Anda di halaman 1dari 25

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

INFEKSI NOSOKOMIAL

Pembimbing :
dr. Supriyanto, Sp.A

Disusun oleh :
Nadila Nur Pratiwi G1A014111

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
Infeksi Nosokomial

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
di bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal: Oktober 2018

Disusun oleh :
Nadila Nur Pratiwi G1A014111

Purwokerto, Oktober 2018


Pembimbing,

dr. Supriyanto, Sp.A

2
I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penyakit infeksi sampai saat ini masih menjadi penyebab utama tingginya
angka kesakitan dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah infeksi
nosokomial. Infeksi nosokomial disebut juga Health-care Associated Infections yaitu
infeksi yang terjadi pada pasien selama proses perawatan di rumah sakit atau fasilitas
kesehatan lainnya. Pasien sebelumnya tidak menderita infeksi dan tidak dalam masa
inkubasi infeksi tersebut dan mampu mempengaruhi para staf rumah sakit1. Rumah
sakit selain untuk rnencari kesembuhan juga merupakan surnber dari berbagai
penyakit, yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier.
Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit, seperti
udara, air, lantai, makanan dan benda-benda peralatan medis maupun non medis2.

Infeksi nosokomial menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh


dunia. Penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55
rumah sakit dari 14 negara di Eropa, Timur tengah, dan Asia Tenggara terdapat
infeksi nosokomial, khususnya di Asia Tenggara sebanyak l0%3. Penelitian serupa
juga dilakukan di DKI Jakarta pada 11 rumah sakit dan ditemukan 9,8% pasien rawat
inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat4.

Banyak faktor yang mendorong terjadinya infeksi di rumah sakit maupun


pelayanan kesehatan lainnya, seperti penurunan imunitas pasien, peningkatan
prosedur medis dan teknik invasif, dan transmisi terhadap bakteri resisten obat di
antara pasien rumah sakit yang penuh, serta pengendalian infeksi yang buruk akan
mempermudah penularan3. Hal ini dapat menambah keparahan penyakit dan stres
emosional yang mengurangi kualitas hidup pasien. Selain itu, biaya perawatan pasien
akan meningkat karena bertambahnya lama hari perawatan, penggunaan obat dan
pemeriksaan laboratorium. Rumah sakit juga akan merugi karena masa perawatan
yang lebih panjang menyebabkan hunian rumah sakit menjadi penuh5.

Saat ini, angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolak
ukur mutu pelayanan rumah sakit. Inti dari pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial adalah mencegah penyebaran mikroba patogen, di antaranya melalui
perilaku atau kebiasaan seluruh petugas di pelayanan medis. Peningkatan mutu

3
pelayanan pasien harus ditingkatkan, sehingga angka kejadian infeksi nosokomial
dapat menurun1.

2. Tujuan
a. Mengetahui definisi infeksi nosokomial
b. Mengetahui cara pengendalian dan pencegahan infeksi nosokomial

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit
dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat atau
rumah sakit. Sehingga infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang terjadi
dirumah sakit6.
Dahulu infeksi nosokomial dapat disebut Hospital Acquired Infection, namun
kini disebut Healthcare-Associated Infections (HAIs). Hal ini disebabkan karena
penyebaran kuman dapat terjadi di pelayanan kesehatan manapun. Selain itu infeksi
tidak terbatas pada pasien saja, melainkan juga pada petugas pasien yang melakukan
tindakan perawatan pada pasien. Selanjutnya, infeksi yang terjadi atau didapat di
rumah sakit disebut sebagai infeksi rumah sakit (Hospital infection)7.
2. Epidemiologi
Masalah infeksi nosokomial merupakan masalah yang cukup serius. Menurut
survei WHO pada tahun 2009, angka kejadian infeksi nosokomial sebesar 5-15%
diseluruh dunia dan diperkirakan meningkat setiap tahunnya sebesar 2%9. Penelitian
selanjutnya menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang
berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan
adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10%3. Penelitian serupa
juga dilakukan di DKI Jakarta pada 11 rumah sakit dan ditemukan 9,8% pasien rawat
inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat4.

Penelitian yang dilakukan National Infection Surveillance (NNIS) dan Center


Disease Control and Prevention, didapatkan 5 – 6 kasus infeksi nosokomial dari
setiap 100 kunjungan ke rumah sakit. Pada beberapa penyakit yang berat, infeksi
nosokomial meningkatkan angka kematian menjadi 2x lipat8.
Peringkat pertama infeksi nosokomial tertinggi menurut CDC tahun 2011
ialah pneumonia (21%). Kemudian dilanjutkan oleh infeksi gastrointestinal (17%),
infeksi saluran kemih (12%), dan infeksi pembuluh darah (9%)10.

5
3. Patogenesis
Infeksi nosokomial dapat terjadi karena adanya rantai penularan yang terus
terjadi. Rantai penularan ini menjadi dasar dalam mencegah dan mengendalikan
infeksi nosokomial. Rantai penularan terdiri dari agen infeksi, reservoir, pintu keluar
(portal of exit), transmisi, pintu masuk (portal of entry), dan pejamu (host) yang
suseptibel7.
a. Agen infeksi
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur, dan parasit dapat
menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection), flora normal dari
pasien itu sendiri (endogenous infection), atau lingkungan luar11.

Gambar 2.1 Gambar sumber agen infeksi


Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang
sehat, seperti Escherichia coli yang paling banyak dijumpai sebagai penyebab
infeksi saluran kemih. Bakteri lain seperti bakteri patogen lebih berbahaya dan
menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya adalah
sebagai berikut11 :
1)Anaerobik gram positif : Clostridium pada gangrene.
2)Bakteri gram positif : Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di
kulit dan hidung dapat menyebabkan gangguan pada paru, tulang,
jantung, dan infeksi pembuluh darah serta seringkali telah resisten
terhadap antibiotika.

6
3)Bakteri gram negatif : Enterobacteriaceae, seperti Escherichia coli,
Proteus, Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering kali ditemukan
di air dan penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran
pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram negatif bertanggug
jawab sekitar setegah dari semua infeksi di rumah sakit.
4)Serratia marcescens menyebabkan infeksi serius pada luka bekas
jahitan, paru, dan peritoenum.
Tabel 2.1 Mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial

Banyak kemungkinan infeksi nosokomial oleh berbagai macam virus, seperti


virus hepatitis B dan virus hepatitis C dengan media penularan tranfusi, dialisis,
suntikan, dan endoskopi. RSV, rotavirus, dan enterovirus ditularkan dari kontak
tangan ke mulut atau rute fecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan melalui
pemakaian jarum, suntik, dan tranfusi darah. Virus lain yang menyebabkan infeksi
nosokomial adalah cytomegalovirus, ebola, influenza, virus herpes simpleks, dan
virus varicella-zoster12.
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dari orang dewasa ke
anak – anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat
antibiotika bakteri dan obat imunosupresan, seperti Candida albicans, Aspergillus
spp, Cryptococcus neoformans, dan Cryptosporidium12.
b. Reservoir
Tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan siap
ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umum adalah manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya7.

7
c. Pintu keluar (portal of exit)
Agen infeksi dapat meninggalkan reservoir melalui pintu keluar. Pintu keluar
meliputi saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan
membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain7.
d. Transmisi
Transmisi atau cara penularan adalah mekanisme bagaimana transport agen
infeksi dari reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan
yaitu11,5 :
1) Penularan melalui kontak : langsung dan tidak langsung. Kontak
langsung melibatkan kontak tubuh dengan tubuh antara pejamu rentan
dengan yang terinfeksi. Apabila kontak tidak langsung melibatkan
benda yang terkontaminasi misalnya jarum suntik dan pakaian.
2) Penularan melalui droplet, terjadi ketika individu yang terinfeksi
batuk, bersin, berbicara atau melalui prosedur medis, misalnya
bronkoskopi.
3) Penularan melalui airborne, yaitu penularan melalui udara yang
mengandung mikroorganisme atau partikel debu yang mengandung
agen infeksius. Mikroorganisme yang terbawa melalui udara dapat
terhirup pejamu rentan yang berada pada ruangan sama atau ada jarak
yang jauh dari sumber infeksi. Sebagai contoh Mycobacterium
tuberkulosis, rubeola, dan virus varicella.
4) Penularan melalui vehikulum (makanan, air/minuman, darah) yang
terkontaminasi
5) Penularan melalui vektor, misalnya nyamuk, lalat, tikus, dan kutu.
e. Pintu masuk (portal of entry)
Pintu masuk adalah tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu (yang
suseptibel). Pintu masuk bisa melalui saluran pernapasan, pencernaan, saluran
kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka)7.
f. Pejamu yang suseptibel
Pejamu atau host adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang
cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah terjadinya infeksi atau
penyakit. Faktor yang khusus dapat mempengaruhi adalah umur, status gizi,
status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma atau pembedahan,
pengobatan dengan imunosupresan. Faktor lain yang mungkin berpengaruh

8
adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, gaya hidup,
pekerjaan dan herediter7.

Gambar 2.2 Rantai infeksi nosokomial


4. Faktor risiko infeksi nosokomial
a. Resistensi Antibiotika
Beberapa dekade terakhir, terapi antibiotika banyak digunakan seiring dengan
perkembangan penyakit infeksi. Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai,
irasional, terlalu singkat, dan kesalahan diagnosa dapat meningkatkan potensi
terjadinya resistensi antibiotik. Resitensi dari bakteri ditransmisikan antar pasien
dan faktor resistensinya dipindahkan antara bakteri7.
Peningkatan resistensi antibiotik merupakan masalah kesehatan yang penting
di seluruh dunia. Saat ini, 70% bakteri penyebab infeksi nosokomial telah resisten
terhadap antibiotik yang biasa digunakan. Hal ini menimbulkan masalah baru
didunia kesehatan berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang
akan meningkat terutama pasien immunocompromised. Selain itu biaya kesehatan
pasien juga akan meningkat. Dunia kesehatan juga harus terus menerus
menemukan antibiotika terbaru untuk penanganan penyakit-penyakit infeksi yang
disebabkan strain bakteri resisten13.
b. Sistem imun yang rendah (immunocompromised)
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh
pasien adalah usia, status imunitas penderita, penyakit yang diderita, obesitas dan
malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan imunosupresan dan steroid,
intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi8.
9
Penderita dengan status imun terganggu atau rendah seperti penyakit kronik,
penderita keganasan dan menggunakan obat immunosupresan dapat
meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat
opportunistik. Pada pasien pengguna obat-obatan yang bersifat immunosupresif,
dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Usia muda dan usia tua
berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi kondisi ini lebih
diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor, anemia,
leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS7.

Gambar 2.3 Faktor risiko infeksi nosokomial


c. Faktor alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan infeksi
dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi
dari luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter urin lama yang
tidak diganti-ganti. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan
mekanis, fisis dan kimiawi. Komplikasi tersebut berupa ekstravasasi infiltrat,
penyumbatan, flebitis, trombosis, kolonisasi kanul, septikemia, dan supurasi3.

10
Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula
intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi,
kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada tungkai
bawah, tidak mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan
darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan
tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu
sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi
tempat infus dan bakteremia3.
Pemasangan kateter urin dapat meningkatkan kejadian ISK. Prosedur operasi
dapat meningkatkan infeksi luka operasi atau surgical site infection. Intubasi
pernafasan pada pasien gagal nafas dapat meningkatkan risiko hospital acquired
pneumonia (HAP). Kanula vena dan arteri dapat meningkatkan kejadian infeksi
luka infus atau blood stream infection7.
5. Gejala Klinis
Demam sering merupakan tanda pertama infeksi. Gejala dan tanda lainnya
dari adanya infeksi adalah napas yang cepat, tekanan darah rendah, pengeluaran urine
yang berkurang, dan jumlah leukosit meningkat serta terjadinya gangguan mental.
Penderita dengan infeksi saluran kemih dapat mengalami nyeri kencing dan adanya
darah di dalam urine. Jika terjadi pneumonia, penderita mengalami gangguan saat
bernapas dan gangguan pada waktu batuk. Infeksi lokal yang terjadi dimulai dengan
terjadinya pembengkakan, kemerahan jaringan setempat, nyeri pada kulit atau sekitar
luka atau luka yang terbuka, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan di bagian
bawah otot, atau bisa juga menyebabkan sepsis16.
6. Kriteria Diagnosis
Pasien menderita infeksi nosokomial apabila memenuhi kriteria sebagai berikut3 :

a. Apabila pada waktu dirawat di RS, tidak dijumpai tanda – tanda klinis infeksi
tersebut.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi
tersebut.
c. Tanda – tanda infeksi baru timbul sekurang – kurangnya 3x24 jam sejak
mulai dirawat.
d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.

11
Bila pada saat mulai dirawat di RS sudah ada tanda – tanda infeksi, tetapi
terbukti bahwa infeksi didapat penderita pada waktu perawatan sebelumnya
dan belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.
7. Penatalaksanaan
Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat terjadi secara alamiah (naturally
resistance/intrinsic resistance) atau didapat (acquired resistance). Contoh resistensi
alamiah adalah lapisan lipopolisakarida (LPS) yang terdapat di bagian terluar sel
bakteri gram negatif sehingga secara alamiah bakteri gram negatif lebih kebal
terhadap aktivitas antibiotik dibanding bakteri gram positif. Resistensi bakteri yang
didapat (acquired resistance) biasanya terjadi karena penggunaan antibiotik yang tidak
tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan faktor terjadinya infeksi
nosokomial13.
Pasien yang terinfeksi bakteri resisten memerlukan antibiotik lini kedua atau
ketiga. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat meningkatkan risiko terjadinya
reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD), kolonisasi bakteri, superinfeksi, resistensi
bakteri, meningkatkan angka mortalitas dan meningkatkan biaya pengobatan. Oleh
karena itu, prinsip penggunaan antibiotik di rumah sakit adalah sebagai berikut14:
a. Pasien memiliki diagnosis infeksi bakterial
b. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikrobiologi untuk mengetahui bakteri
penyebab. Sembari menunggu hasil pasien diberi terapi antibiotik empiris
yang sesuai dengan diagnosis
c. Setelah hasil pemeriksaan keluar, maka pasien diberikan terapi antibiotik
definitif yaitu sesuai dengan penyebabnya. Pemilihan antibiotik dilakukan
sesuai dengan sensitifitas pasien. Lakukan evaluasi dengan melihat respon
klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.

12
Gambar 2.4 Terapi antibiotik berdasarkan penyebabnya

Antibiotik empiris yang dipilih harus mampu mencakup sekurang-kurangnya


90% dari kuman patogen penyebab penyakit (Gambar 2.4). Di samping itu, pola
resistensi setempat (peta kuman di rumah sakit setempat) juga perlu dipertimbangkan
dalam memilih antibiotik empiris. Antibiotik profilaksis hanya diberikan sebelum,
saat, hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan
tanda-tanda infeksi degan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi15.

Antibiotik intravena hanya diberikan pada kondisi infeksi yang mengancam


jiwa dimana konsentrasi antibiotik yang tinggi dibutuhkan tenaga segera. Oleh karena
itu setelah pemberian antibiotik intravena selama 2-3 hari seharusnya dapat digantikan
dengan terapi oral yang sesuai dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Suhu tubuh >36°C dan <38°C


b. Nadi ≤ 100 kali permenit
c. Laju nafas ≥ 24 kali permenit
d. Leukosit 4000-12.000/mm3
e. Dapat menerima asupan oral
f. Tekanan darah ≥90 mmHg

13
g. Saturasi oksigen ≥90% atau pO2 ≥60 mmHg.

Alternatif pilihan antibiotik oral yang dapat digunakan untuk menggantikan


antibiotik intravena dapat dilihat pada gambar 2.5 dengan memperhatikan hasil
pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas antibiotik.

Gambar 2.5 Antibiotik oral pengganti antibiotik intravena

8. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


Infeksi nosokomial merupakan masalah serius bagi rumah sakit. Kerugian
yang ditimbulkan dapat membebani rumah sakit dan pasien. Pencegahan dan
pengendalian infeksi nosokomial merupakan upaya penting dalam meningkatkan
mutu pelayanan medis rumah sakit. Program pengendalian infeksi ini dapat
dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu tindakan operasional, tindakan organisasi,
dan tindakan struktural. Tindakan operasional mencakup kewaspadaan standar dan
kewaspadaan berdasarkan penularan/transmisi17.
a. Kewaspadaan standar
1) Mencuci tangan
Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan yang paling penting
yang dapat dilakukan oleh semua orang untuk mencegah penyebaran
kuman. Hal ini sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir dan dengan
sabun yang digosokkan selama 15 sampai 20 detik. Tujuannya adalah
untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel dari tangan
dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada saat itu7,17.
Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan
sesudah melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung
tangan atau alat pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi
mikroorganisme yang ada ditangan sehingga penyebaran penyakit dapat
dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus dicuci
sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak dapat

14
digantikan oleh pemakaian sarung tangan. Aspek terpenting dari
mencuci tangan adalah pergesekan yang ditimbulkan dengan menggosok
tangan bersamaan mencuci tangan dengan sabun, dengan air mengalir
dan pergesekan yang dilakukan secara rutin17.
Beberapa kondisi yang mengharuskan petugas kesehatan
menggunakan sabun antiseptik, yaitu saat akan melakukan tindakan
invasive dan sebelum kontak dengan pasien yang dicurigai mudah
terkena infeksi (misalnya: bayi yang baru lahir dan pasien yang dirawat
di ICU)17.

Gambar 2.5 Lima saat mencuci tangan

Ada beberapa sarana cuci tangan yaitu sebagai berikut9,17:


a) Air Mengalir. Sarana utama untuk cuci tangan adalah
ketersediaan air mengalir dengan saluran pembuangan atau bak
penampung yang memadai. Air mengalir menyebabkan
mikroorganisme terlepas karena gesekan mekanis atau kimiawi
saat cuci tangan sehinga tidak menempel lagi di permukaan
kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa kran atau dengan cara
mengguyur dengan gayung. Namun cara mengguyur dengan
gayung memiliki risiko cukup besar untuk terjadinya
pencemaran, baik melalui gagang gayung ataupun percikan air
bekas cucian kembali ke bak penampungan air bersih.

15
b) Sabun. Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme tetapi
menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan
jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga
mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah
terhalau oleh air. Jumlah mikroorganisme semakin berkurang
dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan. Namun dilain
pihak, dengan seringnya menggunakan sabun maka lapisan
lemak akan hilang dan membuat kulit menjadi kering dan
pecah-pecah. Hilangnya lapisan lemak akan memberi peluang
untuk tumbuhnya kembali mikroorganisme.
c) Larutan Antiseptik. Larutan antiseptik atau disebut juga
antimikroba topikal yang dipakai pada kulit atau jaringan
hidup lainnya untuk menghambat aktivitas atau membunuh
mikroorganisme pada kulit. Antiseptik memiliki bahan kimia
yang memungkinkan untuk digunakan pada kulit dan selaput
mukosa.
Prosedur cuci tangan yang telah diadapatsi dari WHO adalah sebagai
berikut9:
a) Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air
mengalir.
b) Taruh sabun di bagian telapak tangan yang telah basah. Buat
busa secukupnya tanpa percikan.
c) Gerakan cuci tangan terdiri dari gosokan kedua telapak tangan,
gosokan telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan
sebaliknya, gosok kedua telapak tangan dengan jari saling
mengait, gosok kedua ibu jari dengan cara menggenggam dan
memutar, gosok telapak tangan. Proses berlangsung selama 15-
20 detik.
d) Bilas kembali dengan air sampai bersih.
e) Keringkan tangan dengan handuk atau kertas yang bersih atau
tisu atau handuk katun kain sekali pakai.
f) Matikan kran dengan kertas atau tisu.
g) Pada cuci tangan aseptik/ bedah diikuti larangan menyentuh
permukaan yang tidak steril.

16
Gambar 2.6 Cara mencuci tangan
2) Alat Pelindung Diri

Alat Pelindung Diri (APD) adalah alat yang digunakan untu


melindungi diri dari sumber bahaya tertentu baik yang berasal dari
pekerjaan maupun dari lingkungan kerja dan berguna dalam usaha untuk
mencegah dan mengurangi kemungkinan cidera atau cacat. Alat
pelindung diri yang paling baik adalah yang terbuat dari bahan yang
telah diolah atau bahan sintetik yang tidak tembus oleh cairan. APD di
rumah sakit terdiri dari17 :
a) Sarung Tangan
b) Masker
c) Alat pelindung mata
d) Topi
e) Gaun pelindung
f) Apron
g) Pelindung kaki

17
Gambar 2.7 Alat Perlindungan Diri Tenaga Medis
3) Praktik Keselamatan Kerja
Praktik keselamatan kerja berhubungan dengan pemakaian instrumen
tajam seperti jarum suntik. Keselamatan menggunakan jarum suntik
sebaiknya menggunakan tiap-tiap jarum dan spuit hanya sekali pakai,
tidak melepas jarum dari spuit setelah digunakan, tidak menyumbat,
membengkokkan, atau mematahkan jarum sebelum dibuang dan
membuang jarum dan spuit di wadah anti bocor. Apabila jarum dan spuit
sekali pakai tidak tersedia dan perlu memasang kembali penutup jarum,
maka gunakan metode penutupan “satu tangan” dengan cara17:
a) Tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh
b) Kemudian dengan satu tangan memegang spuit, gunakan jarum
untuk menyekop tutup tersebut dengan penutup di ujung jarum,
putar spuit tegak lurus sehingga jarum dan spuit mengarah ke
atas.
c) Dengan sumbat yang sekarang ini menutup ujung jarum
sepenuhnya, peganglah spuit ke arah atas dengan pangkal dekat

18
pusat (dimana jarum itu bersatu dengan spuit dengan satu
tangan, dan gunakan tangan lainnya untuk menyegel tutup itu
dengan baik).
4) Perawatan Pasien
Perawatan pasien yang sering dilakukan meliputi tindakan: pemakaian
alat intravascular, pemakaian kateter urin, transfusi darah, pemasangan
selang nasogastrik, pemakaian ventilator dan perawatan luka bekas
operasi17.
Penggunaan alat intravaskular untuk memasukkan cairan steril, obat
atau makanan serta untuk memantau tekanan darah sentral dan fungsi
hemodinamik meningkat tajam pada dekade terakhir. Kateter yang
dimasukkan melalui aliran darah vena atau arteri melewati mekanisme
pertahanan kulit yang normal dan penggunaan alat ini dapat membuka
jalan untuk masuknya mikroorganisme17.
Kateterisasi kandung kemih membawa risiko tinggi terhadap infeksi
saluran kemih (ISK). Prosedur pemasangan hingga pencabutan kateter
urin harus dilakukan sesuai prinsip aseptik untuk mencegah dan
mengendalikan ISK nosokomial4,16.
Transfusi darah memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan
penggunaan pemberian pengobatan melalui pembuluh darah. Terdapat
risiko serius bagi pasien yang menerima transfusi darah. Prosedur
pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dan komplikasi
transfusi meliputi: transfusi dilakukan jika dibutuhkan, seleksi donor
potensial secara penuh untuk menghindari penularan infeksi serius,
donor darah diambil secara aseptik dan dengan sistem tertutup, simpan
darah pada suhu yang tepat, pastikan darah cocok agar tidak
membahayakan penerima donor, terapkan teknik aseptik saat melakukan
transfusi, pantau tanda vital dan reaksi pasien serta hentikan transfusi
jika reaksi berlawanan4,16.
Pemasangan selang nasogastrik merupakan salah satu prosedur traktus
GI yang paling sering dilakukan dalam perawatan pasien di rumah sakit.
Risiko infeksi dalam prosedur ini berasal dari trauma membran mukosa
akibat tekanan pada membran dan anoksia jaringan. Pengisapan dan
gerakan selang dapat menciderai jaringan. Pajanan terhadap

19
mikroorganisme meningkat, agen infeksi dapat masuk dari reservoir
tangan petugas kesehatan, kulit yang rusak, selang, balutan dan dari
makanan17.
Prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perawatan respiratori
seperti intubasi endotrakeal, pengisapan dan ventilasi mekanik memberi
kesempatan transmisi mikroorganisme dari benda-benda mati ke pasien
(pada komponen humidifier, nebulizer dan ventilator yang
terkontaminasi) serta pemindahan mikroorganisme melalui tangan
petugas kesehatan yang terkontaminasi, dari satu pasien ke pasien
lainnya17.
Infeksi luka pasca operasi atau surgical site infection (SSI) dapat
terjadi akibat perawatan luka yang tidak memenuhi syarat aseptik.
Prosedur perawatan luka pasca operasi seperti cuci tangan, memakai
sarung tangan dan alat pelindung diri, teknik ganti balut secara aseptik
dan peralatan steril sering diabaikan. Sehingga dapat terjadi transmisi
mikroorganisme saat prosedur ganti balut luka operasi di ruangan
berlangsung17.
5) Penanganan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan
lingkungan
Dekontaminasi adalah langkah pertama dalam mensterilkan instrumen
bedah/tindakan, sarung tangan dan peralatan lainnya yang kotor
(terkontaminasi), terutama jika akan dibersihkan dengan tangan
misalnya, merendam barang-barang yang terkontaminasi dalam larutan
klorin 0,5 % atau disinfektan lainnya yang tersedia dengan cepat dapat
membunuh HBV dan HIV. Setelah instrumen dan barang-barang lain
didekontaminasi, kemudian perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat
disterilisasi atau di Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT). Pembersihan dapat
dilakukan dengan menggunakan sabun cair dan air untuk membunuh
mikroorganisme. Gunakan pelindung saat membersihkan alat17.
Sterilisasi harus dilakukan untuk alat-alat yang kontak langsung
dengan aliran darah atau cairan tubuh lainnya dan jaringan. Sterilisasi
dapat dilakukan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi (autoclafe),
pemanasan kering (oven), sterilisasi kimiawi dan fisik17.

20
b. Kewaspadaan berdasarkan penularan/transmisi
Kewaspadaan berdasarkan transmisi diterapkan pada pasien yang
menunjukkan gejala, dicurigai terinfeksi atau mengalami kolonisasi dengan
kuman yang sangat mudah menular. Kewaspadaan berdasarkan transmisi
meliputi penanganan linen dan pakaian kotor. Selain tindakan tersebut,
isolasi pasien yang akan menjadi sumber infeksi juga perlu diperhatikan
untuk mencegah transmisi langsung atau tidak langsung17.
1) Penanganan linen dan pakaian kotor
Penanganan linen dan pakaian kotor menjadi hal yang
penting karena linen yang tercemar oleh mikroorganisme yang
sangat patogen, risiko penularannya dapat minimal apabila
linen tersebut ditangani dengan baik sehingga dapat mencegah
penularan mikroorganisme pada pasien, petugas dan
lingkungan.
2) Isolasi
Pasien dengan penyakit menular melalui udara perlu
dirawat di ruang isolasi untuk mencegah transmisi langsung
atau tidak langsung. Beberapa persyaratan dalam pelaksanaan
isolasi bagi pasien dengan penyakit menular adalah sebagai
berikut: kamar khusus yang selalu tertutup, cuci tangan dengan
sabun atau larutan antiseptik sebelum dan sesudah masuk
kamar, gunakan masker dan sarung tangan serta baju
pelindung, peralatan makan khusus untuk pasien, bahan
pemeriksaan laboratorium diletakkan pada tempat steril tertutup
rapat, setelah dipakai alat suntik dimasukkan pada tempat
khusus dan dibuang, alat pemeriksaan lengkap, penanganan
instrumen secara tepat, jumlah pengunjung pasien dibatasi dan
kamar dibersihkan setiap hari.

Tindakan organisasi dan struktural saling berhubungan. Salah satu strategi


yang sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosocomial adalah
dengan cara meningkatkan kemampuan setiap petugas kesehatan dalam metode
Universal Precautions atau Kewaspadaan Universal (KU) yaitu suatu cara penanganan

21
baru untuk meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa
memperdulikan status infeksi7.

9. Peran dokter muda dalam mencegah infeksi nosokomial


Upaya – upaya yang dapat dilakukan dokter muda dalam mencegah infeksi
nosokomial adalah sebagai berikut :
a. Menerapkan kewaspadaan universal dalam semua tindakan.
b. Imunisasi dan menjaga kesehatan untuk meningkatkan kekebalan
tubuh.
c. Profesionalisme dalam bekerja, menerapkan tindakan septik dan
aseptik, sterilisasi, dan desinfeksi dengan benar.
d. Manajemen setelah terpapar sumber infeksi.

22
III. KESIMPULAN

1. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi dirumah sakit. Nama lain dari
infeksi nosokomial adalah Healthcare-Associated Infections (HAIs). HAI tidak
terbatas hanya pada rumah sakit, tapi meliputi selurh pelayanan kesehatan.
Terjadinya infeksi nosokomial akan menimbulkan banyak kerugian bagi
penderita, seperti semakin lamanya perawatan, rasa sakit yang dirasakan lebih
lama, dan masalah biaya pengobatan.
2. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi nosokomial adalah
menerapkan kewaspadaan universal dalam semua tindakan, yang meliputi cuci
tangan, penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD), manajemen keselamatan
penggunaan jarum suntik, sterilisasi alat, dan isolasi pasien. Selain itu, dokter
muda juga sebaiknya melakukan imunisasi untuk meningkatkan daya tahan tubuh,
bekerja secara profesionalisme dalam menerapkan prinsip septik dan aseptik,
sterilisasi, dan desinfeksi, serta manajemen setelah terpapar sumber infeksi.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Londok, P. V., Homenta, H., & Buntuan, V. (2015). Pola bakteri aerob yang
berpotensi menyebabkan infeksi nosokomial di ruang ICU BLU RSUP Prof. Dr. RD
Kandou Manado. Jurnal e-Biomedik, 3(1).
2. Nugraheni, R., & Winarni, S. (2012). Infeksi Nosokomial di RSUD Setjonegoro
Kabupaten Wonosobo. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 11(1), 94-100.
3. WHO. 2002. Prevention of Hospital Acquired Infections, A Practical Guide , 2nd ed.
4. Permana, L. W. (2005). Analisis pelaksanaan tugas dan fungsi panitia pengendalian
infeksi nosokomial pelayanan kesehatan St. Carolus Jakarta tahun 2004. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan, 8(02).
5. Nasution, L. H., Utara, F. U. S., & Medan, R. H. A. M. (2012). Infeksi
Nosokomial. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 39, 39.
6. Rambiko, S. C. (2016). Uji sensitivitas bakteri penyebab infeksi nosokomial saluran
kemih akibat penggunaan kateter terhadap antibiotik ampicillin, amoxicillin dan
ciprofloxacin. PHARMACON, 5(1).
7. Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi
di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.
8. Li, Y., Gong, Z., Lu, Y., Hu, G., Cai, R., & Chen, Z. (2017). Impact of nosocomial
infections surveillance on nosocomial infection rates: A systematic
review. International Journal of Surgery, 42, 164-169.
9. WHO. (2009). WHO guidelines on hand hygine in health care.
10. CDC. (2011). HAI data and statistics.
https://www.cdc.gov/hai/surveillance/index.html diakses 6 Oktober 2018.
11. Jogersen, J.H.(2015). Manual of Clinical Microbiology 11th Ed. ASM PRESS.
12. McIntosh, E. D. G. (2018). Healthcare-associated infections: potential for prevention
through vaccination. Therapeutic Advances in Vaccines and Immunotherapy, 6(1),
19–27. http://doi.org/10.1177/2515135518763183
13. Gunardi, W. D. (2014). Resistensi Kuman Terhadap Antibiotika pada Kasus Infeksi
Anak. Jurnal Kedokteran Meditek, 15(39C).
14. Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba. (2017). Prinsip Dasar Penggunaan
Antibiotik Terapi Secara Bijak. Jakarta: Kemeterian Kesehatan RI

24
15. Herawati, F., & Irawati, L. (2014). Terapi Antibiotik pada Infeksi
Nosokomial. Rasional, 9(2).
16. Soedarto. (2016). Infeksi nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta : Sagung seto.
17. Salawati, L. (2012). Pengendalian Infeksi Nosokomial di Ruang Intensive Care Unit
Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 12(1), 47-52.

25

Anda mungkin juga menyukai