Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

“GANGGUAN CEMAS MENYELURUH”

Pembimbing :
dr. Wiharto, Sp. KJ, M.Kes

Oleh :
Andrew Kusuma D G4A021038

SMF ILMU PENYAKIT KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2022
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
STASE ILMU KEDOKTERAN JIWA

“GANGGUAN CEMAS MENYELURUH”

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Banyumas

Oleh :
Andrew Kusuma D G4A021038

Disetujui
Pada tanggal, Agustus 2022

Penguji,

dr. Wiharto, Sp. KJ, M.Kes


I. PENDAHULUAN

Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh
situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin
memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi
yang mengancam tersebut terjadi. Gangguan kecemasan adalah sekelompok kondisi
yang memberi gambaran penting tentang kecemasan yang berlebihan, disertai respons
perilaku, emosional, dan fisiologis. Individu yang mengalami gangguan kecemasan
dapat memperlihatkan perilaku yang tidak lazim seperti panik tanpa alasan, takut yang
tidak beralasan terhadap objek atau kondisi kehidupan, melakukan tindakan berulang-
ulang tanpa dapat dikendalikan, mengalami kembali peristiwa yang traumatik, atau
rasa khawatir yang tidak dapat dijelaskan atau berlebihan. Pada kesempatan yang
jarang terjadi, banyak orang memperlihatkan salah satu dari perilaku yang tidak lazim
tersebut sebagai respons normal terhadap kecemasan. Perbedaan antara respons
kecemasan yang tidak lazim ini dengan gangguan kecemasan ialah bahwa respons
kecemasan cukup berat sehingga bisa mengganggu kinerja individu, kehidupan
keluarga, dan gangguan sosial (Amir, 2013).
Rasio wanita dan laki-laki adalah kirakira 2:1, usia onset sukar untuk
ditentukan, karena sebagian besar pasien melaporkan bahwa mereka mengalami
kecemasan selama yang dapat mereka ingat. Pasien biasanya datang untuk
mendapatkan perawatan dokter pada usia 20 tahunan, walaupun kontak pertama
dengan klinisi dapat terjadi pada hampir setiap usia. Hanya sepertiga pasien yang
menderita gangguan kecemasan umum mencari pengobatan psikiatrik. Banyak pasien
pergi ke dokter umum, dokter penyakit dalam, dokter spesialis kardiologi, spesialis
paru-paru, atau dokter spesialis gastroenterologi untuk mencari pengobatan (American
Psychiatric Assosiation, 2010).
National Comorbidity Study melaporkan bahwa satu diantara empat orang,
memenuhi kriteria untuk sedikitnya satu gangguan cemas, dan angka prevalensi
sebesar 17,7% dalam satu tahun. Perkiraan yang diterima untuk prevalensi gangguan
cemasan umum dalam satu tahun adalah dari 3-8%. Gangguan cemas menyeluruh
kemungkinan merupakan gangguan yang paling sering ditemukan dengan gangguan
mental penyerta, biasanya gangguan cemas atau gangguan mood lainnya.
Kemungkinan 50% dengan gangguan cemas menyeluruh memiliki gangguan mental
lainnya (American Psychiatric Assosiation, 2010).
II. TINAJUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam dan
merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan,
pengalam baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan
identitas diri. Kecemasan merupakan reaksi berupa perasaan subjektif mengenai
ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari
ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman (Kaplan et
al., 2010).
Gangguan cemas merupakan gangguan yang sering dijumpai pada klinik
psikiatri. Gangguan cemas menyeluruh merupakan kondisi gangguan yang
ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional
bahkan terkadang tidak realistik terhadap berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari
(FKUI, 2017).
Menurut DSM V mendefinisikan gangguan cemas menyeluruh sebagai
ansietas dan kekhawatiran yang berlebihan mengenai beberapa peristiwa atau
aktivitas hampir sepanjang hari selama sedikitnya 6 bulan (Kaplan et al., 2010).
B. Epidemiologi
Prevalensi gangguan cemas menyeluruh dalam satu tahun diperkirakan 3-
8%. Studi lainnya National Comorbidity Study melaporkan 1 dari 4 orang
memenuhi setidaknya salah satu kriteria gangguan cemas. Studi ini juga
melaporkan prevalensi gangguan cemas cukup tinggi yakni 17,7% (American
Psychiatric Assosiation, 2010).
Gangguan cemas menyeluruh lebih banyak terjadi pada wanita dibanding
pria dengan perbandingan 2:1. Onset usia pertama kali gangguan cemas
menyeluruh terdiagnosis sulit untuk ditentukan, namun biasanya pasien datang
mencari pengobatan dan membutuhkan perawatan pada usia 20 tahun walaupun
gangguan cemas menyeluruh dapat terjadi pada usia berapapun. Kesulitan
menentukan onset ini disebabkan karena penderita pertama kali melakukan
kontak dengan tenaga kesehatan tidak oleh dokter ahli kejiwaan. Pasien dengan
gangguan cemas menyeluruh biasanya datang ke dokter pertama kali karena
keluhan somatis yang dialamainya sehingga sering salah didiagnosis oleh dokter.
Hanya sepertiga dari pasien gangguan cemas menyeluruh yang menemui ahli
kedokteran jiwa pertama kali, selebihnya menemui dokter umum, dokter penyakit
dalam, dokter ahli kardiologi, ahli paru dan spesialis gastroenterologi (American
Psychiatric Assosiation, 2010).
C. Etiologi
Terdapat beberapa teori yang mendasari kecemasan, yaitu ilmu psikologi
dan ilmu biologi (Kaplan et al., 2010).
1. Teori psikologis
a) Teori psikoanalitik
Definisi Freud, kecemasan dipandang sebagai hasil dari konflik psikis
antara keinginan tidak disadari bersifat seksual atau agresif dan
ancaman terhadap hal tersebut dari realitas eksternal atau superego.
Dalam menanggapi sinyal ini, ego mengerahkan mekanisme
pertahanan untuk mencegah pikiran dan perasaan yang tidak dapat
diterima muncul ke kesadaran.
b) Teori perilaku
Kecemasan merupakan respons yang dipelajari terhadap stimulus
lingkungan spesifik.
c) Teori eksistensial
Kecemasan merupakan respon terhadap kehampaan yang luas
mengenai keberadaan dan makna.
2. Teori biologi
a) Sistem saraf otonom
Sistem saraf otonom dari beberapa pasien dengan gangguan
kecemasan, terutama gangguan panik, menunjukkan tonus simpatik
meningkat, beradaptasi lambat terhadap rangsangan berulang, dan
merespon berlebihan terhadap rangsangan sedang.
b) Neurotransmitter
Tiga neurotransmitter utama yang terkait dengan kecemasan adalah
norepinefrin (NE), serotonin, dan Î ³-aminobutyric acid (GABA).
- Norepinefrin
Pasien dengan gangguan kecemasan dapat memiliki sistem
noradrenergik buruk dengan ledakan aktivitas yang kadang terjadi.
- Serotonin
Beberapa laporan menunjukkan bahwa meta-
chlorophenylpiperazine (MCPP), obat serotonergikdengan
beberapa efek dan nonserotonergic, danfenfluramine (Pondimin),
yang menyebabkan pelepasan serotonin, menimbulkan peningkatan
kecemasan pada pasien dengan gangguan kecemasan.
- GABA
Dari beberapa studi yang telah dilakukan berhipotesis bahwa
beberapa pasien dengan gangguan kecemasan memiliki fungsi
abnormal reseptor GABA.
c) Studi pencitraan otak
Dalam satu studi MRI, cacat tertentu di lobus temporal kanan tercatat
pada pasien dengan gangguan panik.
d) Studi genetik
Penelitian genetik telah menghasilkan bukti kuat bahwa keturunan
telah diakui sebagai faktor predisposisi dalam pengembangan
gangguan kecemasan. Hampir setengah dari semua pasien dengan
gangguan panik memiliki setidaknya satu kerabat yang terkena
dampak.
e) Pertimbangan neuroanatomi
Lokus seruleus dan proyek inti raphe terutama ke sistem limbik dan
korteks serebral. Dalam kombinasi dengan datadari studi pencitraan
otak, daerah ini telah menjadi fokus dari banyak hipotesis tentang
pembentukan substrat neuroanatomi dari gangguan kecemasan.
D. Faktor Resiko
1) Jenis Kelamin
Wanita mempunyai kemungkinan lebih besar mengalami gangguan cemas
dibanding pria
2) Trauma masa kanak
Anak-anak yang menyaksikan maupun mengalami peristiwa traumatis
berisiko lebih tinggi mengalami gangguan cemas
3) Genetik
Faktor keterunan memiliki risiko lebih besar untuk mengalami gangguan
cemas
4) Kepribadian
Orang yang memiliki kepribadian gugup, yang kompetitif atau yang memiliki
harapan tinggi terhadap dirinya sendiri, lebih rentan terhadap GAD. Selain itu,
beberapa gangguan kepribadian juga mungkin terkait dengan GAD.
5) Penggunaan obat-obatan atau alkohol
Penyalahgunaan dan gejala putus obat anti-ansietas seperti golongan
benzodiazepine menyebabkan atau memperburuk kecemasan (Taillieu et al.,
2018).
E. Patofisiologi
Ansietas berhubungan dengan tiga neurotrasmiter utama yaitu norepinefrin,
GABA, dan serotonin (Kaplan et al., 2010).
1. Norepinefrin
Teori umum mengenai peran norepinefrin dalam gangguan ansietas
adalah bahwa pasien yang mengalami ansietas dapat memiliki sistem
adrenergik yang diatur dengan buruk dengan ledakan aktivitas yang kadang-
kadang terjadi. Badan sel sistem noradrenergik terutama terletak pada locus
ceruleus di pons pars rostralis dan badan sel ini menjulurkan aksonnya ke
korteks serebri, sistem limbik, batang otak, serta medulla spinalis.
2. Serotonin
Antidepresan serotogenik memiliki efek terapeutik pada sejumlah
gangguan ansietas, contohnya clomipramine pada gangguan obsesi
kompulsif. Efekttivitas buspiron, agonis reseptor sereotnin 5-HT1A, dalam
terapi gangguan ansietas juga mengesankan kemungkinan hubungan antara
serotonin dan ansietas. Badan sel sebagaian besar neuron seotogenik terletak
di raphe nuclei di batang otak pars rostralis dan menyalurkan impuls ke
korteks sereberi, sistem limbic serta hipotalamus. Sejumlah laporan
menunjukkan bahwa m-klorofenilpiperazin yaitu obat dengan berbagai efek
serotonergik dan nonserotogergik serta fenfluramin yang menyebabkan
pelepasan serotonin, menimbulkan ansietas.
3. GABA
Peran GABA dalam gangguan ansietas paling kuat didukung oleh
efektivitas benzodiazepin yang tidak meragukan, yang meningkatkan
aktivitas GABA direseptor GABAA, di dalam terapi beberapa jenis gangguan
ansietas. Walaupun benzodiazepin potensi rendah paling efektif untuk gejala
gangguan cemas menyeluruh.
F. Diagnosis
 Pedoman Diagnostik Menurut PPDGJ III. 
Penderita harus menunjukkan kecemasan sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan,
yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu
saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”.)  Gejala-gejala tersebut
biasanya mencakup unsur-unsur berikut :
a) Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit
konsentrasi, dsb)
b) Ketegangan motoric (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai);
dan
c) Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, janOveraktivitas
otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak
nafas, keluhan kembung, pusing kepala, mulut kering, tung berdebar-debar,
sesak nafas, keluhan kembung, pusing kepala, mulut kering, dsb). 
 Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatic brulang yang
menonjol. 
 Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama. Gangguan anxietas
menyeluruh, selama hal tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode
depresi (F32), gankap dari episode depresi (F32), gangguan anxietas fobik
(F40), gangguan panic (F41.0), gangguan obsesif kompulsif (F42.)

Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut DSM V adalah:

1. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap


hari, sepanjang hari, terjadi selama sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah
aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas sekolah).
2. Penderita merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya.
3. Kecemasan dan kekhawatirannya disertai tiga atau lebih dari enam gejala
berikut ini (dengan sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi
dibandingkan tidak terjadi selama enam bulan terakhir). Pada anak hanya
diperlukan satu gejala. Gejala tersebut adalah:

 Kegelisahan
 Merasa mudah lelah
 Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
 Iritabilitas
 Ketegangan otot
 Gangguan tidur (sulit tertidur atau tetap tidur, atau tidur gelisah dan
tidak memuaskan).

1. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan gangguan yang


bermakna secara klinis, atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi kehidupan penting lainnya.
2. Gangguan yang terjadi adalah bukan terjadi karena efek fisiologis
langsung dari suatu zat atau obat seperti pada penyalahgunaan obat, atau
kondisi medis umum seperti hipertiroidisme.
3. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan dengan kondisi medis lainnya

G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding gangguan cemas menyeluruh mencakup semua
gangguan medis yang dapat menyebabkan anxietas. Perlu dibedakan dari
kecemasan akibat kondisi medis umum maupun gangguan yang berhubungan
dengan penggunaan zat. Diperlukan pemeriksaan medis termasuk tes kimia
darah, elektrokardiografi, dan tes fungsi tiroid. Klinisi harus menyingkirkan
adanya intoksikasi kafein, penyalahgunaan stimulansia, kondisi putus zat atau
obat seperti alkohol, hipnotik sedatif, dan anxiolitik (Kaplan et al., 2010).
Gangguan psikiatrik lain yang merupakan diagnosis banding GAD adalah
gangguan panik, fobia, gangguan obsesi kompulsif, hipokondrisis, gangguan
somatisasi, gangguan penyesuaian dengan kecemasan, dan gangguan
kepribadian. Umumnya, pada pasien dnegan gangguan panik akan mencari terapi
lebih dini dikarenakan gejala penyaitnya, onset mendadak, dan gejala somatic
kurang menonjol dibandingkan GAD. Membedakan GAD dengan gangguan
depresi dan distmik tidak mudah, dan gangguan-gangguan ini sering kali
bersama-sama GAD (Amir, 2013).
H. Tatalaksana
Terapi yang paling efektif untuk gangguan cemas menyeluruh adalah terapi
yang menggabungkan pendekatan farmakoterapeutik, psikoterapeutik, dan
suportif.
1. Farmakoterapi 
a. Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepine dimulai
dengan dosis terendah dan ditingkatkan sampai mencapai respons terapi.
Pengguanaan sediaan dengan waktu paruh menengah dan dosis terbagi
dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama pengobatan
rata-rata 2-6 minggu, dilanjutkan dengan masa tapering off selama 1-2
minggu. Spektrum klinis Benzodiazepin meliputi efek anti-anxietas,
antikonvulsan, anti-insomnia, dan premedikasi tindakan operatif. Adapun
obat-obat yang termasuk dalam golongan Benzodiazepin antara lain
(FKUI, 2017; Rusdi, 2007):
- Diazepam: dosis anjuran oral = 2-3 x 2-5 mg/hari; injeksi = 5-10 mg
(im/iv), broadspectrum.
- Chlordiazepoxide: dosis anjuran 2-3 x 5-10 mg/hari, broadspectrum.
- Lorazepam: dosis anjuran 2-3 x 1 mg/hari, dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas,
untuk pasien-pasien dengan kelainan hati dan ginjal.
- Clobazam: dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas,
psychomotor performance paling kurang terpengaruh, untuk pasien
dewasa dan usia lanjut yang masih ingin tetap aktif.
- Bromazepam: dosis anjuran 3 x 1,5 mg/hari, dosis anti-anxietas dan anti-
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas.
- Alprazolam: dosis anjuran 3 x 0,25 – 0,5 mg/hari, efektif untuk anxietas
tipe antisipatorik, “onset of action” lebih cepat dan mempunyai
komponen efek anti-depresi.
b. Non-benzodiazepin (Buspiron)
Buspiron efektif pada 60-80% penderita GAD. Buspiron lebih efektif
dalam  memperbaiki gejala kognitif dibanding gejala somatik. Tidak
menyebabkan withdrawal. Dosis anjuran 2-3x 10 mg/hari.
Kekurangannya adalah, efek klinisnya baru terasa setelah 2-3 minggu.
Terdapat bukti bahwa penderita GAD yang sudah menggunakan
Benzodiazepin tidak akan memberikan respon yang baik dengan
Buspiron. Dapat dilakukan penggunaan bersama antara Benzodiazepin
dengan Buspiron kemudian dilakukan tapering Benzodiazepin setelah 2-3
minggu, disaat efek terapi Buspiron sudah mencapai maksimal (FKUI,
2017).

c. SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor)


Sertraline dan paroxetin merupakan pilihan yang lebih baik daripada
fluoksetin. Pemberian fluoksetin dapat meningkatkan anxietas sesaat.
SSRI sefektif terutama pada pasien GAD dengan riwayat depresi (FKUI,
2017).
2. Psikoterapi
- Terapi kognitif-perilaku
Teori Cognitive Behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola
pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-
respon, dimana proses kognisi akan menjadi faktor penentu dalam
menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. Terapi
kognitif perilaku diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa
dan bertindak, dengan menekankan peran otak dalam menganalisa,
memutuskan, bertanya,  berbuat dan memutuskan kembali. Dengan
mengubah arus pikiran dan perasaan, klien diharapkan dapat mengubah
tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif. Tujuan terapi kognitif
perilaku ini adalah untuk mengajak pasien menentang pikiran dan emosi
yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan
keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi.  Pendekatan kognitif
mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi kognitif dan
pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung. Teknik
utama yang digunakan pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan
biofeedback (FKUI, 2017; Rusdi, 2007).
- Terapi suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi
yang ada dan belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi
optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya (FKUI, 2017).
- Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai penyingkapan konflik
bawah sadar, menilik egostrength, relasi objek, serta keutuhan self
pasien. Dari pemahaman akan komponen-komponen tersebut, kita
sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah
untuk menjadi lebih matur, bila tidak tercapai, minimal kita memfasilitasi
agar pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya
(FKUI, 2017).
I. Prognosis
Gangguan cemas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang mungkin
berlangsung seumur hidup.Sebanyak 25% penderita pada akhirnya mengalami
gangguan panik, dan dapat mengalami gangguan depresi mayor. Gangguan cemas
menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis. Gangguan ini dapat berlangsung
seumur hidup. Terapi psikofarmaka dan psikoterapi dapat menurunkan gejala
(Kaplan et al., 2010).

III. KESIMPULAN
Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder/GAD)
merupakan gangguan yang sering dijumpai, kondisi ini ditandai dengan kecemasan
dan kekhawatiran yang berlebih terhadap berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari.
Gangguan tersebut menyebabkan disfungsi (sosial, okupasional, dan perawatan
keberlangsungan hidup) yang bermakna dan mempersulit perawatan medis kondisi
kejiwaan lainnya, sehingga kondisi ini dapat mengurangi kualitas hidup.
Penyebab terjadinya GAD dapat dijelaskan melalui beberapa teori, antara lain
teori biologik, teori genetik, teori psikoanalitik, dan teori kognitif-perilaku.
Diagnosis GAD dapat ditegakkan melalui kriteria – kriteria yang tercantum
pada PPDGJ-III maupun DSM V. Namun, di praktik sehari – hari lebih sering
menggunakan PPDGJ-III. Menurut PPDGJ-III, GAD dapat ditegakkan jika penderita
menunjukkan kecemasan sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari
dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, bersifat tidak terbatas pada keadaan
situasi tertentu saja atau “free floating”.
Gejala – gejala yang muncul biasanya mencakup kecemasan (khawatir akan
nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit konsentrasi), ketegangan motorik
(gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai), dan overaktivitas otonom
(kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar – debar, sesak napas, keluhan
lambung).
Gangguan psikiatrik lain yang merupakan diagnosis banding GAD adalah
gangguan panik, fobia, gangguan obsesi kompulsif, hipokondrisis, gangguan
somatisasi, gangguan penyesuaian dengan kecemasan, dan gangguan
kepribadian.Penatalaksanaan GAD dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu terapi
psikologis (psikoterapi) dan terapi dengan obat – obatan (farmakoterapi). Psikoterapi
yang dapat dilakukan meliputi terapi kognitif-perilaku (CBT), terapi suportif dan
psikoterapi berorientasi tilikan. Obat pilihan yang digunakan adalah golongan
benzodiazepine khususnya diazepam dan alprazolam. Anti depresan juga dapat
dikombinasikan misalnya golongan SSRI seperti fluoxetine.

DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Assosiation. Practice guideline for the treatment of patients
with panic disorder second edition. New York: American Psychiatric
Assosiation; 2010.
Amir N. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2013.
Departemen Psikiatri RSCM/FKUI. Buku ajar psikiatri. Ed 3. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2017.p.286-7.
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis psikiatri: ilmu pengetahuan perilaku
psikiatri klinis. Edisi ke-7, Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 2010.
Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi Ke-3.
Jakarta. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. 2007: 36-41.
Taillieu TL, et al. Risk Factors, Clinical Presentations, and Functional Impairments
for Generalized Anxiety Disorder in Military Personnel and the General
Population in Canada. 2018. The Canadian Journal of Psychiatry, 63(9),
610–619. https://doi.org/10.1177/0706743717752878

Anda mungkin juga menyukai