Anda di halaman 1dari 21

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a. Sejarah Desa Tana Duen

Secara harafiah, Tana berarti Tanah, sedangkan Duen berarti batas.

Jadi, Tana Duen berarti batas tanah. Menurut sesepuh wilayah Habigete, Duen

menggambarkan batasan kekuasaan dewan atau lembaga adat dan pemerintah

Habigete zaman dulu yang dalam tradisi setempat disebut Dua-Moan Watu Pitu

(Lembaga Pemerintah Adat). Bertolak dari itu, wilayah Habigete kemudian

disebut Habigete Tana Duen yang berarti wilayah yang mempunyai batas-batas

yang utuh dari zaman ke zaman, mempunyai masyarakat adat dan budaya serta

kelembagaan yang mampu menata dan mengarahkan masyarakat menuju masa

depan yang cerah dan sejahtera lahir bathin. Wilayah ini kemudian hari menjadi

Desa, yakni Desa Tana Duen.

Sejak dibentuknya hingga saat ini, Desa Tana Duen sudah dipimpin

oleh 5 (lima) orang kepala desa, termasuk Pjs, yakni:

1
Tabel 4.1

No Nama Kepala Desa Masa Jabatan (Tahun)


1. Raymundus Duminggu 1999-2001
2. Yosef Konradus 2002-2004
3. Pjs. Maria Bispanti 2005-2006
4. Magdalen Se 2007-2013
5. September 2013-Februari
Maria Bispanti
20014
6 Maria Symporasi Winansi 2014-2020
( Sumber Data: Kantor Desa Tana Duen, 2019)

b. Keadaan Geografis dan Batas Wilayah

Keadaan geografis merupakan salah satu referensi yang penting untuk

mengenal secara dekat potensi sebuah wilayah. Bagi seorang peneliti pengenalan

terhadap sebuah wilayah itu menjadi penting sebab dengan cara seperti itu

memungkinkan seorang peneliti memperoleh gambaran yang jelas tentang

karakteristik masyarakat yang akan diteliti.

Keadaan iklim Desa Tana Duen tidak jauh berbeda dengan daerah-

daerah lain yang ada di wilayah NTT yang mengalami dua kali pergantian musim

setiap tahun. Musim hujan terjadi diantara bulan Desember-Juni dan musim

kemarau dari bulan Agustus-November. Luas wilayah Desa Tana Duen adalah

407 Ha, terdiri dari 3 wilayah Dusun, yaitu Dusun Habigete, Dusun Blatat dan

Dusun Bolawolon, dengan batas-batas wilayah administratif Desa Tana Duen

sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah Selatan

berbatasan dengan Desa Teka Iku dan Desa Mekendetung, sebelah Timur

2
berbatasan dengan Desa Watumilok dan Desa Kokowahor, sebelah Barat

berbatasan dengan Desa Watuliwung.

c. Populasi Penduduk

Populasi penduduk Desa Tana Duen secara keseluruhan sebanyak 2.434

jiwa yang terdiri dari 1.173 laki-laki, dan perempuan sebanyak 1.261 jiwa.

Dengan KK sebanyak 605 KK. Penduduk Desa Tana Duen tersebar di tiga Dusun

dengan rincian dapat dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut :

Tabel 4.2
Populasi Penduduk Menurut Jenis Kelamin.

No Jenis kelamin Jumlah

1 Laki-laki 1.173 orang


1

2 Perempuan 1.261 orang

Jumlah Keseluruhan 2.434 orang

( Sumber Data: Kantor Desa Tana Duen, 2019)


Berdasarkan data pada tabel 4.2 yang menjelaskan gambaran populasi

penduduk berdasarkan jenis kelamin maka jelaslah bahwa angka pertumbuhan

penduduk berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada jumlah penduduk

berjenis kelamin laki-laki.

d. Kondisi Penduduk Berdasarkan Agama

Kehidupan masyarakat Desa Tana Duen memiliki ajaran, sistem yang

mengatur tentang tata keimanan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha

Kuasa. Berbicara tentang agama berarti tidak pernah senyap dari kehidupan dan

tidak terlepas juga dari sekian unsur-unsur kebudayaan. Agama merupakan

3
sesuatu yang sangat penting. Penduduk Desa Tana Duen secara keseluruhan

menganut agama Khatolik. Untuk memudahkan dalam pelayanan ibadat,

masyarakat Desa Tana Duen memiliki satu buah rumah ibadat (Kapela). Di sisi

lain, masyarakat Desa Tana Duen juga masih percaya kepada roh nenek moyang

atau leluhur.

e. Kondisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Desa Tana Duen pada umumnya bermata

pencaharian sebagai petani. Desa Tana Duen banyak memiliki sumber daya alam

dan memiliki tanah yang cocok yang berpotensi untuk bercocok tanam seperti

Jagung, kacang-kacangan, pisang, umbi-umbian. Selain itu juga ada sumber daya

alam hewani seperti kambing, anjing, babi, dan juga ayam. Disamping bermata

pencaharian sebagai petani, masyarakat Desa Tana Duen juga ada yang berprofesi

sebagai pedagang, montir, PNS, Penjual ikan,penjahit, pegawai Swasta dan sopir.

Pada bagian berikut, peneliti menampilkan data penduduk berdasarkan mata

pencaharian.

Tabel 4.3
               Kondisi Penduduk menurut Mata Pencaharian

NO Jenis pekerjaan Jumlah

1. Petani 800
2. PNS 28
3. Swasta 6
4. Montir 2
5. Penjahit 5
6. Penjual ikan 10
7. Tukang 16
8 Sopir 12

4
Total 879
 (Sumber Data: Kantor Desa Tana Duen, 2019)

Berdasarkan data pada tabel 4.3 yang menjelaskan gambaran kondisi

penduduk menurut mata pencaharian maka dapat disimpulkan bahwa jumlah

penduduk Desa Tana Duen paling dominan memiliki mata pencaharian utama

sebagai Petani sedangkan paling sedikit penduduk dengan profesi sebagai Montir.

f. Kondisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu faktor utama dalam menunjang keberhasilan.

Dan

Hanya dengan pendidikan seseorang dapat mengubah hidupnya menjadi lebih bai

bisa merencanakan sesuatu serta memunculkan hal baru. Disamping itu, dengan p

endidikan orang dapat memahami  sesamanya dalam   kehidupan bermasyarakat s

ehingga dengan demikian pula dapat mengangkat derajat atau status sosial dalam

masyarakat. Dengan kata lain, bahwa pendidikan juga telah menjadi kebutuhan

utama

                                      Tabel 4.4

Kondisi Penduduk Berdasarkan Tingkatan Pendidikan

TINGKATAN PENDIDIKAN Jumlah(orang)

Belum masuk TK 56 orang

Sedang TK/play group 100 orang

Sedang sekolah di SD 230 orang

Sedang Sekolah di SLTP 97 orang

5
Sedang Sekolah di SMA 78 orang

DO SD 296 orang

Tamat SD/sederajat 934 orang

DO SLTP 135 orang

DO SLTA 97 orang

Tamat SMP/sederajat 183 orang

Tamat SMA/sederajat 168 orang

Tamat S-1/sederajat 60 orang

Jumlah 2,434 orang

 ( Sumber Data: Kantor Desa Tana Duen, 2019)

Berdasarkan data pada tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa

masyarakat Desa Tana Duen lebih didominasi oleh penduduk tamatan

SD/sederajat dengan angka 934 orang.

g. Kehidupan Ekonomi

Struktur tanah di Desa Tana Duen sangat cocok untuk daerah

pertanian baik untuk jangka panjang, yaitu jambu, pohon lontar dan kelapa

maupun tanaman jangka pendek seperti jagung, kacang-kacangan dan lain-lain.

Masyarakat Desa Tana Duen  juga memiliki pola kehidupan beternak antara lain

Babi, Kambing, Anjing dan ayam. . Karena tingkat keseluruan tanah di wilayah

Desa Tana Duen cukup baik, maka hasil pertanian dan peternakan bisa dikatakan

sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

h. Bahasa

Bahasa adalah salah satu media yang digunakan untuk berkomunikasi

antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari

6
masyarakat Tana Duen menggunakan dua bahasa yaitu bahasa daerah krowe dan

bahasa Indonesia. Bahasa yang sering digunakan adalah bahasa daerah krowe.

Sementara itu, dalam beberapa kegiatan resmi atau acara penting, dan jika

bertemu dengan orang asing yang datang ke kampung untuk berkunjung biasanya

menggunakan Bahasa Indonesia.

i. Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam

kehidupan manusia. Kesehatan yang diterima dan selalu terjaga memungkinkan

orang bertahan hidup. Apabila sarana penunjang kesehatan kurang terjamin, maka

segala aktivitas masyarakat Desa Tana Duen akan terhambat. Pada tabel berikut

ini, ditampilkan data tentang sarana kesehatan di Desa Tana Duen :

Tabel 4.5
Sarana Kesehatan

No Sarana Kesehatan Jumlah

1 Puskesmas -

2 Poskesdes 1 unit

3 Posyandu/Polindes 3 unit

TOTAL 4 unit

 ( Sumber Data: Kantor Desa Tana Duen, 2019)

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dikatakan bahwa di Desa Tana

Duen terdapat 1 unit poskedes dan 3 unit posyandu/polindes. Berkaitan dengan

sarana kesehatan tersebut, tidak dapat dielak bahwa masih sangat minim

pelayanan yang berkaitan dengan kesehatan sehingga masyarakat setempat sangat

7
sulit untuk berobat apabila mengalami sakit berat karena di Desa Tana Duen tidak

ada dokter, hanya satu orang bidan saja yang menetap di Desa Tana Duen.

8
j. Struktur Organisasi Desa Tana Duen

Gambar 4.1

Stuktur Organisasi Desa Tana Duen

KEPALA DESA
BPD LKMD /
MARIA SYMPOROSA WINANSI LPM

SEKRETARIS DESA

YOHANA ALFINDA

KASIE KASIE KASIE KESEJAHTERAAN KAUR TATA USAHA KAUR PERENCANAAN KAUR KEUANGAN
PEMERINTAHAN PELAYANAN
KRISTOFORUS MARIA FERIANCE MARIA DANFILIA MELANIA E.
ANTONIUS LEDANG MARIA WILFRIDA NOVENDIS NELYA

KEPALA DUSUN HABIGETE KEPALA DUSUN BLATAT KEPALA DUSUN


BOLAWOLON
MARKUS MOA GREY FRANSESKO
PASANG BENEDIKTUS MOA

9
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Bentuk Ritual Neni Uran Masyarkat Desa Tana Duen Kecamatan Kangae Kabupaten

Sikka.

a. Tahap persiapan

Persiapan untuk menyukseskan sebuah upacara saangat penting karena kalau tidak

dipersiapkan dengan baik sesuai tata cara yang diwariskan leluhur maka akan berdampak pada

manusia yang masih hidup serta permohonannya tidak dikabulkan, panas panjang tetap

berkelanjutan yang berdampak pada tanaman di kebun akan mati dan berdampak pada kegagalan

panen.

Pada tahap persiapan biasanya Tana Puan mengundang para dua moan watu pitu untuk

melakukan musyawarah pada rumah adat. Musyawarah Dewan Dua Moan Watu Pitu dipimpin

oleh Tana Puan. Tana Puan menyampaikan sehubungan dengan iklim yang tidak menentu

seperti panas panjang. Adapun hal yang dibicarakan adalah menyangkut dengan tata cara

pelaksanaan ritual Neni Uran kapan dilaksanakan upacara Neni Uran, serta sarana dan prasana

yang perlu disiapkan seperti: babi jantan yang belum di kebiri, sirih pinang, kelapa muda, lilin,

tembakau, moke dan barang peninggalan leluhur seperti: mangkok, tempayan, piring, gayung

moke dan pantangan-pantangan bagi warga suku. (wawancara dengan bapak: Stefanus tanggal

15 agustus 2019).

Data di atas menggambarkan bahwa pada masyarakat Desa Tana Duen, masih hidup

sistim pemerintahan tradisional yang dikenal dengan Dua Moan Watu Pitu yang artinya tujuh

batu yang menopang satu batu. Dua Moan Watu Pitu terdiri dari tujuh badan yaitu: Tana Puan,

Koko Kek, Wara Wolon, Maget, Gajon, Watu Klong Dan Hoban Wewet. Ketujuh badan ini

mempunyai tugas masing-masing. Tugas dari ketujuh suku ini adalah sebagai berikut : Tana

10
Puan (tuan Tanah) adalah penghuni awal kampung, yang bertugas mengatur pengarapan tanah

pertanian,juga sebagai hakim atau ketua dalam urusan tanah, Tana Puan juga sebagai pemangku

adat yang menangani adat budaya setempat yang mengatur semua suku atau koordinir seluruh

suku, Sehubungan dengan ritual Neni Uran ini yang mempunyai tugas untuk memimpin

upacaranya adalah suku Tana Puan, adapun suku Koko Kek, yang bertugas sebagai urusan

dalam bidang peternakan, suku Wara Wolon, suku ini mempunyai tugas sebagai berikut, yaitu

mengawasi upacara kurban yaitu mengurusi religi dari warga suku sesuai dengan bakat dan

kemampuannya didalan menyelidiki hal-hal gaib. Oleh sebab itu mereka dijuluki sebagai

lembaga pertahanan dan keamanan masyarakat Desa. Berikutnya suku Maget, suku ini

mendapat tanggung jawab adat sebagai penata dan penjaga segala aturan yang sudah ditetapkan

dalam masyarakat Tana Duen. Dengan mengeluarkan perundang-undangan yang tidak tertulis

tetapi tetap diakui dan di taati oleh warganya. Berikutnya adala suku Gajon, jabatan yang

diemban oleh suku Gajon dalam urusan adat misalnya perjamuan dalam upacara berladang atau

perjamuan besar lainnya. Hoban Wewet, mempunyai kedudukan dalam masyarakat sebagai

pembawa makanan yang akan dipersembahkan atau bahan korban sesajian dalam saat upacara.

Gagasan di atas dihubungkan dengan pandangan Koentjaraningrat, tentang kebudayaan

adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang dibiasakan dengan belajar, beserta

keseluruhan dari hasil budi dan pekertinya. Nilai-nilai tradisional sebagai warisan sejarah

diperlukan dalam rangka penumbuhan identitas diri (jati diri) masyarakat lokal ketika

menghadapi berbagai tantangan jaman, baik di masa kini maupun yang akan datang. Nilai-nilai

tradisi adalah warisan sejarah yang berupa warisan nilai-nilai sosial budaya sebagai jati diri

masyarakat. (Herimanto, 2008: 25). Ada hal penting yang perlu dicerna secara mendalam, yakni

bahwa proses pewarisan nilai-nilai tradisional melalui pendidikan dalam keluarga memiliki

11
tujuan yang melatarbelakangi pewarisan nilai-nilai tradisional masyarakat semata-mata

merupakan ketaatan masyarakat terhadap amanat leluhur.

b. Upacara Inti

Ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Tana Duen adalah sebagai bukti

ketaatan masyarakat pada leluhur. Dengan demikian proses pelaksanaan harus mengikuti tata

cara yang diwariskan. Menurut KBBI (2001:959) Upacara ritual adalah sistem atau rangkaian

tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan

dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.

Bahasa ritual Neni Uran yang digunakan adalah bahasa Sikka. Neni Uran berasal dari

neni berarti minta dan uran yang berarti hujan, jadi Neni Uran merupakan upacara meminta

hujan kepada leluhur dikarenakan cuaca tidak menentu seperti panas panjang, maka warga Desa

Tana Duen melakukan upacara adat agar turun hujan oleh tua-tua adat (dua litin pitu moan leer

walu) yang diwakili oleh tujuh suku yakni Tana Pu’an, Koko Kek, Wara Wolon, Maget, Gajon,

Watu Klong Dan Hoban Wewet.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Stefanus Begu, pada tanggal 15 Agustus

2019 tentang pelaksanaan ritual Neni Uran Pada masyarakat adat Desa Tana Duen Kecamatan

Kangae Kabupaten Sikka yaitu: pelaksanaan ritual ini berlangsung pada sore hari hingga

keesokan harinya yang berlangsung dari mahe pu’an yang terletak di Kampung Habigete. Di

Kampung Habigete (mahe pu’an) ada tujuh mahe (menhir) yang mewakili tujuh suku yang ada

di Desa Tana Duen. Selain itu juga akan diturunkan piring, mangkok, tempayan dan benda-benda

lain peninggalan leluhur Desa Tana Duen sebagai sarana untuk menghubungkan warga suku

Desa Tana Duen dengan Nitu Noan. Hewan korban yang disembelih adalah babi jantan kamuk.

Hewan korban babi jantan yang belum dikebiri diletakan di hadapan mahe lalu disembelih oleh

12
Tana Puan lalu darah hewan korban di receki pada mahe-mahe pada tujuh suku. Peserta yang

hadir adalah Dua Moan Watu Pitu bersama warga suku suasana hening yang menyelimuti

peserta yang hadir. Sesudah hewan korban dan nasi di masak, hewan korban hanya diambil

hatinya lalu diberikan hati babi dan nasi kepada Tana Puan untuk meletakan sajian pada watu

mahe untuk leluhur dengan permohonan sebagai berikut:

”Nitu noan ulu higun, miu litinn gi’it ler mangan ba’a lau nitu higun pitu
Lau noan ler walu, ena tei ami deri uran bere wair marak.
Dadi ena tei, ami du’a litin pitu moan ler walu
Hapu watu piong pare mole tewok tua
Na die beli ami wair matan pitu hotak hoar beli emai
Na ba planar ebawo kape ami dunia teman, hibir blit
Nura ner; na wuan ihin ami gea dena menu tain; minu dena blatan kokon”

Terjemahan:
Wahai leluhurku, kamu telah mendahului kami pergi ke alam baka (surga)
Pada hari ini kami datang membawa persembahan kami kepadamu, Sebagai bukti
penghormatan kami kepadamu
Pada hari ini kami semua tua-tua adat datang kepadamu
Untuk meminta: berikanlah, alirkanlah dan pancurkanlah kami tujuh mata air kehidupan
Untuk menghidupkan kami umat manusia di dunia
Agar semua tanaman bisa bertunas dan berbuah
Untuk mengenyangkan perut kami yang lapar
Dan raga kami yang dahaga.
Sesudah meletakan sesajian Dua moan watu pitu bersama warga suku duduk

memngelilinggi watu mahe sambil menyanyi lagu ratapan yang di iringi dengan instrumen dari

tempurung dengan cara memukul mengikuti irama lagu ratapan sebagai berikut:

Orong ata bajo mara, o...... lenggo lea


Lea reta rotat, o.....o madlea go’on ganu koro
Koro mada lelo, o.......... oa inu wair doi
Lagu ratapan ini dinyanyikan semalam suntuk mulai dari jam 18.00 sampai jam 06.00

pagi. Dan selanjutnya Tana Puan mengelilingi mahe sampai tiga kali mulai dari kanan dan Tana

13
Puan bersama warga suku mengunjungi mahe-mahe yang ada di kampung mulai dari kampung

Habigete sampai ke Bolawolon. Dalam perjalanan Tana Puan dan warga suku menyayikan lagu

ratapan yang di pimpin langsung oleh Tana Puan.

Prosesi Neni Uran pun dilakukan oleh Tana Puan sebagai pemimpin dan diikuti oleh

warga suku Tana Duen. Ritual tersebut di mulai dari mahe Habigete, mahe kampung Nataloar,

dan Di kampung Blatat Tana Puan dan warga suku mengunjungi kuburan leluhur pengasal suku

Tana Duen, dan selanjutnya mengunjungi mahe kampung Wolon Killing, kemudian menuju

Nuba Nanga Bolawolon. dan disetiap mahe yang di kunjungi Tana Puan memberikan sesajian

(piong) setelah itu Tana Puan memecakan kelapa muda (desak wodon) dengan sorak sorai dan

Tana Puan mengatakan : Ina Lau Igun Pitu Ama Lau Noan Walu, Lau Igun Pitu Lau Noan

Walu, Ami Dapo Miu Mai Ea Wua Taa, Musung Bako, Mole Ea Tinu Lopa Moro Moing Mora

Ami,Diat Beli Ami Uran Dara Maa Tibang, Mole Beli Sai Ami Gua Uma Ihin Tua Dolo, Bihing

Belung Naha Bekar. Artinya Ibu mengandung dan Bapak pengasal yang berada disinggasana

pada tingkat yang ketujuh dan lapis yang kedelapan, kami mengundang dengan penuh horrmat

datang dan makan siri pinang, mengisap rokok serta makan nasi daging, dan minum moke,

singkirkan segala amarah leluhur, berikan kami panas dan hujan seimbang sehingga tanaman di

kebun bertumbuh subur dan menghasilkan buah dan binatang peliharaan kami berkembang biak

dengan baik.

Dalam prosesi tersebut Tana Puan bersama warga suku melanjutkan perjalanan menuju

tempat terakhir yaitu di Nuba Nanga Bolawolon untuk melakukan upacara desak wodon

(memecakan buah kelapa) dan memberikan sesajian pada Nuba Nanga dengan permohonan Neni

Uran sebagai berikut:

Nuba lau wura wawi, nanga lau laran ian

14
(terumbu karang sana berlemak seperti daging babi
Dan sedapnya seperti ikan).
Selanjutnya ada dua orang yang ditugaskan oleh Tana Puan untuk masuk pada air laut

lalu melakukan aksinya dengan melontarkan kata-kata makian kepada warga suku yang berada

di daratan, adegan ini berlangsung sampai Tana Puan memberikan isyarat berhenti. Adegan caci

maki ini dimaknai sebagai simbolis kedosaan umat manusia kepada leluhur dan Wujut

Tertinggi. Upacara ini berlangsung di pantai mulai dari batas barat Desa Tana Duen sampai batas

timur Desa.

c. Upacara penutup

Dalam setiap upacara tentunya memiliki tatanan upacaranya masing-masing begitu pun

dengan upacara Neni Uran. Selesai upacara pelaksanaan Neni Uran semua masyarakat yang

hadir dilarang masuk kebun kira-kira 3 hari lamanya sampai hujan datang.

2. Fungsi Ritual Neni Uran

a. Fungsi Religi

Ritual dilaksanakan oleh masyarakat Desa Tana Duen sebagai bukti ketaatan masyarakat

pada amanat leluhur. Dengan demikian, proses pelaksanaan adat Neni Uran mengikuti tata cara

yang diwariskan oleh leluhur. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Silfester Felix, pada

tanggal 24 Agustus 2019 tentang Fungsi ritual Neni Uran Pada masyarakat Desa Tana Duen

Kecamatan Kangae Kabupaten Sikka yaitu:

“Ritual dibuat berdasarkan keyakinan dan kebiasaan masyarakat setempat untuk meminta

hujan sebagai pememenuhan kebutuhan hidup, dengan nilai-nilai yang menghidupi masyarakat

setempat sebagai lambang atau simbol kesegaran. Di Desa Tana Duen dari dahulu kala hingga

sekarang mengalami kesulitan air karena tidak memiliki mata air, sehingga dengan keadaan yang

demikian maka masyarakat setempat melakukan upacara Neni Uran. Upacara ini dilakukan oleh

15
Nenek Moyang sejak dahulu kala dan terus dilakukan hingga sekarang oleh generasi penerus.

Tujuan dari upacara ini adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, misalnya jagung, umbi-

umbian dan kacang-kacangan”.

Kepercayaan dan ritual mempunyai hubungan yang sangat erat karena ritual merupakan

salah satu bentuk ungkapan dari kepercayaan. Melalui simbol-simbol keagamaan seperti bahasa,

gerak-gerik,nyanyian-nyayian, tari-tarian dan lain-lain. Melalui simbol-simbol itu, manusia

mengungkapkan relasinya dengan Wujud Tertinggi (Raho, 2013:13). Keyakinan akan Wujud

Tertinggi itu terlihat dalam doa-doa, nyayian-nyayian yang disampaikan oleh tetua adat pada

saat ritual minta hujan, yang bertujuan untuk meminta berkat dan perlindungan Tuhan dan

menurunkan hujan agar hasil panen melimpah dan warga Desa Tana Duen tidak mengalami

kelaparan. Gennep (Sumerta,dkk 2013:9) mengatakan bahwa ritual adalah bagian dari tingkah

laku religius yang masih aktif dan bisa diamati seperti pemujaan,nyanyian, doa-doa, tarian-tarian

karena ritual ini memiliki sifat yang sacral.

Hasil wawancara dengan Bapak Yosep Masguwandi, pada tanggal 27 Agustus 2019

tentang fungsi religi Neni Uran pada masyarakat adat Desa Tana Duen Kecamatan Kangae

Kabupaten Sikka seperti: piong wodor pada mahe (sajian pada menir), berupa siri pinang, hati

hewan korban, moke dan nasi untuk leluhur merupakan pewujudan cinta pada leluhur dan ain

deot lero wulan atau Ama Pu agar mengabulkan permohonan warga suku agar uran dara maa

tibang (hujan dan panas seimbang), sehingga tanaman akan bertumbuh subur dan memberikan

buah berlimpah.

Data di atas mengambarkan bahwa sajian yang diberikan oleh tua adat mempunyai fungsi

sebagai wujut cinta pada leluhur, leluhur dalam kepercayaan orang Tana Duen sebagai pelidung

warga suku, sehingga jika warga suku mengalami kesukaran atau kesulitan maka tumpuan

16
harapannya pada leluhur yang akan membantu warga suku, Leluhur diyakini bahwa selalu

menyertai warga suku sehingga dalam praktek budaya warga suku Desa Tana Duen jika

dimanapun mereka berada selalu mengenang akan leluhur seperti waktu makan biasanaya

sejumput nasi akan disajikan di meja makan untuk leluhur,

Durkheim (dalam Koentjaraningrat, 2005:202) mengatakan bahwa, salah satu unsur

kebudayaan yang bersifat kompleks adalah religi. Ada empat unsur pokok dari religi seperti (1)

emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan

keagamaan, (2) sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia,

alam, alam gaib, hidup, dan maut, (3) sistem upacara keagamaan yang bertujuan untuk mencari

hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan, dan (4) kelompok keagamaan

atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem

upacara-upacara keagamaannya.

Hasil wawancara dengan bapak Yosep Masguwandi tanggal 27 agustus 2019

mengatakan pemberian sesajian pada leluhur pada saat mahe-mahe dikunjungi berupa bako

wua taa, nasi daging, moke dengan permohonan kepada leluhur sebagai berikut: Ina Lau Igun

Pitu Ama Lau Noan Walu, Lau Igun Pitu Lau Noan Walu, Ami Dopo Miu Mai Ea Wua Taa,

Musung Bako, Mole Ea Tinu Lopa Moro Moing Mora Ami,Diat Beli Ami Uran Dara Maa

Tibang, Mole Beli Sai Ami Gua Uma Ihin Tua Dolo, Bihing Belung Naha Bekar. Artinya Ibu

mengandung dan bapak pengasal yang berada disinggasana pada tingkat yang ketujuh dan lapis

yang kedelapan, kami mengundang dengan penuh horrmat datang dan makan siri pinang,

mengisap rokok serta makan nasi daging, dan minum moke, singkirkan segala amarah leluhur,

berikan kami panas dan hujan seimbang sehingga tanaman di kebun bertumbuh subur dan

menghasilkan buah dan binatang peliharaan kami berkembang biak dengan baik.

17
Hasil wawancara dengan bapak Petrus Jairus, tanggal 19 agustus tahun 2019 mengatakan

bahwa dara bae rakang (panas berlebihan) oleh masyarakat Desa Tana Duen dianggap sebagai

kutukan karena ulah manusia didunia oleh karena itu maka manusia yang hidup harus

memulikan kembali dengan ain deot lero wulan dan nitu noan. Piong wodor pada watu mahe

berupa siri pinang, nasi daging dan moke kepada leluhur agar nitu noan lopa moro moing

(leluhur jangan marah) serta memberikan pengampunan kepada manusia yang masih hidup dan

dijauhkan dari segala malapetaka.

Data di atas mengambarkan bahwa leluhur yang berada disinggasana pada pada tingkat

yang ketujuh dan lapis yang kedelapan diundang untuk hadir makan hasil karya warga suku

berupa siri pinang, nasi daging, moke agar leluhur selalu berada bersama warga suku dan leluhur

jangan berpaling pada warga suku berikan berkat supaya hujan dan panas seimbang agar

memberikan hasil yang berlimpah seperti kerja kebun berhasil dan mengiris tuak serta binatang

peliharaan bekembang biak dengan baik.

Kebudayaan merupakan suatu sistem simbol dan makna (Geertz,1992:20) Lebih mendetail

Geertz mengatakan bahwa mengacu pada pola makna yang diwujudkan dalam simbol yang

diwaris secara turun temurun dan bersifat historis. Kebudayaan yang tradisional membuat

manusia melestarikan kehidupannya di lingkungan tertentu. Dalam hal ini letak fungsi-fungsi

dari kebudayaan tradisional sehingga mempunyai hak yang sama untuk dipelajari dan dihargai,

menerima nilai-nilai kebudayaan berarti menghargai masyarakat tertentu.

Hasil wawancara dengan bapak stefanus Tanggal 15 agustus 2019 mengatakan bahwa

pemberian sesajian untuk nitu noan pada watu mahe, berupa siri pinang, nasi daging dan moke

agar mendekatkan diri dengan leluhur sekaligus menaruh harapan agar amarah leluhur berobah

menjadi kedamaian. Panas yang berlebihan dipandang oleh masyarakat Desa Tana Duen sebagai

18
amarah leluhur karena ulah manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan, manusia, leluhur

dan Wujut Tertinggi.

Data di atas mengambarkan bahwa watu mahe (menhir) diyakini oleh masyarakat Desa

Tana Duen sebagai simbol pengasal leluhur dan kampung halaman leluhur (nitu natar) sehingga

sebagai bentuk penghormatan pada leluhur sajian diberikan pada watu mahe (menhir)

mengindikasikan jalinan komunikasi antara warga suku dan leluhur agar semua bentuk tingka

laku warga suku yang tidak berkenan sesuai dengan amanat leluhur didamaikan sehingga

hubungannya menjadi harmonis.

b. Fungsi Budaya

Budaya senantiasa berkembang dan memberlakukan nilai-nilai sosial budaya yang dianut

oleh warga masyarakat penghuninya atau para anggota pengikutnya. Melalui proses belajar yang

panjang dan berkesinambungan setiap manusia akan menganut suatu nilai yang diperoleh dari

lingkungannya. Nilai-nilai itu diadopsi dan kemudian diimplementasikan dalam suatu bentuk

“kebiasaan” yakni pola sikap dan perilaku hidup sehari-hari.

  Manusia dan kebudayaan terjalin hubungan yang sangat erat, karena menjadi manusia tidak

lain adalah merupakan bagian dari hasil kebudayaan itu sendiri. Makhluk budaya adalah

makhluk yang mempuyai kemampuan akal budi yang luar biasa dalam mencipta, membina, dan

mengembangkan budaya dan kebudayaanya. Itulah hakikat manusia sebagai makhluk budaya

atau makhluk berbudaya. Hampir semua tindakan manusia merupakan produk kebudayaan

(Jurahman dkk, 2014: 9).

Berdasarkan wawancara dengan Ibu Maria Getrudis, tanggal 23 agustus 2019,

mengatakan bahwa: peninggalan warisan budaya yang terdapat di Desa Tana Duen salah

satunya adalah ritual Neni Uran menunjukan adanya upaya mempertahankan berbagai tradisi dan

19
nilai-nilai kebudayaan yang ada. Nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhur dalam ritual Neni

Uran mengandung ajaran agar manusia yang hidup didunia ini naha jaga nian tana (menjaga

kelestarian lingkungan), nian tana dadi hemu loning ata bian ua tena hemu (dunia ini tercemar

karena ulah manusia).

Data di atas menggambarkan bahwa ritual Neni Uran yang dilakukan oleh masyarakat

Desa Tana Duen merupakan amanat leluhur yang harus dilakukan jika terjadi keretakan

hubungan antara manusia dengan Wujut Tertinggi dan leluhur, keretakan hubungan tersebut

seperti dalam data di atas ulah manusia yang tidak menjaga lingkungan sehingga lingkungan

menjadi tercemar sebagai hukuman dari Tuhan dan leluhur. Dengan demikian ritus Neni Uran

dilakukan untuk mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan leluhur

sehingga manusia bebas dari malapetaka.

Koentjaraningrat, (2009:144) juga mengatakan kebudayaan adalah keseluruhan sistem

gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

diri manusia dengan belajar. Eksistensi kebudayaan di dalam sebuah masyarakat menempati

posisi yang sangat urgen dan merupakan warisan sosial yang hanya dapat diwariskan dari satu

generasi ke generasi berikutnya dengan cara dipelajari. Oleh karena itu, seluruh unsur

kebudayaan bukan diturunkan secara biologis melainkan melalui proses interaksi. Dengan

demikian, kebudayaan satu daerah dapat tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh

masyarakat yang bersangkutan sebagai pemilik kebudayaan. Selain itu proses pewaris budaya

masa lampau dapat diperoleh seseorang dengan cara menyaksikan, dan mempelajari suatu

budaya. Menyaksikan berarti mengandalkan keterlibatan penuh dari individu dalam suatu

upacara, Sedangkan mempelajari berarti melibatkan keaktifan individu untuk mengkaji lebih

jauh tentang segenap budaya yang masih kabur guna menampakan suatu citra budaya yang lebih

20
jelas. Lebih lanjut Blolong, (2012:38) mengatakan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang

mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat serta kebiasaan-

kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai` anggota masyarakat.

Hasil wawancara dengan baspak Yosep Masguwandi, Tanggal 27 agustus tahun 2019

mengatakan bahwa sai ena hun tana puhun butuk, tana wuan nurak, ata bian teri ei nian tana

naha ua tena li’i litong epan ian nian tana dadi sareng, naruk ei ata dua moan nulun wi tutur

tonen nain, Dara bae rakang uran bae bukung (sejak dunia ini dijadikan manusia yang hidup

arus menjaga ubungan yang harmonis dengan lingkungan hal ini telah diajarkan oleh leluhur.

Panas dan hujan berlebihan dipandang sebagai hukuman leluhur..

Data diatas mengambarkan bahwa sejak dunia ini dijadikan diamanatkan oleh leluhur

untuk menjaga keharmonisan dengan alam dan lingkungan sekitarnya sehingga bumi dan segala

isinya akan menjadi kebanggaan Jika gejala alam menunjukan bahwa panas dan hujan tidak

seimbang yang berdampak pada kerusakan lingkungan dipahami secara budaya bahwa telah

terjadi keretakan hubungan dengan sang pencipta. Amanat leluhur jika terjadi demikian maka

secara budaya manusia segera memulihkannya dengan dilakukan ritus Neni Uran sebagai wujut

permohonan warga suku.

21

Anda mungkin juga menyukai