OKT
Untuk memenuhi uts mata kuliah Farmakologi
Dosen Pengampu: Nadia Raihana, S.Farm., M.Farm., Apt
Disusun Oleh
Erika Anggraini (183001010004)
UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI
Menurut dokter yang juga praktisi kesehatan, dr Erik Tapan MHA, pada dasarnya jenis obat terbagi
atas dua jenis, yaitu obat over the counter (OTC ) dan obat ethical. Obat OTC masih dibagi menjadi
dua lagi, yaitu obat bebas dan obat bebas terbatas.
Obat bebas yaitu obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan di supermarket, minimarket, warung
atau toko obat, tanpa memerlukan resep dokter. Obat bebas diitandai dengan pencantuman logo obat
bebas berupa lingkaran hijau bergaris tepi hitam.
Obat bebas ini digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan, misalnya vitamin atau
multivitamin, penurun panas seperti Panadol, Sanmol dan lainnya.
“Sedangkan obat bebas terbatas yakni obat-obatan yang dalam jumlah tertentu masih bisa dibeli di
apotek, tanpa resep dokter. Obat jenis ini memakai logo berupa tanda lingkaran biru bergaris tepi
hitam,” ungkap dia dalam keterangan pers.
Sedangkan obat ethical adalah obat yang harus diperoleh dengan resep dokter dan hanya bisa dibeli di
apotek. Logonya adalah lingkaran berwarna merah dan bergaris tepi hitam dengan tulisan K warna
hitam di dalam lingkaran warna merah tersebut. Obat ethical terbagi lagi menjadi empat jenis, yaitu
daftar G, daftar O, Obat Keras Tertentu (OKT), dan Obat Wajib Apotek. Obat daftar G atau Obat
Keras seperti antibiotika, antidiabetes, antihipertensi, dan lainnya. Untuk daftar O atau Obat Bius
adalah golongan obat-obat narkotika.
Sedangkan Obat Keras Tertentu (OKT) atau psikotropik seperti obat penenang, obat sakit jiwa, obat
tidur, dan lainnya. Obat Wajib Apotek yaitu Obat Keras yang dapat dibeli dengan resep dokter, namun
dapat pula diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter dengan jumlah
tertentu, seperti antihistamine, obat asma, pil anti hamil, beberapa obat kulit tertentu, dan lainnya.
Menurut dr Erik, umumnya masyarakat lebih mengenal obat OTC dibandingkan obat ethical, karena
obat OTC sering diprosmosikan via media baik cetak maupun elektronik, radio maupun televisi.
Sedangkan obat-obat ethical kalau ada promosinya biasanya hanya via sosmed ataupun beredar di
grup WA atau forum-forum diskusi. “Mohon kehati-hatian masyarakat dalam menanggapi promosi
obat-obatan. Perhatikan Logo jenis obatnya,” jelasnya.
Untuk obat OTC, obat-obat jenis ini bisa diperoleh di toko obat, warung, super market, mini market,
dan lainnya. Dalam menggunakan obat ini, meskipun tergolong obat bebas, tetap harus berhati-hati.
Pedomannya jika tiga hari masalah masih berlanjut harap segera mencari bantuan dokter.
Sementara untuk obat ethical, karena cukup berbahaya jika terjadi penyalahgunaan, obat ini hanya bisa
diperoleh dengan resep dokter. Jalur resmi distribusi obat ini adalah dari pabrik (sering disebut dengan
istilah prinsipal) atau importir terus ke Pedagang Besar Farmasi (PBF), kemudian baru didistribusikan
ke apotek, klinik atau rumah sakit.
“Bahkan dokter praktek mandiri pun sebenarnya dilarang menjual obat kecuali di wilayahnya tidak
ada apotek,” ujar dia. (iin)
Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di
dalamnya.
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa
berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit, memicu munculnya penyakit lain sebagai
efek negatifnya, hingga menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh, bahkan dapat menyebabkan
kematian. Oleh karena itu, golongan obat ini hanya boleh diberikan atas resep dokter umum/spesialis,
dokter gigi, dan dokter hewan.
“Daftar G”, seperti: antibiotika, obat-obatan yang mengandung hormon, antidiabetes, antihipertensi,
antihipotensi, obat jantung, obat ulkus lambung, dll.
Obat Keras Tertentu (OKT) atau psikotropika, seperti: obat penenang, obat sakit jiwa, obat tidur, dll.
Obat Generik dan Obat Wajib Apotek (OWA), yaitu obat yang dapat dibeli dengan resep dokter,
namun dapat pula diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter dengan jumlah
tertentu, seperti antihistamin, obat asma, pil antihamil, beberapa obat kulit tertentu, antikoagulan,
sulfonamida dan derivatnya, obat injeksi, dll.
Obat yang dibungkus sedemikian rupa, digunakan secara enteral maupun parenteral, baik dengan cara
suntikan maupun dengan cara lain yang sigatnya invasif.
Obat baru yang belum tercantum di dalam kompedial/farmakope terbaru yang berlaku di Indonesia
PASAL I
2.1 Undang – undang obat keras ( St. 1937 No. 541) ditetapkan
Pasal 1
e. “Dokter-dokter Gigi” : Mereka yang menjalankan praktekpraktek pengobatan Gigi dan yang
memegang wewenang menurut
f. “Dokter-dokter Hewan” :
Ordonansi ini.
Pasal 2
Contoh Kasus
Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menerima pertanyaan dari salah seorang teman saya setelah
dia berobat ke dokter. Dia menunjukkan resep yang diterimanya namun belum ditebus. Dan betapa
herannya saya karena ada banyak sekali obat yang diresepkan, padahal dia hanya menderita batuk-
pilek meski memang sudah cukup lama. Pertanyaannya waktu itu adalah, "Ini semua harus gue tebus?
Kok kayaknya banyak banget yah?"
Setelah saya baca (untungnya tulisan dokternya sangat manusiawi alias mudah dibaca), dalam
resep tersebut tertera Ciprofloxacin, Tremenza, Alpara, Ambroxol, Dexamethason dan Imboost.
Saya tidak berpendapat bahwa pasien harus mengerti semua hal yang dituliskan di sana, karena itu
adalah tugas farmasis untuk membantu menyiapkan dan menyerahkan obat pada pasien. Namun saya
berharap paling tidak pasien tahu ada berapa banyak macam obat yang dituliskan di resep tersebut.
Karena pada kenyataannya masih ada kasus-kasus resep irasional yang terjadi, misalnya jumlah obat
yang diresepkan melebihi lima jenis. Hal ini dikenal dengan istilah Polifarmasi.
Menurut WHO, Polifarmasi merupakan salah satu bentuk Penggunaan Obat Irasional, yakni
pemberian lebih dari lima macam obat untuk satu pasien dalam satu resep. Beberapa ciri Penggunaan
Obat Irasional antara lain, Peresepan Berlebih (Overprescribing), Peresepan Kurang
(Underprescribing), Peresepan Majemuk (Multiple Prescribing) dan Peresepan Salah (Incorrect
Prescribing).
Dalam contoh kasus teman saya di atas, resep tersebut bisa termasuk dalam ketegori Overprescribing
dan Multiple Prescribing, dengan penjelasan sebagai berikut:
Overprescribing
Jumlah obat lebih dari lima jenis dengan total jumlah zat aktif sepuluh (Tremenza mengandung
Pseudoephedrine & Triprolidine; sementara Alpara mengandung Paracetamol,
Phenylpropanolamine/PPA, Chlorpheniramine Maleat/CTM, dan Dextromethorphan).
Multiple Prescribing
Dalam resep tersebut mengandung tiga jenis obat dengan fungsi yang sama sebagai antihistamin (anti-
alergi) yaitu Triprolidine, CTM dan Dexamethason.
Dan setelah saya tanya-tanya sedikit, teman saya ini menderita batuk berdahak dan kerongkongannya
sakit saat menelan. Selain itu rupanya dia juga tidak pernah menggunakan Ciprofloxacin. Antibiotik
yang pernah dan biasa dia gunakan hanya Amoxicillin.
Itu berarti sebenarnya dia tidak membutuhkan Alpara karena fungsi PPA & Dextromethrophan disitu
adalah untuk menekan batuk, sementara ia memerlukan obat mukolitik untuk mengencerkan dahak
(Ambroxol). Selain itu menurut hemat saya, dia juga tidak perlu sampai menggunakan Ciprofloxacin
karena sudah tergolong 'cukup tinggi' untuk seseorang yang biasa menggunakan Amoxicillin.
Obat Tradisonal
- Teh Hijau
- Ramuan Teh,Lemon dan Madu
- Air Garam
- Dll
https://id.beritasatu.com/home/mengenal-jenis-obat-dan-pola-distribusinya/185810
https://www.google.com/amp/s/fairuzly.wordpress.com/2012/08/31/obat-bebas-obat-bebas-terbatas-
obat-keras/amp/
https://radartulungagung.jawapos.com/read/2017/07/28/4208/obat-keras-wajib-resep-dokter
https://id.scribd.com/document/329484672/Makalah-Obat-Keras-Tertentu
https://www.kompasiana.com/irmina.gultom/5a0025f28dc3fa13da582033/yang-perlu-kamu-tahu-
tentang-polifarmasi-pada-resep?page=all