Anda di halaman 1dari 173

MAKALAH

Diabetes Melitus

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekologi Pangan & Gizi

Dosen Pengampu: Mery Merlisia, S.Gz.,M.PH

Disusun Oleh

Erika Anggraini (183001010004)

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

PRODI KESEHATAN MASYARAKAT


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan
oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik
absolut maupun relatif (Suyono, 1995). DM merupakan penyakit yang menjadi masalah pada
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu DM tercantum dalam urutan keempat prioritas penelitian
nasional untuk penyakit degeneratif setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler, rheumatik
dan katarak (Tjokroprawiro, 2001). Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular
yang akan meningkat jumlahnya dimasa mendatang. Diabetes merupakan salah satu ancaman
utama bagi kesehatan umat manusia abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000
jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun
waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta
orang (Suyono, 2006). Diabetes mellitus tipe II merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan Diabetes Mellitus tipe I. Penderita diabetes mellitus tipe II
mencapai 90-95 % dari keseluruhan populasi penderita DM (Anonim, 2005). Laksmanan (1986)
memberitahukan alasan masuk rumah sakit yang disebabkan oleh penyakit iatogrenik (akibat
dari pengobatan) dimana sebanyak 47 kejadian iatogrenik yang muncul, ditemukan 35 kasus
drug related illness. Kasus-kasus tersebut diantaranya terjadi pada antihipertensi 8 kasus,
antikonvulsan 4 kasus, pengobatan jantung 2 kasus, antibiotik 2 kasus dan miscellaneous 1
kasus (Cipolle et al., 1998).

Orang lanjut usia mengalami kemunduran dalam sistem fisiologisnya seperti kulit yang keriput,
turunnya tinggi badan, berat badan, kekuatan otot, daya lihat, daya dengar, kemampuan
berbagai rasa (senses), dan penurunan fungsi berbagai organ termasuk apa yang terjadi terhadap
fungsi homeostatis glukosa, sehingga penyakit degeneratif seperti DM akan lebih mudah terjadi
(Rochmah, 2006). Umur secara kronologis hanya merupakan suatu determinan dari perubahan
yang berhubungan dengan penerapan terapi obat secara tepat pada orang lanjut usia. Terjadi
perubahan penting pada respon terhadap beberapa obat yang terjadi seiring dengan
bertambahnya umur pada sejumlah besar individu (Katzung, 2004). Diabetes Mellitus (DM)
pada geriatri terjadi karena timbulnya resistensi insulin pada usia lanjut yang disebabkan oleh 4
faktor : pertama adanya perubahan komposisi tubuh, komposisi tubuh berubah menjadi air 53%,
sel solid 12%, lemak 30%, sedangkan tulang dan mineral menurun 1% sehingga tinggal 5%.
Faktor yang kedua adalah turunnya aktivitas fisik yang akan mengakibatkan penurunan jumlah
reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin sehingga kecepatan transkolasi GLUT-4
(glucosetransporter-4) juga menurun. Faktor ketiga adalah perubahan pola makan pada usia
lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya gigi geligi sehingga prosentase bahan makanan
karbohidrat akan meningkat. Faktor keempat adalah perubahan neurohormonal, khususnya
Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1) dan dehydroepandrosteron (DHtAS) plasma (Rochmah,

2
2006). Prevalensi DM pada lanjut usia (geriatri) cenderung meningkat, hal ini dikarenakan DM
pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi faktor intrinsik dan ekstrinsik. Umur
ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri dalam pengaruhnya terhadap
perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Dari jumlah tersebut dikatakan 50% adalah pasien
berumur > 60 tahun (Gustaviani, 2006). Pada sebuah penelitian oleh Cardiovascular Heart
Study (CHS) di Amerika dari tahun 1996-1997 didapati hanya 12 % populasi lanjut usia dengan
DM yang mencapai kadar gula darah di bawah nilai acuan yang ditetapkan American Diabetes
Association. Pada penelitian tersebut juga diketahui 50% dari lanjut usia dengan DM
mengalami gangguan pembuluh darah besar dan 33% dari jumlah tersebut aktif mengkonsumsi
aspirin. Disisi lain banyak dari populasi lanjut usia dengan DM memiliki tekanan darah >
140/90 mmHg, hanya 8% lanjut usia dengan kadar kolesterol LDL < 100 mg/dl (Anonim,
2004). Banyaknya obat yang diresepkan untuk pasien usia lanjut akan menimbulkan banyak
masalah termasuk polifarmasi, peresepan yang tidak tepat dan ketidakpatuhan. Setidaknya 25%
obat yang diresepkan untuk pasien usia lanjut tidak efektif (Prest, 2003). Penelitian ini
mengambil subjek pasien Diabetes mellitus dan diambil dari kalangan geriatri.Penelitian ini
dilakukan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Kota Surakarta karena di rumah sakit ini
penyakit Diabetes Melitus masuk dalam 10 penyakit terbesar.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu
bagaimana ketepatan pemilihan obat pada pasien Diabetes Mellitus geriatri di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2009?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan pemilihan obat pada pasien Diabetes
Mellitus geriatri di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2009.

3
D. Tinjauan Pustaka

1. Geriatri
Menua (=menjadi tua=aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur
dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita. Dalam geriatri (ilmu kesehatan lanjut usia) yang
dianggap penting adalah usia biologik seseorang bukan usia kronologiknya. Sering kita melihat
seorang muda usia yang kelihatan sudah tua dan sebaliknya orang yang usianya tua terlihat
masih segar bugar jasmaninya (Darmojo, 1999). Definisi lain menyebutkan menua adalah
proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya
sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai
penyakit dan kematian (Setiati, 2006). Angka mortalitas pada lansia tidak begitu mempengaruhi
harapan hidup waktu lahir, karena ternyata menurut angka-angka terkumpul, harapan hidup
waktu usia 60 tahun, di negara-negara kurang berkembang (18,5 tahun). Jadi di suatu Negara
sedang berkembang seperti Indonesia, angka harapan hidup seseorang dapat mencapai usia 75
tahun (Darmojo, 1999).

Pembagian usia lanjut menurut WHO :

1) Elderly (60 – 74 tahun)

2) Old (75 – 90 tahun)

3) Very old ( > 90 tahun )

(Hermawan, 1996) Prinsip umum penggunaan obat pada usia lanjut (geriatri) :

1) Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi yang tepat.
Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya

4
2) Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkan dan tidak
berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya

3) Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan pada
orang dewasa yang masih muda.

4) Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan memonitor kadar
plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat umumnya lebih rendah.

5) Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk
memelihara kepatuhan pasien

6) Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang tidak
diperlukan lagi (Manjsoer, 2001)

2. Diabetes Mellitus

a. Definisi

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya kenaikan kadar
gula darah (hiperglikemia) kronik. Keadaan hiperglikemia kronik tersebut dapat mengenai
banyak orang pada semua lapisan masyarakat di seluruh dunia (Waspadji, 1995). Diabetes
Mellitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein yang bertalian dengan defisiensi absolut atau relativ aktivitas dan atau sekresi
insulin. Karena itu meskipun diabetes asalnya merupakan endokrin, manifestasi pokoknya
adalah penyakit metabolik (Anonim, 2000). Diabetes mellitus seperti juga penyakit menular
lainnya akan berkembang sebagai suatu penyebab utama kesakitan dan kematian di Indonesia.
Penyakit ini akan merupakan beban yang besar bagi pelayanan kesehatan dan perekonomian di
Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung melalui komplikasi-komplikasinya.
Definisi lain menyebutkan diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung
dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa
DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan
singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan
kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana dapat defisiensi insulin absolut atau relativ dan
gangguan fungsi insulin (Gustaviani, 2006).

b. Gejala Diabetes Mellitus

Gejala klasik diabetes adalah rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama malam hari
dan berat badan yang turun dengan cepat. Disamping itu kadang-kadang ada keluhan lemah,
kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, gairah seks
menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi dengan berat badan diatas

5
4 kg (Anonim, 2000). Diabetes dapat pula bermanifestasi sebagai satu atau lebih penyulit yang
bertalian. Diabetes mellitus terutama NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus), bisa
tanpa gejala, sehingga sering didiagnosis berdasarkan ketidaknormalan hasil pemeriksaan darah
rutin atau uji glukosa dalam urin. Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan
dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,
sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi. Faktor resiko
yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan
lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan
hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang
berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2 (Gustaviani, 2006).

c. Klasifikasi Diabetes Mellitus

1) Diabetes Mellitus mencakup 3 sub kelompok diagnostik, yaitu :

a) Diabetes Mellitus tipe I (Insulin dependent) : DM jenis ini paling sering terdapat pada anak-
anak dan dewasa muda, namun demikian dapat juga ditemukan pada setiap umur. Destruksi sel-
sel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik menyebabkan hilangnya hampir seluruh
insulin endogen. Pemberian insulin eksogen terutama tidak hanya untuk menurunkan kadar
glukosa plasma melainkan juga untuk menghindari ketoasidosis diabetika (KAD) dan
mempertahankan kehidupan.

b) Diabetes Mellitus tipe II (non-insulin dependent) : DM jenis ini biasanya timbul pada umur
lebih 40 tahun. Kebanyakan pasien DM jenis ini bertubuh gemuk, dan resistensi terhadap kerja
insulin dapat ditemukan pada banyak kasus. Produksi insulin biasanya memadai untuk
mencegah KAD, namun KAD dapat timbul bila ada stress berat. Insulin eksogen dapat
digunakan untuk mengobati hiperglikemia yang membandel pada para pasien jenis ini.

c) Diabetes Mellitus lain (sekunder) : Pada DM jenis ini hiperglikemia berkaitan dengan
penyebab lain yang jelas, meliputi penyakit-penyakit pankreas, pankreatektomi, sindroma
cushing, acromegaly dan sejumlah kelainan genetik yang tak lazim.

2) Toleransi Glukosa yang terganggu merupakan klasifikasi yang cocok


untuk para penderita yang mempunyai kadar glukosa plasma yang abnormal namun tidak
memenuhi kriteria diagnostik.

3) Diabetes Mellitus Gestasional : istilah ini dipakai terhadap pasien yang

menderita hiperglikemia selama kehamilan. Ini meliputi 2-5% dari seluruh diabetes. Jenis ini
sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak ditangani dengan
benar (Suyono, 2006). Pada pasien-pasien ini toleransi glukosa dapat kembali normal setelah
persalinan (Anonim,1995).

d. Komplikasi Diabetes Mellitus

6
1) Komplikasi Akut

a) Hipoglikemia
Hipoglikemia (kadar gula darah yang abnormal rendah) terjadi apabila kadar glukosa darah
turun dibawah 50 mg/ dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral
yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat.
Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat pada siang atau malam hari. Hipoglikemia merupakan
komplikasi-komplikasi yang tersering dan paling serius pada terapi insulin. Keparahan dan
lamanya hipoglikemia bisa diperkirakan dari dosis, aktivitas puncak dan lama aksi jenis insulin
yang diberikan secara S.C (Anonim, 1995).

(1) Hipoglikemia ringan


Ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatis akan terangsang. Pelimpahan
adrenalin kedalam darah menyebabkan gejala seperti perspirasi, tremor, takikardia, palpitasi,
kegelisahan dan rasa lapar.

(2) Hipoglikemia Sedang


Penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapatkan cukup bahan
bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem saraf pusat
mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, confuse, penurunan daya
ingat, mati rasa didaerah bibir serta lidah, bicara rero, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan
emosional, perilaku yang tidak rasional, penglihatan ganda, dan perasaan ingin pingsan.

(3) Hipoglikemia Berat

Fungsi sitem saraf pusat mengalami gangguan yang sangat berat sehingga pasien memerlukan
pertolongan orang lain untuk mengatasi Hipoglikemia yang dideritanya. Gejala dapat mencakup
perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan, atau bahkan
kehilangan kesadaran.

b) Diabetes Ketoasidosis

KAD timbul sebagai akibat insufisiensi insulin yang berat (biasanya dengan bertambah
buruknya kebutuhan dasar) dank arena adanya kelebihan hormone yang pengaruhnya
berlawanan dengan insulin (misalnya glucagon). Predisposisi KAD merupakan ciri khas pada
DM tipe 1 dan dapat merupakan gejala yang mendorong pasien konsultasi ke dokter. Meskipun
demikian KAD dapat terjadi pada setiap pasien DM yang mengalami stress cukup berat. Bila
pasien di diagnosis KAD maka perlu dicari penjelasannya, misalnya penghentian terapi insulin,
terkena stress yang menaikkan dasar insulin. Terapi KAD hendaknya mencakup juga:

1. Pemulihan cairan tubuh, dengan pengelolaan elektrolit yang tepat

2. Penormalan kembali asidosis dan ketosis yang parah, dan

7
3. Pengedalian glukosa plasma.
KAD sering timbul denagan didahului oleh penurunan berat badan, poliuria dan polidipsia.
Gejalanya meliputi muntah-muntah dan nyeri perut yang khas samar-samar dan tanpa
menunjukkan tempatnya (Anonim, 1995).

c) Sindrom Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (SHHNK)

Sindrom ini timbul terutama pada pasien dengan DM tipe 2 atau jenis lain. Pada pasien dengan
sindroma ini maka hiperglikemia berat dan dehidrasi dapat timbul tanpa disertai ketoasidosis.
SHHNK dpat terjadi sebagai gejala sisa terhadap stress berat dan dapat terjadi setelah “stroke”
atau pemasukan hidrat arang yang berlebihan. Patogenesis SHHNK biasanya meliputi gangguan
ekskresi glukosa oleh ginjal jadi pada umumnya didahulukan oleh insufisiensi ginjal azotemia
prerenal. Karena kebutuhan insulin dasar tidak terganggu maka tidak terjadi produksi keton
yang berlebihan (Anonim, 1995).

2) Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik dari diabetes melitus dapat menyerang semua sistem organ tubuh. Kategori
komplikasi kronik diabetes yang lazim digunakan adalah penyakit makrovaskuler,
mikrovaskuler, dan neurologis.

a) Komplikasi Makrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering terjadi pada diabetes. Perubahan
aterosklerotik ini serupa degan pasien-pasien non diabetik, kecuali dalam hal bahwa perubahan
tersebut cenderung terjadi pada usia yang lebih muda dengan frekuensi yang lebih besar pada
pasien-pasien diabetes. Berbagai tipe penyakit makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada
lokasi lesi aterosklerotik.Aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah arteri koroner, maka
akan menyebabkan penyakit jantung koroner. Sedangkan aterosklerotik yang terjadi pada
pembuluh darah serebral, akan menyebabkan stroke infark dengan jenis TIA (Transient
Ischemic Attack). Selain itu aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah besar ekstremitas
bawah, akan menyebabkan penyakit okluisif arteri perifer atau penyakit vaskuler perifer.

b) Komplikasi Mikrovaskeler

(1) Retinopati Diabetik


Disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata, bagian ini
mengandung banyak sekali pembuluh darah dari berbagai jenis pembuluh darah arteri serta vena
yang kecil, arteriol, venula dan kapiler.

(2) Nefropati Diabetik


Bila kadar gluoksa darah meninggi maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress yang
mengakibatkan kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya tekanan dalam
pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai
stimulus untuk

8
terjadinya nefropati.

(3) Neuropati Diabetikum


Neuropati adalah komplikasi kronik yang paling umum pada diabetes mellitus lanjut usia.
Mekanisme yang mendasari perkembangan neuropati adalah hiperglikemia yang disebabkan
metabolik yang jalur polyol dari saraf tepi (Prabhu, 2009)

e. Penatalaksanaan Terapi Diabetes Mellitus

1) Terapi Non Farmakologi


Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan
bagi penyandang diabetes. Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan
pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individual. Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis
ini antara lain : menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik,
menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas resseptor
insulin, memperbaiki system koagulasi darah. Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah

untuk mencapai dan mempertahankan :

1) Kadar glukosa darah mendekati normal,

(1) Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl

(2) Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl

(3) Kadar Hb AlC < 7%

2) Tekanan darah < 130/80 mmHg

3) Profil lipid

(1) Kolesterol LDL < 100 mg/dl

(2) Kolesterol HDL > 40 mg/dl

(3)Trigliserida < 150 mg/dl

4) Berat badan senormal mungkin


Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih difokuskan pada perubahan
pola makan yang didasarkan pada gaya hidup dan pola kebiasaan makan, status nutrisi dan
faktor khusus lain yang perlu diberikan prioritas. Beberapa faktor yang harus diperhatikan
sebelum melakukan perubahan pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status
gizi, status kesehatan, aktivitas fisik, dan faktor usia (Soebardi, 2006).

9
2) Terapi Farmakologi

a) Terapi dengan Insulin


Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus geriatri tidak berbeda dengan pasien dewasa
sesuai dengan algoritma, dimulai dari monoterapi untuk terapi kombinasi yang digunakan dalam
mempertahankan kontrol glikemik. Apabila terapi kombinasi oral gagal dalam mengontrol
glikemik maka pengobatan diganti menjadi insulin setiap harinya. Meskipun aturan pengobatan
insulin pada pasien lanjut usia tidak berbeda dengan pasien dewasa, prevalensi lebih tinggi dari
faktor-faktor yang meningkatkan risiko hipoglikemia yang dapat menjadi masalah bagi
penderita diabetes pasien lanjut usia. Alat yang digunakan untuk menentukan dosis insulin yang
tepat yaitu dengan menggunakan jarum suntik insulin premixed atau predrawn yang dapat
digunakan dalam terapi insulin.

10
MAKALAH

“MARASMUS”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Gizi Kesehatan Masyarakat

Dosen Pengampu: Mery Merlisia S.Gz., M.P.H

Disusun Oleh:

Mardiani (183001010008)

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PRODI S1 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN AJARAN 2020/2021

11
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah ini telah kami selesaikan dengan lancar,tetapi kami menyadari bahwa
penyusunan tugas makalah ini masih jauh dari kata sempurna,jadi kami mohon untuk
memberikan masukan,kritik,dan saran yang membangun demi perbaikan dalam penyusunan
tugas makalah ini.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat Saya harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini memberikan manfaat bagi
kita semua.

Jambi, 28 Februari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1

1.1       Latar Belakang............................................................... 1

1.2       Rumusan Masalah.......................................................... 1

1.3 Tujuan........................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................... 2

2.1      Pengertian Marasmus ....................................................... 2

2. 2     Penyebab dan gejala terjaddinya marasmus ......................... 2

2.3    Cara Pencegahan dan Pengobatan pada Marasmus.............. 6

BAB III PENUTUP............................................................................. 14

3.1       Kesimpulan ................................................................. 14

3.2 Saran............................................................................ 14

DAFTAR PUSATAKA.............................................................................. 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kurang kalori protein (KKP) merupakan salah satu masalah gizi masyarakat
yang utama diIndonesia. Upaya untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat telah
dilaksanakan melalui berbagai program perbaikan gizi oleh Departemen Kesehatan
bekerja sama dengan masyarakat. Namun, dilihat dari contoh kasus kurang gizi di
Indonesia, masih banyak anak-anak yang menderita penyakit akibat KKP yang sangat
memprihatinkan, salah satunya adalah marasmus. Hal ini dapat dipahami karena
marasmus sering berhubungan dengan keadaan kepadatan penduduk, adanya infeksi,
konsumsi kalori yang tidak memadai yang mengakibatkan kekurangan protein dan
mikronutrisi, cedera atau penyakit menahun, dan higiene yang kurang di daerah
perkotaan yang sedang membangun, serta terjadinya krisis ekonomi di lndonesia.
Dengan alasan itulah, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang hal – hal yang
berhubungan dengan marasmus.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang disebut marasmus?

2. Apa gejala – gejala dan penyebab terjadinya marasmus?

3. Bagaimana contoh kasus marasmus yang terjadi di Indonesia?

4. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan pada marasmus?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui yang disebut marasmus.

2. Untuk mengetahui gejala – gejala dan penyebab terjadinya marasmus.

3. Untuk mengetahui contoh kasus marasmus yang terjadi di Indonesia.

3
4. Untuk mengetahui cara pencegahan dan pengobatan pada marasmus.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Marasmus

Marasmus berasal dari kata Yunani yang berarti kurus-kering. Sebaliknya walau
asupan protein sangat kurang, tetapi si anak masih menerima asupan hidrat arang
(misalnya nasi ataupun sumber energi lainnya). Marasmus disebabkan karena kurang
kalori yang berlebihan, sehingga membuat cadangan makanan yang tersimpan dalam
tubuh terpaksa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan yang sangat diperlukan
untuk kelangsungan hidup. Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang
terutama akibat kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama
tahun pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. (Dorland,
1998:649)

Marasmus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kekurangan kalori


protein. (Suriadi, 2001:196). Marasmus adalah malnutrisi berat pada bayi sering ada
di daerah dengan makanan tidak cukup atau higiene kurang. Sinonim marasmus
diterapkan pada pola penyakit klinis yang menekankan satu ayau lebih tanda
defisiensi protein dan kalori. (Nelson). Marasmus merupakan keadaan dimana
seorang anak mengalami defisiensi energi dan protein. Umumnya kondisi ini dialami
masyarakat yang menderita kelaparan. Gizi buruk tipe marasmus adalah suatu
keadaan dimana pemberian makanan tidak cukup atau higiene jelek yang
menyebabkan defisiensi karbohidrat.

2.2 Gejala – gejala dan Penyebab Terjadinya Marasmus

Gejala Marasmus

Gejala Gejala yang terjadi pada penderita marasmus adalah keadaan yang
terlihat mencolok seperti hilangnya lemak subkutan, terutama pada wajah. Akibatnya

4
ialah wajah si anak lonjong, berkeriput dan tampak lebih tua (old man face). Otot-otot
lemah dan atropi, bersamaan dengan hilangnya lemak subkutan maka anggota gerak
terlihat seperti kulit dengan tulang dan turgor kulit menghilang. Torax dan tulang
rusuk tampak lebih jelas. Dinding perut hipotonus dan usianya. Suhu tubuh bisa
rendah karena lapisan penahan panas hilang (Rani et al 1998).

Gejala klinis marasmus terdiri dari :

1. Pertumbuhan dan perkembangan fisik terganggu, bahkan sampai berat badan


dibawah waktu lahir (berat badan < 60%).

2. Tampak sangat kurus (gambaran seperti kulit pembalut tulang).

3. Muka seperti orang tua (old man face).

4. Pucat, cengeng, lethargi, malaise dan apatis.

5. Rambut kusam, kadang-kadang pirang, kering, tipis dan mudah dicabut.

6. Kulit keriput, dingin, kering, mengendur, jaringan lemak subkutis sangat


sedikit sampai tidak ada, sehingga kulit kehilangan turgornya.

7. Jaringan otot hipotrofi dan hipotoni.

8. Perut membuncit atau cekung dengan gambaran usus yang jelas.

9. Ujung tangan dan kaki terasa dingin dan tampak sianosis.

10. Sering disertai penyakit infeksi, diare kronis atau konstipasi.

11. pantat kosong, paha kosong.

12. Mata besar dan dalam, sinar mata sayu.

13. Feces lunak atau diare.

14. Tekanan darah lebih rendah dari usia sebayanya.

5
15. Frekuensi nafas berkurang.

16. Kadar Hb berkurang.

17. Disertai tanda-tanda kekurangan vitamin.

Perubahan biokimia yang ditemukan pada marasmus adalah :

1. Anemia ringan sampai berat.

2. Kadar albumin dan globulin serum rendah.

3. Kadar kolesterol serum yang rendah.

4. Kadar gula darah yang rendah.

Penyebab Marasmus

Penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang dapat terjadi karena :
diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti yang hubungan
dengan orangtua-anak terganggu,karena kelainan metabolik, atau malformasi
kongenital. (Nelson).

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya marasmus, antara lain :

1. Pola makan Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak
untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung
kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein/asam amino
yang memadai. Diet yang kurang energi juga dapat mengakibatkan terjadinya
marasmus.

2. Kepadatan penduduk Mc Laren (1982) memperkirakan bahwa, marasmus


terdapat dalam jumlah yang banyak akibat suatu daerah terlalu padat
penduduknya dengan higiene yang buruk.

6
3. Faktor sosial Keadaan sosial yang tidak stabil, ataupun adanya pantangan
untuk menggunakan bahan makanan tertentu dan sudah berlansung turun-
temurun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya marasmus.

4. Factor pendidikan Kurang adanya pengetahuan tentang pentingnya gizi


dikalangan masyarakat yang pendidikannya relative rendah.

5. Faktor ekonomi Kemiskinan keluarga, penghasilan yang rendah yang tidak


dapat memenuhi kebutuhan dan ketidakmampuan dalam membeli bahan
makanan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak yang tidak terpenuhi, saat
dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.

6. Faktor infeksi dan penyakit lain Terdapat interaksi sinergis antara MEP
(Malnutrisi energi protein) dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat
memperburuk keadaan gizi. Infeksi berat dapat memperburuk keadaan gizi
melalui gangguan masukan dan meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial
tubuh. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan
menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi. Marasmus juga dapat terjadi
akibat berbagai penyakit lain seperti sering diserang diare, kelainan bawaan
saluran pencernaan atau jantung, malabsorpsi, gangguan metabolik, penyakit
ginjal menahun dan juga gangguan pada saraf pusat. (Dr. Solihin)

Marasmus dapat terjadi pada segala umur. Pada anak-anak, biasanya penyebab
terjadinya marasmus disebabkan karena tidak tercukupinya kebutuhan ASI sewaktu
bayi. Menurut Laren et al (2000), penyebab marasmus ialah kurang kalori-protein
yang berat. Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan
makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan, ada beberapa faktor lain
pada diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap
terjadinya marasmus.

Secara garis besar, sebab-sebab marasmus ialah masukan makanan yang kurang.
Marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak

7
sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya
pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer. Infeksi yang berat dan lama
menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya infantil gastroenteritis,
bronkhopneumonia, pielonephritis dan sifilis kongenital. Kelainan struktur bawaan
misalnya, penyakit jantung bawaan. Marasmus juga dapat disebabkan oleh
Prematuritas dan penyakit pada masa neonates. Dimana pada keadaan-keadaan
tersebut pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap yang kurang kuat.

Tetapi pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan
yang cukup juga akan menyebabkan terjadinya marasmus. Gangguan metabolik
misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galacosemia, lactose intolerance
serta penyapihan yang terlalu dini disertai dengan pemberian makanan yang kurang
akan menimbulkan marasmus. Sebenarnya malnutrisi merupakan suatu sindrom yang
terjadi akibat banyak faktor. Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor
penting yaitu : tubuh sendiri (host), agent (kuman penyebab), environment
(lingkungan). Memang faktor diet (makanan) memegang peranan penting tetapi
faktor lain ikut menentukan.

Gopalan menyebutkan marasmus adalah compensated malnutrition. Dalam keadaan


kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan
memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan
karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan kehidupan.

Karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai


bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat
sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan. Akibatnya
katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino
yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan di ginjal. Selama puasa jaringan
lemak dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat

8
mempergunakan asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi, jika
kekurangan makanan ini berjalan menahun. (Laren et al 2000)

2.3 Cara Pencegahan dan Pengobatan pada Marasmus

Pencegahan Marasmus

Beberapa cara untuk mencegah terjadinya marasmus pada anak, antara lain sebagai
berikut :

1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan.


Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai
pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah
berumur 2 tahun.

2. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein,


lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak
minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan
sisanya karbohidrat.

3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program


Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas.
Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.

4. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan
kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang
dari rumah sakit.

5. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori
yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk
proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat
mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan
vitamin penting lainnya.

9
Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang
sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara
umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang
permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.

Tindakan pencegahan terhadap marasmus menurut Rani et al (1998) dapat


dilaksanakan dengan baik bila penyebab diketahui. Usaha-usaha tersebut memerlukan
sarana dan prasarana kesehatan yang baik untuk pelayanan kesehatan dan penyuluhan
gizi. Pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun merupakan sumber energi
yang paling baik untuk bayi. Ditambah dengan pemberian makanan tambahan yang
bergizi pada umur 6 tahun ke atas. Pencegahan penyakit infeksi, dengan
meningkatkan kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan, pemberian
imunisasi, dan mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan
terlalu kerap. Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat
merupakan usaha pencegahan jangka panjang. Pemantauan (surveillance) yang teratur
pada anak di daerah yang endemis kurang gizi, dengan cara penimbangan berat badan
tiap bulan.

Pengobatan Marasmus

Tujuan pengobatan pada penderita marasmus adalah pemberian diet tinggi


kalori dan tinggi protein serta mencegah kekambuhan. Penderita marasmus tanpa
komplikasi dapat berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian makanan
yang baik. Sedangkan, penderita yang mengalami komplikasi serta dehidrasi, syok,
asidosis dan lain-lain perlu mendapat perawatan di rumah sakit. Pengobatan rutin
yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah penting yaitu:

1. Atasi/cegah hipoglikemia Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia (suhu
aksila < 35°C, atau suhu rektal 35,5°C). Bila kadar gula darah di bawah 50
mg/dl, maka berikan:

10
a. 50 ml bolus glukosa 10% atau larutan sukrosa (1 sendok teh gula
dalam 5 sendok makan air) secara oral atau sonde/pipa nasogastrik.

b. Berikan larutan tersebut setiap 30 menit selama 2 jam (setiap kali


berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam).

c. Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam.

2. Atasi/cegah hipotermia Bila suhu rektal < 35,5°C, hangatkan anak dengan
pakaian atau selimut, atau letakkan dekat lampu atau pemanas. Suhu diperiksa
sampai mencapai > 36,5°C.

3. Atasi/cegah dehidrasi Jika anak masih menyusui, teruskan ASI dan berikan
setiap setengah jam sekali. Jika anak masih dapat minum, lakukan tindakan
rehidrasi oral dengan memberikan minum anak 5 ml/kgBB setiap 30 menit
cairan rehidrasi oral khusus untuk KEP. Jika tidak ada cairan khusus untuk
anak dengan KEP berat dapat menggunakan oralit. Jika anak tidak dapat
minum maka dilakukan rehidrasi intravena dengan cairan Ringer
Laktat/Glukosa 5% dan NaCl 0,9%.

4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit Pada semua KEP berat terjadi


gangguan keseimbangan elektrolit diantaranya:

a. Kelebihan natrium tubuh, walaupun kadar natrium plasma rendah.

b. Defisiensi kalium dan magnesium. Ketidakseimbangan ini diterapi


dengan memberikan:  K 2 – 4 meq/kgBB/hari (150 – 300 mg
KCL/kgBB/hari).  Mg 0,3 – 0,6 meq/kgBB/hari (7,5 – 15
MgCl2/kgBB/hari).

5. Obati/cegah infeksi Pada KEP berat, tanda yang umumnya menunjukan


adanya infeksi seperti demam, seringkali tidak nampak, oleh karena itu pada
semua KEP berat secara rutin diberikan:

11
a. Antibiotika spektrum luas, bila tanpa komplikasi: kontrimoksazol 5 ml
suspensi pediatri secara oral, 2 kali sehari selama 5 hari (2,5 ml bila
BB < 4 kg).

b. Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi


(hipoglikemia, hipotermia, infeksi kulit, infeksi saluran napas atau
saluran kencing) beri ampisilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam
selama 2 hari, kemudian secara oral amoksisilin 15 mg/kgBB setiap 8
jam, selama 5 hari.

c. Bila amoksisilin tidak ada, maka teruskan ampisilin 50 mg/kgBB


setiap 6 jam secara oral, atau gentamisin 7,5 mg/kgBB/IM atau IV
sekali sehari selama 7 hari.

d. Bila dalam 48 jam tidak ada kemajuan klinis, tambahkan


kloramfenikol 25 mg/kgBB/IM atau IV setiap 6 jam selama 5 hari.

e. Bila terdeteksi kuman spesifik, beri pengobatan spesifik. Bila


anoreksia menetap selama 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi
pemberian hingga 10 hari.

f. Vaksinasi campak bila umur anak > 6 bulan dan belum pernah
diimunisasi.

g. Berikan setiap hari tambahan multivitamin, asam folat 1 mg/hari (5


mg hari pertama), seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari. Bila berat badan mulai
naik: Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferosus 10 mg/kgBB/hari.
Vitamin A oral pada hari 1, 2 dan 14. Untuk umur > 1 tahun 200.000
SI, umur 6 – 12 bulan 100.000 SI, dan umur 0 – 5 bulan 50.000 SI.

6. Mulai pemberian makanan Pemberian diet dibagi dalam 3 fase, yaitu :

a. Fase Stabilisasi (2 – 7 hari) Fase dimulainya pemberian makanan


segera setelah anak dirawat sehingga energi dan protein cukup untuk

12
memenuhi kebutuhan metabolisme basal tubuh. Prinsip pemberian
nutrisi pada fase inisial/stabilisasi adalah sebagai berikut : Porsi kecil,
sering, rendah serat dan rendah laktosa. Oral atau nasogastrik. Kalori
100 kkal/kgBB/hari Protein 1 – 1,5 gr/kgBB/hari. Cairan 130
ml/kgBB/hari.

b. Fase Transisi (Minggu ke-2) Fase pemberian makanan secara


perlahan-lahan untuk menghindari resiko gagal jantung dan intoleransi
saluran cerna bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak
secara mendadak. Prinsip pemberian nutrisi pada fase transisi adalah
sebagai berikut : Kalori 150 kkal/kgBB/hari Protein 2 – 3
gr/kgBB/hari Cairan 150 ml/kgBB/hari.

c. Fase Rehabilitasi (Minggu ke-3 – 7) Pada masa pemulihan, dibutuhkan


berbagai pendekatan secara gencar agar tercapai asupan makanan yang
tinggi dan pertambahan BB > 10 gr/kgBB/hari. Awal fase rehabilitasi
ditandai dengan timbulnya selera makan, biasanya 1 – 2 minggu
setelah dirawat. Setelah masa transisi dilampaui, anak diberi:

Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering.

Energi 150 – 220 kkal/kgBB/hari. Protein 4 – 6 gr/kgBB/hari

Bila anak masih mendapat ASI, teruskan tetapi beri formula lebih dulu karena energi
dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar.

7. Fasilitasi tumbuh-kejar (“catch up growth”) Untuk mengejar pertumbuhan


yang tertinggal, anak diberi asupan makanan seperti pada fase-fase tersebut di
atas. Untuk itu harus tersedia jumlah asupan makanan yang memadai seperti
pada tahapan fase-fase di atas.

8. Koreksi defisiensi nutrien mikro

9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental.

13
10. Siapkan follow up dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh. Bila berat
badan sudah mencapai 80% BB/U dapat dikatakan anak sembuh. Pola
pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah
setelah penderita dipulangkan. Kepada orang tua disarankan :

a. Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur.

b. Pemberian suntikan/imunisasi ulang (booster).

c. Pemberian vitamin A setiap 6 bulan.

d. Selain itu atasi penyakit penyerta, yaitu: Defisiensi vitamin A.


Dermatosis. Penyakit karena parasit/cacing. Diare berlanjut.
Tuberkulosis, obati sesuai dengan pedoman tuberkulosis. Dengan
pengobatan adekuat, umumnya penderita dapat ditolong walaupun
diperlukan waktu sekitar 2 – 3 bulan untuk tercapainya berat badan
yang diinginkan.

Pada tahap penyembuhan yang sempurna, biasanya pertumbuhan fisik hanya


terpaut sedikit dibandingkan dengan anak yang sebayanya. Namun kadang-kadang
perkembangan intelektualnya akan mengalami kelambatan yang menetap, khususnya
kelainan mental dan defisiensi persepsi. Retardasi perkembangan akan lebih nyata
lagi bila penyakit ini diderita sebelum anak berumur 2 tahun, ketika masih terjadi
proliferasi, mielinisasi dan migrasi sel otak. Penatalaksanaan penderita yang dirawat
di RS dibagi dalam beberapa tahap, antara lain :

1. Menurut Arisman, 2004:105

a. Komposisi pemberian CRO (Cairan Rehidrasi Oral) sebanyak 70-100


cc/kg BB biasanya cukup untuk mengoreksi dehidrasi.

b. Cara pemberian dimulai sebanyak 5 cc/kg BB setiap 30 menit selama


2 jam pertama peroral atau NGT kemudian tingkatkan menjadi 5-10
cc/kg BB/ jam.

14
c. Cairan sebanyak itu harus habis dalam 12 jam.

d. Pemberian ASI sebaiknya tidak dihentikan ketika pemberian


CRO/intravena diberikan dalam kegiatan rehidrasi.

e. Berika makanan cair yang mengandung 75-100 kkal/cc, masing-


masing disebut sebagai F-75 dan F-100.

2. Menurut Nuchsan Lubis Penatalaksanaan penderita marasmus yang dirawat di RS


dibagi dalam beberapa tahap, yaitu :

a. Tahap awal : 24 – 48 jam pertama merupakan masa kritis, yaitu


tindakan untuk menyelamatkan jiwa, antara lain mengoreksi keadaan
dehidrasi atau asidosis dengan pemberian cairan IV. cairan yang
diberikan adalah larutan Darrow-Glukosa atau Ringer Laktat Dextrose
5%. Mula-mula diberikan 60 ml/kg BB pada 4-8 jam pertama.
Kemudian 140ml sisanya diberikan dalam 16-20 jam berikutnya.
Cairan diberikan 200ml/kg BB/ hari.

b. Tahap kedua : penyesuaian terhadap pemberian makanan Pada hari-


hari pertama jumlah kalori yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/ kg
BB/ hari atau rata-rata 50 kalori/ kg BB/ hari, dengan protein 1-1,5 gr/
kg BB/ hari. Kemudian dinaikkan bertahap 1-2 hari hingga mencapai
150-175 kalori/ kg BB/ hari, dengan protein 3-5 gr/ kg BB/ hari.
Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet TKTP ini lebih kurang 7-
10 hari. Cairan diberikan sebanyak 150 ml/kg BB/hari. Pemberian
vitamin dan mineral yaitu vitamin A diberikan sebanyak 200.000. i.u
peroral atau 100.000 i.u im pada hari pertama kemudian pada hari ke
dua diberikan 200.000 i.u. oral. Vitamin A diberikan tanpa melihat
ada/tidaknya gejala defisiensi Vitamin A. Mineral yang perlu
ditambahkan ialah K, sebanyak 1-2 Meq/kg BB/hari/IV atau dalam
bentuk preparat oral 75-100 mg/kg BB/hari dan Mg, berupa MgS04

15
50% 0,25 ml/kg BB/hari atau megnesium oral 30 mg/kg BB/hari.
Dapat diberikan 1 ml vit Bc dan 1 ml vit. C im, selanjutnya diberikan
preparat oral atau dengan diet. Jenis makanan yang memenuhi syarat
untuk penderita malnutrisi berat ialah susu. Dalam pemilihan jenis
makanan perlu diperhatikan berat badan penderita. Dianjurkan untuk
memakai pedoman BB kurang dari 7 kg diberikan makanan untuk bayi
dengan makanan utama ialah susu formula atau susu yang
dimodifikasi, secara bertahap ditambahkan makanan lumat dan
makanan lunak. Penderita dengan BB di atas 7 kg diberikan makanan
untuk anak di atas 1 tahun, dalam bentuk makanan cair kemudian
makanan lunak dan makanan padat. Antibiotik perlu diberikan, karena
penderita marasmus sering disertai infeksi.

c. Tahap ketiga yaitu tahap lanjut (rehabilitasi) Setelah tercapai


penyesuaian dengan bertambahnya berat badan. Penderita boleh
dipulangkan bila terjadi kenaikan sampai kira-kira 90% BB normal
menurut umurnya, bila nafsu makannya telah kembali dan penyakit
infeksi telah teratasi. Penderita yang telah kembali nafsu makannya
dibiasakan untuk mendapat makanan biasa seperti yang dimakan
sehari-hari. Kebutuhan kalori menjadi normal kembali karena tubuh
telah menyesuaikan diri lagi. Sementara itu kepada orang tua diberikan
penyuluhan tentang pemberian makanan, terutama mengenai
pemilihan bahan makanan, pengolahannya, yang sesuai dengan daya
belinya. Mengingat sulitnya merawat penderita dengan malnutrisi,
maka usaha pencegahan perlu lebih ditingkatkan. Contoh makanan
untuk penderita marasmus adalah Nasi tim ayam. Bahan adalah
sebagai berikut: 50 gr nasi aron (setengah matang) 50 gr ayam, diris
kecil 25 gr wortel di irirs kecil 25 gr brokoli di iris kecil.

d. Pemeriksaan Fisik

16
Mengukur TB dan BB

Menghitung indeks massa tubuh, yaitu BB (dalam kilogram) dibagi


dengan TB (dalam meter)

Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah belakang (lipatan


trisep) ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya
dapat diukur, biasanya dangan menggunakan jangka lengkung (kaliper).
Lemak dibawah kulit banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh. Lipatan
lemak normal sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada
wanita.

Status gizi juga dapat diperoleh dengan mengukur LLA untuk


memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (lean body massa, massa
tubuh yang tidak berlemak).

e. Pemeriksaan laboratorium : albumin, kreatinin, nitrogen, elektrolit,


Hb, Ht, transferin.

Keterpaduan kegiatan dalam upaya penanganan marasmus, antara


lain :

Penyuluhan gizi, terutama di daerah yang diindikasikan terjadinya


marasmus.

Peningkatan pendapatan.

Peningkatan pelayanan kesehatan.

Keluarga berencana.

Peningkatan peran serta masyarakat, pemerintah, petugas kesehatan,


dll.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Marasmus adalah salah satu bentuk gizi buruk yang sering ditemui pada anak –
anak. Gejala – gejalanya terlihat mencolok dan penyebabnya multifaktorial antara
lain masukan makanan yang kurang, faktor penyakit dan faktor lingkungan,
ketidaktahuan untuk memilih makanan yang bergizi, keadaan ekonomi yang tidak
menguntungkan, dll. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis untuk
menentukan penyebab perlu anamnesis makanan dan penyakit lain. Kasus marasmus
pada anak – anak masih banyak terjadi di Indonesia, terutama pada masyarakat
dengan tingkat ekonomi yang rendah. Pencegahan terhadap marasmus ditujukan
kepada penyebab dan memerlukan pelayanan kesehatan dan penyuluhan yang baik.
Pengobatan marasmus ialah pemberian diet tinggi kalori dan tinggi protein dan
penatalaksanaan di rumah sakit yang harus dilakukan secara rutin dan terkontrol.

3.2 Saran

1. Diharapkan kepada seluruh masyarakat untuk dapat memenuhi asupan


kalori dan protein yang cukup dan seimbang, agar anak – anak dapat
tumbuh dengan sehat.

2. Setiap anggota keluarga,terutama orang tua harus dapat mengupayakan dan


memperhatikan pemenuhan gizi anak, agar tidak menderita gizi buruk.

3. Tenaga kesehatan dapat mengadakan penyuluhan kepada masyarakat


tentang gizi, terutama di daerah yang diindikasikan terjadinya gizi buruk
seperti marasmus.

18
4. Pada penderita marasmus sebaiknya anak diberi energi tinggi dan protein
tinggi, dengan mengobati faktor penyakit penyerta, serta apabila anak
sudah agak membaik tidak lupa memperhatikan atau menimbang berat
badannya secara rutin.

5. Pemerintah harus lebih memperhatikan upaya dalam mengatasi masalah


gizi buruk, terutama pemenuhan gizi pada masyarakat dengan tingkat
ekonomi atau pendapatan yang rendah.

DAFTAR PUSTAKA

http://lenteraimpian.wordpress.com/2010/02/24/masalah-masalah-gizi-di-indonesia-
2/10 April 2014

http://www.indonesian-publichealth.com/2012/12/masalah-gizi-kurang-dan-gizi-
buruk.html/10 April 2014 http://networkedblogs.com/t90QG/10 April 2014

http://bestigizi.blogspot.com/2011/11/laporan-praktikum-haritanggal-senin-
19.html/12 April 2014

http://contoh-askep.blogspot.com/2008/07/askep-anak-dengan-marasmus.html/12
April 2014

http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=34027/12 April 2014

http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1346380552/bocah-marasmus/12 April 2014

http://almirarara.blogspot.com/2012/01/makalah-marasmus-bab-i-pendahuluan.html/12
April 2014

19
MAKALAH

“ Study Kasus Diabetes Melitus “


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi Pangan Dan Gizi

Dosen Pengampu : Mery Merlisia S.Gz, M.P.H

Disusun Oleh :
Wahyuni Wulandari ( 193001010011 )

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI


FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI
PRODI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN 2021

KATA PENGANTAR

20
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
serta Karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin kami tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik dan mudah.

Makalah ini yang berjudul “Study Kasus Diabetes Melitus” guna untuk
memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Ekologi Pangan Dan Gizi.
Penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
Ibu Mery Merlisia S.Gz, M.P.H selaku dosen pembimbing Mata Kuliah
Ekologi Pangan Dan Gizi, yang telah memberikan arahan, petunjuk dan
bimbingan yang berharga selama penyusunan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas


kepada pembaca. Dengan demikian penulis mengucapkan terima kasih.

28 Februari 2021

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i

21
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang............................................................................................... 1
Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
Tujuan Penulisan........................................................................................... 1
BAB II ISI

Pengertian Diabetes Melitus........................................................................ 2


Penyebab Diabetes Melitus.......................................................................... 3
Gejala Diabetes Melitus................................................................................ 5
Kasus Diabetes Melitus................................................................................ 6
Cara Pengobatan Diabetes Melitus............................................................. 7
Jenis-jenis Diabetes Melitus ............................................................................ 7

BAB III PENUTUP

Simpulan......................................................................................................... 9
Saran ............................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 10

22
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat
jumlahnya dimasa mendatang. Diabetes merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan
umat manusia abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap
diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun
kemudian, pada tahun 2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang (Suyono,
2006).

Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 1995). DM merupakan penyakit yang menjadi
masalah pada kesehatan masyarakat. Oleh karena itu DM tercantum dalam urutan keempat
prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif setelah penyakit kardiovaskuler,
serebrovaskuler, rheumatik dan katarak (Tjokroprawiro, 2001).

Penyebab diabetes mellitus dapat disebabkan oleh berbagai hal, dan juga terdapat
berbagai macam tipe diabetes mellitus. Kesemuanya akan dibahas di dalam makalah ini.

Rumusan Masalah
Apa Pengertian Diabetes Melitus ?
Apa penyebab Diabetes Melitus ?
Apa gejala Diabetes Melitus?
Bagaimana kasus Diabetes Melitus?
Bagaimana cara pengobatan Diabetes Melitus?
Apa saja Jenis-jenis Diabetes Melitus?

Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui pengertian Diabetes Melitus
Untuk mengetahui penyebab Diabetes Melitus
Untuk mengetahui gejala Diabetes Melitus
Untuk mengetahui kasus Diabetes Melitus
Untuk mengetahui cara pengobatan Diabetes Melitus.
Untuk mengetahui jenis-jenis Diabetes Melitus

BAB II
ISI
Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat
jumlahnya dimasa mendatang. Diabetes merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan
umat manusia abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap
diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun

23
kemudian, pada tahun 2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang (Suyono,
2006).

Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 1995).

DM merupakan penyakit yang menjadi masalah pada kesehatan masyarakat. Oleh


karena itu DM tercantum dalam urutan keempat prioritas penelitian nasional untuk penyakit
degeneratif setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler, rheumatik dan katarak
(Tjokroprawiro, 2001).

Diabetes mellitus tipe II merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan Diabetes Mellitus tipe I. Penderita diabetes mellitus tipe II
mencapai 90-95 % dari keseluruhan populasi penderita DM (Anonim, 2005).

Orang lanjut usia mengalami kemunduran dalam sistem fisiologisnya seperti kulit
yang keriput, turunnya tinggi badan, berat badan, kekuatan otot, daya lihat, daya dengar,
kemampuan berbagai rasa (senses), dan penurunan fungsi berbagai organ termasuk apa yang
terjadi terhadap fungsi homeostatis glukosa, sehingga penyakit degeneratif seperti DM akan
lebih mudah terjadi (Rochmah, 2006).

Umur secara kronologis hanya merupakan suatu determinan dari perubahan yang
berhubungan dengan penerapan terapi obat secara tepat pada orang lanjut usia. Terjadi
perubahan penting pada respon terhadap beberapa obat yang terjadi seiring dengan
bertambahnya umur pada sejumlah besar individu (Katzung, 2004).

Diabetes Mellitus (DM) pada geriatri terjadi karena timbulnya resistensi insulin pada
usia lanjut yang disebabkan oleh 4 faktor : pertama adanya perubahan komposisi tubuh,
komposisi tubuh berubah menjadi air 53%, sel solid 12%, lemak 30%, sedangkan tulang dan
mineral menurun 1% sehingga tinggal 5%. Faktor yang kedua adalah turunnya aktivitas fisik
yang akan mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan
insulin sehingga kecepatan transkolasi GLUT-4 (glucosetransporter-4) juga menurun. Faktor
ketiga adalah perubahan pola makan pada usia lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya gigi
geligi sehingga prosentase bahan makanan karbohidrat akan meningkat. Faktor keempat
adalah perubahan neurohormonal, khususnya Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1) dan
dehydroepandrosteron (DHtAS) plasma (Rochmah, 2006).

Prevalensi DM pada lanjut usia (geriatri) cenderung meningkat, hal ini dikarenakan
DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri dalam pengaruhnya
terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Dari jumlah tersebut dikatakan 50%
adalah pasien berumur > 60 tahun (Gustaviani, 2006).

Penyebab Diabetes Melitus

24
Diabetes melitus terjadi saat kadar gula (glukosa) di dalam darah terlalu tinggi.
Kondisi ini terjadi saat jumlah hormon insulin dalam tubuh tidak mencukupi untuk mengubah
glukosa menjadi energi. Akibatnya, glukosa menetap di dalam darah. Sel tubuh yang kebal
terhadap insulin, atau resistensi insulin, juga menjadi penyebab diabetes. Jika dibiarkan tanpa
pengobatan, Anda bisa saja mengalami komplikasi diabetes. Penyakit diabetes melitus ini
dapat disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari faktor keturunan, pengaruh lingkungan hingga
gaya hidup tidak sehat.

Faktor Genetik

Salah satu penyebab diabetes melitus yang tidak bisa dielakkan adalah faktor genetik.
Itu sebabnya, diabetes sering disebut penyakit keturunan. Namun, jangan dulu cemas,
menjadi keturunan seorang diabetes bukan berarti Anda pasti akan kena pula.

Faktor genetik memang membuat seseorang memiliki risiko lebih besar untuk kena
diabetes. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa risiko seorang anak terkena penyakit
diabetes akan lebih besar ketika ibunya memiliki penyakit ini juga. Jika kedua orangtuanya
memiliki diabetes, risikonya lebih besar lagi bisa mencapai sekitar 50 persen. Menurut
American Diabetes Association, diabetes melitus tipe 2 memiliki hubungan yang sangat kuat
dengan riwayat dan keturunan keluarga, dibandingkan dengan diabetes tipe 1. Para ahli
menduga bahwa ada gen khusus penyebab diabetes melitus yang bisa diturunkan dari
orangtua ke generasi-generasi selanjutnya. Sayangnya, para ahli masih sulit untuk
menentukan gen mana yang jadi penyebab penyakit gula ini.

Faktor Usia

Selain genetik, faktor usia juga bisa menjadi salah satu penyebab Anda berisiko kena
penyakit kencing manis. Seiring bertambahnya usia, maka risiko Anda terkena penyakit
diabetes pun akan meningkat. Sebenarnya usia tak hanya jadi penyebab diabetes saja, tapi
juga berbagai penyakit kronis lainnya, seperti penyakit jantung dan stroke. Hal ini bisa terjadi
karena berbagai penyakit, termasuk diabetes, dan usia memang saling berhubungan satu sama
lain. Semakin tua usia Anda, fungsi tubuh juga akan mengalami penurunan, termasuk cara
tubuh mengolah gula dalam darah. Alhasil, penyakit semacam ini banyak ditemukan pada
orang tua. Selain penurunan fungsi-fungsi tubuh, usia juga menyebabkan daya tahan tubuh
menurun. Hal ini bisa mempermudah terjadinya infeksi pada organ tubuh tertentu yang
bertugas mengatur kadar gula darah normal. Faktor penyebab diabetes melitus yang
menyerang seiring berjalannya waktu ini, membuat dokter merekomendasikan pasiennya
yang berusia 45 tahun atau lebih untuk mengikuti pemeriksaan diabetes.

Autoimun

Usia memang jadi faktor risiko penyebab diabetes melitus. Namun, anak-anak dan
remaja juga bisa mengalami diabetes. Diabetes tipe 1 merupakan jenis diabetes yang paling
umum menyerang penderita berusia muda, akibat hilangnya kemampuan tubuh untuk

25
memproduksi hormon insulin. Penyebab diabetes pada anak ini biasanya adalah kondisi
autoimun yang menyebabkan sistem imun tubuh justru menyerang dan merusak sel-sel di
dalam pankreas, yaitu organ tempat pembentukan insulin. Rusaknya sel-sel pankreas
menyebabkan organ ini tidak dapat mengeluarkan hormon insulin yang cukup atau berhenti
total memproduksi hormon tersebut sepenuhnya.

Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan masalah autoimun ini. Namun,
para peneliti menduga infeksi virus penyakit tertentu memicu sistem imun untuk bereaksi
secara berlebihan dan merusak sel sehat dalm tubuh.

Resistensi insulin

Kombinasi antara faktor keturunan penyakit dan gaya hidup yang buruk dapat
menjadi penyebab resistensi insulin. Resistansi insulin adalah kondisi saat sel-sel tubuh tidak
merespon insulin dengan benar, alias “kebal”. Padahal, insulin bertugas untuk membantu sel
tubuh menyerap glukosa dalam darah. Akibatnya, tubuh tak lagi bisa menyerap gula yang ada
di dalam darah untuk mengubahnya menjadi energi.Kondisi tersebut membuat kadar gula
dalam darah akan semakin tinggi dan menyebabkan diabetes. Anda mungkin saja
menghasilkan cukup hormon insulin untuk menyalurkan glukosa ke dalam sel-sel tubuh.
Namun, tubuh Anda belum tentu “mengenali” insulin secara benar sehingga gula tetap
menumpuk di dalam darah. Jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus, risiko Anda terkena
penyakit diabetes tipe 2 akan semakin tinggi. Jadi, bisa disimpulkan bahwa terjadinya
resistensi insulin merupakan penyebab diabetes melitus tipe 2.

Kondisi medis tertentu

Ada banyak penyebab diabetes melitus yang mungkin tak pernah Anda duga
sebelumnya. Dalam beberapa kasus kemunculan penyakit diabetes bisa dipicu oleh beberapa
penyakit tertentu, seperti:

Sindrom polikistik ovarium (PCOS): penyebab utama PCOS adalah obesitas yang
erat kaitannya dengan resistensi insulin dan diabetes. Jika sudah mengalami resistansi
insulin, Anda lebih berisiko untuk memiliki prediabetes.

Pankreatitis atau radang pankreas: organ ini bertugas untuk menghasilkan hormon insulin
yang fungsinya menjaga gula darah tetap normal.

Sindrom Cushing: kondisi meningkatnya produksi hormon kortisol yang akan meningkatkan
kadar glukosa darah.

Glucagonoma: penyakit ini bisa jadi penyebab diabetes melitus karena tubuh tidak bisa
menghasilkan hormon insulin yang cukup.

Gejala Diabetes Melitus

26
Gejala awal diabetes adalah penderita merasa lemas, tidak bertenaga, ingin makanan
yang manis, sering buang air kecil, dan mudah sekali merasa haus. Dan setelah jangka
panjang tanpa perawatan memadai, dapat memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:
Gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan
Gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal
Gangguan pada jardiovaskula, disertai lesi membrane basalis yang dapat diketahui dengan
pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron
Gangguan pada sistem saraf hingga disfungsi autonom, foot ulcer, amputasi, charcit joint,
dan disfungsi seksual.
Dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria, dan hiperosmolar nonketotik yang
dapat berakibat pada stupor dan koma. Kata diabetes mellitus itu sendiri mengacu pada
simtoma yang disebut glikosuria, atau kencing manis, yang terjadi jika tidak segera
mendapatkan perawatan.
Contoh Study Kasus Diabetes Melitus

Ny. Melati, 45 tahun datang ke poli penyakit dalam dengan keluhan badan berasa
letih sejak 1 bulan ini. Dari anamnesis diketahui bahwa disamping letih juga dapat penurunan
berat bdan dan kesemutan pada kedua tungkai. Dari pemeriksaan fisik didapatkan BB 70 kg
dan TB 150 cm, sensibilitas di kedua tugkai berkurang pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan gula darah sewaktu 240mg/dl. Dokter mendiagnosis Ny. Melati sebagai penderita
Diabetes Melitus, sebelum diberikan obat, dokter menerangkan pada Ny. Melati dan
suaminya segala sesuatu tentang diabetes termasuk pengaturan died. Ny. Melati tidak habis
piker, karena ia sampai menderita diabetes, sementara dari pihak keluarga tidak ada yang
menderita penyakit ini. Ny. Melati khawatir jika anaknya juga terkena DM. namun demikian
Ny. Melati berjanji akan mematuhi semua nasehat dokter, karena Ny. Melati sangat takut
melihat tetangganya yang juga menderita diabetes terkena stroke.

Pertanyaan

Mengapa terjadi penurunan berat badan, keletihan dan kesemutan pada tungkai ?

Jawab :

Penurunan berat badan ketika kadar darah meningkat, sehingga mekanis energi
menurun. Respon tubuh untuk memenuhi kebutahan glukosa adalah dengan cara memecah
protein, lemak, dan cadangan glikogen. Sedangkan glukosa dalam darah tidak bisa dirubah
menjadi glikogen, melainkan langsung dikeluarkan melalui urin.

Jelaskan proses terjadinya stroke yang disebabkan oeleh DM ?

Jawab :

DM dapat menyebabkan stroke iskemik karena terbentuknya plakat erosklerotik pada


dinding pembulu darah yang disebabkan oleh gangguan metabolism glukosa sistematik. DM

27
mempercepat kejadian aterosklerosis baik pada pembuluh darah kecil maupun pembuluh
darah besar diseluruh pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.

Pengobatan Diabetes Melitus

Pasien diabetes diharuskan untuk mengatur pola makan dengan memperbanyak


konsumsi buah, sayur, protein dari biji-bijian, serta makanan rendah kalori dan lemak. Bila
perlu, pasien diabetes juga dapat mengganti asupan gula dengan pemanis yang lebih aman
untuk penderita diabetes, sorbitol. Pasien diabetes dan keluarganya dapat berkonsultasi
dengan dokter atau dokter gizi untuk mengatur pola makan sehari-hari. Untuk membantu
mengubah gula darah menjadi energi dan meningkatkan sensitivitas sel terhadap insulin,
pasien diabetes dianjurkan untuk berolahraga secara rutin, setidaknya 10-30 menit tiap hari.
Pasien dapat berkonsultasi dengan dokter untuk memilih olahraga dan aktivitas fisik yang
sesuai.

Pada diabetes tipe 1, pasien akan membutuhkan terapi insulin untuk mengatur gula
darah sehari-hari. Selain itu, beberapa pasien diabetes tipe 2 juga disarankan untuk menjalani
terapi insulin untuk mengatur gula darah. Insulin tambahan tersebut akan diberikan melalui
suntikan, bukan dalam bentuk obat minum. Dokter akan mengatur jenis dan dosis insulin
yang digunakan, serta memberitahu cara menyuntiknya. Pada kasus diabetes tipe 1 yang
berat, dokter dapat merekomendasikan operasi pencangkokan (transplantasi) pankreas untuk
mengganti pankreas yang mengalami kerusakan. Pasien diabetes tipe 1 yang berhasil
menjalani operasi tersebut tidak lagi memerlukan terapi insulin, namun harus mengonsumsi
obat imunosupresif secara rutin.

Pada pasien diabetes tipe 2, dokter akan meresepkan obat-obatan, salah satunya
adalah metformin, obat minum yang berfungsi untuk menurunkan produksi glukosa dari hati.
Selain itu, obat diabetes lain yang bekerja dengan cara menjaga kadar glukosa dalam darah
agar tidak terlalu tinggi setelah pasien makan, juga dapat diberikan. Pasien diabetes harus
mengontrol gula darahnya secara disiplin melalui pola makan sehat agar gula darah tidak
mengalami kenaikan hingga di atas normal. Selain mengontrol kadar glukosa, pasien dengan
kondisi ini juga akan diaturkan jadwal untuk menjalani tes HbA1C guna memantau kadar
gula darah selama 2-3 bulan terakhir.

Jenis-jenis Diabetes Melitus

Terdapat tiga macam tipe diabetes mellitus, yaitu:


Diabetes Mellitus Tipe I

28
Diabetes mellitus tipe I adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan absolute
insulin. Penyakit ini disebut diabetes mellitus dependen insulin (DMDI). Pengidap
penyakit ini harus mendapatkan insulin pengganti. Diabetes tipe I biasanya dijumpai
pada orang yang tidak gemuk berusia kurang dari 30 tahun, dengan perbandingan
laki-laki sedikit lebih banyak daripada wanita. Karena insidens diabetes tipe I
memuncak pada usia remaja dini, maka dahulu bentuk ini disebu sebagai diabetes
juvenile. Namun, diabetes tipe I dapat timbul pada segala usia.
Diabetes Mellitus Tipe II
Diabetes mellitus tipe II adalah penyakit hiperglikemia akibat insensitivitas sel
terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang
normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pancreas, maka diabetes
mellitus tipe II dianggap sebagai noninsulin dependent diabetes mellitus (NIDDM).
Diabetes mellitus tipe II biasanya timbul pada orang yang berusia lebih dari 30
tahun, dan dahulu disebut sebagai diabetes awitan dewasa. Pasien wanita lebih
banyak daripada pria.
Diabetes Gestasional
Diabetes gestasiional terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap
diabetes. Sekitar 50% wanita pengidap kelainan ini akan kembali ke status
nondiabetes setelah kehamilan berakhir. Namun, risiko mengalami diabetes tipe II
pada waktu mendatang lebih besar daripada normal.

BAB III
PENUTUP
Simpulan

29
Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat
jumlahnya dimasa mendatang.

Diabetes tipe 1 terjadi karena sistem kekebalan tubuh penderita menyerang dan
menghancurkan sel-sel pankreas yang memproduksi insulin. Hal ini mengakibatkan
peningkatan kadar glukosa darah, sehingga terjadi kerusakan pada organ-organ tubuh.
Diabetes tipe 1 dikenal juga dengan diabetes autoimun. Pemicu timbulnya keadaan autoimun
ini masih belum diketahui dengan pasti. Dugaan paling kuat adalah disebabkan oleh faktor
genetik dari penderita yang dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan.

Diabetes tipe 2 merupakan jenis diabetes yang lebih sering terjadi. Diabetes jenis ini
disebabkan oleh sel-sel tubuh yang menjadi kurang sensitif terhadap insulin, sehingga insulin
yang dihasilkan tidak dapat dipergunakan dengan baik (resistensi sel tubuh terhadap insulin).
Sekitar 90-95% persen penderita diabetes di dunia menderita diabetes tipe ini.

Selain kedua jenis diabetes tersebut, terdapat jenis diabetes khusus pada ibu hamil
yang dinamakan diabetes gestasional. Diabetes pada kehamilan disebabkan oleh perubahan
hormon, dan gula darah akan kembali normal setelah ibu hamil menjalani persalinan.

Saran
Melihat banyaknya kasus diabetes yang terjadi, sudah seharusnya kita menerapkan gaya
hidup sehat dengan menghindari faktor-faktor risiko penyebab diabetes yang tidak mengenal
umur ataupun gender.

DAFTAR PUSTAKA
Marilynn. E. Doenges. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta. 2002. Petunjuk
Praktis Pengolahan Diabetes Melitus Tipe 2. PB Perkeni.

Schwartz, M. William. 2004. Pedoman Klinik Pediatri. Jakarta: EGC

Silvia & Lorraine. 2006 . Patofisiologi Konsep-Konsep Penyakit. EGC Jakarta .

Tjokroprawito, Askandar. 1989. Diabetes Melitus Klasifikasi, Diagnosis, dan Terapi. PT


Gramedia Pustaka Utama.

30
MAKALAH
“MATERI DIABETES MELLITUS”

31
Dosen Pengampu : Mery Merlisia, S.Gz, M.P.H

DISUSUN
OLEH

UTARI 183001010016

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI
2020/2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala Rahmat, Petunjuk,
dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas
mata kuliah. Makalah ini dapat digunakan sebagai sarana untuk menambah pengetahuan, dan
referensi tambahan dalam belajar. Makalah ini dibuat sedemikian rupa agar pembaca dapat
dengan mudah mempelajari dan memahami “Diabetes Mellitus (DM)” secara lebih lanjut.
Segala upaya telah dilakukan untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak
mustahil apabila dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat dijadikan masukan dalam
menyempurnakan makalah selanjutnya.

32
Jambi, 06 Maret 2021

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii


DAFTAR ISI.............................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
Latar Belakang Masalah.................................................................................. 1
Rumusan Masalah............................................................................................ 1
Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1
Manfaat Penulisan........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................... 3
2.1. Diabetes Mellitus................................................................................................ 3
2.1.1. Pengertian Diabetes Mellitus..................................................................... 3
2.1.2. Macam-Macam Diabetes Mellitus............................................................. 3
2.1.3. Faktor-Faktor Predisposisi.......................................................................... 4

33
2.1.4. Gejala dan Keluhan Diabetes Mellitus...................................................... 7
2.1.5. Komplikasi Diabetes Mellitus.................................................................... 8
2.1.6. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus........................................................... 9
2.2. Diet Diabetes Mellitus........................................................................................ 12
2.2.1. Pengertian Diet Diabetes Mellitus.............................................................. 12
2.2.2. Tujuan Diet Diabetes Mellitus.................................................................... 12
2.2.3. Syarat-Syarat Diet Diabetes Mellitus......................................................... 13
2.2.4. Pengaturan Diet Diabetes Mellitus............................................................. 15
2.3. Kepatuhan Diet Diabetes Mellitus.................................................................... 16

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 17


3.1. Kesimpulan.......................................................................................................... 17
3.2. Saran..................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 18

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada
produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia. Penyakit ini tidak hanya
berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara. Walaupun belum ada
survei nasional, sejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyarakat
Indonesia diperkirakan penderita

DM ini semakin meningkat, terutama pada kelompok umur dewasa keatas pada seluruh
status sosial ekonomi. Saat ini upaya penanggulangan penyakit DM belum menempati skala
prioritas utama dalam pelayanan kesehatan, walaupun diketahui dampak negatif yang
ditimbulkannya cukup besar antara lain komplikasi kronik pada penyakit jantung kronis,
hipertensi, otak, system saraf, hati, mata dan ginjal.

DM atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh


peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon insulin baik

34
absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti
jumlahnya cukup/memang sedikit tinggi atau daya kerjanya kurang.

Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
Apakah pengertian Diabetes Mellitus (DM) ?
Bagaimanakah penyusunan program diet Diabetes Mellitus (DM) ?
Apa sajakah tujuan diet Diabetes Mellitus (DM)
Apakah definisi dari kepatuhan diet diabetes mellitus

Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami definisi Diabetes Mellitus (DM)
Untuk mengetahui cara menyusun program diet Diabetes Mellitus (DM)
Untuk mengetahui dan memahami tujuan diet Diabetes Mellitus (DM)
Untuk memahami definisi dari kepatuhan diet Diabetes Mellitus (DM)

Manfaat Penulisan
Bagi penulis, makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan penulis
tentang cara mencegah terjadinya penyakit diabetes mellitus, baik bagi diri sendiri
maupun keluarga terdekat.
Bagi pembaca, makalah ini bermanfaat untuk menambahkan khazanah keilmuwan
dalam hal memahami gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes mellitus
serta cara pencegahannya, agar dapat mengurangi korban kematian bagi
penderitanya.

35
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Diabetes Mellitus
2.1.1. Pengertian Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) yang dikenal dengan kencing manis atau kencing gula.
Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemik kronik disertai berbagai kelainan metabolik
akibat gangguan hormonal. Kadar glukosa dalam darah kita biasanya berfluktuasi, artinya
naik turun sepanjang hari dan setiap saat, tergantung pada makan yang masuk dan aktivitas
fisik seseorang (Mistra, 2005).
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa dibentuk di hati dari
makanan yang dikonsumsi. Insulin, yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas,
mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya
(Smeltzer & Bare, 2002).
Tabel 2.1 Gula Darah Normal, IFG, IGT, dan Diabetes
(Sumber : Tandra, 2009)
Kadar Glukosa Darah mg/dl mol/dl
Normal
Puasa < 100 < 5,6
2 jam sesudah makan < 140 < 7,8
Impaired Fasting Glucose
(IFG) ≥ 100 & > 126 ≥ 5,6 & < 7,0
Puasa < 140 < 7,8

36
2 jam sesudah makan
Impaired Glucose Tolerance
(IGT) < 126 < 7,0
Puasa ≥ 140 & < 200 ≥ 7,8 & < 11,1
2 jam sesudah makan
Diabetes Mellitus
Puasa ≥ 126 ≥ 7,0
2 jam sesudah makan > 200 > 11,1

37
2.1.2. Macam-macam Diabetes Mellitus
Menurut Maulana (2009), diabetes mellitus terdiri dari dua jenis, yaitu
diabetes mellitus yang tergantung pada insulin (IDDM) atau diabetes Tipe I, dan
diabetes mellitus yang tidak tergantung pada insulin (NIDDM atau Diabetes Tipe II)
1). Diabetes Mellitus yang tergantung pada insulin (IDDM) atau Diabetes Tipe I
Diabetes mellitus tipe 1 dicirikan dengan hilangnya sel penghasil insulin pada
pulau-pulau langerhans pankreas sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh.
Diabetes tipe ini dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Sampai saat ini, diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga tidak
bisa menyembuhkan atau pun mencegah diabetes tipe 1. Kebanyakan penderita
diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini
dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respon tubuh terhadap insulin umumnya
normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Saat ini diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin,
dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor
pengujian darah, pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal
sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis
bisa menyebabkan koma bahkan bisa menngakibatkan kematian. Penekan juga
diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian
injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang
memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari paa da tingkat dosis
yang telah ditentukan,juga dimungkinkan pemberian dosis dari insulin yang dibutuhkan
pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin
melalui ”inhaled powder”.

2). Diabetes Mellitus yang tidak tergantung pada insulin (NIDDM atau Diabetes Tipe II)
Diabetes mellitus tipe 2 terjadi karena kombinasi dari ”kecacatan dalam
produksi insulin” dan resistensi terhadap insulin” atau ”berkurangnya sensitifitas
terhadap insulin” (adanya defekasi respon jaringan terhadap insulin) yang
melibatkan reseptor insulin di membran sel. Pada tahap awal abnormalitas yang
paling utama adalah berkurangnya sensitivitas terhadap insulin, yang ditandai
dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Pada tahap ini, hiperglikemia
dapat diatasi dengan berbagai cara dan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan
sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun
semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan
insulin kadang dibutuhkan.

Diabetes tipe kedua ini disebabkan oleh kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap
insulin. Pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal.

38
Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin
relatif. Gejala pada tipe kedua iuni terjadi secara perlahan-lahan. Dengan pola hidup
sehat, yaitu mengkonsumsi makanan bergizi seimbang dan olah raga secara teratur
biasanya penderita berangsur pulih. Penderita juga harus dapat mempertahankan berat
badan yang normal. Namun, bagi penderita stadium terakhir, kemungkinan akan diberikan
suntikan insulin.

2.1.3. Faktor-faktor Predisposisi


Faktor-faktor predisposisi terjadinya diabetes mellitus menurut Tandra (2008),
meliputi keturunan, ras atau etnis, obesitas, metabolic sydndrome, kurang gerak badan,
penyakit lain, usia, riwayat diabetes pada kehamilan, infeksi, stres, obat-obatan.
1). Keturunan
Apabila ibu, ayah, kakak, atau adik mengidap diabetes, kemungkinan diri juga
terkena diabetes lebih besar daripada bila yang menderita diabetes adalah kakek, nenek,
atau saudara ibu dan saudara ayah. Sekitar 50% pasien diabetes tipe 2 mempunyai orang
tua yang menderita diabetes, dan lebih sepertiga pasien diabetes mempunyai saudara yang
mengidap diabetes. Diabetes tipe 2 lebih banyak terkait dengan faktor riwayat keluarga
atau keturunan ketimbang diabetes tipe 1. Pada diabetes tipe 1, kemungkinan orang
terkena diabetes hanya 3-5% bila orang tua dan saudaranya adalah pengidap diabetes.
2). Rasa atau etnis
Beberapa ras tertentu, seperti suku Indian di Amerika, Hispanik, dan orang
Amerika di Afrika, mempunyai risiko lebih besar terkena diabetes tipe 2. Kebanyakan
orang dari ras-ras tersebut dulunya adalah pemburu dan petani dan biasanya kurus.
Namun, sekarang makanan lebih banyak dan gerak badannya makin berkurang sehingga
banyak mengalami obesitas sampai diabetes dan tekanan darah tinggi. Pada orang-orang
Amerika di Afrika (African Americans) pada usia di atas 45 tahun, mereka yang kulit
hitam, terutama wanita, lebih sering terkena diabetes 1,4-2,3 kali daripada mereka yang
kulit putih.
3). Obesitas
Kegemukan adalah faktor risiko yang paling penting untuk diperhatikan. Sebab,
melonjaknya angka kejadian diabetes tipe 2 sangat terkait dengan obesitas. Lebih dari 8 di
antara 10 penderita diabetes tipe 2 adalah mereka yang obesitas. Makin banyak jaringan
lemak, jaringan tubuh dan otot akan makin resisten terhadap kerja insulin (insulin
resistance), terutama bila lemak tubuh atau kelebihan berat badan terkumpul di daerah
sentral atau perut (central obesity). Lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga
glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah.
4). Metabolic Syndrome
Menurut World Health Organization (WHO) dan National Cholesterol Education
Program : Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III), orang yang menderita Metabolic
Syndrome adalah mereka yang kelainan seperti : tekanan darah tinggi lebih dari 160/90
mmHg, trigliserida darah lebih dari 150 mg/dl, kolesterol HDL kurang dari 40 mg/dl,

39
obesitas sentral dengan BMI lebih dari 30, lingkar pinggang melebihi 102 cm pada pria
atau melebihi 88 cm pada wanita, atau sudah terdapat mikroalbuminuria. Metabolic
syndrome makin banyak kita temukan di masyarakat modern ini. Gaya hidup sekarang
yang kurang gerak dan banyak makan menyebabkan makin banyak orang yang mengidap
diabetes, hipertensi, obesitas, stroke, sakit jantung, nyeri sendi dan lain-lain.
5). Kurang Gerak Badan
Makin kurang gerak badan, makin mudah seseorang terkena diabetes. Olah raga
atau aktivitas fisik membantu kita untuk mengontrol berat badan. Glukosa darah dibakar
menjadi energi. Peredaran darah lebih baik. Dan risiko terjadinya diabetes tipe 2 akan
turun sampai 50%. Keuntungan lain yang dapat diperoleh dari olah raga adalah
bertambahnya massa otot. Biasanya 70-90% glukosa darah diserap oleh otot. Pada orang
tua atau yang kurang gerak badan, massa otot berkurang sehingga pemakaian glukosa
berkurang dan gula darah pun akan meningkat.
6). Penyakit Lain
Beberapa penyakit tertentu dalam prosesnya cenderung diikuti dengan tingginya
kadar glukosa darah di kemudian hari. Akibatnya, pasien juga bisa terkena diabetes.
Penyakit-penyakit itu antara lain : hipertensi, gout (pirai) atau radang sendi akibat kadar
asam urat dalam darah yang tinggi, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit pembuluh
darah perifer, atau infeksi kulit yang berulang.
7). Usia
Risiko terkena diabetes akan meningkat dengan bertambahnya usia, terutama
diatas 40 tahun, serta mereka yang kurang gerak badan, massa ototnya berkurang, dan
berat badannya makin bertambah. Namun, belakangan ini, dengan makin banyaknya anak
yang mengalami obesitas, angka kejadian diabetes tipe 2 pada anak dan remaja pun
meningkat.
8). Riwayat Diabetes pada Kehamilan
Diabetes pada kehamilan atau gestational diabetes dapat terjadi pada 2-5% ibu
hamil. Biasanya di abetes akan hilang setelah anak lahir. Namun, lebih dari setengahnya
akan terkena diabetes di kemudian hari. Semua ibu hamil harus diperiksa glukosa
darahnya. Ibu hamil dengan diabetes dapat melahirkan bayi besar dengan berat badan
lebih dari 4 kg. Apabaila ini terjadi, sangat besar kemungkinan si ibu akan mengidap
diabetes tipe 2 kelak.
9). Infeksi
Pada kasus diabetes tipe 1 yang terjadi pada anak, seringkali didahului dengan
infeksi flu atau batuk pilek yang berulang-ulang. Penyebabnya adalah infeksi oleh virus,
seperti mumps dan Coxsackie, yang dapat merusak sel pankreas dan menimbulkan
diabetes.
10). Stress
Stres yang hebat, seperti halnya infeksi hebat, trauma hebat, operasi besar, atau
penyakit berat lainnya, menyebabkan hormon counter-insulin (yang kerjanya berlawanan
dengan insulin) lebih aktif. Akibatnya, glukosa darah pun akan meningkat. Diabetes

40
sekunder ini biasanya hilang bila pengaruh stressnya teratasi. Diabetes ini kadang
ditemukan secara kebetulan pada waktu si pasien memeriksakan glukosa darahnya.
11). Obat-obatan
Beberapa obat dapat meningkatkan kadar glukosa darah, dan bahkan bisa
menyebabkan diabetes. Bila mempunyai risiko terkena diabetes, harus memakai obat-
obatan ini dengan sangat hati-hati. Obat-obatan yang dapat menaikkan glukosa darah
antara lain adalah hormon steroid, beberapa obat anti-hipertensi, dan obat untuk
menurunkan kolesterol.
2.1.4. Gejala dan Keluhan Diabetes Mellitus
Beberapa keluhan utama dari diabetes menurut Tandra (2008) adalah banyak
kencing, rasa haus, barat badan turun, rasa seprti flu, mata kabur, luka yang sukar sembuh,
rasa baal dan kesemutan, gusi merah dan bengkak kulit kering dan gatal, mudah kena
infeksi, dan gatal pada kemaluan.
1). Banyak kencing
Ginjal tidak dapat menyerap kembali gula yang berlebihan di dalam darah, gula
ini akan menarik air keluar dari jaringan, sehingga selain kencing menjadi sering dan
banyak, juga akan merasa dehidrasi atau kekurangan cairan.
2). Rasa Haus
Untuk mengatasi dehidrasi, rasa haus timbul dan akan banyak minum dan terus minum.
Kesalahan yang sering didapatkan adalah untuk mengatasi rasa haus, mencari softdrink
yang manis dan segar, akibatnya gula darah semakin naik dan hal ini dapat
menimbulkan komplikasi akut yang membahayakan.
3). Berat Badan Turun
Sebagai kompensasi dari pada dehidrasi dan harus banyak minum, mungkin mulai
banyak makan. Memang pada mulanya berat badan meningkat, akan tetapi lama kelamaan
otot tidak mendapat cukup gula untuk tumbuh dan energi, maka jaringan otot dan lemak
harus dipecah untuk memenuhi kebutuhan energi, berat badan menjadi turun, meskipun
makannya banyak, keadaan ini makin diperburuk oleh adanya komplikasi yang timbulnya
belakangan.
4). Rasa Seperti Flu dan Lemah
Keluhan diabetes dapat menyerupai sakit flu, rasa capek, lemah, dan nafsu makan
menurun. Pada diabetes, gula bukan lagi sumber energi, karena glukosa tidak dapat
diangkut ke dalam sel untuk menjadi energi.
5). Mata Kabur
Gula darah yang tinggi akan menarik keluar cairan dari dalam lensa mata, sehingga
lensa menjadi tipis, mata mengalami kesulitan untuk memfokus dan penglihatan jadi kabur.
Apabila bisa mengontrol glukosa darah dengan baik, penglihatan jadi membaik karena
lensa kembali normal. Orang diabetes sering berganti-ganti ukuran kacamata, karena gula
yang naik turun tidak terkontrol dengan baik.
6). Luka Yang Sukar Sembuh

41
Penyebab luka yang sukar sembuh adalah : pertama akibat dari infeksi yang hebat,
kuman atau jamur mudah tumbuh pada kondisi gula darah yang tinggi; yang kedua adalah
karena kerusakan dinding pembuluh darah, aliran darah yang tidak lancar pada kapiler
(pembuluh darah kecil) menghambat penyembuhan luka; dan yang ketiga adalah
kerusakan syaraf, luka yang tidak terasa menyebabkan penderita diabetes tidak menaruh
perhatian pada luka dan membiarkannya semakin membusuk.
7). Rasa baal dan kesemutan
Kerusakan syaraf disebabkan oleh glukosa yang tinggi merusak dinding pembuluh
darah, yang akan menggangu nutrisi pada syaraf. Karena yang rusak adalah saraf sensoris,
keluhan paling sering adalah rasa semutan atau tidak terasa, terutama pada tangan dan
kaki. Selanjutnya bisa timbul rasa nyeri pada anggota tubuh, betis, kaki, tangan, dan
lengan, bahkan bisa terasa seperti terbakar.
8). Gusi Merah dan Bengkak

Kemampuan rongga mulut menjadi lemah untuk melawan infeksi, maka terjadilah
gusi bengkak dan merah, infeksi, serta gigi yang tampak tidak rata dan mudah tanggal.

9). Kulit Kering dan Gatal

Kulit terasa kering, sering gatal dan infeksi. Keluhan ini biasanya menjadi
penyebab pasien datang memeriksakan diri ke dokter, lalu pada pemeriksaan dokter kulit
ditemukan adanya diabetes.

10). Mudah Kena Infeksi

Lekosit (sel darah merah) yang biasanya dipakai untuk melawan infeksi, tidak
dapat berfungsi dengan baik paeda keadaan gula darah yang tinggi. Diabetes membuat
lebih mudah terkena infeksi.

11). Gatal Pada Kemaluan

Infeksi jamur juga menyukai suasana gula darah yang tinggi. Vagina mudah
terkena infeksi jamur, mengeluarkan cairan kental putih kekuningan, serta timbul rasa
gatal.

2.1.5. Komplikasi Diabetes Mellitus

42
Bilous (2002) menyebutkan bahwa komplikasi dari diabetes dapat terjadi pada
semua organ atau semua sistem tubuh, misalnya saraf, jantung, pembuluh darah, ginjal,
mata, otak, dan lain-lain, yaitu:

1). Kerusakan Saraf (Neuropati)

Kerusakan saraf adalah komplikasi diabetes yang paling sering terjadi. Gula
darah yang tinggi akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler
yang memberi makan ke saraf, sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut
Neuropati Diabetik (Diabetic Neuropathy). Akibatnya adalah saraf tidak bisa mengirim
atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat
kirim, keluhan yang timbul bisa bervariasi, mungkin nyeri pada tangan dan kaki, atau
gangguan pencernaan, bermasalah dengan kontrol buang air besar atau kencing, dan
sebagainya.

2). Kerusakan Ginjal (Nefropati)

Kerusakan saringan ginjal timbul akibat glukosa darah yang tinggi (umumnya
diatas 200 mg/dl), lamanya diabetes, yang diperberat oleh tekanan darah yang tinggi
(tekanan darah sistolik diatas 130 mg dan diastolik diatas 85 mg). Makin lama kena
diabetes, maka semakin mudah pasien mengalami kerusakan ginjal.

3). Kerusakan Mata

Penyakit diabetes bisa merusak mata, dan menjadi penyebab utama dari
kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu
retinopati, katarak, dan glaukoma. Ketiganya bisa dicegah atau diperbaiki bila
ditemukan pada tahap awal penyakit.

43
4). Penyakit Jantung

Diabetes dapat menyebabkan berbagai penyakit jantung dan pembuluh darah


(kardiovaskuler), antara lain angina (nyeri dada atau chest pain), serangan jantung
(acute myocardial infarction), tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung koroner.
Diabetes merusak dinding pembuluh darah, yang menyebabkan penumpukan lemak
di dinding yang rusak tadi dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai
darah ke otot jantung berkurang, tekanan darah meningkat, dan dapat terjadi
kematian mendadak.

5). Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang memberikan keluhan yang dramatis
seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Orang diabetes cenderung terkena hipertnsi
dua kali lipat dibandingkan dengan yang tanpa diabetes. Hipertensi merusak pembuluh
darah, anrara 35 sampai 75 persen komplikasi diabetes adalah disebabkan hipertensi.

6). Stroke

Dasar timbulnya stroke adalah terjadinya arteriosklerosis atau penyempitan


pembuluh darah di otak. Dimulai dari proses inflamasi atau radang, diikuti dengan
penumpukan lemak, perlekatan dan penggumpalanm sel darah lekosit dan trombosit, serta
kolagen dan jaringan ikat lain pada dinding pembuluh darah, selanjutnya timbul
penyumbatan serta tidak ada suplai makanan dan oksigen ke jaringan, sehingga terjadi
kematian sel otak.

7). Impotensi
Kebanyakan impotensi pada pria diabetes disebabkan oleh gula darah yang tinggi
atau lebih lama mengidapo diabetes. Penyempitan pembuluh darah akan mengganggu aliran
darah untuk mengisi penis. Apabila saraf juga mengalami kerusakan, tidak dapat
menghantar impuls pengisian darah ke dalam pembuluh darah kecil di dalam penis, maka
penis menjadi lemas dan gagal untuk ereksi.
2.1.6. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba
menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi
terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes
adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa tejadinya hipoglekimia dan
gangguan serius pada pola aktivitas pasien. Ada lima komponen dalam penalaksanaan
diabetes mellitus antara lain :

1). Diet

44
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes.
Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini :

Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral)


Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
Memenuhi kebutuhan energi
Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang
aman dan praktis
Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat

2). Latihan

Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat


menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler. Latihan
akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh
otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki
dengan berolahraga. Latihan dengan membawa tahanan (resistance training) dapat
meningkatkan lean body mass dan dengan demikian menambah laju metabolisme
istirahat (resting metabolic rate).

3). Pemantauan Glukosa dan Keton

Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (SMBG : self-
monitoring of blood glucose), penderita diabetes kini dapat mengatur terapinya untuk
mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan
pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan berperan dalam menentukan kadar
glukosa darah normal yang kemungkinan akan mengurangi komplikasi diabetes jangka
panjang. Berbagai metode kini tersedia untuk melakukan pemantauan mandiri kadar
glukosa darah. Kebanyakan metode tersebut mencakup pengambilan setetes darah dari
ujung jari tangan, aplikasi darah tersebut pada strip pereaksi khusus, dan kemudian darah
tersebut (biasanya antara 45 dan 60 detik sesuai ketentuan pabrik). Untuk beberapa
produk, darah diapus dari strip (dengan menggunakan kapas atau kertas tisue sesuai
ketentuan pabrik). Bantalan pereaksi pada strip akan berubah warnanya dan kemudian
dapat dicocokkan dengan peta warna pada kemasan produk. Bagi penderita yang tidak
menggunakan insulin, pemantauan mandiri glukosa darah sangat membantu dalam
melakukan pemantauan terhadap efektivitas latihan, diet dan obat hipoglikemia oral.
Metode ini juga dapat membantu memotivasi pasien untuk melanjutkan terapinya. Bagi
penderita diabetes tipe II, pemantauan mandiri glukosa darah harus dianjurkan dalam
kondisi yang diduga dapat menyebabkan hiperglikemia atau hipoglikemia.

4). Terapi Insulin

45
Pada diabetes tipe I, tubuh kehilangan kemampuan untuk memprodusi insulin.
Dengan demikian, insulin eksogenus harus diberikan dalam jumlah tak terbatas. Pada
diabetes tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai jangka panjang untuk mengendalikan
kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Di
samping itu, sebagian pasien diabetes tipe II yang biasanya mengendalikan kadar glukosa
darah dengan diet dan obat oral kadang membutuhkan insulin secara temporer selama
mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian stress lainnya.
Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari (atau bahkan lebih sering lagi)
untuk mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dann pada malam
hari. Karena dosis insulin yang diperlukan masing-masing pasien ditentukan oleh kadar
glukosa dalam darah, maka pemantauan kadar glukosa yang akurat sangat penting.
Pemantauan mandiri kadar glukosa darah telah menjadi dasar dalam memberikan terapi
insulin.

5). Pendidikan

Diabetes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan perilaku penanganan


mandiri yang khusus seumur hidup. Karena diet, aktivitas fisik dan stres fisik serta
emosional dapat mempengaruhi pengendalian diabetes, maka pasien harus belajar untuk
mengatur keseimbangan berbagai faktor. Pasien bukan hanya harus belajar keterampilan
untuk merawat diri sendiri setiap hari guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar
glukosa darah yang mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya
hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka panjang. Penghargaan pasien
tentang pentingnya pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh penderita
diabetes dapat membantu perawat dalam melakukan pendidikan dan penyuluhan.

Diet Diabetes Mellitus


2.2.1. Pengertian Diet Diabetes Mellitus

Pada dasarnya penyusunan program diet diabetes mellitus adalah:

1). Perhitungan jumlah kalori perhari sesuai kebutuhan setiap penderita

2). Mengarah ke berat badan normal

3). Menunjang pertumbuhan

4). Mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal

5). Mencegah atau memperlambat berkembanngnya komplikasi vaskuler

6). Sesuai dengan kemampuan daya beli setiap penderita

7). Kommposisi sesuai dengan pola makan penderita sehari-hari.

46
Standar komposisi makanan yang dianjurkan adalah karbohidrat 60-70%, protein
10-15%, dan lemak 20-25%, jumlah kandungan kolesterol kurang dari 300 mg/hari,
berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh, kandungan serat sekitar 25 gram/hari, kasus-
kasus diabetes dengan hipertensi sebaiknya membatasi konsumsi garam. Menurut
Arisman (2004), penentuan jumlah kalori yang dibutuhkan dihitung berdasarkan Indeks
Masa Tubuh (IMT) yang ditentukan dengan rumus IMT = berat badan (kg) dibagi tinggi
badan (m)2. Klasifikasi IMT sebagai berikut

a) 17,0-18,4 = kurus
b) 18,5-25,0 = normal
c) 25,1-27,0 = gemuk

Penentuan gizi penderita dihitung dengan menggunakan Percentage Of Relative Body


Weigh (BBR) atau berat badan relative dengan rumus :
BBR = TB x 100%
BB-100
Dalam praktek, sebagai pedoman jumlah kalori yang diperlukan dalam sehari pada
penderita DM yang bekerja biasa menurut Darmono, (2007) adalah :

Kurus : BB X 40 – 50 kalori sehari.


Normal : BB X 30 kalori sehari.
Gemuk : berat badan (kg) dikalikan 20 kalori

Tujuan Diet Diabetes Mellitus

Menurut Smelzer dan Bare (2001), diet dan pengendalian berat badan
merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada
penderita diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini :

1). Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin, mineral)


2). Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai

3). Memenuhi kebutuhan energi

47
4). Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang
aman dan praktis

5). Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat

Bagi pasien yang memerlukan insulin untuk membantu mengendalikan kadar glukosa
darah, upaya mempertahankan konsistensi jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi
pada jam-jam makan yang berbeda merupakan hal penting. Di samping itu, konsistensi
interval waktu diantara jam makan dengan mengkonsumsi camilan (jika diperlukan), akan
membantu mencegah reaksi hipoglikemia dan pengendalian keseluruhan kadar glukosa
darah. Bagi pasien-pasien obesitas (khususnya pasien diabetes tipe II), penurunan berat
badan merupakan kunci dalam penanganan diabetes. Secara umum penurunan berat badan
bagi individu obesitas menjadi faktor utama untuk mencegah timbulnya penyakit diabetes.
Obesitas akan disertai peningkatan resistensi terhadap insulin dan merupakan salah satu
faktor utama yang menyertai diabetes tipe II. Sebagian besar penderita diabetes tipe II dan
memerlukan insulin atau obat oral untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya mungkin
dapat mengurangi signifikan atau bahkan menghapus sama sekali kebutuhan terapi
melalui penurunan berat badan. Bahkan penurunan berat yang hanya 10% dari total berat
badan dapat memperbaiki kadar glukosa darah secara signifikan. Untuk pasien-pasien
diabetes yang obesitas dan tidak menggunakan insulin, konsistensi dalam hal volume
makanan atau penentuan jam makan tidak begitu menentukan. Sebaliknya fokus utamanya
terletak padaa penurunan keseluruhan jumlah kalori yang dimakan. Namun demikian,
pasien tidak boleh terlambat untuk makan. Pengaturan jarak waktu makan di sepanjang
hari akan membuat pancreas dapat melakukan fungsinya dengan lebih teratur.
2.2.3. Syarat-Syarat Diet Diabetes Mellitus
Menurut Almatsier (2009), syarat-syarat diet diabetes mellitus adalah :
1). Energi cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal. Kebutuhan
energi ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan untuk metabolisme basal sebesar
25-30 kkal/kg BB normal, ditambah kebutuhan untuk aktivitas fisik dan keadaan khusus.
Makanan dibagi dalam 3 porsi besar, yaitu makan pagi (20%), siang (30%), dan sore
(25%), serta 2-3 porsi kecil untuk makanan selingan.
2). Kebutuhan protein normal, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total. Protein dapat
diperoleh dari berbagai macam sereal (roti, sereal, nasi, pasta, tepung terigu) atau yang
berasal dari hewani (daging, ikan, telur, dan hasil peternakan). Protein hewani relatif
cenderung kaya akan lemak dan kalori serta tidak mengandung karbohidrat, sehingga hal
ini perlu diperhitungkan saat merencanakan makan.
3). Kebutuhan lemak sedang, yaitu 20-25% dari kebutuhan energi total, dalam bentuk <
10% dari kebutuhan energi total berasal dari lemak jenuh, 10% dari lemak tidak jenuh
ganda, sedangkan sisanya dari lemak tidak jenuh tunggal. Asupan kolesterol makanan
dibatasi, yaitu ≤ 300 mg hari. Lemak jenuh (hewani) antara lain terdapat dalam daging
berlemak, susu full cream, mentega, dan lemak babi. Jenis makanan tersebut dapat
menyebabkan masalah dalam sirkulasi darah. Sangat penting mengkonsumsi jenis
makanan tersebut bagi setiap orang.Lemak tak jenuh agak lebih baik dibandingkan lemak
jenuh, yang terdapat dalam dua bentuk, yakni Lemak tak jenuh ganda, ditemukan dalam
beberapa produk, seperti minyak bunga matahari, minyak sayuran murni, minyak jagung,

48
dan margarin bunga matahari, dan lemak tak jenuh tunggal, antara lain ditemukan dalam
minyak zaitun dan minyak lokal. Jenis lemak ini dapat dipakai sebagai pengganti lemak
jenuh maupun lemak tak jenuh.
4). Kebutuhan karbohidrat adalah sisa dari kebutuhan energi total, yaitu 60-70%.
Contohnya adalah roti, kentang, pasta, nasi, sereal, dan buah. Kandungan gula makanan
tersebut sangat rendah dan merupakan sumber energi yang baik. Karena itu pilihlah
makanan tersebut sebagai menu harian.
5). Penggunaan gula murni dalam minuman dan makanan tidak diperbolehkan kecuali
jumlahnya sedikit sebagai bumbu. Bila kadar glukosa darah sudah terkendali,
diiperbolehkan mengonsumsi gula murni sampai 25% dari kebutuhan total.
6). Penggunaan gula alternatif dalam jumlah terbatas. Gula alternatif adalah bahan
pemanis selain sukrosa. Ada dua jenis gula alternatif yaitu yang bergizii dan yang tidak
bergizi. Gula alternatiff adalah fruktosa, gula alkohol berupa sorbitol, manitol dan silitol,
sedangkan gula alternatif tak bergizi berupa aspartam dan sakarin. Penggunaann gula
alternatif hendaknya dalam jumlah terbatas. Fruktosa dalam jumlah 20% dari kebutuhan
energi total dapat meningkatkan kolesterol dan LDL.
7). Asupan serat dianjurkan 25 g/hari dengan mengutamakan serat larut air yang terdapat
di dalam sayur dan buah. Menu seimbangg rata-rata memenuhi kebutuhan serat sehari.
8). Asupan Garam. Pasien diabetes mellitus dengan tekanan normal diperbolehkan
mengkonsumsi natrium daam bentuk garam dapur seperti sehat, yaitu 3000 mg/hari.
Apabila mengalami hipertensi, asupan garam harus dikurangi. Terlalu banyak garam tidak
bagi bagi siapa pun dan dapat menyebabkan tekanan darah tinggi.
9). Cukup vitamin dan mineral. Apabila asupan dari makanan cukup, penambahan vitamin
dan mineral dalam bentuk suplemen tidak diperlukan. Bila makan-makanan yang
seimbang, maka tidak memerlukan tambahan vitamin atau mineral. Sebagian ahli
berpendapat bahwa kekurangan elemen, seperti khromium dan selenium berperan dalam
serangan komplikasi diabetes. Namun, tidak ada cara untuk mengukur jumlah dalam
makanan maupun kadar yang diperlukan tubuh. Tampaknya sangat baik bila makan
makanan yang bervariasi untuk menjamin kecukupan vitamin dan mineral serta gizi
lainnya.

Tabel 2.2 Jenis Diet Diabetes Mellitus menurut kandungan energi, protein, lemak, dan
karbohidrat
(Sumber : Almatsier, 2006)

Jenis diet Energi kkal Protein g Lemak g Karbohidrat g


I 1100 43 30 172
II 1300 45 35 192
III 1500 51,5 36,5 235
IV 1700 55,5 36,5 275
V 1900 60 48 299
VI 2100 62 53 319

49
VII 2300 73 59 369
VIII 2500 80 62 396

Keterangan:

Jenis diet I s/d III diberikan kepada penderita yang gemuk.


Jenis diet IV s/d V diberikan kepada penderita diabetes normal tanpa
komplikasi.
Jenis diet VI s/d VIII diberikan kepada penderita kurus, diabetes remaja (juvenile
diabetes) atau diabetes dengan komplikasi.
2.2.4. Pengaturan Diet Diabetes Mellitus

Pengaturan diet diabetes mellitus, perlu mengetahui kebutuhan kalori sehari. Selain
membantu dalam kebutuhan kalori, ahli gizi / diet juga menyarankan variasi makanan
sesuai dengan daftar bahan makanan penukar. Porsi makanan hendaknya tersebar
sepanjang hari, yaitu makan pagi, makan siang, dan makan malam serta kudapan di antara
waktu makan. Menurut Almatsier (2009), jumlah dan jenis makanan yang dianjurkan
makan 3 kali sehari yang terdiri dari komposisi yang berimbang.

Tabel 2.3 Contoh menu diet diebetes mellitus (kkal)


(Sumber : Almatsier, 2006)

Waktu Bahan Penuka Takaran Men


makanan r u
Pagi Nasi 1½ 1 gelas Nasi
Telur ayam 1 1 butir Telur dadar
Tempe 1 2 ptg Oseng-oseng tempe
sedang
Sayuran A 2S Sop oyong + tomat
Minyak 2 1 sdm
Pukul 10.00 Buah 1 1 ptg sdg Pepaya
Siang Nasi 2 1 ½ gelas Nasi

50
Ikan 1 1 ptg sdg Pepes ikan
Tempe 1 1 Tempe goreng
Sayuran B 1 ¼ bh sdh Lalapan kacang + kol
Buah 1 1 bh Nanas
Minyak 2 1 ½ gelas
Pukul 16.00 Buah 1 1 sdm Pisang
Malam Nasi 1 1 bh Nasi
Ayam tanpa 1 1 ptg sdg Ayam bakar bb kecap
Kulit 1 Tahu bacem
Tahu 1 1 bh bs Stup buncis + wortel

2.3. Kepatuhan Diet Diabetes Mellitus


Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturan dalam
dan perilaku yang disarankan. Kepatuhan merupakan tingkat seseorang dalam
melaksanakan perawatan, pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh perawat,
dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Ketidakpatuhan adalah keadaan di mana
seorang individu atau kelompok berkeinginan untuk mematuhi, tetapi ada faktor
yang menghalangi kepatuhan terhadap nasehat yang berkaitan dengan kesehatan
yang diberikan oleh profesional kesehatan (Carpenito, 2000). Ketidakpatuhan pasien
terhadap aturan pengobatan pada prakteknya sulit dianalisa karena kepatuhan sulit
diidentifikasikan, sulit diukur dengan teliti dan tergantung banyak faktor (Smet,
2004).
Menurut Smet (2004) variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
seseorang yaitu demografi, penyakit, psikososial, dan dukungan sosial.
Demografi
Meliputi usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosio-ekonomi dan pendidikan.
Umur merupakan faktor yang penting dimana anak-anak terkadang tingkat kepatuhannya
jauh lebih tinggi daripada remaja, sedangkan faktor kognitif serta pendidikan seseorang
dapat juga meningkatkan kepatuhan terhadap aturan perawatan hipertensi.

Penyakit
Perilaku kepatuhan biasanya ditemuan rendah pada penyakit yasng sudah terlanjur
kronis serta saran-saran mengenai gaya hidup seperti mengurangi makanan berlemak,
olahraga dan berhenti merokok.

Psikososial
Sikap seseorang terhadap perilaku kepatuhan menentukan tingkat kepatuhan.
Kepatuhan seseorang merupakan hasil dari proses pengambilan keputusan orang tersebut,
dan akan berpengaruh pada persepsi dan keyakinan orang tentang kesehatan. Selain itu
keyakinan serta budaya juga ikut menentukan perilaku kepatuhan. Nilai seseorang
mempunyai keyakinan bahwa anjuran kesehatan itu dianggap benar maka kepatuhan akan
semakin baik.

Dukungan Sosial

51
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
keyakinan dan nilai kesehatan bagi individu serta memainkan peran penting dalam
program perawatan dan pengobatan.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa dibentuk di hati dari
makanan yang dikonsumsi. Insulin, yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas,
mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya
(Smeltzer & Bare, 2002).
Pada dasarnya penyusunan program diet diabetes mellitus adalah: 1). Perhitungan
jumlah kalori perhari sesuai kebutuhan setiap penderita 2). Mengarah ke berat badan normal

52
3). Menunjang pertumbuhan 4). Mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal
5). Mencegah atau memperlambat berkembanngnya komplikasi vaskuler 6). Sesuai dengan
kemampuan daya beli setiap penderita 7). Kommposisi sesuai dengan pola makan penderita
sehari-hari.

Menurut Smelzer dan Bare (2001), diet dan pengendalian berat badan
merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada
penderita diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini : 1). Memberikan
semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin, mineral), 2). Mencapai dan
mempertahankan berat badan yang sesuai, 3). Memenuhi kebutuhan energi, 4).
Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan
kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis, 5).
Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.
Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturan dalam
dan perilaku yang disarankan. Kepatuhan merupakan tingkat seseorang dalam
melaksanakan perawatan, pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh perawat,
dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Ketidakpatuhan adalah keadaan di mana
seorang individu atau kelompok berkeinginan untuk mematuhi, tetapi ada faktor
yang menghalangi kepatuhan terhadap nasehat yang berkaitan dengan kesehatan
yang diberikan oleh profesional kesehatan (Carpenito, 2000). Ketidakpatuhan pasien
terhadap aturan pengobatan pada prakteknya sulit dianalisa karena kepatuhan sulit
diidentifikasikan, sulit diukur dengan teliti dan tergantung banyak faktor (Smet,
2004).

3.2. Saran

Diabetes mellitus ini merupakan penyakit yang sangat sering dialami oleh
sebagian besar penduduk Indonesia, sehingga perlu penanganan yang intensif dan
berkesinambungan agar tidak sampai menyebabkan kematian pada penderitanya.
Oleh karena itu, program diet diabetes mellitus yang telah penulis paparkan diatas
smoga dapat bermanfaat dan diterapkan, untuk dapat mengatasi gejala-gejala
penyakit diabetes mellitus.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/url?client=internal-element-cse&cx=partner-pub-
6427355813933083:6561391845&q=https://pandidikan.blogspot.com/201
6/05/diabetes-mellitus
dm.html&sa=U&ved=2ahUKEwjWxdP0yJrvAhVEyzgGHW76DpI4ChA

53
WMAJ6BAgHEAI&usg=AOvVaw0fbDifNaERJC_5n1xP47ux. Diakses pada Hari
Sabtu, 06 Maret 2021.

https://www.google.com/url?client=internal-element-cse&cx=partner-pub-
6427355813933083:6561391845&q=http://repository.poltekkes-
denpasar.ac.id/2120/2/BAB%2520I.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwjWxdP0yJ
rvAhVEyzgGHW76DpI4ChAWMAF6BAgJEAE&usg=AOvVaw2TXB9 ml5Rj-
jTDqorRDEZa. Diakses pada Hari Sabtu, 06 Maret 2021.

https://www.google.com/url?client=internal-element-cse&cx=partner-pub-
6427355813933083:6561391845&q=http://repository.poltekkes-
denpasar.ac.id/2120/2/BAB%2520I.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwjWxdP0yJ
rvAhVEyzgGHW76DpI4ChAWMAF6BAgJEAE&usg=AOvVaw2TXB9 ml5Rj-
jTDqorRDEZa. Diakses pada Hari Sabtu, 06 Maret 2021.

https://www.google.com/url?client=internal-element-cse&cx=partner-pub-
6427355813933083:6561391845&q=http://repository.unimus.ac.id/566/2/ BAB
%25201.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwjWxdP0yJrvAhVEyzgGHW76D
pI4ChAWMAN6BAgIEAE&usg=AOvVaw0FBLFgdmNMmuBCf9sZl9DH. Diakses
pada Hari Sabtu, 06 Maret 2021.

https://www.google.com/url?client=internal-element-cse&cx=partner-pub-
6427355813933083:6561391845&q=https://pandidikan.blogspot.com/201
6/05/diabetes-mellitus-
dm.html&sa=U&ved=2ahUKEwjWxdP0yJrvAhVEyzgGHW76DpI4ChA
WMAJ6BAgHEAI&usg=AOvVaw0fbDifNaERJC_5n1xP47ux. Diakses pada Hari
Sabtu, 06 Maret 2021.

54
MAKALAH

Anemia

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi Pangan Gizi

Dosen Pengampu :Merry Merlisa S,Gz, M.Ph

Disusun oleh :

Lidya Yohana Boru Situmorang (183001010007)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

2021

55
56
KATA PENGANTAR

Puji syukur , itulah kiranya kata yang terindah yang patut kita ucapkan atas kehadirat
Tuhan yang maha esa yang telah memberikan karunia dan hidayah-nya kepada kita semua,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah tentang “Anemia” ini tepat pada
waktunya.

Makalah ini saya susun sebagai tugas untuk memenuhi proses pembelajaran dalam mata
kuliah Ekologi Pangan Gizi . Dalam penyusunan makalah ini saya mengucapkan terimakasih
kepada dosen mata kuliah Ekologi Pangan Gizi yang telah memberikan penjelasan kepada
saya tentang penyusunan makalah ini.

Semoga makalah yang saya susun ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami sendiri dan umumnya bagi
para pembaca sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Jambi, 04 Maret 2021

Penulis

57
DAFTAR ISI

Halaman

Cover

KATA PENGANTAR............................................................................................... i

DAFTAR ISI............................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN

Latar belakang..................................................................................................... 1
Rumusan masalah............................................................................................... 1
Tujuan................................................................................................................... 1
BAB 11 PEMBAHASAN

Definisi Anemia.................................................................................................. 6
Gejala Anemia..................................................................................................... 7
Penyebab Anemia............................................................................................... 9
Studi Kasus dan Cara Pengobatan Anemia.................................................... 10
Pencegahan Anemia........................................................................................... 11
BAB III PENUTUP

Simpulan............................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 15

58
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pada masalah gizi dapat menimbulkan suatu tidak seimbangnya tubuh pada manusia dan
dapat menimbulkan penyakit lainnya. Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat,
namun penangunggalanannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan
pelayanan kesehatan saja. Dan pada masalah gizi anemia gizi disini merupakan kondisi
sakit seseorang yang disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu perdarahan,
kekurangan makanan yang mengandung besi, dan lain-lain. Anemia gizi defisiensi dapat
dilihat dari kadar Hb, dan penderita yang sering mengalaminya yaitu pada wanita,
disebabkan karena menstruasi, kehamilan, dan pada bayi karena membutuhkan gizi zat
besi tinggi karena proses pertumbuhan yang cepat.

Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar di dunia terutama bagi


kelompok wanita usia produktif (WUS). Anemia pada usia WUS dapat menimbulkan
klelahan, badan lemah, penurunan kapasitas/kemampuan atau produktivias kerja. Bagi ibu
hamil. Anemia berperan pada peningkatan prevalensi kematian dan kesakitan ibu, dan
bagi bayi yang dapat meningkatkan resiko kesakitan dan kematian bayi, serta BBLR.

Di Indonesia, anemia gizi masih merupakan salah satu masalah gizi yang utama di
Indonesia, disamping tiga masalah gizi lainya, yaitu kurang kalori protein, defesiensi
vitamin A, dan gondok endemic. Dampak kekurangan zat besi pada ibu hamil dapat
diamati dari besarnya angka kesakitan dan kematian maternal, peningkatan angka
kesakitan dan kematian janin, serta resiko BBLR. Penyebab kematian maternal, antara
lain pendarahan pascapartum (disamping eklamsia, dan penyakit infeksi) dan plasenta
previa yang semua bersumber pada anemia defisiensi

Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah di Atas Adalah sebagai berikut :

Apa Definisi Anemia ?


Bagaimana Gejala Pada Anemia ?
Apa yang Menjadi Penyebab Anemia ?
Kasus Anemia dan Cara Pengobatannya ?
Bagaimana Pencegahan Pada Anemia ?

59
Tujuan
Adapun Tujuan dari Masalah di Atas Adalah Sebagai Berikut :

Untuk Mengetahui Definisi Anemia


Untuk Mengetahui Bagaimana Gejala Pada Anemia
Untuk Mengetahui Penyebab Anemia
Untuk Mengetahui Kasus dan Cara Pengobatan Anemia
Untuk Mengetahui Bagaiaman Pencegahan Pada Anemia

60
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Anemia
Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar
hemoglobin dan hematokrit di bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935). Anemia adalah
berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan
volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256).
Dengan demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau penyakit, melainkan
merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh dan
perubahan patotisiologis yang mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang seksama,
pemeriksaan fisik dan informasi laboratorium. Anemia , dalam bahasa yunani tanpa darah
adalah penyakit kurang darah yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah
merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan normal.Jika kadar hemoglobin kurang dari
14g/dl dan eritrosit kurang dari 41% pada pria , maka pria tersebut dikatakan anemia.
Demikian pula pada wanita , wanita yang memiliki kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dl
dan eritrosit kurang dari 37% , maka wanita itu dikatakan anemia.Berikut ini katagori
tingkat keparahan pada anemia. • Kadar Hb 10 gram- 8 gram disebut anemia ringan. •
Kadar Hb 8 gram -5 gram disebut anemia saedang. • Kadar Hb kurang dari 5 gram
disebut anemia berat. Karena hemoglobin terdapat dalam sel darah merah , setiap
ganguan pembentukan sel darah merah , baik ukuran maupun jumlahnya , dapat
menyebabkan terjadinya anemia.ganguan tersebut dapat terjadi ‘’pabrik’’ pembentukan
sel (sumsum tulang)maupun ganguan karena kekurangan komponen penting seperti zat
besi , asam folat maupun vitamin B 12. (Soebroto Ikhsan,Cara Mudah Mengatasi Problem
Anemia,Cetakan 1, Yogyakarta 2009)

61
Gejala Anemia
Gejala yang sering kali muncul pada penderita anemia di antaranya:

a. Lemah ,letih,lesu ,mudah lelah dan lunglai.

b. Wajah tampak pucat.

c. Mata berkunang-kunang.

d. Sulit berkosentrasi dan mudah lupa.

e. Sering sakit.

f. Pada bayi dan batita biasanya terdapat gejala seperti kulit pucat atau berkurangnya warna
merah muda pada bibir dan bawah kuku.Perubahan ini dapat terjadi perlahan-lahan sehingga
sulit disadari.

g. Jika anemia disebabkan penghancuran berlebihan dari sel darah merah ,makaterdapat
gejala lain seperyi jaundice,warna kuning pada bagian putih mata ,pembesaran limpa dan
warna urin seperti teh.

Penyebab Anemia
Anemia umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Gizi yang buruk atau
gangguan penyerapan nutrisi oleh usus. Juga adapat menyebabkan seseorang mengal;ami
kekurangan darah. Demikian juga pada wanita hamil atau menyusui, jika asupan zat besi
berkurang, besar kemungkinan akan terjadi anemia. Pendarahan saluran pencernaan,
kebocoran pada saringan darah di ginjal, menstruasi yang berlerbihan, serta para
pendonor darah yang tidak diimbangi dengan gizi yang baik dapat mjemiliki resiko
anemia.

Perdarahan akut juga dapat menyebabkan kekurangan darah. Pada saat terjadi
pendarahan yang hebat, mungkin gejala anemia belum tampak transfusi darah merupakan
tindakan penanganan terutama jika terjadi pendarahan akut. Pendarahan teresebut
biasanya tidak kita sadari. Pengeluaran darah biasanya berlangsung sedikit demi sedikit
dan dalam waktu yang lama.Berikut ini tiga kemungkinan dasar penyebab anemia :

1. Penghancuran sel darah merah yang berlebihan.

62
Bisa disebut anemia hemolitik ,muncul saat sel darah merah dihancurkan lebih cepat dari
normal (umur sel darah merah normalnya 120 hari).Sumsum tulang penghasil sel darah
merah tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan sel darah merah.

2. Kehilangan darah.

Kehilangan darah dapat menyebabkan anemia karena perdarahan berlebihan,pembedahan


atau permasalahan dengan pembekuan darah.Kehilangan darah yang banyak karena
menstruasi pada remaja atau perempuan juga dapat menyebabkan anemia.Semua faktor
ini akan meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat besi ,karena zat besi dibutuhkan untuk
membuat sel darah merah baru.

3. Produksi sel darah merah yang tidak optimal.

Ini terjadi saat sumsum tulang tidak dapat membentuk sel darh merah dalam jumpah
cukup.ini diakibatkan infeksi virus,paparan terhadap kimia beracun atau obat-
obatan(antibiotic, antikejang atau obat kanker)

Studi Kasus dan Cara Pengobatan Anemia


Menurut Proverawati, 2011 gejala anemia pada ibu hamil, meliputimerasa lelah atau
lemah, pucat dan konsentrasi terganggu. Dalampenelitian Siti Asyirah tahun 2012
diagnosa anemia dapat ditegakkan darihasil pemeriksaan fisik, yaitu konjugtiva tampak
pucat. Hal ini terjadikarena suplai oksigen pada bagian kepala sedikit, karena letaknya
jauh dari jantung. Melihat kondisi responden maka peneliti menyimpulkan bahwa tidak
ada kesenangan anatara paraktik atau keluhan pasien dengan teori yang sudah ada.

Menurut WHO (World Health Organization) anemia meupakansuatu keadaan dimana


kadar hemoglobin <11 gr% pada trimester I dan IIIserta <10,5 gr% pada trimester II.
WHO juga menyebutkan bahwa kadarhemoglobin antara 8 sampai 9,9 gr% termasuk
dalam kategori anemiaringan. Dalam penelitian Siti Asyirah tahun 2012 diagnosa anemia
dapatditegakkan dari pemeriksaan kada hemoglobin. Proverawati 2011 danpenelitian Sitti
Asyirah tahun 2012 menyebutkan bahwa kandungan tanindalam teh dapat menghambat
penyerapan zat besi.Menurut Saminem, 2009 pada usia kehamilan 32-33
minggumerupakan puncak hemodilusi atau pengenceran darah, dimanapertambahan
antara plasma darah dengan eritrosit tidak seimbang, dimanapenambahan plasma darah

63
mencapai 25 sampai 30% sedangkanpenambahan sel darah merah hanya 20%, sehingga
menyebabkan anemiafisiologis. Menurut Prawirohardjo, 2009 setiap 60 mg elemen besi
dapatmeningkatkan kadar hemoglobin 1 gr%.

Berdasarkan asuhan kebidanan yang telah diberikan dengan menggunakanmetode 7


langkah evaluasi cara mengkonsumsi tablet Fe, evaluasikonsumsi makanan yang
mengandung zat besi dan evaluasi kenaikankadar hemoglobin Varney, maka peneliti
menarik kesimpulan sebagaiberikut :

Dari pengkajian data yang dilakukan peneliti memperoleh datasubyektif bahwa pasien
mengeluh pusing atau pandangan menjadikabur saat bangun dari posisi tidur ke posisi
duduk, badan lemas,mudah capek dan mudah mengantuk. Responden juga
mengatakansering minum teh hangat setelah minum tablet Fe karena respondenmual.
Sedangkan dari data obyektif atau pemeriksaan konjugtiva pucatdan kadar
hemoglobin 8,6 gr%.
Interpretasi data dasar dari hasil pengkajian data peneliti menegakkandiagnosa bahwa
responden mengalami anemia ringan.
Diagnosa potensial yang mungkin terjadi pada responden adalahanemia sedang.
Tindakan segera yang dilakukan peneliti untuk mencegah masalahpotensial adalah
memberikan terapi tablet Fe dan mengevaluasikenaikan kadar hemoglobin setiap 1
minggu sekali.
Perencanaan yang dilakukan peneliti untuk kunjungan yang dilakukansetiap minggu
Implementasi dari setiap kunjungan
Evaluasi dari kunjungan yang dilakukan
Cara Pengobatan Anemia

Pengobatan akan tergantung pada gejala, usia, dan kesehatan tubuh ibu hamil itu sendiri.
Namun juga akan tergantung pada seberapa parah kondisinya. Anemia selama kehamilan
dapat dengan mudah diobati dengan menmabahkan suplemen zat besi atau vitamin ke dalam
asupan rutinitas harian. Perawatan untuk anemia kekurangan zat besi, biasa dilakukan dengan
mengambil sumplemen zat besi. Bebetapa bentuk dirilis waktu yang lain harus diminum
beberapa kali secara rutin setiap hari. Mengkonsumsi zat besi dengan jus jeruk dapat
membantu tubuh menyerapnya dengan lebih baik. Mengkonsumsi antasida dapat mempersulit
tubuh kita menyerap zat besi. Suplemen zat besi ini dapat menyebabkan feses menjadi warna
hijau kehitaman atau selain itu juga menyebabkan sembelit. Perlu diketahui, anemia hanyalah

64
sebuah gejala dan menemukan penyebabnya adalah langkah penting dalam penanganan
anemia.Pada dasarnya pengobatan akan disesuaikan dengan penyebab terjadinya anemia.

Pencegahan Pada Anemia


1) Pencegahan Primer pada Anemia

a) Pendidikan

Pendidikan dan upaya yang ada kaitannya dengan peningkatan asupan zat besi melalui
makanan Konsumsi tablet zat besi dapat menimbulkan efek samping yang mengganggu
sehingga orang cenderung menolak tablet yang diberikan. Agar mengerti, harus diberikan
pendidikan yang tepat misalnya tentang bahaya yang mungkin terjadi akibat anemia, dan
harus pula diyakinkan bahwa salah satu penyebab anemia adalah defisiensi zat besi. Asupan
zat besi dari makanan dapat ditingkatkan melalui tiga cara : a) Pemastian konsumsi makanan
yang cukup mengandung kalori sebesar yang semestinya dikonsumsi. b) Meningkatkan
ketersediaan hayati zat besi yang dimakan, yaitu dengan jalan mempromosikan makanan
yang dapat memacu dan menghindarkan pangan yang bisa mereduksi penyerapan zat besi. c)
peningkatan gizi berupa makan makanan yang mengandung vitamin zat bezi, seperti sayur-
sayuran (bayam, kangkung, jagung), telur, kismis.

b) Pola Istirahat Mengacu pada kegiatan/aktifitas yang mengakibatkan tubuh


mengalami/beresiko terkena anemia.menghindari kondisi dimana tubuh mengalami gangguan
pembentukan sel darah merah.dan istirahat yang dianjurkan adalah minimal 8 jam per hari.

c) Pola Hidup Menjaga agar sedikitnya jumlah hemoglobin dalam eritrosit. Kekurangan
hemoglobin ini menyebabkan kemampuan darah mengikat oksigen berkurang.

d) Pola Aktifitas Menjaga kondisi dimana tubuh kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk
sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat. Selebihnya merupakan akibat
dari beragam kondisi seperti perdarahan, kelainan genetik, penyakit kronik, keracunan obat,
dan sebagainya. Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan

65
oksigen. Melakukan tes darah secara rutin untuk melihat profil darah dan mencegah
terjadinya anemia.

e) Melakukan tes laboratorium Mengetahui kandungan B12 dalam darah sehingga bisa
membedakan antara anemia biasa dengan anemia pernicious. Bila ternyata kadar vitamin B12
normal, maka dapat dilakukan pemberian asam folat dengan dosis 0,1-1,0 mg/hari.

2) Pencegahan Sekunder pada Anemia

a) Pengawasan penyakit infeksi Pengobatan yang efektif dan tepat waktu dapat mengurangi
dampak gizi yang tidak diingini. Meskipun, jumlah episode penyakit tidak berhasil dikurangi,
pelayanan pengobatan yang tepat telah terbukti dapat menyusutkan lama serta beratnya
infeksi. Tindakan yang penting sekali dilakukan selama penyakit berlangsung adalah
mendidik keluarga penderita tentang cara makan yang sehat selama dan sesudah sakit.
Pengawasan penyakit infeksi memerlukan upaya kesehatan seperti penyediaan air bersih,
perbaikan sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan. Jika terjadi infeksi parasit, tidak
bisa disangkal lagi, bahwa cacing tambang (Ancylostoma dan Necator) serta Schistosoma
yang menjadi penyebabnya.

b) Fortifikasi makanan pokok dengan zat besi Fortifikasi makanan yang banyak dikonsumsi
dan yang diproses secara terpusat merupakan inti pengawasan anemia di berbagai negara.
Fortifikasi makanan merupakan salah satu cara terampuh dalam pencegahan defisiensi zat
besi. Di negara industri, produk makana fortifikasi yang lazim adalah tepung gandum serta
roti makanan yang terbuat dari jagung dan bubur jagung. Di negara sedang berkembang lain
telah dipertimbangkan untuk memfortifikasi garam, gula, beras dan saus ikan.

c) Tranfusi Darah Suatu tindakan medis yang bertujuan mengganti kehilangan darah pasien.
Darah yang tersimpan di dalam kantong darah dimasukan ke dalam tubuh melalui selang
infus.

d) Pemberian tablet atau suntikan zat besi

e) Tablet tambah darah pada pekerja atau lama suplementasi selama 3- 4 bulan untuk
meningkatkan kadar hemoglobin, karena kehidupan sel darah merah hanya sekitar 3 bulan
atau kehidupan eritrosit hanya berlangsung selama 120 hari, maka 1/20 sel eritrosit harus
diganti setiap hari atau tubuh memerlukan 20 mg zat besi perhari. Tubuh tidak dapat

66
menyerap zat besi (Fe) dari makanan sebanyak itu setiap hari, maka suplementasi zat besi
tablet tambah darah sangat penting dilakukan zat besi.

f) Melakukan tes laboratorium Mengetahui kandungan B12 dalam darah sehingga bisa
membedakan antara anemia biasa dengan anemia pernicious. Bila ternyata kadar vitamin B12
normal, maka dapat dilakukan pemberian asam folat dengan dosis 0,1-1,0 mg/hari.

Pencegahan Tersier pada Anak Anemia

a) pemberian suntikan untuk menghentikan pendarahan pemberian suntikan untuk


menghentikan pendarahan seperti vitmin B12 atau B kompleks

b) Mengonsumsi bahan makanan sumber utama zat besi, asam folat, vitamin B6, dan vitamin
B12 seperti daging dan sayuran sesuai kecukupan gizi yang dianjurkan.

c) Melakukan tes laboratorium untuk mengetahui kandungan B12 dalam darah sehingga bisa
membedakan antara anemia biasa dengan anemia pernicious. Bila ternyata kadar vitamin B12
normal, maka dapat dilakukan pemberian asam folat dengan dosis 0,1-1,0 mg/hari.

d) Mengkonsumsi Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah.

67
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen
darah, eleman tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel
darah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada
banyak tipe anemia dengan beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 1999)
Anemia , dalam bahasa yunani tanpa darah adalah penyakit kurang darah yang ditandai
dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan
normal

Berikut ini katagori tingkat keparahan pada anemia.:

• Kadar Hb 10 gram- 8 gram disebut anemia ringan.

• Kadar Hb 8 gram -5 gram disebut anemia saedang.

• Kadar Hb kurang dari 5 gram disebut anemia berat. Kemungkinan dasar penyebab
anemia: Penghancuran sel darah merah yang berlebihan, Kehilangan darah, Produksi sel
darah merah yang tidak optimal.

68
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/13647722/Studi_Kasus_Asuhan_Kebidanan_Pada_Ibu_
Hamil_dengan_Anemia

https://www.orami.co.id/magazine/anemia-pada-ibu-hamil/

https://www.academia.edu/7191273/makalah_anemia

https://www.academia.edu/13647722/Studi_Kasus_Asuhan_Kebidanan_Pada_Ibu_Hamil
_dengan_Anemia

https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awrxgvlv_ERgu04AHy5P5At.;_ylu=Y29sbwMEcG9zAzE
EdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1615162607/RO=10/RU=http%3a%2f
%2fdigilib.unimus.ac.id%2ffiles%2fdisk1%2f118%2fjtptunimus-gdl-arumwulann-5862-2-
babii.pdf/RK=2/RS=hPfvM22FX_XkjmvVLTIeUhtr3Bo-

https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awrxgvlv_ERgu04AIC5P5At.;_ylu=Y29sbwMEcG9zAzIE
dnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1615162607/RO=10/RU=http%3a%2f
%2feprints.poltekkesjogja.ac.id
%2f545%2f4%2f3.%2520Chapter2.pdf.pdf/RK=2/RS=0JT1krou3Omb3ak8fjxxkcTYoIs-

69
MAKALAH
Obesitas

Dosen Pengampu: Mery Merlisia S.Gz, M.P.H

Disusun Oleh

Jepri yansyah (183001010005)

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

PRODI KESEHATAN MASYARAKAT

2020/2021

70
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obesitas adalah kondisi akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan di


jaringan adiposa. Obesitas pada anak merupakan masalah kesehatan karena
prevalensi obesitas anak di dunia semakin meningkat. Obesitas pada anak dapat
menjadi penyakit komorbiditas seperti asma, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler.
Walaupun mekanisme terjadinya belum sepenuhnya di mengerti, tetapi telah
dikonfirmasi bahwa obesitas terjadi karena pemasukan energi melebihi pengeluaran
energi (soetjiningsih, 1995).
Pemenuhan gizi pada anak memanglah sangat penting dan harus
mendapatkan perhatian khusus sejak kecil. Namun pemenuhan gizi tersebut juga
harus sesuai dengan takarannya. Karena obesitas yang terjadi pada anak bisa
beresiko tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa dan dapat berpotensi
menimbulkan penyakit. Jadi obesitas tidak hanya terjadi pada remaja ataupun orang
dewasa, tetapi bisa terjadi pada anak-anak.
Obesitas merupakan salah satu masalah rumit yang seringkali dihadapi oleh
anak-anak maupun remaja. Menurut para ahli, obesitas dipengaruhi oleh beberapa
faktor penyebabnya. Penyebab terjadinya obesitas dipengaruhi oleh genetik dan
lingkungan. Selain itu, obesitas juga dipengaruhi oleh faktor sosial, faktor gaya
hidup, faktor kompensasi, kurang gerak/berolahraga, disfungsi salah satu fungsi
otak, serta pola makan yang berlebihan.
Di samping itu, obesitas bisa dicegah dengan cara yang diantaranya dengan
melakukan olahraga secara teratur maupun mengatur pola makannya. Di dalam
melakukan pencegahan pada anak yang obesitas, dukungan ataupun dorongan dari
orang tua sangatlah berpengaruh dan ini merupakan pencegahan melalui faktor
lingkungan.

71
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang di maksud dengan obesitas itu?
2. Apa saja faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya obesitas pada
anak?
3. Bagaimana cara mencegah terjadinya obesitas pada anak?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengeretian dari obesitas.
2. Untuk mengetahui faktor resiko apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya
obesitas pada anak.
3. Untuk mengetahui cara mencegah terjadinya obesitas dikalangan anak.

1.4 Manfaat
1 Agar dapat menambah informasi bagi masyarakat mengenai pengertian dari
obesitas.
2 Agar dapat menambah informasi mengenai faktor resiko yang dapat
menyebabkan terjadinya obesitas pada anak.
3 Agar dapat menambah informasi mengenai cara mencegah terjadinya
obesitas pada anak.

72
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Obesitas

Massa anak-anak merupakan massa dimana anak sedang melakukan


pertumbuhan. Dalam proses pertumbuhannya, anak memerlukan pemenuhan gizi
yang tepat. Dalam hal ini orang tualah yang berpengaruh besar dalam hal
pemenuhan gizi pada anak. Pemenuhan gizi ini juga harus sesuai takarannya agar
tidak terjadi kelebihan berat badan.
Kelebihan gizi yang menimbulkan obesitas dapat terjadi baik pada anak-anak
hingga usia dewasa. Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah
energi yang masuk dengan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi
biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan
kesehatan. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus dan dalam jangka waktu
yang cukup lama, maka dampaknya adalah terjadinya obesitas.
Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu permasalahan yang sangat
merisaukan remaja. Namun disisi lain obesitas juga banyak terjadi dikalangan anak-
anak. Obesitas adalah kondisi akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan di
jaringan adiposa. Obesitas pada anak merupakan masalah kesehatan karena
prevalensi obesitas anak di dunia semakin meningkat. Obesitas atau kegemukan
terjadi pada saat badan menjadi gemuk (obese) yang disebabkan penumpukan
adipose (jaringan lemak khusus yang disimpan oleh tubuh) secara berlebihan.
Obesitas pada masa anak dapat meningkatkan kejadian diabetes mellitus (DM)
tipe 2. Obesitas yang terjadi pada anak bisa beresiko tinggi menjadi obesitas pada
massa remaja dan berpotensi mengakibatkan gangguan metabolisme glukosa dan
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, penyumbatan pembuluh darah, dan
lain-lain. Selain itu, obesitas pada anak khususnya usia 6-7 tahun juga dapat
menurunkan tingkat kecerdasan karena aktifitas dan kreatifitas anak menurun dan
membuat anak malas karena kelebihan berat badan.

B. Faktor Penyebab Obesitas pada Anak

73
Obesitas pada anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor penyebab
obesitas diantaranya yaitu:
1) Faktor Genetik
Obesitas (kegemukan) dapat terjadi karena faktor genetik atau keturunan dari
generasi sebelumnya ke generasi berikutnya didalam sebuah keluarga. Oleh karena
itu, banyak kita jumpai diluar sana bahwa anak yang gemuk cenderung memiliki
orang tua yang gemuk juga. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa faktor genetik
telah berpengaruh dalam menentukan jumlah unsur sel dalam tubuh. Hal ini
dimungkinkan karena pada saat ibu yang obesitas
sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran
normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam
kandungan. Maka tidak heranlah bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak tubuh
yang relatif sama besar.
2) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi
gemuk. Jika seseroang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk
adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang tersebut akan cenderung
untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor
eksternal maka orang yang obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah
psikologis sehubungan dengan kegemukan.
3) Faktor Sosial
Faktor sosial dapat berpengaruh terhadap obesitas. Hal ini dikarenakan
pandangan sosial masyarakat bahwa jika dalam anggota keluarga seseorang ada
yang bertubuh gemuk maka, keluarga tersebut dinilai sukses dan berkarir bagus.
Dan ada pula yang beranggapan bahwa gemuk adalah lambang dari kemakmuran.
4) Faktor Gaya Hidup
Faktor gaya hidup dapat menyebabkan terjadinya obesitas, seperti pola makan.
Pola makan yang berlebihan dapat membuat anak menjadi kelebihan berat badan.
Asupan makanan berlebihan ini berasal dari jenis makanan olahan serba instan,
minuman soft drink, makanan cepat saji (burger, pizza, hot dog), dan makanan siap
saji lainnya yang tersedia di kedai makanan. Selain itu, anak yang kelebihan berat
badan atau kegemukan membuat

74
mereka menjadi malas untuk bergerak apalagi untuk berolah raga. Olah raga juga
termasuk kedalam faktor gaya hidup.
C. Pencegahan Obesitas pada Anak
Adapun beberapa cara/penanganan untuk melakukan pencegahan terhadap
obesitas, anatara lain:
Olahraga
Olahraga merupakan latihan yang paling efektif untuk mengurangi obesitas
yang berfungsi membakar lemak tubuh, untuk itu ciri-ciri, takaran, jenis dan model
latihan olahraganya adalah sebagai berikut :
a. Ciri-ciri gerak melibatkan otot besar, dilakukan secara kontinyu dengan
gerakan ritmis.
b. Takaran latihan : intensitasnya 65 % - 75 % detak jantung maksimal, durasi
20-60 menit, Frekuensi 3-5 kali/minggu.
Dengan intensitas 65%-75% akan terjadi penurunan berat badan secara optimal,
sebab lebih dan 50 energi yang diperlukan untuk aktivitas berasal dan pembakaran
lemak tubuh dan setiap berlatih pembakaran lemak yang aman adalah 500-1000
kalori.
c. Jenis latihannya adalah latihan aerobik.
d. Model Iatihannya dapat dipilih antara lain jalan, jogging, bersepeda,
renang, dan semam aerobic. Berbagai model latihan tersebut dapat di kerjakan di
alam terbuka atau di pusat-pusat kebugaran.
Agar Penurunan berat badan untuk mengatasi obesitas dapat optimal, selain
latihan diatas perlu dilengkapi dengan latihan beban untuk mengencangkan otot-otot
tubuh dengan takaran 15 repetisi, di kerjakan sebanyjak 2-3 set untuk setiap otot
recovery 30 detik antar set.

Terapi Psikologis
a. Dengan menggunakan CBT ( Cognitif Behavioral Treatment) terapi ini dapat
digunakan seperti halnya dalam mengatasi bulimia nervosa.
Terapi kognitif-perilaku (CBT) merupakan terapi yang mendasarkan pada teori
kognitif perilaku yang menekankan pada kesaling terkaitan antara pikiran, perasaan
dan perilaku, Menurut teori ini psikopatologi terjadi bila terdapat ketidak sesuaian
antara tuntutan-tuntutan lingkungan dengan kapasitas adaptif individu. Teoari ini
sangat efektif karena penderita telah memiliki kesadaran bahwa mereka memiliki
berat badan yang berlebih,pola makan yang tidak normal.Namun mereka tidak
berdaya untuk mengendalikan dorongan makan pada saat

75
perut terasa lapar sehingga diperlukan penyadaran pikiran dan perasaan agar
subjek mampu mengenali dan kemudian mengevaluasi atau rnengubah cara berfikir,
keyakinan dan perasaannya (mengenali diri sendiri dan lingkungan) yang salah,
dapat mengubah perilaku maladaptive dengan cara mempelajari ketrampilan
pengendalian diri dan staregi pemecahan masalah yang efektif.

Misalnya subjek diminta untuk melakukan latihan-latihan menantang pikiran yang


negative seperti membandingkan gambar-gambar wanita atau pria yang mempunyai
tubuh gemuk dan yang mempunyai tubuh ramping dengan tujuan mernbangkitkán
persepsi yang berhubungan dengan body image-nya.

b. Self Monitoring
Self monitoring ini berhubungan dengan lingkungan di sekitarnya dalam hal ini
adalah keluarga dan terapis.

Keluarga berhubungan dengan pengaturan segala jenis makanan yang


dikonsumsi, pengatur waktu makan dan aktivitas diri. serta keluarga berperan dalam
meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri.

Sedangkan terapis berperan dalam mengontrol kemajuan-kemajuan selama


perlakuan diberikan dan target-target yang harus dicapai oleh penderita.

76
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa obesitas tidak hanya
terjadi pada remaja dan orang dewasa, namun pada anak-anak juga. Obesitas
merupakan kelebihan berat badan dalam kondisi akumulasi lemak yang
abnormal atau berlebihan di jaringan adiposa. Obesitas pada anak merupakan
masalah kesehatan karena prevalensi obesitas anak di dunia semakin
meningkat. Dan faktor penyebabnya yaitu faktor genetik, faktor sosial, faktor
gaya hidup, da lain-lain. Adapun cara mencegahnya yaitu dengan rutin
berolahraga serta dengan tahapan terapi psikologis.Kita perlu juga jaga pola
makan. Perlunya menanamkan pendidikan kesehatan pada anak sejak usia dini,
melaluipeningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE),seperti gerakan
anti rokok, gerakan cinta serat (sayur dan buah), budayakan aktivitas fisik dan
lain-lain.

77
DAFTAR PUSTAKA
Soetjiningsih, Ranuh G. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.
Sartika, Ratu A. 2011. Faktor Resiko Pada Anak 5-15 Tahun Di Indonesia. Jakarta.
Supriyanto, Agus. Obesitas, Faktor Penyebab Dan Bentuk-Bentuk Terapinya.
Yogyakarta.

78
MAKALAH
STUNTING

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekologi pangan dan gizi

Dosen Pengampu: Mery merlisa, S. Gz, M. PH

Disusun Oleh

Nadia (183001010010)

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

PRODI KESEHATAN MASYARAKAT

KATA PENGANTAR
79
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan
kemampuan dalam proses perkuliahan. Dan penulisan makalah yang berjudul “stunting”yang
merupakan suatu kajian yang disusun untuk melelengkapi tugas dalam mata kuliah Ekologi
pangan dan gizi dalam penyusunan makalah ini saya mengucapkan terima kash kepada :

Dosen mata kuliah ekologi pangan dan gizi , ibu mery merlisa S, Gz. M, ph yang telah
memberikan penjelasan kepada saya tentang penyusunan makalah ini serta membantu
memotivasi penulisan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini penulis mengharapkan saran, dan masukkan bahkan krirtik
yang membangun untuk makalah ini. Sehingga bisa digunakan sebagai referensi dalam mata
kuliah ini .

BAB I PENDAHULUAN

80
1. Stunting

1.1 Pengertian Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima
tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir
akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek
(stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U)
atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS
(Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari
-2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted). (Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden, 2017) Di Indonesia,
sekitar 37% (hampir 9 juta) anak balita mengalami stunting Indonesia adalah negara dengan
prevalensi stunting kelima terbesar. Balita/baduta (bayi dibawah usia dua tahun) yang
mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak
menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya
tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan. (Riset
Kesehatan Dasar/Riskesdas 2013) Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan
catch-up growth (tumbuh kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan. Masalah stunting
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko
kesakitan, kematian, dan hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting
dibentuk oleh growth faltering dan catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan
ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal. Hal tersebut mengungkapkan bahwa
repository.unimus.ac.id 8 kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat
mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik.
(Kemenkes 2013) 1.2 Cara Pengukuran Balita Stunting (TB/U) Stunting merupakan suatu
indikator kependekan dengan menggunakan rumus tinggi badan menurut umur (TB/U)
Panjang Badan Menurut Umur (PB/U) memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya
kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku
hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak dilahirkan yang
mengakibatkan stunting. (Achadi LA. 2012) Keuntungan indeks TB/U yaitu merupakan
indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi masa lampau, alat mudah dibawa kemana-
mana, jarang orang tua keberatan diukur anaknya. Kelemahan indeks TB/U yaitu tinggi
badan tidak cepat naik bahkan tidak mungkin turun, dapat terjadi kesalahan yang
mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran. Sumber kesalahan bisa berasal dari
tenaga yang kurang terlatih, kesalahan pada alat dan tingkat kesulitan pengukuran. TB/U
dapat digunakan sebagai indeks status gizi populasi karena merupakan estimasi keadaan yang
telah lalu atau status gizi kronik. Seorang yang tergolong pendek tak sesuai umurnya (PTSU)
kemungkinan keadaan gizi masa lalu tidak baik, seharusnya dalam keadaan normal tinggi
badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pengaruh kurang gizi terhadap
pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama. (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2011) 1.3 Dampak Stunting Pada Balita Laporan UNICEF
tahun 2010, beberapa fakta terkait stunting dan pengaruhnya adalah sebagai berikut : a. Anak

81
yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan mengalami
stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting yang parah pada anak, akan terjadi
defisit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk
belajar secara optimal di sekolah dibandingkan anak dengan tinggi badan normal. Anak
repository.unimus.ac.id 9 dengan stunting cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih
sering absen dari sekolah dibandingkan anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan
konsekuensi terhadap kesuksesan dalam kehidupannya dimasa yang akan datang. Stunting
akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak. Faktor dasar yang
menyebabkan stunting dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan intelektual.
Penyebab dari stunting adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan
tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian
sebagian besar anak dengan stunting mengkonsumsi makanan yang berbeda di bawah
ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah
pinggiran kota dan komunitas pedesaan. b. Pengaruh gizi pada usia dini yang mengalami
stunting dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. stunting
pada usia lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan usia dini
berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunting dan
mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas, sehingga meningkatkan
peluang melahirkan BBLR. c. Stunting terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih
cenderung menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat
melahirkan. Akibat lainnya kekurangan gizi/stunting terhadap perkembangan sangat
merugikan performance anak. Jika kondisi buruk terjadi pada masa golden period
perkembangan otak (0-2 tahun) maka tidak dapat berkembang dan kondisi ini sulit untuk
dapat pulih kembali. Hal ini disebabkan karena 80-90% jumlah sel otak terbentuk semenjak
masa dalam kandungan sampai usia 2 (dua) tahun. Apabila gangguan tersebut terus
berlangsung maka akan terjadi penurunan skor tes IQ sebesar 10-13 point. Penurunan
perkembangan kognitif, gangguan pemusatan perhatian dan manghambat prestasi belajar
serta produktifitas menurun sebesar 20-30%, yang akan mengakibatkan terjadinya loss
generation, artinya anak tersebut hidup tetapi tidak bisa berbuat banyak baik dalam bidang
pendidikan, ekonomi dan lainnya. Generasi demikian hanya akan menjadi beban
repository.unimus.ac.id 10 masyarakat dan pemerintah, karena terbukti keluarga dan
pemerintah harus mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi akibat warganya mudah sakit.
(Supariasa, 2011) 2. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Stunting Status gizi pada
dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu: makanan yang dimakan dan keadaan kesehatan.
Kualitas dan kuantitas makanan seorang tergantung pada kandungan zat gizi makanan
tersebut, ada tidaknya pemberian makanan tambahan di keluarga, daya beli keluarga dan
karakteristik ibu tentang makanan dan kesehatan. Keadaan kesehatan juga berhubungan
dengan karakteristik ibu terhadap makanan dan kesehatan, daya beli keluarga, ada tidaknya
penyakit infeksi dan jangkauan terhadap pelayanan kesehatan (Pramuditya SW, 2010). 2.1
Asupan Zat Gizi Defisiensi zat gizi yang paling berat dan meluas terutama di kalangan balita
ialah akibat kekurangan zat gizi sebagai akibat kekurangan konsumsi makanan dan hambatan
mengabsorbsi zat gizi. Zat energi digunakan oleh tubuh sebagai sumber tenaga yang tersedia
pada makanan yang mengandung karbohidrat, protein yang digunakan oleh tubuh sebagai
pembangun yang berfungsi memperbaiki sel-sel tubuh. Kekurangan zat gizi pada disebabkan

82
karena mendapat makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan badan atau
adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat gizi dan kebutuhan gizi dari segi kuantitatif
maupun kualitatif (Irianton A, 2015). Asupan makan yang tidak adekuat merupakan
penyebab langsung terjadinya stunting pada balita. Kurangnya asupan energi dan protein
menjadi penyebab gagal tumbuh telah banyak diketahui. Kurangnya beberapa mikronutrien
juga berpengaruh terhadap terjadinya retardasi pertumbuhan linear. Kekurangan mikronutrien
dapat terjadi karena rendahnya asupan bahan makanan sumber mikronutrien tersebut dalam
konsumsi balita sehari-hari serta disebabkan karena bioavailabilitas yang rendah (Mikhail,et
al., 2013) Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi yaitu : repository.unimus.ac.id
11 a). Daya Beli Keluarga Daya beli keluarga sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan
keluarga. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk
makanan. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang orang tidak
mampu membeli pangan dalam jumlah yang dibutuhkan. Ada pula keluarga yang sebenarnya
mempunyai penghasilan cukup namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi (Irianton A,
2015). Pada umumnya tingkat pendapatan naik jumlah dan jenis makanan cenderung untuk
membaik tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Aditianti, 2010). Anak yang tumbuh
dalam suatu keluarga miskin paling rentan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota
keluarga dan yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Jumlah
keluarga juga mempengaruhi keadaan gizi (Welassih BD, The Indonesian Journal of Public
Health. 2012;8. 70). a) Tingkat Pendidikan Ibu Pendidikan ibu merupakan modal utama
dalam menunjang ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta
pengasuhaan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan
lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya dibidang gizi, sehingga dapat
menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari- hari (Depkes
RI, 2015). Tingkat pendidikan yang dimiliki wanita bukan hanya bermanfaat bagi
penambahan pengetahuan dan peningkatan kesempatan kerja yang dimilikinya, tetapi juga
merupakan bekal atau sumbangan dalam upaya memenuhi kebutuhan dirinya serta mereka
yang tergantung padanya. Wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung
lebih baik taraf kesehatannya (Pramudtya SW, 210). Jika pendidikan ibu dan pengetahuan ibu
rendah akibatnya ia tidak mampu untuk memilih hingga menyajikan makanan untuk keluarga
memenuhi syarat gizi seimbang (UNICEF, 2010). Hal ini senada dengan hasil penelitian di
Meksiko bahwa pendidikan ibu sangat penting dalam repository.unimus.ac.id 12
hubungannya dengan pengetahuan gizi dan pemenuhan gizi keluarga khususnya anak, karena
ibu dengan pendidikan rendah antara lain akan sulit menyerap informasi gizi sehingga dapat
berisiko mengalami resiko stunting (Hizni, et al .2010). b) Pengetahuan Gizi Ibu Gizi kurang
banyak menimpa balita sehingga golongan ini disebut golongan rawan. Masa peralihan antara
saat disapih dan mengikuti pola makan orang dewasa atau bukan anak, merupakan masa
rawan karena ibu atau pengasuh mengikuti kebiasaan yang keliru. Penyuluhan gizi dengan
bukti-bukti perbaikan gizi pada dapat memperbaiki sikap ibu yang kurang menguntungkan
pertumbuhan anak (Rahayu A, 2014). Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di
samping pendidikan yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak
dengan media masa juga mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu penyebab terjadinya
gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan
informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo, 2007). Tingkat pengetahuan

83
gizi seseorang besar pengaruhnya bagi perubahan sikap dan perilaku di dalam pemilihan
bahan makanan, yang selanjutnya akan berpengaruh pula pada keadaan gizi individu yang
bersangkutan. Keadaan gizi yang rendah di suatu daerah akan menentukan tingginya angka
kurang gizi secara nasional (Mulyati, 2009). Hasil Penelitian Taufiqurrahman (2013) dan
Pormes dkk (2014) yang menyatakan bahwa pengetahuan orang tua tentang pemenuhan gizi
berpengaruh dengan kejadian stunting. 2.2 Riwayat Kehamilan 1. Usia Ibu Hamil Usia ibu
mempunyai hubungan erat dengan berat bayi lahir, pada usia ibu yang masih muda,
perkembangan organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologisnya belum optimal. Selain itu
emosi dan kejiwaannya belum cukup matang, sehingga pada saat kehamilan ibu tersebut
belum dapat menghadapi kehamilannya secara sempurna, dan sering terjadi komplikasi-
komplikasi. repository.unimus.ac.id 13 Telah dibuktikan pula bahwa angka kejadian
persalinan kurang bulan akan tinggi pada usia dibawah 20 tahun dan kejadian paling rendah
pada usia 26–35 tahun, semakin muda usia ibu maka yang dilahirkan akan semakin ringan.
Risiko kehamilan akan terjadi pada ibu yang melahirkan dengan usia kurang dari 20 tahun
dan lebih dari 35 tahun erat kaitannya dengan terjadinya kanker rahim dan BBLR. Usia ibu
yang beresiko akan berpotensi untuk melahirkan bayi BBLR, bayi yang BBLR akan
berpotensi untuk menjadi stunting (Depkes RI, 2013) 2. Hamil dengan KEK (Kurang Energi
Kronis) Kurang energi kronis merupakan keadaan di mana ibu penderita kekurangan
makanan yang berlangsung menahun (kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan
kesehatan pada ibu (Depkes RI 2012). Kekurangan energi kronik dapat terjadi pada wanita
usia subur (WUS) dan pada ibu hamil (bumil). Kurang gizi akut disebabkan oleh tidak
mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup atau makanan yang baik (dari segi
kandungan gizi) untuk satu periode tertentu untuk mendapatkan tambahan kalori dan protein
(untuk melawan) muntah dan mencret (muntaber) dan infeksi lainnya. Lingkar Lengan Atas
(LILA) sudah digunakan secara umum di Indonesia untuk mengidentifikas ibu hamil risiko
Kurang Energi Kronis (KEK). Menurut Departemen kesehatan batas ibu hamil yang disebut
resiko KEK jika ukuran LILA < 23,5 cm, dalam pedoman Depkes tersebut disebutkan
intervensi yang diperlukan untuk WUS atau ibu hamil yang menderita risiko KEK. Sampai
saat ini masih banyak ibu hamil yang mengalami masalah gizi, khususnya gizi kurang seperti
KEK dan anemia, sehingga mempunyai kecenderungan melahirkan bayi dengan berat badan
lahir kurang. Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu,
antara lain anemia, perdarahan, mempersulit persalinan sehingga terjadi persalinan lama,
prematuritas, perdarahan setelah persalinan, bahkan kematian ibu (Muliarini, 2010). Ibu
hamil yang menderita KEK dan anemia berisiko mengalami Intrauterine Growth Retardation
(IUGR) atau pertumbuhan janin terhambat, dan bayi yang dilahirkan mempunyai BBLR
(Depkes RI, 2010). Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada hamil dapat
menyebabkan KEK. repository.unimus.ac.id 14 Wanita hamil berisiko mengalami KEK jika
memiliki Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5cm. Ibu hamil dengan KEK berisiko
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) yang jika tidak segera ditangani dengan baik akan
berisiko mengalami stunting (Pusat dan Data Informasi Kementerian Kesehatan RI). 3. Kadar
Hb (Hemoglobin) Masa kehamilan sering sekali terjadi kekurangan zat besi dalam tubuh. Zat
besi merupakan mineral yang sangat dibutuhkan untuk membentuk sel darah merah
(hemoglobin). Selain itu mineral ini juga berperan sebagai komponen untuk membentuk
mioglobin (protein yang membawa oksigen ke otot) , kolagen (protein yang terdapat ditulang,

84
tulang rawan, dan jaringan penyambung) serta enzim zat besi juga berfungsi dalam sistem
pertahanan tubuh (Dewi, 2013). Saat hamil kebutuhan zat besi meningkat dua kali lipat dari
kebutuhan sebelum hamil. Hal ini terjadi karena selama hamil, volume darah meningkat
sampai 50% sehingga perlu lebih banyak zat besi untuk membentuk hemoglobin.Volume
darah meningkat disebabkan karena terjadi pengenceran darah, kebutuhan pembentukan
plasenta, dan pertumbuhan janin. Hemoglobin (sel darah merah) yang disingkat dengan Hb
adalah metaloprotein atau protein yang mengandung zat besi dalam sel darah merah yang
berfungsi mengangkut oksigen dari paru–paru ke seluruh tubuh. Selain itu hemoglobin juga
memainkan peran penting dalam menjaga bentuk sel darah merah. Pada dasarnya, berat bayi
lahir memang tidak mutlak dipengaruhi oleh kadar hemoglobin ibu hamil. Berat bayi lahir
dipengaruhi oleh dua faktor ibu yang mempengaruhi pertumbuhan janin intrauterin, yaitu
faktor internal dan eksternal ibu hamil. Kadar hemoglobin termasuk ke dalam faktor internal
ibu hamil (Nurkhasanah, 2008). Kadar Hb wanita sehat seharusnya punya kadar Hb sekitar
12mg/dl. Kekurangan Hb biasanya disebut anemia. Kadar hemoglobin menggunakan satuan
gram/dl, yang artinya banyaknya gram hemoglobin dalam 100 mililiter. Dikatakan anemia
ringan pada keadaan Hb dibawah 11gr%, yaitu 9-11 gr%, dan anemia berat yaitu Hb dibawah
7 gr%. repository.unimus.ac.id 15 Anemia pada kehamilan dapat berakibat persalinan
prematuritas, abortus, infeksi, mola hidatidosa, hiperemesis gravidarum, dan KPD.
Pemeriksaan Hb dilakukan minimal dua kali selama kehamilan yaitu pada trimester I dan
trimester ke III. Tinggi rendahnya kadar hemoglobin selama kehamilan mempunyai pengaruh
terhadap berat bayi lahir karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin di dalam
kandungan. Suatu penelitian cohort prospective di Kota Semarang saat trimester III
kehamilan menemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin
ibu hamil dengan berat bayi lahir. Trimester III kehamilan memang merupakan masa dimana
terjadinya pertumbuhan janin yang lebih cepat dibandingkan trimester sebelumnya. Kadar
hemoglobin ibu hamil trimester III yang rendah dapat mengakibatkan pertumbuhan janin
terhambat/kecil/BBLR dan berpotensi stunting. (Makhoul, 2007, Utami, 2013) 4. Frekuensi
Antenatal Care (ANC) Pemeriksaan selama kehamilan bertujuan untuk menelusuri hal-hal
yang sekecil kecilnya mengenai segala sesuatu yang mungkin dapat mempengaruhi kesehatan
ibu dan bayinya (Oswari E, 2008). Antenatal care adalah perawatan yang diberikan kepada
ibu hamil, selama kehamilan secara berkala yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap
kelainan yang ditemukan sesuai dengan pedoman pelayanan antenatal yang ditentukan.
Pelayanan ANC yang diberikan kepada ibu hamil sesuai dengan pedoman pelayanan KIA
yaitu pemeriksaan antenatal care minimal 4 kali selama kehamilan dengan ketentuan 1 kali
pada tribulan I, 1 kali pada tribulan II, dan 2 kali pada tribulan III (Depkes RI.2013).
Pemeriksaan selama hamil sangat penting, dalam hal ini tidak hanya jumlah kunjungan tetapi
juga kualitas dari pelayanan ANC itu sendiri sangat menentukan hasil yang akan dicapai.
Pemeriksaan kehamilan bertujuan untuk mengenal atau mengidentifikasi masalah yang
timbul selama kehamilan, sehingga kesehatan selama masa kehamilan dapat dipelihara dan
yang terpenting adalah ibu dan berada dalam keadaan sebaik mungkin pada saat persalinan.
Hubungan antara frekuensi pemeriksaan kehamilan dengan kejadian BBLR adalah semakin
kurang frekuensi pemeriksaan kehamilan maka semakin meningkat resiko sebesar
repository.unimus.ac.id 16 1,5–5 kali untuk mendapat BBLR (Anonim, 2013). Berat Bayi
lahir rendah berpotensi menjadi stunting.

85
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Stunting

1. Pengertian Stunting

Stunting atau pendek merupakan salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan nilai Z-
score tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari - 2 Standar Deviasi (SD) berdasarkan
World Health Organizatian (WHO, 2010). Menurut Bloem (2013) penyebab terjadinya
stunting adalah malnutrisi yang menyangkut berbagai aspek yaitu asupan gizi tidak adekuat,
kesulitan akses terhadap pangan yang sehat, kurangnya pengetahuan, sampai pada aspek
social, ekonomi dan politik sebagai aspek-aspek mendasar. Stunting dapat menyebabkan
gangguan kognitif dalam jangka panjang yang akan mempengaruhi potensi ekonomi mereka
(Prendergast, 2014). Kondisi stunting pada masa anak usia sekolah pada umumnya berlanjut
sampai dewasa dan akan mempengaruhi kapasitas kerja dan produktifitas mereka
(Prendergast, 2014 the Lancet’s series, 2008). Klasifikasi dan ambang batas status gizi
stunting berdasarkan Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) :

7 Tabel 1. Ambang batas status gizi stunting berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur
(TB/U). Indeks Status Gizi Simpangan Baku (Z-score) Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Sangat pendek ≤ - 3 SD Z-TB/U Pendek -3 sampai dengan < - 2 SD Z-TB/U Normal -2 SD
sampai dengan 2 SD Z-TB/U Tinggi > 2 SD Z-TB/U (Sumber : SK. Menkes 2010) 2. Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Stunting Menurut UNICEF (1998), pertumbuhan dipengaruhi
oleh sebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung diantaranya adalah asupan
makanan dan keadaan kesehatan, sedangkan penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan
dan pola konsumsi rumah tangga, pola pengasuh anak, sanitasi lingkungan dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan. Faktor-faktor tersebut ditentukan oleh sumber daya manusia, ekonomi
dan organisasi melalui faktor pendidikan. Penyebab paling mendasar dari tumbuh kembang
adalah masalah struktur politik, ideology, dan social ekonomi yang dilandasi oleh potensi
sumber daya yang ada (Supariasa et al., 2012). 3. Stunting Pada Anak Sekolah Stunting
adalah salah satu kondisi kegagalan mencapai perkembangan fisik yang diukur berdasarkan
tunggi badan menurut umur. Batasan stunting yaitu tinggi badan menurut umur berdasarkan
Z-score ≤ - 2 dibawah rata-rata standar (WHO,2013). Stunting digunakan sebagai indikator
malnutrisi kronik 8 yang menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama
sehingga kejadian ini menunjukkan bagaimana keadaan gizi sebelumnya (Kartikawati,2012).
Seorang anak yang mengalami stunting sering terlihat seperti anak dengan kondisi tinggi
badan yang normal namun sebenarnya mereka lebih pendek berdasarkan ukuran tinggi badan
menurut usianya. Hal ini disebabkan akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung
lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan (Hoffman et al, 2000 dalam Bloem et al,
2013). Pertumbuhan anak pada usia sekolah, mulai memasuki fase pertumbuhan yang
semakin lambat. Pada usia tiga tahun pertumbuhan anak berlangsung sangat cepat dan
berangsur-angsur menurun sampai pada periode prasekolah dan masa sekolah. Selanjutnya
pada masa remaja akan terjadi percepatan pertumbuhan kedua hingga akhirnya sama seklai
Andriani dan Wirjadmi (2012). Masalah stunting pada anak sekolah perlu menjadi perhatian,
86
karena bagi anak yang mengalami stunting akan memiliki potensi tumbuh kembang yang
tidak sempurna, kemampuan motoric dan produktifitas rendah, serta memiliki resiko leih
tinggi untuk menderita penyakit tidak menular, sehingga berdampak sangat signifikan
terhadap prestasi belajar anak (Picauly dan Magdalena, 2013).

B. Pendidikan Gizi Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang, dengan adanya


peningkatan pengetahuan seseorang maka diharapkan akan terjadi perubahan perilaku yang
lebih baik terhadap gizi dan kesehatan. Program pendidikan kesehatan adalah salah satu cara
untuk menerapkan intervensi kesehatan global secara sederhana dan efektif untuk
memperoleh pendidikan yang lebih luas. Salah satu parameter untuk menentukan sosial
ekonomi keluarga adalah tingkat pendidikan, terutama tingkat pendidikan pengasuh anak.
Peranan ibu sebagai pengasuh utama anaknya sangat diperlukanmulai dari pembelian hingga
9 penyajian makanan. Jika pendidikan dan pengetahuan ibu rendah akibatnya ia tidak mampu
untuk (UNICEF, 1998 dalam Atikah & Laily, 2014). Hal ini senada dengan hasil penelitian di
Meksiko bahwa pendidikan ibu sangat penting dalam hubungannya dengan pengetahuan gizi
dan pemenuhan gizi keluarga khususnya anak, karena ibu dengan pendidikan rendah anatara
lain akan sulitn menyerap informasi gizi sehingga anak dapat beresiko mengalami stunting
(Hizni dkk, 2010 dalam Atikah & Laily, 2014). Pendidikan gizi ibu akan meningkatkan
pengetahuan gizi anak dan akan membantu sikap anak yang dapat mempengaruhi kebiasaan
anak dalam memilih makanan dan snack yang menyehatkan. Pengaruh pendidikan gizi
ibuterhadap kesehatan akan lebih efektif jika tergetnya adalah langsung pada anak usia
sekolah.

C. Pemberian Makanan Tambahan (PMT-AS) Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah


merupakan kegiatan pemberian makanan kepada peserta didik sekolah dasar dalam bentuk
kudapan yang aman dan bergizi. Sasaran kegiatan PMT-AS yaitu siswa SD. Kegiatan PMT-
AS bertujuan untuk meningkatkan ketahanan dan pertumbuhan fisik sebagai upaya perbaikan
gizi dan kesehatan sehingga mendorong minat dan kemampuan belajar siswa (Dinkes, 2012).
Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) sejak tahun 1996/1997 yang
dilaksanakan secara lintas sektoral yang terkait dalam forum koordinasi PMT-AS dan
mempunyai dasar hukum INPRES NO.1 tahun 1997 tentang Program Makanan Tambahan
Anak Sekolah. Tujuan program ini meningkatkan ketahanan fisik siswa Sekolah Dasar
selama kegiatan belajar, mendidik siswa untuk menyukai jajanan makanan lokal yang aman
dan sehat. Tujuan jangka panjang dari program ini adalah upaya peningkatan pendapatan
masyarakat melalui peningkatan produksi perikanan setempat. Saat ini salah satu produk
yang digemari masyarakat untuk dikonsumsi yaitu hasil olahan dari daging, misalnya dalam
bentuk nugget dan sosis. Dari hasil survei independen 2010 yang dilakukan oleh perusahaan
swasta di 10 Indonesia, diperoleh tingkat konsumsi daging olahan seperti nugget dan sosis
dikalangan masyarakat terus tumbuh dengan baik. Konsumsi sosis oleh masyrakat Indonesia
tumbuh rata-rata 4,46% per tahun (Anggraeni, et al., 2014). Ikan tamban ialah ikan lemuru
(Sardinella longiceps) seperti jenis ikan kecil lainnya yang mempunyai kandungan protein
yang cukup tinggi (17,8-20%). Harga ikan lemuru yang murah dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pangan yang bernilai gizi tinggi, terutama dalam mengatasi masalah gizi ganda
(Burhanuddin dalam Arifan, 2011). Menurut Tabel komposisi Pangan Indonesia, komposisi

87
zat gizi ikan tamban selengkapnya seperti tabel 2. Tabel 2. Komposisi Zat Gizi Ikan Tamban
Per 100 Gram BDD Nama Bahan Energi Protein Kalsium Fosfor Zn Fe Ikan Tamban
(Lemuru) 112 20 20 100 - 1 ( Sumber : Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI, 2009)

D. Asupan Protein Asupan makanan yang tidak seimbang, berkaitan degan kandungan zat
gizi dalam makanan yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin dan air merupakan
salah satu faktor yang dikaitkan dengan terjadi stunting (UNICEF, 2007). Tingginya angka
kejadian stunting dan rendahnya konsumsi protein seperti yang telah dipaparkan sebelumnya
merupakan fenomena yang akan diteliti dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan mengingat
protein adalah zat gizi yang erat hubungannya dengan proses pertumbuhan seseorang dan
diduga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami stunting.
Protein mempunyai banyak fungsi, diantaranya membentuk jaringan tubuh yang baru dalam
masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh, memperbaiki serta mengganti jaringan rusak
atau mati, menyediakan asam amino yang diperlukan oleh tubuh untuk membentuk enzim
pencernaan, metabolism dll (Anindita, 2012). Bahan makanan hewani merupakan sumber
protein yang baik, 11 dalam jumlah maupun mutu seperti : telur, susu, daging ungags, ikan,
dan kerang selai itu juga sumber protein berasal dari nabati seperti : kacang kedelai dan hasil
olahannya seperti tempe, tahu serta kacang-kacangan (Almatsier S, 2009). Hasil penelitian
Hidayati dkk (2010) menunjukkan bahwa anak dengan asupan protein yang kurang
mempunyai resiko 3,46 kali lebih besar akan menjadi stunting dibandingkan dengan anak
yang asupan proteinnya cukup. Tabel 3. Daftar Kecukupan Gizi Protein Menurut Golongan
Umur Umur (tahun) Kebutuhan Protein (gr) 1-2 26 4-6 35 7-9 49 (Sumber: Angka
Kecukupan Gizi 2013)

E. Asupan Fe Besi merupakan mineral makro yang paling banyak terdapat didalam tubuh
manusia, yaitu sebanyak 3-5 gram didalam tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai beberapa
fungsi esensial didala tubuh yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru kejaringan
tubuh, alat angkut elektron didalam sel dan bagian terpadu dari berbagai reaksi enzim
didalam jaringan tubuh (Almatsier S, 2003). Kekurangan zat besi dapat ditemukan di Negara
maju maupun Negara berkembang terutama menyerang golongan yang rentan seperti anak-
anak. Keadaan ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan besi pada masa pertumbuhan,
berkurangnya cadangan besi dan akibat makanan yang diasup anak tidak cukup mengandung
besi 12 (Narendra MB dkk, 2002). 12 Asupan besi yang kurang pada masa anak
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sehingga jika berlangsung dalam waktu lama dapat
menyebabkan stunting. Makanan sumber besi (fe) yang baik diantaranya daging ayam, ikan
telur, sereaia tumbuk, sayuran hijau, kacang-kacangan, dan beberapa jenis buah. Makanan
yang berasaldari hewani mempunyai kualitas besi yang lebih baik dibandingkan nabati.
(Almatsier, 2009). Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 2012 menetapkan angka kecukupan
besi untuk anak Indonesia sebagai berkut :

l 4. Angka Kecukupan Gizi Besi Di Indonesia Golongan Umur Angka Kecukupan Gizi/AKG
(mg) 0-6 bulan 0,25 7-11 bulan 10 1-3 tahun 7 4-6 tahun 8 7-9 tahun 10 (Sumber: Angka
Kecukupan Gizi 2013)

88
F. Kerangka Teori Penyebab langsung Penyebab tidak langsung Penyebab utama Akar
masalah

1. Dimodifikasi dari Kerangka Teori Unicef (1998) disesuaikan faktor-faktor yang


mempengaruhi stunting STUNTING Asupan Zat Gizi Infeksi Penyakit Ketersediaan Pangan
ditingkat Rumah tangga Pola Asuh Ibu Pelayanan Kesehatan Kemiskinan Pendidikan Krisis
Ekonomi Dan Politik 14

G. Kerangka Konsep Gambar

2. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka konsep diatas dilihat bahwa tingkat asupan
protein dan fe mempengaruhi pertumbuhan pada anak SD yang mengalami stunting. Untuk
menanggulangi masalah tersebut maka diberikan pendidikan gizi ibu dan PMT AS berbahan
ikan yang memanfaatkan pangan lokal pada anak. PENDIDIKAN GIZI PMT – AS Berbahan
Ikan Asupan Protein dan Fe 15

H. Defenisi Operasional No Variabel Defenisi Skala Pengukuran 1 Pendidikan Gizi


Pendidikan Gizi Ibu meliputi tentang pola makan dan asupan zat gizi bagi anak sekolah usia
7-8 tahun. pendidikan gizi ibu dilakukan kepada ibu yang memiliki anak SD kelas 1 dengan
status stunting.. Ordinal 2 Pemberian PMT-AS Pemberian makanan tambahan berbentuk
makanan selingan dengan bahan ikan tamban. Jumlah kandungan daging ikan dalam satu kali
pemberian sebesar 60 gr (disesuaikan hasil food recall yang dibandingkan dengan AKG).
Ikan diolah menjadi bentuk snack yang diolah dilaboratorium ITP Jurusan Gizi. Diberikan
satu kali sehari setiap jam 10.00 WIB (kecuali hari minggu) selama 30 hari. Ordinal 3
Asupan Protein Jumlah asupan protein pada anak SD sebelum dan sesudah kegiatan
pendidikan gizi ibu dan pemberian makanan tambahan berbahan ikan. Data dikumpulkan
dengan metode food Ordinal 16 recall 24 jam, dengan frekuensi 2 x 24 jam dan tidak secara
berurutan. 4 Asupan Fe Jumlah asupan fe pada anak SD sebelum dan sesudah kegiatan
pendidikan gizi ibu dan pemberian makanan tambahan berbahan ikan. Data dikumpulkan
dengan metode food recall 24 jam, dengan frekuensi 2 x 24 jam dan tidak seara berurutan.
Ordinal 5 Stunting Keadaan tinggi badan siswa yang tidak sesuai dengan umur dengan
indicator TB/U dengan mengacu standart WHO 2007. Tinggi badan siswa diukur dengan
menggunakan microtoise ketelitian 0,1 cm dan umur siswa diperoleh dari data Identitas
sampel. Setelah TB dan umur siswa diketahui kemudian diolah menggunakan program WHO
Antroplus dan di kategorikan berdasarkan standart WHO 2007: a) Sangat pendek (Serve
Stunting) dengan Z-score <-3 SD b) Pendek (Stunting) dengan Z-score -3 SD s/d <-2 SD c)
Normal dengan Z-score -2 SD s/d +2 SD Rasio 17

I. Hipotesis Ada pengaruh pendidikan gizi ibu dan pemberian makanan tambahan berbahan
ikan terhadap asupan protein pada siswa kelas 1 sekolah dasar yang mengalami stunting di
Kecamatan Pantai Labu. Ha2 : Ada pengaruh pendidikan gizi ibu dan pemberian makanan
tambahan berbahan ikan terhadap asupan Fe pada siswa kelas 1 sekolah dasar yang
mengalami stunting di Kecamatan Pantai Labu.

89
B. Pembahasan

1. Karakterisitik Sampel Stunting atau pendek merupakan salah satu bentuk gizi kurang yang
ditandai dengan nilai Z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari – 2 Standart
Deviasi (SD) berdasarkan World Health Organization (WHO, 2010). Stunting pada anak
sekolah merupakan manifestasi dari stunting pada masa balita yang mengalami kegagalan
dalam tumbuh kejar (catch up growth), defisiensi zat gizi dalam jangka waktu yang lama,
serta adanya penyakit infeksi (Saniarto, 2014). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sebagian besar penderita stunting adalah laki-laki (61,3%) hal ini perkuat oleh penelitian
Nadiyah, dkk tahun 2014 . Penelitian ini juga mendapatkan rentang umur tersebar diusia 7-12
tahun, dimana hal ini juga didapatkan pada penelitian Dhias Fajar tahun 2012 di daerah
Kabupaten Demak yang menyatakan bahwa anak-anak stunting (mengalami gangguan
pertumbuhan dan keseimbangan 31 perkembangan) yang menjadi sampelnya didapatkan dari
Sekolah Dasar yang berumur 7-12 tahun. 2. Karakteristik Responden Pendidikan yang
dimiliki ibu anak stunting yang memiliki kategori cukup banyak yaitu SMA yang diharapkan
mampu menangani masalah stunting lebih baik setelah menerima pendidikan gizi, menurut
Yudesti (2012) dan Ernawati (2006). Semakin tinggi tingkat pendidikan formal orang tua
maka semakin tinggi kemampuan mereka untuk menyerap informasi dengan wawasan yang
lebih luas. Ibu merupakan orang yang paling berperan dalam tumbuh kembang seorang anak,
dengan banyaknya ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga sehingga. Diharapkan lebih untuk
memperhatikan dan mengasuh anak secara maksimal sehingga anak selalu berada di bawah
pengawasan ibu sehingga diharapkan kualitas pengasuhan yang baik, dapat mempercepat
perkembangan anak ke arah yang lebih baik. 3. Asupan Protein Protein merupakan zat gizi
yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan, membangun struktur tubuh (otot, kulit dan
tulang) serta sebagai pengganti jaringan yang sudah usang. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata asupan protein sebelum diberikan intervensi dan sesudah diberikan intervensi
memiliki selisih rata-rata 14,54 . Bila dilihat dari rata-rata maka terjadi peningkatan asupan
protein yang dimiliki oleh siswa stunting yang diketahui dari hasil food recall 2 x 24 jam
dengan melakukan wawancara terhadap responden yang merupakan ibu dari sampel secara
langsung. Berdasarkan hasil data food recall 2 x 24 jam yang diperoleh dari responden
diketahui terjadi peningkatan asupan protein pada sampel. Pada keadaan yang lebih buruk
kekurangan protein dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan berhentinya proses
pertumbuhan 32 (Andarini, Ventiyaningsih, &Samosir, 2013). Mengkonsumsi protein yang
cukup membuat pertumbuhan dan perbaikan sel-sel untuk melaksanakan fungsinya dalam
proses pertumbuhan (Almatsier, 2010) 4. Asupan Fe Menurut (Badriah, 2011) zat Besi (Fe)
merupakan bagian dari mikronutrien yang dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan
perkembangan anak, dengan menghambat pertumbuhan linier. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata asupan Fe sebelum diberikan intervensi dan sesudah diberikan intervensi
memiliki selisih ratarata 2,09. Bila dilihat dari rata-rata terjadi peningkatan asupan Fe yang
dimiliki oleh siswa stunting yang diketahui dari hasil food recall 2 x 24 jam dengan
melakukan wawancara terhadap responden yang merupakan ibu dari sampel secara langsung.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan defisiensi tingkat kecukupan zat besi dalam tubuh

90
yang dapat menyebabkan stunting. Hal ini diperkuat oleh penelitian Damayanti, dkk tahun
2016 yang menyebutkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan zat besi
dengan stunting.

BAB III PENUTUP

Hipotesa Penelitian

a) Usia ibu hamil trimester III merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita 1-5
tahun terhadap kejadian stunting

b) Kadar Hb ibu hamil trimester III merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita 1-5
tahun terhadap kejadian stunting

c) LILA ibu hamil trimester III merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita 1-5
tahun terhadap kejadian stunting

d) Frekuensi ANC ibu hamil trimester III merupakan faktor risiko kejadian stunting pada
balita 1-5 tahun terhadap kejadian stunting

e) Berat Bayi Lahir merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita 1-5 tahun terhadap
kejadian stunting

f) Pemberian ASI eksklusif merupakan faktor risiko kejadian stunting pada balita 1-5 tahun
terhadap kejadian stunting g) Usia pemberian MP ASI merupakan faktor risiko kejadian
stunting pada balita 1-

91
MAKALAH

ANEMIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekologi Pangan dan Gizi

Dosen pengampu : Mery Merlisia S.Gz, M.P.H

Disusun oleh :

Ribka Stia Kristiana 183001010013

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

92
UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

2021

93
KATA PENGANTAR

Puji syukur, itulah kiranya kata yang terindah yang patut kita ucapkan atas kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia dan hidayah-Nya kepada kita semua,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah tentang “Anemia” ini tepat pada
waktunya. Makalah ini kami susun sebagai tugas untuk memenuhi proses pembelajaran
dalam mata kuliah Ekollogi Pangan dan Gizi. Dalam penyusunan makalah ini, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Ekologi Pangan Dan Gizi
“Mery Merlisia S.Gz, M.P.H” yang telah menjelaskan kepada kami tentang
penyusunan makalah ini.
Kepada teman-teman yang telah memberi dukungan sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat waktu.
Sumber-sumber yang ikut memberikan sumbangan pemikirannya dan berpartisipasi
dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari
segi penyusunan maupun dari segi bahasannya. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah
yang kami susun ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya bagi kami sendiri dan umumnya bagi para pembaca sehingga
tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Jambi, 28 Februari 2021

Penulis

94
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2

1.3 Manfaat .............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 3

2.1 Defenisi Anemia ............................................................................................... 3

2.2 Penyabab Anemia.............................................................................................. 3

2.3 Gejala anemia ................................................................................................... 6

2.4 Jenis Anemia ..................................................................................................... 8

2.5 Pencegahan Anemia.......................................................................................... 9

2.6 Pengobatan pada Penderita Anemia................................................................ 9

2.7 Contoh kasus anemia ...................................................................................... 10

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 11

3.1 Kesimpulan........................................................................................................ 11

3.2 Saran .................................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 12

95
BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pada masalah gizi dapat menimbulkan suatu tidak seimbangnya tubuh manusia dan
dapat menimbulkan penyakit lainnya. Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat.
Namun penanggulannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan
kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multi faktor, karena itu pendekatan
penanggulangan harus melibatkan berbagai sektor yang terkait. Dan pada masalah gizi pada
anemia gizi disini merupakan kondisi sakit seseorang yang disebabkan oleh berbagai faktor,
diantaranya yaitu: perdarahan, kekurangan makanan yang mengandung besi, dan lain-lain.
Anemia gizi defisiensi besi dapat dilihat dari kadar Hb, dan penderita yang sering
mengalaminya yaitu pada wanita, disebabkan karena menstruasi, kehamilan dan pada bayi:
karena membutuhkan gizi zat besi yang tinggi karena proses pertumbuhan yang cepat.
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar di dunia terutama bagi
kelompok wanita usia produktif (WUS). Anemia pada usia WUS dapat menimbulkan
klelahan, badan lemah, penurunan kapasitas/kemampuan atau produktivias kerja. Bagi ibu
hamil. Anemia berperan pada peningkatan prevalensi kematian dan kesakitan ibu, dan bagi
bayi yang dapat meningkatkan resiko kesakitan dan kematian bayi, serta BBLR.
Di Indonesia, anemia gizi masih merupakan salah satu masalah gizi yang utama di
Indonesia, disamping tiga masalah gizi lainya, yaitu kurang kalori protein, defesiensi vitamin
A, dan gondok endemic. Dampak kekurangan zat besi pada ibu hamil dapat diamati dari
besarnya angka kesakitan dan kematian maternal, peningkatan angka kesakitan dan kematian
janin, serta resiko BBLR. Penyebab kematian maternal, antara lain pendarahan pascapartum
(disamping eklamsia, dan penyakit infeksi) dan plasenta previa yang semua bersumber pada
anemia defisiensi

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka rumusan masalah
dalam makalah ialah:

Apa definisi anemia ?


Apa yang menjadi penyebab anemia ?
Bagaimana gejala pada anemia ?
Apa saja jenis-jenis anemia ?
Bagimanakah pencegahan pada anemia ?
Bagaimana pengobatan anemia ?

Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan memberi manfaat yang signifikan kepada para
pembaca. Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah: Pertama, agar menambah
wawasan pembaca, yang secara khususnya mengenai Anemia . Kedua, untuk
menambah ilmu pengetahuan bagi saya sebagai penulis. Ketiga, makalah ini ditulis
khususnya untuk memenuhi tuntutan akademik guna memenuhi salah satu persyaratan
menyelesaikan mata Kuliah Ekologi Pangan dan Gizi Program Kesehatan dan
Farmasi di Universitas Adiwangsa Jambi

97
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Anemia

Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan
kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935). Anemia adalah
berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan
volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256). Dengan
demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau penyakit, melainkan merupakan
pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh dan perubahan
patotisiologis yang mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang seksama, pemeriksaan
fisik dan informasi laboratorium.

Anemia , dalam bahasa yunani tanpa darah adalah penyakit kurang darah yang
ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah
dibandingkan normal.Jika kadar hemoglobin kurang dari 14g/dl dan eritrosit kurang dari 41%
pada pria , maka pria tersebut dikatakan anemia. Demikian pula pada wanita , wanita yang
memiliki kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dl dan eritrosit kurang dari 37% , maka wanita
itu dikatakan anemia.Berikut ini katagori tingkat keparahan pada anemia.

Kadar Hb 10 gram- 8 gram disebut anemia ringan


Kadar Hb 8 gram -5 gram disebut anemia saedang.
Kadar Hb kurang dari 5 gram disebut anemia berat.
Karena hemoglobin terdapat dalam sel darah merah , setiap ganguan pembentukan sel darah
merah , baik ukuran maupun jumlahnya , dapat menyebabkan terjadinya anemia. Ganguan
tersebut dapat terjadi di pembentukan sel (sum-sum tulang) maupun ganguan karena
kekurangan komponen penting seperti zat besi , asam folat maupun vitamin B 12. (Soebroto
Ikhsan,Cara Mudah Mengatasi Problem Anemia,Cetakan 1, Yogyakarta 2009)

2.2 Penyebab Anemia

Anemia umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Gizi yang buruk atau
gangguan penyerapan nutrisi oleh usus. Juga adapat menyebabkan seseorang mengal;ami
kekurangan darah. Demikian juga pada wanita hamil atau menyusui, jika asupan zat besi
berkurang, besar kemungkinan akan terjadi anemia. Pendarahan saluran pencernaan,
kebocoran pada saringan darah di ginjal, menstruasi yang berlerbihan, serta para pendonor
darah yang tidak diimbangi dengan gizi yang baik dapat mjemiliki resiko anemia.

Perdarahan akut juga dapat menyebabkan kekurangan darah. Pada saat terjadi
pendarahan yang hebat, mungkin gejala anemia belum tampak transfusi darah merupakan
tindakan penanganan terutama jika terjadi pendarahan akut. Pendarahan teresebut biasanya
tidak kita sadari. Pengeluaran darah biasanya berlangsung sedikit demi sedikit dan dalam
waktu yang lama.Berikut ini tiga kemungkinan dasar penyebab anemia :

Penghancuran sel darah merah yang berlebihan.


Bisa disebut anemia hemolitik ,muncul saat sel darah merah dihancurkan lebih cepat
dari normal (umur sel darah merah normalnya 120 hari).Sumsum tulang penghasil sel
darah merah tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan sel darah merah.
Kehilangan darah
Kehilangan darah dapat menyebabkan anemia karena perdarahan
berlebihan,pembedahan atau permasalahan dengan pembekuan darah.Kehilangan
darah yang banyak karena menstruasi pada remaja atau perempuan juga dapat
menyebabkan anemia.Semua faktor ini akan meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat
besi ,karena zat besi dibutuhkan untuk membuat sel darah merah baru.
Produksi sel darah merah yang tidak optimal
Ini terjadi saat sumsum tulang tidak dapat membentuk sel darh merah dalam jumpah
cukup.ini diakibatkan infeksi virus,paparan terhadap kimia beracun atau obat-
obatan(antibiotic, antikejang atau obat kanker)
2.3 Gejala Anemia

Gejala yang sering kali muncul pada penderita anemia di antaranya:

Lemah ,letih,lesu ,mudah lelah dan lunglai.


Wajah tampak pucat.
Mata berkunang-kunang.
Sulit berkosentrasi dan mudah lupa.
Pada bayi dan batita biasanya terdapat gejala seperti kulit pucat atau berkurangnya
warna merah muda pada bibir dan bawah kuku.Perubahan ini dapat terjadi perlahan-
lahan sehingga sulit disadari.

99
Jika anemia disebabkan penghancuran berlebihan dari sel darah merah ,makaterdapat
gejala lain seperti warna kuning pada bagian putih mata ,pembesaran limpa dan warna
urin seperti teh.
2.4 Jenis-Jenis Anemia

Anemia defisiensi zat besi


Anemia yang paling banyak terjadi adalah anemia akibat kurangnya zat besi . Zat besi
merupakan bagian dari molekul hemoglobin. Ketika tubuh kekurangan zat besi ,
produksi hemoglobin akan menurun. Meskipun demikian , penurunan hemoglobin
sebetulnya baru akan terjadi jika cadangan zat besi (Fe) dalam tubuh sudah benar-
benar habis. Kurangnya zat besi dalam tubuh bisa disebabkan banyak hal.
Kekurangan zat besi pada bayi mungkin disebabkan prematuritas, atau bayi tersebut
lahir dari seorang ibu yang menderita kekurangan zat besi. Pada anak-anak mungkin
disebabkan oleh asupan makanan yang kurang mengandung zat besi . Sedangkan pada
orang dewasa , kurangnya zat besi pada prinsipnya hampir selalu disebabkan oleh
pendaraah menahun atau berulang-ulang yang bisa berasal dari semua bagian tubuh.
Faktor resiko terjadinya anemia memang lebih besar pada perempuan di bandingkan
kaum pria, cadangan besi dalam tubuh perempuan lebih sedikit daripada pria ,
sedangkan kebutuhan perharinya justru lebih tinggi. Setiap harinya seorang wanita
akan kehilangan sekitar 1-2 mg zat besi melalui ekskresi 9 secara normal, pada saat
mentruasi, kehilangan zat besi bisa bartambah hingga 1 mg lagi. Kebutuhan zat besi
pada wanita juga meningkat pada saat hamil dan melahirkan, ketika hamil seorang ibu
di tuntut untuk memenuhi kebutuhan zat besi untuk dirinya, tetapi juga harus
memenuhi kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan janinya.selain itu ,pendarahan saat
melahirkan juga dapat menyebabkan seorang ibu kehilangan banyak zat besi.
Anemia Defisiensi Vitamin C
Anemia karena kekurangan vitamin c adalah sejenis anemia yang jarang terjadi,yang
disebabkan oleh kekurangan vitamin c yang berat dalam jangka waktu lama.
Penyebab kekurangan vitamin c biasanya adalah kurangnya asupan vitamin c dalam
makanan sehari hari. Salah satu fungsi vitamin c adalah membantu menyeret zat besi,
sehingga jika terjadi kekurangan vitamin c, maka jumlah zat besi yang diserap akan
berkurang dan bisa terjadi anemia. Untuk mendiagnosa penyakit ini dilakukan
pengukuran kadar vitamin c dalam darah. Pada anemia jenis ini sum-sum tulang
menghasilkan sel darah merah berukuran kecil.

100
Anemia Makrositik
Jenis anemia ini disebabkan karena tubuh kekurangan vitamin B12 atau asam folat.
Anemia ini memiliki ciri sel-sel darah abnormal dan berukuran besar (Makrositer)
dengan kadar hemoglobin per eritrosit yang normal atau lebih tinggi (hiperkrom) dan
MCV tinggi. MCV atau Mean Corpuscular Volume merupakan salah satu
karakteristik sel darah merah. Sekitar 90% anemia makrositik yang terjadi adalah
anemia pernisiosa. Selain menggangu proses pembentukan sel darah merah
kekurangan vitamin B12 juga mempengaruhi sistem saraf, sehingga penderita anemia
ini akan merasakan kesemutan ditangan dan kaki, tungkai dan kaki, dan tangan seolah
mati rasa, serta kaki dalam bergerak. Gejala lain yang dapat terlihat diantaranya
adalah buta warna tertentu, termasuk warna kuning dan biru, luka terbuka dilidah atau
lidah seperti terbakar, penurunan berat badan,warna kulit menjadi lebih
gelap,linglung,depresi,penurunan fungsi intelektual. Biasanya kekurangan vitamin
B12 terdiagnosis pada pemeriksaan darah rutin untuk anemia.pada contoh darah yang
diperiksadibawah mikroskop 10 ,tampak selah merah berukuran besar .juga dapat
dilihat perubahan sel darah putih dan trombosit,terutama jika penderita anemia dalam
jangka waktu yang lama.jiika diduga terjadi kekurangan ,maka dilakukan pengukuran
kadar vitamin B12 dalam darah
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik terjadi bila sel darah merah dihancurkan jauh lebih cepa tdari
normal. Umur sel darah merah normalnya 120 hari. Pada anemia hemolitik, umur sel
darah merah lebih pendek sehingga sum-sum tulang penghasil sel darah merah tidak
dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan sel darah merah.
Anemia Sel Sabit
Anemia sel sabit (sickle cell anemia) adalah suatu penyakit keturunan yang ditandai
dengan sel darah merah yang berbentuk sabit, kaku, dan anemia hemolitik kronik.
Pada penyakit sel sabit, sel darah merah memiliki hemoglobin(prootein pengangkut
oksigen) yang bentuknya abnormal, sehingga mengurangi jumlah oksigen dalam sel
dan menyebabkan bentuk sel menjadi seperti sabit. Sel yang berbentuk sabit akan
menyumbat dan merusak pembuluh darah terkecil dalam limpa, ginjal, otak, tulang,
dan organ lainnya, dan menyebabkan kurangnya pasokan oksigen ke organ tersebut.
Sel sabit ini rapuh dan akan pecah pada saat melewati pembuluh darah, kerusakan
organ, bahkan sampai pada kematian.
Anemia Aplastik
101
Merupakan jenis anemia yang berbahaya, karena dapat mengancam jiwa. Anemia
aplastik terjadi bila” pabrik” (sumsum tulang ) pembuatan darah merah terganggu.
Pada anemia aplastic, terjadi penurunan produksi sel darah (eritrosit, leukosit dan
trombosit). Anemia aplastik disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus dan
terkait dengan penyakit-penyakit yang lain.
2.5 Pencegahan pada Anemia

Pencegahan Primer pada Anemia


Pendidikan
Pendidikan dan upaya yang ada kaitannya dengan peningkatan asupan zat besi
melalui makanan konsumsi tablet zat besi dapat menimbulkan efek samping yang
mengganggu sehingga orang cenderung menolak tablet yang diberikan. Agar
mengerti, harus diberikan pendidikan yang tepat misalnya tentang bahaya yang
mungkin terjadi akibat anemia, dan harus pula diyakinkan bahwa salah satu
penyebab anemia adalah defisiensi zat besi. Asupan zat besi dari makanan dapat
ditingkatkan melalui tiga cara :
Memastian konsumsi makanan yang cukup mengandung kalori sebesar yang
semestinya dikonsumsi.
Meningkatkan ketersediaan hayati zat besi yang dimakan, yaitu dengan jalan
mempromosikan makanan yang dapat memacu dan menghindarkan pangan
yang bisa mereduksi penyerapan zat besi.
Peningkatan gizi berupa makan makanan yang mengandung vitamin zat bezi,
seperti sayur-sayuran (bayam, kangkung, jagung), telur, kismis.
Pola Istirahat Mengacu pada kegiatan/aktifitas yang mengakibatkan tubuh
mengalami/beresiko terkena anemia.menghindari kondisi dimana tubuh
mengalami gangguan pembentukan sel darah merah.dan istirahat yang
dianjurkan adalah minimal 8 jam per hari.
Pola Hidup Menjaga agar sedikitnya jumlah hemoglobin dalam eritrosit.
Kekurangan hemoglobin ini menyebabkan kemampuan darah mengikat
oksigen berkurang.
Pola Aktifitas Menjaga kondisi dimana tubuh kekurangan zat gizi yang
diperlukan untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam
folat. Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan,
kelainan genetik, penyakit kronik, keracunan obat, dan sebagainya.

102
Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan
oksigen. Melakukan tes darah secara rutin untuk melihat profil darah dan
mencegah terjadinya anemia.
Melakukan tes laboratorium Mengetahui kandungan B12 dalam darah sehingga
bisa membedakan antara anemia biasa dengan anemia pernicious. Bila
ternyata kadar vitamin B12 normal, maka dapat dilakukan pemberian asam
folat dengan dosis 0,1-1,0 mg/hari.
Pencegahan Sekunder pada Anemia
Pengawasan penyakit infeksi
Pengobatan yang efektif dan tepat waktu dapat mengurangi dampak gizi yang
tidak diingini. Meskipun, jumlah episode penyakit tidak berhasil dikurangi,
pelayanan pengobatan yang tepat telah terbukti dapat menyusutkan lama serta
beratnya infeksi. Tindakan yang penting sekali dilakukan selama penyakit
berlangsung adalah mendidik keluarga penderita tentang cara makan yang sehat
selama dan sesudah sakit. Pengawasan penyakit infeksi memerlukan upaya
kesehatan seperti penyediaan air bersih, perbaikan sanitasi lingkungan dan
kebersihan perorangan. Jika terjadi infeksi parasit, tidak bisa disangkal lagi,
bahwa cacing tambang (Ancylostoma dan Necator) serta Schistosoma yang
menjadi penyebabnya.
Fortifikasi makanan pokok dengan zat besi
Fortifikasi makanan yang banyak dikonsumsi dan yang diproses secara terpusat
merupakan inti pengawasan anemia di berbagai negara. Fortifikasi makanan
merupakan salah satu cara terampuh dalam pencegahan defisiensi zat besi. Di
negara industri, produk makana fortifikasi yang lazim adalah tepung gandum
serta roti makanan yang terbuat dari jagung dan bubur jagung. Di negara sedang
berkembang lain telah dipertimbangkan untuk memfortifikasi garam, gula, beras
dan saus ikan.
Tranfusi Darah
Suatu tindakan medis yang bertujuan mengganti kehilangan darah pasien. Darah
yang tersimpan di dalam kantong darah dimasukan ke dalam tubuh melalui
selang infus.
Pemberian tablet atau suntikan zat besi
Tablet tambah darah pada pekerja atau lama suplementasi selama 3- 4 bulan
untuk meningkatkan kadar hemoglobin, karena kehidupan sel darah merah hanya
103
sekitar 3 bulan atau kehidupan eritrosit hanya berlangsung selama 120 hari, maka
1/20 sel eritrosit harus diganti setiap hari atau tubuh memerlukan 20 mg zat besi
perhari. Tubuh tidak dapat menyerap zat besi (Fe) dari makanan sebanyak itu
setiap hari, maka suplementasi zat besi tablet tambah darah sangat penting
dilakukan zat besi.
Melakukan tes laboratorium
Mengetahui kandungan B12 dalam darah sehingga bisa membedakan antara
anemia biasa dengan anemia pernicious. Bila ternyata kadar vitamin B12 normal,
maka dapat dilakukan pemberian asam folat dengan dosis 0,1-1,0 mg/hari.
Pencegahan Tersier pada Anemia
Pemberian suntikan untuk menghentikan pendarahan pemberian suntikan untuk
menghentikan pendarahan seperti vitmin B12 atau B kompleks
Mengonsumsi bahan makanan sumber utama zat besi, asam folat, vitamin B6, dan
vitamin B12 seperti daging dan sayuran sesuai kecukupan gizi yang dianjurkan.
Melakukan tes laboratorium untuk mengetahui kandungan B12 dalam darah sehingga
bisa membedakan antara anemia biasa dengan anemia pernicious. Bila ternyata
kadar vitamin B12 normal, maka dapat dilakukan pemberian asam folat dengan
dosis 0,1-1,0 mg/hari.
Mengkonsumsi Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah
merah.
2.6 Pengobatan pada Penderita Anemia

Perlu diketahui, anemia hanyalah sebuah gejala dan menemukan penyebabnya adalah
langkah penting dalam penanganan anemia.Pada dasarnya pengobatan akan disesuaikan
dengan penyebab terjadinya anemia.

2.7 Contoh Kasus Anemia

Dari berbagai banyak klasifikasi atau golongan dari anemia maka sesuai dengan
bahan ini, saya mengangkut kasus mengenai anemia defisiensi besi (Fe). An. Samson,
seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa ke dokter dengan keluhan pucat. Menurut
anamnesis dari ibu, anaknya terlihat pucat sejak 2 bulan yang lalu. Keluhan lain yang
menyertai adalah demam yang tidak terlalu tinggi, perut mual, dan susah makan. Sejak kecil
Samson memang tidak suka makan daging. Kata guru TK-nya, saat mengikuti pelajaran
Samson sering tertidur di kelas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pucat, bising

104
jantung, tidak didapatkan hepatomegali ataupun splenomegali. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb 8,0 g/dL. Dokter memberikan tablet tambah darah untuk
Samson.

Pada kasus diatas, pasien mengalami anemia, namun hasil pemeriksaan lebih lanjut
belum didapatkan, sehingga tipe anemia yang lebih spesifik belum diketahui. Namun
berdasarkan pemeriksaan hemoglobin, Hb 8 gr/dL menunjukkan bahwa pasien memang
mengalami anemia, karena pada anak-anak, Hb dibawah 11 g/dL dikategorikan sebagai
anemia. Untuk menentukan jenis anemia yang spesifik agar penatalaksanaannya berjalan
efektif perlu dilakukan serangkaian tes lain,seperti tes laboratorium.

Defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan enzim aldehid oksidase sehingga terjadi
penumpukan serotonin yang merupakan pengontrol nafsu makan. Hal ini mengakibatkan
reseptor 5 HT meningkat, di usus halus menyebabkan mual dan muntah. Selain itu, defisiensi
besi juga dapat menyebabkan gangguan enzim monoamino oksidase sehingga terjadi
penumpukan katekolamin dalam otak. Hal inilah yang menjadi sebab terjadinya keadaan
mual dan sulit makan.

Selanjutnya, pasien sering tidur di kelas karena oksigen yang tersedia dalam darah
tidak cukup untuk menyuplai kebutuhan sel-sel otak, sehingga pasien mengantuk dan sering
tertidur. Sedangkan bising jantung disebabkan akibat kerja jantung yang lebih kuat karena
adanya gangguan oksigenasi jaringan. Seperti yang telah dikemukakan dalam kasus, pasien
tidak suka makan daging. Padahal, daging merupakan sumber zat besi sebagai pembentuk
heme yang absorpsinya tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai
bioavailabilitas tinggi. Selain besi, daging juga mengandung zat gizi lain, misalnya asam
folat. Tablet tambah darah yang diberikan berisi besi dan asam folat, jadi sesuai terapi anemia
defisiensi besi yang dianjurkan.

105
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen
darah, eleman tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel
darah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada banyak
tipe anemia dengan beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 1999)

Anemia umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Gizi yang buruk atau
gangguan penyerapan nutrisi oleh usus. Juga adapat menyebabkan seseorang mengalami
kekurangan darah. Demikian juga pada wanita hamil atau menyusui, jika asupan zat besi
berkurang, besar kemungkinan akan terjadi anemia. Pendarahan saluran pencernaan,
kebocoran pada saringan darah di ginjal, menstruasi yang berlerbihan, serta para pendonor
darah yang tidak diimbangi dengan gizi yang baik dapat mjemiliki resiko anemia. Gejala
yang sering kali muncul pada penderita anemia di antaranya: lemah , letih, lesu , mudah lelah
dan lunglai, wajah tampak pucat, mata berkunang-kunang, sulit berkosentrasi dan mudah
lupa.

Pencegahan penyakit anemia dengan, meningkatkan konsumsi makanan yang


mengandung zat besi dan bahan makanan hewani dan nabati, menghindari konsumsi zat
penghambat penyerapan zat besi, menambah pemasukan zat besi dalam tubuh dengan minum
tablet tambah darah, mengobati penyakit yang menyebabkan berat anemia seperti malaria dan
TBC.

3.2 Saran

Demikianlah makalah yang telah kami susun mengenai anemia, yang meliputi
berbagai macam klasifikasinya.demi kesempurnaan makalah ini kami harapkan kritikan serta
saran yang membangun. Saran dari penulis kami harapkan agar pembaca dapat memaknai
makalah ini. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua
DAFTAR PUSTAKA

Adhisti, AP. 2011. Hubungan Status Antropometri dan Asupan Gizi dengan Kadar
Hemoglobin dan Ferritin Remaja Putri. Artikel Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro

Almatsier, S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 160-252

Arisman. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Penerbit: Buku Kedokteran EGC. 2008. Palembang.

Marilyn E. 2006. Human Nutrition and Dietetics. London: Churchill Livingstone.

Nan Warouw N. dan Sugiarto W. Hubungan Serum Ferritin Ibu Hamil Trimester ketiga
dengan Bayi Berat Lahir Rendah. Majalah Cermin Dunia Kedokteran No. 146, 2005.
Penerbit: PT Kalbe Farma Tbk. Jakarta

Smeltzer. 2002. Nutritional concerns of Women Second Edition. London: CRC Press.
UNICEF/UNU/WHO/MI. Preventing Iron Deficiency in Women and Children
Technical Consensus on Key Issues. USA, 1998.

WHO. Indicators For Assessing Vitamin A Deficiency and Their Application in Monitoring
and Evaluating Intervention Programmes. Micronutrient Series. Geneva, 1996.

MAKALAH

OBESITAS

107
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah gizi kesehatan masyarakat

Dosen pengampu : Mery Merlisia S.Gz, M.P.H

Disusun oleh :

Dian Mayang Sari 183001010003

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

2021

108
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah dengan
judul “Obesitas” guna memenuhi sebagian persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Gizi Kesehatan Masyarakat Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas
Adiwangsa Jambi

Penulis menyadari kelemahan serta keterbatasan yang ada sehingga dalam


menyelesaikan skripsi ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah kepemimpinan dan sistem
berfikir kesehatan masyarakat “Mery Merlisia S.Gz, M.P.H” yang telah menjelaskan
kepada kami tentang penyusunan makalah ini.
Kepada teman-teman yang telah memberi dukungan sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat waktu.
Sumber-sumber yang ikut memberikan sumbangan pemikirannya dan berpartisipasi
dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan baik isi maupun
susunannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis juga bagi para
pembaca.

Jambi 01 Maret 2021


DAFTAR ISI

Penulis

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2

109
1.3 Manfaat .............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 3

2.1 Defenisi Obesitas............................................................................................... 3

2.2 Penentuan Obesitas........................................................................................... 3

2.3 Gejala Obesitas.................................................................................................. 6

2.4 Jenis Obesitas berdasarkan metabolisme tubuh............................................. 8

2.5 Pencegahan Oebesitas....................................................................................... 9

2.6 Resiko Obesitas................................................................................................. 10

2.7 Faktor yang menyebabkan obesitas secara langsung....................................11

2.8 Faktor yang menyebabkan obesitas secara tidak langsung...........................12

2.9 Diagnosis Obesitas ........................................................................................... 13

2.10Tipe-tipe Obesitas ........................................................................................... 14

2.11. Penyebab Obesitas ......................................................................................... 14

BAB III PENUTUP......................................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan................................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 16

110
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Obesitas atau lebih dikenal dengan kegemukan merupakan salah satu masalah yang
cukup merisaukan di kalangan remaja1 . Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai
akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan2 . Penyebab utama obesitas belum
diketahui secara jelas, namun obesitas pada remaja terlihat cenderung kompleks,
multifaktorial, dan menjadi pencetus terjadinya penyakit kronis dan degeneratif1 . Obesitas
muncul pada masa remaja cenderung akan berlanjut hingga ke masa dewasa dan lansia.
Seperti yang telah disampaikan bahwa obesitas merupakan salah satu faktor risiko penyakit
degeneratif seperti penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, artritis, penyakit kantong
empedu, beberapa jenis kanker, gangguan fungsi pernapasan, dan berbagai gangguan kulit.

Menurut National Health and Nutrition Examination Survey 1999- 2000, bahwa
diperkirakan 13% anak-anak berusia 6-11 tahun dan 14% remaja berusia 12-19 tahun
mengalami overweight4 . Riset Kesehatan dasar (2013) menunjukkan prevalensi gemuk pada
remaja usia 16 – 18 tahun di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010
yaitu 1,4% menjadi 7,3%5,6. Provinsi dengan prevalensi gemuk tertinggi adalah DKI Jakarta
(4,2%) dan terendah adalah Sulawesi Barat (0,6%). Sedangkan 15 provinsi dengan prevalensi
sangat gemuk diatas prevalensi nasional.

Adapun faktor-faktor risiko terhadap obesitas yaitu pola makan, gaya hidup,
kurangnya aktivitas dan kurangnya kesadaran pada remaja8 . Para remaja biasanya
mempunyai kegemaran yang tidak lazim, seperti menjadi vegetarian, kesibukan yang mana
menjadikan mereka memilih makanan di luar atau hanya menyantap kudapan salah satunya
junk food . Tidak sedikit survei yang mencatat bahwa, adanya ketidakcukupan asupan zat gizi
para remaja. Remaja di Amerika Serikat tidak setiap hari konsumsi buah dan sayur, tetapi
untuk konsumsi kudapan asin dan manis sebesar 70%3 . Berdasarkan Riskesdas (2010)
disebutkan bahwa masih banyak penduduk yang tidak cukup mengonsumsi sayuran dan
buah-buahan6 . Sedangkan data Riskesdas (2013) menyebutkan sebanyak 93,5% penduduk
usia > 10 tahun mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan di bawah anjuran5 . Menurut Buku
Panduan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) bahwa anjuran konsumsi sayuran dan
buah-buahan untuk.

Rumusan Masalah

1.Apakah definisi obesitas?

2.Bagaimana penetuan obesitas

3.Apa saja tipe-tipe obesitas?

4.Bagaimana resiko obesitas?

5.Bagaimana faktor yang menyebabkan obesitas secara langsung dan tidak langsung?

6.Apa saja gejal-gejala obesitas?

7.Diagnosis apa saja didalam obesitas?

8.Bagaimana jenis-jenis obesitas berdasarkan metabolisme tubuh?

9.Bagaimana cara pencegahan oebesitas?

Manfaat Penulisan

1.Untuk mengetahui definisi obesitas

2.Untuk mengetahui penetuan obesitas

3. Untuk mengetahui tipe-tipe obesitas

4.Untuk mengetahui resiko obesitas

5.Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan obesitas secara langsung dan tidak langsung

6.Untuk mengetahui gejala-gejala obesitas

7. Untuk mengetahui Diagnosis obesitas

112
8. Untuk mengetahui jenis-jenis obesitas berdasarkan metabolisme tubuh

9. . Untuk mengetahui pencegahan obesitas

113
BAB II

PEMBAHASAN

Definisi Obesitas

Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam
jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang terjadi perluasan ke
dalam jaringan organnya (Misnadierly, 2007). Obesitas merupakan keadaan yang
menunjukkan ketidakseimbangan antara tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak
dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang melampaui ukuran ideal
(Sumanto, 2009). Terjadinya obesitas lebih ditentukan oleh terlalu banyaknya makan,
terlalu sedikitnya aktivitas atau latihan fisik, maupun keduanya (Misnadierly, 2007).
Dengan demikian tiap orang perlu memperhatikan banyaknya masukan makanan
(disesuaikan dengan kebutuhan tenaga sehari-hari) dan aktivitas fisik yang dilakukan.
Perhatian lebih besar mengenai kedua hal ini terutama diperlukan bagi mereka yang
kebetulan berasal dari keluarga obesitas, berjenis kelamin wanita, pekerjaan banyak
duduk, tidak senang melakukan olahraga, serta emosionalnya labil.

Penentuan Obesitas

Keadaan obesitas ditentukan dengan mengklasifikasikan status gizi berdasarkan


Indeks Massa Tubuh (IMT), seperti pada tabel 1. Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan
rumus matematis yang berkaitan dengan lemak tubuh orang dewasa, dan dinyatakan
sebagai berat badan dalam kilogram dibagi dengan kwadrat tinggi badan dalam.ukuran
meter (Arisman,2007).

Rumus menentukan IMT : IMT = BB /TB²

Tabel 1

Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT

Status Gizi IMT

KKP I <16
KKP II 16,0 -16,9

KKP III 17,0 – 18,4

Normal 18,5 – 24,9

Obesitas I 25,0 – 29,9

Obesitas II 30,0 – 40,0

Obesitas III >40

Tipe-Tipe Obesitas

Berdasarkan kondisi selnya kegemukan dapat digolongkan dalan beberapa tipe


(Purwati, 2001) yaitu :

Tipe Hiperplastik, adalah kegemukan yang terjadi karena jumlah sel yang lebih banyak
dibandingkan kondisi normal, tetapi ukuran sel-selnya sesuai dengan ukuran sel normal
terjadi pada masa anak-anak.Upaya menurunkan berat badan ke kondisi normal pada masa
anak-anak akan lebih sulit.

Tipe Hipertropik, kegemukan ini terjadi karena ukuran sel yang lebih besar dibandingkan
ukuran sel normal. Kegemukan tipe ini terjadi pada usia dewasa dan upaya untuk
menurunkan berat akan lebih mudah bila dibandingkan dengan tipe hiperplastik.

Tipe Hiperplastik dan Hipertropik kegemukan tipe ini terjadi karena jumlah dan ukuran sel
melebihi normal. Kegemukan tipe ini dimulai pada masa anak - anak dan terus berlangsung
sampai setelah dewasa. Upaya untuk menurunkan berat badan pada tipe ini merupakan yang
paling sulit, karena dapat beresiko terjadinya komplikasi penyakit, seperti penyakit
degeneratif. Berdasarkan penyebaran lemak didalam tubuh, ada dua tipe obesitas yaitu:

Tipe buah apel (Adroid), pada tipe ini ditandai dengan pertumbuhanlemak yang berlebih
dibagian tubuh sebelah atas yaitu sekitar dada, pundak, leher, dan muka. Tipe ini pada
umumnya dialami pria dan wanita yang sudah menopause. Lemak yang menumpuk adalah
lemak jenuh.

115
Tipe buah pear (Genoid), tipe ini mempunyai timbunan lemak pada bagian bawah, yaitu
sekitar perut, pinggul, paha, dan pantat. Tipe ini banyak diderita oleh perempuan. Jenis
timbunan lemaknya adalah lemak tidak jenuh

Resiko obesitas

Dari segi fisik, orang yang mengalami obesitas akan mengalami rendah diri dan
merasa kurang percaya diri. Sehingga seringkali akan mengalami tekanan, baik dari
dirinya sendiri maupun dari lingkungannya ( Purwati, 2001) Kelebihan penimbunan
lemak diatas 20% berat badan idial, akan menimbulkan permasalahan kesehatan
hingga terjadi gangguan fungsi organ tubuh (Misnadierly, 2007). Orang dengan
obesitas akan lebih mudah terserang penyakit degeneratif. Penyakit – penyakit
tersebut antara lain :

Hipertensi Orang dengan obesitas akan mempunyai resiko yang tinggi terhadap Penyakit
hipertensi. Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 20 – 39 tahun orang
obesitas mempunyai resiko dua kali lebih besar terserang hipertensi dibandingkan dengan
orang yang mempunyai berat Badan normal (Wirakusumah, 1994).

Jantung koroner Penyakit jantung koroner adalah penyakit yang terjadi akibat penyempitan
pembuluh darah koroner. Hasil penelitian menyebutkan bahwa dari 500 penderita
kegemukan, sekitar 88 % mendapat resiko terserang penyakit jantung koroner. Meningkatnya
factor resiko penyakit jantung koroner sejalan dengan terjadinya penambahan berat badan
seseorang. Penelitian lain juga menunjukkan kegemukan yang terjadi pada usia 20 – 40 tahun
ternyata berpengaruh lebih besar terjadinya penyakit jantung dibandingkan kegemukan yang
terjadi pada usia yang lebih tua (Purwati, 2010).

Diabetes Mellitus Diabetes mellitus dapat disebut penyakit keturunan, tetapi kondisi tersebut
tidak selalu timbul jika seseorang tidak kelebihan berat badan. Lebih dari 90 % penderita
diabetes mellitus tipe serangan dewasa adalah penderita kegemukan. Pada umumnya
penderita diabetes mempunyai kadar lemak yang abnormal dalam darah. Maka, dianjurkan
bagi penderita diabetes yang ingin menurunkan berat badan sebaiknya dilakukan dengan
mengurangi konsumsi bahan makanan sumber lemak dan lebih banyak mengkonsumsi
makanan tinggi serat (Purwati, 2001).

116
Gout Penderita obesitas mempunyai resiko tinggi terhadap penyakit radang sendi yang lebih
serius jika dibandingkan dengan orang yang berat badannya ideal. Penderita obesitas yang
juga menderita gout harus menurunkan berat badannya secara perlahan-lahan (Purwati,
2001).

Batu Empedu Penderita obesitas mempunyai resiko terserang batu empedu lebih tinggi
karena ketika tubuh mengubah kelebihan lemak makanan menjadi lemak tubuh, cairan
empedu lebih banyak diproduksi didalam hati dan disimpan dalam kantong empedu. Penyakit
batu empedu lebih sering terjadi pada penderita obesitas tipe buah apel. Penurunan berat
badan tidak akan mengobati penyakit batu empedu, tetapi hanya membantu dalam
pencegahannya. Sedangkan untuk mengobati batu empedu harus menggunakan sinar
ultrasonic maupun melalui pembedahan (Andrianto, 1990).

Kanker Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa laki-laki dengan obesitas akan beresiko
terkena kanker usus besar, rectum, dan kelenjar prostate. Sedangkan pada wanita akan
beresiko terkena kanker rahim dan kanker payudara. Untuk mengurangi resiko tersebut
konsumsi lemak total harus dikurangi. Pengurangan lemak dalam makanan sebanyak 20 – 25
% perkilo kalori merupakan pencegahan terhadap resiko penyakit kanker payudara (Purwati,
2001).

Faktor yang menyebabkan obesitas secara langsung

Genetik Yang dimaksud factor genetik adalah faktor keturunan yang berasal dari orang
tuanya. Pengaruh faktor tersebut sebenarnya belum terlalu jelas sebagai penyebab kegemukan
. Namun demikian, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa factor genetic merupakan
factor penguat terjadinya kegemukan (Purwati, 2001). Menurut penelitian , anakanak dari
orang tua yang mempunyai berat badan normal ternyata mempunyai 10 % resiko kegemukan.
Bila salah satu orang tuanya menderita kegemukan , maka peluang itu meningkat menjadi 40
– 50 %. Dan bila kedua orang tuanya menderita kegemukan maka peluang factor keturunan
menjadi 70–80% (Purwati, 2001).

Hormonal Pada wanita yang telah mengalami menopause, fungsi hormone tiroid didalam
tubuhnya akan menurun. Oleh karena itu kemampuan untuk menggunakan energi akan
berkurang. Terlebih lagi pada usia ini juga terjadi penurunan metabolisme basal tubuh,
sehingga mempunyai kecenderungan untuk meningkat berat badannya (Wirakusumah, 1997).
Selain hormon tiroid hormone insulin juga dapat menyebabkan kegemukan. Hal ini

117
dikarenakan hormone insulin mempunyai peranan dalam menyalurkan energi kedalam sel-sel
tubuh. Orang yang mengalami peningkatan hormone insulin, maka timbunan lemak didalam
tubuhnyapun akan meningkat. Hormon lainnya yang berpengaruh adalah hormone leptin
yang dihasilkan oleh kelenjar pituitary, sebab hormone ini berfungsi sebagai pengatur
metabolisme dan nafsu makan serta fungsi hipotalmus yang abnormal, yang menyebabkan
hiperfagia (Purwati, 2001).

Obat-obatan Saat ini sudah terdapat beberapa obat yang dapat merangsang pusat lapar
didalam tubuh. Dengan demikian orang yang mengkonsumsi obatobatan tersebut, nafsu
makannya akan meningkat, apalagi jika dikonsumsi dalam waktu yang relative lama, seperti
dalam keadaan penyembuhan suatu penyakit, maka hal ini akan memicu terjadinya
kegemukan (Purwati, 2001).

Asupan makan Asupan makanan adalah banyaknya makanan yang dikonsumsi seseorang.
Asupan Energi yang berlebih secara kronis akan menimbulkan kenaikan berat badan, berat
badan lebih (over weight), dan obesitas. Makanan dengan kepadatan Energi yang tinggi
(banyak mengandung lemak dan gula yang ditambahkan dan kurang mengandung serat) turut
menyebabkan sebagian besar keseimbangan energi yang positip ini (Gibney, 2009) Perlu
diyakini bahwa obesitas hanya mungkin terjadi jika terdapat kelebihan makanan dalam tubuh,
terutama bahan makanan sumber energi. Dan kelebihan makanan itu sering tidak disadari
oleh penderita obesitas (Moehyi, 1997). Ada tiga hal yang mempengaruhi asupan makan,
yaitu kebiasaan makan, pengetahuan, dan ketersediaan makanan dalam keluarga. Kebiasaan
makan berkaitan dengan makanan menurut tradisi setempat, meliputi hal-hal bagaimana
makanan diperoleh, apa yang dipilih, bagaimana menyiapkan, siapa yang memakan, dan
seberapa banyak yang dimakan. Ketersediaan pangan juga mempengaruhi asupan makan,
semakin baik ketersediaan pangan suatu keluarga, memungkinkan terpenuhinya seluruh
kebutuhan zat gizi (Soekirman, 2000). Ketersediaan pangan sangat dipengaruhi oleh
pemberdayaan keluarga dan pemanfaatan sumberdaya masyarakat. Sedangkan kedua hal
tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kemiskinan.

Aktivitas Fisik Obesitas juga dapat terjadi bukan hanya karena makan yang berlebihan, tetapi
juga dikarenakan aktivitas fisik yang berkurang sehingga terjadi kelebihan energi. Beberapa
hal yang mempengaruhi berkurangnya aktivitas fisik antara lain adanya berbagai fasilitas
yang memberikan berbagai kemudahan yang menyebabkan aktivitas fisik menurun. Faktor
lainnya adalah adanya kemajuan teknologi diberbagai bidang kehidupan yang mendorong

118
masyarakat untuk menempuh kehidupan yang tidak memerlukan kerja fisik yang berat. Hal
ini menjadikan jumlah penduduk yang melakukan pekerjaan fisik sangat terbatas menjadi
semakin banyak, sehingga obesitas menjadi lebih merupakan masalah kesehatan (Moehyi,
1997).

F. Faktor yang menyebabkan obesitas secara tidak langsung

Pengetahuan gizi. Pengetahuan gizi memegang peranan penting dalam menggunakan pangan
dengan baik sehingga dapat mencapai keadaan gizi yang cukup. Pengetahuan ibu dipengaruhi
oleh pendidikannya.Tingkat pendidikan , pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki sangat
mempengaruhi pengetahuan seseorang. Dengan berbekal pendidikan yang cukup, seseorang
akan lebih banyak memperoleh informasi dalam menentukan pola makan bagi dirinya
maupun keluarganya . Menurut Notoatmojo (1993), Pengetahuan merupakan hasil tahu dan
ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan
diperoleh dari pengalaman diri sendiri atau pengalaman orang lain. Pengetahuan ibu tentang
kesehatan dan gizi mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikannya. Pengetahuan
tidak hanya diperoleh melalui pendidikan formal, namun juga dari informasi orang lain,
media massa atau dari hasil pengalaman orang lain.

Pengaturan Makan Hidangan gizi seimbang adalah makanan yang mengandung zat gizi
tenaga, zat pembangun , dan zat pengatur yang dikonsumsi seseorang dalam waktu satu hari
sesuai dengan kecukupan tubuhnya (Departemen Kesehatan RI, 1996) Makanan sumber
karbohidrat kompleks merupakan sumber energi utama. Bahan makanan sumber karbohidrat
kompleks adalah padi-padian (beras, jagung, gandum), umbi-umbian (singkong ubi jalar dan
kentang), dan bahan makanan lain yang mengandung banyak karbohidrat seperti pisang dan
sagu. Gula tidak mengenyangkan tetapi cenderung dikonsumsi berlebih, konsumsi gula
berlebihan menyebabkan kegemukan. Oleh karena itu konsumsi gula sebaiknya dibatasi
sampai 5% dari jumlah kecukupan energi atau 3-4 sendok makan setiap harinya. Konsumsi
zat tenaga yang melebihi kecukupan dapat mengakibatkan kenaikan berat badan, bila keadaan
ini berlanjut akan menyebabkan obesitas yang biasanya disertai dengan gangguan kesehatan
lainnya. Berat badan merupakan petunjuk utama apakah seseorang kekurangan atau
kelebihan energi dari makanan (Karyadi, 1996). Obesitas dapat terjadi jika konsumsi
makanan dalam tubuh melebihi kebutuhan, dan penggunaan energi yang rendah
(Wirakusumah, 1997). Beberapa penyebab yang menjadikan seseorang makan melebihi
kebutuhan adalah:

119
Makan berlebih Tidak bisa mengendalikan nafsu makan merupakan kebiasaan merupakan
kebiasaan buruk, baik dilakukan dirumah, restoran, saat pesta, maupun pada pertemuan-
pertemuan. Apabila sudah merasa kenyang, janganlah sekali-kali menambah porsi makanan
meskipun makanan yang tersedia sangat lezat. Faktor ini sangat berhubungan erat dengan
rasa lapar dan nafsu makan. Begitu juga saat terjadi stress (rasa takut, cemas), beberapa orang
dalam menghadapinya akan mengalihkan perhatiaannya pada makanan.

Kebiasaan mengemil makanan ringan Mengemil adalah kebiasaan makan yang dilakukan di
luar waktu makan, dan makanan yang dikonsumsi berupa makanan kecil yang rasanya gurih,
manis manis dan biasanya digoreng. Bila kebiasaan ini tidak dikontrol akan dapat
menyebabkan kegemukan, karena jenis makanan tersebut termasuk tinggi kalori. Namun jika
rasa lapar sulit untuk ditahan, maka makanlah makanan yang rendah kalori dan tinggi serat
seperti sayuran dan buah-buahan.

Suka makan tergesa-gesa Makan secara terburu-buru akan menyebabkan efek kurang
menguntungkan bagi pencernaan, selain dapat mengakibatkan rasa lapar kembali. Begitu pula
dengan kebiasaan mengunyah makanan yang kurang halus. Padahal makan dengan tidak
terburu-buru dan mengunyah makanan yang halus akan memelihara kesehatan gigi dan gusi.

Salah memilih dan mengolah makanan Faktor ini biasanya disebabkan karena ketidaktahuan.
Tetapi banyak juga orang yang memilih makanan hanya karena prestise semata. Misalnya,
banyak orang yang lebih memilih makanan yang cepat saji, padahal makanan tersebut banyak
mengandung lemak, kalori dan gula yang berlebih, sedangkan kandungan seratnya rendah.
Selain makanan tersebut, masyarakat juga menyukai makanan gorenggorengan ataupun yang
bersantan. Padahal minyak dan santan selain tinggi kalori, juga merupakan lemak yang
mengandung ikatan jenuh sehingga sulit untuk dipecah menjadi bahan bakar. Oleh karena itu,
biasakanlah memasak dengan cara membakar, merebus, mengukus, memanggang dan
mengetim.

Penyebab obesitas

Obesitas terjadi ketika kadar kalori masuk lebih banyak dari yang dibutuhkan oleh tubuh.
Hal tersebut, menyebabkan energi menjadi berlebihan, sehingga diubah menjadi cadan gan
dalam bentuk lemak. Selain itu, pengaruh genetik, perilaku dan hormonal pada berat badan
juga menjadi salah satu penyebab obesitas.

120
Obesitas dapat ditelusuri ke penyebab medis, seperti sindrom Prader-Willi, sindrom
Cushing, penyakit dan kondisi lainnya. Meski begitu, gangguan ini jarang terjadi. Secara
umum, penyebab utama obesitas adalah jarang beraktivitas serta pola makan dan kebiasaan
makan yang tidak sehat.

Gejala Obesitas

Umumnya obesitas tahap awal tidak memiliki gejala yang berdampak pada tubuh.
Pengidap tidak menyadari bahwa berat badannya terus meningkat serta pakaian lama menjadi
kekecilan. Pengidap umumnya baru akan menyadari gejala tersebut setelah kerabat atau
lingkungan sekitarnya mengingatkan dan memberi tahu. Diagnosis obesitas terjadi ketika
indeks massa tubuh (BMI) adalah 30 atau lebih tinggi.

Indeks massa tubuh dihitung dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi
badan dalam meter kuadrat. Bagi kebanyakan orang, BMI memberikan perkiraan lemak
tubuh yang masuk akal. Sayangnya, BMI tidak secara langsung mengukur kadar lemak dalam
tubuh, sehingga beberapa orang, seperti atlet, memiliki BMI dalam kategori obesitas
meskipun mereka tidak memiliki kelebihan lemak tubuh..

Jenis obesitas berdasarkan metabolisme tubuh

Jenis obesitas yang berbeda mungkin memerlukan jenis perawatan yang berbeda pula.
Alison Field dan rekannya telah menerbitkan perspektif yang bijaksana tentang upaya ini
dalam Journal of American Medical Association (JAMA). Tugas untuk mengidentifikasi
dan memahami subtipe penting dari obesitas berada pada tahap yang sangat awal, berikut
jenis obesitas berdasarkan metabolisme tubuh melansir Conscien Health.

Sekresi insulin tinggi. Sekresi insulin diketahui sangat dapat memprediksi respons
individu terhadap diet rendah lemak untuk pengobatan obesitas.
Individu dengan sekresi insulin tinggi mungkin resisten terhadap penurunan berat
badan dengan diet rendah lemak.

Respons rendah terhadap rasa kenyang. Anak-anak dengan bentuk gen FTO yang terkait
dengan obesitas dengan risiko paling rendah telah terbukti merespons sinyal kenyang yang
lebih baik daripada anak-anak dengan bentuk gen yang berisiko lebih tinggi.
Dengan cara ini, bentuk gen berisiko rendah memberikan perlindungan terhadap makan
berlebihan.Untuk individu yang tidak memiliki perlindungan ini, perawatan yang

121
mengkompensasi ketidakhadirannya mungkin sangat berguna. Respons tinggi terhadap
isyarat makanan. Penglihatan dan penciuman terhadap makanan menimbulkan respons yang
lebih besar, keinginan untuk makan dan mengeluarkan air liur, pada beberapa orang dengan
berat badan berlebih. Preferensi terhadap junk food. Preferensi yang dipelajari untuk makanan
tinggi kalori, lemak, gula, garam, dan junk food dikembangkan sejak dini. Intervensi perilaku yang
disesuaikan mungkin berguna dalam mengatasi faktor risiko ini. Kecanduan makanan. Pesta makan
dan kecanduan makanan adalah dua kondisi berbeda yang mungkin terkait dengan obesitas yang
mungkin memerlukan perawatan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu yang terkena dampak.

Menghindari aktivitas fisik. Individu yang cenderung menghindari aktivitas fisikterbukti


memiliki dampak signifikan terhadap risiko obesitas.Pencegahan obesitas Obesitas merupakan salah
satu faktor penyakit tidak menular (noncommunicable disease) yang dapat dicegah dengan
mengubah gaya hidup (WHO, 2014). Pada tingkat individual (WHO, 2014), obesitas dapat dicegah
dengan:

Membatasi asupan makanan yang mengandung lemak dan karbohidrat.

Meningkatkan konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan, termasuk tumbuhan polong-


polongan, gandum murni dan kacang-kacangan.

Melakukan aktivitas fisik secara teratur (60 menit perhari untuk anak-anak dan 150
menit perhari untuk dewasa).

Selain itu, pencegahan juga perlu dilakukan pada tingkat masyarakat (WHO, 2014), yaitu

Mendukung individu untuk mengikuti pencegahan di atas, melalui komitmen politik


berkelanjutan dan kerja sama dari banyak pihak publik dan swasta.

Memberikan sarana untuk pelaksanaan aktivitas fisik dan menyediakan pilihan


makanan sehat yang dapat dijangkau oleh semua masyarakat, terutama masyarakat
miskin.

Industri makanan juga memiliki peran penting dalam mensukseskan promosi kesehatan
ini (WHO, 2014), dengan cara :
Mengurangi kandungan gula, garam dan lemak pada makanan olahan.
Menyediakan pilihan makanan yang sehat dan bergizi yang terjangkau bagi
konsumen.

122
Melakukan sistem pemasaran yang bertanggung jawab, terutama bagi anak-anak dan
remaja.
Memastikan ketersediaan makanan yang sehat dan mendukung adanya aktivitas fisik
yang teratur di tempat kerja.

Diagnosis Obesitas

Seseorang dewasa dinyatakan mengalami obesitas, jika indeks massa tubuh (IMT)
lebih dari 25. Perhitungan tersebut didapat dengan membandingkan berat badan dengan
tinggi badan. Nilai IMT ini digunakan untuk mengetahui berat badan seseorang normal,
kurang atau berlebih, hingga obesitas. Penanganan obesitas ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan yang normal dan sehat. Untuk mencapai tujuan ini, maka perlu
dilakukan perubahan pola makan, melakukan beberapa cara menahan nafsu makan, dan
peningkatan aktivitas fisik. Di samping itu, ada beberapa metode pengobatan lain untuk
mengatasi obesitas, misalnya:

Mengonsumsi obat penurun berat badan

Mengikuti konseling dan support group untuk mengatasi masalah psikologis terkait berat
badan.

Menjalani operasi bariatrik untuk mengobati obesitas pasien.

Penurunan berat badan, meski dalam jumlah kecil, dan mempertahankannya secara stabil
dapat mengurangi risiko seseorang mengalami komplikasi penyakit terkait obesitas. Selain
dengan cara-cara tersebut, penurunan berat badan juga bisa dilakukan dengan cara
tradisional.

Komplikasi Obesitas

Penumpukan lemak tubuh ini meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan serius,
seperti penyakit jantung, diabetes, atau hipertensi. Obesitas juga dapat menyebabkan
gangguan kualitas hidup dan masalah psikologi, seperti kurang percaya diri hingga depresi.

123
124
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan
subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang terjadi perluasan ke dalam jaringan organnya
(Misnadierly, 2007). Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara
tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang
melampaui ukuran ideal (Sumanto, 2009).

Keadaan obesitas ditentukan dengan mengklasifikasikan status gizi berdasarkan


Indeks Massa Tubuh (IMT), dari segi fisik, orang yang mengalami obesitas akan mengalami
rendah diri dan merasa kurang percaya diri. Sehingga seringkali akan mengalami tekanan,
baik dari dirinya sendiri maupun dari, Jenis obesitas yang berbeda mungkin memerlukan
jenis perawatan yang berbeda pula. Alison Field dan rekannya telah menerbitkan perspektif
yang bijaksana tentang upaya ini dalam Journal of American Medical Association (JAMA).

125
DAFTAR PUSTAKA

Gibney, Michael J., Barrie M. Margetts, John M. Kearney, Lenore Arab. (Eds). Gizi
Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC; 2009. 11.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013.


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta:


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2018.

Lanham-New, Susan A., Ian A. Macdonald, Helen M. Roche. Metabolisme Zat Gizi. Jakarta:
EGC; 2016.

Mann, Jim. (Ed). Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC; 2014. 6. Barasi,

Mary E. At a Glance Ilmu Gizi. Jakarta: Erlangga; 2007.

Sada, Merinta, Veni Hadju dan Djunaedi M. Dachlan. Hubungan Body Image, Pengetahuan
Gizi Seimbang dan Aktivitas Fisik terhadap Status Gizi Mahasiswa Politeknik
Kesehatan Jayapura. Media Gizi Masyarakat 2012; 2:1 Agustus, 44-48.

MAKALAH

126
Ekologi Pangan dan Gizi

Kasus Malnutrisi ‘’Anemia’’

Dosen Pengampu: Mery Merlisia S.Gz., M.PH

Disusun Oleh

Marta Ewirda Ningsih(183001010009)

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

PRODI KESEHATAN MASYARAKAT

2021

Kata Pengantar

127
Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Kasus Malnutrisi
Anemia’’
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah , Penulis manyadari bahwa
Makalah ini jauh dari sempurna Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari pembaca, sehingga Makalah ini dapat digunakan dengan baik.
Harapan penyusun semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah
pengetahuan terutama bagi penyusun serta bermanfaat bagi semua mahasiswa yang
mndengarkan.

Jambi, Maret 2021

Penulis

DAFTAR ISI

128
Kata
pengantar……………………………………………………………………………………..
Daftar
isi……………………………………………………………………………………………
Bab I
pendahuluan…………………………………………………………………………………
latar
belakang………………………………………………………………………………
…..
rumusan
masalah……………………………………………………………………………….
tujuan……………………………………………………………………………………
……..
Bab II tinjauan
pustaka…………………………………………………………………………….
2.1 pengertian
anemia………………………………………………………………………………
2.2 penyebab
anemia……………………………………………………………………………….
2.3 dampak
anemia…………………………………………………………………………………
2.4 pencegahan
anemia…………………………………………………………………………….
Bab III
penutup…………………………………………………………………………………….
3.1
kesimpulan……………………………………………………………………………………...

129
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anemia merupakan dampak masalah gizi pada remaja putri. Anemia gizi disebabkan
oleh kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, dapat karena
kekurangan konsumsi atau gangguan absorpsi. Zat gizi tersebut adalah besi, protein, vitamin
B6 yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis hem di dalam molekul hemglobin,
vitamin C, zinc yang mempengaruhi absorpsi besi dan vitamin E yang mempengaruhi
stabilitas membran sel darah merah. Sebagian besar adalah anemia gizi besi. Penyebab
anemia gizi besi adalah kurangnya asupan besi, terutama dalam bentuk besi-hem (Almatsier,
2009).
Selain itu anemia merupakan suatu keadaan dimana komponen di dalam darah yaitu
hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Remaja putri memiliki
risiko sepuluh kali lebih besar untuk menderita anemia dibandingkan dengan remaja putra.
Hal ini dikarenakan remaja putri mengalami mentruasi setiap bulannya dan sedang dalam
masa pertumbuhan sehingga membutuhkan asupan zat besi yang lebih banyak. Penentuan
anemia juga dapat dilakukan dengan mengukur hematokrit (Ht) yang rata-rata setara dengan
tiga kali kadar hemoglobin. Batas kadar Hb remaja putri untuk mendiagnosis anemia yaitu
apabila kadar Hb kurang 12 gr/dl (Tarwoto, dkk, 2010).
Anemia adalah penyakit yang sering ditemui pada masyarakat Indonesia. Penyakit
anemia merupakan suatu kondisi dimana tubuh kekurangan sel darah merah atau eritrosit atau
hemoglobin. Hemoglobin sendiri adalah protein kaya zat besi yang memberikan warna merah

130
pada darah dan berfungsi membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh dan mengangkut
karbon dioksida dari seluruh bagian tubuh ke paru-paru agar dapat dikeluarkan dari tubuh
Menurut penelitian yang dilakukan Tadete dkk (2012), rendahnya tingkat penyerapan
zat besi di dalam tubuh merupakan kesulitan utama untuk memenuhi kebutuhan zat besi
terutama sumber zat besi dari nabati yang hanya diserap 1-2%. Kebiasaan mengonsumsi
makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi (seperti kopi dan teh) secara
bersamaan pada waktu makan menyebabkan penyerapan zat besi semakin rendah.
Konsumsi makanan berkaitan erat dengan status gizi. Remaja yang memiliki status
gizi kurang akan beresiko terkena anemia terutama pada remaja putri. Anemia juga
dipengaruhi secara langsung oleh konsumsi makanan sehari-hari yang kurang mengandung
zat besi. Pada remaja putri, kebutuhan besi tambahan diperlukan untuk menyeimbangkan
kehilangan zat besi akibat darah haid, sehingga terjadi peningkatan kebutuhan besi untuk
mengganti kehilangan darah total (Hapzah, 2012).
Anemia pada remaja dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan fisik, gangguan
perilaku serta emosional. Hal ini dapat mempengaruhi proses pertumbuhan dan
perkembangan sel otak sehingga dapat menimbulkan daya tahan tubuh menurun, mudah
lemas dan lapar, konsentrasi belajar terganggu, prestasi belajar menurun serta dapat
mengakibatkan produktifitas kerja yang rendah (Sayogo, 2006).
Kekurangan kadar Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah
dan cepat lupa. Selain dapat menurunkan prestasi belajar dan produktifitas kerja, anemia juga
dapat menurunkan daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi. Upaya
pencegahan dan penanggulangan anemia yang telah dilakukan selama ini ditujukan pada ibu
hamil, sedangkan remaja putri secara dini belum terlalu diperhatikan.
Remaja sangat beresiko menderita anemia khususnya kurang zat besi. Diperkirakan
25% remaja Indonesia mengalami anemia. Meski tidak menular namun anemia sangat
berbahaya karena bisa memengaruhi derajat kesehatan calon bayinya kelak.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. apa itu anemia
1.2.2 penyebab anemia
1.2.3 dampak anemia
1.2.4 pencegahan anemia

1.3. Tujuan
1.3.1 untuk mengetahui pengertian anemia

131
1.3.2 untuk mengetahui penyebab anemia
1.3.3 untuk mengetahui dampak anemia
1.3.4 untuk mengetahui pencegahan anemia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anemia
2.1.1. Pengertian Anemia
Anemia adalah penurunan kuantitas sel-sel darah merah dalam sirkulasi atau jumlah
hemoglobin berada dibawah batas normal. Gejala yang sering dialami antara lain lesu, lemah,
pusing, mata berkunang-kunang, dan wajah pucat. Anemia dapat menimbulkan berbagai
dampak pada remaja antara lain menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena
penyakit, menurunnya aktivitas dan prestasi belajar karena kurangnya konsentrasi. Anemia
defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering terjadi pada remaja, karena kebutuhan
yang tinggi untuk pertumbuhan. Anemia kurang zat besi lebih banyak terjadi pada remaja
putri dibanding remaja putra.
Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 menyatakan bahwa
prevalensi anemia gizi pada remaja putri usia (10-18 tahun) 57,1%. Remaja putri cenderung
melakukan diet sehingga dapat menyebabkan asupan zat gizi berkurang termasuk zat besi.
Selain itu adanya siklus menstruasi setiap bulan merupakan salah satu faktor penyebab
remaja putri mudah terkena anemia.
Anemia kurang zat besi dapat dipengaruhi oleh beberapa beberapa faktor yaitu,
kurangnya mengkonsumsi sumber makanan hewani sebagai salah satu sumber zat besi yang
mudah diserap (heme iron), sedangkan bahan makanan nabati (non-heme iron) merupakan
sumber zat besi yang tinggi tetapi sulit diserap sehingga dibutuhkan porsi yang besar untuk
mencukupi kebutuhan zat besi dalam seharinya. Bisa juga disebabkan karena kekurangan zat
gizi yang berperan dalam penyerapan zat besi seperti, protein dan vitamin C. Konsumsi
makanan tinggi serat, tannin dan phytat dapat menghambat penyerapan zat besi. Berbagai
faktor juga dapat mempengaruhi terjadinya anemia gizi besi, antara lain pola haid,

132
pengetahuan tentang anemia, dan status gizi. Anemia defisiensi vitamin B12 dan folat juga
sering terjadi pada remaja karena kurangnya pemenuhan zat gizi tersebut.
Usia 12-14 tahun termasuk dalam masa peralihan dari remaja awal ke remaja akhir
yang merupakan masa pencarian identitas dan remaja cepat sekali terpengaruh oleh
lingkungan. Kecemasan akan bentuk tubuh membuat remaja sengaja tidak makan atau
memilih makan di luar. Kebiasaan ini dapat mengakibatkan remaja mengalami kerawanan
pangan yang berhubungan dengan asupan zat gizi yang rendahdan berisiko pada
kesehatannya termasuk anemia. Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 prevalensi anemia remaja
usia ≤14 tahun di Indonesia sebanyak 12,8%.
Anemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan atau masa hemoglobin yang
beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh
(Handayani dan Haribowo, 2008)
Anemia dapat didefinisikan sebagai nilai hemoglobin, hematokrit, atau jumlah
eritrosit per milimeter kubik lebih rendah dari normal (Dallman dan Mentzer, 2006)
Menurut Ahmad Syafiq, dkk (2008) Anemia didefinisikan sebagai keadaan di mana
level Hb rendah karena kondisi patologis.
Menurut Anie Kurniawan, dkk (1998) Anemia adalah suatu penyakit di mana kadar
hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal.

2.2. Jenis-jenis anemia


1. Anemia akibat kekurangan zat besi
Kekurangan zat besi membuat tubuh tidak mampu menghasilkan hemoglobin (Hb).
Kondisi ini bisa terjadi akibat kurangnya asupan zat besi dalam makanan, atau karena tubuh
tidak mampu menyerap zat besi, misalnya akibat penyakit celiac.
2. Anemia pada masa kehamilan
Ibu hamil memiliki nilai hemoglobin yang lebih rendah dan hal ini normal. Meskipun
demikian, kebutuhan hemoglobin meningkat saat hamil, sehingga dibutuhkan lebih banyak
zat pembentuk hemoglobin, yaitu zat besi, vitamin B12, dan asam folat. Bila asupan ketiga
nutrisi tersebut kurang, dapat terjadi anemia yang bisa membahayakan ibu hamil maupun
janin.
3. Anemia akibat perdarahan
Anemia dapat disebabkan oleh perdarahan berat yang terjadi secara perlahan dalam
waktu lama atau terjadi seketika. Penyebabnya bisa cedera, gangguan menstruasi, wasir,

133
peradangan pada lambung, kanker usus, atau efek samping obat, seperti obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS).
4. Anemia aplastik
Anemia aplastik terjadi ketika kerusakan pada sumsum tulang membuat tubuh tidak
mampu lagi menghasilkan sel darah merah dengan optimal. Kondisi ini diduga dipicu oleh
infeksi, penyakit autoimun, paparan zat kimia beracun, serta efek samping obat antibiotik dan
obat untuk mengatasi rheumatoid arthritis
5. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik terjadi ketika penghancuran sel darah merah lebih cepat daripada
pembentukannya. Kondisi ini dapat diturunkan dari orang tua, atau didapat setelah lahir
akibat kanker darah, infeksi bakteri atau virus, penyakit autoimun, serta efek samping obat-
obatan, seperti paracetamol, penisilin, dan obat antimalaria.
6. Anemia akibat penyakit kronis
Beberapa penyakit dapat memengaruhi proses pembentukan sel darah merah,
terutama bila berlangsung dalam jangka panjang. Beberapa di antaranya adalah penyakit
Crohn, penyakit ginjal, kanker, rheumatoid arthritis, dan HIV/AIDS.
7. Anemia sel sabit (sickle cell anemia)
Anemia sel sabit disebabkan oleh mutasi (perubahan) genetik pada hemoglobin.
Akibatnya, hemoglobin menjadi lengket dan berbentuk tidak normal, yaitu seperti bulan
sabit. Seseorang bisa terserang anemia sel sabit apabila memiliki kedua orang tua yang sama-
sama mengalami mutasi genetik tersebut.
8. Thalasemia
Thalasemia disebabkan oleh mutasi gen yang memengaruhi produksi hemoglobin.
Seseorang dapat menderita thalasemia jika satu atau kedua orang tuanya memiliki kondisi
yang sama.

2.3. Tanda-tanda Anemia


Menurut Anie Kurniawan, dkk (1998), tanda-tanda Anemia meliputi:
a. Lesu, Lemah, Letih, Lelah, Lalai (5L)
b. Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang
c. Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan
menjadi pucat
Menurut Handayani dan Haribowo (2008), gejala anemia dibagi menjadi tiga
golongan besar yaitu sebagai berikut:

134
1) Gejala Umum anemia
Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemic syndrome. Gejala
umum anemia atau sindrom anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis Anemia pada
kadar hemoglobin yang sudah menurun sedemikian rupa di bawah titik tertentu. Gejala ini
timbul karena anoksia organ target dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
hemoglobin. Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang terkena
adalah:
a) Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas saat
beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung.

b) Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang,


kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta perasaan dingin pada ekstremitas.
c) Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun.
d) Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta rambut
tipis dan halus.

2) Gejala Khas Masing-masing anemia


Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia adalah sebagai
berikut:
a) Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis.
b) Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c) Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.
d) Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi

3) Gejala Akibat Penyakit Dasar


Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia. Gejala ini timbul karena
penyakit-penyakit yang mendasari anemia tersebut. Misalnya anemia defisiensi besi yang
disebabkan oleh infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejala seperti pembesaran
parotis dan telapak tangan berwarna kuning seperti jerami.
Menurut Yayan Akhyar Israr (2008) anemia pada akhirnya menyebabkan kelelahan,
sesak nafas, kurang tenaga dan gejala lainnya. Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi
besi, tidak dijumpai pada anemia jenis lain, seperti :
a. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang
b. Glositis : iritasi lidah

135
c. Keilosis : bibir pecah-pecah
d. Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok.

2.4. Penyebab Anemia


Menurut Tarwoto, dkk (2010) adalah:
a. Pada umumnya masyarakat Indonesia (termasuk remaja putri) lebih banyak
mengkonsumsi makanan nabati yang kandungan zat besinya sedikit, dibandingkan dengan
makanan hewani, sehingga kebutuhan tubuh akan zat besi tidak terpenuhi

b. Remaja putri biasanya ingin tampil langsing, sehingga membatasi asupan makanan
c. Setiap hari manusia kehilangan zat besi 0,6 mg yang diekskresi, khusunya melalui
feses (tinja)
d. Remaja putri mengalami haid setiap bulan, di mana kehilangan zat besi ±1,3 mg
per hari, sehingga kebutuhan zat besi lebih banyak dari pada pria.
Menurut Handayani dan Haribowo (2008), pada dasarnya gejala anemia timbul karena dua
hal berikut ini:
a. Anoksia organ target karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh
darah kejaringan.
b. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia.
Menurut Anie Kurniawan, dkk (1998), Anemia Gizi Besi dapat terjadi karena:
a. Kandungan zat besi dari makanan yang di konsumsi tidak mencukupi kebutuhan
1) Makanan yang kaya akan kandungan zat besi adalah: makanan yang berasal dari hewani
(seperti ikan, daging, hati, ayam)
2) Makanan nabati (dari tumbuh-tumbuhan) misalnya sayuran hijau tua, yang walaupun kaya
akan zat besi, namun hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus.
b. Meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi
1) Pada masa pertumbuhan seperti anak-anak dan remaja, kebutuhan tubuh akan zat besi
meningkat tajam.
2) Pada masa hamil kebutuhan zat besi meningkat karena zat besi diperlukan untuk
pertumbuhan janin serta untuk kebutuhan ibu sendiri.
3) Pada penderita menahun seperti TBC.
c. Meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh. Perdarahan atau kehilangan darah
dapat menyebabkan anemia. Hal ini terjadi pada penderita:

136
1) Kecacingan (terutama cacing tambang), infeksi cacing tambang menyebabkan perdarahan
pada dinding usus, meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus yang mengakibatkan
hilangnya darah atau zat besi.
2) Malaria pada penderita Anemia Gizi Besi, dapat memperberat keadaan anemianya.
3) Kehilangan darah pada waktu haid berarti mengeluarkan zat besi yang ada dalam darah
Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal, simpanan zat besi yang berbentuk ferritin dan hemosiderin menurun dan
absorpsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron binding capacity) meningkat seiring dengan
menurunnya simpanan zat besi dalam sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkurangnya
zat besi dalam plasma. Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah
merah (sistem eritropoesis) di dalam sumsum tulang berkurang dan terjadi penurunan jumlah
sel darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir, hemoglobin menurun (hypocromic) dan
eritrosit mengecil (microcytic) dan terjadi anemia.
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Depkes (1998), anemia
terjadi karena :
(1) kandungan zat besi makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan

(2) meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi

(3) meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh.


Menurut Biesalski dan Erhardt (2007), Penyebab utama anemia yang paling umum
diketahui adalah :
(1) Kurangnya kandungan zat besi dalam makanan

(2) Penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah

(3) Adanya zat-zat yang menghambat penyerapan zat besi

(4) Adanya parasit di dalam tubuh seperti cacing tambang atau cacing pita, atau
kehilangan banyak darah akibat kecelakaan atau operasi

2.5. Dampak Anemia


Menurut Anie Kurniawan, dkk (1998), dampak anemia pada remaja putri ialah:
a. Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
b. Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal.
c. Menurunkan kemampuan fisik olahragawati.
d. Mengakibatkan muka pucat

137
Menurut Reksodiputro (2004) yang dikutip oleh Tarwoto, dkk (2010), komplikasi dari
anemia yaitu: Gagal jantung kongesif; Parestesia; Konfusi kanker; Penyakit ginjal; Gondok;
Gangguan pembentukan heme; Penyakit infeksi kuman; Thalasemia; Kelainan jantung;
Rematoid; Meningitis; Gangguan sistem imun.
Menurut Moore (1997) yang dikutip oleh Tarwoto, dkk (2010) dampak anemia pada
remaja adalah:
a. Menurunnya produktivitas ataupun kemampuan akademis di sekolah, karena tidak
adanya gairah belajar dan konsentrasi
b. Mengganggu pertumbuhan di mana tinggi dan berat badan menjadi tidak sempurna
c. Daya tahan tubuh akan menurun sehingga mudah terserang penyakit
d. Menurunnya produksi energi dan akumulasi laktat dalam otot

2.6. Pencegahan anemia


Menurut Tarwoto, dkk (2010), upaya-upaya untuk mencegah anemia, antara lain
sebagai berikut:
a. Makan makanan yang mengandung zat besi dari bahan hewani (daging, ikan, ayam, hati,
dan telur); dan dari bahan nabati (sayuran yang berwarna hijau tua, kacang-kacangan, dan
tempe).
b. Banyak makan makanan sumber vitamin c yang bermanfaat untuk meningkatkan
penyerapan zat besi, misalnya: jambu, jeruk, tomat, dan nanas.
c. Minum 1 tablet penambah darah setiap hari, khususnya saat mengalami haid.
d. Bila merasakan adanya tanda dan gejala anemia, segera konsultasikan ke dokter untuk
dicari penyebabnya dan diberikan pengobatan.
Menurut Anie Kurniawan, dkk (1998), mencegah anemia dengan:
a. Makan-makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan hewani (daging,
ikan, ayam, hati, telur) dan bahan makanan nabati (sayuran berwarna hijau tua, kacang-
kacangan, tempe).

b. Makan sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C (daun katuk,
daun singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk dan nanas) sangat bermanfaat untuk
meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus.
c. Menambah pemasukan zat besi kedalam tubuh dengan minum Tablet Tambah Darah
(TTD).
Menurut Lubis (2008) dalam referensi kesehatan.html, tindakan penting yang
dilakukan untuk mencegah kekurangan besi antara lain:

138
a. Konseling untuk membantu memilih bahan makanan dengan kadar besi yang cukup secara
rutin pada usia remaja.
b. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber hewani seperti daging, ikan, unggas, makanan
laut disertai minum sari buah yang mengandung vitamin C (asam askorbat) untuk
meningkatkan absorbsi besi dan menghindari atau mengurangi minum kopi, teh, teh es,
minuman ringan yang mengandung karbonat dan minum susu pada saat makan.
c. Suplementasi besi. Merupakan cara untuk menanggulangi ADB di daerah dengan
prevalensi tinggi. Pemberian suplementasi besi pada remaja dosis 1 mg/KgBB/hari.
d. Untuk meningkatkan absorbsi besi, sebaiknya suplementasi besi tidak diberi bersama susu,
kopi, teh, minuman ringan yang mengandung karbonat, multivitamin yang mengandung
phosphate dan kalsium.
e. Skrining anemia. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit masih merupakan pilihan untuk
skrining anemia defisiensi besi.
Menurut De Maeyer (1995) yang dikutip oleh Tarwoto, dkk (2010), pencegahan
adanya anemia defisiensi zat besi dapat dilakukan dengan tiga pendekatan dasar yaitu sebagai
berikut:
a. Memperkaya makanana pokok dengan zat besi, seperti: hati, sayuran berwarna hijau dan
kacang-kacangan. Zat besi dapat membantu pembentukan hemoglobin (sel darah merah)
yang baru.
b. Pemberian suplemen zat besi. Pada saat ini pemerintah mempunyai Program
Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) pada remaja putri, untuk mencegah dan
menanggulangi masalah Anemia gizi besi melalui suplementasi zat besi.

2.7. Pengobatan Anemia


Menurut Handayani dan Haribowo (2008), pada setiap kasus anemia perlu
diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut ini:

a. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan.


b. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efisien.
Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah:
a. Terapi gawat darurat
Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung, maka harus
segera diberikan terapi darurat dengan transfusi sel darah merah yang dimampatkan (PRC)
untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut.
b. Terapi khas untuk masing-masing anemia

139
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai, misalnya preparat besi untuk
anemia defisiensi besi.
c. Terapi kausal
Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang menjadi
penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing
tambang harus diberikan obat anti-cacing tambang.
d. Terapi ex-juvantivus (empiris)
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika terapi ini
berhasil, berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi hanya dilakukan jika tidak tersedia fasilitas
diagnosis yang mencukupi. Pada pemberian terapi jenis ini, penderita harus diawasi dengan
ketat. Jika terdapat respons.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Meski tidak menular namun anemia sangat berbahaya karena bisa mempengaruhi
derajat kesehatan generasi penerus bangsa yang ambyar hatinya. Karena kekurangan kadar
Hb dalam darah dapat menimbulkan gejala lesu, lemah, letih, lelah dan cepat lupa. Selain
dapat menurunkan prestasi belajar dan produktifitas kerja, anemia juga dapat menurunkan
daya tahan tubuh dan mengakibatkan mudah terkena infeksi. Maka dari itu perlu perhatian
khusus untuk mengetahui penyebab terjadinya anemia dan cara pencegahannya yaitu dengan

140
mengkonsumsi makanan kaya zat besi, asam folat, vitamin B12 dan vitamin C, serta
menghindari kafein yang berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsalam M, Daniel A. 2002. Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia


Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), September: 74 – 77.

Arumsari E. 2008. Faktor Risiko Anemia Pada Remaja Putri Peserta Program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi. Bogor :
Institut Pertanian Bogor.

Indartanti D, Kartini A. 2014. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Anemia Pada
Remaja Putri. Semarang. Journal of Nutrition College, 3(2), 33-39.

Kemenkes RI. 2013-2014. Prevalensi anemia di Indonesia.

141
MAKALAH

STUNTING

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekologi Pangan dan Gizi

Dosen pengampu : Mery Merlisia S.Gz, M.P.H

Disusun oleh :

Natassya virly septiana 183001010011

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

142
FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

2021

KATA PENGANTAR

Puji syujur kami ucapkan dan sampaikan pada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karna
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Gizi Kesehatan
Masyarakat”.

Kami juga mengucapkan terimaasih pihak-pihak yang telah ikut membantu dalam
menyusun makalah ini. Khususnya kepada dosen pembimbing yang telah membimbing dan
membagi pengalamannya kepada kami. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih
terdapat berbagai kekurangan dan kesalahan, baik dadi segi isi maupun dari segi bahasa.
Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif untuk
menyempurnakan makalah ini. Kami harap agar makalah ini dapat berguna dan bermanfaat
bagi pembaca. Amiin

Jambi, 01 Maret 2021

Penulis

143
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………………...…....

KATA PENGANTAR…………………………………………..……………….……….

DAFTAR ISI…………………………………………………....………….…..…………

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG….………………………………………………….…………

B. RUMUSAN MASALAH……………………………………………………………..

C. MANFAAT……………………………………………………...………………….....

BAB II

PEMBAHASAN………………………………………………………………………..…

BAB III
PENUTUP……………………………………………………………................................
DAFTAR PUSTAKA

144
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stuntingmerupakan salah satu masalah gizi yang dihadapi di dunia khususnya di negara
berkembang seperti Indonesia. Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan dengan
meningkatnya risiko terjadinya kesakitan, kematian, daya tahan tubuh yang rendah, kurangnya
kecerdasan, produktivitas yang rendah dan perkembangan otak suboptimal sehingga perkembangan
motorik terlambat dan terhambatnya pertumbuhan mental. Stunting merupakan bentuk kegagalan
pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama
mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan. 1,2 Dampak stunting tidak hanya dirasakan oleh individu
yang mengalaminya, tetapi juga berdampak terhadap roda perekonomian dan pembangunan bangsa.
Hal ini karena sumber daya manusia stunting memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan dengan
sumber daya manusia normal.

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi
buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian
stunting antara lain faktor maternal, faktor lingkungan rumah, kualitas makanan yang rendah,
pemberian makan yang kurang, keamanan makanan dan minuman, pemberian ASI (fase menyusui),
infeksi, ekonomi politik, kesehatan dan pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial dan budaya, system
pertanian dan pangan, air, sanitasi dan lingkungan.

Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting.
Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia tingginya berada di bawah rata-
rata. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2
persen, meningkat dari tahun 2010 yaitu sebesar 35,6% dan 2007 sebesar 36,8%. Artinya,
pertumbuhan tidak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia, atau satu dari tiga anak
Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara,
seperti Myanmar sebesar 35%, Vietnam sebesar 23%, dan Thailand sebesar 16%.

145
Berdasarkan data PSG Kabupaten Sleman di wilayah Puskesmas Moyudan tahun 2017,
kejadian stunting sebesar 18,4 %, kejadian tertinggi berada di Desa Sumber Arum yaitu sebesar 14,7
%. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada anak karena
kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat. Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan pada
anak serta adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi
penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada anak usia di bawah 2
tahun.

Usia 6-24 bulan merupakan usia yang sangat rawan karena pada usia ini merupakan masa
peralihan dari ASI ke pengganti ASI atau ke makanan sapihan. Jika anak usia 6-24 bulan tidak cukup
gizi dari MP-ASI, maka akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kurang gizi, oleh sebab itu
dalam mengatasi masalah kurang gizi maka diperlukan perbaikan kuantitas dan kualitas MP-ASI.
Untuk memperoleh MP-ASI yang baik secara kuantitas dan kualitas maka diperlukan peranan petugas
kesehatan untuk memberikan informasi tentang praktek pemberian makanan yang baik dan tepat
untuk anak di bawah usia 2 tahun kepada ibu, pengasuh, dan keluarga. Untuk meningkatakn
pengetahuan dan pemahaman maka dilakukanlah penyuluhan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian stunting

2. Bagaimana cara pengukuran balita stunting

3. Apa saja dampak stunting

4. Apa saja faktor yang mempengaruhi stunting

C. Manfaat

1. Untuk mengetahui apa itu stunting

2. Untuk mengetahui cara pengukuran balita stunting

3. Untuk mengetahui apa saja dampak stunting

4. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi stunting

146
BAB II

PEMBAHASAN

1. Stunting

1.1 Pengertian

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima tahun) akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak
bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru
nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted)
adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan
dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi
stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya
kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted). (Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Sekretariat Wakil Presiden, 2017)

Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 juta) anak balita mengalami stunting Indonesia adalah
negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Balita/baduta (bayi dibawah usia dua tahun) yang
mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi
lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat
produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan. (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas 2013)

Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh kejar)
mengakibatkan menurunnya pertumbuhan. Masalah stunting merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian, dan hambatan pada
pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh growth faltering dan catcth up
growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan
optimal. Hal tersebut mengungkapkan bahwa repository.unimus.ac.id 8 kelompok balita yang lahir
dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak
terpenuhi dengan baik.

147
1.2 Cara Pengukuran Balita Stunting (TB/U)

Stunting merupakan suatu indikator kependekan dengan menggunakan rumus tinggi badan
menurut umur (TB/U) Panjang Badan Menurut Umur (PB/U) memberikan indikasi masalah gizi yang
sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku
hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak dilahirkan yang
mengakibatkan stunting. (Achadi LA. 2012)

Keuntungan indeks TB/U yaitu merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi
masa lampau, alat mudah dibawa kemana-mana, jarang orang tua keberatan diukur anaknya.
Kelemahan indeks TB/U yaitu tinggi badan tidak cepat naik bahkan tidak mungkin turun, dapat terjadi
kesalahan yang mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran. Sumber kesalahan bisa
berasal dari tenaga yang kurang terlatih, kesalahan pada alat dan tingkat kesulitan pengukuran. TB/U
dapat digunakan sebagai indeks status gizi populasi karena merupakan estimasi keadaan yang telah
lalu atau status gizi kronik.

Seorang yang tergolong pendek tak sesuai umurnya (PTSU) kemungkinan keadaan gizi masa
lalu tidak baik, seharusnya dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan
bertambahnya umur. Pengaruh kurang gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam
waktu yang cukup lama. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011)

1.3 Dampak Stunting Pada Balita

Laporan UNICEF tahun 2010, beberapa fakta terkait stunting dan pengaruhnya adalah
sebagai berikut :

a. Anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan, akan mengalami stunting
lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting yang parah pada anak, akan terjadi defisit jangka
panjang dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di
sekolah dibandingkan anak dengan tinggi badan normal. Anak repository.unimus.ac.id 9 dengan
stunting cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak
dengan status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan dalam kehidupannya
dimasa yang akan datang. Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak.
Faktor dasar yang menyebabkan stunting dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan
intelektual. Penyebab dari stunting adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan
tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian
besar anak dengan stunting mengkonsumsi makanan yang berbeda di bawah ketentuan rekomendasi

148
kadar gizi, berasal dari keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas
pedesaan.

b. Pengaruh gizi pada usia dini yang mengalami stunting dapat menganggu pertumbuhan dan
perkembangan kognitif yang kurang. stunting pada usia lima tahun cenderung menetap sepanjang
hidup, kegagalan pertumbuhan usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi
wanita dewasa yang stunting dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas,
sehingga meningkatkan peluang melahirkan BBLR.

c. Stunting terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung menghambat dalam proses
pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan. Akibat lainnya kekurangan
gizi/stunting terhadap perkembangan sangat merugikan performance anak. Jika kondisi buruk terjadi
pada masa golden period perkembangan otak (0-2 tahun) maka tidak dapat berkembang dan kondisi
ini sulit untuk dapat pulih kembali. Hal ini disebabkan karena 80-90% jumlah sel otak terbentuk
semenjak masa dalam kandungan sampai usia 2 (dua) tahun. Apabila gangguan tersebut terus
berlangsung maka akan terjadi penurunan skor tes IQ sebesar 10-13 point. Penurunan perkembangan
kognitif, gangguan pemusatan perhatian dan manghambat prestasi belajar serta produktifitas menurun
sebesar 20-30%, yang akan mengakibatkan terjadinya loss generation, artinya anak tersebut hidup
tetapi tidak bisa berbuat banyak baik dalam bidang pendidikan, ekonomi dan lainnya. Generasi
demikian hanya akan menjadi beban repository.unimus.ac.id 10 masyarakat dan pemerintah, karena
terbukti keluarga dan pemerintah harus mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi akibat warganya
mudah sakit. (Supariasa, 2011).

2. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Stunting

Status gizi pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu: makanan yang dimakan dan keadaan
kesehatan. Kualitas dan kuantitas makanan seorang tergantung pada kandungan zat gizi makanan
tersebut, ada tidaknya pemberian makanan tambahan di keluarga, daya beli keluarga dan karakteristik
ibu tentang makanan dan kesehatan. Keadaan kesehatan juga berhubungan dengan karakteristik ibu
terhadap makanan dan kesehatan, daya beli keluarga, ada tidaknya penyakit infeksi dan jangkauan
terhadap pelayanan kesehatan.

2.1 Asupan Zat Gizi

149
Defisiensi zat gizi yang paling berat dan meluas terutama di kalangan balita ialah akibat
kekurangan zat gizi sebagai akibat kekurangan konsumsi makanan dan hambatan mengabsorbsi zat
gizi. Zat energi digunakan oleh tubuh sebagai sumber tenaga yang tersedia pada makanan yang
mengandung karbohidrat, protein yang digunakan oleh tubuh sebagai pembangun yang berfungsi
memperbaiki sel-sel tubuh. Kekurangan zat gizi pada disebabkan karena mendapat makanan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan badan atau adanya ketidakseimbangan antara konsumsi
zat gizi dan kebutuhan gizi dari segi kuantitatif maupun kualitatif (Irianton A, 2015).

Asupan makan yang tidak adekuat merupakan penyebab langsung terjadinya stunting pada
balita. Kurangnya asupan energi dan protein menjadi penyebab gagal tumbuh telah banyak diketahui.
Kurangnya beberapa mikronutrien juga berpengaruh terhadap terjadinya retardasi pertumbuhan linear.
Kekurangan mikronutrien dapat terjadi karena rendahnya asupan bahan makanan sumber
mikronutrien tersebut dalam konsumsi balita sehari-hari serta disebabkan karena bioavailabilitas yang
rendah (Mikhail,et al., 2013)

Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi yaitu :

a) Daya Beli Keluarga

Daya beli keluarga sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan keluarga. Orang miskin
biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk makanan. Rendahnya pendapatan
merupakan rintangan yang menyebabkan orang orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah
yang dibutuhkan. Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup namun sebagian
anaknya berstatus kurang gizi.

Pada umumnya tingkat pendapatan naik jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik
tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Aditianti, 2010). Anak yang tumbuh dalam suatu
keluarga miskin paling rentan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan yang paling
kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Jumlah keluarga juga mempengaruhi
keadaan gizi.

b) Tingkat Pendidikan Ibu

Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga berperan
dalam penyusunan makan keluarga, serta pengasuhaan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan
tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya dibidang
gizi, sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-
hari (Depkes RI, 2015). Tingkat pendidikan yang dimiliki wanita bukan hanya bermanfaat bagi
penambahan pengetahuan dan peningkatan kesempatan kerja yang dimilikinya, tetapi juga merupakan
bekal atau sumbangan dalam upaya memenuhi kebutuhan dirinya serta mereka yang tergantung

150
padanya. Wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih baik taraf
kesehatannya.

Jika pendidikan ibu dan pengetahuan ibu rendah akibatnya ia tidak mampu untuk memilih
hingga menyajikan makanan untuk keluarga memenuhi syarat gizi seimbang (UNICEF, 2010). Hal ini
senada dengan hasil penelitian di Meksiko bahwa pendidikan ibu sangat penting dalam hubungannya
dengan pengetahuan gizi dan pemenuhan gizi keluarga khususnya anak, karena ibu dengan
pendidikan rendah antara lain akan sulit menyerap informasi gizi sehingga dapat berisiko mengalami
resiko stunting.

c) Pengetahuan Gizi Ibu

Gizi kurang banyak menimpa balita sehingga golongan ini disebut golongan rawan. Masa
peralihan antara saat disapih dan mengikuti pola makan orang dewasa atau bukan anak, merupakan
masa rawan karena ibu atau pengasuh mengikuti kebiasaan yang keliru. Penyuluhan gizi dengan
bukti-bukti perbaikan gizi pada dapat memperbaiki sikap ibu yang kurang menguntungkan
pertumbuhan anak.

Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di samping pendidikan yang pernah
dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media masa juga mempengaruhi
pengetahuan gizi. Salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi
atau kemampuan untuk menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari.

Tingkat pengetahuan gizi seseorang besar pengaruhnya bagi perubahan sikap dan perilaku di
dalam pemilihan bahan makanan, yang selanjutnya akan berpengaruh pula pada keadaan gizi individu
yang bersangkutan. Keadaan gizi yang rendah di suatu daerah akan menentukan tingginya angka
kurang gizi secara nasional. Hasil Penelitian Taufiqurrahman (2013) dan Pormes dkk (2014) yang
menyatakan bahwa pengetahuan orang tua tentang pemenuhan gizi berpengaruh dengan kejadian
stunting.

2.2 Riwayat Kehamilan

1. Usia Ibu Hamil

Usia ibu mempunyai hubungan erat dengan berat bayi lahir, pada usia ibu yang masih muda,
perkembangan organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologisnya belum optimal. Selain itu emosi dan
kejiwaannya belum cukup matang, sehingga pada saat kehamilan ibu tersebut belum dapat
menghadapi kehamilannya secara sempurna, dan sering terjadi komplikasi-komplikasi. Telah
dibuktikan pula bahwa angka kejadian persalinan kurang bulan akan tinggi pada usia dibawah 20

151
tahun dan kejadian paling rendah pada usia 26–35 tahun, semakin muda usia ibu maka yang
dilahirkan akan semakin ringan. Risiko kehamilan akan terjadi pada ibu yang melahirkan dengan usia
kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun erat kaitannya dengan terjadinya kanker rahim dan
BBLR. Usia ibu yang beresiko akan berpotensi untuk melahirkan bayi BBLR, bayi yang BBLR akan
berpotensi untuk menjadi stunting.

2. Hamil dengan KEK (Kurang Energi Kronis)

Kurang energi kronis merupakan keadaan di mana ibu penderita kekurangan makanan yang
berlangsung menahun (kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu (Depkes
RI 2012). Kekurangan energi kronik dapat terjadi pada wanita usia subur (WUS) dan pada ibu hamil
(bumil). Kurang gizi akut disebabkan oleh tidak mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup
atau makanan yang baik (dari segi kandungan gizi) untuk satu periode tertentu untuk mendapatkan
tambahan kalori dan protein (untuk melawan) muntah dan mencret (muntaber) dan infeksi lainnya.
Lingkar Lengan Atas (LILA) sudah digunakan secara umum di Indonesia untuk mengidentifikas ibu
hamil risiko Kurang Energi Kronis (KEK).

Menurut Departemen kesehatan batas ibu hamil yang disebut resiko KEK jika ukuran LILA <
23,5 cm, dalam pedoman Depkes tersebut disebutkan intervensi yang diperlukan untuk WUS atau ibu
hamil yang menderita risiko KEK. Sampai saat ini masih banyak ibu hamil yang mengalami masalah
gizi, khususnya gizi kurang seperti KEK dan anemia, sehingga mempunyai kecenderungan
melahirkan bayi dengan berat badan lahir kurang. Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan
resiko dan komplikasi pada ibu, antara lain anemia, perdarahan, mempersulit persalinan sehingga
terjadi persalinan lama, prematuritas, perdarahan setelah persalinan, bahkan kematian ibu (Muliarini,
2010). Ibu hamil yang menderita KEK dan anemia berisiko mengalami Intrauterine Growth
Retardation (IUGR) atau pertumbuhan janin terhambat, dan bayi yang dilahirkan mempunyai BBLR
(Depkes RI, 2010). Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada hamil dapat menyebabkan
KEK. Wanita hamil berisiko mengalami KEK jika memiliki Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5cm.
Ibu hamil dengan KEK berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) yang jika tidak segera
ditangani dengan baik akan berisiko mengalami stunting.

3. Kadar Hb (Hemoglobin)

Masa kehamilan sering sekali terjadi kekurangan zat besi dalam tubuh. Zat besi merupakan
mineral yang sangat dibutuhkan untuk membentuk sel darah merah (hemoglobin). Selain itu mineral
ini juga berperan sebagai komponen untuk membentuk mioglobin (protein yang membawa oksigen ke
otot) , kolagen (protein yang terdapat ditulang, tulang rawan, dan jaringan penyambung) serta enzim
zat besi juga berfungsi dalam sistem pertahanan tubuh.

152
Saat hamil kebutuhan zat besi meningkat dua kali lipat dari kebutuhan sebelum hamil. Hal ini
terjadi karena selama hamil, volume darah meningkat sampai 50% sehingga perlu lebih banyak zat
besi untuk membentuk hemoglobin.Volume darah meningkat disebabkan karena terjadi pengenceran
darah, kebutuhan pembentukan plasenta, dan pertumbuhan janin. Hemoglobin (sel darah merah) yang
disingkat dengan Hb adalah metaloprotein atau protein yang mengandung zat besi dalam sel darah
merah yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru–paru ke seluruh tubuh. Selain itu hemoglobin
juga memainkan peran penting dalam menjaga bentuk sel darah merah. Pada dasarnya, berat bayi
lahir memang tidak mutlak dipengaruhi oleh kadar hemoglobin ibu hamil. Berat bayi lahir
dipengaruhi oleh dua faktor ibu yang mempengaruhi pertumbuhan janin intrauterin, yaitu faktor
internal dan eksternal ibu hamil. Kadar hemoglobin termasuk ke dalam faktor internal ibu hamil
(Nurkhasanah, 2008). Kadar Hb wanita sehat seharusnya punya kadar Hb sekitar 12mg/dl.
Kekurangan Hb biasanya disebut anemia. Kadar hemoglobin menggunakan satuan gram/dl, yang
artinya banyaknya gram hemoglobin dalam 100 mililiter. Dikatakan anemia ringan pada keadaan Hb
dibawah 11gr%, yaitu 9-11 gr%, dan anemia berat yaitu Hb dibawah 7 gr%. Anemia pada kehamilan
dapat berakibat persalinan prematuritas, abortus, infeksi, mola hidatidosa, hiperemesis gravidarum,
dan KPD.

Pemeriksaan Hb dilakukan minimal dua kali selama kehamilan yaitu pada trimester I dan
trimester ke III. Tinggi rendahnya kadar hemoglobin selama kehamilan mempunyai pengaruh
terhadap berat bayi lahir karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin di dalam
kandungan. Suatu penelitian cohort prospective di Kota Semarang saat trimester III kehamilan
menemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin ibu hamil dengan
berat bayi lahir. Trimester III kehamilan memang merupakan masa dimana terjadinya pertumbuhan
janin yang lebih cepat dibandingkan trimester sebelumnya. Kadar hemoglobin ibu hamil trimester III
yang rendah dapat mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat/kecil/BBLR dan berpotensi stunting.

4. Frekuensi Antenatal Care (ANC)

Pemeriksaan selama kehamilan bertujuan untuk menelusuri hal-hal yang sekecil kecilnya
mengenai segala sesuatu yang mungkin dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan bayinya (Oswari E,
2008). Antenatal care adalah perawatan yang diberikan kepada ibu hamil, selama kehamilan secara
berkala yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap kelainan yang ditemukan sesuai dengan pedoman
pelayanan antenatal yang ditentukan. Pelayanan ANC yang diberikan kepada ibu hamil sesuai dengan
pedoman pelayanan KIA yaitu pemeriksaan antenatal care minimal 4 kali selama kehamilan dengan
ketentuan 1 kali pada tribulan I, 1 kali pada tribulan II, dan 2 kali pada tribulan III (Depkes RI.2013).
Pemeriksaan selama hamil sangat penting, dalam hal ini tidak hanya jumlah kunjungan tetapi juga
kualitas dari pelayanan ANC itu sendiri sangat menentukan hasil yang akan dicapai.

153
Pemeriksaan kehamilan bertujuan untuk mengenal atau mengidentifikasi masalah yang timbul
selama kehamilan, sehingga kesehatan selama masa kehamilan dapat dipelihara dan yang terpenting
adalah ibu dan berada dalam keadaan sebaik mungkin pada saat persalinan. Hubungan antara
frekuensi pemeriksaan kehamilan dengan kejadian BBLR adalah semakin kurang frekuensi
pemeriksaan kehamilan maka semakin meningkat resiko sebesar 1,5–5 kali untuk mendapat BBLR
(Anonim, 2013). Berat Bayi lahir rendah berpotensi menjadi stunting.

2.3. BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

Secara individual, BBLR merupakan prediktor penting dengan umur kehamilan kurang dari
37 minggu dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Bila bayi yang lahir dengan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu dan berat badannya kurang dari seharusnya desebut dengan dismatur kurang
bulan kecil untuk masa kehamilan. Semakin awal bayi lahir, semakin belum sempurna perkembangan
organ organ tubuhnya, dan semakin rendah berat badannya saat lahir dan semakin tinggi risikonya
mengalami berbagai komplikasi berbahaya. Dampak Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sangat erat
kaitannya dengan mortalitas janin. Keadaan ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan
kognitif, kerentanan terhadap penyakit kronis di kemudian hari. Secara individual, BBLR merupakan
prediktor penting dalam kesehatan dan kelangsungan hidup bayi yang baru lahir dan berhubungan
dengan risiko tinggi pada kematian bayi dan anak (WHO, 2017). Dampak lanjutan dari BBLR dapat
berupa gagal tumbuh (growth faltering), penelitian Sirajudin dkk tahun 2011 menyatakan bahwa bayi
BBLR memiliki potensi menjadi pendek 3 kali lebih besar dibanding non BBLR, pertumbuhan
terganggu, penyebab wasting, dan risiko malnutrisi.

a. Pencegahan BBLR

Upaya-upaya pencegahan merupakan hal yang sangat penting dalam menurunkan insiden atau
kejadian berat badan lahir rendah di masyarakat. Menurut Suprayanto 2013, upaya-upaya ini dapat
dilakukan dengan sebagai berikut :

1. Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal empat kali selama periode
kehamilan yakni 1 kali pada trimester I, 1 kali pada trimester kedua, dan 2 kali pada trimester ke III.

2. Pada ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi diet seimbang serat dan rendah lemak, kalori cukup,
vitamin, dan mineral termasuk 400 mikrogram vitamin B asam folat setiap hari. Pengontrolan berat
badanselama kehamilan dari pertambahan berat badan awal dikisaran 12,5-15 kg.

3. Hindari rokok atau asap rokok dan jenis polusi lain, minuman beralkohol, aktivitas fisik yang
berlebihan.

154
4. Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim, faktor risiko
tinggi dalam kehamilan, dan perawatan diri selama kehamilan agar mereka dapat menjaga
kesehatannya dan janin yang dikandung dengan baik.

5. Pengontrolan oleh bidan secara berkesinambungan sehingga ibu dapat merencanakan persalinannya
pada kurun umur reproduksi sehat.

2.4. ASI Eksklusif

Pemberian ASI secara dini dan ekslusif sekurang-kurangnya 4-6 bulan akan membantu
mencegah berbagai penyakit anak, termasuk gangguan lambung dan saluran nafas, terutama asma
pada anak-anak. Hal ini disebabkan adanya antibody penting yang ada dalam kolostrum ASI (dalam
jumlah yang lebih sedikit), akan melindungi bayi baru lahir dan mencegah timbulnya alergi. Untuk
alasan tersebut, semua bayi baru lahir harus mendapatkan kolostrum (Rahmi (2008) dalam Aprilia,
2009). Inisiasi menyusu dini dan ASI ekslusif selama 6 bulan pertama dapat mencegah kematian bayi
dan infant yang lebih besar dengan mereduksi risiko penyakit infeksi, hal ini karena :

a. Adanya kolostrum yang merupakan susu pertama yang mengandung sejumlah besar faktor protektif
yang memberikan proteksi aktif dan pasif terhadap berbagai jenis pathogen.

b. ASI esklusif dapat mengeliminasi mikroorganisme pathogen yang yang terkontaminasi melalui air,
makanan, atau cairan lainnya. Juga dapat mencegah kerusakan barier imunologi dari kontaminasi atau
zat-zat penyebab alergi pada susu formula atau makanan.

1. Komposisi ASI

a. Kolostrum

Kolostrum terbentuk selama periode terakhir kehamilan dan minggu pertama setelah bayi
lahir, merupakan ASI yang keluar dari hari pertama sampai hari ke 4 yang kaya zat anti infeksi dan
berprotein tinggi. Kandungan proteinnya 3 kali lebih banyak dari ASI mature. Cairan emas ini encer
dan seringkali berwarna kuning atau dapat pula jernih yang mengandung sel hidup yang menyerupai
sel darah putih yang dapat membunuh kuman penyakit. Kolostrum merupakan pencahar yang ideal
untuk membersihkan mekonium dari usus bayi yang baru lahir. Volumenya bervariasi antara 2 dan 10
ml per feeding per hari selama 3 hari pertama, tergantung dari paritas ibu.

b. ASI peralihan/transisi

155
Merupakan ASI yang dibuat setelah kolostrum dan sebelum ASI mature (kadang antara hari
ke 4 dan 10 setelah melahirkan). Kadar protein makin merendah, sedangkan kadar karbohidrat dan
lemak makin tinggi. Volumenya juga akan makin meningkat

c. ASI mature

ASI matang merupakan ASI yang keluar pada sekitar hari ke 14 dan seterusnya, komposisi
relative konstan. Pada ibu yang sehat dengan produksi ASI cukup, ASI merupakan makanan satu-
satunya yang paling baik dan cukup untuk bayi sampai umur enam bulan.

2. Kandungan Nutrisi Dalam ASI

a. Karbohidrat

Laktosa adalah karbohidrat utama dalam ASI dan berfungsi sebagai salah satu sumber energi
untuk otak. Kadar laktosa yang terdapat dalam ASI hampir dua kali rasio jumlah laktosa dalam ASI
dan PASI adalah 7 : 4 sehingga ASI terasa lebih manis dibandingkan dengan PASI. Hal ini
menyebabkan bayi yang sudah mengenal ASI dengan baik cenderung tidak mau minum PASI.
Karnitin mempunyai peran membantu proses pembentukan energi yang diperlukan untuk
mempertahankan metabolisme tubuh. Konsentrasi karnitin bayi yang mendapat ASI lebih tinggi
dibandingkan bayi yang mendapat susu formula. Hidrat arang dalam ASI merupakan nutrisi yang
penting untuk pertumbuhan sel syaraf otak dan pemberi energi untuk kerja sel-sel syaraf. Selain itu
karbohidrat memudahkan penyerapan kalsium mempertahankan faktor bifidus di dalam usus (faktor
yang menghambat pertumbuhan bakteri yang berbahaya dan menjadikan tempat yang baik bagi
bakteri yang menguntungkan) dan mempercepat pengeluaran kolostrum sebagai antibodi bayi.

b. Protein

Protein dalam ASI lebih rendah dibandingkan dengan PASI. Namun demikian protein ASI
sangat cocok karena unsur protein di dalamnya hampir seluruhnya terserap oleh sistem pencernaan
bayi yaitu protein unsur whey. Perbandingan protein unsur whey dan casein dalam ASI adalah 65 :
35, sedangkan dalam PASI 20 : 80. Artinya protein pada PASI hanya sepertiganya protein ASI yang
dapat diserap oleh sistem pencernaan bayi dan harus membuang dua kali lebih banyak protein yang
sukar diabsorpsi. Hal ini yang memungkinkan bayi akan sering menderita diare dan defekasi dengan
feces berbentuk biji cabe yang menunjukkan adanya makanan yang sukar diserap bila bayi diberikan
PASI.

c. Lemak

156
Kadar lemak dalam ASI pada mulanya rendah kemudian meningkat jumlahnya. Lemak dalam
ASI berubah kadarnya setiap kali diisap oleh bayi, hal ini terjadi secara otomatis. Komposisi lemak
pada lima menit pertama isapan akan berbeda dengan hari kedua dan akan terus berubah menurut
perkembangan bayi dan kebutuhan energi yang diperlukan. Jenis lemak yang ada dalam ASI
mengandung lemak rantai panjang yang dibutuhkan oleh sel jaringan otak dan sangat mudah dicerna
karena mengandung enzim lipase. Lemak dalam bentuk Omega 3, Omega 6, dan DHA yang sangat
diperlukan untuk pertumbuhan sel-sel jaringan otak. Susu formula tidak mengandung enzim, karena
enzim akan mudah rusak bila dipanaskan. Dengan tidak adanya enzim, bayi akan sulit menyerap
lemak PASI sehingga menyebabkan bayi lebih mudah terkena diare. Jumlah asam linoleat dalam ASI
sangat tinggi dan perbandingannya dengan PASI yaitu 6 : 1. Asam linoleat adalah jenis asam lemak
yang tidak dapat dibuat oleh tubuh yang berfungsi untuk memacu perkembangan sel syaraf otak bayi.

d. Mineral

ASI mengandung mineral yang lengkap walaupun kadarnya relatif rendah, tetapi bisa
mencukupi kebutuhan bayi sampai berumur 6 bulan. Zat besi dan kalsium dalam ASI merupakan
mineral yang sangat stabil dan mudah diserap dan jumlahnya tidak dipengaruhi oleh diet ibu. Dalam
PASI kandungan mineral jumlahnya tinggi tetapi sebagian besar tidak dapat diserap, hal ini akan
memperberat kerja usus bayi serta mengganggu keseimbangan dalam usus dan meningkatkan
pertumbuhan bakteri yang merugikan sehingga mengakibatkan kontraksi usus bayi tidak normal. Bayi
akan kembung, gelisah karena obstipasi atau gangguan metabolism.

e. Vitamin

ASI mengandung vitamin yang lengkap yang dapat mencukupi kebutuhan bayi sampai 6
bulan kecuali vitamin K, karena bayi baru lahir ususnya belum mampu membentuk vitamin K.
Kandungan vitamin yang ada dalam ASI antara lain vitamin A, vitamin B, dan vitamin C.

3. Volume ASI

Pada bulan-bulan terakhir kehamilan sering ada sekresi kolostrum pada payudara ibu hamil.
Setelah persalinan apabila bayi mulai mengisap payudara, maka produksi ASI bertambah secara
cepat. Dalam kondisi normal, ASI diproduksi sebanyak 10- ± 100 cc pada hari-hari pertama. Produksi
ASI menjadi konstan setelah hari ke 10 sampai ke 14. Bayi yang sehat selanjutnya mengkonsumsi
sebanyak 700-800 cc ASI per hari. Namun kadang-kadang ada yang mengkonsumsi kurang dari 600
cc atau bahkan hampir 1 liter per hari dan tetap menunjukkan tingkat pertumbuhan yang sama.
Keadaan kurang gizi pada ibu pada tingkat yang berat, baik pada waktu hamil maupun menyusui
dapat mempengaruhi volume ASI. Produksi ASI menjadi lebih sedikit yaitu hanya berkisar antara

157
500-700 cc pada 6 bulan pertama usia bayi, 400-600 cc pada bulan kedua dan 300-500 cc pada tahun
kedua usia.

4. Manfaat ASI

a. Manfaat ASI Bagi Bayi

Banyak manfaat pemberian ASI khususnya ASI ekslusif yang dapat dirasakan yaitu (1) ASI
sebagai nutrisi, (2) ASI meningkatkan daya tahan tubuh, (3) Menurunkan risiko mortalitas, risiko
penyakit akut dan kronis, (4) Meningkatkan kecerdasan, (5) Menyusui meningkatkan jalinan kasih
sayang, (6) Sebagai makanan tunggal untuk memenuhi semua kebutuhan pertumbuhan bayi sampai
usia selama enam bulan, (7) Mengandung asam lemak yang diperlukan untuk untuk pertumbuhan otak
sehingga bayi yang diberi ASI eksklusif lebih pandai, (8) Mengurangi resiko terkena penyakit kencing
manis, kanker, dan mengurangi kemungkinan menderita penyakit jantung, (9) Menunjang
perkembangan motoric.

b. Manfaat ASI Bagi Ibu

Manfaat ASI bagi ibu antara lain: (1) Pemberian ASI memberikan 98% metode kontrasepsi
yang efisien selama 6 bulan pertama sesudah kelahiran bila diberikan hanya ASI saja (eksklusif) dan
belum terjadi menstruasi kembali, (2) Menurunkan risiko kanker payudara dan ovarium, (3)
Membantu ibu menurunkan berat badan setelah melahirkan (4) Menurunkan risiko DM Tipe 2, (5)
Pemberian ASI sangat ekonomis, (6) Mengurangi terjadinya perdarahan bila langsung menyusui
setelah melahirkan, (7) Mengurangi beban kerja ibu karena ASI tersedia dimana saja dan kapan saja,
(8) Meningkatkan hubungan batin antara ibu dan bayi.

c. Manfaat ASI Bagi Keluarga

Adapun manfaat ASI bagi keluarga: (1) Tidak perlu uang untuk membeli susu formula, kayu
bakar atau minyak untuk merebus air, susu atau peralatan, (2) Bayi sehat berarti keluarga
mengeluarkan biaya lebih sedikit (hemat) dalam perawatan kesehatan dan berkurangnya kekhawatiran
bayi akan sakit, (3) Penjarangan kelahiran karena efek kontrasepsi dari ASI ekslusif, (4) Menghemat
waktu keluarga bila bayi lebih sehat, (5) Pemberian ASI pada bayi (meneteki) berarti hemat tenaga
bagi keluarga sebab ASI selalu siap tersedia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi
stunting lebih banyak terjadi karena tidak diberi ASI eksklusif. Yang tidak diberi ASI eksklusif,
memiliki risiko menjadi stunting 6,54 kali dibandingkan dengan yang diberi ASI eksklusif. (Aprilia,
2009). Penelitian lain mengemukakan bahwa yang tidak mendapatkan ASI eksklusif akan 3,2 kali
menderita gizi buruk dan 6,9 kali risiko menjadi stunting.

2.5 MP ASI

158
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang
mengandung zat gizi yang diberikan pada bayi atau usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi
selain ASI. MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan
pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan
kemampuan bayi. Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk
pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan yang sangat pesat pada periode ini, tetapi sangat
diperlukan hygienitas dalam pemberian MP-ASI tersebut.

Sanitasi dan hygienitas MP-ASI yang rendah memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba
yang dapat meningkatkan risiko atau infeksi lain pada bayi. Selama kurun waktu 4-6 bulan pertama
ASI masih mampu memberikan kebutuhan gizi bayi, setelah 6 bulan produksi ASI menurun sehingga
kebutuhan gizi tidak lagi dipenuhi dari ASI saja. Peranan makanan tambahan menjadi sangat penting
untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi tersebut . Makanan pendamping ASI dapat disiapkan secara
khusus untuk bayi atau makanannya sama dengan makanan keluarga, namun teksturnya disesuaikan
dengan usia bayi dan kemampuan bayi dalam menerima makanan.

a. Tujuan Pemberian MP-ASI

Umur 0-6 bulan pertama dilahirkan, ASI merupakan makanan yang terbaik bagi bayi, namun
setelah usia tersebut bayi mulai membutuhkan makanan tambahan selain ASI yang disebut makanan
pendamping ASI. Pemberian makanan pendamping ASI mempunyai tujuan memberikan zat gizi yang
cukup bagi kebutuhan bayi atau balita guna pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotorik
yang optimal, selain itu untuk mendidik bayi supaya memiliki kebiasaan makan yang baik. Tujuan
tersebut dapat tercapai dengan baik jika dalam pemberian MP-ASI sesuai pertambahan umur, kualitas
dan kuantitas makanan baik serta jenis makanan yang beraneka ragam. MP-ASI diberikan sebagai
pelengkap ASI sangat membantu bayi dalam proses belajar makan dan kesempatan untuk
menanamkan kebiasaan makan yang baik. Tujuan pemberian MP-ASI adalah untuk menambah energi
dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus
menerus, dengan demikian makanan tambahan diberikan untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan
nutrisi total dengan jumlah yang didapatkan dari ASI

b. Persyaratan MP-ASI

Makanan pendamping ASI (MP-ASI) diberikan sejak bayi berusia 6 bulan. Makanan ini
diberikan karena kebutuhan bayi akan nutrien-nutrien untuk pertumbuhan dan perkembangannya
tidak dapat dipenuhi lagi hanya dengan pemberian ASI. MP-ASI hendaknya bersifat padat gizi,
kandungan serat kasar dan bahan lain yang sukar dicerna seminimal mungkin, sebab serat yang terlalu
banyak jumlahnya akan mengganggu proses pencernaan dan penyerapan zat-zat gizi. Selain itu juga

159
tidak boleh bersifat kamba, sebab akan cepat memberi rasa kenyang pada bayi. MP-ASI jarang dibuat
dari satu jenis bahan pangan, tetapi merupakan suatu campuran dari beberapa bahan pangan dengan
perbandingan tertentu agar diperoleh suatu produk dengan nilai gizi yang tinggi.

BAB III

PENUTUP

160
A. Kesimpulan

Stuntingmerupakan salah satu masalah gizi yang dihadapi di dunia khususnya di negara
berkembang seperti Indonesia. Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan dengan
meningkatnya risiko terjadinya kesakitan, kematian, daya tahan tubuh yang rendah, kurangnya
kecerdasan, produktivitas yang rendah dan perkembangan otak suboptimal sehingga perkembangan
motorik terlambat dan terhambatnya pertumbuhan mental. Stunting merupakan bentuk kegagalan
pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama
mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan. 1,2 Dampak stunting tidak hanya dirasakan oleh individu
yang mengalaminya, tetapi juga berdampak terhadap roda perekonomian dan pembangunan bangsa.
Hal ini karena sumber daya manusia stunting memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan dengan
sumber daya manusia normal.

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi
buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian
stunting antara lain faktor maternal, faktor lingkungan rumah, kualitas makanan yang rendah,
pemberian makan yang kurang, keamanan makanan dan minuman, pemberian ASI (fase menyusui),
infeksi, ekonomi politik, kesehatan dan pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial dan budaya, system
pertanian dan pangan, air, sanitasi dan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

161
1. MCA Indonesia. (2015). Stunting dan Masa Depan Indonesia. Jakarta. Diakses pada tanggal 30 Mei
2018 dari http://www.mcaindonesia.go.id/assets/uploads/media/pdf/MCAIndonesia-Technical-
BriefStunting-ID.pdf

2. Sudiman, H. (2008). Stunting atau Pendek : Awal Perubahan Patologis atau Adaptasi Karena
Perubahan Sosial Ekonomi Yang Berkepanjangan?. Media Litbang Kesehatan, 17(1): 33-43.

3. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. (2017). 100 Kabupaten/Kota Prioritas


untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta Pusat. Diakses pada tanggal 30 Mei 2018 dari
http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Buku%20Ringkasan%20 Stunting-1.pdf

4. Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kemenkes RI.

5. Sugianto, dkk. (2013). Riset Kesehatan Dasar ; Riskesdas dalam Angka Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 2013.Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.

6. (2018). Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2017. Jakarta Selatan: Direktorat Jenderal
Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan.

7. Widanti, Yannie A. (2016). Prevalensi, Faktor Risiko, dan Dampak Stunting pada Anak Usia
Sekolah. JITIPARI, 1(1).

8. Supariasa, I D. N., (2016). Pendidikan & Konsultasi Gizi. Jakarta: EGC.

9. Ni`mah, Khoirun dan Siti R.N. (2015). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada
Balita. Media Gizi Indonesia: 13-19.

162

Anda mungkin juga menyukai