Anda di halaman 1dari 13

SOSIALISASI PANGAN LOKAL DI SDN SUMBER PINANG 02 JEMBER

Teknologi Pengolahan Pangan Lokal

Oleh : Kelompok B
Lusianti

(141710101009)

Nugroho Setya Budi

(1417101010)

Fatmawati Amalia Agustin

(141710101039)

Fiska Fibi Harlia

(141710101072)

Izzatul Qoniah

(1417101010)

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan

rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara


cukup,

baik

jumlah

maupun

mutunya,

aman,

merata,

dan

terjangkau. Pangan merupakan kebutuhan primer yang harus


terpenuhi. Agar ketahanan pangan terwujud dengan baik maka
perlu adanya beberapa program, salah satunya adalah melestarikan
pangan lokal. Pangan merupakan makanan yang telah lama
berkembang dan di konsumsi oleh masyarakat Indonesia. Pangan
lokal bisa menjadi identitas atau pun ciri khas dari suatu daerah.
Saat ini pangan lokal kurang digemari oleh masyarakat Indonesia. banyak orang
yang lebih menggemari makanan dari luar negeri seperti burger, pizza dan kebab. Hal
ini dapat menjadi permasalahan yang menyebabkan lunturnya budaya mengkonsumsi
pangan lokal. Permasalahan tersebut dapat dihindari dengan cara memanfaatkan
pangan lokal yang ada di daerah tersebut.
Salah satu potensi pangan lokal di wilayah Jawa Timur adalah sukun. Sukun
dangat potensial dikembangkan melalui program diversifikasi konsumsi pangan agar
mengurangi ketergantungan pada beras. Sukun mengandung karbohidrat dan protein
yang cukup tinggi. sukun dapat dimanfaatkan sebagai pangan alternatif sehingga
dapat mengurangi kecenderungan mengkonsumsi beras.
Pengembangan dan pengenalan pangan lokal kepada masyarakat terutama
anak-anak dan orang tua diharapkan mampu membawa perubahan yang signifikan.
Anak-anak diberikan pengarahan tentang pangan lokal agar dapat menerapkan
budaya mengkonsumsi pangan lokal sejak usia dini. Sedangkan orang tua memiliki
peran untuk membimbing anaknya agar membudayakan mengkonsumsi pangan sehat
dan berbasis pangan lokal. Oleh karena itu, dilaksanakan sosialisasi pangan lokal
berbasis sukun agar mengenalkan potensi-potensi pangan lokal di Indonesia.
1.2

Tujuan
Adapun tujuan dari dilaksanakannya sosialisasi ini antara lain:

1. Menjelaskan pengertian pangan lokal, ketahanan pangan, diversifikasi pangan,


dan produk turunan sukun pada siswa-siswi beserta orang tua di SDN Sumber
Pinang 02 Jember.
2. Menjelaskan tujuan mengkonsumsi pangan lokal pada siswa-siswi beserta
orang tua di SDN Sumber Pinang 02 Jember.
3. Memberitahukan berbagai macam bahan pangan lokal yang ada di Indonesia.
4. Menjelaskan tentang pangan lokal sejak dini.
5. Meningkatkan kesadaran audiens untuk mau mengkonsumsi berbagai jenis
produksi pangan lokal di Indonesia.
1.3

Manfaat
Adapun manfaat dari dilaksanakannya sosialisasi ini antara lain:
1. Dapat memahami pengertian pangan lokal, ketahanan pangan, diversifikasi
2.
3.
4.
5.

pangan dan produk turunan sukun.


Dapat mengetahui manfaat mengkonsumsi pangan lokal.
Dapat mengetahui berbagai macam pangan lokal yang ada di Indonesia.
Dapat membudayakan mengkonsumsi pangan lokal sejak dini.
Dapat meningkatkan kesadaran audiens untuk mau mengkonsumsi berbagai
jenis produksi pangan lokal di Indonesia.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1

Pangan Lokal
Definisi pangan lokal juga merujuk pada UU No. 18 tahun 2012 adalah

makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan

kearifan lokal. Pangan lokal merupakan produk pangan yang telah lama diproduksi,
berkembang dan dikonsumsi di suatu daerah yang umunya diolah dari bahan baku
lokal, teknologi lokal, serta pengetahuan lokal pula. Sehingga produk pangan lokal
berkaitan dengan budaya lokal, karena itu sering kali produk menggunakan nama
daerah. Contohnya: Gudeg Jogja, Dodol Garut, Jenang Kudus, Soto Betawi, Talas
Bogor dan lainnya (Undang-Undang, 2012).
Umumnya produk pangan lokal diolah dari bahan baku lokal, teknologi lokal,
dan pengetahuan lokal pula. Di samping itu, produk pangan lokal biasanya
dikembangkan sesuai dengan preferensi konsumen lokal pula. Sehingga produk
pangan lokal ini berkaitan erat dengan budaya lokal setempat. Karena itu, produk ini
sering kali menggunakan nama daerah, seperti gudek jogja, dodol garut, jenang
kudus, beras cianjur, dan sebagainya (Hariyadi, 2010). Aneka ragam pangan lokal
tersebut berpotensi sebagai bahan alternatif pengganti beras. Sebagai contoh, di
Papua ada beberapa bahan pangan lokal setempat yang telah lama dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat sebagai bahan baku pengganti beras, seperti ubi jalar, talas,
sagu, gembili, dan jawawut. Produk pangan lokal tersebut telah beradaptasi dengan
baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun temurun (Wahid Rauf dan Sri
Lestari, 2009). Selain di Papua, beberapa pangan lokal yang telah dimanfaatkan oleh
masyarakatnya sebagai bahan pengganti beras adalah jagung di Madura dan
Gorontalo.
2.2

Ketahanan Pangan Konsep


Ketahanan pangan nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk

menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu
yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan
berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk
mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional
terhadap impor (Badan Litbang, 2005).

Menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pasal 1 angka 17


menyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Maleha dan Susanto, 2006).
Upaya dan kebijakan pemerintah dalam mempertahankan ketahanan pangan
yaitu terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan
pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari
tanaman, ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan
mineral serta turunan, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia,
terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran biologis,
kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan
kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama, terpenuhinya pangan dengan
kondisi yang merata, diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya
pangan pada setiap saat dan merata di seluruh tanah air (Soetrisno, 1998).
Adapun kebijakan pemerintah yang dilakukan adalah pemberdayaan Kelompok
Wanita (optimalisasi pemanfaatan pekarangan, sosialisasi pola konsumsi pangan
beragam, bergizi seimbang dan aman, pengembangan usaha pengolahan pangan),
sosialisasi dan promosi, pengembangan pangan lokal, mendukung pangkin (subsidi
pangan bagi rumah tangga berpendapatan rendah), pengembangan teknologi
pengolahan pangan lokal, dan pengembangan model rumah pangan lestari (Darwanto,
2005).
2.3

Diversifikasi Pangan Konsep


Menurut Soetrisno (1998), diversifikasi pangan (dalam konteks konsumsi

pangan) yaitu sebagai upaya menganekaragamkan jenis pangan yang dikonsumsi,


mencakup pangan sumber energi dan zat gizi, sehingga memenuhi kebutuhan akan
pangan dan gizi sesuai dengan kecukupan baik ditinjau dari kuantitas maupun
kualitasnya. Diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memperoleh keragaman zat
gizi sekaligus melepas ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok

tertentu yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu ketidakstabilan jika
pasokan terganggu dan sebaliknya jika masyarakat menyukai pangan alternative
maka ketidakstabilan akan dapat dijaga.
Diversifikasi bertujuan untuk memperbaiki status gizi tidak hanya tergantung
pada konsumsi makanan, tetapi juga tergantung pada pengadaan atau penyediaan dari
pangan tersebut. Faktor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam
perencanaan program untuk meningkatkan pangan dan gizi yang lebih baik, antara
lain:
1. hasil produksi pertanian yang menentukan tingkat penyediaan pangan dan zat gizi.
2. variasi jenis makanan yang dikonsumsi terutama tergantung pada variasi dan
komposisi hasil produksi pertanian setempat.
3. perlu adanya penyuluhan untuk meningkatkan pengertian tentang kebutuhan gizi
dan adanya tindakan-tindakan yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi
konsumen dalam memilik makanannya, sehingga pola konsumsi pangan dapat
terarah agar sesuai dengan persyaratan gizi (Suharjo,1996).
Menurut Ariani dan Ashari (2006), konsep diversifikasi pangan meliputi tiga
hal, yaitu diversifikasi horizontal (mengubah usaha tani berbasis padi menjadi
tanaman pangan lain), diversifikasi vertikal (pengembangan pangan pasca panen),
dan diversifikasi regional (penganekaragaman pangan dengan pendekatan wilayah).
Diversifikasi pangan tercakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan
distribusi. Dari aspek produksi, diversifikasi berarti perluasan spektrum komoditas
pangan, baik dalam hal perluasan pemanfaatan sumber daya, pengusahaan komoditas
maupun pengembangan produksi komoditas pangan. Sedangkan diversifikasi
konsumsi merupakan penganekaragaman konsumsi pangan dari masyarakat Indonesia
agar terpenuhinya gizi yang tepat dan seimbang. Pemenuhan pangan dapat diartikan
pemenuhan asupan zat-zat yang diperlukan tubuh, seperti karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, dan lain sebagainya yang kemudian dikonversi menjadi energi (Ariani dan
Ashari, 2006).

2.4

Sukun (Artocarpus altilis)

2.4.1 Pengertian Sukun


Sukun merupakan tanaman tahunan yang tumbuh baik pada lahan kering
(daratan), dengan tinggi pohon dapat mencapai 10 m atau lebih dan mempunyai
cabang-cabang yang melebar kesamping dengan tajuk sekitar 5 m. Daunnya
berbentuk oval panjang dengan belahan daun simetris yang ditunjung dengan tulang
daun yang menyisip simetris pula. Permukaan daun bagian atas halus dan berwarna
hijau mengkilap sedang bagian bawah kasar berbulu dan berwarna kusam (Widowati,
dkk., 2010).
Sukun memiliki nama yang berlainan di daerahdaerah di Indonesia. Hal ini
menunjukkan bahwa sukun merupakan buah yang tidak asing lagi dalam kehidupan
sehari-hari penduduk Nusantara. Misalnya di Aceh orang menyebut sukun dengan
nama sakon, di Batak menyebutnya dengan hatopul, di Madura sokon, dan di
Makasar makara (Angkasa dan Nazaruddin, 1994).
Tanaman sukun menurut Angkasa dan Nazaruddiun (1994) di klasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Angiospermae

Kelas

: Magnoliopsida

Sub Kelas

: Hamamelidae

Ordo

: Urticales

Famili

: Moraceae

Genus

: Artocarpus

Spesies

: Artocarpus altilis

2.4.2 Kandungan Gizi Sukun


Nilai gizi buah sukun tidak kalah dengan bahan-bahan pangan lainnya yang
sering digunakan sebagai bahan pangan pokok ataupun bahan pangan pokok alternatif

di Indonesia. Bahkan dalam beberapa hal sukun tampak lebih unggul dari bahan
pangan lainnya. Dengan demikian sukun, khususnya tepung sukun mempunyai
prospek yang sangat baik sebagai bahan pangan pengganti beras. Adapun kandungan
unsur gizi buah sukun dapat dilihat pada dibawah ini.
Tabel 1. Kandungan Gizi Sukun/ 100 gram bahan
No. Unsur Gizi
1.
Energi (kal)
2.
Protein (gr)
3.
Lemak (gr)
4.
Karbohidrat (gr)
5.
Serat
6.
Abu (gr)
7.
Kalsium (mg)
8.
Fosfor (mg)
9.
Besi (mg)
10.
Vitamin B1 (mg)
11.
Vitamn B2 (mg)
12.
Vitamin C (mg)
13.
Air (%)
Sumber : Suprapti (2007).

Kadar/ 100 gram bahan


108
1,30
0,30
28,20
0,90
21
59
0,40
0,12
0,06
17
69,30

Nilai gizi buah sukun tidak kalah dengan bahan-bahan pangan lainnya yang
sering digunakan sebagai bahan pangan pokok ataupun bahan pangan pokok alternatif
di Indonesia. Bahkan,dalam beberapa hal sukun tampak lebih unggul dari bahan
pangan lainnya. Dengan demikian sukun, khususnya tepung sukun mempunyai
prospek yang sangat baik sebagai bahan pangan pengganti beras (Koswara, 2006).
2.4.3 Produk Olahan Sukun
Sukun tergolong buah klimaterik, sehingga dapat matang dan rusak 3-4 hari
setelah dipanen. Adanya kerusakan fisik, browning dan rasa pahit menyebabkan
menurunnya mutu sehingga harganya murah. Untuk mengantisipasi hal ini perlu
dilakukan alternatif pemanfaatan buah sukun agar nilai guna dan ekonominya
meningkat (Koswara, 2006).
Pemanfaatan buah sukun sebagai bahan pangan semakin penting sejak
pemerintah melancarkan program diverisifikasi pangan. Buah sukun termasuk buah-

buahan yang mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi. Setiap 100 g
mengandung karbohidrat 28,2 g, sedangkan dalam bentuk tepung kandungan
karbohidratnya 84,03%, lebih tinggi dibanding beras giling (Suprapti, 2007). Contoh
produk olahan sukun antara lain:
a. Pasta sukun
Pasta sukun yang dimaksudkan di sini adalah sukun yang dikukus kemudian
dilumatkan atau dihancurkan dan siap untuk diolah lanjut. Pasta sukun dapat
dibuat dari sukun tua atau sukun matang. Pasta dari buah sukun tua tetapi masih
mentah dapat diolah menjadi berbagai kue basah, bubur, kue yang digoreng, dan
makanan camilan kering seperti stik sukun keju dan kue gabus sukun. Juga dapat
dibuat roti dan mi basah dengan dicampur terigu berprotein sedang-tinggi. Pasta
buah sukun matang cocok untuk pembuatan aneka kue basah, bubur, dan lainnya,
dengan aroma harum sukun matang yang kuat.
b. Mie sukun
Mie sukun dapat dibuat dari sukun kukus yang telah dihancurkan (pasta
sukun) atau dari tepung sukun yang dicampur dengan terigu. Pada pembuatan mie
diperlukan komponen gluten tinggi, yang terdapat pada terigu, sehingga pada
pembuatan mie sukun dicampur dengan terigu. Fungsi terigu adalah membentuk
struktur karena gluten bereaksi dengan karbohidrat. Bahan lain dalam pembuatan
mie adalah air, garam, soda kue dan telur.
c. Gaplek Sukun
Gaplek sukun terbuat dari buah sukun tua yang telah dikupas bersih, kemudian
dipotong-potong. Potongan buah sukun tersebut selanjutnya diiris tipis-tipis. Irisan
buah sukun kemudian dihamparkan di atas nampan untuk dijemur di bawah terik
matahari;
d. Tepung Sukun
Tepung sukun berasal dari olahan gaplek sukun. Gaplek sukun yang sudah kering
ditumbuk atau digiling dan diayak dengan ayakan halus 80 mesh. Tepung sukun dapat
berfungsi sebagai bahan substitusi tepung lainnya seperti substitusi dengan tepung
terigu, tepung beras, tapioka atau tepung lainnya. Untuk meningkatkan kandungan
gizi pada tepung sukun dapat pula ditambahkan tepung kain yang kaya kandungan

proteinnya seperti tepung kedelai, tepung kacang hijau. Kandungan protein kedelai
35,90%, kacang merah 23,1%, dan kacang hijau 22,2%.
e. Pati Sukun,
Pati sukun dibuat dari buah sukun tua yang diparut atau diblender. Untuk
melarutkan tepung dan memisahkannya dari ampas, tambahkan air ke dalam hasil
parutan sukun lalu disaring hingga seluruh pati terlarut. Selanjutnya pati mengendap
dengan lapisan air di bagian atasnya. Setelah itu air endapan dibuang dan jemur pati
di bawah terik matahari sampai kering (Suprapti, 2007).

BAB 3. METODOLOGI SOSIALISASI


3.1

Waktu dan Tempat


Waktu sosialisasi pangan lokal berbasis sukun yaitu pada hari Jumat, 4 Maret

2016 pada pukul 08.30-09.50 dan bertempat di SDN Sumber Pinang 02, Jember.
Alamat SDN Sumber Pinang 02 yaitu di Jalan Ki Hajar Dewantara No. 60, Kab.
Jember.
3.2

Sasaran dan Jumlah Peserta


Sasaran : Siswa-siswi kelas 5 SDN SUmber Pinang 02 beserta orang tua
Jumlah : 64 orang

3.3

Metode Sosialisasi
Kegiatan yang dilakukan selama sosialisasi meliputi beberapa hal, yaitu:

a. Mengisi daftar isi dan pembagian konsumsi.


b. Pembukaan
Pembukaan diawali dengan sambutan kepada ibu guru, siswa siswi dan orang tua
SDN Sumber Pinang 02 jember dan memaparkan tujuan sosialisasi.
b. Perkenalan anggota
Perkenalan anggota memaparkan identitas kepada peserta sosialisasi.
c. Presentasi mengenai sosialisasi pangan lokal
Presentasi sosialisasi dilakukan dengan cara pemaparan poster dan Power point
beserta penjelasan tentang pangan lokal, ketahanan pangan, diversifikasi pangan,
macam-macam pangan lokal beserta produk turunannya, cara pembuatan produk
turunan sukun dan makanan yang sehat untuk dikonsumsi . Pelaksanaan sosialisasi
ini juga dilakukan diskusi tentang masalah pangan yang dihadapi oleh murid
beserta orang tuanya.
d. Pendokumentasian
Pendokumentasian dilakukan pada setiap sesi acara.
e. Games
Setelah diskusi dilakukan game dengan tema pangan lokal yaitu bermain tebak
pangan lokal.

DAFTAR PUSTAKA
Angkasa, S. dan Nazaruddin. 1994. Sukun dan Keluwih. Jakarta : Penebar swadaya
Ariani, M dan Ashari. 2006. Arah, Kendala, dan Pentingnya Diversifikasi Konsumsi
Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi. Vol. 21, No. 2. Desember. Bogor:
IPB.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Buku Komoditas Pertanian dan Rencana Aksi
Ketahanan Pangan 2005-2010. Jakarta: Badan Litbang Pertanian.
Darwanto, Dwidjono H. 2005. Ketahanan Pangan Berbasis Produksi dan
Kesejahteraan Petani, Fakultas Pertanian UGM dan MMA-UGM, Yogyakarta.

Hariyadi, P. 2010. Mewujudkan Keamanan Pangan Produk-Produk Unggulan Daerah.


Jakarta: Gramedia.
Koswara, S. 2006. Sukun Sebagai Cadangan Pangan Alternatif.

Yogyakarta:

Kanisius.
Maleha dan A. Susanto. 2006. Kajian Konsep Ketahanan Pangan dalam Jurnal
Protein Vol.13.No.2.Th.2006.
Soetrisno, N. 1998. Ketahanan Pangan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi VI. Serpong 17-20 Pebruari. Jakarta : LIPI.
Suharjo,1996 Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat PAU Pangan dan Gizi. Bogor :
IPB.
Suprapti. 2007. Tepung Sukun. Yogyakarta: Kanisius.
Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 2012. 2012. Ketahanan Pangan. Jakarta: DKP.
Wahid Rauf dan Sri Lestari, 2009. Mewujudkan Keamanan Pangan Produk-Produk
Unggulan Daerah. Jakarta: Grasindo.
Widowati, S dan D.S. Damardjati. 2001. Menggali Sumberdaya Pangan Lokal dalam
Rangka Ketahanan Pangan.Majalah PANGAN No 36/X/Jan

Anda mungkin juga menyukai