Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KODE ETIK

IKLAN, PERNYATAAN PUBLIK, DAN BIAYA LAYANAN

Dosen Pengampu: Titin Florentina P. S.Psi., M.Psi., Psikolog & Sitti


Syawaliah Gismin S.Psi., M.Psi., Psikolog

Disusun Oleh Kelompok 4 :

Salwa Amalya Sheloneta Gloria Biantong Etika Sakinah CH Kelian M.Ri’yan tanthowi.BN
(4522091019) (4522091015) (4522091016) (4522091006)
FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS BOSOWA

MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas Rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Iklan,
Pernyataan Publik, dan Biaya Layanan dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini
di buat untuk memenuhi tugas mata kulish Kode Etik Psikologi.Selain itu, makalah
ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang iklan dalam layanan psikologi
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapakan terimakasih kepada Ibu Titin Florentina dan Ibu Sitti
Syawaliah Gismin Selaku Dosen pengampu mata kuliah Kode Etik Psikologi. Tidak
lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu di selesaikannya makalah ini.

Terlepas dari semua itu kami menyadari dengan terbatasnya kemampuan


dan pengalaman kami , kami mengharapakan segala bentuk kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak.

Makassar, 24 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB 1 ................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
2.1. Iklah Dan Pernyataan Publik ............................................................................... 3
2.2. Melibatkan Pihak Lain Untuk Mempromosikan Jasa Layanan Psikologi Dan
Membuat Pernyataan Publik ....................................................................................... 5
2.3. Bentuk-bentuk Iklan Yang Sarat Pelanggaran Kode Etik ................................ 8
2.4. Biaya Layanan...................................................................................................... 10
2.5. Barter .................................................................................................................... 13
BAB III............................................................................................................................. 14
KESIMPULAN ............................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 15

ii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan teknologi komunikasi membuat penyebaran informasi dapat di
lakukan dengan mudah dan cepat. Saat ini, penyebaran informasi bisa dilakukann
dengan lebih efektif dari segi waktu dan biaya. Jika sebelumnya penyebaran
informasi lebih mengandalakan model konvensional , seperti memasukkan iklan
di media cetak atau membuat brosur dan poster , saat ini penyebaran iklan dan
informasi juga dapat dilakukan dengan biaya yang lebih murah dan lebih cepat,
seperti melalui media sosial.

Hal ini sedikit banyak berdampak dalam praktik profesional seorang


psikolog. Apalagi saat ini mulai digalakkan program psikologi wirausaha
(entrepreneurship psychology) yang mempersiapkan lulusan psikologi untuk
memulai bisnis layanan mereka. Begitu mudahnya informasi disebarkan serta
semakin banyaknya pelaku bisnis di bidang p ikologi membuat layanan psikologi
seolah-olah tidak lagi murni sebagai layanan yang berorientasi sosial.

Namun, apabila psikologi benar-benar mengandalkan pendekatan


konvensional dan tidak mengikuti perkembangan zaman dalam memperkenalkan
layanannya, psikologi da at sulit mengikuti arus perkembangan dan diangga|
usang. Misalnya, jika iklan dalam psikologi diasosiasikan dengan motif bisnis
schingga para psikolog mengindari beriklan di media, kebanyakan masyarakat
masih akan menganggap psikologi sebagai sesuatu yang jauh dan ekslusif, yaitu
hanya untuk kalangan tertentu (orang gila) sehingga akhirnya psikolog pun tidak
mendapat tempat di masyarakat.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa perbedaan iklan layanan psikologi dan iklan bisnis lainya ?

2. Apa saja bentuk iklan yang sarat pelanggaran kode etik ?

2. Bagaimana pertimbangan-pertimbangan etis dalam beriklan dan


membuat pernyataan publik ?

3. Bagaimana pertimbangan-pertimbangan etis dalam menentukan dan


mengimplementasikan biaya layanan ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Iklah Dan Pernyataan Publik


(Pasal 28-32)

Bagi beberapa kalangan, seorang psikolog yang mengiklankan diri dan


layanannya mungkin dianggap tidak biasa. Itu karena iklan cenderung
merefleksikan upaya seseorang atau institusi untuk menarik keuntungan melalui
produk atau jasa yang ditawarkan sehingga sarat dengan orientasi profit.
Pandangan ini juga yang melandasi pelarangan beriklan bagi praktisi kesehatan
mental yang diatur dalam kode etik American Medical Association pada tahun
1847 (Tomycz, 2006). Pada masa itu, praktisi kesehatan menganggap bahwa
mengiklankan diri dan layanan mereka adalah wujud perilaku yang sangat tidak
elegan dan merendahkan. Mereka berargumen bahwa iklan tidak mungkin
merefleksikan kompetensi praktisi yang akurat, dan satu-satunya cara yang dapat
diterima untuk merefleksikan kompetensi seorang praktisi adalah menggunakan
rekomendasi dari kolega, klien, atau mantan klien.

Namun, dalam perkembangannya, muncul kesadaran bahwa aspek bisnis


tercakup dalam profesi praktisi kesehatan mental. Artinya, seorang psikolog
memerlukan klien untuk membuat keilmuan serta kompetensinya bermanfaat di
samping mendapat imbalan atas kegiatan profesionalnya. Jadi, beriklan bukanlah
sesuatu yang harus dihindari oleh psikolog karena iklan tidak secara otomatis
terasosiasi dengan sisi negatif bisnis yang hanya berorientasi pada penarikan laba.
Fitur iklan yang berfokus pada keunggulan diri bukan berarti tidak mungkin di
implementasikan dengan integritas dan kejujuran (Barnett dan Klimik, 2012).
Beriklan esensinya merupakan cara seseorang memasarkan suatu produk atau jasa
sehingga orang lain dapat mengetahui dan kelak menggunakan produk atau Jasa
tersebut.

Mengingat rentannya praktik beriklan bagi psikolog dan praktisi kesehatan


terjebak dalam kegiatan bisnis tidak beretika, tata cara beriklan pun diatur lebih

3
lanjut oleh kode etik profesi. Di Amerika Serikat, praktik beriklan mulai diawasi
Pemerintah sejak tahun 1960-an melalui Federal Trade Commission (FTC), yakni
lembaga pemerintah yang mengawas! praktik-praktik bisnis (Koocher nee
Spiegel, 2016). Melalui unit kerja Bureau of Competition, pada tahun 1970-an,
disepakati tiga poin penting mengenai kegiatan beriklan bagi praktisi kesehatan

1. Iklan yang akurat adalah baik.

2. Iklan yang salah dan menipu adalah buruk.

3. Upaya untuk mencegah kegiatan beriklan yang akurat sama buruknya dengan
membuat iklan yangg salah dan menipu.

Di Indonesia, kontrol pemerintah tentang masalah etis terhadap periklanan diatur


oleh institusi pemerintah terkait. Misalnya, iklan tentang obat dan makanan
diawasi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dari Departemen
Kesehatan (Bertens, 2000). Mengingat profesi psikologi merupakan profesi yang
lebih baru berkembang dibandingkan layanan medis maka regulasi mengenai
praktik-praktik psikologi di bawah Departemen Kesehatan pun masih terus
disempurnakan. Meski demikian, secara khusus, kontrol terhadap kegiatan
beriklan oleh praktisi psikologi diatur dalam Kode Etik Psikologi Indonesia.
Dalam Pasal 28 Kode Etik Psikologi Indonesia dituliskan bahwa iklan dapat
dilakukan oleh seorang psikolog terhadap jasa, produk, dan publikasi profesional
yang dilakukan, baik pada media berbayar maupun tidak berbayar (HIMPSI,
2010). Namun demikian, iklan dan pernyataan publik yang dibuat oleh seorang
psikolog atau ilmuwan psikologi harus memiliki karakter sebagai berikut.

1. Bijaksana, jujur, teliti, dan hati-hati.

2. Lebih mendasarkan kepentingan umum daripada pribadi dan golongan.

3. Berpedoman pada dasar ilmiah dan sesuai dengan keahlian.

4. Tidak bertentangan dengan kode etik.

4
Tabel 1 Perbandingan Perbedaan Iklan Psikologi dan Kebanyakan Iklan di Bisnis
Lainnya

Iklan Psikologi Kebanyakan Iklan di Bisnis Lainnya


Motif layanan profesional Motif bisnis murni.
Sasaran terutama kepada mereka yang Sasaran sebisa mungkin pada semakin
sedang atau akan membutuhkan. banyak orang.
Layanan dan informasi sesuai, terbukti Berfokus pada sis keungggulan produk
ilmiah, dan disampaikan dengan atau layanan saja.
bijaksana
Memberikan mamfaat yang lebih Memberikan mamfaat yang lebih
besar kepada klien daripada diri besar kepada penjual atau pihak
sendiri atau pihak tertentu. tertentu.
Mengedepankan kepentingan umum Menegdepankan kenaikan omzet
dan kesejahteraan masyarakat. penjualan
Tunduk pada undang-undang terkait Unduk pada undang-undang dan
dan kode etik profesi peraturan asosiasi terkait.

Pada Tabel 1 , terlihat sejumlah perbedaan mencolok antara iklan layanan


psikologi dan iklan-iklan di bidang lain yang kebanyakan ditemui. Berdasarkan
tabel tersebut, dapat doisimpulkan bahwa iklan layanan psikologi seharusnya
lebih bersifat deskriptif dan informatif (sekalipun dapat disajikan dengan warna
dan desain yang menarik) sehingga fungsinya adalah untuk memberikan informasi
tentang adanya layanan tersebut, bukan memengaruhi agar orang yang tidak
membutuhkan melalui pesan-pesan yang tidak empiris.

2.2. Melibatkan Pihak Lain Untuk Mempromosikan Jasa Layanan Psikologi


Dan Membuat Pernyataan Publik
Salah satu teknik promosi yang kerap dilakukan adalah menghadirkan
testimoni atau kesaksian dari klien yang pernah menggunakan jasa layanan
psikolog tersebut. Penggunaan testimoni dari klien yang puas akan layanan yang

5
diberikan dinilai meningkatkan legitimasi dan mengonfirmasi pesan iklan yang
disampaikan. Hal ini dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk iklan di antaranya:

1. Meminta klien untuk mengekspresikan kesan dan pengalamannya tentang


layanan psikologi yang diberikan psikolog.

2. Meminta pihak-pihak tertentu, seperti media, untuk menyebarkan informasi


positif tentang layanan psikologi yang dilakukan.

3. Menjadi narasumber dalam artikel atau ulasan di media tentang hal-hal yang
relevan dengan pengalaman praktiknya.

Pada intinya, beriklan dengan cara-cara di atas masih dapat dianggap etis
Meski demikian, batasan-batasannya tetap perlu diperhatikan dengan saksama
sehingga tidak memberikan informasi yang menipu dan berlebihan. Misalnya,
dalam meminta klien mengekspresikan pengalaman terapinya, seorang psikolog
harus memastikan kerahasiaan data klien dengan meminta klien menandatangani
surat kesediaan untuk dipublikasikan terlebih dahulu (atau dengan dibuat anonim).
Namun, penggunaan testimoni dapat menimbulkan isu etik mengenai akurasi pesan
karena studi-studi menunjukkan bahwa sesi psikoterapi memiliki efek idiosinkratik
(khas) pada individu, sekalipun memiliki gejala permasalahan psikologis yang
sama.

Pada intinya, beriklan dengan cara-cara di atas masih dapat dianggap etis
Meski demikian, batasan-batasannya tetap perlu diperhatikan dengan saksama
sehingga tidak memberikan informasi yang menipu dan berlebihan. Misalnya,
dalam meminta klien mengekspresikan pengalaman terapinya, seorang psikolog
harus memastikan kerahasiaan data klien dengan meminta klien menandatangani
surat kesediaan untuk dipublikasikan terlebih dahulu (atau dengan dibuat anonim).
Namun, penggunaan testimoni dapat menimbulkan isu etik mengenai akurasi pesan
karena studi-studi menunjukkan bahwa sesi psikoterapi memiliki efek idiosinkratik
(khas) pada individu, sekalipun memiliki gejala permasalahan psikologis yang
sama. Masih terkait dengan pelibatan pihak lain, psikolog juga harus menghindari
dan mencegah penipuan terkait jasa layanan psikologi atau pernyataan publik yang

6
dilakukan oleh orang atau lembaga yang dapat mereka kendalikan. Contohnya,
seorang mahasiswa psikologi diminta untuk memberikan pendapatnya oleh media
terkait sebuah fenomena. Media tersebut lalu menuliskan pendapat si mahasiswa,
dengan memberi keterangan psikolog kepada mahasiswa tersebut. Sekalipun akan
menjadi psikolog, statusnya saat ini belum psikolog sehingga harus mengklarifikasi
dan sebisa mungkin mencegah agar tidak memberikan informasi yang menipu
masyarakat.

Menjadi narasumber dalam suatu artikel untuk memberikan wawasay


kepada masyarakat tentang psikologi merupakan hal yang baik. ‘Terkadang, ha) ini
juga menjadi media promosi yang baik. Namun, psikolog tidak diperbolehkay
memberikan kompensasi kepada pers atau media sebagai imbalan memublikasikan
pernyataannya dalam berita. Jadi, pernyataan publik yang dibangun bukap
dilakukan dengan motivasi mencari keuntungan dan promosi semata, tetap) juga
bagian dari upaya mengedukasi masyarakat.

Koocher (2006) menyimpulkan sejumlah hal penting terkait iklan dan pernyataan
publik dalam praktik psikologi.

1. Psikolog sangat boleh mempromosikan jasanya melalui iklan, tetapi


materi iklan sangat penting untuk ditelaah agar tidak menyesatkan dan tetap
dapat memberikan informasi bagi mereka yang membutuhkan.

2. Penggunaan gelar akademis, afiliasi dengan institusi, dan sebagainya


harus sangat diperhatikan agar tidak membuat publik salah paham atau
tertipu.

3. Walau sebelumnya sempat ditentang, meminta testimoni dari klien yang


puas dengan layanan psikolog boleh dilakukan sepanjang klien tersebut
bukan sedang menggunakan layanan psikologi saat itu dan tidak
dipengaruhi oleh psikolog dalam memberikan testimoninya.

4. Biaya layanan dapat disertakan dalam iklan, tetapi harus masuk akal dan
tetap memperhatikan kode etik psikologi.

7
5. Psikolog perlu memperhatikan caranya untuk mempresentasikan diri dan
membuat pernyataan publik dengan hati-hati, sekalipun bukan dalam rangka
beriklan.

2.3. Bentuk-bentuk Iklan Yang Sarat Pelanggaran Kode Etik


Koocher dan Keith-Spiegel (2016) merangkum sejumlah elemen dalam beriklan
yang rentan terhadap pelanggaran kode etik:

1. Memanfaatkan Kelemahan Klien

Efcktivitas dalam iklan dapat meningkat ketika seorang pemberi


layanan peka terhadap titik lemah calon pengguna jasa. Walau hal ini dapat
dianggap sebagai bentuk strategi pemasaran yang kreatif, tetapi
memanfaatkan kelemaha! klien semata-mata untuk keuntungan psikolog
dapat berimplikasi pads praktik tidak beretika. Perhatikan contoh kasus
berikut.

2. Memanfaatkan Rasa Takut

Takut adalah salah satu ak femah universal pada manusia sebagai


respons isting untuk Mempertahankan hidupnya. Hal ini sering kali
dimanfaatkan dalam berbagar stratepi pemasaran. Perhatikan contoh iklan
berikut.

(Stress dapat membunuhmu! Banyak orang meninggal setiap harinya karena stres.
Jika Anda merasa teitekan lebih dari sekali seminggu, jangan menunggu. Telepon
saya sekarang di: 555 5555,)

3. Menulis Gelar dengan Tidak Akurat

Cara paling etis untuk menulis gelar adalah dengan hanya menulis
gelar yang tah diperolch dan relevan dengan bidang profesinya. Beberapa
psikolog dapat tergoda untuk menulis gelar yang saat ini sedang ditempuh
guna meningkatkan kredibilitas. Bentuk praktik beriklan tidak etik terkait
hal ini antara lain scorang psikolog yang sedang menempuh gelar doktoral
menulis gelar “Ph.D (cand.)” dalam media iklannya. Penulisan gelar “Dr.”

8
di awal nama dan “Ph.D” di akhir nama tidak perlu dan berlebihan. Selain
itu, menggunakan gelar non-akademik tetapi terkait dengan praktik
profesionalnya dapat memberikan informasi yang lebih relevan. Misalnya,
di samping gclar akademik, seorang psikolog yang memperoleh keahlian
dan izin untuk menjadi terapis pernikahan dan keluarga dapat pula menulis
gelar L.M.F.T (Licensed Marital and Family Therapist) sehingga
memberikan informasi yang lebih relevan kepada klien. Gelar spesifik ini
belum populer di Indonesia. Namun, di Indonesia, bidang profesi psikologi
memiliki kekhususannya masing-masing. Misalnya, psikolog klinis dewasa,
psikolog klinis anak, psikolog perkembangan, psikolog industri-organisasi,
dan sejenisnya. Penulisan nama berikut merupakan bentuk paling etik untuk
memasarkan nama dan gelar dalam iklan.

4. Penulisan Institusi Afiliasi

Tidak sedikit praktisi kesehatan mental yang juga berafiliasi dalam


berbagai asosiasi dan institusi, di samping institusi utama tempatnya
berpraktik penuh waktu. Dalam materi iklan, jika institusi-institusi ingin
dimasukkan maka perlu dicantumkan keterangan mengenai relasinya
terhadap afiliasi tersebut. Misalnya, sebagai anggota, pendiri, pengurus,
atau praktisi paruh waktu.

5. Penggunaan Media Sosial

Penggunaan media sosial sebagai wadah untuk beriklan bagi


Psikolog bukanlah hal yang perlu dihindari. Hanya saja aspek etis tetap
harus diperhatikan. Dengan fitur interaksi dua arah serta masifnya
penggunaan media sosial, periklanan dan pernyataan publik yang tidak
bertanggung jawab pun sangat memungkinkan seorang praktisi
mendapatkan konsekuensi sosial dari pengguna akun media sosial lainnya
(Devi, 2011), seperti perundungan (bullying). Pertimbangan ini juga harus
dipikirkan dalam aspek lain selain periklanan ketika seorang psikolog
memilih untuk aktif mengekspresikan dirinya dalam akun media sosial.

9
2.4. Biaya Layanan
(Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI): Pasal 33-36 Code of Conduct (APA):
Pasal 6.04—6.07)

Salah satu isu terkait periklanan adalah pemasaran tarif profesional. Hal-hal
seputar finansial sering kali menjadi isu yang sensitif untuk dibicarakan, terutama
karena psikolog seolah-olah berorientasi pada motif sosial, sedangkan uang sangat
berkonotasi bisnis ketimbang sosial. Di sisi lain, biaya layanan juga rentan
dieksploitasi oleh psikolog guna mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari klien
sehingga tidak lagi mengedepankan profesionalitas.

Uang sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan
schingga memerlukan panduan yang jelas dan bervariasi dalam menjadikannya
sebagai batasan etis atau tidaknya perilaku tersebut. Di Amerika Serikat, isu tentang
biaya layanan mulai kian mengemuka dalam dua dekade terakhir seiring diakuinya
layanan psikologi sebagai bagian dari biaya yang dibayarkan oleh asuransi. 107

Dalam Kode Etik Psikologi Indonesia (HIMPSI, 2010) maupun Code of Cor
dug (APA, 2010), ditegaskan bahwa informasi tentang biaya layanan psikologi
perly dijelaskan sejelas-jelasnya sebelum layanan diberikan, bersamaan dengan hak
dan kewayiban masing-masing pihak. Bahkan, dalam Pasal 33 Ayat 2 Kode Erik
Psikologi Indonesia, juga disebutkan bahwa psikolog dapat menggunakan berbaga
cara, termasuk tindakan hukum, untuk mendapatkan imbalan layanan yang telah
diberikan psikolog terhadap klien jika klien tersebut menolak untuk membayar

Biaya atas layanan yang diberikan oleh seorang psikolog penting karen,
beberapa alasan sebagai berikut.
1. Profesionalitas

Layaknya seorang pasien membayar dokter atau seseorang


membaya biaya perjalanan naik taksi, pekerjaan seorang psikolog juga
merupakan pekeryaan profesional sehingga ia perlu mendapat imbalan atas
Jasanya, Sekalipun psikolog dikenal sebagai penolong, tetapi bukan berarti
jasanya selalu bersifat sukarela. Menjadi seorang psikolog merupakan

10
bagian dari karier seseorang dan sebagai seorang psikolog, hak-haknya
untuk dapat meningkatkan kariernya tetap melekat pada dirinya.

2.Sarana Penunjang Efektivitas Terapi

Biaya layanan psikologi dapat menjadi salah satu sarana


meningkatkan efektivitas terapi. Sesi terapi berbayar menciptakan atmosfer
terapeutik yang kondusif sehingga membuat klien berkomitmen untuk
menjalankan sesi dengan serius.333. 3.Merefleksikan Kompetensi
Perbedaan paling nyata ketika seseorang bercerita kepada temannya dan
kepada psikolog adalah bahwa ketika ia bercerita kepada psikolog, ia perlu
membayar atas sesi tersebut. Hal ini jelas menggambarkan kompetens! yang
bukan tidak berharga yang dimiliki oleh psikolog dibandingkan orang awam
pada umumnya. Dengan demikian, membebankan biaya atas ses! yang
dijalankan merupakan bagian dari penghargaan sekaligus kompensas} klien
atas kompetensi yang dimiliki oleh psikolog.

Walau demikian, dalam beberapa hal, psikolog dapat dan bahkan di


dorong untuk turut terlibat dalam aktivitas-aktivitas penyediaan layanan
psikologi secaté sukarela scbagai bentuk kepcdulian pada masyarakat
(diatur dalam Pasal 33 Ayat Kode Etik Psikologi Indonesia). Artinya,
layanan psikologi yang diberikan tanpa imbalan boleh (bukan harus)
dilakukan dengan tetap menjunjung tinggi profesionalitas.

Beberapa psikolog juga dapat menggunakan mekanisme flexible fee


schedull (pembayaran cicilan) atau sliding fee scale (menawarkan tarif layanan
Iebih mural atau memberi potongan dan harga normal yang ia berikan). Mckanisme
ini seca etis dapat diberikan kepada mereka yang mengalami kendala finansial atau
klie? yang menyilani terapi jangha panjang. Dari sisi etis, besaran uang yang
dibayarkan oleh klien tidak Iebih penting dibandingkan bagaimana mekanisme
pembayaran.

11
Ini di tetapkan ,di komunikasian dan di implementasukan (Koocher dan
Keith Spiegel,2016). Namun, Potensi isu etis yang muncul dapat terkait dengan
power abuse (penyalagunaan kekuasaan) yang di representasikan melalui uang.
Jadi, uang yang dibayarkan atau potongan biaya yang diberikan dapat memengaruhi
tingkat ketergantungan emosionalklien atau psikolog.

Sebuah s survei dilakukan oleh Pope, Tabachnick, dan Keith-Spiegel (2006)


tentang sikap psikolog terhadap berbagiahal yang terkait dengan finansial .Survei
ini melibatkan 465 psikolog yang berpraktik di Amerika Serikat. Hasilnya dapat
disimpulkan sebagai berikut.

1. Lebih dari 50 persen responden mengaku pernah memanipulasi diagnosis


klinis agar layananya memperoleh fasilitas yang di bayarkan oleh asuransi.

2. Hampir seluruh responden setuju untuk meningkatkan biaya layanan


persesi pada pertengahan rangkaian sesi terapi.

4. Sejumlah 49,3% responden menggunkan jasa penagih untuk memperoleh


biaya atas layanan yang sudah diberikan kepada klien. Sebanyak 5% responden
menyatakan hal ini tidak etis.

Hasil survei di atas mungkimn bersifat kontroversial sehingga penilaian


benar atau salahnya lebih ditentukan dari subjektivitas psikolog tersebut, kecuali
masalahnya jelas melanggar kode etik yang berlaku.

Hal berikutnya yang sering menjadi kesulitan bagi seorang psikolog adalah
menentukan batasan biaya yang di anggap wajar untuk layanan yang ia berikan.
Menetukan beberapa tarif layanan psikologi merupakan hal yang kompleks karena
berhubungan dengan isu ekonomi, bisnis, kepercayaan diri, serta nilai-nilai budaya
dan profesional ( Koocher dan Keith-Spiegel,2016). Biaya yang sering di anggap
wajar atau pantas memang tidak ada batasann konkretnya. Dalam kode etik
psikologi indonesia Pasal 33 ayat 1 di sebutkan bahwa biaya yang pantas adalah
yang sesuai dengan kompetisi keilmuan dan profesional yang dimiliki olehh
psikolog(HIMPSI,2010). Penting bagi seorang psikolog untuk peka terhadap

12
perkembangan kehidupan masyarakat di sekitarnya sehingga biaya yang diberikan
berada dalam batas wajar.

2.5. Barter
Dalam membayar layanan psikolog, dapat pula terjadi pembayaran dengan
metode barter (diatur dalam Pasal 36 Kode Etik Psikologi Indonesia). Isu tentang
boleh atau tidaknya melakukan barter atau pertukaran jasa merupakan isu yang
kontroversial karena hal ini tentu menciptakan hubungan majemuk (dual
relationship) yang berpotens: besar merusak objcktivitas hubungan psikolog—
klien. Barter sebagai metode pembayaran juga berpotensi membuat hubungin
terapcutik menjadi eksploitatif karena hubungan majemuk yang tercipta. Walau
demikian, baik Kode Etik Pstkologi Indonesia maupun Code of Conduct
menegaskan bahwa barter dimungkinkan dalam kondis1 jika tidak bertentangan
dengan kode etik dan pengaturan yang dihasilkan tidak bersifat eksploitatif.

13
BAB III

KESIMPULAN

Beriklan merupakan bagian terintegrasi dari aspek bisnis yang tercakup dalam
profesi scorang psikolog. Namun, natur profesi seorang psikolog memberi ba asan
penting yang menentukan bagaimana iklan layanan psikologi seharusnya dibuat.
IImu yang dimuliki olch psikolog untuk mengetahui serta mengontrol perilaku
manusia harus diaphikasikan dalam batasan etik dalam merumuskan ikKlan.
Artinya, iklan pemberian layanan perlu menyasar individu yang memang
membutuhkannya, dan bukan sebaliknya—di mana individu dikondisikan agar
terpengaruh oleh iklan yang dibuat dan memanfaatkan layanan psikolog yang
sesungguhnya tidak diperlukan oleh orang tersebut. Hal yang sama berlaku dalam
membuat pernyataan publik, dimana aspek kebenaran dan kesesuian terhadap fakta
adalah yang direfleksikan dalam pernyataan yang dibuat psikolog.

14
DAFTAR PUSTAKA

Kode Etik Psikologi Indonesia HIMPSI. (2010). Surakarta

Himawan Karsten Karel dkk, (2021). Kode Etik Psikologi dan Aplikasinya di
Indonesia. Jakarta Selatan: Salemba Humanika.

15

Anda mungkin juga menyukai