Anda di halaman 1dari 36

Pahami Penyebab Stunting dan Dampaknya

pada Kehidupan Anak


Stunting menunjukkan kekurangan gizi kronis yang terjadi selama periode paling awal
pertumbuhan dan perkembangan anak. Tidak hanya tubuh pendek, stunting memiliki
banyak dampak buruk untuk anak. Lantas, apa saja penyebab dan dampak dari kondisi
ini?

Pada tahun 2019, survei membuktikan sekitar 30 persen balita Indonesia mengalami stunting.
Kondisi ini bisa disebabkan oleh banyak aspek, mulai dari aspek pendidikan hingga ekonomi.
Stunting sangat penting untuk dicegah. Hal ini disebabkan oleh dampak stunting yang sulit untuk
diperbaiki dan dapat merugikan masa depan anak.

Penyebab Anak Mengalami Stunting

Status gizi buruk pada ibu hamil dan bayi merupakan faktor utama yang menyebabkan anak
balita mengalami stunting. Ada banyak sekali hal-hal yang dapat memicu terjadinya gizi buruk
ini. Berikut adalah penyebab gizi buruk pada ibu hamil dan bayi yang masih sering ditemui:

1. Pengetahuan ibu yang kurang memadai


Sejak di dalam kandungan, bayi sudah membutuhkan berbagai nutrisi untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Untuk mencapai ini, ibu harus berada dalam keadaan sehat dan bergizi baik.
Jika ibu tidak memiliki pengetahuan akan asupan nutrisi yang baik untuknya dan janin, hal ini
akan sulit didapatkan.

Begitu pula setelah lahir, 1000 hari pertama kehiduan (0-2 tahun) adalah waktu yang sangat
krusial untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Pada masa ini, bayi membutuhkan ASI
eksklusif selama 6 bulan dan tambahan makanan pendamping ASI (MPASI) yang berkualitas
setelahnya. Oleh karena itu, ibu harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gizi anak.

Faktor lainnya yang juga dapat memicu stunting adalah jika anak terlahir dengan kondisi
sindrom alkohol janin (fetus alcohol syndrome). Kondisi ini disebabkan oleh konsumsi alkohol
berlebihan saat hamil yang kemungkinan diawali ketidaktahuan ibu akan larangan terhadap hal
ini.

2. Infeksi berulang atau kronis

Tubuh mendapatkan energi dari asupan makanan. Penyakit infeksi berulang yang dialami sejak
bayi menyebabkan tubuh anak selalu membutuhkan energi lebih untuk melawan penyakit. Jika
kebutuhan ini tidak diimbangi dengan asupan yang cukup, anak akan mengalami kekurangan gizi
dan akhirnya berujung dengan stunting.

Terjadinya infeksi sangat erat kaitannya dengan pengetahuan ibu dalam cara menyiapkan makan
untuk anak dan sanitasi di tempat tinggal.

3. Sanitasi yang buruk

Sulitnya air bersih dan sanitasi yang buruk dapat menyebabkan stunting pada anak. Penggunaan
air sumur yang tidak bersih untuk masak atau minum disertai kurangnya ketersediaan kakus
merupakan penyebab terbanyak terjadinya infeksi. Kedua hal ini bisa meninggikan risiko anak
berulang-ulang menderita diare dan infeksi cacing usus (cacingan).

4. Terbatasnya layanan kesehatan

Kenyataannya, masih ada daerah tertinggal di Indonesia yang kekurangan layanan kesehatan.
Padahal, selain untuk memberikan perawatan pada anak atau ibu hamil yang sakit, tenaga
kesehatan juga dibutuhkan untuk memberi pengetahuan mengenai gizi untuk ibu hamil dan anak
di masa awal kehidupannya.

Dampak Stunting terhadap Kesehatan Anak

Stunting pada anak dapat mempengaruhinya dari ia kecil hingga dewasa. Dalam jangka pendek,
stunting pada anak menyebabkan terganggunya perkembangan otak, metabolisme tubuh, dan
pertumbuhan fisik. Sekilas, proporsi tubuh anak stunting mungkin terlihat normal. Namun,
kenyataannya ia lebih pendek dari anak-anak seusianya.
Seiring dengan bertambahnya usia anak, stunting dapat menyebabkan berbagai macam masalah,
di antaranya:

 Kecerdasan anak di bawah rata-rata sehingga prestasi belajarnya tidak bisa maksimal.
 Sistem imun tubuh anak tidak baik sehingga anak mudah sakit.
 Anak akan lebih tinggi berisiko menderita penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke,
dan kanker.

Dampak buruk stunting yang menghantui hingga usia tua membuat kondisi ini sangat penting
untuk dicegah. Gizi yang baik dan tubuh yang sehat merupakan kunci dari pencegahan stunting.
Berikut hal-hal yang harus diingat untuk mencegah stunting:

 Mengonsumsi makanan dengan kandungan nutrisi yang dibutuhkan selama hamil dan
selama menyusui.
 Memberikan nutrisi yang baik kepada Si Kecil, seperti memberikan ASI eksklusif dan
nutrisi penting lainnya seiring pertambahan usi
 Rutin memeriksakan kehamilan serta pertumbuhan dan perkembangan anak setelah lahir.
 Menerapkan pola hidup bersih dan sehat, terutama mencuci tangan sebelum makan, serta
memiliki sanitasi yang bersih di lingkungan rumah.

Menghindari terjadinya stunting memang memerlukan ketekunan dan usaha yang menyeluruh
dari semua pihak. Ingat, tanggung jawab ini bukan hanya milik para ibu, loh, melainkan milik
seluruh anggota keluarga.

Apabila Anda masih ada kebingungan mengenai pencegahan stunting atau sumber gizi yang baik
untuk ibu hamil dan anak, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter ya.
Pahami Penyebab Stunting dan Dampaknya
pada Kehidupan Anak
Stunting menunjukkan kekurangan gizi kronis yang terjadi selama periode paling awal
pertumbuhan dan perkembangan anak. Tidak hanya tubuh pendek, stunting memiliki
banyak dampak buruk untuk anak. Lantas, apa saja penyebab dan dampak dari kondisi
ini?

Pada tahun 2019, survei membuktikan sekitar 30 persen balita Indonesia mengalami stunting.
Kondisi ini bisa disebabkan oleh banyak aspek, mulai dari aspek pendidikan hingga ekonomi.
Stunting sangat penting untuk dicegah. Hal ini disebabkan oleh dampak stunting yang sulit untuk
diperbaiki dan dapat merugikan masa depan anak.

Penyebab Anak Mengalami Stunting

Status gizi buruk pada ibu hamil dan bayi merupakan faktor utama yang menyebabkan anak
balita mengalami stunting. Ada banyak sekali hal-hal yang dapat memicu terjadinya gizi buruk
ini. Berikut adalah penyebab gizi buruk pada ibu hamil dan bayi yang masih sering ditemui:

1. Pengetahuan ibu yang kurang memadai


Sejak di dalam kandungan, bayi sudah membutuhkan berbagai nutrisi untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Untuk mencapai ini, ibu harus berada dalam keadaan sehat dan bergizi baik.
Jika ibu tidak memiliki pengetahuan akan asupan nutrisi yang baik untuknya dan janin, hal ini
akan sulit didapatkan.

Begitu pula setelah lahir, 1000 hari pertama kehiduan (0-2 tahun) adalah waktu yang sangat
krusial untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Pada masa ini, bayi membutuhkan ASI
eksklusif selama 6 bulan dan tambahan makanan pendamping ASI (MPASI) yang berkualitas
setelahnya. Oleh karena itu, ibu harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gizi anak.

Faktor lainnya yang juga dapat memicu stunting adalah jika anak terlahir dengan kondisi
sindrom alkohol janin (fetus alcohol syndrome). Kondisi ini disebabkan oleh konsumsi alkohol
berlebihan saat hamil yang kemungkinan diawali ketidaktahuan ibu akan larangan terhadap hal
ini.

2. Infeksi berulang atau kronis

Tubuh mendapatkan energi dari asupan makanan. Penyakit infeksi berulang yang dialami sejak
bayi menyebabkan tubuh anak selalu membutuhkan energi lebih untuk melawan penyakit. Jika
kebutuhan ini tidak diimbangi dengan asupan yang cukup, anak akan mengalami kekurangan gizi
dan akhirnya berujung dengan stunting.

Terjadinya infeksi sangat erat kaitannya dengan pengetahuan ibu dalam cara menyiapkan makan
untuk anak dan sanitasi di tempat tinggal.

3. Sanitasi yang buruk

Sulitnya air bersih dan sanitasi yang buruk dapat menyebabkan stunting pada anak. Penggunaan
air sumur yang tidak bersih untuk masak atau minum disertai kurangnya ketersediaan kakus
merupakan penyebab terbanyak terjadinya infeksi. Kedua hal ini bisa meninggikan risiko anak
berulang-ulang menderita diare dan infeksi cacing usus (cacingan).

4. Terbatasnya layanan kesehatan

Kenyataannya, masih ada daerah tertinggal di Indonesia yang kekurangan layanan kesehatan.
Padahal, selain untuk memberikan perawatan pada anak atau ibu hamil yang sakit, tenaga
kesehatan juga dibutuhkan untuk memberi pengetahuan mengenai gizi untuk ibu hamil dan anak
di masa awal kehidupannya.

Dampak Stunting terhadap Kesehatan Anak

Stunting pada anak dapat mempengaruhinya dari ia kecil hingga dewasa. Dalam jangka pendek,
stunting pada anak menyebabkan terganggunya perkembangan otak, metabolisme tubuh, dan
pertumbuhan fisik. Sekilas, proporsi tubuh anak stunting mungkin terlihat normal. Namun,
kenyataannya ia lebih pendek dari anak-anak seusianya.
Seiring dengan bertambahnya usia anak, stunting dapat menyebabkan berbagai macam masalah,
di antaranya:

 Kecerdasan anak di bawah rata-rata sehingga prestasi belajarnya tidak bisa maksimal.
 Sistem imun tubuh anak tidak baik sehingga anak mudah sakit.
 Anak akan lebih tinggi berisiko menderita penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke,
dan kanker.

Dampak buruk stunting yang menghantui hingga usia tua membuat kondisi ini sangat penting
untuk dicegah. Gizi yang baik dan tubuh yang sehat merupakan kunci dari pencegahan stunting.
Berikut hal-hal yang harus diingat untuk mencegah stunting:

 Mengonsumsi makanan dengan kandungan nutrisi yang dibutuhkan selama hamil dan
selama menyusui.
 Memberikan nutrisi yang baik kepada Si Kecil, seperti memberikan ASI eksklusif dan
nutrisi penting lainnya seiring pertambahan usi
 Rutin memeriksakan kehamilan serta pertumbuhan dan perkembangan anak setelah lahir.
 Menerapkan pola hidup bersih dan sehat, terutama mencuci tangan sebelum makan, serta
memiliki sanitasi yang bersih di lingkungan rumah.

Menghindari terjadinya stunting memang memerlukan ketekunan dan usaha yang menyeluruh
dari semua pihak. Ingat, tanggung jawab ini bukan hanya milik para ibu, loh, melainkan milik
seluruh anggota keluarga.

Apabila Anda masih ada kebingungan mengenai pencegahan stunting atau sumber gizi yang baik
untuk ibu hamil dan anak, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter ya.
Stunting Kemenkes: Definisi Stunting dan
Penyebab Stunting di Indonesia

Stunting yang merupakan salah satu masalah kekurangan gizi dan menyebabkan perkembangan tubuh
yang kurang sempurna atau tidak mencapai tinggi rata-rata anak sebayanya. Stunting kemenkes
memiliki definisi, penyebab dan cara pencegahannya agar jumlah stunting di Indonesia dapat berkurang,
bagaimana caranya?

Stunting Kemenkes: Cara Pencegahannya dan Penyebabnya yang Harus Dihindari


Stunting kemenkes yang memiliki definisi sebuah kasus atau masalah kekurangan gizi yang disebabkan
oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama. Masalah gizi buruk ini bahkan berdampak
pada gangguan pertumbuhan anak dengan tanda tinggi badan anak yang lebih pendek atau tidak
mencapai rata-rata tinggi atau kerdil dari standar tinggi usianya.

Seperti yang kita ketahui bahwa tingkat kesadaran akan bahaya stunting yang mengancam masa depan
anak di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini ditunjukan dari angka stunting di Indonesia yang masih
terbilang tinggi. Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa tinggi badan yang pendek adalah faktor
genetik, padahal faktor genetik adalah faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya
dibandingkan dengan faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan lingkungan yang tentu berpengaruh
besar terhadap kasus ini.
Penyebab stunting kemenkes menjelaskan bahwa kekurangan gizi kronis merupakan salah satu
penyebab utamanya. Maka dari itu, pencegahan stunting ini dapat dilakukan dengan memberi asupan
gizi yang cukup bagi anak-anak dan ibu hamil. Pencegahan stunting dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup dan juga meningkatkan kemungkinan anak-anak Indonesia dapat memiliki
tumbuh kembang yang baik sehingga kemampuan anak Indonesia dapat bersaing di dunia dan juga
bertahan hidup di masa depan.

ADVERTISEMENT

Cara mencegah stunting dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan atau sosialisasi kepada para
orang tua tentang bahaya stunting bagi anak. Tak hanya itu, orang tua juga perlu diberi edukasi tentang
bagaimana pentingnya memberikan gizi yang cukup dan memadai bagi anak dengan memberikan
makanan yang bergizi, memberikan ASI eksklusif dan juga selalu memantau kesehatan serta tumbuh
kembang anak sejak dini.

Tak hanya itu, kebersihan lingkungan, sanitasi dan juga akses air bersih perlu jadi perhatian lebih untuk
mencegah penyebaran penyakit. Walaupun stunting bukanlah penyakit apalagi penyakit menular, akan
tetapi kebersihan lingkungan juga menjadi faktor penting yang harus diperhatikan dalam pencegahan
stunting.

Dengan mengetahui definisi, cara pencegahan dan juga penyebab stunting kemenkes kita dapat turut
andil di dalam penurunan angka stunting di Indonesia dan juga menyelamatkan jutaan anak dari
kekurangan gizi. (DA)
Bom Waktu Itu Bernama Stunting

Indonesia saat ini mengalami tantangan yang tak ringan, yaitu pandemi COVID-19 dan kewaspadaan kita
terhadap masuknya varian baru Omicron. Kita juga masih punya angka prevalensi stunting yang tinggi,
yakni 27,67 persen atau di atas angka WHO, yaitu di bawah 20 persen.

Ada prasyarat wajib yang harus dipenuhi bangsa ini guna mewujudkan Indonesia yang semakin maju dan
sejahtera, salah satunya adalah SDM yang berkualitas. Berkualitas tidak hanya secara keilmuan, tetapi
juga terkait dengan masalah kesehatannya. Stunting menjadi sebuah ancaman nyata bagi tumbuh
kembangnya SDM bangsa.

Problema stunting telah menjadi salah satu permasalahan gizi di Indonesia bahkan dunia. Stunting
merupakan sebuah kondisi gagal pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat
kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai
terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan.

Itulah kemudian, membalik kemurungan ini menjadi tugas bersama, bagaimana bisa mengarahkan
bangsa ini untuk dapat melalui masa krisis dengan baik dan menerapkan perubahan tatanan kehidupan
sosial yang lebih baik dengan tetap merawat kedisiplinan dalam mempraktikkan nilai-nilai, berperilaku
dan tatanan yang positif masyarakat.
Warga dan keluarga harus paham betul kebutuhan nutrisi anak, makanan yang baik dan tidak baik, tidak
terpengaruh gaya hidup yang serba instan serta iklan-iklan produk makanan anak yang kadang
menjanjikan hal yang berlebihan. Ingat, masa depan generasi bangsa dilukis sejak sekarang.

Masa pandemi dapat menjadi kondisi yang mendorong terjadinya revolusi dan perubahan yang terjadi
secara cepat, pada aktivitas sosial masyarakat. Sebagai elemen penting dalam masyarakat, keluarga
menjadi objek dan subyek yang menentukan arah mau dibawa ke mana bangsa ini. Kondisi psikologis
keluarga dalam menghadapi dampak Pandemi COVID-19 menjadi salah satu determinan dalam
mengatasi dinamika permasalahan yang terjadi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketahanan keluarga
sedang diuji di tengah terjalnya Pandemi COVID-19.

ADVERTISEMENT

Harus kita akui, ada blessing disguise di balik Pandemi COVID-19 ini. Maka gerakan eling lan ngelingke
dengan prokes 5M, vaksinasi sekaligus menyikapi permasalahan hingga penanganan atas problema yang
terjadi menjadi mutlak di sini. Untuk itulah, agenda hari ini penting dan menjadi momentum
kebangkitan dan penyadaran segenap keluarga dalam menciptakan lingkungan yang nyaman, aman, dan
kondusif dalam memperkuat ketahanan keluarga.

Di ujung yang lain, otomatisasi dan digitalisasi di era revolusi industri 4.0 berdampak pada banyak
bidang kehidupan. Siapa pun yang tidak adaptif terhadap perkembangan teknologi akan tergilas oleh
perubahan. Keluarga berperan besar dalam menyiapkan generasi masa depan yang sehat dan
kompetitif.

Pada tempo lain, teknologi dipandang lebih efektif daripada manusia, maka akan membuat manusia
menjadi tidak terlalu dibutuhkan. Banyak aktivitas yang dulunya dilakukan manusia diambil alih mesin.
Oleh karena itu, pengembangan kecerdasan buatan harus diiringi dengan kecerdasan alami manusia.
Nilai-nilai norma, karakter, etika, dan agama tidak dimiliki oleh kecerdasan buatan.

Porsi penting inilah yang harus diperankan oleh keluarga. Pendidikan karakter dalam keluarga harus
dikedepankan. Gegap gempitanya semua pihak dalam mengejar kemajuan teknologi industri 4.0 kiranya
tidak melupakan ketahanan keluarga sebagai pusat pengembangan sumber daya manusia.

Semakin canggih gadget yang digunakan, semakin tajam “pisau” nya. Tetapi, kita tidak mungkin
membendung atau menolak kehadiran internet, pun juga kita tidak bijak kalau melarang anak-anak kita
dari paparan internet. Yang bisa kita lakukan adalah membekali anak-anak kita dengan pengetahuan
yang cukup dan ”benteng” yang kuat, agar internet ini tidak ”melukai” anak-anak kita tetapi justru
menjadi ajang kreasi yang positif.

Oleh karena itu, seiring dengan kemajuan IT, maka saya minta dibangun kerja sama, gotong royong
antar anggota keluarga mengedukasi bagaimana memanfaatkan jaringan internet secara cerdas, kreatif,
dan produktif, apalagi di masa krisis.

Idealnya, internet ini menjadi sebuah alat untuk membantu dan mendukung tugas dan kehidupan kita.
Jangan disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak produktif. Jaringan internet hendaknya difungsikan
sebagai piranti untuk meningkatkan pengetahuan, memajukan penididikan, dan memperluas
kesempatan serta keberdayaan seluruh anggota keluarga dalam meraih kualitas hidup yang lebih baik :
sehat, mandiri dan sejahtera.
Saat ini hampir 35% penduduk Indonesia merupakan kaum Millenial dan Zillenial. Remaja harus tumbuh
menjadi generasi yang berkualitas dan siap menjadi aktor pembangunan. Di samping itu, remaja juga
merupakan calon pasangan usia subur yang akan membentuk keluarga dan calon orang tua bagi anak-
anaknya, sehingga remaja harus memiliki perencanaan dan kesiapan berkeluarga.

Bonus Demografi

Untuk membentuk karakter positif remaja dalam menghadapi bonus demografi merupakan hal yang
sangat penting. Kita semua harus bertekad membangun cara dan semangat baru dalam mewujudkan
keluarga berkualitas dan mengkampanyekan pencegahan stunting.

Di sinilah, pentingnya program pendampingan, konseling dan pemeriksaan (tinggi badan, berat badan,
lingkar lengan atas dan kadar Hb) yang dilakukan mulai 3 (tiga) bulan sebelum menikah untuk
memastikan setiap calon pengantin/calon pasangan usia subur (Catin/Calon PUS) berada dalam kondisi
ideal untuk menikah dan hamil. Oleh karena itu, setiap Catin/Calon PUS harus memperoleh pemeriksaan
kesehatan dan pendampingan selama 3 (tiga) bulan pranikah serta mendapatkan bimbingan perkawinan
dengan materi pencegahan stunting.

Faktor risiko yang dapat melahirkan bayi stunting pada Catin/Calon PUS dapat teridentifikasi dan
dihilangkan sebelum menikah dan hamil. Oleh karena itu, salah satu fokus dalam pendampingan adalah
meningkatkan pemenuhan gizi Catin/Calon PUS untuk mencegah kekurangan energi kronis dan anemia
sebagai salah satu risiko yang dapat melahirkan bayi stunting.

Dalam penanganan stunting, keluarga merupakan komponen utama yang sangat berperan dalam
pencegahan maupun penanggulangan nya. Hal ini di sebabkan karena masalah gizi, sangat erat
kaitannya dengan ruang lingkup keluarga, yaitu praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk
kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta
setelah ibu melahirkan dan masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga untuk mengkonsumsi
makanan bergizi. Maka, budaya hidup bersih dan sehat menjadi keniscayaan. Wadah penting, tapi
terpenting aktor dan spirit di dalamnya terus bergerak.

Harapannya, melalui keluarga dapat mewujudkan SDM unggul menuju Indonesia Maju, dengan harapan
bersama bahwa penanganan sumber daya manusia adalah tugas kita bersama dan di sinilah kita butuh
kerja-kerja keroyokan, bergotong-royong untuk mengatasi permasalahan bangsa.
Dampak Psikis Balita yang Mengalami
Stunting

Masalah stunting, ternyata dapat memberikan dampak psikologi pada balita dan anak yang
mengalaminya.

Adelia Kesumaningsari, S.Psi., M.Sc. mengatakan, jika dilihat dari sisi psikologisnya, masalah tersebut
tidak lepas dari pengaruh 1000 hari pertama kehidupan (HPK) dari si bayi sampai 2 tahun pertama.

Pasalnya, jika dari sudut pandang neuropsikologi, fungsi psikologi itu banyak dibangun pondasinya dari 2
tahun pertama kehidupan. Mulai dari fungsi sensorik visual, anatomi otak mulai berkembang pesat, dan
fungsi-fungsi psikologi lainnya.

"Mengingat, pada masa ini pertumbuhan otak sangat pesat dan 80 persen perkembangannya terjadi
pada masa ini. Dan sisanya akan berkembang pada usia 4-5 tahun. Artinya pondasi dasar atau
adaptabilitas psikologi yang dimiliki seorang anak dasar pondasinya ada di 2 tahun pertam kehidupan,"
kata Adelia pada Basra, Selasa (28/12).

Adelia menuturkan, anak yang kekurangan gizi atau stimulasi pada 1000 hari kehidupan pertama
dampaknya besar. Salah satunya yakni menyebabkan stunting dan sulit diperbaiki pada periode
kehidupan selanjuynya.
"Kami dari sudut pandang psikologi melihat, perkembangan anak itu multidimensional. Ada peran
banyak hal, itu juga ditentukan oleh lingkungan. Seperti bagaimana pola asuh oramg tua, stimulasi yang
diberikan apakah sesuai dengan tahap perkembangannya dan juga pemenuhan gizi.Kombinasi ini tentu
akan mempemgaruhi bagaimana anak tumbuh dan berkembang," tuturnya.

Dosen dari Fakultas Psikologi Ubaya ini menjelaskan, pada balita stunting memiliki perbedaan dengan
balita yang tumbuh dengan sehat.

Misalnya saja adanya keterlambatan perkembangan di berbagai aspek dan penurunan kapasitas belajar,
penurunan aktivitas bermain dan kurang antusias untuk eksplorasi lingkungan, balita stunting menjadi
lebih pendiam, apatis, kurang menunjukkan kecerian, dan lebih rewel kurang atentif.

"Anak yang mengalami stunting pada usia 4 -6 tahun menunjukkan kemampuan matematis dan verbal
yang lebih buruk dari anak yang mengalami stunting pada usia 6-8 bulan (namun performa keduanya
tetap buruk pada hal tersebut). Lalu IQ scrores yang lebih rendah (4,5 kali risiko dibawah avarage). Dia
juga mempunyai performa buruk pada tes-tes kognitif," jelasnya.

Selain itu, anak yang mengalami stunting juga mengalami disfungsi psikososial yang ditandai dengan
masalah klinis yang siginifikan pada kognisi, regulasi emosi atau perilaku individu yang mencerminkan
adanya disfungsi dalam proses psikologis, biologis atau perkembangan fungsi mental.
"Ini yang sering terlihat pada anak-anak, mereka bisa jadi kurang percaya diri, sulit beradaptasi, dan
mudah cemas," tambahnya.

Bahkan, anak yang mengalami stunting di 2 tahun pertama kehidupan, pada saat remaja memiliki fungsi
psikologi yang lebih buruk daripada anak yang tidak mengalami stunting.

Seperti kecemasan dan depresi, rasa keberhagaan diri yang buruk, mengembangkan perilaku hiperaktif,
lebih cenderung menunjukkan perilaku menentang.

Guna memgurangi risiko masalah tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Seperti
pemenuhan gizi anak, orang tua bisa memberikan kenyamanan psikologi yang dibutuhkan anak (kasih
sayang), dan memberikan stimulasi-stimulasi perkembangan yang sesuai tahap perkembangan anak.

"Sehingga kondisi yang tertinggal tadi masih bisa dikejar atau bisa dioptimalkan agar anak bisa tumbuh
dengan adaptif. Karena apa yang kita alami, lakukan, ataupun makan selama 1000 HPK akan
memberikan konsekuensi yang panjang terhadap kesehatan anak di masa depan," pungkasnya.
Stunting Bisa Dicegah dari Masa
Prakonsepsi, Ini Caranya

Masalah stunting di Indonesia masih menjadi permasalahan serius dan perlu penanganan yang tepat. Di
Surabaya sendiri, tercatat masih ada sekitar 5 ribu anak yang mengalami stunting.

ADVERTISEMENT

Lantas bagaimana cara mencegah masalah stunting?

Dr. Agus Cahyono SpA, mengatakan stunting ini masalah serius bagi bangsa kita, karena akan membuat
kualitas generasi penerus menjadi tidak bagus.

Meski demikian, ia menyebut, jika stunting bisa dicegah mulai dari masa prakonsepsi atau sebelum
terjadi pembuahan.
"Inilah pentingnya edukasi pada ibu, jadi perempuan harus diperdayakan dengan betul. Sepasang suami
istri harus mempersiapkan dirinya sebelum memutuskan mempunyai keturunan," kata Dr. Agus, Minggu
(26/12).

Selanjutnya, pasangan suami istri harus matang baik secara usia, ekonomi, sehat dalam jasmani maupun
rohani.

"Khusus untuk para istri, perlu mendapatkan asupan nutrisi yang seimbang untuk mempersiapkan
kehamilan. Jadi semua harus disiapkan, inilah pentingnya edukasi. Gimana sih nutrisi yang seimbang
itu," tambahnya.

ADVERTISEMENT

Ia menuturkan, jika asupan nutrisi pada ibu kurang, akan berdampak bagi janin yang bisa menjadi salah
satu penyebab stunting pada anak.

"Selain itu, persiapan psikis juga penting bagi para ibu. Karena sedikit banyak keadaan psikis ibu selama
kehamilan akan berpengaruh terhadap janin," tuturnya.
Menurutnya, pencegahan stunting tidak hanya dari segi kesehatan saja. Namun, juga perlu peran
multisektoral dan pembuat kebijakan.

"Stunting adalah ujung dari masalah yang kompleks, sehingga tidak bisa diatasi oleh tenaga medis saja.
Peran multisektoral juga perlu dilibatkan," ungkapnya.

Dosen dari FK Ubaya ini mengungkapkan, jika kita bisa belajar dari negara lain seperti Vietnam, Nepal,
Peru hungga Bangladesh dalam mengatasi masalah stunting.

Salah satu caranya yakni memberikan edukasi dan konseling nutrisi, promosi dan monitoring
pertumbuhan anak.

ADVERTISEMENT

"Inikan hal praktis yang bisa dikerjakan, ujung tombaknya yakni kader-kader di puskesmas. Lalu
pemberian vitamin A, suplementasi besi, dan asam folat juga perlu," ungkapnya.

Selanjutnya yakni pemberian imunisasi, mempermudah akses fasilitas kesehatab lokal, sanitasi,
pemberdayaan wanita, pengurangan kemiskinan, dan pengamanan ketersedian makanan.

"Lalu jaring pengaman sosial, bubuk mikronutrien multipel, suplementasi makanan, dan pemberian obat
cacing, stimulasi psikososial pada anak ini juga efektif dalam menurunkan angka stunting di negara tadi,"
ungkap Dr. Agus.

Terkahir, Dr. Agus menyebut hal praktis yang dapat dilakukan untuk pencegahan stunting seperti
pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, inisiasi menyusui dini (IMD), peningkatan pendidikan orang tua,
pemberian makanan tambahan pada anak, dan lainnya.

"Kita harus menapis stunting pada anak, karena mencegah itu lebih baik daripada mengobati,"
pungkasnya.
Pentingnya Ajarkan Pola Makan Pada Anak
untuk Cegah Stunting

Masalah stunting di Indonesia masih menjadi permasalahan serius dan perlu penanganan yang tepat.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019, prevelensi stunting di Indonesia
mencapai 27,7 persen.

Dr. Dr. Rivan Virlando Suryadinata, M.Kes., mengatakan, jika persentase stunting di Indonesia tidak
mengalami perubahan yang signifikan.

"Persentase stunting tidak mengalami perubahan signifikam dibandingkan 5 tahun ke belakang, hingga
saat ini masih di angka 30 persen," kata Dr. Rivan dalam webinar Pencegahan dan Penanganan Stunting
Sejak Masa Pranikah hingga 1000 Hari Pertama Kehidupan, Jumat (10/12).

Menurutnya, permasalahan stunting di Indonesia merupakan permasalahan kronis dan terjadi pada
setiap generasi. Oleh karena itu, untuk menangani permasalahan ini harus diselesaikan secara
berkelanjutan.
Ia mengungkapkan, penyebab stunting terjadi karena beberapa faktor. Pertama yakni higine sanitasi.
Dimana lingkungan yang kotor secara langsung berkolerasi dengan penurunan imunitas pada anak,
sehingga terjadi risiko infeksi.

"Seorang anak yang mengalami masalah pertumbuhan dan perkembangan, apabila menderita sakit,
secara otomatis pertumbuhannya akan terhambat," ungkapnya.

Perbesar

Kedua yakni pola makan. Ia menuturkan, pola makan terkait dengan anak stunting tidak terlepas dari
kebutuhan makro nutrien. Seperti karbohidrat, protein dan lemak.

"Pada beberapa kasus, kebutuhan makro nutrien yang baik kadang bisa menyebabkan anak masih dalam
lingkaran stunting. Hal ini dikarenakan ada kekurang kebutuhan dari mikro nutrien seperti vitamin dan
mineral lainnya," tuturnya.

Faktor selanjutnya yakni pengetahuan dari seorang ibu terhadap pertumbuhan dan perkembangan
anak. Misalnya saja dalam hal pola asuh anak.

"Karena banyak ibu-ibu di masyarakat yang punya nilai akademik baik, tapi salah dalam pola asuh
anaknya. Ketika seorang ibu memahami permasalahan anaknya, namun memiliki pola asuh yang salah,
maka kondisi stunting juga tidak bisa teratasi dalam keluarga itu," ucapnya.

Lalu faktor terakhir yakni adanya kekerasan dalam rumah tangga, baik terhadap anak maupun orang
tua.

"Otomatis itu akan mengganggu psikis anak tersebut dan akan mengganggu pertumbuhan, baik dari
mental maupun pertumbuhan anak secara tidak langsung," tambahnya.
Untuk mencegah agar kondisi tersebut tidak terjadi, Dr. Rivan mengatakan, jika ada beberapa
penyelesaian masalah yang bisa dilakukan. Pertama adanya keluarga yang harmonis diantara anak-anak
yang mengalami stunting.

"Sehingga mental atau pertumbuhan anak dapat berjalan dengan baik. Higine sanitasi juga harus
diperhatikan. Supaya anak tidak mudah sakit," ucapnya.

Selain itu, orang tua juga perlu memperhatikan asupan makanan pada anak. Dalam hal ini tidak hanya
fokus pada bagaimana kita memberikan asupan makanan untuk perbaikan gizi seorang anak saja,
namun juga melatih si anak untuk mampu mengkonsumsi berbagai jenis makanan.

"Karena biasanya anak-anak kan enggak suka sayuran. Itu bisa mulai diajarkan. Biasanya pengajaran
yang paling baik adalah 0-5 tahun. Karena di sini anak belum bisa memilih, sehingga penentuan
makanan akan ditentukan orang tua," tambahnya.

Sembari memberikan makan, orang tua juga bisa memberikan edukasi pada anak terkait apa yang
dimakan anak, cara makannya, hingga jumlah makanan yang harus diberikan.

"Seorang ibu dapat memberikan pengajaran pola makan yang baik ketika anak masuk dalam usia
sekolah dasar, SMP, SMA. Sehingga nantinya mereka sudah punya pola makan yang baik ketika dewasa
dan orang tua tinggal mengawasi saja," pungkasnya.
Penurunan Prevalensi Stunting tahun 2021
sebagai Modal Menuju Generasi Emas
Indonesia 2045

Jakarta, 27 Desember 2021

Pandemi COVID-19 di Indonesia memberikan dampak terhadap berbagai sektor baik


perekonomian, pendidikan, dan kehidupan sosial masyarakat lainnya termasuk kepada
permasalahan Kesehatan. Walau cukup berat beban di sektor Kesehatan tetapi dengan berbagai
upaya yang telah pemerintah lakukan dalam mengantisipasi dampak pandemi COVID-19,
khususnya pada kelompok rentan seperti ibu hamil maupun balita, memberikan hasil yang cukup
menggembiarakan karena selama 2 tahun terakhir permasalahan stunting di Indonesia
menunjukkan terjadinya penurunan. Penilaian status gizi Balita ini terkait erat juga dengan
sasaran pokok yang ingin dicapai dalam Program Indonesia Sehat pada Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu meningkatnya status kesehatan dan gizi
anak.

Hari ini (27/12) Kementerian Kesehatan RI melangsungkan launching hasil Studi Status Gizi
Indonesia (SSGI) Tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2021 yang dihadiri
oleh Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono harbuwono didampingi Plt. Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nana Mulyana, Plt. Dirjen Kesehatan Masyarakat
Kartini Rustandi dan Sekretaris BKKBN Taviv Agus Riyanto yang dilakukan secara hybrid.

Pada tahun 2021, Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Biro Pusat Statistik (BPS) dengan
dukungan Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) Sekretariat Wakil Presiden
Republik Indonesia melakukan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) dengan mengumpulkan data
di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota dengan jumlah blok sensus (BS) sebanyak 14.889 Blok
Sensus (BS) dan 153.228 balita.

Berdasarkan hasil SSGI tahun 2021 angka stunting secara nasional mengalami penurunan
sebesar 1,6 persen per tahun dari 27.7 persen tahun 2019 menjadi 24,4 persen tahun 2021.
Hampir sebagian besar dari 34 provinsi menunjukkan penurunan dibandingkan tahun 2019 dan
hanya 5 provinsi yang menunjukkan kenaikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa implementasi
dari kebijakan pemerintah mendorong percepatan penurunan stunting di Indonesia telah memberi
hasil yang cukup baik.

SSGI 2021 yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan tidak hanya memberikan gambaran status gizi balita saja tetapi juga dapat digunakan
sebagai instrumen untuk monitoring dan evaluasi capaian indikator intervensi spesifik maupun
intervensi sensitif baik di tingkat nasional maupun kabupaten/kota yang telah dilakukan sejak
2019 dan hingga tahun 2024. Saat ini, Prevalensi stunting di Indonesia lebih baik dibandingkan
Myanmar (35%), tetapi masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%)
dan Singapura (4%).

“Kami menyambut baik launching SSGI tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota ini, oleh
karnanya saya menyampaikan penghargaan telah menyelesaikan status stunting di tahun 2021,
upaya ini merupakan komitmen dari implementasi Peraturan Presiden No. 72 tahun 2021 tentang
percepatan penurunan stunting” ujar Tavip Sestama BKKBN pada sambutannya.

Formulasi program percepatan dalam penurunan stunting mengarah pada intervensi berbasis
keluarga beresiko stunting dengan menekankan pada penyiapan kehidupan berkeluarga,
pemenuhan asupan gizi, perbaikan pola asuh, peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan
dan peningkatan akses air minum dan sanitasi.

Pilar kelima dari Strategi Nasional Penanganan Stunting yakni pemantauan dan evaluasi dinilai
strategis dan penting sebagai upaya mengetahui dampak intervensi terhadap pencegahan dan
penanggulangan stunting. Hal ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penurunan
masalah stunting di Indonesia umumnya dan khususnya pada kabupaten/kota prioritas.

Dalam sambutannya, Dante Wakil Menteri Kesehatan menyampaikan status gizi Indonesia
sebagai penentu bagaimana menumbuhkan manusia unggul di masa depan, maju atau mundurnya
sebuah bangsa ditentukan status gizi di negara tersebut. Penyediaan data prevalensi stunting
melalui sistem pendataan yang akurat merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan
pemantauan dan evaluasi terhadap upaya percepatan penurunan stunting di tingkat nasonal,
kabupaten/kota. Hal ini merupakan salah satu strategi pemerintah dalam upaya penanggulangan
stunting.

Studi ini bertujuan mengetahui status gizi Balita meliputi stunting, wasting, overweight, severe
acute malnutrition, serta faktor determinannya seperti pola makan, penyakit infeksi pada balita,
perilaku imunisasi, sosial ekonomi, lingkungan, dan akses ke pelayanan kesehatan balita dengan
representative tidak hanya nasional dan provinsi namun hingga keterwakilan kabupaten/kota.

Saat ini di beberapa daerah capaian prevalensi sudah dibawah 20% namun masih belum
memenuhi target dari RPJMN tahun 2024 sebesar 14%. Bahkan seandainyapun sdh tercapai 14%
bukan berarti Indonesia sudah bebas stunting tetapi target selanjutnya adalah menurunkan angka
stunting sampai kategori rendah atau dibawah 2,5 persen.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan
RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-
567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email
kontak@kemkes.go.id.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat

drg. Widyawati, MKM


Stunting pada Anak

Pertumbuhan anak tidak hanya dilihat dari berat badan, tetapi juga tinggi. Pasalnya, tinggi badan
anak termasuk faktor yang menandai stunting dan menjadi penanda apakah nutrisi anak sudah
tercukupi atau belum. Lalu, apa itu stunting dan apa penyebabnya?
Apa itu stunting?

Mengutip dari Buletin Stunting yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI, stunting
adalah kondisi yang ditandai ketika panjang atau tinggi badan anak kurang jika dibandingkan
dengan umurnya.

Mudahnya, stunting adalah kondisi di mana anak mengalami gangguan pertumbuhan sehingga
menyebabkan tubuhnya lebih pendek ketimbang teman-teman seusianya dan memiliki penyebab
utama kekurangan nutrisi.

Banyak yang tidak tahu kalau anak pendek adalah tanda dari adanya masalah gizi kronis pada
pertumbuhan tubuh si kecil. Hanya saja, perlu diingat bahwa anak pendek belum tentu stunting,
sedangkan anak stunting pasti terlihat pendek.

Anak masuk ke dalam kategori stunting ketika panjang atau tinggi badannya menunjukkan angka
di bawah -2 standar deviasi (SD). Terlebih lagi, jika kondisi ini dialami anak yang masih di
bawah usia 2 tahun dan harus ditangani dengan segera dan tepat.

Penilaian status gizi dengan standar deviasi tersebut biasanya menggunakan grafik pertumbuhan
anak (GPA) dari WHO.
Tubuh pendek pada anak yang berada di bawah standar normal merupakan akibat dari kondisi
kurang gizi yang telah berlangsung dalam waktu lama.

Hal tersebut yang kemudian membuat pertumbuhan tinggi badan anak terhambat sehingga
mengakibatkan dirinya tergolong stunting.

Namun, anak dengan tubuh pendek belum tentu serta merta mengalami stunting. Kondisi ini
hanya terjadi ketika asupan nutrisi harian anak kurang sehingga memengaruhi perkembangan
tinggi badannya.

Apa penyebab stunting pada anak?

Masalah kesehatan ini merupakan akibat dari berbagai faktor yang terjadi pada masa lalu.
Berbagai faktor tersebut antara lain asupan gizi yang buruk, berkali-kali terserang penyakit
infeksi, bayi lahir prematur, serta berat badan lahir rendah (BBLR).

Kondisi tidak tercukupinya asupan gizi anak ini biasanya tidak hanya terjadi setelah ia lahir saja,
melainkan bisa dimulai sejak ia masih di dalam kandungan.

Di bawah ini dua poin utama yang menjadi faktor penyebab stunting pada anak.
1. Kurang asupan gizi selama hamil

WHO atau badan kesehatan dunia menyatakan bahwa sekitar 20% kejadian stunting sudah
terjadi saat bayi masih berada di dalam kandungan.

Hal ini disebabkan oleh asupan ibu selama hamil yang kurang bergizi dan berkualitas sehingga
nutrisi yang diterima janin cenderung sedikit.

Akhirnya, pertumbuhan di dalam kandungan mulai terhambat dan terus berlanjut setelah
kelahiran. Oleh karena itu, penting untuk mencukupi berbagai nutrisi penting selama hamil.

2. Kebutuhan gizi anak tidak tercukupi

Selain itu, kondisi ini juga bisa terjadi akibat makanan balita saat masih di bawah usia 2 tahun
yang tidak tercukupi, seperti posisi menyusui yang kurang tepat, tidak diberikan ASI eksklusif,
hingga MPASI (makanan pendamping ASI) yang kurang berkualitas.

Banyak teori yang menyatakan bahwa kurangnya asupan makanan juga bisa menjadi salah satu
faktor utama penyebab stunting. Khususnya asupan makanan yang mengandung protein serta
mineral zinc (seng) dan zat besi ketika anak masih berusia balita.

Melansir buku Gizi Anak dan Remaja, kejadian ini umumnya sudah mulai berkembang saat anak
berusia 3 bulan. Proses perkembangan tersebut lambat laun mulai melambat ketika anak berusia
3 tahun.

Setelah itu, grafik penilaian tinggi badan berdasarkan umur (TB/U), terus bergerak mengikuti
kurva standar tapi dengan posisi berada di bawah.

Ada sedikit perbedaan kondisi stunting yang dialami oleh kelompok usia 2 – 3 tahun dan anak
dengan usia lebih dari 3 tahun.

Pada anak yang berusia di bawah 2 – 3 tahun, rendahnya pengukuran grafik tinggi badan
menurut usia (TB/U) bisa menggambarkan proses stunting yang sedang berlangsung.

Sementara pada anak yang berusia lebih dari itu, kondisi tersebut menunjukkan kalau kegagalan
pertumbuhan anak memang telah terjadi (stunted).
3. Faktor penyebab lainnya

Selain itu yang sudah disebutkan di atas, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan stunting
pada anak, yaitu:

 Kurangnya pengetahuan ibu mengenai gizi sebelum hamil, saat hamil, dan setelah melahirkan.
 Terbatasnya akses pelayanan kesehatan, termasuk layanan kehamilan dan postnatal (setelah
melahirkan).
 Kurangnya akses air bersih dan sanitasi.
 Masih kurangnya akses makanan bergizi karena tergolong mahal.

Untuk mencegahnya, ibu hamil perlu menghindari faktor di atas.


Ciri-ciri stunting pada anak

Perlu dipahami bahwa tidak semua anak balita yang berperawakan pendek mengalami stunting.
Masalah kesehatan ini merupakan keadaan tubuh yang sangat pendek dilihat dari standar baku
pengukuran tinggi badan menurut usia dari WHO.

Menurut Kemenkes RI, balita bisa diketahui stunting bila sudah diukur panjang atau tinggi
badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasil pengukurannya ini berada pada kisaran di
bawah normal.

Seorang anak termasuk dalam stunting atau tidak, tergantung dari hasil pengukuran tersebut. Jadi
tidak bisa hanya dikira-kira atau ditebak saja tanpa pengukuran.

Selain tubuh yang berperawakan pendek dari anak seusianya, ada juga ciri-ciri lainnya yakni:

 Pertumbuhan melambat
 Wajah tampak lebih muda dari anak seusianya
 Pertumbuhan gigi terlambat
 Performa buruk pada kemampuan fokus dan memori belajarnya
 Usia 8 – 10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan kontak mata terhadap
orang di sekitarnya
 Berat badan balita tidak naik bahkan cenderung menurun.
 Perkembangan tubuh anak terhambat, seperti telat menarche (menstruasi pertama anak
perempuan).
 Anak mudah terserang berbagai penyakit infeksi.

Sementara untuk tahu apakah tinggi anak normal atau tidak, Anda harus secara rutin
memeriksakannya ke pelayanan kesehatan terdekat. Anda bisa membawa si kecil ke dokter,
bidan, posyandu, atau puskesmas setiap bulannya.

Apa dampak masalah kesehatan ini pada anak?

Stunting adalah gagal tumbuh akibat akumulasi ketidakcukupan zat gizi yang berlangsung lama
dari kehamilan sampai usia 24 bulan.

Maka itu, kondisi ini bisa memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara
keseluruhan.

Dampak jangka pendek stunting adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan
pada pertumbuhan fisiknya, serta gangguan metabolisme.

Dampak jangka panjangnya, stunting yang tidak ditangani dengan baik sedini mungkin
berdampak:

 Menurunkan kemampuan perkembangan kognitif otak anak


 Kekebalan tubuh lemah sehingga mudah sakit
 Risiko tinggi munculnya penyakit metabolik seperti kegemukan
 Penyakit jantung
 Penyakit pembuluh darah
 Kesulitan belajar

Bahkan, ketika sudah dewasa nanti, anak dengan tubuh pendek akan memiliki tingkat
produktivitas yang rendah dan sulit bersaing di dalam dunia kerja.

Bagi anak perempuan yang mengalami stunting, ia berisiko untuk mengalami masalah kesehatan
dan perkembangan pada keturunannya saat sudah dewasa.

Hal tersebut biasanya terjadi pada wanita dewasa dengan tinggi badan kurang dari 145 cm karena
mengalami stunting sejak kecil.

Ibu hamil yang bertubuh pendek di bawah rata-rata (maternal stunting) akan mengalami
perlambatan aliran darah ke janin serta pertumbuhan rahim dan plasenta. Bukan tidak mungkin,
kondisi tersebut berdampak pada kondisi bayi yang dilahirkan.

Bayi yang lahir dari ibu dengan tinggi badan di bawah rata-rata berisiko mengalami komplikasi
medis yang serius, bahkan pertumbuhan yang terhambat.
Perkembangan saraf dan kemampuan intelektual bayi tersebut bisa terhambat disertai dengan
tinggi badan anak tidak sesuai usia.

Selayaknya stunting yang berlangsung sejak kecil, bayi dengan kondisi tersebut juga akan terus
mengalami hal yang sama sampai ia beranjak dewasa.
Bagaimana penanganan stunting pada bayi anak?

Meski stunting berdampak hingga dewasa, kondisi ini dapat ditangani. Melansir Buletin Stunting
milik Kemenkes RI, stunting dipengaruhi oleh pola asuh, cakupan dan kualitas pelayanan
kesehatan, lingkungan, serta ketahanan pangan.

Salah satu penanganan pertama yang bisa dilakukan untuk anak dengan tinggi badan di bawah
normal yang didiagnosis stunting, yaitu dengan memberikannya pola asuh yang tepat.

Dalam hal ini meliputi inisiasi menyusui dini (IMD), pemberian ASI Eksklusif sampai usia 6
bulan, serta pemberian ASI bersama dengan MP-ASI sampai anak berusia 2 tahun.

World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF)
menganjurkan agar bayi usia 6-23 bulan untuk mendapatkan makanan pendamping ASI (MP-
ASI) yang optimal.

Ketentuan pemberian makanan tersebut sebaiknya mengandung minimal 4 atau lebih dari 7 jenis
makanan, meliputi serealia atau umbi-umbian, kacang-kacangan, produk olahan susu, telur atau
sumber protein lain, dan asupan kaya vitamin A atau lainnya.

Di sisi lain, perhatikan juga batas ketentuan minimum meal frequency (MMF), untuk bayi usia 6-
23 bulan yang diberi dan tidak diberi ASI, dan sudah mendapat MP-ASI.
Untuk bayi yang diberi ASI

 Umur 6 – 8 bulan: 2 kali per hari atau lebih


 Umur 9 – 23 bulan: 3 kali per hari atau lebih

Sementara itu untuk bayi yang tidak diberi ASI usia 6 – 23 bulan yaitu 4 kali per hari atau lebih.

Bukan itu saja, ketersediaan pangan di masing-masing keluarga turut berperan dalam mengatasi
stunting. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan meningkatkan kualitas makanan harian yang
dikonsumsi.

Bagaimana cara mencegah stunting?

Kejadian anak dengan tinggi badan pendek bukan masalah baru di dunia kesehatan dunia. Di
Indonesia sendiri, stunting adalah masalah gizi pada anak yang masih menjadi pekerjaan rumah
yang mesti dituntaskan dengan baik.

Terbukti menurut data Pemantauan Status Gizi (PSG) dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah
anak pendek terbilang cukup tinggi.

Kasus anak dengan kondisi ini memiliki jumlah tertinggi jika dibandingkan dengan
permasalahan gizi lainnya, seperti anak kurang gizi, kurus, dan gemuk.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bisakah stunting pada anak dicegah sejak dini?
Jawabannya, bisa. Stunting pada anak merupakan satu dari beberapa program prioritas yang
dicanangkan oleh pemerintah agar angka kasusnya diturunkan setiap tahun.

Ada berbagai upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah stunting menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016. Cara mencegah stunting menurut Pedoman Penyelenggaraan
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, yakni:

Cara mencegah stunting untuk ibu hamil dan bersalin

Beberapa cara mencegah stunting untuk ibu hamil dan bersalin yaitu:

 Pemantauan kesehatan secara optimal beserta penanganannya, pada 1.000 hari pertama
kehidupan bayi.
 Pemeriksaan kehamilan atau ante natal care (ANC) secara rutin dan berkala.
 Melakukan proses persalinan di fasilitas kesehatan terdekat, seperti dokter, bidan, maupun
puskesmas.
 Memberikan makanan tinggi kalori, protein, serta mikronutrien untuk bayi (TKPM).
 Melakukan deteksi penyakit menular dan tidak menular sejak dini.
 Memberantas kemungkinan anak terserang cacingan.
 Melakukan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan penuh.

Anda bisa berdiskusi dengan dokter kandungan untuk melakukan pencegahan stunting yang
sudah disarankan di atas.

Cara mencegah stunting untuk anak balita

Sementara itu cara mencegah stunting pada balita, yaitu:

 Rutin memantau pertumbuhan perkembangan balita.


 Memberikan makanan tambahan (PMT) untuk balita.
 Melakukan stimulasi dini perkembangan anak.
 Memberikan pelayanan dan perawatan kesehatan yang optimal untuk anak.

Anda bisa berdiskusi dengan dokter anak untuk menyesuaikan dengan kebiasaan si kecil, agar
pencegahan stunting bisa dilakukan.

Cara mencegah stunting untuk anak usia sekolah

Anak sekolah juga perlu diberi pembekalan sebagai upaya pencegahan stunting, seperti:

 Memberikan asupan gizi sesuai kebutuhan harian anak.


 Mengajarkan anak pengetahuan terkait gizi dan kesehatan.

Lakukan secara perlahan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak-anak.
Untuk remaja

Meski stunting pada remaja tidak bisa diobati, tapi masih bisa dilakukan perawatan, di antaranya:

 Membiasakan anak untuk melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola gizi
seimbang, tidak merokok, dan tidak memakai narkoba
 Mengajarkan anak mengenai kesehatan reproduksi

Anda bisa melakukannya pada anak yang sudah masuk usia remaja, yaitu 14-17 tahun.

Untuk dewasa muda

Berikut cara mencegah kondisi ini pada usia dewasa muda:

 Memahami seputar keluarga berencana (KB)


 Melakukan deteksi dini terkait penyakit menular dan tidak menular
 Senantiasa menerapkan perilaku hidup bersih sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok,
dan tidak memakai narkoba.

Intinya, jika ingin mencegah stunting, asupan serta status gizi seorang calon ibu harus baik. Hal
ini kemudian diiringi dengan memberikan asupan makanan yang berkualitas ketika anak telah
lahir.
Apakah pertumbuhan anak stunting bisa kembali normal?

Sayangnya, stunting merupakan kondisi gangguan pertumbuhan yang tidak bisa dikembalikan
seperti semula. Artinya, ketika seorang anak sudah stunting sejak masih balita, pertumbuhannya
akan terus lambat hingga ia dewasa.

Saat puber, ia tidak dapat mencapai pertumbuhan maksimal akibat sudah terkena stunting di
waktu kecil. Meski Anda telah memberikannya makanan kaya gizi, tetap saja pertumbuhannya
tidak dapat maksimal seperti anak normal lainnya.

Namun, tetap penting bagi Anda memberikan berbagai makanan yang bergizi tinggi agar
mencegah kondisi si kecil semakin buruk dan gangguan pertumbuhan yang ia alami semakin
parah.

Oleh karena itu, sebenarnya hal ini dapat dicegah dengan cara memberikan nutrisi yang
maksimal saat awal-awal kehidupannya. Tepatnya selama 1.000 hari pertama kehidupan anak.

Anda mungkin juga menyukai