Anda di halaman 1dari 13

PERENCANAAN DAN EVALUASI PROGRAM GIZI

“MENJELASKAN TENTANG IMPLEMENTASI PROGRAM GIZI DAN STUDI


KASUS”

(Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perencanaan Dan Evaluasi Program Gizi yang
diampuh oleh Bapak Dr. Sunarto Kadir, M.Kes)

OLEH:
KELOMPOK 6

1. MOH. RAMADHAN ISA (811419140)


2. NADIA PERMATASARI LAUSE (811419171)
3. TTRI RISKI S. KOBISI (811419078)
4. STEFI YANANDA ISMAIL (811419139)

PEMINATAN GIZI KESMAS


JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan kuasa-Nyalah
sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan lancar dan tepat pada waktunya. Makalah
ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perencanaan Dan Evaluasi Program Gizi.
Selain itu, dengan menyusun makalah ini dapat menambah ilmu dan wawasan kami terkait
“Implementasi Program Gizi dan Studi kasus”.

Meskipun kami berhasil menyelesaikan makalah ini, kami menyadari akan adanya
kekurangan serta keke vliruan dimakalah ini, sehingga kami akan sangat terbuka menerima
kritik, saran serta masukan dari berbagai pihak.

Akhir kata, penulis berharap agar nantinya makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Gorontalo, Februari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................4

1.3 Tujuan..................................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................5

2.1 Pengertian dan unsur – unsur pokok dalam Implementasi Program Gizi...........................5

2.2 Implementasi program dan studi kasus................................................................................8

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................11

3.1 kesimpulan.........................................................................................................................11

3.2 saran...................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sudah merdeka lebih dari 63 tahun. Namun persoalan gizi masih menghantui
sebagian warganya. Bangsa Indonesia masih harus berjuang memerangi beberapa penyakit dan
masalah kurang gizi yang saling berinteraksi satu sama lain. Masalah gizi buruk pada anak balita
di Indonesia menjadi prioritas utama pembangunan kesehatan dan gizi.
Tingginya angka kematian ini juga dampak dari kekurangan gizi pada penduduk. Mulai dari
bayi dilahirkan,masalahnya sudah mulai muncul, yaitu dengan banyaknya bayi lahir dengan
berat badan rendah (BBLR < 2.5 Kg). Masalah ini berlanjut dengan tingginya masalah gizi
kurang pada balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa sampai dengan usia lanjut.
Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun
penanggulanagannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan
saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifactor, oleh karena itu pendekatan
penanggulangannya harus melibatkan berbagai sector yang terkait.
Mengingat penyebabnya sangat kompleks, pengelolaan gizi buruk memerlukan kerjasama
yang komprehensif dari semua pihak. Bukan hanya dari dokter maupun tenaga medis, namun
juga pihak orang tua,keluarga, pemuka masyarakat maupun agama dan pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan implementasi program Gizi?
2. Untuk mengetahui studi kasus implementasi program Gizi?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan implementasi program Gizi.
2. Untuk mengetahui studi kasus implementasi program Gizi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan unsur – unsur pokok dalam Implementasi Program Gizi
Proses implementasi program ialah rangkaian kegiatan tindak lanjut yang terdiri atas
pengambilan keputusan, langkah langkah yang strategis maupun operasional yang ditempuh
guna mewujudkan suatu program atau kebijaksanaan menjadi kenyataan, guna mencapai sasaran
yang ditetapkan semula.
Proses implementasi dalam kenyataanya yang sesunguhnya dapat berhasil, kurang
berhasil ataupun gagal sama sekali ditinjau dari hasil yang dicapai “outcomes” serta unsur yang
pengaruhnya dapat bersifat mendukung atau menghambat sasaran program.
Dalam proses implementasi sekurangkurangnya terdapat empat unsur yang penting dan
mutlak yaitu :
a. Implementasi program atau kebijaksanaan tidak mungkin dilaksanakan dalam ruang
hampa. Oleh karena itu faktor lingkungan akan mempengaruhi proses implementasi
program pada umumnya.
b. Target group yaitu kelompok yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima
manfaat program tersebut.
c. Adanya program yang dilaksanakan.
d. Unsur pelaksanaan atau implementer, baik organisasi atau perorangan yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan implementasi tersebut.
Ruang lingkup penanggulangan balita gizi buruk dari tingkat Kabupaten, Kota dan
Kecamatan sampai tingkat rumah tangga meliputi prosedur penjaringan kasus balita gizi buruk,
prosedur pelayanan balita gizi buruk puskesmas, prosedur pelacakan balita gizi buruk dengan
cara investigasi,prosedur pelayanan balita gizi buruk di rumah tangga, prosedur koordinasi lintas
sektoral dalam upaya penanggulangan gizi buruk. Sebagai unit pelaksana penanggulangan gizi
buruk di Puskesmas dilakukan oleh petugas gizi yang ditetapkan oleh dianas kesehatan
kota/kabupaten dan pelatihan.6.8 Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 jumlah
gizi buruk cenderung menurun yaitu menjadi 5,4% sedangkan gizi kurang sebesar 13%, dan pada
tahun 2010 prevalensi gizi buruk 4,9% atau turun sebesar 0,5%, sedangkan prevalensi gizi
kurang masih tetap yaitu sebesar 13%. Secara umum penurunannya belum merata di semua
Provinsi di Indonesia yaitu dari 33 Provinsi terdapat 18 Provinsi masih memiliki prevalensi gizi
buruk diatas angka prevalensi nasional yaitu 5%, termasuk propinsi Papua Barat pada tahun 2007
prevalensi gizi buruk sebanyak 6,8%, Provinsi Papua 6,6% sedangkan pada tahun 2010 Provinsi
Papua Barat prevalensi gizi buruk meningkat menjadi 9,1% danProvinsi Papua sebanyak 6,3%.
Pelaksanaan Penanggulangan Gizi Buruk
1. Pelaksanaan Penimbangan Balita di Posyandu
Pemantauan pertumbuhan melalui penimbangan adalah salah satu bentuk kegiatan
penanggulangan gizi buruk karena dengan pemantauan pertumbuhan diperoleh cakupan balita
yang naik berat badannya dan yang berada di BGM (Bawah Garis Merah).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lapangan ditemukan beberapa masalah dalam
pelaksanaan pemantauan pertumbuhan, yaitu:
1) Secara teknis, kemampuan kader dalam melakukan penimbangan dan penilaian status
pertumbuhan berdasarkan Kartu Menuju Sehat (KMS) masih belum memadai. Kesalahan
yang sering ditemukan adalah penggunaan timbangan yang tidak layak (seperti angka
penunjuk di timbangan yang sudah kabur), kesalahan dalam pemasangan timbangan dan
pembacaan hasil.
2) Dalam penilaian pertumbuhan, umumnya kader menilai berdasarkan
kenaikan berat badan absolut. Dengan kata lain, balita disebut naik berat badannya bila berat
badan bulan ini lebih berat dibandingkan dengan bulan lalu.
Seringkali balita yang mengalami gangguan pertumbuhan tidak dirujuk ke Puskesmas untuk
dirawat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa alasan para ibu tidak
datang ke Posyandu adalah sebagai berikut:
1) Sibuk dengan kegiatan rumah tangga, seperti mencuci pakaian,memasak, membersihkan
rumah atau anak sedang tidur sehingga tidak tega untuk dibangunkan
2) Jam kunjung Posyandu terlalu singkat, yakni hanya 2 jam (pukul 10.00 12.00 WIB)
sehingga tidak tersedia cukup banyak waktu bagi mereka agar bisa datang ke Posyandu.
3) Tidak tahu ada Posyandu karena jadwal yang berubah (jadwal Posyandu bertepatan
dengan hari minggu atau hari libur, dimundurkan sehari setelah atau dimajukan sehari
sebelum jadwal Posyandu) atau lupa ada Posyandu pada hari itu.
4) Malas bila cuma untuk menimbang balitanya ke Posyandu, apalagi jika dikenakan biaya,
walaupun hanya 1000 rupiah setiap datang.
2. Pelaksanaan Pemberian MP-ASI pada Bayi BGM dari Keluarga Miskin
Untuk mencegah terjadinya gizi kurang, sekaligus mempertahankan gizi baik, pada bayi di
keluarga miskin, Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) tahun 2002 telah
mendistribusikan MP-ASI dengan sasaran bayi usia 6-11 bulan yang berasal dari keluarga miskin
di Indonesia.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pendistribusian MP-ASI tidak sesuai dengan pedoman
pelaksanaan pendistribusian dan pengelolaan MP-ASI karena diberikan bukan kepada bayi yang
BGM dari keluarga miskin, melainkan kepada semua balita yang datang ke Posyandu. Menurut
petugas gizi, hal ini disebabkan banyak ibu yang memiliki bayi BGM tidak datang ke Posyandu,
walau sudah diberitahu oleh petugas dan kader sebelum hari Posyandu bahwa akan dibagikan
MP-ASI di Posyandu. Petugas juga mengatakan alasan dibagikannya MP-ASI kepada semua ibu
yang memiliki bayi karena banyak ibu yang menuntut untuk mendapat MP-ASI.
Berikut cuplikan wawancara dengan informan.
“MP-ASI diberikan oleh kader dan petugas dari Puskesmas pada saat Posyandu. Biasanya
setiap tahun sedikitnya satu kali ada diberikan MP-ASI. Tahun lalu (2008) ada diberikan bubur
dan biskuit. Bubur diberikan ke semua balita sedangkan biskuit diberikan untuk balita yang gizi
buruk yang diberikan 3 kali berturut-turut
3. Jumlah Balita Gizi Buruk yang Mendapatkan Perawatan
Menurut hasil wawancara dengan petugas gizi, sebenarnya belum semua balita gizi buruk di
wilayah kerja Puskesmas Medan Labuhan yang terdata dan mendapat perawatan (tahun 2008 ada
32 anak yang dirawat). Hal ini karena masih ada ibu yang tidak membawa anaknya ke Posyandu
atau Puskesmas. Alasan beberapa ibu yang tidak datang ke Puskesmas membawa balitanya yang
gizi buruk karena mereka merasa bahwa anaknya tidak mungkin gizi buruk. Sebagian lagi ibu
tidak membawa anaknya secara teratur ke Posyandu atau Puskesmas sehingga petugas tidak
dapat memantau pertumbuhannya.
4. Bayi yang Mendapatkan ASI Eksklusif
ASI Eksklusif sangat dibutuhkan bayi untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak, dan
kecerdasan. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian ASI eksklusif pada
bayi selama enam bulan, yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.
Berdasarkan data tahun 2008 di Puskesmas Medan Labuhan, cakupan bayi yang mendapat
ASI Eksklusif mulai dari bulan Januari sampai November 2008 berkisar antara 1,45 dan 6,36
persen, sedangkan di bulan Desember tidak ada ibu yang memberikan ASI saja sampai umus 6
bulan. Hal ini menunjukkan tidak tercapainya target (80%).
Dari hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa, walaupun penyuluhan tentang ASI
Eksklusif sudah pernah diberikan di Posyandu atau balai desa, hanya sedikit ibu yang
memberikan ASI saja kepada bayinya selama enam bulan. Bahkan, informan no 4 mengatakan
bahwa tidak ada ibu yang memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya. Kebanyakan para ibu
sudah memberi makanan kepada bayinya mulai dari umur 1 bulan atau lebih.

2.2 Implementasi program dan studi kasus


Gizi buruk sebagai bagian dari malnutrisi merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang utama di seluruh dunia, terutama di Asia Tenggara dan Afrika. Gizi buruk masih menjadi
masalah di Indonesia. Riskesdas tahun 2014 menunjukkan bahwa di Indonesia masih terdapat
32.521 (14%) Balita menderita gizi buruk dan 17% Balita kekurangan gizi. Penyebabnya gizi
buruk sangat kompleks, sehingga penanganan masalah gizi buruk memerlukan pendekatan yang
menyeluruh. Masalah gizi tidak dapat ditangani dengan kebijakan dan program jangka pendek
serta sektoral, apalagi hanya ditinjau dari aspek pangan saja. Masalah gizi harus segera ditangani
melalui implementasi kebijakan gizi yang tepat secara menyeluruh. Banyak negara berkembang
yang berhasil mengatasi masalah gizi seperti Thailand, Tiongkok, dan Malaysia. Mereka dapat
mengatasi masalah gizi secara tuntas dan lestari dengan membuat seperti peta jalan kebijakan
jangka pendek dan jangka panjang.
kurang dan gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau
nutrisinya di bawah rata-rata. Gizi kurang adalah kekurangan bahan-bahan nutrisi seperti
protein, karbohidrat, lemak, dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Balita disebut menderita
gizi buruk apabila indeks berat badan menurut umur (BB/U) < -3 SD.
Kurang Gizi buruk sebagai salah satu indikator malnutrisi di masyarakat memiliki
konsekuensi besar pada kesehatan manusia serta perkembangan sosial dan ekonomi suatu
populasi. Gizi buruk merupakan penyebab paling umum morbiditas dan mortalitas di antara
anak-anak dan remaja di seluruh dunia. Setiap tahun, lebih dari 5 juta anak di seluruh dunia
meninggal karena kekurangan gizi.
Gizi buruk yang berkepanjangan pada anak-anak dapat menurunkan produktifitas,
pertumbuhan fisik, kapasitas kerja, dan kinerja reproduksi pada saat dewasa. Selain itu, gizi
buruk dapat meningkatkan angka kesakitan, risiko gangguan penyakit kronis pada saat dewasa,
dan angka kelahiran bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). BBLR meningkatkan
risiko bayi mengalami gangguan fisik, mental, dan kecerdasan. Orang tua perlu lebih
memperhatikan tumbuh kembang anak di usia Balita mengingat akibat kurang gizi pada Balita
bersifat irreversible atau tidak dapat pulih kembali normal. Secara umum, faktor penyebab gizi
buruk dibagi menjadi 2 yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab
langsung gizi buruk antara lain kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi serta
adanya penyakit infeksi. Konsumsi makanan yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat
gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang (beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman) akan
berakibat secara langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Penyakit infeksi
yang berkaitan dengan gizi buruk antara lain diare, cacingan, dan penyakit pernapasan akut.
Adapun penyebab tidak langsung gizi buruk yaitu kurangnya ketersediaan pangan di
tingkat rumah tangga, kemiskinan, pola asuh yang kurang memadai, dan rendahnya tingkat
pendidikan. Faktor kemiskinan sering disebut sebagai akar masalah gizi karena berkaitan
dengan daya beli pangan rumah tangga sehingga berdampak terhadap pemenuhan zat gizi
anggota keluarga. Faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk adalah
riwayat Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Bayi yang mengalami BBLR dapat mengalami
komplikasi penyakit. Kondisi ini dapat terjadi karena kurang matangnya organ tubuh yang dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan gizi pada saat
Balita. Faktor penting lain yang berkaitan dengan gizi buruk adalah pola asuh orang tua
yang kurang memadai. Pola asuh memegang peranan penting dalam terjadinya gangguan
pertumbuhan pada anak. Orang tua perlu menaruh perhatian pada aspek pertumbuhan anak bila
ingin mengetahui keadaan gizi mereka. Keluarga yang memiliki faktor pengasuhan Balita yang
baik, akan mampu mengoptimalkan kualitas status gizi Balita.
a. Pengukuran Gizi Buruk
Cara untuk mendeteksi gizi buruk pada Balita diantaranya dengan pengukuran klinis atau
antropometri. Pengukuran klinis merupakan metode yang penting untuk mengetahui status gizi
Balita berdasarkan perubahanperubahan yang terjadi pada tubuh anak. Hal ini dapat dilihat pada
jaringan epitel seperti kulit, rambut, atau mata. Adapun antropometri didasarkan pada ukuran
tubuh manusia dan dilakukan sesuai dengan usia anak. Antropometri secara umum digunakan
untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan terlihat pada
pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam
tubuh. Beberapa indeks pengukuran yang digunakan dalam penentuan status gizi yaitu indeks
berat badan menurut umur (BB/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh
sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, seperti terserang infeksi, kurang
nafsu makan, dan menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Oleh karena itu indeks BB/U
lebih menggambarkan status gizi sekarang.
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Tinggi badan pada keadaan normal tumbuh seiring dengan pertambahan
umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap
masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi
badan tampak dalam waktu yang relatif lama. Oleh karena hal tersebut, indeks TB/U
menggambarkan status masa lampau. Berat badan mempunyai hubungan yang linear dengan
tinggi badan.
b. dan Strategi Penanggulangan Gizi Buruk
Gizi buruk disebabkan berbagai faktor sehingga pemerintah mengambil kebijakan yang
komprehensif. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam penanggulangan masalah gizi
termasuk gizi buruk sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun
2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan
strategis sehubungan dengan ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, pemanfaatan pangan,
perbaikan gizi masyarakat, serta penguatan kelembagaan pangan dan gizi.
c. Program Penanggulangan Gizi Buruk
Intervensi gizi dan kesehatan bertujuan memberikan pelayanan langsung kepada Balita.
Terdapat dua bentuk pelayanan gizi dan kesehatan yaitu pelayanan perorangan dan pelayanan
masyarakat. Pelayanan perorangan bertujuan menyembuhkan dan memulihkan anak dari kondisi
gizi buruk. Pelayanan masyarakat bertujuan untuk mencegah timbulnya gizi buruk di
masyarakat.
STUDI KASUS
Sumber daya manusia (SDM) yang sangat dibutuhkan terkait penanganan gizi buruk
adalah petugas gizi Puskesmas yang terlatih dan kader Posyandu yang terampil. Puskesmas
Jakenan adalah Puskesmas rawat inap. Berdasarkan Permenkes RI Nomor 75 Tahun 2014, setiap
Puskesmas rawat inap seharusnya memiliki dua orang petugas gizi. Berdasarkan Permenkes RI
Nomor 26 Tahun 2013, petugas gizi yang dapat bekerja di pelayanan kesehatan minimal lulusan
D3 Gizi.

Puskesmas Jakenan sudah memiliki seorang petugas gizi lulusan D3 gizi dan dibantu
oleh satu bidan PTT (Pegawai Tidak Tetap). Kondisi tersebut menunjukkan SDM khususnya
tenaga gizi di Puskesmas Jakenan belum memenuhi standar kualifikasi. Hal tersebut juga
menunjukkan adanya kekurangan SDM khususnya tenaga gizi sebagaimana disampaikan oleh
Informan triangulasi yaitu Informan 5.

Petugas gizi Puskesmas Jakenan menyebutkan bahwa sarana dan prasarana yang
diperlukan dalam penanganan gizi buruk berupa formulir-formulir, buku pedoman pelayanan
anak gizi buruk dan formulir pencatatan dan pelaporan. Selain itu ada Pemberian Makanan
Tambahan (PMT).

Pelacakan kasus gizi buruk menurut Kemenkes (2010) adalah upaya memperlakukan
setiap kasus gizi buruk sebagai kejadian luar biasa oleh karenanya harus segera dilaporkan dalam
waktu 1 x 24 jam dan harus segera ditangani. Namun kendala pelacakan gizi buruk oleh
Puskesmas Jakenan adalah adanya sebagian anggota masyarakat yang tidak suka didatangi
petugas kesehatan untuk mengecek berat badan anak yang kurang. Masyarakat belum menyadari
bahwa gizi buruk merupakan masalah kesehatan yang harus ditangani segera.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
1. Proses implementasi program ialah rangkaian kegiatan tindak lanjut yang terdiri atas
pengambilan keputusan, langkah langkah yang strategis maupun operasional yang
ditempuh guna mewujudkan suatu program atau kebijaksanaan menjadi kenyataan,
guna mencapai sasaran yang ditetapkan semula.
2. Gizi buruk yang berkepanjangan pada anak-anak dapat menurunkan produktifitas,
pertumbuhan fisik, kapasitas kerja, dan kinerja reproduksi pada saat dewasa. Selain
itu, gizi buruk dapat meningkatkan angka kesakitan, risiko gangguan penyakit kronis
pada saat dewasa, dan angka kelahiran bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR). BBLR meningkatkan risiko bayi mengalami gangguan fisik, mental, dan
kecerdasan.
3.2 saran
Adapun makalah yang kami susun ini semoga bermanfaat bagi sesama serta bagi pihak
yang membutuhkan, dan tentunya kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk kebaikan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ernawati, Aeda. (2019). Analisis Implementasi Program Penanggulangan Gizi Buruk Pada Anak Balita Di
Puskesmas Jakenan Kabupaten Pati. Jurnal Litbang, Vol. XV No. 1 39-50 http://ejurnal-
litbang.patikab.go.id/indeks.php/jl/article/view/131 (diakses pada tanggal 20 febuari 2022)

Ismail,dkk. 2016 Analisis Implementasi Program Penanggulangan Gizi Buruk di Puskesmas


Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Sorong Provinsi Papua Barat, jurnal Manajemen
kesehatan indonesia vol.4 no.1
Lubis, dkk. 2012 Analisis Implementasi Program Penanggulangan Gizi Buruk Pada Anak Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Labuhan Kota Medan 2008, panel gizi makan vol.35
no.1

Anda mungkin juga menyukai