Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini akan memaparkan pendahuluan penelitian. Adapun di dalamnya

terdapat enam kategori pendahuluan, seperti latar belakang penelitian, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, dan metodologi

penelitian.

1.1 Latar Belakang Penelitian

Manusia pada hakikatnya tidak dapat mengandalkan dirinya sendiri

untuk bertahan hidup. Dengan berbagai bentuk kehidupan di dunia, manusia

membutuhkan manusia lain untuk memperjuangkan keberlangsungan hidup

mereka sendiri. Manusia-manusia lain dengan berbagai perbedaan kehidupan

yang melatar belakanginya. Lebih dari pada itu, lingkungan dimana manusia

itu berada menjadi salah satu faktor penting dalam keberlangsungan hidup.

Adanya keterkaitan terhadap adanya keberlangsungan hidup ialah ketika

manusia harus dapat memposisikan diri mereka pada lingkungan sekitar

tempatnya berada. Seperti pada pernyataan Cassirer (1987: 6), bahwa:

“Demi seluruh kebutuhan langsung dan kepentingan-


kepentingan praktis, manusia tergantung pada
lingkungan fisiknya. Ia tidak dapat hidup jika tidak
menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi dunia
sekitarnya.”

1
Apapun pergerakan yang terjadi di lingkungan tersebut, langsung atau

tidak langsung akan berpengaruh terhadap manusia, ataupun masyarakat itu

sendiri dengan berbagai perbedaan kehidupan yang melatarbelakanginya.

Pemposisian atau penyesuaian tersebut tidak hanya bertujuan agar tidak

terhambatnya proses manusia dalam keberlangsungan hidup, akan tetapi ada

nilai tertentu yang harus dicapai ketika nilai tersebut berubah menjadi

berguna atau tidak berguna manusia itu sendiri terhadap lingkungannya. “…

berarti ia tak mampu lagi bersambung rasa dengan masyarakat, terlebih

bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengatasinya.” (Stott, 1994: 80)

Lingkungan dan masyarakat menjadi faktor penting terciptanya

kebudayaan ketika pada faktanya kebudayaan selalu berkembang dan bersifat

dinamis layaknya bahasa. Sudah sepatutnya sebagai masyarakat yang berbudi

luhur dan menjunjung tinggi nasionalisme, menghargai warisan-warisan

leluhur dan sejarah kebudayaan bangsa bahkan dunia.

Dalam hal lain, lingkungan dan masyarakat akan mampu menghasilkan

kebudayaan ketika bahasa muncul sebagai satu pertalian komunikasi. Bahasa

merupakan alat komunikasi manusia dalam kehidupan yang tak terhindarkan,

baik dalam bentuk lisan, tulisan, maupun gerak tubuh. Seperti pada

pernyataan Kridalaksana (2008: 24) bahasa merupakan sistem lambang bunyi

yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama,

beriteraksi, dan mengidentifikasi diri. Untuk itu tidak akan ada budaya bila

tidak ada bahasa di dalamnya sebagai satu kesatuan.

2
Leksikal dalam bahasa sangat penting dalam memaknai leksem secara

keseluruhan dan pada akhirnya leksem tersebut terhubung pada aspek

kognitivisme manusia yang berbeda. Sejalan dengan pernyataan Evans &

Green (2006: 170) bahasa tidak hanya memungkinkan terjadinya suatu

komunikasi, akan tetapi mencerminkan pola-pola dari alam konseptual

manusia. Semantik kognitif hadir sebagai salah satu cabang dari linguistik

kognitif yang memiliki fokus utama terhadap struktur konseptual dan proses

konseptualisasi.

Berdasarkan hal tersebut, penulis mencobaa menganalisis peribahasa

dalam kajian Etnolinguistik. Bagaimana peribahasa dalam hal ini dimaknai

sebagai sebuah kearifan budaya lokal daerah yang merupakan titik poros yang

berperan penting bagi masyarakat khususnya daerah Cirebon dalam

penerapan kegiatan sehari-hari mereka berbudaya..

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,

penulis berusaha mengidentifikasi masalah yang ditemukan dalam

pembahasan makalah ini sebagai berikut:

1. Leksikal apa saja yang muncul dalam peribahasa Cirebon?

2. Nilai apa yang terkandung dalam peribahasa Cirebon?

3. Penerapan makna peribahasa apa yang terdapat pada kegiatan

berbudaya masyarakat Cirebon?

3
1.3 Tujuan Penelitian

Terdapat beberapa tujuan masalah yang dapat penulis paparkan, seperti:

1. Untuk mengidentifikasi leksikal apa saya yang muncul dalam

peribahasa Cirebon.

2. Untuk mendeskripsikan nilai apa yang terkandung dalam peribahasa

Cirebon.

3. Untuk menganalisis penerapan makna peribahasa apa yang terdapat

pada kegiatan berbudaya masyarakat Cirebon.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penulis bertujuan untuk memberikan hasil analisis

terhadap teori-teori yang ada pada kajian Etnolinguistik serta pada

penggunaan peribahasa Jawa Cirebon.

Secara praktis, penulis memberikan sebuah gambaran umum terhadap

peribahasa sebagai sebuah hasil kebudayaan daerah dan gambaran umum

terhadap penggunaan leksikal bahasa yang sedikit berbeda pada masyarakat

Jawa dan jauh berbeda pada masyarakat Jawa Barat, serta penerapan

peribahasa pada kegiatan berbudaya masyarakat Cirebon.

1.5 Metodologi Penelitian

Dalam metodologi penelitian, peneliti menggunakan metode analisis

deskriptif. Sebagaimana telah dipaparkan Gay (1987: 28), “A descriptive

method is a method of research or to answer questions concerning the

4
current status of the study of the object. The descriptive study determines and

reports the way thing share”. Metode deskriptif ini akan menjawab semua

pertanyaan berkenaan dengan status objek penelitian yang mana dapat

menentukan dan melaporkan berbagai ruang atau jalan tentang suatu hal.

1.5.1 Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data, penulis menggunakan analisis

dokumen atau analisis konten. Menurut Kothari (1990: 110), “content-

analysis consists of analyzing the contents of documentary materials such

as books, magazines, newspapers and the contents of all other verbal

materials which can be either spoken or printed.”. Analisis dokumen dan

analisis konten dapat menganalisis beberapa sumber data, seperti buku,

majalah, koran, dan seluruh hal selain bentuk verbal ataupun bentuk

cetak.

Berbagai teknik pengumpulan data antara lain:

1. Penulis mengumpulkan sumber data.

2. Penulis membaca sumber.

3. Penulis menandai data yang dibutuhkan.

4. Penulis mengklasifikasi data yang terpilih.

5
1.5.2 Teknik Analisis Data

Berdasarkan Miles & Huberman (1994: 40), terdapat tiga analisis

data yang berjalan, seperti reduksi data (data reduction), display data

(data display), dan pembuktian data (conclusion drawing or verification).

a. Reduksi Data

Penulis akan memilih dan memfokuskan data yang diperoleh

sebelumnya pada sumber data, seperti membaca dan

mengidentifikasi.

b. Display Data

Data akan lebih difokuskan kedalam bentuk klasifikasi relasi leksikal.

c. Pembuktian Data

Pada tahapan akhir ini, data akan dianalisis, diinterpretasi dan

kemudian dijelaskan hasil temuan penulis terhadap penelitian

tersebut.

1.6 Sumber Data

Penulis mengambil buku materi pendamping dan pelatihan Sekolah

Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsnawiyah (MTs) sebagai sumber

data penelitian. Buku pendamping dan pelatihan ini berjudul Basa Ian Sastra

Cerbon Dermayu yang diperuntukkan untuk siswa kelas VII sebagai

pembaruan kurikulum baru yakni Kurtilas (Kurikulum 2013).

6
BAB II

KERANGKA TEORI

Bab ini akan memaparkan kerangka teori penelitian. Terdapat teori dasar dan

teori-teori pendukung penelitian, seperti pengantar peribahasa, bentuk dan ciri

peribahasa, dan Semantik Kognitif .

2.1 Pengantar Peribahasa

Setiap manusia di dalam kehidupannya di dunia tidak akan pernah lepas

dengan ruang lingkup bahasa dan budaya. Tidak ada bahasa sudah pasti tidak

akan ada pula budaya. Bahasa dan budaya telah muncul beratus-ratus abad

lalu sejak manusia pertama lahir ke dunia dan mencoba berkomunukasi

dengan sesamanya. Peribahasa merupakan salah satu bentuk hasil karya

manusia berdasarkan perpaduan bahasa dan budaya dalam kehidupan.

Pribahasa menurut Sugono (2008: 1160) merupakan ungkapan atau kalimat

ringkas, padat dan berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup,

atau aturan tingkah laku.

Perkembangan pribahasa di daerah Cirebon sendiri diperkirakan muncul

pada abad ke-15 sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka pada

tahun 1945. Kebudayaan ini dilatarbelakangi pula oleh sejarah yang dimiliki

Cirebon sendiri sebagai salah satu daerah yang melepaskan diri dari kerajaan

yang di bawahi oleh kerajaan Padjadjaran sebagai kerajaan sunda terbesar

pada saat itu. Ini menjadi faktor mengapa bahasa Cirebon berbeda dengan

bahasa Jawa pada umumnya dan sangat berbeda dengan bahasa Jawa Barat.

7
Masyarakat Cirebon bukan merupakan satu kesatuan, akan tetapi lebih

menunjukkan suatu keanekaragaman (Dahuri, 2004: 105).

Pribasa dikenal sebagai peribahasa oleh masyarakat Cirebon.

Perkembangan pribasa diiringi pula oleh perkembangan bahasa Cirebon

sebagai salah satu dialek bahasa Jawa. Perkembangan tersebut menghasilkan

pribasa sebagai sastra lisan atau sastra guneman dalam bahasa Cirebon.

Seperti pernyataan Rahardjo (2005: 9-11) penyebaran secara lisan disebarkan

memlalui tutur dari mulut ke mulut atau dengan contoh yang disertai dengan

perbuatan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Kemuculan dan perkembangan pribasa secara umum diperkirakan

bersamaan dengan kemunculan sastra-sastra lainnya seperti panyandra,

pranesan, rinengga, sanepa, wangsalan, dan parikan. Perkiraan periode sastra

Cirebon terdiri dari periode Cirebon kuno; zaman perkembangan Hindhu di

Jawa khususnya Jawa Barat seperti gugon tuwon, kidung, jawokan dan

kakawen. Periode Cirebon tengahan; zaman perkembangan Islam di Jawa

Barat seperti sasmita, macapat, sesumbar, perlambang, sandi sastra, dan

ukara. Pridode Cirebon baru seperti penyandra, rinenggan, pribasa, parikan,

sanepa, prenesan, dan wangsalan. Kemudian yang terakhir ialah periode

Cirebon modern; wacana tembang dan geguritan.

8
2.2 Bentuk dan Ciri Peribahasa

Menurut Pulungan dalam Padmo (1953: 40) peribahasa merupakan

tuturan tradisional yang bersifat tetap pada pemakainya dan mengandung

makna kias serta tidak mengandung makna simile. Peribahasa dapat berupa:

(1) satuan frasa,

(2) satuan kalimat, dan

(3) satuan klausa.

Kemudian peribahasa yang berupa satuan kalimat dapat diklasifikasikan

menjadi enam jenis seperti kalimat tunggal, kalimat majemuk koordinatif,

kalimat majemuk subordinatif, kalimat impresif positif, dan kalimat imperatif

negatif.

2.3 Semantik Kognitif

Bahasa tidak hanya memungkinkan terjadinya komunikasi, akan tetapi

mencerminkan pula pola-pola dari alam konseptual manusia dan konsep

manusia ini yang terwujud dalam bahasa. Menurut Gardenfors (2013: 21)

mengenai prinsip Semantik Kognitif:

(1) Makna merupakan konseptualisasi yang terjadi dalam kognisi.

Semantik dalam suatu bahasa adalah pengkategorisasian unsur-unsur

bahasa dalam bentuk satuan-satuan mental. Makna ada lebih dahulu

daripada acuan di luar bahasa.

(2) Makna bergantung pada persepsi. Oleh karena itu, makna ditentukan

oleh persepsi. Hipotesa utama dari Semantik Kognitif adalah

9
persepsi manusia di dalam pikirannya mempunyai bentuk yang sama

dengan makna kata.

(3) Dasar dari skema konseptual adalah ruang dan benda-benda yang

berkaitan dengan geometri. Konsep ruang terdiri atas berbagai jenis

dimensi seperti atas-bawah, depan-belakang, luar-dalam, warna,

suhu, dan berat. Dimensi-dimensi tersebut diasumsikan memiliki

struktur metrik seperti waktu dan berat merupakan struktur satu

dimensi yang sama dengan struktur linear nomor.

10
BAB III

ANALISIS DATA

Bab ini akan memaparkan analisis bagian-bagian sumber data ke dalam

beberapa jenis metonimia. Pada teknik pengumpulan data, seperti mengumpulkan,

membaca, menandai, dan mengklasifikasi data. Sedangan pada teknik analisis

data, seperti reduksi data, display data, dan pembuktian data.

3.1 Analisis

Berdasarkan rumusan masalah dan identifikasi masalah, analisis terbagi

menjedi tiga sub bab. Sub bab tersebut diantara lain:

3.1.1 Kemunculan leksikal peribahasa

Penyaringan data berikut berdasarkan sumber data bahasa Jawa

Dermayu secara khusus. Seperti diantaranya:

No. Leksikal Arti


1. Larang adj: mahal
2. Dadi konj: jadi
3. Barang n: benda
4. murah adj: murah
5. runtah n: sampah
6. Ala adj: buruk
7. Ketara v: kelihatan
8. becik adj: baik
9. ketitik v: terbayang
10. gusti n: tuhan
11. Ora n: tidak

11
12. Turu v: tidur
13. Aja v: jangan
14. dumeh adj: sombong/belagu
15. ndodok v: duduk
16. ning prep: di
17. lawang n: pintu
18. kone ket: nanti
19. wong n: orang
20. nari v: joget
21. balik ket: kembali
22. maning ket: lagi
23. amba n: lebar
24. Lega n: luas
25. tapihe n: kain
26. sarunge n: sarung
27. Ana ket: ada
28. rega n: harga
29. rupa n: penampilan
30. bening adj: bening/bersih
31. banyune n: air
32. kena adj: kena
33. iwake n: ikan
34. canting n: gayung
35. Jail adj: sendiri
36. kebo n: kerbau
37. Nyusu v: menyusui
38. Gudhel n: anak
39. rumasa v: merasa
40. Bias adj: bisa
41. nanging prep: tetapi

12
3.1.2 Nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa Cirebon

Berdasarkan data yang diambil penulis mendapati sepuluh buah

pribahasa Cirebon. Peribahasa sebagaimana berikut:

No. Peribahasa Nilai-nilai

1. “Bening banyune kena Kedewasaan dan Kebijaksanaan


iwake.”

“Aja ndodok ning lawang,


2. Kesopanan dan Kesantunan
kone ana wong nari balik
maning.”

3. Keikhlasan
“Canting jali.”

4. Kepantasan
“Kebo nyusu gudhel.”

5. Kejujuran
“Ana rega ana rupa.”

6. Kesabaran dan Pantang Menyerah


“Gusti ora turu.”

7. “Larang dadi barang, murah Kejujuran


dadi runtah.”

8. Kebenaran dan Kejujuran


“Ala ketara becik ketitik.”

9. Kerendahan diri
“Aja dumeh.”

10. “Aja rumasa bisa, nanging Kerendahan diri


bisa rumasa.”

13
3.1.3 Penerapan makna peribahasa Cirebon

Dalam hal penerapan makna peribahasa Cirebon dijelaskan seperti

pada pemaparan di bawah ini:

a. “Bening banyune kena iwake.”

Peribahasa bening banyune kena iwake bila diartikan ke dalam

bahasa Indonesia berarti ‘bening/bersih airnya dapat ikannya’. Ikan

pada dasarnya hidup di air, akan tetapi air yang bening tersebut

belum tentu bersih dari dasar lumpur ataupun pasir air tersebut.

Dalam kebudayaan Cirebon, peribahasa ini dapat digambarkan

dalam sebuah keuarga yang sedang dilanda pertengkaran, akan

tetapi dalam hal ini masalah dapat terselesaikan dengan baik-baik.

Bila dikaitkan kembali pada istilah air ikan yang jernih bahwa pada

saat manusia mengambil atau mendapatkan sebuah masalah yang

digambarkan layaknya ikan dalam sebuah wadah, kali, sungai,

sawah, dan sebagainya, tidak didapati air yang kotor sesudahnya.

b. “Aja ndodok ning lawang, kone ana wong nari balik

maning.”

Peribahasa Aja ndodok ning lawang, kone ana wong nari balik

maning diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti ‘jangan duduk

di pintu, nanti ada orang menari balik lagi’. Pintu merupakan salah

satu bagian dari bangunan rumah yang berfungsi sebagai jalur

keluar masuk penghuni rumah. Pada logikanya jikalau ada

14
sesorang yang duduk di pintu secara otomatis akan menghalangi

seseorang untuk masuk ataupun keluar rumah tersebut. Bila

dikaitkan dengan peribahasa secara keseluruhan bahwa jangan

duduk di pintu dikarenakan akan mengurungkan niat seseorang

untuk mampir ke dalam rumah penghuni tersebut. Adapun yang

mengatakan bahwa akan menghalangi jodoh dan rezeki penghuni

rumah.

c. “Canting jali.”

Peribahasa canting jali bila diartikan ke dalam bahasa

Indonesia merupakan ‘gayung sendiri’, akan tetapi dalam

kebudayaan Cirebon kata ataupun leksikal “jali” berarti sebuah

biji yang ukurannya kecil. Peribahasa ini menerangkan bahwa

ukuran biji yang kecil pada faktanya tidak lebih kecil ukurannya

dibandingkan dengan gayung. Mau digayung seberapa besar pun

ya dapatnya segitu-gitu aja. Hanya setetes dua tetes saja. Dalam

kehidupan nyata manusia mau seberapa besar usaha kita dalam

mendapatkan sesuatu, hanya takdir Tuhan lah yang dapat

berbicara.

d. “Kebo nyusu gudhel.”

Peribahasa kebo nyusu gudhel bila diartikan ke dalam bahasa

Indonesia berarti ‘kerbau menyusui anaknya’. Bila diartikan secara

15
harfiah baik ke dalam bahasa Indonesia maupun ke dalam bahasa

Indonesia sangatlah tidak lazim. Bukan kerbau sabagai induknya

yang menyusui anaknya, akan tetapi seharusnya anaknya yang

menyusui induknya. Dalam kebudayaan Cirebon peribahasa ini

dapat dimaknai sebagai seorang yang diberikan kekuasaan dengan

harta yang begitu melimpah, akan tetapi masih saja mengambil

keuntungan kepada seseorang yang tidak memiliki harta melimpah.

Ini dapat dikaitkan dengan harta hasil korupsi pejabat-pejabat

pemerintah yang berasal dari dari uang-uang rakyat.

e. “Ana rega ana rupa.”

Peribahasa ana rega ana rupa bila diartikan ke dalam bahasa

Indonesia berarti ‘ada harga ada rupa’. Kata ataupun leksikal

“rupa” dapat diartikan sebagai penampilan barang ataupun

gambaran bentuk barang seacara fisik. Peribahasa ini berkaitan

dengan perniagaan maupun dalam berkehidupan secara umum,

yakni berupa mutu atau kualitas barang. Harga tidak akan

membohongi kualitas barang yang didagangkan. Dalam hal lain

dapat diibaratkan dengan seseorang yang memiliki keahlian

terampil akan menghasilkan produk yang baik pula, begitupun

sebaliknya. Berkaitan dengan kehidupan, bagi mereka yang hidup

dengan disiplin dunia akhirat pada akhirnya akan mendapatkan

hasil yang sebanding dengan usahanya.

16
f. “Gusti ora turu.”

Peribahasa gusti ora turu bila diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia berarti ‘Tuhan tidak tidur’. Dalam Islam Tuhan berbeda

dengan mahkluk yang ia ciptakan. Tidak beranak dan tidak juga

diperanakan begitu juga tentang sifat-sifat manusia. Segala apa

yang manusia lakukan sebagai mahkluk ciptaan Tuhan dapat

dilihat dan diketahui oleh-Nya. Tidak terkecuali orang yang

berpangkat tinggi atau memiliki jabatan bagus. Dalam

berkehidupan kita sebagai manusia harus menyadari bahwa segala

apa yang kita lakukan di dunia ini akan terlihat oleh Tuhan baik

perbuatan baik maupun perbuatan buruk, tanpa terkecuali.

g. “Larang dadi barang, murah dadi runtah.”

Peribahasa larang dadi barang, murah dadi runtah bila

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti ‘mahal jadi

sesuatu, murah jadi tidak berguna’. Peribahasa ini sama dengan

peribahasa sebelumnya ana rega ana rupa. Segala sesuatu akan

terlihat jelas seperti pada contoh barang. Harga yang mahal akan

terlihat pula kualitas atau mutu barangnya, akan tetapi harga yang

murah akan mencerminkan barang yang kurang berkualitas.

Seperti contoh membeli produk handphone. Akan lebih mahal

membeli produk handphone bermerek Sony dibandingkan dengan

17
handphone bermerek Cross. Ini dikarenakan Sony merupakan

produk Jepang yang memiliki standarisasi tinggi dalam produksi

serta adanya berbagai service center di seluruh Indonesia

khususnya. Ini berbeda dengan produk Cross yang berasal dari

Negara China.

h. “Ala ketara becik ketitik.”

Peribahasa ala ketara becik ketitik bila diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia ‘buruk yang tampak, baik akan kelihatan’.

Dalam berkehidupan peribahasa ini memang sangat sering hadir

sebagai perumpamaan seseorang yang memiliki kesalahan.

Kemudian kesalahan tersebut disembunyikan dalam-dalam

dengan tujan agar tidak diketahui oleh orang banyak. Kesalahan

yang merupakan rahasia besar perihal kebenaran. Akan tetapi

pada akhirnya kesalah tersebut akan terbongkar dan diketahui

siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini merupakan salah satu

pesan untuk kita agar selalu berhati-hati dalam berperilaku dan

bertindak.

i. “Aja dumeh.”

Peribahasa aja dumeh bila diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia berarti ‘jangan sombong/belagu’. Peribahasa ini sering

muncul dalam peribahasa Jawa secara umum, yakni ojo dumeh.

18
Hanya terdapat perbedaan pada huruf vokal (a) dan (o).

Berdasarkan kebudayaan Cirebon, seseorang yang angkuh atau

sombong pada akhirnya akan menerima balasannya baik di dunia

maupun di akhirat. Hidup harus sederhana dengan mensyukuri apa

yang telah Tuhan berikan pada kita. Tidak ada perbadaan ras,

budaya, golongan, harta, dan sebagainya.

j. “Aja rumasa bisa, nanging bisa rumasa.”

Peribahasa aja rumasa bisa, nanging bisa rumasa bila

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti ‘jangan merasa

bisa, tetapi bisa dirasa’. Kebudayaan Cirebon pada peribahasa ini

sangat kental dengan kehidupan manusia. Ada pepatah mengatakan

tong kosong nyaring bunyinya, otak kosong banyak omongnya ini

memberikan artian yang serupa pada peribahasa aja rumasa bisa

nanging bisa rumasa. Orang yang merasa mampu dalam segala hal

dengan kesombongan-kesombongannya, akan tetapi pada

praktiknya tidak bisa melakukan apapun.

19
BAB IV

PENUTUP

Bab ini akan menghadirkan kesimpulan dan saran hasil penelitian. Penulis

mengambil pokok-pokok penting terhadap pengumpulan data, analisis data, dan

hasil data.

4.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis, penulis menyimpulkan pada leksikal

peribahasa yang ditemukan berjumlah 41 yang sebagian besar

mengindikasikan kebudayaan asli masyarakat Cirebon pada umumnya seperti

nari, sarunge, banyune, iwake, canting, jali, kebo, gusti, dan sebagainya. Ini

beralasan ketika sebagaian besar penduduk Cirebon berprofesi sebagai petani

dan pelaut dengan kesenian tari serta kesenian membatiknya.

Kemudian nilai-nilai yang terkandung pada peribahasa cirebon yang

ditemukan seperti kedewasaan dan kebijaksanaan, kesopanan dan

kesantunan, keikhlasan, kepantasan, kejujuran, kesabaran dan pantang

menyerah, kebenaran dan kejujuran, serta kerendahan diri.

Penerapan peribahasa pada masyarakat Cirebon secara umum masih

diterapkan. Hanya saja nilai-nilai yang terkandung pada penerapannya, kian

hari semakin menurun ketika pembelajaran kebudayaan dan secara khusus

pada peribahasa kurang diminati sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah.

20
4.2 Saran

Banyak kekurangan penulis terhadap pembuatan makalah ini.

Diharapkan muncul makalah yang bertemakan sama dengan menambahkan

beberapa sumber data agar hasil lebih maksimal. Kebudayaan Indonesia

sangatlah beranekaragam. Agaknya kita sebagai putra putri bangsa

mengahragai karya budaya lokal dengan menumbuhkan kecintaan kita

terhadap kebudayaan sendiri bukan budaya asing. Untuk pemerintah sendiri

agar memasukan kurikulum baru dengan unsur-unsur kebudayaan local di

masing-masing daerah.

21
DAFTAR PUSTAKA

Cassirer, Ernst. 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia.

Jakarta: PT. Gramedia.

Dahuri, Rokhmin. 2004. Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon. Jakarta:

Perum Percetakan Negara RI.

Evans, Vyvyan dan Melanie Green. 2006. Cognitive Lingusitics. An Introduction.

Edinburg: Edinburg University Press.

Gardenfors, Peter. 2013. Chinese Lexical Semantic: 13th Workshop: Revised

Selected Papers. China: Springer.

Gay, L.R. 1987. Educational Research: Competencies for Analysis and

Application. Columbus. OH: Merryl Publishing Co.

Kothari. C. R. 2004. Research Methodology: Methods and Techniques (Second

Edition). New Age International (P) Ltd Publishers.

Lakoff, George dan Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By. Chicago: the

University of Chicago Press.

Miles, Matthew B & A.M. Huberman. 1994. Qualitative data Analysis. Second

Edition. Thousand Oaks: Sage Publications.

Pulungan, A. H. 2015. Kajian Etnolinguistik Terhadap Peribahasa Dalam Bahasa

Indonesia: Sebuah Tinjauan Pragmatic Force. Medan: UNIMED.

22
Rahardjo, Untung. 2005. Kesusastraan Cirebon: Dalam Periodisasi Kuna,

Tengahan, Baru, dan Modern. Cirebon: Yayasan Pradipta.

Saupah, dkk. 2013. Basa Ian Sastra Cerbon Dermayu. Cirebon: Barisan Rakyat

Cirebon.

Stott, John. 1994. Isu-isu Global – Menantang Kemimpinan Kristiani. Jakarta:

Yayaysan Komunikasi Bina Kasih.

23
DAFTAR KAMUS

Kridalaksana, Hrimurti. 2008. Kamus linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka.

Sugono, Dendy. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

24

Anda mungkin juga menyukai