Anda di halaman 1dari 19

II.

Skleritis

II.1. Definisi Skleritis

Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang

ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang

mengisyaratkan adanya vaskulitis.

II.2. Epidemiologi

Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat

insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien

yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya

adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit

ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau

mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.2 Peningkatan

insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak

terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama

terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.

II.3. Etiologi Skleritis

Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh

proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan

tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus,

mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses

imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah

katarak dan operasi pterigium.


II. 4. Patofisiologi Skleritis

Skleritis adalah peradangan primer pada sklera, yang biasanya (sekitar 50

persen kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang

menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing

spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's

granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.

Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah

gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan

regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi
penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular,

bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks

imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun

respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).

Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari

antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi

lokal (reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan

menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer

IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat

rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari

pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan

tipe I, secara umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih

menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang

mengakibatkan pembentukan kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam

sirkulasi. Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh

peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel

mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan

netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan

membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada

bermacam – macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering

dari hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan

glomerulonefritis.
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas

yang disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut

juga hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel

jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan

pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian

mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel

T tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag,

sel T lainnya, dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya

infiltrasi seluler yang mana sel mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung

mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu 48 – 72 jam. Contoh klasik dari

hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering

adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu

dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.

Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi

sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis.

Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan

menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata.

Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit

imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto

imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi

bisa disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan

vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik granulomatous (reaksi

hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif
dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada

pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula

post kapiler dan respon imun sel perantara.

Adanya autoantibodi dan mediator inflamasi pada serum pasien dengan

skleritis membuktikan adanya keterlibatan sistem imun. Antibodi antipospolipid

dan meningkatnya TNF pada serum penderita skleritis pernah dilaporkan. Studi

terkini melaporkan bahwa untuk pertama kalinya muncul antibodi spesifik sklera

dalam serum pasien dengan tipe skleritis non infeksius.

Kemunculan spesifik autoantibodi pada kornea, iris, kristalin, dan

beberapa protein dari segmen posterior seperti antigen-S dan rodopsin pernah

dilaporkan, khususnya pada kejadian uveitis idiopatik. Meskipun tidak ada

literatur yang melaorkan autoantibodi pada idiopatic skleritis. Akhir-akhir ini

diperlihatkan autoantibodi secara langsung melawan dua polipeptida yang muncul

pada ekstraksi jaringan sklera ini berhubungan dan memunculkan kemungkinan

adanya proses autoimun organ spesifik.

Sama seperti pada infiltrat radang pada rheumatoid artritis, terjadinya

skleritis memperlihatkan adanya proses infiltrat seluleroleh makrofag dan limfosit

T CD-4, yang mana biasanya tidak ditemukan pada sklera normal.

Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera,

yaitu deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler

(peradangan mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis

dapat menyebar pada bagian anterior atau bagian posterior mata.


Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya

skleritis akibat dari operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya paparan

antigen ke dalam mata dibawah proses lingkungan yang meradang yang dapat

mencetuskan tersensitisasinya kedua imunitas humoral dan seluler.

II. 5. Klasifikasi Skleritis

Skeleritis dapat di klasifikasikan menjadi skleritis anterior dan skleritis

posterior:

1. Skleritis Anterior

95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior

sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya.

Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik

dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus,

walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi.

Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih

nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.

1. Difus. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster

oftalmikus dan gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada

seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.


Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis
2. Nodular. Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus.

Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak

dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20% kasus

berkembang menjadi skleritis nekrosis.

Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi


dari nodul
3. Necrotizing. Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi

sistemik atau komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan

penurunan visus. 29% pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5

tahun. Skleritis nekrotik yang diakibatkan operasi biasanya dapat terjadi

setelah operasi katarak, trabekulektomi, dan operasi retina. Muncul

sebagai akibat dari imflamasi pada fokal area akibat insisi sklera atau

limbus.

Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:

 Dengan inflamasi. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti

rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera

terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal

sebagai sklerokeratitis.

 Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Biasa terjadi pada

pasien yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis.

Diakibatkan oleh pembentukan nodul rematoid dan absennya

gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.

2. Skleritis Posterior

Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan

skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan

penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya

perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina,

perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem

makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli
anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi

kelopak mata bawah. Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata,

penebalan lapisan posterior mata (koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada

skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina eksudatif, edema makular,

dan papiledema.

Gambar 6. Skleritis Posterior

II.6. Diagnosis

Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis

Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit,

riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat

pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala

dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan

ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala

yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif..
Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya

inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam

menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam,

kambuh akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan obat

analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret

mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan

dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi

keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.

Gambar 7. Skleritis

Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya

penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat

menyebabkan skleritis seperti :

1. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat

2. Penyakit infeksi. Infectious scleritis is a serious but uncommon ocular

disorder. Ciri-cirinya adanya nodul abses dan nekrosis, memburuk dengan

terapi kortikosteroid, dan merespon dengan terapi antibiotik sesuai kultur.


Proses kembalinya ketajaman visus biasanya baik pada beberapa

kasus.410

3. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)

4. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata

5. Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid

dan ibandronate.

6. Post pembedahan pada mata

7. Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,

8. penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.

9. Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung

dan responnya terhadap pengobatan.

b. Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi

 Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan

pemeriksaan tajam penglihatan.

o Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.

o Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior.

 Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat

dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.

 Pemeriksaan Sklera

o Pemeriksaan Daylight
Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa

peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan

menimbulkan uvea gelap.

Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh

peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses

berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan

menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi

oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap.

o Pemeriksaan slit – lamp

Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau

segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse

anterior scleritis.

Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam

episklera dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial

episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser

ke depan karena episklera dan sklera edema. Pada skleritis dengan

pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial episklera

yang pucat tanpa efek yang signifikan pada jaringan dalam

episklera.

o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan

menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam

dari jaringan episklera.


o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area

avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50%

kasus.

o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau

konjungtivitis juga dapat dilakukan.

 Pemeriksaan skleritis posterior

o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi

dan proptosis.

o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior.

Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.

o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan

koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis.

Beberapa pemeriksaan laboratorium dan radiologi yang dapat dilakukan yaitu:

1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah

2. Faktor rheumatoid dalam serum

3. Antibodi antinuklear serum (ANA)

4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)

5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks

6. Serum FTA-ABS, VDRL


7. Serum asam urat

8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis


posterior.5

Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya


akumulasi cairan pada kapsul tenon

II. 8. Penatalaksanaan

Pengobatan pada skleritis membutuhkan pengobatan secara sistemik.

Pasien yang terdiagnosa dengan penyakit penyerta akan memerlukan pengobatan

yang spesifik juga.10 Penatalaksanaan skleritis dibagi menjadi pengobatan pada

skleritis yang tidak infeksius, pengobatan pada skleritis yang infeksius, serta

konsultasi kepada bagian terkait apabila dicurigai ada penyakit sistemik yang

menyertai.

1. Pengobatan pada skleritis yang tidak infeksius. NSAIDs, kortikosteroid, atau

obat imunomodulator dapat digunakan. Pengobatan secara topikal saja tidak

mencukupi. Pengobatan tergantung pada keparahan skleritis, respon

pengobatan, efek samping, dan penyakit penyerta lainnya.

o Diffuse scleritis atau nodular scleritis


 Pengobatan awal menggunakan NSAIDs. Jika gagal dapat

menggunakan 2 jenis NSAIDs yang berbeda. Untuk pasien resiko

tinggi, berikan juga misoprostol atau omeprazole untuk perlindungan

gastrointestinal.

 Jika NSAIDs tidak efektif, gunakan kortikosteroid oral. Jika terjadi

remisi, dipertahankan menggunakan NSAIDs.

 Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif dapat

digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama, tapi dapat juga

digunakan azathioprine, mycophenolate, mofetil, cyclophosphamide,

atau cyclosporine. Untuk pasien dengan Wegener’s granulomatosis

atau polyarteritis nodosa, cyclophosphamide adalah pilihan utama.

 Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan imunomodulator

seperti infliximab atau adalimumab yang diharapkan dapat efektif.

o Necrotizing scleritis

 Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan kortikosteroid pada

bulan pertama, kemudian jika mungkin dikurangi perlahan – lahan.

 Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.

 Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat

memperparah proses nekrosis yang terjadi.

2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan

atau tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara

kortikosteroid dan imunosupresif tidak boleh digunakan.


3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit

penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk

pengawasan terapi imunosupresif.

Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi

sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi

kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis

Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea.

Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang

menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma

langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Pada penipisan kornea

atau telah terjadi perforasi dapat dilakukan donor sklera, fascia lata, periostioum,

atau material lainnya dapat digunakan. Lamellar patch graft dapat digunakan pada

ulkus kornea yang berat atau keratolisis.

Tandur sklera pernah digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi

skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga

disertai pemberia kemoterapi.


B.10.Prognosis

Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada

spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana

termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata

Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan

buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada

mata. Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus,

nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada

penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau

autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan

lebih respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe

yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang

telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk.


DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2008. 118-20

2. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F.


Clinical Characteristics of a Large Cohort of Patients with Scleritis and
Episcleritis. Ophthalmology 2012;119:43–50
3. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F.
Skleritis Theraphy. Ophthalmology 2012;119:51–58
4. Lani T. H, Lyndell L.L, Brian V, Dongseok C and James T. R.
Antineutrophil Cytoplasmic Antibody–Associated Active Scleritis. Arch
Ophthalmol. 2008;126(5):651-655
5. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgínia F.M.T, Hellen F and Luís E.C. A.
Sclera-Specific and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of
Patients with Non-Infectious Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol;
2007;47(3):174-179
6. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological
Profile and Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a
Tertiary Eye Care Center of India. International Journal of
Inflammation:2012:1-8
7. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and
serological manifestations and the therapeutic response of patients with
isolated scleritis and scleritis associated with systemic diseases. Arq Bras
Oftalmol . 2011;74(6):405-9

Anda mungkin juga menyukai