Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi
seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Proses peradangan ini terjadi karena
adanya proses imunologis, atau karena suatu infeksi. Trauma lokal juga dapat mencetuskan
proses peradangan tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan suatu infeksi sistemik ada
suatu penyakit autoimun.
Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat
yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat membangunkan
dari tidur akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan penekanan pada
bulbus okuli juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis
dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering
dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata.3 Selain itu terdapat pula
mata merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.
Terapi inisial untuk skleritis adalah dengan pemberian NSAIDs. Bisa diberikan
Indometasin 75 mg setiap hari atau Ibuprofen 600 mg setiap hari. Kebanyakan kasus
menunjukkan penurunan rasa sakit yang bermakna dengan pemberian NSAIDs ini. Apabila
terapi ini tidak menunjukkan respon yang baik selama 1-2 minggu, dapat diberikan Prednison
oral 0,5-1,5 mg/kg/hari. Pada kasus yang berat terkadang diperlukan Metilprednisolon 1 gram
intravena. Apabila mikroorganisme penyebab telah teridentifikasi, maka sebaiknya diberikan
antibiotik spesifik.
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Sklera
1.2 Anatomi Skelera
Sklera, yang lebih dikenal sebagai bagian putih dari mata, adalah jaringan terkeras dari mata.
Sklera bersambung pada bagian depan dengan sebuah jendela membran yang bening, yaitu
kornea. Pada sklera juga terdapat konjungtiva untuk menjaga kelembapan mata. Sklera terdiri
dari jaringan fibrosa dengan ketebalan 10 14 mikron, dan kaya akan serat elastik serta
mengandung otot halus.9 Sklera berfungsi untuk melindungi struktur bola mata yang halus
dan tempat melekatnya otot bola mata.
Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada garis ekuator
ketebalan sklera sekitar 0.4 0.5 mm dan pada bagian posterior mencapai 1 mm. Perbedaan
ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang rentan tersobek karena trauma. Trauma
tumpul cenderung merobek mata pada bagian tertipisnya, yaitu di belakang insersio otot
rektus.6
Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera membentuk
lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut sebagai lamina kribosa.
Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang desebut sebagai emissaria. Pada sekitar saraf
optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan saraf siliar posterior. Sekitar 4 mm posterior
dari ekuator terdapat jalan untuk vena vorteks. Pada bagian anterior terdapat jalan untuk
pembuluh darah siliaris anterior yang memperdarahi otot rektus.6
2.1 Etiologi
Skleritis dapat merupakan insiden tersendiri (43%) atau berkaitan dengan penyakit sistemik
lainnya (57%). Adapun beberapa etiologi dari skleritis ialah:
1. Autoimun (48%)
o Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain:13
Rheumatoid arthritis
Ankylosing spondylitis
Reactive arthritis
Psoriatic arthritis
Gouty arthritis
Relapsing polychondritis
Polymyositis
Sjgren syndrome
Mixed connective tissue disease
Polyarteritis nodosa
Wegeners granulomatosis
Behet disease
Cogan syndrome
o Atopi
4. Idiopatik
3.1 Patofisiologi
Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50 persen
kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan skleritis
antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus erythematosus,
polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.7
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala utama
dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun pada
pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor
pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan
dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular
(hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).10
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody IgG
dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus) dan
reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan larutan
antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII
adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui
reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama
dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu maksimal 4 8 jam dan bersifat
lebih menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang
mengakibatkan pembentukan kompleks antigen antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi.
Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan
permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast melalui
FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan isi
granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membran basement sekitarnya.
Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam macam lokasi seperti kulit, ginjal,
atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post
infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.16
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi
kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan
mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar pada
bagian anterior atau bagian posterior mata.