dari suatu kitab orang dusun Tanahpilih, Marga Sumbay Ulu Lurah Benuakeling,
yaitu Pangeran Samadil. Sumber data ini, sebelumnya disalin kembali oleh
Muhammad Tayib yang pernah magang di kantor Kontrolir dari Bandar tanggal 25
Januari 1889. Jadi, sumber ini sudah disalin beberapa kali. Sumber aslinya dalam
bentuk huruf Arab Gundul (Surat Melayu) yang kemudian ditulis dalam bentuk huruf
latin.
Adalagi sumber yang ditulis oleh A. Grozali Mengkerin, juga dari dusun Benuakeling
yang berjudul Benuakeling Puting Jagat Besemah. Selanjutnya ada lagi versi lain,
misalnya yang ditulis oleh Musa dari dusun Muara Siban, M.S. Panggarbesi, Abdullah
(Bedul) dusun Gelungsakti, dan beberapa tulisan lainnya. Cerita tentang Puyang
Atung Bungsu ini banyak dibumbui dengan cerita-cerita yang berbau mistik,
irrasional dan sulit diterima oleh akal sehat. Pada umumnya cerita tentang Atung
Bungsu ini terdapat persamaan, bahwa tokoh ini berasal dari Kerajaan Majapahit dan
dua orang anaknya, Bujang Jawe (Bergelar Puyang Diwate) dan Riye Rekian. Atung
Bungsu dan keturunannya dianggap genre yang menjadikan Jagat Besemah. Konon,
menurut cerita, kata Besemah berasal dari cerita istri Atung Bungsu yang Bernama
Putri Senantan Buwih (anak Ratu Benuakeling) yang ketika sedang mencuci beras di
sungai, bakul berasnya dimasuki ikan semah (ML, 608:5). Salah seorang keturunan
Bujang Jawe (Puyang Diwate) bernama puyang Mandulake (Mandulike) yang
berputra lima orang, yaitu (1) Puyang Sake Semenung atau Semanung (menjadikan
anak keturunan Pagargunung), (2) Puyang Sake Sepadi, melalui anaknya Singe
Bekkurung yang bertempat tinggal di dusun Benuakeling menjadikan Marga Tanjung
Ghaye, Sumbay Ulu Lurah, Sumbay Besak, Sumbay Mangku Anum, dan Sumbay
Penjalang, (3) Puyang Sake Seratus menjadikan anak keturunan Bayuran (Kisam), (4)
Puyang Sake Seketi (mati bujang, tidak ada keturunan). Puyang Singe Bekurung
mempunya anak Puyang Pedane. Puyang Pedane beranak Puyang Tanjung Lematang.
Puyang ini kemudian beranak tiga orang, yaitu Puyang Riye Lisi, Riye Ugian, dan
Riye Lasam. Puyang Riye Lisi pindah ke Kikim menjadikan anak Merge Penjalang di
Besemah Libagh, dan Puyang Riye Lasam menjadikan keturunan Sumbay Ulu Lurah.
Tentang asal-usul suku Besemah, versi lalin menceritakan bahwa ada seorang Wali
Tua dari salah satu anggota keluarga Kerajaan Majapahit berangkat ke Palembang,
kemudian kawin dengan Putri (anak) Raja Iskandar yang menjadi Raja Palembang.
Salah satu keturunan inilah yang bernama Atung Bungsu yang pada suatu ketika
berperahu menyelusuri sungai Lematang dan akhirnya sampai di sungai yang belum
diketahui namanya, tempatnya menetap dinamakan Benuakeling . Di sungai itu,
Atung Bungsu melihat banyak ikan semah yang mengerumuni bekas-bekas makanan
yang dibuang ke sungai. Atung Bungsu menceritakan kepada istrinya bahwa di sungai
banyak ikan semah-nya. Konon katanya, nama ikan inilah yang menjadi cikal-bakal
asal-usul nama Besemah yang artinya sungai yang ada ikan seah-nya. Sungai
itulah yang sampai sekarang dikenal dengan nama Ayik Besemah diantara dusung
Karanganyar dengan dusun Tebatgunung Baru sekarang. Jadi, ada beberapa versi
cerita mengenai ikan semah sebagai asal nama Besemah, di antaranya versi Atung
Bungsu dan versi Senantan Buih
VIVAnews - Palung-palung raksasa berbentuk spiral di kutub utara Planet Mars yang
menyerupai kincir raksasa itu kini tidak lagi misterius. Ilmuwan mempunyai sedikit
penjelasan tentang salah satu ciri khas Mars yang disebut Mare Boreum atau lembah
lembah raksasa. Seperti dilansir Space.com, edisi 26 Mei 2010, pembentukan
lembah-lembah raksasa spiral yang menyerupai alur tempurung hewan siput itu
terbentuk melalui proses yang sangat panjang.
kerajaan Sriwijaya melakukan hubungan dagang dengan Negaranegara asing, seperti Mainland, Cina (Tiongkok), Timur Tengah,
Persia, India dan Negara-negara Barat. Jacobb Cornellis of van Leur
mencatat komoditas ekspor kerajaan Sriwijaya ke Negara-negara
tersebut, contoh, ke Negara-negara Arab, seperti kayu Gaharu,
Kamper, kayu sandal, timah, gading, kayu eboni, bubuk gergaji,
bunga pala, dan kemenyan/dupa. Sedangkan, ke Cina, mengekspor
gading, air putih, kemenyan/dupa, buah-buahan, gula putih, cincin
Kristal, kaca, kamper, batu karang, baju katun, tanduk badak,
parfum, bumbu masak, dan obat-obatan (Stannia, 1998:26).
Kerajaan Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat penelitian dan
pendidikan agama. Menurut Tarmizi Taher (1997:35-40), informasi
tentang socio-sejarah dapat dilihat di dalam catatan perjalanan ITsing (seorang pengembara dan pelajar Cina yang mempelajari
masyarakat) datang ke Palembang pada 671 M setelah berlayar
selama 20 hari dari Kanton. I-Tsing tinggal di Sriwijaya selama 6
bulan untuk belajar bahasa Sansekerta sebelum meninggalkan
India. Di India, dia tinggal selama 10 tahun untuk memperoleh
pengetahuan di Nalanda, dan kembali lagi ke Sriwijaya untuk tinggal
selama
4
tahun.
Selama
di
Sriwijaya,
I-Tsing
sukses
mengalihbahasakan teks Budisme dalam bahasa Sansekerta ke
bahasa Cina. Kemudian, dia pulang untuk sementara ke Kanton, dan
kembali lagi ke Sriwijaya dengan beberapa temannya untuk menulis
kembali buku. Menurut I-Tsing Sriwijaya pada saat itu merupakan
pusat Budisme, sehingga baginya, Sriwijaya merupakan tempat
yang ideal untuk memperoleh pengetahuan sebelum memasuki
sekolah Nalanda di India. Peneliti terkenal yang bernama Fa Hsien,
seorang figur agama Budha yang mencoba untuk mengumpulkan
skrip-skrip Budhisme, pada awal dekade abad ke 5. Disamping itu,
setelah satu setengah abad, ada juga sebuah catatan peneliti
bernama Wang Ming yang melakukan penelitian terhadap Budhisme
di kerajaan Sriwijaya sekitar 675 M. Slamet Mulyana (2006:131) juga
menulis bahwa pada November, 671 M, I-Tsing meninggalkan Kanton
untuk bersama-sama dengan pelayar kea rah selatan. Setelah
hamper 20 hari berlayar, perahu sampai di pelabuhan Sriwijaya dan
tersisa 6 bulan untuk belajar Sabdavidya, struktur Sansekerta.
Kerajaan Sriwijaya juga dikenal sebagai pusat pertemuan antar
bangsa. Burhannudin Dava (200:1) menyatakan tentang pertemuan
(hubungan)
antar
suku,
melalui
transaksi
perdagangan
internasional. Berlainan dengan hal tersebut, hubungan antara
Nusantara dengan Cina Daratan (Tiongkok) tidak diketahui pada
saat telah dimulainya. Sebuah informasi yang dapat dipercaya
sebelum keberadaankerajaan Majapahit dan Sriwijaya, pulau Jawa
sering dikunjungi oleh para pelayar dari berbagai asal dari Cina
(tiongkok) sejak abad dahulu. Catatan sejarah tentang pelayaran
samudera dilakukan oleh Chien Han Shue pada periode Dinasti Han
(202 SM 220 M), memberitahukan bahwa sejak abad tersebut
telah berhubungan dengan Cina Daratan (Tiongkok) dengan tujuan
investigasi, persahabatan dan perdagangan. Usman Effendy