Anda di halaman 1dari 14

Sejarah Nama Besemah

25 Desember 2009 jam 14:12


Daerah Besemah terletak di kaki Bukit Barisan. Daerahnya meluas dari lereng-lereng
Gunung Dempo ke selatan sampai ke Ulu sungai Ogan ( Kisam ), ke barat sampai Ulu
alas ( Besemah Ulu Alas ), ke utara sampai ke Ulu Musi Besemah ( Ayik Keghuh) dan
ke arah timur sampai Bukit Pancing, Pada masa Lampik Empat Merdike Due, daerah
Besemah sudah dibagi atas Besemah Libagh, Besemah Ulu Lintang, Besemah Ulu
Manak, dan Besemah Ayik Keghuh. Meskipun nama-namanya berbeda, namun
penduduknya mempuyai hubungan atau ikatan kekerabatan yang kuat ( genealogis )
Daerah Besemah merupakan dataran tinggi dan pegunungan yang bergelombang.
Ketinggian wilayah sangat bervariasi, dari ketinggian sekitar 441 meter dpl ( diatas
permukaan laut ) sampai dengan 3.000-an meter lebih dpl. Daerah dataran tinggi 441
meter samapi dengan 1.000 meter dpl, sedangkan daerah berbukit dan bergunung
(bagian pegunungan) berada pada ketinggian di atas 1.000 meter hingga 3.000 meter
lebih dpl. Titik tertinggi adalah 3.173 meter dpl, yaitu puncak Gunung Dempo
(Bos,1947:35), yang sekaligus merupakan gunung tertinggi di Sumatera Selatan.
Daerah Gunung Dempo dengan lereng-lerengnya pada sisi timur dan tenggara
mencakup 58,19 % dari luas wilayah Kota Pagar Alam sekarang yang 633,66 hektar
(Bappeda, 2003:7-12). Bukit dan gunung yang terpenting di wilayah Kota Pagar
Alam, antara lain adalah Gunung Dempo ( 3.173 m), Gunung Patah, ( 2.817 m ),
Bukit Raje Mendare, Bukit Candi, Bukit Ambung Beras, Bukit Tungku Tige ( Tungku
Tiga ), dan Bukit Lentur. Bagian wilayah kota yang marupakan dataran tinggi,
terutama bagian timur, umumnya disebut Tengah Padang. Daerah pusat Kota Pagar
Alam yang meliputi kecamatan Pagaralam Utara dan Kecamatan Pagaralam Selatan
atau wilayah bekas Marga Sumbay Besak suku alundue terletak pada ketinggian ratarata 600 samapai 3.173 meter dpl. Daerah Besemah dialiri sejumlah sungai. Satu
diantaranya adalah sungai Besemah ( Ayik Besemah ). Pada zaman dahulu, keadaan
alamnya sangat sulit dilewati, menyebabkan daerah ini jarang didatangi oleh Sultan
Palembang atau wakil-wakilnya ( raban dan jenang ). Kondisi alam yang cukup berat
ini menyebabkan sulitnya pasukan Belanda melakukan ekspedisi-ekspedisi militer
untuk memadamkan gerakan pelawanan orang Besemah. Mengenai keadaan alam
Besemah pada permulaan abad ke-19, menurut pendatang Belanda dari karangan van
Rees tahun 1870 melukiskan. Sampai dengan tahun 1866 ada rakyat yang mendiami
perbukitan yang sulit di datangi di sebalah tenggara Bukit Barisan yang tidak pernah
menundukkan kepalanya kepada tetangga walaupun sukunya lebih besar. Walau hanya
terdiri dari beberapa suku saja, mereka menanamkan dirinya rakyat bebas merdeka.
Dari barat daya sulit ditembus oleh orang-orang Bengkulu, dari tiga sudut lain
dipagari oleh gunung-gunung yang menjulang tinggi dan ditutupi oleh hutan rimba
yang lebat dan luas di daerah pedalaman Palembang .
2.2 Asal-usul, Kepercayaan, dan Mata Pencaria
Sampai sekarang masih belum jelas dari mana sebenarnya asal-usul suku Besemah.
Apakah teori-teori tentang perpindahan penduduk yang diikuti sekarang berlaku juga
bagi suku Besemah, masih diliputi kabut rahasia. Namun yang jelas, jauh ( berabadabad ) sebelum hadirnya mitos Atung Bungsu, di Tanah Besemah, di lereng Gunung
Dempo dan daerah sekitarnya, telah ada masyarakat yang memiliki kebudayaan
( tradisi megalitik ) sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu dan bukti-bukti
budaya megalitik di Tanah Besemah itu sampai sekarang masih ada. Tetapi
permasalahannya, apakah jeme Besemah sekarang ini adalah keturunan dari

pendukung budaya megalitik tersebut ? Menurut Ahad, juraytue puyang Kedung


Gunung Samat di Rempasay bahwa sebelum kedatangan Atung Bungsu ke daerah di
sekitar Gunung Dempo, telah datang bergelombang dan berturut-turut suku-suku atau
bangsa-bangsa itu adalah jeme Kam-kam, jeme Nik dan jeme Nuk, jeme Ducung,
jeme Aking,dan jeme Rebakau, jeme Sebakas ; jeme Rejang dan jeme Berige. Pada
masa tanah di sekitar Gunung Dempo diduduki oleh jeme Rejang dan jeme Berige,
datanglah Atung Bungsu. Dari cerita orang tua (jeme- jeme tue ), secara fisik jeme
Nik dan jeme Nuk memiliki badan yang tinggi besar, hidung mancung, dan kulit putih
kemerahan. Jeme Ducung perawakan tubuknya kecil, pendek tetapi memiliki
kelincahan. Jeme Aking juga tinggi besar, kekar, kulitnya merah keputihan, dan
memiliki pendirian yang keras. Jeme Rebakau berperawakan sedang, dan jeme
Sebakas postur tubuhnya seperti orang-orang Melayu sekarang. Demikian pula jeme
Rejang dan jeme Berige tidak jauh beda dengan jeme Sebakas. Ahad mengatakan
bahwa orang Besemah sekarang diperkirakan merupakan keturunan dari berbagai
suku-suku diatas, namun keturunan yang paling dominant berasal dari puyang Atung
Bungsu.
Menurut cerita rakyat di Besemah, Atung Bungsu datang ke Besemah pada saat
tempat ini sudah di diami oleh suku Rejang dan Berige. Ia sampai berdialog dengan
salah seorang pimpinan suku Rejang yang bernama Ratu Rambut Selaku dari Lubuk
Umbay yang masing-masing merasa berhak atas Tanah Besemah. Mulai sumpah,
akhirnya Ratu Rambut Selake mengakui bahwa yang lebih berhak adalah Atung
Bungsu. Ucapan Atung Bungsu itu kira-kira sebagai berikut, Jikalau bulak, jikalau
buhung, tanah ini aku punye, binaselah anak cucungku. Sedangkan M.Zoem
Derahap, yang dijuluki Pak Gasak, dusun Negeri Kaye, Tanjung Sakti, bercerita
bahwa rakyat Lubuk Umbay yang dipimpin Ratu Rambut Selake setelah mengakui
Tanah Besemah milik Atung Bungsu mereka lalu diberi kedudukan sebagai Sumbay
dalam Jagat Besemah, tetapi tidak masuk dalam system pemerintahan Lampik Empat
Merdike Due. Sumbay mereka itu dinamakan Sumbay Lubuk Umbay. Sebagai
masyarakat Besemah percaya bahwa kedatangan Atung Bungsu itu bersama Diwe
Semidang (Puyang Serunting Sakti) dan Diwe Gumay. Diwe Gumay menetap di Bukit
Seguntang Palembang, sedangkan Diwe Semidang pada mulanya juga tinggal di
Bukit Seguntang, lalu pagi menjelajah sembilan batanghari sampai akhirnya menetap
di suatu tempat yang disebut Padang Langgar (Pelangkeniday). Keturunan kesebelas
dari Diwe Gumay, yaitu Puyang Panjang sebagai Juray Kebalik-an baru menetap
dibagian ilir Tanah Besemah, yaitu di Balai Buntar ( Lubuksempang). Selain cerita
rakyat yang tetap hidup dan berkembang di Besemah, mengenai asal- usul suku
Besemah, seorang pengelana bangsa Inggris, E.Presgrave, yang mengunjungi daerah
Besemah, memberikan cerita dalam The Journal Of The Indian Archipelago (Harian
dari Kumpulan India) sebagai berikut (Gramberg, 1867:351-352). .., sewaktu
kerajaan Majapahit runtuh, seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan
dengan banyak pengikut, telah meninggalkan Majapahit dan mendarat di Pantai Timur
Sumatera. Adik perempuannya menempatkan dirinya di Palembang, dimana ia dalam
waktu singkat telah menjadi ratu yang terpandang ; kakaknya (Atung Bungsu), yang
lebih jauh masuk ke pedalaman, menetapkan diri di Lembah dari Passumah yang
subur. Dengan demikian tanah ini diduduki dan dihuni para pendatang ini.
Mitos atau cerita mengenai Puyang Atung Bungsu terdapat beberapa versi yang
diantara lain dapat kita baca dalam Soerat Assal Oerang Mendjadikan Djagat
Passumah dengan kode ML 608 (BR.157.VIII) dan kode ML 234 yang ada di
perpustakaan Museum Nasional, Jakarta. Sumber dengan kode ML 234 ditulis oleh
Muhammad Arif dari dusun Benuakeling tanggal 28 November 1898 yang disalinnya

dari suatu kitab orang dusun Tanahpilih, Marga Sumbay Ulu Lurah Benuakeling,
yaitu Pangeran Samadil. Sumber data ini, sebelumnya disalin kembali oleh
Muhammad Tayib yang pernah magang di kantor Kontrolir dari Bandar tanggal 25
Januari 1889. Jadi, sumber ini sudah disalin beberapa kali. Sumber aslinya dalam
bentuk huruf Arab Gundul (Surat Melayu) yang kemudian ditulis dalam bentuk huruf
latin.
Adalagi sumber yang ditulis oleh A. Grozali Mengkerin, juga dari dusun Benuakeling
yang berjudul Benuakeling Puting Jagat Besemah. Selanjutnya ada lagi versi lain,
misalnya yang ditulis oleh Musa dari dusun Muara Siban, M.S. Panggarbesi, Abdullah
(Bedul) dusun Gelungsakti, dan beberapa tulisan lainnya. Cerita tentang Puyang
Atung Bungsu ini banyak dibumbui dengan cerita-cerita yang berbau mistik,
irrasional dan sulit diterima oleh akal sehat. Pada umumnya cerita tentang Atung
Bungsu ini terdapat persamaan, bahwa tokoh ini berasal dari Kerajaan Majapahit dan
dua orang anaknya, Bujang Jawe (Bergelar Puyang Diwate) dan Riye Rekian. Atung
Bungsu dan keturunannya dianggap genre yang menjadikan Jagat Besemah. Konon,
menurut cerita, kata Besemah berasal dari cerita istri Atung Bungsu yang Bernama
Putri Senantan Buwih (anak Ratu Benuakeling) yang ketika sedang mencuci beras di
sungai, bakul berasnya dimasuki ikan semah (ML, 608:5). Salah seorang keturunan
Bujang Jawe (Puyang Diwate) bernama puyang Mandulake (Mandulike) yang
berputra lima orang, yaitu (1) Puyang Sake Semenung atau Semanung (menjadikan
anak keturunan Pagargunung), (2) Puyang Sake Sepadi, melalui anaknya Singe
Bekkurung yang bertempat tinggal di dusun Benuakeling menjadikan Marga Tanjung
Ghaye, Sumbay Ulu Lurah, Sumbay Besak, Sumbay Mangku Anum, dan Sumbay
Penjalang, (3) Puyang Sake Seratus menjadikan anak keturunan Bayuran (Kisam), (4)
Puyang Sake Seketi (mati bujang, tidak ada keturunan). Puyang Singe Bekurung
mempunya anak Puyang Pedane. Puyang Pedane beranak Puyang Tanjung Lematang.
Puyang ini kemudian beranak tiga orang, yaitu Puyang Riye Lisi, Riye Ugian, dan
Riye Lasam. Puyang Riye Lisi pindah ke Kikim menjadikan anak Merge Penjalang di
Besemah Libagh, dan Puyang Riye Lasam menjadikan keturunan Sumbay Ulu Lurah.
Tentang asal-usul suku Besemah, versi lalin menceritakan bahwa ada seorang Wali
Tua dari salah satu anggota keluarga Kerajaan Majapahit berangkat ke Palembang,
kemudian kawin dengan Putri (anak) Raja Iskandar yang menjadi Raja Palembang.
Salah satu keturunan inilah yang bernama Atung Bungsu yang pada suatu ketika
berperahu menyelusuri sungai Lematang dan akhirnya sampai di sungai yang belum
diketahui namanya, tempatnya menetap dinamakan Benuakeling . Di sungai itu,
Atung Bungsu melihat banyak ikan semah yang mengerumuni bekas-bekas makanan
yang dibuang ke sungai. Atung Bungsu menceritakan kepada istrinya bahwa di sungai
banyak ikan semah-nya. Konon katanya, nama ikan inilah yang menjadi cikal-bakal
asal-usul nama Besemah yang artinya sungai yang ada ikan seah-nya. Sungai
itulah yang sampai sekarang dikenal dengan nama Ayik Besemah diantara dusung
Karanganyar dengan dusun Tebatgunung Baru sekarang. Jadi, ada beberapa versi
cerita mengenai ikan semah sebagai asal nama Besemah, di antaranya versi Atung
Bungsu dan versi Senantan Buih
VIVAnews - Palung-palung raksasa berbentuk spiral di kutub utara Planet Mars yang
menyerupai kincir raksasa itu kini tidak lagi misterius. Ilmuwan mempunyai sedikit
penjelasan tentang salah satu ciri khas Mars yang disebut Mare Boreum atau lembah
lembah raksasa. Seperti dilansir Space.com, edisi 26 Mei 2010, pembentukan
lembah-lembah raksasa spiral yang menyerupai alur tempurung hewan siput itu
terbentuk melalui proses yang sangat panjang.

Proses pembentukan lembah raksasa itu sama seperti pembentukan lembah-lembah


kecil yang biasa disebut Chasma Boreale, yang sudah ada sebelumnya di lokasi yang
sama.
Proses yang berlangsung selama jangka waktu tertentu itu diakibatkan pengaruh
matahari dan angin. Iklim di Planet Merah itu juga memungkikan pembentukan
lembah yang sebelumnya dinilai misterius itu. Proses erosi dalam waktu panjang juga
menjadi salah satu penyebab terbentuknya ngarai-ngarai raksasa.
Awalnya, peneliti menganggap lembah-lembah itu adalah fenomena geologis tua. Tapi
mereka belum dapat membuktikan dan hanya bisa mereka-reka.
Ishak Smith, ilmuwan planet di University of Texas Austin mengatakan, bahwa
selama ini pandangan peneliti itu tidak dapat dibuktikan. "Mereka ibarat judge a book
by its cover," kata Smith.
Tapi, teknologi radar membuka mata ilmuwan. Teknologi radar memungkinkan
ilmuwan untuk mengambil gambar 2 dimensi (2D). Mulai dari penampang palung dan
lapisan dalam dinding, Radar juga membantu melacak titik-titik geometri struktur
bawah tanah, untuk selanjutnya menciptakan tampilan gambar 3 dimensi.
Lembah-lembah yang curam di antara tebing-tebing itu memiliki luas sekitar 1.000
kilometer. Tebalnya mencapai sekitar 2 kilometer. Hasil penelitian radar menunjukkan
bahwa lembah-lembah curam itu terbentuk jauh sebelum munculnya palung dangkal
berbentuk spiral tadi.
Penelitian awal menyebut, lembah-lembah raksasa itu terbentuk akibat aktivitas
mencairnya gunung es dalam waktu lama. Tapi yang menjadi pertanyaan, dalam studi
penelitian radar tidak ada bukti sisa-sisa es mencair. (mt)

Sebab-sebab keruntuhan kerajaan Sriwijaya :


a.) Kebesaran Kerajaan Sriwijaya mulai surut sejak abad ke-11.
Kemunduran itu bermula dari serangan besar besaran yang dilancarkan
Kerajaan Cola (India) di bawah pimpinan RajaRajendra Coladewa pada
tahun 1017 dan tahun 1025. Perisitiwa serangan Kerajaan Cola dapat
diketahui dari prasasti Tanjore ( 1030 )
b.) Pada saat tahun 990 M Kerajaan Sriwijaya diserang oleh raja
Dharmawangsa dari P.Jawa
c.) Banyak daerah atau kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri
d.) Sriwijaya pernah diserang oleh raja Rajendra Coladewa dari
Colamandala India dua kali, yaitu tahun 1025 M dan 1030 M
e.) Adanya ekspedisi Pamalayu dari kerajaan Singasari pada tahun 1275 M
f.)
Terjadinya serangan dari kerajaan Majapahit pada tahun 1477M
g.) Pada sekitar pertengahan abad ke-14, nama Sriwijaya sudah tidak
pernah lagi disebut sebut dalam sumber sejarah apapun. Kerajaan
Sriwijaya benar benar runtuh akibat serangan Kerajaan Majapahit dari
Jawa.

KERAJAAN SRIWIJAYA DAN NILAI INTEGRITAS SOSIAL


A. Pendahuluan
Kerajaan Sriwijaya dahulu dikenal sebagai kerajaan maritime yang
kokoh. Dalam perkembangannya, kerajaan ini telah tumbuh, meluas
dan terintegrasi secara bervariasi (integrasi dalam heterogenitas).
Untuk itu, artikel ini menjelaskan tentang nilai integrasi sosial apa
yang ada pada kerajaan Sriwijaya? Apa implikasi dari nilai-nilai
integrasi sosial terhadap Indonesia?
B. Kerajaan Sriwijaya dan Nilai-nilai Integritas Sosial
Gabried Ferrand mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya berdiri sejak
392 M. opini tersebut berdasarkan sumber orang Cina yang
mengklaim bahwa Negara She-Yeh (Cho-Ye) berarti Jaya atau Wijaya
atauSriwijaya. Kemudian, I-Tsing menyebut Sriwijaya sebagai ShihLi-Fo-Shih. Dalam bahasa Arab, yang berbeda dengan sumber orang
Cina, Sriwijaya disebut sebagai Syarbazah. Kerajaan Sriwijaya
dahulu merupakan kerejaan besar di Nusantara disamping kerajaan
Majapahit dan kerajaan Mataram. Kekuatan regional kerajaan
Sriwijaya menyebar dari sebagian besar pulau Jawa dan Sumatera
hingga ke Peninsula Malaya, yang dikenal sebagai Swarnadwipa.
Kerajaan Sriwijaya dikenal oeh masyarakat dunia (Stannia, 1998: 127). Kerajaan Sriwijaya, dikenal sebagai kerejaan maritime, pusat
aktifitas perdagangan internasional, pusat aktifitas pendidikan dan
penyebaran keagamaan (Budhisme), dan sebagai pusat pertemuan
berbagai bangsa (tempat bercampur). Sebagai kerajaan maritime,
Sriwijaya memiliki pasukan yang kuat. Teknologi pembuatan
perkapalan dan navigasi yang maju, bahkan lebih daripada Cina,
seperti yang dikatakan oleh Piere Yves Manguin (Stannia, 1998:1):
Sriwijaya
menggunakan
perahu-perahu
besar
pada
rute
transportasi perdagangan di laut di Samudera Hindia dan Laut Cina
Selatan. Beratnya sekitar 250 s.d. 1.000 ton dan panjangnya 60
meter. Perahu-perahu tersebut mampu mengangkut sekitar 1.000
orang, belum termasuk barang. Sebagai pusat perdagangan,

kerajaan Sriwijaya melakukan hubungan dagang dengan Negaranegara asing, seperti Mainland, Cina (Tiongkok), Timur Tengah,
Persia, India dan Negara-negara Barat. Jacobb Cornellis of van Leur
mencatat komoditas ekspor kerajaan Sriwijaya ke Negara-negara
tersebut, contoh, ke Negara-negara Arab, seperti kayu Gaharu,
Kamper, kayu sandal, timah, gading, kayu eboni, bubuk gergaji,
bunga pala, dan kemenyan/dupa. Sedangkan, ke Cina, mengekspor
gading, air putih, kemenyan/dupa, buah-buahan, gula putih, cincin
Kristal, kaca, kamper, batu karang, baju katun, tanduk badak,
parfum, bumbu masak, dan obat-obatan (Stannia, 1998:26).
Kerajaan Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat penelitian dan
pendidikan agama. Menurut Tarmizi Taher (1997:35-40), informasi
tentang socio-sejarah dapat dilihat di dalam catatan perjalanan ITsing (seorang pengembara dan pelajar Cina yang mempelajari
masyarakat) datang ke Palembang pada 671 M setelah berlayar
selama 20 hari dari Kanton. I-Tsing tinggal di Sriwijaya selama 6
bulan untuk belajar bahasa Sansekerta sebelum meninggalkan
India. Di India, dia tinggal selama 10 tahun untuk memperoleh
pengetahuan di Nalanda, dan kembali lagi ke Sriwijaya untuk tinggal
selama
4
tahun.
Selama
di
Sriwijaya,
I-Tsing
sukses
mengalihbahasakan teks Budisme dalam bahasa Sansekerta ke
bahasa Cina. Kemudian, dia pulang untuk sementara ke Kanton, dan
kembali lagi ke Sriwijaya dengan beberapa temannya untuk menulis
kembali buku. Menurut I-Tsing Sriwijaya pada saat itu merupakan
pusat Budisme, sehingga baginya, Sriwijaya merupakan tempat
yang ideal untuk memperoleh pengetahuan sebelum memasuki
sekolah Nalanda di India. Peneliti terkenal yang bernama Fa Hsien,
seorang figur agama Budha yang mencoba untuk mengumpulkan
skrip-skrip Budhisme, pada awal dekade abad ke 5. Disamping itu,
setelah satu setengah abad, ada juga sebuah catatan peneliti
bernama Wang Ming yang melakukan penelitian terhadap Budhisme
di kerajaan Sriwijaya sekitar 675 M. Slamet Mulyana (2006:131) juga
menulis bahwa pada November, 671 M, I-Tsing meninggalkan Kanton
untuk bersama-sama dengan pelayar kea rah selatan. Setelah
hamper 20 hari berlayar, perahu sampai di pelabuhan Sriwijaya dan
tersisa 6 bulan untuk belajar Sabdavidya, struktur Sansekerta.
Kerajaan Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat pertemuan antar
bangsa. Burhannudin Dava (200:1) menyatakan tentang pertemuan
(hubungan)
antar
suku,
melalui
transaksi
perdagangan
internasional. Berlainan dengan hal tersebut, hubungan antara
Nusantara dengan Cina Daratan (Tiongkok) tidak diketahui pada
saat telah dimulainya. Sebuah informasi yang dapat dipercaya
sebelum keberadaankerajaan Majapahit dan Sriwijaya, pulau Jawa
sering dikunjungi oleh para pelayar dari berbagai asal dari Cina
(tiongkok) sejak abad dahulu. Catatan sejarah tentang pelayaran
samudera dilakukan oleh Chien Han Shue pada periode Dinasti Han
(202 SM 220 M), memberitahukan bahwa sejak abad tersebut
telah berhubungan dengan Cina Daratan (Tiongkok) dengan tujuan
investigasi, persahabatan dan perdagangan. Usman Effendy

(200:1), menyatakan bahwa sejarah pengembaraan pendeta dan


pelajar Cina, I-Tsing, yang berakhir di pelabuhan Sribusa pada 671 M
telah mencatat keberadaan orang-orang Arab dan Persia disana.
Sejarah pengembaraan Chau Ju-Kua juga memberitahukan tentang
keberadaan koloni Arab di pantai barat Sumatra, seperti di Barus
(Tapanuli tengah). Sumber dari Tiongkok sangat penting tapi ada
sebuah kesulitan dalam mengidentifikasi nama-nama seperti yang
dikenal dalam sejarah Nusantara kita. Hal ini menggambarkan
bahwa kerajaan Sriwijaya dapat dikatakan sebagai starting points
dari hubungan Nusantara dengan yang lain. Sebagai kerajaan
terbesar di Nusantara pada saat itu, Sriwijaya telah menjadi
kerajaan terkuat dalam hal pasukan dan teknologi pembuatan
perahu, pusat aktifitas perdagangan Internasional, pusat aktifitas
keagamaan, dan sebagai pusat pertemuan antar bangsa yang
bertujuan untuk membuat sebuag kerajaan yang terintegrasi.
Bahkan, telah ada komunitas Islam Cina yang merupakan startingpoints dalam menyebarkan agama Islam ke
berbagai
wilayahterpencil di Nusantara. Keberadaan komunitas Islam Cina di
Sriwijaya adalah sebuah hal yang logis. Hal ini karena Islam pada
kenyataannya bukanlah sebuah agama baru bagi masyarakat Cina
Daratan (Tiongkok). Di Cina Daratan atau CungGuo (Tiongkok),
Islam dipercaya telah menyebar sejak 1 Hijriyah (abad ke 7), dibawa
pertama kali oleh sahabat Rasullullah (Nabi Muhammad SAW) yang
bernama Saad Ibnu Lubaid. Diluar dari kesulitan mengidentifikasi
Saad, hubungan antara dunia Islam, contoh bangsa Arab dengan
Tiongkok telah secara berulang dilakukan. Selama kurang lebih 90
tahun pada periode Dinasti Ummayah, tidak kurang dari 17 duta
besar Muslim telah dating ke Tiongkok, kemudian dilanjutkan juga
oleh 18 duta besar yang didelegasikan dari pimpinan Dinasti
Abbasiyah pada periode 750-798 M. Keberadaan hubungan antara
dunia Islam dengan Cina Daratan atau Cung-Guo (Tiongkok) telah
mendorong pertumbuhan Islam, ada cukup banyak komunitas
Muslim sejak pertengahan abad ke 8 di pulau Hainan dan ZhungCiu. Di jalur pulau ada juga perluasan komunitas dan koloni Muslim
yang cukup besar di daerah Asia Tengah yang meliputi Uighurs dan
suku Hui di wilayah Xian Jiang (Turkistan Timur). Mereka sampai
sekarang merupakan komunitas Muslim terbesar di Republik Cina
(RRC), khususnya Beijing ada sekitar 300.000 muslim (Usman
Effendy, 2000:1). Total orang muslim Cina di Cina sekarang
diperkirakan antara 60 a.d. 100 juta orang, sebuah jumlah yang
melebihi penganut Kristen disana (Budisetyagraha, 200:3).
Burhanudin Daya (2001:1) menyatakan hubungan yang terjadi pada
saat itu adalah antara keluarga Wang Ming dari Dinasty Han dengan
penguasa Aceh, Huantse dan mereka yang berhenti di Jawa menjalin
persahabatan dengan penguasa Jawa, Yehtiao, pada 132 (M). Data
historis oleh Hamka disebut catatan Cina menjadi salah satu rujukan
untuk data historis yang diharapkan untuk menggali informasi
tentang Nusantara di abad dahulu. Sejumlah pengembara yang
mempunyai identitas Islam, seperti Jendral Chen Ho (Zhen He) atau

dikenal sebagai Haji Sam Po Kong yang melakukan perjalanan laut


sekitar 1405-1433 M. Zhen He oleh peneliti sementara dianggap
sebagai keturunan ke 37 dari Nabi Muhammad SAW telah
meninggalkan warisan Mushola, yang dikenal sebagai Klenteng Sam
Po Kong di daerah Gunung Batu (Semarang, Jawa Tengah,
Indonesia). Disamping Zheng He, ada juga beberapa pengembara,
pelayar, dan perkampungan Cina Islam tapi tidak beruntungnya
sejarah mereka sulit untuk dicari secara akurat. Contoh, Haji Mah
Hwang dan Haji Feh Tsin, anggota pelayar Tiongkok yang sering
bersembahyang di mesjid Semarang; Haji Boh Tak Keng dari
Cgampa; Haji Gan Eng Cu di Tuban; Jin Bun yang disebut Raden
Fatah (Demak); dan Tung Ka Lo yang dipanggil sebagai Sultan
Trenggana (Usman Effendy, 2001:1). H.J. de Graaf dan
Th.G.Th.Pigeaud dalam Bambang M. Pranowo (1998:90) dituliskan
bahwa pada saat Diniasti Ming (1386-1645 M) ada beberapa suku
Cina Islam dari Yunan yang menggunakan Mazhab Hanafi dalam
pemerintahannya. Pasukan Tiongkok di bawah kepemimpinan Haji
Sam Pobo (Cheng Ho) menguasai territorial perairan dan pantai Nan
Yang (Asia Tenggara). Pada 1407 M, pasukan Cina merebut Kukang
(Palembang) yang pada waktu itu dikuasai oleh Cina non Muslim.
Disana, mereka membentuk komunitas Cina Islam pertama di
Sambas-Kalimantan Barat, Peninsula Malaka, Jawa seperti di Ancol
(Jakarta) dan Cangki (Mojokerto). Selama masa kerajaan Sriwijaya,
diketahui juga ada komunitas Cina Islam di Bangka. M.F.S. Heidhues
(1992:178) menulis bahwa pada 1823 M di Bangka, pernah ada
sekitar 4.000 Cina Islam yang bekerja sebagai pekerja tambang
(termasuk sejumlah kecil wanitadan anak-anak). Jumlah mereka
semuanya sekitar 9.000 orang, dan dari jumlah tersebut ada sekitar
754 klan (28 diantara mereka adalah Muslim). Benar adanya bahwa
sejak pembukaan tambang timah di tahun 1709 M, ada banyak
orang Cina Daratan yang bermigrasi ke Bangka untuk bekerja
sebagai penambang timah. Karena pada umumnya mereka tidak
membawa istri-istri dan anak-anak mereka, banyak dari mereka
menikah dengan wanita pribumi dari daerah setempat yang pada
umumnya memeluk Islam.
Untuk berbagai alasan tersebut, Kerajaan Sriwijaya yang
mempunyai latar belakang kepercayaan Budhisme, memiliki Nilai
Integritas yang mana sangat berarti, yang kemudian menghormati
perbedaan agama dan budaya untuk berdampingan demi
kepentingan umum kedamaian. Kepentingan umum merupakan
yang terpenting dalam perdagangan internasional multi-latera;
pendalaman dan pendidikan keagamaan (Budhisme), langkah
utama dalam perkembangan Islam di Nusantara. Kerajaan Sriwijaya
menguasai nilai-nilai lokal nilai-nilai integritas sosial melalui
proses alamiah. Darwis Hidayat (2001:1) menyatakan bahwa dalam
perjalanan sejarah, Budhisme dari Negara terdahulunya yaitu India
sukses untuk menyebarkan ke berbagai tempat terpencil di dunia,
pada kenyataannya tidak membuat oposisi, perselisihan, ataupun
perang yang disebabkan oleh perbedaan agama, sekte, dan juga

kebudayaan. Di Nusantara, Budhisme telah mengalami sebuah


masa gemilang ketika masa Sriwijaya, Syailendra dan Majapahit.
Nilai-nilai integrasi sosial Sriwijaya mengalami perubahan drastis,
ketika bangsa Eropa mulai datang ke Nusantara pada abad ke 15.
Pada tahun 1854 M contohnya, bangsa Belanda menyatakan bahwa
bangsa pribumi merupakan kelas pekerja (inlender) setelah bangsa
Eropa sebagai kelas pertama dan bangsa timur dan (bangsa Cina,
Arab,dan India) sebagai kelas dua. Klasifikasi oleh Belanda
dipercaya sebagai penyebab utama unculnya keretakan hubungan
antara bangsa Cina dengan pribumi yang telah tebentuk sebelum
itu, bersamaan dengan keberadaan kerajaan Sriwijaya. Bentuk
tindakan diskriminasi, dikatakan oleh Bambang M. Pranowo
(1998:85-96), bangsa Belanda yang telah ada di Indonesia sejak
kira-kira 365 tahun, membuat
system sosial, politik,
hokum,pendidikan, dan ekonomi yang diskriminasi, yang kemudian
menjadi menyulitkan proses penguatan persatuan bagsa. Tujuan
bangsa Belanda dating ke Indonesia adalah untuk mengeksploitasi
bangsa pribumi melalui politik devide et impera. Sebagai akibat dari
tindakan repressive, eksploitatif dan diskriminatif oleh Belanda,
beberapa orang Cina yang dulunya memiliki hubungan baik dengan
pribumi mulai merasakan perubahan berbeda dari bangsa pribumi
karena mereka telah mendapat status sosial yang berbeda. Hal ini
sangat buruk, orang pribumi memandang orang Cina sebagai yang
memiliki status sosial yang baik, ekonomi, hokum dan politik yang
lebih baik, walaupun pada kenyataannya tidak selalu begitu. Kondisi
ini menjadi semakin jauh dengan menumbuhkan benih
kecemburuan orang pribumi terhadap orang Cina. Fakta sejarah
sosial tentang dua penguasa yang berbeda masa di Nusantara ini,
Sriwijaya dan Belanda, menunjukkan sebuah kondisi yang kontras
satu sama lain. Nilai-nilai integrasi pada masa pendudukan Belanda
pada dasarnya merupakan tindakan represif dan diskriminatif. Nilai
integrasi sosial yang dimunculkan pada masa Sriwijaya haruslah
ditunjukkan dalam usaha untuk menguatkan dalam mengembalikan
keutuhan tingkatan sosial dan keutuhan Negara Indonesia dalam 10
tahun terakhir (sejak 1998 2008) hampir mengalami fluktuasi.
C. Indonesia Sekarang
Hal ini merupakan keinginan Sang Pencipta bahwa Indonesia
ditakdirkan sebagai masyarakat yang plural. J.S. Furnival (1980:86103) menyatakan bahwa sebagai sebuah tipe masyarakat tropis
dimana mereka mengatur dan mereka dijajah untuk memiliki suku
yang berbeda. Orang Belanda sebagai sebuah kelompok minor,
jumlahnya secara progresif meningkat pada akhir abad ke 19, pada
saat yang sama sebagai penguasa terhadap mayoritas pribumi.
Secara keseluruhan, dinyatakan oleh J. Nasikun (1995:287- 02),
masyarakat Indonesia pada masa pendudukan Belanda merupakan
masyarakat yang berkembang dalam sistem kasta tanpa hubungan
religious. Orang Belanda, Cina dan Pribumi, melalui agama, budaya,
bahasa, cara berpikir, dan gaya hidup, sebagai tanda untuk tidak

memposisikan kepentingan bersama. Sebagai sebuah masyarakat


plural, bangsa Indonesia sangat sensitive untuk munculnya konflik
sosial dan ancaman disintegrasi bangsa. Henk Schulte Nordhholt
dan Hanneman Samuel (2004: 1-2) menyatakan: Setelah beberapa
decade kekuasaan pemerintahan terpusat, berusaha untuk
memperkenalkan perubahan politik dan ekonomi terlihat sebagai
malapetaka, dalam menghadapi sabotase birokrasi, kekuasaan
politik yang korup, oportunisme jangka pendek, dan ketiadaan
pembagian visi di masa mendatang. Dalam hal munculnya ledakan
pembangkangan etnik dan agama di berbagai wilayah di Nusantara,
pergerakan penentangan wilayah, ketidakmampuan untuk korupsi,
rasa pesimis cenderung mengklasifikasikan Indonesia dalam
kategori Negara yang morat-marit. Pendek kata, prediksi
selanjutnya adalah disintegrasi yang memungkinkan menuju
perpecahan bangsa.
Hal yang senada disampaikan Syafuan Rozy (2003: 121-122) bahwa
konflik social terjadi dikarenakan oleh kondisi yang buruk dalam
struktur sosial yang menyebabkanorang mudah untuk marah satu
sama lain. Franz Magnis Susesno (2003: 121) mengatakan bahwa
setidaknya ada empat factor tambahan dalam konflik sosial di
Indonesia. Pertama, konfli budaya berhubungan dengan konflik
primordialisme berdasarkan agama, ras, etnik, dan daerah. Kedua,
berhubungan dengan perasaan kebencian dan dendam yang
terakumulasi. Orang-orang dengan mudah terprovokasi oleh yang
lainnyadan mereka cenderung memposisikan sikap ekslusif
berdasarkan agama dan kelompok etnik. Ketiga, sistem politik era
yang baru memposisikan kekuatan militer yang cenderung untuk
menyelesaikan masalah dengan pendekatan yang tidak demokratis.
Pasurdi Suparlan (2003:79) juga mengatakan bahwa beberapa
masyarakat plural, Indonesia di masa mendatang menjadi sensitive
oleh konflik-konflik sosial yang tidak terukur yang mengancam
integrasi sosial. Potensi integrasi sosial dibuat dari kompetisi dari
individu dan kelompok dalam bentuk sumber sosial menggunakan
ke-etnikan untuk menguatkan kekuatan. Mempengaruhi satu sama
lain akan memanipulasi keetnikan sebagai sebuah jalan untuk
mengumpulkan kekuatan berdasarkan solidaritas dan kelompok,
kemudian
menggunakan
ke-etnikan
dalam
konflik
untuk
memperoleh kekuasaan tertentu, pada struktur kekuasaan sosial
local, seperti politik dan ke-etnikan sebagai potensi yang dapat
menghancurkan struktur sosial dan tingkat komunitas. Untuk itu,
realitas sosial kehidupan bangsa sekarang ini telah menguatkan
hubungan dengan realitas sejarah sosial sebelumnya. Analisa ini,
dari aspek pengetahuan social terlihat seperti mengarahkan kita
untuk pentingnya pengetahuan dan pemahaman tentang masalah
kebangsaan sekarang ini secara komprehensif dan mencegah dari
analisa parsial dan subjektif yang hanya akan mengaburkan
masalah substantive. Oleh karena itu, studi ini membutuhkan
keberadaan proses dialektika antara nilai-nilai local atau integrasi
nilai-nilai sosial kerajaan Sriwijaya dengan realitas sosial yang

berjalan saat ini. Walaupun, bangsa Indonesia telah mencapai


kemerdekaan sejak 63 tahun yang lalu, pada umumnya, sosial,
budaya, ekonomi, jurang politik dan pendidikan masih terjadi.
Terlebih, ada seseorang yang mengklaim bahwa jurang ekonomi dan
sosial identik dengan tindakan dominan dari orang-orang Cina
dalam bidang ekonomi. Tentu saja, pandangan dan klaim dengan
cara tersebut dapat mengaburkan penguatan integrasi social dan
integrasi bangsa. Kasus kerusuhan sosial yang berdasarkan nuansa
ke-etnikan dan agama pada Mei 1998 berhubungan dengan jurang
sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Lingkungan sosial, budaya,
ekonomi, pendidikan, dan perkembangan kebijakan politik terhadap
semua partai di masyarakat yang multikultural di Indonesia.
Dalam sepuluh tahun terakhir (1997-2007), menunjukkan intensitas
dan pelebaran konflik sosial di masyarakat benar-benar terjadi.
Konflik sosial dapat berupa horizontal dan konflik vertical. Konflik
sosisal horizontal adalah konflik yang terjadi diantara anggota
masyarakat, seperti tawuran antar kampong, etnik, dan para
pemeluk agama. Nuansa konflik ke-etnikan dan agama terjadi
seperti di Pontianak, Poso, Ketapang, Kupang, Sambas, dan AmbonMaluku. Potensi konflik memiliki nuansa kesukuan, agama, ras, dan
status sosial (SARA) tidak dapat dilihat ke dalam konsekuensi karena
seperti halnya api dalam sekam yang suatu saat dapat membara
lebih dasyat lagi. Konflik sosial yang bernuansa vertical, disebut
konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Antara konfli
horizontal dan certikal dapat dihubungkan dan dipicu satu sama
lain. Kebanyakan daerah di Indonesia memiliki separatism, dalam
dimensi konflik vertical seperti kasus di Aceh, Papua, dan Maluku,
memiliki muatan sumber daya alam. Dari indicator keberadaan
level propinsu, jumlah keseluruhan dari angka investasi asing
memiliki korelasi positif dengan potensi dengan keberadaan konflik
sosial. Permintaan kemerdekaan dari sebagian orang di propinsi
merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah dalam
perkembangan hasil manajemen sumber daya yang ada. Hal ini
merupakan sebuah ancaman disintegrasi sosial dan disintegrasi
bangsa memberikan legitimasi untuk memotivasi perjuangan
separatism. Bagaimanapun, berbagai konflik sosial dan agama di
Indonesia hampir diluar masalah idiologi keagamaan, tapi lebih
disebabkan oleh aspek-aspek lainnya, seperti ketidakadilan
distribusi hasil alam. Ketika Negara kita mengalami berbagai
masalah konflik sosial yang membahayakan untuk terciptanya
disintegrasi sosial dan bangsa, peran nilai-nilai local, nilai-nilai
integrasi kerajaan Sriwijaya sangat positif dalam membangun ulang
dan menguatkan integrasi sosial dan nasional nanti. Oleh karena itu,
tingkatan ancaman disintegrasi bangsa seperti dinyatakan oleh
sejumlah peneliti sosial diharapkan dapat diminimalisir.
Walaupun bangsa yang plural, hal ini sangat beresiko untuk
munculnya konflik sosial, hal ini tidak berarti tidak dapat
diminimalisir.Louwis A. Coser (1985:47-48), konflik merupakan
disfungsi bagi sebuah kelompok. Konflik sebagai sebuah proses

merupakanmekanisme yang dibentuk oleh kelompok-kelompok dan


batasannya. Konflik dapat menyatukan semua anggota kelompok
melalui inagurasi ulang terhadap identitas kelompok. Kemungkinan
konflik sebagai sumber dari pembuaran kelompok diejawantahkan
dalam bentuk perasaan stress, isu tentang konflik, cara untuk
bagaimana menangani stress, dan pentingnya tipe struktur dimana
bahwa konflik meluas.
D. Implikasi Taksiran Integritas Sriwijaya
Kemajuan Sriwijaya pada realitasnya paling sedikit telah ditentukan
oleh kemajuan teknologi maritime, pendidikan dan pendalaman
agama (etika/ moral), perdagangan dunia (ekonomi), dan dukungan
serta birokrasi masyarakat yang kokoh, yang dalam artikel ini
disebut sebagai nilai-nilai integrasi sosial di Sriwijaya. Implikasi
penting dari nilai-nilai integrasi Sriwijaya, disebutkan: Pertama,
sebagai kerajaan maritime yang kuat, kerajaan Sriwijaya telah
memfokuskanpada potensi samudra sebagai sumber kehidupan dan
kelangsungan kerajaan. Kebanyakan wilayah kerajaan memiliki
beckground
wilayah
perairan,
sehingga
teknologikelautan/
perkapalan menjadi prioritas utama. Wilayah perairan tidak hanya
dilihat sebagai sebuah sumber ekonomi dan transportasi tapi juga
sebagai
pertahanan
keamanan
kerajaan.
Perhatian
pada
pengembangan wilayah perairan harusnya menjadi prioritas bagi
Negara kepulauan seperti Indonesia yang riskan terhadap ancaman
keamanan wilayah, pembajakan, dan pencurian ikan, dsb.
Kedua, pengembangan pendidikan, pengetahuan, dan penelitian
pada Budhisme. Kerajaan Sriwijaya dulunya merupakan kerajaan
Budhisme memiliki ikatan emosial yang kuat dengan Tiongkok,
karena orang Cina yang datang ke Sriwijaya pada umumnya
memeluk Budhisme. Keberadaan
kerajaan Budhisme telah
mendorong I-Tsing untukmemperdalam pengetahuan agama
Budhisme melalui penelitian sebelum melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi ke Nalanda, India. Inclusifisme dan
toleransi beragama sangat terlihat jelas pada masa Sriwijaya.
Sebagai atapnya yaitu Budhisme dan yang lainnya ada komunitas
Islam Cina, yang dikembangkan oleh orang-orang Islam Cina yang
datang ke Tiongkok. Hal ini telah menunjukkan bahwa masalah
keagamaan, etika, dan moralitas menjadi elemen penting bagi
sebuah kerajaan.
Ketiga, aktifitas ekonomi dan perdagangan di kerajaan Sriwijaya
pada masa itu telah berskala Internasional. Perdagangan menjadi
prioritas utama bagi kerajaan. Hubungan kerajaan tidak hanya
dengan gugus kepulauan nusantara tapi juga dengan berbagai
Negara luar seperti Cina, Arab, dan Persia. Yang terakhir bahwa
kerajaan Sriwijaya telah mengaplikasikan wilayah otonomi yang
walaupun secara formal Sriwijaya di bawah sayap Cina daratan,
mereka masih menikmatiotonomi yang luas. Oleh karena itu, masa
ini dapat dibilang sebagai hubungan intensive antara nusantara
dengan bangsa Cina, seperti yang ditulis oleh Taher (1997:40). Tidak

ada maslah perbedaan minoritas dan mayoritas, tapi rasa saling


menghargai antar sesama membutuhkan (simbiosis mutualisme)
seperti yang dicontohkan oleh Sriwijaya dengan Cina Daratan yang
focus pada nilai-nilai demokrasi, keadilan, potensi dan pluralitas.
Aplikasi otonomi wilayah di Indonesia pada arti yang sesungguhnya
diharapkan untuk mampu mengurangi intensitas berbagai potensi
konflik sosial. Kelemahan dalam implementasi otonomi wilayah
(2001-2008) diharapkan untuk diperbaiki sebagai usaha untuk
penghargaan dan kepentingan reformasi 1998, sebagai sebuah
usaha untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Hal ini
merupakan beberapa nilai-nilai integrasi sosial yang dimiliki oleh
kerajaan Sriwijaya yang diharapkan mampu menjadi inspirasi dalam
melengkapi pengembangan Indonesia yang lebih baik nantinya.
Sumber sejarah
a.) Menurut I-tsing, agam Budha semakin berkembang ketika banyak
pendeta dari negeri Cina dan India berdatangan ke Sriwijaya. Di
Sriwijaya terdapat Pendeta Budha yang mahsyur dan telah
menjelajah lima negeri di India untuk menambah ilmunya, yaitu
SAKYAKIRTI. Dia adalah salah seorang mahaguru
b.) Buddha di Sriwijaya. Atas bantuan seorang guru besar agama
Buddha dari India yaitu Dharmapala, perguruan di Sriwijaya
mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Berikut merupakan sumber sejarah yang berasal dari luar negeri. Prasasti
tersebut menggunakan bahasa Sanskerta atau Tamil
Prasasti Ligor ditemukan di thailand
Prasasti Kanton ditemukan di Kanton
Prasasti Siwagraha
Prasasti Nalanda ditemukan di India
Piagam Leiden ditemukan di India
Prasasti Srilangka ditemukan di srilangka
Prasasti Tanjore
Piagam Grahi
SUMBER SEJARAH YANG BERASAL DARI KRONIK CHINA YAITU :
oKRONIK dari Dinasti Tang
oKRONIK dari Dinasti Sung
oKRONIK dari Dinasti Ming
oKRONIK PERJALANAN I tsing
oKRONIK CHU-FAN-CHI oleh Chau Ju-kua
oKRONIK TAO CHIN LIO oleh Wang Ta Yan
oKRONIK LING-WAI TAI-TA oleh Chou Ku Fei

oKRONIK YING-YAI SHENG-LAN oleh Ma Huan


Kerajaan Sriwijaya juga mempunyai peninggalan sejarah antara lain :
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Talang Tuo
Prasasti Telaga Batu
Candi Biaro Bahal

Anda mungkin juga menyukai