
teratment on body composition and metabolism in middle-aged
obese men. Int J Obes 1992 (16): 991-99'7.
Morales A, Heaton JPW dan Carson CC. Andropause: A Misnomer
for a true clinical entity. J Urol 2000; 163:705-712.
Orwol ES. Epidemiology and diagnosis of osteoporosis in men.
Dalam: Oddens B dan Vermeulen A editors. Androgen and the
aging male. New York : The Parthenon Publishing Group; 1996,

p.

15-37.

Pramono Noor, Hary Tjahjanto. Fitoserm : Terapi terkini dalam


mengatasi masalah kesehatan menopause. Dibawakan dalam
Simposium Nasional Perkumpulan Menopause Indonesia. Jakarta

4-5 Februari 2006.


Reid IR, Wattie DJ, Evans MC, Stapleton JP. Testosterone theraphy
in glucocorticoid-treated men. Arch Intern Med 1996; 156:

REFERENSI

1173-'l
American Association of Clinical Endocrinologists. AACE medical
guidelines for clinical practice for growth hormone use in adults
and children - 2003 update. Growth Hormone Guidelines, Endocr

Pract. 2003;9(No.

Ali

di Indonesia. Dibawakan dalam Simposium

diperlukan penelitian lebih lanjut.

l)

75.

Anderson FH, Francis RM, Peaston RT, Wastell HJ. Androgen supple-

mentation in eugonadal men with osteoporosis: effects of six


months' treatment on markers of bone formation and resorption. (abstract). J Bone Miner Res 1997; 12(3):472-8.
Anwar Mochamad, Shofwal Widad, Zain Alkaff. Pemeriksaanpemeriksaan penting pada menopause. Dibawakan dalam
Simposium Nasional Perkumpulan Menopause Indonesia. Jakarta

4-5 Februari 2006.


Bachmann Gloria. Menopause. Disitasi

dari : http://www.

ernedicine.com/tned/ topic3289.htrn. Diakses tanggal : 6 Februari


2006. Last updated: 10 Agustus 2005.

Cutson Toni, Emily Meuleman. Managing menopause. Am Fam

Soewondo P. Andropause. Makalah siang


Bagian Ilmu Penyakit Dalam 2001.

klinik metabolik endokrin

Tremblay RR dan Morales A. Practice Recommendations : Canadian practice recommnedations for screening, monitoring and
treating men affected by andropause or partial androgen deficiency. The Aging Male 1998; l:213-218.
United Nation Development Program. Human Development Report 2005: Human development index Indonesia. Disitasi dari :
http://hdr.undp.org/statistics/datal cty / cty _f _lDN.html. Disitasi
tanggal 27 Februari 2006.
Veldhuis Johannes. Endocrinology of aging. Conference Report.
Disitasi dari : http://www.medscape.com/ viewarticle/40792 1_1.
Diakses tanggal 6 Februari 2006
Venneulen A. Declining androgen with age: an overview. Dalam:
Oddens B dan Vermeulen A editor. Androgen and the aging male.
New York: The Parthenon Publishing Group; 1996, p.3-14.

324
PRE DIABETES
Dante Saksono Harbuwono

PENDAHULUAN
Diabetes menjadi masalah serius di seluruh belahan bumi.
Jumlah penyandang diabetes meningkat dari tahun ke

Kriieria

Glukosadarah(mg/dl)

Gula Darah Puasa Terganggu (GDPT)

10G125

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)

14G199

tahun. Indonesia menduduki tempat ke 4 jumlah


penyandang diabetesnya sesudah China, India dan
Amerika. Laporan prevalensi diabetes di berbagai daerah
parla dekade 1980-an menunjukkan sebaran antara0.8Yo
di Tanah Toraja, 1.7 % di Jakarta. Prevalensi DM
meningkat tajam, antara lain laporan di Jakarta yang

GDPT disebabkan karena peningkatan hepatik


glukoneogenesis dan penurunan fungsi pankreas.

menunjukkan peningkatan

pertarna.

5,7

%o

Sedangkan TGT lebih banyak disebabkan karena resistensi


insulin. Kurang lebih 30-40% pasien dengan pre diabetes
akan menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5 tahun

3 00% pada tahun I 993 menj adi


(daer ah urban) dan I 2,8Yo p ada tahun 2 00 I di daerah

American Diabetes Association (ADA)


merekomendasikan untuk melakukan penapisan pada
kelompok umur lebih dari 45 tahun, terutama pada mereka
yang masuk ke dalam kelompok berat badan lebih dan
obesitas, dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
puasa dan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Sudah
tentu penapisanyang dilakukan oleh ADA tersebut tidak
sepenuhnya sensitif untuk merekrut penderita pre diabetes, untuk itu perlu dilakukan modifikasi untuk menjaring
pre diabetes pada populasi yang berbeda. Berikut ini
adalah salah satu modifikasi penapisan pre diabetes yang
lebih baik untuk populasi di Indonesia:
Seperti disebutkan di atas, penapisan Pre-diabetes
sesungguhnya penapisan merupakan faktor risiko yang
berhubungan dengan sindrom metabolik. Pada pasien
dengan pre diabetes, target terapinya adalah menurunkan
risiko menjadi diabetes dan penyakit kardiovaskular.

suburban Jakarta.
Penyandang diabetes mempunyai risiko penyakit
jantung dan pembuluh darah, dua sampai empat kali
lebih tinggi dibandingkan tanpa diabetes. Penyandang
diabetes juga mempunyai risiko hipertensi dan
dislipidemia yang lebih tinggi dibandingkan orang normal. Dengan adanya peningkatan risiko yang lebih
tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas tersebut, maka
perlu berbagai upaya yang lebih agresifpada kelompok
risiko diabetes dan penyakit jantung dan pembuluh
darah.
Sesungguhnya, kelainan pembuluh darah yang terjadi

pada pasien diabetes terjadi sebelum diabetesnya


didiagnosis. Kondisi yang mengawali cascade disfungsi
voscttlar adalah terjadinya resistensi insulin pada kondisi
yang disebut pre diabetes.
Pre-diabetes adalah kondisi abnormalitas metabolisme
glukosa yang ditandai dengan peningkatan gula darah
prasa (yang disebut Gula Darah Puasa Terganggu :
GDPT) danJatau peningkatan gula darah post-pandrial

Reaven untuk pertama kalinya mengemukakan


hipotesis resistensi insulin dikaitkan dengan penyakit
jantung dan pembuluh darah dikaitkan dengan
hipertensi, dislipidemia dan diabetes pada kelompok
populasi yang sebenarnya adalah kelompok pre
diabetes. Setelah itu berbagai kriteria diajukan untuk
mensimulasi kumpulan gejala yang berkaitan dengan

$tang disebut Toleransi Glukosa Terganggu:TcT).


GDPT dan TGT ditegakkan berdasarkan kriteria sebagai
berikut:

208

2084

METABOLIKENDOTRIN

PANDUAN SKRINING ADA UNTUK PRA.DIABETES DAN DIABETES

1. Usia

IMT:

IMT
2. Obesitas

BMI :25 kg/m'?


DAN 1 faKor
dsiko bsikut

25 kg/m'

DAN 1 faktor

> Pereentil 85 sesuai usia &


jenis kelamin

risiko berikut

BB NormalE\N
tidak ada faKor risiko
(berlanjul ke lahap 4)

ATAU

> Persentil 85 BB s6uai TB


ATAU

Faktor Risiko lain;


lnaktivitss fisik (aktivitas sedang < 30 menit 5 hari/minggu atau
aktifitas berat < 20 menit 3 hari/minggu)
Riwayat kluarga DM (lruiama kerabat generasi 1)
Populasi suku/etnik risiko tinggi (lihal daffar di bawah anak)
Melahirkan bayi dengan berat > 4000 gEm atau didiagnosis
Diabetes Gestasional
Hipertensi > 140/90 mmHg
Riwayat penyakil vaskular
kolesterol HDL < 35 mg/dl (0,90 mmoul)
Dislipidemia
dan/at6u kadar trigliserida > 250 mg/dl (2,82 mmovl)
RiwayatToleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukos
Darah Puasa Terganggu (GDPT)
Kondisi klinis yang berhubungan dengan rsistensi insulin (@:

.
.
.
.
.
.
.
.
.

BB > 120'lo dari BB ideal


sesuai TB
DAN Dua (2) Faktor Risiko

3. Faktor Risiko

Ou8 (2) dari berikut:


Riwayat keluarga DM tipe 2 (generasi ke l/ 2)
Suku (Amerika asli, Amerika Afrika)
Amerika Hispanik, Penduduk kepulauan di
Asie/Pasifik Selatian
Tanda resistensi insulin (akantosis nigrikan,
hipertensi, dislipidemia, sindrcm polikistik
ovarium)

.
.
.
.

PERLU PEMERIKSAAN TAMBAHAN, JIKA

4. Tes Skrining

.
.
.

Glukca Darah Puasa (GDP),. .........100-125 mg/dl (PE-Diabetes)

Glukosa DaEh Puasa (GDP),,,.......... ..1 126 mg/dl (Diabetes)


Toleransi clukosa Terganggu CrGT)....2 iam, setelah 75 gr glukosa, nilai > 140-199 (pr+Diabetes), > 200 (Diabetes)

5. Frekuensi

Hasil

abnoml

1.

2
6. Hasilftindakan

3.

Ulangi tes pada hari berikutnya


unluk diagnosis
Lakukan renna terapi termasuk
modifikasi gaya hidup
Skrining dan terapi faKor risiko
Penyakit Kardiovaskular
Hipertensi
Dislipidemia
Penggunaan tembakau

.
.
'

Gambar 1. Penapisan pre diabetes (Dante 2009), dimodifikasi dari WHO4

resistensi tersebut, antara lain disampaikan dalam bentuk

terminologi yang kemudian dikenal sebagai Sindrom


Metabolik. Beberapa kriteria sindrom metabolik

Milcoalbuminuria:Albuminurin)2Omglmenitataurasio
albumin:kreatinin > 30

disampaikan oleh:

NECP ATP

ilt (THE US

NATTONAL EDUCATTON

P ROG RAM AD U LT T REATM E NT PAN EL I trl, 2001

wHo (rHE woRLD HEALTH

ORGANTZATTOM

Sindrom metabolik ditegakkan bila terdapat gangguan


regulasi glukosa (DM, TGT atau TGPT) yang diikuti
dengan sedikitnya 2l<riteria di bawah ini:
. Tekanandarch> l40l90mmHg.

.
.

Dispilidemi: Total kolesterol > danlatau HDL<4}mgl


dl (laki-laki);< 50

mg/dl (wanita)
Obesitas sentral: rasio lingkar perut/lingkar pinggang
> 0.9 (aki-laki); > 0.85 (wanita) dan/atau indeks massa
tubuh > 30 kg/m2

Diagnosis ditegakkan sedikitnya 3 dari gejala berikut:


. Obesitas sentral, lingkar pinggang> 102 cm (pria); > 88

.
.
.
.

cm(wanita)
Dislipidemia: Trigliseride2 l50mg/dl
Dislipidemia: HDL < 40 mg/dl (pria); < 50 mgldl- (wanita)
Tekanandarah> 130/85 mmHg
Guladarahpuasa> ll0mg/dl

Pada perkembangaffiya, berbagai studi dilakukan di


berbagai tempat untuk menilai seberapa sensitif dan
spesifisik sindrom metabolik tersebut dapat digunakan

2085

PREDIABETES

untuk memprediksi diabetes dan penyakit jantung dan


pembuluh darah pada kelompok ini.
American Diabetes Association (ADA) dan The
European Associationfor the Stuq) of Diabetes (EASD),
menyampaikan pernyataan bersama atas keberatan
terhadap kriteria diagnosis sindrom metabolik untuk
memprediksi diabetes. Pertama, bahwa berbagai studi
dengan sampel yang besar menunjukkan bahwa faktor
prediksi diabetes dengan menggunakan kriteria sindrom
metabolik sebagian besar hanya ditentukan oleh intoleransi
glukosa saja. Kedua, pada pemakaian praktis diagnosis

sindrom metabolic tidak mempunyai kekuatan untuk


memprediksi diabetes, tetapi lebih banyak dikaitkan
dengan hubungan multivariat berbagai faktor risiko
penjakit jantung dan pembuluh darah. Hingga saat ini
belum ada satu tulisan pun yang dapat menjelaskan
patofisiologi hubungan masing-masing komponen
sindrom metabolik.

Lebih jauh lagi, ada beberapa pertanyaan kunci yang


harus dijawab berkaitan dengan sindrom metabolik, antara

lain:

l.

resistensi menjadi dasar untuk patofisiologinya, ada


beberapa penelitian yang mengukur resistensi insulin
secara langsung, dan ternyata tidak berhubungan dengan
kriteria klinis yang disampaikan pada sindrom metabolik.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa


Framingham Score, mempunyai kemampuan yang lebih
baik untuk memprediksi diabetes dan PJK . Hal ini sesuai
dengan hasil evaluasi Famingham Score jangka pendek
oleh Grundy dan jangka panjang oleh Wannamethee. Akan

tetapi selama ini, Framingham Score tidak banyak


digunakan secara luas karena tidak terlalu praktis untuk
praktik klinik sehari-hari. Framingham score lebihbanyak
digunakan pada penelitian.
Studi terakhir dari Wilson menunjukkan bahwa resiko
relatif PJK sama pada 5 kriteria, 3 kriteria dan I kriteria.

Kurang lebih hingga kini ada 7 studi besar yang


memperlihatkan bahwa risiko PJK antara simdrom secara
keseluruhan dan masing-masing komponen saja, sama.
(20,23-29Emperor).
Berbagai pusat studi dan asosiasi profesional (American Diabetes Association (ADA) dan European Associa-

Study of Diabeles (EASD)) mengetengahkan

Seberapa besar definisi sindrom metabolik dapat

tion

digrrnakan untuk kepentingan diagnosis?


. Apakah sindrom metabolik dapat digunakan untuk
memprediksi risiko penyakit jantung dan pembuluh
darah?, adakah perbedaan risiko seseorang dengan
satu saja kriteria dengan kriteria yang lengkap?
. Apakah gejala yang timbul selalu terkait dengan
patofi siologi penyakit jantung dan pembuluh darah?
Apakah pengobatan pada seseorang dengan kriteria
lengkap sindrom metabolik berbeda dengan sesorang
yang tidak lengkap sindrom metaboliknya?

pendekatan baru untuk menjawab polemik yang timbul

Kalau dilihat dua kriteria sindrom metabolik di atas,


terdapat berbagai perbedaan, misalnya kriteria batasan
tekanan darah. Mana yang lebih baik?.
Antara dua patokan di atas (WHO dan NCEP ATP IIf ,

terdapat perbedaan kriteria yang diperlukan untuk


mengatakan sindrom metabolik, misalnya, mikroalbumin
masuk dalam kriteria WHO, tetapi tidak pada kriteriaAlP

m.

WHO menempatkan gangguan toleransi glukosa

menjadi sesuatu yang harus terpenuhi, tetapi tidak pada


ATP III. Setiap kali revisi pada berbagai kriteria yang
disampaikan tidak pernah didasarkan atas patofisiologi
yang mendasarinya, tetapi lebih berdasarkan angka-angka
dari hasil analisis studi yang desainnya berbeda-beda.
Hal lain yang agakmembingungkan adalah, bagaimana

for

pada istilah sindrom metabolik, yang sesungguhnya


adalah identifrkasi dari kelompok yang mengalami resistensi

insulin, yang dulu dikenal sebagai pre diabetes.


ini disebut Cardiometqbolic Risk A
ssessment (CRA). CRA berusaha untuk memprediksi
Pendekatan baru

kelompok risiko diabetes dan PJK pada kelompok pre diabetes tersebut. CRA menempatkan faktor resiko klasik
DM dan PJK sebagai komponen terpisah (profil lipid,

perokok, Gangguan Toleransi Glukosa, peningkatan


tekanan darah) ditambah berbagai parameter yang terkait

dengan obesitas sentral seperti resistensi insulin, gula


, TNF-

darah yang meningkat, faktor inflamasi (CRP, TPAI- I


a) serta perubahan fungsi pembekuan (peningkatan

fibrino-

gen).

Titik tolak baru yang significant pada pendekatan ini


adalah orientasi yang lebih serius pada obesitas sentral.
Jaringan lemak sentral melepaskan berbagai mediator

bioaktif tidak hanya mempengaruhi homeostasis berat


badan, tetapi juga resistensi insulin, yang kemudian
berpengaruh pada berbagai faktor risiko diabetes dan PJK.

PENATAIAKSANAAN

dua faktor bisa dijelaskan saling berhubungan untuk


menggambarkan resistensi insulin?.
Lebih lanjut lagi, mengapa hanya 3 kriteria yang

digunakan?, mengapa tidak satu, dua, empat atau

Kita semua sepakat bahwa managemen penatalaksanaan


diabetes tipe2 harus dilakukan secara intensif. Berbagai
konsensus yang disampaikan oleh PERKENI (Persatuan

keseluruhannya?. Apabila resistensi insulin adalah faktor

Endokrinologi Indonesia), American Diabetes

yang mendasari, mengapa tidak memasukkan kriteria

Association (ADA), American Association of Clinical

umur? (berbagai penelitian menunjukkan umw merupakan

Endocrinologl (AACE) dan sebagainya, secara konsisten


memberikan rekomendasi kunci untuk menurunkan

prediktor yang kuat untuk resistensi insulin). Apabila

2086

MEIABOLTKENDOKRIN

komplikasi diabetes jangka panjang dengan target kadar


AIC senormal mungkin. The Diabetes Complications
Control and Complication Trial (DCCT) menggunakan
acuan nornalAlC kurang dai6.lYo. Ironisnya, dengan
berbagaijenis terapi yang telah digunakan, lebih dari 15
tahun, kita hanya dapat mendapatkan kurang lebih 56%o
pasien DM tipe 2 yang dapat mencapai Al C < 7 (2)

Kita tidak dapat menyalahkan pasien

karena

ketidakmampuan mereka mencapai kontrol gula darah yang


baik. Diabetes adalah kelainan progesif yang merupakan
perpaduan antara resistensi insulin dan penurunan fungsi
sel beta. Dengan tidak ada jaminan bahwa semua pasien
akan patuh untuk menjaga diit dan aktivitas fisik, diperlukan
berbagai 'penyesuaian' agat target kontrol gula darah
dapat tercapai. Tentu saja semua itu bisa terlaksana kalu
kita melalcukan pendekatan terapi berdasarkan patofisiologi
diabetes.

Berbagai studi menunjukkan bahwa fungsi beta sel


pankreas sudah mulai menurun pada pasien dengan pre
diabetes. Pasien prediabetes dengan TTGO 180-199 mg/
dL, telah mempunyai penurunan fungsi sel beta sebanyak
'75-80% dan masa sel beta pankreas hanya 50% saja..
Sebagian dari mereka, ketika benar-benar menjadi diabetes sebenarnya telah mengalami komplikasi mikro dan
makroangiopati jauh-jauh hari sebelumya, .
Berbagai penelitian menyampaikan bahwa pre diabetes dapat dikurangi risikonya menjadi diabetes dengan
melakukan perubahan pola hidup yang berkaitan dengan

peningkatan resistensi insulin seperti menurunkan


obesitas, mengatasi dislipidemia, meningkatkan aktivitas

fisik yang berkaitan dengan pembakaran kalori dll.


Kesulitannya adalah bahwa hanya sebagian sangat kecil

saja penyandang GDPT dan TGT yang mampu


mempertahankan pola hidup yang diajarkan secara baik
dalam jangka waktu yang lama.
Terapi medika mentosa untuk pre diabetes sampai saat

ini hanya direkomendaskan apabila terdapat kondisi


disfungsi metabolik yang menyertainya, misalnya:
. Mengatasihipertensi,

.
.
.
.

Memperbaikiprofillipid.
Menurunkanproteinuria.
Menurunkanhiperurisemia.
Mengatasi gangguan fungsi hemostasis dan agregrasi
trombosit.

Beberapa studi mulai dilakukan untuk melukan


pendekatan penatalaksanaan secara prinsipil pada
kelompok pre diabetes. Pendekatan terapi tersebut saat
ini berpegang pada bagaimana mengatasi patofisiologi
risiko yang mungkin timbul pada pasien pre diabetes
apabila peq'alanan "kelainannya" dibiarkan. Pendekatan
terapi di masa dating adalah:
1. Menurunkan resistensi insulin di perifer.
2. Meningkatkan sekresi insulin di pankreas
3. Melakukan preservasi fungsi sel beta pankreas

4. Melindungi berbagai
5.

komplikasi jangka panjang dan


jangka pendek yang berkaitan dengan risiko kelainan
vaskular
Mengurangi berat badan dan obesitas sentral secara
efektif.

REFERENSI

l.
2.

4.
5.

6.

Engelgau MM, Geiss LS, Saaddine JB, Boyle JP, Benjamin SM,
AH Ford ES et al. The evolving diabetes burden in United State.
Ann Intern Med. 2004;140:945-950
Haffner SM, Lehto S, Ronnemma T, Pyorala K, Laakso M.
Mortality from coronary heart disease in subjects with type 2
diabetes and in nondiabetic subjects with and without prior myocardial infarction. N Eng J Med. 1998;339:229-234

Reaven GM. Role of Insulin resistance in human disease. Diabetes 1988;37:1595-1607


World Health Organization: Definition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and its complication: Report of
WHO consultation. Geneva, World Health Org 1999
Chel Kl, Abbasi F, Lamendola C, Mclaughlin I Raeven GM,
Ford ES. Relationship to Insulin resistance of the Adult Panel
III diagnostic criteria for identification of metabolic syndrome.
Diabetes 2004;53:l 19 5 - 1200
Liao Y, Kwon S, Shaughnessy S, Wallace P, Hutto P, Jenkins AJ,
Klein RL, Garvey WT. Critical evaluation of Adult Treatment

Phanel III criteria in identifying insulin resistance with


dyslipidemia. Diabetes Carc 2004;27 :97 8-983
7. Mclaughlin T, Abbasi F, Cheal K, Chu J, Lamendola C, Raeven
G. Use of metabolic markers to identifr overweight individuals
who are insulin resistant. Ann Intern Med 2003;139:802-809
8. Wannamethee SG, Sharper AG, Lennon L, Moris RW. Metabolic syndrome vs Framingham Risk Score for prediction of
coronary heart disease, stroke, and type 2 diabetes mellitus.
Arch Intern Med 2005;165:2644-2650
9. Wilson PW, D'Agostino RB, Parise H, Sulivan L, Meigs JB.
Metabolic Syndrome as a precursor of cardiovascular disease
and type 2 diabetes mellitus. Circulation 2005;112:3066-3072
1 0. Golden SH, Folsom AR, Coresh J, Sharrett AR, Szko M, Brancati
F. Risk factor groupings related to insulin resistance and their
synergistic effects on subclinical atherosclerosis: the atherosclerosis risk Community Study. Diabetes 2002;51:3069-76
11. Yarnell JW, Patterson CC, Bainton D, Sweetnam PM. Is
metabolic syndrome a discrete entity in general population?
Evidence from Caerphilly and Speedwell population studies
1998;79:248-252
12. McNeill AM, Rosamond WD, Girman CJ, Golden SH, Schmidt
MI, East HE, Ballatyne CM, Heiss G The metabolic syndrome
and 1 I year risk of incident cardiovascular disease in the
Atherosclerosis Risk in Community Study. Diabetes Care
2005;28:3 85-3 90

13. Sattar N, Gaw A, Shcherbakova O, Ford I, O'Reilly DS, Hafftrer


SM, Isles C, Macfarlane PW, Packard CJ, Cobbe SM, Shepherd
J. Metabolic syndrome with and without C-reactive protein as a
predictor of coronary heart disease and diabetes in the West of
Scotland Coronary Prevention Study. 2003: 108:414-419
14. Alexander CM, Landsman PB, Teutsch SM, Haftrer SM. NCEP-

defined metabolic syndrome, diabetes, and prevalence of


coronary heart disease among NHANES II participants age 50
years and older. Diabetes 2O03;52:1210-1214

PREDIABETES

15. Eberly LE, Pineas R, Cohen JD, Vazques G Zhi X, Neaton JD,
Kuller LH. Metabolic syndrome :risk factor distribution and
l8-year mortality in the multiple risk factor intervention trial.
Diabetes Carc 2O06;29 : I23 - 130

16.

Sundstrom J, Vallhagen E, Riserus U, Bysberg L. Beme C, Lind

L, Ingelsson E. Risk associated with the metabolic syndrome


versus the sum of its individual components. Diabetes Care
2006;29:1673-167 4

2087

Anda mungkin juga menyukai