Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

“Gangguan Panik (F41.0) dan Gangguan Cemas Menyeluruh (F41.1)”

Oleh Khaerul

Anam

H1A016047

Dosen Pembimbing

dr. Emmy Amalia, Sp.KJ

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEGIATAN KEPANITERAAN KLINIK


MADYA BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
RUMAH SAKIT JIWA MUTIARA SUKMA
NUSA TENGGARA BARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Laporan
Kasus yang berjudul “Gangguan Panik (F41.0) dan Gangguan Cemas
Menyeluruh (F41.1)” tepat pada waktunya. Tugas ini dibuat dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram, Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Tugas ini juga merupakan salah satu bentuk pembelajaran
dan peningkatan pemahaman terhadap kasus pada bagian ilmu penyakit dalam.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan teman-teman yang
telah memberikan dukungan terhadap tugas ini. Terima kasih juga kepada dr.
Emmy Amalia, Sp.KJ selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan
dan masukan sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih banyak kekurangan.


Karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Terima kasih

Mataram, 16 Januari 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan panik atau dalam PPDGJ III disebut dengan anxietas
paroksismal episodik merupakan gangguan cemas kronis yang melemahkan
yang menunjukkan prevalensi seumur hidup sebesar 3-4% dari populasi
umum1. Gangguan panik ini sering dikaitkan dengan komorbiditas psikiatri
maupun kondisi medis umum lainnya, gangguan signifikan yang mempengaruhi
fungsi sehari-hari, kinerja, kualitas hidup, dan beban finansial yang relevan.2
Gambaran inti dari gangguan panik adalah serangan panik yang tak
terduga berulang yang ditandai dengan episode ketakutan atau ketidaknyamanan
yang bersifat tiba-tiba dan intens, dengan diikuti gejala somatik seperti nyeri
dada, palpitasi, dispnea, dan sesak napas2. Orang dengan gangguan panik yang
mengalami serangan ketakutan yang tiba-tiba dan berulang yang berlangsung
selama beberapa menit atau lebih lama disebut serangan panik. Serangan panik
ditandai dengan ketakutan akan bencana atau kehilangan kendali bahkan ketika
tidak ada bahaya nyata.3 Gangguan panik atau anxietas paroksismal episodik ini
dapat ditegakkan sebagai diagnosis utama jika tidak ada ditemukan adanya
gangguan anxietas fobik. Beberapa gangguan tersebut adalah agorafobia, fobia
sosial, fobia khas (terisolasi), gangguan anxietas fobik lainnya, dan gangguan
anxietas fobik YTT.1,4
Gangguan panik sering dimulai pada akhir masa remaja atau awal masa
dewasa. Prevalensi menunjukkan lebih banyak wanita daripada pria yang
mengalami gangguan panik. Namun tidak semua orang yang mengalami
serangan panik akan mengalami gangguan panik. Para peneliti telah
menemukan bahwa beberapa bagian otak, serta proses biologis, memainkan
peran yang besar dalam ketakutan dan kecemasan.3
Tatalaksana untuk orang dengan gangguan panik dapat dibagi mejadi
dua yaitu psikoterapi dan farmakoterapi. Jenis psikoterapi yang dapat
dilakukan untuk orang dengan gangguan panik adalah terapi psikoanalisis dan
psikodinamik, cognitive behavioral therapy (CBT), dan terapi humanistik5.
Untuk farmakoterapi yang dapat digunakan untuk menterapi gangguan panik
adalah selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), serotonin–
norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI), tricyclic antidepressants (TCAs),
dan benzodiazepine.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. GANGGUAN PANIK
a. Definisi

Gangguan panik (anxietas paroksismal episodik) adalah keadaan dimana


ketika seseorang mengalami setidaknya dua episode serangan panik (merasa
ketakutan dan tidak nyaman meskipun tidak sedang dalam keadaan yang
membahayakan), perasaan khawatir yang terus menerus, hingga seseorang
tersebut mengubah rutinitasnya untuk mencegah serangan lain dalam periode
waktu satu bulan atau lebih.6
b. Epidemiologi

Pada penelitian tahun 2015 mengatakan bahwa gangguan panik sering


ditemukan pada kelompok usia 15-24 tahun. Prevalensi seumur hidup gangguan
panik berada dalam rentang 1 hingga 4%, dengan prevalensi 6 bulan kurang
lebih
0,5 hingga 1,0 %, dan 3 hingga 5,6% untuk serangan panik. Pada pasien dengan
gangguan panik, sebanyak 91% mengalami setidaknya 1 gangguan psikiatri lain
seperti pada 84% mereka dengan agoraphobia. Orang dengan gangguan panik,
15 hingga 30% juga mengalami kondisi komorbiditas psikiatrik seperti fobia
sosial,
2- 20% mengalami fobia khas (terisolasi), 15-30% mengalami gangguan cemas
menyeluruh, 2- 10% mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), dan
hingga 30% mengalami obsessive-compulsive disorder (OCD).7
c. Etiologi dan Faktor Risiko

Beberapa faktor yang dikatakan sebagai penyebab dan faktor risiko dari
gangguan panik adalah:5

• Genetik

Beberapa penelitian telah membutikan bahwa risiko terjadinya gangguan


panik delapan kali lebih tinggi pada seseorang yang mempunyai keluarga
dekat dengan gangguan panik dibandingkan dengan mereka yang tidak
mempunyai keluarga dekat dengan riwayat gangguan panik. Dikatakan
bahwa populasi seumur hidup seseorang dengan gangguan panik yang
mempunyai keluarga dekat dengan gangguan yang sama adalah bekisar
antara 7,7/100 hingga 20,5/100 populasi.8

• Lingkungan
Kombinasi interaksi genetik dan lingkungan dapat menyebabkan
terjadinya gangguan panik. Stress yang berat dan sikap yang lebih
sensitif terhadap stressor atau rentan terhadap emosi yang negatif
berhubungan dengan timbulnya gangguan panik. Transisi kehidupan
yang mempunyai pengaruh besar juga mempunyai peran besar seperti
lulus dari perguruan tinggi dan memasukin tempat kerja, menikah atau
memiliki anak, dan stress berat lainnya (seperti kematian orang yang
dicintai, perceraian, dan kehilangan pekerjaan). Selain itu, peristiwa
yang terjadi pada masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan seperti
kekerasan fisik atau seksual juga dapat meningkatkan terjadinya
gangguan panik pada masa dewasa.9

• Penyebab Lainnya
Kondisi medis seperti asma dan kebiasaan merokok juga dapat dikatakan
sebagai salah satu faktor risiko terjadinya gangguan panik. Serangan
panik juga dapat disebabkan oleh kondisi medis dan penyebab fisik
lainnya seperti prolaps katup mitral atau hipertiroidisme. Penyalahgunaan
zat, terutama stimulan (amfetamin, kokain, dan kafein), juga dapat
dihubungkan dengan timbulnya serangan dan gangguan panik10,11.

d. Patofisiologi

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan mengenai patofisiologi dari


gangguan panik ini, antara lain adalah:5

• Teori biologis dan patofisiologi dari serangan dan gangguan panik

Pada teori biologis, terdapat faktor predisposisi genetik dan gangguan pada
fungsi sistem neurotransmitter tertentu di otak (noradrenergik, serotonin,
dopaminergik, GABA). Selama serangan panik terjadi reaksi vegetatif yang
berlebihan, dengan peningkatan tonus simpatis, dan juga terjadi peningkatan
sekresi dari katekolamin. Patofisiologi yang jelas dari gangguan panik
sebenarnya saat ini tidak diketahui. Namun, terdapat teori yang mengatakan
bahwa fungsi sistem neurotransmitter serotonin, norepinefrin, dopamin dan asam
gamma- aminobutirat (GABA) meiliki peranan penting:5

1. Teori noradrenergik mengasumsikan bahwa pada gangguan panik,


autoreseptor presinaptik norepinefrin hipersensitif terhadap stimulasi
oleh norepinefrin.

2. Sebuah studi klinis menunjukkan bahwa obat yang meningkatkan


ketersediaan sinaptik 5-HT (serotonin reseptor agonist), efektif dalam
pengobatan gangguan panik.

3. GABA juga memiliki peran terhadap terjadinya gangguan panik.


Akibat dari kurangnya inhibisi sentral dan penurunan konsentrasi
GABA, kecemasan yang tak terkendali pada saat serangan panik
dapat terjadi.

• Teori psikologis

Teori psikologis berbicara mengenai ketakutan akan perpisahan,


penghematan pelepasan energi seksual, kejadian traumatis, berbagai
kesalahpahaman, atau pikiran irasional, dan lain-lain.

1. Teori psikodinamik dari serangan panik menggambarkan keadaan


regresi dimana terjadi keruntuhan total dari mekanisme pertahanan
seseorang, kecemasan menguasai orang tersebut dan didapatkan
perasaan "kosong" melalui keadaan panik.

2. Teori perilaku menekankan bahwa kecemasan dapat didapatkan


melalui model perilaku orang tua, kemudian kecemasan yang
berkembang setelah mengalami rangsangan yang menakutkan, seperti
kecelakaan, yang ditularkan ke rangsangan lain, serta kecemasan
karena frustrasi yang menjadi respons terhadap situasi stres lainnya.
e. Diagnosis

Sebelum mendiagnosis seseorang dengan gangguan panik, harus dipelajari


dahulu mengenai serangan panik. Onset dan frekuensi dari serangan panik dapat
menjadi dasar diagnosis dari gangguan panik.12 Gangguan panik dapat
ditegakkan menjadi diagnosis utama jika tidak ditemukan adanya gangguan
anixetas fobik seperti agorafobia, fobia sosial, fobia khas (terisolasi), gangguan
anxietas fobik lainnya, dan gangguan fobik YTT.4

Gangguan panik ditandai dengan serangan panik episodik tak terduga


yang terjadi tanpa pemicu yang jelas. Serangan panik didefinisikan oleh
timbulnya rasa takut yang bersifat intens (biasanya memuncak dalam waktu
sekitar 10 menit) dengan setidaknya empat gejala fisik dan psikologis dalam
kriteria diagnostik DSM-5, antara lain:12

1. Palpitasi, berdebar, dan takikardia

2. Gemetar atau tremor

3. Sesak napas dan sensasi seperti tercekik

4. Perasaan tersedak

5. Nyeri dada dan ketidaknyamanan

6. Mual dan distres abdomen

7. Merasa pusing, kepala terasa ringan, dan pingsan

8. Merasa menggigil atau kepanasan

9. Parastesia (sensasi kesemutan atau kebas)

10. Derealisasi dan depersonalisasi

11. Merasa takut kehilangan kendali atau takut menjadi gila

12. Merasa takut mati


Untuk diagnosis pasti dari gangguan panik, harus ditemukan adanya beberapa
kali serangan panik yang berat dan setidaknya didapatkan satu dari dua gejala
berikut yang dialami selama satu bulan atau lebih, antara lain:4,12

1. Kekhawatiran atau ketakutan yang terus-menerus terhadap serangan


panik tambahan atau konsekuensinya (misalnya, takut akan kehilangan
kendali, mengalami serangan jantung, dan "menjadi gila").

2. Perubahan perilaku maladaptif yang signifikan terkait dengan serangan


panik (misalnya, perilaku yang dirancang untuk menghindari serangan
panik, seperti menghindari olahraga atau situasi yang tidak dikenal).

f. Perbedaan Serangan panik dengan Serangan Jantung

Terdapat beberapa hal untuk membedakan seseorang yang mengalami


serangan panik yang mengalami nyeri dada dengan seseorang yang mengalami
serangan jantung, hal tersebut antara lain adalah: 13

1. Lokasi nyeri dada

Kedua kondisi serangan baik serangan panik maupun serangan jantung


membuat timbulnya rasa tidak nyaman pada daerah dada. Namun, pada
kedua kondisi tersebut yang membedakan salah satunya adalah lokasi
nyeri, dimana pada orang dengan serangan panik nyeri dadanya menetap
di daerah dada. Sedangkan orang dengan serangan jantung nyeri dadanya
dapat menjalar ke daerah leher, lengan, atau rahang.

2. Karakteristik nyeri dada

Nyeri dada pada serangan panik biasanya sifatnya tajam seperti ditusuk
dan didapatkan ketidaknyamanan pada dada yang sulit dijelaskan
rasanya. Sedangkan, pada serangan jantung biasanya dada terasa seperti
ditekan dan ditindih olehbenda berat.
3. Onset dan durasi

Onset dari serangan panik seringkali tiba-tiba atau karena faktor stress
yang berat, namun untuk serangan jantung biasanya onsetnya terjadi
setelah seseorang melakukan aktivitas yang berat. Untuk durasi pada
serangan panik biasanya 20-30 menit dengan nyeri yang membaik dari
waktu ke waktu. Sedangkan, pada serangan jantung biasanya durasi lebih
lama dan akan menurun intesitasnya nyerinya dalam beberapa menit
hingga jam namun akan kembali meningkat setelahnya.

4. Pencetus

Serangan jantung cenderung terjadi setelah seseorang melakukan


aktivitas fisik yang berat, namun pada serangan panik pencetusnya
seringkali tidak jelas dan seseorang tidak akan mengalami serangan panik
setelah berolahraga atau melakukan aktivitas fisik yang berat kecuali
terdapat stress emosional yang menyertainya.

g. Tatalaksana

Pemilihan pengobatan utama dalam gangguan panik adalah psikoterapi dan


farmakoterapi. Kombinasi dari kedua terapi tersebut dikatakan sangat efektif
dalammengatasi gangguan panik.5

1. Psikoterapi

Psikoterapi dapat membantu memahami serangan panik dan gangguan panik


serta mempelajari cara mengatasinya.

• Terapi individu: Merupakan bentuk psikoterapi yang paling umum ketika


menangani gangguan panik, namun bentuk psikoterapi lain dapat
diterapkan.

• Terapi kelompok: Terapi kelompok memiliki sisi positif karena dengan


berbagi pengalaman dengan orang lain, orang menciptakan peluang untuk
penguatan dari orang lain dan mengurangi rasa malu mereka.
• Terapi pasangan dan keluarga: Gejala gangguan panik biasanya
mempengaruhi hubungan antar anggota keluarga. Terapi keluarga dan
pasangan membantu seseorang dengan gangguan panik untuk
meningkatkan komunikasi dan mendukung orang dengan serangan panik
atau gangguan dengan cara yang tepat.

2. Terapi psikoanalisis dan psikodinamik

Terapi ini berurusan dengan perilaku, perasaan, atau pemikiran bermasalah


dengan menemukan makna dalam alam bawah sadarnya. Ketika berfokus pada
kepanikan, orang tersebut diharuskan untuk menghadapi konflik inti dalam
dirinya yang melibatkan agresi dan ketakutan, ketergantungan penuh, atau
konflik intrapsikis lainnya yang juga dapat berkontribusi pada gejala panik.5

3. Terapi perilaku kognitif atau cognitive-behavioral therapy (CBT)

Dalam terapi perilaku kognitif, seseorang dengan gangguan panik


mempelajari informasi yang berguna tentang bagaimana dan mengapa
kecemasan, ketakutan dan kepanikan terjadi, belajar menerapkan berbagai teknik
relaksasi, melalui paparan bertahap terhadap situasi yang menciptakan ketakutan
ketika dipersiapkan, mempelajari bagaimana pikiran mereka, asumsi dan
keyakinan tentang kecemasan dan kepanikan dan konsekuensinya memperburuk
masalah mereka dan bagaimana mereka dapat mengatasinya bersama mereka,
bersama dengan terapi mereka menjalani berbagai eksperimen untuk menguji
keyakinan mereka tentang rasa takut dan panik, dan mencari tahu apa yang
harus dilakukan jika terjadi serangan panik. Penelitian menunjukkan bahwa
efektivitas CBT adalah antara 85-90% untuk pengobatan yang terdiri dari 12-15
pertemuan.5

4. Terapi humanistik

Terapi humanistik (terapi yang berpusat pada klien, gestalt therapy, dan
terapi eksistensial) difokuskan pada kapasitas seseorang untuk membuat pilihan
rasional dalam menggunakan potensi mereka dan menerima tanggung jawab
untuk diri mereka sendiri. Terapi ini membantu orang untuk memahami apa
yang terjadi dengan mereka dan fokus pada situasi saat ini.14
5. Farmakoterapi
Terdapat beberapa obat yang telah dipelajari untuk digunakan pasien
dengan gangguan panik, namun tidak ada obat yang terbukti lebih baik daripada
obat lain yang digunakan dalam pengobatan pasien dengan gangguan panik.
Agen farmakologis dengan bukti yang cukup untuk mendukung penggunaannya
dalam pengobatan gangguan panik meliputi: 5
1. Antidepresan: selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI),
serotonin noradrenaline reuptake inhibitor (SNRI), tricyclic
antidepressants (TCA) (Tabel 2.1)
2. Benzodiazepin (Tabel 2.2)

Tabel 2.1 Jenis Antidepresan dan Dosis Pemakaiannya

Tabel 2.2 Benzodeazepine dan Dosis Pemakaiannya


SSRI dan venlafaxine menjadi obat-obatan lini pertama untuk pengobatan
gangguan panik. SSRI dan venlafaxine efektif dalam pengobatan akut dan
jangka panjang, memiliki profil efek samping yang dapat diterima dan memiliki
tingkat putus obat yang lebih kecil. Untuk TCA mungkin memiliki onset yang
lebih lambat daripada SSRI. Selain itu, TCA memiliki profil efek samping yang
kurang dapat ditoleransi dibandingkan SSRI karena obat- obatan tersebut
memiliki lebih banyak efek antikolinergik, dan umumnya kurang aman
dibandingkan SSRI. Akhirnya, tingkat putus obat yang dilaporkan lebih tinggi
untuk TCA dibandingkan dengan SSRI. Untuk benzodiazepine, dikatakan
kurang efektif dalam dijadikan obat lini pertama jika diberikan secara
monoterapi.5

B. GANGGUAN CEMAS MENYELURUH


a. Definisi

Menurut edisi terbaru DSM (DSM-5; American Psychiatric Association


2013), Gangguan Kecemasan Menyeluruh didefinisikan oleh kriteria
utama kekhawatiran yang berlebihan, kronis, dan tak terkendali atas
sejumlah area topik yang berbeda. Misalnya, orang dengan Gangguan
Kecemasan Menyeluruh mungkin khawatir tentang hubungan mereka dengan
orang lain, keuangan, kinerja sekolah atau pekerjaan, kesehatan, dan
bahkan tugas sehari-hari. Pola ini berbeda dengan kecemasan yang
menjadi ciri gangguan lain. Mereka yang mengalami gangguan panik
mungkin khawatir akan mengalami serangan panik lainnya, mereka yang
memiliki gangguan makan mungkin khawatir tentang berat badan mereka,
dan individu dengan fobia tertentu (misalnya, anjing atau ketinggian)
mungkin khawatir menghadapi objek atau situasi yang mereka takuti.
Sebaliknya, mereka yang menderita Gangguan Kecemasan Menyeluruh
mengkhawatirkan berbagai topik, dan target kekhawatiran mereka dapat
bervariasi sepanjang hari.12
b. Epidemiologi

Dari hasil survei epidemiologi, sepertiga dari populasi dipengaruhi oleh


gangguan kecemasan selama hidup mereka. Lebih sering terjadi pada wanita,
terutama usia paruh baya, prevalensi pada usia ini adalah yang tertinggi.
Gangguan ini terkait dengan tingkat kerusakan yang cukup besar,
pemanfaatan layanan kesehatan yang tinggi dan beban ekonomi yang
sangat besar bagi masyarakat. Meskipun ada perawatan psikologis dan
farmakologis yang efektif untuk gangguan kecemasan, banyak individu
yang terkena dampak akibat tidak menghubungi layanan kesehatan untuk
perawatan, disbanding mereka yang memanfaatkan layanan ini. Tidak ada
bukti bahwa tingkat prevalensi telah berubah dalam beberapa tahun terakhir.
Perbedaan tingkat prevalensi yang ditemukan di berbagai negara dan budaya
mungkin disebabkan oleh perbedaan metodologi daripada faktor budaya
tertentu. Komorbiditas tinggi ditemukan di antara gangguan kecemasan dan
antara gangguan kecemasan dan gangguan mental lainnya.16
c. Etiologi

Menurut para ahli psikofarmaka, Gangguan Kecemasan Menyeluruh


bersumber pada neurosis, bukan dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi
lebih dipengaruhi oleh keadaan internal individu.16

Dari sudut pandang kognitif, gangguan kecemasan terjadi karena adanya


kesalahan dalam mempersepsikan hal-hal yang menakutkan. Berdasarkan
dari teori kognitif, masalah yang terjadi dari individu yang
mengalami gangguan kecemasan adalah terjadinya kesalahan persepsi
atau kesalahan interpretasi terhadap stimulus internal maupun eksternal.
Individu yang mengalami gangguan kecemasan akan melihat suatu
hal yang tidak benar- benar mengancam sebagai sesuatu yang
mengancam. Jika individu mengalami pengalaman sensasi dalam tubuh yang
tidak biasa, lalu mengintepretasikannya sebagai sensasi yang bersifat
catastropic, yaitu suatu gejala bahwa ia sedang mengalami sesuatu hal seperti
serangan jantung, maka akan timbul rasa panik.15
d. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis bervariasi, diagnosis Gangguan Cemas
Menyeluruh ditegakkan apabila dijumpai gejala-gejala antara lain keluhan
cemas, khawatir, was- was, ragu untuk bertindak, perasaan takut yang
berlebihan, gelisah pada hal-hal yang sepele dan tidak utama yang mana
perasaan tersebut mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya, sehingga
pertimbangan akal sehat, perasaan dan perilaku terpengaruh. Selain itu
spesifik untuk Gangguan Kecemasan Menyeluruh adalah kecemasanya
terjadi kronis secara terusmenerus mencakup situasi hidup (cemas akan
terjadi kecelakaan, kesulitan finansial), cemas akan terjadinya bahaya, cemas
kehilangan kontrol, cemas akan mendapatkan serangan jantung. Sering
penderita tidak sabar, mudah marah, sulit tidur.18

Gejala-gejala Gangguan Cemas Menyeluruh:17


e. Diagnosis
Kriteria diagnosis gangguan kecemasan menyeluruh menurut PPDGJ-III:
Penderita harus menunjukan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung
hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak
terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus terbentu saja (sifatnya
"free floating" atau "mengambang") gejala-gejala tersebut biasanya mencakup
unsur-unsur berikut:
1. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung
tanduk. sulit konsentrasi, dsb )
2. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai)
dan
3. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung
berdebar-debar, sesak napas, kejuhan jambung, pusing kepala, mulut
kering, dsb.). pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan
berlebihan untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatik
berulang yang menonjol adanya gejala- gejala lain yang sifatnya
sementara (untuk beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan
diagnosis utama gangguan anxietas menyeluruh, selama hal tersebut tidak
rnemenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (f32.-), gangguan anxietas
fobik (f40 -), gangguan panik (f41.0), atau gangguan obsesif-kompulsif
(f42
-)
Diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh ditegakkan bila terdapat kecemasan
kronis yang lebih berat (berlangsung > 6 bulan; biasanya tahunan dengan
gejala bertambah dan kondisi melemah) dan termasuk gejala seperti respons
otonom (palpitasi, diare, ekstremitas lembab, berkeringat, sering buang air
kecil), insomnia, sulit berkonsentrasi, rasa lelah, sering menarik nafas,
gemetaran, waspada berlebihan, atau takut akan sesuatu yang akan terjadi.
Ada kecenderungan diturunkan dalam keluarga, memiliki komponen genetik
yang sedang dan dihubungkan dengan fobia sosial dan sederhana serta depresi
mayor (terdapat pada 40% atau lebih pasien; meningkatkan resiko bunuh diri).
Biasanya pada kondisi ini tidak`ditemukan etiologi stres yang jelas, tetapi
harus dicari
penyebabnya.12
f. Tatalaksana
Terapi pada Gangguan Kecemasan Menyeluruh pada umumnya dapat
dilakukan dengan 2 cara yakni terapi psikologis (psikoterapi) atau terapi dengan
obat- obatan (farmakoterapi). Angka-angka keberhasilan terapi yang tinggi
dilaporkan pada kasus-kasus dengan diagnosis dini. Psikoterapi yang sederhana
sangat efektif, khususnya dalam konteks hubungan pasien dengan dokter yang
baik, sehingga dapat membantu mengurangi farmakoterapi yang tidak perlu. 18
Menurut para ahli psikodinamika, karena gangguan ini berakar pada
keadaan internal individu sehubungan dengan adanya konflik intrapsikis
yang dialami individu sehingga ia mengembangkan suatu bentuk mekanisme
pertahanan diri, maka upaya menanganinya juga terarah pada pemberian
kesempatan bagi individu untuk mengeluarkan seluruh isi pikiran atau
perasaan yang muncul di dalam dirinya. Asumsinya adalah jika individu bisa
menghadapi dan memahami konflik yang dialami, ego akan lebih bebas dan tidak
harus terus berlindung di balik mekanisme pertahanan diri yang
dikembangkannya.15
Teknik dasar yang digunakan disebut free association, individu diminta
untuk menjelaskan secara sederhana tentang hal-hal yang ada di dalam pikirannya,
tanpa melihat apakah itu logis atau tidak, tepat atau tidak, ataupun pantas atau
tidak. Hal-hal dari alam bawah sadar atau tidak sadar yang diungkapkan akan
dicatat oleh terapis untuk diinterpretasikan. Tehnik ini juga bisa dimanfaatkan saat
menggunakan teknik dream interpretation; individu diminta untuk menceritakan
mimpinya secara detail dan tepat. Kedua teknik ini memiliki kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Dalam melaksanakan teknik-teknik tersebut di atas,
ada dua hal yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance
(yaitu individu bertahan dan beradu argumen dengan terapis saat terapis mulai
sampai pada bagian sensitif), dan transference (yaitu individu mengalihkan
perasaannya pada terapis dan menjadi bergantung.17
Tekhnik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan adalah systematic
desentisitization, yaitu mengurangi kecemasan dengan menggunakan konsep
hirarki ketakutan, menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari
ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang lebih kompleks. Pemberian
reinforcement (penguat) juga dapat digunakan dengan secara tepat memberikan
variasi yang tepat antara pemberian reward- jika ia memperlihatkan perilaku yang
mengarah keperubahan ataupun punishment – jika tidak ada perubahan perilaku
atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana
perubahan perilaku. Adanya model yang secara nyata dapat dilihat dan menjadi
contoh langsung kepada individu juga efektif dalam upaya melawan pikiran-
pikiran yang mencemaskan.
Pendekatan kognitif yang melihat gangguan kecemasan sebagai hasil dari
kesalahan dalam mempersepsikan ancaman (misperception of threat)
menawarkan upaya mengatasinya dengan mengajak individu berpikir dan
mendesain suatu pola kognitif baru. David Clark dkk (dalam Acocella dkk, 1996)
mengembangkan desain kognitif yang melibatkan 3 bagian yaitu:
1. Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan
individu tentang sensasi tubuhnya
2. Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif intrepretasi, yang
noncatastropic.
3. Bantu individu menguji validitas penjelasan dan alternatif- alternatif
tersebut
Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa
tujuan dari terapi sebagai upaya menangani gangguan kecemasan adalah
membantu individu melakukan intrepretasi sensasi tubuh dengan cara yang
noncatastropic.6 Dalam beberapa hal, penanganan terhadap penderita gangguan
kecemasan tidak selalu hanya berpegang pada satu tehnik saja, atau hanya
mengikuti pendapat salah satu ahli dari suatu pendekatan saja. Terapi yang
diberikan dapat sekaligus dengan menggunakan lebih dari satu pendekatan
atau lebih dari satu tehnik, asalkan tujuannya jelas dan tahapantahapannya
juga terinci.17
Pertimbangkan penggunaan obat-obatan maupun psikoterapi. Anti
depresan yang baru, venlafaksin XR, tampaknya cukup efektif dan aman untuk
pengobatan gangguan cemas menyeluruh. Gunakan benzodiazepin dengan tidak
berlebihan (diazepam, 5 mg per oral, 3-4 kali sehari atau 10 mg sebelum tidur)
untuk jangka pendek(beberapa minggu hingga beberapa bulan); biarkan
penggunaan obat- obatan untuk mengikuti perjalanan penyakitnya.
Pertimbangkan pemberian buspiron untuk pengobatan awal atau untuk
pengobatan kronis (20-30 mg/hari dalam dosis terbagi). Pasien tertentu yang telah
terbiasa dengan efek cepat benzodiazepin akan merasakan kurangnya efektivitas
buspiron. Anti depresan trisiklik, SSRI, dan MAOI bermanfaat terhadap pasien-
pasien tertentu (terutama bagi mereka yang disertai dengan depresi). Sedangkan
pasien dengan gejala otonomik akan membaik dengan β- bloker (misal,
propanolol
80-160 mg/hari).18

Sediaan Obat Anti-Anxietas dan Dosis Anjuran:19

Obat anti-anxietas Benzodiazepine yang bereaksi dengan reseptornya


(benzodiazepine receptors) akan meng-reinforce “the inhibitory action of GABA-
ergic neuron”, sehingga hiperaktivitas tersebut di atas mereda.19
Dorong rasa percaya diri, rumatan aktivitas produktif, dan kognisi yang
berdasarkan pada realita. Latihlah pasien dengan teknik relaksasi (misal
biofeedback, meditasi, otohipnotis). Lebih dari 50% pasien menjadi asimtomatik
seiring berjalannya waktu, tetapi sisanya memberat pada derajat hendaya yang
bermakna. Bantulah pasien untuk memahami akan sifat kronis penyakitnya dan
mengerti akan adanya kemungkinan untuk selamanya hidup dengan beberapa
gejala yang memang tidak akan hilang.17
g. Prognosis

Prognosis Gangguan Kecemasan Menyeluruh sukar untuk untuk


diperkirakan. Nemun demikian beberapa data menyatakan peristiwa
kehidupan berhubungan dengan onset gangguan ini. Terjadinya beberapa
peristiwa kehidupan yang negatif secara jelas meningkatkan kemungkinan
akan terjadinya gangguan. Hal ini berkaitan pula dengan berat ringannya
gangguan tersebut.17
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Mas’ud


Tgl. Lahir : 28-01-1980
Usia : 42 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Sasak
Pendidikan terakhir : SD
Pekerjaan : Pekerja proyek
Status : Belum Menikah
Alamat : Jln. Dodokan III Kekalik Kebon, Pagesangan,
Mataram
Tanggal MRS :-
Tanggal autoanamnesis : 15 Januari 2022 Secara langsung

3.2 RIWAYAT PSIKIATRI

Data diperoleh dari melalui autoanamnesis pada hari Sabtu, 15 Januari 2022
di Poli Jiwa Rumah Sakit Universitas Mataram.

A. Keluhan Utama: Cemas

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan cemas pasien sudah dirasakan sejak 20 tahun yang lalu. Keluhan
cemas dirasakan terus-menerus dan semakin memberat. Keluhan cemas
dirasakan lebih berat ketika keluar rumah, pergi ke toilet atau mendengar
berita kematian di masjid. Pasien merasa cemas akan meninggal dan
pingsan, pasien mengatakan kecemasannya tidak mendasar sehingga pasien
tidak mengetahui mengapa menjadi secemas itu. Tidak ada tindakan khusus
yang dilakukan untuk mengurangi rasa cemas. Keluhan cemas biasanya
disertai dengan pusing, napas terasa berat, berdebar-debar, lemas,
gelisah, badan
terasa dingin, berkeringat dan susah berpikir yang dirasakan sejak 20 tahun
yang lalu. Selain itu, pasien juga mengalami susah tidur dan sering
menangis ketika malam hari karena memikirkan masa lalu keluarganya
serta memikirkan nasibnya yang belum menikah seperti teman-temannya
dan kondisinya yang sakit-sakitan. Pasien juga merasa cemas karena sudah
lama bergantung pada adiknya terkait dengan biaya hidup seperti makan
dan minum. Kecemasaan pasien saat ini juga diperparah dengan adanya
penyakit mata yang dialami sejak 1 bulan yang lalu

Awalnya ketika berusia dibawah 19 tahun pasien tidak mengeluh


mengalami cemas yang berlebihan. Namun, pada usia 20 tahun pasien
mengalami sakit maag. 4 bulan sejak sakit maag pasien mulai mengalami
cemas, tidak berani keluar rumah, tidak mau bersosialisasi, sering berdebar,
keringat dingin, merasa ingin mati, susah tidur dan sering menangis di
malam hari. Keluhan tersebut terjadi secara terus-menerus sampai pasien
berusia 40 tahun. Ketika berusia 40 tahun, pasien dikonsulkan oleh bagian
Penyakit Dalam ke bagian Jiwa. setelah 2 bulan berobat di bagian Jiwa
keluhannya dirasakan berkurang
Saat ini, setelah berobat selama 8 bulan keluhan cemas sudah dirasakan
hilang timbul, sekitar 1-2 kali dalam satu minggu.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat gangguan psikiatri

Pasien mengatakan sebelumnya sering mengalami cemas sejak 20


tahun yang lalu

2. Riwayat gangguan medis

Terdapat riwayat gangguan medis yaitu uveitis OS dan dispepsia.


Pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi, diabetes, alergi
ataupun kejang.

3. Riwayat penggunaan alkohol dan zat adiktif lain

Riwayat penggunaan alkohol, narkotika dan rokok atau zat adiktif


lainnya disangkal
D. Riwayat Kehidupan Pribadi

1. Riwayat prenatal dan perinatal

Pasien tidak mengetahui tentang riwayat kandungan orang tuanya,


pasien juga tidak mengetahui ada atau tidaknya penyulit selama
persalinan dirinya. Namun pasien mengetahui bahwa persalinan
dilakukan tanpa operasi.

2. Masa kanak-kanak awal (1–3 tahun)

Pasien mengaku diasuh oleh orang-tua. Pasien lebih dekat dengan


ibunya dibandingkan ayahnya. Pasien mengaku pertumbuhan dan
perkembangannya saat itu tidak ada yang mengalami
keterlambatan (tidak ada riwayat keterlambatan bicara atau
berjalan) dan tidak ada masalah kesehatan yang dialami.

3. Masa kanak-kanak pertengahan (3–11 tahun)

Pasien putus sekolah SD ketika kelas 2. Ketika berusia 10 tahun


pasien merasa sangat ingin melanjutkan sekolah, namun karena
terkendala biaya pasien tidak bisa melanjutkan sekolahnya.

Pasien masih bisa bergaul dan bermain dengan teman sebayanya.


Pasien merasa tidak dekat dengan bapaknya karena sering
dipukuli sejak usia 10 tahun. Pasien merasa bapaknya seperti
tidak menyukai dirinya dan merasa tidak mendapatkan kasih
sayang.

4. Masa kanak-kanak akhir (11-19 tahun)

Pasien mengatakan masih bisa bergaul dan bermain bersama


teman-temannya. Selain itu, pasien sudah mulai mendekati
perempuan

Pasien masih sering dipukuli oleh bapaknya sampai berusia 15


tahun. Pasien mengaku ekonominya masih tergolong rendah
sehingga sejak berusia 15 tahun pasien sudah mulai bekerja
sebagai pekerja bangunan. Hal ini membuat pasien sering merasa
sedih karena tidak bisa seperti teman sebayanya yang masih
bersekolah dan bermain.

5. Masa Dewasa

a. Riwayat Pendidikan

Pasien tidak tamat SD, cara bicara dan sudut pandang sesuai
dengan pendidikan pasien.

b. Riwayat Pekerjaan

Pasien mulai bekerja sejak usia 15 tahun sebagai pekerja


bangunan sampai berusia 19 tahun. Namun ketika berusia 20
tahun pasien mulai mengalami sakit maag. Setelah 4 bulan
mengtahui penyakit maagnya, pasien menjadi takut keluar
rumah sehingga pasien tidak pernah bekerja sampai saat ini.

c. Riwayat Pernikahan

Sampai saat ini pasien belum menikah.

d. Riwayat Agama

Pasien beragama islam dan pasien mengaku merupakan orang


yang rajin sholat 5 waktu di masjid

e. Aktivitas sosial

Saat ini pasien lebih banyak beraktivitas di rumah. Interaksi


dan hubungan dengan tetangga maupun teman-temannya baik.

E. Riwayat Penyakit Keluarga

• Riwayat Psikiatri : Pasien mengatakan bahwa ibunya memiliki


keluhan cemas yang serupa dengan pasien. Selain itu juga tiga
adiknya mengalami masalah gangguan kejiwaan.

• Riwayat medis lainnya : Riwayat penyakit medis di keluarga


disangkal oleh pasien
F. Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah menggunakan obat-obatan psikiatri sebelum
memeriksakan diri ke poli Jiwa.
G. Situasi Kehidupan Saat Ini
Saat ini pasien tidak bekerja karena penyakit yang dialami. Selain itu juga
karena pasien merasa cepat lelah
Pasien mengaku bahwa hubungannya dengan tetangga dan keluarga baik-
baik saja, pasien sudah berani keluar rumah. Keluhan cemas juga sudah
mulai berkurang, hilang timbul 1-2 kali dalam satu minggu.
H. Genogram

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

• Keadaan umum : Baik

• Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)

• Tanda-tanda vital :
o Tekanan darah : 120/75 mmHg
o Nadi : 84 kali/menit, kuat angkat, regular
o Pernapasan : 18 kali/menit
o Suhu : 36,5°C
B. Status Lokalis : Tidak Dievaluasi

C. Status Neurologi : Tidak Dievaluasi

3.4 PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
• Penampilan: pasien laki-laki, wajah sesuai usianya, penampilannya
tampak bersih dan cukup rapi.
• Kesadaran: Jernih, compos mentis
• Sikap terhadap pemeriksa: Pasien kooperatif dan mampu melakukan
kontak mata dengan pemeriksa.
• Perilaku/Psikomotor: Pasien tampak normoaktif, tidak ada gerakan-
gerakan tertentu yang tidak bertujuan.
• Pembicaraan: Pasien dapat berbicara spontan, artikulasi jelas, volume
suara cukup, dan intonasi suara biasa
B. Alam Perasaan dan Emosi
• Mood : cemas
• Afek : luas
• Keserasian : tidak serasi
C. Gangguan Persepsi
• Halusinasi : Disangkal
• Ilusi : Disangkal
• Derealisasi : Disangkal
• Depersonalisasi : Disangkal

D. Pikiran
• Arus pikir : Koheren
• Bentuk pikir : Realistik
• Isi pikir : Preokupasi terhadap kecemasan dan keluhan yang
Dialami
E. Fungsi Intelektual
a. Orientasi: Kesan baik

• Waktu: Pasien mengetahui waktu saat diwawancarai yakni pagi


hari.

• Tempat: Pasien mengetahui bahwa sewaktu diwawancarai,


dirinya berada di RS Universitas Mataram

• Orang: Pasien mengetahui siapa dokter yang menangani


penyakitnya
b. Daya Ingat: Kesan baik
• Jangka pendek: Pasien dapat mengingat lauk atau makanan yang
dimakan saat sarapan tadi pagi.
• Jangka menengah: Pasien dapat mengingat kegiatan yang
dilakukan seminggu yang lalu.
• Jangka panjang: Pasien dapat mengingat nama sekolah saat ia
berada di sekolah dasar.
c. Fungsi Eksekutif dan Performa Motorik: Baik.
Pasien dapat menjelaskan tahapan pembuatan mie instan dan pasien
dapat mengikuti perintah pemeriksa untuk memegang telinga kiri
menggunakan tangan kanannya.
d. Atensi dan Konsentrasi: terganggu.
Pasien tidak dapat mengulang kalimat yang diminta untuk dihapalkan
yaitu “buku pulpen meja”
e. Kemampuan visuospasial: Terganggu. Pasien kesulitan
menggambarkan bentuk segilima.
f. Kemampuan berpikir abstrak: Baik.
Pasien dapat menjelaskan persamaan apel dan jeruk yaitu sama-sama
berbentuk bulat.
g. Pengendalian impuls: Selama wawancara, pasien tampak tenang
F. Dorongan Instingtual

Pasien saat ini sudah tidak kesulitan untuk tidur malam

G. Tilikan

Pasien memiliki tilikan derajat VI, yang berarti pasien mengakui dirinya
sakit dan faktor yang berhubungan dengan penyakitnya, menerapkan
dalam perilaku untuk mencapai perbaikan

H. Taraf dapat dipercaya


Informasi yang disampaikan oleh pasien dapat dipercaya sepenuhnya

3.5 DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA


A. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
• Aksis I : Gangguan Panik (F41.0)
: Gangguan Cemas Menyeluruh (F41.1)
• Aksis II : Tidak ada diagnosis
• Aksis III : Uveitis anterior, dispepsia
• Aksis IV : Masalah ekonomi, masalah keluarga
• Aksis V : 50-41
B. TATALAKSANA
1. Farmakologi
• Sertraline 1 x 50 mg
• Clobazam 1 x 10 mg
2. Non-farmakologi

Pemilihan pengobatan utama dalam gangguan panik adalah


psikoterapi dan farmakoterapi. Kombinasi dari kedua terapi tersebut
dikatakan sangat efektif dalammengatasi gangguan panik.5
Psikoterapi dapat membantu memahami serangan panik dan gangguan
panik serta mempelajari cara mengatasinya.

• Terapi individu: Merupakan bentuk psikoterapi yang paling umum ketika


menangani gangguan panik, namun bentuk psikoterapi lain dapat
diterapkan.

• Terapi kelompok: Terapi kelompok memiliki sisi positif karena dengan


berbagi pengalaman dengan orang lain, orang menciptakan peluang untuk
penguatan dari orang lain dan mengurangi rasa malu mereka.

• Terapi pasangan dan keluarga: Gejala gangguan panik biasanya


mempengaruhi hubungan antar anggota keluarga. Terapi ini membantu
individu gangguan panik untuk meningkatkan komunikasi dan
mendukung individu serangan panik atau gangguan dengan cara yang
tepat.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien laki-laki berusia 42 tahun datang ke poli Jiwa RS Universitas


mataram dengan keluhan cemas. keluhan pasien sudah dirasakan sejak 20 tahun
yang lalu. Keluhan cemas dirasakan terus-menerus dan semakin memberat.
Keluhan cemas dirasakan lebih berat ketika keluar rumah, pergi ke toilet atau
mendengar berita kematian di masjid. Pasien merasa cemas akan meninggal dan
pingsan, pasien mengatakan kecemasannya tidak mendasar sehingga pasien tidak
mengetahui mengapa menjadi secemas itu. Tidak ada tindakan khusus yang
dilakukan untuk mengurangi rasa cemas. Keluhan cemas biasanya disertai
dengan pusing, napas terasa berat, berdebar-debar, lemas, gelisah, badan terasa
dingin, berkeringat dan susah berpikir yang dirasakan sejak 20 tahun yang lalu.
Selain itu, pasien juga mengalami susah tidur dan sering menangis ketika malam
hari karena memikirkan masa lalu keluarganya serta memikirkan nasibnya yang
belum menikah seperti teman sebayanya serta kondisinya yang sakit-sakitan.
Pasien mengatakan bahwa ibunya memiliki keluhan yang serupa, tiga orang
adiknya juga mengalami gangguan kejiwaan

Pasien mengatakan bahwa setelah pasien mulai berobat ke RS


Universitas Mataram sejak 8 bulan yang lalu pasien merasa kondisinya
mengalami perbaikan seperti keluar rumah, bersosialisasi dengan tetangga dan
tidur yang lebih nyenyak. Saat ini pasien merasa cemas karena sudah lama
bergantung pada adiknya terkait dengan biaya hidup seperti makan dan minum.
Selain itu, kecemasaan pasien saat ini juga diperparah dengan adanya penyakit
mata yang dialami sejak 1 bulan yang
lalu.
Hasil pemeriksaan status mental menunjukan mood cemas, afek meluas,
isi pikir prekokupasi terhadap kecemasan dan keluhan yang dialami serta adanya
penurunan konsentrasi dan fungsi visuospasial. Berdasarkan PPDGJ-III, pasien
dapat didiagnosis mengalami Gangguan Panik (Anxietas Paroksismal Episodik)
(F41.0). Gangguan panik ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis yaitu
terdapat adanya serangan anxietas berat (severe attacks of autonomic anxiety)
dalam waktu
kira-kira 1 bulan (a) pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif
tidak ada bahaya, (b) tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang
dapat diduga sebelumnya (unpredictable situations), (c) dengan keadaan yang
relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada periode diantara serangan-serangan
panik (meskipun demikian, umumnya dapat terjadi juga “anxietas antisipatorik”,
yaitu anxietas yang terjadi stelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan
akan terjadi.4 Kriteria diagnosis diatas terpenuhi pada kasus pasien ini.

Pada pasien ini ditemukan adanya serangan anxietas berat yang ditandai
oleh pusing, berdebar-debar, badan terasa dingin, lemas, gemetar, keringat
dingin, dan merasa dirinya akan mati. Keluhan-keluhan ini memenuhi kriteria
(a), karena sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya yang dihadapi oleh diri
pasien. Pasien juga mengaku bahwa keluhannya ini muncul secara tiba-tiba
tanpa bisa diprediksi sebelumnya. Selain itu, selama pasien merasa kondisinya
membaik, pasien menjadi cenderung lebih waspada dan khawatir bahwa
keluhannya akan muncul kembali. Oleh karena itu, kondisi ini memenuhi
kriteria (b) dan (c) pada PPDGJ
III.
Selain mengalami gangguan panik, pasien ini juga memenuhi kriteria
diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh (F41.1). Dalam mendiagnosis gangguan
cemas menyeluruh, pasien harus menunjukan anxietas sebagai gejala primer
yang berlangsung hampir setiap hari dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan atau situasi khusus
tertentu saja “free floating” atau “mengambang”. Gejala-gejala tersebut biasanya
mencakup unsur-unsur (a) kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti
diujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dsb) (b) ketegangan motorik (sakit kepala,
gelisah, gemetar, tidak dapat santai), dan (c) overaktivitas otonom (berkeringat,
jantung berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut
kering, dsb).4 Kriteria diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh terpenuhi pada
keluhan pasien karena pasien mengeluhkan keluhannya ini muncul hampir setiap
hari dan terjadi selama sekitar 20 tahun. Pasien juga merasa cemas akan
mengalami kematian atau pingsan ketika keluar rumah dan sulit untuk
berkonsentrasi. Terdapat tanda-tanda ketegangan motorik pada pasien ini seperti
gelisah, gemetar, tidak dapat santai dan tanda-tanda overaktivitas otonom
(berkeringat, jantung berdebar-debar dan sesak napas).

Berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan status mental, pasien ini


memiliki diagnosis aksis 1 yaitu Gangguan Panik (F41.0) dan Gangguan Cemas
Menyeluruh (F41.1). Secara umum, tatalaksana gangguan cemas terdiri dari
tatalaksana farmakologi, psikologi dan kombinasi keduanya. Dengan terapi yang
adekuat, sebagian besar pasien menunjukan perbaikan yang signifikan dalam
mengontrol gejala kecemasan yang terjadi. Diantara beberapa golongan terapi
yang tersedia, Serotonin Selective Reuptake Inhibitor (SSRI) merupakan agen
lini pertama untuk tatalaksana gangguan kecemasan, termasuk gangguan panik,
gangguan kecemasan menyeluruh, dan gangguan kecemasan sosial. 16 Obat-
obatan golongan SSRI cenderung dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki
efek samping minimal yang dapat ditangani seperti seperti mual, sakit kepala,
mulut kering, diare, atau konstipasi. Antidepresan trisiklik juga dapat bermanfaat
untuk gangguan panik, meskipun jarang digunakan karena adanya efek
samping.16

Benzodiazepin merupakan golongan obat yang sering digunakan untuk


gangguan kecemasan namun obat ini tidak lagi dianggap sebagai monoterapi lini
pertama untuk gangguan panik atau gangguan kecemasan lainnya tetapi dapat
digunakan dalam jangka pendek baik atau sesuai kebutuhan pada gangguan
panik, gangguan cemas menyeluruh dan fobia sosial, dengan penggunaan
bersama SSRI dan SNRI.5 Benzodiazepin paling berguna pada pasien yang
membutuhkan kontrol yang cepat akibat adanya gejala kecemasan yang berat. 16
Pada kasus ini, pasien diberikan tatalaksana pengobatan berupa Sertraline yang
merupakan obat golongan SSRI dengan dosis 1 x 50 mg. SSRI merupakan lini
pertama yang digunakan dalam mengobati gangguan panik dan kecemasan pada
pasien. Pemberian Sertraline pada pasien ditujukan untuk mengurangi keluhan
dengan efek samping yang minimal sesuai dengan penjelasan sebelumnya.
Pasien juga diberikan tata laksana Clobazam, yang merupakan golongan
Benzodiazepine dengan dosis 1 x 10 mg untuk mengatasi keluhan-keluhan yang
dialami. Pemberian terapi ini juga memiliki efek sedatif sehingga membantu
mengatasi keluhan sulit tidur pada pasien.
BAB V
KESIMPULAN

Pasien laki-laki berusia 42 tahun datang ke poli Jiwa RS Universitas


mataram dengan keluhan cemas. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
status mental dan pemeriksaan kognitif pasien mengalami gangguan panik
dan gangguan cemas menyeluruh. Terapi yang diberikan pada pasien ini
adalah Sertraline 1x50 mg dan Clobazam 1x10 mg.
Pasien yang mengalami gangguan cemas harus diberikan perhatian
lebih karena termasuk masalah kesehatan yang serius dan menyebabkan
morbiditas yang tinggi. Apabila tidak diatasi, kondisi ini akan berpengaruh
pada semakin buruknya perkembangan penyakit dan disabilitas pada fungsi
sosial pasien. Penatalaksanaan gangguan kombinasi antara farmakologi dan
non farmakologi. Prognosis gangguan ini tergantung pada kecepatan
diagnosis dan pemberian terapi yang adekuat, serta dukungan dari keluarga
DAFTAR PUSTAKA

1. Kessler, R., Petukhova, M. & Sampson, N., 2012. Twelve-month and


Lifetime Prevalence and Lifetime Morbid Risk of Anxiety and Mood
Disorders in The United States. Int J. Methods Psychiatr Res., 21(3).

2. Perna, G. & Caldirola, D., 2017. Management of Treatment-Resistant Panic


Disorder. Curr Treat Options Psych, 24 October.

3. National Institute of Mental Health, 2016. Panic Disorder: When Fear


Overwhelms.
[Online]
Available at: https://www.nimh.nih.gov/health/publications/panic -
disorder- when-fear- overwhelms/19-mh-8077-panicdisorder_107485.pdf

4. Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari


PPDGJ-III dan DSM-5. Cetakan Kedua. Jakarta. 2013

5. Bonevski, D. & Naumovska , A., 2019. Panic Attacks and Panic Disorder.
s.l.:IntechOpen.

6. Richmond, C., 2021. Panic Disorder.


[Online] Available at: https://www.webmd.com/anxiety-
panic/guide/mental- health-panic- disorder

7. Tamilselvan, S., 2015. PENILAIAN KEPARAHAN SERTA


KOMORBIDITAS GANGGUAN PANIK. September-Desember.4(1).

8. Schumacher, J., 2011. The Genetics of Panic Disorder. Journal of Medical


Genetics,
Volume 48.

9. Bonevski, D. & Naumovska A, A., 2018. Trauma and Anxiety Disorders


throughout Lifespan: Fear and Anxiety from Normality to Disorder.
Psychiatria Danubina, Volume 30.
10. Cosci, F., 2010. Cigarette Smoking and Panic: A Critical Review of The
Literature. The Journal of Clinical Psychiatry, Volume 71.

11. Hasler, G., 2015. Asthma and Panic in Young Adults: A 20-year Prospective
Community Study. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine, Volume 171.

12. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-V). London. 2013.

13. Heart Health, 2021. How to Tell the Difference Between a Panic Attack and a
Heart Attack.[Online]
Available at: https://health.clevelandclinic.org/the -difference-between-panic-
attacks- and-heart-attacks/
14. Van Rijn, B. & Wild, C., 2013. Humanistic and Integrative Therapies for
Anxiety and Depression: Practice-based Evaluation of Transactional
Analysis, Gestalt and Integrative Psychotherapies and Person Centered
Counseling. Transactional Analysis Journal, 43(2).
15. Eldido. Anxiety Disorder; Tipe-tipe dan Penanganannya. Fak Kedokt Univ
Islam Indones. 2010;1:1–4.
16. Boland, R., Verduin, M. Kaplan & Sadocks: Synopsis of Psychiatry. 12th
Edition. Wolters Kluwer. 2022.
17. Saleh U. Anxiety Disorder (Memahami gangguan kecemasan: jenis-jenis,
gejala, perspektif teoritis dan Penanganan). Kesehatan. 2019;1(1):1–58.
18. Tomb D. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. EGC. 2008;6(January):96–110.
19. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, edisi ke-3.
Jakarta Penerbit Bagian Ilmu Kedokt Jiwa, FK Unika Atma Jaya hal.
2007;36–41.

Anda mungkin juga menyukai