“MORBUS HANSEN”
Disusun Oleh :
G4A018080
Pembimbing :
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disusun dan disetujui laporan Presentasi Kasus Poliklinik yang berjudul:
“MORBUS HANSEN”
Disusun oleh :
Revania Radina Thirza
G4A016102
Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Pembimbing,
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
II. LAPORAN KASUS ....................................................................................... 2
A. Identitas Pasien............................................................................................. 2
B. Anamnesis .................................................................................................... 2
C. Pemeriksaan Fisik ........................................................................................ 3
D. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 5
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 6
F. Resume ......................................................................................................... 6
G. Diagnosis Kerja ............................................................................................ 7
H. Diagnosis Banding ....................................................................................... 7
I. Penatalaksanaan ........................................................................................... 7
J. Prognosis ...................................................................................................... 8
III. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9
A. Definisi ......................................................................................................... 9
B. Epidemiologi ................................................................................................ 9
C. Etiologi ....................................................................................................... 10
D. Patogenesis ................................................................................................. 11
E. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis ............................................................. 13
F. Penegakan Diagnosis ................................................................................. 17
G. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. 20
H. Diagnosis Banding ..................................................................................... 23
I. Penatalaksanaan ......................................................................................... 24
J. Reaksi Kusta .............................................................................................. 25
K. Komplikasi ................................................................................................. 26
L. Prognosis .................................................................................................... 27
M. Pencegahan Kecacatan ........................................................................... 28
IV. PEMBAHASAN ....................................................................................... 29
A. Penegakan Diagnosis ................................................................................. 29
B. Penyingkiran Diagnosis Banding ............................................................... 29
C. Penatalaksanaan ......................................................................................... 30
D. Prognosis .................................................................................................... 31
V. KESIMPULAN ............................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33
I.PENDAHULUAN
1
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. T
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 46 tahun
Alamat : Donorojo RT 05/RW 02 Sempor, Kebumen
Agama : Islam
Tanggal Periksa : 13 Juni 2019
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kaku di kedua tangan dan kaki
2. Keluhan Tambahan
Kedua tangan dan kaki mati rasa dan kesemutan
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Dilakukan autoanamnesis pada pasien. Pasien datang ke Poli Kulit
RSMS pada 13 Juni 2019 dengan keluhan kaku pada kedua tangan dan
kaki. Keluhan dirasakan sejak 8 bulan yang lalu. Keluhan yang dialami
pasien terus menerus dan sedikit mengganggu aktivitas karena pasien
tidak dapat mengepalkan tangannya dengan baik. Pada awalnya, pasien
merasakan kesemutan pada kedua tangan dan kaki. Keluhan kemudian
memberat disertai dengan rasa kebas (mati rasa) dan kaku pada kedua
tangan dan kaki. Beberapa waku setelah mengalami keluhan kesemutan,
kebas, dan kaku pasien baru menyadari terdapat kelainan kulit berupa
penonjolan lebar berwarna merah dan jumlah lebih dari 5 pada kedua
tangan, kaki, dan punggung. Pasien sudah menjalani pengobatan, saat
ini keluhan pada kulit membaik namun rasa kaku, kebas, dan kesemutan
masih dirasakan. Nyeri dan gatal pada area kulit yang mengalami
kelainan disangkal. Demam disangkal.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Pasien belum pernah merasakan keluhan yang serupa sebelumnya
b. Riwayat alergi disangkal
2
3
c
5
A. Definisi
Morbus Hansen adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini juga dikenal dengan nama kusta atau
lepra. Kusta berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta menyerang berbagai bagian
tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa saluran pernafasan atas dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani,
kusta dapat bersifat sangat progresif dan menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata (Kemenkes RI, 2018).
B. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO pada tahun 2015, jumlah kasus baru kusta
adalah sekitar 210.758. dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di
regional Asia Tenggara (156.118) diikuti regional Amerika (28.806), Afrika
(20.004), dan sisanya berada di regional lain (WHO, 2016).
Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta
<1 per 10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000.
Setelah itu Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta
meskipun relatif lambat. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun
2017 sebesar 0,70 kasus /10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru
sekitar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Selain itu, ada beberapa provinsi
yang prevalensinya masih di atas 1 per 10.000 penduduk. Prevalensi ini
belum bisa dinyatakan bebas kusta dan terjadi di 10 provinsi di Indoneisa,
yaitu di provinsi Papua Barat, Maluku Utara, Papua, Maluku, Sulawesi
Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan,
dan Sulawesi Tengah. Prevalensi terendah adalah di Kalimantan barat yaitu
sebesar 0,04 per 10.000 penduduk (Kemenkes RI, 2017).
Prevalensi kusta di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2017 yaitu sebesar
0,58 per 10.000 penduduk, sedangkan kasus baru kusta sebanyak 1.644 jiwa
atau 4,8 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2018).
9
10
C. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium
leprae. Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang bersifat obligat
intra-seluler (hanya bisa hidup dalam sel) dan dapat bertahan terhadap aksi
fagositosis karena mempunyai dinding sel yang sangat kuat dan resisten
terhadap aksi lisozim (Hajar, 2017). Bakteri ini adalah kuman aerob, tidak
membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang
menjadi ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1-8 micro,
lebar 0,2-0,5 micro, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak
mudah diwarnai namun jika diwarnai tahan terhadap dekolorisasi oleh asam
atau alkohol sehingga disebut sebagai basil “tahan asam” (Kemenkes RI,
2018).
Kuman ini menular pada manusia melalui kontak langsung dengan
penderita (keduanya harus ada lesi baik mikrokskopis maupun makroskopis
dan adanya kontak yang lama dan berulang) dan melalui pernafasan. Bakteri
kusta megalami proses perkembangan dalam waktu 2-3 minggu, bertaham
dalah tubuh manusia hingga 9 hari, di luar tubuh manusia kemudiam kuman
membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua
hingga lima tahun bahkan dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun. Setelah
5 tahun, tanda-tanda seseorang mederita penyakit kusta mulai muncul antara
lain, kulit mengalami bercak putih, merah, tasa kesemutan bagian anggota
tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Kemenkes RI, 2018).
Terdapat beberapa faktor yang menentukan terjadinya penyakit
kusta,mulai dari faktor penyebab hingga faktor host. Faktor-faktor tersebut
yaitu (Adhyatma, et al.,2012):
1. Penyebab: Mycobacterium leprae yang alam kondisi tropis dapat
bertahandi luar tubuh sampai sembilan hari.
2. Sumber penularan: hingga saat ini hanya manusia yang dianggap
sebagai sumber penularan.
3. Cara penularan: droplet melalui saluran napas bagian atas. Penyakit ini
memiliki masa inkubasi 2-5 tahun atau lebih. Penularan secara teori
11
terjadi jika terdapat kontak yang sama dengan penderita yang belum
menjalani pengobatan MDT
4. Cara masuk: melalui saluran napas bagian atas atau melalui kontak kulit
yang tidak intak.
5. Host : imunitas yang rendah meningkatkan kejadian kusta
D. Patogenesis
Mycobacterium leprae sebenarnya memiliki daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah
timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh
sendiri atau progresif. Oleh karena itu, penyakit kusta dapat disebut sebagai
penyakit imunologik. Gejala klinis yang ditimbulkan sebanding dengan
tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksinya (Menaidi et al., 2016).
Patogenesis kusta terbagi dalam beberapa hal, yaitu adanya
Mycobacterium leprae, fungsi sistem fagosit mononuklear, aktivitas sel
dendritik yang berhubungan dengan limfosit T dan limfosit B serta imunitas
humoral dan selular yang meliputi faktor host dan agent (Mycobacterium
leprae) serta interaksi keduanya (Hajar, 2017).
1. Imunitas Alamiah (Innate Imunity)
Sistem kekebalan tubuh lapis pertama bekerja secara non spesifik
melalui pertahanan secara mekanis misalnya lapisan kulit yang intak,
secara fisiologis, atau kimiawi serta lewat beberapa jenis sel yang bisa
langsung membunuh kuman.Sel-sel yang pada sistem imunitas alamiah
(innate imunity) bekerja secara fagositosis yang dijalankan oleh monosit
dan pembunuhan di luar sel (extra cellular killing) yang dijalankan oleh
limfosit pembunuh (Natural Killer cell/NK cell). Kekebalan alamiah ini
bersifat non spesifik dan ditunjang oleh status kesehatan secara umum
yaitu gizi yang baik, hidup teratur, serta lingkungan yang baik (Burns et
al., 2016).
12
bergantung pada sistem imunitas selular (SIS). Bila SIS penderita baik, akan
tampak ambaran tubekuloid. Sebaliknya, apabila SIS penderita lemah akan
tampak gambaran lepromatosa (Menaidi et al., 2016).
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah determinate pada penyakit
kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu (Menaidi et al.,
2016):
TT : Tuberkuloid Polar, bentuk stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid Borderline
BL : Borderline lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan
tipe stabil, jadi berarti tidak meungkin berubah tipe. Begitu pla LL adalah
tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100% yang stabil. BB adalah tipe
campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. Tipe
antara BT, Ti, BL dan Li disebut tipe borderline atau campuran. BT dan Ti
lebih banyak mengandung tuberkuloid, sedangkan tipe BL dan Li lebih
banyak mengandung lepromatosa. Tipe campuran ini adalah tipe yang labil,
dapat beralih tip eke arah TT atau LL (James et al., 2011).
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk ke dalam multibasilar (MB) adalah tipe LL,
BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling, sedangkan pausibasilar (PB)
adalah tipe I (intermediate), TT, dan BT. Pada tahun 1987 untuk
kepentingan pengobatan, yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta
dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit. Apabila BTA positif
maka termasuk ke dalam kusta MB. Kusta MB baik itu tipe BB, BL, LL,
atau apa pun klasifikasi klinis lain dengan BTA positif memerlukan
pengobatan dengan rejimen MDT-MB (Multi Drug Therapy- Multi Basilar)
(Menaidi et al., 2016).
15
kelenjar minyak dan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,
keras dan pecah-pecah (Tiarasari, 2014).
Sifat LL BL BB
Lesi
Bentuk Makula, Macula, plak, Dome-shaped
infiltrate, difus, papul (kubah), punched-
papul, nodul out
Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapa dihitung,
tidak ada kulit masih ada kulit kulit sehat jelas
sehat sehat ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Stocking and Tak jelas Lebih jelas
gloves
anesthesia
BTA
Lesi Kulit Banyak (ada Banyak Agak banyak
globus)
Sekret Banyal (ada Biasanya negatif Negatif
hidung globus)
Tes (-) (-) (-)
lepromin
17
Sifat TT BT I
Lesi
Bentuk Macula saja; Macula dibatasi Macula
macula dibatasi infiltrate; hipopigmentasi
infilrat infiltrate saja berbatas tegas
Jumlah Satu, dapat Beberapa atau Satu atau
beberapa satu dengan beberapa
satelit
Distribusi Asimetris Hampir asimetris Variasi
Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas
BTA
Lesi Kulit Hampir selalu Negatif atau Biasanya negatif
negatif hanya 1+
Tes Positif kuat 3+ Positif lemah Dapat positif
lepromin lemah atau negatif
F. Penegakan Diagnosis
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang bersifat intraselular obligat.
Saraf tepi/perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran
nafas bagian atas, kemudian dapat ke organ tubuh lainnya kecuali susunan
saraf pusat. Berdasarkan definisi tersebut, maka untuk menegakan diagnosis
kusta perlu dicari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepid
an kelainan yang tampak pada kulit (Kemenkes RI, 2012).
Penegakan diagnosis kusta dapat dilakukan dengan cara mengenali
tanda utama atau tanda cardinal (cardinal sign), yaitu (Kemenkes RI, 2012):
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau
kemerahan (eritem) yang mati rasa (anestesi).
18
Gambar 3.1 Saraf tepi yang sering mengalami kerusakan pada penyakit
kusta (Kemenkes RI, 2012)
20
smear dilakukan dengan mengambil irisan atau kerokan kecil pada lesi
kulit yang diduga paling aktif atau pada cuping telinga dan kemudian
diberi pewarnaan tahan asam (Zhiel-Neelsen) untuk melihat
Mycobacterium leprae. Pemeriksaan ini bertujuan untuk membantu
menegakan diagnosis pasien baru terutama pada kasus suspek,
membantu menentukan klasifikasi penyakit kusta pasien baru,
membantu diagnosis pasien relaps yang sudah mendapat pengobatan
sebelumnya, dan membantu menilai hasil pengobatan (Kemenkes RI,
2012).
Pemeriksaan bakteriologis ini dilakukan dengan mencari dan
menghitung keberadaan basil tahan asam (BTA) dalam sediaan yang
akan Nampak sebagai barang merah dengan latar belakang biru. Bentuk
BTA dapat lurus atau melengkung, berwarna merah merata (homogen)
yang disebut solid. Sedangkan warna merah pada BTA uang tidak
merata (fragmented dan granular) yang disebut sebagai globi. Basil yang
solid menandakan adanya mikroorganisme hidup (Kemenkes RI, 2012).
a. Indeks Bateri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan
apus (Kemenkes RI, 2012).
Tabel 2.5 Penilaian Indeks Bakteri BTA (Kemenkes RI, 2012)
Indeks Bakteri
0 0 BTA dalam 100 LP, hitung 100 lapang pandang
berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa
dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan (Menaidi et al., 2016).
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivate-derivatnya.
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit,
dan bentuk kuman non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim
sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline
terdapat campuran unsur-unsur tersebut (Menaidi et al., 2016).
4. Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologis kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi M. leprae. Antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibody anti-phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) dan antibody antiprotein kD serta 35 kD.
Sedangkan antibody yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
liproarabinomaan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.
tuberculosis (Menaidi et al., 2016).
Kegunaan pemeriksaan serologic ini adalah dapat membantu
mendiagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan
bateriologik yang tidak terlalu jelas. Di samping itu dapat membantu
menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya
pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologic kusta
adalah :
b. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
c. Uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
d. ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
e. ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)
H. Diagnosis Banding
1. Tinea corporis
Tinea korporis merupakan dermatofitosis yang terletak di kulit
kecuali bagian telapak tangan, telapak kaki, dan area genital. Tinea
ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi penderita. Dari
24
K. Komplikasi
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Kerusakan saraf
terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya
kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan
sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka
27
yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan
sensibilitas saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas
sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen,
mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan (Menaidi et al., 2016).
Terdapat 2 jenis cacat kusta yaitu cacat primer yang disebabkan
langsung oleh aktivitas penyakit terutama kerusakan akibat respons jaringan
terhadap M. leprae, seperti anestesi, claw hand dan kulit kering. Sedangkan
cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya
kerusakan saraf seperti ulkus dan kontaktur (Kemenkes RI, 2012).
WHO Expert Comitte on Leprosy 1997 membuat klasifikasi cacat bagi
penderita kusta sebagai berikut.
Tabel 3.6 Klasifikasi Cacat menurut WHO 1997 (Kemenkes RI, 2012)
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas,
tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa
kerusakan atau deformitas yang
terlihat
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan pada
mata (termasuk visus)
Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan oada mata,
tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang
Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat
dan atau visus yang sangat
terganggu
L. Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih
sederhana dan lebih singkat, serta prognoss menjadi lebih baik. Jika sudah
terjadi kontraktur dan ulkus kronik, prognosis mejadi kurang baik
(Kemenkes RI, 2012).
28
M. Pencegahan Kecacatan
Penderita pencegahan cacat atau prevention of disabillity (POD) adalah
suatu usaha untuk memberikan tindakan pencegahan terhadap penderita
agar terhindar dari risiko cacat selama perjalanan penyakit kusta, terutama
akibat reaksi kusta. Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai terjadi
kecacatan yang timbul atau bertambah setelah penderita terdaftar dalam
pengobatan dan pengawasan.Terjadinya cacat pada penderita kusta
disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi baik oleh kuman maupun
karena terjadinya peradangan saraf (neuritis) sewaktu terjadi reaksi kusta
(Tiarasari, 2014).
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau POD adalah
dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT
yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi
kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas,
penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk
melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja
dengan benda tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi
mata. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini
dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah
itu tangan dan kaki direndam, disikat, dan diberi minyak agar tidak kering
dan pecah (Menaidi et al., 2016).
IV. PEMBAHASAN
A. Penegakan Diagnosis
1. Tinea corporis
Tinea korporis merupakan dermatofitosis yang terletak di kulit
kecuali bagian telapak tangan, telapak kaki, dan area genital. Tinea
ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi penderita. Dari
29
30
Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat
antikusta, salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat
bakterisidal kuat sedangkan obat antikusta lain yaitu clofazimine dan
dapsone bersifat bakteriostatik. Berikut merupakan kelompok orang yang
membutuhkan MDT (Kemenkes RI, 2012) :
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT
2. Pasien ulangan yaitu pasien yang mengalami hal-hal sebagai berikut :
31
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
Regimen pengobatan MDT dipergunakan di Indonesia, regimen ini
berdasarkan rekomendasi WHO tahun 1998, yaitu (Kemenkes RI, 2012) :
1. Penderita PB
Pasien diberi obat Rifampicin 600 mg dan Dapsone 100 mg pada
hari pertama (di depan petugas). Pada hari ke 2-28 pasien diberikan
Dapsone 100 mg (di rumah). 1 blister untuk 1 bulan. Lama pengobatan
6 – 9 bulan (6 blister).
2. Penderita MB
Pasien diberikan obat Rifampicin, Clofazimine, dan Dapsone. Dosis
dewasa adalah Rifampicin 600 mg, Clofazimine 300 mg dan Dapsone
100 mg (diminum hari pertama di depan petugas), kemudian
Clofazimine 50 mg, Dapsone 100 mg (diminum di rumah hari 2 – 28).
Lama pengobatan 12 –18 bulan (12 blister). Sedangkan pada anak
dibawah 10 tahun, dosis MDT diberikan berdasarkan berat badan, yaitu
Rifampicin 10 – 15 mg/kg bb, Dapsone 1 – 2 mg/kg bb, dan Clofazimine
1 mg/kg bb.
Selain MDT, obat neurotropik dapat diberikan unuk penderita kusta.
Obat neurotropik yang dapat diberikan yaitu seperti Vitamin B1, Vitamin
B6, dan Vitamin B12 (Kemenkes RI, 2012).
D. Prognosis
1. Morbus Hansen atau penyakit kusta adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae.
2. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa
saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari
luar.
3. Penegakan diagnosis kusta dapat dilakukan dengan cara mengenali tanda utama
atau tanda cardinal (cardinal sign) yaitu, kelainan (lesi) kulit yang mati rasa,
penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, dan adanya
basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
4. Lesi kulit dapat berupa makula, plak, infiltrate, bahkan nodul eritematosa
hingga hipopigmentasi.
5. Tatalaksana terapi kusta yaitu dengan pemberian obat MDT (Multi Drug
Therapy) selama 12-18 bulan.
32
DAFTAR PUSTAKA
Adhyatma, Lapian AR, Andy AL, et al. Pedoman Nasional Program
PengendalianKusta. Jakarta, FKUI. 8-137.
Aline, A.F., Emerith, M.H., Mauricio, B.C., Analucia, O.M.S., Mirian, L.O.C.
2016. Application of Mycobacterium Leprae-Specific Celluler and Serological
tests for The Differencial Diagnosis of Leprosy from Comfounding
Dermatoses. Sauders Elseviers, 7-24.
Burns, T., Breachnach, S., Cox, N., Griffiths, C. 2016. Rook’s Textbook of
Dermatology. Wiley-Blackwell.
Hajar, S. 2017. Morbus Hansen : Biokimia dan Imunopatogenesis. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, 17(3) : 190-194.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Infodatin : Hapuskan Stigma dan
Diskriminasi Terhadap Kusta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Nasional Pengendalian
Penyakit Kusta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Infodatin : Hapuskan Stigma dan
Diskriminasi Terhadap Kusta.
Kosasih A., Wisnu I.M., Emmy, Daili ES, et al. 2010.
IlmuPenyakitKulitdanKelamin: Kusta. Ed ke6. Jakarta: Universitas Indonesia.
Lahiri R, Krahenbuhl JL. 2008. The role of free-living pathogenic amoeba in the
transmission of leprosy: a proof of principle. Lepr Rev 79, halaman 401 – 409
Makino, M., Matsuoka, M., Goto, M., Hatano, K. 2011. Leprosy : Science working
toward dignity. Tokyo: Tokay Univesity press. Hal : 72-84.
Menaidi, S.L, Bramono, K., Indriatmi, W. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta, Penerbit FKUI.
Mufidah A, Rahimah, 2009, Morbus Hansen, Dalam: Abdullah B, Dermatologi,
Edisi Pertama, SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Haji Surabaya,
Surabaya. Hal. 149-159.
Tiarasari R. 2014. Rehabilitation and Disability Limitation of Youth 22 Years Old
Morbus Hansen. J Medula Unila ; 3(2): 96-107
Wolff, K., Lefell, D.J., Paller, A.S., Gilchrest, B.A., Katza, S.I., Goldsmith, LA.
2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. McGraw Hill, New
York.
World Health Organization. 2016. Weekly epidemiological record World Health
Organization. Global leprosy update2014: need for early case detection.; (36):
461-7.
33