Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecemasan
2.1.1 Definisi
Gangguan kecemasan merupakan merupakan gangguan yang sering
dijumpai, yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi faktor-faktor
biopsikososial, genetik yang berinteraksi dengan kondisi tertentu, stres, atau
trauma yang menimbulkan sindroma klinis bermakna.3 Dalam Bahasa Inggris
kecemasan adalah anxiety, berasal dari Bahasa Latin angustus yang memiliki arti
kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.4 Konsep kecemasan pertama kali
dikenalkan oleh Sigmund Freud di tahun 1900-an yang menyebutnya sebagai
sinyal bahaya yang ditunjukan seseorang sebagai respons terhadap persepsi nyeri
fisik atau bahaya dan sebagai komponen utama dari mental disease. Definisi
kecemasan menurut Louise di tahun 2012 adalah perasaan ketidakpastian,
kegelisahan, ketakutan, atau ketegangan yang dialami seseorang dalam berespon
terhadap objek atau situasi yang tidak diketahui. Keputusan “fight-or-flight”
dipilih seseorang dalam upaya mengatasi konflik, stress, trauma, atau frustasi.
Menurut American Psyhiatric Association (APA), kecemasan merupakan
perasaan yang tidak nyaman, ketakutan atau ketakutan terkait dengan antisipasi
bahaya yang sumbernya sering tidak spesifik atau bahkan tidak diketahui.
Kecemasan dianggap sebagai hal yang patologis apabila keberadaanya
menyebabkan gangguan pada fungsi sosial dan pekerjaan.5
Meskipun kecemasan berkaitan dengan rasa takut, namun keduanya
memiliki pengertian yang berbeda. Rasa takut dirasakan sejenak dan hilang
dengan hilangnya penyebab munculnya ketakutan, sedangkan kecemasan dapat
berlangsung terus menerus. Kecemasan dapat timbul dari adanya ketakutan akan
massa depan, terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, dan adanya pertentangan
dalam diri individu.6

2.1.2 Etiologi
Timbulnya kecemasan berasal dari berbagai macam faktor, termasuk stres,
kondisi fisik seperti diabetes atau komorbid lain seperti depresi, genetik, riwayat
keluarga dengan gangguan kecemasan umum (25%), faktor lingkungan, seperti
pelecehan anak, dan penyalahgunaan zat.7,8 Terdapat beberapa teori yang
menjelaskan penyebab dari kecemasan, yaitu:
1. Teori Genetik
Beberapa teori mengungkapkan bahwa kecemasan disebabkan oleh karena faktor
genetik. Sadock & Sadock menyebutkan bahwa penelitian telah menghasilkan
bukti kuat bahwa setidaknya beberapa komponen genetik berkontribusi terhadap
perkembangan gangguan kecemasan. Penelitian lain mengungkapkan bahwa
terdapat hubungan genetik pada pasien dengan gangguan cemas menyeluruh dan
gangguan depresi mayor pada pasien wanita. Sekitar 25% dari keluarga tingkat
pertama penderita gangguan cemas menyeluruh juga mengalami gangguan yang
sama.3,5
2. Teori Biologi
Terdapat banyak studi tentang hubungan antara kecemasan dengan beberapa hal
yang terkait dengan biologis. Banyak penelitian yang mengevaluasi hubungan
antara kecemasan dengan hal-hal seperti katekolamin, tindakan neuroendokrin,
neurotransmitter, seperti serotonin, asam-aminobutiratm dan kolesistokinin, serta
reaktivitas otonom. Area otak yang diduga telibat pada timbulanya gangguan
cemas menyeluruh adalah lobus oksipitalis yang mempunyai reseptor
benzodiazepine tertinggi di otak.3,5
3. Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menyatakan bahwa kecemasan merupakan gejala dari konflik
bawah sadar yang tak terselesaikan dan tidak disadari antara impuls untuk agresif
atau libidinal. Dalam teori psikoanalitik terbaru, menyampaikan bahwa
kecemasan adalah adanya interaksi antara tempramen dan faktor lingkungan,
seperti keteladanan orang tua yang berlebihanm serta juga adanya konflik dalam
keluarga.3,5

4. Teori kognitif -perilaku


Teori tersebut menyebutkan bahwa kecemasan adalah respon yang dipelajari atau
dikondisikan terhadap sesuatu peristiwa stres atau bahaya yang dirasakan.
Penderita gangguan cemas menyeluruh berespon secara salah atau tidak tepat
terhadapa ancaman, disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal
negatif pada lingkungan, adanya distorsi atau pemrosesan informasi dan
pandangan yang sangat negatif terhadap kemampuan diri untuk menghadapi
ancaman.3,5
5. Teori kultur sosial
Terkait budaya, para ahli meyakini bahwa integrasi sosial atau faktor budaya
dapat menjadi penyebab munculnya kecemasan. Saar kepribadian berkembang
atau kesan dirinya tentang dirinya sendiri mungkin negatif atau konsep diri yang
rendah. Selanjutnya, hal tersebut berdampak pada orang tersebut sehingga
mengalami kesulitan beradaptasi dengan kehidupan sosial sehari-hari atau tuntitan
budaya karena konsep diri yang rendah dan mekanisme koping yang tidak
memamdai.5

2.1.3 Epidemiologi
Kecemasan merupakan salah satu gangguan kejiwaan yang paling umum
pada populasi umum. Gangguan kecemasan merupakan salah satu bentuk dari
gangguan mental dengan jumlah prevalensi seumur hidup sebesar 16% sampai
dengan 29%. Gangguan kecemasan sering dimulai pada masa kanak-kanak atau
remaja, terutama masalah fobia sosial dan fobia spesifik. Di Amerika Serikat,
diperkirakan bahwa kecemasan terjadi pada usia dewasa muda dengan jumlah
sekitar 18,1% atau sekitar 42 juta orang. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin,
gangguan kecemasan pada wanita sebesar 60% lebih tinggi dibandingkan pria. Di
Indonesia, berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2013 menunjukan bahwa
prevalensi gangguan jiwa di Indonesia sebesar 1,7 permil, yang artinya adalah dari
1000 pernduduk Indonesia, satu sampai 2 orang menderita gangguan jiwa berat.8-10
Terdapat peningkatan gangguan emosional, yaitu kecemasan dan depresi
sebesar 6% di tahun 2013 dan sebesar 9,8% di tahun 2018. Data riset kesehatan
dasar tersebut mengungkapkan bahwa simptom yang paling banyak muncul
adalah sakit kepala, masalah tidur, menurunnya selera makan dan mudah lelah.11
2.1.4 Patofisiologi Kecemasan
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, gangguan kecemasan
berhubungan dengan abnormalitas struktur dan fungsi otak. Pada otak terdapat
beberapa neurotransmitter yang mengalami gangguan fungsi, antara lain
serotonin, GABA (Gama Amino Butiric Acid) dan norepinefrin.12
1. Model Noradrenergik
Model noradrenergik menunjukan bahwa terdapat sistem saraf otonom yang
hipersensitif dan bereaksi berlebihan terhadap berbagai rangsangan yang
ditemukan pada penderita gangguan kecemasan. Glukokortikoid mengaktifkan
locus caeruleus yang berperan dalam mengatur kecemasan, yaitu dengan
mengaktivasi pelepasan norepinefrin (NE) dan merangsang sistem saraf simpatik
dan parasimpatik.13,14
2. Model Serotonin
Jalur serotonergik yang timbul dari nukleus raphé di batang otak mempersarafi
berbagai macam struktur yang dianggap terlibat dalam gangguan anxietas,
termasuk korteks frontal, amigdala, hipotalamus, dan hipokampus. Patologi
seluler yang dapat berkontribusi pada pengembangan gangguan anxietas termasuk
regulasi abnormal pelepasan 5- HT, reuptake atau respons abnormal terhadap
signal 5-HT. Reseptor 5-HT1A diduga memainkan peran yang sangat penting
terhadap anxietas. Aktivasi reseptor 5-HT1A meningkatkan aliran kalium dan
menghambat aktivitas adenilat siklase.13
3. Model GABA
Gamma-amino butyric acid (GABA) merupakan neurotransmiter inhibitor penting
dalam sistem saraf pusat dan mengatur banyak rangsangan di daerah otak, yang
terdiri 2 subtipe reseptor GABA yaitu GABAA dan GABAB. GABA juga dapat
mempengaruhi tingkat kecemasan dengan memediasi pelepasan neurotransmitter
lain seperti cholecystokinin dan menekan aktivitas saraf pada sistem serotonergik
dan noradrenergik. Neurotransmitter lain yang diduga terlibat dalam gangguan
anxietas termasuk dopamine, glutamine dan neurokinin.13,14
2.1.5 Tanda dan Gejala Kecemasan
Secara umum, tanda dan gejala yang timbul akibat dari kecemasan
dibedakan menjadi dua hal yaitu fisik dan psikis. Gejala yang bersifat fisik, yaitu
pegal-pegal, kedutan pada kelopak mata, ekspresi wajah yang tegang, berkeringat,
mulut kering, sering buar air kencing, sulit konsentrasi, tangan sering berkeringat,
gangguan perut, jantung berdebar, rasa tersumbat pada tenggorokan. Sedangkan
gejala yang besifat psikis berupa ketakutan, pikiran kacau dan merasa diri
malang.15 Menurut Prof. Robert Priest di tahun 1995, saat seseorang mengalami
kecemasan, tubuh mengalami perubahan berupa reaksi fisik, yaitu jantung terasa
berdebar-debar, gemetar terutama juka mengalami shock, tegang terutama pada
kulit kepala dan leher belakang, gelisah atau sulit tidur, keringat yang terlalu
banyak, dan tanda-tanda fisik lain, berupa gatal-gatal pada tangan dan kaku,
sering buat air kecil. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa gejala-gejala
yang bersifat fisik adalah gangguan sistem saraf, berdebar-debar, sesak nafas,
mudah berkeringat, telapak tangan dan kaki teraba dingin, fisik mudah lelahm
sakit kepala, mulut terasa kering dan gangguan pencernaan. Sedangkan gejala-
gejala yang bersifat psikis berupa gangguan tidur (mimpi buruk ataupun
insomnia), sulit berkonsentrasi, mudah merasa tersinggung, malu, khawatir,
pesimis, merasa tidak bahagia dan tidak percaya diri.16

2.1.6 Tingkat Kecemasan


Kecemasan terbagi menjadi beberapa tingkat atau yang disebut dengan
levels of anxiety. Level tersebut dibagi menjadi kategori normal, kecemasan
ringan (mild anxiety), kecemasan sedang (moderate anxiety), kecemasan berat
(severe anxiety), dan status panik (panic state). Pada tingkat normal, seseorang
muncul gejala seperti kegelisahan atau ketakutan yang mendorong seseorang
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah ancaman
atau mengurangi konsekuensinya. Pada kategori kecemasan ringan, seseorang
mengalami peningkatan kewaspadaan terhadap perasaan batin atau lingkungan.
Level kecemasan sedang menyebabkan terjadinya keterbatasan di bidang persepsi
penglihatan, pendengaran, sentuhan dan penciuman. Pada kondisi ini, terdapat
hilangnya konsentrasi pada satu hal tertentu di suatu waktu dan terhambatnya
kemampuan untuk pemecahan masalah. Gejala yang timbul pada kecemasan
sedang umumnya lebih banyak terutama selama masa akut. Pada tingkat
kecemasan berat, kemampuan untuk merasakan semakin berat dan adanya
keterbatasan fokus. Ketidaktepatan verbal atau ketidakmampuan berkomunikasi
sangat jelas. Kondisi ini juga menyebabkan seseorang mengalami tekad yang
berkurang dan perasaan tanpa tujuan. Status panik merupakan level tertinggi dari
kecemasan seseorang, di mana terjadi gangguan total pada kemampuan.
Seseorang menjadi imobilisasim mengalami kesulitan verba, tidak mampu focus
pada kenyataan, dan tak jarang seseorang mengalami kehilangan kendali.4,17

2.1.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan


1. Jenis Kelamin
Penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa jenis kelamin dapat
mempengaruhi terjadinya kecemasan, di mana wanita lebih mudah mengalami
kecemasan dibandingkan dengan pria. Hal tersebut dihubungkan karena adanya
kemistri otak (brain chemistry), fluktuasi hormonal pada wanita berbeda
dibandingkan pria. Wanita dengan adanya pengaruh hormonal lebih mudah
mengalami perubahan pada perasaan, dan kurang mampu menjaga stabilitas
emosinya.18 Selain itu, Kaplan dan Sadock juga menyatakan bahwa kecemasan
terjadi lebih banyak pada wanita akibat dari reaksi saraf otonom yang berlebihan.
Pada perempuan terjadi perubahan pada sekresi hormon khususnya estrogen yang
berpengaruh terhadap kecemasan.19

2. Usia
Usia merupakan faktor yang ikut berpengaruh terhadap kecemasan
seseorang. Semakin bertambahnya usia, maka kematangan psikologi dari orang
tersebut semakin baik, artinya semakin matang psikologi seseorang maka akan
semakin baik pula adaptasi terhadap kecemasan.20 Hal tersebut sedikit berbeda
menurut Haynes dalam Demak & Suherman menyatakan bahwa usia muda lebih
muda terkena tekanan psikologis dan kecemasan, karena kesiapan mental dan jiwa
yang belum matang serta kurangnya pengalaman.19 Penelitian yang dilakukan oleh
Malfasari E dkk, menyatakan bahwa kecemasan yang paling tinggi berada pada
usia 21-23, yang sesuai dengan teori kecemasan bahwa kecemasan lebih sering
dialami pada usia 21 sampai 45. Menurut asumsi peneliti tersebut usia remaja
cenderung mengalami kecemasan karena secara psikologis masih belum matang,
apalagi jika mengenai tugas akhir yang baru pertama kali dihadapi oleh remaja,
tentu hal ini akan menimbulkan kecemasan bagi remaja.21

3. Lingkungan
Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap terjadinya kecemasan.
Lingkungan menyangkut segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik fisik,
biologis, dan sosial.22 Pada usia sekolah, kecema banyak faktor-faktor pemicu
timbulnya kecemasan pada diri siswa. Misalnya, target kurikulum yang terlalu
tinggi, iklim pembelajaran yang tidak kondusif, pemberian tugas yang padat, dan
sistem penilaian ketat dan kurang adil. Selain itu, lingkungan juga berkaitan
dengan hubungan siswa dengan guru, teman, penerapan disiplin sekolah yang
ketat dan lebih mengedepankan hukuman, iklim sekolah yang kurang nyaman,
serta sarana dan prasarana belajar yang sangat terbatas juga merupakan faktor-
faktor pemicu terbentuknya kecemasan pada siswa yang bersumber dari faktor
manajemen sekolah.15

2.4.8 Tatalaksana
Pilihan pengobatan untuk gangguan kecemasan terdiri dari tatalaksana
psikologis dan farmakologis. Semua pasien harus mendapat edukasi mengenai
gangguan mereka, kemanjuran (termasuk waktu yang diharapkan untuk timbulnya
efek terapeutik) dan tolerabilitas pilihan pengobatan, faktor yang memberatkan,
dan tanda-tanda kekambuhan. Pilihan tatalaksana psikologis atau farmakologis
tergantung pada faktor-faktor seperti preferensi dan motivasi pasien, kemampuan
pasien untuk terlibat dalam pengobatan, tingkat keparahan penyakit, keterampilan
dan pengalaman dokter, ketersediaan perawatan psikologis, respon pasien
sebelumnya terhadap pengobatan, dan adanya komorbiditas medis atau gangguan
kejiwaan.23

2.4.8.1 Tatalaksana Psikoterapi


Landasan penting dalam pengobatan gangguan kecemasan adalah
mendengarkan dengan penuh kasih dan pendidikan merupakan. Pendidikan pasien
itu sendiri dapat membantu mengurangi kecemasan, khususnya di. Pembentukan
hubungan terapeutik antara pasien dan dokter penting untuk menghilangkan
ketakutan akan intervensi dan untuk kemajuan pengobatan. Rekomendasi gaya
hidup umum yang dapat mengurangi gejala yang berhubungan dengan kecemasan,
yaitu dengan mengidentifikasi dan menghilangkan kemungkinan pemicu
(misalnya, kafein, stimulan, nikotin, pemicu diet, stres), dan meningkatkan
kualitas/kuantitas tidur dan aktivitas fisik. Kafein dapat memicu panic disorders
dan jenis kecemasan lainnya. Mereka dengan panic disorders mungkin lebih
sensitif terhadap kafein daripada populasi umum karena polimorfisme genetik
pada reseptor adenosin. Berhenti merokok menyebabkan peningkatan skor
kecemasan dan kekambuhan sehingga menyebabkan peningkatan kecemasan.
Selain penurunan depresi dan kecemasan, aktivitas fisik dikaitkan dengan
peningkatan kesehatan fisik, kepuasan hidup, fungsi kognitif, dan kesejahteraan
psikologis. Berolahraga, termasuk yoga selama 20 menit tiga kali seminggu telah
terbukti mengurangi kecemasan.24

2.4.8.2 Tatalaksana Farmakoterapi


1. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRIs)
SSRI selain diindikasikan untuk pengobatan depresi, juga digunakan
sebagai terapi lini pertama untuk gangguan anxietas. Contoh kelompok obat ini
diantaranya fluoxetine, sertraline, citalopram, escitalopram, fluvoxamine,
paroxetine dan vilazodone. Mekanisme dari kelompok obat-obatan tersebut yaitu
menghambat transporter serotonin dan menyebabkan desensitisasi reseptor
serotonin postsinaptik, sehingga menormalkan aktivitas jalur serotonergic.13,14,25
2. Serotonin-Norepinephrine Reuptake Inhibitor (SNRIs)
SNRI bekerja dengan menghambat transporter serotonin dan norepinefrin.
Contoh obat golongan termasuk venlafaxine, desvenlafaxine, dan duloxetine.
SNRI biasanya digunakan bila terjadi kegagalan atau respon yang tidak adekuat
terhadap SSRI Efek samping pasien yang mendapat terapi SNRI sangat
bervariasi, beberapa pasien mungkin mengalami eksaserbasi gejala fisiologis
anxietas sebagai akibat dari peningkatan sinyal mediasi norepinefrin yang
disebabkan oleh penghambatan transporter norepinefrin. Untuk pasien yang tidak
mengalami efek ini, peningkatan tonus noradrenergik dapat berkontribusi
terhadap efikasi ansiolitik dari obat-obatan ini.13,14,25
3. Benzodiazepines
Benzodiazepin tidak lagi dianggap sebagai terapi lini pertama karena
menimbulkan efek samping yang merugikan jika digunakan dalam waktu yang
lama dan dosis yang tinggi. Sehingga penggunaan benzodiazepin hanya terbatas
untuk pengobatan jangka pendek anxietas akut.13,14,25
4. Tricyclic Antidepressants
Tricyclic antidepressants (TCAs) berfungsi sebagai inhibitor reuptake
norepinefrin, dan beberapa sebagai penghambat reuptake serotonin. Meskipun
beberapa golongan dari obat ini efikasinya sebanding dengan SSRI atau SNRI
untuk mengobati anxietas, TCA menimbulkan lebih banyak efek samping dan
berpotensi mematikan jika overdosis, sehingga TCA jarang digunakan dalam
pengobatan gangguan anxietas.13,14,25

5. The Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A)


Terdapat beberapa instrumen atau alat ukur yang digunakan untuk
mengukur kecemasan. Salah satu pengukuran kecemasan yang banyak digunakan
adalah The Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A). Kuisioner tersebut pertama
kali dikembangkan oleh Professor Max Hamilton tahun 1959. Menurut skala
HARS terdapat 14 gejala yang nampak pada individu yang mengalami
kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor, dari 0 sampai
dengan 4, 0 (tidak ada gejala), 1 (gejala ringan ), 2 (gejala sedang), 3 (gejala
berat), dan 4 (gejala berat sekali). Skala penilaian HARS kecemasan terdiri dan 14
item, meliputi:5,26
1. Perasaan meliputi firasat buruk, rasa cemas dan mudah tersinggung.

2. Ketegangan: lesu, tidak dapat istirahat dengan tenang, rasa tegang, mudah
menangis, mudah tersinggung, mudah terkejut, gemetar dan gelisah.
3. Ketakutan: takut ditinggal sendiri, takut pada keramaian, takut pada orang
asing.
4. Gangguan tidur: sering terbangun tengah malam, tidak dapat tidur
nyenyak, mimpi buruk dan sulit tidur.
5. Gangguan kecerdasan: tidak dapat konsentrasi dan ingatan menurun.
6. Gangguan depresi: sering merasa sedih, hilangnya minat dan
berkurangnya kesenangan terhadap hobi.
7. Gejala somatik : merasa sakit pada tubuh dan otot-otot persendian terasa
kaku.
8. Gejala pendengaran: telinga berdenging.
9. Gejala kardiovaskular: berdebar-debar, nadi cepat dan lemas detak jantung
menghilang berhenti sekejap.
10. Gejala respiratorik: sesak nafas, tercekik, nafas pendek dan dangkal.
11. Gejala gastro-intestinal: rasa terbakar diperut, mual, perut terasa melilit,
kembung, muntah dan susah buang air besar.
12. Gejala urogenital: sering buang air kecil, tidak datang menstruasi, haid
yang berlebihan dan masa haid yang pendek.
13. Gejala autonom: mudah berkeringat, sakit kepala, sering merasa pusing
dan mulut kering.
14. Tingkah laku: gemetar, kulit kering, gelisah dan muka tegang.

Masing-masing nilai skor dari 14 kelompok gejala dijumlahkan dan hasil


tersebut dapat diketahui derajat kecemasannya, seperti berikut:5

Total nilai skor: <6 = Tidak ada kecemasan


7-14 = Kecmasan ringan
15-27 = Kecemasan sedang
28-41 = Kecemasan berat
>41 = Kecemasan berat sekali

2.3 Indeks Massa Tubuh (IMT)


2.3.1 Definisi IMT
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah merupakan ukuran yang ditetapkan
WHO untuk mengukur status gizi dengan cara membandingkan berat badan
dengan kuadrat tinggi badan. IMT ditentukan dengan cara mengukur berat badan
dan tinggi badan secara terpisah, kemudian nilai dari berat badan dan tinggi badan
tersebut dibagikan untuk mendapatkan nilai IMT dalam satuan kg/m 2. Nilai IMT
memiliki hubungan dengan banyak hal tentang kesehatan dan risiko penyakit
seperti yang ditemukan banyak peneliti belakangan ini, seperti adanya hubungan
IMT dengan depresi, terhadap penyakit karena obesitas ataupun kekurangan
energi pada remaja putri, peningkatan tekanan darah sistol dan diastol hingga
hubungannya dengan prestasi antara siswa sekolah.27,29

2.3.2 Klasifikasi IMT


Indeks Massa Tubuh (IMT) digunakan sebagai indikator untuk ukuran berat
terhadap tinggi badan yang umum digunakan untuk menggolongkan orang dewasa
ke dalam beberapa kategori. IMT dikategorikan menjadi 4 kelompok berdasarkan
klasifikasi WHO, yaitu underweight (<18,5 kg/m2), normal (18,5-24,9 kg/m2),
overweight (25-29,9 kg/m2), dan obese (≥30 kg/m2).29,30

2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi IMT


Nilai IMT pada masing-masing individu dipengaruhi oleh beberapa hal,
seperti asupan nutrisi, pola makan, aktivitas fisik, gaya hidup, status sosial-
ekonomi, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, keadaan lingkungan, paparan
penyakit kronis dan persentase lemak. Besarnya asupan nutrisi akan
mempengaruhi IMT yang menyebabkan seseorang mengalami peningkatan IMT.
Asupan nutrisi ini dipengaruhi oleh pola makan, tingkat pendidikan dan
pengetahuan, status sosial-ekonomi. Semakin sering seseorang makan, maka
makin tinggi pula asupan nutrisinya, begitu pula dengan tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang berpengaruh terhadap jenis makanan yang dikonsumsi. Status
sosial mempengaruhi asupan nutrisi, di mana taingginya status sosial-ekonomi
meningkatkan daya beli seseorang untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Tingkat
pendidikan, pengetahuan dan tingkat sosial- ekonomi juga dapat mempengaruhi
gaya hidup dan aktivitas seseorang sehari-hari dan akhirnya mempengaruhi
IMT.28,31

2.3.4 Dampak Kelebihan dan Kekurangan IMT


Kekurangan asupan gizi akan menyebabkan tubuh kekurangan energi. Bila
hal tersebut terjadi dalam kurun waktu tertentu, akan mengakibatkan berat badan
kurang dari berat badan seharusnya (berat badan ideal). Apabila hal ini terjadi
oada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan, sedangkan bila terjadi
pada orang dewasa akan menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan
jarinan tumbuh. Gejala yang dapat timbul pada anak adalah kurang dapat
memusatkan perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan
penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Sebaliknya, bila seseorang
mendapatkan asupan gizi belebih, maka dapat terjadi berat badan lebih atau
kegemuan. Kegemukan juga dapat menyebabkan gangguan fungsi tubuh, yang
dapat meingkatkan risiko untuk mengalami penyakit kronis, seperti diabetes
melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit kanker, dan dapat
memperpendek harapan hidup.28,33,34
2.4 Kerangka Teori

2.5 Kerangka Konsep

DAFTAR PUSTAKA
1. Park S, Jang H, Lee ES. Major stressors among Korean adolescents
according to gender, educational level, residential are, and socio economic
status. Int J environ Res Public Health; 2018; 15(2080); 6.
2. Kurniawati NWW, Suarya LMKS. Gambaran kecemasan remaja perempuan
dengan berat badan berlebih. Jurnal Psikologi Udayana; 2019; 6(2); 280-
290.
3. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Edisi ketiga. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2018. h. 284-8.
4. Annisa DF, Ifdil. Konsep kecemasan (anxiety) pada lanjut usia (lansia).
Konselor 2016; 5(2): 93-9.
5. Swarjana IK. Konsep pengetahuan, sikap, perilaku, persepsi, stress,
kecemasan, nyeri, dukungan sosial, kepatuhan, motivasi, kepuasan,
pandemic COVID-19, akses layanan kesehatan – lengap dengan teori, cara
mengukur variabel, dan contoh kuisioner. Yogyakarta: Penerbit ANDI;
2022. h. 55-63.
6. Kurniawati NWW, Suarya LMKS. Gambaran kecemasan remaja perempuan
dengan berat badan berlebih. Jurnal Psikologi Udayana 2019; 6(2):280-90.
7. Adwas AA, Jbireal JM, Azab AE. Anxiety: insights into sign, symptoms,
etiology, pathophysiology, and treatment. East African Scholars J Med Sci
2019; 10(2): 580-91.
8. Chand SP, Marwaha R. Anxiety [homepage on the internet]. In : Statpearls.
Treassure Island (FL). [cited 8 July 2022]. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470361/
9. Rustam MZA, Nurlaela L. Gangguan kecemasan dengan menggunakan self
reporting questionnaire (SRQ-29) di Kota Surabaya. Jurnal Kesegaran
Masyarakat Mulawarnam 2021; 3(1): 2686-3601.
10. Strohle A, Gensichen J, Domschke K. The diagnosis and treatment of
anxiety disorders [homepage on the internet]. Dtsch Arztebl Int. 2018 [cited
8 July 2022]. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6206399/
11. Pragojo SL, Yudiarso A. Metanalisis efektifitas acceptance and commitment
therapy untu menangani gangguan kecemasan umum. Psikologika 2021;
26(1): 85-100.
12. Aryati K, Cahyaningsih FR. Seorang laki-laki usia 27 tahun dengan
gangguan panik. Medula 2020; 9(4): 749-53.
13. Vildayanti H, Puspitasari IM, Sinuraya RK. Review : farmakoterapi
gangguan anxietas. Farmaka 2018; 16(1).
14. Wells BG, Dipiro JT, Schwinghammer TL, Dipiro CV. Pharmacotherapy
handbook. Ninth edition. New York: Mc Graw Hill Education; 2012. h. 674.
15. Mukholil. Kecemasan dalam proses belajar. Jurnal eksponen 2018; 8(1).
16. Lubis NL. Depresi tinjauan psikologis. Jakarta: Kencana; 2016. h. 14-6.
17. Arisyna, Sustini F, Muhdi N. Anxiety level and risk factors in medical
students. Juxta 2020; 11(2).
18. Rindayati, Nasir A, Astriani Y. Gambaran kejadian dan tingkat kecemasan
pada lanjut usia. Jurnal Kesehatan Vokasional 2020; 5(2): 95-101
19. Demak I, Suherman. Hubungan umur, jenis kelamin mahasiswa dan
pendapatan orang tua dengan tingkat kecemasan pada mahasiswa
pendidikan sarjana program studi pendidikan dokter Fkik Universitas
Tadulako. Jurnal Ilmiah Kedokteran 2016; 3(1), 52–62
20. Danu VK, Ningsih OS, Suryati Y. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan perawat selama pandemic COVID-19 di Kabupaten Manggarai.
JWK 2021; 6(1): 21-31
21. Malfasari E, Devita Y, Erlin F, Filer. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir di Stikes Payung
Negeri Pekanbaru. Jurnal Ners Indonesia 2018; 8(2)
22. Anugrahwati R, Siloitonga J. Lingkungan mempengaruhi kecemasan
mahsiswi terhadap disminore di akper Hermina manggala husada. Akper
Manggala 2021.
23. Katzman MA, et al. Canadian clinical practice guidelines for the
management of anxiety, posttraumatic stress and obsessive-compulsive
disorders. BMC Psychiatry 2014; 14(1).
24. Locke AB, et al. Diagnosis and management of generalized anxiety
disorder and panic disorder in adults. American Family Psysician 2015;
91(9): 617-24.
25. Bandelow B, Michaelis S, Wedekind D. Treatment of anxiety disorders.
Dialogues in Clinical Neuroscience 2017; 19(2): 93-106.
26. Kaustar F, Gustopo D, Achmadi F. Uji validitas dan reabilitas Hamilton
Anxiety Rating Scale terhadap kecemasan dan produktivitas pekerja visual
inspection PT. Widatra Bhakti. SENATEK 2015: 2407-7534.
27. Situmorang M. Penentuan indeks massa tubuh (IMT) melalui pengukuran
berat dan tinggi badan berbasis mikrokontroler AT89S51 dan PC. Jurnal
Teori dan Aplikasi Fisika 2015; 3(2).
28. Andriana J, Prihantini NN. Hubungan tingkat stress dengan indeks massa
tubuh pada mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Kristen Indonesia.
Jurnal Kedokteran 2021;9(2):1351.
29. Purwanti M, Putri EA, Ilmiawan MI, Wilson, Rozalina. Hubungan tingkat
stress dengan indeks massa tubuh mahasiswa PSPD FK Untan. Jurnal
Vokasi Kesehatan 2017; 3(2): 47-56.
30. Lim JU, et al. Comparison of World Health Organization and Asia-Pasific
body mass index classifications in COPD patients. International Journal of
COPD 2017; 12: 2465-75.
31. Yusuf RN, Ibrahim. Hubungan indeks massa tubuh (IMT) dengan kadar
kolesterol pada remaja. Jurnal Kesehatan Saintika Meditory 2019; 1(2): 50-
6.
32. Wardawati et al. Dasar-dasar ilmu gizi. Aceh: Yayasan Penerbit Muhammad
Zaini; 2022. h.184.
33. Putri EBA, Lestari H. Status gizi anak pra sekolah dengan indikator IMT/U
di TK/RA wilayah kelurahan karang pule kecamatan Sekarbela Kota
Mataram. Prima 2019; 5(2): 24-30.
34. Nuttall FQ. Body mass index – obesity, BMI, and health: a critical review.
Nutrition Research 2015; 50(3): 117-28.
35. Endra D. Pedoman metodologi penelitian (statistika praktis). Sidoarjo:
Zifatama Jawara; 2017.

Anda mungkin juga menyukai