INFEKSI NOSOKOMIAL
Pembimbing :
dr. Supriyanto, Sp.A
Disusun oleh :
Nadila Nur Pratiwi G1A014111
2018
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Infeksi Nosokomial
Disusun oleh :
Nadila Nur Pratiwi G1A014111
2
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penyakit infeksi sampai saat ini masih menjadi penyebab utama tingginya
angka kesakitan dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah infeksi
nosokomial. Infeksi nosokomial disebut juga Health-care Associated Infections yaitu
infeksi yang terjadi pada pasien selama proses perawatan di rumah sakit atau fasilitas
kesehatan lainnya. Pasien sebelumnya tidak menderita infeksi dan tidak dalam masa
inkubasi infeksi tersebut dan mampu mempengaruhi para staf rumah sakit1. Rumah
sakit selain untuk rnencari kesembuhan juga merupakan surnber dari berbagai
penyakit, yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier.
Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit, seperti
udara, air, lantai, makanan dan benda-benda peralatan medis maupun non medis2.
Saat ini, angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan salah satu tolak
ukur mutu pelayanan rumah sakit. Inti dari pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial adalah mencegah penyebaran mikroba patogen, di antaranya melalui
perilaku atau kebiasaan seluruh petugas di pelayanan medis. Peningkatan mutu
3
pelayanan pasien harus ditingkatkan, sehingga angka kejadian infeksi nosokomial
dapat menurun1.
2. Tujuan
a. Mengetahui definisi infeksi nosokomial
b. Mengetahui cara pengendalian dan pencegahan infeksi nosokomial
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit
dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat atau
rumah sakit. Sehingga infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang terjadi
dirumah sakit6.
Dahulu infeksi nosokomial dapat disebut Hospital Acquired Infection, namun
kini disebut Healthcare-Associated Infections (HAIs). Hal ini disebabkan karena
penyebaran kuman dapat terjadi di pelayanan kesehatan manapun. Selain itu infeksi
tidak terbatas pada pasien saja, melainkan juga pada petugas pasien yang melakukan
tindakan perawatan pada pasien. Selanjutnya, infeksi yang terjadi atau didapat di
rumah sakit disebut sebagai infeksi rumah sakit (Hospital infection)7.
2. Epidemiologi
Masalah infeksi nosokomial merupakan masalah yang cukup serius. Menurut
survei WHO pada tahun 2009, angka kejadian infeksi nosokomial sebesar 5-15%
diseluruh dunia dan diperkirakan meningkat setiap tahunnya sebesar 2%9. Penelitian
selanjutnya menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang
berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan
adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10%3. Penelitian serupa
juga dilakukan di DKI Jakarta pada 11 rumah sakit dan ditemukan 9,8% pasien rawat
inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat4.
5
3. Patogenesis
Infeksi nosokomial dapat terjadi karena adanya rantai penularan yang terus
terjadi. Rantai penularan ini menjadi dasar dalam mencegah dan mengendalikan
infeksi nosokomial. Rantai penularan terdiri dari agen infeksi, reservoir, pintu keluar
(portal of exit), transmisi, pintu masuk (portal of entry), dan pejamu (host) yang
suseptibel7.
a. Agen infeksi
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur, dan parasit dapat
menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection), flora normal dari
pasien itu sendiri (endogenous infection), atau lingkungan luar11.
6
3)Bakteri gram negatif : Enterobacteriaceae, seperti Escherichia coli,
Proteus, Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering kali ditemukan
di air dan penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran
pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram negatif bertanggug
jawab sekitar setegah dari semua infeksi di rumah sakit.
4)Serratia marcescens menyebabkan infeksi serius pada luka bekas
jahitan, paru, dan peritoenum.
Tabel 2.1 Mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial
7
c. Pintu keluar (portal of exit)
Agen infeksi dapat meninggalkan reservoir melalui pintu keluar. Pintu keluar
meliputi saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan
membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain7.
d. Transmisi
Transmisi atau cara penularan adalah mekanisme bagaimana transport agen
infeksi dari reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan
yaitu11,5 :
1) Penularan melalui kontak : langsung dan tidak langsung. Kontak
langsung melibatkan kontak tubuh dengan tubuh antara pejamu rentan
dengan yang terinfeksi. Apabila kontak tidak langsung melibatkan
benda yang terkontaminasi misalnya jarum suntik dan pakaian.
2) Penularan melalui droplet, terjadi ketika individu yang terinfeksi
batuk, bersin, berbicara atau melalui prosedur medis, misalnya
bronkoskopi.
3) Penularan melalui airborne, yaitu penularan melalui udara yang
mengandung mikroorganisme atau partikel debu yang mengandung
agen infeksius. Mikroorganisme yang terbawa melalui udara dapat
terhirup pejamu rentan yang berada pada ruangan sama atau ada jarak
yang jauh dari sumber infeksi. Sebagai contoh Mycobacterium
tuberkulosis, rubeola, dan virus varicella.
4) Penularan melalui vehikulum (makanan, air/minuman, darah) yang
terkontaminasi
5) Penularan melalui vektor, misalnya nyamuk, lalat, tikus, dan kutu.
e. Pintu masuk (portal of entry)
Pintu masuk adalah tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu (yang
suseptibel). Pintu masuk bisa melalui saluran pernapasan, pencernaan, saluran
kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka)7.
f. Pejamu yang suseptibel
Pejamu atau host adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang
cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah terjadinya infeksi atau
penyakit. Faktor yang khusus dapat mempengaruhi adalah umur, status gizi,
status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma atau pembedahan,
pengobatan dengan imunosupresan. Faktor lain yang mungkin berpengaruh
8
adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, gaya hidup,
pekerjaan dan herediter7.
10
Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula
intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi,
kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada tungkai
bawah, tidak mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan
darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan
tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu
sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi
tempat infus dan bakteremia3.
Pemasangan kateter urin dapat meningkatkan kejadian ISK. Prosedur operasi
dapat meningkatkan infeksi luka operasi atau surgical site infection. Intubasi
pernafasan pada pasien gagal nafas dapat meningkatkan risiko hospital acquired
pneumonia (HAP). Kanula vena dan arteri dapat meningkatkan kejadian infeksi
luka infus atau blood stream infection7.
5. Gejala Klinis
Demam sering merupakan tanda pertama infeksi. Gejala dan tanda lainnya
dari adanya infeksi adalah napas yang cepat, tekanan darah rendah, pengeluaran urine
yang berkurang, dan jumlah leukosit meningkat serta terjadinya gangguan mental.
Penderita dengan infeksi saluran kemih dapat mengalami nyeri kencing dan adanya
darah di dalam urine. Jika terjadi pneumonia, penderita mengalami gangguan saat
bernapas dan gangguan pada waktu batuk. Infeksi lokal yang terjadi dimulai dengan
terjadinya pembengkakan, kemerahan jaringan setempat, nyeri pada kulit atau sekitar
luka atau luka yang terbuka, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan di bagian
bawah otot, atau bisa juga menyebabkan sepsis16.
6. Kriteria Diagnosis
Pasien menderita infeksi nosokomial apabila memenuhi kriteria sebagai berikut3 :
a. Apabila pada waktu dirawat di RS, tidak dijumpai tanda – tanda klinis infeksi
tersebut.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi
tersebut.
c. Tanda – tanda infeksi baru timbul sekurang – kurangnya 3x24 jam sejak
mulai dirawat.
d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.
11
Bila pada saat mulai dirawat di RS sudah ada tanda – tanda infeksi, tetapi
terbukti bahwa infeksi didapat penderita pada waktu perawatan sebelumnya
dan belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.
7. Penatalaksanaan
Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat terjadi secara alamiah (naturally
resistance/intrinsic resistance) atau didapat (acquired resistance). Contoh resistensi
alamiah adalah lapisan lipopolisakarida (LPS) yang terdapat di bagian terluar sel
bakteri gram negatif sehingga secara alamiah bakteri gram negatif lebih kebal
terhadap aktivitas antibiotik dibanding bakteri gram positif. Resistensi bakteri yang
didapat (acquired resistance) biasanya terjadi karena penggunaan antibiotik yang tidak
tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan faktor terjadinya infeksi
nosokomial13.
Pasien yang terinfeksi bakteri resisten memerlukan antibiotik lini kedua atau
ketiga. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat meningkatkan risiko terjadinya
reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD), kolonisasi bakteri, superinfeksi, resistensi
bakteri, meningkatkan angka mortalitas dan meningkatkan biaya pengobatan. Oleh
karena itu, prinsip penggunaan antibiotik di rumah sakit adalah sebagai berikut14:
a. Pasien memiliki diagnosis infeksi bakterial
b. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikrobiologi untuk mengetahui bakteri
penyebab. Sembari menunggu hasil pasien diberi terapi antibiotik empiris
yang sesuai dengan diagnosis
c. Setelah hasil pemeriksaan keluar, maka pasien diberikan terapi antibiotik
definitif yaitu sesuai dengan penyebabnya. Pemilihan antibiotik dilakukan
sesuai dengan sensitifitas pasien. Lakukan evaluasi dengan melihat respon
klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.
12
Gambar 2.4 Terapi antibiotik berdasarkan penyebabnya
13
g. Saturasi oksigen ≥90% atau pO2 ≥60 mmHg.
14
digantikan oleh pemakaian sarung tangan. Aspek terpenting dari
mencuci tangan adalah pergesekan yang ditimbulkan dengan menggosok
tangan bersamaan mencuci tangan dengan sabun, dengan air mengalir
dan pergesekan yang dilakukan secara rutin17.
Beberapa kondisi yang mengharuskan petugas kesehatan
menggunakan sabun antiseptik, yaitu saat akan melakukan tindakan
invasive dan sebelum kontak dengan pasien yang dicurigai mudah
terkena infeksi (misalnya: bayi yang baru lahir dan pasien yang dirawat
di ICU)17.
15
b) Sabun. Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme tetapi
menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan
jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga
mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah
terhalau oleh air. Jumlah mikroorganisme semakin berkurang
dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan. Namun dilain
pihak, dengan seringnya menggunakan sabun maka lapisan
lemak akan hilang dan membuat kulit menjadi kering dan
pecah-pecah. Hilangnya lapisan lemak akan memberi peluang
untuk tumbuhnya kembali mikroorganisme.
c) Larutan Antiseptik. Larutan antiseptik atau disebut juga
antimikroba topikal yang dipakai pada kulit atau jaringan
hidup lainnya untuk menghambat aktivitas atau membunuh
mikroorganisme pada kulit. Antiseptik memiliki bahan kimia
yang memungkinkan untuk digunakan pada kulit dan selaput
mukosa.
Prosedur cuci tangan yang telah diadapatsi dari WHO adalah sebagai
berikut9:
a) Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air
mengalir.
b) Taruh sabun di bagian telapak tangan yang telah basah. Buat
busa secukupnya tanpa percikan.
c) Gerakan cuci tangan terdiri dari gosokan kedua telapak tangan,
gosokan telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan
sebaliknya, gosok kedua telapak tangan dengan jari saling
mengait, gosok kedua ibu jari dengan cara menggenggam dan
memutar, gosok telapak tangan. Proses berlangsung selama 15-
20 detik.
d) Bilas kembali dengan air sampai bersih.
e) Keringkan tangan dengan handuk atau kertas yang bersih atau
tisu atau handuk katun kain sekali pakai.
f) Matikan kran dengan kertas atau tisu.
g) Pada cuci tangan aseptik/ bedah diikuti larangan menyentuh
permukaan yang tidak steril.
16
Gambar 2.6 Cara mencuci tangan
2) Alat Pelindung Diri
17
Gambar 2.7 Alat Perlindungan Diri Tenaga Medis
3) Praktik Keselamatan Kerja
Praktik keselamatan kerja berhubungan dengan pemakaian instrumen
tajam seperti jarum suntik. Keselamatan menggunakan jarum suntik
sebaiknya menggunakan tiap-tiap jarum dan spuit hanya sekali pakai,
tidak melepas jarum dari spuit setelah digunakan, tidak menyumbat,
membengkokkan, atau mematahkan jarum sebelum dibuang dan
membuang jarum dan spuit di wadah anti bocor. Apabila jarum dan spuit
sekali pakai tidak tersedia dan perlu memasang kembali penutup jarum,
maka gunakan metode penutupan “satu tangan” dengan cara17:
a) Tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh
b) Kemudian dengan satu tangan memegang spuit, gunakan jarum
untuk menyekop tutup tersebut dengan penutup di ujung jarum,
putar spuit tegak lurus sehingga jarum dan spuit mengarah ke
atas.
c) Dengan sumbat yang sekarang ini menutup ujung jarum
sepenuhnya, peganglah spuit ke arah atas dengan pangkal dekat
18
pusat (dimana jarum itu bersatu dengan spuit dengan satu
tangan, dan gunakan tangan lainnya untuk menyegel tutup itu
dengan baik).
4) Perawatan Pasien
Perawatan pasien yang sering dilakukan meliputi tindakan: pemakaian
alat intravascular, pemakaian kateter urin, transfusi darah, pemasangan
selang nasogastrik, pemakaian ventilator dan perawatan luka bekas
operasi17.
Penggunaan alat intravaskular untuk memasukkan cairan steril, obat
atau makanan serta untuk memantau tekanan darah sentral dan fungsi
hemodinamik meningkat tajam pada dekade terakhir. Kateter yang
dimasukkan melalui aliran darah vena atau arteri melewati mekanisme
pertahanan kulit yang normal dan penggunaan alat ini dapat membuka
jalan untuk masuknya mikroorganisme17.
Kateterisasi kandung kemih membawa risiko tinggi terhadap infeksi
saluran kemih (ISK). Prosedur pemasangan hingga pencabutan kateter
urin harus dilakukan sesuai prinsip aseptik untuk mencegah dan
mengendalikan ISK nosokomial4,16.
Transfusi darah memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan
penggunaan pemberian pengobatan melalui pembuluh darah. Terdapat
risiko serius bagi pasien yang menerima transfusi darah. Prosedur
pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dan komplikasi
transfusi meliputi: transfusi dilakukan jika dibutuhkan, seleksi donor
potensial secara penuh untuk menghindari penularan infeksi serius,
donor darah diambil secara aseptik dan dengan sistem tertutup, simpan
darah pada suhu yang tepat, pastikan darah cocok agar tidak
membahayakan penerima donor, terapkan teknik aseptik saat melakukan
transfusi, pantau tanda vital dan reaksi pasien serta hentikan transfusi
jika reaksi berlawanan4,16.
Pemasangan selang nasogastrik merupakan salah satu prosedur traktus
GI yang paling sering dilakukan dalam perawatan pasien di rumah sakit.
Risiko infeksi dalam prosedur ini berasal dari trauma membran mukosa
akibat tekanan pada membran dan anoksia jaringan. Pengisapan dan
gerakan selang dapat menciderai jaringan. Pajanan terhadap
19
mikroorganisme meningkat, agen infeksi dapat masuk dari reservoir
tangan petugas kesehatan, kulit yang rusak, selang, balutan dan dari
makanan17.
Prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perawatan respiratori
seperti intubasi endotrakeal, pengisapan dan ventilasi mekanik memberi
kesempatan transmisi mikroorganisme dari benda-benda mati ke pasien
(pada komponen humidifier, nebulizer dan ventilator yang
terkontaminasi) serta pemindahan mikroorganisme melalui tangan
petugas kesehatan yang terkontaminasi, dari satu pasien ke pasien
lainnya17.
Infeksi luka pasca operasi atau surgical site infection (SSI) dapat
terjadi akibat perawatan luka yang tidak memenuhi syarat aseptik.
Prosedur perawatan luka pasca operasi seperti cuci tangan, memakai
sarung tangan dan alat pelindung diri, teknik ganti balut secara aseptik
dan peralatan steril sering diabaikan. Sehingga dapat terjadi transmisi
mikroorganisme saat prosedur ganti balut luka operasi di ruangan
berlangsung17.
5) Penanganan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan
lingkungan
Dekontaminasi adalah langkah pertama dalam mensterilkan instrumen
bedah/tindakan, sarung tangan dan peralatan lainnya yang kotor
(terkontaminasi), terutama jika akan dibersihkan dengan tangan
misalnya, merendam barang-barang yang terkontaminasi dalam larutan
klorin 0,5 % atau disinfektan lainnya yang tersedia dengan cepat dapat
membunuh HBV dan HIV. Setelah instrumen dan barang-barang lain
didekontaminasi, kemudian perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat
disterilisasi atau di Disinfeksi Tingkat Tinggi (DTT). Pembersihan dapat
dilakukan dengan menggunakan sabun cair dan air untuk membunuh
mikroorganisme. Gunakan pelindung saat membersihkan alat17.
Sterilisasi harus dilakukan untuk alat-alat yang kontak langsung
dengan aliran darah atau cairan tubuh lainnya dan jaringan. Sterilisasi
dapat dilakukan dengan menggunakan uap bertekanan tinggi (autoclafe),
pemanasan kering (oven), sterilisasi kimiawi dan fisik17.
20
b. Kewaspadaan berdasarkan penularan/transmisi
Kewaspadaan berdasarkan transmisi diterapkan pada pasien yang
menunjukkan gejala, dicurigai terinfeksi atau mengalami kolonisasi dengan
kuman yang sangat mudah menular. Kewaspadaan berdasarkan transmisi
meliputi penanganan linen dan pakaian kotor. Selain tindakan tersebut,
isolasi pasien yang akan menjadi sumber infeksi juga perlu diperhatikan
untuk mencegah transmisi langsung atau tidak langsung17.
1) Penanganan linen dan pakaian kotor
Penanganan linen dan pakaian kotor menjadi hal yang
penting karena linen yang tercemar oleh mikroorganisme yang
sangat patogen, risiko penularannya dapat minimal apabila
linen tersebut ditangani dengan baik sehingga dapat mencegah
penularan mikroorganisme pada pasien, petugas dan
lingkungan.
2) Isolasi
Pasien dengan penyakit menular melalui udara perlu
dirawat di ruang isolasi untuk mencegah transmisi langsung
atau tidak langsung. Beberapa persyaratan dalam pelaksanaan
isolasi bagi pasien dengan penyakit menular adalah sebagai
berikut: kamar khusus yang selalu tertutup, cuci tangan dengan
sabun atau larutan antiseptik sebelum dan sesudah masuk
kamar, gunakan masker dan sarung tangan serta baju
pelindung, peralatan makan khusus untuk pasien, bahan
pemeriksaan laboratorium diletakkan pada tempat steril tertutup
rapat, setelah dipakai alat suntik dimasukkan pada tempat
khusus dan dibuang, alat pemeriksaan lengkap, penanganan
instrumen secara tepat, jumlah pengunjung pasien dibatasi dan
kamar dibersihkan setiap hari.
21
baru untuk meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa
memperdulikan status infeksi7.
22
III. KESIMPULAN
1. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi dirumah sakit. Nama lain dari
infeksi nosokomial adalah Healthcare-Associated Infections (HAIs). HAI tidak
terbatas hanya pada rumah sakit, tapi meliputi selurh pelayanan kesehatan.
Terjadinya infeksi nosokomial akan menimbulkan banyak kerugian bagi
penderita, seperti semakin lamanya perawatan, rasa sakit yang dirasakan lebih
lama, dan masalah biaya pengobatan.
2. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi nosokomial adalah
menerapkan kewaspadaan universal dalam semua tindakan, yang meliputi cuci
tangan, penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD), manajemen keselamatan
penggunaan jarum suntik, sterilisasi alat, dan isolasi pasien. Selain itu, dokter
muda juga sebaiknya melakukan imunisasi untuk meningkatkan daya tahan tubuh,
bekerja secara profesionalisme dalam menerapkan prinsip septik dan aseptik,
sterilisasi, dan desinfeksi, serta manajemen setelah terpapar sumber infeksi.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Londok, P. V., Homenta, H., & Buntuan, V. (2015). Pola bakteri aerob yang
berpotensi menyebabkan infeksi nosokomial di ruang ICU BLU RSUP Prof. Dr. RD
Kandou Manado. Jurnal e-Biomedik, 3(1).
2. Nugraheni, R., & Winarni, S. (2012). Infeksi Nosokomial di RSUD Setjonegoro
Kabupaten Wonosobo. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 11(1), 94-100.
3. WHO. 2002. Prevention of Hospital Acquired Infections, A Practical Guide , 2nd ed.
4. Permana, L. W. (2005). Analisis pelaksanaan tugas dan fungsi panitia pengendalian
infeksi nosokomial pelayanan kesehatan St. Carolus Jakarta tahun 2004. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan, 8(02).
5. Nasution, L. H., Utara, F. U. S., & Medan, R. H. A. M. (2012). Infeksi
Nosokomial. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 39, 39.
6. Rambiko, S. C. (2016). Uji sensitivitas bakteri penyebab infeksi nosokomial saluran
kemih akibat penggunaan kateter terhadap antibiotik ampicillin, amoxicillin dan
ciprofloxacin. PHARMACON, 5(1).
7. Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi
di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Jakarta : Kementerian
Kesehatan RI.
8. Li, Y., Gong, Z., Lu, Y., Hu, G., Cai, R., & Chen, Z. (2017). Impact of nosocomial
infections surveillance on nosocomial infection rates: A systematic
review. International Journal of Surgery, 42, 164-169.
9. WHO. (2009). WHO guidelines on hand hygine in health care.
10. CDC. (2011). HAI data and statistics.
https://www.cdc.gov/hai/surveillance/index.html diakses 6 Oktober 2018.
11. Jogersen, J.H.(2015). Manual of Clinical Microbiology 11th Ed. ASM PRESS.
12. McIntosh, E. D. G. (2018). Healthcare-associated infections: potential for prevention
through vaccination. Therapeutic Advances in Vaccines and Immunotherapy, 6(1),
19–27. http://doi.org/10.1177/2515135518763183
13. Gunardi, W. D. (2014). Resistensi Kuman Terhadap Antibiotika pada Kasus Infeksi
Anak. Jurnal Kedokteran Meditek, 15(39C).
14. Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba. (2017). Prinsip Dasar Penggunaan
Antibiotik Terapi Secara Bijak. Jakarta: Kemeterian Kesehatan RI
24
15. Herawati, F., & Irawati, L. (2014). Terapi Antibiotik pada Infeksi
Nosokomial. Rasional, 9(2).
16. Soedarto. (2016). Infeksi nosokomial di Rumah Sakit. Jakarta : Sagung seto.
17. Salawati, L. (2012). Pengendalian Infeksi Nosokomial di Ruang Intensive Care Unit
Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 12(1), 47-52.
25