TUGAS 5
BAHAN DISKUSI MATA KULIAH
LINGKUNGAN DAN KESEHATAN GLOBAL
KELOMPOK 1
Kesehatan merupakan investasi penting yang harus dimiliki setiap orang sebagai
modal untuk melangsungkan kehidupan produktif. Menurut Undang-Undang No 32 Tahun
1992 kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Pembangunan kesehatan harus
dipandang sebagai suatu inverstasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Menurut H.L Blum kesehatan lingkungan dan perilaku manusia merupakan dua faktor
dominan yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Komponen kesehatan lingkungan
dan perilaku juga merupakan komponen yan paling memungkinkan untuk dilakukan
intervensi, sehingga menjadi fokus tindakan promotif dan preventif pada mayoritas
permasalah kesehatan yang terjadi saat ini. Hal ini masih menjadi perhatian di Indonesia
karena permasalahan terkait kesehatan lingkungan dan perilaku masih menjadi tugas yang
harus diselesaikan.
Masih tingginya penyakit berbasis lingkungan dan perilaku disebabkan oleh
kesadaran masyarakat yang masih rendah tentang pentingnya menjaga lingkungan sekitar
juga berprilaku hidup bersih dan sehat yang belum diterapkan dengan baik. Berdasarkan
aspek sanitasi, tingginya angka penyakit berbasis lingkungan banyak disebabkan karena tidak
terpenuhinya kebutuhan air bersih masyarakat; pemanfaatan jamban yang masih rendah;
tercemarnya tanah, air dan udara karena limbah rumah tangga, limbah industri, limbah
pertanian, dan sarana transportasi; serta kondisi lingkungan fisik yang berisiko
memungkinkan timbulnya kejadian penyakit.
Selain itu, penyakit zoonosis juga menjadi persoalan di Indonesia. Tidak dapat
dipungkiri bahwa keeratan hubungan manusia dan ternak/hewan baik dalam bentuk rantai
makanan maupun hubungan sosial dapat menimbulkan kejadian penyakit yang bersifat
zoonosis.
Makalah ini membahas berbagai persoalan tekait kasus ebola dan rabies; pencemaran
limbah logam berat dan plastic; kasus taeniasis dan sistiserkosis; kejadian obesitas pada
remaja; dan pencemaran udara akibat debu timbal dari peleburan aki bekas. Analisis dan
solusi yang ditawarkan pada setiap kasus berbeda sesuai dengan kekhasannya masing-
masing.
Masalah 1:
Ebola adalah masalah kesehatan yang menimpa penduduk di sebagian besar wilayah Afrika
bagian barat. Organisasi kesehatan dunia WHO, pada 18 Oktober 2018 mengumumkan
kejadian luar biasa ebola di Republik Demokratik Kongo. Namun kejadian tersebut dapat
segera diatasi melalui pemberdayaan masyarakat dan komunikasi risiko yang kuat. Di
Indonesia, rabies juga menimpa penduduk di sebagian wilayah, misalnya di Bali, Sulawesi
Utara dan Sumatera Barat. Kedua persoalan kesehatan tersebut berkaitan erat dengan
perilaku, kebiasaan, serta nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Apabila dilihat dari faktor
risikonya, Indonesia tergolong daerah rawan ebola. Apalagi di beberapa daerah ditemukan
kebiasaan untuk mengonsumsi hewan-hewan eksotis. Namun perlu kita sadari bahwa
masyarakat juga memiliki kearifan lokal yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai
persoalan kesehatan.
Pertanyaan:
1. Berdasarkan teks di atas, program apa yang sudah dilaksanakan oleh
pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah kesehatan terutama berkaitan
dengan rabies, atau ebola?
a. Ebola
Penyakit virus Ebola adalah salah satu penyakit fatal pada manusia yang disebabkan
oleh virus Ebola, yang pertama kali diidentifikasi pada tahun 1976 di Republik Kongo dan
Sudan. Case Fatality Rate (CFR) Ebola adalah sebesar 50%, bahkan dapat bervariasi dari
25%-90% pada wabah terdahulu. Pada bulan Maret 2014, WHO melaporkan wabah Ebola
terjadi di Guinea, Afrika Barat, yang kemudian berkembang ke beberapa negara di Afrika
Barat lainnya. Hingga pada tanggal 8 Agustus 2014, WHO menyatakan ebola sebagai
penyakit yang tergolong darurat kesehatan masyarakat atau Public Health Emergency of
International Concern (PHEIC). Adapun jumlah kasus global sejak wabah Ebola merebak
pada tahun 2014 sebanyak 28.637 kasus dengan 11.314 kematian.
Sampai pada pertemuan Emergency IHR Committee on Ebola Virus Disease ke-7
pada tanggal 1 Oktober 2015 penyakit virus Ebola masih dinyatakan sebagai PHEIC.
Namun jika melihat kondisi saat ini, jumlah kasus cenderung menurun dan hanya tersisa di
1 negara terjangkit (Guinea).
Sebagian dari penyakit infeksi emerging ditetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD/PHEIC), yaitu Polio, Ebola, dan Zika.
Penyakit infeksi emerging perlu mendapat perhatian khusus. Kerugian yang ditimbulkan
dari munculnya penyakit infeksi emerging tidak hanya dapat menimbulkan kematian,
tetapi juga dapat membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar. Sebagai contoh,
perkiraan biaya langsung yang ditimbulkan SARS di Kanada dan negara-negara Asia
adalah sekitar 50 miliar dolar AS, sedangkan untuk respon penanggulangan Ebola di
Afrika barat lebih dari 459 juta dolar AS. Dampak penyakit infeksi emerging semakin
besar bila terjadi di negara berkembang yang relatif memiliki sumber daya lebih terbatas
dengan ketahanan sistem kesehatan masyarakat yang tidak sekuat negara maju.
Indonesia sebagai negara anggota World Health Organization (WHO) telah
menyepakati untuk melaksanakan ketentuan International Health Regulations (IHR) 2005,
dan dituntut harus memiliki kemampuan dalam deteksi dini dan respon cepat terhadap
munculnya penyakit/kejadian yang berpotensi menyebabkan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan dunia tersebut. Pelabuhan, bandara, dan 24 Rencana Aksi
Program P2P 2015-2019 (revisi) Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN) sebagai pintu
masuk negara maupun wilayah harus mampu melaksanakan upaya merespon terhadap
adanya kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (PHEIC). Upaya
kekarantinaan dilakukan dengan tujuan mencegah dan menangkal masuk dan keluarnya
penyakitpenyakit dan atau masalah kesehatan yang menjadi kedaruratan kesehatan
masyarakat secara internasional, termasuk penyakit infeksi emerging. Salah satunya
adalah melakukan kesiapsiagaan dan deteksi dini baik di pintu masuk negara maupun di
wilayah.
b. Rabies
Zoonosis adalah penyakit dan infeksi yang ditularkan secara alami di antara hewan
vertebrata dan manusia (WHO). Dalam rangka akselerasi pengendalian zoonosis telah
dibentuk Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis melalui PERPRES No.30 Tahun 2011
tentang Pengendalian Zoonosis.
Rabies adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat akut pada manusia dan hewan
berdarah panas yang disebabkan oleh lyssa virus, dan menyebabkan kematian pada hampir
semua penderita rabies baik manusia maupun hewan. Pada manusia, rabies menyebabkan
kematian jika sudah terjadi gejala klinis. Selama 2009 – 2013 terjadi lebih dari 361.935
kasus gigitan hewan penular rabies, sekitar 299.209 orang (82,67 %) diberikan Vaksin
Anti Rabies (VAR) dan 841 orang meninggal akibat rabies (lyssa). Di Indonesia rabies
terjadi di 265 Kabupaten/Kota (sebagai data dasar sasaran). Sebanyak 25 provinsi telah
tertular rabies dan hanya 9 provinsi masih bebas historis dan telah dibebaskan dari rabies
(Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat).
Eliminasi rabies di ASEAN telah menjadi komitmen bersama yakni ASEAN Bebas
Rabies 2020. Indonesia sebagai salah satu Negara ASEAN juga mempunyai komitmen
guna mencapai tujuan lndonesia Bebas Rabies 2020.
Dalam rangka menurunkan kejadian luar biasa penyakit menular telah dilakukan
pengembangan Early Warning and Respons System (EWARS) atau Sistem Kewaspadaan
Dini dan Respon (SKDR), yang merupakan penguatan dari Sistem Kewaspadaan Dini -
Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB). Melalui penggunaan EWARS diharapkan terjadi
peningkatan dalam deteksi dini dan respon terhadap peningkatan trend kasus penyakit,
khususnya yang berpotensi menimbulkan KLB.
Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian
rabies yaitu, kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), kasus yang divaksinasi dengan
Vaksin Anti Rabies (VAR) dan kasus yang positif rabies dan mati berdasarkan uji Lyssa.
Penentuan suatu daerah dikatakan tertular rabies berdasarkan ditemukannya positif hasil
pemeriksaan laboratorium terhadap hewannya, kewenangan ini ditentukan oleh
Kementerian Pertanian.
Penyuluhan terpadu dengan stakeholder terkait juga dilakukan untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat akan bahaya rabies baik pada manusia dan hewan. Penyuluhan ini
dilengkapi dengan media cetak seperti poster, leaflet, spanduk, dan video untuk
mempermudah masyarakat untuk memahaminya.
''Pemerintah daerah gencar melakukan penanggulangan KLB Rabies, kunci
penanggulangan rabies utamanya adalah mengendalikan hewan pembawa rabies (anjing)
di daerah,'' jelas direktur pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik Kemenkes dr.
Siti Nadia Tarmizi.
- Pada tanggal 30 Januari 2019 Bupati Kabupaten Dompu telah menerbitkan Keputusan
Bupati nomor 441.7/72/DIKES/2019 tentang Penetapan Kabupaten Dompu sebagai
daerah Kejadian Luar Biasa Rabies.
- Bupati Kabupaten Sumbawa menerbitkan Keputusan Bupati nomor 389 Tahun 2019
tentang Penetapan Kabupaten Sumbawa sebagai daerah Kejadian Luar Biasa Rabies
pada tanggal 8 Februari 2019.
- Pada tanggal 21 Februari 2019 Bupati Bima menerbitkan Instruksi Bupati nomor 1
Tahun 2019 tentang Pencegahan Penyebaran Penyakit Rabies. Instruksi ini diterbitkan
mengingat adanya KLB rabies di Kabupaten Dompu yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Bima.
2. Faktor sosial budaya apa saja yang berpengaruh pada kejadian ebola dan rabies
di Indonesia?
1. Belum efektinya kerjasama dan koordinasi lintas sektor ataupun antara pusat,
provinsi dan kabupaten/kota.
2. Kondisi budaya politik yang kurang mendukung pelaksanaan penanggulangan
penyakit hewan, misalnya pada saat terjadinya wabah penyakit hewan dimana
kepala daerah merasa malu jika daerahnya dinyatakan tertular/terjadi wabah
penyakit hewan.
3. Perkembangan global khususnya di bidang perdagangan internasional komoditas
ternak, pada kondisi saat ini dapat menimbulkan ancaman bagi Indonesia terkait
dengan persaingan bebas.
4. Masuknya penyakit eksotik ke Indonesia merupakan suatu ancaman tersendiri yang
memerlukan antisipasi yang maksimal dengan penerapan kajian analisa risiko.
5. Muncul dan menyebarnya penyakit hewan menular di negara lain dan tidak
mengenal batas negara (transboundary disesases) memerlukan tindakan
pengendalian dan pengamanan. Pengendalian penyakit hewan “transboundary”
bukan hanya tantangan teknis, tetapi juga merupakan tantangan manajemen
sumberdaya, tantangan hubungan masyarakat dan tantangan manajemen informasi
serta yang lebih penting lagi adalah tantangan dan rencana menghadapi kesiagaan
darurat (Emergency Preparedness dan Emergency Plan).
6. Meningkatnya arus wisatawan dari manca negara yang belum ditunjang dengan
peningkatan jumlah maupun mutu sumberdaya manusia yang mengawasi serta
sarana pengawasan khususnya di garis terdepan (karantina hewan) akan menjadi
ancaman masuknya penyakit hewan.
Anjing memiliki nilai sosial budaya bahkan ekonomis bagi masyarakat Indonesia
seperti berburu babi pada masyarakat Sumatera Barat, adu bagong (babi hutan) bagi
masyarakat Sunda, membawa anjing untuk keselamatan pada pelayaran tradisional
bagi masyarakat Bugis, belis (mas kawin) bagi masyarakat Flores serta konsumsi
daging anjing bagi masyarakat tertentu di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku,
Nusa Tenggara Timur. Anjing diperjualbelikan sehingga memiliki nilai ekonomi,
pada kondisi seperti ini, eliminasi sulit dilakukan karena ada penolakan. Dari berbagai
kejadian seperti di Flores anjing disembunyikan di perkebunan atau hutan, justru
membantu menyebarkan rabies.
3. Faktor sosial budaya apa yang dapat dimanfaatkan untuk membantu
mengendalikan persoalan kesehatan di Indonesia?
1. Tersedianya Pedoman pelayanan Jasa Medik Vetriner yang ditetapkan melalui
Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Permentan/OT.140/1/2010
2. Peraturan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2011 tentang Pedoman
Pelayanan Veteriner untuk penyelenggaraan pelayanan veteriner.
3. Perubahan lingkungan strategis global dan regional ternyata sangat berpengaruh
dan menjadi peluang terhadap peningkatan akses pembangunan kesehatan hewan.
4. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan, sehingga sebagian besar
wilayah Indonesia mempunyai batas alam yang jelas dan sekaligus dapat berperan
5. Perkembangan industri peternakan akan memacu Pusat Veterinaria Farma
(Pusvetma) untuk mengembangkan dan memproduksi berbagai sediaan biologik
(vaksin, sera dan bahan diagnostika) dan Balai Besar Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang telah terakreditasi di tingkat ASEAN
mengembangkan fungsinya sebagai pusat pengujian mutu obat hewan di Indonesia
dan ASEAN.
Masalah 2:
Sebagian wilayah laut Indonesia, terutama di dekat perkotaan tercemar oleh logam berat dan
limbah plastik. Selain merugikan secara ekonomi, bahan pencemar tersebut berdampak
terhadap kesehatan karena sebagian hasil laut tak lagi aman dikonsumsi. Luasnya
pencemaran plastik di perairan Indonesia ini menguatkan hasil kajian Jenna Jambeck, peneliti
dari Universitas Georgia, AS. Riset yang dirilis dalam jurnal Science (2015) ini menyebut
Indonesia adalah negara kedua setelah China sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di
laut. Dari 5,4 juta ton sampah plastik per tahun yang dihasilkan penduduk negeri ini, 0,5-1,5
juta ton dibuang ke laut.Banyaknya limbah plastic di antaranya disebabkan penggunaan
kantong plastic secara massif.
Pemerintah telah menguji coba kantong plastic berbayar, namun karena alasan tertentu
belakangan dibatalkan. Padahal kesadaran konsumen untuk mengurangi penggunaan kantong
belanja plastik yang berlebih masih sangatlah rendah. Begitu juga dengan sosialisasi yang
dilakukan oleh pemerintah atau pihak-pihak tertentu untuk mempengaruhi masyarakat
mengurangi penggunaan tas belanja plastik dan dampak negatifnya juga masih sangat kurang.
Pertanyaan:
1. Faktor apa yang mempengaruhi pencemaran merkuri dan limbah plastik di
daerah perkotaan?
Faktor yang mempengaruhi Pencemaran Merkuri
Beberapa logam berat diproduksi secara rutin dalam skala industri dan
penggunaan logam-logam tersebut dalam berbagai keperluan sehari-hari, berarti telah
secara langsung maupun tidak langsung , sengaja atau tidak sengaja telah mencemari
lingkungan. Dan beberapa logam tersebut telah mencemari lingkungan melebihi batas
yang berbahaya bagi kehidupan lingkungan. Salah satu logam berat yang berbahaya
dan sering mencemari lingkungan adalah Merkuri (Hg), dimana logam tersebut
dapat mengumpul didalam tubuh suatu organisme dan tinggal dalam tubuh pada
jangka waktu yang lama sebagai racun yang terakumulasi. Merkuri merupakan bentuk
elemen alami dan kebanyakan yang ditemukan di alam terdapat dalam bentuk
gabungan dengan elemen lainnya serta jarang ditemukan dalam bentuk elemen
terpisah. Komponen merkuri banyak tersebar di karang-karang, tanah, udara, air dan
organisme hidup melalui proses –proses fisik, kimia dan biologi yang kompleks.
Merkuri digunakan untuk keperluan sebagai industry khlor-alkali, alat-alat listrik, cat,
instrument, sebagai katalis, kedokteran gigi, pertanian, alat-alat laboratorium, obat-
obatan, industry kertas, amalgam dan lainnya (Fardiaz 1992).
Sumber pencemaran merkuri dilingkungan dapat dideteksi dari industri-
industri yang menggunakan merkuri di dalam prosesnya. Masalah yang dihadapi
adalah bagaimana mencegah terjadinya pencemaran merkuri tersebut. Kesulitan
dalam mencegah terjadinya polusi merkuri disebabkan karena ; 1) merkuri bersifat
volatile sehingga dapat mencemari udara ; 2) merkuri berbentuk cair sehingga mudah
menyebar di permukaan air dan sulit untuk dikumpulkan ; 3) merkuri mengalami
translokasi di dalam tanaman dan hewan ; 4) dapat diubah oleh mikroorganisme yang
terdapat di dalam laut, sungai atau danau menjadi komponen metil merkuti yang
sangat beracun (Fardiaz, 1992).
3. Ditinjau dari segi promosi kesehatan, apa yang perlu dilakukan untuk mencegah
perilaku buruk tersebut?
- Memberi informasi tentang penanganan sampah yang baik dan benar melalui
penyuluhan kepada masyarakat;
- Penyuluhan tentang bahaya pembuangan sampah di sungai terutama bagi
masyarakat yang tinggal di sekitar sungai;
- Memberikan pelatihan daur ulang sampah plastic untuk menjadi barang yang
berguna dan bernilai ekonomis;
Masalah 3
Papua, Bali dan Sumatra Utara adalah derah dengan kejadia taeniasis dan sistiserkosis yang
tinggi di Indonesia. Berdasarkan studi epidemiologi, taeniasis dan sistiserkosis di Papua
disebabkan oleh buruknya kebiasaan penduduk mencuci tangan sebelum makan. Di Bali
faktor risiko penularan taeniais di masyarakat karena kebiasaan mengomsumsi daging babi
yang kurang matang yang dicampur bersama darahnya (pork lawar). Sedangkan di Sumatra
Utara masyarakat biasa mengonsumsi jeroan babi yang kurang matang.
Sumber penularan taeniasis adalah babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita
(cysticercus). Sumber penularan sistiserkosis sendiri adalah penderita taeniasis solium yang
tinjanya mengandung telur atau sistomiasis. Seseorang apat terinfeksi cacing pita (taeniasis)
bila memakan daging yang mengandung larva yang tidak dimasak dengan sempurna. Larva
T. saginata tedapat pada daging sapi, larva T. solium terdapat pada daging babi, dan larva T.
asiatica terdapat pada hati babi. Sistiserkosis hanya terjadi apabila telus T. Solium yang
berasal dari daging babi terlelan oleh manusia, sementara T. saginata dan T. asiatica tidak
menimbulkan sistiserkosis bagi manusia.
Sistiserkosis merupakan penyakit berbahaya dan dapat menimbulkan masalah
kesehatan masyarakat di daerah endemis. Berikut gambaran klinis taeniasis dan sitiserkosis:
- Masa inkubasi berkisar antara 8 – 14 minggu
- Sebagian kasus taeniasis tidak menunjukan gejala (asimtomatik).
- Gejala klinis dapat timbul akibat iritasi mukas usus atau toksin yang dihasilkan cacing.
Gejala tersebut antara lain rasa tidak nyaman di lambung, mual, badan lemah, berat badan
menurun, nafsu makan menurun, sakit kepala, konstipasi, pusing, diare dan prutitus ani.
- Pada sistiserkosis, biasanya larva cacing bersarang di jaringan otak sehingga dapat
mengakibatkan serangan epilepsi. Larva juga dapat bersarang di sub-kutan, mata, otot,
jantung, dan organ lain.
Secara umum pencegahan penyakit taeniasis dan sistiserkosis berhubungan dengan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan kesehatan sanitasi lingkungan dimana
masyarakat tingggal. Berikut merupakan upaya pencegahan yang bisa dilakukan (Soedarto,
2008; CFSPH,2005) :
- Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi dan mencegah terjadinya
autoinfeksi dengan larva cacing.
- Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual agar bebas larva cacing (sistiserkus).
- Memasak daging sampai diatas 50°C selama minimal 30 menit untuk membutuh kista
cacing, cara lain yaitu dengan membekukan daging.
- Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia sebagai makanan
babi, hal ini dilakukan dengan membuang air besar di jamban/toilet.
- Pada daerah endemic, sebaiknya tidak memakan sayur yang tidak dimasak dan buah yang
tidak dikupas terlebih dahulu.
- Hanya meminum air dalam botol kemasan atau air yang disaring dan dimasak terlebih
dahulu.
- Diberikan oxfendazole oral (30 mg/kg BB) pada babi. Bila perlu, dilakukan vaksinasi
dengan TSOL 18 setelah dilakukan eliminasi parasite dengan kemoterapi.
- Meningkatkan pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan kesehatan sanitasi
lingkungan pada komunitas.
1. Faktor lingkungan dan perilaku apa yang menjadi faktor risiko taeniasis dan
sistiserkosis di tiga provinsi tersebut?
Setiap wilayah memiliki karakteristik lingkungan dan perilaku yang berbeda, menurut
penelitian Wandra, dkk (1999-2006) T. solium dan T. saginata banyak ditemukan di
daerah Bali, T. asiatica banyak ditemukan di Pulau Samosir Sumatera Utara, dan T.
solium banyak ditemukan di Irian Jaya (sekarang Papua). Berikut merupakan faktor dan
prilaku spesifik yang menjadi penyebab kasus taeniasis dan sistiserkosis di tiap provinsi.
a. Provinsi Papua
Papua terletak di bagian timur Indonesia dengan topografi pegunungan dan daerah
pantai. Penduduk pada umumnya hidup dari bertani, berdagang, dan bekerja di instansi
pemerintah. Kasus taeniasis dan sistiserkosis di provinsi ini pertama kali ditemukan di
Distrik Enarotali Paniai, diawali kasus luka bakar stadium dua yang parah akibat
serangan epilepsi. Data terbaru hasil survei epidemiologi menggunakan Enzyme-
Linked Immunoelectrotransfer Blot (EITB) yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi Papua tahun 2007 di empat kabupaten yaitu Kab. Jayawijaya, Kab. Paniai,
Kab. Peg. Bintang, dan Kab. Puncak Jaya dapat dilihat pada Tabel berikut.
Sumber: UPF Litbangkes Papua (Balai Litbang Biomedis Papua) Tahun 2009
Dari kedua tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa masih tingginya prevalensi kasus
taeniasis dan sistiserkosis di daerah pegunungan tengah disebabkan masih rendahnya
pendidikan masyarakat dan pengetahuan mengenai penyakit, sanitasi lingkungan dan
hygiene personal. Selanjutnya, tingkat sosial-ekonomi yang rendah serta budaya
memelihara hewan khususnya babi yang tidak dikandangkan juga mempengaruhi
penyakit tersebut bertahan di daerah itu.
Daerah perkotaan juga terkena dampak pola penyebaran taeniasis dan sistiserkosis
yang disebabkan mobilitas penduduk dari daerah endemik dan juga penyebaran hewan
ternak babi yang terinfeksi T. solium antar daerah di provinsi papuaa tidak dapat
dihindari, karena babi di provinsi ini merupakan hewan konsumsi utama yang
memiliki nilai yang tinggi. Di daerah perkotaan juga masih ditemukan budaya melepas
hewan ternak (tidak diberi kandang) sehingga penyebaran sangat mudah terjadi.
b. Provinsi Bali
Provinsi Bali juga merupakan wilayah yang memiliki tingkat konsumsi daging babi
yang tinggi di Indonesia. Namun, data atau penelitian terbaru sulit didapatkan terkait
kasus taeniasis dan sistiserkosis. Menurut Theis dkk (1997) didapatkan prevalensi
sebesar 13% pada manusia dengan pemeriksaan serologi. Hasil serologi positif 10/74
(13,5%) diantara penderita dengan epilepsi menunjukan bahwa sebagian kelompok
penderita tersebut terinfeksi dengan sistiserkus.
Berikut laporan Dinas Peternakan Denpasar, Bali antara tahun 1975-1988.
Tabel. Sistiserkosis pada sapi, kerbau, dan babi di Bali antara 1975-1988.
Prevalensi kasus sistirkosis pada babi tidak ada pada dua tahun terakhir, trend lebih
baik terjadi pada sapi dan kerbau. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan ternak
babi yang dikandangkan dan perbaikan cara inspeksi daging potong.
Faktor lingkungan saat ini tidak menjadi risiko yang dianggap signifikan
mempengaruhi kasus taenasis dan sistiserkosis karena Provinsi Bali saat ini terbilang
provinsi yang maju. Kegiatan pariwisata yang meningkat setiap tahun ikut mendorong
perokonomian yang juga berdampak pada perbaikan sanitasi lingkungan dan
kesehatan.
Faktor kebiasaan yang menjadi risiko saat ini justru berangkat kebudayaan. Lawar
menjadi makanan tradisional yang wajib dikonsumsi masyarakat Bali justru disisi lain
menyebabkan risiko taeniasis dan sistiserkosis. Lawar merupakan masakan berupa
campuran sayur-sayuran, kelapa, dan daging cincang. Penggunaan daging cincang dan
darah babi yang mentah menjadi perhatian karena sangat berisiko.
Beternak babi dilinai menguntungkan karena dapat memanfaatkan sisa makanan yang
sudah tidak digunakan oleh manusia. Namun berkaitan dengan risikonya, pengawasan
harus terus dilakukan untuk meningkatkan keamanan pangan saat nanti dikonsumsi.
2. Apa pesan yang harus dikembangkan untuk mengendalikan penyakit tersebut?
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis yang penangananya
membutuhkan kerjasama lintas sektor. Fokus tindakan preventif harus menjadi poin
utama yang harus dikembangkan. Berikut hal-hal yang bisa dilakukan untuk
pengendalian penyakit taeniasis dan sistiserkosis:
a. Pengamankan hewan yang berisiko menularkan taeniasis dan sistiserkosis. Fokus
intervensi dilakukan pada kegiatan peternakan dan penanganan daging potong.
Peningkatan pemeriksaan kesehatan daging di rumah potong hewan (RPH) oleh
pihak yang berwenang sangat diperlukan.
b. Edukasi cara konsumsi daging masak kepada masyarakat terutama yang berisiko
tinggi. Pemasakan daging yang dapat membunuh cysticercus adalah pemanasan
dengan suhu 50-6°C atau pembekuan pada suhu -10°C selama 10-14 hari (Smyth,
2004).
c. Edukasi sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) kepada
semua golongan masyarakat perlu dilakukan.
d. Penyuluhan tentang penyakit taeniasis dan sistiserkosis kepada masyarakat luas
(terutama di daerah berisiko) perlu dilakukan dengan mempertimbangkan latar
belakang pendidikan, kebudayaan, maupun keyakinan agama supaya informasi
yang diberikan dapat diterima dan diterapkan dengan baik.
e. Peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, pihak kesehatan,
masyarakat dan pihak swasta terutama di daerah yang memiliki risiko tinggi sangat
diperlukan untuk membantu keberhasilan pengendalian penyakit.
Masalah 4
Kelebihan asupan energi merupakan faktor risiko kejadian obesitas pada remaja. Remaja
obesitas mengonsumsi makanan tinggi energi seperti nasi 3 kali sehari, roti putih 2 lembar
sekali makan, kentang, mie bihun, mie instan, dan dari jenis umbi-umbian. Mereka juga
terbiasa pergi ke outlet-outlet atau restoran cepat saji sebanyak 1-2 kali seminggu. Hampir
sepertiga anak Amerika usia 4-19 tahun yang mengonsumsi lemak setiap hari yang
mengakibatkan penambahan berat badan 3 kg per tahun. Namun, masalah obesitas
sesungguhnya bukan terletak pada pola santap yang berlebihan, melainkan pada kesalahan
memilih jenis santapan.
Pertanyaan:
1. Bagaimana gambaran pola konsumsi remaja Indonesia yang tinggal di kota-kota
besar?
Golongan remaja di perkotaan merupakan salah satu segmen penting dalam
masyarakat yang perlu lebih diperhatikan dari sudut perubahan konsumsi
makanannya. Selain masih dalam proses pertumbuhan dan pengenalan lingkungan
serta dirinya, mereka termasuk rawan terhadap pengaruh makanan-makanan dan
minuman-minuman modern. Berbagai jenis makanan dan minuman yang tergolong
modern telah diperkenalkan di kota-kota besar di Indonesia seperti: Burger, hotdog,
spaghetti, es krim dan lainnya. Cepat atau lambat makanan-makanan modern tersebut
diduga dapat menggeser peranan makanan-makanan Iokal/tradisional yang biasa
dikonsumsi oleh kalangan remaja di kota-kota besar, jika tidak ada upaya tertentu
dilakukan guna mencegah hal itu.
Penelitian Kebiasaan Makan Golongan Remaja di Enam Kota Besar di
Indonesia yang dilakukan oleh ltintrin T. Mudjianto, Djoko Susanto, Erna Luciasari,
dan Hermina menggali keragaman pola konsumsi makanan remaja siswa-siswi SLTP
dan SLTA di perkotaan dan faktor- faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut.
Sebanyak 3.051 orang remaja menjadi contoh dari siswa-siswi SLTP dan SLTA di
kota-kota Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar. Secara
umum hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa-siswi makan pagi di
rumah sebelum sekolah; lebih dari 85% mereka makan siang di rumah. Sebanyak 15-
20% remaja di Jakarta biasa mengkonsumsi fried chicken dan burger sebagai makan
siang. Walaupun relatif kecil, 1.6% remaja di Jakarta mengkonsumsi hotdog, pizza
dan spaghetti sebagai makan siang mereka.
Hasil Penelitian :
a. Definisi makan
Definisi makan Pengertian "makan" pada kalangan responden di masing-
masing kota cukup beragam. Lebih dari 20% responden di enam kota mengartikan
makan sebagai "sumber energi dan zat-zat gizi bagi tubuh”. Keragaman pengertian
mengenai "makan" selengkapnya pada kalangan remaja di enam kota dapat dilihat
pada Tabel 1.
b. Kebiasaan makan
Sebagian besar responden di enam kota biasa makan tiga kali sehari, yaitu
makan pagi (sarapan), makan siang dan makan malam. Responden terbanyak yang
selalu sarapan adalah di Yogyakarta yaitu sebesar 86%. Sedangkan jumlah
responden di Denpasar yang biasa sarapan jumlahnya terkecil dibandingkan
dengan di lima kota lainnya, yaitu sebesar 75%. Responden yang selalu makan
siang di enam kota adalah sebesar 91 - 95%. Jumlah tersebut lebih besar
dibandingkan dengan jumlah yang selalu makan pagi dan makan malam. Jumlah
responden yang selalu makan malam antara 86 - 96%. Responden yang selalu
makan malam terbanyak di Denpasar dan terkecil di Jakarta.
Di luar angka-angka di atas, ada pula responden yang tidak pernah makan
pagi, atau makan pagi secara kadang-kadang. Alasan umum yang diberikan oleh
responden di enam kota adalah karena makanan belum tersedia; tidak terbiasa;
malas atau waktu sempit pada pagi hari. Alasan yang diberikan oleh responden
yang tidak pernah makan siang, atau makan siang secara kadang-kadang adalah
karena letih setelah pulang dari sekolah; ada kegiatan di luar sekolah atau les;
merasa masih kenyang karena jajan di sekolah; malas; tidak biasa; atau diit.
Sedangkan responden yang sekolah siang memberikan alasan, Karena masih
kenyang setelah sarapan; makanan belum tersedia; atau tidak sempat. Alasan yang
diberikan oleh responden yang tidak pernah makan malam atau makan malam
secara kadang-kadang adalah karena ingin menguruskan badan (diit); merasa masih
kenyang; tidak biasa; malas; atau setelah makan mengantuk jadi tidak bisa belajar.
Masalah 5
Debu timbel dari kegiatan melebur aki bekas terus mencemari udara, tanah serta
mengontaminasi darah anak-anak yang tinggal di sekitarnya. Di Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Tangerang, konsentrasi timbel (timah hitam/Pb) pada tanah sangat tinggi. Di
Cinangka (Bogor) kandungan timbel dalam tanah 3883 mg/kilogram, sedangkan di Curug
(Tangerang) 1113 mg/kg. Peraturan Pemerintah RI nomor 101 tahun 2014 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tentang nilai baku mutu B3
konsentrasi B sebesar 1500 mh/kg. Di Cinangka dijumpai anak-anak yang perilakunya
menyerupai kanak-kanak yang mengalami keterbelakangan mental, hanya peduli pada barang
yang disukai, kerap kejang-kejang, telapak tangannya pengkor. Pemeriksaan darah di
laboratorium menunjukkan angka 25,3 mikrogram/desiliter, padahal batas toleransi timbel
dalam darah 10 mikrogram/desiliter. Konsentrasi timbel dalam darah Investigasi salah satu
surat kabar menunjukkan peleburan aki bekas illegal dijalankan dengan menggunakan tungku
berbentuk menyerupai mulut sumur, tanpa dilengkapi cerobong dan penangkap debu
(Diadaptasi dari Kompas, 15 Oktober 2018).
Pertanyaan:
1. Berdasarkan artikel di atas, factor apa yang menyebabkan tingginya
pencemaran timbel di daerah-daerah tersebut?
Pertumbuhan industri kecil dan menengah saat ini berkembang cukup pesat,
dan juga sangat mendukung pertumbuhan perekonomian masyarakat karena
disamping memperluas lapangan kerja juga sangat membantu perkembangan
perekonomian daerah. Namun, pertumbuhan industri juga menimbulkan efek samping
yaitu memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas udara, air, dan tanah baik di
lingkungan kerja maupun masyrakat sekitar.
Accumulator (accu) atau aki merupakan suatu rangkaian alat penyimpan arus
listrik dalam pemakaian sehari-hari sebagai pencatu daya, diantaranya: pada mobil,
sepeda motor, radio, tv, tape, dan sebagainya. Accu/baterai apabila tidak diisi kembali
maka tidak menghasilkan arus listrik sehingga menjadi accu bekas yang di dalamnya
terkandung unsur – unsur kimia yaitu Pb, Pb2, H2SO4, dan PbSO4, serta air.Unsur –
unsur tersebut membentuk suatu reaksi yaitu: Pb2(SO4)2 + 2H2OPb + PbO2 +
2H2SO4 .
Industri pengolahan accu bekas merupakan industri sektor informal yang
memberikan dampak buruk terhadap kesehatan pekerja dan pencemaran udara. Debu
yang berasal dari kegiatan industri tersebut dapat menimbulkan gangguan fungsi paru-
paru, apabila melebihi kadar ambang batas dan pekerja terpajan dalam kurun waktu
yang lama. Debu yang berasal dari kegiatan industri adalah salah satu sumber pajanan
utama. Debu tersebut akan masuk ke dalam rumah-rumah penduduk yang ada di
sekitar kawasan industri itu. Debu yang memiliki sifat sangat ringan dan mudah
terbawa dapat terdeposit pada furniture dalam rumah dan terbang bersama udara
melingkup rumah. Selain itu, debu dalam rumah yang mengendap di lantai juga
menjadi jalur utama pajanan dari logam berat, terutama timbal (Pb). Timbal dalam
debu rumah sangat berbahaya bagi anak-anak, terutama pada anak-anak yang masih
balita. Udara yang mengandung timbal dapat berasal dari tanah yang mengandung
timbal.
Sejak tahun 1978 masyarakat Desa Cinangka telah beraktivitas sebagai
pelebur aki bekas yang dilakukan di halaman belakang rumah (backyard smelters)
dengan teknologi yang sangat sederhana tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan,
keselamatan dan lingkungan hidup. Kegiatan peleburan tersebut dilakukan dengan
cara membelah aki bekas menggunakan kapak atau pisau besar untuk memisahkan
plastik pengungkung (plastic box) dengan elemen aki di dalamnya, plastik
pengungkung ini dapat digunakan kembali baik untuk pabrik aki maupun pabrik
plastic.
Proses pembelahan yang dilakukan, cairan asam yang terdapat pada aki
dituangkan/ dibuang langsung ke tanah, yang kemudian cairan asam tersebut akan
meresap ke dalam tanah dan meninggalkan asam sulfat serta timbal (Pb) pada lapisan
atas tanah, sementara elemen inti aki yang lainnya dilakukan peleburan (melting) di
dalam tungku (furnace) untuk memproduksi timbal batangan (lead ingot) sesuai
dengan pesanan pembeli. Proses peleburan yang dilakukan menghasilkan slag atau
terak sebagai sisa dari peleburan di tungku bakar, terak/slag sisa hasil pembakaran
tersebut tergolong ke dalam kategori limbah B3 yang harus dilakukan pengelolaan
lanjut (PP 101/2014) namun pada kenyataannya slag yang dihasilkan tersebut dibuang
langsung ke lingkungan, ada juga yang dijadikan sebagai material pengerasan jalan
dan dijadikan sebagai bahan urukan pada lahan basah (KLHK, 2016).
Pengelolaan Limbah Pb dan sisa dari kegiatan pembakaran aki bekas yang
buruk akan menimbulkan dampak potensial kepada lingkungan dan populasi di
sekitarnya seperti manusia, hewan dan ekosistem (CJGEA), sehingga perlu dilakukan
pengelolaan yang terintegrasi dan memenuhi prinsip pengelolaan yang berkelanjutan.
Limbah dari kegiatan daur ulang aki bekas (used lead acid battery-ULAB) apabila
tidak dikumpulkan dan diolah secara benar, maka dampak yang akan ditimbulkan
menjadi sangat berbahaya untuk lingkungan bahkan sampai dengan kematian bagi
para pekerja dan masyarakat sekitar yang tinggal di industri pengolahan (UNEP,
2004). Hal ini dikarenakan Pb memiliki sifat akumulatif dalam tubuh manusia,
kejadian kronis yang terdeteksi pada tubuh manusia dapat terjadi dalam waktu lama
disaat ambang batas konsentrasi Pb di dalam tubuh telah melewati batas aman yang
dapat ditoleransi oleh manusia itu sendiri.
Hasil pengukuran yang telah dilakukan pada tahun 2010, teridentifikasi
sebanyak 128 titik sebaran tanah yang terkontaminasi limbah hasil dari proses
peleburan aki bekas (KLH, 2014). Limbah yang dihasilkan dari proses peleburan
secara sederhana tersebut menimbulkan dampak, salah satunya adalah dampak
terhadap kesehatan masyarakat khususnya kepada anak-anak yang memiliki resiko
tinggi terpapar timbal, dibuktikan dengan adanya anak-anak yang mengalami cacat
fisik sampai dengan keterbelakangan mental disekitar lokasi peleburan (KLHK,
2016). Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia pada tahun 2015 yang menyatakan bahwa sebagian besar siswa SD
Cinangka memiliki kadar timbal dalam darah tinggi atau melebihi nilai yang
direkomendasikan oleh WHO (10 μg/dl) yaitu sebesar 61,2%” yang diambil dari 63
responden siswa SD di Desa Cinangka (Annashr, 2015). Berdasarkan uraian tersebut,
maka lahan yang terkontaminasi Pb harus dilakukan pemulihan lahan terkontaminasi
dan perlu dilakukan analisis kandungan logam berat pada air tanah yang digunakan
oleh warga sebagai air baku.
Peleburan aki bekas menghasilkan debu timbal yang berbahaya untuk
kesehatan bila terpajan melampaui nilai ambang batas dalam waktu yang lama. CDC
dan EPA menentukan kadar timbal dalam darah ≥ 10 µg/dl sebagai nilai ambang
batas. Timbal dapat mengganggu perkembangan sistem saraf sehingga mengakibatkan
penurunan IQ. Anak-anak merupakan populasi rentan dikarenakan beberapa alasan
seperti masih dalam tahap perkembangan otak; tingginya frekuensi makan, minum
dan bernafas hidup dalam satu lingkungan, memasukkan segala macam benda ke
dalam mulut, dan Pabrik peleburan aki bekas legal telah beroperasi di Kecamatan
Curug, Kabupaten Tangerang sejak tahun 1987. Peningkatan konsentrasi timbal di
udara dapat meningkatkan konsentrasi timbal dalam darah sehingga dapat
mengganggu perkembangan kecerdasan (majemuk) pada anak-anak
Fardiaz Srikandi. (1992, Oktober). Polusi Air dan Udara. Dikutip pada tanggal 14 Oktober
2019 melalui laman
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=x1z3WSQM5VkC&oi=fnd&pg=PA
5&dq=faktor+yang+mempengaruhi+pencemaran+merkuri+dan+limbah+plastik+di+d
aerah+perkotaan&ots=J4aCPgoxPs&sig=xXFrEHOJj6Ij_m5wXIDemAziCCo&redir_
esc=y#v=onepage&q&f=false
Wulandari, R. A. (1992). Hubungan antara Beberapa Faktor yang Berpengaruh pada
Pemaparan Timah Hitam (Pb) dalam Darah Pekerja Peleburan Aki Bekas di Jakarta
Barat dan Kecamatan Ciampea Bogor 1992. [Tesis] Depok: FKM UI
Mudjianto, Trintrin T, dkk. 1994. Kebiasaan Makan Golongan Remaja Di Enam Kota Besar
Di Indonesia: Penelitian Gizi dan Makanan. Dikutip pada tanggal 14 Oktober 2019
melalui laman
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/pgm/article/view/1948/2533
Needleman, H. L. (2000). The Removal of Lead from Gasoline: Historical and Personal
Reflections. Environmental Research, 20 – 35.
WHO. (2002). The World Health Report 2002: Reducing Risks, Promoting Healthy Life.
Geneva: WHO
UNEP. (2004). National Management Plans For Used Lead Acid Batteries. Training Manual
For The Preparation Of National Used Lead Acid Batteries Environmentally Sound
Management Plans In The Context Of The Implementation Of The Basel Convention.
Lanphear, dkk. (2005). Low-Level Environmental Lead Exposure and Children’s Intellectual
Function: an International Pooled Analysis. Environ. Health Perspect, 894–899.
ATSDR. (2007). Toxicological Profile for Lead. Atlanta: US. Department of Health and
Human Services.
Endang Susilowati. 2007. Sampah Masalah dan Solusinya. Dikutip pada tanggal 14 Oktober
2019 melalui laman http://mst.ft.ugm.ac.d/concent/view/66/i/lang.id
Haryanto, B. (2008). Pengaruh Suplemen Kalsium terhadap Penurunan Kadar Timah Hitam
dalam Darah. [Disertasi]. Depok: FKM UI
Karuniastuti Nurhenu. Bahaya Plastik Terhadap Kesehatan dan Lingkungan. Forum
Teknologi Col 03 No.01. Dikutip pada tanggal 14 Oktober 2019 melalui laman
file:///C:/Users/ricki/Downloads/43-Article%20Text-76-1-10-20190110.pdf
KLH. (2014). Pemulihan Tahap Pertama Lahan Terkontaminasi Limbah B3 Timbal (Pb)
Desa Cinangka Kecamatan Ciampe Kabupaten Bogor.
Lisbet Sihombing, (2014) “Upaya Internasional Untuk Mengatasi Penyebaran Ebola” VI, no.
19
Annashr, N.N. (2015). Hubungan Kadar Timbal Dalam Darah Dengan Kadar Hemoglobin
(Hb) dan Eritrosit Berbintik Basofilik Pada Siswa Sekolah Dasar (SD) di Desa
inangka Kecamatan Ciampe Kabupaten Bogor Tahun 2014. Tesis Program
Azam, M.M. (2016). Soil Contamination and Remediation Measures: Revisiting The
Relevant Laws and Institutions. Environmental Remediation Technologies for Metal
Contaminated Soils, 99-124.
KLHK. (2016). Panduan Teknis Model Pemanfaatan Aki Bekas Skala Kecil yang Ramah
Lingkungan.
Rulliyati Nurjanah. 2017. Faktor-Faktor Pola Makan pada Remaja di SMK Negeri 4
Yogyakarta: Tugas Akhir Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.
Dikutip pada tanggal 14 Oktober 2019 melalui laman
http://eprints.uny.ac.id/53825/1/Faktor%20faktor%20pola%20makan%20pada%20re
maja.pdf
RENCANA AKSI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
2015-2019 (Revisi I - 2018) Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Nomor HK.
Andi Norsely Saras Shanti. 2019. Gaya Komunikasi Generasi Millennial: Student’s Column.
Fakultas Ekonomi dan Komunikasi Universitas Binus. Jakarta. Dikutip pada tanggal
14 Oktober 2019 melalui laman https://communication.binus.ac.id/2019/01/22/gaya-
komunikasi-generasi-millennial/
Wasito, Filemon. 2019 Cegah Kasus Rabies, Kementan Perkuat Strategi Komunikasi
Zoonosis diakes pada tanggal 15 Oktober Melalui laman
https://independensi.com/2019/09/28/cegah-kasus-rabies-kementan-perkuat-strategi-
komunikasi-zoonosis/
Pascasarjana FKM UI. Apriyanti, E. (2018). Analisis Kandungan Logam Berat Timbal Pb
Pada Kerang Polymesoda erosa L di Perairan Tanjung Bunga Makassar. International
Journal of Education and Environmental Education (IJEEM) Vol.3, No.2 Juli 2018.
CJGEA-Kenya. An Investigation on Used Lead-Acid Battery (ULAB) Recycling in Kenya-
Report.
Wandra, T, Sri S Margono, S.S, Gafar, M.S, Saragih, J.M, Sutisna, P, Nyoman, S,
Dharmawan, N.S. et al. Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia 1996-2006.
http://www.tm.mahidol.ac.th/seameo/2007-38-suppl-1/38suppl1-140.pdf diakses
tanggal 15 Oktober 2019.
Dinas Peternakan Denpasar, Bali. 1989. Informasi Data Peternakan.