Oleh : Kelompok B
Lusianti
(141710101009)
(1417101010)
(141710101039)
(141710101072)
Izzatul Qoniah
(1417101010)
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan
baik
jumlah
maupun
mutunya,
aman,
merata,
dan
Tujuan
Adapun tujuan dari dilaksanakannya sosialisasi ini antara lain:
Manfaat
Adapun manfaat dari dilaksanakannya sosialisasi ini antara lain:
1. Dapat memahami pengertian pangan lokal, ketahanan pangan, diversifikasi
2.
3.
4.
5.
Pangan Lokal
Definisi pangan lokal juga merujuk pada UU No. 18 tahun 2012 adalah
makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan
kearifan lokal. Pangan lokal merupakan produk pangan yang telah lama diproduksi,
berkembang dan dikonsumsi di suatu daerah yang umunya diolah dari bahan baku
lokal, teknologi lokal, serta pengetahuan lokal pula. Sehingga produk pangan lokal
berkaitan dengan budaya lokal, karena itu sering kali produk menggunakan nama
daerah. Contohnya: Gudeg Jogja, Dodol Garut, Jenang Kudus, Soto Betawi, Talas
Bogor dan lainnya (Undang-Undang, 2012).
Umumnya produk pangan lokal diolah dari bahan baku lokal, teknologi lokal,
dan pengetahuan lokal pula. Di samping itu, produk pangan lokal biasanya
dikembangkan sesuai dengan preferensi konsumen lokal pula. Sehingga produk
pangan lokal ini berkaitan erat dengan budaya lokal setempat. Karena itu, produk ini
sering kali menggunakan nama daerah, seperti gudek jogja, dodol garut, jenang
kudus, beras cianjur, dan sebagainya (Hariyadi, 2010). Aneka ragam pangan lokal
tersebut berpotensi sebagai bahan alternatif pengganti beras. Sebagai contoh, di
Papua ada beberapa bahan pangan lokal setempat yang telah lama dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat sebagai bahan baku pengganti beras, seperti ubi jalar, talas,
sagu, gembili, dan jawawut. Produk pangan lokal tersebut telah beradaptasi dengan
baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun temurun (Wahid Rauf dan Sri
Lestari, 2009). Selain di Papua, beberapa pangan lokal yang telah dimanfaatkan oleh
masyarakatnya sebagai bahan pengganti beras adalah jagung di Madura dan
Gorontalo.
2.2
menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu
yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan
berbasis pada keragaman sumber daya domestik. Salah satu indikator untuk
mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional
terhadap impor (Badan Litbang, 2005).
tertentu yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu ketidakstabilan jika
pasokan terganggu dan sebaliknya jika masyarakat menyukai pangan alternative
maka ketidakstabilan akan dapat dijaga.
Diversifikasi bertujuan untuk memperbaiki status gizi tidak hanya tergantung
pada konsumsi makanan, tetapi juga tergantung pada pengadaan atau penyediaan dari
pangan tersebut. Faktor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam
perencanaan program untuk meningkatkan pangan dan gizi yang lebih baik, antara
lain:
1. hasil produksi pertanian yang menentukan tingkat penyediaan pangan dan zat gizi.
2. variasi jenis makanan yang dikonsumsi terutama tergantung pada variasi dan
komposisi hasil produksi pertanian setempat.
3. perlu adanya penyuluhan untuk meningkatkan pengertian tentang kebutuhan gizi
dan adanya tindakan-tindakan yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan bagi
konsumen dalam memilik makanannya, sehingga pola konsumsi pangan dapat
terarah agar sesuai dengan persyaratan gizi (Suharjo,1996).
Menurut Ariani dan Ashari (2006), konsep diversifikasi pangan meliputi tiga
hal, yaitu diversifikasi horizontal (mengubah usaha tani berbasis padi menjadi
tanaman pangan lain), diversifikasi vertikal (pengembangan pangan pasca panen),
dan diversifikasi regional (penganekaragaman pangan dengan pendekatan wilayah).
Diversifikasi pangan tercakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan
distribusi. Dari aspek produksi, diversifikasi berarti perluasan spektrum komoditas
pangan, baik dalam hal perluasan pemanfaatan sumber daya, pengusahaan komoditas
maupun pengembangan produksi komoditas pangan. Sedangkan diversifikasi
konsumsi merupakan penganekaragaman konsumsi pangan dari masyarakat Indonesia
agar terpenuhinya gizi yang tepat dan seimbang. Pemenuhan pangan dapat diartikan
pemenuhan asupan zat-zat yang diperlukan tubuh, seperti karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, dan lain sebagainya yang kemudian dikonversi menjadi energi (Ariani dan
Ashari, 2006).
2.4
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Hamamelidae
Ordo
: Urticales
Famili
: Moraceae
Genus
: Artocarpus
Spesies
: Artocarpus altilis
di Indonesia. Bahkan dalam beberapa hal sukun tampak lebih unggul dari bahan
pangan lainnya. Dengan demikian sukun, khususnya tepung sukun mempunyai
prospek yang sangat baik sebagai bahan pangan pengganti beras. Adapun kandungan
unsur gizi buah sukun dapat dilihat pada dibawah ini.
Tabel 1. Kandungan Gizi Sukun/ 100 gram bahan
No. Unsur Gizi
1.
Energi (kal)
2.
Protein (gr)
3.
Lemak (gr)
4.
Karbohidrat (gr)
5.
Serat
6.
Abu (gr)
7.
Kalsium (mg)
8.
Fosfor (mg)
9.
Besi (mg)
10.
Vitamin B1 (mg)
11.
Vitamn B2 (mg)
12.
Vitamin C (mg)
13.
Air (%)
Sumber : Suprapti (2007).
Nilai gizi buah sukun tidak kalah dengan bahan-bahan pangan lainnya yang
sering digunakan sebagai bahan pangan pokok ataupun bahan pangan pokok alternatif
di Indonesia. Bahkan,dalam beberapa hal sukun tampak lebih unggul dari bahan
pangan lainnya. Dengan demikian sukun, khususnya tepung sukun mempunyai
prospek yang sangat baik sebagai bahan pangan pengganti beras (Koswara, 2006).
2.4.3 Produk Olahan Sukun
Sukun tergolong buah klimaterik, sehingga dapat matang dan rusak 3-4 hari
setelah dipanen. Adanya kerusakan fisik, browning dan rasa pahit menyebabkan
menurunnya mutu sehingga harganya murah. Untuk mengantisipasi hal ini perlu
dilakukan alternatif pemanfaatan buah sukun agar nilai guna dan ekonominya
meningkat (Koswara, 2006).
Pemanfaatan buah sukun sebagai bahan pangan semakin penting sejak
pemerintah melancarkan program diverisifikasi pangan. Buah sukun termasuk buah-
buahan yang mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi. Setiap 100 g
mengandung karbohidrat 28,2 g, sedangkan dalam bentuk tepung kandungan
karbohidratnya 84,03%, lebih tinggi dibanding beras giling (Suprapti, 2007). Contoh
produk olahan sukun antara lain:
a. Pasta sukun
Pasta sukun yang dimaksudkan di sini adalah sukun yang dikukus kemudian
dilumatkan atau dihancurkan dan siap untuk diolah lanjut. Pasta sukun dapat
dibuat dari sukun tua atau sukun matang. Pasta dari buah sukun tua tetapi masih
mentah dapat diolah menjadi berbagai kue basah, bubur, kue yang digoreng, dan
makanan camilan kering seperti stik sukun keju dan kue gabus sukun. Juga dapat
dibuat roti dan mi basah dengan dicampur terigu berprotein sedang-tinggi. Pasta
buah sukun matang cocok untuk pembuatan aneka kue basah, bubur, dan lainnya,
dengan aroma harum sukun matang yang kuat.
b. Mie sukun
Mie sukun dapat dibuat dari sukun kukus yang telah dihancurkan (pasta
sukun) atau dari tepung sukun yang dicampur dengan terigu. Pada pembuatan mie
diperlukan komponen gluten tinggi, yang terdapat pada terigu, sehingga pada
pembuatan mie sukun dicampur dengan terigu. Fungsi terigu adalah membentuk
struktur karena gluten bereaksi dengan karbohidrat. Bahan lain dalam pembuatan
mie adalah air, garam, soda kue dan telur.
c. Gaplek Sukun
Gaplek sukun terbuat dari buah sukun tua yang telah dikupas bersih, kemudian
dipotong-potong. Potongan buah sukun tersebut selanjutnya diiris tipis-tipis. Irisan
buah sukun kemudian dihamparkan di atas nampan untuk dijemur di bawah terik
matahari;
d. Tepung Sukun
Tepung sukun berasal dari olahan gaplek sukun. Gaplek sukun yang sudah kering
ditumbuk atau digiling dan diayak dengan ayakan halus 80 mesh. Tepung sukun dapat
berfungsi sebagai bahan substitusi tepung lainnya seperti substitusi dengan tepung
terigu, tepung beras, tapioka atau tepung lainnya. Untuk meningkatkan kandungan
gizi pada tepung sukun dapat pula ditambahkan tepung kain yang kaya kandungan
proteinnya seperti tepung kedelai, tepung kacang hijau. Kandungan protein kedelai
35,90%, kacang merah 23,1%, dan kacang hijau 22,2%.
e. Pati Sukun,
Pati sukun dibuat dari buah sukun tua yang diparut atau diblender. Untuk
melarutkan tepung dan memisahkannya dari ampas, tambahkan air ke dalam hasil
parutan sukun lalu disaring hingga seluruh pati terlarut. Selanjutnya pati mengendap
dengan lapisan air di bagian atasnya. Setelah itu air endapan dibuang dan jemur pati
di bawah terik matahari sampai kering (Suprapti, 2007).
2016 pada pukul 08.30-09.50 dan bertempat di SDN Sumber Pinang 02, Jember.
Alamat SDN Sumber Pinang 02 yaitu di Jalan Ki Hajar Dewantara No. 60, Kab.
Jember.
3.2
3.3
Metode Sosialisasi
Kegiatan yang dilakukan selama sosialisasi meliputi beberapa hal, yaitu:
DAFTAR PUSTAKA
Angkasa, S. dan Nazaruddin. 1994. Sukun dan Keluwih. Jakarta : Penebar swadaya
Ariani, M dan Ashari. 2006. Arah, Kendala, dan Pentingnya Diversifikasi Konsumsi
Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi. Vol. 21, No. 2. Desember. Bogor:
IPB.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Buku Komoditas Pertanian dan Rencana Aksi
Ketahanan Pangan 2005-2010. Jakarta: Badan Litbang Pertanian.
Darwanto, Dwidjono H. 2005. Ketahanan Pangan Berbasis Produksi dan
Kesejahteraan Petani, Fakultas Pertanian UGM dan MMA-UGM, Yogyakarta.
Yogyakarta:
Kanisius.
Maleha dan A. Susanto. 2006. Kajian Konsep Ketahanan Pangan dalam Jurnal
Protein Vol.13.No.2.Th.2006.
Soetrisno, N. 1998. Ketahanan Pangan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi VI. Serpong 17-20 Pebruari. Jakarta : LIPI.
Suharjo,1996 Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat PAU Pangan dan Gizi. Bogor :
IPB.
Suprapti. 2007. Tepung Sukun. Yogyakarta: Kanisius.
Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 2012. 2012. Ketahanan Pangan. Jakarta: DKP.
Wahid Rauf dan Sri Lestari, 2009. Mewujudkan Keamanan Pangan Produk-Produk
Unggulan Daerah. Jakarta: Grasindo.
Widowati, S dan D.S. Damardjati. 2001. Menggali Sumberdaya Pangan Lokal dalam
Rangka Ketahanan Pangan.Majalah PANGAN No 36/X/Jan