Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS ANESTESI

ULKUS DM DENGAN SEPSIS


Diajukan sebagai salah satu persyaratan menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter (PPPD)
Bagian Ilmu Anestesiologi RSI Sultan Agung Semarang

Disusun oleh:
Laode Muhammad Sukarno Kamaluddin
Erma Handayani
M Nanda Satya
Camelia NadifaH
Pembimbing :
dr. Wignyo Santosa Sp.An-KIC

BAGIAN ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2018
BAB I
PENDAHULUAN

Sepsis merupakan suatu sindrom kompleks dan multifaktorial, yang insidensi,


morbiditas, dan mortalitasnya sedang meningkat di seluruh belahan dunia. Sepsis dan syok
sepsis merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di intensive care unit
(ICU), mengakibatkan kematian lebih dari 30% pada 28 hari pertama perawatan. Jutaan
penderita tersebar diseluruh dunia dan rata-rata sebanyak 1400 pasien meninggal setiap hari.
Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana respon
tersebut cenderung berbahaya atau bersifat merusak. Selain itu tingginya biaya perawatan,
kualitas hidup setelahnya, dan beban ekonomi yang harus ditanggung, semua ini membuat
sepsis menjadi masalah kesehatan yang besar.

The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock tahun
2016 telah mengeluarkan definisi terbaru untuk sepsis yaitu suatu disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host terhadap infeksi. Dalam
definisi terbaru ini, istilah “sepsis berat” telah dihilangkan, hal ini bertujuan agar sepsis tidak
dianggap ringan dan bisa diberi penanganan yang tepat sesegera mungkin. Syok sepsis
didefinisikan sebagai kondisi lanjut dari sepsis dimana abnormalitas metabolisme seluler dan
sirkulatorik yang menyertai pasien cukup berat sehingga dapat meningkatkan mortalitas.

Sepsis berat merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat dan merupakan
penyebab kematian tersering pada pasien kritis di non-coronary Intensive Care Unit (ICU).
Insidensi sepsis berat diperkirakan mencapai 300 kasus per 100.000 populasi di Amerika
Serikat dan setengah dari kasus tersebut terjadi di luar ICU. Seperempat dari total pasien
yang mengalami sepsis meninggal selama perawatan, sedangkan syok septik dihubungkan
dengan angka kematian yang tinggi yaitu mencapai 50%.

Hampir sebagian besar permasalahan akibat sepsis terjadi di negara berkembang,


dimana sekitar dua pertiga populasi dunia berada.5 Data mengenai sepsis di Indonesia pada
1996, sejumlah 4.774 pasien dibawa ke rumah sakit pendidikan di Surabaya, dan 504 pasien
terdiagnosis sepsis, dengan rasio kematian 70.2%. Studi di salah satu rumah sakit pendidikan
di Yogyakarta, ada 631 kasus sepsis pada 2007, dengan rasio kematian sebesar
48.96%.6Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response
syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu
tubuh yang abnormal (>38oC atau <36oC); takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai
dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan
jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus atau jamur.

Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak


akibat penurunan sekresi insulin atau resistensi insulin (Dorland, 2010). DM suatu penyakit
dimana metabolisme glukosa yang tidak normal, yang terjadi akibat perubahan pola hidup,
mengkonsumsi makanan dan minuman manis dan juga kurangnya olahraga. Penyakit ini
dapat menyerang segala usia tua maupun muda ditandai dengan kadar gula darah tidak
terkontrol yang dapat mengakibatkan komplikasi.

Komplikasi pada DM dapat bersifat akut dan kronik. Komplikasi akut DM dapat
berupa hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum, dan sindrom hip.erglikemik hiperosmolar
nonketotik. Komplikasi kronis DM dapat terjadi pada makrovaskular, mikrovaskular, dan
neuropati. Komplikasi neuropati yang sering terjadi adalah perubahan patologis pada
anggota gerak bawah salah satunya luka gangren. Luka gangren memiliki resiko tinggi untuk
mengalami infeksi. Infeksi pada luka gangren dapat menyebabkan sirkulasi darah menurun,
sepsis, dan bahkan kematian (Misnadiarly, 2007)
BAB II
TINJAUAN PUSAKA
2.1. Ulkus Kaki Diabetik
2.1.1 Definisi
Ulkus kaki diabetik adalah luka yang dialami oleh penderita diabetes pada area kaki
dengan kondisi luka mulai dari luka superficial, nekrosis kulit, sampai luka dengan ketebalan
penuh (full thickness), yang dapat meluas kejaringan lain seperti tendon, tulang dan
persendian, jika ulkus dibiarkan tanpa penatalaksanaan yang baik akan mengakibatkan
infeksi atau gangrene. Ulkus kaki diabetik disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya kadar
glukosa darah yang tinggi dan tidak terkontrol, neuropati perifer atau penyakit arteri perifer.
Ulkus kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi utama yang paling merugikan dan
paling serius dari diabetes melitus, 10% sampai 25% dari pasien diabetes berkembang
menjadi ulkus kaki diabetik dalam hidup mereka (Fernando, et al., 2014; Frykberg, et al.,
2006; Rowe, 2015; Yotsu, et al., 2014).

2.1.2 Etiopatologi
Ulkus kaki diabetik terjadi sebagai akibat dari berbagai faktor, seperti kadar glukosa
darah yang tinggi dan tidak terkontrol, perubahan mekanis dalam kelainan formasi tulang
kaki, tekanan pada area kaki, neuropati perifer, dan penyakit arteri perifer aterosklerotik,
yang semuanya terjadi dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi pada penderita diabetes.
Gangguan neuropati dan vaskular merupakan faktor utama yang berkonstribusi terhadap
kejadian luka, luka yang terjadi pada pasien diabetes berkaitan dengan adanya pengaruh saraf
yang terdapat pada kaki yang dikenal dengan nuropati perifer, selain itu pada pasien diabetes
juga mengalami gangguan sirkulasi, gangguan sirkulasi ini berhubungan dengan peripheral
vascular diseases. Efek dari sirkulasi inilah yang mengakibatkan kerusakan pada saraf-saraf
kaki.
Diabetik neuropati berdampak pada sistem saraf autonomi yang mengontrol otot-otot
halus, kelenjar dan organ viseral. Dengan adanya gangguan pada saraf autonomi berpengaruh
pada perubahan tonus otot yang menyebabkan gangguan sirkulasi darah sehingga kebutuhan
nutrisi dan metabolisme di area tersebut tidak tercukupi dan tidak dapat mencapai daerah tepi
atau perifer. Efek ini mengakibatkan gangguan pada kulit yang menjadi kering dan mudah
rusak sehingga mudah untuk terjadi luka dan infeksi. Dampak lain dari neuropati perifer
adalah hilangnya sensasi terhadap nyeri, tekanan dan perubahan temperatur (Chuan, et al.,
2015; Frykberg, et al., 2006; Rowe, 2015; Syabariyah, 2015)

2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi ulkus kaki diabetik diperlukan untuk berbagai tujuan, diantaranya yaitu
untuk mengetahui gambaran lesi agar dapat dipelajari lebih dalam tentang bagaimana
gambaran dan kondisi luka yang terjadi. Terdapat beberapa klasifikasi luka yang sering
dipakai untuk mengklasifikasikan luka diabetes dalam penelitian-penelitian terbaru,
diantaranya termasuk klasifikasi Kings College Hospital, University of Texas klasifikasi,
klasifikasi PEDIS, dll. Tetapi tedapat dua sistem klasifikasi yang paling sering digunakan,
dianggap paling cocok
dan mudah digunakan yaitu klasifikasi menurut Wagner-Meggitt dan University of Texas
(James, 2008; Jain, 2012; Oyibo, et al., 2001).
Tabel 1. Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetik Wagner Meggitt

Klasifikasi ini [Tabel 2.1] telah dikembangkan pada tahun 1970-an, dan telah menjadi
sistem penilaian yang paling banyak diterima secara universal dan digunakan untuk ulkus
kaki diabetik (James, 2008; Mark & Warren, 2007).
Tabel 2. Klasifikasi Ulkus Kaki Menurut University Of Texas
Klasifikasi University of Texas merupakan kemajuan dalam pengkajian kaki diabetes.
Sistem ini menggunakan empat nilai, masing-masing yang dimodifikasi oleh adanya infeksi
(Stage B), iskemia (Stage C), atau keduanya (Stage D). Sistem ini telah divalidasi dan
digunakan pada umumnya untuk mengetahui tahapan luka dan memprediksi hasil dari luka
yang bisa cepat sembuh atau luka yang berkembang kearah amputasi (James, 2008).

2.1.4 Manajemen Ulkus Kaki Diabetik

Manajemen ulkus kaki diabetik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan secara
komprehensif yang diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Pilar standar
dalam perawatan ulkus kaki diabetik dijelaskan menurut American Diabetes Association
(ADA) antara lain debridement, mengurangi tekanan (off-loading), pencegahan dan
pengendalian infeksi. Sejalan dengan ADA para ahli menambahkan, manajemen perawatan
ulkus kaki diabetik harus meliputi: mengatasi penyakit penyerta, revaskularisasi, perawatan
luka dan pemilihan dressing yang tepat. Beberapa terapi tambahan yang dapat mempercepat
proses penyembuhan luka akhir-akhir ini sedang berkembang diantaranya: Living Skin
Equivalents (LSEs), Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT), Negative Pressure Wound
Therapy (NPWT), Platelet-rich plasma, Gene therapy, Extracorporeal shock-wavetherapy,
Laser therapy, Angiotension II analog, dan Terapi Lactoferrin (Dinh, Elder & Veves, 2011;
Suriadi, 2015; Syabariyah, 2015).

2.2 Gagal Ginjal Kronik


2.2.1 Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 3. Batasan penyakit ginjal kronik

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik
dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih
normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium
3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan
ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella,
2005). Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut:

Tabel 4. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik

(Sumber: Clarkson, 2005)

2.2.2 Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit
sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma
multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis
mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau
keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti
ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi
lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala
tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut
pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau
hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi
sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-
kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena
kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan.

2.2.3 Faktor risiko


Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan
riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga
(National Kidney Foundation, 2009).

2.2.4 Patofisiologi
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit
primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme
adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada
penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah
adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang
disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa
setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan
kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut
menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (Noer, 2006).

2.2.5 Gambaran klinik


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis,
saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
kardiovaskular (Sukandar, 2006). a. Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom
normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal
kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau
bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih
belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga
terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa
lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau
hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf
mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
2.2.6 Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut: a.
Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG) b. Mengejar etiologi GGK yang
mungkin dapat dikoreksi c. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal
(reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit
termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik
(keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum
klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal
ginjal.
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit
termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal. 1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai
uji saring untuk faal ginjal (LFG). 2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK) Analisis urin
rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis. 3) Pemeriksaan
laboratorium untuk perjalanan penyakit Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis,
elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor
pemburuk faal ginjal (LFG).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis Pemeriksaan penunjang diagnosis harus
selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:
1) Diagnosis etiologi GGK Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto
polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
2) Diagnosis pemburuk faal ginjal Pemeriksaan radiologi dan radionuklida
(renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG)

2.3 SEPSIS
2.3.1 Definisi Sepsis

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan
oleh kelainan regulasi respon host terhadap infeksi. Disfungsi organ dinyatakan sebagai
perubahan akut pada total skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) >2 poin
sebagai konsekuensi dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak
diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA >2 dihubungkan dengan risiko
kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan kecurigaan adanya
infeksi.3 SIRS yang terdapat dalam definisi sepsis terdahulu dianggap tidak bisa dijadikan
dasar diagnosis karena respon inflamasi tersebut bisa hanya menggambarkan respon host
yang normal dan adaptif. Bahkan pasien dengan disfungsi organ ringan kondisinya dapat
memburuk lebih jauh, menandakan bahwa sepsis merupakan suatu kondisi yang serius dan
membutuhkan intervensi yang cepat dan tepat. Dalam definisi terbaru ini, istilah “sepsis
berat” telah dihilangkan, hal ini bertujuan agar sepsis tidak dianggap ringan dan bisa diberi
penanganan yang tepat sesegera mungkin.

Selain dengan menggunakan skor SOFA, pasien dengan curiga adanya infeksi yang
diprediksi menjalani perawatan di ICU dalam jangka waktu lama atau diprediksi
meninggal di rumah sakit dapat secara cepat diidentifikasi dengan quick SOFA
(qSOFA), yang terdiri dari :
 Terganggunya status kesadaran
 Tekanan darah sistolik <100 mmHg
 Laju pernafasan >22 x/menit

Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi lanjut dari sepsis dimana abnormalitas
metabolisme seluler dan sirkulatorik yang menyertai pasien cukup berat sehingga dapat
meningkatkan mortalitas. Pasien dengan syok sepsis dapat diidentifikasi berdasarkan
adanya sepsis yang disertai hipotensi persisten yang membutuhkan vasopresor untuk
menjaga agar MAP >65 mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) walaupun
telah diberi resusitasi yang adekuat.
Dengan kriteria ini, angka kematian di rumah sakit dapat melebihi 40%.3 Alur
identifikasi pasien sepsis dan syok sepsis dapat dilihat pada bagan berikut :

Gambar 1. Alur identifikasi pasien dengan sepsis dan syok sepsis.3


Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, hipotensi,
atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status
mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri <90 mmHg atau 40
mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam
meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk
mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau tekanan arterial rata-
rata ≥70 mmHg.13-15

2.3.2 Epidemiologi Sepsis


Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika
Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus sepsis
berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an
terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis
meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus
(240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika Serikat.
13

Di Indonesia pada 1996, sejumlah 4.774 pasien dibawa ke rumah sakit pendidikan
di Surabaya dan 504 pasien terdiagnosa mengalami sepsis, dengan rasio kematian 70.2%.
Pada sebuah studi di salah satu rumah sakit pendidikan di Yogyakarta, ada 631 kasus
sepsis pada 2007, dengan rasio kematian sebesar 48.96%.

2.3.3 Etiologi sepsis


Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60%
sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel imun.
Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan
penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein
kompleks merupakan komponen utama membrane terluar dari bakteri gram negative.
LPS akan merangsang peradangan jaringan, demam, dan syok pada penderita yang
terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh
penderita. Staphylococci, Pneumococci, Streptococci, dan bakteri gram positif, lainnya
jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20% sampai 40% dari keseluruhan
kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes), atau protozoa
(Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis walaupun jarang.
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok septik.
Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang
ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya
ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum,
urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi spesifik,
tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses
oleh kultur.13,14
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi
dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama,
terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis
(misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya
pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis.14
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang
paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul.
Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
a Infeksi paru-paru (pneumonia)
b Flu (influenza)
c Appendiksitis
d Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
e Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
f Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
g Infeksi pasca operasi
h Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada satu dari lima
kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.17

2.3.4 Patofisiologi sepsis

Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari sistem
imun dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan
dari sindrom sepsis tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons
imun terhadap tempat yang berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan
antara regulator pro-inflamasi dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan
mikroorganisme penyebab infeksi.15
2.3.4.1. Kaskade inflamasi (Inflammatory cascade)
Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan sepsis.
Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme gram
negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme gram positif
(misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.
Gambar 1. Gambaran klinis (dikutip dari kepustakaan 18)

Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan sel-sel


imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan
memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor
trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear
factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi,
tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1
memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien,
platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan
endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini
menyebabkan produksi molekul adhesi pada Sepsis leads to organ failure and death
via a cascade of inflammation and coagulation. Activated protein C (APC) blocks
the cascade at several points. A formulation of recombinant human APC has been
approved for treating sepsis. IL-1, interleukin 1; TNF-α, tumor necrosis factor α.
12 sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera
endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil
teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian
memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang
ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke syok septik.
Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan
mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya
memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi,
meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab
hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan
fungsi organ dan kematian. 15,18

2.3.4.2 Tahapan perkembangan sepsis


Sepsis berkembang dalam tiga tahap:
1) Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses gigi. Hal ini
sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan rumah sakit.
2) Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai mengganggu
fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru atau hati.
3) Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah turun ke
tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital tidak mendapatkan oksigen
yang cukup. Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis ke
syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple dan kematian.

2.3.5. Faktor Risiko


Faktor risiko sepsis meliputi :
a) Usia
Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik
dibandingkan usia tua.19 Orang kulit hitam memiliki kemungkinan peningkatan
kematian terkait sepsis di segala usia, tetapi risiko relatif mereka terbesar dalam
kelompok umur 35 sampai 44 tahun dan 45 sampai 54 tahun. Pola yang sama
muncul di antara orang Indian Amerika / Alaska Pribumi. Sehubungan dengan
kulit putih, orang Asia lebih cenderung mengalami kematian yang berhubungan
dengan sepsis di masa kecil dan remaja, dan kurang mungkin selama masa dewasa
dan tua usia. Ras Hispanik sekitar 20% lebih mungkin dibandingkan kulit putih
untuk meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan sepsis di semua
kelompok umur. 16
Gambar 2. Angka kematian akibat sepsis berdasarkan umur pada ras tertentu
(dikutip dari kepustakaan 16)
b) Jenis kelamin
Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang berhubungan
dengan sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras / etnis. Laki-laki 27%
lebih mungkin untuk mengalami kematian terkait sepsis. Namun, risiko untuk pria
Asia itu dua kali lebih besar, sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska
Pribumi kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7%.
16

c) Ras
Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan
terendah di antara orang Asia. 16
d) Penyakit komorbid
Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh (gagal
ginjal kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan alkohol) lebih umum pada
pasien sepsis non kulit putih, dan komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan
disfungsi organ akut yang lebih berat.20
e) Genetik
Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme umum
dalam gen untuk lipopolysaccharide binding protein (LBP) dalam kombinasi
dengan jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko untuk
pengembangan sepsis dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil
yang tidak menguntungkan. Penelitian ini mendukung peran imunomodulator
penting dari LBP di sepsis Gram-negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik dapat
membantu untuk identifikasi pasien dengan respon yang tidak menguntungkan
untuk infeksi Gram-negatif.22
f) Terapi kortikosteroid
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan
terhadap berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis steroid
dan durasi terapi. Meskipun bakteri piogenik merupakan patogen yang paling
umum, penggunaan steroid kronis meningkatkan risiko infeksi dengan patogen
intraseluler seperti Listeria, jamur, virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis
yang dihasilkan dari sebuah respon host sistemik terhadap infeksi mengakibatkan
sepsis.23,24
g) Kemoterapi
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat membedakan
antara sel-sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat, seperti sel-sel darah, sel-
sel kulit. Orang yang menerima kemoterapi beresiko untuk terkena infeksi ketika
jumlah sel darah putih mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama
tubuh terhadap infeksi. Kondisi ini, yang disebut neutropenia, adalah umum setelah
menerima kemoterapi. Untuk pasien dengan kondisi ini, setiap infeksi dapat
menjadi serius dengan cepat. Menurut Penack O, et al., sepsis merupakan penyebab
utama kematian pada pasien kanker neutropenia. 25-27
h) Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell Griffin, et al.
didapatkan hasil bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan secara independen
terkait dengan kejadian sepsis di masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor
risiko sepsis di masa depan yang lebih baik daripada BMI. Namun pada penelitian
Kuperman EF, et al diketahui bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas
sepsis rawat inap dalam studi kohort, tapi sifat protektif ini berhubungan dengan
adanya komorbiditas resistensi insulin dan diabetes. 28-29
2.3.6. Manifestasi klinis
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai dengan
bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory response syndrome
(SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada multiple organ
dysfunction syndrome (MODS).30
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam,
takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka
kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau
vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak
yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran
pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi
dapat dimulai secara dini.15
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya
beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering
ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia
dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang
dialaminya (seperti pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis
kalsium) atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan
penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien dengan usia yang
ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat mengarahkan adanya sepsis,
dan memberikan pertimbangan sekurangkurangnya pemeriksaan skrining awal untuk
infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis.15
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi
gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan tinggal di unit gawat
darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan.
Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ,
karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi
mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan
penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan produksi urine
(≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan
pertimbangan klinis.15

2.3.7. Diagnosis
Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi
mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau apus gram dari buffy coat
serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah, urin, dan cairan
serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur
dan dilakukan pemeriksaan apus untuk menentukan organisme. Pemeriksaan hitung sel
darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan tromboplastin parsial, kadar fibrinogen
serta D-dimer, analisis gas darah, profil ginjal dan hati, serta kalsium ion harus
dilakukan. Anak yang menderita harus dirawat di ruang rawat intensif yang mampu
melakukan pemantauan secara intensif serta kontinu diukur tekanan vena sentral, tekanan
darah, dan cardiac output. 31
Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk mempertimbangkan
sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau hipotermia, takikardi yang tidak
jelas, takipnea yang tidak jelas, tandatanda vasodilatasi perifer, shock dan perubahan
status mental yang tidak dapat dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan
syok septik, yaitu curah jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik yang
rendah. Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor pembekuan,
dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan sepsis. 18
2.1 Laboratorium
Pada sepsis awal hasil laboratorium yang ditemukan adanya leukositosis,
trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia.
Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan dohle, atau vakuola sitoplasma.
Hiperventilasi yang menimbulkan alkalosis respiratorius, hipoksemia dapat dikoreksi
dengan oksien. Lipid serum meningkat.
Pada sepsis tahap selanjutnya dapat dijumpai trombositopenia yang semakin
memburuk disertai perpanjangan waktu thrombin, penurunan fibrinogen, dan
keberadaan D-dimer yang menunjukan DIC. Azotemia dan hiperbilirubin lebih
dominan. Aminotransferase meningkat, hipoksemia yang tidak dapat dikoreksi
dengan oksigen 100%, hiperglikemia dibetik menimbulkan ketoasidosis yang
memmperburuk hipotensi
Tabel 1. Indikator laboratorium untuk sepsis (dikutip dari kepustakaan 18)
2.3.8. Surviving sepsis campaign care bundles
Berikut adalah tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur menurut Surviving
Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and
Septic Shock 2012 :

Gambar 4. Tata cara pengelolaan pasien (dikutip dari kepustakaan 3)

2.3.9. Manajemen dan Tatalaksana (Early goal directed therapy)

Manajemen sepsis berat harus dilakukan sesegera mungkin dalam periode emas (golden
hours) selama 6 jam pertama. Secara ringkas , strategi terapi sepsis berat mencakup 3 hal
yakni resusitasi awal dan kontrol infeksi, terapi dukungan hemodinamik, serta terapi suportif
lainnya. Tujuan fisiologis selama 6 jam pertama resusitasi sebagai berikut 1) Tekanan vena
sentral (CVP) 8-12mmHg. 2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65 mmHg. 3) Saturasi
oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%. 4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi,
agen inotropik, dan oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik). 13

2.3.10. Tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis


Kategori tersebut yaitu :
1) Terapi cairan Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan diffuse capillary
leakage, preload menjadi inadekuat sehingga terapi cairan merupakn tindakan
utama.
2) Terapi vasopressor Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial
pressure dan organ perfusion adekuat). Vasopressor potensial: nor epinephrine,
dopamine, epinephrine, phenylephrine.
3) Terapi inotropik Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik
mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang dinilai dari ejection
fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien mengalami penurunan cardiac
output, sehingga diperlukan inotropic: dobutamine, dopamine, dan epinephrine.32

2.3.11. Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi
yang mungkin terjadi meliputi:
1) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi respirasi akut
(acute respiratory distress syndrome)
Milieu inflamasi dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru.
Terbentuknya cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas,
mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil
akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul
pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya
mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten
dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak memerlukan
ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya jika pasien mengalami ALI/
ARDS setelah resusitasi cairan.
2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara
difus sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik,
yang normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan, diaktifkan.
Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem 25 diaktifkan secara
konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor
pembekuan badan dan trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan
demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan.
Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.
3) Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan
mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung molekul
inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban
kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS)
atau infark miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian
obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering menyebabkan takikardia) harus
digunakan dengna berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak
dianjurkan.
4) Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan
peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik
biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik yang
tidak stabil dalam waktu yang lama. 26

5) Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya gagal
ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dan
sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal
tidak mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi penggantian
fungsi ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6) Sindroma disfungsi multiorgan
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan untuk
mempertahankan homeostasis.
 Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi atau
trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi jantung/paru pada
keadaan pneumonia yang berat.
 Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons peradangan
yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS pada keadaan
urosepsis.15
Case Report
Seorang pria datang ke IGD pada tanggal 22 mei 2018 usia 64 tahun dirujuk dari RS
PKU GUBUG dengan diagnosa ulkus DM, CKD dan sepsis. Dari Alloanamnesa didapatkan
bahwa sebelumnya pasien mengalami penurunan kesadaran 4 hari SMRS dan demam tinggi.

HASIL PEMERIKSAAN FISIK DI IGD

Keadaan umum pasien tampak lemas, kesakitan, kesadaran sopor GCS E3M2V2.
Pasien sudah terpasang DC, produksi urin tidak ada , terpasang NGT , IV line 2 jalur
Pemeriksaan fisik ditemukan Tekanan Darah: 96/60 mmHg, Nadi: 112 x/menit, Suhu: 40,1
o
C, RR: 36 x/menit, SpO2: 100%. Pada pemeriksaan fisik : Mata ditemukan pupil isokor
dextra dan sinistra dan sclera tidak ikterik. Thoraks didapatkan auskultasi ronkhi +/+ simetris
Jantung BJ I dan II regular dan tidak ditemukan bunyi jantung tambahan . Abdomen bising
usus (+). Ekstremitas ulkus pada ibu jari kaki kanan.

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


Pemeriksaan pada tanggal (14/05/2018)
Hemoglobin 11,2 g/dL (L) 13,2 – 17,3 g/dL
Hematocrit 33,1 % 33 – 45 %
Leukocyte 24,13 ribu/Ul (H) 3,6 – 10,6 ribu/uL
Trombocyte 202 ribu/Ul (l) 150 – 440 ribu/uL
Golongan Darah/Rh B/ positif
KIMIA
Gula Darah Sewaktu 133 mg/dL < 200 mg/dL
Ureum 373 mg/dl (H) 10-50 mg/dL
Creatinin Darah 9,11 mg/dl (H) 0,7-1,3 mg/dL
Bilirubin direct 0,22 (H) 0-0,2
Na, K, Cl
Natrium 146,4 mmol/L 135-147 mmol/L
Kalium 4,43 mmol/L 3,5-5 mmol/L
Chloride 101 mmol/L 95-105mmol/L
IMUNOSEROLOGI
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif

Interpretasi hasil laboratorium : anemia, leukositosis, azotemia.

HASIL PEMERIKSAAN X FOTO THORAKS

Interpretasi : Posisi ETT baik, cor tak membesar, tak tampak gambaran infiltrate.
PEMBAHASAN

Pada sebuah studi in vitro didapatkan hasil bahwa hipergilkemia seperti yang terjadi
pada diabetes melitus dapat merusak performa Polymorphonuclear (PMN). Seperti diketahui
bahwa PMN ini berperan besar dalam innate immune system. Pada pasien diabetes melitus
telah diteliti bahwa terjadi penurunan fungsi sel PMN, aderens ke endotel, kemotaksis, dan
fagositosis dan kemampuan bakterisid. Hiperglikemia terbukti memperpanjang durasi respon
sitokin. Hal ini diperkirakan berhubungan diabetes tipe 2 yaitu ditemukan perpanjangan
waktu dalam produksi sitokin.
Sebuah literatur mengemukakan tentang hasil penelitian preklinik dan klinik
mengenai terjadinya sepsis pada diabetes. Di antaranya, dikemukakakan bahwa diabetes
melitus berdampak langsung terhadap adaptive immune system. Hasil penelitian Spatz et al
menunjukkan terjadi penurunan proliferasi dan gangguan fungsi sel T yang berpengaruh
terhadap produksi antiinflamasi dan proinflamasi serta defek pada Antigen Presenting Cell
(APC).Mekanisme lain yang diduga berkaitan dengan perkembangan sepsis pada pasien
diabetes melitus adalah bahwa diabetes melitus memicu disfungsi endotel dan procoagulant
state. Mekanisme yang sama merupakan bagian dari patofisiologi
Komplikasi dan Komorbid terbanyak yang dialami oleh pasien DM dengan ulkus
adalah sepsis dan neuropati, masing – masing sebesar 14,71 % (n=5) dan 20,59 %
(n=7) pasien. Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh infeksi dan respon
inflamasi sistemik terhadap infeksi tersebut (Dellinger, et al., 2013). Pasien ulkus
diabetik dengan kondisi demam >38°C (100,4°F) atau < 36°C (96,8°F), denyut jantung lebih
dari 90 rpm, tingkat pernapasan lebih dari 20 rpm, jumlah lukosit yang abnormal (>
12.000/μL atau < 4000/μL) yang berkelanjutan akan berkembang menjadi sepsis berat
bahkan syok sepsis (Ki & Rotstein, 2008). Neuropati sensorik perifer saat mengalami trauma
merupakan faktor utama penyebab terjadinya ulkus kaki diabetik (Bowering, 2001).
Sekitar 45 – 60 % ulkus diabetik diawali oleh neuropati, dimana 45 % dari pasien tersebut
juga disertai iskemia (Frykberg, et al., 2006). Neuropati sensorik perifer, berkontribusi pada
hilangnya rasa nyeri di vaskularisasi ekstremitas bawah yang telah memburuk dan sangat
rentan berkembang menjadi luka kronis. Selain itu, hilangnya rasa nyeri akan
menyebabkan eksaserbasi cedera (Rebolledo, et al., 2011)
KESIMPULAN

Pasien sepsis yang memiliki indikasi untuk dirawat di ICU adalah pasien dengan
severe sepsis/ syok sepsis. Penggunaan SOFA score maupun q-SOFA dapat digunakan untuk
mengetahui seberapa berat keadaan pasien. Penatalaksanaan awal dari pasien syok sepsis Hal
yang sangat penting adalah meminimalkan trauma langsung terhadap sel serta
mengoptimalkan perfusi dan membatasi iskemia. Dibutuhkan perencanaan terapi yang
terintegrasi untuk mencapai hal tersebut. Sebagai pedoman dalam perencanaan, pendekatan
terapi dapat ditujukan untuk mencapai tiga sasaran :

1. Memperbaiki dan memperthankan perfusi yang adekuat

2. Mengontrol respon pasien terhadap trauma

3. Menghindari terjadinya penyakit iatrogenik


DAFTAR PUSTAKA

1. National health service United Kingdom. Sepsis [Internet]. [cited 2013 des]. Available
from: http://www.nhs.uk/Conditions/bloodpoisoning/Pages/introduction.aspx

2. Ayudiatama SC. Uji diagnostik prokalsitonin dibanding kultur darah sebagai baku emas
untuk diagnostis sepsis di RSUP dr. Kariadi. Semarang: Fakultas kedokteran Universitas
Diponegoro; 2011.

3. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al. Surviving
Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic
Shock. 2012.

4. Martin GS. Sepsis, severe sepsis and septic shock: changes in incidence, pathogens and
outcomes. Expert review of anti-infective therapy [Internet]. 2012 [cited 2013 dec 8];
10(6):701-6. Available from: National center for biotechnology information

5. Vincent JL, Sakr Y, Sprung CL, et al. Sepsis in European intensive care units: results of
the SOAP study. Crit. Care Med. 2006;34(2):344-53.

6. Danai P, Martin GS. Epidemiology of sepsis: recent advances. Curr. Infect. Dis. Rep.
2005;7(5):329-34.54

7. Global sepsis alliance. Sepsis facts [internet].[updated 2013; cited 2013 Dec 9]. Available
from:http://www.world-
sepsisday.org/?MET=SHOWCONTAINER&vPRIMNAVISELECT=3&vSEKNAVISELEC
T=1&vCONTAINERID=

8. Phua J, Koh YS, Du B, Tang YQ, Divatia JV, Gomersall CD, et al. Management of severe
sepsis in patients admitted to Asian intensive care units: prospective cohort study. BMJ. 2011
[cited 2013 dec 9];342:d3245. Available from: British Medical Journal

9. Pradipta IS. Evaluation of antibiotic use in sepsis patients at ward of internal medicine Dr.
Sardjito Hospital, Yogyakarta September-November 2008. M.Sc Thesis, Faculty of
Pharmacy, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. 2009

10. Machado RL, Bak R, Bicudo A, David CMN, Luiz RR, et al. Fifth international
symposium on intensive care and emergency medicine for Latin America: Factors related to
the mortality of patients with severe sepsis and septic shock. Crit. Care Med [internet]. 2009
[cited 2013 Dec 10]; 13(3):P18. Available from : Springerlink

11. Prayogo BW. Hubungan antara faktor risiko sepsis dengan kejadian sepsis berat dan
septik syok di dept/ SMF obstetri dan ginekologi [Internet]. 2010 [updated 2012 Apr 17; cited
2013 Dec 10]. Available from:
http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/id/index.php?option=com_content&view=article&id=55
4:hubungan-antara-faktor-risiko-sepsis-dengankejadian-sepsis-berat-dan-syok-sepsis-di-
deptsmf-obstetri-danginekologi&catid=57:abstrak-penelitian&Itemid=76
12. Yang H, Duling IT, Brown JS, Simonson SG. Respiratory organ dysfunction: a leading
risk factor for hospital mortality in patients with severe sepsis or septic shock. 28th
International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine; 2008 Mar 18-21;
Brussels (Belgium). Crit. Care Med [internet]. 2008 [cited 2013 Dec 30]; 12(2):P485.
Available from: Springerlink

13. Runge MS, Greganti MA. Netter’s Internal Medicine. 2nd ed. PhiladelphiaUSA:
Saunders Elsevier; 2009. p. 644-9

14. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Loscalzo J, et al. Harrison Manual Kedokteran.
Indonesia:Karisma Publising Group; 2009. p. 99-104 15. Caterino JM, Kahan S. Master Plan
Kedaruratan Medik. Indonesia: Binarupa Aksara Publisher; 2012

16. Melamed A, Sorvillo FJ. The burden of sepsis-associated mortality in the United States
from 1999 to 2005: an analysis of multiple-cause-of-death data. Crit Care 2009, 13:R28

17. National health service United Kingdom. Sepsis [Internet]. [cited 2014 feb 7]. Available
from: http://www.nhs.uk/Conditions/Bloodpoisoning/Pages/Causes.aspx

18. LaRosa SP. Cleveland Clinic disease management project: Sepsis. [internet]. [updated
2013; cited 2014 Feb 7]. Available from:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectious-
disease/sepsis/

19. Burdette SD. Systemic inflammatory response syndrome [Internet]. [updated 2014; cited
2014 Feb 7]. Available from: Medscape

20. Esper AM, Moss M, Lewish CA, Nisbet R, Mannino DM, Martin GS. Therole of
infection and comorbidity: Factors that influence disparities in sepsis. Crit Care Med 2006,
34:2576-82

21. James MT. Sepsis risk increased in chronic kidney disease without dialysis and treatment.
Arch Intern Med. 2008;168:2333-39. Available from:
http://www.medscape.org/viewarticle/584134

22. Hubacek JA, Strüber F, Fröhlich D, Book M, Wetegrove S, Ritter M, Rothe G, Schmitz
G. Gene variants of the bactericidal/permeability increasing protein and lipopolysacchraride
binding protein in sepsis patients: gender-specific genetic predisposition to sepsis. Crit Care
Med 2001, 29:557-61

23. Klein NC, Go CH, Cunha BA. Infections associated with steroid use. Infect Dis Clin
North Am. 2001 Jun;15(2):423-32

24. Poll TVD. Immunotherapy of sepsis. The Lancet Infectious Diseases. 2001 Oct;1(3):165-
74

25. National health service United Kingdom. Chemotherapy [Internet]. [cited 2014 feb 18].
Available from: http://www.nhs.uk/conditions/chemotherapy/Pages/Definition.aspx
26. Centers for Disease Control and Prevention. Preventing infections in cancer patients
[internet]. [cited 2014 Feb 18]. Available from: http://www.cdc.gov/cancer/preventinfections/

27. Penack O, Buchheidt D, Christopeit M, et al. Management of sepsis in neutropenic


patients: guidelines from the infectious diseases working party of the German Society of
Hematology and Oncology. Ann Oncol. 2010. Available from : Oxford Journals

28. Henry W, Russell G, Suzanne J, et al. Obesity and risk of sepsis. Society of Critical Care
Medicine and Lippincott Williams & Wilkins. 2012. Available from:
http://journals.lww.com/ccmjournal/Abstract/2012/12001/735___Obesity_and_Risk_of_Seps
is.697.aspx

29. Kuperman EF, Showalter JW, Lehman EB, et al. The impact of obesity onsepsis
mortality: a retrospective review. BMC Infectious Diseases. 2013. 13:377. Available from:
http://www.biomedcentral.com/1471-2334/13/377

30. Prayogo et al. : Hubungan antara Faktor Risiko Sepsis Obstetri dengan Kejadian Sepsis
Berat dan Syok Sepsis. Journal Unair [internet]. 2011 [cited 2014 Feb]; 19(3). Available
from:
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/1109%20Budhy%20%28P%29%20%20Format%20MOG.
pdf

31. Garna HH. Buku ajar divisi infeksi dan penyakit tropis Universitas Padjajaran. Jakarta:
Sagung Seto. 2012

32. Leksana E. SIRS, sepsis, keseimbangan asam-basa, shock, dan terapi cairan. Semarang:
SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Kariadi/Fak. Kedokteran Universitas
Diponegoro. 2006

33. Girard TD, Opal SM, Ely EW. Oxford Journals: Insights into Severe Sepsis in Older
Patients: From Epidemiology to Evidence-Based Management. Clin Infect Dis. (2005) 40 (5):
719-727. doi: 10.1086/427876

34. Angele MK, Frantz MC, Chaudry IH. Gender and sex hormones influence the response to
trauma and sepsis – potential therapeutic approaches. Clinics vol.61 no.5 São Paulo Oct.
2006. Available from:
http://www.scielo.br/scielo.php?pid=s180759322006000500017&script=sci_arttext&tlng=en

35. Koh GCKW, Peacock SJ, Poll TVD, Wiersinga WJ. The impact of diabetes on the
pathogenesis of sepsis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. Apr 2012; 31(4): 379–388. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3303037/
36. Annane D. Corticosteroids for severe sepsis: an evidence-based guide for physicians. Ann
Intensive Care. 2011; 1: 7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3224490/

37. Nicholson JP, Wolmarans MR, Park GR. The role of albumin in critical illness. Br. J.
Anaesth. (2000) 85 (4): 599-610. Available from:
http://bja.oxfordjournals.org/content/85/4/599.full

38. A Train Education. Sepsis: Immune System Meltdown. [internet]. [cited 2014 July 11].
Available from: https://www.atrainceu.com/coursemodule/1884979-107_sepsis-module-05

39. Marik PE. Surviving sepsis: going beyond the guidelines. Annals of Intensive Care 2011,
1:17. Available from: http://www.annalsofintensivecare.com/content/1/1/17#

40. Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) , Crofton and Douglas’s
Respiratory diseases Vol 1, 15th ed. Berlin.2000.

41. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
PERPARI, Jakarta, 2006

Anda mungkin juga menyukai