Anda di halaman 1dari 33

II.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Menurut The American College of Chest Physicians (ACCP) dan The


Society for Critical Care Medicine (SCCM) sepsis neonatorum didefinisikan
sebagai terduga infeksi atau infeksi yang telah terbukti, ditambah dengan dua
atau lebih kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang
ditandai dengan demam, takikardia, takipnea, dan leukositosis yang terjadi
pada bayi berusia kurang dari 28 hari (Marik, 2007). Sedangkan Menurut
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock, sepsis didefinisikan sebagai munculnya infeksi
bersamaan dengan manifestasi infeksi sistemik (Dellinger et al, 2012).

B. Klasifikasi
Secara umum sepsis neonatorum diklasifikasikan berdasarkan waktu
terjadinya menjadi sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis)
dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis) (Aminullah,
2008). Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi
segera dalam periode p1ostnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh
pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang
ditemukan pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40%
kasus)], Escherichia coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes,
sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme
penyebabnya adalah batang gram negatif. (Andersen, 2006).
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72
jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi
nosokomial). Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan
transmisi horizontal. Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu
kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS)
dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL, sedangkan di negara
berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang gram negatif (E. coli,
Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa) (Schuchat et al., 2000; Bernardin,
H.John & Russel, 2010).

4
5

C. Epidemiologi
Berdasarkan perkiraan World Health Organitation (WHO) hampir
semua (98%) dari 5 juta kematian neonatal terjadi di negara berkembang. Lebih
dari dua pertiga kematian itu terjadi pada periode neonatal dini dan 42%
kematian neonatal disebabkan infeksi seperti: sepsis, tetanus neonatorum,
meningitis, pneumonia dan diare (Unicef, 2014).
Incidence rate sepsis neonatorum di negara maju berkisar antara 3-5
per 1.000 kelahiran hidup dengan Case Fatality Rate (CFR) 10,3%. WHO
(2007) melaporkan CFR pada kasus sepsis neonatorum di dunia masih tinggi
yaitu 40% (Ahmad & Khalid, 2014). Saat ini sepsis neonatorum menyebabkan
sekitar 1,6 juta kematian setiap tahunnya di negara berkembang. Tahun 2003
incidence rate sepsis neonatorum di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-
18 per 1.000 kelahiran hidup dengan CFR 12-68%. Insiden sepsis lebih tinggi
pada kelompok neonatus dan bayi <1 tahun dibandingkan dengan usia >1-18
tahun (9,7 versus 0,23 kasus per 1000 anak) (Randolph dan McCulloh, 2014).
Incidence rate sepsis neonatorum di Indonesia belum banyak
dilaporkan. Incidence sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit rujukan di
Indonesia tahun 2005 berkisar antara 1,5-3,72% dengan CFR berkisar antara
37-80% (Nugrahani, 2005).
D. Etiologi
Hampir sebagian besar kuman penyebab di negara berkembang adalah
kuman gram negatif berupa kuman enterik seperti Enterobacter sp., Klebsiella
sp. dan Coli sp (Kosim et al, 2014), sedangkan di Amerika Utara dan Eropa
Barat 40% penderita terutama disebabkan oleh Streptococcus grup b.
selanjutnya kuman lain seperti Coli sp., Listeria sp.dan Enterovirus ditemukan
dalam jumlah yang lebih sedikit (Kosim et al, 2014).
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang pola
kuman yang terlihat juga tidak banyak berbeda dengan kuman di Negara
berkembang lainnya, karakteristik mikroorganisme penyebab sepsis di
beberapa rumah sakit di Indonesia terlihat dalam Tabel 2.1
6

Tabel 2.1 Karakteristik mikroorganisme penyebab sepsis di beberapa rumah


sakit di Indonesia
Peneliti Tempat Jumlah Kultur Mikroorganisme
Darah Positif Terbanyak
Suarca (2004) RS Sanglah 104 Staphylococcus
Denpasar coagulated
negative,
Enterobacter sp,
klebsiella sp,
Siswanto (2004) NICU RS 264 Serratia sp,
Harapan Kita klebsiella
Jakarta pneumonia.
Enterobacter
aerogenes,
klebsiella sp, P
aeroginosa

Rohsiswatmo RSCM Jakarta 320 Acinetobacter


(2005) calciaceticus,
enterobacter sp,
staphylococcus
sp,

Yuliana (2006) RS Hasan 53 Staphylococcus


Sadikin Bandung epidermidis,
burkholderia
cepacia,
klebsiella
pneumonia

Sofiah (2006) RS Moh Husein 36 Acinobacter


Palembang calcoaceticu,
klebsiella
pneumonia,
staphylococcus
epidermidis,
streptococcus
virridans

Rahman et al. RS Soetomo 36 Staphylococcus


(2006) Surabaya coagulated
negative,
acinetobacter,
enterobacter
aerogenes,
klebsiella
pneumonia.
7

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Apriliana pada tahun 2013 di


Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moelok Bandar Lampung, didapatkan 21%
neonatus yang usianya berkisar antara 1-4 hari dan 79% neonatus yang berusia
di atas 4 hari. Usia neonatus pada kasus sepsis neonatorum dapat memberikan
informasi mengenai 14 kemungkinan asal mikroorganisme penyebab. Pada
neonatus di bawah 4 hari, penyebab umumnya berasal dari bakteri yang
terdapat di jalan lahir dan bakteri yang menginfeksi ibu selama kehamilan.
Selain itu, ada beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian sepsis
pada neonatus dengan usia di bawah 4 hari, antara lain usia kandungan, berat
lahir bayi, skor apgar, asfiksia, ketuban pecah dini lebih dari 12 jam, dan
kelahiran prematur (Nasution, 2008).
Pada penelitian tersebut didapatkan bakteri gram negatif lebih banyak
didapatkan pada penderita sepsis neonatorum, dimana Pseudomonas sp dan
Klebsiella sp merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan sebagai
penyebab sepsis neonatorum. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kayange (2014) yang mendapatkan Klebsiella sp sebagai penyebab
terbanyak sepsis neonatorum. Penelitian yang dilakukan oleh Altayeb (2011)
juga mendapatkan Klebsiella sp, Enterobacter sp dan Escherichia coli sebagai
bakteri gram negatif penyebab sepsis neonatorum. Klebsiella sp merupakan
bakteri gram negatif yang dapat menyebabkan berbagai infeksi di rumah sakit,
seperti pneumonia, sepsis, infeksi luka operasi dan juga meningitis. Klebsiella
sp umumnya ditemukan di saluran pernafasan dan juga feses manusia. Di
tempat pelayanan kesehatan, Klebsiella sp dan Pseudomonas aeruginosa dapat
menginfeksi pasien yang sedang mendapatkan perawatan, terutama pasien
yang menggunakan alat-alat seperti ventilator dan selang infus (Brooks, 2008).
E. Patofisiologi dan Patogenesis
Selama dalam kandungan, janin relatif aman terhadap kontaminasi
kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput
amnion, khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion.
Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui
berbagai jalan yaitu (Andersen, 2006; Baltimore, 2003):
8

1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.
Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau
Listeria dll.
2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor antisepsis misalnya
saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau
amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan
akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman
pada janin.
3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih
berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke
dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran
pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi
yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-
24 jam.

Gambar 2.1 Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan


(Baltimore, 2003).
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik
karena infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang
mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam
9

ventilator, kurang memperhatikan tindakan anti sepsis, rawat inap yang terlalu
lama dan hunian terlalu padat, dll. Bila paparan kuman pada kedua kelompok
ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang
berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang
terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada
pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat
akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian
antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul
akibat beratnya penyakit (Bone, 1996).
a. Respon Inflamasi
Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen
dengan pejamu. Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses
molekular dan selular yang memicu respon sepsis berbeda tergantung dari
mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya sama dan tidak
bergantung pada organisme penyebab. Respon sepsis terhadap bakteri
Gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu
endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan
komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki
peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat
protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB).
Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu
reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS
kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal
sehingga terjadi aktivasi makrofag (Bochud dan Calandra, 2003).
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua
mekanisme, yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja
sebagai superantigen dan (2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang
merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T
untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat
banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat
menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui
mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok
10

organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan


mediator inflamasi sepsis (Gambar 2.2). Mediator inflamasi primer
dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini
akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen (Carrigan et al,
2004).

Gambar 2.2 Patofisiologi kaskade sepsis (Short, 2004).


Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas
selular yang meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui
sistem imunitas humoral dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan
jalur komplemen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengenalan
patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di membran monosit dan
makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan sistem
imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi
menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1
mensekresikan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF),
interferon γ (IFN- γ), interleukin 1-β (IL-1β), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta
menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, -10,
dan -13 (Short, 2004).
11

Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur


melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi
terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman
penyebab. Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang
berlebihan dapat membahayakan dan dapat menyebabkan syok,
kegagalan multi organ serta kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi
berperan penting untuk mengatasi proses inflamasi yang berlebihan dan
mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ vital dapat berjalan
dengan baik. Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi fungsi
organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator
sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor
(PAF), prostaglandin), dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi
makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan
migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan
kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor
trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat
yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan
gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor
pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik.
Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi
pada otot polos pembuluh darah (Short, 2004; Bone, 1996; Carrigan et
al., 2004).
b. Aktivasi inflamasi dan koagulasi
Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi.
Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi
TF secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan
melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan
mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik
adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi kedua
jalur tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi
trombin dan fibrinogen diubah menjadi fibrin. Kolagen dan kalikrein
juga mengaktivasi jalur intrinsik. Trombin mempunyai pengaruh yang
12

beragam terhadap inflamasi dan membantu mempertahankan


keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek
proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk
menyebabkan pelepasan TF, faktor pengaktivasi trombosit dan TNF-α.
Selain itu, trombin merangsang chemoattractant bagi neutrofil dan
monosit untuk memfasilitasi kemotaksis serta merangsang degranulasi
sel mast yang melepaskan bioamin untuk meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler (Short, 2004).
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada
jalur ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat
rangsangan dari mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF
juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui lengkung jalur umpan
balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir
aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin (Short, 2004).
c. Gangguan fibrinolisis
Fibrinolisis adalah respon homeostasis tubuh terhadap aktivasi
sistem koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah baru), rekanalisasi pembuluh darah, dan
penyembuhan luka.33 Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen
activator (t-PA) dan urokinase- type plasminogen activator (u-PA)] akan
dilepaskan dari endotel untuk merubah plasminogen menjadi plasmin.
Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisis fibrin (Bone, 1993; Short,
2004).
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable
fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan.33 Sepsis mengganggu respons
fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak mampu
menghancurkan mikrotrombi. TNF-α menyebabkan supresi fibrinolisis
akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin.
Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP)
yang mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis.
13

Mediator proinflamasi (TNF-α dan IL-6) bekerja secara sinergis


meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosis pada
pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan
disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi
sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang
berat dapat menyebabkan kematian. Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi
maksimal, sistem fibrinolisis akan tertekan. Respon akut sistem
fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen khususnya t-PA dan
u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun, aktivasi
plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan
fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus
dalam mikrovaskular (Mathay, 2001; Levi, 2004).
Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan
intravaskular menyeluruh (PIM) merupakan komplikasi tersering pada
sepsis. Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi
komplikasi perdarahan berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan
trombosis mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1
yang tinggi dihubungkan dengan prognosis buruk (Short, 2004).
Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan
mekanisme inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan
terhadap anti inflamasi dan koagulasi yang lebih dominan terhadap
fibrinolisis, memudahkan terjadinya trombosis mikrovaskular,
hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik,
dapat menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan
kematian. Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi
koagulasi, dan gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis
antara mekanisme prokoagulasi dan antikoagulasi. Dapat dilihat pada
Gambar 2.3 di bawah ini yang memperlihatkan hilangnya homeostasis
akibat mekanisme ini (Short, 2004).
14

Gambar 2.3 Mekanisme proagulasi dan antikoagulasi (Short, 2004).

F. Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Sepsis


1. Faktor Ibu
a. Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting
dalam obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan
komplikasi infeksi korioamnionitis hingga sepsis, yang
meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan
menyebabkan infeksi ibu (Prawiroharjo, 2010). Ketuban pecah dini
adalah pecahnya selaput korioamnionik sebelum terjadi proses
persalinan. Secara klinis diagnosa KPD ditegakkan bila seorang
ibu hamil mengalami pecah selaput ketuban dan dalam satu jam
kemudian tidak terdapat tanda awal persalinan (Manuaba, 2009).
Pada saat ketuban pecah, paparan bakteri yang berasal dari
vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini
bakteri dari saluran genitourinaria masuk ke dalam rongga uterus
dan bayi dapat terkontaminasi melalui saluran pernafasan maupun
saluran cerna. Kejadian kontaminasi bakteri pada bayi yang belum
lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24
jam (Kosim, 2008).
Kepustakaan di luar negeri memberikan batasan waktu
untuk ketuban pecah dini adalah 18 jam (Lowry, 2011). Sedangkan
15

di RSUP Dr. Kariadi Semarang batasan waktu untuk menentukan


ketuban pecah dini sesuai protap pelayanan perinatologi dan
obstetri ginekologi tahun 2000 yaitu >6 jam (Nasution, 2008).
Penyebab ketuban pecah dini pada sebagian kasus tidak
diketahui. Banyak penelitian yang telah dilakukan beberapa dokter
menunjukkan infeksi sebagai penyebabnya. Faktor lain yang
mempengaruhi adalah kondisi sosial ekonomi rendah yang
berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal,
penyakit menular seksual misalnya disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis dan Nischeria gonorrhea. Selain itu infeksi yang terjadi
secara langsung pada selaput ketuban, fisiologi selaput
amnion/ketuban yang abnormal, serviks yang inkompetensi, serta
trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisposisi
atau penyebab terjadinya ketuban pecah dini. Trauma yang
menyebabkan KPD misalnya hubungan seksual dan pemeriksaan
dalam (Morgan, 2009).
Adapun yang menjadi faktor risiko KPD menurut Rukiyah
adalah : infeksi, serviks yang inkompeten, ketegangan intrauterine,
trauma, kelainan letak janin, keadaan sosial ekonomi, peninggian
tekanan intrauterine, kemungkinan kesempitan panggul,
korioamnionitis, faktor keturunan, riwayat KPD sebelumnya,
kelainan atau kerusakan selaput ketuban dan serviks yang pendek
pada usia kehamilan 23 minggu (Winkjosastro, 2011).
Tanda dan gejala ketuban pecah dini yang terjadi adalah
keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, aroma ketuban
berbau amis dan tidak berbau amoniak, mungkin cairan tersebut
masih merembes atau menetes,dengan ciri pucat dan bergaris
warna darah, cairan ini tidak akan berhenti atau kering kerana terus
diproduksi sampai kelahiran tetapi bila duduk atau berdiri kepala
janin yang sudah terletak dibawah biasanya mengganjal.
Kebocoran untuk sementara, demam, bercak vagina yang banyak,
16

nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat, merupakan


tanda infeksi yang terjadi (Nugroho, 2012).
Pengaruh ketuban pecah dini menurut Mochtar (2011),
terhadap ibu dan janin adalah meningkatnya mortalitas dan
morbiditas perinatal. Komplikasi yang sering dialami oleh janin
adalah Hipoksia dan asfiksia sekunder (kekurangan oksigen pada
bayi). Mengakibatkan kompresi tali pusat, prolaps uteri, dry
labour/partus lama, skor APGAR rendah, ensefalopati, cerebral
palsy, perdarahan intracranial,gagal ginjal, distress pernapasan.
Sehingga dapat menyebabkan sepsis pada bayi baru lahir. Ketuban
pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan
ruangan dalam rahim, memudahkan terjadinya infeksi asenden,
sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal
(Yulaikhah, 2008).
b. Usia Kehamilan
Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional,
kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari
spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau
implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi,
kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau
10 bulan atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kehamilan
terbagi dalam 3 trimester, dimana trimester kesatu berlangsung
dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu ke-13
hingga ke-27), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28
hingga ke-40) (Prawirohardjo, 2009).
Masa kehamilan adalah dimulai dari konsepsi sampai
lahirnya janin. Lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu
atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir
(Prawirohardjo, 2009). Persalinan prematur adalah suatu
persalinan dari hasil konsepsi yang dapat hidup tetapi belum aterm
(cukup bulan). Berat janin antara 1000-2500 gram atau tua
17

kehamilan antara 28 minggu sampai 36 minggu (Wiknjosastro,


2011).
Bayi prematur sangat rentan untuk terjadinya infeksi dan
sepsis. Sepsis neonatorum merupakan infeksi berat yang menyebar
keseluruh tubuh bayi baru lahir dan terjadi pada bayi berusia di
bawah 90 hari. Infeksi bakteri 5 kali lebih sering terjadi pada bayi
baru lahir yang berat badannya kurang dari 2,75 kg dan 2 kali lebih
sering mengenai bayi laki-laki (Chobanian et al, 2011).
c. Proses Persalinan
Proses persalinan dipengaruhi oleh bekerjanya beberapa
faktor yang berperan yaitu Faktor Power (Kekuatan),
Faktor Passanger (Bayi), Faktor Passage (Jalan Lahir), Faktor
psyche (Psikis), dan faktor Posisi Ibu (Positioning) (Lihawa,
2013).
Apabila beberapa faktor tersebut dalam keadaan baik sehat
dan seimbang maka proses persalinan akan berlangsung secara
normal atau spontan. namun apabila salah satu dari beberapa faktor
tersebut mengalami kelainan, misalnya keadaan yang
menyebabkan kekuatan his tidak adekuat, kelainan pada bayi atau
kelaianan jalan lahir maka persalinan tidak dapat berjalan secara
normal (Mochtar, 2011).
Setiap persalinan mempunyai risiko baik pada ibu maupun
janin berupa kesakitan sampai pada risiko kematian. Apabila ibu
maupun janin dalam kondisi yang menyebabkan terjadinya
penyulit persalinan, maka untuk segera menyelamatkan keduanya,
perlu segera dilakukan persalinan dengan tindakan yaitu persalinan
pervaginam dengan suatu tindakan alat bantu tertentu, seperti
dengan forcep, ekstraksi vakum atau tindakan perabdominam yaitu
secsio caesaria (Sondakh, 2013).
Efek dari dilakukan nya proses persalinan yang abnormal
dengan bantuan tindakan adalah tingginya angka kesakitan baik
pada ibu maupun pada janin,pada ibu dapat terjadi sepsis obstetri
18

sedangkan pada janin dapat terjadi sepsis neonatorum karna proses


persalinan dengan tindakan yang tidak sesuai prosedur namun
Infeksi ini dapat dicegah dengan pertolongan persalinan yang
bersih dan aman (WHO, 2005).
2. Faktor Janin
a. BBLR
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat
penting dan paling sering di gunakan pada bayi baru lahir
(neonatus). Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi
normal atau BBLR. Dikatakan BBLR apabila berat badan bayi
lahir dibawah 2500 gram atau dibawah 2,5 kg. Pada masa bayi
maupun balita, berat badan dapat digunakan untuk melihat laju
pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan
klinis seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor
(Proverawati & Ismawati, 2010). Berat lahir dipengaruhi oleh dua
proses penting yaitu : lamanya (usia) kehamilan dan pertumbuhan
intrauterin, jadi BBLR dapat disebabkan oleh umur kehamilan
yang pendek dan pertumbuhan intrauterine yang lambat (tampak
pada berat bayi) atau kedua-duanya (Pudjiadi & Badriul, 2010).
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki
banyak risiko mengalami permasalahan pada sistem tubuh, karena
kondisi tubuh yang tidak stabil. Bayi berat lahir rendah berisiko
tinggi mengalami infeksi atau sepsis neonatorum kemungkinan
karena pematangan organ tubuhnya yang belum sempurna (hati,
paru, pencernaan, otak, daya pertahanan tubuh dll) yang
menyebabkan bayi lebih mudah terkena infeksi. Kemungkinan
lainnya adalah karena bayi berat lahir rendah sering mengalami
kesulitan atau kurang mampu menghisap ASI yang berakibat
terjadinya penurunan daya tahan tubuh dan memudahkan
terjadinya infeksi (Carolus, 2013).
b. Asfiksia Neonatorum
Asfiksia adalah suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan
19

bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir dengan


melihat indikator nilai skor apgar yang rendah yang dapat
mengakibatkan hipoksia, hiperkarbia dan asidemia yang
selanjutnya akan meningkatkan pemakaian sumber energi dan
mengganggu sirkulasi bayi (Kliegman, 2007).
Skor APGAR digunakan untuk menilai respon resusitasi
tetapi bukan untuk menentukan apakah bayi memerlukan
resusitasi. Skor APGAR yang dinilai pada resusitasi tidak sama
dengan nilai APGAR pada bayi baru lahir yang bernapas spontan.
Nilai APGAR 0-3 mengalami asfiksia berat, nilai APGAR 4-6
mengalami asfiksia sedang, nilai APGAR >7 normal. Bayi dengan
sepsis neonatorum karena bakteri Streptococcus grup B pada 6 jam
setelah lahir 45% memiliki skor APGAR <5 (Carolus, 2013).
c. Pemasangan tindakan pada neonatus
Tindakan yang diberikan kepada neonatus akan beresiko
terjadinya infeksi. Pemasangan tindakan yang rutin diberikan
seperti pemasangan endotrakeal/nasal kanul atau CPAP, pipa
orogastrik/nasogastrik, pemasangan infus atau intravena line,
kateter urin dan pembedahan. Bahkan pemberian susu formula
terlalu dini atau pemberian nutrisi parenteral dapat menjadi faktor
risiko. Infeksi ini biasanya disebabkan karena kontaminasi
mikroorganisme terhadap alat – alat tindakan atau prosesedur
dalam tindakan yang berisiko meningkatkan terjadinya sepsis
neonatorum (Carrera, 2007).
G. Diagnosis
Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk
menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis
(termasuk adanya faktor risiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran
klinis dan pemeriksaan penunjang.
1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis
klasik yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus.
20

Gejala klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik


kuman penyebab dan respon tubuh terhadap masuknya kuman.
Gambaran klinik yang bervariasi tersebut dapat dilihat dalam tabel 2.2
(Shattuck dan Chonmaitree, 1992).
Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir
dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah.
Setelah lahir, bayi tampak lemah dan tampak gambaran klinis sepsis
seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang
hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan
gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan
saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-
kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat
disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis,
dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan
hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan,
ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu
pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan
retraksi) (Tantaleán, 2003).
Tabel 2.2 Gambaran klinis pasien sepsis/meningitis neonatus (Isaacs,
2005)

Frekuensi
Gejala klinis Aminullah , Shattuck, Pong A,
1993 1992 2003
Gangguan minum 100% 35% 48%
Letargi/tampak sakit berat 100%
Gangguan nafas/dispnea 59% 27% 33%
Ikterus/hiperbilirubinemia 55%
Jittery/Iritabel 16% 62% 60%
Kejang 48% 19% 42%
Gangguan serebral 23%
(spastis, paresis)
Hipertermia/hipotermia 34% 46% 60%
Serangan apnea 20% 15% 31%
Gangguan gastrointestinal 14% 12% 20%
21

Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of


Childhood Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis
Sepsis Neonatorum Berat bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-
gejala berikut ini:

• Laju napas > 60 kali per menit

• Retraksi dada yang dalam

• Cuping hidung kembang kempis

• Merintih

• Ubun ubun besar membonjol

• Kejang

• Keluar pus dari telinga

• Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit

• Suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral
teraba dingin)

• Letargi atau tidak sadar

• Penurunan aktivitas /gerakan

• Tidak dapat minum

• Tidak dapat melekat pada payudara ibu

• Tidak mau menetek.

Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan


Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan
di Rumah Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis
neonatorum. Pada buku ini gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi
dua kategori (Tabel 2.3). Penegakan diagnosis ditentukan berdasarkan
usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan kategori tersebut
(Depkes RI, 2004).
22

Tabel 2.3 Kelompok temuan klinis yang berhubungan dengan sepsis


(Damstadt et al., 2005)

Kategori A Kategori B
 Gangguan napas (misalnya:  Tremor
apnea,frekuensi napas > 60  Letargi atau lunglai/layuh
atau <30 kali/menit, retraksi Mengantuk atau kurang aktif
dinding dada, merintih pada Iritabel atau rewel
waktu ekspirasi, sianosis
sentral)
 Kejang  Muntah (menyokong ke arah
sepsis)
 Tidak sadar 
 Suhu tubuh tidak normal (tidak  Distensi abdomen (menyokong
normal sejak lahir dan tidak ke arah sepsis)
memberi respons terhadap  Tanda mulai muncul sesudah
terapi atau suhu tidak stabil hari ke 4 (menyokong ke arah
sesudah pengukuran suhu sepsis)
normal selama tiga kali atau  Air ketuban bercampur
lebih, menyokong ke arah mekonium
sepsis)  Malas minum, sebelumnya
minum dengan baik
(menyokong ke arah sepsis)

 Persalinan di lingkungan yang


kurang higienis (menyokong
ke arah sepsis)
 Kondisi memburuk secara
cepat dan dramatis
(menyokong ke arah sepsis)

Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila


ditemukan tanda- tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut
(Curley et al., 2014):

a. Untuk bayi berumur sampai dengan tiga hari


 Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang
dicurigai sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini);
 Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A
(tabel 6), atau tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel 6);
 Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu
tanda pada Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B
23

 Bila selama pengamatan terdapat tambahan tanda sepsis,


kapan saja timbulnya
 Bila selama pengamatan tidak terdapat tambahan tanda sepsis,
tetapi tanda awalnya tidak membaik, lanjutkan pengamatan
selama 12 jam lagi.
b. Bayi berumur lebih dari tiga hari
 Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A
atau tiga tanda atau lebih pada Kategori B
 Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu
tanda pada Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kultur bakteri
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan
baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan
ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru akan
diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu
dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan
kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan
di masing- masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik
pada kasus sepsis neonatorum awitan dini maupun lanjut
(Moga et al., 2011).
Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis
neonatorum adalah 1- 10%. Bayi dengan meningitis mungkin
saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Pungsi lumbal
dilakukan untuk menegakkan diagnosis atau menyingkirkan
sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum
awitan dini maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan
kultur dari cairan serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur
positif, pungsi lumbal diulang 24- 36 jam setelah pemberian
antibiotik untuk menilai apakah pengobatan cukup efektif.
24

Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan


kuman pada LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotik dan
dosis. Dari penelitian, terdapat 15% bayi dengan meningitis
yang menunjukkan kultur darah negatif (Vincent et al., 2013).
Kultur urin dilakukan pada anak yang lebih besar.
Pemeriksaan ini untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi di
saluran kemih. Kultur urin lebih baik dilakukan pada kasus
sepsis neonatorum awitan lambat. Spesimen urin diambil
melalui kateterisasi steril atau aspirasi suprapubik kandung
kemih. Kultur lainnya seperti kultur permukaan kulit,
endotrakea dan cairan lambung menunjukkan sensitivitas dan
spesifisitas yang kurang baik (Macrae et al., 2014).
2) Pewarnaan gram
Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan
untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk
golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif. pemeriksaan
untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada
rumah sakit dengan fasilitas laboratorium terbatas dan
bermanfaat dalam menentukan penggunaan antibiotic pada
awal pengobatan sebelum didapatkan hasil pemeriksaan kultur
bakteri (Hamilton et al., 2014).
3) Petanda infeksi
Berbagai petanda sepsis banyak dilaporkan di
kepustakaan dengan spesifisitas dan sensitivitas yang berbeda-
beda. Ng et al melakukan studi kepustakaan berbagai petanda
sepsis tersebut dan mengemukakan sejumlah petanda infeksi
yang sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis pada
neonatus dan bayi prematur (tabel 2.4) (Bechard et al., 2012).
Tabel 2.4. Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan
bayi prematur (Bechard et al., 2012).
25

Tabel 2.4 Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan bayi prematur

Haematological tests
Total white blood cell count
Total neutrophil count
Immature neutrophil count
Immature/total neutrophil ratio
Neutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Do¨hle
bodies, intracellular bacteria
Platelet count
Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)
D-dimer
Fibrinogen
Thrombin-antithrombin III complex (TAT)
Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)
Plasminogen tissue activator (tPA)
Acute phase proteins and other proteins
a1 Antitrypsin
C Reactive protein (CRP)
Fibronectin
Haptoglobin
Lactoferrin
Neopterin
Orosomucoid
Procalcitonin (PCT)
Components of the complement system
C3a-desArg
C3bBbP
sC5b-9
Chemokines, cytokines and adhesion molecules
Interleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10
Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75
Interferon c (IFNc)
E-selectin
L-selectin Soluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)
Vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1)
26

Cell surface markers


Neutrophil Lymphocyte
Monocyte
CD11b CD3
HLA-DR
CD11c CD19
CD13 CD25
CD15 CD26
CD33 CD45RO
CD64 CD69
CD66b CD71
Others
Lactate
Micro-erythrocyte sedimentation
Superoxide anion (respiratory burst)
4) Hitung trombosit
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang
dari 100.000/μL jarang ditemukan pada 10 hari pertama
kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum dapat
terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari
100.000/μL), MPV (mean platelet volume) dan PDW
(platelet distribution width) meningkat secara signifikan
pada 2-3 hari pertama kehidupan (Vincent et al., 2013).
5) Hitung jenis leukosit
Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat
meningkat atau menurun, walaupun jumlah leukosit yang
normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis dengan
kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi
yang tidak terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang
abnormal, bila berkaitan dengan stress saat proses persalinan.
Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih
sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil,
eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah
neutrofil abnormal yang terjadi pada saat mulainya onset
ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil
27

tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk


diagnosis sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang
lahir dari ibu penderita hipertensi, asfiksia perinatal berat,
dan perdarahan periventrikular serta intraventrikular
(Vincent et al., 2013). .
6) Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T)
Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang
diagnosis sepsis neonatorum. Semua bentuk neutrofil imatur
dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima untuk
menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama
kehidupan adalah 0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio
turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama kehidupan.
Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat
ditemukan kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis
lainnya; oleh karena itu, rasio I/T ini dikombinasikan dengan
gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis neonatorum dapat
ditegakkan. Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan
serial agar dapat dilihat perubahan yang terjadi selama proses
infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau
peningkatan rasio I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna
untuk mengetahui sindrom sepsis yang berasal dari kelainan
nonspesifik karena stress pada saat proses persalinan
(Vincent et al., 2013).
7) Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)
C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang
disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat
kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL- 6 dan IL-
8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis
ekstrahepatik terjadi di neuron, plak aterosklerotik, monosit
dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi yang
menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6
jam setelah stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-
28

48 jam dan terus meningkat sampai proses inflamasinya


teratasi. Cut-off yang biasa dipakai adalah 10 mg/L.
Pemeriksaan kadar CRP tidak direkomendasikan sebagai
indikator tunggal pada diagnosis sepsis neonatorum, tetapi
dapat digunakan sebagai bagian dari septic work-up atau
sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk
mengetahui respon antibiotik, lama pengobatan, dan/atau
relapsnya infeksi. Faktor yang dapat mempengaruhi kadar
CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan, jenis
organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan,
imunisasi dan infeksi virus berat (seperti HSV, rotavirus,
adenovirus, influenza) (Samraj et al., 2013).
Secara laboratoris, respon inflamasi berdasarkan pada
jumlah leukosit, CRP, transaminase serum, dan prokalsitonin
(tabel 2.5) (Sepanski et al., 2014).
Tabel 2.5 Penanda biologis infeksi (Jager et al., 2010)

Penanda Kegunaan Keterbatasan Cut-off Validitas


biologis
Leukosit •Diagnosis Keterbatasan: 0 hr–1 Sensitivita
untuk infeksi tidak spesifik mgg : >34.00 s: 57,6%
dan sepsis untuk 0/ mm3 1 Spesifitas:
menunjuk- kan mgg-1 53,5%
infeksi bln : >19.500 PPV:
atau 55,2%
<5.000/mm3 NPV:
1 bln-1 55,7%
thn : >17.500
atau
<5.000/mm3
2-5
thn : >15.500
atau
<6.000/mm3
6-12
thn : >13.500
atau
<4.500/mm3
13-18
thn : >11.000
29

atau
<4.500/mm3
Limfosit • Limfopenia Keterbatasan: <1300 /uL Sensitivita
menunjuk- kan dapat menurun s: 73,9%
diagnosis pada infeksi Spesifitas:
bakteremia virus, penyakit 57,6%
kritis, atau PPV:
malnutrisi 63,6%
NPV:
68,8%

Rasio • Peningkatan Keterbatasan: >10 Sensitivita


netrofil : rasio dapat menurun s: 77,2%
limfosit menunjuk- kan pada infeksi Spesifitas:
diagnosis virus, penyakit 63,0%
bakteremia kritis, atau PPV:
malnutrisi 67,6%
NPV:
73,4%
C-reactive • Diagnosis Keterbatasan: 1,56–110 Sensitivita
protein untuk infeksi kinetik lambat, mg/L s: 43-90%
(CRP) dan sepsis • tidak spesifik (infeksi);
Menent un- tuk 31-82%
ukan derajat menunjukkan (sepsis)
kepara- han infeksi Spesifitas:
infeksi (mening- kat 33-88%
pada keadaan PPV: 31-
inflamasi) 100%
NPV: 81-
97%
Prokalsitoni •Diagnosis dini
Keterbatasan: 0,3–8,05 Sensitivita
n (PCT) sepsis dapat ng/ml s: 74,8-
•Faktor meningkat 100%
prognos- tik
pada penyakit Spesifitas:
(indikator non-infeksi 70-100%
perbaikan (trau- ma berat, PPV: 55-
sepsis) pasca henti 100%
•Menentukan jantung, NPV:
lama pembedahan, 56,3-100%
pemberian karsinoma
antibiotika tiroid medular,
penyakit
autoimun)
PCT + CRP • Belum ada Bakteri
Membe peneli- tian CRP >10
dakan infeksi klinis mg/L;
bakteri, virus, PCT >0,3
dan jamur ng/mL Jamur:
30

CRP 10-100
mg/L; PCT
0,3-2 ng/mL
Virus: CRP
<10mg/L;
PCT <2
ng/mL

b. Pencitraan
1) Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa
gambaran, misalnya:
- Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya
difus, pola retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran
pada RDS (Respiratory Distress Syndrome).
- Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.
- Pneumonia.
Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena
ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis
awitan dini yang telah terbukti dengan kultur (McKenzie et
al., 2011).
2) Pemeriksaan CT Scan
Diperlukan pada kasus meningitis neonatal kompleks untuk
melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat
infark ataupun abses (Vincent et al., 2013).
3) USG kepala
Pada neonatus dengan meningitis dapat menunjukkan
ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim, cairan
ekstraselular dan perubahan kronis. Secara serial, USG kepala
dapat menunjukkan progresivitas komplikasi (Vincent et al.,
2013).
H. Penatalaksanaan
1. Antibiotik
Pemilihan jenis antibiotika empirik sesuai dengan dugaan etiologi
infeksi, diagnosis kerja, usia, dan predisposisi penyakit. Apabila penyebab
31

sepsis belum jelas, antibiotik diberikan dalam 1 jam pertama sejak diduga
sepsis, dengan sebelumnya dilakukan pemeriksaan kultur darah. Upaya
awal terapi sepsis adalah dengan menggunakan antibiotika tunggal
berspektrum luas. Setelah bakteri penyebab diketahui, terapi antibiotika
definitif diberikan sesuai pola kepekaan kuman (Simmons et al., 2012).
a. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini
Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E.
coli, dan Listeria monocytogenes. Kombinasi penisilin atau ampisilin
ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas
dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab SAD.
Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas
antibakteri (Dellit et al., 2007).
b. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat
Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida
dapat juga digunakan untuk terapi awal SAL. Pada beberapa rumah
sakit, strain penyebab infeksi nosokomial telah mengalami perubahan
selama 20 tahun terakhir ini karena telah terjadi peningkatan resistensi
terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin. Oleh karena itu, pada
infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin.
Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh
sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga
yang dapat menginaktifkan aminoglikosida lain (Dellit et al., 2007)
Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter
vaskular), obat anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah
aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal. Pada kasus
endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko infeksi
Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin
atau azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan
seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim
lebih aktif terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau
piperasilin (Dellit et al., 2007).
32

Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga


dengan penisilin atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada
SAD dan SAL. Keuntungan utama menggunakan sefalosporin
generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik terhadap bakteri-
bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten terhadap
aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat
menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun
demikian, sefalosporin generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan
sebagai terapi awal sepsis karena tidak efektif terhadap Listeria
monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan akan
mempercepat munculnya mikroorganisme yang resisten
dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida (Dellit et al., 2007).
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi
turunan penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan
aminoglikosida. Sefalosporin generasi ketiga yang dikombinasikan
dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat digunakan
pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif. Pilihan
antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap
antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin.
Enterokokus dapat diobati dengan a cell-wall active agent (misal:
penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan aminoglikosida.
Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten
penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin) (Dellit et al.,
2007)
Tabel 2.6 Jenis Antibiotika Empirik berdasarkan Kondisi Sepsis dan
Kemungkinan mikroor- ganisme Penyebab (McKenzie, 2012).

Kondisi Jenis Antibiotik IV


Infeksi komunitas (community Ampisilin-sulbactam,
acquired infection) sefalosporin generasi III
(sefotaxim, seftriaxon)
Infeksi rumah sakit (hospital Extended spectrum penicillin
acquired infec- tion) (ampisilin-sulbac- tam,
piperacillin-
tazobactam)/cefepime/car-
33

bapenem; ditambah gentamisin,


siprofloxasin, atau vankomisin
(sesuai kasus)
Infeksi Stafilokokus koagulase Clindamycin, Vankomisin
negatif terkait kateter vascular
sentral
Methicillin-resistance Clindamycin, Vankomisin
Staphylococcus aureus (MRSA)
Netropenia Lini I: Cefepime, Piperacillin-
tazobactam, me- ropenem Lini
II: Vankomisin, clindamycin,
teikoplanin
Sindrom syok toksik (Toxic vankomisin, linezolid,
shock syndrome) Kondisi clindamycin
imunokompromais

2. Anti-jamur
Pasien dengan predisposisi infeksi jamur sistemik (skor Kandida
≥3 dan kadar prokalsitonin >1,3 ng/mL) memerlukan terapi anti-jamur.
Penggunaan anti- jamur pada sepsis disesuaikan dengan data sensitivitas
lokal. Bila tidak ada data, dapat diberikan lini pertama berupa:
amphotericin B atau flukonazol, sedangkan lini kedua adalah mycafungin
(McKenzie, 2012).
3. Tata laksana disfungsi organ
a. Pernapasan
Tata laksana pernapasan meliputi: pembebasan jalan napas
(non-invasif dan invasif) dan pemberian suplemen oksigen. Langkah
pertama resusitasi adalah pembebasan jalan nafas sesuai dengan
tatalaksana bantuan hidup dasar. Selanjutnya pasien diberikan
suplemen oksigen, awalnya dengan aliran dan konsentrasi tinggi
melalui masker. Oksigen harus dititrasi sesuai dengan pulse oximetry
dengan tujuan kebutuhan saturasi oksigen >92%. Bila didapatkan
tanda-tanda gagal nafas perlu dilakukan segera intubasi endotrakeal
dan selanjutnya ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif.
Penggunaan obat-obatan anestesi untuk induksi disarankan dengan
menggunakan ketamin dan rokuronium, dan menghindari etomidate
karena berkaitan dengan supresi adrenal (Goldstein et al., 2005).
34

b. Resusitasi cairan dan tata laksana hemodinamik


Tata laksana hemodinamik meliputi: akses vaskular secara
cepat, resusitasi cairan, dan pemberian obat-obatan vasoaktif.
Resusitasi cairan harus memperhatikan aspek fluid-responsiveness
dan menghindari kelebihan cairan >15% per hari. Akses vaskular
harus segera dipasang dalam waktu singkat melalui akses vena perifer
atau intraosseus (Myburgh et al., 2012). Jenis cairan yang diberikan
adalah kristaloid atau koloid. Cairan diberikan dengan bolus sebanyak
20 ml/kg selama 5-10 menit, menggunakan push and pull atau
pressure bag technique (Stoner et al., 2007).
c. Transfusi darah
Transfusi packed red cell (PRC) diberikan berdasarkan
saturasi vena cava superior (ScvO2) <70% atau Hb <7 g/dL. Pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil dan ScvO2 <70%, disarankan
tercapai kadar hemoglobin >10 g/dL. Setelah syok teratasi, kadar Hb
<7 g/dL dapat digunakan sebagai ambang transfusi (Tyrell dan
Batteman, 2012).
d. Transfusi konsentrat trombosit
Transfusi trombosit diberikan pada pasien sepsis sebagai
profilaksis atau terapi, dengan kriteria sebagai berikut: 1. Profilaksis
diberikan pada kadar trombosit <10.000/mm3 tanpa perdarahan aktif,
atau kadar <20.000 /mm3 dengan risiko bermakna perdarahan aktif.
Bila pasien akan menjalani pembedahan atau prosedur invasif, kadar
trombosit dianjurkan >50.000/mm3. 2. Terapi diberikan pada kadar
trombosit <100.000/mm3 dengan perda- rahan aktif (Saxena et al.,
2015).
e. Kontrol glukosa darah
Gula darah dipertahankan 50-180 mg/dL. Bila gula darah >180
mg/dL, glucose infusion rate (GIR) diturunkan sampai 5 mg/kg/menit.
Bila gula darah >180 mg/dL, dengan GIR 5 mg/kg/menit, GIR
dipertahankan dan titrasi rapid acting insulin 0,05-0,1 IU/kg (Mehta
et al., 2009).
35

f. Nutrisi
Nutrisi diberikan setelah respirasi dan hemodinamik stabil,
diutamakan secara enteral dengan kebutuhan fase akut 57
kCal/kg/hari dan protein 60% dari total kebutuhan protein (0-2 tahun:
2-3 g/kg/hari; 2-3 tahun: 1,5-2 g/ kg/hari; 3-18 tahun: 1,5 g/kg/hari)
(Berchard et al., 2012).
I. Pencegahan dan Pengendalian
1. Pencegahan sepsis awitan dini
Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang
diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat
menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56%
pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan
risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis
dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat menurunkan angka
kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB sebesar 86%.
Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau
ketuban pecah dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan
gentamisin intravena selama persalinan. Antibiotik tersebut diberikan
sebagai obat profilaksis. Bagi ibu yang pernah mengalami alergi terhadap
penisilin dapat diberikan cefazolin (Benitz et al., 1999).
2. Pencegahan sepsis awitan lambat
Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang
berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain : Pemantauan yang
berkelanjutan Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah
tenaga medis dibandingkan jumlah pasien Bentuk ruang perawatan
Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai Program untuk
meningkatkan kepatuhan mencuci tangan Perhatian terhadap penanganan
dan perawatan kateter vena sentral Pemakaian kateter vena sentral yang
minimal Pemakaian antibiotik yang rasional Program pendidikan
meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol
(Clark et al., 2004).
36

J. Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain (Andersen, 2006; Hotchkiss
dan Karl, 2003):
- Meningitis
- Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus
dan/atau leukomalasia periventrikular.
- Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi
acute respiratory distress syndrome (ARDS).
- Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida,
seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal.
- Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai
dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental
- Kematian
K. Prognosis
Diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik, tetapi bila
tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30%
kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi
pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada
sepsis awitan dini adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 –
30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada
SAL kira – kira 2 %) (Andersen, 2006).

Anda mungkin juga menyukai