Anda di halaman 1dari 88

BAB I

PENDAHULUAN

Mandibula merupakan bagian dari muka yang ikut menentukan bentuk


wajah seseorang, terutama sepertiga bagian bawah. Selain berfungsi estetik,
mandibula berperan dasar mulut yang berfungsi untuk mengunyah, menelan,
bicara dan menguap. Seperti organ tubuh lainnya, tulang mandibula dapat
mengalami kelainan antara lain tumor jinak maupun ganas. Diantara tumor jinak
mandibula yang sering dijumpai adalah ameloblastoma, sedangkan tumor ganas
primer terutama osteosarkoma. Paska reseksi tumor mandibula biasanya timbul
defek besar
Tumor mandibula adalah tumor jinak odontogenik pada mandibula yang
mempunyai kecenderungan tumbuh ekspansif dan progresif, hingga menimbulkan
deformitas wajah.Tumor mandibula adalah tumor jinak epitel yang besifat
infltratif, tumbuh lambat, tidak berkapsul, berdiferensiasi baik.Lebih dari 75 %
terjadi akibat adanya kista folikular.
Tugas terpenting dari ahli anestesiologi adalah manajemen jalan napas
pasien. Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan
napas berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang
bertanggung jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik
pasien terhadap kontrol pernapasan. Data morbiditas dan mortilitas yang telah
dipublikasikan menunjukkan dimana kesulitan dalam menangani jalan napas dan
kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk
bagi pasien tersebut. Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam
memberikan ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang sedang
dioperasi mengalami mati jantung (cardiac arrest). Salah satu penyebab utama
dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata oleh American Society
of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernapasan
yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut. Tiga
kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi sebanyak 75% pada saat tatalaksanan
jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%),

1
dan kesulitan intubasi trakhea (17%). Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari
studi kasus, mengalami kematian dan kerusakan otak. Sebanyak 300 pasien (dari
15411 pasien di atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan
napas yang minimal. Menurut Cheney et al menyatakan beberapa hal yang
menjadi komplikasi dari tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan
napas, pneumothoraks, obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus.
Berdasarkan data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas yang
baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi dan beberapa langkah berikut
adalah penting agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1) anamnesa dan
pemeriksaan fisik, terutama yang berhubungan dengan penyulit dalam sistem
pernapasan, (2) penggunaan ventilasi supraglotik ( seperti face mask, Laryngeal
Mask Airway/LMA), (3) tehnik intubasi dan ekstubasi yang benar, (4) rencana
alternatif bila keadaan gawat darurat terjadi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 THE DIFFICULT AIRWAY (JALAN NAFAS SULIT)

A. ALGORITMA JALAN NAFAS SULIT


Pada tahun 1993, ASA’s Task Force pada jalan nafas sulit pertama kali
menerbitkan algoritma yang menjadi pokok manajemen jalan nafas untuk klinisi.
Algoritma ini diterbitkan lagi pada tahun 2003. Perubahan paling dramatis pada
“ASA Difficult Airway Algorithm (ASA-DAA)” yaitu penempatan LMA dari
jalur emergensi menjadi rutin. ASA mengartikan “difficult airway” sebagai situasi
dimana anaestesiologist terlatih konvensional mengalami kesulitan dengan
ventilasi masker atau keduanya. Berdasarkan data yang ada, insidens kegagalan
intubasi yaitu 0,05 hingga 0,35 %, sedangkan insidens kegagalan intubasi/
ketidakmampuan melakukan ventilasi masker yaitu 0,01 hingga 0,03%.
Algoritme ASA bertindak sebagai model pendekatan terhadap kesulitan
jalan nafas bagi perawat anestesi, dokter gawat darurat dan tenaga diluar rumah
sakit, juga ahli anestesi. Walaupu algoritme banyak menjelaskan tentang
algoritme, gambaran yang menonjol yang dibicarakan di sini. Satu pernyataan
pada dokumen ini mensimpulkan kesulitan menulis dan merekomendasikan
manajemen pada kesulitan jalan nafas: “ Kesulitan jalan nafas mewakili interaksi
yang kompleks antara factor pasien, keadaan klinis dan ketrampilan personel.”
Jalan masuk algoritma dimulai dengan evaluasi jalan nafas. Walaupun
terdapat beberapa pertentangan sepert metode dan indeks nilai yang dievaluasi,
klinisi harus menggunakan seluruh data yang ada dan pengalaman klinis sendiri
untuk mencapai penilaian umum sebagai kesulitan jalan nafas pasien dalam hal
laringoskopi dan intubasi, tehnik ventilasi supraglotik, resiko aspirasi atau
toleransi apnu.
Evaluasi ini harus mengarahkan klinisi untuk memasuki algoritme ASA
pada satu dari dua poin dasar : A-“awake intubation”, atau B- usaha intubasi
setelah induksi anestesi umum. Ini menyoroti penamaan yang salah tidak hanya

3
untuk kesulitan jalan nafas, tapi relevan terhadap seluruh keadaan dimana jalan
nafas ditangani. Kotak B menggambarkan pendekatan yang diambil pada
kebanyakan intubasi trakea ( dan dapat diterapkan untuk masker wajah-dan SGA-
pasien). Keputusan untuk memasuki algoritme via kotak A atau B merupakan
suatu premanajemen. Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi,
sedangkan
1. ALGORITMA JALAN NAFAS SULIT

kotak B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. Keputusan
ini dapat disaring pada penekanan perkembangan SGA. Takenaka,
mempertanyakan kebutuhan untuk memasuki kotak ASA DAA saat SGA
dipertimbangkan berguna walaupun kesulitan jalan nafas pada intubasi
laringoskopi trakea sudah diantisipasi. Ini sudah lebih jauh digambarkan ke
dalam jalur keputusan reoperatif oleh Rosenblatt. Gambar 2-27 menguraikan
algoritme pendekatan jalan nafas (AAA). Pilihan cabang seperti pernyataan yang
sebelumnya ditekankan dari panduan praktis ASA, sangat tergantung pada

4
ketrampilan dan pengalaman klinisi. Rincian AAA dapat ditemukan ditempat lain
dan disimpulkan di sini:
1. Apakah dibutuhkan pengendalian jalan nafas? Tidak masalah seberapa
rutin sedasi atau anestesi umum mempunyai potensi mengakibatkan pasien
apnu, sebaiknya selalu dipertimbangkan secara serius dan alternatifnya
harus dipertimbangkan
2. Akankah laringoskopi langsung akan sulit? Jika terdapat indikasi dimana
laringoskopi langsung akan sulit (berdasarkan pemeriksaan fisik dan
riwayat), klinisi dapat melakukan dengan dengan teknik lain (induksi,
laringoskopi langsung, LMA, dll)bila sesuai klinis. Ini adalah esensi dari
kotak B ASA-DAA.
3. Dapatkah ventilasi SGA digunakan? Jika klinisi merasa bahwa terdapat
suatu alasan fisik bahwa ventilasi SGA (dengan facemask, LMA, atau alat
yang lain) akan sulit, suatu titik “tidak dapat diintubasi/tidak dapat
diventilasi)” (CNI/CNV) telah dicapai. Karena ini merupakan algoritme
preoperative, kotak A ASA-DAA dipilih
4. Apakah terdapat resiko aspirasi? Seperti dibicarakan di awal, pasien
dengan resiko aspirasi bukan kandidat untuk pengunaan SGA elektif.
Suatu titik waktu “ tidak dapat diintubasi/seharusnya tidak diventilasi”
telah dicapai dan kotak ASA-DAA dipilih
5. Akankah pasien mentoleransi suatu periode apnu? Pertanyaan 3 dari daftar
ini sulit dijawab dan sangat sangat tergantung pada ketrampilan dan
pengalaman klinisi. Bila intubasi gagal, dan ventilasi tidak adequate,
kemampuan pasien untuk mempertahankan saturasi oksigen akan
ditentukan kemampuannya untuk mentoleransi periode apnu. Faktor
seperti usia, obesitas, status pulmo, komsumsi oksigen abnormal ( mis,
demam), dan pilihan obat induksi akan mempengaruhi ini. Faktor ini telah
didiskusikan secara terperinci di tempat lain. Untuk mengilustrasikan
penerapan klinis AAA, jalur algoritme ini akan diikuti skenaro klinis pada
akhir bab ini.

5
Persiapan pasien untuk intubasi “awake” didiskusikan nanti. Pada
kebanyakan keadaan, intubasi “awake” berhasil jika pendekatan dengan perhatian
dan kesabaran. Jika intubasi “awake” gagal, klinisi memiliki sejumlah pilihan.
Pertama, dapat dipertimbangkan pembatalan pembedahan. Pada situasi ini.
Peralatan atau personil khusus dapat dikumpulkan untuk kembali ke ruang
operasi. Jika pembatalan tidak dipilih, dapat dipertimbangkan teknik anestesi
regional, atau, jika situasi membutuhkan, jalan nafas bedah (mis, trakeostomi)
dapat diilih.
Keputusan untuk melanjutkan dengan anestesi regional karena jalan nafas
telah dinilai atau terbukti sulit untuk ditangani harus dipertimbangkan dalam hal
resiko dan benefit (table 22-15). ASA-DAA benar-benar berguna pada jalan nafas
sulit yang tidak diantisipasi (kotak B, tidak dapat diintubasi dengan laringoskopi
langsung setelah induksi anestesi). Jika obat induksi (dengan atau tanpa pelemas
otot) telah diberikan dan jalan nafas tidak dapat dikendalikan, keputusan
manajemen vital vital harus dibuat secara cepat. Secara tipikal, klinisi telah
mencoba laringoskopi langsung dan intubasi setelah anestesi ventilasi “mask”
yang berhasil atau gagal (kecuali induksi cepat sedang dilakukan). Bahkan jika
saturasi oksigen pasien tetap adequate dengan usaha ini, jumlah usaha
laringoskopi sebaiknya dibatasi hingga tiga kali. Seperti didiskusikan di awal,
trauma jaringan lunak dapat terjadi akibat laringoskopi multipel, yang
memperburuk keadaan. Pertama, ventilasi “mask” sebaiknya dilakukan. Jika
“facemask” adekuat, jalur nonemergensi ASA-DAA dimasuki. Klinisi kemudian
dapat berubah teknik ke yang paling nyaman dan/atau cocok untuk melakukan
intubasi jika dibutuhkan. Ini dapat termasuk, tapi tidak dibatasi, oral “blind” atau
intubasi nasal; intubasi yang difasilitasi dengan bronkoskop fiberoptik, LMA,
LMA-Fastrach, bougie, lighted stylet, atau retrograde wire; atau jalan nafas bedah.
(Paling luas diterapkan pada prosedur ini, juga teknik baru, didiskusikan di
skenario klinis pada bagian selanjutnya bab ini). Jika ventilasi masker gagal,
algoritma menyarankan ventilasi supraglotis melalui LMA. Jika berhasil, jalur
nonemergensi ASA-DAA telah dimasuki lagi dan teknik alternative intubasi

6
trakea dapat digunakan, jika dibutuhkan (mis, mungkin ventilasi LMA adekuat
untuk situasi klinis).
Bila ventilasi LMA gagal mempertahankan pasien, jalur emergensi
dimasuki. ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube,
rigid bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.
Pada suatu waktu, keputusan untuk membangunkan pasien sebaiknya
dipertimbangkan berdasarkan adekuasi ventilasi, resiko aspirasi, dan resiko
memelakukan percobaan intubasi atau prosedur pembedahan.
Pemposisian LMA kedalam algoritme (pada publikasi ulang tahun 2003)
berdasar pada lebbih dari 12 tahun penggunaan klinis di Amerika (dan lebih dari
20 tahun pengalaman di seluruh dunia). Relatif sedikit kasus kegagalan LMA
dalam menghadapi situasi“CNI/CNV” telah dilaporkan. Tiga kategori berperan
pada kegagalan ini: sudut oral-faring akut, sumbatan pada level hipofaring,
sumbatan di bawah liptan fokal. Sebaliknya banyak kasus penyelamatan dengan
LMA pada jala nafas gagal telah dilaporkan. Walau studi control jarang, Parmer
mencatat bahwa seluruh kasus CNI/CNV (dengan pengecualian sumbatan
subglotis iatrogenic) terjadi pada periode 2 tahun pada satu ruma sakit
diselamatkan dengan LMA.

2. MANAJEMEN JALAN NAFAS “AWAKE”


Manajemen jalan nafas “awake” masih suatu arus utama dari ASA-DAA.
Intubasi “awake” memberikan banyak keuntungan atas keadaan anestesi,
termasuk menjaga ventilasi spontan pada keadaan dimana jalan nafas tidak dapat
diamankan secara cepat, meningkatkan ukuran dan patensi faring, penempatan
relative kedepan pangkal lidah, penempatan posterior laring, dan patensi ruang
retropalatum. Efek sdatif dan anestetik umum pada patensi jalan nafas mungkin
sekunder terhadap efek langsung pada motorneuron dan system activating
reticular. Pada pasien tidur apnu dapat cenderung jadi obstruksi dengan sedasi
minimal. Sebagi tambahan, keadaan sadar mempertahankan tonus spinkter
esophagus bawah dan atas, sehingga mengurangi resiko reflux. Pada kejadian
reflux, pasien dapat menutup glottis dan/atau mendorong benda asing yang

7
diaspirasi dengan batuk menunjukkan bahwa refleks ini tidak ditumpulkan oleh
anestetik local. Pasien yang beresiko terhadap sequele neurologist (mis, pasien
dengan kelainan tulang servikal yang tidak stabil) mungkin memerlukan
monitoring sensoris-motor setelah intubasi takea. Pada situasi emergensi, perlu
perhatian (mis, rangsangan kardiovaskuler pada iskemia kardiak atau resiko
iskemia, bronkospasme, penigkatan tekanan intra okuler, peningkatan tekanan
intracranial) tapi tidak kontraindikasi absolute untuk awake intubasi.
Kontraindikasi terhadap elektif awake intubasi termasuk penolakan pasien atau
tidak kooperatif (mis, anak kecil, retardasi mental berat, demensia, intoksikasi)
atau alergi terhadap anestetik local.
Sekali klinis telah memutuskan untuk melakukan manajemen jalan nafas
awake, pasien harus dipersiapkan baik fisik dan psikologis. Kebanyakan pasien
dewasa akan menghargai penjelasan akan kebutuhan akan pemeriksaan jalan nafas
awake dan akan lebih kooperatif saat menyadari kepentingannya, dan rasionalisasi
untuk prosedur yang tidak nyaman. Sekali jalan nafas sudah dipersiapkan, pasien
akan menyadari bahwa mereka selanjutnya tidak mengalami ketidak nyamanan
selama intubasi.
Bagian dari penjelasan yang sesuai, pengobatan dapat juga digunakan
untuk menghilangkan kecemasan. Jika sedative digunakan, klinisi harus meyadari
bahwa mengakibatkan obstruksi atau apne pada pasien sulit jalan nafas dapat
membahayakan dan pasien yang terlalu tersedasi menjadi tidak dapat melindungi
jalan nafas terhadap regurgitasi isi lambung, atau kerjasama dengan prosedur.
Dosis kecil benzodiazepine (diazepam, midazolam, lorazepam) umumnya
digunakan untuk meredakan kecemasan tanpa mengakibatkan depresi nafas yang
signifikan. Obat-obat ini dapat diberikan iv atau oral (jika tersedia) dan dapat
diriverse dengan spesifik antagonis. (mis, flumazenil). Opioid agonis reseptor
(mis, fentanil, alfentanil, remifentanil) dapat juga digunakan dengan dosis kecil,
titrasi untuk efek sedasi dan antitusif walaupun perhatian harus diberikan.
Antagonis spesifik (mis, naloxon) harus selalu tersedia secara cepat. Ketamin dan
droperidol dan obat baru, dexmetomodine, juga sudah dikenal dikalangan klinisi.

8
Pemberian antisialagogus penting untuk keberhasilan teknik intubasi
awake. Seperti akan dibicarakan dibawah, pembersihan sekresi jalan nafas penting
untuk penggunaan instrument optic indirek (mis, bronkoskop fiberoptik,
laryngoskop fiberoptik rigid) karena sedikit cairan dapat menghalangi lensa
objektif. Obat yang umum digunakan atropine (0,5 – 1 mg im atau iv ) atau
glicopyrolat (0,2 – 0,4 mg im atau iv) memiliki efek lain yang bermakna: dengan
mengurangi produksi saliva, obat ini meningkatkan efektifitas anestesi local
dengan menyingkirkan barier terhadap kontak mukosa dan mengurangi
pengenceran obat. Vasokonstriksi jalan nasal dibutuhkan jika terdapat
instrumentasi bagian dari jalan nafas ini. Jika pasien beresiko terhadap regurgitasi
lambung dan aspirasi, tindakan pencegahan harus dilakukan. Juga bijaksana untuk
memberikan oksigen suplemen kepada pasien dengan kanul nasal (dapat
ditempatkan pada hidung atau mulut).
Anestetik local merupakan dasar dari tehnik pengendalian jalan nafas
awake. Jalan nafas, dari pangkal lidah hingga bronkus, terdiri dari jaringan yang
sangat sensitive. Anestesia topical dan tehnik blok saraf telah dikembangkan
untuk menumpulkan refleks protektif jalan nafas juga untuk menimbulkan
analgesia. Seperti diketahui dengan baik oleh praktisi anestetik, anestetik local
adalah obat yang efektif dan berbahaya. Klinisi harus memiliki pemahaman yang
benar mengenai mekanisme aksi, metabolisme, toksisitas, dan dosisi oabat
kumulatif yang dapat diterima yang dipilih untuk jalan nafas. Karena banyak dari
obat ini akan berada di saluran trakea-bronkial dan akan menuju alveolus, akan
terdapat absorsi intravaskuler yang signifikan dan cepat. Walau tersedia banyak
sekali anestetik local, hanya yang paling umum digunakan yang akan dibicarakan
di sini.
Diantara otolaringologist, kokain merupakan obat topical yang popular.
Tidak hanya anestetik local yang sangat efektif, tapi juga satu-satunya anestetik
local yang vasokonstriktor poten. Biasanya tersedia dalam larutan 4%. Dosis total
yang diaplikasikan ke mukosa sebaiknya tidak melebihi 200 mg pada dewasa.
Kokain sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang diketahui hipersensitif
kokain, hipertensi, penyakit jantung iskemi, preeklamsia, atau yang

9
mengkonsumsi MAOI. Karena kokain dimetabolisme oleh pseudokolinesterase,
dikontraindikasikan pada pasien-pasien yang defisiensi enzyme ini.
Lidokain, suatu anestetik local amida, tersedia dalam sediaan dan dosis
yang sangat bervariasi (tbel 1). Diberikan secara topical, onset puncaknya dalam
15 menit. Level toksik plasma mungkin tercapai tapi tidak umum dilaporkan pada
manajemen jalan nafas.
Tetrakain suatu anestetik local amida dengan masa kerja yang lebih
panjang dari kokain atau lidokain. Tersedia larutan 0,5%, 1%, dan 2%. Absorpsi
obat ini dari traktus respiratorius dan gastrointestinal, dan toksisitas setelah
pemberian nebulisasi telah dilaporkan dengan dosis serendah 40 mg, walau dosis
aman yang dapat diterima pada orang dewasa 100 mg.

Tabel 1
Sediaan Lidokain
SEDIAAN DOSIS
Larutan injeksi/topical 1%, 2%, 4%
Larutan kental 1%, 2%
Obat oles 1%, 5%
Aerosol 10%

Terdapat tiga daerah anatomis yang klinisi arahkan terapi anestetik local:
rongga hidung/nasofaring, faring/pangkal lidah, dan hipofaring/laring/trakea.
Rongga hidung dipersarafi oleh nervus palatinum mayor dan minor (mempersarafi
konka nasalis dan hamper seluruh septum nasal) dan nervus etmoidalis anterior
(mempersarafi nares dan 1/3 anterior septum nasal). Dua saraf palantinus keluar
dari ganglion spenopalantinus, menuju konka posterior hingga medial. Dua tehnik
untuk blok saraf telah diterangkan sebelumnya. Ganglion dapat dicapai melalui
pendekatan noninvasive nasal: kapas lidi dibasahi dengan anastetik local melewati
hingga mencapai dinding atas konka medialis dan dinding posterior nasofaring.
Didiamkan selama 5-10 menit. Pada pendekatan oral, sebuah jarum ditusuk ke
dalam foramen palantins mayor, yang dapat dipalpasi pada aspek lateral posterior,
1 cm medial terhadap molar dua dan tiga. Larutan anestetik (1-2 ml) disuntikkan
dengan menggunakan jarum spinal ke arah superior/posterior pada kedalaman 2-3

10
cm. Hati-hati agar tidak menyuntik arteri spenopalatinus. Saraf etmoidalis anterior
dapat diblok dengan kapas lidi yang dibasahi anestetik local yang ditempel pada
permukaan dorsal hidung hingga lempeng kribiformis anterior. Anestetik local
ditempel hingga 5-10 menit.
Beberapa pasien mungkin membutuhkan blok NGF, khususnya bila tehnik
topical tidak secara adekuat memblok refleks muntah. Cabang saraf ini paling
mudah dicapai karena melintasi liapatan palatogossal. Lipatan ini kelihatan
sebagai cekungan jaringan lunak, yang meluas dari aspek posterior palatum moll
eke pangkal lidah, secara bilateral.
Cabang internal nervus laryngeal superior (NLS), yang merupakan cabang
nervus vagus, memberikan persarafan pangkal lidah, epiglottis, lipatan
ariepiglottis, dan aritenoid. Cabangnya berasal dari NLS lateral menuju kornu os
hyoid. Kemudian menembus membrane thyrohyoid dan berjalan dibawah mukosa
pada ceruk pyriformis. Bagian terakhir dari NLS, cabang eksternal, mempersarafi
motorik ke otot crycotyroid. Beberapa blok dari nervus ini telah dijelaskan. Pada
banyak kasus pemberian topical abat anestetik pada rongga mulut akan
memberikan analgesia yang cukup. Blok eksternal dilakukan dengan pasien
supine dengan kepala ekstensi dan klinisi berdiri ipsilateral terhadap nervus yang
akan diblok. Di bawah angulus mandibula klinisi mengidentifikasi kornu superior
os hyoid. Menggunakan satu tangan, dilakukan tekanan yang di arahkan medial
kontralateral kornu hyoid, menggeser kornu hyoid ipsilateral ke arah klinisi.
Perhatian harus diberikan untuk menentukan lokasi arteri karotis dan
menggesernya jika diperlukan. Jarum dapat ditusukkan secara langsung di atas
kornu hyoid dan berjalan keluar kartilago pada arah anterior-kaudal hingga
melewati membrane di kedalaman 1-2 cm. Sebelum penyuntikan anestetik local,
uji aspirasi harus dilakukan untuk meyakinkan suntikan tidak memasuki faring
atau suatu struktur vascular. Anestetik local dengan epinefrin (1,5-2 ml)
disuntikkan pada ruang antara membrane tyrohyoid dan mukosa faringeal. NLS
dapat juga diblok dengan tehnik internal blok noninvasive. Pasien diminta untuk
membuka mulut lebar-lebar, dan lidah dipegang menggunakan spatel lidah.
Forsep sudut kanan (mis, Jacson-Krause forceps) dengan kaps lidi yang dibasahi

11
anestetik local di olesi pada lidah bagian lateral dan kedalam sinus pyriformis
secara bilateral. Kapas oles ditahan selama 5 menit.
Persarafan sensoris pita suara dan trakea diberikan oleh nervus laryngeal
recurrent. Penyuntikan anestetik local transtrakeal dapat dengan mudah dilakukan
untuk menghasilkan analgesia yang adekuat, dan tehnik ini akan dijelaskan di
bawah secara rinci. (lihat Seksi Intubasi Retrograd, Kasus 2). Disuntikkan
lidokain 2% atau 4%, 4 ml.
Tehnik yang efektif dan noninvasif analgesia topical trakea dan pita suara
menggunakan saluran kerja fiberoptik bronkoskop. Kerugian tehnik ini yaitu
larutan yang meninggalkan saluran kerja daapat menghalangi lensa objektif. Hal
ini dapat diatasi dengan menggunakan kateter epidural, dimasukkan melalui
saluran kerja, seperti dijelaskan oleh Ovassapian. Tidak hanya mencegah
menghalangi pandangan, tetapi juga tujuan khusus aliran anestetik.

3. Skenario Klinis Jalan Nafas Sulit


Klinisi mendekati pasien dengan kesulitan jalan nafas memiliki dan instrument
yang dapat diaplikasikan untuk mengamankan dan mempertahankan oksigen dan
ventilasi. Walaupun panah ini dapat membingungkan, penulis textbook tidak
dapat memaksakan pendekatan khusus pada setiap situasi; lebih lagi variasi
penampilan pasien menyebabkan sulitnya rekomendasi khusus. Sehingga untuk
membahas manajemen, seksi selanjutnya menampilkan sejumlah scenario klinis
singkat dan pendekatan penulis sendiri. Tehnik manajemen jalan nafas alternative
mayor dibahas pada cara ini. Seluruh kasus klinis dijelaskan disini telah ditangani
oleh penulis atau kolega. Tehnik lain yang mungkin diaplikasikan pada masing-
masing situasi juga dibicarakan, bersama dengan “jalur keputusan” penulis sendiri
sesuai penerapannya. Pada kasus ini, seperti pada praktek sebenarnya, tehnik
pertama yang diaplikasikan mungkin tidak yang terbaik. Prinsip fleksibilitas (dan
pandangan yang seksama untuk kebutuhan untuk merubah cara secara cepat)
ditetapkan secara berulang. Dalam pandangan kepentingan kritis tindakan
pengendalian jalan nafas, klinisi harus dipersiapkan untuk merubah pendekatan

12
sesuai kebutuhan situasi. Tabel 22-17 memperlihatkan jalur penulis melalui AAA
dengan masing-masing kasus.
Saat laringoskopi langsung dan intubasi trakea gagal. Klinisi memiliki
banyak macam peralatan untuk digunakan. Karena keberhasilan laringoskopi
langsung tergantung pada distorsi jaringan yang cukup (untuk menciptakan garis
pandangan), tehnik yang tidak memerlukan alinmen anatomi yang sama mungkin
sukses setelah gagal laringoskopi langsung. Fiberoptik, SGA, bantuan mandren
(mis, mandren berlampu) dan tehnik retrograde dapat memberikan alternative
keberhasilan. Tapi tehnik ini juga memerlukan suatu ketrampilan alternative. Pada
kesulitan atau bahkan situasi kritis seperinya tidak membantu bila mengganti
suatu tehnik yang tidak dilatih.
Sayangnya, klinisi jarang melakukan tehnik alternatif hingga muncul suatu
situasi yang sulit. Heidegger memperkenalkan algoritme sederhana untuk
memasukkan trakeal intubasi yang dibantu fleksibel fiberoptik menjadi kbiasaan
sehari-hari sebagai alternative rutin laringoskopi langsung. Insiden kesulitan
intubasinya yaitu 6 dari 1.324 kasus, atau 0,049%, jauh lebih rendah daripada
0,3% dari laporan sebelumnya.

4. Intubasi dengan bantuan Fleksibel Fiberoptik


Penggunaan Bronkoskop Fiberoptik pada Penanganan Jalan Nafas. BFO
merupakan alat yang sangat penting pada anesthesia, didapatkan pada 99% survey
anggota aktif ASA. Tehnik intubasi yang dibantu fiberoptik pertama kali
dilakukan menggunakan koledoskop pada pasien dengan penyakit Still’s (arthritis
onset dewasa, idiopatik). Pada akhir 1980an dikenal penggunaan fleksibel BFO
mewakili suatu kemajuan pada penanganan pasien dengan kesulitan jalan nafas
dimana ahli menetapkan bahwa anesthesiologist dapat diusahakan lancer dengan
tehnik ini. Sekarang umumnya diterima bahwa untuk situasi klinis yang
bervariasi, BFO merupakan alat kritis pada …..anestesiologist menghadapi pasien
sadar atau tidak sadar yang sulit untuk diintubasi. BFO telah terbukti merupakan
alat yang paling erguna pada keadaan ini.

13
Tidak ada indikasi yang benar atau tetap untuk intubasi yang dibantu BFO,
seperti dengan laringoskopi langsung (mis, induksi urutan cepat) untuk pasien
lambung penuh). Bagaimanapun terdapat banyak situasi klinis dimana BFO dapat
menjadi alat Bantu yang tidak parallel dalam mengamankan jalan nafas,
khususnya jika klinisi telah membuat suatu usaha untuk memahirkan ketrampilan
penting dengan mengunakannya pada intubasi rutin. Ini memasukkan intubasi
sulit yang telah diantisipasi karena riwayat atau penemuan pemeriksaan fisik,
intubasi sulit yang tidak diantisipasi (dimana tehnik lain telah gagal), obstruksi
jalan nafas bawah dan atas, penyakit tulang servikal yang tidak stabil atau
terfiksasi, efek massa pada jalan nafas bawah atau atas, resiko gigi atau rusak, dan
intubasi awake. Tidak seperti alat lain yang digunakan unuk intubasi trakea, BFO
dapat juga digunakan untuk melihat struktur di bawah level lipatan pita suara.
Sebagai contoh, dapat mengidentifikasi penempatan paipa trakea atau membantu
dalam penempatan pipa trakea lumen ganda. Mungkin membantu dalam
mendiagnosis di dalam trakea dan pohon bronchial, atau dalam pembersihan paru.
Kontraindikasi terhadap intubasi yang dibantu BFO adalah relative dan
revolve mengenai batasan dari alat (Tabel 22-18).

TAbel 2
KONTRAINDIKASI TERHADAP BRONKOSKOPI FIBEROPTIK
Hipoksia
Sekresi jalan nafas yang banyak, tidak membaik dengan pengisapan atau
antisialagogus
Perdarahan dari jalan nafas atas atau bawah, tidak teratasi dengan pengisapan
Alergi anestetik local (untuk percobaan awake)
Ketidakmampuan bekerjasama (untuk percobaan awake)

Karena elemen optikal yang kecil (lensa objektif 2 mm atau lebih kecil),
jumlah menit sekresi jalan nafas, darah, atau debris traumatic dapat menghalangi
visualisasi. Harus hati-hati dalam memindahkan penghalang ini dar jalan nafas:
pemberian antisialagogues (mis, glikopyrolat, 0,2-0,4 mg; atropine, 0,5-1 mg)
akan mengakibatkan efek pengeringan dalam 15 menit, tetapi erhatian harus
diberikan pada pasien yang mungkin tidak dapat mentoleransi peningkatan

14
frekuensi jantung. Vasokontriksi hidung menggunakan oxymetazolin topical,
fenilefrin, atau kokain mengurangi kemungkinan perdarahan jika jalur ini dipilih.
Jika intubasi awake direncanakan menggunakan BFO, pasien harus dapat
bekerjasama (jalan nafas yang tenang, dengan sedikit gerakan kepala, leher, lidah,
laring, merupakan penting untuk keberhasilan. Terakhir, karena intubasi trakea
yang dibantu BFO membutuhkan waktu yang bermakna, khususnya jika klinisi
tidak fasih dengan alat, hipoksia, impending hipoksia merupakan kontraindikasi,
dan metode yang lebih cepat dalam pengamanan jalan nafas (mis, LMA atau jalan
nafas pembedahan) sebaiknya dipertimbangkan.
Elemen dari Bronkoskop Fiberoptik. BFO merupakan alat yang sangat
rapuh dengan elemen optikal dan nonoptikal. Elemen dasar tediri dari bundelan
serat kaca. Masing-masing serat diameternya 8-12 mikron dan dibungkus dengan
lapisan kaca sekunder, merubah cladding. Bantuan klading dalam
mempertahankan gambar dalam masing-masing serat saat cahaya direfleksikan
dari sisi 10.000 kali/meter saat pindah dari lensa objektif ke lensa okuler pada
operator handel.Intubasi BFO khusus memilliki 10.000 hingga 30.000 serat
terbungkus pada 6- cm, kabel insersi tahan air, dengan tanda yang bertahap setiap
10 cm. Walaupun serat dibiarkan untuk berputar saling memutar melalui
panjangnya kabel, mereka bersatu pada kedua ujung dalam pola yang koheren;
yang mana pengaturan pada lensa okuler identik dengan pengaturan pada lensa
objektif, dimana cincin diopter dibiarkan focus. Serat yang rusak, yang mungkin
terjadi karena kabel insersi yang bengkok, menjerat kabel pada peralatan yang
lain, dan menjatuhkan BFO.
Kabel insersi juga terdiri dari saluran kerja: lumen, hingga diameter 2 mm,
yang berjalan dari ujung distal ke handel. Dapat digunakan untuk suction, atau
oksigen, dan pengaliran cairan lavase atau obat-obatan. (mis, anestetik local).
Terdapat satu laporan rupture gaster dikarenakan insuflasi oksigen melalui saluran
kerja saat BFO didalam esophagus. Secara umum, diameter eksternal BFO <2 mm
(mis, pediatric) tidak memiliki saluran kerja. Dua kabel berjalan dari lever pada
handel kebawah panjang dari insersi kabel mengontrol gerakan ujung distal pada
bidang sagital. Seluruh kabel insersi dilindungi oleh bungkus metal hingga level

15
dari uujung distal, yang susah untuk gerakan. Gerakan bidang koronal dicapai
dengan kombinasi penggunaan control lever dan rotasi seluruh BFO dari handel
ke ujun distal. Karena serat dapat bergerak atas yang lain, kecuali ditempat
bersatu pada ujung ekstrim kabel optic, control rotasional dimaksimalkan dengan
mengurangi lengkingan pada bungkus BFO.
Elemen terakhir dari dari BFO yaitu sumber cahaya. Iluminasi objektif di

berikan oleh satu atau dua bundle nonkoheren fiber glass yang mengirimkan sinar

dari handel menuju ujung distal. Cahaya diberikan baik oleh kabel universal yang

timbul dari handel dan diinsersi ke sumber cahaya endoskopi, atau mungkin

diberikan oleh sumber cahaya yang yang dioperasikan dengan batre pada handel.

Persiapan Bronkoskop Fiberoptik. Saat pendekatan intubasi intubasi


dibantu BFO, satu hal harus diyakinkan yaitu alatnya dapat digunakan. Serial
pemeriksaan harus dilakukan, seperti dalam daftar table 22-19
Penggunaan Bronkoskopi Fiberoptik. BFO dipegang oleh tangan
nondominan, ibu jari pada control lever dan jari telinjuk pada pada katup saluran
kerja. Tangan dominant akan digunakan untuk mendiamkan dan menahan kkabel
insersi saat dimanipulasikan pada pasien. Banyak operator tergoda untuk
mengganti tangan, tetapi ibu jari tangan nondominan harus mampu
mengendalikan keseluruhan gerakan lever pengendali. Setiap endoskopis yang
berpengalaman akan mengenal bahwa control yang halus membutuhkan pegangan
pada selubung endoskopi yang tetap, meneruskan ujung objektif ke dalam jalan
nafas, dan melakukan penyesuaian arah yang merupakan dasar seni endoskopi.
Selubung insersi dilicinkan dengan pelumas yang larut air, dan
dimasukkan ke dalam lumen ETT, ujung objektif muncul dari lubang utama ETT.
ETT yang cocok secara klinis harus dipilih, tetapi lebih besar rasio antara
diameter internal ETT dan diameter eksternal selubung insersi, lebih besar resiko
menggantung pada struktur jalan nafas, seperti terjadi pada 20-30% percobaan.
Menggantung (hangup) terjadi saat terdapat celah antara dua alat karena
perbedaan ukuran. Hangup dapat melibatkan penjebakan epiglottis, kartilago

16
kornikulata/aritenoid, lipatan ariepiglotis, atau lipatan pita suara, dan dapat terjadi
dengan sejumlah tehnik yang diarahkan dengan mandren (mis, fiberoptik, kawat
retrograde, mandren bercahaya) walaupun hal tersebut paling mudah digambarkan
dengan intubasi yang dibantu fiberoptik. Orientasi dari bevel pipa trakea sangat
penting dalam hal ini. Pada intubasi orotrakea, celah bevel sepertinya terjebak
pada kartilago aritenoid kanan saat ETT pada posisi konkavitas khususnya di
anterior. Rotasi ETT 90 derajat berlawanan arah jarum jam menempatkan bevel
menghadap secara positif dan memperbaiki pasase. Selama intubasi nasotrakeal,
epiglottis mungkin terjebak, dan posisi bevel keatas (rotasi ETT 90 derajat searah
jarum jam) mungkin memfasilitasi pasase.
Tipe pipa endotrakeal dapat juga mempengaruhi pasase. Telah disarankan
bahwa ujung Parker Flex (Parker Medical, Cincinati, OH) dapat melewati struktur
jalan nafas lebih mudah dari pada bevel ETT standar. Penggunaan ETT berujung
lunak, meminta pasien untuk menarik nafas dalam selama memasukkan ETT, dan
digambarkan bahwa double setup ETT, yang menggunakan ETT kecil (mis, 5,0)
di dalam ETT yang sesuai (mis, 7,5) untuk mengatasi celah yang disebabkan oleh
perbedaan ukuran.
Klinisi memilih rute intubasi, apakah oral atau nasal, berdasarkan
kebutuhan klinis, kebutuhan pembedahan, pengalaman operator, dan tehnik
intubasi lain yang tersedia bila intubasi yang dibantu BFO akan gagal. Faktor
yang terakhir ini penting karena bila percobaan intubasi nasal gagal, terdapat
perdarahan bermakna yang menghalangi tehnik visualisasi indirek yang lain. Rute
nasal dipertimbangkan lebih mudah oleh banyak klinisi. Perbedaan antara oral dan
nasal intubasi yang dibantu BFO dibicarakan pada table 22-20.
Variasi jalan nafas intubasi (IOA) tersedia secara komersial. Fungsi
utamanya yaitu untuk memberikan jalur visual yang jelas dari aperture oral hingga
faring, mempertahankan bronkoskop pada garis tengah, mecegah pasien
menggigit kabel insersi, dan memberikan jalan nafas yang bebas untuk pasien
nafas spontan atau diventilasi dengan masker. Karakteristik umum seluruh IOA
yaitu sebuah saluran sepanjang jalan nafas cukup besar membiarkan pasase pipa
trakea. Jalan nafas Ovassapian (22-33) menyediakan dua set semisirkular, tidak

17
fleksibel penuh yang menstabilkan ETT (hingga ukuran 9,0) pada midline tapi
membiarkan pengangkatan dari jalan nafas setelah intubasi selesai sehingga IOA
dapat dipindahkan dari mulut. Permukaan lidah yang datar pada jalan nafas
memberikan stabilitas rotasional dan lateral yang baik. “The Patil-Syracuse
Endoscopic airway” & “Luomanen oral airway” juga didesain untuk intubasi yang
dilengkapi fiberoptik. Masing-masing memiliki central groove, membuka pada
lingual (Patil-Syracuse) atau palatal (Luomanen), yang mempermudah pencabutan
ETT. Permukaan lidah yang datar menyebabkan stabilitas yang baik. Meskipun
jenis IOA ini memberikan akses yang mudah ke faring, jenis ini lebih besar dari
yang lainnya dan sering menyebabkan ketidaknyamanan paa pasien. The William
airway & Berman airway keduanya didesain untuk intubasi oral blind. Seringkali
mengalami kesulitan saat memanipulasi ujung fiberskop dalam jalan nafas yang
sempit. Keduanya dari bahan plastic yang dibentuk dengan lumen internal yang
sirkuler seluruhnya yang akan menuntun ETT menuju laring. Jalan nafas ini
berukuran kecil dan sering ditoleransi dengan lebih baik oleh pasien yang sadar,
tapi cenderung kurang stabil di atas lidah. Oleh karena lumen internal seutuhnya
sirkuler, Jalan nafas William harus ditarik dari ETT jika ingin dilepas setelah
intubasi, akan sulit jika ETT yang digunakan memiliki sekring sirkuit adapter.
Jalan nafas Berman memecahkan masalah dengan cara memisahkan pada
sepanjang satu sisinya. Plastik sisi sebelahnya ujungnya tipis dan linak. Jika gap
incisisor cukup, jalan nafas dapat dibuka scara lateral ketika akan melepaskan
ETT.
Setelah ETT masuk ke trakea, klinisi dapat memilih melihat ETT dan
anatomi landmark secara simultan untuk memastikan penempatan ETT yang
benar sebelum BFO dicabut.

Tabel 3
BANTUAN TERHADAP INTUBASI DIBANTU FIBEROPTIK
TEHNIK KEUNTUNGAN
Endoscopy mask Mengontrol ventilasi selama berusaha memasang
intubasi dibantu BFO
Laryngeal mask Penampakan yang jelas dari laring dan mampu
memventilasi selama berusaha memasang

18
intubasi BFO
Intubasi retrograde dibantu BFO Menuntun BFO melalui kawat ketika
memasuki trakea
Intubasi fiberoptik retrograde Merubah trakeostomi menjadi oral atau pipa
nasotrakeal ketika intubasi antegrad sulit
ataupun tak mungkin dilakukan
Intubasi dibantu dengan Sangat membantu pada massa
bantuan laringoskopi rigid menyumbat/epiglottis yang besar

Tabel 4
ALASAN UMUM KEGAGALAN INTUBASI DIBANTU BFO

Kurangnya pengalaman: tidak berlatih pada intubasi rutin


Kegagalan mengeringkan jalan nafas secara adekuat: dosis kurang atau tehik
terburu-buru
Kegagalan menganastesi jalan nafas secara adekuat pada pasien sadar: masih ada
sekresi, tehnik yang terburu-buru
Perdarahan rongga hidung: vasokonstriksi tidak adekuat, tehnik terburu-buru,
memasukkan ETT secara paksa
Dasar lidah/epiglottis yang menyumbat: pilihan intubasi buruk jalan nafas;
memerlukan chin lift/jaw thrust
Sedasi tidak adekuat pada pasien awake
Menggantung: ETT terlalu besar
BFO berkabut: pengisap atau oksigen tidak melekat ke saluran kerja; bronkoskop
yang dingin

5. Glidescope

Inovasi baru dari bantuan video telah memunculkan generasi berikutnya


dari peralatan laringoskop yang dilengkapi laringoskop. Glidescope
menampilakan gambar yang diproyeksikan secara elektronik pada layer video
yang berasal dari seperangkat video chip di ujung distal bilah laringoskop seperti
bilah pada laringoskop biasa, tapi dengan sudut lebih tajam (60 derajat).
Penerangan juga berasal dari bagian distal. Konfigurasi memiliki beberapa
keuntungan: (1) laringoskop ini dapat dipegang dengan keahlian yang sama saat
menggunakan laringoskop langsung konvensional. (2) sudut pandanag operator
(mis: perangkat video) diosisikan dekat dengan bagian bilah distal (dengan
demikian komponen fiberoptik yang rapuh dapat dijauhkan). Oleh karena itu

19
operator melihat diposisi belakang lidah, dan kesalahan meletakkan seperti pada
laringoskop konvensional tidak terjadi di sebagian besar kasus. Sama juga dengan
hyperplasia tonsil lingual tidak mempemgaruhi aksis seperti pada laringoskopi
langsung konvensional. (3) Gambar video jalan nafas ditampilkan pada layar
portable ringan. Penampilan video ini memberikan visualisasi pada lebih dari 1
individu (mis: mentor, murid). (4) sedikit trauma pada jalan nafas dengan
mengurangi kekuatan kompresif yang diarahkan pada lidah. (6) sumber cahaya
eksternal tidak diperlukan. Pada saat penulisan ini, tidak ada informasi penelitian
terkontrol yang mnyangkut alat ini.

6. Laringoskop Video Macintosh


Video Macintosh (VM) terdiri dari bilah dan handel laringoskop seperti
yang konvensional. Tangkai stainless steel dipasang dalam bilah yang mendapat
kabel fiberoptik pendek teriri dari sumber cahaya dan kabel optic. Kabel fiber
optic memasuki handel dimana terdapat elemen kamera. Dua kabel yang lebih
basar (dan kurang rapuh) keluar dari handel proksimal dan tersambung kea lat
yang memproses video dan cahaya standar yang brasal dari manufaktur yang
sama. Gambar video ditampilkan di monitor NTSC standar. Meskipun gambar
diproyeksikan dari VM tapi sangat mirip dengan yang terlihat dengan mata
telanjang (1) Penempatan ETT difasilitasi karena operator tidak perlu
mempertahankan garis pandang yang terobstruksi (matanya melihat ke monitor
video), (2) manipulasi laring dari luar dapat dilakukan oprator keua dan (3)
penggunaan VM identik dengan standar laringoskopi langsung, menyebabkan
fasilitas video unik dan bernilai selama intruksi yang disupervisi. Meskipun
penelitian-penelitian terkontrol belum dipublikasikan pada waktu penulisan ini,
VM akan memiliki keuntungan bermakna dalam mengajar beberapa kesulitan
laringoskop.

7. Intubasi Kawat Retrograd


Penggunaan intubasi kawat retrograde (RWI) dalam manajemen jalan
nafas. RWI melibatkan penarikaan seara antegrad atau penuntunan ETT ke dalam

20
trakea mengunakan kawat/kateter, yang telah dilewatkan ke dalam trakea via
tusukan perkutaneus melalui membrane cricotyroid atau membrane cricotrakeal
dan secara buta dilewatkan ke dalam laring, hipofaring, faring dan keluar dari
mulut/hidung. Intubasi retrograde pertama kali ditemukan tahun 1960 oleh Butler
dan Cirillo, dengan penempatan kateter uretral karet merah melalui lubang
trakeostomi sebelumnya melewati laring dan keluar mulut. Tehik perkutaneus
yang sekarang digunkan pertama kali ditemukan oleh Waters tahun 1963,
menggunakan kateter epidural. TAhun 1993 tehnik ini dimasukkan ke dalam
Algoritma Kesulitan Jalan nafas ASA. Peralatan dasar yang digunkan pada tehnik
intubasi retrograde terlampir pada table 22-23. RWI telah digunakan pada
sejumlah kondisi klinis sebagai tehnik intubasi primer (elektif ataupun mendesak)
dan setelah kegagalan laringoskop langsung, intubasi dengan bantuan fiberoptik
dan intubasi LMA. Indikasi yang paling sering adalah kesulitan visualisasi lipatan
pita suara akibat darah, sekresi, ataupun variasi anatomis; tulang servikal yang
tidak stabil, keganasan jalan nafas atas; dan fraktur mandibula. Kontraindikasi
termasuk kesulitan akses ke membrane crycotyroid atau ligament cricotrakeal
(akibat deformitas leher yang parah, obesitas, massa), penyakit laringotrakeal
(stenosis, keganasan, infeksi), koagulopati dan infeksi kulit. Hubungan anatomis
yang dipertimbangkn pada RWI telah dijabarkan di bagian lain pada bab ini.
Umumnya prosedur ini membutuhkan waktu 5 menit. OLeh karena kebanyakan
klinisi tidak fasih dengan tehnik ini, mereka lebih membutuhkan banyak waktu;
jadi pasien dengan hipoksia merupakan kontraindikasi relative untuk RWI. RWI
telah digunakan pada situasi elektif dan emergensi, pada dewasa dan bayi di
kamar operasi, IRD dan diluar lingkungan RS. Komplikasinya dapat dilihat pada
table 22-24.
Dalam kasus yang dilaporkan, teknik lain dapat juga dipertimbnagkan,
meskipun peralatan visual indirek (bronkoskopi fiberoptik fleksibel, laringoskop
fiberoptik rigid) juga dapat digunakan dalam kasus ini, tiga elemen yang
menyebabkan kontraindikasi (1) trauma jaringan akibat percobaan yang berulang
pada intubasi nasal buta sehingga menyebbakan jalan napas yang berdarah,
sehingga mempersulit penggunaan alat ini; (2) pasien tidak mampu bekerja sama

21
akibat adanya gangguan napas; (3) karena kegagalan napas yang tertunda,
sehingga diperlukan sedikit waktu untuk memberikan analgesia jalan napas.
Batuk, tersedak, pada pasien yang sadar penggunaan teknik fiberoptik menjadi
tidak mungkin. Penggunaan intubasi fiberoptik dalam keadaan sadra kan
menyebabkan robekan Mallory-Weiss pada esofagus, sehingga menyebabkan
perdarahan yang signifikan.
Intubasi nasal tanpamelihat adalah teknik pertama yangdilakukan pada
pasien. Sampai akhir-akhir ini intubasi nasal tanpa melihat menyebabkan
gangguan jalan napas, terutama dalam departemen gawat darurat, dimana serig
kali dilakukan intubasi darurat. Teknik ini membutuhkan analgesik yang kuat
pada jalur nasal pasien pada pasien yang sadar. keberhasilan dapat dilihat dari
napas pasien yang menjadi spontan. Dengan kepala dalam posisi Magill, ETT
dimasukkan ke dalam lubang hidung, jalur nasal (pertahankan ETT disepanjang
septum nasal), dan ke dalam faring. Suara napas diauskultasi dari ETT, dan
posisinya disesuaikan untuk menjaganya tetap maksimal. Kepala pasien dan
laringnya dapat dimanipulasi secara eksternal apabila diperlukan.

8. Gagal Induksi Urutan Cepat dan LMA


LMA pada gagal jalan nafas. Satu keuntungan yang jelas dari LMA yaitu
pada gagal jalan nafas. Terdapat banyak laporan (dan tidak dilaporkan) kasus
gagal intubasi dan kegagalan diventilasi dengan facemask dimana jalan nafas
diamankan dengan LMA. Parmet dkk memperkirakan 1:800.000 pasien gagaal
jalan nafas tidak dapat ditangani denganLMA, memberikan peningkatan 80 kali
pada margin keamanan melebihi 1:10.000 pasien yang tidak dapat diventilasi
dengan mask atau diintubasi dengan cara tradisional. Literatur menjelaskan
penggunaan LMA pada manajemen jalan nafas sulit elektif pada awake dan tidak
sadar, pada situasi yang diantisipasi dan tidak, pada trauma tulang servikal, dan
pada sindroma dismorfik pediatrik. Karakteristik LMA yang mendasari
keunggulannya sebagai alat pada jalan nafas sulit yaitu baik ditoleransi,
mensimulasikan distensi alamiah jaringan hipofaringeal oleh makanan, dan
insersinya mengikuti jalur intrinsik, tanpa distorsi jaringan (seperti pada

22
laringoskop), dimamana tidak mungkin pada pasien. Akhirnya merupakan tehnik
blind yang tidak dihalangi oleh darah, sekresi, debris dan edema dari percobaan
laringoskop sebelumnya. Karena kemudahan insersi LMA tidak tergantung pada
anatomi yang dapat dinilai pada pameriksaan fisik rutin, penilaian jalan nafas
khusus tidak sesuai enerapannya. Kerugian terbesar dari LMA yaiyu ketiadan
perlindungan mekanik dari regurgitasi dan aspirasi. Tekanan crycoid efektif pada
LMA. Jika tersedia, LMA Fastrack menjadi alat ideal pada skenario kasus.

9. Lighted Stylets (Mandren Bercahaya)


Alat ini mendasarkan pada pencahayaan pada jalan nafas. Sumber cahaya
diarahkan trakea akan menghasilkan terang jaringan diatas laring dan trakea.
Cahaya yang samaditempatkan dalam esophagus akan menyebabkan cahay difus
atau tidak ada. Sejumlah alat telah tersedia, termasuk disposable, disposable
sebagian dan dapat digunakan ulang secara penuh. Walaupun terdapat banyak
laporan keberhasilan intubasi menggunakan alat-alat ini, beberapa masalah umum
telah dicatat: Secara umum, cahaya ok harus diburamkan untuk menampilkan
sinar sekeliling yang terbaik; ujung mandren berhasil ditempatkan di dalam
trakea, tetapi tidak mengarahkan ke anterior, menyebabkan penilaian false-
negatif; sering susah menarik mandren semirigid dari ETT setelah intubasi.

10. Bougie Jalan Nafas


Menghadapi suatu serial solid dan sempit, mandren semimaleabel dapat
secara blind dimanipulasi ke dalam trakea. Sebuah ETT kemudian dimasuki
bougie dan ke dalam trakea. Bougie ini biasanya murah dan sangat portable.
Eschmann mandren dikenalkan tahun 1949. Panjang 60 cm, bsar 15, dan 40
derajat 3,5 cm dari ujung disatal. Terbuat dari dasar polyester yang maleabel. Bisa
sangat membantu saat laring tidak dapat dilihat dengan laringoskopi. Mandren
(dikenal juga sebagai gum elastic bougie) dapat dimanipulasi di bawah epiglottis,
segmen sudutnya diarahkan ke anterior menuju laring. Sekali memasuki laring
dan trakea, suatu rasa clicking timbul saat ujungnya melewati struktur kartilago.
Alat yang sama, Frova Intubating Introducer merupakan alat disposable, dengan

23
pilihan mandren kaku dan lubang sempit. Lumen internal dapat untuk insuflasi
oksigen, deteksi karbon dioksida, dan penggunaan balon yang terisi sendiri untuk
mendeteksi penempatan ke esophagus.

11. Prosedur Invasif Minimal Transtrakeal


Saat akses ke jalan nafas dari mulut atau hidung gagal atau tidak ada (mis,
trauma maksillofasial, faringeal, atau laryngeal, patologi atau deformitas), akses
emergensi via trakea ekstrathorakal merupakan jalan yang mungkin untuk jalan
nafas. Klinisi harus familiar dengan tehnik oksigenasi dan ventilasi alternative ini.
Keputusan untuk melakukan prosedur invasive dapat sulit, dan kebanyakan klinisi
akan terganggu pada potensi resiko terhadap pasien. Satu yang harus
dipertimbangkan untuk menjadi fasih dengan paling tidak satu dari tehnik ini pada
situasi elektif (seperti aspirasi trantrakeal untuk analgesia jalan nafas atau intubasi
retrograde elektif atau pertimbangkan contohnya bantuan suatu bedah trakeostomi
kolega). Walaupun trakeostomi dan crycotiroidotomi diluar cakupan dari bab ini,
tehnik perkutaneus akan dipertimbangkan.
Cricotiroidotomi, cricotyrotomi, coniotomi dan minitrakeostomi sama
untuk mengamankan jalan udara melalui cricotyroid membrane. Struktur nantomi
dan yang meliputinya sudah dibicarakan sebelumnya di bab ini. Walaupun
cricotyrotomi merupakan prosedur pilihan pada situsi emergensi, dapat juga
digunakan pada situasi elektif saat terdapat akses yang terbatas terhadap trakea
(mis, kiposkoliosi servikal berat). Cricotyrotomi dikontraindikasikan pada
neonatus dan anak dibawah umur 6 tahun, dan pada pasien dengan fraktur laring.

12. Jet Ventilasi Transtrakeal Perkutaneus


Jet ventilasi transtrakeal perkutaneus (JVTP), sebagai bentuk dari
cricotyroidotomi, paling familiar bagi anesthesiologist. ASA DAA mendaftarkan
JVTP sebagai pilihan pada situasi tidak dapat diventilasi mask/tidak apat
diintubasi. JVTP merupakan cara mudah dan aman untuk mempertahankan hidup
pasien pada situasi kritis. Sebuah kateter iv no 12, 14, atau 16 dihubungkan ke
syringe kosong atau sebagian terisi cairan (garam atau anestetik local) yang 5 ml

24
atau lebih besar dapat digunakan untuk memasuki jalan nafas. Pasien diposisikan
supine, dengan kepala pada garis tengah, atau diekstensi terhadap leher dan
thoraks (jika tidak dikontraindikasikan oleh situasi klinis). Setelah persiapan
aseptic, anestetik local disuntikkan di atas membrane cricoid (jika pasien bangun
dan waktu mengijinkan). Klinisi tangan kanan berdiri pada sisi kanan pasien
menghadap kepala. Klinisi dapat menggunakan tangannya yang tidak dominant
untuk menstabilkan laring. Jarum kateter diteruskan pada sudut kanan pada
bidang datar pada kaudal ketiiga membrane. Dari saat penusukan harus dilakukan
aspirasi yang konstan pada syringe. Bebas aspirasi udara menunjukkan masuknya
ke dalam trakea. Kecuali terdapat cairan paru yang signifikan (mis, darah, isi
aspirasi lambung, atau air dari tenggelam), aspirasi udara trakea harus dapat
dikendalikan. Rangkaian kateter-jarum harus diteruskan sedikit-sedikit, dan
selanjutnya kateter dilanjutkan sepenuhnya ke jalan nafas secara sendiri.
Walaupuntehnik ini telah digambarkan dengan angiokateter biasa, tersedia alat
yang dibuat anti kinking dan dengan port asesoris.
Sekali kateter telah berhasil ditempatkan pada jalan nafas, dihubungkan
sumber oksigen. Klinisi memiliki pilihan dalam hal ini. Jika tersedia system
tekanan tinggi, sumber oksigen yang terdapat meterannya dan dapat disesuaikan
dengan katup yang dikontrol tangan dan konektor Luer-lock 25-30 psi oksigen
(suplai oksigen sentral atau regulator silinder) dapat dialirkan secara langsung
melalui kateter, dengan insuflasi 1-1,5 detik dengan jumlah 12 kali/menit. Jika
kateter no 16 telah ditempatkan, system akan mengalirkan volume tidal 400-700
ml. Siatem tekanan rendah tidak dapat mengalirkan cukup aliran untuk
mengembangkan dada secara adekuat untuk oksigenasi dan ventilasi (mis, ambu
bag: 6 psi, gas outlet yang umum: 20 psi).
Tekanan rendah aliran oksigen dapat diunakan untuk TTJV. Sistem ini
mampu mengalirkan secara singkat (0,5 detik) 30 psi tekanan aliran, yang secara
cepat menurun secara cepat menjadi 5 psi atau kurang. Jika sumber oksigen ini
digunakan rasio I:E =1:1 dengan frekuensi 30-60 nafas/menit harus digunakan
untuk menjamin tekanan aliran yang adekuat.

25
Jet Ventilator Muallem mengotomatisasikan siklus pernafasan selama jet
ventlasi. Alat ini dikembangkan terutama untuk penggunaan selama bronkoskopi
tetapi dapat dilakukan untuk TTJV.
Sistem cricotyroidotomi perkutaneus khusus telah dikembangkan yang
mempermudah tehnik ini. Alat ini umumnya menyediakan akses lubang yang
besar yang adekuat untuk oksigenasi dan ventilasi dengan system tekanan rendah.
Set kateter cricotyroidotomi emegensi Melker menggunakan Seldinger-kateter
atas kawat-tehnik yang familiar pada kebanyakan praktisi anesthesia. Setnya
terdiri dari variasi ukuran kanula (3,5 , 4, dan 6 mm diameter internal berbalon
dan tidak berbalon). Persiapan dan penempatan pasien sama seperti dengan jarum
cricotyroidotomi. Incisi vertical 1-1,5 cm kulit dibuat diatas 1/3 bawah membrane
cricotyroid. Ke kaudal 45 derajat, tusukan perkutaneus jaringan subkutaneus dan
membrane cricotyroid dibuat dengan set jarum-kateter no 18 dan syringe. Setelah
udara diaspirasi, kateter dimasukkan ke dalam trakea. Kawat penuntun dimasukan
melalui kateter dan ke dalam trakea. Kateter ditarik dan kanula trakea, yang
dilengkapi dengan dilator dimasukkan melalui kawat. Dilator dimasukkan melalui
membrane menggunakan tekanan yang tetap. Hambatan yang signifikan terhadap
pendorongan mengindikasikan incise kulit perlu diperluas. Sekali dilator kanula
telah dimasukkan secara penuh, dilator dan kawat ditarik. Ujung adapter sirkuit 15
mm kanula kemudian dihubungkan ke ambubag atau sirkuit anesthesia.
Sistem perkutaneus lain termasuk Nu-Trake dan QuickTrach kateter
transtrakeal. Tehnk tusukan tanpa jarum di luar pembahasan sekarang.

KESIMPULAN

Bagian dari monitoring, manajemen rutin jalan nafas pasien merupakan tugas
anesthesiologist paling umum-bahkan selama pemberian anesthesia regional, jalan
nafas harus dimonitor dan dibantu. Sayangnya, tugas rutin sering jadi tugas yang
diterlantarkan dalam hal perhatian yang merupakan hal yang diusahakan setiap
saat. Tetapi konsekuensi kehilangan jalan nafas yaitu bencana dimana klinisi tidak
akan pernah mengusahakan pendekatan yang buruk.

26
Walaupun ASA’ Task Force pada jalan nafas sulit telah memberkan
komunitas kedokteran alat yang sangat bernilai dalam pendekatan terhadap pasien
dengan jalan nafas sulit, algoritma Task Force harus dilihat hanya sebagai titik
awal. Penilaian, pengalaman, situasi klinis, dan sumber yang ada seluruhnya
mempengaruhi ketepatan jalur yang dipilih, atau keluar dari algoritma. Klinisi
tidak butuh jadi ahli untuk seluruh peralatan dan tehnik yang tersedia sekaran ini.
Namun rangkaian luas pendekatan harus dikuasai, sehingga kegagalan dari satu
tehnik tidak menjadikan penghalang kebehasilan.
Hampir sama, komunitas pembuat alat-alat kedokteran, dan klinisi yang
pandangan ke depan yang menyediakannya dengan konsep produk manajemen
jalan nafas, telah menyalurkan alat-alat yang bermacam-macam. Banyak konsep,
dan masing-masing memiliki pendukung dan penela. Tidak aa stupun alat yang
superior diatas yang lainnya bila dipertimbangkan tersendiri. Sehingga klinisi dan
sunbernya (peralatan dan personel) dan penilaian yang menentukan efektivitas
dari masing-masing tehnik. Pada manajemen jalan nafas sulit, fleksibilitas dan
tidak kekakuan yang berlaku.

B. Konsep Jalan Nafas


1. Anatomi Jalan Napas
Kata “jalan napas” (atau airway, dalam bahasa Inggris), mengarah kepada
saluran pernapasan atas, yang terdiri dari rongga hidung dan rongga mulut,
faring, laring, trakhea dan brokus. Jalan napas pada manusia merupakan suatu
saluran udara yang sangat penting dan saling berhubungan. Karena jalan
oroesofageal dan nasotraheal bersilangan, terjadilah suatu evolusi atau perubahan
secara anatomis dan fungsional untuk melindungi jalan napas sublaringeal agar
tidak terjadi aspirasi makanan yang melewati faring.1
Secara anatomis, pertumbuhan dan perkembangan saluran pernapasan atas
sangat kompleks selama masa neonatal dan anak-nak, dan berjalan sesuai dengan
ukuran dan bentuk, dan hal ini disesuaikan lagi dengan ukuran tulang servikal.
Hal ini serupa dengan sistem lainnya dalam tubuh, pertumbuhan dan
perkembangan saluran napas atas dipengaruhi oleh genetik, nutrisi dan hormonal.1

27
Perbedaan anatomis antara anak dan orang dewasa: 1,2,3
 Secara proporsional, ukuran pada anak lebih kecil
 Bagian tersempit: kartilago krikoid pada anak; plika vokalis pada orang
dewasa
 Daerah vertikal : C3, C4, C5 pada anak; C4, C5, C6 pada orang dewasa
 Epiglottis : pada anak lebih panjang, lebar dan kaku
 Pada anak, plika ariepiglotika lebih dekat ke daerah midline
 Pita suara: pada anak, sudut anterior bersinggungan secara tegak lurus dengan
laring
 Pada anak kartilago laryng dapat dibengkokkan
 Mukosa pada anak cenderung mudah rusak karena tindakan manipulatif

Tulang di daerah laring terdiri dari sembilan kartilago (terdapat tiga


pasang ditambah tiga lainnya),yang secara bersama-sama tulang rawan ini
membentuk “rumah” bagi plika vokalis, yang terbentang dari anterior sampai
poterior (kartilago thiroid sampai kartilago arytenoid). Kartilago thyroid yang
berbentuk seperti tameng, bertindak sebagai pelindung di bagian anterior bagi pita
suara. Otot-otot laring terdiri dari dua grup otot yaitu otot ekstrinsik yang
bertugas menggerakkan laring, dan otot intrinsik yang tugasnya berhubungan
dengan otot-otot pada kartilago laring. Laring dipersarafi secara bilateral oleh dua
cabang saraf dari nervus vagus: nervur laringeus superior dan nervus laringeus
rekuren. Oleh karena nervus laringeus rekuren mempersarafi otot intrinsik laring
(kecuali kartilago krikothiroid), adanya trauma pada saraf ini dapat menyebabkan
kerusakan pita suara. Sebagai akibat dari trauma saraf unilateral, fungsi jalan
napas masih baik, tetapi kemampuan laring mencegah terjadinya aspirasi menjadi
menurun.3
Membran krikothiroid memberikan perlindungan di ruang krikotiroid.
Membran ini, berukuran 9mm x 3mm, terdiri dari jaringan kekuningan yang
elastis yang terletak tepat di bawah jaringan subkutan kulit dan di daerah wajah.
Membran ini terletak di daerah anterior leher, yang berbatasan dengan kartilago

28
thyroid di superior dan kartilago krikoid di inferior. Membran ini dapat dirasakan
1-1,5 jari di bawah tonjolan laringeal (thyroid notch, atau Adam’s apple). Dua
pertiga atas dari membran ini dilalui oleh anastomosis dari arteri krikothiroid
superior kiri dan kanan yang berjalan secara horisontal. Di tengah membran
terdapat suatu tonjolah yang disebut conus elasticus, dan dua tonjolan besar
lainnya yang terletak di daerah lateral, yang lebih tipis dan melekat di mukosa
laring. Akibat adanya variasi anatomis terhadap jalannya pembuluh vena dan
arteri serta letaknya yang berdekatan dengan plika vokalis (yaitu 0,9cm di atas
ligamen teratas), maka disarankan bahwa segala bentuk insisi dan pungsi terhadap
membran ini, dapat dilakukan pada sepertiga bawah dan diarahkan ke posterior. 3
Pada bagian dasar dari laring, terdapat karilago krikoid yang berbentuk
cincin, dan kartilago ini “menggantung” dari bagian bawah membran krikotiroid.
Kartilago krikoid berukuran 1cm di anterior dan 2cm di daerah posterior. Trakhea
dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamen krikotrakheal. Trakhea
memiliki panjang ~15cm pada orang dewasa dan terdiri dari 17-18 buah kartilago
yang berbentuk “C” dan di daerah posterior terdapat membran yang berbatasan
dengan esofagus. 3
Cincin trakhea yang pertama , sejajar dengan tulang servikal keenam (C6).
Tulang-tulang rawan trakhea saling dihubungkan dengan jaringan fiborelastik,
yang memudah peregangan dari trakhea baik panjang dan diameternya pada saat
proses inhalasi/ekspirasi dan pada saat fleksi/ekstensi leher. Trakhea berakhir di
karina, yaitu pada vertebra thorakalis kelima (Th5), dan bercabang menjadi dua
cabang bronki. Bronkus kanan memiliki diameter yang lebih besar bila
dibandingkan dengan yang kiri dan membentuk sudut yang lebih besar dengan
trakhea. Karena bronkus ini merupakan cabang langsung dari trakhea, maka
bahan-bahan yang teraspirasi, atau bahkan tube, cenderung lebih mudah masuk ke
bronkus kanan. Cincin tulang rawan akan melindungi bronki sampai tujuh
percabangan terakhir.1,3

2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

29
Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat terutama
yang berhubungan dengan jalan napas atau gejala-gejala yang berhubungan
dengan saluran pernapasan atas. Bila mungkin, perlu dilakukan dokumentasi
terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas.
Tanda dan gejala yang berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya
snoring atau mengorok (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), gigi terkikis,
perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan leher yang
terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi sendi temporo-
mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama setelah
pembiusan. Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat , berhubungan
dengan penyulit tatalaksana jalan napas.4
Suatu keadaan yang patologis dapat ditemukan pada saat dimulai
dilakukannya tindakan anestesi, misalnya pada saat induksi atau ketika
laringoskop dipasang, misalnya pada pasien dengan kesulitan dilakukan mask
ventilation, laringoskopi maupun LMA dikarenakan adanya suatu massa di leher
yang baru ditemukan pada saat itu. 4
Secara umum, intubasi sulit dilakukan akibat kondisi berikut ini : (1)
timbulnya masalah atau kondisi yang tidak memungkinkan untuk intubasi (misal
perut penuh, open globe), (2) anatomi saluran napas yang abnormal, (3) keadaan
gawat darurat, (4) trauma langsung pada laryng dan atau trakhea. Pemeriksaan
fisik harus lebih terfokus pada keadaan gigi geligi, adanya janggut, ukuran mulut,
kemampuan peregangan jaringan lunak di daerah submandibula, ekstensi
atlantooksipital, identifikasi membran krikothiroid dan adanya kelainan patologis
di faring.5
Meskipun penemuan anatomi yang abnormal kemungkinan tidak
sepenuhnya menyebabkan kesulitan dalam bernapas, tetapi kita tetap perlu
berhati-hati. Beberapa peneliti telah menemukan bentuk anatomis yang tidak
menguntungkan apabila dilakukan tindakan laringoskop direk; sendi yang tidak
proporsional, adanya distorsi, terbatasnya gerak sendi, dan tergigit. Dalam usaha-
usaha pertama untuk menjelaskan keadaan anatomi yang berhubungan dengan
intubasi yang sulit, Cass et al menekankan pada keadaan leher pendek dengan

30
jumlah gigi lengkap, letak mandibula yang lebih ke posterior dengan sudut
mandibula yang lebar, gigi insisifus di maksila yang menonjol, gerakan terbatas
dari sendi temporomandibula, palatum yang tinggi dan bersudut, dan
meningkatnya jarak alveolar-mental.3,4
Bila perhatian kita fokuskan pada keadaan rongga mulut, Mallampati
menyarankan bila basis lidah memiliki ukuran besar dan tidak proporsional, maka
kemungkinan besar sulit dilakukan laringoskopi dan intubasi; penyulit timbul
selain karena keadaan anatomis teteapi juga karena sudut antara basis lidah dan
laring yang sempit. Keadaan anatomis ini juga menyebabkan glotis sukar dilihat.
Kebalikannya, secara logika, tentu saja lidah yang proporsional tidak akan
menghalangi jalan atau saluran menuju laryng, sudut tidak sempit atau terbatasnya
gerakan persendian. Lidah yang sangat besar tidak hanya menghalangi laryng,
tetapi juga menutupi ruangan faringeal dan struktur lainnya, termasuk palatum,
uvula dan pilar fausial. Untuk melihat tanda klinis ini, pasien diminta duduk
dengan kepala dalam posisi netral, membuka mulut selebar-lebarnya dan
menjulurkan lidahnya semaksimal mungkin. Klasifikasi Mallampati berdasarkan
pada seberapa jauh basis lidah mampu menutupi struktur daerah faring.2,3
Samson dan Young memodifikasi klasifikasi Mallampati dengan
menambah kelas keempat, yang menggambarkan suatu keadaan yang ekstrim dari
Mallampati kelas III, di mana palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah(tabel
23.3). Dalam “kelas IV” ini, hanya palatum durum saja yang masih tampak.
Hubungan yang signifikan ditemukan antara kelas dan derajat jalan napas dari
sulit tidaknya penampakan glotis melalui laringoskopi direk. Penilaian yang
praktis dari metode ini dilihat dari mudahnya aplikasi. Sayangnya, indeks ini,
sama dengan sebagian lainnya, tidak terbukti cukup sensitif maupun spesifik
dalam menentukan sulit tidaknya mengintubasi pasien.

Tabel 1. Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari


orofaring.
Klasifikasi Klinis
 Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole

31
 Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat
 Kelas III Palatum durum dan palatum mole masih terlihat

 Kelas IV Palatum durum sulit terlihat

Tabel 2. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan


napas.4
Keadaan Patologis Keadaan Klinis yang Mempengaruhi Jalan Napas
Kongenital Micrognasia, makroglossia, glossoptosis, cleft soft
Sindroma Pierre Robin
palate

Sindroma Treacher Defek telinga dan mata, hipoplasi malar dan


Collins (dysostosis mandibula, mikrostomia, atresia choane
mandibulofacial) Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan
Sindroma Goldenhar’s mandibula; oksipitalisasi tulang atlas
(okulo-aurikula- Jembatan hidung tidak terbentuk dengan baik;
vertebral) makroglosia;mikrosefalus;kelainan tulang servikal
Sindroma Down Penyatuan tulang servikal, terbatasnya gerakan leher
Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang
Sindrom Klippel-Feil rawan di tracheobronchial
Sindrom Alpert Makroglossia
Lesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di
Sindrom Beckwith rongga mulut
(infantile gigantisme) Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter;
Cherubism penekanan pada trakhea, deviasi laryng atau trakhea
Abnormalitas kromosom 5P; mikrosepal;
Cretinismus mikrognathia; laryngomalacia, stridor
Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis
Meningkatnya kejadian pheochromocytoma; tumor
Sindrom Cri du Chat dapat muncul di laryng dan
Kaku sendi, obstruksi saluran napas atas akibat
Sindrom Meckel infiltrasi jaringan limfoid; abnormalitas kartilago

32
Von Recklinghausen trakeobronkial; ISPA berulang
disease
Sama dengan sindrom Hurler, tetapi lebih berat;
Sindrom Hurler pneumonia

Deposit otot, makroglossia


Sindrom Hunter

Sindrom Pompe
Edema laryng
DIDAPAT Edema laryng
Infeksi Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus
Supraglotis
Croup Infeksi virus kronis yang membentuk papiloma
Abses (intraoral, yang obstruktif, terutam di suprlagotis. Perlu
retrofaringeal) pembedahan. Dapat berpindah ke subglotis setelah
Papilomatosis trakeostomi.
Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus

Ludwig’s Angina Ankilosis sendi temporomandibula, artritis


krikoarytenoid, deviasi laryng, terbatasnya gerakan
Arthritis leher
Rheumatoid arthritis Ankilosis tulang servikal, jarang terjadi di daerah
temporomandibula, terbatasnya gerakan leher.

Spondilitis ankilosis

Stenosis atau distorsi jalan napas


Tumor Jinak
Kistik higroma,lipoma,

33
adenoma, goiter
Stenosis atau distorsi jalan napas; laryng terfiksasi
Tumor Ganas oleh jaringan fibrosis akibat radiasi
Karsinoma lidah, laryng,
thiroid
Rhinorrhea, edema saluran napas, perdarahan,
Trauma fraktur maksila dan mandibula, kerusakan laryng,
Trauma kepala, wajah, dislokasi vertebra servikal
tulang servikal
Leher pendek dan tebal, lidah yang besar
Lain-lain Makroglossia, prognatismus
Obesitas Edema saluran napas
Akromegali
Combustio

3. Pengelolaan Jalan Nafas (Airway Management)


Bertujuan untuk membebaskan jalan napas untuk menjamin pertukaran
udara secara normal. Pemeriksaan airway dilakukan bersama-sama dengan
breathing menggunakan teknik L (look), L (listen) dan F (feel) yang dilakukan
dalam satu gerakan dalam tempo waktu yang singkat (lihat materi pengkajian
ABC).

Gambar 1. Pemeriksaan airway


Tindakan berupa:

34
a. Tanpa Alat
1) Membuka jalan nafas dengan metode :
- Head Tilt (dorong kepala ke belakang)
- Chin Lift Manuver (perasat angkat dahu)
- Jaw Thrust Manuver (perasat tolak rahang)

Gambar 2. Teknik Jaw Thrust

Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya
dilakukan Jaw Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.

2) Membersihkan jalan nafas


- Finger Sweep (sapuan jari)

Gambar 3. Finger Sweep

35
Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam
rongga mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing
lainnya) dan hembusan napas hilang.

- Abdominal Thrust (Gentakan Abdomen)

Gambar 4. Abdominal Thrust


- Chest Thrust (Pijatan Dada)

Gambar 5. Chest Thrust pada bayi


- Back Blow (Tepukan Pada Punggung)

Gambar 6. Back Blow pada bayi

36
b. Dengan Alat
1) Pemasangan Pipa (Tube)
Dipasang jalan napas buatan (pipa orofaring, pipa nasofaring). Pipa
orofaring digunakan untuk mempertahankan jalan nafas dan menahan pangkal
lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan napas terutama pada
pasien-pasien tidak sadar.

Gambar 7. Pemasangan Tube


Bila dengan pemasangan jalan napas tersebut pernapasan belum juga baik,
dilakukan pemasangan pipa endotrakhea (ETT/endotracheal tube). Pemasangan
pipa endotrakhea akan menjamin jalan napas tetap terbuka, menghindari aspirasi
dan memudahkan tindakan bantuan pernapasan.

Gambar 8. Pemasangan ETT


2) Penghisapan Benda Cair (Suctioning)
Bila terdapat sumbatan jalan napas karena benda cair maka dilakukan
penghisapan (suctioning). Penghisapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu
pengisap (penghisap manual portabel, pengisap dengan sumber listrik).

37
Gambar 9. Teknik Suction
Membersihkan benda asing padat dalam jalan napas: Bila pasien tidak
sadar dan terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring yang tidak mungkin
diambil dengan sapuan jari, maka digunakan alat bantuan berupa laringoskop, alat
penghisap (suction) dan alat penjepit (forceps).
3) Membuka Jalan Nafas Dengan Krikotirotomi

Gambar 10. Teknik Krikoirotomi


Bila pemasangan pipa endotrakhea tidak mungkin dilakukan, maka dipilih
tindakan krikotirotomi dengan jarum. Untuk petugas medis yang terlatih dan
trampil, dapat dilakukan krikotirotomi dengan pisau .

C. PROSEDUR ANESTESI
1. PERSIAPAN

a. Persiapan Pasien
1. Selalu pastikan kembali identitas pasien, kelengkapan
status/rekam medis, data laboratorium, radiologi, dan EKG
sebelum memulai anestesi.

38
2. Persiapan puasa dan terapi cairan pre anestesi.
3. Persiapan mental.
4. Persetujuan informasi ( Inform Consent ).
5. Apakah Gigi palsu, lensa kontak, perhiasan, cat kuku, lipstik, dll,
sudah dilepas atau dibersihkan.
6. Menetukan P.S ASA pasien
7. Menentukan bila ada atau tidak ada komorbit
8. Premedikasi anastesi adalah pemberian obat sebelum anastesi.
b. Persiapan Alat

1. Mesin Anestesi

Selalu pastikan mesin berguna dengan baik dengan cara:


1) Hubungkan sumber gas dan kabel listrik dengan sumber listrik.
2) Hubungkan pipa oksigen dari mesin anestesi dengan ”Outlet”
sumber oksigen.
3) Pasang Currogated + bag sesuai kebutuhan.
4) Cek apakan ada kebocoran dengan cara tutup valve,
kembangkan bag dengan flash O2 atau putar O2 10 lpm, lalu coba
pompa bag dan cari apakah ada kebocoran dari bag, sambungan,
atau currogated.
5) Soda lime (bila warna sudah berubah harus diganti)
6) Vaporizer harus di cek apakan agent inhalasi sudah terisi.
2. Peralatan untuk Airway:
1) Suction

39
a) Sambungkan dengan vacum suction sesuai conectornya
b) Cek Kelengkapannya meliputi : selang suction, tabung
penampung,
c) kateter suction dengan diameter 1/3 diameter, ujungnya
harus tumpul dan lubang lebih dari satu.
d) Atur kekuatan penghisapan sesuai kebutuhan (Adult ≤ 200
mmHg pediatric ≤ 100 mmHg dan bayi ≤ 60 mmHg )
3. Oropharingeal

 Cara mengukur
(1) Dari sudut bibir sampai ke tragus.
(2) Dari tengah bibir sampai angulus mandibula.
(3) Diameter sebesar jari kelingking kanan pasien
 Dipakai sebagai alat untuk membebaskan jalan nafas pada
pasien dengan reflek muntah yang masih ada.
 Tidak boleh digunakan pada pasien dengan fraktur basis
cranii
4. Nasopharingeal

40
a) Cara mengukur:
(1) Dari ujung hidung sampai tragus.
(2) Diameter sebesar jari kelingking kanan penderita.
b) Dipakai sebagai alat untuk membebaskan jalan nafas
pada pasien dengan reflek muntah yang masih ada.
c) Tidak boleh digunakan pada pasien dengan fracture
basis cranii.
5. Bite block.
6. Alat bantu dalam Intubasi
(1) Bantal intubasi (Tebal 10-12 cm)
(2) Bantal donat
(3) Masker sesuai ukuran

(4) Laringoscope

Terdiri dari handle dan blade. Laringoscope harus berfungsi


dengan baik, tidak boleh goyang baik blade maupun

41
lampunya. Lampu harus menyala terang dan putih. Siapkan
beberapa ukuran sesuai kebutuhan.
Beberapa macam blade:
(a) Blade lurus (Machintosh) untuk bayi-anak-dewasa.
(b) Blade lengkung (Miller, magill) untuk anak besar-dewasa.
(c) Blade Meycoy
5) Endotracheal tube (ETT) biasa dan nonking

Selalu siapkan 3 macam ukuran yang sesuai untuk pasien (1


nomor diatas dan 1 nomor dibawah nomor ETT yang sesuai).
(a) Pria dewasa : 7,0 – 7,5 – 8,0 mm
(b) Wanita dewasa : 6,5 – 7,0 – 7,5 mm
(c) Anak – anak : {(Umur dalam tahun : 4) + 4}atau sebesar
jari kelingking kanan pasien.
(d) Stilet dengan ukuran 2/3 diameter ETT
(e) Spuit 20cc untuk mengembangkan Cuff
(f) Xyllocain spray

42
(g) Gel untuk lubricating
(h) Connector / Elbow
(i) Stetoscope dan precordial
(j) Plester (potong 2 plester panjang ukuran 30 cm untuk fixasi
ETT dan 2 plester pendek untuk plester mata)
(k) Gunting
(l) Salep mata (Occulotec gel atau garamycin salep mata)
(m)Tampon
(n) Magil forcep
7. Set Krikotirodektomy, gloscope, fiber optik, Mc coy
laryngoscope, LMA, boogie,

43
Disiapkan bila diperkirakan intubasi akan sulit dilakukan per oral/
nasal dan airway akan sulit dikuasai
4. Peralatan Breathing.
a. Sungkup muka (masker) sesuai kebutuhan.

b. Bag-valve-mask (BVM) / jakson rees


5. Peralatan Sirkulasi
a) Peralatan untuk pemasangan infus
i. Intra venous (IV) cateter ukuran besar sesuai kondisi vena
pasien, untuk dewasa ukuran 18,16.

44
ii. Infus set sesuai kebutuhan (Blood set untuk dewasa-anak,
pediatric set untuk anak-anak dan micro set untuk bayi).
iii. Cairan infus sesuai kebutuhan
(a) Kristaloid : RL, NaCl 0,9%, Asering
(b) Koloid : Gelofusin, Fima - Hes
iv. Tourniquet, surflo uk.16,18
v. Kapas alkohol
vi. Plester dan gunting
vii. Kassa steril + betadin
viii. Tiang infus dan Three way panjang/stop cock
ix. Extention 150 cm/ 75 cm
x. Spuit berbagai ukuran
xi. Perasan infus
b) DC Shock dalam keadaan siap pakai dan berfungsi dengan
baik.

6. Alat Monitor ECG

Monitor NBP/ABP, ECG, RR, temperature, dan saturasi O2 harus


berfungsi dengan baik dan terhubung dengan sumber listrik.
7. Meja operasi yang berfungsi dengan baik dan petugas anestesi bisa
mengoperasikan dengan baik.
a. Posisi trandelenberg dan anti trendelenberg
b. Tilt kiri dan tilt kanan.
c. Head down and head up serta
d. Foot up and down

45
2. KLASIFIKASI AIR WAY SULIT
a. Pengertian Airway Sulit
Difficult airway / Kesulitan Jalan Napas: Menurut The American Society of
Anesthesiology adalah adanya faktor-faktor klinis yang menyulitkan baik
ventilasi dengan masker atau intubasi dilakukan oleh dokter yang
berpengalaman dan terampil.
b. DifficultVentilation
Difficult Ventilation / Kesulitan Ventilasi: Menurut The American Society
of Anesthesiology adalah ketidakmampuan dari ahli anestesi yang
berpengalaman untuk menjaga SO2 > 90 % saat ventilasi dengan
menggunakan masker wajah, dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan
bahwa tingkat saturasi oksigen ventilasi pra masih dalam batas normal.

Peniliaiaan Kesulitan Ventilasi Ingat : a snoring (OBESE) Santa 


1. Over weight (body mass index > 26 kg/m2)
2. Beard
3. Elderly (> 55 tahun)
4. Snoring
5. Edentulous

Dua factors positif  (+)  Kemungkinan tinggi difficult mask ventilation


(DMV) (sensitivity, 0.72; specificity, 0.73)
Magboul Difficult Mask Ventilation (DMV) Prediction Score
Prediksi Score = Mendekati positf 5 (+5) maka kemungkinan  adanya
Difficult Mask Ventilation (DMV)
c. Difficult intubation
Difficult intubation / Kesulitan Intubasi: Menurut The American Society
of Anesthesiology adalah dibutukkannya > 3 kali usaha intubasi atau usaha
intubasi yang terakhir > 10 menit.
Penilaian Kesulitan Intubasi

46
Ingat: MAGBOUL 4 (M & Ms) score dengan tanda (STOP) 
1. Mallampati
2. Measurement 3-3-2-1 OR 1-2-3-3 Fingers
3. Movement of the neck
4. Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O), Pathology
(P)& STOP 
M : Mallampati 
• Class I : Visualisasi soft palate, fauces, uvula, pilar anterior
dan posterior. 
• Class II : Visualisasi soft palate, fauces and uvula 
• Class III : Visualisasi soft palate dan base of the uvula
• Class IV : Semua soft palate tidak terlihat 

M : Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers


 3 - Fingers Mouth Opening 
 3 - Fingers Hypomental Distance. 3 Fingers between the tip of the
jaw and the beginning of the neck (under the chin) 
 2 - Fingers between the thyroid notch and the floor of the
mandible (top of the neck) 
 1 - Finger Lower Jaw Anterior subluxation

M : Movement of the Neck


Sudut diatara tegak dan memanjang pada ektensi leher "normal" adalah
35 o (The atlanto-oksipital/ A-O joint). Keterbatasan ektensi sendi
terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis, halo-jaket fiksasi, pasien
dengan gejala yang menunjukkan kompresi saraf dengan ekstensi
servikal.

Ms =Malformation of the skull, teeth, obstruction, pathology (STOP)


 S : Skull (Hydro and Mikrocephalus) 

47
 T : Teeth (Buck, protruded, & gigi ompong, makro dan mikro
mandibula) 
 O : Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar kepala
and leher) 
 P : Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher Collins,
Goldenhar’s, Pierre Robin, Waardenburg syndromes) 
Jika skore pasien 8 atau lebih, maka kemungkinan ada kesulitan intubasi
d. Persiapkan pada kesulitan Manajemen Airway :
1. Laryngoscope bilah kaku dengan beberapa alternatif desain dan ukuran
dari yang biasa dipakai orang-orang secara rutin.
2. Endotrakea tube berbagai macam ukuran.
3. Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan atau
tanpa lubang tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan mangil tang
dirancang khusus untuk dapat memanipulasi bagian distal endotrakeal
tube.
4. Peralatan Intubasi fiberoptik.
5. Peralatan Intubasi Retrograd.
6. Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah
jet transtracheal ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi,
LMA, dan combitube.
7. Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat
(misalnya, cricothyrotomy).
8. Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).
e. Penilaian Intubasi Sulit (LEMON) 
LEMON adalah tekhnik penilaian dan evaluasi untuk jalan napas yang
berpotensi sulit.
L = Look.
Untuk setiap pasien yang mungkin membutuhkan intubasi, dokter harus
selalu melihat, karakteristik yang mungkin memprediksi napas berpotensi
sulit.

48
Ini termasuk, antara lain, obesitas, micrognathia, bukti operasi kepala dan
leher sebelumnya atau iradiasi, kehadiran rambut wajah, kelainan gigi
(gigi yang buruk, gigi palsu, gigi besar), wajah sempit, langit-langit tinggi
dan melengkung, leher pendek atau leher yang tebal, dan trauma wajah
atau leher.
E = Evaluasi 3-3-2 rule.
Laringoskopi yang sukses didasarkan pada anatomi normal.
The 3-3-2 rule menyatakan bahwa pada pasien dengan anatomi relatif
normal berlaku: pembukaan mulut normal adalah tiga (dari pasien)
fingerbreadths; dimensi rahang yang normal juga akan memungkinkan tiga
fingerbreadths antara mentum dan tulang hyoid; dan kedudukan dari
kartilago tiroid harus dua fingerbreadths bawah tulang hyoid.

M = Mallampati.

 Mallampati menyatakan bahwa ada hubungan antara apa yang dilihat


pada visualisasi faring peroral dan yang terlihat dengan laringoskopi.
 Untuk melakukan evaluasi Mallampati, dengan pasien duduk, pasien
memperpanjang lehernya, membuka mulutnya penuh, menonjol
lidahnya, dan berkata "ah."

49
 Visualisasikan jalan napas, mencari lidah, langit-langit lunak dan keras,
uvula, dan pilar tonsil.
 Pada pasien dengan skor Mallampati 1, seluruh faring posterior mudah
divisualisasikan; dengan skor 4, tidak ada struktur posterior dapat
dilihat.
 Pasien dengan nilai Mallampati yang lebih tinggi cenderung memiliki
visualisasi yang lebih buruk selama laringoskopi.
 Pemeriksaan pada pasien koma dengan pasien terlentang dan
menggunakan tongue spatel.

O = Obstruksi.

Evaluasi untuk stridor, benda asing, dan bentuk lain dari obstruksi sub dan
supraglottic harus dilakukan pada setiap pasien sebelum laringoskopi.

  mobilitas N = Neck.

 Pasien dengan artritis degeneratif atau arthritis mungkin memiliki


gerakan leher terbatas, dan ini harus dinilai untuk menjamin
kemampuan untuk extensi leher selama laringoskopi dan intubasi.
 Pasien yang dicurigai cedera tulang belakang leher traumatis , dan
mereka yang memakai neck collar,gerakannya akan terbatas.
 
3. PROSEDUR EKSTUBASI
a. Definisi ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah
dilakukkan intubasi.
b. Tujuan Ekstubasi
- Untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak menimbulkan trauma.
- Untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan resiko
setelah ekstubasi. (9)
c. Kriteria Ekstubasi
Kriteria ekstubasi yang berhasil bila :

50
1) Vital capacity 10 – 15 ml/kg BB
2) Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O
3) PaO2 diatas 80 mm Hg
4) Kardiovaskuler dan metabolic stabil
5)  Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot
6) Reflek jalan napas sudah kembali (batuk, gag) dan penderita sudah sadar
penuh. (16)
d. Pelaksanaan Ekstubasi
1) Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga
mulut efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah
adequate.
2) Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter yang steril.
Walaupun diperlukan untuk membersihkan trachea atau faring dari
sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus
menerus bila terjadi batuk dan sianosis.
3) Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan, sebaiknya diberikan
oksigen. Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu
dilakukan ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup
muka.
4) Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan
karena kateter pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan,
atau spasme laring.
5) Sesudah dilakukan ektubasi, pasien hendaknya diberikan oksigen
dengan sungkup muka bila perlu rongga mulut dilakukan pembersihan
kembali. Sebelum dan sesudah ektubasi untuk menghindari spsme
laring., ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi yang dalam atau
dimana reflek jalan sudah positif dan napas sudah baik.
6) Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk, ekstubasi dapat
dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah
spontan. Spasme laring dan batuk dapat dikurangi dengan memberikan

51
lidokain 50 – 100 mg IV (intra vena) satu menit atau dua menit sebelum
ektubasi.
7) Kadang-kadang dalam melakukan ekstubasi terjadi kesukaran,
kemungkinan kebanyakan disebabkan oleh balon pada pipa
endotrakheal besar, atau sulit dikempiskan, pasien mngigit pipa
endotrakheal. Ekstubasi jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini
disebabkan adanya gangguan pernapasan yang tidak adequate atau
pernapasan susah dikontrol dengan menggunakan sungkup muka pada
pembedahan penuh ekstubasi napas. Pasien dengan lambung penuh
ekstubasi dilakukan apabila pasien sudah bangun atau dilakukan
ekstubasi pada posisi lateral.
8) Pada pembedahan maxillofacial daerah jalan napas bila perlu
dipertimbangkan untuk melakukan trakheostomy sebelum ekstubasi.
9) Apabila pasien mengalami gangguan pernapasan atau pernapasan tidak
adequate pipa hendaknya jangan dicabut sampai penderita sudah yakin
baik, baru ke ruang pulih dengan bantuan napas terus menrus secarra
mekanik sehingga adequate.
e. Pengisapan Trakhea
1) Pengisapan orotrakheal atau nasotrakheal hanya dilakukan apabila pada
auskultasi terdengar adanya bunyi yang ditimbulkan oleh retensi sekret
dan tidak dapat dibersihkan dengan batuk. Pengisapan trachea
sebaiknya tidak dilakukan sebagai pencegahan atau secara rutin. Hal ini
menyebabkan iritasi mekanisme oleh kateter selama pengisapan
trachea, serta dapat pula menyebabkan trauma pernapasan, dan hal ini
merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. Selain itu pengisapan
trachea atau karina oleh kateter dapat menimbulkan reflek vagal, dapat
berupa bradikardi dan hipotensi.
2) Pengisapan trachea juga dapat menimbulkan hipoksemia karena aspirasi
gas pada paru-paruyang menyebabkan penutupan “small air way”
kolapnya dan alveoli. Hipoksemia selama pengisapan trachea dapat
dikurangi dengan cara :

52
- Pemberian oksigen 100% sebelum pengisapan.
- Diameter kateter pengisap tidak lebih dari setengah diameter trachea.
- Lama pengisapan tidak lebih dari 15 detik.
- Setelah melakukan pengisapan, dilakukan pemompaan secara
manual untuk mengembangkan alveoli kembali.
f. Penyulit Ekstubasi
Hal-hal yang dapat terjadi setelah ektubasi :
 Spasme laring
 Aspirasi
 Edema laring akut karena trauma selam ekstubasi
Penyulit lain setelah dilakukan ekstubasi :
 Sakit tenggorokan
 Stenosis trachea dan trakheomolasia
 Radang membran laring dan ulserasi
 Paralisis dan granuloma pita suara
 Luka pada sarap lidah. (21)

2.2 KONSEP DASAR TUMOR MANDIBULA


2.2.1 Anatomi Mandibula
Mandibula adalah tulang rahang bawah dan merupakan tulang muka
yang paling besar dan kuat. Mandibula merupakan satu – satunya tulang pada
tengkorak yang dapat bergerak. Mandibula dapat ditekan dan diangkat pada
waktu membuka dan menutup mulut. Dapat ditonjolkan, ditarik ke belakang
dan sedikit digoyangkan dari kiri ke kanan dan sebaliknya sebagaimana
terjadi pada waktu mengunyah. Pada perkembangannya tulang ini terdiri dari
dua belahan tulang yang bersendi di sebelah anterior pada simpisis mental,
persatuan kedua belahan tulang ini terjadi pada umur dua tahun membentuk
sebuah korpus yang letaknya horizontal dan berbentuk seperti tapal kuda,
menonjol ke muka serta mempunyai dua buah cabang yang menonjol ke atas
dari ujung posterior korpus (gambar 1).1

53
Bagian – bagian mandibula, yaitu :
A. Korpus
Korpus juga mempunyai dua permukaan, yaitu :
1) Permukaan eksternus
Permukaan eksternus kasar dan cembung. Pada bagian ini terdapat
suatu linea oblikum yang meluas dari ujung bawah pinggir anterior
ramus menuju ke bawah dan ke muka serta berakhir pada tuberkulum
mentale di dekat garis tengah. Dan terdapat juga foramen montale yang
terletak di atas linea oblikum dan simpisis menti yang merupakan rigi
di garis tengah yang tidak nyata di bagian atas pada tengah pada
tempat persatuan dari kedua belahan foetalis dari korpus mandibula.
2) Permukaan internus
Permukaan internus agak cekung. Pada permukaan ini terletak sebuah
linea milohyodea, yang meluas oblik dari di bawah gigi molar ke tiga
menuju ke bawah dan ke muka mencapai garis tengah, linea
milohyodea ini menjadi origo dari muskulus milohyodeus. Linea
milohyoidea membagi fossa sublingualis dari fossa submandibularis
(gambar 2).
Korpus mempunyai dua buah pinggir, yaitu :1,2
1) Pinggir atas (alveolaris)
Merupakan lekuk dari gigi geligi tetap. Terdapat delapan lekuk dari
masing – masing belahan mandibula ( dua untuk gigi seri, satu untuk
gigi taring, dua untuk gigi premolar dan tiga untuk gigi molar). Pada
orang tua setelah gigi – gigi tanggal lekuk – lekuk ini tidak tampak
karena atropi tulang yang mengakibatkan berkurangnya lebar corpus
mandibula.
2) Pinggir bawah (basis)
Pinggir ini tebal dan melengkung yang melanjutkan diri ke posterior
dengan pinggir bawah ramus. Sambungan kedua pinggir bawah ini
terletak pada batas gigi molar ke tiga, di tempat ini basis disilang oleh
arteri fasialis. Fossa digastrika yang merupakan lekukan oval terletak

54
pada masing – masing sisi dari garis tengah. Merupakan origo dari
venter anterior muskulus digastrikus. Sepanjang seluruh basis
dilekatkan lapis dari fasia kolli dan tepat di atasnya (superfasialis)
dilekatkan platisma (gambar 3).
B. Ramus
Ramus terdiri dari dua permukaan, yaitu :
1) Permukaan eksternus (lateralis)
Permukaan ini kasar dan datar. Bagian posterior atas licin yang
berhubungan dengan glandula parotis. Sisa dari permukaan merupakan
insersio dari muskulus masseter.
2) Permukaan internus (medialis)
Pada permukaan ini terletak foramen mandibulare yang merupakan
awal dari kanalis mandibularis serta dilalui oleh nervus dentalis dan
pembuluh – pembuluh darahnya.

Pinggir – pinggir pada ramus, yaitu :


 Pinggir superior, merupakan insisura – insisura tajam dan cekung
mandibularis di antara prosesus – prosesus koronoideus dan prosesus
kondiloideus.
 Pinggir anterior, melanjutkan diri ke bawah dengan garis oblik.
 Pinggir posterior, tebal dan alur – alur merupakan permukaan medialis
dari glandula parotis.
 Pinggir inferior, melanjutkan diri dengan pinggir inferior korpus dan
bersama – sama membentuk basis mandibula. Mandibula termasuk ke
dalam bagian sepertiga bawah wajah. Mandibula berhubungan dengan
basis kranii dengan adanya temporo mandibula joint dan disangga oleh
otot-otot pengunyahan. Mandibula terdiri dari korpus berbentuk tapal kuda
dan sepasang ramus. Korpus mandibula bertemu dengan ramus masing-
masing sisi pada angulus mandibula. Pada permukaan luar digaris tengah
korpus mandibula terdapat sebuah rigi yang menunjukkan garis fusi dari
kedua belahan selama perkembangan, yaitu simfisis mandibula.

55
Nervus Mandibularis merupakan cabang terbesar, yang keluar dari
ganglion Gasseri. Saraf keluar dari cranium melalui foramen ovale, dan
bercabang menjadi 3 percabangan yang mensyarafi mandibula. Mandibula
dipersyarafi oleh 3 cabang nervus, yaituN.Lingualis, N.Alveolaris Inferior,
dan N.Bukalis (Gambar 4).3

Gambar 1. Anatomi kraniumdari lateral

56
Gambar 2. Anatomi kranium dari bawah

Gambar 3. Anatomi kranium dari frontal

57
Gambar 4
Nervus yang berada di wajah pada pandangan lateral

2.2.2 Definisi Tumor


Neoplasma adalah kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel
yang tumbuh terus menerus secara tidak terbatas, tidak berkoordinasi dengan
jaringan sekitarnya dan tidak berguna bagi tubuh.Pada rongga mulut, tumor
atau neoplasma dapat didefinisikan sebagai suatu pertumbuhan jaringan di
dalam dan di sekitar rongga mulut yang pertumbuhannya tidak dapat
dikembalikan dan tidak berguna bagi tubuh.Jaringan tersebut dapat tumbuh
pada bibir, pipi, dasar mulut, palatum, lidah, dan didalam tulang
rahang.Jaringannya dapat terdiri dari jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan
otot, jaringan saraf, jaringan tulang, pembuluh darah.
Berdasarkan garis besarnya dan keganasannya neoplasma atau tumor
dapat diklasifikasikan menjadi : jinak (benigna) dan ke pertumbuhan ganas
(maligna atau kanker). Tumor jinak (benigna) dan tumor ganas (maligna atau
kanker) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Tumor Jinak (Benigna)
a. Pertumbuhannya ekspansif
Pertumbuhan ekspansif yaitu mendesak jaringan sehat sekitarnya
sehingga jaringan sehat yang terdesak membentuk simpai atau kapsul
dari tumor, maka dikatakan tumor jinak umumnya bersimpai atau
berkapsul.Karena tidak ada pertumbuhan infiltratif biasanya tumor jinak
dapat digerakkan dari dasarnya.
b. Tidak bersifat residif
Tumor jinak yang berkapsul bila diangkat mudah dikeluarkan seluruhnya
sehingga tidak ada jaringan tumor tertinggal dan tidak menimbulkan
kekambuhan.

58
c. Tidak bermetastase
Tumor jinak biasanya tidak dapat bermetatase sehingga tumor jinak tidak
dapat menyebar kejaringan sekitarnya.

d. Pertumbuhan yang lambat


Dengan pertumbuhan yang lambat tumor tidak cepat membesar dan dari
pemeriksaan mikroskopik tidak ditemukan gambaran mitosis
abnormal.Adanya gambaran mitosis sugestif tumor itu ganas.
e. Tidak menyebabkan kematian
Tumor jinak tidak membahayakan atau mengancam jiwa, namun bila
tumor tersebut tumbuh didaerah vital maka tumor tersebut dapat
mengancam jiwa.

2. Tumor Ganas ( Maligna atau Kanker )


a. Pertumbuhan infiltratif
Pertumbuhan infiltratif yaitu tumbuh bercabang menyebuk kedalam
jaringan sehat sekitarnya, menyerupai jari kepiting sehingga disebut
kanker.Karena itu tumor ganas biasanya sulit digerakkan dari dasarnya.
b. Residif
Tumor ganas sering tumbuh kembali ( residif ) setelah diangkat atau diberi
pengobatan dengan penyinaran. Keadaan ini disebabkan adanya sel tumor
yang tertinggal, kemudian tumbuh dan membesar membentuk tumor
ditempat yang sama.
c. Metastase
Walaupun tidak semua, umumnya tumor ganas sanggup mengadakan
anak sebar ditempat lain melalui peredaran darah ataupun cairan getah
bening.
d. Pertumbuhan yang cepat

59
Secara klinik tumornya cepat membesar dan secara mikroskopik
ditemukan mitosis normal ( bipolar ) maupun abnormal ( atipik ). Sebuah
sel membelah menjadi dua dengan membentuk bipolar spindle.Pada tumor
yang ganas terjadi pembelahan multiple pada saat bersamaan sehingga dari
sebuah sel dapat menjadi tiga atau empat anak sel. Pembelahan abnormal
ini memberikan gambaran mikroskopik mitosis atipik seperti mitosis
tripolar atau multipolar.
e. Tumor ganas bila tidak diobati akan menyebabkan kematian
Berbeda dengan tumor jinak biasanya tidak menyebabkan kematian bila
letaknya tidak berada didaerah vital.

2.2.3 Etiologi dan Predisposisi Tumor Mandibula


Etiologi tumor mandibula menurut beberapa ahli mengatakan bahwa
tumor mandibula dapat terjadi setelah trauma, ekstrinsik karsinogenik,
karsinogenik kimia dan virus.Trauma dapat terjadi beberapa bulan atau
beberapa tahun setelah terjadinya trauma.Walaupun demikian trauma ini tidak
dapat dianggap sebagai penyebab utama karena tulang yang fraktur akibat
trauma ringan maupun parah jarang menyebabkan tumor.
Penggunaan substansi radioaktif dalam jangka waktu lama dan
melebihi dosis juga diduga merupakan penyebab terjadinya tumor ini. Ada
dugaan lain bahwa penggunaan thorium untuk penderita tuberkulosis
mengakibatkan pasien berkembang menjadi tumor mandibula. Penelitian
tentang virus yang dapat menyebabkan tumor baru dilakukan pada hewan,
sedangkan sejumlah usaha untuk menemukan onkogenik virus pada
osteosarkoma manusia tidak berhasil.Walaupun beberapa laporan menyatakan
adanya partikel seperti virus pada sel tumor.
Tumor ini tumbuh dari berbagai asal, walaupun rangsangan awal dari
proses pembentukan tumor ini belum diketahui. Tumor ini dapat berasal dari
sisa sel dari enamel organ atau sisa-sisa dental lamina. Struktur mikroskopis
dari beberapa spesimen dijumpai pada area epitelial sel yang terlihat pada

60
perifer berbentuk kolumnar dan berhubungan dengan ameloblast yang pada
bagian tengah mengalami degenerasi serta menyerupai retikulum stelata.
Terlihat sisa-sisa epitel Malassez yang biasanya terdapat pada
membran periodontal dan kadang-kadang dapat terlihat pada tulang spongiosa
yang mungkin menyebabkan pergeseran gigi dan menstimulasi terbentuknya
kista odontogenik.7,8
Sedangkan predisposisi terjadinya tumor mandibula adalah dengan
melakukan kebiasaan buruk seperti merokok, mengkonsumsi alkohol,
obesitas, faktor usia, faktor genetik, terkena paparan sinar matahari atau
ultraviolet, dan polusi udara.

2.2.4 Patofisiologi

61
Neoplasia mandibula banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40
tahun. Kebanyakan pada orang laki-laki. Hal ini mungkin berkaitan dengan
kebiasaan makan, kebiasaan merokok, bekerja dengan debu serbuk kayu,
kimia toksik atau serbuk, logam berat. Bagaimana terjadinya belum
diketahui secara pasti oleh para ahli. Kanker kepala dan leher menyebabkan
5,5% dari semua penyakit keganasan. Terutama neoplasma laringeal 95%
adalah karsinoma sel skuamosa.Bila kanker terbatas pada pita suara
( intrinsik ) menyebar dengan lambat. Pita suara miskin akan pembuluh
limfe sehingga tidak terjadi metastase kearah kelenjar limfe. Bila kanker
melibatkan epiglotis ( ekstrinsik ) metastase lebih umum terjadi.

Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari
mandibula, jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus
mylohyoid. Infeksi dari gigi dapat menyebar ke ruang mandibula melalui
beberapa jalan yaitu secara langsung melalui pinggir myolohioid, posterior
dari ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang mastikor. Terdapat
demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau
di bawah lidah, mungkin berfluktuasi dan muncl pembengkakan.

Bila pembengkakan semakin besar dapat mengakibatkan


terangkatnya lidah dan penyulitan dalam pernafasan dan penelanan di dalam
mulut. Proses infeksi juga menstimulasi penumpukan secret yang berlebih
dalam saluran pernafasan. Sehingga pada tahap in ipenderita akan
mengalami ganngguan dalam pemenuhan O2 dan asupan nutrisi.

2.2.5 Klasifikasi
Tumor jinak diklasifikasikan berdasarkan:
a. Berasal dari jaringan epitel
Tumor yang berasal dari epitel adalah:
Karsinoma sel squamosa (KSS)

62
Gambaran klinis KSS:
 Merupakan kanker yang sering terjadi pada rongga mulut.
 Plak keratosis
 Ulserasi
 Tepi lesi indurasi dan kemerahan.
 Dapat terjadi pada seluruh permukaan rongga mulut.
 Pemeriksaan DNA menunjukkan mutasi oncogenes p53.

Gambar 5
Karsinoma sel squamosa pada rahag bawah kiri pasien.

Karsinoma sel basal ( Basal Cell Carsinoma / BCC)


Gambaran klinis :
• Umumnya terjadi pada kulit akibat terpapar sinar matahari yang
berlebihan.
• Terutama pada orang yang berkulit terang atau putih.
• Lokasinya pada bibir dan berkembang dari sel-sel basal
epidermis,terutama dari benih folikel rambut atau mukosa.
• Lesi terlihat menonjol dengan bagian tengah lesi mengalami ulserasi.

63
Gambar 6
Karsinoma Sel basal

b. Berasal dari jaringan ikat


Tumor yang berasal dari jaringan ikat adalah :
Fibrosarkoma :
Gambaran klinis :
Merupakan tumor ganas jaringan ikat fibrosa.Sarkoma adalah tumor ganas
jaringan mesenkim, missal limfosarkoma, osteosarkoma, kondrosarkoma.
Predileksi tempat : dapat terjadi dimana saja dalam rongga mulut. Lebih
sering pada jaringan ikat fibrosa rahang bawah disbanding di
maksila.Tumor pada rahang biasanya berasal dari jaringan periosteum atau
endosteum.Laki-laki lebih sering dibanding wanita.

Neurosarkoma :
Gambaran klinis :
 Juga disebut malignant schwannoma atau fibrosarkoma dari
selubung saraf.
 Tumor yang berkembang dari sel schwann atau dari saraf perifer
 Biasanya lesi primer terjadi sepanjang proksimal batang saraf
utama
 Tumor biasanya asimtomatis sampai terjadi adanya neuropraksia
 Pemeriksaan menunjukan massa fusiform yang besar

64
c. Berasal dari jaringan otot
Tumor yang berasal dari jaringan otot adalah : Leiomyoma, Granular cell
myoblastoma

d. Berasal dari jaringan syaraf


Tumor yang berasal dari jaringan syaraf adalah : Traumatic neuroma,
Neurofibroma, Pigmented ameloblastoma

e. Berasal dari kelenjar ludah


Tumor yang berasal dari kelenjar ludah adalah :
Karsinoma mukoepidermoid ( Mucoepidermoid carsinoma)
Gambaran klinis :
 Pada umumnya melibatkan kelenjar ludah mayor, yaitu kelenjar
ludah parotis.
 Sebagian kecil dapat timbul dari kelenjar ludah minor, dan yang
paling sering melibatkan kelenjar ludah minor di palatum.
• Sering terjadi pada orang dewasa.
• Penderita wanita mempunyai resiko lebih tinggi daripada laki-laki.
• Tumor ini tumbuh lambat.
• Berasal dari sel epithelium duktus.

Karsinoma adenoid kistik ( Adenod cystic carsinoma)


Gambaran klinis:
• Tumbuhnya lambat.
• Cenderung local invasive.
• Kambuh setelah operasi.
• Sepertiga angka kejadian terjadi pada kelenjar ludah mayor.
• Dapat pula timbul pada kelenjar lakrimalis, bagian bawah salura
pernafasan, nasopharinx, rongga hidung, dan sinus paranasalis.
• Umumnya terjadi pada penderita usia 40-60 tahun.

65
• Berpotensi metastasis.
• 5-10% melibatkan kelenjar ludah mayor dan paling sering adalah
kelenjar ludah parotis
f. Tumor jinak ectodermal yang asalnya odontogenic. Termasuk didalamnya
Enameloma, Ameloblastoma/Adamantinoma.
g. Tumor jinak tepi jaringan periodontal
Tumor jinak yang berasal dari tepi jaringan periodontal contohnya adalah
epulis gravidarum, epulis angiomatosa, epulis giant cell, epulis kongenital,
epulis fibromatosa, epulis granulomatosa dan epulis fissuratum

2.2.6 Tanda dan Gejala


Keadaan lemah, lesu, malaise dan disertai demam. Pada pemeriksaan ektra
oral didapatkan :
a. Asimetris wajah
b. Tanda rahang tidak jelas
c. Fluktuasi positif
d. Tepi rahang sering tidak teraba
e. Terdapat benjolan di area lahang bawah
Pada pemeriksaan intra oral didapatkan :
a. Peridontitis akut
b. Muccobucal fold
c. Fluktasi negative

2.2.7 Penatalaksanaan
Terapi utama pada tumor mandibula adalah pembedahan.Tingkat
rekurensi berkisar antara 55-90% setelah perawatan secara
konservatif.Mengingat besarnya tingkat rekurensi tersebut, pendekatan
secara radikal (reseksi) dapat dipertimbangkan sesuai indikasi, meskipun
berakibat hilangnya sebagaian tulang rahang, bridging plate titanium dapat
digunakan untuk mengganti sebagian tulang yang hilang dan berfungsi
sebagai alat rekonstruksi.Dapat juga rekonstruksi dengan memasang tandur

66
ahli tulang kalau mungkin bisa dikerjakan.1
Indikasi perawatan ditentukan berdasarkan luas dan besarnya
jaringan yang terlibat, struktur histologis dari tumor dan keuntungan yang
didapat. Menurut Ohishi indikasi perawatan konservatif adalah pada
penderita usia muda dan ameloblastoma unikistik. Sedangkan indikasi
perawatan radikal adalah ameloblastoma tipe solid dengan tepi yang tidak
jelas, lesi dengan gambaran soap bubble, lesi yang tidak efektif dengan
penatalaksanaan secara konservatif dan ameloblastoma ukuran besar.
Penatalaksanaan secara radikal berupa reseksi segmental,
hemimandibulektomi dan reseksi marginal (reseksi enblok).4
Reseksi marginal (reseksi enblok) merupakan teknik untuk
mengangkat jaringan tumor dengan mempertahankan kontinuitas korteks
tulang mandibula bagian bawah yang masih intak.Reseksi enblok ini
dilakukan secara garis lurus dengan bor dan atau pahat atau gergaji, 1-2 cm
dari tepi batas tumor secara rontgenologis yang diperkirakan batas minimal
reseksi.Adapun tindakan dapat dilakukan secara intra oral maupun ekstra
oral, hal ini tergantung pada seberapa besar untuk mendapat eksposure yang
adekuat sampai ke ekstensi tumor.
Rekontruksi mandibula adalah ditinjau dari fungsi dan kosmetik,
organ ini mempengaruhi bentuk wajah, fungsi bicara, mengunyah dan
menelan. Beberapa cara yang dapat dipakai antara lain dengan
menggunakan bahan aloplastik, misalnya bridging plate titanium dan
autogenous bone grafting misalnya tandur tulang iga, krista iliaka dan tibia
serta dapat juga secara kombinasi aloplastik material dengan autogenous
bone grafting.
Perawatan paska operasi reseksi enblok mandibula: medikasi
antibiotik dan analgetik. Hindarkan trauma fisik pada muka atau rahang
karena dapat menyebabkan fraktur mandibula.Jaga oral hygiene hingga luka
operasi sembuh sempurna.Diet lunak dipertahankan 4-6 minggu.Jika
diperlukan dapat dibuatkan prostesi gigi setelah dipertimbangkan bahwa
telah terjadi internal bone remodeling tulang mandibula, lebih kurang 6

67
bulan paska operasi.

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui
keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan
ditemukan.
b. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk
mengetahui infeksi virus E-B.
c. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan biopsi mandibula yaitu
dengan melakukan reseksi di area mandibula.
d. Pengerokan dengan kuret daerah mandibula yang mengalami
metastase.

2.2 KONSEP DASAR KEPERAWATAN


2.2.1 Pengkajian
Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek
dengan riwayat kanker payudara.
Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu.
Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan
kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang
diawetkan ( daging dan ikan).
Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan
lingkungan dan kebiasaan hidup.
Tanda dan gejala :
 Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-
faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
 Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan
darah, epistaksis/perdarahan hidung.

68
 Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis,
perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
 Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin,
perubahan bising usus, distensi abdomen.
 Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia,
mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat
badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
 Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
 Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku
di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran
 Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok),
pemajanan
 Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama /
berlebihan, demam, ruam kulit.
 Seksualitas
Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat
kepuasan.
 Interaksi social
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung

2.2.2 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

1. Nyeri b.d kompresi / destruksi jaringan saraf


Tujuan : rasa nyeri berkurang sampai dengan hilang

69
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan
relaksasi nyeri.
Intervensi :
 Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
 Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung)
dan aktivitas hiburan.
 Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik
relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan
terapeutik.
 Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
 Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin,
metadon atau campuran narkotik.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual muntah sekunder kemoterapi radiasi
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
 Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
 Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
 Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang
lembab
 Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
Intervensi :
 Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai
dengan kesukaan dan toleransi pasien
 Berikan dorongan higiene oral yang sering
 Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
 Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan
setelah pemberian obat, kaji masukan dan haluaran.
 Pantau masukan makanan tiap hari.
 Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran
antropometri)

70
 Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien
dengan masukan cairan adekuat.
 Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak
sedap dan kebisingan)

3. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan


pertahanan sekunder imunosupresi
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
 Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
 Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat,
eritema, nyeri.
 Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam
untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori
Intervensi :
 Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi :
 Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya
patogen, demam, menggigil, perubahan respiratori atau status
mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat berkemih
 Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan
pengunjung, batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
 Tekankan higiene personal
 Pantau suhu
 Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)

4. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan


penurunan imunologi, efek radiasi kemoterapi
Tujuan : integritas kulit tetap terjaga
Kriteria hasil :
Menunjukkan perubahan yang minimal pada kulit dan menghindari
trauma pada area kulit yang sakit

71
Intervensi :
 Kaji kulit dengan sering terhadap efek samping kanker
 Mandikan dengan menggunakan air hangat dan sabun
ringan
 Hindari menggosok atau menggaruk area
 Anjurkan pasien untuk menghindari krim kulit apapun, bedak,
salep apapun kecuali diijinkan dokter.
 Hindarkan pakaian yang ketat pada aea tersebut
 Oleskan vitamin A dan D pada area tersebut
 Tinjau ulang efek samping dermatologis yang dicurigai pada
kemoterapi.

5. Resiko tinggi perubahan membran mukosa oral


behubungan dengan efek samping agen kemoterapi radiasi
Tujuan : tidak terjadi gangguan pada membran mukosa
Kriteria hasil :
 Menunjukkan mukosa oral yang bersih dan utuh
 Tidak menunjukkan adanya ulserasi atau infeksi pada rongga
mulut
 Melaporkan tidak adanya nyeri, kesulitan menelan dan dehidrasi
Intervensi :
 Kaji kesehatan gigi dan hihiene oral secara periodik
 kaji rongga mulut tiap hari, perhatikan perubahan pada integritas
membran mukosa oral
 instruksikan mengenai perubahahn diet misalnya hindari makanan
panas atau pedas, anjurkan penggunaan sedotan, mencerna
makanan lembut atau diblender.
 Pantau dan jelaskan tanda-tanda tentang superinfeksi oral
 Mulai program higiene oral : gunakan pencuci mulut dari salin
hangat, larutan pelarut dari hidrogen peroksida, sikat dengan sikat
gigi/benang gigi, pertahankan bibir lembab dengan pelumas bibir.

72
6. Konstipasi/diare berhubungan dengan iritasi mukosa GI
sekunder kemoterapi
Tujuan : gangguan defekasi tidak terjadi
Kriteria hasil : Mempertahankan konsistensi atau pola defekasi
umum
Intervensi :
 Kaji bising usus, gerakan usus termasuk frekuensi, konsistensi.
 Pantau masukan dna haluaran serta berat badan
 Dorong masukan cairan adekuat, peningkatan serat diet, latihan
 Pastikan diet yang tepat; hindari makanan tinggi lemak,
makanan serat tinggi, kafein tinggi.
 Periksa infeksi bila tidak defekasi selama 3 hari atau distensi
abdomen.
 Berikan cairan IV, agen antidiare, laksatif.

7. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan


gangguan sistem hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat teratasi
Kriteria hasil :
 Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
 Tidak menunjukkan adanya darah feses, urin atau emesis
 Tidak menunjukkan perdarahan gusi
Intervensi :
 Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau
jumlah trombosit
 Kaji terhadap perdarahan : petekhie, penurunan
Hb Ht, perdarahan dari orifisium tubuh
 Instruksikan cara-cara meminimalkan
perdarahan : gunakan sikat gigi halus, hindari cairan pembilas
mulut komersial, hindari makanan yang sulit dikunyah

73
 Lakukan tindakan meminimalkan perdarahan :
hindari mengukur suhu rektal, hindari suntikan IM, lembabkan
bibir dengan petrolatum, mempertahankan masukan cairan
 Gunakan pelunak feses atau tingkatkan serat
dalam diet.
(Doenges, 2000)

74
ASUHAN KEPERAWATAN

Ruangan/kamar : GBPT lt 4 / OK 409


No. Register : 12068049
Tanggal MRS :10 Juli2017
TanggalPengkajian : 12 Juli 2017 jam 08.00 WIB
DiagnosaMedis : Tu.Mandibula (D/S) + Ameloblastoma + HT stage II
Tindakan Operasi : Hemimandibulektomi (S) + Plat Rekontruksi
Anestesi : GA Intubasi

A. Pengkajian
1. IdentitasPasien
Nama : Ny.I
Umur : 50 Tahun
JenisKelamin : Perempuan
Status : Menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam
BeratBadan : 45 kg
Alamat : Lumajang

Anamnesa
1. Keluhan Utama:
Benjolan pada rahang bawah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Benjolan muncul pertama kali sejak 10 tahun yang lalu, awalnya sebesar
biji jagung pada rahang bawah kiri depan. Lama kelamaan semakin
membesar, dan keluar cairan yang terasa asin pada benjolan di dalam
mulut sejak 3 tahun yang lalu

75
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
pasien pernah menjalani operasi fraktur femur sinistra 5 tahun yang lalu.
Pasien memilliki riwayat penyakit hipertensi dan masih menjalani
pengobatan
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Di dalam keluarga klien tidak ada yang mempunyai penyakit menular,
maupun menahun, dan tidak ada yang menderita penyakit yang sama.
5. Riwayat alergi:
Tidak ada alergi makanan ataupun obat obatan
1. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breath) : Airway = Jalan nafas bebas,gerak leher bebas,buka mulut
2 cm, jarak mentohyoid tidak bisa dievaluasi, jarak
hyothiroid tidak bisa dievaluasi, leher pendek (-),
Malampati: 3, Breathing = Spontan Respirasi, RR
18x/mnt,ves/ves, Rh -/-, Wh -/-,SpO2 : 98 % dengan O2
21% ada gigi yang ompong, obesitas -, terdapat massa
dirahang bawah.
B2 (Blood) :TD 130/90 mmHg, Nadi 84 x/menit, Suhu 36,5 0C, CRT <
2detik, perfusi: hangat, kering, merah.
B3 (Brain) : Keadaan umum baik, pusing (-), skala nyeri VAS: 0, GCS
E4V5M6, pupil bulat isokor (3/3), reflek cahaya (+/+)
B4 (Bladder) :BAK terpasang folley cateter no 16, PU inisial: 100ml,
kuning jernih
B5 (Bowel) : Abdomen soepel, nafsu makan menurun(-), Bising Usus (+)
12 x/menit, pasien puasa (+),mual (-)
B6 (Bone) : Lutut tampak membesar, tidak terdapat nyeri tulang
belakang, tidak terdapat kelainan bentuk tulang
2. PemeriksaanDiagnostik
a. PemeriksaanLaboratorium :
Tanggal 12Juli 2017

76
Hb : 10,2 gr/dl ( normal 11,0 – 14,7 gr/dl)
Leukosit : 9,45 x10^3 /l mm3(Normal: 3,37 - 10)
Hematokrit : 31,5 %(Normal: 35,2 – 46,7)
Trombosit : 421 x10^3 /l mm3(Normal: 150 - 450)
BUN :13 mg/dl (Normal: 10-20)
Albumin : 3,7 gr/dl (Normal: 3,4-5)
Kreatinin serum : 1 mg/dl (Normal: 0,5-1,2)
SGOT : 15 U/L (Normal: < 41)
SGPT : 16 U/L (Normal: < 38)
PTT : 10.6 detik (Normal: 9 – 12 detik)
APPT : 25,6 detik (Normal: 23 – 33 detik)
GDA : 103 mg/dl (Normal: <200)
Natrium : 141 mmol/I (Normal: 136-144)
Kalium : 3,9 mmol/I (Normal: 3,8-5)
Klorida : 103 mmol/I (Normal: 97-103)
b. Foto Thorax
Cor : Besar dan bentuk normal
Pulmo : tidak tampak infiltrate
Hemi diafragma kanan tampak baik, kiri tampak tenting Trackea di tengah
Kesan :
- Aortosclerosis
- Bekas keradangan paru
- Dextroscolosisthoracalis
c. Makroskopik FNAB tgl 12 Juni 2017
Kesimpulan :Benigne cystic lesion bias dijumpai pada Ameloblastoma
3. Terapi dan Tindakan
Di Ruang OK GBPT lt 4 RSUD Dr.Soetomo Surabaya:
Tanggal 12Juli 2017
 Infus RL 70 ml/jam
 Siap darah 2 kolf Whole Blood B+
4. Status Anastesi

77
a. Pre Operatif
Pasien sebelumnya dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang
hasilnya adalah :
 TD : 120/70 mmHg
 N : 90 x/menit
 RR : 18 x/menit
 BB : 40 kg
Pemberian premedikasi dengan SA 0,25 mg/cc IM
Pasien puasa: tanggal 12juli 2017 makan padat terakhir jam 00.00 WIB dan
minum air putih terakhir jam 03.00WIB

Kesimpulan evaluasi pra bedah :


 PS ASA 3
- Penyulit : HT stage II , Ventilasisulit + airway sulit
- Komplikasi : slight anemia 10,2 gr/dl

b. Durante Operatif
- Sebelum induksi diberikan local anastesi dengan lidokain 1%
- Jenis Anestesi : GA intubasi
- Obat untuk induksi :
- Midazolam 2 mg
- Fentanyl 75 mcg + 50 mcg
- Propofol 70mg+ 20mg + 20 mg IV
 Proses intubasi :
1. Intubasi nasal awake, ETT non king no. 6,5 dengan video
laryngoscope. Saat memasukan ETT terjadi perdarahan menyebabkan
jalan nafas terganggu sehingga kesulitan dalam melakukan ventilasi
dan menyebabkan pasien desaturasi ( SpO2 33-50 % ).
2. Dilakukan krikotiroidektomidengan neddle no 16 dan disambungkan
dengan jet insuflasi 10 lpm dalam 20 x/menit.

78
3. Intubasi oral sleep non apnue, boegie, ETT non king no 7, cuff +
,fiksasi batas bibir kanan23 cm, tampon +.
(b)Obat maintenance : Isofluran 2 MAC
(c)Ventilasi : O2 3 lpm
(d)Posisi : Supine.
(e)Kondisi Hemodinamik pasien durante operasi :

Jam NIBP Nadi RR Suhu SpO2 Ket.


09.00 80/50 map 55 102 20 36.5 100% Epedrin 10 mg
09.15 97/65 map 76 102 20 36.5 100%
09.18 80/45 map 56 80 20 36.5 100% Epedrin 10 mg
09.21 88/52 map 65 73 20 36.5 100%
09.30 89/53 map 66 81 20 36.5 100%
09.45 87/53 map 63 87 20 36.5 100% Dexa 2 amp, transamin 500 mg
10.00 100/60 map 76 86 20 36.5 100% NaCl 0,9% II
10.05 110/71 map 65 85 22 36.5 100% Propofol 20 mg
10.15 96/62 map 74 78 20 36.5 100%
10.30 81/48 map 60 95 20 36.5 100% Epedrin 10 mg
10.45 97/61 map 74 84 20 36.5 100% Metronidazole 500 mg
11.00 82/51 map 53 81 20 36.5 100% Epedrin 10mg
11.15 94/66 map 74 88 18 36.5 100%
11.30 90/58 map 67 87 20 36.5 100%
11.45 102/59 map 67 99 20 36.5 100%
12.00 87/55 map 68 99 20 36.5 100% Epedrin 10mg
12.15 89/62 map 70 91 20 36.5 100% Tranfusi WB 400ml
12.30 94/61 map 72 106 18 36.5 100% Fentanyl 25 mcg
12.35 81/48 map 59 90 20 36.5 100% Epedrin 10mg
12.45 85/50 map 61 108 20 36.5 100% Fentanyl 25 mcg
13.00 99/62 map 76 104 20 36.5 100% Fentanyl 25mcg, propofol 10mg
13.15 74/53 map 56 76 20 36.5 100% Epedrin 10 mg
13.30 73/39 map 50 88 29 36.5 100% Epedrin 10mg
13.45 99/62 map 76 100 20 36.5 100%
14.00 87/44 map 55 87 20 36.5 100% Urin 200 ml
14.15 87/44 map 55 82 20 36.5 100%
14.30 82/52 map 63 89 20 36.5 100% Tranfusi habis
14.45 82/52 map 63 90 20 36.5 100% Epedrin 10 mg
15.00 87/60 map 62 81 20 36.5 100% Cek Hb 9
15.15 86/49 map 56 80 20 36.5 100%
15.30 80/47 map 57 89 20 36.5 100% Epedrin 10 mg
15.45 87/52 map 63 87 20 36.5 100%
16.00 97/54 map 69 85 20 36.5 100%
16.15 94/66 map 74 87 20 36.5 100%
16.30 94/66 map 74 88 20 36.5 100%
16.45 95/50 map 75 102 17 36.5 100%
17.00 95/50 map 75 98 17 36.5 100%
17.15 95/50 map 75 98 17 36.5 100% Operasi selesai
 Balans cairan durante operasi:
Balance Cairan jam 08.00 –17.10
Cairan Masuk : Kristaloid : RL 1500 ml,

79
Darah 400 ml (WB)
Cairan Keluar : Urine : 500ml
Perdarahan : 500ml
EBV: 45 x 60ml = 2900 ml hb : 10,2 gr/dl
EBL:
10%:290 ml Hb : 9,18 gr/dl
20%: 580 ml Hb : 8,16 gr/dl
30%: 870 ml Hb : 7,14 gr/dl
40%: 1160 ml Hb : 6,12 gr/dl
50%: 1450 ml Hb : 5,1 gr/dl
a. Proses ekstubasi
Sebelum dilakukan ekstubasi dilakukan pemasangan NGT no 16.
Dilakukan ekstubasi sadar baik pada jam 17.30 :
TD: 123/66mmhg Map : 81 Nadi:100 x/mnt RR: 20x/mnt SpO2: 100%
b. Kondisi post operasi di ruang recovery
- B1 : Airway bebas, napas spontan dengan O2 nasal kanul 2 lpm, RR
24x/mnt, saturasi O2 100 %, tak ada pernapasan cuping hidung, tak ada
tanda sianosis.terdapat sekret pada hidung dan mulut.
- B2 : Perfusi hangat kering merah, TD : 120/68 mmHg, N : 80 x/mnt,
CRT < 2”.
- B3 :Kesadaran composmentis,GCS E4V5M6, masih tampak
mengantuk
- B4 : Kateter + ,produksi urine 50 ml, kuning jernih
- B5 : Abdomen supel, BU +.
- B6 : tidak terdapat kelainan pada ekstremitas

Pesanan pasca anastesi :


1. Infus
Lanjutkan sisa OK 70 ml/jam, lanjutkan RL1000ml/24 jam
2. Puasa sampai dengan sadar baik, mual-, muntah –
Minum air putih sedikit, makan bebas

80
3. Observasi TTV tiap 15 menit, perfusi 15 menit
4. Terapi :
Injeksi ranitidine 50 mg tiap 8 jam (2 hari)
Injeksi keterolac 20 mg tiap 8 jam (2 hari)
Injeksi ondansetron 4 mg tiap 8 jam (1 hari)
Injeksi tramadol 100 mg tiap 8 jam (2 hari)
Pesanan lain :
- Pertahankan airway bebas, slight head up 15º
- Awasi perdarahan dan jalan nafas
- Beri O2 nasal kanul 2-5 lpm jika SpO2 >95%
- Pasien posisi slight head up 30º selama 15 menit, bila TAA duduk
15 menit bila TAA duduk di tepi tempat tidur dengan kaki
menjuntai 15 menit bila TAA pasien berdiri disamping tempat
tidur dan berpegangan TT, 15 menit tidak ada keluhan pasien bisa
dipindahkan ke ruangan
- Lapor dokter bila:
TD≥140 mmHg, ≤ 90 mmHg
N≥ 120/menit, ≤ 60x/menit
RR≥ 25x/menit, ≤ 10x/menit

81
A. ANALISA DATA
Tanggal/ Data fokus Etiologi Masalah
jam
Pre Operatif
12-7-2017 DS: Kurang Cemas
07.30 - Klien mengatakan informasi/
takut operasi pengetahuan
DO: klien tentang
- Klien tampak tegang penyakit dan
- TD: 155/82 mmHg prosedur operasi
- N: 62 x/ menit
- RR 21 x/menit

08.15 DS : - Adanya Ketidakefektifan jalan


DO : penumpukan nafas
- Tampak benjolan tumor secret dijalan
di mandibular nafas dan
- Jalan nafas bebas,gerak intubasi
leher bebas, berulang
- buka mulut 2 cm, jarak
mentohyoid tidak bisa
dievaluasi, jarak
hyothiroid tidak bisa
dievaluasi,
- leher pendek (-), massa

82
(+),
- Malampati: 3,
- ada gigi yang ompong
- Saat memasukkan Ett
terjadi perdarahan
- Adanya secret dijalan
nafas.
- SpO2 33-55%

Intra DS:-
Operatif DO: Perdarahan Defisit volume cairan
12-7-201 - Dilakukan durante operasi
08.10 mandibulektomi dan
plat rekontruksi
- Perdarahan : 500 ml
- Urine : 500 ml
- Hb : 10,2

Post
Operasi DS: Post Gangguan rasa
28-6-2016 - Klien mengatakan nyeri mandibulektom nyaman nyeri
13.00 y
DO:
- Post op mandibulektomi
dan plat rekontruksi
- TD : 120/68 mmHg, N :
80 x/mnt
- Skala nyeri 4

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman (cemas) b.d kurangnya pengetahuan tentang
penyakit dan prosedur anestesi
2. Defisit volume cairan b.d perdarahan durante operasi
3. Ketidakefektifan jalan nafas b.d penumpukan secret
4. Bersihan nafas tidak efektif b.d Penumpukan sekret

D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

83
.
1. cemas b/d Tujuan: 1. Beri kesempatan klien untuk
kurangnya Cemas teratasi dalam mengungkapkan rasa cemasnya
pengetahuan waktu 30 menit 2. Ciptakan suasana tenang dan
tentang Kriteria Hasil: nyaman.
penyakit dan - Klien tidak takut lagi 3. Kolaborasi dengan tim medis
prosedur - Klien tampak tenang dalam menjelaskan tentang
anestesi - Klien tampak rileks penyakit klien
4. Kolaborasi dengan tim medis
dalam menjelaskan tentang
prosedur anestesi yang akan
dilakukan
5. Kolabarasi dengan dokter dalam
pemberian premedikasi
2. Defisit volume Tujuan: 1. Monitor perdarahan tiap 30 menit
cairan b.d Defisit volume cairan 2. Monitor balance cairan tiap 1 jam
perdarahan dapat diatasi saat durante 3. Monitor tanda – tanda vital setiap
durante operasi operasi. 5 menit
Kriteria hasil: 4. Monitor produksi urin tiap 1 jam
- Tekanan darah normal 5. Kolaborasi dengan tim dokter
- Nadi normal dalam pemberian cairan dan
- Perfusi Hangat, elektrolit.
Kering, Merah
- CRT < 2”
- Balance cairan
seimbang
3. Ketidak Tujuan : 1. Membantu menyiapkan
efektifan jalan Setelah dilakukan perlengkapan intubasi sulit
nafas b.d tindakan jalan nafas tetap 2. Monitor tanda tanda vital
penumpukan efektif 3. Monitor adanya desaturasi
secret Kriteria Hasil : 4. Jaga jalan nafas tetap paten
- SpO2 >95 % 5. Melakukan intubasi smoth

84
- Nadi normal 6. Menyaipkan perlengkapan
- TD normal krikotiroidektomi jika mengalami
- Perfusi Hangat, kering kesulitan
merah 7. Kolaborasi dengan tim dokter
dalam obat induksi dan relaksan
4. Gangguan rasa Tujuan : 1. Kaji riwayat nyeri misal : lokasi
nyaman nyeri Setelah dilakukan 2x15 nyeri, frekuensi, durasi dan
berhubungan menit rasa nyaman nyeri intensitas dan tindakan penghilang
post teratasi yang digunakan.
mandibulektom Kriteria Hasil : 2. Berikan posisi yang nyaman
i dan plat Klien mengatakan nyeri pada pasien
rekontruksi berkurang 3. Ajarkan manajemen nyeri ( misal
Skala nyeri 0-3 teknik relaksasi nafas dalam)
Tanda-tanda vital dalam 4. Evaluasi rasa nyeri nyeri secara
batas normal berkala
5. Kolaborasi dengan dokter dlm
pemberian analgesic sesuai
indikasi

E. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


No dx Tanggal/ jam Implementasi Evaluasi
1 28-6-2016 1. Memberikan S:
08.30 kesempatan kepada 1. Klien mengatakan sudah
klien untuk mengerti tentang
mengungkapkan rasa penyakitnya
cemasnya. 2. Klien mengatakan sudah
a. Memperkenalkan mengerti tentang prosedur
diri kepada pasien anestesi yang akan
b. Mendengarkan apa dilakukan.
yang disampaikan
pasien O:

85
2. Menciptakan suasana 1. Wajah klien tampak tenang
tenang dan nyaman. dan rileks.
a. Menyampaikan 2. Klien kooperatif dalam
kepada petugas lain tindakan
untuk tidak 3. TD 120/79 MmHg, HR
menimbulkan 78x/menit, RR :18x/menit
kegaduhan A : masalah cemas teratasi
3. berkolaborasi dengan P : intervensi dihentikan
tim medis dalam
menjelaskan tentang
penyakit klien
6. berkolaborasi dengan
tim medis dalam
menjelaskan tentang
prosedur anestesi yang
akan dilakukan
7. Berkolabarasi dengan
dokter dalam
pemberian premedikasi
-Sulfat Atropin 0,25mg/im

2 28-6-2016 1. Memonitor perdarahan S:-


08.30-13.00 setiap 30 menit O:
a. Jumlah perdarahan 1. Tekanan darah normal
2. Memonitor produksi a. Tekanan darah systole
urine tiap 1 jam 95-110 mmHg
b. Jumlah urine 50- b. Tekanan darah diastole
100 ml/jam,warna 60-70 mmHg
kuning jernih 2. Nadi normal
3. Memonitor balance a. Nadi 87-110 x/ menit
cairan 3. Perfusi Hangat, Kering,

86
a. EBV: 45x 60 ml = Merah
2900 ml 4. CRT < 2”
b. EBL : 20%: 580 ml 5. Output dan input seimbang
c. Total perdarahan a. Total perdarahan 500 ml
500 ml selama selama operasi
operasi b. Total produksi urine 500
d. Total produksi ml
urine 500 ml c. Cairan RL masuk 1500
e. Cairan RL masuk ml, Darah WB 400 ml
1500 ml, Darah A : deficit volume cairan
400 ml teratasi
4. Memonitor TTV setiap P : Lanjutkan intervensi
5 menit
a. Tekanan darah
systole 75-105
mmHg
b. Tekanan darah
diastole 70-55
mmHg
c. Nadi 80-102 x/
menit
5. Kolaborasi dengan tim
dokter dalam
pemberian cairan dan
elektrolit.

3 28-6-2016 1. Mengkaji riwayat nyeri S :- Pasien mengatakan nyeri


13.05 misal : lokasi nyeri, berkurang
frekuensi, durasi dan O:
intensitas dan tindakan 1. Skala nyeri 2
penghilang yang 2. Tanda-tanda vital dalam

87
digunakan. batas normal
2. Berikan posisi yang A : masalah teratasi sebagian
nyaman pada pasien P : lanjutkan intervensi
3. Ajarkan manajemen
nyeri ( misal teknik
relaksasi nafas dalam)
4. Evaluasi rasa nyeri
nyeri secara berkala
5. Kolaborasi dengan
dokter dlm pemberian
analgesic sesuai
indikasi

88

Anda mungkin juga menyukai