Anda di halaman 1dari 45

PROPOSAL

HUBUNGAN TINGKAT STRESS DENGAN NILAI GULA DARAH


ACAK PADAPASIEN DIABETES MELLITUS
PENELITIAN SURVEI ANALITIK
(RANCANGAN SURVEI CROSS SECTIONAL)
DI RUANG DAHLIA 2 RSUD JOMBANG

Oleh :

NUZULIA APRILIANA PURWORINI


NIM. 2011.03.0369

PROGRAM STUDI S-I KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA
JOMBANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit dimana kadar glukosa (gula sederhana)
di dalam darah tinggi karena terdapat gangguan pada kelenjar pankreas dan insulin yang
dihasilkan baik secara kuantitas maupun kualitas (Tjokroprawiro, 2006). Stress adalah respon
tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh yang terganggu, suatu fenomena
universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat di hindari, setiap orang
mengalaminya (Rasmun, 2004). Stress dan Diabetes Mellitus memiliki hubungan yang sangat
erat terutama pada penduduk perkotaan. Tekanan kehidupan dan gaya hidup tidak sehat
sangat berpengaruh, ditambah dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat dan berbagai
penyakit yang sedang di derita menyebabkan penurunan kondisi seseorang sehingga memicu
terjadinya stress yang berakibat gangguan pada kadar gula darah tidak terkontrol.
Menurut International Diabetes Federation ( IDF ) tahun 2013 prevalensi angka
kejadian DM di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa (IDF, 2013), dimana proporsi kejadian
DM adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus (CDC, 2012). Menurut
laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2013 dianggarkan sebanyak 171 juta
jiwa menderita DM dan diperkirakan pada tahun 2030 akan terjadi peningkatan sebanyak 195
juta jiwa lagi yang akan menderita DM (WHO, 2013). Studi populasi DM di berbagai Negara
oleh WHO menunjukkan jumlah penderita DM pada tahun 2013 di Indonesia menempati
urutan ke 4 terbesar dengan 8,426 juta orang dan diperkirakan akan menjadi sekitar 21,257
juta pada tahun 2030 (WHO, 2013). Berdasarkan data Riskesdas 2007, prevalensi diabetes
mellitus di provinsi Jawa Timur sebesar 1,0%. Di RSUD Jombang angka kejadian DM tahun
2013 adalah 387 kasus atau 19,12 %, dan pada tahun 2014 angka kejadian DM tercatat 530
kasus.
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa (gula sederhana)
didalam darah tinggi karena terdapat gangguan pada kelenjar pankreas dan insulin yang
dihasilkan baik secara kuantitas maupun kualitas (Tjokroprawiro, 2006). Lebih lanjut, pada
penderita yang kronis, akan timbul beberapa gejala lain, yaitu terjadinya penurunan berat
badan, timbulnya rasa kesemutan atau rasa nyeri pada tangan atau kaki, timbulnya luka
gangren pada kaki, hilangnya kesadaran diri (Suparyanto, 2010). Stress adalah respon tubuh

yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh yang terganggu, suatu fenomena
universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat di hindari, setiap orang
mengalaminya (Rasmun, 2004). Stress dapat berdampak secara total pada individu yaitu
terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan spiritual. Stress juga dapat mengancam
keseimbagan fisiologis yaitu dapat berakibat gangguan pada pengontrolan kadar gula darah
karena pada keadaan stress cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji
yang kaya pengawet, lemak dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja
pankreas. Stress juga akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan
akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi
membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin (Riyadi, Sujono,
Sukarmin : 2008). Kontrol DM yang buruk dapat mengakibatkan hiperglikemia dalam jangka
panjang, yang menjadi pemicu beberapa komplikasi yang serius baik makrovaskular maupun
mikrovaskular seperti penyakit jantung, penyakit vaskuler perifer, gagal ginjal, kerusakan
saraf dan kebutaan. Stress emosi dapat menimbulkan perasaan negative atau destruktif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Stress intelektual akan mengganggu persepsi dan
kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah, Stress social akan mengganggu
hubungan individu terhadap kehidupan (Rasmun, 2004).
Sebagai langkah pencegahan dan penatalaksanaan dapat dilakukan dengan berbagai
cara agar tidak terjadi komplikasi. Salah satu untuk mencegah komplikasi tersebut, tingkat
stress harus selalu di kendalikan (Rasmun, 2004). Dan dalam menangani kasus DM
yaitu mengelola stress dengan baik dengan cara mengatur diet dan nutrisi, istirahat dan tidur,
olah raga teratur, berhenti merokok, mengatur berat badan, dan mengatur waktu. Berdasarkan
uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan tingkat
stress dengan nilai gula darah acak pada pasien Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2
RSUD Jombang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian diatas maka permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Apakah ada hubungan antara tingkat stress dengan nilai gula darah acak pada pasien
Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat stress dengan nilai gula darah acak pada pasien
Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi tingkat stress pada pasien yang mengalami Diabetes Mellitus di Ruang
Dahlia 2 RSUD Jombang.
2. Mengidentifikasi nilai gula darah acak pada pasien Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2
RSUD Jombang.
3. Menganalisa hubungan antara tingkat stress dengan nilai gula darah acak pada pasien
Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan, acuan atau referensi
untuk menyampaikan informasi yang tepat dalam menerapkanpengetahuan tentang diabetes
mellitus dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya. Sehingga hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan sebagai pendukung teori yang sudah ada.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Klien
Dengan adanya penelitian ini, pasien DM diharapkan lebih dapat mengontrol perilakunya dan
dapat terhindar dari terjadinya komplikasi komplikasi lebih lanjut. Selain itu, juga
diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat pada umumnya agar dapat
mengantisipasi gejala penyakit DM lebih dini.
2. Bagi Profesi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan pengetahuan
tentang diabetes mellitus tipe dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya. Sehingga

hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan sebagai pendukung
teori yang sudah ada.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan pustaka di perpustakaan terkait tentang
hubungan tingkat stress dengan nilai gula darah acak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Stress
2.1.1 Pengertian Stress dan Stressor
Setiap orang pernah mengalami stress, dan orang yang normal dapat beradaptasi
dengan stress jangka panjang atau stress jangka pendek hingga stress tersebut berlalu. Stress
juga dapat didefinisikan sebagai, respons adaptif, dipengaruhi oleh karakteristik individual
dan/atau proses psikologis, yaitu akibat dari tindakan, situasi atau kejadian eksternal yang
menyebabkan tuntutan fisik dan/atau psikologis terhadap seseorang. Sementara Hans Seyle,
1976, menyatakan bahwa stress merupakan situasi dimana tuntutan yang sifatnya tidak
spesifik dan mengharuskan seseorang memberikan respons atau mengambil tindakan
(Hidayat, 2009).
Stress menurut Hans Selye tahun 1950 merupakan respons tubuh yang bersifat tidak
spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat
dikatakan stress apabila seseorang mengalami beban atau tugas yang berat tetapi orang
tersebut tidak dapat mengatasi tugas yang dibebankan itu, maka tubuh akan berespons dengan
tidak mampu terhadap tugas tersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami stress
(Hidayat, 2008).
Persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan besar menimbulkan stress.
Stimuli mengawali atau mencetuskan perubahan disebut stressor. Stressor menunjukkan suatu
kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa saja kebutuhan fisiologis,
psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual atau kebutuhan kultural. Stressor
internal berasal dari dalam diri seseorang (misalnya dalam kondisi kehamilan atau

menopause). Stressor eksternal berasal dari luar diri seseorang (misalnya perubahan dalam
peran keluarga atau sosial (Potter dan Perry, 2005).
2.1.2 Pandangan Stress
Dalam memahami tentang stress, para ahli berbeda beda mendefinisikannya karena
memiliki pandangan teori yang tidak sama. Untuk lebih jelas tentang stress sebenarnya, maka
dapat diketahui beberapa pandangan diantaranya (Hidayat, 2008) :
1. Pandangan Stress Sebagai Stimulus
Pandangan ini menyatakan stress sebagai suatu stimulus yang menuntut, dimana
semakin tinggi besar tekanan yang dialami seseorang, maka semakin besar pula stress yang
dialami.
2. Pandangan Stress Sebagai Respons
Mengidentifikasikan stress sebagai respons individu terhadap stressor yang diterima
di mana ini sebagai akibat respons fisiologis dan emosional atau juga sebagai respons yang
nonspesifik tubuh terhadap tuntutan lingkungan yang ada.

3. Pandangan Stress Sebagai Transaksional


Pandangan ini merupakan suatu interaksi antara orang dengan lingkungan dengan
meninjau dari kemampuan individu dalam mengatasi masalah dan terbentuknya sebuah
koping.
2.1.3 Jenis Stress
Ditinjau dari penyebabnya, stress dapat dibedakan kedalam beberapa jenis berikut (Hidayat,
2009) :
1. Stress Fisik
Merupakan stress yang disebabkan karena keadaan fisik, seperti suhu yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah, suara bising, sinar matahari yang terlalu menyengat atau karena tegangan arus
listrik dan lain - lain.
2. Stress Kimiawi
Merupakan stress yang disebabkan oleh pengaruh senyawa kimia yang terdapat pada obat
obatan, zat beracun, asam basa, faktor hormon atau gas dan lain lain.

3. Stress Mikrobiologik
Merupakan stress yang disebabkan oleh kuman seperti virus, bakteri atau parasit.

4. Stress Fisiologis
Merupakan stress yang disebabkan oleh gangguan fungsi organ tubuh, antara lain gangguan
dari struktur tubuh, fungsi jaringan, organ, dan lain lain.
5. Stress Proses Tumbuh Kembang
Merupakan stress yang disebabkan oleh proses tumbuh kembang seperti pada pubertas,
pernikahan dan pertambahan usia.
6. Stress Psikologis atau Emosional
Merupakan stress yang disebabkan oleh gangguan situasi psikologis atau ketidakmampuan
kondisi psikologis untuk menyesuaikan diri, misalnya dalam hubungan interpersonal, sosial
budaya atau keagamaan.
2.1.4 Sumber Stressor
Stressor, faktor yang menimbulkan stress, dapat berasal dari sumber internal (yaitu
diri sendiri) maupun eksternal (yaitu keluarga, masyarakat, dan lingkungan) (Hidayat, 2009).
1. Internal
Faktor internal stress bersumber dari diri sendiri. Stressor individual dapat timbul dari
tuntutan pekerjaan atau beban yang terlalu berat, kondisi keuangan, ketidakpuasan dengan
fisik tubuh, penyakit yang dialami, masa pubertas, karakteristik atau sifat yang dimiliki, dan
sebagainya.
2. Eksternal
Faktor eksternal stress dapat bersumber dari keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Stressor
yang berasal dari keluarga disebabkan oleh adanya perselisihan dalam keluarga, perpisahan
orang tua, adanya anggota keluarga yang mengalami kecanduan narkoba, dan sebagainya.
Sumber stressor masyarakat dan lingkungan dapat berasal dari lingkungan pekerjaan,
lingkugan social, atau lingkungan fisik. Sebagai contoh, adanya atasan yang tidak pernah
puas di tempat kerja, iri terhadap teman teman yang status sosialnya lebih tinggi, adanya
polusi udara dan sampah di lingkungan tempat tinggal, dan lain lain.

2.1.5 Model Stress


Perawat menggunakan model stress untuk membantu klien mengatasi respons yang
tidak sehat, non produktif. Dengan modifikasi, model ini dapat membantu perawat
berespons dalam merawat dengan cara yang menunjukkan individualisasi bagi klien (Potter
dan Perry, 2005).
Dibawah ini adalah model stress (Hidayat, 2009) :
1. Model Berdasarkan Respons
Model stress ini menjelaskan respons atau pola respons tertentu yang dapat
mengindikasikan stressor. Model stress yang dikemukakan oleh Seyle, 1976, menguraikan
stress sebagai respons yang tidak spesifik dari tubuh terhadap tuntutan yang dihadapinya.
Stress ditunjukkan oleh reaksi fisiologis tertentu yang disebut sindrom adaptasi umum
(General Adaptation Syndrome GAS).
2. Model Berdasarkan Adaptasi
Model ini menyebutkan empat faktor yang menentukan apakah suatu situasi menimbulkan
stress atau tidak (Mechanic, 1962), yaitu :
1. Kemampuan untuk mengatasi stress, bergantung pada pengalaman seseorang dalam
menghadapi stress serupa, sistem pendukung, dan persepsi keseluruhan terhadap stress.
2. Praktik dan norma dari kelompok atau rekan rekan pasien yang mengalami stress. Jika
kelompoknya menganggap wajar untuk membicarakan stressor, maka pasien dapat
mengeluhkan atau mendiskusikan hal tersebut. Respons ini dapat membantu proses adaptasi
terhadap stress.
3. Pengaruh lingkungan sosial dalam membantu seseorang menghadapi stressor. Seorang
mahasiswa yang resah menghadapi hasil ujian akhirnya yang pertama dapat mencari
pertolongan dari dosennya. Dosen yang dapat memberikan penilaian dan selanjutnya
memberikan referensi kepada asisten dosen tertentu yang menurutnya mampu membantu
kegiatan belajar mahasiswa tersebut. Dosen dan asisten dosen dalam contoh ini merupakan
sumber penurun tinggiya stressor yang dialami mahasiswa tersebut.
4. Sumber daya yang dapat digunakan untuk mengatasi stressor. Misalnya, seorang penderita
sakit yang kurang mampu dalam hal keuangan dapat memperoleh bantuan tunjangan Askes

dari perusahaan tempatnya bekerja untuk kemudian berobat yang memadai. Hal ini
mempengaruhi cara pasien untuk mendapatkan akses ke sumber daya yang dapat
membantunya mengatasi stressor fisiologis.
3. Model Berdasarkan Stimulus
Model ini berfokus pada karakteristik yang bersifat mengganggu atau merusak dalam
lingkungan. Riset klasik yang mengungkapkan stress sebagai stimulus telah menghasilkan
skala penyesuaian ulang sosial, yang mengukur dampak dari peristiwa peristiwa besar
dalam kehidupan seseorang terhadap penyakit yang dideritanya (Holmes dan Rahe, 1976).
Asumsi asumsi yang mendasari model ini adalah :
1. Peristiwa peristiwa yang mengubah hidup seseorang merupakan hal normal yang
membutuhkan jenis dan waktu penyesuaian yang sama.
2. Orang adalah penerima stress yang pasif ; persepsi mereka terhadap suatu peristiwa tidaklah
relevan.
3. Semua orang memiliki ambang batas stimulus yang sama dan sakit akan timbul setelah
ambang batas tersebut terlampaui.

4. Model Berdasarkan Transaksi


Model ini memandang orang dan lingkungannya dalam hubungan yang dinamis,
resiprokal, dan interaktif. Model yang dikembangkan oleh Lazarus dan Folkman ini
menganggap stressor sebagai respons perseptual seseorang yang berakar dari proses
psikologis dan kognitif. Stress berasal dari hubungan antara orang dan lingkungannya.
2.1.6 Faktor Yang Mempengaruhi Respons Terhadap Stressor
Individu secara keseluruhan terlibat dalam merespons dan menghadapi stress. Namun
demikian, sebagian besar dari riset tentang stress berfokus pada respons psikologis atau
emosional dan fisiologis, meski dimensi ini saling tumpang tindih dan berinteraksi dengan
dimensi lain (Potter dan Perry, 2005). Respons terhadap stressor yang diberikan pada individu
akan berbeda, hal tersebut tergantung dari faktor stressor dan kemampuan koping yang
dimiliki individu. Berikut akan dijelaskan secara singkat beberapa karakteristik stressor yang
dapat mempengaruhi respons tubuh (Hidayat, 2009) :

1. Sifat Stressor
Sifat stressor dapat berubah secara tiba tiba atau berangsur angsur dan dapat
meempengaruhi respons seseorang dalam menghadapi stress, tergantung mekanisme yang
dimilikinya.

2. Durasi Stressor
Lamanya stressor yang dialami seseorang dapat mempengaruhi respons tubuh. Apabila
stressor yang dialami lebih lama, maka respons juga akan lebih lama dan dapat
mempengaruhi fungsi tubuh.
3. Jumlah Stressor
Semakin banyak stressor yang dialami seseorang, semakin besar dampaknya bagi fungsi
tubuh.
4. Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman masa lalu seseorang dalam menghadapi stress dapat menjadi bekal dalam
menghadapi stress berikutnya karena individu memiliki kemampuan beradaptasi/mekanisme
koping yang lebih baik.
5. Tipe Kepribadian
Tipe kepribadian seseorang diyakini juga dapat mempengaruhi respons terhadap stressor.
Menurut Friedman dan Rosenman, 1974, terdapat dua tipe kepribadian, yaitu tipe A dan tipe
B. Orang dengan tipe kepribadian A lebih rentan terkena stress apabila dibandingkan dengan
orang yang memiliki tipe kepribadian B. Tipe kepribadian A memiliki ciri ciri : ambisius,
agresif, kompetitif, kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung, mudah marah, memiliki
kewaspadaan yang berlebihan, berbicara cepat, bekerja tidak kenal waktu, pandai
berorganisasi dan memimpin atau memerintah, lebih suka bekerja sendirian bila ada
tantangan, kaku terhadap waktu, tidak mudah dipengaruhi, sulit untuk santai. Sedangkan tipe
B memiliki sifat kebalikan dari tipe A, antara lain lebih santai, penyabar, tenang, tidak mudah

marah/tersinggung, jarang kekurangan waktu untuk melakukan hal hal yang disukai,
fleksibel, mudah bergaul, dan lain lain.
6. Tahap Perkembangan
Tahap perkembangan individu ini dapat membentuk kemampuan adaptasi yang semakin baik
terhadap stressor. Stressor yang dialami individu berbeda pada setiap tahap perkembangan
usia sebagaimana terlihat dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis Stressor Berdasarkan Tahap Perkembangan


Tahap Perkembangan
Jenis Stressor

Anak

Konflik mandiri dan ketergantungan


pada orang tua
Mulai bersekolah
Hubungan dengan teman sebaya
Kompetisi dengan teman

Remaja

Perubahan tubuh
Hubungan dengan teman
Seksualitas
Kemandirian

Dewasa Muda

Menikah
Meninggalkan rumah
Mulai bekerja
Melanjutkan pendidikan
Membesarkan anak

Dewasa Tengah
Menerima proses penuaan
Status sosial
Dewasa Tua

Usia lanjut
Perubahan tempat tinggal
Penyesuaian diri masa pensiun
Proses kematian
Sumber (Hidayat, 2009)

2.1.7 Tahapan Stress


Menurut Robert J. Van Amberg tahun 1979 (Hawari, 2001). Stress dapat dibagi kedalam
enam tahap berikut (Hidayat, 2009) :
1. Tahap Pertama
Tahap ini merupakan tahap stress yang ringan dan biasanya ditandai dengan munculnya
semangat yang berlebihan, penglihatan lebih tajam dari biasanya, dan merasa mampu
menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya (namun tanpa disadari cadangan energi
dihabiskan dan timbulnya rasa gugup yang berlebihan).
2. Tahap Kedua
Pada tahap ini, dampak stress yang semula menyenangkan mulai menghilang dan timbul
keluhan - keluhan karena habisnya cadangan energi. Keluhan keluhan yang sering

dikemukakan antara lain merasa letih sewaktu bangun pagi dalam kondisi normal, badan
(seharusnya terasa segar), mudah lelah sesudah makan siang, cepat lelah menjelang sore,
sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman, jantung berdebar debar, otot otot
punggung dan tengkuk terasa tegang dan tidak bisa santai.
3. Tahap Ketiga
Jika tahap stress sebelumnya tidak ditanggapi dengan memadai, maka keluhan akan semakin
nyata, seperti gangguan lambung dan usus (gastritis atau maag, diare), ketegangan otot
semakin terasa, perasaan tidak tenang, gangguan pola tidur (sulit untuk mulai tidur, terbangun
tengah malam dan sukar kembali tidur, atau bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur
kembali), tubuh terasa lemah seperti tidak bertenaga.
4. Tahap Keempat
Orang yang mengalami tahap tahap stress di atas ketika memeriksakan diri ke dokter sering
kali dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukannya kelainan kelainan fisik pada organ
tubuhnya. Namun pada kondisi berkelanjutan, akan muncul gejala seperti ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas rutin karena perasaan bosan, kehilangan semangat, terlalu lelah
karena gangguan pola tidur, kemampuan mengingat dan konsentrasi menurun, serta muncul
rasa takut dan cemas yang tidak jelas penyebabnya.
5. Tahap Kelima
Tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang sangat, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan
ringan dan sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, serta semakin
meningkatnya rasa takut dan cemas.
6. Tahap Keenam
Tahap ini merupakan tahap puncak, biasanya ditandai dengan rasa panik dan takut mati yang
menyebabkan jantung berdetak semakin cepat, kesulitan untuk bernafas, tubuh gemetar dan
berkeringat, dan adanya kemungkinan terjadi kolaps atau pingsan.
2.1.8 Reaksi Tubuh Terhadap Stress
Stress yang dialami seseorang dapat menimbulkan reaksi yang ada pada tubuh baik
secara fisiologis maupun psikologis. Di antara reaksi tubuh tersebut seperti terjadi perubahan
warna rambut yang semula hitam lambat laun dapat mengalami perubahan warna menjadi

kecoklatan dan kusam, perubahan ketajaman mata seringkali menurun karena kekenduran
pada otot otot mata sehingga mempengaruhi fokus lensa mata, pada telinga terjadi
gangguan seperti adanya suara berdenging, pada daya pikir seringkali ditemukan adanya
penurunan konsentrasi dan keluhan sering sakit kepala dan pusing, ekspresi wajah tampak
tegang, mulut dan bibir terasa kering, kulit reaksi yang dapat dijumpai sering berkeringat dan
kadang kadang panas, dingin juga akan dapat menjadi kering atau gejala lainnya seeperti
urtikaria, pada sistem pernafasan dapat dijumpai gangguan seperti terjadi sesak karena
penyempitan pada saluran pernafasan, sedangkan pada sistem kardiovaskular terjadi
gangguan seperti berdebar debar, pembuluh darah melebar atau menyempit kadang
kadang terjadi kepucatan atau kemerahan pada muka dan terasa kedinginan dan kesemutan
pada daerah pembuluh darah perifer seperti pada jari tangan atau kaki, sistem pencernaan
juga dapat mengalami gangguan seperti lambung terasa kembung, mual, pedih, karena
peningkatan asam lambung, pada sistem perkemihan terjadi gangguan seperti adanya
frekuensi buang air kecil yang sering, pada otot dan tulang terjadi ketegangan dan terasa
ditusuk tusuk, khususnya pada persendian dan terasa kaku. Pada sistem endokrin atau
hormonal seringkali dijumpai adanya peningkatan kadar gula dan terjadi penurunan libido
dan penurunan kegairahan pada seksual (Hidayat, 2008).
2.1.9 Cara Menilai Stress
Terdapat beberapa cara untuk menilai stress, antara lain dengan InstrumenDepression Anxiety
Stress Scale (DASS 42).

Tabel 2.2 Depression Anxiety Stress Scale (DASS)


No

Aspek Penilaian

1.
2.
3.

Menjadi marah karena hal hal kecil / sepele


Mulut terasa kering
Tidak dapat melihat hal yang positif dari suatu kejadian
Merasakan gangguan dalam bernafas (nafas cepat, sulit
bernafas)
Merasa sepertinya tidak kuat lagi untuk melakukan suatu

4.
5.

Skor
1 2

6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.

kegiatan
Cenderung bereaksi berlebihan pada situasi
Kelemahan pada anggota tubuh
Kesulitan untuk relaksasi / bersantai
Cemas yang berlebihan dalam suatu situasi namun bisa lega jika
hal / situasi itu berakhir
Pesimis
Mudah merasa kesal
Merasa banyak menghabiskan energi karena cemas
Merasa sedih dan depresi
Tidak sabaran
Kelelahan
Kehilangan minat pada banyak hal (misalnya makan, ambulasi,
sosialisasi)
Merasa diri tidak layak
Mudah tersinggung
Berkeringat (misal: tangan berkeringat) tanpa stimulasi oleh
cuaca maupun latihan fisik
Ketakutan tanpa alasan yang jelas
Merasa hidup tidak bahagia
Sulit untuk beristirahat
Kesulitan dalam menelan
Tidak dapat menikmati hal-hal yang saya lakukan
Perubahan kegiatan jantung dan denyut nadi tanpa stimulasi
oleh latihan fisik
Merasa hilang harapan dan putus asa
Mudah marah
Mudah panic
Kesulitan untuk tenang setelah sesuatu yang mengganggu
Takut diri terhambat oleh tugas-tugas yang tidak biasa
dilakukan
Sulit untuk antusias pada banyak hal
Sulit mentoleransi gangguan-gangguan terhadap hal yang
sedang dilakukan
Berada pada keadaaan tegang
Merasa tidak berharga
Tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi anda
untuk menyelesaikan hal yang sedang anda lakukan
Ketakutan

37.
38.
39.

Tidak ada harapan untuk masa depan


Merasa hidup tidak berarti
Mudah gelisah
Khawatir dengan situasi saat diri anda mungkin menjadi panik
dan mempermalukan diri sendiri
Gemetar
Sulit untuk meningkatkan inisiatif dalam melakukan sesuatu
Sumber (Nursalam, 2011)

40.
41.
42.

Keterangan :
0 : Tak ada atau tidak pernah
1 : Sesuai dengan yang dialami sampai tingkat tertentu / kadang- kadang
2 : Sering
3 : Sangat sesuai dengan yang dialami, atau hampir setiap saat
Skor penilaian berdasarkan DASS :
Normal

: 0 - 29

Ringan

: 30 - 59

Sedang

: 60 - 89

Berat

: 90 119

Sangat berat

: 120

2.1.10 Adaptasi Terhadap Stress


Ketika mengalami stress, orang menggunakan energi fisiologis, psikologis, sosial
budaya dan spiritual untuk beradaptasi. Jumlah energi yang dibutuhkan dan efektivitas upaya
adaptasi tersebut bergantung pada intensitas, lingkup, dan jangka waktu stressor, serta jumlah
stressor lainnya (Hidayat, 2009).

1. Adaptasi Fisiologis
Adaptasi fisiologis terhadap stress adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keadaan relatif seimbang. Kemampuan adaptif ini adalah bentuk dinamik dari ekuilibrium
lingkungan internal tubuh. Lingkungan internal secara konstan berubah, dan mekanisme
adaptif tubuh secara kontinu berfungsi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan ini dan
untuk mempertahankan ekuilibrium atau homeostasis (Potter dan Perry, 2005).

1. LAS
Tubuh menghasilkan banyak respons setempat terhadap stress. Respons setempat ini
termasuk pembekuan darah, penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya dan
respons terhadap tekanan (Potter dan Perry, 2005). LAS merupakan proses adaptasi yang
bersifat lokal, misalnya ketika daerah tubuh atau kulit terkena infeksi, maka daerah sekitar
kulit tersebut akan menjadi kemerahan, bengkak, terasa nyeri, panas, kram dan lain lain.
Ciri ciri LAS adalah sebagai berikut :
1. Bersifat lokal, yaitu tidak melibatkan keseluruhan sistem tubuh.
2. Bersifat adaptif, yaitu diperlukan stressor untuk menstimulasinya.
3. Bersifat jangka pendek, yaitu tidak berlangsung selamanya.
4. Bersifat restorative, yaitu memperbaiki homeostasis daerah atau bagian tubuh.
2. GAS
GAS adalah respons fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stress (Potter dan Perry,
2005). GAS adalah proses adaptasi yang bersifat umum atau sistemik. Misalnya, apabila
reaksi lokal tidak dapat diatasi, maka timbul gangguan sistem atau seluruh tubuh lainnya
berupa panas diseluruh tubuh, berkeringat dan lain lain (Hidayat, 2009). GAS terdiri atas
tiga tahap, yaitu :
1. Tahap Reaksi Alarm
Merupakan tahap awal dari proses adaptasi, yaitu tahap dimana individu siap
menghadapi stressor yang akan masuk ke dalam tubuh. Tahap ini dapat diawali dengan
kesiagaan yang ditandai dengan perubahan fisiologis pengeluaran hormon oleh hipotalamus,
yang dapat menyebabkan kelenjar adrenal mengeluarkan adrenalin, yang selanjutnya memacu
denyut jantung dan menyebabkan pernapasan menjadi cepat dan dangkal. Kemudian,
hipotalamus melepaskan hormon ACTH (hormone adrenokortikotropik) yang dapat
merangsang adrenal untuk mengeluarkan kortikoid yang akan mempengaruhi berbagai fungsi
tubuh. Aktivitas hormonal yang ekstensif tersebut mempersiapkan seseorang untuk flight of
flight.
2. Tahap Resistensi

Pada tahap ini tubuh sudah mulai stabil, tingkat hormon, tekanan darah, dan output
jantung kembali ke normal. Individu berupaya beradaptasi dengan stressor. Jika stress dapat
diselesaikan, tubuh akan memperbaiki kerusakan yang mungkin telah terjadi. Namun jika
stressor tidak hilang, maka ia akan memasuki tahap ketiga.
3. Tahap Kelelahan
Stresor
Tahap ini ditandai dengan terjadinya kelelahan karena tubuh tidak mampu lagi
menanggung stress dan habisnya energi yang diperlukan untuk beradaptasi. Tubuh tidak
mampu melindungi dirinya sendiri menghadapi stressor, regulasi fisiologis menurun, dan jika
stress terus berlanjut, dapat menyebabkan kematian.
Tahap reaksi alarm
Tahap kelelahan
Tahap resistensi

Istirahat

Kematian

Gambar 2.1 Proses Adaptasi Fisiologis (Sumber : Hidayat, 2009)


2. Adaptasi Psikologis
Adaptasi ini merupakan proses penyesuaian secara psikologis dengan cara melakukan
mekanisme pertahanan diri yang bertujuan melindungi atau bertahan dari serangan atau hal
yang tidak menyenangkan. Adaptasi psikologis bisa bersifat konstruktif atau desdruktif.
Perilaku yang konstruktif membantu individu menerima tantangan untuk memecahkan
konflik. Bahkan rasa cemas pun bisa menjadi konstruktif, jika dapat memberikan sinyal
adanya suatu ancaman sehingga individu dapat mengambil langkah langkah untuk
mengurangi dampaknya. Perilaku destruktif tidak membantu individu mengatasi stressor.

Bagi sebagian orang, penggunaan alkohol dan obat obatan mungkin tampak seperti perilaku
adaptif, namun kenyataannya, justru menambah dan bukannya mengurangi stress.
Perilaku adaptasi psikologis juga mengacu pada mekanisme koping (coping
mechanisme), yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan mekanisme pertahanan diri
(ego oriented).
1. Reaksi Yang Berorientasi Pada Tugas
Reaksi ini melibatkan penggunaan kemampuan kognitif untuk mengurangi stress dan
memecahkan masalah.
Terdapat tiga jenis perilaku yang umum :
1. Menyerang, yaitu bertindak menghilangkan, mengatasi stressor, atau memenuhi kebutuhan,
misalnya berkonsultasi dengan orang yang ahli.
2. Menarik diri dari stressor secara fisik maupun emosi.
3. Berkompromi, yaitu mengubah metode yang biasa digunakan, mengganti tujuan dan
sebagainya.
2. Reaksi Yang Berorientasi Pada Ego
Reaksi ini dikenal sebagai mekanisme pertahanan diri secara psikologis untuk mencegah
gangguan psikolgis yang lebih dalam. Mekanisme pertahanan diri tersebut adalah :
1. Rasionalisasi
Berusaha memberikan alasan yang rasional sehingga masalah yang dihadapinya dapat
teratasi.
2. Pengalihan
Upaya untuk mengatasi masalah psikologis dengan melakukan pengalihan tingkah laku pada
objek lain, contohnya, jika seseorang terganggu akibat situasi gaduh yang disebabkan oleh
temannya, maka ia berupaya menyalahkan temannya tersebut.
3. Kompensasi
Mengatasi masalah dengan mencari kepuasan pada keadaan lain. Misalnya, seseorang
memiliki masalah karena menurunnya daya ingat, maka di sisi lain ia berusaha menonjolkan
bakat melukis yang dimilikinya.
4. Identifikasi

Meniru perilaku orang lain dan berusaha mengikuti sifat, karakteristik, dan tindakan orang
tersebut.
5. Represi
Mencoba menghilangkan pikiran masa lalu yang buruk dengan melupakan atau menahannya
di alam bawah sadar dan sengaja melupakannya.
6. Supresi
Berusaha menekan masalah yang secara sadar tidak diterima dan tidak memikirkan hal hal
yang kurang menyenangkan.
7. Penyangkalan
Upaya pertahanan diri dengan cara menyangkal masalah yang dihadapi atau tidak mau
menerima kenyataan yang dihadapinya. Misalnya, menolak kenyataan bahwa pasangan sudah
meninggal dunia dengan cara tetap melakukan rutinitas seolah olah pasangan masih ada.
3. Adaptasi Sosial Budaya
Merupakan cara untuk mengadakan perubahan dengan melakukan proses penyesuaian
perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat, misalnya seseorang yang
tinggal dalam lingkungan masyarakat dengan budaya gotong royong akan berupaya
beradaptasi dengan lingkungannya tersebut.
4. Adaptasi Spiritual
Proses penyesuaian diri dengan melakukan perubahan perilaku yang didasarkan pada
keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki sesuai dengan agama yang dianutnya. Misalnya,
apabila mengalami stress, seseorang akan giat melakukan ibadah, seperti rajin sembahyang,
berpuasa dan sebagainya.
2.1.11 Peran Perawat Dalam Mengatasi Stress
Untuk menghadapi seseorang yang mengalami masalah stress, maka beberapa hal yang dapat
dilakukan oleh perawat adalah (Hidayat, 2009) :
1. Perawat harus mampu memfasilitasi orang yang sedang mengalami stress.
2. Perawat harus melakukan tindakan keperawatan yang sesuai dengan prinsip prinsip
manajemen stress.

3. Perawat dapat menggunakan strategi pemecahan masalah yang bertujuan mengurangi stress
secara efektif untuk jangka panjang serta dapat meningkatkan keyakinan diri dan kemampuan
dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang akan datang.
2.2 Konsep Dasar Gula Darah
2.2.1 Pengertian Gula darah
Gula Darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat glukosa di dalamdarah.
Konsentrasi gula darah, atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat di dalam tubuh.
Glukosa yang dialirkan melalui darah adalah sumber utama energi untuk sel-sel tubuh.
Glukosa, suatu gula monosakarida, adalah salah satu karbohidrat terpenting yang
digunakan sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh. Glukosa merupakan prekursor untuk
sintesis semua karbohidrat lain di dalam tubuh seperti glikogen, ribose dan deoxiribose dalam
asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu, dalam glikolipid, dan dalam glikoprotein dan
proteoglikan.
Umumnya tingkat gula darah bertahan pada batas-batas yang sempit sepanjang hari :
4-8 mmol/l (70-150 mg/dl). Tingkat ini meningkat setelah makan dan biasanya berada pada
level terendah pada pagi hari, sebelum orang makan.
Meskipun disebut "gula darah", selain glukosa, kita juga menemukan jenis-jenis gula
lainnya, seperti fruktosa dan galaktosa. Namun, hanya tingkatan glukosa yang diatur melalui
insulin dan leptin.
Ada beberapa tipe pemeriksaan glukosa darah. Pemeriksaan gula darah puasa
mengukur kadar glukosa darah selepas tidak makan setidaknya 8 jam. Pemeriksaan gula
darah postprandial 2 jam mengukur kadar glukosa darah tepat selepas 2 jam makan.
Pemeriksaan gula darah ad random mengukur kadar glukosa darah tanpa mengambil kira
waktu makan terakhir (Henrikson J. E. et al., 2009).
Tabel 2.3 Kadar glukosa sewaktu
Pemeriksaan

Rendah

Sedang

Tinggi

Kadar gula darah

Plasma vena

< 110

110 - 200

> 200

Sewaktu (mg/dl)

Darah kapiler

< 90

90 - 200

> 200

Sumber (Aru W Sudoyo, 2006)


2.2.2 Pengaruh Langsung Dari Masalah Gula Darah
Bila level gula darah menurun terlalu rendah, berkembanglah kondisi yang bisa fatal
yang disebut hipoglikemia. Gejala-gejalanya adalah perasaan lelah, fungsi mental yang
menurun, rasa mudah tersinggung, dan kehilangan kesadaran.
Bila levelnya tetap tinggi, yang disebut hiperglikemia, nafsu makan akan tertekan
untuk waktu yang singkat. Hiperglikemia dalam jangka panjang dapat menyebabkan
masalah-masalah kesehatan yang berkepanjangan pula yang berkaitan dengan diabetes,
termasuk kerusakan pada mata, ginjal, dan saraf. Peningkatan rasio gula darah disebabkan
karena terjadi percepatan laju metabolisme glikogenolisis dan glukoneogenesis yang terjadi
pada hati.
2.2.3 Mekanisme Pengaturan Gula Darah
Tingkat gula darah diatur melalui umpan balik negatif untuk mempertahankan
keseimbangan di dalam tubuh. Level glukosa di dalam darah dimonitor oleh pankreas. Bila
konsentrasi glukosa menurun, karena dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh,
pankreas melepaskan glukagon, hormon yang menargetkan sel-sel di lever (hati). Kemudian
sel-sel ini mengubah glikogen menjadi glukosa (proses ini disebut glikogenolisis). Glukosa
dilepaskan ke dalam aliran darah, hingga meningkatkan level gula darah.
Apabila level gula darah meningkat, baik karena perubahan glikogen, atau karena
pencernaan makanan, hormon yang lain dilepaskan dari butir-butir sel yang terdapat di dalam
pankreas. Hormon ini, yang disebut insulin, menyebabkan hati mengubah lebih banyak
glukosa menjadi glikogen. Proses ini disebut glikogenosis), yang mengurangi level gula
darah.
2.3 Konsep Dasar Diabetes Mellitus
2.3.1 Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks yang melibatkan
kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan berkembangnya komplikasi
makrovaskuler dan neurologis.
Dalam sumber buku lain diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan yang ditandai
oleh peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia mungkin terdapat penurunan dalam
kemampuan untuk berespon terhadap insulin dan atau penurunan atau tidak terdapatnya
pembentukan insulin oleh pankreas.
Diabetes mellitus juga didefinisikan sebagai keadaan hiperglikemia kronik yang
ditandai oleh ketiadaan absolute insulin atau intensitivitas sel terhadap insulin disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran
basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008).
2.3.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi diabetes mellitus dan penggolongan intoleransi glukosa antara lain (Riyadi,
Sujono, Sukarmin : 2008) :
1. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Yaitu defisiensi insulin karena kerusakan sel sel langerhans yang berhubungan
dengan tipe HLA (Human Leucocyte Antigen) spesifik, predisposisi pada insulitis fenomena
autoimun (cenderung ketosis dan terjadi pada semua usia muda). Kelainan ini terjadi karena
kerusakan sistem imunitas (kekebalan tubuh) yang kemudian merusak sel sel pulau
langerhans di pankreas. Kelainan ini berdampak pada penurunan produksi insulin.
2. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Yaitu diabetes resisten lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi pada semua umur.
Kebanyakan penderita kelebihan berat badan, ada kecenderungan familiar, mungkin perlu
insulin pada saat hiperglikemik selama stress.
3. Diabetes Mellitus Tipe Lain
Adalah DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu hiperglikemik
terjadi karena penyakit lain ; penyakit pankreas, hormonal, obat atau bahan kimia,
endokrinopati, kelainan reseptor insulin, sindroma genetic tertentu.

Penyakit pankreas seperti pankreatitis akan berdampak pada kerusakan anatomis dan
fungsional organ pankreas akibat aktivitas toksik baik karena bakteri maupun kimia.
Kerusakan ini berdampak pada penurunan insulin.
Penyakit hormonal seperti kelebihan hormon glukokortikoid (dari korteks adrenal)
akan berdampak pada peningkatan glukosa dalam darah. Peningkatan glukosa darah ini akan
meningkatkan beban kerja dari insulin untuk memfasilitasi glukosa masuk dalam sel.
Peningkatan beban kerja ini akan berakibat pada penurunan produk insulin.
Pemberian zat kimia/obat obatan seperti hidrokortison akan berdampak pada
peningkatan glukosa dalam darah karena dampaknya seperti glukokortikoid.
Endokrinopati (kematian produksi hormon) seperti kelenjar hipofisis akan berdampak
sistemik bagi tubuh. Karena semua produk hormone akan dialirkan ke seluruh tubuh melalui
aliran darah. Kelainan ini berdampak pada penurunan metabolisme baik karbohidrat, protein
maupun lemak yang dalam perjalanannya akan mempengaruhi produksi insulin.
4. Impared Glukosa Tolerance (Gangguan Toleransi Glukosa)
Kadar glukosa antara normal dan diabetes dapat menjadi diabetes atau menjadi
normal atau tetap tidak berubah.
5. Gastrointestinal Diabetes Mellitus (GDM)
Intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan.
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang
menunjang pemanasan makanan bagi janin serta persiapan menyusui. Menjelang aterm,
kebutuhan insulin meningkat sehingga mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal. Bila
seorang ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin maka
mengabaikan hiperglikemi. Resistensi insulin juga disebabkan oleh adanya hormon estrogen,
progesteron, prolaktin dan plasenta laktogen. Hormone tersebut mempengaruhi reseptor
insulin pada sel sehingga mengurangi aktivitas insulin.
2.3.3 Etiologi
Diabetes mellitus disebabkan oleh penurunan produksi insulin oleh sel sel beta
pulau langerhans jenis juvenilis (usia muda) disebabkan oleh predisposisi herediter terhadap
perkembangan anti bodi yang merusak sel sel beta atau degenerasi sel sel beta. Diabetes

jenis awitan maturitas disebabkan oleh degenerasi sel sel beta akibat penuaan dan akibat
kegemukan/obesitas. Tipe ini jelas disebabkan oleh degenerasi sel sel beta sebagai akibat
penuaan yang cepat pada orang yang rentan dan obesitas mempredisposisi terhadap jenis
obesitas ini karena diperlukan insulin dalam jumlah besar untuk pengolahan metabolisme
pada orang kegemukan dibandingkan yang normal (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008).
Penyebab resistensi insulin pada diabetes sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor
yang banyak berperan antara lain (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008) :
1. Kelainan Genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes. Ini terjadi
karena DNA pada orang diabetes mellitus akan ikut di informasikan pada gen berikutnya
terkait dengan penurunan produksi insulin.
2. Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun
dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan
fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin.
3. Gaya Hidup Stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji yang
kaya pengawet, lemak dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja pankreas.
Stress juga akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber
energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas
mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin.
4. Pola Makan Yang Salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama sama meningkatkan resiko terkena
diabetes. Malnutrisi dapat merusak pankreas, sedangkan obesitas meningkatkan gangguan
kerja atau resistensi insulin. Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga akan
berperanan pada ketidakstabilan kerja pankreas.
5. Obesitas mengakibatkan sel sel beta pankreas mengalami hipertrofi yang akan berpengaruh
terhadap penurunan produksi insulin. Hipertrofi pankreas disebabkan karena peningkatan

beban metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu
banyak.
6. Infeksi
Masuknya bakteri atau virus ke dalam pankreas akan berakibat rusaknya sel sel
pancreas. Kerusakan ini berakibat pada penurunan fungsi pankreas.
2.3.4 Patofisiologi
Sebagian besar patologi diabetes mellitus dapat dihubungkan dengan efek utama
kekurangan insulin yaitu (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008) :
1. Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel sel tubuh, yang mengalami peningkatan
konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300 sampai 1200 mg per 100 ml.
2. Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga menyebabkan
kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler.
3. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.

Keadaan patologi tersebut akan berdampak (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008) :


1. Hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi pada rentang
non puasa sekitar 140 160 mg/100 ml darah.
Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi glukosa dalam tubuh
akan di fasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa itu kemudian diolah
untuk menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan
disimpan sebagai glukogen dalam sel sel hati dan sel sel otot (sebagai massa sel sel
otot). Proses glikogenesis (pembentukan glikogen dan unsur glukosa ini dapat mencegah
hiperglikemia). Pada penderita diabetes mellitus proses ini tidak dapat berlangsung dengan
baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia) (Riyadi, Sujono,
Sukarmin : 2008).
Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar pada
perubahan metabolik sebagai berikut (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008) :

1. Transport glukosa yang melintasi membran sel sel berkurang.


2. Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan tetap terdapat kelebihan
glukosa dalam darah.
3. Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan glikogen berkurang, dan
glukosa hati dicurahkan ke dalam darah secara terus menerus melebihi kebutuhan.
4. Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur non karbohidrat) meningkat dan lebih
banyak lagi glukosa hati yang tercurah ke dalam darah hasil pemecahan asam amino dan
lemak.
Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme dengan
cepat seperti jamur dan bakteri. Karena mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah
yang kaya glukosa. Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme peningkatan
darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat
peningkatan penderita diabetes mellitus mudah mengalami infeksi oleh bakteri dan jamur.
2. Hiperosmolaritas
Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada plasma sel karena
adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan osmosis merupakan tekanan yang
dihasilkan karena adanya peningkatan konsentrasi larutan pada zat cair.
Pada penderita diabetes mellitus terjadinya hiperosmolaritas karena peningkatan
konsentrasi glukosa dalam darah (yang notabene komposisi terbanyaknya adalah zat cair).
Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal
untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/menit). Kelebihan
ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urine (glukosuria). Ekskresi
molekul glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan kehilangan sejumlah besar air
(dieresis asmotik) dan berakibat peningkatan volume air (poliuria). Proses seperti ini
mengakibatkan dehidrasi dengan ekstra selular dan juga di ruangan intraseluler.
Glikosuria dapat mencapai 5 10 % dan osmolaritas serum lebih dan 370 380
mosmols/dl dalam keadaan tidak terdapatnya keton darah. Kondisi ini dapat berakibat koma
hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (K.HHN).
3. Starvasi Selluler

Starvasi selluler merupakan kondisi kelaparan yang di alami oleh sel karena glukosa
sulit masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali glukosa. Kalau kita meminjam istilah
pribahasa kelaparan di tengah lumbung padi. Ada banyak bahan makanan tetapi tidak bisa
dibawa untuk di olah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi untuk
masuk sel yaitu insulin.
Dampak starvasi sellular akan terjadi proses kompensasi selluler untuk tetap
mempertahankan fungsi sel. Proses itu antara lain (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008) :
1. Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan jaringan peripheral
yang tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa,
sel sel otot memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar
menjadi glukosa dan energi mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton).
Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot dan rasa mudah lelah.
2. Sarvasasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein dan asam
amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati.
Hasil dari glukoneogenesis akan dijadikan untuk proses aktivitas sel tubuh. Protein dan asam
amino yang melalui proses glukogenesis akan dirubah menjadi CO 2 dan H2O serta glukosa.
Perubahan ini berdampak juga pada penurunan sintesis protein.
Proses glukogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan penipisan
simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur pemecahan protein) tidak
digunakan kembali untuk semua bagian tetapi di ubah menjadi urea dalam hepar dan
diekskresikan dalam urine. Ekskresi nitrogen yang banyak akan berakibat pada keseimbangan
negatif nitrogen.
Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan resistensi terhadap
infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak (sulit sembuh kalau ada cidera).
3. Starvasasi sel juga berdampak peningkatan mobiisasi dan metabolisme lemak (lipolisis) asam
lemak bebas, trigliserida dan gliserol yang meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat
bagi hati untuk proses ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas sel.
Ketogenesis mengakibatkan peningkatan kadar asam organik (keton), sementara keton
menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer PH darah menurun. Pernafasan kusmaul

dirangsang untuk mengkompensasi keadaan asidosis metabolik. Dieresis osmotik menjadi


bertambah buruk dengan adanya ketoanemis dan dari katabolisme protein yang meningkatkan
asupan protein ke ginjal sehingga tubuh banyak kehilangan protein.
Adanya starvasasi selluler akan meningkatkan mekanisme penyesuaian tubuh untuk
meningkatkan pemasukan dengan munculnya rasa ingin makan terus (polifagi). Starvasasi
selluler juga akan memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi penurunan
produksi energi. Dan kerusakan berbagai organ reproduksi yang salah satunya dapat timbul
impotensi dan organ tubuh yang lain seperti persarafan perifer dan mata (muncul rasa baal
dan mata kabur).
2.3.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada pasien diabetes mellitus yaitu (Riyadi,
Sujono, Sukarmin : 2008) :
1. Poliuria (peningkatan pengeluaran urine)
2. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urine yang sangat besar dan keluarnya air
yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel
karena air intasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradient konsentrasi ke
plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH
(antidiuretic hormone) dan menimbulkan rasa haus.
3. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes lama,
katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan
glukosa sebagai energi.
4. Polifagia (peningkatan rasa lapar)
5. Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan pembentukan antibody,
peningkatan konsentrasi glukosa di ekskresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan
aliran darah pada penderita diabetes kronik.
6. Kelainan Kulit : gatal, bisul bisul
Kelainan kulit berupa gatal gatal, biasanya terjadi pada daerah ginjal. Lipatan kulit seperti
di ketiak dan dibawah payudara biasanya akibat tumbuhnya jamur.
7. Kelainan Ginekologis

Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama kandida.


8. Kesemutan Rasa Baal Akibat Terjadinya Neuropati
Pada penderita diabetes mellitus regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat
kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibatnya benak sel
persarafan terutama perifer mengalami kerusakan.
9. Kelemahan Tubuh
Kelemahan tubuh terjadi akibat penurunan produksi energi metabolik yang dilakukan oleh sel
melalui proses glikolisis tidak dapat berlangsung secara optimal.
10. Luka Atau Bisul Yang Tidak Sembuh Sembuh
Proses penyembuhan luka membutuhkan bahan dasar utama dari protein dan unsure makanan
yang lain. Pada penderita diabetes mellitus bahan protein banyak diformulasikan untuk
kebutuhan energi sel sehingga bahan yang dipergunakan untuk penggantian jaringan yang
rusak mengalami gangguan. Selain itu luka yang sulit sembuh juga dapat diakibatkan oleh
pertumbuhan mikroorganisme yang cepat pada penderita diabetes mellitus.
11. Pada Laki Laki Terkadang Mengeluh Impotensi
Ejakulasi dan dorongan seksualitas laki laki banyak dipengaruhi oleh peningkatan hormon
testosteron. Pada kondisi optimal (periodik hari ke 3) maka secara otomatis akan
meningkatkan dorongan seksual. Penderita diabetes mellitus mengalami penurunan produksi
hormon seksual akibat kerusakan testosteron dan sistem yang berperanan.
12. Mata kabur yang disebabkan katarak atau gangguan refraksi akibat perubahan pada lensa
oleh hiperglikemia. Mungkin juga disebabkan kelainan pada korpus vitreum.

2.3.6 Data Penunjang


1. Pemeriksaan gula darah pada pasien diabetes mellitus antara lain (Riyadi, Sujono, Sukarmin :
2008) :
1. Gula Darah Puasa (GDO) 70 110 mg/dl
Kriteria diagnostic untuk DM > 140 mg/dl paling sedikit dalam dua kali pemeriksaan atau
>140 mg/dl disertai gejala klasik hiperglikemia, atau IGT 115 140 mg/dl.

2. Gula Darah 2 Jam Post Prondial <140 mg/dl


Digunakan untuk skrining atau evaluasi pengobatan bukan didiagnostik.
3. Gula Darah Sewaktu <140 mg/dl
Digunakan untuk skrining bukan diagnostik.
4. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
GD <115 mg/dl, jam, 1 jam, 1 jam <200 mg/dl, 2 jam <140 mg/dl. TTGO dilakukan
hanya pada pasien yang telah bebas dan diet dan beraktivitas fisik 3 hari sebelum tes tidak
dianjurkan pada (1) Hiperglikemi yang sedang puasa, (2) Orang yang mendapat thiazid,
dilantin, propanolol, lasik, thiroid, estrogen, pil KB, steroid. (3) Pasien yang dirawat atau
sakit akut atau pasien inaktif.
5. Tes Toleransi Glukosa Intravena (TTGI)
Dilakukan jika TTGO merupakan kontraindikasi atau terdapat kelainan gastrointestinal yang
mempengaruhi absorbsi glukosa.

6. Tes Toleransi Kortison Glukosa


Digunakan jika TTGO tidak bermakna, kortison menyebabkan peningkatan kadar gula darah
abnormal dan menurunkan penggunaan gula darah perifer pada orang yang berpredisposisi
menjadi DM kadar glukosa darah 140 mg/dl pada akhir 2 jam dianggap sebagai hasil positif.
7. Glikosatet Hemoglobin
Berguna dalam memantau kadar glukosa darah rata rata selama lebih dari 3 bulan.
8. C Pepticle 1 2 mg/dl (Puasa) 5 6 kali meningkat setelah pemberian glukosa.
Untuk mengukur proinsulin (produksi samping yang tak aktif secara biologis) dari
pembentukan insulin dapat membantu mengetahui sekresi insulin.
9. Insulin Serum Puasa : 2 20 mu/ml post glukosa sampai 120 mu/ml, tidak digunakan secara
luas dalam klinik, dapat digunakan dalam diagnose banding hipoglikemia atau dalam peneliti
diabetes.
2.3.7 Komplikasi
1. Komplikasi Yang Bersifat Akut (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008)
1. Koma Hipoglikemia

Koma hipoglikemia terjadi karena pemakaian obat obat diabetik yang melebihi dosis yang
dianjurkan sehingga terjadi penurunan glukosa dalam darah. Glukosa yang ada sebagian
difasilitasi untuk masuk ke dalam sel.
2. Ketoasidosis
Minimnya glukosa di dalam sel akan mengakibatkan sel mencari sumber alternatif untuk
dapat memperoleh energi sel. Kalau tidak ada glukosa maka benda benda keton akan
dipakai sel. Kondisi ini akan mengakibatkan penumpukan residu pembongkaran benda benda keton yang berlebihan yang dapat mengakibatkan asidosis.
3. Koma Hiperosmolar Nonketotik
Koma ini terjadi karena penurunan komposisi cairan intrasel dan ekstrasel karena banyak
diekskresi lewat urin.
2. Komplikasi Yang Bersifat Kronik (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008)
1. Makroangiopati yang mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh
darah tepi, pembuluh darah otak. Perubahan pada pembuluh darah besar dapat mengalami
atherosklerosis sering terjadi pada DMTTI/NIDDM. Kompikasi makrongiopati adalah
penyakit vaskuler otak, penyakit arteri koronaria dan penyakit vaskuler perifer.
2. Mikroangiopati yang mengenai pembuluh darah kecil, retinopati diabetika, nefropati
diabetik. Perubahan perubahan mikrovaskuler yang ditandai dengan penebalan dan
kerusakan membran di antara jaringan dan pembuluh darah sekitar. Terjadi pada penderita
DMTI/IDDM yang terjadi neuropati, nefropati, dan retinopati.
Nefropati terjadi karena perubahan mikrovaskuler pada struktur dan fungsi ginjal
yang menyebabkan komplikasi pada pelvis ginjal. Tubulus dan glomerulus penyakit ginjal
dapat berkembang dari proteinuria ringan ke ginjal (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008).
Retinopati adanya perubahan dalam retina karena penurunan protein dalam retina.
Perubahan ini dapat berakibat gangguan dalam penglihatan.
Retinopati mempunyai dua tipe yaitu (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008) :
1. Retinopati back graund dimulai dari mikroneuronisma di dalam pembuluh retina
menyebabkan pembentukan eksudat keras.

2. Retinopati proliferatif yang merupakan perkembangan lanjut dari retinopati back graund,
terdapat pembentukan pembuluh darah baru pada retina akan berakibat pembuluh darah
menciut dan menyebabkan tarikan pada retina dan perdarahan di dalam rongga vitreum. Juga
mengalami pembentukan katarak yang disebabkan oleh hiperglikemia yang berkepanjangan
menyebabkan pembengkakan lensa dan kerusakan lensa.

3. Neuropati Diabetika
Akumulasi orbital di dalam jaringan dan perubahan metabolik mengakibatkan fungsi sensorik
dan motorik saraf menurun kehilangan sensori mengakibatkan penurunan persepsi nyeri.
4. Rentan infeksi seperti tuberkulosis paru, gingivitis, dan infeksi saluran kemih.
5. Kaki Diabetik
Perubahan mikroangiopati, mikroangiopati dan neuropati menyebabkan perubahan pada
ekstremitas bawah. Komplikasinya dapat terjadi gangguan sirkulasi, terjadi infeksi, gangren,
penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf sensorik dapat menunjang terjadi trauma atau
tidak terkontrolnya infeksi yang mengakibatkan gangren.

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konseptual

Pasien Diabetes Melitus

Kerangka konsep akan membantu peneliti menghubungkan hasil penemuan dengan


teori, untuk memudahkan suatu konsep dari satu istilah dapat dicermati pada batasan
istilahnya (Nursalam, 2008).

Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
: mempengaruhi
Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual Hubungan Tingkat Stress dengan Nilai Gula Darah Acak
pada pasien Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang

3.2 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian.
Menurut Wood dan Haber (1994) hipotesis adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan
antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam
penelitian. Setiap hipotesis terdiri dari suatu unit atau bagian dari permasalahan (Nursalam,
2008). Berdasarkan rumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian adalah :
H1 : Ada hubungan antara tingkat stress dengan nilai gula darah acak pada pasien Diabetes
Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang.

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedekimian rupa
sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Desain
penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dapat dipilih untuk mencapai
tujuan penelitian, serta berperan sebagai alat dan pedoman untuk mencapai tujuan tersebut.
Desain penelitian membantu peneliti untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian
dengan sahih, objektif, akurat serta hemat.
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional.
Rancangan penelitian ini adalah cross sectional, variabel sebab atau resiko dan akibat atau
kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur dan dikumpulkan secara simultan, sesaat atau
satu kali saja dalam satu kali waktu (dalam waktu yang bersamaan), dan tidak ada follow
up (Setiadi, 2007).

4.2 Kerangka Kerja (Frame Work)


Sampling
Non Probability Sampling : Consecutive Sampling
Sampel
Sebagian pasien DM yang memenuhi kriteria yang dirawat di ruang dahlia 2 RSUD Jombang
pada tanggal 2 30 Mei 2015
Pengumpulan Data
Populasi
Seluruh pasien DM yang dirawat ruang dahlia 2 RSUD Jombang
Desain
Analitik cros sectional

Variabel Dependen
Gula Darah Acak pasien DM
Variabel Independen
Tingkat Stress
Pengolahan Data
Editing, coding, scoring, transferring, tabulating
Analisa Data
Uji statistik dengan Spearman Rank
Kesimpulan :

< : H1 diterima atau > : H1 ditolak


Penyajian Hasil
Instrumen
Kuesioner Penilaian DASS
Instrumen
Glukometer
Kriteria :
Normal : 0 - 29
Ringan : 30 - 59
Sedang : 60 89
Berat : 90 119
Sangat berat : 120
Kriteria :
Rendah < 90 mg/dl
Sedang 90200 mg/dl
Tinggi > 200 mg/dl

Gambar 4.1

Kerangka Kerja Hubungan Tingkat Stress dengan Nilai Gula Darah Acak pada pasien
Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang

4.3 Populasi, Sampel dan Sampling


4.3.1 Populasi
Populasi adalah sejumlah kasus yang memenuhi seperangkat kriteria yang ditentukan
peneliti (Setiadi, 2007). Populasi adalah subjek (misalnya manusia ; klien) yang memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
pasien DM yang dirawat di ruang dahlia 2 RSUD Jombang.
4.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili
seluruh populasi (Setiadi, 2007). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat
dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2011).
1. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Bersedia menjadi responden
2) Secara fisik sadar dan dapat berkomunikasi
3) Menderita penyakit Diabetes Mellitus atau dengan komplikasi.
2. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Mengundurkan diri selama penelitian berlangsung
2) Tidak mengikuti peraturan penelitian (minum obat DM selama penelitian berlangsung)
4.3.3 Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili
populasi, sedangkan tekhnik sampling merupakan cara cara yang ditempuh dalam

pengambilan sampel agar memperoleh sampel yang benar benar sesuai dengan keseluruhan
subyek penelitian (Nursalam, 2011). Tekniksampling yang digunakan dalam penelitian ini
adalah non probability samplingmerupakan tekhnik pengambilan sampel yang tidak
didasarkan atas kemungkinan yang dapat diperhitungkan, tetapi semata mata hanya
berdasarkan

kepada

segi

segi

kepraktisan

belaka.

Jenis

tekhnik

sampel

menggunakan consecutive sampling, yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang
memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah responden dapat
terpenuhi (Nursalam, 2011).
4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
4.4.1 Variabel Penelitian
Variabel adalah karakteristik yang diamati yang mempunyai variasi nilai dan
merupakan operasionalisasi dari suatu konsep agar dapat diteliti secara empiris atau
ditentukan tingkatannya (Setiadi, 2007). Variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri
yang dimiliki oleh anggota anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki
oleh kelompok lain (Notoatmodjo, 2010).
1.

Variabel bebas (Independent Variable) yaitu variabel yang dimanipulasi oleh peneliti untuk
menciptakan suatu dampak pada variabel terikat(Setiadi, 2007). Variabel bebas pada
penelitian ini adalah tingkat stress.

2.

Variabel tergantung (Dependent Variable) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
bebas (Setiadi, 2007). Variabel tergantung pada penelitian ini adalah nilai gula darah acak.

4.4.2 Definisi Operasional


Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari
sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2011). Definisi operasional merupakan
penjelasan semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara
operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna
penelitian (Setiadi, 2007).

Tabel 4.1 Definisi Operasional Hubungan Tingkat Stress dengan nilai gula darah acak pada pasien
diabetes mellitus di ruang dahlia 2 RSUD Jombang

No
1

Variabel

Definisi

Parameter

Variabel
Independen
Tingkat
Stress

Situasi dimana
tuntutan
yang
sifatnya
tidak
spesifik
dan
mengharuskan
seseorang
memberikan
respons
atau
mengambil
tindakan
Variabel
Istilah
yang
dependengula mengacu kepada
darah
acak tingkatglukosa di
pasien
dalam darah
diabetes
mellitus

Kriteria :
Normal : 0 - 29
Ringan : 30 - 59
Sedang : 60 89
Berat : 90 119
Sangat berat : 120

Nilai gula
sewaktu

Alat Ukur
Kuesioner
penilaian
DASS

darah Glukometer

Skala

Skor

O
R
D
I
N
A
L

Skor :
0 : tidak pernah
1 : kadang- kadang
2 : sering
3 : setiap saat

O
R
D
I
N
A
L

Kriteria :
Rendah < 90mg/dl
Sedang 90200mg/dl
Tinggi > 200mg/dl

4.5 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data
(Notoadmodjo, 2010). Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel independen
tingkat stress adalah pertanyaan tertutup atau closed ended menggunakan penilaian
DASS (Depression Anxiety Stress Scale) dengan jumlah pertanyaan adalah 42, sedangkan
untuk

mengukur

variabel

dependen

(GDApada pasien diabetes

mellitus)

peneliti

menggunakan glukometer, dan hasilnya dicantumkan pada lembar observasi.

4.6 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di ruang Dahlia 2 RSUD Jombang. Penelitian ini akan
dilaksanakan pada bulan Mei 2015.

4.7 Prosedur Pengumpulan Data


Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek

dan proses

pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2011).
Cara kerja dalam penelitian ini diawali dengan menentukan subjek penelitian yaitu pasien
DM yang diteliti, kemudian Institusi (Stikes Husada Jombang) memberikan surat pengantar
untuk meminta ijin ke pihak rumah sakit bagian diklat pokja keperawatan bidang penelitian,
dan setelah diijinkan bidang penelitian memberikan surat pengantar untuk membayar biaya
penelitian ke bagian administrasi, setelah itu bukti pembayaran diberikan kepada bagian
bidang penelitian dan kemudian diberikan surat pengantar untuk diserahkan ke kepala
ruangan atau penanggung jawab ruangan tersebut untuk diadakan penelitian. Setelah diberi
ijin melaksanakan penelitian maka peneliti mengumpulkan data pada responden,
kemudian membuat angket dan lembar observasi serta membuatinformed consent yang
menyatakan kesediaan para responden di ruangan tersebut untuk diteliti. Kemudian peneliti
memperbanyak angket dan lembar observasi kemudian membagikannya kepada para
responden secara acak yang memenuhi kriteria inklusi serta mengawasi secara langsung
pengisian angket tersebut agar validitas dapat terjaga. Setelah itu angket yang telah diisi
dikumpulkan kembali kepada peneliti dan data yang diperoleh diolah melalui tahap editing,
coding, danprocessing serta dianalisis menggunakan program SPSS 16.0 kemudian hasil
yang diperoleh ditampilkan dalam tabel.
4.8 Analisa Data dan Pengolahan Data
4.8.1 Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskriptifkan karakteristik
setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi
frekuensi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010). Analisis univariat dengan
melihat distribusi dari variabel yang dikotomi menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan:
: Persentase
f : Frekuensi

n : Jumlah sampel
2. Analisis Bivariat
Apabila telah dilakukan analisis univariat tersebut diatas, hasilnya akan diketahui
karakteristik

atau

distribusi

setiap

variabel,

dan

dapat

dilanjutkan

analisis bivariate (Notoamotmodjo, 2010). Penelitian inibertujuan untuk menguji signifikansi


korelasi antara variabel bebas(independent) hubungan tingkat stress terhadap variabel
terikat (dependent)nilai gula darah acak, hal ini berarti menguji signifikansi korelasi antara
satu variabel bebas bergejala dikontinum (data ordinal) dengan satu variabel tergantung
dikontinum (data ordinal) pula, maka model analisis statistik yang tepat untuk penelitian
parametrik ini adalah Analisis Sperman Rank,dengan bantuan SPSS 19.0. Pengambilan
keputusan sebagai berikut :
1. < :

H1 diterima yang berarti ada hubungan tingkat stress dengan nilai gula darah

acak pada pasien diabetes mellitus di ruang dahlia 2 RSUD Jombang.


2. > :

H1 ditolak yang berarti tidak ada hubungan tingkat stress dengan nilai gula

darah acak pada pasien diabetes mellitus di ruang dahlia 2 RSUD Jombang.
4.8.2 Pengolahan Data
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam pengolahan data, yaitu:
1. Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul data
(Setiadi, 2007).
2. Coding adalah mengklasifikasikan jawaban jawaban dari para responden ke dalam bentuk
kategori. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi tanda/kode berbentuk angka
pada masing masing jawaban (Setiadi, 2007).

Data Umum :
1. Umur :
< 20 tahun

=1

20 35 tahun

=2

> 35 tahun

=3

2. Jenis Kelamin :
Laki laki = 1
Perempuan = 2
3. Pendidikan :
Tidak Sekolah

=1

SD

=2

SMP

=3

SMA

=4

Perguruan Tinggi

=5

4. Pekerjaan :
IRT

=1

PETANI

=2

WIRASWASTA

=3

SWASTA

=4

PNS

=5

TNI/POLRI

=6

5. Penghasilan :
< Rp. 2.000.000

=1

Rp. 2.000.000 Rp. 3.000.000

=2

> Rp. 3.000.000

=3

6. Status Perkawinan :
Belum Kawin

=1

Kawin

=2

Janda/Duda

=3

Data Khusus :
1. Kriteria Tingkat Stress :
Normal 0 29
Ringan 30 59

=2

Sedang 60 89

=3

=1

Berat 90 119

=4

Sangat berat 120 = 5


2. Kriteria Kadar Glukosa Sewaktu :
Rendah < 90 mg/dl

=1

Sedang 90 200 mg/dl

=2

Tinggi > 200 mg/dl

=3

3. Scoring adalah kegiatan menyekor hasil jawaban responden. Scoringadalah kegiatan


menyekor hasil cheklist observasi yang dilakukan pada responden. Skor yang digunakan
sebagai berikut :
1. Skor Tingkat stress :
Tidak pernah

=0

Kadang- kadang

=1

Sering

=3

Setiap saat

=4

2. Kriteria Tingkat Stress :


Normal

= 0 29

Ringan

= 30 59

Sedang

= 60 89

Berat

= 90 119

Sangat berat

= 120

3. Kriteria Kadar Glukosa Sewaktu :


Rendah

= < 90 mg/dl

Sedang

= 90 200 mg/dl

Tinggi

= > 200 mg/dl

4. Transfering
Transfering adalah kegiatan memindahkan jawaban/kode jawaban ke dalam master
sheet (terlampir).
5. Tabulating

Tabulating adalah kegiatan menyusun dan meringkas data yang masuk dalam bentuk tabel,
diagram batang dan lingkaran.
4.9 Etika Penelitian
Penelitian yang menggunakan objek manusia tidak boleh bertentangan dengan etika
agar hak responden dapat terlindungi. Untuk itu perlu adanya ijin dari Pihak Rumah Sakit
bagian Diklat Pokja Keperawatan kepada Kepala Ruangan Dahlia 2 RSUD Jombang, setelah
mendapat persetujuan baru penelitian dilakukan dengan menggunakan etika sebagai berikut
(Nursalam, 2008) :
1. Memberikan Informed Consent
Lembar persetujuan diedarkan kepada responden sebelum penelitiandilaksanakan terlebih
dahulu responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang akan terjadi
selama pengumpulan data. Jika responden bersedia diteliti maka harus menandatangani
lembar persetujuan tersebut, bila tidak bersedia maka peneliti harus tetap menghormati hakhak responden.
2. Anonymity (tanpa nama)
Dalam menjaga kerahasiaan identitas responden peneliti tidak mencantumkan nama
responden pada lembar pengumpulan data dan cukup memberikan kode.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dan kerahasiaan dari responden dijamin
peneliti.

Anda mungkin juga menyukai