Oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh yang terganggu, suatu fenomena
universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat di hindari, setiap orang
mengalaminya (Rasmun, 2004). Stress dapat berdampak secara total pada individu yaitu
terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan spiritual. Stress juga dapat mengancam
keseimbagan fisiologis yaitu dapat berakibat gangguan pada pengontrolan kadar gula darah
karena pada keadaan stress cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji
yang kaya pengawet, lemak dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja
pankreas. Stress juga akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan
akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi
membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin (Riyadi, Sujono,
Sukarmin : 2008). Kontrol DM yang buruk dapat mengakibatkan hiperglikemia dalam jangka
panjang, yang menjadi pemicu beberapa komplikasi yang serius baik makrovaskular maupun
mikrovaskular seperti penyakit jantung, penyakit vaskuler perifer, gagal ginjal, kerusakan
saraf dan kebutaan. Stress emosi dapat menimbulkan perasaan negative atau destruktif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Stress intelektual akan mengganggu persepsi dan
kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah, Stress social akan mengganggu
hubungan individu terhadap kehidupan (Rasmun, 2004).
Sebagai langkah pencegahan dan penatalaksanaan dapat dilakukan dengan berbagai
cara agar tidak terjadi komplikasi. Salah satu untuk mencegah komplikasi tersebut, tingkat
stress harus selalu di kendalikan (Rasmun, 2004). Dan dalam menangani kasus DM
yaitu mengelola stress dengan baik dengan cara mengatur diet dan nutrisi, istirahat dan tidur,
olah raga teratur, berhenti merokok, mengatur berat badan, dan mengatur waktu. Berdasarkan
uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan tingkat
stress dengan nilai gula darah acak pada pasien Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2
RSUD Jombang.
Apakah ada hubungan antara tingkat stress dengan nilai gula darah acak pada pasien
Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat stress dengan nilai gula darah acak pada pasien
Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi tingkat stress pada pasien yang mengalami Diabetes Mellitus di Ruang
Dahlia 2 RSUD Jombang.
2. Mengidentifikasi nilai gula darah acak pada pasien Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2
RSUD Jombang.
3. Menganalisa hubungan antara tingkat stress dengan nilai gula darah acak pada pasien
Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan, acuan atau referensi
untuk menyampaikan informasi yang tepat dalam menerapkanpengetahuan tentang diabetes
mellitus dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya. Sehingga hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan sebagai pendukung teori yang sudah ada.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Klien
Dengan adanya penelitian ini, pasien DM diharapkan lebih dapat mengontrol perilakunya dan
dapat terhindar dari terjadinya komplikasi komplikasi lebih lanjut. Selain itu, juga
diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat pada umumnya agar dapat
mengantisipasi gejala penyakit DM lebih dini.
2. Bagi Profesi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan pengetahuan
tentang diabetes mellitus tipe dan faktor yang apa saja yang mempengaruhinya. Sehingga
hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan sebagai pendukung
teori yang sudah ada.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan pustaka di perpustakaan terkait tentang
hubungan tingkat stress dengan nilai gula darah acak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Stress
2.1.1 Pengertian Stress dan Stressor
Setiap orang pernah mengalami stress, dan orang yang normal dapat beradaptasi
dengan stress jangka panjang atau stress jangka pendek hingga stress tersebut berlalu. Stress
juga dapat didefinisikan sebagai, respons adaptif, dipengaruhi oleh karakteristik individual
dan/atau proses psikologis, yaitu akibat dari tindakan, situasi atau kejadian eksternal yang
menyebabkan tuntutan fisik dan/atau psikologis terhadap seseorang. Sementara Hans Seyle,
1976, menyatakan bahwa stress merupakan situasi dimana tuntutan yang sifatnya tidak
spesifik dan mengharuskan seseorang memberikan respons atau mengambil tindakan
(Hidayat, 2009).
Stress menurut Hans Selye tahun 1950 merupakan respons tubuh yang bersifat tidak
spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya. Berdasarkan pengertian tersebut dapat
dikatakan stress apabila seseorang mengalami beban atau tugas yang berat tetapi orang
tersebut tidak dapat mengatasi tugas yang dibebankan itu, maka tubuh akan berespons dengan
tidak mampu terhadap tugas tersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami stress
(Hidayat, 2008).
Persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan besar menimbulkan stress.
Stimuli mengawali atau mencetuskan perubahan disebut stressor. Stressor menunjukkan suatu
kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa saja kebutuhan fisiologis,
psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual atau kebutuhan kultural. Stressor
internal berasal dari dalam diri seseorang (misalnya dalam kondisi kehamilan atau
menopause). Stressor eksternal berasal dari luar diri seseorang (misalnya perubahan dalam
peran keluarga atau sosial (Potter dan Perry, 2005).
2.1.2 Pandangan Stress
Dalam memahami tentang stress, para ahli berbeda beda mendefinisikannya karena
memiliki pandangan teori yang tidak sama. Untuk lebih jelas tentang stress sebenarnya, maka
dapat diketahui beberapa pandangan diantaranya (Hidayat, 2008) :
1. Pandangan Stress Sebagai Stimulus
Pandangan ini menyatakan stress sebagai suatu stimulus yang menuntut, dimana
semakin tinggi besar tekanan yang dialami seseorang, maka semakin besar pula stress yang
dialami.
2. Pandangan Stress Sebagai Respons
Mengidentifikasikan stress sebagai respons individu terhadap stressor yang diterima
di mana ini sebagai akibat respons fisiologis dan emosional atau juga sebagai respons yang
nonspesifik tubuh terhadap tuntutan lingkungan yang ada.
3. Stress Mikrobiologik
Merupakan stress yang disebabkan oleh kuman seperti virus, bakteri atau parasit.
4. Stress Fisiologis
Merupakan stress yang disebabkan oleh gangguan fungsi organ tubuh, antara lain gangguan
dari struktur tubuh, fungsi jaringan, organ, dan lain lain.
5. Stress Proses Tumbuh Kembang
Merupakan stress yang disebabkan oleh proses tumbuh kembang seperti pada pubertas,
pernikahan dan pertambahan usia.
6. Stress Psikologis atau Emosional
Merupakan stress yang disebabkan oleh gangguan situasi psikologis atau ketidakmampuan
kondisi psikologis untuk menyesuaikan diri, misalnya dalam hubungan interpersonal, sosial
budaya atau keagamaan.
2.1.4 Sumber Stressor
Stressor, faktor yang menimbulkan stress, dapat berasal dari sumber internal (yaitu
diri sendiri) maupun eksternal (yaitu keluarga, masyarakat, dan lingkungan) (Hidayat, 2009).
1. Internal
Faktor internal stress bersumber dari diri sendiri. Stressor individual dapat timbul dari
tuntutan pekerjaan atau beban yang terlalu berat, kondisi keuangan, ketidakpuasan dengan
fisik tubuh, penyakit yang dialami, masa pubertas, karakteristik atau sifat yang dimiliki, dan
sebagainya.
2. Eksternal
Faktor eksternal stress dapat bersumber dari keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Stressor
yang berasal dari keluarga disebabkan oleh adanya perselisihan dalam keluarga, perpisahan
orang tua, adanya anggota keluarga yang mengalami kecanduan narkoba, dan sebagainya.
Sumber stressor masyarakat dan lingkungan dapat berasal dari lingkungan pekerjaan,
lingkugan social, atau lingkungan fisik. Sebagai contoh, adanya atasan yang tidak pernah
puas di tempat kerja, iri terhadap teman teman yang status sosialnya lebih tinggi, adanya
polusi udara dan sampah di lingkungan tempat tinggal, dan lain lain.
dari perusahaan tempatnya bekerja untuk kemudian berobat yang memadai. Hal ini
mempengaruhi cara pasien untuk mendapatkan akses ke sumber daya yang dapat
membantunya mengatasi stressor fisiologis.
3. Model Berdasarkan Stimulus
Model ini berfokus pada karakteristik yang bersifat mengganggu atau merusak dalam
lingkungan. Riset klasik yang mengungkapkan stress sebagai stimulus telah menghasilkan
skala penyesuaian ulang sosial, yang mengukur dampak dari peristiwa peristiwa besar
dalam kehidupan seseorang terhadap penyakit yang dideritanya (Holmes dan Rahe, 1976).
Asumsi asumsi yang mendasari model ini adalah :
1. Peristiwa peristiwa yang mengubah hidup seseorang merupakan hal normal yang
membutuhkan jenis dan waktu penyesuaian yang sama.
2. Orang adalah penerima stress yang pasif ; persepsi mereka terhadap suatu peristiwa tidaklah
relevan.
3. Semua orang memiliki ambang batas stimulus yang sama dan sakit akan timbul setelah
ambang batas tersebut terlampaui.
1. Sifat Stressor
Sifat stressor dapat berubah secara tiba tiba atau berangsur angsur dan dapat
meempengaruhi respons seseorang dalam menghadapi stress, tergantung mekanisme yang
dimilikinya.
2. Durasi Stressor
Lamanya stressor yang dialami seseorang dapat mempengaruhi respons tubuh. Apabila
stressor yang dialami lebih lama, maka respons juga akan lebih lama dan dapat
mempengaruhi fungsi tubuh.
3. Jumlah Stressor
Semakin banyak stressor yang dialami seseorang, semakin besar dampaknya bagi fungsi
tubuh.
4. Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman masa lalu seseorang dalam menghadapi stress dapat menjadi bekal dalam
menghadapi stress berikutnya karena individu memiliki kemampuan beradaptasi/mekanisme
koping yang lebih baik.
5. Tipe Kepribadian
Tipe kepribadian seseorang diyakini juga dapat mempengaruhi respons terhadap stressor.
Menurut Friedman dan Rosenman, 1974, terdapat dua tipe kepribadian, yaitu tipe A dan tipe
B. Orang dengan tipe kepribadian A lebih rentan terkena stress apabila dibandingkan dengan
orang yang memiliki tipe kepribadian B. Tipe kepribadian A memiliki ciri ciri : ambisius,
agresif, kompetitif, kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung, mudah marah, memiliki
kewaspadaan yang berlebihan, berbicara cepat, bekerja tidak kenal waktu, pandai
berorganisasi dan memimpin atau memerintah, lebih suka bekerja sendirian bila ada
tantangan, kaku terhadap waktu, tidak mudah dipengaruhi, sulit untuk santai. Sedangkan tipe
B memiliki sifat kebalikan dari tipe A, antara lain lebih santai, penyabar, tenang, tidak mudah
marah/tersinggung, jarang kekurangan waktu untuk melakukan hal hal yang disukai,
fleksibel, mudah bergaul, dan lain lain.
6. Tahap Perkembangan
Tahap perkembangan individu ini dapat membentuk kemampuan adaptasi yang semakin baik
terhadap stressor. Stressor yang dialami individu berbeda pada setiap tahap perkembangan
usia sebagaimana terlihat dalam tabel 2.1.
Anak
Remaja
Perubahan tubuh
Hubungan dengan teman
Seksualitas
Kemandirian
Dewasa Muda
Menikah
Meninggalkan rumah
Mulai bekerja
Melanjutkan pendidikan
Membesarkan anak
Dewasa Tengah
Menerima proses penuaan
Status sosial
Dewasa Tua
Usia lanjut
Perubahan tempat tinggal
Penyesuaian diri masa pensiun
Proses kematian
Sumber (Hidayat, 2009)
dikemukakan antara lain merasa letih sewaktu bangun pagi dalam kondisi normal, badan
(seharusnya terasa segar), mudah lelah sesudah makan siang, cepat lelah menjelang sore,
sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman, jantung berdebar debar, otot otot
punggung dan tengkuk terasa tegang dan tidak bisa santai.
3. Tahap Ketiga
Jika tahap stress sebelumnya tidak ditanggapi dengan memadai, maka keluhan akan semakin
nyata, seperti gangguan lambung dan usus (gastritis atau maag, diare), ketegangan otot
semakin terasa, perasaan tidak tenang, gangguan pola tidur (sulit untuk mulai tidur, terbangun
tengah malam dan sukar kembali tidur, atau bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur
kembali), tubuh terasa lemah seperti tidak bertenaga.
4. Tahap Keempat
Orang yang mengalami tahap tahap stress di atas ketika memeriksakan diri ke dokter sering
kali dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukannya kelainan kelainan fisik pada organ
tubuhnya. Namun pada kondisi berkelanjutan, akan muncul gejala seperti ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas rutin karena perasaan bosan, kehilangan semangat, terlalu lelah
karena gangguan pola tidur, kemampuan mengingat dan konsentrasi menurun, serta muncul
rasa takut dan cemas yang tidak jelas penyebabnya.
5. Tahap Kelima
Tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang sangat, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan
ringan dan sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, serta semakin
meningkatnya rasa takut dan cemas.
6. Tahap Keenam
Tahap ini merupakan tahap puncak, biasanya ditandai dengan rasa panik dan takut mati yang
menyebabkan jantung berdetak semakin cepat, kesulitan untuk bernafas, tubuh gemetar dan
berkeringat, dan adanya kemungkinan terjadi kolaps atau pingsan.
2.1.8 Reaksi Tubuh Terhadap Stress
Stress yang dialami seseorang dapat menimbulkan reaksi yang ada pada tubuh baik
secara fisiologis maupun psikologis. Di antara reaksi tubuh tersebut seperti terjadi perubahan
warna rambut yang semula hitam lambat laun dapat mengalami perubahan warna menjadi
kecoklatan dan kusam, perubahan ketajaman mata seringkali menurun karena kekenduran
pada otot otot mata sehingga mempengaruhi fokus lensa mata, pada telinga terjadi
gangguan seperti adanya suara berdenging, pada daya pikir seringkali ditemukan adanya
penurunan konsentrasi dan keluhan sering sakit kepala dan pusing, ekspresi wajah tampak
tegang, mulut dan bibir terasa kering, kulit reaksi yang dapat dijumpai sering berkeringat dan
kadang kadang panas, dingin juga akan dapat menjadi kering atau gejala lainnya seeperti
urtikaria, pada sistem pernafasan dapat dijumpai gangguan seperti terjadi sesak karena
penyempitan pada saluran pernafasan, sedangkan pada sistem kardiovaskular terjadi
gangguan seperti berdebar debar, pembuluh darah melebar atau menyempit kadang
kadang terjadi kepucatan atau kemerahan pada muka dan terasa kedinginan dan kesemutan
pada daerah pembuluh darah perifer seperti pada jari tangan atau kaki, sistem pencernaan
juga dapat mengalami gangguan seperti lambung terasa kembung, mual, pedih, karena
peningkatan asam lambung, pada sistem perkemihan terjadi gangguan seperti adanya
frekuensi buang air kecil yang sering, pada otot dan tulang terjadi ketegangan dan terasa
ditusuk tusuk, khususnya pada persendian dan terasa kaku. Pada sistem endokrin atau
hormonal seringkali dijumpai adanya peningkatan kadar gula dan terjadi penurunan libido
dan penurunan kegairahan pada seksual (Hidayat, 2008).
2.1.9 Cara Menilai Stress
Terdapat beberapa cara untuk menilai stress, antara lain dengan InstrumenDepression Anxiety
Stress Scale (DASS 42).
Aspek Penilaian
1.
2.
3.
4.
5.
Skor
1 2
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
kegiatan
Cenderung bereaksi berlebihan pada situasi
Kelemahan pada anggota tubuh
Kesulitan untuk relaksasi / bersantai
Cemas yang berlebihan dalam suatu situasi namun bisa lega jika
hal / situasi itu berakhir
Pesimis
Mudah merasa kesal
Merasa banyak menghabiskan energi karena cemas
Merasa sedih dan depresi
Tidak sabaran
Kelelahan
Kehilangan minat pada banyak hal (misalnya makan, ambulasi,
sosialisasi)
Merasa diri tidak layak
Mudah tersinggung
Berkeringat (misal: tangan berkeringat) tanpa stimulasi oleh
cuaca maupun latihan fisik
Ketakutan tanpa alasan yang jelas
Merasa hidup tidak bahagia
Sulit untuk beristirahat
Kesulitan dalam menelan
Tidak dapat menikmati hal-hal yang saya lakukan
Perubahan kegiatan jantung dan denyut nadi tanpa stimulasi
oleh latihan fisik
Merasa hilang harapan dan putus asa
Mudah marah
Mudah panic
Kesulitan untuk tenang setelah sesuatu yang mengganggu
Takut diri terhambat oleh tugas-tugas yang tidak biasa
dilakukan
Sulit untuk antusias pada banyak hal
Sulit mentoleransi gangguan-gangguan terhadap hal yang
sedang dilakukan
Berada pada keadaaan tegang
Merasa tidak berharga
Tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi anda
untuk menyelesaikan hal yang sedang anda lakukan
Ketakutan
37.
38.
39.
40.
41.
42.
Keterangan :
0 : Tak ada atau tidak pernah
1 : Sesuai dengan yang dialami sampai tingkat tertentu / kadang- kadang
2 : Sering
3 : Sangat sesuai dengan yang dialami, atau hampir setiap saat
Skor penilaian berdasarkan DASS :
Normal
: 0 - 29
Ringan
: 30 - 59
Sedang
: 60 - 89
Berat
: 90 119
Sangat berat
: 120
1. Adaptasi Fisiologis
Adaptasi fisiologis terhadap stress adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keadaan relatif seimbang. Kemampuan adaptif ini adalah bentuk dinamik dari ekuilibrium
lingkungan internal tubuh. Lingkungan internal secara konstan berubah, dan mekanisme
adaptif tubuh secara kontinu berfungsi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan ini dan
untuk mempertahankan ekuilibrium atau homeostasis (Potter dan Perry, 2005).
1. LAS
Tubuh menghasilkan banyak respons setempat terhadap stress. Respons setempat ini
termasuk pembekuan darah, penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya dan
respons terhadap tekanan (Potter dan Perry, 2005). LAS merupakan proses adaptasi yang
bersifat lokal, misalnya ketika daerah tubuh atau kulit terkena infeksi, maka daerah sekitar
kulit tersebut akan menjadi kemerahan, bengkak, terasa nyeri, panas, kram dan lain lain.
Ciri ciri LAS adalah sebagai berikut :
1. Bersifat lokal, yaitu tidak melibatkan keseluruhan sistem tubuh.
2. Bersifat adaptif, yaitu diperlukan stressor untuk menstimulasinya.
3. Bersifat jangka pendek, yaitu tidak berlangsung selamanya.
4. Bersifat restorative, yaitu memperbaiki homeostasis daerah atau bagian tubuh.
2. GAS
GAS adalah respons fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stress (Potter dan Perry,
2005). GAS adalah proses adaptasi yang bersifat umum atau sistemik. Misalnya, apabila
reaksi lokal tidak dapat diatasi, maka timbul gangguan sistem atau seluruh tubuh lainnya
berupa panas diseluruh tubuh, berkeringat dan lain lain (Hidayat, 2009). GAS terdiri atas
tiga tahap, yaitu :
1. Tahap Reaksi Alarm
Merupakan tahap awal dari proses adaptasi, yaitu tahap dimana individu siap
menghadapi stressor yang akan masuk ke dalam tubuh. Tahap ini dapat diawali dengan
kesiagaan yang ditandai dengan perubahan fisiologis pengeluaran hormon oleh hipotalamus,
yang dapat menyebabkan kelenjar adrenal mengeluarkan adrenalin, yang selanjutnya memacu
denyut jantung dan menyebabkan pernapasan menjadi cepat dan dangkal. Kemudian,
hipotalamus melepaskan hormon ACTH (hormone adrenokortikotropik) yang dapat
merangsang adrenal untuk mengeluarkan kortikoid yang akan mempengaruhi berbagai fungsi
tubuh. Aktivitas hormonal yang ekstensif tersebut mempersiapkan seseorang untuk flight of
flight.
2. Tahap Resistensi
Pada tahap ini tubuh sudah mulai stabil, tingkat hormon, tekanan darah, dan output
jantung kembali ke normal. Individu berupaya beradaptasi dengan stressor. Jika stress dapat
diselesaikan, tubuh akan memperbaiki kerusakan yang mungkin telah terjadi. Namun jika
stressor tidak hilang, maka ia akan memasuki tahap ketiga.
3. Tahap Kelelahan
Stresor
Tahap ini ditandai dengan terjadinya kelelahan karena tubuh tidak mampu lagi
menanggung stress dan habisnya energi yang diperlukan untuk beradaptasi. Tubuh tidak
mampu melindungi dirinya sendiri menghadapi stressor, regulasi fisiologis menurun, dan jika
stress terus berlanjut, dapat menyebabkan kematian.
Tahap reaksi alarm
Tahap kelelahan
Tahap resistensi
Istirahat
Kematian
Bagi sebagian orang, penggunaan alkohol dan obat obatan mungkin tampak seperti perilaku
adaptif, namun kenyataannya, justru menambah dan bukannya mengurangi stress.
Perilaku adaptasi psikologis juga mengacu pada mekanisme koping (coping
mechanisme), yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan mekanisme pertahanan diri
(ego oriented).
1. Reaksi Yang Berorientasi Pada Tugas
Reaksi ini melibatkan penggunaan kemampuan kognitif untuk mengurangi stress dan
memecahkan masalah.
Terdapat tiga jenis perilaku yang umum :
1. Menyerang, yaitu bertindak menghilangkan, mengatasi stressor, atau memenuhi kebutuhan,
misalnya berkonsultasi dengan orang yang ahli.
2. Menarik diri dari stressor secara fisik maupun emosi.
3. Berkompromi, yaitu mengubah metode yang biasa digunakan, mengganti tujuan dan
sebagainya.
2. Reaksi Yang Berorientasi Pada Ego
Reaksi ini dikenal sebagai mekanisme pertahanan diri secara psikologis untuk mencegah
gangguan psikolgis yang lebih dalam. Mekanisme pertahanan diri tersebut adalah :
1. Rasionalisasi
Berusaha memberikan alasan yang rasional sehingga masalah yang dihadapinya dapat
teratasi.
2. Pengalihan
Upaya untuk mengatasi masalah psikologis dengan melakukan pengalihan tingkah laku pada
objek lain, contohnya, jika seseorang terganggu akibat situasi gaduh yang disebabkan oleh
temannya, maka ia berupaya menyalahkan temannya tersebut.
3. Kompensasi
Mengatasi masalah dengan mencari kepuasan pada keadaan lain. Misalnya, seseorang
memiliki masalah karena menurunnya daya ingat, maka di sisi lain ia berusaha menonjolkan
bakat melukis yang dimilikinya.
4. Identifikasi
Meniru perilaku orang lain dan berusaha mengikuti sifat, karakteristik, dan tindakan orang
tersebut.
5. Represi
Mencoba menghilangkan pikiran masa lalu yang buruk dengan melupakan atau menahannya
di alam bawah sadar dan sengaja melupakannya.
6. Supresi
Berusaha menekan masalah yang secara sadar tidak diterima dan tidak memikirkan hal hal
yang kurang menyenangkan.
7. Penyangkalan
Upaya pertahanan diri dengan cara menyangkal masalah yang dihadapi atau tidak mau
menerima kenyataan yang dihadapinya. Misalnya, menolak kenyataan bahwa pasangan sudah
meninggal dunia dengan cara tetap melakukan rutinitas seolah olah pasangan masih ada.
3. Adaptasi Sosial Budaya
Merupakan cara untuk mengadakan perubahan dengan melakukan proses penyesuaian
perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat, misalnya seseorang yang
tinggal dalam lingkungan masyarakat dengan budaya gotong royong akan berupaya
beradaptasi dengan lingkungannya tersebut.
4. Adaptasi Spiritual
Proses penyesuaian diri dengan melakukan perubahan perilaku yang didasarkan pada
keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki sesuai dengan agama yang dianutnya. Misalnya,
apabila mengalami stress, seseorang akan giat melakukan ibadah, seperti rajin sembahyang,
berpuasa dan sebagainya.
2.1.11 Peran Perawat Dalam Mengatasi Stress
Untuk menghadapi seseorang yang mengalami masalah stress, maka beberapa hal yang dapat
dilakukan oleh perawat adalah (Hidayat, 2009) :
1. Perawat harus mampu memfasilitasi orang yang sedang mengalami stress.
2. Perawat harus melakukan tindakan keperawatan yang sesuai dengan prinsip prinsip
manajemen stress.
3. Perawat dapat menggunakan strategi pemecahan masalah yang bertujuan mengurangi stress
secara efektif untuk jangka panjang serta dapat meningkatkan keyakinan diri dan kemampuan
dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang akan datang.
2.2 Konsep Dasar Gula Darah
2.2.1 Pengertian Gula darah
Gula Darah adalah istilah yang mengacu kepada tingkat glukosa di dalamdarah.
Konsentrasi gula darah, atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat di dalam tubuh.
Glukosa yang dialirkan melalui darah adalah sumber utama energi untuk sel-sel tubuh.
Glukosa, suatu gula monosakarida, adalah salah satu karbohidrat terpenting yang
digunakan sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh. Glukosa merupakan prekursor untuk
sintesis semua karbohidrat lain di dalam tubuh seperti glikogen, ribose dan deoxiribose dalam
asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu, dalam glikolipid, dan dalam glikoprotein dan
proteoglikan.
Umumnya tingkat gula darah bertahan pada batas-batas yang sempit sepanjang hari :
4-8 mmol/l (70-150 mg/dl). Tingkat ini meningkat setelah makan dan biasanya berada pada
level terendah pada pagi hari, sebelum orang makan.
Meskipun disebut "gula darah", selain glukosa, kita juga menemukan jenis-jenis gula
lainnya, seperti fruktosa dan galaktosa. Namun, hanya tingkatan glukosa yang diatur melalui
insulin dan leptin.
Ada beberapa tipe pemeriksaan glukosa darah. Pemeriksaan gula darah puasa
mengukur kadar glukosa darah selepas tidak makan setidaknya 8 jam. Pemeriksaan gula
darah postprandial 2 jam mengukur kadar glukosa darah tepat selepas 2 jam makan.
Pemeriksaan gula darah ad random mengukur kadar glukosa darah tanpa mengambil kira
waktu makan terakhir (Henrikson J. E. et al., 2009).
Tabel 2.3 Kadar glukosa sewaktu
Pemeriksaan
Rendah
Sedang
Tinggi
Plasma vena
< 110
110 - 200
> 200
Sewaktu (mg/dl)
Darah kapiler
< 90
90 - 200
> 200
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks yang melibatkan
kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan berkembangnya komplikasi
makrovaskuler dan neurologis.
Dalam sumber buku lain diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan yang ditandai
oleh peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia mungkin terdapat penurunan dalam
kemampuan untuk berespon terhadap insulin dan atau penurunan atau tidak terdapatnya
pembentukan insulin oleh pankreas.
Diabetes mellitus juga didefinisikan sebagai keadaan hiperglikemia kronik yang
ditandai oleh ketiadaan absolute insulin atau intensitivitas sel terhadap insulin disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran
basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008).
2.3.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi diabetes mellitus dan penggolongan intoleransi glukosa antara lain (Riyadi,
Sujono, Sukarmin : 2008) :
1. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Yaitu defisiensi insulin karena kerusakan sel sel langerhans yang berhubungan
dengan tipe HLA (Human Leucocyte Antigen) spesifik, predisposisi pada insulitis fenomena
autoimun (cenderung ketosis dan terjadi pada semua usia muda). Kelainan ini terjadi karena
kerusakan sistem imunitas (kekebalan tubuh) yang kemudian merusak sel sel pulau
langerhans di pankreas. Kelainan ini berdampak pada penurunan produksi insulin.
2. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Yaitu diabetes resisten lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi pada semua umur.
Kebanyakan penderita kelebihan berat badan, ada kecenderungan familiar, mungkin perlu
insulin pada saat hiperglikemik selama stress.
3. Diabetes Mellitus Tipe Lain
Adalah DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu hiperglikemik
terjadi karena penyakit lain ; penyakit pankreas, hormonal, obat atau bahan kimia,
endokrinopati, kelainan reseptor insulin, sindroma genetic tertentu.
Penyakit pankreas seperti pankreatitis akan berdampak pada kerusakan anatomis dan
fungsional organ pankreas akibat aktivitas toksik baik karena bakteri maupun kimia.
Kerusakan ini berdampak pada penurunan insulin.
Penyakit hormonal seperti kelebihan hormon glukokortikoid (dari korteks adrenal)
akan berdampak pada peningkatan glukosa dalam darah. Peningkatan glukosa darah ini akan
meningkatkan beban kerja dari insulin untuk memfasilitasi glukosa masuk dalam sel.
Peningkatan beban kerja ini akan berakibat pada penurunan produk insulin.
Pemberian zat kimia/obat obatan seperti hidrokortison akan berdampak pada
peningkatan glukosa dalam darah karena dampaknya seperti glukokortikoid.
Endokrinopati (kematian produksi hormon) seperti kelenjar hipofisis akan berdampak
sistemik bagi tubuh. Karena semua produk hormone akan dialirkan ke seluruh tubuh melalui
aliran darah. Kelainan ini berdampak pada penurunan metabolisme baik karbohidrat, protein
maupun lemak yang dalam perjalanannya akan mempengaruhi produksi insulin.
4. Impared Glukosa Tolerance (Gangguan Toleransi Glukosa)
Kadar glukosa antara normal dan diabetes dapat menjadi diabetes atau menjadi
normal atau tetap tidak berubah.
5. Gastrointestinal Diabetes Mellitus (GDM)
Intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan.
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang
menunjang pemanasan makanan bagi janin serta persiapan menyusui. Menjelang aterm,
kebutuhan insulin meningkat sehingga mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal. Bila
seorang ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin maka
mengabaikan hiperglikemi. Resistensi insulin juga disebabkan oleh adanya hormon estrogen,
progesteron, prolaktin dan plasenta laktogen. Hormone tersebut mempengaruhi reseptor
insulin pada sel sehingga mengurangi aktivitas insulin.
2.3.3 Etiologi
Diabetes mellitus disebabkan oleh penurunan produksi insulin oleh sel sel beta
pulau langerhans jenis juvenilis (usia muda) disebabkan oleh predisposisi herediter terhadap
perkembangan anti bodi yang merusak sel sel beta atau degenerasi sel sel beta. Diabetes
jenis awitan maturitas disebabkan oleh degenerasi sel sel beta akibat penuaan dan akibat
kegemukan/obesitas. Tipe ini jelas disebabkan oleh degenerasi sel sel beta sebagai akibat
penuaan yang cepat pada orang yang rentan dan obesitas mempredisposisi terhadap jenis
obesitas ini karena diperlukan insulin dalam jumlah besar untuk pengolahan metabolisme
pada orang kegemukan dibandingkan yang normal (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008).
Penyebab resistensi insulin pada diabetes sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor
yang banyak berperan antara lain (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008) :
1. Kelainan Genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes. Ini terjadi
karena DNA pada orang diabetes mellitus akan ikut di informasikan pada gen berikutnya
terkait dengan penurunan produksi insulin.
2. Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun
dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan
fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin.
3. Gaya Hidup Stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji yang
kaya pengawet, lemak dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja pankreas.
Stress juga akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber
energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas
mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin.
4. Pola Makan Yang Salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama sama meningkatkan resiko terkena
diabetes. Malnutrisi dapat merusak pankreas, sedangkan obesitas meningkatkan gangguan
kerja atau resistensi insulin. Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga akan
berperanan pada ketidakstabilan kerja pankreas.
5. Obesitas mengakibatkan sel sel beta pankreas mengalami hipertrofi yang akan berpengaruh
terhadap penurunan produksi insulin. Hipertrofi pankreas disebabkan karena peningkatan
beban metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu
banyak.
6. Infeksi
Masuknya bakteri atau virus ke dalam pankreas akan berakibat rusaknya sel sel
pancreas. Kerusakan ini berakibat pada penurunan fungsi pankreas.
2.3.4 Patofisiologi
Sebagian besar patologi diabetes mellitus dapat dihubungkan dengan efek utama
kekurangan insulin yaitu (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008) :
1. Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel sel tubuh, yang mengalami peningkatan
konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300 sampai 1200 mg per 100 ml.
2. Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak sehingga menyebabkan
kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler.
3. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Starvasi selluler merupakan kondisi kelaparan yang di alami oleh sel karena glukosa
sulit masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali glukosa. Kalau kita meminjam istilah
pribahasa kelaparan di tengah lumbung padi. Ada banyak bahan makanan tetapi tidak bisa
dibawa untuk di olah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi untuk
masuk sel yaitu insulin.
Dampak starvasi sellular akan terjadi proses kompensasi selluler untuk tetap
mempertahankan fungsi sel. Proses itu antara lain (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008) :
1. Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan jaringan peripheral
yang tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa,
sel sel otot memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar
menjadi glukosa dan energi mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton).
Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot dan rasa mudah lelah.
2. Sarvasasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein dan asam
amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati.
Hasil dari glukoneogenesis akan dijadikan untuk proses aktivitas sel tubuh. Protein dan asam
amino yang melalui proses glukogenesis akan dirubah menjadi CO 2 dan H2O serta glukosa.
Perubahan ini berdampak juga pada penurunan sintesis protein.
Proses glukogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan penipisan
simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur pemecahan protein) tidak
digunakan kembali untuk semua bagian tetapi di ubah menjadi urea dalam hepar dan
diekskresikan dalam urine. Ekskresi nitrogen yang banyak akan berakibat pada keseimbangan
negatif nitrogen.
Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan resistensi terhadap
infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak (sulit sembuh kalau ada cidera).
3. Starvasasi sel juga berdampak peningkatan mobiisasi dan metabolisme lemak (lipolisis) asam
lemak bebas, trigliserida dan gliserol yang meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat
bagi hati untuk proses ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas sel.
Ketogenesis mengakibatkan peningkatan kadar asam organik (keton), sementara keton
menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer PH darah menurun. Pernafasan kusmaul
Koma hipoglikemia terjadi karena pemakaian obat obat diabetik yang melebihi dosis yang
dianjurkan sehingga terjadi penurunan glukosa dalam darah. Glukosa yang ada sebagian
difasilitasi untuk masuk ke dalam sel.
2. Ketoasidosis
Minimnya glukosa di dalam sel akan mengakibatkan sel mencari sumber alternatif untuk
dapat memperoleh energi sel. Kalau tidak ada glukosa maka benda benda keton akan
dipakai sel. Kondisi ini akan mengakibatkan penumpukan residu pembongkaran benda benda keton yang berlebihan yang dapat mengakibatkan asidosis.
3. Koma Hiperosmolar Nonketotik
Koma ini terjadi karena penurunan komposisi cairan intrasel dan ekstrasel karena banyak
diekskresi lewat urin.
2. Komplikasi Yang Bersifat Kronik (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008)
1. Makroangiopati yang mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh
darah tepi, pembuluh darah otak. Perubahan pada pembuluh darah besar dapat mengalami
atherosklerosis sering terjadi pada DMTTI/NIDDM. Kompikasi makrongiopati adalah
penyakit vaskuler otak, penyakit arteri koronaria dan penyakit vaskuler perifer.
2. Mikroangiopati yang mengenai pembuluh darah kecil, retinopati diabetika, nefropati
diabetik. Perubahan perubahan mikrovaskuler yang ditandai dengan penebalan dan
kerusakan membran di antara jaringan dan pembuluh darah sekitar. Terjadi pada penderita
DMTI/IDDM yang terjadi neuropati, nefropati, dan retinopati.
Nefropati terjadi karena perubahan mikrovaskuler pada struktur dan fungsi ginjal
yang menyebabkan komplikasi pada pelvis ginjal. Tubulus dan glomerulus penyakit ginjal
dapat berkembang dari proteinuria ringan ke ginjal (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008).
Retinopati adanya perubahan dalam retina karena penurunan protein dalam retina.
Perubahan ini dapat berakibat gangguan dalam penglihatan.
Retinopati mempunyai dua tipe yaitu (Riyadi, Sujono, Sukarmin : 2008) :
1. Retinopati back graund dimulai dari mikroneuronisma di dalam pembuluh retina
menyebabkan pembentukan eksudat keras.
2. Retinopati proliferatif yang merupakan perkembangan lanjut dari retinopati back graund,
terdapat pembentukan pembuluh darah baru pada retina akan berakibat pembuluh darah
menciut dan menyebabkan tarikan pada retina dan perdarahan di dalam rongga vitreum. Juga
mengalami pembentukan katarak yang disebabkan oleh hiperglikemia yang berkepanjangan
menyebabkan pembengkakan lensa dan kerusakan lensa.
3. Neuropati Diabetika
Akumulasi orbital di dalam jaringan dan perubahan metabolik mengakibatkan fungsi sensorik
dan motorik saraf menurun kehilangan sensori mengakibatkan penurunan persepsi nyeri.
4. Rentan infeksi seperti tuberkulosis paru, gingivitis, dan infeksi saluran kemih.
5. Kaki Diabetik
Perubahan mikroangiopati, mikroangiopati dan neuropati menyebabkan perubahan pada
ekstremitas bawah. Komplikasinya dapat terjadi gangguan sirkulasi, terjadi infeksi, gangren,
penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf sensorik dapat menunjang terjadi trauma atau
tidak terkontrolnya infeksi yang mengakibatkan gangren.
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konseptual
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
: mempengaruhi
Gambar 3.1 : Kerangka Konseptual Hubungan Tingkat Stress dengan Nilai Gula Darah Acak
pada pasien Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang
3.2 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian.
Menurut Wood dan Haber (1994) hipotesis adalah suatu pernyataan asumsi tentang hubungan
antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu pertanyaan dalam
penelitian. Setiap hipotesis terdiri dari suatu unit atau bagian dari permasalahan (Nursalam,
2008). Berdasarkan rumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian adalah :
H1 : Ada hubungan antara tingkat stress dengan nilai gula darah acak pada pasien Diabetes
Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedekimian rupa
sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Desain
penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dapat dipilih untuk mencapai
tujuan penelitian, serta berperan sebagai alat dan pedoman untuk mencapai tujuan tersebut.
Desain penelitian membantu peneliti untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian
dengan sahih, objektif, akurat serta hemat.
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional.
Rancangan penelitian ini adalah cross sectional, variabel sebab atau resiko dan akibat atau
kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur dan dikumpulkan secara simultan, sesaat atau
satu kali saja dalam satu kali waktu (dalam waktu yang bersamaan), dan tidak ada follow
up (Setiadi, 2007).
Variabel Dependen
Gula Darah Acak pasien DM
Variabel Independen
Tingkat Stress
Pengolahan Data
Editing, coding, scoring, transferring, tabulating
Analisa Data
Uji statistik dengan Spearman Rank
Kesimpulan :
Gambar 4.1
Kerangka Kerja Hubungan Tingkat Stress dengan Nilai Gula Darah Acak pada pasien
Diabetes Mellitus di Ruang Dahlia 2 RSUD Jombang
pengambilan sampel agar memperoleh sampel yang benar benar sesuai dengan keseluruhan
subyek penelitian (Nursalam, 2011). Tekniksampling yang digunakan dalam penelitian ini
adalah non probability samplingmerupakan tekhnik pengambilan sampel yang tidak
didasarkan atas kemungkinan yang dapat diperhitungkan, tetapi semata mata hanya
berdasarkan
kepada
segi
segi
kepraktisan
belaka.
Jenis
tekhnik
sampel
menggunakan consecutive sampling, yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang
memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah responden dapat
terpenuhi (Nursalam, 2011).
4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
4.4.1 Variabel Penelitian
Variabel adalah karakteristik yang diamati yang mempunyai variasi nilai dan
merupakan operasionalisasi dari suatu konsep agar dapat diteliti secara empiris atau
ditentukan tingkatannya (Setiadi, 2007). Variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri
yang dimiliki oleh anggota anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki
oleh kelompok lain (Notoatmodjo, 2010).
1.
Variabel bebas (Independent Variable) yaitu variabel yang dimanipulasi oleh peneliti untuk
menciptakan suatu dampak pada variabel terikat(Setiadi, 2007). Variabel bebas pada
penelitian ini adalah tingkat stress.
2.
Variabel tergantung (Dependent Variable) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
bebas (Setiadi, 2007). Variabel tergantung pada penelitian ini adalah nilai gula darah acak.
Tabel 4.1 Definisi Operasional Hubungan Tingkat Stress dengan nilai gula darah acak pada pasien
diabetes mellitus di ruang dahlia 2 RSUD Jombang
No
1
Variabel
Definisi
Parameter
Variabel
Independen
Tingkat
Stress
Situasi dimana
tuntutan
yang
sifatnya
tidak
spesifik
dan
mengharuskan
seseorang
memberikan
respons
atau
mengambil
tindakan
Variabel
Istilah
yang
dependengula mengacu kepada
darah
acak tingkatglukosa di
pasien
dalam darah
diabetes
mellitus
Kriteria :
Normal : 0 - 29
Ringan : 30 - 59
Sedang : 60 89
Berat : 90 119
Sangat berat : 120
Nilai gula
sewaktu
Alat Ukur
Kuesioner
penilaian
DASS
darah Glukometer
Skala
Skor
O
R
D
I
N
A
L
Skor :
0 : tidak pernah
1 : kadang- kadang
2 : sering
3 : setiap saat
O
R
D
I
N
A
L
Kriteria :
Rendah < 90mg/dl
Sedang 90200mg/dl
Tinggi > 200mg/dl
mengukur
variabel
dependen
mellitus)
peneliti
dan proses
pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam, 2011).
Cara kerja dalam penelitian ini diawali dengan menentukan subjek penelitian yaitu pasien
DM yang diteliti, kemudian Institusi (Stikes Husada Jombang) memberikan surat pengantar
untuk meminta ijin ke pihak rumah sakit bagian diklat pokja keperawatan bidang penelitian,
dan setelah diijinkan bidang penelitian memberikan surat pengantar untuk membayar biaya
penelitian ke bagian administrasi, setelah itu bukti pembayaran diberikan kepada bagian
bidang penelitian dan kemudian diberikan surat pengantar untuk diserahkan ke kepala
ruangan atau penanggung jawab ruangan tersebut untuk diadakan penelitian. Setelah diberi
ijin melaksanakan penelitian maka peneliti mengumpulkan data pada responden,
kemudian membuat angket dan lembar observasi serta membuatinformed consent yang
menyatakan kesediaan para responden di ruangan tersebut untuk diteliti. Kemudian peneliti
memperbanyak angket dan lembar observasi kemudian membagikannya kepada para
responden secara acak yang memenuhi kriteria inklusi serta mengawasi secara langsung
pengisian angket tersebut agar validitas dapat terjaga. Setelah itu angket yang telah diisi
dikumpulkan kembali kepada peneliti dan data yang diperoleh diolah melalui tahap editing,
coding, danprocessing serta dianalisis menggunakan program SPSS 16.0 kemudian hasil
yang diperoleh ditampilkan dalam tabel.
4.8 Analisa Data dan Pengolahan Data
4.8.1 Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskriptifkan karakteristik
setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi
frekuensi dan persentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010). Analisis univariat dengan
melihat distribusi dari variabel yang dikotomi menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan:
: Persentase
f : Frekuensi
n : Jumlah sampel
2. Analisis Bivariat
Apabila telah dilakukan analisis univariat tersebut diatas, hasilnya akan diketahui
karakteristik
atau
distribusi
setiap
variabel,
dan
dapat
dilanjutkan
H1 diterima yang berarti ada hubungan tingkat stress dengan nilai gula darah
H1 ditolak yang berarti tidak ada hubungan tingkat stress dengan nilai gula
darah acak pada pasien diabetes mellitus di ruang dahlia 2 RSUD Jombang.
4.8.2 Pengolahan Data
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam pengolahan data, yaitu:
1. Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul data
(Setiadi, 2007).
2. Coding adalah mengklasifikasikan jawaban jawaban dari para responden ke dalam bentuk
kategori. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi tanda/kode berbentuk angka
pada masing masing jawaban (Setiadi, 2007).
Data Umum :
1. Umur :
< 20 tahun
=1
20 35 tahun
=2
> 35 tahun
=3
2. Jenis Kelamin :
Laki laki = 1
Perempuan = 2
3. Pendidikan :
Tidak Sekolah
=1
SD
=2
SMP
=3
SMA
=4
Perguruan Tinggi
=5
4. Pekerjaan :
IRT
=1
PETANI
=2
WIRASWASTA
=3
SWASTA
=4
PNS
=5
TNI/POLRI
=6
5. Penghasilan :
< Rp. 2.000.000
=1
=2
=3
6. Status Perkawinan :
Belum Kawin
=1
Kawin
=2
Janda/Duda
=3
Data Khusus :
1. Kriteria Tingkat Stress :
Normal 0 29
Ringan 30 59
=2
Sedang 60 89
=3
=1
Berat 90 119
=4
=1
=2
=3
=0
Kadang- kadang
=1
Sering
=3
Setiap saat
=4
= 0 29
Ringan
= 30 59
Sedang
= 60 89
Berat
= 90 119
Sangat berat
= 120
= < 90 mg/dl
Sedang
= 90 200 mg/dl
Tinggi
4. Transfering
Transfering adalah kegiatan memindahkan jawaban/kode jawaban ke dalam master
sheet (terlampir).
5. Tabulating
Tabulating adalah kegiatan menyusun dan meringkas data yang masuk dalam bentuk tabel,
diagram batang dan lingkaran.
4.9 Etika Penelitian
Penelitian yang menggunakan objek manusia tidak boleh bertentangan dengan etika
agar hak responden dapat terlindungi. Untuk itu perlu adanya ijin dari Pihak Rumah Sakit
bagian Diklat Pokja Keperawatan kepada Kepala Ruangan Dahlia 2 RSUD Jombang, setelah
mendapat persetujuan baru penelitian dilakukan dengan menggunakan etika sebagai berikut
(Nursalam, 2008) :
1. Memberikan Informed Consent
Lembar persetujuan diedarkan kepada responden sebelum penelitiandilaksanakan terlebih
dahulu responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang akan terjadi
selama pengumpulan data. Jika responden bersedia diteliti maka harus menandatangani
lembar persetujuan tersebut, bila tidak bersedia maka peneliti harus tetap menghormati hakhak responden.
2. Anonymity (tanpa nama)
Dalam menjaga kerahasiaan identitas responden peneliti tidak mencantumkan nama
responden pada lembar pengumpulan data dan cukup memberikan kode.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dan kerahasiaan dari responden dijamin
peneliti.