TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Klasifikasi
Secara umum sepsis neonatorum diklasifikasikan berdasarkan waktu
terjadinya menjadi sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis)
dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis) (Aminullah,
2008). Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi
segera dalam periode p1ostnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh
pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang
ditemukan pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40%
kasus)], Escherichia coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes,
sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme
penyebabnya adalah batang gram negatif. (Andersen, 2006).
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72
jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi
nosokomial). Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan
transmisi horizontal. Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu
kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS)
dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL, sedangkan di negara
berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang gram negatif (E. coli,
Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa) (Schuchat et al., 2000; Bernardin,
H.John & Russel, 2010).
4
5
C. Epidemiologi
Berdasarkan perkiraan World Health Organitation (WHO) hampir
semua (98%) dari 5 juta kematian neonatal terjadi di negara berkembang. Lebih
dari dua pertiga kematian itu terjadi pada periode neonatal dini dan 42%
kematian neonatal disebabkan infeksi seperti: sepsis, tetanus neonatorum,
meningitis, pneumonia dan diare (Unicef, 2014).
Incidence rate sepsis neonatorum di negara maju berkisar antara 3-5
per 1.000 kelahiran hidup dengan Case Fatality Rate (CFR) 10,3%. WHO
(2007) melaporkan CFR pada kasus sepsis neonatorum di dunia masih tinggi
yaitu 40% (Ahmad & Khalid, 2014). Saat ini sepsis neonatorum menyebabkan
sekitar 1,6 juta kematian setiap tahunnya di negara berkembang. Tahun 2003
incidence rate sepsis neonatorum di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-
18 per 1.000 kelahiran hidup dengan CFR 12-68%. Insiden sepsis lebih tinggi
pada kelompok neonatus dan bayi <1 tahun dibandingkan dengan usia >1-18
tahun (9,7 versus 0,23 kasus per 1000 anak) (Randolph dan McCulloh, 2014).
Incidence rate sepsis neonatorum di Indonesia belum banyak
dilaporkan. Incidence sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit rujukan di
Indonesia tahun 2005 berkisar antara 1,5-3,72% dengan CFR berkisar antara
37-80% (Nugrahani, 2005).
D. Etiologi
Hampir sebagian besar kuman penyebab di negara berkembang adalah
kuman gram negatif berupa kuman enterik seperti Enterobacter sp., Klebsiella
sp. dan Coli sp (Kosim et al, 2014), sedangkan di Amerika Utara dan Eropa
Barat 40% penderita terutama disebabkan oleh Streptococcus grup b.
selanjutnya kuman lain seperti Coli sp., Listeria sp.dan Enterovirus ditemukan
dalam jumlah yang lebih sedikit (Kosim et al, 2014).
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang pola
kuman yang terlihat juga tidak banyak berbeda dengan kuman di Negara
berkembang lainnya, karakteristik mikroorganisme penyebab sepsis di
beberapa rumah sakit di Indonesia terlihat dalam Tabel 2.1
6
1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.
Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau
Listeria dll.
2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor antisepsis misalnya
saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau
amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan
akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman
pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih
berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke
dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran
pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi
yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-
24 jam.
ventilator, kurang memperhatikan tindakan anti sepsis, rawat inap yang terlalu
lama dan hunian terlalu padat, dll. Bila paparan kuman pada kedua kelompok
ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang
berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang
terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada
pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat
akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian
antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul
akibat beratnya penyakit (Bone, 1996).
a. Respon Inflamasi
Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen
dengan pejamu. Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses
molekular dan selular yang memicu respon sepsis berbeda tergantung dari
mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya sama dan tidak
bergantung pada organisme penyebab. Respon sepsis terhadap bakteri
Gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu
endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan
komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki
peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat
protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB).
Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu
reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS
kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal
sehingga terjadi aktivasi makrofag (Bochud dan Calandra, 2003).
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua
mekanisme, yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja
sebagai superantigen dan (2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang
merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T
untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat
banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat
menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui
mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok
10
Frekuensi
Gejala klinis Aminullah , Shattuck, Pong A,
1993 1992 2003
Gangguan minum 100% 35% 48%
Letargi/tampak sakit berat 100%
Gangguan nafas/dispnea 59% 27% 33%
Ikterus/hiperbilirubinemia 55%
Jittery/Iritabel 16% 62% 60%
Kejang 48% 19% 42%
Gangguan serebral 23%
(spastis, paresis)
Hipertermia/hipotermia 34% 46% 60%
Serangan apnea 20% 15% 31%
Gangguan gastrointestinal 14% 12% 20%
21
• Merintih
• Kejang
• Suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral
teraba dingin)
Kategori A Kategori B
Gangguan napas (misalnya: Tremor
apnea,frekuensi napas > 60 Letargi atau lunglai/layuh
atau <30 kali/menit, retraksi Mengantuk atau kurang aktif
dinding dada, merintih pada Iritabel atau rewel
waktu ekspirasi, sianosis
sentral)
Kejang Muntah (menyokong ke arah
sepsis)
Tidak sadar
Suhu tubuh tidak normal (tidak Distensi abdomen (menyokong
normal sejak lahir dan tidak ke arah sepsis)
memberi respons terhadap Tanda mulai muncul sesudah
terapi atau suhu tidak stabil hari ke 4 (menyokong ke arah
sesudah pengukuran suhu sepsis)
normal selama tiga kali atau Air ketuban bercampur
lebih, menyokong ke arah mekonium
sepsis) Malas minum, sebelumnya
minum dengan baik
(menyokong ke arah sepsis)
Tabel 2.4 Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan bayi prematur
Haematological tests
Total white blood cell count
Total neutrophil count
Immature neutrophil count
Immature/total neutrophil ratio
Neutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Do¨hle
bodies, intracellular bacteria
Platelet count
Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)
D-dimer
Fibrinogen
Thrombin-antithrombin III complex (TAT)
Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)
Plasminogen tissue activator (tPA)
Acute phase proteins and other proteins
a1 Antitrypsin
C Reactive protein (CRP)
Fibronectin
Haptoglobin
Lactoferrin
Neopterin
Orosomucoid
Procalcitonin (PCT)
Components of the complement system
C3a-desArg
C3bBbP
sC5b-9
Chemokines, cytokines and adhesion molecules
Interleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10
Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75
Interferon c (IFNc)
E-selectin
L-selectin Soluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)
Vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1)
26
atau
<4.500/mm3
Limfosit • Limfopenia Keterbatasan: <1300 /uL Sensitivita
menunjuk- kan dapat menurun s: 73,9%
diagnosis pada infeksi Spesifitas:
bakteremia virus, penyakit 57,6%
kritis, atau PPV:
malnutrisi 63,6%
NPV:
68,8%
CRP 10-100
mg/L; PCT
0,3-2 ng/mL
Virus: CRP
<10mg/L;
PCT <2
ng/mL
b. Pencitraan
1) Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa
gambaran, misalnya:
- Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya
difus, pola retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran
pada RDS (Respiratory Distress Syndrome).
- Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.
- Pneumonia.
Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena
ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis
awitan dini yang telah terbukti dengan kultur (McKenzie et
al., 2011).
2) Pemeriksaan CT Scan
Diperlukan pada kasus meningitis neonatal kompleks untuk
melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat
infark ataupun abses (Vincent et al., 2013).
3) USG kepala
Pada neonatus dengan meningitis dapat menunjukkan
ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim, cairan
ekstraselular dan perubahan kronis. Secara serial, USG kepala
dapat menunjukkan progresivitas komplikasi (Vincent et al.,
2013).
H. Penatalaksanaan
1. Antibiotik
Pemilihan jenis antibiotika empirik sesuai dengan dugaan etiologi
infeksi, diagnosis kerja, usia, dan predisposisi penyakit. Apabila penyebab
31
sepsis belum jelas, antibiotik diberikan dalam 1 jam pertama sejak diduga
sepsis, dengan sebelumnya dilakukan pemeriksaan kultur darah. Upaya
awal terapi sepsis adalah dengan menggunakan antibiotika tunggal
berspektrum luas. Setelah bakteri penyebab diketahui, terapi antibiotika
definitif diberikan sesuai pola kepekaan kuman (Simmons et al., 2012).
a. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini
Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E.
coli, dan Listeria monocytogenes. Kombinasi penisilin atau ampisilin
ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas
dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab SAD.
Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas
antibakteri (Dellit et al., 2007).
b. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat
Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida
dapat juga digunakan untuk terapi awal SAL. Pada beberapa rumah
sakit, strain penyebab infeksi nosokomial telah mengalami perubahan
selama 20 tahun terakhir ini karena telah terjadi peningkatan resistensi
terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin. Oleh karena itu, pada
infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin.
Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh
sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga
yang dapat menginaktifkan aminoglikosida lain (Dellit et al., 2007)
Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter
vaskular), obat anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah
aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal. Pada kasus
endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko infeksi
Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin
atau azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan
seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim
lebih aktif terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau
piperasilin (Dellit et al., 2007).
32
2. Anti-jamur
Pasien dengan predisposisi infeksi jamur sistemik (skor Kandida
≥3 dan kadar prokalsitonin >1,3 ng/mL) memerlukan terapi anti-jamur.
Penggunaan anti- jamur pada sepsis disesuaikan dengan data sensitivitas
lokal. Bila tidak ada data, dapat diberikan lini pertama berupa:
amphotericin B atau flukonazol, sedangkan lini kedua adalah mycafungin
(McKenzie, 2012).
3. Tata laksana disfungsi organ
a. Pernapasan
Tata laksana pernapasan meliputi: pembebasan jalan napas
(non-invasif dan invasif) dan pemberian suplemen oksigen. Langkah
pertama resusitasi adalah pembebasan jalan nafas sesuai dengan
tatalaksana bantuan hidup dasar. Selanjutnya pasien diberikan
suplemen oksigen, awalnya dengan aliran dan konsentrasi tinggi
melalui masker. Oksigen harus dititrasi sesuai dengan pulse oximetry
dengan tujuan kebutuhan saturasi oksigen >92%. Bila didapatkan
tanda-tanda gagal nafas perlu dilakukan segera intubasi endotrakeal
dan selanjutnya ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif.
Penggunaan obat-obatan anestesi untuk induksi disarankan dengan
menggunakan ketamin dan rokuronium, dan menghindari etomidate
karena berkaitan dengan supresi adrenal (Goldstein et al., 2005).
34
f. Nutrisi
Nutrisi diberikan setelah respirasi dan hemodinamik stabil,
diutamakan secara enteral dengan kebutuhan fase akut 57
kCal/kg/hari dan protein 60% dari total kebutuhan protein (0-2 tahun:
2-3 g/kg/hari; 2-3 tahun: 1,5-2 g/ kg/hari; 3-18 tahun: 1,5 g/kg/hari)
(Berchard et al., 2012).
I. Pencegahan dan Pengendalian
1. Pencegahan sepsis awitan dini
Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang
diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat
menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56%
pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan
risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis
dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat menurunkan angka
kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB sebesar 86%.
Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau
ketuban pecah dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan
gentamisin intravena selama persalinan. Antibiotik tersebut diberikan
sebagai obat profilaksis. Bagi ibu yang pernah mengalami alergi terhadap
penisilin dapat diberikan cefazolin (Benitz et al., 1999).
2. Pencegahan sepsis awitan lambat
Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang
berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain : Pemantauan yang
berkelanjutan Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah
tenaga medis dibandingkan jumlah pasien Bentuk ruang perawatan
Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai Program untuk
meningkatkan kepatuhan mencuci tangan Perhatian terhadap penanganan
dan perawatan kateter vena sentral Pemakaian kateter vena sentral yang
minimal Pemakaian antibiotik yang rasional Program pendidikan
meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol
(Clark et al., 2004).
36
J. Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain (Andersen, 2006; Hotchkiss
dan Karl, 2003):
- Meningitis
- Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus
dan/atau leukomalasia periventrikular.
- Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi
acute respiratory distress syndrome (ARDS).
- Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida,
seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal.
- Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai
dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental
- Kematian
K. Prognosis
Diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik, tetapi bila
tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30%
kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi
pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada
sepsis awitan dini adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 –
30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada
SAL kira – kira 2 %) (Andersen, 2006).