Anda di halaman 1dari 45

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS 5
BAHAN DISKUSI MATA KULIAH
LINGKUNGAN DAN KESEHATAN GLOBAL

KELOMPOK 1

Emilia Arina 1806167945


Enny Mar’atus Sholihah 1906335760
Gita Chandra Irmawaty 1906335874
Irma Yunita 1906335956
Randi Irmayanto 1906336284

PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
2019
PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan investasi penting yang harus dimiliki setiap orang sebagai
modal untuk melangsungkan kehidupan produktif. Menurut Undang-Undang No 32 Tahun
1992 kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Pembangunan kesehatan harus
dipandang sebagai suatu inverstasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Menurut H.L Blum kesehatan lingkungan dan perilaku manusia merupakan dua faktor
dominan yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Komponen kesehatan lingkungan
dan perilaku juga merupakan komponen yan paling memungkinkan untuk dilakukan
intervensi, sehingga menjadi fokus tindakan promotif dan preventif pada mayoritas
permasalah kesehatan yang terjadi saat ini. Hal ini masih menjadi perhatian di Indonesia
karena permasalahan terkait kesehatan lingkungan dan perilaku masih menjadi tugas yang
harus diselesaikan.
Masih tingginya penyakit berbasis lingkungan dan perilaku disebabkan oleh
kesadaran masyarakat yang masih rendah tentang pentingnya menjaga lingkungan sekitar
juga berprilaku hidup bersih dan sehat yang belum diterapkan dengan baik. Berdasarkan
aspek sanitasi, tingginya angka penyakit berbasis lingkungan banyak disebabkan karena tidak
terpenuhinya kebutuhan air bersih masyarakat; pemanfaatan jamban yang masih rendah;
tercemarnya tanah, air dan udara karena limbah rumah tangga, limbah industri, limbah
pertanian, dan sarana transportasi; serta kondisi lingkungan fisik yang berisiko
memungkinkan timbulnya kejadian penyakit.
Selain itu, penyakit zoonosis juga menjadi persoalan di Indonesia. Tidak dapat
dipungkiri bahwa keeratan hubungan manusia dan ternak/hewan baik dalam bentuk rantai
makanan maupun hubungan sosial dapat menimbulkan kejadian penyakit yang bersifat
zoonosis.
Makalah ini membahas berbagai persoalan tekait kasus ebola dan rabies; pencemaran
limbah logam berat dan plastic; kasus taeniasis dan sistiserkosis; kejadian obesitas pada
remaja; dan pencemaran udara akibat debu timbal dari peleburan aki bekas. Analisis dan
solusi yang ditawarkan pada setiap kasus berbeda sesuai dengan kekhasannya masing-
masing.
Masalah 1:
Ebola adalah masalah kesehatan yang menimpa penduduk di sebagian besar wilayah Afrika
bagian barat. Organisasi kesehatan dunia WHO, pada 18 Oktober 2018 mengumumkan
kejadian luar biasa ebola di Republik Demokratik Kongo. Namun kejadian tersebut dapat
segera diatasi melalui pemberdayaan masyarakat dan komunikasi risiko yang kuat. Di
Indonesia, rabies juga menimpa penduduk di sebagian wilayah, misalnya di Bali, Sulawesi
Utara dan Sumatera Barat. Kedua persoalan kesehatan tersebut berkaitan erat dengan
perilaku, kebiasaan, serta nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Apabila dilihat dari faktor
risikonya, Indonesia tergolong daerah rawan ebola. Apalagi di beberapa daerah ditemukan
kebiasaan untuk mengonsumsi hewan-hewan eksotis. Namun perlu kita sadari bahwa
masyarakat juga memiliki kearifan lokal yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai
persoalan kesehatan.
Pertanyaan:
1. Berdasarkan teks di atas, program apa yang sudah dilaksanakan oleh
pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah kesehatan terutama berkaitan
dengan rabies, atau ebola?
a. Ebola
Penyakit virus Ebola adalah salah satu penyakit fatal pada manusia yang disebabkan
oleh virus Ebola, yang pertama kali diidentifikasi pada tahun 1976 di Republik Kongo dan
Sudan. Case Fatality Rate (CFR) Ebola adalah sebesar 50%, bahkan dapat bervariasi dari
25%-90% pada wabah terdahulu. Pada bulan Maret 2014, WHO melaporkan wabah Ebola
terjadi di Guinea, Afrika Barat, yang kemudian berkembang ke beberapa negara di Afrika
Barat lainnya. Hingga pada tanggal 8 Agustus 2014, WHO menyatakan ebola sebagai
penyakit yang tergolong darurat kesehatan masyarakat atau Public Health Emergency of
International Concern (PHEIC). Adapun jumlah kasus global sejak wabah Ebola merebak
pada tahun 2014 sebanyak 28.637 kasus dengan 11.314 kematian.
Sampai pada pertemuan Emergency IHR Committee on Ebola Virus Disease ke-7
pada tanggal 1 Oktober 2015 penyakit virus Ebola masih dinyatakan sebagai PHEIC.
Namun jika melihat kondisi saat ini, jumlah kasus cenderung menurun dan hanya tersisa di
1 negara terjangkit (Guinea).
Sebagian dari penyakit infeksi emerging ditetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD/PHEIC), yaitu Polio, Ebola, dan Zika.
Penyakit infeksi emerging perlu mendapat perhatian khusus. Kerugian yang ditimbulkan
dari munculnya penyakit infeksi emerging tidak hanya dapat menimbulkan kematian,
tetapi juga dapat membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar. Sebagai contoh,
perkiraan biaya langsung yang ditimbulkan SARS di Kanada dan negara-negara Asia
adalah sekitar 50 miliar dolar AS, sedangkan untuk respon penanggulangan Ebola di
Afrika barat lebih dari 459 juta dolar AS. Dampak penyakit infeksi emerging semakin
besar bila terjadi di negara berkembang yang relatif memiliki sumber daya lebih terbatas
dengan ketahanan sistem kesehatan masyarakat yang tidak sekuat negara maju.
Indonesia sebagai negara anggota World Health Organization (WHO) telah
menyepakati untuk melaksanakan ketentuan International Health Regulations (IHR) 2005,
dan dituntut harus memiliki kemampuan dalam deteksi dini dan respon cepat terhadap
munculnya penyakit/kejadian yang berpotensi menyebabkan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang meresahkan dunia tersebut. Pelabuhan, bandara, dan 24 Rencana Aksi
Program P2P 2015-2019 (revisi) Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN) sebagai pintu
masuk negara maupun wilayah harus mampu melaksanakan upaya merespon terhadap
adanya kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (PHEIC). Upaya
kekarantinaan dilakukan dengan tujuan mencegah dan menangkal masuk dan keluarnya
penyakitpenyakit dan atau masalah kesehatan yang menjadi kedaruratan kesehatan
masyarakat secara internasional, termasuk penyakit infeksi emerging. Salah satunya
adalah melakukan kesiapsiagaan dan deteksi dini baik di pintu masuk negara maupun di
wilayah.
b. Rabies
Zoonosis adalah penyakit dan infeksi yang ditularkan secara alami di antara hewan
vertebrata dan manusia (WHO). Dalam rangka akselerasi pengendalian zoonosis telah
dibentuk Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis melalui PERPRES No.30 Tahun 2011
tentang Pengendalian Zoonosis.
Rabies adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat akut pada manusia dan hewan
berdarah panas yang disebabkan oleh lyssa virus, dan menyebabkan kematian pada hampir
semua penderita rabies baik manusia maupun hewan. Pada manusia, rabies menyebabkan
kematian jika sudah terjadi gejala klinis. Selama 2009 – 2013 terjadi lebih dari 361.935
kasus gigitan hewan penular rabies, sekitar 299.209 orang (82,67 %) diberikan Vaksin
Anti Rabies (VAR) dan 841 orang meninggal akibat rabies (lyssa). Di Indonesia rabies
terjadi di 265 Kabupaten/Kota (sebagai data dasar sasaran). Sebanyak 25 provinsi telah
tertular rabies dan hanya 9 provinsi masih bebas historis dan telah dibebaskan dari rabies
(Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat).
Eliminasi rabies di ASEAN telah menjadi komitmen bersama yakni ASEAN Bebas
Rabies 2020. Indonesia sebagai salah satu Negara ASEAN juga mempunyai komitmen
guna mencapai tujuan lndonesia Bebas Rabies 2020.
Dalam rangka menurunkan kejadian luar biasa penyakit menular telah dilakukan
pengembangan Early Warning and Respons System (EWARS) atau Sistem Kewaspadaan
Dini dan Respon (SKDR), yang merupakan penguatan dari Sistem Kewaspadaan Dini -
Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB). Melalui penggunaan EWARS diharapkan terjadi
peningkatan dalam deteksi dini dan respon terhadap peningkatan trend kasus penyakit,
khususnya yang berpotensi menimbulkan KLB.
Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian
rabies yaitu, kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), kasus yang divaksinasi dengan
Vaksin Anti Rabies (VAR) dan kasus yang positif rabies dan mati berdasarkan uji Lyssa.
Penentuan suatu daerah dikatakan tertular rabies berdasarkan ditemukannya positif hasil
pemeriksaan laboratorium terhadap hewannya, kewenangan ini ditentukan oleh
Kementerian Pertanian.
Penyuluhan terpadu dengan stakeholder terkait juga dilakukan untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat akan bahaya rabies baik pada manusia dan hewan. Penyuluhan ini
dilengkapi dengan media cetak seperti poster, leaflet, spanduk, dan video untuk
mempermudah masyarakat untuk memahaminya.
''Pemerintah daerah gencar melakukan penanggulangan KLB Rabies, kunci
penanggulangan rabies utamanya adalah mengendalikan hewan pembawa rabies (anjing)
di daerah,'' jelas direktur pengendalian penyakit tular vektor dan zoonotik Kemenkes dr.
Siti Nadia Tarmizi.
- Pada tanggal 30 Januari 2019 Bupati Kabupaten Dompu telah menerbitkan Keputusan
Bupati nomor 441.7/72/DIKES/2019 tentang Penetapan Kabupaten Dompu sebagai
daerah Kejadian Luar Biasa Rabies.
- Bupati Kabupaten Sumbawa menerbitkan Keputusan Bupati nomor 389 Tahun 2019
tentang Penetapan Kabupaten Sumbawa sebagai daerah Kejadian Luar Biasa Rabies
pada tanggal 8 Februari 2019.
- Pada tanggal 21 Februari 2019 Bupati Bima menerbitkan Instruksi Bupati nomor 1
Tahun 2019 tentang Pencegahan Penyebaran Penyakit Rabies. Instruksi ini diterbitkan
mengingat adanya KLB rabies di Kabupaten Dompu yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Bima.
2. Faktor sosial budaya apa saja yang berpengaruh pada kejadian ebola dan rabies
di Indonesia?
1. Belum efektinya kerjasama dan koordinasi lintas sektor ataupun antara pusat,
provinsi dan kabupaten/kota.
2. Kondisi budaya politik yang kurang mendukung pelaksanaan penanggulangan
penyakit hewan, misalnya pada saat terjadinya wabah penyakit hewan dimana
kepala daerah merasa malu jika daerahnya dinyatakan tertular/terjadi wabah
penyakit hewan.
3. Perkembangan global khususnya di bidang perdagangan internasional komoditas
ternak, pada kondisi saat ini dapat menimbulkan ancaman bagi Indonesia terkait
dengan persaingan bebas.
4. Masuknya penyakit eksotik ke Indonesia merupakan suatu ancaman tersendiri yang
memerlukan antisipasi yang maksimal dengan penerapan kajian analisa risiko.
5. Muncul dan menyebarnya penyakit hewan menular di negara lain dan tidak
mengenal batas negara (transboundary disesases) memerlukan tindakan
pengendalian dan pengamanan. Pengendalian penyakit hewan “transboundary”
bukan hanya tantangan teknis, tetapi juga merupakan tantangan manajemen
sumberdaya, tantangan hubungan masyarakat dan tantangan manajemen informasi
serta yang lebih penting lagi adalah tantangan dan rencana menghadapi kesiagaan
darurat (Emergency Preparedness dan Emergency Plan).
6. Meningkatnya arus wisatawan dari manca negara yang belum ditunjang dengan
peningkatan jumlah maupun mutu sumberdaya manusia yang mengawasi serta
sarana pengawasan khususnya di garis terdepan (karantina hewan) akan menjadi
ancaman masuknya penyakit hewan.
Anjing memiliki nilai sosial budaya bahkan ekonomis bagi masyarakat Indonesia
seperti berburu babi pada masyarakat Sumatera Barat, adu bagong (babi hutan) bagi
masyarakat Sunda, membawa anjing untuk keselamatan pada pelayaran tradisional
bagi masyarakat Bugis, belis (mas kawin) bagi masyarakat Flores serta konsumsi
daging anjing bagi masyarakat tertentu di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku,
Nusa Tenggara Timur. Anjing diperjualbelikan sehingga memiliki nilai ekonomi,
pada kondisi seperti ini, eliminasi sulit dilakukan karena ada penolakan. Dari berbagai
kejadian seperti di Flores anjing disembunyikan di perkebunan atau hutan, justru
membantu menyebarkan rabies.
3. Faktor sosial budaya apa yang dapat dimanfaatkan untuk membantu
mengendalikan persoalan kesehatan di Indonesia?
1. Tersedianya Pedoman pelayanan Jasa Medik Vetriner yang ditetapkan melalui
Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Permentan/OT.140/1/2010
2. Peraturan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2011 tentang Pedoman
Pelayanan Veteriner untuk penyelenggaraan pelayanan veteriner.
3. Perubahan lingkungan strategis global dan regional ternyata sangat berpengaruh
dan menjadi peluang terhadap peningkatan akses pembangunan kesehatan hewan.
4. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan, sehingga sebagian besar
wilayah Indonesia mempunyai batas alam yang jelas dan sekaligus dapat berperan
5. Perkembangan industri peternakan akan memacu Pusat Veterinaria Farma
(Pusvetma) untuk mengembangkan dan memproduksi berbagai sediaan biologik
(vaksin, sera dan bahan diagnostika) dan Balai Besar Pengujian Mutu dan
Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang telah terakreditasi di tingkat ASEAN
mengembangkan fungsinya sebagai pusat pengujian mutu obat hewan di Indonesia
dan ASEAN.

4. Bagaimana cara mengembangkan strategi komunikasi yang cocok untuk


Indonesia?
Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Ditjen PKH) menegaskan komitmennya untuk mencegah dan menanggulangi
zoonosis (penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya).
Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan memformulasikan strategi
komunikasi zoonosis secara nasional yang aplikatif di tingkat nasional, provinsi, dan
juga kabupaten/kota sebagai bagian dari penguatan kapasitas pemerintah dalam
mencegah dan mengendalikan zoonosis di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Syamsul Ma’arif saat membuka Rapat
Koordinasi Zoonosis Nasional di Mataram.
Upaya pengendalian zoonosis merupakan prioritas utama di sektor kesehatan
hewan, karena hal tersebut dapat meminimalisir ancaman pada kesehatan masyarakat
dan mampu meningkatkan ekonomi usaha peternakan. Pentingnya kesadaran
masyarakat dalam upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan zoonosis.
Dengan strategi komunikasi yang tepat, diharapkan masyarakat dapat memiliki
kesadaran untuk melaporkan kasus, serta berkontribusi terhadap upaya pencegahan
dan pengendalian zoonosis. Komunikasi risiko merupakan cara yang efektif untuk
mengelola dan menginformasikan suatu permasalahan, khususnya dalam
pengendalian penyakit hewan.
Menurutnya, peran komunikasi risiko zoonosis sangat penting dalam
meningkatkan pengetahuan, dengan cara membangun sikap positif dan kepedulian
masyarakat untuk terlibat aktif secara sadar dan sukarela dalam pencegahan dan
pengendalian zoonosis. Untuk itu perlu ada koordinasi, advokasi, dan kolaborasi antar
pemangku kepentingan.

Masalah 2:
Sebagian wilayah laut Indonesia, terutama di dekat perkotaan tercemar oleh logam berat dan
limbah plastik. Selain merugikan secara ekonomi, bahan pencemar tersebut berdampak
terhadap kesehatan karena sebagian hasil laut tak lagi aman dikonsumsi. Luasnya
pencemaran plastik di perairan Indonesia ini menguatkan hasil kajian Jenna Jambeck, peneliti
dari Universitas Georgia, AS. Riset yang dirilis dalam jurnal Science (2015) ini menyebut
Indonesia adalah negara kedua setelah China sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di
laut. Dari 5,4 juta ton sampah plastik per tahun yang dihasilkan penduduk negeri ini, 0,5-1,5
juta ton dibuang ke laut.Banyaknya limbah plastic di antaranya disebabkan penggunaan
kantong plastic secara massif.
Pemerintah telah menguji coba kantong plastic berbayar, namun karena alasan tertentu
belakangan dibatalkan. Padahal kesadaran konsumen untuk mengurangi penggunaan kantong
belanja plastik yang berlebih masih sangatlah rendah. Begitu juga dengan sosialisasi yang
dilakukan oleh pemerintah atau pihak-pihak tertentu untuk mempengaruhi masyarakat
mengurangi penggunaan tas belanja plastik dan dampak negatifnya juga masih sangat kurang.
Pertanyaan:
1. Faktor apa yang mempengaruhi pencemaran merkuri dan limbah plastik di
daerah perkotaan?
Faktor yang mempengaruhi Pencemaran Merkuri
Beberapa logam berat diproduksi secara rutin dalam skala industri dan
penggunaan logam-logam tersebut dalam berbagai keperluan sehari-hari, berarti telah
secara langsung maupun tidak langsung , sengaja atau tidak sengaja telah mencemari
lingkungan. Dan beberapa logam tersebut telah mencemari lingkungan melebihi batas
yang berbahaya bagi kehidupan lingkungan. Salah satu logam berat yang berbahaya
dan sering mencemari lingkungan adalah Merkuri (Hg), dimana logam tersebut
dapat mengumpul didalam tubuh suatu organisme dan tinggal dalam tubuh pada
jangka waktu yang lama sebagai racun yang terakumulasi. Merkuri merupakan bentuk
elemen alami dan kebanyakan yang ditemukan di alam terdapat dalam bentuk
gabungan dengan elemen lainnya serta jarang ditemukan dalam bentuk elemen
terpisah. Komponen merkuri banyak tersebar di karang-karang, tanah, udara, air dan
organisme hidup melalui proses –proses fisik, kimia dan biologi yang kompleks.
Merkuri digunakan untuk keperluan sebagai industry khlor-alkali, alat-alat listrik, cat,
instrument, sebagai katalis, kedokteran gigi, pertanian, alat-alat laboratorium, obat-
obatan, industry kertas, amalgam dan lainnya (Fardiaz 1992).
Sumber pencemaran merkuri dilingkungan dapat dideteksi dari industri-
industri yang menggunakan merkuri di dalam prosesnya. Masalah yang dihadapi
adalah bagaimana mencegah terjadinya pencemaran merkuri tersebut. Kesulitan
dalam mencegah terjadinya polusi merkuri disebabkan karena ; 1) merkuri bersifat
volatile sehingga dapat mencemari udara ; 2) merkuri berbentuk cair sehingga mudah
menyebar di permukaan air dan sulit untuk dikumpulkan ; 3) merkuri mengalami
translokasi di dalam tanaman dan hewan ; 4) dapat diubah oleh mikroorganisme yang
terdapat di dalam laut, sungai atau danau menjadi komponen metil merkuti yang
sangat beracun (Fardiaz, 1992).

Faktor yang mempengaruhi pencemaran limbah plastik


Plastik merupakan bahan yang dapat kita temui di hampir setiap barang, mulai
dari botol minum, peralatan makan, peralatan rumah tangga, dan lainnya. Menurut
penelitian, penggunaan plastic yang tidak sesuai persyaratan akan menimbulkan
gangguan kesehatan dan bersifat karsinogenik. Plastik digunakan oleh seluruh lapisan
masyarakat dan tingkat ketergantungan manusia pada plastic sangatlah tinggi, Hal
tersebut dikarenakan plastic merupakan bahan pembungkus ataupun wadah yang
praktis, bersih, tahan lama, murah dan mudah didapat. Tetapi banyak masyarakat
yang tidak mengetahui mengenai bahaya dari plastic tersebut dan cara penggunaan
yang benar. Penggunaan plastic dalam industry makan perlu diwaspadai karena dapat
terjadi kontaminasi zat warna plastik dalam makanan, misal penggunaan kantong
plastik untuk membungkus makanan seperti gorengan dan lain-lain. Faktor yang
menyebabkan rusaknya lingkungan hidup adalah faktor pembuangan lombah sampah
plastik. Diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk membuat sampah
kantong plastic itu benar-benar terurai. Disaat terurai partikel-partikel plastic akan
mencemari tanah dan air tanah (Karuniastuti).

2. Faktor sosial budaya apa yang mempengaruhi perilaku penduduk perkotaan


sembarangan membuang sampah ke sungai?
Kondisi sosial dan budaya menjadi faktor yang sangat penting untuk
mengetahui kebiasaan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah. Persoalan
muncul apabila setiap orang memperlakukan sesuai dengan pemahaman mereka
masing-masing, misalnya dengan meninggalkan atau membuang sampah di
sembarang tempat seperti sungai atau selokan yang dapat mengakibatkan
pendangkalan dan penyumbatan saluran yang merupakan salah satu penyebab banjir
dan genangan di daerah perkotaan. Dan selama ini banyak masyarakat yang tidak
mengerti bagaimana cara pengelolaan sampah yang baik dan benar (Suryanto
Susilowati, 2004).
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (2007), kebudayaan
adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Kebiasaan membuang sampah
di sembarang tempat telah tertanam di benak masyarakat sejak usia dini. Ini bukan
tanpa alasan, orang tua secara tidak sadar mengajarkan cara membuat sampah yang
tidak benar kepada anak-anak mereka.

3. Ditinjau dari segi promosi kesehatan, apa yang perlu dilakukan untuk mencegah
perilaku buruk tersebut?
- Memberi informasi tentang penanganan sampah yang baik dan benar melalui
penyuluhan kepada masyarakat;
- Penyuluhan tentang bahaya pembuangan sampah di sungai terutama bagi
masyarakat yang tinggal di sekitar sungai;
- Memberikan pelatihan daur ulang sampah plastic untuk menjadi barang yang
berguna dan bernilai ekonomis;

Masalah 3
Papua, Bali dan Sumatra Utara adalah derah dengan kejadia taeniasis dan sistiserkosis yang
tinggi di Indonesia. Berdasarkan studi epidemiologi, taeniasis dan sistiserkosis di Papua
disebabkan oleh buruknya kebiasaan penduduk mencuci tangan sebelum makan. Di Bali
faktor risiko penularan taeniais di masyarakat karena kebiasaan mengomsumsi daging babi
yang kurang matang yang dicampur bersama darahnya (pork lawar). Sedangkan di Sumatra
Utara masyarakat biasa mengonsumsi jeroan babi yang kurang matang.

Gambaran Umum Kasus


Taeniasis merupakan penyakit zoonosis parasitic yang disebabkan cacing Taenia dewasa
(Taenia saginata, Taenia solium, dan Taenia asiatica). Selanjutnya, infeksi larva T. solium
disebut sistiserkosis dengan gejala benjolan (nodul) di bawah kulit (subcutaneous
cysticercosis). Bila infeksi larva T. solium tersebut menyerang susunan saraf pusat disebut
neurosistiserkosis dengan gejala utama epilepsi. Berikut patofisiologi taeniasis dan
sisterkolosis.

Gambar. Patofisiologi Taenia dan Sistiserkosis

Sumber penularan taeniasis adalah babi dan sapi yang mengandung larva cacing pita
(cysticercus). Sumber penularan sistiserkosis sendiri adalah penderita taeniasis solium yang
tinjanya mengandung telur atau sistomiasis. Seseorang apat terinfeksi cacing pita (taeniasis)
bila memakan daging yang mengandung larva yang tidak dimasak dengan sempurna. Larva
T. saginata tedapat pada daging sapi, larva T. solium terdapat pada daging babi, dan larva T.
asiatica terdapat pada hati babi. Sistiserkosis hanya terjadi apabila telus T. Solium yang
berasal dari daging babi terlelan oleh manusia, sementara T. saginata dan T. asiatica tidak
menimbulkan sistiserkosis bagi manusia.
Sistiserkosis merupakan penyakit berbahaya dan dapat menimbulkan masalah
kesehatan masyarakat di daerah endemis. Berikut gambaran klinis taeniasis dan sitiserkosis:
- Masa inkubasi berkisar antara 8 – 14 minggu
- Sebagian kasus taeniasis tidak menunjukan gejala (asimtomatik).
- Gejala klinis dapat timbul akibat iritasi mukas usus atau toksin yang dihasilkan cacing.
Gejala tersebut antara lain rasa tidak nyaman di lambung, mual, badan lemah, berat badan
menurun, nafsu makan menurun, sakit kepala, konstipasi, pusing, diare dan prutitus ani.
- Pada sistiserkosis, biasanya larva cacing bersarang di jaringan otak sehingga dapat
mengakibatkan serangan epilepsi. Larva juga dapat bersarang di sub-kutan, mata, otot,
jantung, dan organ lain.
Secara umum pencegahan penyakit taeniasis dan sistiserkosis berhubungan dengan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan kesehatan sanitasi lingkungan dimana
masyarakat tingggal. Berikut merupakan upaya pencegahan yang bisa dilakukan (Soedarto,
2008; CFSPH,2005) :
- Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi dan mencegah terjadinya
autoinfeksi dengan larva cacing.
- Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual agar bebas larva cacing (sistiserkus).
- Memasak daging sampai diatas 50°C selama minimal 30 menit untuk membutuh kista
cacing, cara lain yaitu dengan membekukan daging.
- Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak memberikan tinja manusia sebagai makanan
babi, hal ini dilakukan dengan membuang air besar di jamban/toilet.
- Pada daerah endemic, sebaiknya tidak memakan sayur yang tidak dimasak dan buah yang
tidak dikupas terlebih dahulu.
- Hanya meminum air dalam botol kemasan atau air yang disaring dan dimasak terlebih
dahulu.
- Diberikan oxfendazole oral (30 mg/kg BB) pada babi. Bila perlu, dilakukan vaksinasi
dengan TSOL 18 setelah dilakukan eliminasi parasite dengan kemoterapi.
- Meningkatkan pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan kesehatan sanitasi
lingkungan pada komunitas.
1. Faktor lingkungan dan perilaku apa yang menjadi faktor risiko taeniasis dan
sistiserkosis di tiga provinsi tersebut?
Setiap wilayah memiliki karakteristik lingkungan dan perilaku yang berbeda, menurut
penelitian Wandra, dkk (1999-2006) T. solium dan T. saginata banyak ditemukan di
daerah Bali, T. asiatica banyak ditemukan di Pulau Samosir Sumatera Utara, dan T.
solium banyak ditemukan di Irian Jaya (sekarang Papua). Berikut merupakan faktor dan
prilaku spesifik yang menjadi penyebab kasus taeniasis dan sistiserkosis di tiap provinsi.
a. Provinsi Papua
Papua terletak di bagian timur Indonesia dengan topografi pegunungan dan daerah
pantai. Penduduk pada umumnya hidup dari bertani, berdagang, dan bekerja di instansi
pemerintah. Kasus taeniasis dan sistiserkosis di provinsi ini pertama kali ditemukan di
Distrik Enarotali Paniai, diawali kasus luka bakar stadium dua yang parah akibat
serangan epilepsi. Data terbaru hasil survei epidemiologi menggunakan Enzyme-
Linked Immunoelectrotransfer Blot (EITB) yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi Papua tahun 2007 di empat kabupaten yaitu Kab. Jayawijaya, Kab. Paniai,
Kab. Peg. Bintang, dan Kab. Puncak Jaya dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel. Distribusi Jumlah Kaus Taeniasis dan Sistiserkosis di Beberapa Kabupaten di


Provinsi Papua Menggunakan Metode Survey Serologi Enzyme-Linked
Immunoelectrotransfer Blot (EITB)
Persentase Kab. Kab. Paniai Kab. Kab. Puncak
(%) Jayawijaya Pegunungan Jaya
Penyakit Bintang
(N=1251) (N=631) (N=385) (N=647)
Sistiserkosis 20,8% 27,5% 2,0% 1,6%
Persentase 7,5% 9,9% 10,2% 1,6%

Sumber: Laporan Survey Kesehatan Daerah Penyakit Taeniasis dan Sistiserkosis di


Papua, Dinas Kesehatan Provinsi Papua Tahun 2007
Penelitian juga dilakukan oleh UPF Litbangkes Papua pada tahun 2009 di Kota
Jayapura dan Kabupaten Keerom dengan hasil sebagai berikut.
Tabel. Distribusi Jumlah Kasus Taeniasis dan Sistiserkosis
Persentase (%) Kab. Jayawijaya Kab. Keeroom
Penyakit
(N=1251) (N=631)
Sistiserkosis 0,8% 6,1%
Persentase 0,9% 4,2%

Sumber: UPF Litbangkes Papua (Balai Litbang Biomedis Papua) Tahun 2009
Dari kedua tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa masih tingginya prevalensi kasus
taeniasis dan sistiserkosis di daerah pegunungan tengah disebabkan masih rendahnya
pendidikan masyarakat dan pengetahuan mengenai penyakit, sanitasi lingkungan dan
hygiene personal. Selanjutnya, tingkat sosial-ekonomi yang rendah serta budaya
memelihara hewan khususnya babi yang tidak dikandangkan juga mempengaruhi
penyakit tersebut bertahan di daerah itu.
Daerah perkotaan juga terkena dampak pola penyebaran taeniasis dan sistiserkosis
yang disebabkan mobilitas penduduk dari daerah endemik dan juga penyebaran hewan
ternak babi yang terinfeksi T. solium antar daerah di provinsi papuaa tidak dapat
dihindari, karena babi di provinsi ini merupakan hewan konsumsi utama yang
memiliki nilai yang tinggi. Di daerah perkotaan juga masih ditemukan budaya melepas
hewan ternak (tidak diberi kandang) sehingga penyebaran sangat mudah terjadi.

b. Provinsi Bali
Provinsi Bali juga merupakan wilayah yang memiliki tingkat konsumsi daging babi
yang tinggi di Indonesia. Namun, data atau penelitian terbaru sulit didapatkan terkait
kasus taeniasis dan sistiserkosis. Menurut Theis dkk (1997) didapatkan prevalensi
sebesar 13% pada manusia dengan pemeriksaan serologi. Hasil serologi positif 10/74
(13,5%) diantara penderita dengan epilepsi menunjukan bahwa sebagian kelompok
penderita tersebut terinfeksi dengan sistiserkus.
Berikut laporan Dinas Peternakan Denpasar, Bali antara tahun 1975-1988.
Tabel. Sistiserkosis pada sapi, kerbau, dan babi di Bali antara 1975-1988.

Prevalensi kasus sistirkosis pada babi tidak ada pada dua tahun terakhir, trend lebih
baik terjadi pada sapi dan kerbau. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan ternak
babi yang dikandangkan dan perbaikan cara inspeksi daging potong.
Faktor lingkungan saat ini tidak menjadi risiko yang dianggap signifikan
mempengaruhi kasus taenasis dan sistiserkosis karena Provinsi Bali saat ini terbilang
provinsi yang maju. Kegiatan pariwisata yang meningkat setiap tahun ikut mendorong
perokonomian yang juga berdampak pada perbaikan sanitasi lingkungan dan
kesehatan.
Faktor kebiasaan yang menjadi risiko saat ini justru berangkat kebudayaan. Lawar
menjadi makanan tradisional yang wajib dikonsumsi masyarakat Bali justru disisi lain
menyebabkan risiko taeniasis dan sistiserkosis. Lawar merupakan masakan berupa
campuran sayur-sayuran, kelapa, dan daging cincang. Penggunaan daging cincang dan
darah babi yang mentah menjadi perhatian karena sangat berisiko.

c. Provinsi Sumatera Utara


Pada tahun 2018 Sumatera Utara dikejutkan dengan penemuan 171 kasus taeniasis yan
terjadi di Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun. Temuan tersebut menjadi
kasus endemi taeniasis terbesar di dunia. Penyebab dari kasus tersebut adalah warga
mengonsumsi makanan khas Simalungun yaitu hinasumba atau holat yang bahannya
dari daging babi. Daging babi yang dikonsumsi dimasak tidak sempurna dan pada
beberapa kasus sama sekali tidak dimasak. Kasus taeniasis di Sumatera Utara
sebelumnya tercatat dengan prevalensi dari tahun 1972 – 2000 berkisar antara 1,9% -
2,29% (Simanjuntak dan Widarso, 2004).
Seperti di Papua dan Bali, daging babi juga menjadi konsumsi masyarakat Sumatera
Utara. Berikut populasi ternak kecil menurut jenis tahun 2001 – 2010 di Provinsi
Sumatera Utara.
Tabel 1. Populasi ternak kecil menurut jenis tahun 2001 – 2010 di Provinsi Sumatera
Utara.

Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara tahun 2011

Beternak babi dilinai menguntungkan karena dapat memanfaatkan sisa makanan yang
sudah tidak digunakan oleh manusia. Namun berkaitan dengan risikonya, pengawasan
harus terus dilakukan untuk meningkatkan keamanan pangan saat nanti dikonsumsi.
2. Apa pesan yang harus dikembangkan untuk mengendalikan penyakit tersebut?
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis yang penangananya
membutuhkan kerjasama lintas sektor. Fokus tindakan preventif harus menjadi poin
utama yang harus dikembangkan. Berikut hal-hal yang bisa dilakukan untuk
pengendalian penyakit taeniasis dan sistiserkosis:
a. Pengamankan hewan yang berisiko menularkan taeniasis dan sistiserkosis. Fokus
intervensi dilakukan pada kegiatan peternakan dan penanganan daging potong.
Peningkatan pemeriksaan kesehatan daging di rumah potong hewan (RPH) oleh
pihak yang berwenang sangat diperlukan.
b. Edukasi cara konsumsi daging masak kepada masyarakat terutama yang berisiko
tinggi. Pemasakan daging yang dapat membunuh cysticercus adalah pemanasan
dengan suhu 50-6°C atau pembekuan pada suhu -10°C selama 10-14 hari (Smyth,
2004).
c. Edukasi sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) kepada
semua golongan masyarakat perlu dilakukan.
d. Penyuluhan tentang penyakit taeniasis dan sistiserkosis kepada masyarakat luas
(terutama di daerah berisiko) perlu dilakukan dengan mempertimbangkan latar
belakang pendidikan, kebudayaan, maupun keyakinan agama supaya informasi
yang diberikan dapat diterima dan diterapkan dengan baik.
e. Peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, pihak kesehatan,
masyarakat dan pihak swasta terutama di daerah yang memiliki risiko tinggi sangat
diperlukan untuk membantu keberhasilan pengendalian penyakit.

3. Langkah-langkah seperti apa dalam mengembangkan strategi komunikasi di


tiga provinsi tersebut? Adakah perbedaan strategi di antara ketiganya?
Langkah pengembangan strategi komunikasi di setiap daerah berbeda-beda, hal ini
dipengaruhi kekhasan permasalahan di setiap daerah tersebut. Langkah yang harus
dilakukan antara lain:
a. Provinsi Papua
Papua merupakan wilayah yang sangat tinggi budaya adatnya, setiap masyarakat
disana pasti bertindak dibawah perintah kepala suku atau ketua adat. Peluang itu
menjadi peluang petugas kesehatan untuk bisa masuk dan memberikan edukasi
tentang pencegahan dan penanggulangan penyakit ini. Pemerintah juga harus
mendorong setiap wilayah untuk membuat skema ternak kandang beserta
perbaikan sanitasi lingkungan.
b. Provinsi Bali
Permasalahan sanitasi lingkungan dan kesehatan secara umum di Provinsi Bali
memang lebih baik dari Papua. Namun, Bali juga mempunyai permasalahan yang
bersumber dari makanan tradisional. Peran pemerintah dalam melakukan
pengawasan makanan dari mulai dalam bentuk bahan makanan (makanan mentah)
sampai dengan makanan jadi harus ditingkatkan. Edukasi kepada masyarakat juga
penting supaya masyakat bisa berpartisipasi dalam upaya pencegahan penyakit
tersebut.
c. Provinsi Sumatera Utara
Peningkatan pengawasan dan panindakan terhadap peternakan babi perlu
dilakukan di Sumatera Utara. Sama seperti di kedua wilayah sebelumnya edukasi
dengan fokus pencegahan kepada masyarakat sangat diperlukan dalam upaya
menangani kasus tersebut.

Masalah 4
Kelebihan asupan energi merupakan faktor risiko kejadian obesitas pada remaja. Remaja
obesitas mengonsumsi makanan tinggi energi seperti nasi 3 kali sehari, roti putih 2 lembar
sekali makan, kentang, mie bihun, mie instan, dan dari jenis umbi-umbian. Mereka juga
terbiasa pergi ke outlet-outlet atau restoran cepat saji sebanyak 1-2 kali seminggu. Hampir
sepertiga anak Amerika usia 4-19 tahun yang mengonsumsi lemak setiap hari yang
mengakibatkan penambahan berat badan 3 kg per tahun. Namun, masalah obesitas
sesungguhnya bukan terletak pada pola santap yang berlebihan, melainkan pada kesalahan
memilih jenis santapan.
Pertanyaan:
1. Bagaimana gambaran pola konsumsi remaja Indonesia yang tinggal di kota-kota
besar?
Golongan remaja di perkotaan merupakan salah satu segmen penting dalam
masyarakat yang perlu lebih diperhatikan dari sudut perubahan konsumsi
makanannya. Selain masih dalam proses pertumbuhan dan pengenalan lingkungan
serta dirinya, mereka termasuk rawan terhadap pengaruh makanan-makanan dan
minuman-minuman modern. Berbagai jenis makanan dan minuman yang tergolong
modern telah diperkenalkan di kota-kota besar di Indonesia seperti: Burger, hotdog,
spaghetti, es krim dan lainnya. Cepat atau lambat makanan-makanan modern tersebut
diduga dapat menggeser peranan makanan-makanan Iokal/tradisional yang biasa
dikonsumsi oleh kalangan remaja di kota-kota besar, jika tidak ada upaya tertentu
dilakukan guna mencegah hal itu.
Penelitian Kebiasaan Makan Golongan Remaja di Enam Kota Besar di
Indonesia yang dilakukan oleh ltintrin T. Mudjianto, Djoko Susanto, Erna Luciasari,
dan Hermina menggali keragaman pola konsumsi makanan remaja siswa-siswi SLTP
dan SLTA di perkotaan dan faktor- faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut.
Sebanyak 3.051 orang remaja menjadi contoh dari siswa-siswi SLTP dan SLTA di
kota-kota Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar. Secara
umum hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa-siswi makan pagi di
rumah sebelum sekolah; lebih dari 85% mereka makan siang di rumah. Sebanyak 15-
20% remaja di Jakarta biasa mengkonsumsi fried chicken dan burger sebagai makan
siang. Walaupun relatif kecil, 1.6% remaja di Jakarta mengkonsumsi hotdog, pizza
dan spaghetti sebagai makan siang mereka.

Hasil Penelitian :
a. Definisi makan
Definisi makan Pengertian "makan" pada kalangan responden di masing-
masing kota cukup beragam. Lebih dari 20% responden di enam kota mengartikan
makan sebagai "sumber energi dan zat-zat gizi bagi tubuh”. Keragaman pengertian
mengenai "makan" selengkapnya pada kalangan remaja di enam kota dapat dilihat
pada Tabel 1.
b. Kebiasaan makan
Sebagian besar responden di enam kota biasa makan tiga kali sehari, yaitu
makan pagi (sarapan), makan siang dan makan malam. Responden terbanyak yang
selalu sarapan adalah di Yogyakarta yaitu sebesar 86%. Sedangkan jumlah
responden di Denpasar yang biasa sarapan jumlahnya terkecil dibandingkan
dengan di lima kota lainnya, yaitu sebesar 75%. Responden yang selalu makan
siang di enam kota adalah sebesar 91 - 95%. Jumlah tersebut lebih besar
dibandingkan dengan jumlah yang selalu makan pagi dan makan malam. Jumlah
responden yang selalu makan malam antara 86 - 96%. Responden yang selalu
makan malam terbanyak di Denpasar dan terkecil di Jakarta.
Di luar angka-angka di atas, ada pula responden yang tidak pernah makan
pagi, atau makan pagi secara kadang-kadang. Alasan umum yang diberikan oleh
responden di enam kota adalah karena makanan belum tersedia; tidak terbiasa;
malas atau waktu sempit pada pagi hari. Alasan yang diberikan oleh responden
yang tidak pernah makan siang, atau makan siang secara kadang-kadang adalah
karena letih setelah pulang dari sekolah; ada kegiatan di luar sekolah atau les;
merasa masih kenyang karena jajan di sekolah; malas; tidak biasa; atau diit.
Sedangkan responden yang sekolah siang memberikan alasan, Karena masih
kenyang setelah sarapan; makanan belum tersedia; atau tidak sempat. Alasan yang
diberikan oleh responden yang tidak pernah makan malam atau makan malam
secara kadang-kadang adalah karena ingin menguruskan badan (diit); merasa masih
kenyang; tidak biasa; malas; atau setelah makan mengantuk jadi tidak bisa belajar.

c. Tempat remaja makan pagi (sarapan)


Sarapan atau makan pagi hari biasa dilakukan di rumah oleh lebih dari 70%
responden di masing-masing kota. Selain itu ada pula responden yang sarapan di
sekolah atau dalam perjalanan menuju ke sekolah. Sarapan yang dilakukan dalam
perjalanan ke sekolah tersebut yaitu dengan cara makan di warung-warung atau
dikendaraan bagi responden yang diantar dengan mobil (Tabel 2).

d. Jenis makanan yang biasa dikonsumsi pada pagi hari


Jenis makanan yang banyak dikonsumsi oleh responden di enam kota pada
waktu sarapan adalah nasi + lauk pauk, nasi goreng, roti + isi dan mie instant.
Selain makanan-makanan tersebut ada jenis makanan lain yang banyak dikonsumsi
di kota-kota tertentu. Jenis makanan tersebut adalah : bubur ayam (di Jakarta,
Bandung dan Semarang); nasi gudeg (di Yogyakarta); nasi rawon, nasi soto dan
nasi pecel (di Surabaya). Jumlah responden yang biasa sarapan nasi dan lauk pauk
terbanyak di Yoyakarta yaitu sebanyak 73% (Tabel 3).
e. Tempat remaja makan siang
Sekitar 55-80% daripara remajabiasa makansiangdi rumah merekamasing-
masing; bahkan lebih dari 85% remaja di Yogyakarta, Surabaya dan ~en~asarbiasa
makan siang di rumah. Sebagian kecil dari remaja (1-4%) biasa makan siang di
sekolah. Sementara sekitar 1-7% dari remaja biasa makan siang di rumah makan
atau warung. Sedangkan remaja yang biasa makan di tempat lain-lain adalah
remaja yang biasa makan di rumah dan juga di tempat lain seperti di sekolah,
rumah makan, warung, bakery, atau di rumah teman (lihat Tabel 4).
f. Jenis makanan yang biasa dikonsumsi pada siang hari
Sebagian besar remaja (80%) biasa makan siang berupa nasi dan lauk-pauk.
Bahkan lebih dari 90% dari mereka di Semarang, Yogyakarta dan Denpasar
mengkonsumsi nasi dan lauk pauk pada siang hari. Jenis lauk-pauk yang biasa
dikonsumsi adalah: Tempe, tahu, sambal goreng kering, dan sebagainya. Di
samping itu makanan yang juga tergolong on-trend dikonsumsi oleh remaja adalah
nasi soto, khususnya dikonsumsi di Semarang, Yogyakarta dan Surabaya (sekitar
30%); dan gado-gado dikonsumsi oleh sekitar 40% dari remaja di Yogyakarta.
Makanan dari mie (mie instant dan mie baso) menjadi pilihan kedua makan siang
pada kalangan 40-50% remaja di Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya dan
Denpasar.
Sebagian kecil saja dari remaja (kurang dari 10%) di lima kota, kecuali
remaja di Jakarta (15-20%) mengkonsumsi makanan- makanan modern seperti
Fried Chickens dan Burger untuk makan siang. Walaupun masih dalam jumlah
yang relatif kecil (1-6%), namun tampak ada kecenderungan remaja
mengkonsumsi makanan-makanan modern lainnya seperti: Hotdog, pizza dan
spaghetti sebagai makan siang (lihat Tabel 5).

g. Tempat Remaja Makan Malam


Sekitar 79-91% remaia biasa makan malam di rumah mereka masing-masing;
bahkan lebih dari 85% remaja di Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar biasa makan
malam di rumah. Hanya sebagian 85% remaja di Yogyakarta, Surabaya dan
Denpasar biasa makan malam di rumah. Hanya sebagian kecil remaja yang selalu
makan di luar rumah yaitu di rumah makan atau di warung, yaitu sebanyak 4,7%
remaja di Jakarta; 33% di Bandung dan di kota lainnya sekitar 2%. Remaja yang
biasa makan malam di tempat lain-lain adalah remaja-remaja yang selain biasa
makan malam di rumah juga biasa makan malam di tempat-tempat lain seperti
rumah makan, warung, bakery atau rumah teman (Tabel 6.)

h. Jenis makanan yang biasa dikonsumsi pada malam hari


Sebagian besar remaja (80 %) di tiap kota memilih nasi dan lauk pauk
sebagai menu untuk makan malam. Bahkan di Yogyakarta dan Denpasar jumlah
responden yang makan malamnya terdiri dari nasi dan lauk-pauk lebih banyak,
yakni lebii dari 90%. Jenis lauk pauk yang biasa dikonsumsi pada malam hari
umumnya tidak jauh berbeda dengan jenis lauk-pauk yang dikonsumsi pada makan
siang. Di samping nasi dan lauk pauk, makanan yang biasa dikonsumsi sebagai
makan malam adalah mie instan (24-42%), sedangkan di Surabaya adalah nasi soto
(43 %).
Makanan modern yang biasa dikonsumsi pada malam hari terutama adalah
Fried chicken, yaitu di Jakarta sebanyak 14%, scmentara lainnya kurang dari 10%.
Burger, Hotdog, pizza, spaghetti dan makanan Jepang dikonsumsi oleh remaja
Jakarta di bawah 10%, dan di kota lainnya kurang dari 5% (Tabel 7).
2. Faktor sosial dan faktor budaya apa yang mempengaruhi perilaku tersebut?
Pola makan remaja, pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari
dalam diri remaja yang dapat berupa emosi/ kejiwaan yang memiliki sifat kebiasaan.
Sementara, faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri remaja, seperti
ketersediaan bahan pangan yang ada disekitarnya serta kondisi sosial ekonomi yang
mempengaruhi tingkat daya beli manusia terhadap bahan pangan, salah satu sebab
timbulnya masalah kesehatan bagi remaja karena pola makan yang kurang baik,
remaja yang berkecukupan dan tinggal di perkotaan masalah gizi yang sering dihadapi
adalah masalah gizi lebih. Remaja ini mempunyai resiko tinggi menderita penyakit
degeneratif seperti: penyakit jantung, darah tinggi dan diabetes (Soekirman, 2002).
Usia remaja merupakan usia di mana terdapat perubahan-perubahan hormonal,
perubahan struktur fisik dan psikologis mengalami perubahan drastis. Masa remaja
yang menjembatani periode kehidupan anak dan dewasa yang berawal pada usia 9-10
tahun dan berakhir di usia 18 tahun. Masalah gizi yang utama dialami oleh para
remaja diantaranya yaitu anemia defisiensi zat besi, kelebihan berat badan/ obesitas
dan kekurangan zat gizi. Hal ini berkaitan dengan marak dan meningkatnya konsumsi
makanan olahan yang nilai gizinya kurang, namun memiliki banyak kalori sebagai
faktor pemicu obesitas pada usia remaja. Konsumsi jenis-jenis junk food
menyebabkan para remaja rentan sekali kekurangan zat gizi serta perubahan patologis
pada remaja yang terlalu dini (Ari Istiany, 2013).
Sebagaimana diketahui bahwa pola makan adalah perilaku yang ditempuh
seseorang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan
setiap hari meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makanan yang
berdasarkan pada faktor-faktor sosial dan budaya dimana mereka hidup. Perilaku
sangat mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku.
f. Teori Lawrence Green (2010)
Perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu :
1) Faktor Predisposisi (predisposing factors)
Faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau
mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya.
a) Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang didapat setelah orang
melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Pengetahuan memang
peranan penting dalam hal pembentukan tindakan seseorang (over behavior),
jika didasari oleh pengetahuan akan lebih lenggeng bila dibandingkan tanpa
disadari pengetahuan (Notoatmojo, 2007).
Notoatmojo (2007) mendefinisikan bahwa perilaku manusia adalah
refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti keinginan, kehendak,
pengetahuan, emosi, berfikir, sikap, motivasi, dan reaksi, sehingga setiap
tindakan manusia baik positif maupun yang negatif didasari oleh salah satu
faktor tersebut. Pada remaja pengetahuan yang baik dapat tertutup oleh gejala
kejiwaan yang lain seperti keinginan, kehendak, minat, emosi, sikap,
motivasi, dan reaksi.
Pengetahuan gizi sebaiknya telah ditanamkan sedini mungkin sehingga
apabila seorang dewasa mampu memenuhi kebutuhan energi tubuhnya
dengan perilaku makannya karena pengetahuan gizi sangat bermanfaat dalam
menentukan apa yang kita konsumsi setiap harinya (Notoatmojo, 2007).
Dengan adanya pengetahuan gizi pada seseorang, maka kita dapat
menyesuaikan tingkat kebutuhan zat gizi yang sesuai dengan banyak kalori
yang kita perlukan setiap harinya dalam melakukan aktivitas dan
produktivitas kita sehari-hari sehingga dapat dicapai kesehatan yang optimal
(Paul, 2001). Hal ini didukung oleh pendapat Berg dalam Suhardjo (1989)
yang menyatakan bahwa salah satu penyebab timbulnya gangguan gizi
adalah kurangnya pengetahuan gizi. Solusi yang dapat dilakukan melalui
suatu proses belajar mengajar tentang pola makan, bagaimana tubuh
menggunakan zat besi dan bagaimana zat besi tersebut diperlukan untuk
menjaga kesehatan.
b) Sosial Budaya dan Agama
Kebudayaan suatu bangsa masyarakat mempunyai kekuatan yang
berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan yang digunakan untuk
dikonsumsi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaruh budaya antara
lain sikap terhadap makanan, penyebab penyakit, kelahiran anak, dan
produksi makanan. Dalam hal sikap terhadap makanan, masih banyak
terdapat pantangan, takhayul, tabu dalam masyarakat menyebabkan
konsumsi makanan menjadi rendah (Supariasa, 2002). Adat istiadat dan
kebiasaan makanan ada hubungannya dengan agama, walaupun dapat
berlainan antara agama satu dengan agama yang lainnya. Kebanyakan
kelompok agama juga mempunyai larangan atas penggunaan jenis makanan
tertentu. Karena menganggap makanan yang dilarang tersebut berbahaya
bagi kesehatan (Suhardjo, 1989).
c) Sikap
Sikap merupakan suatu yang masih bersifat abstrak, dapat didasarkan
pada keyakinan yang ada pada setiap individu (yang berkaitan dengan
kognitif) dan sering kali sikap dipengaruhi oleh perasaan (yang merupakan
komponen emosional) sehingga dapat membawa atau menentukan perilaku
tertentu (Oppenheim, 2011). Perilaku terbentuk karena adanya sikap dalam
diri seseorang terhadap suatu objek. Menurut Blum dalam Notoadmojo
(2007) perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta
interaksi manusia dengan masalahnya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap, keinginan, kehendak, kepentingan, emosi, motivasi,
reaksi dan presepsi.
Makanan dan minuman dapat memelihara serta meningkatkan
kesehatan seseorang, tapi sebaliknya makanan dan minuman dapat menjadi
penyebab menurunnya kesehatan seseorang, bahkan dapat mendatangkan
penyakit. Hal ini sangat bergantung pada perilaku orang terhadap makanan
dan minuman tersebut (Notoadmojo, 2007). Kebutuhan akan makan bukan
hanya untuk menumbuhkan badan secara fisik, tetapi juga mempunyai
pengaruh terhadap sanubari, kecerdasan, dan kebijaksanaan serta naluri.
2) Faktor Pendukung (Enabling factor)
Faktor pendukung adalah faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi
perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pendukung adalah sarana
dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya prilaku makan, seperti uang saku
dan aktivitas.
a) Uang Saku
Endromono (2006) menyatakan bahwa pemberian uang saku terhadap
remaja juga bisa menjadi pemicu mereka untuk membeli makanan cepat saji,
karena semakin besar uang saku yang mereka peroleh maka semakin besar
kemungkinan mereka untuk membeli atau mengkonsumsi makanan cepat
saji, karena harga makanan cepat saji di pasaran cenderung tinggi. Besarnya
uang saku yang diberikan kepada siswa dan kurangnya kontrol dari orang tua
mengakibatkan siswa sering mengkonsumsi makanan cepat saji yang dapat
berdampak tidak baik terhadap kesehatan mereka pada masa yang akan
datang. Dari hasil peneliti di atas dapat disimpulkan bahwa semakin besar
uang saku yang diperoleh siswa maka akan semakin 25 besar pula peluang
mereka untuk membeli makanan cepat saji, karena mereka akan berpikir jika
mereka membeli makanan cepat saji akan lebih simpel dari pada mereka
membawa makanan dari rumah atau masak sendiri.
b) Aktivitas
Aktivitas remaja sebagian besar banyak dilakukan di sekolah selama 8
jam meliputi kegiatan belajar dan bermain saat istirahat. Aktivitas berada di
rumah kurang lebih 5-6 jam meliputi: mengerjakan pekerjaan rumah,
membantu orang tua dan bermain di lingkungan sebayanya. Aktivitas fisik
remaja membutuhkan asupan pangan mengandung zat gizi yang cukup
sehingga kondisi tubuh remaja akan tetap baik. Tingkat aktivitas remaja laki-
laki dan perempuan sangat berbeda, untuk remaja laki-laki tingkat
aktivitasnya lebih tinggi daripada perempuan. Berdasarkan pedoman Centre
for Disease Control/CDC (2002) aktivitas remaja dapat diklasifikasikan
menurut tingkatannya antara lain aktivitas fisik ringan, sedang dan berat.

3) Faktor Pendorong (Reinforcing factor)


Faktor pendorong adalah faktor yang memperkuat atau mendorong seseorang
untuk berprilaku, yang berasal dari orang lain seperti teman.
a) Teman
Teman sebaya mempunyai pengaruh yang sangat besar pada remaja
dalam hal memilih jenis makanan. Ketidakpatuhan terhadap teman
dikhawatirkan dapat menyebabkan dirinya terkucil dan akan merusak
kepercayaan dirinya. (Arisman, 2004).
b) Iklan
Selain dari orangtua, guru, dan teman, konsumen yang masih muda
(remaja) biasanya akan dipengaruhi oleh iklan. Iklan di media masa dapat
mempengaruhi pilihan makanan pada remaja dan dapat mendorong konsumsi
makanan tidak sehat. Iklan di media masa juga dapat mendorong remaja
untuk menekan orangtua mereka untuk membeli makanan yang tidak sehat
(Kelly et al, 2006). Melalui 27 penggunaan tokoh kartun dan animasi yang
popular makanan yang diiklankan ditujukan pada remaja memberikan kesan
bahwa konsumsi makanan tersebut menyenangkan, hal ini mempengaruhi
preferensi dan perilaku makan remaja. Ditemukan juga hubungan yang
signifikan antara jumlah jenis iklan makanan yang diingat dengan jumlah
makanan yang dimakan oleh remaja (Young, 2003). Semakin banyak jumlah
jenis iklan makanan yang diingat semakin besar pula jumlah makanan yang
dimakan oleh remaja.
Iklan merupakan setiap bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk
memotivasi seseorang agar melakukan pembelian terhadap produk atau jasa
(Belch, 2007 dalam Mery Decker, 2011). Pendekatan daya tarik yang
digunakan dalam iklan dirancang untuk menciptakan motivasi pada
seseorang untuk melakukan pembelian atas produk atau jasa yang diiklankan
atau memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu seperti yang ada dalam
iklan tersebut. Pola makan seseorang dapat terpengaruh oleh iklan produk
makanan yang diiklankan. Biasanya orang akan mencoba mengkonsumsi
atau tidak mengkonsumsi makanan yang diiklankan.

g. Mary E. Barasi (2009)


Pola makan seseorang pada dasarnya tidak dapat dibentuk dengan sendirinya,
berbagai macam faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan seseorang adalah
sebagai berikut:
1) Faktor Internal
a) Faktor fisiologis: rasa lapar atau kebutuhan untuk makan dan rasa kenyang
(menghentikan asupan makanan/ mencegah proses makan selanjutnya).
b) Faktor Psikologis
(1) Nafsu makan yaitu keinginan terhadap makanan tertentu, berdasarkan
pengalaman.
(2) Aversi (pantangan) yaitu menghindari makanan tertentu, berdasarkan
(apa yang dianggap sebagai) pengalaman masa lalu.
(3) Preferensi (kesukaan), dibentuk dari seringnya kontak dengan makanan
tersebut dan proses belajar dini (ketika pertama kali diperkenalkan pada
makanan).
(4) Emosi (mood, stres), makanan tertentu dikaitkan dengan emosi positif
atau negatif.
(5) Tipe kepribadian, kepekaan terhadap pemicu eksternal dan internal yang
mempengaruhi asupan makan.
2) Faktor Eksternal
a) Budaya
Budaya adalah penentu utama dari pemilihan makanan, budaya memberikan
dan memperkuat identitas dan rasa memiliki, dan mempertegas perbedaan
dari budaya lain. Pengaruh budaya mungkin sangat jelas (makanan pokok,
sebagian besar hidangan popular) atau tersamar (bumbu yang digunakan,
cara memasak). Budaya mendefinisikan apa yang dapat diterima sebagai
makanan, dan mungkin mengidentifikasi subkelompok mana yang dapat
mengkonsumsi makanan tersebut.
b) Agama
Agama sering menentukan konteks pemilihan makanan secara luas. Beberapa
agama di dunia memiliki peraturan tentang makanan yang diperbolehkan,
dan kapan makanan tersebut boleh atau tidak boleh dimakan. Larangan
ditetapkan mengenai jenis daging, daging secara umum dan cara memasak
dan kombinasi makanan juga diatur oleh ketentuan ini. Peraturan mungkin
juga meliputi lama puasa, ritual dan perayaan. Penganut agama-agama ini
membatasi pilihan makanan mereka, tetapi juga memperoleh rasa identitas.
c) Keputusan etis
Cara menghasilkan makanan dapat dipengaruhi pemilihan makanan. Ada
banyak keprihatinan mengenai cara pemeliharaan hewan untuk dimakan dan
cara bertani yang merusak lingkungan. Pendukung suatu prinsip etika
mungkin mengubah pilihan makanannya agar sesuai dengan prinsip yang
dianutnya, memilih makanan produk organik menjadi vegan atau vegetarian.
d) Faktor ekonomi
Dalam kelompok budaya atau agama manapun, akses terhadap makanan
(kemampuan memperoleh makanan) dalam hal uang atau barang penukar
merupakan faktor kritikal dalam menentukan pilihan makanan. Semakin
tinggi status ekonominya, semakin banyak jumlah dan jenis makanan yang
dapat diperoleh. 30 Sebaliknya, orang yang hidup dalam kemiskinan atau
berpenghasilan rendah memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk
memilih makanan. Ini mungkin merupakan akibat dari tidak tersedianya
makanan di daerah mereka, kurangnya uang untuk membeli makanan, atau
keduanya.
e) Norma sosial
Prilaku yang dapat diterima oleh lingkup sosial seseorang, dalam kaitannya
dengan makanan, berpengaruh kuat terhadap pemilihan makanan. Hal ini
ditunjukkan melalui tekanan oleh teman sebaya (peer pressure) dan
memperkuat keyakinan orang tersebut tentang makanan. Norma ini dapat
melanggengkan pilihan makanan berdasarkan jenis kelamin: beberapa
makanan dipandang lebih “maskulin” (daging berwarna merah, bir),
sedangkan yang lain lebih “feminism” (salad, anggur putih). Norma social
mungkin juga menentukan status makanan, beberapa makanan dianggap
lebih berkelas (seringkali mahal) sehingga digunakan untuk membuat orang
lain terkesan, dikonsumsi pada acara khusus saja, atau tidak pernah dimakan
karena “bukan untuk orang seperti saya”.
f) Pendidikan/kesadaran tentang kesehata
Faktor ini berasal dari lingkungan eksternal dan menentukan besarnya
perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan gizi, dan
seberapa jauh masalah kesehatan menentukan pilihan makanan. Sebagian
besar penghalang, termasuk beberapa faktor eksternal yang dibahas di sini,
mungkin ikut mempengaruhi proses ini. Pengenalan akan resiko dari diet
yang tidak sehat, relevansinya bagi seseorang, dan kemampuan untuk
menindaklanjutinya dengan pemilihan makanan merupakan prasyarat kunci.
g) Media dan periklanan
Kedua hal ini memberi informasi tentang beberapa makanan, biasanya
makanan yang diproses atau diproduksi di pabrik dan mungkin kurang baik
nilai gizinya karena banyak mengandung lemak, garam dan gula. Semakin
sering diiklankan, semakin dikenalilah produk tersebut dan semakin banyak
pula permintaan akan prosuk tersebut. Anak dari keluarga berpenghasilan
rendah yang sering menonton televisi paling banyak mengkonsumsi makanan
yang diiklankan.

3. Strategi komunikasi apa yang cocok untuk generasi “now”?


Generasi Millenial adalah mereka yang lahir antara tahun 1982-1994 (ada juga
yang menyebutkan sampai sebelum tahun 2000). Mereka juga orang-orang di usia
produktif serta orang-orang yang mendominasi pasar saat ini. Generasi Millenial telah
mendapatkan perhatian yang tinggi di dunia kerja. Itu masuk akal, karena mereka
semakin mengambil peran kepemimpinan dalam organisasi. Dari hasil berbagai survei
mereka adalah orang-orang yang percaya diri, ekspresif, dinamis, super-terhubung,
dan terbuka untuk berubah.
Komunikasi yang lancar bagi Generasi Millenial itu tidak berarti bahwa
komunikasi selalu dilakukan melalui tatap muka, tetapi justru sebaliknya, banyak dari
Generasi Millenial lebih suka berkomunikasi melalui pesan teks atau juga mengobrol
di dunia maya, dan membuat akun di media sosial seperti Twitter, Facebook,
Instagram, dan Line. Jadi, hampir semua Generasi Millenial pasti memiliki akun
media sosial sebagai tempat untuk berkomunikasi terutama antara teman, kekasih dan
bahkan untuk sekedar mengekspresikan hasil kreativitas sampai berjualan sekalipun.
Generasi Millenial lebih menyukai telepon seluler daripada PC atau TV.
Karena generasi ini lahir di era dimana teknologi sudah sangat berkembang dan
canggih, dan internet yang hampir selalu ada dimana-mana sangat memudahkan
mobilitas seseorang, dan memainkan peran utama dalam kelangsungan hidup mereka.
TV bukanlah alat prioritas bagi Generasi Millenial untuk mendapatkan informasi atau
melihat iklan. Untuk Generasi Millenial, iklan di televisi lebih sering dihindari.
Mereka lebih suka mendapatkan informasi dari ponsel canggih mereka, dari Google,
ataupun Youtube. Generasi ini sangat suka memberi tahu kehidupan mereka di media
sosial, maka dari itu banyak juga yang suka menyebut Generasi Millenial sebagai
generasi yang narsis. Bahkan ketika mereka menonton TV, mereka masih merasa
perlu terhubung secara online dengan menggunakan ponsel mereka untuk melewatkan
waktu selama iklan berjalan, atau tetap berhubungan dengan teman-teman mereka di
media sosial. Secara umum, kehidupan sehari-hari mereka tidak dapat dipisahkan dari
ponsel, dan kehadiran teknologi digital telah begitu meresap dalam aktivitas mereka
sepanjang hari.
Generasi ini memiliki keuntungan dalam mengekspresikan kata-kata yang
berarti kurang lebih dalam 140 kata. Semakin singkat pesan yang di sampaikan,
semakin besar kemungkinan mereka untuk menjalin sebuah hubungan dengan
seseorang, mereka akan menghargai apa yang dikatakannya kepada seseorang.
Pertemuan tatap muka dan panggilan konferensi atau konferensi tidak efektif bagi
generasi ini. Efektif bagi mereka adalah ketika kita langsung video call lewat Skype,
FaceTime, atau Line karena sedikit energi yang dikeluarkan. Bagi Generasi Millenial
dianggap serius di tempat kerja atau di ruang kelas ketika berdiskusi dengan dosen itu
menjadi sebuah penghargaan bagi mereka. Sama seperti generasi-generasi
sebelumnya, Generasi Millenial juga ingin dan berharap dihargai, maka dengan
mudah pula mereka akan menghargai juga. Jangan pernah melontarkan kalimat seperti
“inilah yang saya lakukan ketika Anda baru lahir”, itu adalah lelucon yang sangat
menjengkelkan bagi mereka. Generasi ini juga membuat percakapan dan tempat kerja
menjadi kurang formal. Mereka mendorong untuk hal yang lebih fleksibel,
lingkungan yang lebih santai, aturan berpakaian yang santai, dan komunikasi
informal. Itu berarti semua bentuk komunikasi memiliki nada lebih bersahabat, lebih
akrab, dan bentuk pertukaran kasual, seperti emoji, yang memiliki arti dari sebuah
gambar.
Terjadi beberapa kesalahpahaman yang biasa terjadi antara Generasi Xers,
Baby Boomer dengan Generasi Millenial. Tanpa ragu, baby boomer dan Generasi
Xers sangat perlu beradaptasi. Tetapi penting juga bagi Generasi Millenial untuk
memahami dan menguasai gaya komunikasi yang lebih tradisional jenis yang
digunakan oleh mereka yang “masih berkuasa.”
Dibutuhkan latihan untuk menguasai seni percakapan langsung. Beberapa
orang dari generasi ini tidak banyak berlatih. Karena ketergantungan mereka yang
luas pada komunikasi online, banyak dari mereka telah melewatkan interaksi tatap
muka generasi sebelumnya yang mendapat manfaat dari – manfaat seperti belajar
berbicara dengan profesional, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan membaca
bahasa tubuh. Dikatakan bahwa pekerja yang lebih muda lebih memilih mengirim
pesan instan daripada berjalan di lorong untuk berbicara langsung dengan rekan kerja.
Jika itu benar, mereka kehilangan lebih dari sekadar latihan fisik. Bila perlu, undang
mereka ke pertemuan atau presentasi tertentu sebagai pengamat dan bukan sebagai
peserta, sehingga mereka dapat melihat banyak aspek komunikasi tatap muka.
Bimbing Generasi Millenial agar bisa belajar untuk tahu dimana harus berkomunikasi
online, dimana harus berkomunikasi langsung.

Masalah 5
Debu timbel dari kegiatan melebur aki bekas terus mencemari udara, tanah serta
mengontaminasi darah anak-anak yang tinggal di sekitarnya. Di Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Tangerang, konsentrasi timbel (timah hitam/Pb) pada tanah sangat tinggi. Di
Cinangka (Bogor) kandungan timbel dalam tanah 3883 mg/kilogram, sedangkan di Curug
(Tangerang) 1113 mg/kg. Peraturan Pemerintah RI nomor 101 tahun 2014 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) tentang nilai baku mutu B3
konsentrasi B sebesar 1500 mh/kg. Di Cinangka dijumpai anak-anak yang perilakunya
menyerupai kanak-kanak yang mengalami keterbelakangan mental, hanya peduli pada barang
yang disukai, kerap kejang-kejang, telapak tangannya pengkor. Pemeriksaan darah di
laboratorium menunjukkan angka 25,3 mikrogram/desiliter, padahal batas toleransi timbel
dalam darah 10 mikrogram/desiliter. Konsentrasi timbel dalam darah Investigasi salah satu
surat kabar menunjukkan peleburan aki bekas illegal dijalankan dengan menggunakan tungku
berbentuk menyerupai mulut sumur, tanpa dilengkapi cerobong dan penangkap debu
(Diadaptasi dari Kompas, 15 Oktober 2018).
Pertanyaan:
1. Berdasarkan artikel di atas, factor apa yang menyebabkan tingginya
pencemaran timbel di daerah-daerah tersebut?
Pertumbuhan industri kecil dan menengah saat ini berkembang cukup pesat,
dan juga sangat mendukung pertumbuhan perekonomian masyarakat karena
disamping memperluas lapangan kerja juga sangat membantu perkembangan
perekonomian daerah. Namun, pertumbuhan industri juga menimbulkan efek samping
yaitu memberikan kontribusi terhadap penurunan kualitas udara, air, dan tanah baik di
lingkungan kerja maupun masyrakat sekitar.
Accumulator (accu) atau aki merupakan suatu rangkaian alat penyimpan arus
listrik dalam pemakaian sehari-hari sebagai pencatu daya, diantaranya: pada mobil,
sepeda motor, radio, tv, tape, dan sebagainya. Accu/baterai apabila tidak diisi kembali
maka tidak menghasilkan arus listrik sehingga menjadi accu bekas yang di dalamnya
terkandung unsur – unsur kimia yaitu Pb, Pb2, H2SO4, dan PbSO4, serta air.Unsur –
unsur tersebut membentuk suatu reaksi yaitu: Pb2(SO4)2 + 2H2OPb + PbO2 +
2H2SO4 .
Industri pengolahan accu bekas merupakan industri sektor informal yang
memberikan dampak buruk terhadap kesehatan pekerja dan pencemaran udara. Debu
yang berasal dari kegiatan industri tersebut dapat menimbulkan gangguan fungsi paru-
paru, apabila melebihi kadar ambang batas dan pekerja terpajan dalam kurun waktu
yang lama. Debu yang berasal dari kegiatan industri adalah salah satu sumber pajanan
utama. Debu tersebut akan masuk ke dalam rumah-rumah penduduk yang ada di
sekitar kawasan industri itu. Debu yang memiliki sifat sangat ringan dan mudah
terbawa dapat terdeposit pada furniture dalam rumah dan terbang bersama udara
melingkup rumah. Selain itu, debu dalam rumah yang mengendap di lantai juga
menjadi jalur utama pajanan dari logam berat, terutama timbal (Pb). Timbal dalam
debu rumah sangat berbahaya bagi anak-anak, terutama pada anak-anak yang masih
balita. Udara yang mengandung timbal dapat berasal dari tanah yang mengandung
timbal.
Sejak tahun 1978 masyarakat Desa Cinangka telah beraktivitas sebagai
pelebur aki bekas yang dilakukan di halaman belakang rumah (backyard smelters)
dengan teknologi yang sangat sederhana tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan,
keselamatan dan lingkungan hidup. Kegiatan peleburan tersebut dilakukan dengan
cara membelah aki bekas menggunakan kapak atau pisau besar untuk memisahkan
plastik pengungkung (plastic box) dengan elemen aki di dalamnya, plastik
pengungkung ini dapat digunakan kembali baik untuk pabrik aki maupun pabrik
plastic.
Proses pembelahan yang dilakukan, cairan asam yang terdapat pada aki
dituangkan/ dibuang langsung ke tanah, yang kemudian cairan asam tersebut akan
meresap ke dalam tanah dan meninggalkan asam sulfat serta timbal (Pb) pada lapisan
atas tanah, sementara elemen inti aki yang lainnya dilakukan peleburan (melting) di
dalam tungku (furnace) untuk memproduksi timbal batangan (lead ingot) sesuai
dengan pesanan pembeli. Proses peleburan yang dilakukan menghasilkan slag atau
terak sebagai sisa dari peleburan di tungku bakar, terak/slag sisa hasil pembakaran
tersebut tergolong ke dalam kategori limbah B3 yang harus dilakukan pengelolaan
lanjut (PP 101/2014) namun pada kenyataannya slag yang dihasilkan tersebut dibuang
langsung ke lingkungan, ada juga yang dijadikan sebagai material pengerasan jalan
dan dijadikan sebagai bahan urukan pada lahan basah (KLHK, 2016).
Pengelolaan Limbah Pb dan sisa dari kegiatan pembakaran aki bekas yang
buruk akan menimbulkan dampak potensial kepada lingkungan dan populasi di
sekitarnya seperti manusia, hewan dan ekosistem (CJGEA), sehingga perlu dilakukan
pengelolaan yang terintegrasi dan memenuhi prinsip pengelolaan yang berkelanjutan.
Limbah dari kegiatan daur ulang aki bekas (used lead acid battery-ULAB) apabila
tidak dikumpulkan dan diolah secara benar, maka dampak yang akan ditimbulkan
menjadi sangat berbahaya untuk lingkungan bahkan sampai dengan kematian bagi
para pekerja dan masyarakat sekitar yang tinggal di industri pengolahan (UNEP,
2004). Hal ini dikarenakan Pb memiliki sifat akumulatif dalam tubuh manusia,
kejadian kronis yang terdeteksi pada tubuh manusia dapat terjadi dalam waktu lama
disaat ambang batas konsentrasi Pb di dalam tubuh telah melewati batas aman yang
dapat ditoleransi oleh manusia itu sendiri.
Hasil pengukuran yang telah dilakukan pada tahun 2010, teridentifikasi
sebanyak 128 titik sebaran tanah yang terkontaminasi limbah hasil dari proses
peleburan aki bekas (KLH, 2014). Limbah yang dihasilkan dari proses peleburan
secara sederhana tersebut menimbulkan dampak, salah satunya adalah dampak
terhadap kesehatan masyarakat khususnya kepada anak-anak yang memiliki resiko
tinggi terpapar timbal, dibuktikan dengan adanya anak-anak yang mengalami cacat
fisik sampai dengan keterbelakangan mental disekitar lokasi peleburan (KLHK,
2016). Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia pada tahun 2015 yang menyatakan bahwa sebagian besar siswa SD
Cinangka memiliki kadar timbal dalam darah tinggi atau melebihi nilai yang
direkomendasikan oleh WHO (10 μg/dl) yaitu sebesar 61,2%” yang diambil dari 63
responden siswa SD di Desa Cinangka (Annashr, 2015). Berdasarkan uraian tersebut,
maka lahan yang terkontaminasi Pb harus dilakukan pemulihan lahan terkontaminasi
dan perlu dilakukan analisis kandungan logam berat pada air tanah yang digunakan
oleh warga sebagai air baku.
Peleburan aki bekas menghasilkan debu timbal yang berbahaya untuk
kesehatan bila terpajan melampaui nilai ambang batas dalam waktu yang lama. CDC
dan EPA menentukan kadar timbal dalam darah ≥ 10 µg/dl sebagai nilai ambang
batas. Timbal dapat mengganggu perkembangan sistem saraf sehingga mengakibatkan
penurunan IQ. Anak-anak merupakan populasi rentan dikarenakan beberapa alasan
seperti masih dalam tahap perkembangan otak; tingginya frekuensi makan, minum
dan bernafas hidup dalam satu lingkungan, memasukkan segala macam benda ke
dalam mulut, dan Pabrik peleburan aki bekas legal telah beroperasi di Kecamatan
Curug, Kabupaten Tangerang sejak tahun 1987. Peningkatan konsentrasi timbal di
udara dapat meningkatkan konsentrasi timbal dalam darah sehingga dapat
mengganggu perkembangan kecerdasan (majemuk) pada anak-anak

2. Apa yang seharusnya dilakukan Pemerintah untuk mengatasi persoalan


tersebut?
Pemerintah mempunyai posisi yang paling strategis dalam upaya
mengendalikan pencemaran Pb ini. Dengan wewenang yang dimiliki, pemerintah
dapat menyusun tata kota dan rambu lalu lintas yang memungkinkan kendaraan dapat
berjalan lancar, mengontrol polutan Pb secara berkala saat pajak kendaraan dan
mengenakan sangsi bagi yang melanggar.
Hukum sebagai salah satu sarana dalam upaya untuk mencegah dan
menaggulangi akibat yang ditimbulkan emisi gas kendaraan bermotor, karena melalui
peraturan perundang-undangan telah ditetapkan syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh
setiap warga masyarakat.
Beberapa peraturan yang berhubungan dengan masalah tersebut adalah : UU
No. 14 Tahun 1992 tentang angkutan jalan pada pasal 50 · Untuk mencegah
pencemaran udara yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan hidup, setiap
kendaraan bermotor wajib memenuhi persyaratan angkatan batas emisi gas buang.
Setiap pemilik, pengusaha angkutan umum dan atau pengemudi kendaraan bermotor,
wajib mencegah terjadinya pencemaran udara.
Pemulihan lahan terkontaminasi atau pemulihan fungsi lingkungan hidup
menurut istilah di dalam Peraturan Pemerintah nomor 101 tahun 2009 tentang
Pengelolaan Limbah B3 adalah serangkaian kegiatan penanganan lahan
terkontaminasi yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan
pemantauan untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup yang disebabkan oleh
pencemaran lingkungan hidup dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal
sumber pencemar yang tidak dimiliki oleh penanggung jawab atau dari kegiatan yang
bersumber dari masyarakat, maka Pemerintah menjadi penanggung jawab terhadap
kegiatan pemulihan yang akan dilakukan pada lokasi tercemar tersebut
sebagaimanaketentuan di dalam Pasal 215, PP nomor 101 tahun 2009 tentang
Pengelolaan Limbah B3.
Kegiatan pemulihan pada lahan yang terkontaminasi B3 telah menjadi
perhatian Pemerintah sejak tahun 2009 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah
yang mengatur kegiatan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 nomor 33 tahun
2009 Tentang Tatacara Pemulihan Lahan Terkontaminasi Limbah B3.
Sesuai Peraturan Pemerintah RI nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Setiap Orang yang menghasilkan
Limbah B3 yang tidak memenuhi atau melakukan pelanggaran, diberikan sanksi
adminitrasi, sebagai berikut:
a. teguran tertulis;
b. Paksaan pemerintah;
c. Pembekuan izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Penyimpanan Limbah
B3.
Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud Bupati/wali kota memberikan
sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak 1 (satu) kali kepada Setiap
Orang yang menghasilkan Limbah B3. Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3
wajib mulai menindaklanjuti teguran tertulis dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari sejak teguran tertulis diberikan. Setiap Orang yang menghasilkan
Limbah B3 tidak mulai menindaklanjuti teguran tertulis dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud, bupati/wali kota memberikan sanksi administratif berupa
paksaan pemerintah.
Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3 tidak mematuhi paksaan
pemerintah, bupati/wali kota memberikan sanksi administratif berupa pembekuan izin
Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Penyimpanan Limbah B3. Ketentuan lebih
lanjut mengenai kriteria dan jangka waktu pemenuhan terhadap ketentuan paksaan
pemerintah dan pembekuan izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Penyimpanan
Limbah B3 diatur dalam Peraturan Menteri.
3. Strategi promosi kesehatan mana yang harus menjadi prioritas Pemerintah?
Pendekatan Edukatif Upaya mengurangi Pb dalam udara bukan hanya tugas
pemerintah saja, melainkan tanggung jawab seluruh masyarakat. Untuk itu dapat
dilakukan dengan cara :
1. Penghilangan sumber pajanan timbal dengan cara menghentikan kegiatan
peleburan aki bekas atau memindahkan tempat tinggal dan sekolah anak-anak.
2. Sosialisasi untuk meningkatkan konsumsi makanan yang kaya kalsium, zink dan
zat besi pada anak-anak untuk mencegah peningkatan penyerapan timbal dan
menurunkan kadar timbal dalam tubuh seperti susu dan produk susu, ikan,
udang kecil, teri, rebon, tahu dan taoge.
3. Pemeriksaan medis oada anak berkadar timbal darah tinggi untuk mengetahui
ada tidaknya gangguan kesehatan dan melakukan terapi kelasi pada anak-anak
dengan kadar timbal darah 45 µg/dl-69 µg/dl.
4. Pencegahan dan deteksi dini pencemaran timbal dilakukan dengan pemantauan
kadar timbal di udara secara rutin dan skrining timbal dalam darah pada
masyarakat di sekitar peleburan aki bekas.
5. Penyampaian hasil-hasil penelitian tentang dampak timbal terhadap kecerdasan
kepada orang tua, guru, masyarakat dan pemerintah setempat dengan harapan
pemerintah dan masyarakat meningkatkan mutu layanan pendidikan sedangkan
orang tua dan guru memberikan perhatian khusus serta motivasi kepada anak-
anak dengan gangguan kecerdasan.
6. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terkait dampak kesehatan timbal lainnya.
Strategi penanggulangan yang dilakukan saat proses produksi accu
berlangsung, dapat dilakukan dengan cara antara lain:
1. Pemberian Pasta
Adanya rontokan pasta di lantai, mixer yang tidak ditutup pada saat penambahan
serbuk timbal, menggangu lingkungan kerja karyawan. Dengan ini lebih sering
membersihkan lantai, menutup bagian atas mixer dan menampung rontokan pasta
ke dalam drum akan mengurangi paparan debu timnal terhadap karyawan di
lingkungan kerja. Di samping itu untuk meningkatkan mutu pasta
direkomendasikan untuk memasang mengurangi mixer baru yang juga akan
meningkatkan laju pemberian pasta dan mengurangi limbah pasta.
2. Pematangan
Pematangan dilakukan dengan menggunakan kereta beroda yang di diorong
secara manual keluar dari flash dryer menuju ruang pematangan. Untuk
mengingkatkan kapasitas curing, direkomendasikan untuk memodifikasi kereta
supaya pelat pelat berpasta bias disusun menjadi 3 tinggkat sehingga kapasitas
pematangan bertambah. Kemudia sirkulasi dan semprotan air juga perlu
ditambahkan
3. Pemberian Muatan
Direkomendasikan untuk menghilangkan penggunaan defoarmer karena defoamer
bias melarutkan expander dalam plat negative. Untuk menggantikannya perlu
dipasang system ventilasi yang memadai. Modifikasi siklus pemuatan listrik
(Charging) juga perlu dilakukan untuk menghemat lsitrik. Kemudia untuk
menghemat pemakaian air, proses pencucian perlu ditiadakan. Akhirnya dengan
menghilangkan proses pemotongan kisi-kisi maka limbah timbal juga akan
berkurang.
4. Lingkungan Kerja
Fisik
1. Memasang temperature suhu untuk menjaga suhu ruangan
2. Pengelompokan alat-alat berdasarkan fungsinya
3. Adanya jalan-jalan atau gang yang bias digunakan sebagai jalan darurat bila
terjadi kecelakaan
4. Tempat kerja harus bersih dengan penerangan cukup
Kimia
1. Memasang system ventilasi yang memadai dengan sirkulasi udara yang
adekuat
2. Menyediakan tempat penyimpanan yang aman untuk bahan kimia yang
berbahaya
3. Mengkontrol kadar debu di tempat kerja
4. Air untuk mandi dan cuci mata harus tersedia cukup
5. Bubuk-bubuk yang tumpah harus diambil dengan vakum
Biologi
1. Sanitasi lingkungan kerja yang memadai (tempat cuci tangan dan ruang
makan)
2. Ruang pertolongan pertama yang terletak di lingkungan kerja
3. Terdapat fasilitas kesehatan
Ergonomi
1. Memposisikan pekerja sesuai dengan keahlliannya peralatan sesuai dengan
ukuran pekerja
2. Menyediakan ruang oksigenasi
3. Tersedianya waktu istirahat yang cukup
4. Penempatan mesin-mesin dan alat-alat industry dengan tepat
Karyawan
1. Pencegahan Primer
o Pemberian pelatihan awal (training) bagi para pekerja
o Menggunakan alat pelindung diri, yaitu:
a. Kepala : Pengikat rambut, penutup rambut, dan topi
b. Mata : Kacamata dari berbagai gelas
c. Muka : Perisai muka
d. Tangan: Sarung tangan
e. Kaki : Sepatu
f. Alat pernafasan: Respirator/ Masker khusu
g. Telinga : Sumbat telinga, tutup telinga
h. Tubuh : Pakaian kerja dari berbagai bahan
Health promotion (gizi, sanitasi, penyakit akibat kerja, kebiasaan hidup
sehat)
Biological monitoring
Pekerja tidak boleh makan, minum dan merokok ditempat kerja untuk
menghindari masuknya logam berat lewat mulut
2. Pencegahan Sekunder
o Pekerja harus diwajibkan melaporkan untuk diperiksa pada kejadian
kecelakaan yang pertama
o Segara mengkonsultasikan keluhan fisik yang dirasakan
o Screening test
o Memeriksa status kesehatan para pekerja setiap 6-12 bulan sekali
o P3K bila terjadi luka akibat asam
o Basuh muka sebanyak-banyaknya dengan air bersih dan gunakan minyak
olive oil jika terkena larutan elektrolit.
3. Pencegahan tersier
o Pemberian istirahat cukup
o Control kesehatan rutin
o Rehabilitasi
o Pemberian pengobatan murah dan berkelanjutan dengan perbaikan holistic
kesehatan pekerja
5. Sistem Managemen
1. Proses Produksi
o Pengawasan proses produksi secara intensif dan berkala
o Penerapan kebijakan subsitusi bahan produksi yang berbahaya dengan
bahan yang tidak berbahaya atau yang tidak terlalu berbahaya
o Penerapan system operasi tertutup untuk unit-unit yang menimbulkan gas
atau uap ke udara dari bahan kimia berbahaya
o Peninjauan ulang kelayakan alat untuk produksi
2. Lingkungan Kerja
o Penerapan pengukuran kadar bahan kimia berbahaya dan kondisi fisik di
lingkunagn kerja secara berkala
o Pengkondisian suhu lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif
o Pemberian fasilitas sanitasi yang layak dan memadai
o Penerapan kebijakan sesuai peraturan pemerintah
3. Karyawan
o Penetapan prosedur kerja yang harus dilakukan oleh para pekerja
o Pemberian gaji yang memadai dan gizi tambahan untuk pekerja yang
terpapar bahan kimia berbahaya
o Pemberian fasilitas kesehatan yang lengkap dan memadai
o Pemberian jaminan social tenaga kerja
o Kebijakan pemberinan ijin cuti bagi pekerja
DAFTAR PUSTAKA

Fardiaz Srikandi. (1992, Oktober). Polusi Air dan Udara. Dikutip pada tanggal 14 Oktober
2019 melalui laman
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=x1z3WSQM5VkC&oi=fnd&pg=PA
5&dq=faktor+yang+mempengaruhi+pencemaran+merkuri+dan+limbah+plastik+di+d
aerah+perkotaan&ots=J4aCPgoxPs&sig=xXFrEHOJj6Ij_m5wXIDemAziCCo&redir_
esc=y#v=onepage&q&f=false
Wulandari, R. A. (1992). Hubungan antara Beberapa Faktor yang Berpengaruh pada
Pemaparan Timah Hitam (Pb) dalam Darah Pekerja Peleburan Aki Bekas di Jakarta
Barat dan Kecamatan Ciampea Bogor 1992. [Tesis] Depok: FKM UI
Mudjianto, Trintrin T, dkk. 1994. Kebiasaan Makan Golongan Remaja Di Enam Kota Besar
Di Indonesia: Penelitian Gizi dan Makanan. Dikutip pada tanggal 14 Oktober 2019
melalui laman
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/pgm/article/view/1948/2533
Needleman, H. L. (2000). The Removal of Lead from Gasoline: Historical and Personal
Reflections. Environmental Research, 20 – 35.
WHO. (2002). The World Health Report 2002: Reducing Risks, Promoting Healthy Life.
Geneva: WHO
UNEP. (2004). National Management Plans For Used Lead Acid Batteries. Training Manual
For The Preparation Of National Used Lead Acid Batteries Environmentally Sound
Management Plans In The Context Of The Implementation Of The Basel Convention.
Lanphear, dkk. (2005). Low-Level Environmental Lead Exposure and Children’s Intellectual
Function: an International Pooled Analysis. Environ. Health Perspect, 894–899.
ATSDR. (2007). Toxicological Profile for Lead. Atlanta: US. Department of Health and
Human Services.
Endang Susilowati. 2007. Sampah Masalah dan Solusinya. Dikutip pada tanggal 14 Oktober
2019 melalui laman http://mst.ft.ugm.ac.d/concent/view/66/i/lang.id
Haryanto, B. (2008). Pengaruh Suplemen Kalsium terhadap Penurunan Kadar Timah Hitam
dalam Darah. [Disertasi]. Depok: FKM UI
Karuniastuti Nurhenu. Bahaya Plastik Terhadap Kesehatan dan Lingkungan. Forum
Teknologi Col 03 No.01. Dikutip pada tanggal 14 Oktober 2019 melalui laman
file:///C:/Users/ricki/Downloads/43-Article%20Text-76-1-10-20190110.pdf
KLH. (2014). Pemulihan Tahap Pertama Lahan Terkontaminasi Limbah B3 Timbal (Pb)
Desa Cinangka Kecamatan Ciampe Kabupaten Bogor.
Lisbet Sihombing, (2014) “Upaya Internasional Untuk Mengatasi Penyebaran Ebola” VI, no.
19
Annashr, N.N. (2015). Hubungan Kadar Timbal Dalam Darah Dengan Kadar Hemoglobin
(Hb) dan Eritrosit Berbintik Basofilik Pada Siswa Sekolah Dasar (SD) di Desa
inangka Kecamatan Ciampe Kabupaten Bogor Tahun 2014. Tesis Program
Azam, M.M. (2016). Soil Contamination and Remediation Measures: Revisiting The
Relevant Laws and Institutions. Environmental Remediation Technologies for Metal
Contaminated Soils, 99-124.
KLHK. (2016). Panduan Teknis Model Pemanfaatan Aki Bekas Skala Kecil yang Ramah
Lingkungan.
Rulliyati Nurjanah. 2017. Faktor-Faktor Pola Makan pada Remaja di SMK Negeri 4
Yogyakarta: Tugas Akhir Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.
Dikutip pada tanggal 14 Oktober 2019 melalui laman
http://eprints.uny.ac.id/53825/1/Faktor%20faktor%20pola%20makan%20pada%20re
maja.pdf
RENCANA AKSI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
2015-2019 (Revisi I - 2018) Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Nomor HK.
Andi Norsely Saras Shanti. 2019. Gaya Komunikasi Generasi Millennial: Student’s Column.
Fakultas Ekonomi dan Komunikasi Universitas Binus. Jakarta. Dikutip pada tanggal
14 Oktober 2019 melalui laman https://communication.binus.ac.id/2019/01/22/gaya-
komunikasi-generasi-millennial/
Wasito, Filemon. 2019 Cegah Kasus Rabies, Kementan Perkuat Strategi Komunikasi
Zoonosis diakes pada tanggal 15 Oktober Melalui laman
https://independensi.com/2019/09/28/cegah-kasus-rabies-kementan-perkuat-strategi-
komunikasi-zoonosis/
Pascasarjana FKM UI. Apriyanti, E. (2018). Analisis Kandungan Logam Berat Timbal Pb
Pada Kerang Polymesoda erosa L di Perairan Tanjung Bunga Makassar. International
Journal of Education and Environmental Education (IJEEM) Vol.3, No.2 Juli 2018.
CJGEA-Kenya. An Investigation on Used Lead-Acid Battery (ULAB) Recycling in Kenya-
Report.
Wandra, T, Sri S Margono, S.S, Gafar, M.S, Saragih, J.M, Sutisna, P, Nyoman, S,
Dharmawan, N.S. et al. Taeniasis/Cysticercosis in Indonesia 1996-2006.
http://www.tm.mahidol.ac.th/seameo/2007-38-suppl-1/38suppl1-140.pdf diakses
tanggal 15 Oktober 2019.
Dinas Peternakan Denpasar, Bali. 1989. Informasi Data Peternakan.

Anda mungkin juga menyukai