Anda di halaman 1dari 12

11

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Preeklampsia Berat

3.1.1 Definisi

Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan

disertai dengan proteinuria. Menurut Cunningham (2005) kriteria minimum untuk

mendiagnosis preeklampsia adalah adanya hipertensi disertai proteinuria.

Hipertensi terjadi ketika tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg

dengan pengukuran tekanan darah sekurang- kurangnya dilakukan 2 kali selang 4

jam. Kemudian, dinyatakan terjadi proteinuria apabila terdapat 300 mg protein

dalam urin selama 24 jam atau sama dengan ≥ 1+ dipstick. Preeklampsia dengan

tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg

disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam disebut sebagai preeklampsia berat.

Beberapa tanda dan gejala dari preeklampsia berat antara lain nyeri epigastrium,

sakit kepala dan gangguan penglihatan akibat edema serebral ¹.

Pemeriksaan urin dipstik bukan merupakan pemeriksaan yang akurat

dalam memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel urin

sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin. Selain itu juga

dapat disertai dengan keterlibatan organ lain. Kriteria lain preeklampsia berat

yaitu bila ditemukan gejala dan tanda disfungsi organ, seperti kejang, edema paru,

oliguria, trombositopeni, peningkatan enzim hati, nyeri perut epigastrik atau

kuadran kanan atas dengan mual dan muntah, serta gejala serebral menetap (sakit
12

kepala, pandangan kabur, penurunan visus atau kebutaan kortikal dan penurunan

kesadaran) ².

3.1.2 Diagnosis

Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada

preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi

kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria

gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau

preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :3,4

1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg

diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang

sama

2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter

3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal

lainnya

4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan

atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen

5. Edema Paru

6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan

absent or reversed end diastolic velocity (ARDV).


13

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara

kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin

masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia

(preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi

preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang

berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara

signifikan dalam waktu singkat.3

3.1.3 Tatalaksana

Gambar 3.1 Manajemen ekspetatif preeklamsia berat 5

Beberapa obat yang digunakan pada preeklampsia berat adalah :6

1. Pemberian obat antikejang, seperti MgSO4, diazepam dan fenitoin.

Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada

rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi

neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium

sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak

terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).

Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium

sulfat.

2. Diueretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-

paru, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah

furosemida.
14

3. Pemberian antihipertensi

Nifedipin dosis 10-20mg per oral, diulangi setelah 30 menit,

maksimum120 mg dalam 24 jam. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual

karena efek vasodilatasi sangat cepat, sehingga hanya boleh diberikan peroral.

Tabel 3.1 Kriteria teriminasi kehamilan pada preeklampsia berat 5

Terminasi kehamilan
Data maternal Data janin
Hipertensi berat yang tidak terkontrol Usia kehamilan 34 minggu
Gejala preeklampsia berat yang tidak Pertumbuhan janin terhambat
berkurang (nyerikepala, pandangan Oligohidramnion persisten
kabur, dsbnya) Profil biofisik < 4
Penuruan fungsi ginjal progresif Deselerasi variabel dan lambat pada
Trombositopenia persisten atau NST
HELLP Syndrome Doppler a. umbilikalis: reversed end
Edema paru diastolic flow
Eklampsia Kematian janin
Solusio Plasenta
Persalinan atau ketuban pecah

3.2 Sectio caesarea

3.2.1 Definisi

Sectio Caesarea di definisikan sebagai lahirnya janin melalui insisi di

dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus atau histerektomi. Tindakan

sectio caesarea merupakan pilihna utama bagi tenaga medis untuk

menyelamatkan ibu dan janin7 .

Persalinan caesar atau section caesarea yaitu tindakan operasi untuk

mengeluarkan bayi dengan melalui insisi pada dinding perut dan didnding rahim

dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram 8.

3.2.2 Jenis-jenis sectio caesarea


15

Ada dua jenis sayatan operasi yang dikenal yaitu : 9

a. Sayatan melintang Sayatan pembedahan dilakukan dibagian bawah rahim

(SBR). Sayatan melintang dimulai dari ujung atau pinggir selangkangan

(simphysisis) di atas batas rambut kemaluan sepanjang sekitar 10-14 cm.

keuntunganya adalah parut pada rahim kuat sehingga cukup kecil resiko

menderita rupture uteri (robek rahim) di kemudian hari. Hal ini karna pada masa

nifas, segmen bawah rahim tidak banyak mengalami kontraksi sehingga luka

operasi dapat sembuh lebih sempurna.

b. Sayatan memanjang (bedah caesar klasik) Meliputi sebuah pengirisan

memanjang dibagian tengah yang memberikan suatu ruang yang lebih besar untuk

mengeluarkan bayi. Namun, jenis ini kini jarang dilakukan karena jenis ini labil,

rentan terhadap komplikasi.

3.2.3 Indikasi sectio caesaria

Indikasi untuk sectio caesaria :10

a. Indikasi untuk ibu

Plasenta previa, distocia serviks, ruptur uteri mengancam, disproporsi

cepalo pelviks, pre eklamsi dan eklamsi, tumor, partus lama.

b. Indikasi untuk janin

1. Mal presentasi janin

a) Letak lintang

1) Bila ada kesempitan panggul sectio caesarea adalah cara terbaik dalam

segala letak lintang dengan janin hidup.


16

2) Semua primigravida dengan letak lintang harus ditolong dengan sectio

caesarea.

3) Multipara letak lintang dapat lebih dulu dengan cara yang lain

b) Letak bokong

Dianjurkan sectio caesarea bila ada panggul sempit, primigravida, janin

besar, presentasi dahi dan muka bila reposisi dan cara lain tidak berhasil,

presentasi rangkap, bila reposisi tidak berhasil, atau gemeli.

2. Gawat Janin

Segera lakukan operasi agar tidak terjadi keracunan atau kematian janin,

sesuai dengan indikasi sectio caesarea.

Kontra indikasi :

a) Janin mati atau berada dalam keadaan kritis, kemungkinan janin hidup

kecil. Dalam hal ini tidak ada alasan untuk melakukan operasi.

b) Janin lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuksectio

caesarea ekstra peritoneal tidak ada.

c) Kurangnya pengalaman dokter bedah dan tenaga medis yang kurang

memadai.

3.2.4 Komplikasi

Komplikasi dari sectio caesarea adalah sebagai berikut :11

a) Infeksi merupakan komplikasi yang mungkin timbul setelah sectio

caesarea yang mungkin berasal dari sejumlah sumber, bisa terjadi dari infeksi

ringan yaitu kenaikan suhu beberapa hari saja, sedang yaitu kenaikan suhu lebih
17

tinggi disertai dehidrasi dan perut sedikit kembung, berat yaitu dengan peritonitis

dan ileus paralitik.

b) Perdarahan akibat atonia uteri atau banyak pembuluh darah yang terputus

dan terluka pada saat operasi

c) Trauma kandung kemih akibat kandung kemih yang terpotong saat

melakukan sectio caesarea.

d) Resiko ruptur uteri pada kehamilan berikutnya karena jika pernah

mengalami pembedahan pada di dinding rahim, insisi yang dibuat menciptakan

garis kelemahan yang sangat beresiko untuk ruptur pada persalinan berikutnya.

3.3 Infeksi sekunder

3.3.1 Definisi

Infeksi sekunder adalah infeksi yang terjadi selama atau setelah

penatalaksanaan penyakit atau operasi. Infeksi tersebut dapat bervariasi dalam

keparahan dan frekuensi, tergantung pada sejumlah faktor, termasuk kesehatan

pasien, penyebab masalah awal, pendekatan pengobatan yang digunakan, dan

kondisi fasilitas di mana pasien diperlakukan. Kadang-kadang, dengan mudah

disembuhkan, sementara di lain waktu, pada saat tak terduga bisa membuat

frustasi tenaga medis. Salah satu alasan paling umum untuk infeksi sekunder

adalah terjadinya penekanan dari sistem kekebalan tubuh.12

3.3.2 Etiologi

Bakteri penyebab terbanyak adalah flora normal kulit, yaitu

Staphylococcus aureus dan coagulase-negative Staphylococcus (seperti

Staphylococcus epidermidis¿13 . Bakteri lain yang sering ditemukan adalah


18

Pseudomonas sp., dan Escherichia coli 14 . Penelitian yang dilakukan di RSUD Dr.

H. Abdoel Moeloek Bandar Lampung tahun 2011 menunjukkan mikroorganisme

penyebab ILO di ruang rawat bedah terbanyak adalah Pseudomonas sp. 29,27%,

Staphylococcus epidermidis 21,95%, dan Klebsiella sp. 14,62%. Sedangkan

bakteri penyebab ILO di ruang rawat kebidanan terbanyak adalah Pseudomonas

sp. 25%, Escherichia coli 19,44%, Klebsiella sp. 16,67%, dan Staphylococcus

epidermidis 13,89 (Samuel, 2013)% 15.

3.3.3 Faktor-faktor predisposisi

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya infeksi

sekunder :16

1. Umur

Makin bertambahnya umur seseorang dapat mempengaruhi proses

penyembuhan luka yang disebabkan karena berkurangnya kelenturan jaringan

tubuh. Ibu nifas post SC dengan umur tua merupakan salah satu penyebab

terhambatnya penyembuhan luka.

2. Riwayat persalinan

Riwayat persalinan pada ibu dengan SC sebelumnya merupakan salah satu

faktor penyebab terjadinya infeksi pada luka SC. Menurut Varney (2018)

menjelaskan bahwa pada ibu dengan riwayat SC dapat memicu terjadinya infeksi

pada luka selanjutnya karena luka SC sebelumnya terbuka lagi.

3. Jarak paritas terlalu dekat

Ibu dengan jarak persalinan terlalu dekat dengan riwayat persalinan

sebelumnya SC yaitu kurang dari 2 tahun dapat meningkatkan terjadinya luka


19

baru. Hal tersebut disebabkan karena luka SC sebelumnya belum sembuh

maksimal, namun persalinan harus kembali terjadi yang menyebabkan luka harus

kembali terbuka.

4. Asupan gizi

Asupan gizi pada ibu dengan riwayat persalinan SC sangat mempengaruhi

proses penyembuhan luka. Gizi yang dibutuhkan ibu nifas pada bulan pertama

memerlukan energi sebanyak 700 kkal/hari dan protein 16 gram/hari, 6 bulan

kedua energi sebanyak 500 kkal/hari dan protein 12 gram/hari. Pada ibu dengan

luka post SC memerlukan kebutuhan gizi pada protein lebih banyak, karena

protein tinggi berfungsi untuk pembentukan sel-sel jaringan yang baru sehingga

dapat mempercepat proses penyembuhan luka.

5. Kekebalan tubuh

Pasien dengan faktor imun yang rendah akan lebih rentan terhadap

masuknya bakteri atau virus. Mekanisme kekebalan tubuh mengalami kerusakan

yang menyebabkan mudah terjadinya infeksi pada luka.

6. Penyakit yang menyertai

Faktor lain penyebab infeksi adalah adanya penyakit yang menyertai ibu

seperti obesitas, DM dan anemia. DM menyebabkan glukosa darah meningkat

sehingga terjadi penipisan protein dan kalori dalam darah. Anemia terjadi karena

pengencaran darah dalam tubuh dan kekuangan zat besi pembentuk sel darah

merah yang menyebabkan penurunan oksigen dan nutrient. Ibu dengan disertai
20

penyakit tersebut diatas dapat menjadi faktor yang menghambat proses

penyembuhan luka sehinggga dapat memicu terjadinya infeksi karena

penyembuhan luka yang lama.

7. Faktor benda asing

Adanya benda asing dalam luka akan menyebabkan terjadinya infeksi pada

luka.

3.3.4 Patofisiologi

Infeksi sayatan bedah atau infeksi luka dapat terjadi karena adanya

kontaminasi langsung dari area sayatan dengan organisme pada rongga uterus

pada saat pembedahan. Tumbuhnya jaringan baru sebagai proses penyembuhan

luka dipengaruhi oleh kebersihan dan nutrisi pada ibu dengan riwayat persalinan

SC. Luka yang tidak dirawat dengan baik yaitu dengan perawatan kebersihan luka

dan asupan gizi yang kurang, dapat memperlambat proses penyembuhan.

Lamanya proses penyembuhan dapat memicu terjadinya infeksi dengan gejala

awal luka terasa panas, kemerahan dan terdapat nanah. Infeksi akan semakin

meluas jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat yaitu pengeluaran cairan

dan nanah yang berwarna dan berbau yang menandakan infeksi akut 17.

3.3.5 Tanda-tanda infeksi

Tanda-tanda infeksi pada luka operasi adalah sebagai berikut :18

a) Jahitan dikulit perut terlihat merah dan meradang.

b) Terasa sangat gatal.

c) Keluar cairan putih kekuningan atau darah di sela-sela jahitan.

d) Terasa panas di daerah jahitan.


21

e) Nyeri kalau ditekan

f) Nyeri saat buang air kecil

g) Demam (38ºC)

3.3.6 Pencegahan

Pencegahan infeksi pada ibu nifas post SC dapat dilakukan dengan cara :18

a) Mempertahankan tindakan asepsis yaitu membersihkan luka operasi

dengan sterile saline solution sampai 48 jam setelah operasi, menjaga kebersihan

luka dengan perawatan ganti balut setiap hari. Perawatan ganti balut dilakukan

dengan larutan betadin dan menutup luka secara steril dengan kasa steril.

b) Melakukan tindakan untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi yaitu

dengan tidak membuka tutup luka, menekan nekan luka, dan bekerja terlalu berat

yang dapat memicu masuknya bakteri penyebab infeksi.

3.3.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk menangani infeksi pada luka

post SC adalah :19

a) Melakukan kultur specimen pada pus, urin, sputum, darah, feses yang

dapat menegakkan diagnosa dari infeksi.

b) Pemberian antibiotik dilakukan untuk mengatasi terjadinya infeksi yang

lebih luas. Pemberian antibiotik dilakukan berdasarkan hasil kultur dan

organisme. Jenis antibiotik yang dapat diberikan pada pasien infeksi luka insisi

post sectio caesarea yaitu aminoglikosida, sefalosporin dan metronidazole.


22

c) Memberikan perlindungan dan ruang isolasi pada pasien dengan

methicilllin resistant aureus (MRSA ) atau vancomycin resistant anterococcus

(VRE).

d) Melakukan drainase secara bedah atau radiologis yaitu dengan

mengeluarkan cairan dari luka dengan selang adalah modalitas terapi paling

penting untuk suatu abses atau kumpulan cairan yang terinfeksi.

Anda mungkin juga menyukai