Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

“REAKSI TERHADAP STRESS BERAT DAN GANGGUAN PENYESUAIAN”

Penguji:
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp.KJ

Disusun oleh :
Laelatul Faizah G4A018012

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

“REAKSI TERHADAP STRESS BERAT DAN GANGGUAN PENYESUAIAN”

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa RSUD Prof Margono Soekarjo

Oleh:
Laelatul Faizah G4A018012

Disetujui
Pada tanggal, November 2019
Penguji

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp.KJ


I. PENDAHULUAN

Peristiwa traumatis yang dialami oleh individu dapat mengakibatkan efek yang besar.
Peristiwa traumatis dapat meliputi, terlibat kecelakaan atau kejahatan kekerasan atau
penyerangan, terlibat dalam bencana alam, didiagnosis dengan penyakit yang mengancam
jiwa, atau mengalami pelecehan seksual. Orang tersebut bereaksi terhadap pengalaman dengan
ketakutan dan ketidakberdayaan, terus menghidupkan kembali peristiwa itu, dan mencoba
untuk menghindari diingatkan akan hal itu. Kejadian tersebut dapat muncul dalam mimpi dan
dalam bentuk bayang-bayang kilas balik. Gejala lain termasuk depresi, kecemasan, dan
kesulitan kognitif seperti konsentrasi yang buruk (Sadock dan Sadock, 2007). Stres psikologis
yang mengikuti paparan terhadap peristiwa traumatik atau penuh tekanan cukup bervariasi.
Pada beberapa kasus, gejala-gejala yang muncul dapat dengan jelas dibedakan dalam konteks
kecemasan atau ketakutan. Gejala yang muncul dapat juga berupa gejala anhedonia dan
disforik, kemarahan dan agresivitas, atau gejala disosiatif (American Psychiatric Association,
2013).

Karakteristik dari kategori reaksi terhadap stres berat dan gangguan penyesuaian tidak
hanya ditentukan dari identifikasi dasar simtomatologi dan perjalanan penyakit, akan tetapi
juga atas dasar salah satu dari dua faktor pencetus, yaitu a) suatu stres kehidupan yang luar
biasa, yang menyebabkan reaksi stres akut, atau b) suatu perubahan penting dalam kehidupan,
yang menimbulkan situasi tidak nyaman yang berkelanjutan, dengan akibat terjadi suatu
gangguan penyesuaian. Gangguan dari kategori ini selalu merupakan konsekuensi langsung
(direct consequence) dari stres akut yang berat atau trauma yang berkelanjutan. Stres atau
keadaan tidak nyaman yang berkelanjutan merupakan faktor penyebab utama dan tanpa itu
gangguan tersebut tidak akan terjadi. Gangguan-gangguan ini dapat dianggap sebagai respons
maladaptif terhadap stres berat atau stres berkelanjutan, dimana mekanisme penyesuaian
(coping mechanism) tidak berhasil mengatasi sehingga menimbulkan masalah dalam fungsi
sosialnya (Maslim, 2001).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. EPIDEMIOLOGI
Insidensi gangguan stres pasca trauma tercatat sebesar 9-15% dan prevalensinya
sekitar 8% dengan 5-15% dari populasi mungkin mengalami bentuk subklinis dari
gangguan ini. Kelompok risiko tinggi yaitu orang-orang yang pernah terpapar kejadian
traumatis memiliki prevalensi yang lebih tinggi, yaitu 5-75%. Contohnya kelompok veteran
perang Vietnam, 30% diantaranya mengalami gangguan stres pasca trauma, dengan
tambahan 25% dari populasi mengalami bentuk subklinis dari gangguan stres pasca trauma
(Sadock dan Sadock, 2007).
Gangguan ini lebih sering dialami wanita, kelompok usia dewasa muda, kelompok
rentan seperti individu dengan status lajang, bercerai, menarik diri dari lingkungan sosial,
atau kelompok sosioekonomi rendah (Sadock dan Sadock, 2007).
B. ETIOLOGI
Kelompok gangguan reaksi terhadap stress berat dan gangguan penyesuaian ditandai
dengan 2 kriteria faktor pencetus, yaitu (1) suatu stress kehidupan yang luar biasa yang
menyebabkan reaksi stress akut, atau (2) suatu perubahan penting dalam kehidupan yang
menimbulkan situasi yang tidak enak yang berkelanjutan yang berakibat suatu gangguan
penyesuaian, yang tanpa hal itu gangguan tersebut tidak akan terjadi. Stress akut yang berat
dan trauma berkepanjangan merupakan penyebab primer dari gangguan ini (PPDGJ III).
Stressor yang dimaksud harus cukup berat untuk mempengaruhi hampir setiap individu,
seperti perang, penyiksaan, bencana alam, pemerkosaan, dan kecelakaan hebat (misal
kecelakaan lalu lintas, kebakaran).
Stressor merupakan faktor kausa utama terjadinya reaksi stress pasca trauma. Namun,
stressor saja tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Klinisi juga harus
mempertimbangkan faktor biologis dan psikososial dan kejadian yang terjadi sebelum dan
setelah trauma. Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan,
kecelakaan yang parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau
pengalaman dipenjara (Sadock dan Sadock, 2007).
Stressor didefinisikan sebagai setiap keadaan atau peristwa yang menyebabkan
perubahan dalam kehidupan seseorang (Anak, Remaja, Dewasa) sehingga orang tersebut
terpaksa melakukan adaptasi atau menanggulangi “stresor”. Kriteria stessor mencakup 4
hal yaitu:
1) Adanya perubahan
2) Membutuhkan adaptasi
3) Dalam waktu satu tahun terakhir
4) Menyebabkan muncul atau berkembangnya atau kambuhnya gangguan jiwa.
Faktor risiko utama dari gangguan ini adalah keparahan, durasi, dan kedekatan
paparan yang dialami individu dengan trauma sesungguhnya. Riwayat keluarga juga dapat
turut berperan, keturunan pertama dari individu dengan depresi memiliki risiko lebih tinggi
mengalami gangguan stress pasca trauma jika terpapar peristiwa traumatis (Sadock dan
Sadock, 2007).

C. PSIKOPATOLOGI
Gejala-gejala yang muncul dalam kelompok diagnosis ini mungkin juga dapat
ditemukan pada gangguan-gangguan lain, namun ada beberapa ciri khusus dalam cara
gejala itu tampil yang membenarkan untuk memasukan keadaan-keadaan ini sebagai suatu
gangguan klinis. Gangguan-gangguan ini merupakan suatu respon maladaptif terhadap
stress berat atau berkepanjangan, dalam arti mengganggu mekanisme penyesuaian yang
baik dan dengan demikian menjurus kepada problem dalam fungsi sosialnya (PPDGJ III).
Berikut faktor-faktor yang menjelaskan munculnya gangguan ini, yaitu :
1. Faktor biologi
Kelainan pada aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal diduga berhubungan dengan
gangguan ini, termasuk hiperkortisolemia. Demikian juga kelainan pada aliran darah
regional di ganglia basalis dan korteks orbitofrontalis seperti yang terjadi pada
gangguan obsesif-kompulsif, serta berkurangnya volume hipokampus dan
meningkatnya aktivitas sentral noradrenergik dan serotonergik. Hal ini berimbas pada
munculnya gejala-gejala stress akut seperti rasa cemas, depresi, menarik diri, dan lain-
lain.
Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkitan,
dan sensitisasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamin,
opiate-endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamushipofisis-adrenal.
Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa sistem noradrenergik dan
opiate endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal mengalmai
hiperaktivitas pada sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stress
pascatraumatik (Kaplan,Sadock,& Grebb,2010).
Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan
responsivitas sistem saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peningkatan
kecepatan denyut jantung dan pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur yang
abnormal. Beberapa peneliti telah menyatakan adanya kemiripan antara PTSD dan dua
gangguan psikiatrik lain, gangguan depresif berat dan gangguan panik
(Kaplan,Sadock,& Grebb,2010).
2. Faktor Psikodinamik
Teori psikodinamik merupakan turunan dari pendekatan psikoanalitik yang
dikembangkan oleh Sigmund Freud. Dr Freud mengenalkan ide bahwa pikiran terbagi
dalam bagian-bagian, termasuk bagian irasional dan impulsif, judgmental super-ego,
serta rasional ego yang menjadi jembatan antara kedua bagian sebelumnya. Dr Freud
juga berpendapat bahwa pikiran manusia terbagi menjadi 2, yaitu bagian yang sadar
dan bagian alam bawah sadar, dimana kedua bagian tersebut dapat berkonflik dan
menyebabkan fenomena represi. Represi adalah suatu kondisi ketika seseorang tidak
menyadari secara pasti mengenai masalah yang mengganggu, serta harapan atau
keinginan yang muncul.
Salah satu cabang dari teori psikodinamik modern (sering disebut teori relasi objek)
lebih berfokus pada bagaimana orang memahami dan merepresentasikan hubungan
mereka dengan orang lain dibandingkan konflik antara bagian pikiran manusia.
Hubungan awal yang dialami seorang individu akan menjadi acuan bagaimana corak
hubungan-hubungan selanjutnya. Hal ini terjadi karena hubungan yang pertama kali
dialami oleh seseorang akan dianggap sebagai standar “normal” dalam menjalin suatu
hubungan, sehingga individu tersebut akan cenderung mereplikasi standar normal
tersebut dalam hubungan-hubungan baru yang terjalin. Kecenderungan ini akan
berlangsung baik jika hubungan awal yang dialami merupakan hubungan yang sehat,
namun akan berujung sebaliknya jika hubungan awal yang dialami terganggu. Individu
yang dalam hubungan awal mengalami penganiayaan atau penelantaran sering
mengalami ketidaknyamanan dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Selain itu, suatu fenomena yang disebut transferensi juga ikut berpengaruh.
Transferensi terjadi jika seorang individu menggunakan representasi dari hubungan
yang lama sebagai landasan pemahaman terhadap hubungan yang baru. Corak
hubungan yang lama akan menjadi pembanding terhadap hubungan yang baru. Individu
yang melakukan transferensi dapat melihat karakteristik atau kecenderungan seseorang
pada hubungan yang baru yang padahal sebelumnya tidak ada, hanya karena ia
menemukan hal tersebut pada hubungan sebelumnya. Contohnya lelaki muda yang
memiliki hubungan yang sulit dan tidak dekat dengan Ayahnya, dapat menunjukan
reaksi kemarahan pada lelaki dewasa lain, tetapi individu tersebut tidak sepenuhnya
menyadari mengapa ia bereaksi demikian.
Model psikoanalitik reaksi stress pasca trauma menyatakan trauma yang terjadi
telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya tenang namun belum
terselesaikan. Munculnya trauma masa kecil menyebabkan regresi dan penggunaan
mekanisme represi, denial, pembentukan reaksi, dan undoing sebagai mekanisme
defense. Konflik yang ada sebelumnya dapat secara simbolik muncul kembali dengan
adanya kejadian traumatis tersebut.
3. Faktor perilaku kognitif
Model kognitif PTSD berpendapat bahwa orang yang menderita PTSD tidak dapat
memproses atau merasionalisasi trauma yang memicu gangguan. Mereka terus
mengalami stres dan berusaha menghindari mengalaminya dengan teknik
penghindaran. Konsisten dengan kemampuan parsial mereka untuk mengatasinya
secara kognitif dengan peristiwa itu, individu mengalami periode-periode yang
bergantian dalam mengakui dan memblokir peristiwa itu. Upaya otak untuk memproses
sejumlah besar informasi yang dipicu oleh trauma diperkirakan menghasilkan periode-
periode bergantian ini. Model perilaku PTSD menekankan dua fase dalam
perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus tanpa syarat) yang menghasilkan respons
rasa takut dipasangkan, melalui pengkondisian klasik, dengan stimulus terkondisi
(pengingat fisik atau mental trauma, seperti pemandangan, bau, atau suara). Kedua,
melalui pembelajaran instrumental, rangsangan terkondisi memperoleh respons rasa
takut terlepas dari rangsangan tanpa syarat asli, dan individu tersebut mengembangkan
pola penghindaran rangsangan berkondisi dan rangsangan tanpa syarat.

D. KLASIFIKASI
Kelompok reaksi terhadap stress berat dan gangguan penyesuaian dibagi ke dalam
beberapa sub-diagnosis, diantaranya reaksi stres akut, gangguan stres pasca trauma, dan
gangguan penyesuaian. Masing-masing diagnosis tersebut memiliki kriteria diagnosis yang
berbeda-beda.
1. Reaksi Stres Akut (F43.0)
a. Definisi
Suatu gangguan sementara yang cukup parah yang terjadi pada seseorang
tanpa adanya gangguan jiwa lain yang nyata, sebagai respons terhadap stress fisik
atau mental yang luar biasa dan yang biasanya menghilang dalam beberapa jam atau
hari. Stressornya dapat berupa pengalaman traumatik yang luar biasa yang dapat
meliputi ancaman serius terhadap keamanan atau integritas fisik dari individu atau
orang-orang yang dicintainya (misal bencana alam, kecelakaan, perang,
kriminalitas, perkosaan), atau perubahan mendadak yang tidak biasa dan perubahan
yang mengancam kedudukan sosial dan/atau jaringan relasi dari yang bersangkutan,
seperti kedukaan yang bertubi-tubi atau kebakaran. Risiko terjadinya gangguan ini
makin bertambah apabila ada kelelahan fisik atau faktor organik lain (misal: usia
lanjut) (PPDGJ III).
b. Epidemiologi
Prevalensi gangguan stres akut pada populasi yang terpapar trauma dalam
waktu dekat (misal 1 bulan setelah paparan trauma) beragam tergantung pada
kejadian dan konteks bagaimana penilaian dilakukan. Pada populasi Amerika
Serikat dan non-Amerika Serikat, gangguan stres akut ditemukan pada kurang dari
20% kasus kejadian traumatik yang tidak melibatkan kekerasan interpersonal; 13-
21% pada kecelakaan kendaraan bermotor, 14% pada cedera otak sedang, 19% pada
kasus kekerasan, 10% pada kasus kebakaran yang berat, dan 6-12% pada
kecelakaan industri. Angka prevalensi yang lebih besar ditemukan pada kejadian
traumatis interpersonal, seperti kekerasan, pemerkosaan, dan menyaksikan
penembakan massa (American Psychiatric Association, 2013).
c. Pedoman diagnostik
Berdasarkan PPDGJ III, pedoman diagnostik untuk reaksi stres akut sebagai
berikut (Maslim, 2001):
 Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman
stressor luar biasa (fisik atau mental) dengan onset dari gejala, biasanya setelah
beberapa menit atau segera setelah kejadian.
 Selain itu, ditemukan gejala-gejala:
a) Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah; selain
gejala permulaan berupa keadaan “terpaku” (daze), semua hal berikut dapat
terlihat: depresi, anxietas, kemarahan, kecewa, overaktif, dan penarikan diri.
Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi gambaran
klinisnya untuk waktu yang lama.
b) Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stressornya, gejala-
gejala dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam hal ini
dimana stres menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan, gejala-gejala
biasanya baru mereda setelah 24-48 jam dan biasanya hampir menghilang
setelah 3 hari.
 Diagnosis ini tidak boleh digunakan dalam keadaan kambuhan mendadak dari
gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukan gangguan psikiatrik lainnya.
 Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang peranan
dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi stres akut.

Kriteria Diagnostik Gangguan Stress Akut menurut DSM V ialah sebagai berikut
(American Psychiatric Association, 2013):
A. Paparan terhadap kematian atau ancaman kematian, kecelakaan serius, atau
kekerasan seksual dalam satu (atau lebih) cara sebagai berikut:
a. Mengalami kejadian traumatik secara langsung
b. Menyaksikan langsung kejadian tersebut terjadi pada orang lain
c. Pembelajaran bahwa kejadian tersebut terjadi pada anggota keluarga atau teman
dekat. Catatan: Pada kasus kematian atau ancaman kematian pada anggota
keluarga atau teman, kejadian tersebut haruslah berupa kekerasan atau
kecelakaan.
d. Mengalami paparan ekstrim atau berulang dengan detail kejadian traumatik
yang tidak disukai (misal orang yang bekerja sebagai pengumpul sisa tubuh
manusia, polisi yang secara berulang terpapar dengan detail kejadian kekerasan
anak)
Catatan: hal ini tidak berlaku pada paparan melalui media elektronik, televisi,
film, atau gambar kecuali paparan ini berkaitan dengan pekerjaan.
B. Adanya sembilan (atau lebih) gejala dari 5 kategori: gejala yang muncul secara tiba-
tiba, mood negatif, disosiasi, penghindaran, arousal, dan mulai atau memburuk
setelah kejadian traumatik:
Gejala intrusi atau muncul secara tiba-tiba:
1. Memori tidak menyenangkan akan kejadian traumatik yang berulang,
involunter, dan muncul secara tiba-tiba
2. Mimpi tidak menyenangkan yang muncul berulang yang mana isi dan atau efek
mimpinya berkaitan dengan kejadian traumatik
3. Reaksi disosiatif (misal kilas balik) dimana individu merasa atau bersikap
seperti kejadian traumatis tersebut terulang (reaksi tersebut dapat berlangsung
secara kontinu, dengan ekspresi yang paling buruk yaitu hilangnya kesadaran
mengenai keadaan sekitar).
4. Gangguan psikologis berkepanjangan atau berat sebagai respon dari sinyal
internal maupun eksternal yang mirip dengan aspek dari kejadian traumatik.
Mood negative
5. Ketidakmampuan yang menetap untuk merasakan emosi positif
Gejala disosiatif
6. Perubahan perasaan akan realitas dari lingkungan sekitar atau diri sendiri (misal
melihat diri sendiri dari perspektif orang lain, melamun, waktu berjalan lambat)
7. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari kejadian traumatik (karena
amnesia disosiatif dan bukan faktor lain seperti trauma kepala, alkohol, dan
obat-obatan)
Gejala penghindaran
8. Usaha untuk menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan yang tidak
menyenangkan mengenai atau yang berhubungan erat dengan kejadian
traumatik.
9. Usaha untuk menghindari ingatan eksternal (orang, tempat, pembicaraan,
aktivitas, objek, situasi) yang membangkitkan ingatan, pikiran, atau perasaan
yang berkaitan dengan kejadian traumatik.
Gejala arousal
10. Gangguan tidur
11. Perilaku iritabel dan ledakan amarah (tanpa atau dengan sedikit provokasi),
biasanya diekspresikan secara verbal atau serangan fsik kepada orang atau objek
12. Hipervigilans
13. Masalah konsentrasi
14. Respon kaget yang berlebihan
C. Gangguan berlangsung selama 3 hari sampai 1 bulan setelah paparan kejadian
traumatis.
D. Gejala tersebut mengakibatkan gangguan yang bermakna secara klinis atau
menyebabkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
E. Gangguan tidak disebabkan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya
penyalahgunaan obat, alkohol) atau kondisi medis umum (seperti cedera otak
sedang), dan tidak sesuai dengan diagnosis gangguan psikotik singkat.
3. Diagnosis banding
a. Gangguan penyesuian
Diagnosis ini dapat digunakan jika kejadian traumatik yang sesuai dengan
kriteria A memunculkan gejala yang tidak sesuai dengan kriteria diagnosis
gangguan stres akut atau jika gejala stres akut yang dialami bukan disebabkan oleh
peristiwa yang memenuhi kriteria A. Contohnya gangguan stres akut yang
disebabkan oleh penyakit yang mengancam nyawa (American Psychiatric
Association, 2013).
b. Gangguan panik
Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan
dan tidak diperkirakan dan adanya kecemasan mengenai serangan selanjutnya atau
perubahan maladaptif pada perilaku yang berhubungan dengan rasa takut atau
konsekuensi dari serangan (American Psychiatric Association, 2013).
c. Gangguan disosiasi
Respon disosiatif yang berat (pada kondisi tidak ditemukan karakteristik gejala
gangguan stres akut) dapat didiagnosis sebagai gangguan derealisasi atau
depersonalisasi. Jika amnesia yang berat setelah trauma menetap tanpa adanya
gejala stres akut maka diagnosis amnesia disosiasi dapat dipertimbangkan
(American Psychiatric Association, 2013).
d. Gangguan stres pasca trauma
Menurut DSM-V perbedaan antara gangguan stress akut dengan PTSD adalah
lamanya gejala berlangsung, yaitu pada gangguan stress akut berlangsung hingga 1
bulan dan membaik dalam periode tersebut, sedangkan pada PTSD berlangsung
lebih dari 1 bulan (American Psychiatric Association, 2013).
e. Gangguan psikotik
Kilas balik atau flashback yang terjadi pada gangguan stres akut harus dapat
dibedakan dengan halusinasi, ilusi, dan gangguan persepsi lain yang dapat terjadi
pada skizofrenia atau gangguan psikotik lain (American Psychiatric Association,
2013).
4. Tatalaksana
a. Psikoterapi
Meskipun ada bukti terbatas untuk memberikan intervensi psikologis
langsung dalam bulan pertama setelah trauma, penggunaan terapi perilaku kognitif
(CBT) telah didukung dalam situasi di mana ancaman telah mereda dan stabilitas
telah kembali. Biasanya, CBT mencakup pendidikan tentang reaksi pos-traumatik,
pelatihan relaksasi otot progresif, paparan imajiner ke memori traumatis,
restrukturisasi kognitif dari keyakinan terkait trauma yang menyimpang, dan
paparan bertahap terhadap situasi yang dihindari oleh pasien. CBT saja atau dalam
kombinasi dengan hipnosis lebih efektif daripada konseling suportif dalam
mencegah PTSD pada pasien trauma campuran dengan ASD, dan efeknya
umumnya dipertahankan selama tiga tahun. Secara keseluruhan, CBT adalah
intervensi paling efektif untuk mengurangi gejala dan mengurangi kejadian PTSD
di masa depan. Prinsip-prinsip intervensi berikut ini didukung secara empiris dan
dapat digunakan untuk memandu upaya pencegahan dan praktik intervensi pada
orang yang mengalami trauma: mempromosikan rasa aman, mempromosikan rasa
tenang, mempromosikan rasa self-efficacy dan efikasi kolektif, mempromosikan
keterhubungan, dan menanamkan harapan.
b. Farmakoterapi
Beberapa penelitian telah mengevaluasi pengobatan farmakologis ASD.
Dalam sebuah penelitian retrospektif, imipramine (Tofranil) atau fluoxetine
(Prozac) meringankan gejala terkait ASD masing-masing dalam 81 dan 75 persen,
anak-anak dengan ASD setelah cedera luka bakar. Namun, dalam uji klinis follow-
up double-blind, agen-agen ini tidak memberikan manfaat yang lebih besar
daripada plasebo di antara 60 pasien yang berusia 4 hingga 18 tahun dengan ASD
sekunder akibat luka bakar mayor. Ketika diberikan setelah peristiwa stres,
propranolol (beta blocker) telah terbukti mengurangi PTSD dan rasa takut yang
terkait dengan paparan ulang. Namun, propranolol belum terbukti mengurangi
risiko ASD. Risperidone yang merupakan antipsikotik atipikal (Risperdal)
tampaknya menjanjikan untuk pengobatan akut ASD. Dalam sebuah penelitian
retrospektif dari 10 orang dewasa yang memiliki ASD setelah cedera luka bakar,
semua melaporkan peningkatan gejala (yaitu, tidur, mimpi buruk, hyperarousal, dan
kekambuhan pikiran) setelah pemberian dua kali.
Saat ini, tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan
rutin tindakan farmakologis untuk pengobatan ASD, dan jelas tidak ada bukti yang
mendukung untuk terapi obat daripada CBT. Pada pasien yang tidak dapat
berpartisipasi dalam CBT, percobaan pengobatan dapat dilakukan. Intervensi
farmakologis jangka pendek (kurang dari enam minggu) mungkin bermanfaat
dalam menghilangkan gejala spesifik yang ditargetkan terkait dengan kejadian
tersebut (mis. Rasa sakit, susah tidur, depresi).

2. Gangguan Stres Pasca Trauma (F43.1)


a. Definisi
Gangguan ini merupakan reaksi umum individu normal terhadap trauma hebat
yang kemungkinan menyebakan distress berat terhadap siapapun, seperti bencana
alam, peperangan, kecelakaan serius, kekerasan, penyiksaan, terorisme,
pemerkosaan. Faktor predisposisi seperti ciri kepribadian atau riwayat penyakit
neurotik dapat menurunkan ambang untuk terjadinya sindrom atau memperberat
perjalanan penyakit.
b. Etiologi

Stressor berat merupakan penyebab utama gangguan ini. Namun tidak semua
orang yang mengalami stressor yang berat mengalami PTSD. Trauma sendiri tidak
cukup untuk menyebabkan PTSD. Respon pasien terhadap trauma haruslah takut
yang sangat kuat bahkan horor. Dokter harus menilai faktor biologis dan psikososial
yang ada pada orang yang telah mengalami trauma (Sadock dan Sadock, 2007).
Ada beberapa hal yang mempengaruhi seseorang terkena PTSD atau tidak,
yaitu:
a) Potensi stressor, berupa jumlah dan tingkat pengalaman traumatis.
b) Adanya gangguan mental sebelumnya atau yang diwariskan, misalnya depresi
atau ansietas.
c) Sifat kepribadian, seseorang dengan sifat kepribadian ambang, paranoid,
antisosial, dan dependen lebih rentan terkena PTSD.
d) Pekerjaan yang berisiko terpapar pengalaman traumatis, misalnya tentara.
e) Kurangnya dukungan dari lingkungan saat menghadapi trauma.
f) Tingkat edukasi, pada orang dengan pendidikan dan status ekonomi rendah
lebih rentan terkena PTSD.
g) Kondisi fisik.
c. Gambaran Klinis
Gambaran klinis utama dari PTSD adalah perasaan mengalami kembali
kejadian tidak menyenangkan yang pernah dialami, sikap menghindar dan perasaan
emosional tumpul, dan bangkitan kembali yang cukup konstan. Gangguang
mungkin tidak berkembang hingga beberapa bulan atau tahun setelah kejadian
traumatis dialami. Pemeriksaan status mental dapat menunjukan perasaan bersalah,
penolakan, dan penghinaan. Pasien juga dapat menunjukan gangguan disosiatif dan
serangan panik, ilusi dan halusinasi juga dapat muncul. Tes kognitif dapat
menunjukan gangguan memori dan perhatian (Sadock dan Sadock, 2007).
d. Pedoman diagnostik
Dijelaskan dalam PPDGJ III bahwa gangguan stres pasca trauma dapat
didiagnosis dengan kriteria sebagai berikut:
 Diagnosis baru ditegakan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6
bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara
beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakan apabila tertundanya waktu
mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja
manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan
lainnya.
 Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashback)
 Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
 Suatu sequel menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam
kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah
mengalami katastrofa).
Kriteria Diagnosis Gangguan Stres Pasca Trauma Berdasarkan DSM-5
(American Psychiatric Association, 2013)
Note: Kriteria ini digunakan untuk dewasa, remaja, dan anak di atas 6 tahun.
Diagnosis untuk anak usia kurang dari sama dengan 6 tahun akan dibahas
kemudian.
A. Paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera serius, atau
kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di bawah ini:
1. Langsung mengalami kejadian traumatis.
2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain.
3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada keluarga dekat atau teman
dekat. Pada kasus ancaman atau kejadian kematian pada keluarga atau
teman, kejadian harus berupa kekerasan atau kecelakaan.
4. Menghadapi paparan berulang atau ekstrim kejadian traumatis yang tidak
diinginkan. Tidak termasuk paparan lewat media elektronik, televisi, film,
atau gambar, kecuali jika paparan ini berhubungan dengan pekerjaan.
B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi atau yang mengganggu berikut yang
berhubungan dengan kejadian traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis
terjadi:
1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan yang
mengganggu.
2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau dampak dari mimpi
berhubungan dengan kejadian traumatis.
Note: Pada anak, mungkin ada mimpi buruk tanpa mengenali isi mimpinya.
3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau berperasaan
seolah kejadian traumatis terjadi kembali. (Reaksi dapat terjadi berlanjut,
dengan ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran akan
keberadaan sekelilingnya)
Note: Pada anak, peragaan trauma spesifik dapat terjadi dalam permainan.
4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan jika
berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa
traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.
5. Reaksi fisiologis yang melambangkan atau menyerupai aspek dari kejadian
traumatis.
C. Perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang berkaitan dengan
peristiwa traumatik, dimulai setelah peristiwa traumatik terjadi, yang dibuktikan
dengan satu atau kedua gejala di bawah ini:
1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati
sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.
2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari pengingat
eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang
menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati
sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.
D. Perubahan negatif pada kognitif dan mood yang berhubungan dengan kejadian
traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi, yang
ditunjukkan dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:
1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting kejadian traumatis (biasa
berhubungan dengan amnesia disosiatif dan tidak dipengaruhi faktor lain
seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan).
2. Kepercayaan negatif yang persisten atau berlebihan atau ekspektasi tentang
seseorang, orang lain, atau dunia (contoh: “Saya buruk”, “Tidak ada orang
yang bisa dipercayai”, “Dunia sangat berbahaya”, “Seluruh sistem saraf saya
rusak”).
3. Gangguan kesadaran menetap tentang penyebab atau konsekuensi dari
kejadian traumatis yang menyebabkan individu menyalahkan diri sendiri
atau orang lain.
4. Emosi negatif yang menetap (contoh: ketakutan, horor, kemarahan, perasaan
bersalah, rasa malu).
5. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas
6. Merasa asing atau terpisah dari sekitarnya.
7. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi positif (contoh: tidak dapat
merasakan kebahagiaan, kepuasan, atau rasa sayang).
E. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan
dengan kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian
traumatis terjadi, yang ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:
1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan sedikit
atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan maupun perbuatan
pada orang lain atau objek tertentu.
2. Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.
3. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan).
4. Respon terkejut yang berlebihan.
5. Kesulitan berkonsentrasi.
6. Gangguan tidur (contoh: sulit memulai tidur, mempertahankan tidur, atau
tidur yang tidak nyenyak).
F. Durasi dari gangguan (Kriteria B, C, D, dan E) terjadi lebih dari satu bulan.
G. Gangguan menyebabkan distress atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau fungsi penting lainnya.
H. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari zat (obat-obatan, alkohol)
atau kondisi medik umum lainnya.
Tentukan jika:
Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD dan sebagai
respon terhadap stresor, individu juga mengalami gejala menetap atau berulang
seperti di bawah ini:
1. Depersonalisasi: Pengalaman menetap atau berulang bahwa dirinya terasa
tidak nyata, asing, atau tidak familiar.
2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang terhadap lingkungan yang
tidak nyata.
Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak merupakan efek
fisiologis dari zat atau kondisi medis umum.
Tentukan jika:
Dengan Ekpresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik tidak ditemui minimal 6 bulan
setelah kejadian (walaupun onset maupun sebagian gejala terjadi langsung).
Gangguan Stress Pasca Trauma Pada Anak ≤ 6 Tahun
A. Pada anak ≤ 6 tahun, paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera
serius, atau kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di bawah ini:
1. Langsung mengalami kejadian traumatis.
2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain, terutama
pengasuh utama.
3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada orang tua atau
perawatnya.
B. Adanya satu (atau lebih) gejala yang mengganggu yang berhubungan dengan
kejadian traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis terjadi:
1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan
yang mengganggu.
2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau dampak mimpi
yang berhubungan dengan kejadian traumatis.
3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau
berperasaan seolah kejadian traumatis terjadi kembali. (Reaksi dapat
terjadi berlanjut, dengan ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total
kesadaran akan keberadaan sekelilingnya).
4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan jika
berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa
traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.
5. Reaksi fisiologis yang mengingatkan peristiwa traumatik.
C. Satu (atau lebih) gejala di bawah ini, baik penghindaran menetap terhadap
stimulus yang berhubungan dengan kejadian traumatis, maupun kemunduran
negatif dari fungsi kognitif dan mood berhubungan dengan kejadian traumatis,
harus muncul, dimulai atau bertambah parah setelah kejadian:
Penghindaran Stimulus Menetap
1. Penghindaran atau usaha menghindari aktivitas, tempat, atau hal lain yang
membangkitkan ingatan tentang kejadian traumatis.
2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari orang,
pembicaraan, atau situasi interpersonal yang membangkitkan ingatan
tentang kejadian traumatis.
Kemunduran Negatif Kognitif
3. Frekuensi emosi negatif yang meningkat.
4. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas, termasuk
pembatasan bermain.
5. Perilaku menarik diri.
6. Kemunduran menetap ekspresi emosi positif.
D. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan
dengan kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian
traumatis terjadi, yang ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:
1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan sedikit
atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan maupun perbuatan pada
orang lain atau objek tertentu.
2. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan)
3. Respon terkejut yang berlebihan
4. Kesulitan berkonsentrasi
5. Gangguan tidur
E. Durasi dari gangguan terjadi lebih dari satu bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan atau hendaya pada hubungan dengan
orang tua, saudara kandung, teman main, atau perawat atau dengan perilaku di
sekolah.
G. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari zat (obat-obatan, alkohol)
atau kondisi medik umum lainnya.
Tentukan jika:
Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD, individu juga
mengalami gejala menetap atau berulang seperti di bawah ini:
1. Depersonalisasi: Pengalaman menetap atau berulang subjektif bahwa dirinya
terasa tidak nyata, asing, atau tidak familiar.
2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang sebjektif terhadap lingkungan
yang tidak nyata.
Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak merupakan efek
fisiologis dari zat atau kondisi medis umum.
Tentukan:
Dengan Ekpresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik tidak ditemui minimal 6 bulan
setelah kejadian (walaupun onset maupun sebagian gejala terjadi segera).

e. Diagnosa banding
1) Gangguan Penyesuaian
Pada gangguan penyesuaian, penyebab stress bisa melebihi keparahan yang
terdapat pada kriteria A PTSD. Diagnosis dari gangguan penyesuaian
digunakan ketika respon dari penyebab stress sesuai dengan kriteria A PTSD
namun tidak sesuai dengan kriteria PTSD lainnya (atau kriteria gangguan
mental lainnya). Gangguan penyesuaian juga dapat didiagnosis ketika pola
gejala PTSD yang terjadi dalam menghadapi penyebab stress tidak sesuai
dengan kriteria A PTSD (American Psychiatric Association, 2013).
2) Gangguan dan Kondisi Pasca Trauma Lainnya
Tidak semua psikopatologi yang terjadi pada suatu individu yang terkena
penyebab stress yang ekstrim harus dikaitkan dengan PTSD. Diagnosis
memerlukan paparan terhadap trauma yang mendahului onset atau eksaserbasi
dari gejala yang bersangkutan. Selain itu, jika pola respon gejala terhadap
penyebab stress yang ekstrim sesuai dengan kriteria gangguan mental lainnya,
diagnosis ini harus diberikan, atau sebagai tambahan pada PTSD. Diagnosis dan
keadaan lain tidak termasuk jika keadaan itu lebih baik disebut PTSD. Jika
parah, pola respon gejala terhadap penyebab stress yang ekstrim mungkin
memerlukan diagnosis terpisah (American Psychiatric Association, 2013).
3) Gangguan Stress Akut
Gangguan stress akut dapat dibedakan dari PTSD karena pola gejala pada
gangguan stress akut terbatas pada durasi 3 hari sampai 1 bulan mengikuti suatu
paparan kejadian traumatis (American Psychiatric Association, 2013).
4) Gangguan Cemas dan Gangguan Obsesif Kompulsif
Pada OCD, terdapat suatu pikiran mengganggu yang berulang, dan sesuai
dengan definisi dari obsesi. Sebagai tambahan, pikiran mengganggu itu tidak
terkait dengan suatu kejadian traumatis, biasanya juga terdapat kompulsi,
sedangkan gejala PTSD atau gangguan stress akut tidak ditemukan. Bukan
merupakan bangkitan dan gejala disosiatif terhadap gangguan panik maupun
penghindaran, gelisah, dan kecemasan dari gangguan cemas yang terkait
dengan suatu kejadian traumatis. Gejala gangguan kecemasan terhadap
perpisahan secara jelas terkait seperti berada jauh dari rumah atau keluarga
daripada terhadap suatu kejadian yang traumatis (American Psychiatric
Association, 2013).
5) Gangguan Depresif Mayor
Gangguan depresi mayor dapat atau tidak dapat didahului dengan suatu
kejadian traumatis dan dapat didiagnosis bila gejala PTSD lainnnya tidak
ditemukan. Secara spesifik, gangguan depresi mayor tidak sesuai dengan gejala
Kriteria B dan C dari PTSD. Juga tidak mencakup sejumlah gejala dari Kriteria
D atau E dari PTSD (American Psychiatric Association, 2013).
6) Gangguan Kepribadian
Kesulitan interpersonal pada onsetnya atau pada eksaserbasi, setelah
paparan kejadian traumatik dapat diindikasikan sebagai PTSD daripada
gangguan kepribadian (American Psychiatric Association, 2013).
7) Gangguan Disosiatif
Amnesia disosiatif, gangguan identitas disosiatif, dan gangguan
depersonalisasi–derealisasi dapat/tidak dapat didahului oleh paparan kejadian
traumatik atau dapat/tidak dapat terjadi bersamaan dengan gejala PTSD. Ketika
seluruh kriteria PTSD ditemui, dapat juga dipertimbangan subtipe PTSD
dengan gejala disosiatif (American Psychiatric Association, 2013).
8) Gangguan Psikotik
Kilas balik PTSD harus dibedakan dengan ilusi, halusinasi, dan gangguan
persepsi yang terjadi pada skizofrenia, gangguan psikotik singkat, dan
gangguan psikotik lainnya; gangguan depresif dan bipolar dengan gejala
psikotik; delirium; gangguan terkait zat/obat; dan gangguan psikotik terkait
kondisi medis (American Psychiatric Association, 2013).
9) Cedera Otak Traumatik.
Ketika cedera otak terjadi dalam konteks kejadian traumatis (misalnya:
Kecelakaan traumatis, ledakan bom, trauma akselerasi dan deselerasi), gejala
dari PTSD mungkin timbul. Suatu kejadian yang menyebabkan trauma kepala
dapat merupakan kejadian traumatis psikologis. Gejala sebelumnya disebut
postkonkusi (misalnya: sakit kepala, pusing, sensitif terhadap cahaya dan suara,
gelisah, dan kurang konsentrasi) dapat terjadi pada cedera otak dan pada
populasi yang bukan cedera otak, termasuk pada individu dengan PTSD. Karena
gejala dari PTSD dan TBI (Traumatic Brain Injury) yang terkait gejala
neurokognitif dapat saling tumpang tindih, diagnosis banding antara PTSD dan
gangguan gejala neurokognitif yang disebabkan oleh TBI mungkin dapat
berdasarkan adanya gejala yang dibedakan dari setiap presentasi. Sebaliknya
mengulang kembali dan menghindar adalah karakteristik dari PTSD dan bukan
merupakan efek dari TBI, disorientasi menetap dan kebingungan lebih spesifik
untuk TBI (efek neurokognitif) daripada PTSD (American Psychiatric
Association, 2013).
f. Tatalaksana
Pendekatan pertama pada kasus ini adalah pemberian dukungan, dorongan
untuk menceritakan pengalaman atau kejadian yang dialami, dan edukasi tentang
jenis mekanisme penyesuaian, seperti relaksasi. Penggunaan sedatif dan hipnotik
juga dapat membantu (Sadock dan Sadock, 2007).
1) Farmakoterapi
Lini pertama terapi PTSD adalah Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
(SSRIs), seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil). Golongan ini dipilih
karena efikasi, tingkat toleransi, dan juga tingkat keamanan obat yang baik.
SSRI mengurangi semua gejala PTSD dan sangat efektif dalam memperbaiki
gejala khas PTSD, tidak hanya gejala yang mirip depresi atau gangguan ansietas
lainnya. Dosis SSRI yang sering digunakan seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr,
Sertaline 50-200 mg/hr atau Fluvoxamine 50-300 mg/hr. Buspirone (BuSpar)
adalah obat serotonergik yang juga bisa dipakai.
Kemampuan dari obat golongan trisiklik yaitu Imipramine (Tolfanil) dan
juga Amitriptyline (Elavil) dalam mengurangi gejala PTSD juga didukung oleh
beberapa percobaan. Dosis Imipramine dan Amytriptilin yang yang biasa
digunakan adalah Amiltriplin 50-300mg/hr dan Imipramin 50-300 mg/hr.
Pasien yang merespon pengobatan dengan baik harus melanjutkan terapi paling
tidak 1 tahun.
Obat-obat lain yang mungkin bermanfaat pada PTSD adalah Monoamine
Oxidase Inhibitors (MAOIs); (misalnya: Phenelzine (Nardil)), Trazodone
(Desyrel), dan anti-konvulsan (misalnya: Karbamazepine (Tegretol), Valproate
(Depakene). Pada beberapa penelitian pemberian Reversible Monoamine
Oxidase Inhibitors (RIMAS) juga bermanfaat memberikan perbaikan pada
pasien PTSD. Penggunaan agen anti-adrenergic seperti Clonidine (Catapres)
dan Propranolol (Inderal), direkomendasikan karena teori hiperaktivitas
noradrenergik pada gangguan ini. Tidak ada data positif yang mendukung
penggunaan obat anti psikotik (misalnya: Haloperidol (Haldol), sehingga
penggunaan obat ini digunakan untuk kontrol jangka pendek pada gejala agresif
yang berat dan juga agitasi.
2) Psikoterapi
a) Exposure-based Intervention
Exposure-based intervention adalah tatalaksana yang paling terbukti
secara empiris untuk PTSD. Akar dari terapi ini berawal dari teori
perkembangan perilaku pada tahun 1920, Pavlov, mendemonstrasikan
bahwa rasa takut dapat dikondisikan dan dihilangkan dengan pengalaman
belajar. Dengan berada dalam ketakutan yang sama secara berulang, hal
tersebut akan menurunkan atau menghilangkan ketakutan tersebut. Prinsip
ini yang diterapkan untuk terapi PTSD. Terapis akan membantu pasien
untuk menghadapi, tidak menolak stimulus ketakutan tersebut, yakni
memori dari situasi trauma atau situasi yang mengingatkan pasien pada
kejadian tersebut (Lancaster, dkk., 2016).
Salah satu terapi yang paling sering dan terbukti secara empiris sebagai
protokol dari PTSD adalah prolonged exposure therapy (PE). PE dilakukan
dalam 8 sampai 15 sesi yang dilakukan pada setiap minggu atau per 2
minggu selama 60 sampai 90 menit setiap sesinya. Mayoritas pasien yang
menyelesaikan terapi secara signifikan dapat mengurangi gejala dari PTSD
(Powers, dkk., 2010).
Pasien akan diajarkan untuk latihan relaksasi dengan bernafas, psycho-
education tentang gejala PTSD dan faktor yang berkontribusi untuk
mempertahankan PTSD (seperti penolakan terhadap memori atau hal-hal
yang dapat mengingatkan dari memori tersebut). Setelah beberapa sesi,
pasien diminta menggambarkan kembali memori dari trauma tersebut atau
dinamakan dengan imaginal exposure (McLEan, dkk., 2015).
b) Cognitive-Based Processing Therapies
Terapi Cognitive-Based Processing Therapies (CPT) mengintervensi
secara langsung pola pemikiran yang maladaptif. Pada awal sesi CPT akan
dilakukan psycho-education tentang simtomatologi PTSD dan peran dari
penolakan yang membuat gejala PTSD akan berlangsung terus-menerus. CPT
lebih menekankan pada peran pola pemikiran yang maladaptif yang bisa
mempertahankan gejala dari PTSD (Lancaster, dkk., 2016).
Pada awal terapi pasien akan menulis tentang akibat dari kejadian traumatis
pada hidup mereka, termasuk di dalamnya adalah bagaimana trauma berakibat
kepada diri pasien, orang lain, dan dunia. Pada standar protokol CPT, pasien
akan menulis satu atau dua informasi detail dari trauma dan membacanya
dengan keras pada sesi tersebut. Terapis akan menanyakan tentang pola pikir
yang ada sehingga membantu pasien untuk menemukan pemikiran yang salah
tersebut kemudian terapis akan mengembangkan strategi untuk memperbaiki
pola pikir pasien (Monson, dkk., 2012).
g. Prognosis
PTSD umumnya segera muncul setelah pengalaman traumatis terjadi. Gejala
juga dapat muncul 1 minggu hingga 30 tahun kemudian. Gejala dapat bertambah
parah seiring waktu dan dapat menjadi sangat parah pada periode stress. Tanpa
terapi, sekitar 30% pasien pulih sempurna, 20% masih memiliki gejala sedang, 10%
masih mengalami gejala yang sama bahkan bertambah parah. Setelah 1 tahun,
sekitar 50% pasien kembali pulih. Prognosis yang baik ditandai dengan onset gejala
yang cepat, durasi gejala pendek (kurang dari 6 bulan), fungsi premorbis baik,
dukungan sosial kuat, dan tidak adanya riwayat gangguan kejiwaan, gangguan
medis, dan penggunaan zat (Sadock dan Sadock, 2007).
3. Gangguan Penyesuaian (F43.2)
a. Definisi
Gangguan penyesuaian adalah suatu keadaan distress dan gangguan emosional,
biasanya mengganggu fungsi sosial, yang timbul pada suatu periode adaptasi terhadap
perubahan hidup yang signifikan atau kejadian hidup yang penuh stress seperti
perpisahan atau kehilangan. Awitan biasanya terjadi dalam 1bulan setelah kejadian dan
gejala-gejala biasanya tidak berlangsung lebih dari 6 bulan. Kebalikan dengan reaksi
stress akut, setiap predisposisi atau kerentanan mempunyai peran lebih besar pada
risiko terjainya gangguan seperti ini dan dalam membentuk manifestasinya. Namun,
diduga bahwa keadaan tidak akan timbul tanpa stress. Mungkin terdapat reaksi depresif
singkat atau lama, campuran reaksi ansietas dan depresif atau gangguan tingkah laku,
misalnya pada masa remaja. Faktor-faktor predisposisi lain meliputi syok budaya,
reaksi berduka dan rawat inap pada anak-anak.
b. Epidemiologi
Prevalensi gangguan diperkirakan 2 hingga 8 persen dari keseluruhan
populasi. Wanita dua kali lebih sering terdiagnosa gangguan penyesuaian daripada
pria, dan wanita lajang secara umum direpresentasikan sebagai yang paling berisiko.
Pada anak-anak dan remaja, anak laki-laki dan perempuan sama-sama didiagnosis
dengan gangguan penyesuaian. Gangguan dapat terjadi pada usia berapa pun tetapi
sedangpaling sering didiagnosis pada remaja. Di antara remaja dari kedua jenis
kelamin, umumnya stres yang memicu adalah masalah sekolah, penolakan dan
perceraian orang tua, dan penyalahgunaan zat. Pada orang orang dewasa, stress
pencetus yang umum adalah masalah perkawinan, perceraian, pindah kelingkungan
baru, dan masalah keuangan. Gangguan penyesuaian adalah salah satu diagnosis
kejiwaan yang paling umum untuk gangguan pasien dirawat di rumah sakit dengan
masalah medis dan bedah. Dalam satu penelitian, 5 persen orangdirawat di rumah sakit
selama periode 3 tahun diklasifikasikan sebagai memiliki kelainan penyesuaian.
Hingga 50 persen orang dengan masalah medis tertentu atau penyebab stres telah
didiagnosis dengan gangguan penyesuaian. Selanjutnya, 10 hingga 30 persen pasien
rawat jalan kesehatan mental dan hingga 50 persen pasien rawat inap di rumah sakit
umum yang dirujuk untuk konsultasi kesehatan mental telah didiagnosis dengan
gangguan penyesuaian.
c. Etiologi
Menurut definisi, kelainan penyesuaian dipicu oleh satu atau lebih pemicu stres.
Tingkat keparahan dari stressor atau stressor tidak selalu memprediksi keparahan dari
gangguan tersebut; tingkat keparahan stressor adalah fungsi kompleks dari tingkat,
kuantitas, durasi, reversibilitas, lingkungan, dan konteks pribadi. Misalnya, kehilangan
orang tua berbeda untuk anak berusia 10 tahun daripada orang yang berusia 40 tahun.
Organisasi dan norma dan nilai budaya atau kelompok budaya juga berkontribusi
terhadap respons yang tidak proporsional terhadap pemicu stres.
Stres mungkin tunggal, seperti perceraian atau kehilangan pekerjaan, atau
banyak pekerjaan, seperti kematian seseorang yang penting bagi seorang pasien, yang
bertepatan dengan penyakit fisik pasien sendiri dan kehilangan pekerjaan. Stres dapat
berulang, seperti kesulitan bisnis musiman, atau terus menerus, seperti penyakit kronis
atau kemiskinan. Hubungan intrafamilial sumbang dapat menghasilkan gangguan
penyesuaian yang mempengaruhi seluruh sistem keluarga, atau gangguan mungkin
terbatas pada pasien yang mungkin menjadi korban kejahatan atau yang memiliki
penyakit fisik. Kadang-kadang, kelainan penyesuaian terjadi dalam pengaturan
kelompok atau komunitas, dan pemicu stres memengaruhi beberapa orang, seperti
dalam bencana alam atau penganiayaan ras, sosial, atau agama. Tahap perkembangan
spesifik, seperti mulai sekolah, meninggalkan rumah, menikah, menjadi orang tua,
gagal mencapai tujuan pekerjaan, membiarkan anak terakhir meninggalkan rumah, dan
pensiun, sering dikaitkan dengan gangguan penyesuaian
d. Pedoman diagnostik
Kriteria diagnosis untuk gangguan penyesuaian berdasarkan PPDGJ III sebagai
berikut:
 Diagnosis tergantung pada evaluasi terhadap hubungan antara:
a) Bentuk, isi, beratnya gejala
b) Riwayat sebelumnya dan corak kepribadian
c) Kejadian, situasi yang stressfull, atau krisis kehidupan.
 Adanya faktor ketiga di atas (c) harus jelas dan bukti yang kuat bahwa gangguan
tersebut tidak akan terjadi seandainya tidak mengalami hal tersebut.
 Manifestasi dari gangguan bervariasi, dan mencakup afek depresif, anxietas,
campuran anxietas-depresif, gangguan tingkah laku, disertai adanya disabilitas
dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak ada satupun dari gejala tersebut yang
spesifik untuk mendukung diagnosis.
 Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang stressfull
dan gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan, kecuali dalam hal
reaksi depresif berkepanjangan (F43.21).
Kriteria Diagnostik DSM-V untuk Gangguan Penyesuaian (American Psychiatric
Association, 2013)

a. Perkembangan gejala emosional atau perilaku sebagai respons terhadap stresor


yang dapat diidentifikasi, terjadi dalam 3 bulan sejak onset stresor.
b. Gejala atau perilaku ini bermakna secara klinis, dibuktikan dengan satu atau kedua
kriteria berikut :
1. Penderitaan yang nyata dan berlebihan dari apa yang dapat diperkirakan terjadi
akibat pajanan terhadap stresor, harus dipertimbangkan konteks eksternal dan
faktor budaya yang mungkin mempengaruhi keparahan gejala dan tampilan
klinis.
2. Hendaya bermakna fungsi sosial atau pekerjaan.
c. Gangguan terkait stres tidak memenuhi kriteria gangguan Aksis I spesifik lainnya
dan bukan hanya perburukan dari gangguan mental yang telah ada sebelumnya.
d. Gejala tidak menunjukkan respon kehilangan yang umum
e. Ketika stresor atau konsekuensinya berakhir, gejala tidak berlangsung selama lebih
dari 6 bulan ke depan.
Tentukan jika:
 Dengan mood depresi (F43.21) : mood rendah, mudah menangis, atau rasa yang
predominan adalah perasasan putus asa
 Dengan ansietas (F43.22) : nervous, khawatir, atau perasaan kecemasan bila
berpisah
 Dengan campuran mood depresi dan ansietas (F43.23) : kombinasi antara
depresi dan ansietas yang predominan
 Dengan gangguan tingkah laku (F43.24) : ganggua perilaku yang predominan
 Dengan gangguan campuran emosi dan tingkah laku (F43.25) : gejala
emosional dan gangguan perilaku yang predominan
 Tidak terinci (F43.20): untuk reaksi maladaptif yang tidak dapat diklasifikasikan
sebagai salah satu subtipe ganggun penyesuaian.
e. Diagnosis banding
1) Gangguan depresi berat
Jika pasien menunjukan gejala depresi yang jelas, maka diagnosis gangguan
penyesuaian tidak berlaku. Tampilan gejala depresi berat dapat menjadi pembeda
dengan diagnosis gangguan penyesuaian (American Psychiatric Association, 2013).
2) Gangguan stres pasca trauma dan gangguan stres akut
Pembeda dari gangguan-gangguan ini dapat ditunjang dari waktu dan profil
gejala. Gangguan stres akut hanya dapat terjadi dalam 3 hari – 1 bulan post trauma
dan gangguan stres pasca trauma hanya dapat didiagnosis minimal 1 bulan pasca
kejadian traumatik. Diagnosis gangguan penyesuaian dapat dipilih jika pasien
menunjukan gejala stres akut dan PTSD, namun gejala-gejala tersebut tidak
memenuhi kriteria diagnosis keduanya atau jika gejala-gejala tersebut memenuhi
kriteria diagnosis namun tidak ada kejadian traumatis yang mendahuluinya
(American Psychiatric Association, 2013).
f. Tatalaksana
1) Psikoterapi
Intervensi psikoterapi pada gangguan penyesuaian bertujuan untuk
mengurangi efek dari stressor, meningkatkan kemampuan mengatasi (coping)
stressor yang tidak bisa dikurangi, dan menstabilkan status mental dan system
dukungan untuk memaksimalkan adaptasi. Psikoterapi dapat berupa: terapi
perilaku-kognitif, terapi interpersonal, upaya psikodinamik atau konseling.
Tujuan utama dari psikoterapi ini untuk menganalisa stressor yang
mengganggu pasien kemudian dihilangkan atau diminimalkan. Sebagai contoh,
amputasi kaki dapat menghancurkan perasaan seseorang tentang dirinya, terutama
jika individu tersebut adalah seorang atlet lari. Perlu diperjelas bahwa pasien
tersebut tetap memiliki suatu kemampuan besar, dimana ia dapat menggunakannya
untuk pekerjaan yang berguna, tidak perlu kehilangan hubungan yang berharga,
dapat bereproduksi, dan ini tidak berarti bagian tubuh yang lain juga akan hilang.
Jika tidak, pasien tersebut dapat berfantasi ( bahwa semuanya hilang) dan stressor
(amputasi) dapat mengambil alih, membuat disfungsional (pekerjaan, seks) pada
pasien, dan menyebabkan disforia yang menyakitkan atau kecemasan.
Beberapa stressor dapat menyebabkan reaksi yang berlebihan (misalnya,
pasien memutuskan untuk bunuh diri atau melakukan pembunuhan setelah
ditinggalkan oleh kekasihnya). Pada kasus seperti reaksi berlebihan dengan
perasaan, emosi atau perilaku, terapis akan membantu individu menempatkan
perasaan dan kemarahannya melalui kata-kata daripada melakukan tindakan
destruktif dan memberikan perspektif. Peran verbalisasi dan gabungan afek dan
konflik yang tidak berlebihan dalam upaya mengurangi stressor dan meningkatkan
coping. Obat-obatan dan alkohol tidak dianjurkan.
Psikoterapi, konseling krisis medis, intervensi krisis, terapi keluarga, terapi
kelompok, terapi perilaku-kognitif, dan terapi interpersonal semua mendorong
individu untuk mengekspresikan pengaruh, ketakutan, kecemasan, kemarahan, rasa
tidak berdaya, dan putus asa terhadap stressor. Mereka juga membantu individu
untuk menilai kembali realitas dalam beradaptasi. Sebagai contoh, hilangnya kaki
bukan berarti kehilangan nyawa. Tetapi itu adalah kerugian besar. Psikoterapi
singkat berusaha untuk membingkai makna stressor tersebut, cara
meminimalkannya dan mengurangi defisit psikologis terhadap kejadian tersebut.
2) Farmakoterapi
Biasanya, penggunaan terapi farmakologi oleh individu dengan gangguan
penyesuaian adalah untuk mengurangi gejala seperti insomnia, kecemasan dan
serangan panik. Yang paling umum diresepkan untuk agen individu dengan
gangguan penyesuaian adalah benzodiazepine dan anti-depresan. Stewart et al
merekomendasikan percobaan antidepresan pada pasien dengan depresi ringan atau
berat yang belum memberi respon atau intervensi psikoterapi suportif lainnya
selama 3 bulan.
Dalam sebuah penelitian yang ditujukan untuk membedakan respon terapi
antidepresi pada Depresi Major dengan gangguan penyesuaian dengan mood
depresi, ditemukan hasil bahwa tidak ada perbedaan respon klinis antara keduanya
terhadap antidepresi. Namun kecepatan respon terapinya lebih cepat 2 kali pada
gangguan penyesuaian dibandingkan pasien depresi biasa.
Tidak ada terapi antidepresi yang lebih efektif, baik terapi tunggal maupun
terapi kombinasi, dalam pengobatan gangguan penyesuaian. Pengobatan dengan
trazodone maupun clorazepate pada pasien gangguan penyesuaian dengan HIV
menunjukan hasil yang sama dalam penyembuhan penyakit. Pengobatan dengan
etifoxine (obat anxiolitic non benzodiazepine) dan lorazepam juga menunjukkan
adanya kemanjuran dalam mengobati gejala, namun pada pasien yang
menggunakan etifoxine ditemukan bahwa pasiennya membaik secara nyata dan
menunjukan efek yang baik tanpa efek samping.
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2013. Trauma and Stress-Related Disorders dalam


Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edition (DSM-V). hal 265-290.
Washington : American Psychiatric Publishing.

Lancaster, C. L., Teeters, J. B., Gros, D. F., & Back, S. E. 2016. Posttraumatic Stress Disorder:
Overview of Evidence-Based Assessment and Treatment. Journal of clinical
medicine, 5(11) : 105. doi:10.3390/jcm5110105.

Maslim R. Gangguan Terkait Stress. In: Maslim R, editor. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa,
Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta: PT Nuh Jaya.

McLean C.P., Asnaani A., Foa E.B. 2015. Evidence Based Treatments for Trauma-Related
Psychological Disorders- Prolonged exposure therapy. New York: Springer.
Monson C.M., Fredman S.J., Adair K.C. 2012. Cognitive-Behavioral Conjoint Therapy for
Posttraumatic Stress Disorder: Harnessing the Healing Power of Relationships. New
York: Guilford Press.
Powers MB, Halpern JM, Ferenschak MP, Gillihan SJ, Foa EB. 2010. A meta-analytic review
of prolonged exposure for posttraumatic stress disorder . Clinical Psychology Revision.
30(6):635-641.

Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. 2007. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. USA: Lippincott Williams
& Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai