Anda di halaman 1dari 37

PRESENTASI KASUS POLIKLINIK

“MORBUS HANSEN”

Disusun Oleh :

Revania Radina Thirza

G4A018080

Pembimbing :

dr. Thianti Sylviningrum, M.Pd, Ked, M.Sc, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disusun dan disetujui laporan Presentasi Kasus Poliklinik yang berjudul:
“MORBUS HANSEN”

Disusun oleh :
Revania Radina Thirza
G4A016102

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Juni 2019

Pembimbing,

dr. Thianti Sylviningrum, M.Pd, Ked, M.Sc, Sp. KK


NIP. 19790622 201012 2 001
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
II. LAPORAN KASUS ....................................................................................... 2
A. Identitas Pasien............................................................................................. 2
B. Anamnesis .................................................................................................... 2
C. Pemeriksaan Fisik ........................................................................................ 3
D. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 5
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 6
F. Resume ......................................................................................................... 6
G. Diagnosis Kerja ............................................................................................ 7
H. Diagnosis Banding ....................................................................................... 7
I. Penatalaksanaan ........................................................................................... 7
J. Prognosis ...................................................................................................... 8
III. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9
A. Definisi ......................................................................................................... 9
B. Epidemiologi ................................................................................................ 9
C. Etiologi ....................................................................................................... 10
D. Patogenesis ................................................................................................. 11
E. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis ............................................................. 13
F. Penegakan Diagnosis ................................................................................. 17
G. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. 20
H. Diagnosis Banding ..................................................................................... 23
I. Penatalaksanaan ......................................................................................... 24
J. Reaksi Kusta .............................................................................................. 25
K. Komplikasi ................................................................................................. 26
L. Prognosis .................................................................................................... 27
M. Pencegahan Kecacatan ........................................................................... 28
IV. PEMBAHASAN ....................................................................................... 29
A. Penegakan Diagnosis ................................................................................. 29
B. Penyingkiran Diagnosis Banding ............................................................... 29
C. Penatalaksanaan ......................................................................................... 30
D. Prognosis .................................................................................................... 31
V. KESIMPULAN ............................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33
I.PENDAHULUAN

Morbus Hansen adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium


leprae. Penyakit ini juga dikenal dengan nama kusta atau lepra. Penyakit kusta
menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Bila tidak ditangani,
kusta dapat bersifat sangat progresif dan menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-
saraf, anggota gerak, dan mata (Kemenkes RI, 2018).
Berdasarkan data WHO pada tahun 2015, jumlah kasus baru kusta adalah
sekitar 210.758. dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia
Tenggara (156.118) diikuti regional Amerika (28.806), Afrika (20.004), dan
sisanya berada di regional lain (WHO, 2016). Angka prevalensi kusta di Indonesia
pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus /10.000 penduduk dan angka penemuan kasus
baru sekitar 6,08 kasus per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2017). Prevalensi
kusta di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2017 yaitu sebesar 0,58 per 10.000
penduduk, sedangkan kasus baru kusta sebanyak 1.644 jiwa atau 4,8 per 100.000
penduduk (Kemenkes RI, 2018).
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat pengobatan
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf yang dapat berakibat
pada kecacatan. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya
sensibilitas, dan berkurangnya kekuatan otot. Oleh karena itu, diagnosis dan
pengobatan dini penyakit kusta perlu dilakukan (Menaidi et al, 2016).
Penegakan diagnosis kusta dapat dilakukan dengan cara mengenali tanda utama
atau tanda cardinal (cardinal sign), yait (1) kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
dimana lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritem)
yang mati rasa (anestesi); (2) penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan
fungsi saraf; dan (3) Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan
saraf tepi (neuritis perifer) kronis (Kemenkes RI, 2012).

1
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. T
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 46 tahun
Alamat : Donorojo RT 05/RW 02 Sempor, Kebumen
Agama : Islam
Tanggal Periksa : 13 Juni 2019
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kaku di kedua tangan dan kaki
2. Keluhan Tambahan
Kedua tangan dan kaki mati rasa dan kesemutan
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Dilakukan autoanamnesis pada pasien. Pasien datang ke Poli Kulit
RSMS pada 13 Juni 2019 dengan keluhan kaku pada kedua tangan dan
kaki. Keluhan dirasakan sejak 8 bulan yang lalu. Keluhan yang dialami
pasien terus menerus dan sedikit mengganggu aktivitas karena pasien
tidak dapat mengepalkan tangannya dengan baik. Pada awalnya, pasien
merasakan kesemutan pada kedua tangan dan kaki. Keluhan kemudian
memberat disertai dengan rasa kebas (mati rasa) dan kaku pada kedua
tangan dan kaki. Beberapa waku setelah mengalami keluhan kesemutan,
kebas, dan kaku pasien baru menyadari terdapat kelainan kulit berupa
penonjolan lebar berwarna merah dan jumlah lebih dari 5 pada kedua
tangan, kaki, dan punggung. Pasien sudah menjalani pengobatan, saat
ini keluhan pada kulit membaik namun rasa kaku, kebas, dan kesemutan
masih dirasakan. Nyeri dan gatal pada area kulit yang mengalami
kelainan disangkal. Demam disangkal.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Pasien belum pernah merasakan keluhan yang serupa sebelumnya
b. Riwayat alergi disangkal

2
3

c. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, atau penyakit kronis lainnya


diasangkal.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Keluhan serupa yang dialami oleh keluarga disangkal.
b. Tidak ada riwayat, diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit kronis
lain pada keluarga pasien.
c. Riwayat alergi di keluarga pasien tidak diketahui.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama istri dan anak pasien. Sehari-hari pasien
bekerja sebagai buruh tani. Pasien saat bekerja sering tidak
menggunakan alas kaki. Keluhan serupa dirasakan oleh teman pasien
yang juga bekerja sebagai buruh tani.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Baik BB: 48 kg, TB: 157 cm
Vital Sign : Tekanan darah : 130/80
Nadi : 76 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36.5°C
Kepala : Mesochepal, simetris, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-)
Telinga : Simetris, sekret (-), discharge (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-),
Tenggorokan: T1 – T1 tenang, tidak hiperemis
Thorax : Simteris. Retraksi (-)
Jantung : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-).
Paru : SD vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-)
Abdomen: Datar, supel, timpani, BU (+) normal
Kelenjar Getah Bening: tidak teraba pembesaran.
4

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-) , sianosis (-), kaku (+)


2. Status Dermatologis
a. Inspeksi dan palpasi :
1) Makula plak hipopigmentasi polimorfik dengan batas tidak
terlalu jelas dan permukaan halus dan mengkilat dengan lesi
lebih dari 5 yang tersebar di regio fascialis, ekstremitas superior
dextra et sinistra, dan ekstremitas inferior sinistra.
2) Makula plak eritematosa anular dengan tepi berbatas tegas dan
permukaan agak kasar di regio thoracal posterior.

c
5

Gambar 2.1 Lokasi dan Efloresensi di ekstremitas superior dextra


(a) et sinistra (b), fascialis (c), pedis sinistra (d) : Makula plak
hipopigmentasi polimorfik

Gambar 2.2 Lokasi dan Efloresensi di thoracal posterior : Makula


plak eritematosa anular.
b. Pemeriksaan fisik khusus
1) Tes sensibilitas : anestesi (+) di lesi kulit, kedua telapak tangan,
dan kedua kaki.
2) Pemeriksaan nervus : pembesaran nervus (+) di n. ulnaris dextra,
n. radialis sinistra, dan n. poplitea sinistra.
D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
6

E. Usulan Pemeriksaan Penunjang


Usulan pemeriksaan penunjang adalah tes lepromin, pemeriksaan
betriologik (BTA), dan pemeriksaan histopatologik, pemeriksaan
serologik (ELISA, ML dipstick, ML Flow Test, Uji MLPA).
F. Resume
Pasien datang ke Poli Kulit RSMS pada 23 Juni 2019 dengan keluhan
kaku pada kedua tangan dan kaki. Keluhan dirasakan sejak 8 bulan yang
lalu. Keluhan yang dialami pasien terus menerus dan sedikit mengganggu
aktivitas karena pasien tidak dapat mengepalkan tangannya dengan baik.
Pada awalnya, pasien merasakan kesemutan pada kedua tangan dan kaki.
Keluhan kemudian memberat disertai dengan rasa kebas (mati rasa) dan
kaku pada kedua tangan dan kaki. Beberapa waku setelah mengalami
keluhan kesemutan, kebas, dan kaku pasien baru menyadari terdapat
kelainan kulit berupa penonjolan lebar berwarna merah dan jumlah lebih
dari 5 pada kedua tangan, kaki, dan punggung. Pasien sudah menjalani
pengobatan, saat ini keluhan pada kulit membaik namun rasa kaku, kebas,
dan kesemutan masih dirasakan. Nyeri dan gatal pada area kulit yang
mengalami kelainan disangkal. Demam disangkal.
Pasien belum pernah merasakan keluhan yang serupa sebelumnya.
Riwayat alergi disangkal. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, atau
penyakit kronis lainnya diasangkal. Riwayat keluhan serupa, alergi, atau
penyakit kronis pada keluarga disangkat. Pasien adalah bekerja sebagai
buruh tani yang jarang menggunakan alas kaki saat bekerja.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status geenralis dalam batas normal.
Status dermatologis didapatkan makula plak hipopigmentasi polimorfik
dengan batas tidak terlalu jelas dan permukaan halus dan mengkilat di regio
fascialis, ekstremitas superior dextra et sinistra, dan ekstremitas inferior
sinistra. Serta terdapat makula plak eritematosa anular dengan tepi berbatas
tegas dan permukaan agak kasar di regio thoracal posterior. Pada
pemeriksaan fisik khusus yaitu tes sensibilitas didapatkan anestesi (+) di lesi
kulit, kedua telapak tangan, dan kedua kaki; dan pada pemeriksaan nervus
7

didapatkan pembesaran nervus (+) di n. ulnaris dextra, n. radialis sinistra,


dan n. poplitea sinistra.
G. Diagnosis Kerja
Morbus Hansesn tipe multibasilar (MB)
H. Diagnosis Banding
1. Tinea corporis
2. Ptiriasis versicolor
I. Penatalaksanaan
1. Edukasi
a. Menjelaskan bahwa penyakit yang diderita pasien adalah penyakit
kusta.
b. Menjelaskan mengenai penyebab, tanda dan gejala, komplikasi,
serta prognosis penyakit kusta kepada pasien.
c. Menjelaskan kepada pasien mengenai pengobatan penyakit kusta
dan pentingnya kepatuhan konsumsi obat secara rutin.
d. Menjelaskan kepada pasien mengenai pentingnya kontrol/
pemeriksaan secara rutin, terutama untuk mengetahui fungsi saraf
supaya mencegah terjadinya kecacatan.
e. Menjelaskan kepada keluarga mengenai pentingnya kepatuhan
pasien dalam pengobatan penyakit kusta sehingga keluarga dapat
memantau dan mengingatkan pasien untuk mengkonsumsi obat
secara rutin.
f. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa penyakit ini
merupakan penyakit yang dapat menular, melalui kontak langsung
maupun pernafasan, sehingga dianjuran keluarga pasien membatasi
kontak dengan pasien.
g. Melakukan pemeriksaan dini/ screening penyakit kusta pada
anggota keluarga lain.
h. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini sangat berkaitan
dangan imunitas pasien, di mana pada sistem imun yang lebih
rendah akan muncul tanda dan gejala yang lebih berat, sehingga
pasien dianjurkan untuk mejaga sistem kekebalan tubuh dengan baik
8

seperti istirahat, makan-makanan bergizi secara teratur, dan


olahraga secara teratur.
i. Menjelaskan kepada pasien mengenai perawatan kaki untuk
mencegah terjadinya luka pada kaki.
2. Medikamentosa
a. Multi Drug Therapy (MDT) selama 12-18 bulan
1) Hari pertama : rifampicin 600 mg, clofazimine 300 mg, dapsone
100 mg
2) Setiap hari (hari ke 2 s/d ke 28) : clofazimine 50 mg/hari dan
dapsone 100 mg/hari.
b. Mecobalamin 1 x 500 mg
J. Prognosis

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad fungsionam : Dubia
Ad sanationam : Dubia ad bonam
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Morbus Hansen adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini juga dikenal dengan nama kusta atau
lepra. Kusta berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta menyerang berbagai bagian
tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa saluran pernafasan atas dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani,
kusta dapat bersifat sangat progresif dan menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata (Kemenkes RI, 2018).
B. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO pada tahun 2015, jumlah kasus baru kusta
adalah sekitar 210.758. dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di
regional Asia Tenggara (156.118) diikuti regional Amerika (28.806), Afrika
(20.004), dan sisanya berada di regional lain (WHO, 2016).
Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta
<1 per 10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000.
Setelah itu Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta
meskipun relatif lambat. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun
2017 sebesar 0,70 kasus /10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru
sekitar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Selain itu, ada beberapa provinsi
yang prevalensinya masih di atas 1 per 10.000 penduduk. Prevalensi ini
belum bisa dinyatakan bebas kusta dan terjadi di 10 provinsi di Indoneisa,
yaitu di provinsi Papua Barat, Maluku Utara, Papua, Maluku, Sulawesi
Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan,
dan Sulawesi Tengah. Prevalensi terendah adalah di Kalimantan barat yaitu
sebesar 0,04 per 10.000 penduduk (Kemenkes RI, 2017).
Prevalensi kusta di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2017 yaitu sebesar
0,58 per 10.000 penduduk, sedangkan kasus baru kusta sebanyak 1.644 jiwa
atau 4,8 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2018).

9
10

C. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium
leprae. Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang bersifat obligat
intra-seluler (hanya bisa hidup dalam sel) dan dapat bertahan terhadap aksi
fagositosis karena mempunyai dinding sel yang sangat kuat dan resisten
terhadap aksi lisozim (Hajar, 2017). Bakteri ini adalah kuman aerob, tidak
membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang
menjadi ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1-8 micro,
lebar 0,2-0,5 micro, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak
mudah diwarnai namun jika diwarnai tahan terhadap dekolorisasi oleh asam
atau alkohol sehingga disebut sebagai basil “tahan asam” (Kemenkes RI,
2018).
Kuman ini menular pada manusia melalui kontak langsung dengan
penderita (keduanya harus ada lesi baik mikrokskopis maupun makroskopis
dan adanya kontak yang lama dan berulang) dan melalui pernafasan. Bakteri
kusta megalami proses perkembangan dalam waktu 2-3 minggu, bertaham
dalah tubuh manusia hingga 9 hari, di luar tubuh manusia kemudiam kuman
membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua
hingga lima tahun bahkan dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun. Setelah
5 tahun, tanda-tanda seseorang mederita penyakit kusta mulai muncul antara
lain, kulit mengalami bercak putih, merah, tasa kesemutan bagian anggota
tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Kemenkes RI, 2018).
Terdapat beberapa faktor yang menentukan terjadinya penyakit
kusta,mulai dari faktor penyebab hingga faktor host. Faktor-faktor tersebut
yaitu (Adhyatma, et al.,2012):
1. Penyebab: Mycobacterium leprae yang alam kondisi tropis dapat
bertahandi luar tubuh sampai sembilan hari.
2. Sumber penularan: hingga saat ini hanya manusia yang dianggap
sebagai sumber penularan.
3. Cara penularan: droplet melalui saluran napas bagian atas. Penyakit ini
memiliki masa inkubasi 2-5 tahun atau lebih. Penularan secara teori
11

terjadi jika terdapat kontak yang sama dengan penderita yang belum
menjalani pengobatan MDT
4. Cara masuk: melalui saluran napas bagian atas atau melalui kontak kulit
yang tidak intak.
5. Host : imunitas yang rendah meningkatkan kejadian kusta
D. Patogenesis
Mycobacterium leprae sebenarnya memiliki daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah
timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh
sendiri atau progresif. Oleh karena itu, penyakit kusta dapat disebut sebagai
penyakit imunologik. Gejala klinis yang ditimbulkan sebanding dengan
tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksinya (Menaidi et al., 2016).
Patogenesis kusta terbagi dalam beberapa hal, yaitu adanya
Mycobacterium leprae, fungsi sistem fagosit mononuklear, aktivitas sel
dendritik yang berhubungan dengan limfosit T dan limfosit B serta imunitas
humoral dan selular yang meliputi faktor host dan agent (Mycobacterium
leprae) serta interaksi keduanya (Hajar, 2017).
1. Imunitas Alamiah (Innate Imunity)
Sistem kekebalan tubuh lapis pertama bekerja secara non spesifik
melalui pertahanan secara mekanis misalnya lapisan kulit yang intak,
secara fisiologis, atau kimiawi serta lewat beberapa jenis sel yang bisa
langsung membunuh kuman.Sel-sel yang pada sistem imunitas alamiah
(innate imunity) bekerja secara fagositosis yang dijalankan oleh monosit
dan pembunuhan di luar sel (extra cellular killing) yang dijalankan oleh
limfosit pembunuh (Natural Killer cell/NK cell). Kekebalan alamiah ini
bersifat non spesifik dan ditunjang oleh status kesehatan secara umum
yaitu gizi yang baik, hidup teratur, serta lingkungan yang baik (Burns et
al., 2016).
12

Sebagian M. leprae yang masuk ke dalam tubuh manusia mungkin akan


lolos dari seragan sistem kekebalan alamiah tersebut. Lewat mekanisme
menumpang di dalam monosit seperti pada infeksi tuberkulosis diparu
(Troyan-horse- phenomen) basil kusta terbawa masuk ke organ yang
lebih dalam tubuh dsn mencari sasaran sel yang sistem pertehanannya
lemah sambil berkembang biak. Belum jelas mengapa M. leprae yang
ditangkap oleh monosit tersebut tidak terbunuh, mungkin melalui cara
mimikri (menyamar) sehingga sel tidak mengenali musuh, atau bakteri
mengeluarkan zat tertentu yang melumpuhkan salah satu komponen
sistem kekebalan. Salah satu jenis sel fagosit yang menjadi sasaran
adlaah sel Schwann yang terletak di perineum saraf tepi. Sel ini
digolongkan dalam “non professional phagocyte”, karena tidak bisa
mengekspresikan MHC class II di permukan selnya, kecuali bila
diaktifkan oleh Interferon gamma (IFN γ) (Makino et al., 2011).
Keadaan ini menyebabkan terganggunya proses penyajian antigen
kepada limfosit T, sehingga setelah menangkap M. leprae sel itu tidak
bisa mengaktifkan limfosit dan sebaliknya limfosit tidak bisa mengirim
sinyal (IFN γ) yang dibutuhkan untuk sistem penghancuran kuman
didalam sel. Maka sel Schwann ini menjadi pos pertama dari basil kusta
sebelum menginvasi kekulit dan organ lain. Pada waktu sel Scwann
yang tua mati dan pecah, M. leprae yang berkembang biak didalam sel
tersebut akan tersebar keluar dan akan ditangkap oleh sel fagosit lain.
Fase selanjutnya adalah interaksi antara basil kusta dengan sistem
pertahanan tubuh lapis kedua yang bersifat spesifik (Aline et al., 2016).
2. Imunitas yang didapat (Acquired Immunity)
Dalam sistim pertahanan lapis kedua, eliminasi kuman dijalankan
oleh sistim imun yang didapat (Acquired Immunity) yang sifatnya
spesifik dan timbul apabila sudah terjadi pengenalan (recognition) dan
pengingatan (memory) oleh berbagai komponen sel yang terlibat. Untuk
penghancuran kuman yang hidupnya di dalam sel seperti M. leprae,
maka diperlukan kerjasama antara makrofag dan limfosit T. Makrofag
harus memberi sinyal lewat penyajian antigen, sedangkan limfosit harus
13

memberi sinyal dengan mengeluarkan Interleukin yang akan


mengaktifkan makrofag tersebut agar menghancurkan kuman lewat
meka isme fagosom-lisosom kompleks (Makino et al., 2011).
Dalam proses penyajian antigen dari mikobakteria, antigen yang
berasal dari proses pencernaan di dalam fagosom akan disajikan oleh
MHC kelas II kepada limfosit T yang CD4+, umumnya dari jenis T-
helper atau inducer. Sedangkan antigen dari kuman yang berada di
dalam sitoplasma akan disajikan oleh molekul MHC kelas I kepada sel
T yang CD8+, yaitu sitotoksik/supresor.Limfosit Th-1 terbentuk apabila
dalam proses stimulasi antigen terdapat IL-12, IFN-gamma dan IL-18,
yang berasal dari sel NK dan makrofag di dalam sistim imunitas alamiah
(innate immunity). Kedua subset limfosit ini saling mempengaruhi satu
sama lain (down-regulating) dan selalu berusaha mencapai
keseimbangan. Apabila pada awal proses aktivasi terdapat IL-4
(kemungkinan dibentuk oleh sel NK1.1 CD4+) maka Th-0 akan berubah
menjadi Th-2. Selanjutnya Th-1 akan mengaktifkan sistim imun seluler
yang diatur lewat pengaruh sitokin IL-2, IFN-gamma dan TNF-alfa,
sedangkan Th-2 akan mengaktifkan sistim imun humoral lewat mediator
IL-4, I-6 dan IL-10 (Aline et al., 2016).
Berdasarkan konsep Th-1 dan Th-2 tersebut, maka dalam respons
imun terhadap kuman M. Leprae akan terjadi dua kutub, dimana pada
satu sisi akan terlihat aktifitas imunitas humoral. Manifestasi klinik yang
terlihat adalah kusta tipe Tuberkuloid dengan aktifitas Th-1 yang
menonjol dan tipe Lepromatosa dengan imunitas humoralnya yang
dihasilkan oleh Th-2. Bentuk- bentuk peralihan (tipe Borderline)
kemungkinan timbul dari perbedaan gradasi antara aktifitas Th-1 dan
aktifitas Th-2.Namun untuk menjelaskan mengapa bisa terjadi
pergeseran diantara bentuk-bentuk yang tidak stabil tersebut, tampaknya
konsep diatas masih belum bisa digunakan (Aline et al., 2016).
E. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis
Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul
gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
14

bergantung pada sistem imunitas selular (SIS). Bila SIS penderita baik, akan
tampak ambaran tubekuloid. Sebaliknya, apabila SIS penderita lemah akan
tampak gambaran lepromatosa (Menaidi et al., 2016).
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah determinate pada penyakit
kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu (Menaidi et al.,
2016):
TT : Tuberkuloid Polar, bentuk stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid Borderline
BL : Borderline lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan
tipe stabil, jadi berarti tidak meungkin berubah tipe. Begitu pla LL adalah
tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100% yang stabil. BB adalah tipe
campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. Tipe
antara BT, Ti, BL dan Li disebut tipe borderline atau campuran. BT dan Ti
lebih banyak mengandung tuberkuloid, sedangkan tipe BL dan Li lebih
banyak mengandung lepromatosa. Tipe campuran ini adalah tipe yang labil,
dapat beralih tip eke arah TT atau LL (James et al., 2011).
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk ke dalam multibasilar (MB) adalah tipe LL,
BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling, sedangkan pausibasilar (PB)
adalah tipe I (intermediate), TT, dan BT. Pada tahun 1987 untuk
kepentingan pengobatan, yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta
dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit. Apabila BTA positif
maka termasuk ke dalam kusta MB. Kusta MB baik itu tipe BB, BL, LL,
atau apa pun klasifikasi klinis lain dengan BTA positif memerlukan
pengobatan dengan rejimen MDT-MB (Multi Drug Therapy- Multi Basilar)
(Menaidi et al., 2016).
15

Tabel 3.1 Spektrum Kusta menurut berbagai macam klasifikasi (Menaidi et


al., 2016)
Kalsifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley-Jopling (1960) TT BT BB BL LL
Madrid (1953) Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Pada orang yang kekebalan alamiahnya tidak berhasil membunuh


kuman yang masuk, terjadi perkembangbiakan Mycobacterium leprae di
dalam sel Schwan di perineurium. Proses ini berjalan sangat lambat sebelum
muncul gejala klinis yang pertama. Setelah melewati masa inkubasi yang
cukup lama (sekitar 2-5 tahun) akan muncul gejala awal penyakit yang
bentuknya belum khas, berupa bercak-bercak dengan sedikit gangguan
sensasi pada kulit (anesthesia) disertai dengan berkurangnya produksi
keringat setempat (anhidrosis) (Hajar, 2017).
Bakteri ini pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang
kulit,mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial,
mata, tulang,dan testis, kecuali susunan saraf pusat. Sehingga akan terjadi
kerusakan sensoris dan motoris sebagai hasil dari deformitas dan sensibilitas
dari bakteritersebut (Mufidah, 2009)
Manifestasi klinis yang dialami sangat beragam (terutama pada kulit,
saraf, dan membrane mukosa) seperti bercak kemerahan atau pucat pada
kulit, kehilangan sensoris pada area bercak kulit, kelemahan atau
kelumpuhan pada ekstremitas, benjolan pada wajah atau telinga, dan luka-
luka pada ekstremitas (Kosasih, 2010).
Kerusakan fungsi sensorik akan menyebab kanterjadinya kurang atau
mati rasa yang berakibat tangan dan kaki dapat terjadiluka. Sedang bila
mengenai kornea mata menyebabkan kurangnya atauhilangnya reflek
berkedip.Kerusakan fungsi motorik Kekuatan otot tangan dan kaki menjadi
lemahatau lumpuh lalu mengecil (atropi), jari tangan dan kaki bengkok
(claw hand danclaw toes) serta terjadi kekakuan sendi (kontraktur). Bila
kerusakan terjadi padaotot kelopak mata, maka kelopak mata tidak dapat
dirapatkan (lagopthalmus). Kerusakan fungsi otonom Kerusakan pada
fungsi otonom akan mengakibatkan gangguan pada kelenjar keringat,
16

kelenjar minyak dan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,
keras dan pecah-pecah (Tiarasari, 2014).

Tabel 3.2 Pembagian diagnosis klinis menurut WHO (Menaidi et al,


2016)
PB MB
Lesi Kulit  1-5 lesi  >5 lesi
 Hipopigmentasi/eritema  Distribusi simetris
 Distribusi tidak simetris  Anestesia kurang
 Anestesia jelas jelas
Kerusakan saraf Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
(hilang sensasi
atau kelemahan
otot)
Pemeriksaan Negatif Positif
BTA
Tabel 3.3 Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik kusta
multibasiler (MB) (Menaidi et al, 2016)

Sifat LL BL BB
Lesi
Bentuk Makula, Macula, plak, Dome-shaped
infiltrate, difus, papul (kubah), punched-
papul, nodul out
Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapa dihitung,
tidak ada kulit masih ada kulit kulit sehat jelas
sehat sehat ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Stocking and Tak jelas Lebih jelas
gloves
anesthesia
BTA
Lesi Kulit Banyak (ada Banyak Agak banyak
globus)
Sekret Banyal (ada Biasanya negatif Negatif
hidung globus)
Tes (-) (-) (-)
lepromin
17

Tabel 3.4 Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta


pausibasilar (PB) WHO (Menaidi et al, 2016)

Sifat TT BT I
Lesi
Bentuk Macula saja; Macula dibatasi Macula
macula dibatasi infiltrate; hipopigmentasi
infilrat infiltrate saja berbatas tegas
Jumlah Satu, dapat Beberapa atau Satu atau
beberapa satu dengan beberapa
satelit
Distribusi Asimetris Hampir asimetris Variasi
Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas
BTA
Lesi Kulit Hampir selalu Negatif atau Biasanya negatif
negatif hanya 1+
Tes Positif kuat 3+ Positif lemah Dapat positif
lepromin lemah atau negatif

F. Penegakan Diagnosis
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang bersifat intraselular obligat.
Saraf tepi/perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran
nafas bagian atas, kemudian dapat ke organ tubuh lainnya kecuali susunan
saraf pusat. Berdasarkan definisi tersebut, maka untuk menegakan diagnosis
kusta perlu dicari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepid
an kelainan yang tampak pada kulit (Kemenkes RI, 2012).
Penegakan diagnosis kusta dapat dilakukan dengan cara mengenali
tanda utama atau tanda cardinal (cardinal sign), yaitu (Kemenkes RI, 2012):
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau
kemerahan (eritem) yang mati rasa (anestesi).
18

2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.


Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi
(neuritis perifer) kronis.
Gangguan saraf tepi ini dapat berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan
(paralisis) otot
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak
3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit
skin smear).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila terdapat satu atau
lebih dari cardinal sign di atas. Pada dasarnya sebgaian besar penderita
dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis. Apabila pemeriksa masih
ragu, orang tersebut dapat dianggap sebagai penderita yang dicurigai
(suspek). Tanda-tanda tersangka kusta, daiantaranya (Kemenkes RI, 2012):
1. Tanda pada kulit
a. Bercak kulit yang merah atau putih (gambaran yang paling sering
ditemukan) dana tau plakat pada kulit, terutama di wajah dan telinga
b. Bercak kurang/mati rasa
c. Bercak yang tidak gatal
d. Kuit mengkilap atau kering bersisik
e. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringan atau tidak berambut
f. Lepuh tidak nyeri
2. Tanda-tanda pada saraf
a. Nyeri tekan dana tau spontan pada saraf
b. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak
c. Kelemahan anggota gerak dan/atau wajah
d. Adanya cacat (deformitas)
e. Luka (ulkus) yang sulit sembuh
3. Lahir dan tinggal di daerah endemic kusta dan mempunyai kelainan
kulit yang tidak sembuh dengan pengoatan rutin, terutama bila terdapat
keterlibatan saraf tepi.
19

Cardinal sign atau tanda tersangka kusta dapat diperoleh melalui


anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis pada pasien perlu dilakukan
secara lengkap. Pasien biasanya mengeluhkan rasa kebas, kesemutan, dan
kaku pada anggota gerak. Selain itu pasien pun mengeluhkan adanya bercak
pada kulit yang terasa kebas dan kering. Pemeriksaan fisik yang perlu
dilakukan yaitu inspeksi dan palpasi bercak pada kulit untuk dapat
menentukan ujud kelainan kulit (UKK) pada penderita. Pemeriksaan khusus
yang dilakukan untuk mendiagnosis penderita kusta adalah pemeriksaan
saraf tepi (Menaidi et al., 2016).
Berkaitan dengan saraf tepi yang perlu diperhatikan adalah pembesaran,
konsistensi, dan nyeri atau tidak. Beberapa saraf superfisial yang perlu
diperiksa yaitu, N. fascialis, N. aurakularis magnus, N. radialis, N. ulnaris,
N. medianus, N. poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Untuk tipe
lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk
tipe tuberkuloid kelainan saraf lebih terlokalisasi mengikuti letak lesi (Wolff
et al., 2012).

Gambar 3.1 Saraf tepi yang sering mengalami kerusakan pada penyakit
kusta (Kemenkes RI, 2012)
20

Adanya pembesaran saraf tepi diketahui dengan melakukan palpasi,


terutama pada saraf ulnaris, poplitea lateralis, dan tibialis posterior;
sedangkan untuk mengetahui pembesaran N. Aurikularis magnus dapat
dilakukan dengan inspeksi. Pemeriksaan fungsi sensoris saraf tepi bertujuan
untuk mengetahui adanya anesthesia atau tidak, pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan pemeriksaan sensibilitas terhadap rangsang nyeri
menggunakan jarum, rangsang taktil menggunakan kapas pilin, dan
rangsang suhu menggunakan air hangat dalam tabung reaksi. Pemeriksaan
fungsi otonom dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinta Gunawan untuk
mengetahui adanya anhidrosis atau tidak. Pemeriksaan fungsi motorik dapat
dilakukan dengan meminta pasien untuk mengerakan jari-jari tangan,
menggerakan kaki, dan membuka atau menutup mata (Kosasih et al., 2010).
Gangguan fungsi sensorik dan motorik yang terjadi sesuai dengan
kerusakan saraf tepi pada penderita kusta adalah sebagai berikut (Wolff et
al., 2012):
1. N. ulnaris : anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing hand, atrofi hipotenar dan otot interoseis serta kedua otot
lumbrikalis medial.
2. N. medianus : anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk,
jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot
lumbrikalis lateral.
3. N. radialis : anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk,
tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau
prgelangan tangan.
4. N. poplitea lateralis : anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan
dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior : anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot
intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
6. N.facialis : lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengkatupkan bibir (cabang bukal,
mandibular, dan servikal)
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis yang dilakukan untuk menegakan
diagnosis penyakit kusta adalah slit skin smear atau skin smear. Skin
21

smear dilakukan dengan mengambil irisan atau kerokan kecil pada lesi
kulit yang diduga paling aktif atau pada cuping telinga dan kemudian
diberi pewarnaan tahan asam (Zhiel-Neelsen) untuk melihat
Mycobacterium leprae. Pemeriksaan ini bertujuan untuk membantu
menegakan diagnosis pasien baru terutama pada kasus suspek,
membantu menentukan klasifikasi penyakit kusta pasien baru,
membantu diagnosis pasien relaps yang sudah mendapat pengobatan
sebelumnya, dan membantu menilai hasil pengobatan (Kemenkes RI,
2012).
Pemeriksaan bakteriologis ini dilakukan dengan mencari dan
menghitung keberadaan basil tahan asam (BTA) dalam sediaan yang
akan Nampak sebagai barang merah dengan latar belakang biru. Bentuk
BTA dapat lurus atau melengkung, berwarna merah merata (homogen)
yang disebut solid. Sedangkan warna merah pada BTA uang tidak
merata (fragmented dan granular) yang disebut sebagai globi. Basil yang
solid menandakan adanya mikroorganisme hidup (Kemenkes RI, 2012).
a. Indeks Bateri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan
apus (Kemenkes RI, 2012).
Tabel 2.5 Penilaian Indeks Bakteri BTA (Kemenkes RI, 2012)
Indeks Bakteri
0 0 BTA dalam 100 LP, hitung 100 lapang pandang

1+ 1-10 BTA dalam 100 LP, hitung 100 lapang pandang

2+ 1-10 BTA dalam 10 LP, hitung 100 lapang pandang

3+ 1-10 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 lapang pandang

4+ 10-100 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 lapang pandang

5+ 100-1000 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 lapang


pandang

6+ >1000 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 lapang pandang

b. Indeks Morfologi (IM)


22

Merupakan presentase basil kusta, bentuk utuh (solid) terhadap


seluruh BTA (Kemenkes RI, 2012).
Jumlah BTA Slid
IM = x 100 %
Jumlah BTA solid+non solid
Indeks morfologi berguna untuk mengetahui daya penularan
kuman juga untuk menilai hasil pengobatan dan membantu
menentukan diagnosis terhadap obat.
2. Tes Lepromin
Uji ini merupakan suatu uji in vivo yang digunakan untuk menilai
keaktifan limfosit T yang berupa reaksi hipersensitif tipe lambat
terhadap antigen M. leprae. Uji lepromin kurang sensitif karena dapat
memberikan hasil positif pada orang yang terinfeksi oleh organisme
lainnya yang mempunyai beberapa antigen yang sama. Uji ini tidak
dapat digunakan untuk mendiagnosa, tetapi hanya untuk menentukan
klasifikasi saja (Lahiri et Krahenbuhl, 2008).
3. Pemeriksaan Histopatologi
Makrofag dalam jaringan berasal dari monosit yang ada di dalam
darah. Sel ini berfungsi untuk fagositosis. Pada organ lain, sel yang
mirip makrofag karena memiliki peran yang sama memiliki nama khsus,
anatara lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru, sel glia di otak, dan
di kulit disebut histiosit. Ketika M. leprae masuk ke dalam kulit, sistem
imun selular (SIS) akan memberikan respon. Apabil SIS seorang
individu tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Apabila berlebihan dan
tidak ada lagi kuman yang difagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan
dapat berubah menjadi sel Datia Langhans. Adanya massa epiteloid
yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan
menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS yang rendah, histiosit tidak dapat menghancurkan M.
lerprae yang sudah ada di dalamnua, bahkan dijadikan tempat untuk
23

berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa
dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan (Menaidi et al., 2016).
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivate-derivatnya.
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit,
dan bentuk kuman non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim
sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline
terdapat campuran unsur-unsur tersebut (Menaidi et al., 2016).
4. Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologis kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi M. leprae. Antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibody anti-phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) dan antibody antiprotein kD serta 35 kD.
Sedangkan antibody yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
liproarabinomaan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.
tuberculosis (Menaidi et al., 2016).
Kegunaan pemeriksaan serologic ini adalah dapat membantu
mendiagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan
bateriologik yang tidak terlalu jelas. Di samping itu dapat membantu
menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya
pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologic kusta
adalah :
b. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
c. Uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
d. ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
e. ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)
H. Diagnosis Banding
1. Tinea corporis
Tinea korporis merupakan dermatofitosis yang terletak di kulit
kecuali bagian telapak tangan, telapak kaki, dan area genital. Tinea
ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi penderita. Dari
24

gambaran klinis yang mirip dengan morbus hansen adalah


didapatkannya lesi berbentuk anuler (bentukan mirip ring-worm) atau
plak serpiginosa dengan skuama di daerah aktif dengan batas eritema.
Batas lesi ini sering kali vesikular, dan tumbuh melingkar. (Schieke et
Garg, 2012). Di bagian tengah plak sering kali berskuama namun dapat
tampak bersih (central healing) oleh karena menipis dan terjadi
penyembuhan. Biasanya penderita merasakan gatal terutama bila
berkeringat. (Handoyo et Abdullah, 2009). Pada pasien didapatkan lesi
anuler yang mirip seperti bentukan tinea,namun lesi pasien dibedakan
dengan tinea karena tidak didapatkannya bentukan central healing yang
khas pada tinea dan pada lesi pasien dikeluhkan mati rasa,pada tinea
tidak akan didapatkan lesi yang mengganggu fungsi saraf sensoris
(Tiarasari, 2014).
2. Pitiriasis versicolor
Pitiriasis versicolor adalah infeksi kulit superfisial kronik,
disebabkan oleh ragi genus Malassezia, umumnya tidak memberikan
gejala subyektif, ditandai oleh are depigmentasi atau diskolorisasi
berskuama halus, tersebr diskret atau konfluen, dan terutama terdapat
pada bagian-bagian atas. Lesi pitirisasis versicolor berupa makula
berbatas tegas, dapat hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan kadang
eritematosa, terdiri atas berbagai ukuran, dan berskuama halus
(pitiriasiformis). Keluhan biasanya disertai dengan adanya pruritus
ringan (Menaidi et al., 2016).
I. Penatalaksanaan
Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat
antikusta, salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat
bakterisidal kuat sedangkan obat antikusta lain yaitu clofazimine dan
dapsone bersifat bakteriostatik. Berikut merupakan kelompok orang yang
membutuhkan MDT (Kemenkes RI, 2012) :
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT
2. Pasien ulangan yaitu pasien yang mengalami hal-hal sebagai berikut :
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
25

c. Pindahan (pindah masuk)


d. Ganti klasifikasi/tipe
Regimen pengobatan MDT dipergunakan di Indonesia, regimen ini
berdasarkan rekomendasi WHO tahun 1998, yaitu (Kemenkes RI, 2012) :
1. Penderita PB
Pasien diberi obat Rifampicin 600 mg dan Dapsone 100 mg pada
hari pertama (di depan petugas). Pada hari ke 2-28 pasien diberikan
Dapsone 100 mg (di rumah). 1 blister untuk 1 bulan. Lama pengobatan
6 – 9 bulan (6 blister).
2. Penderita MB
Pasien diberikan obat Rifampicin, Clofazimine, dan Dapsone. Dosis
dewasa adalah Rifampicin 600 mg, Clofazimine 300 mg dan Dapsone
100 mg (diminum hari pertama di depan petugas), kemudian
Clofazimine 50 mg, Dapsone 100 mg (diminum di rumah hari 2 – 28).
Lama pengobatan 12 –18 bulan (12 blister). Sedangkan pada anak
dibawah 10 tahun, dosis MDT diberikan berdasarkan berat badan, yaitu
Rifampicin 10 – 15 mg/kg bb, Dapsone 1 – 2 mg/kg bb, dan Clofazimine
1 mg/kg bb.
Selain MDT, obat neurotropik dapat diberikan unuk penderita kusta.
Obat neurotropik yang dapat diberikan yaitu seperti Vitamin B1, Vitamin
B6, dan Vitamin B12 (Kemenkes RI, 2012).
J. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada eprjalanan yang
sangat kronis. Reaksi kusta merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 1 saat
terjadinya peningkatan sistem imunitas selular atau hipersensitivitas tipe 2
(humoral. Bila reaksi ini tidak didiagnosis dan diobati secara cepat dan tepat
maka dapat berakibat merugikan bagi pasien. Jika reaksi mengenai saraf
tepi, akan mengakibatkan gangguan fungsi saraf yang akhirnya
menyebabkan cacat. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum, selama, atau
setelah pengobatan. Terdapat 2 tipe reaksi kusta, yaitu reaksi tipe 1 yang
disebut reaksi reversal dan reaksi tipe 2 yang disebut Eritema Nodusum
Leprosum (ENL) (Kemenkes RI, 2012; Menaidi et al., 2016).
26

Tabel 3.5 Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2 (Kemenkes RI, 2012)

No Gejala dan Reaksi Tipe 1 (Reaksi Reaksi Tipe 2 (Eritema


tanda Reversal) nodusum leprosm/ENL)
1 Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta Hanya ada pada kusta
tipe PB maupun MB tipe MB
2 Waktu timbulnya Biasanya segera setelah Biasanya telah
pengobatan mendapatkan
pengobatan yang lama,
umumnya lebih dari 6
bulan.
3 Keadaan umum Umumnya baik, demam Ringan sampau berat
ringan (sub-febris) atau disertai kelemahan
tanpa demam umum dan demam tinggi
4 Peradangan Kulit Bercak kulit lama menjadi Timbul nodus yang
lebih meradang (merah), kemerahan, lunak, dan
bengkak, berkulat, hangat. nyeri tekan. Biasanya
Kadang hanya ada pada pada lengan dan tungkai.
sebagian lesi. Dapat timbul Nodus dapat pecah
bercak baru.
5 Saraf Sering terjadi, umumnya Dapat terjadi
berupa nyeri saraf dana tau
gangguan fungsi saraf.
6 Edema pada (+) (-)
ekstremitas
7 Peradangan pada Anestesi kornea dan Iritis, Iridosiklitis,
mata lagoftalmus karena Glaucoma, Katarak.
keterlibatan N. V dan
N.Vii
8 Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada testis, sendi,
organ lain ginjal, kelenjar getah
bening.

K. Komplikasi
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Kerusakan saraf
terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya
kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan
sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka
27

yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan
sensibilitas saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas
sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen,
mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan (Menaidi et al., 2016).
Terdapat 2 jenis cacat kusta yaitu cacat primer yang disebabkan
langsung oleh aktivitas penyakit terutama kerusakan akibat respons jaringan
terhadap M. leprae, seperti anestesi, claw hand dan kulit kering. Sedangkan
cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya
kerusakan saraf seperti ulkus dan kontaktur (Kemenkes RI, 2012).
WHO Expert Comitte on Leprosy 1997 membuat klasifikasi cacat bagi
penderita kusta sebagai berikut.
Tabel 3.6 Klasifikasi Cacat menurut WHO 1997 (Kemenkes RI, 2012)
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas,
tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa
kerusakan atau deformitas yang
terlihat
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan pada
mata (termasuk visus)
Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan oada mata,
tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang
Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat
dan atau visus yang sangat
terganggu
L. Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih
sederhana dan lebih singkat, serta prognoss menjadi lebih baik. Jika sudah
terjadi kontraktur dan ulkus kronik, prognosis mejadi kurang baik
(Kemenkes RI, 2012).
28

M. Pencegahan Kecacatan
Penderita pencegahan cacat atau prevention of disabillity (POD) adalah
suatu usaha untuk memberikan tindakan pencegahan terhadap penderita
agar terhindar dari risiko cacat selama perjalanan penyakit kusta, terutama
akibat reaksi kusta. Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai terjadi
kecacatan yang timbul atau bertambah setelah penderita terdaftar dalam
pengobatan dan pengawasan.Terjadinya cacat pada penderita kusta
disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi baik oleh kuman maupun
karena terjadinya peradangan saraf (neuritis) sewaktu terjadi reaksi kusta
(Tiarasari, 2014).
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau POD adalah
dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT
yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi
kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas,
penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk
melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja
dengan benda tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi
mata. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini
dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah
itu tangan dan kaki direndam, disikat, dan diberi minyak agar tidak kering
dan pecah (Menaidi et al., 2016).
IV. PEMBAHASAN

A. Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis kusta dapat dilakukan dengan cara mengenali


tanda utama atau tanda cardinal (cardinal sign) di mana Seseorang
dinyatakan sebagai penderita kusta apabila terdapat satu atau lebih dari
cardinal sign, yaitu :
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau
kemerahan (eritem) yang mati rasa (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi
(neuritis perifer) kronis.
Gangguan saraf tepi ini dapat berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan
(paralisis) otot
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak
3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit
skin smear).
Pada pasien ini, berdasarkna hasil anamnesis didapatkan keluhan kaku,
kebas, dan kesemutan pada ekstremitas superior dan inferior. Hal ini
menunjukan bahwa terdapat gangguan fungsi saraf sensorik dan motorik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya kelainan (lesi) kulit yang lebih
dari 5 di regio fascialis, ekstremitas superior dextra et sinistra, dan
ekstremitas inferior sinistra. Selain itu didapatkan pembesaran n. ulnaris
dextra, n. ulnaris sinistra, dan n. poplitea lateralis.
B. Penyingkiran Diagnosis Banding

1. Tinea corporis
Tinea korporis merupakan dermatofitosis yang terletak di kulit
kecuali bagian telapak tangan, telapak kaki, dan area genital. Tinea
ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi penderita. Dari

29
30

gambaran klinis yang mirip dengan morbus hansen adalah


didapatkannya lesi berbentuk anuler (bentukan mirip ring-worm) atau
plak serpiginosa dengan skuama di daerah aktif dengan batas eritema.
Batas lesi ini sering kali vesikular, dan tumbuh melingkar. Di bagian
tengah plak sering kali berskuama namun dapat tampak bersih (central
healing) oleh karena menipis dan terjadi penyembuhan. Biasanya
penderita merasakan gatal terutama bila berkeringat (Wolff et al., 2012).
2. Pitiriasis versicolor
Pitiriasis versicolor adalah infeksi kulit superfisial kronik,
disebabkan oleh ragi genus Malassezia, umumnya tidak memberikan
gejala subyektif, ditandai oleh area depigmentasi atau diskolorisasi
berskuama halus, tersebar diskret atau konfluen, dan terutama terdapat
pada bagian-bagian atas. Lesi pitirisasis versicolor berupa makula
berbatas tegas, dapat hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan kadang
eritematosa, terdiri atas berbagai ukuran, dan berskuama halus
(pitiriasiformis). Keluhan biasanya disertai dengan adanya pruritus
ringan (Menaidi et al., 2016).
Pada pasien kusta, bentuk UKK yang ditemukan dapat berupa lesi anuler
yang mirip seperti bentukan tinea, atau makula
hipopigmentasi/hiperpigmentasi/eritematosa dengan skuama halus seperti
pada pitiriasis versicolor. Untuk membedakan lesi kusta dengan tinea dan
pitirisais adalah pada penderita kusta lesi tidak terasa nyeri dan gatal,
bahkan pasien sering merasa kebas, kesemutan, hingga kaku. Sedangkan
pada tinea dan pitiriasis, lesi dapat disertai dengan adanya keluhan gatal.
C. Penatalaksanaan

Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat
antikusta, salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat
bakterisidal kuat sedangkan obat antikusta lain yaitu clofazimine dan
dapsone bersifat bakteriostatik. Berikut merupakan kelompok orang yang
membutuhkan MDT (Kemenkes RI, 2012) :
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT
2. Pasien ulangan yaitu pasien yang mengalami hal-hal sebagai berikut :
31

a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
Regimen pengobatan MDT dipergunakan di Indonesia, regimen ini
berdasarkan rekomendasi WHO tahun 1998, yaitu (Kemenkes RI, 2012) :
1. Penderita PB
Pasien diberi obat Rifampicin 600 mg dan Dapsone 100 mg pada
hari pertama (di depan petugas). Pada hari ke 2-28 pasien diberikan
Dapsone 100 mg (di rumah). 1 blister untuk 1 bulan. Lama pengobatan
6 – 9 bulan (6 blister).
2. Penderita MB
Pasien diberikan obat Rifampicin, Clofazimine, dan Dapsone. Dosis
dewasa adalah Rifampicin 600 mg, Clofazimine 300 mg dan Dapsone
100 mg (diminum hari pertama di depan petugas), kemudian
Clofazimine 50 mg, Dapsone 100 mg (diminum di rumah hari 2 – 28).
Lama pengobatan 12 –18 bulan (12 blister). Sedangkan pada anak
dibawah 10 tahun, dosis MDT diberikan berdasarkan berat badan, yaitu
Rifampicin 10 – 15 mg/kg bb, Dapsone 1 – 2 mg/kg bb, dan Clofazimine
1 mg/kg bb.
Selain MDT, obat neurotropik dapat diberikan unuk penderita kusta.
Obat neurotropik yang dapat diberikan yaitu seperti Vitamin B1, Vitamin
B6, dan Vitamin B12 (Kemenkes RI, 2012).
D. Prognosis

Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih


sederhana dan lebih singkat, serta prognoss menjadi lebih baik. Jika sudah
terjadi kontraktur dan ulkus kronik, prognosis mejadi kurang baik
(Kemenkes RI, 2012).
V. KESIMPULAN

1. Morbus Hansen atau penyakit kusta adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae.
2. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa
saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari
luar.
3. Penegakan diagnosis kusta dapat dilakukan dengan cara mengenali tanda utama
atau tanda cardinal (cardinal sign) yaitu, kelainan (lesi) kulit yang mati rasa,
penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf, dan adanya
basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
4. Lesi kulit dapat berupa makula, plak, infiltrate, bahkan nodul eritematosa
hingga hipopigmentasi.
5. Tatalaksana terapi kusta yaitu dengan pemberian obat MDT (Multi Drug
Therapy) selama 12-18 bulan.

32
DAFTAR PUSTAKA
Adhyatma, Lapian AR, Andy AL, et al. Pedoman Nasional Program
PengendalianKusta. Jakarta, FKUI. 8-137.
Aline, A.F., Emerith, M.H., Mauricio, B.C., Analucia, O.M.S., Mirian, L.O.C.
2016. Application of Mycobacterium Leprae-Specific Celluler and Serological
tests for The Differencial Diagnosis of Leprosy from Comfounding
Dermatoses. Sauders Elseviers, 7-24.
Burns, T., Breachnach, S., Cox, N., Griffiths, C. 2016. Rook’s Textbook of
Dermatology. Wiley-Blackwell.
Hajar, S. 2017. Morbus Hansen : Biokimia dan Imunopatogenesis. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, 17(3) : 190-194.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Infodatin : Hapuskan Stigma dan
Diskriminasi Terhadap Kusta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Nasional Pengendalian
Penyakit Kusta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Infodatin : Hapuskan Stigma dan
Diskriminasi Terhadap Kusta.
Kosasih A., Wisnu I.M., Emmy, Daili ES, et al. 2010.
IlmuPenyakitKulitdanKelamin: Kusta. Ed ke6. Jakarta: Universitas Indonesia.
Lahiri R, Krahenbuhl JL. 2008. The role of free-living pathogenic amoeba in the
transmission of leprosy: a proof of principle. Lepr Rev 79, halaman 401 – 409
Makino, M., Matsuoka, M., Goto, M., Hatano, K. 2011. Leprosy : Science working
toward dignity. Tokyo: Tokay Univesity press. Hal : 72-84.
Menaidi, S.L, Bramono, K., Indriatmi, W. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta, Penerbit FKUI.
Mufidah A, Rahimah, 2009, Morbus Hansen, Dalam: Abdullah B, Dermatologi,
Edisi Pertama, SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Haji Surabaya,
Surabaya. Hal. 149-159.
Tiarasari R. 2014. Rehabilitation and Disability Limitation of Youth 22 Years Old
Morbus Hansen. J Medula Unila ; 3(2): 96-107
Wolff, K., Lefell, D.J., Paller, A.S., Gilchrest, B.A., Katza, S.I., Goldsmith, LA.
2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. McGraw Hill, New
York.
World Health Organization. 2016. Weekly epidemiological record World Health
Organization. Global leprosy update2014: need for early case detection.; (36):
461-7.

33

Anda mungkin juga menyukai