Anda di halaman 1dari 75

MAKALAH

ETIKA BISNIS

Dosen: Pieter Novry Ruddy Rehatta, SE, M.Si

DI SUSUN OLEH:
Al Ma’ruf 202028027
Muhammad Faiz Tuhelelu 202028037
Fahmi Syahdan Bachtiar 202028151
La Ode Iksan Israru 202028125
Laura Thary Elyan 202028229
Adison Manuhutu 202028153
Ariska Mozes 202028245
Umi S. Kaliky 202028249
Eviyanti 202028215
Lediarosa Tehuayo 202028025
Ruth Eileen H. Jesajas 202028001
Yusti 202028097
Nadya Evelyn Tandjung 202028005

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, Penulis memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga Penulis sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi.

Ambon, Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………….i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………1

1.1. Latar Belakang………………………………………………............

1.2. Rumusan Masalah………………………………………………......

1.3. Tujuan……………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………….…...

2.1 Periklanan dan Etika…………………………………………….......

2.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan……………….. …..…………...

2.3 Bisnis, Lingkungan Hidup dan Etika…………………………….….

2.4 Etika Dalam Bisnis Internasional…………………………………..

2.5 Peranan Etika dalam Bisnis…………………………………………

BAB III PENUTUP……………………………………………………….

3.1. Kesimpulan…………………………………………………………
..
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Periklanan atau reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis modern.
Iklan dianggap sebagai cara ampuh untuk menonjol dalam persaingan. Dalam
perkembangan periklanan, media komunikasi modern : media cetak maupun
elektronis, khususnya televisi memegang peranan dominan. Fenomena periklanan
ini menimbulkan perbagai masalah yang berbeda. Etika dalam media berfokus
kepada aksi yang benar-salah serta buruk-baik yang dilakukan oleh orang-orang
yang bekerja di media, dalam kasus ini adalah periklanan. Media tidak bisa
menjadi etik atau tidak etis, tetapi staf dan pekerjanya dapat melakukan aksi yang
etis-tidak etis.

Tanggung jawab sosial perusahaan atau tanggung jawab sosial dan lingkungan
perseroan terbatas ("TJSL"; bahasa Inggris: corporate social responsibility,
"CSR") adalah suatu konsep bahwa perusahaan memiliki berbagai bentuk
tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di antaranya
adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, masyarakat dan lingkungan dalam
segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Konsep TJSL berhubungan erat dengan konsep pembangunan
berkelanjutan, yang mengatur bahwa perusahaan dalam melaksanakan
aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan
dampaknya dalam aspek ekonomi (misalnya tingkat keuntungan atau dividen),
tetapi juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul dari
keputusannya itu, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih
panjang. TJSL dapat dirumuskan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan
pembangunan berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (minimisasi dampak
negatif dan maksimisasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku
kepentingannya.
Etika bisnis internasional terkait dengan standar moral yang di terapkan di
dalam kegiatan bisnis internasional. Dengan sarana transportasi dan komunikasi
yang kita miliki sekarang, bisnis internasional bertambah penting lagi. Dalam
menjalankan etika dalam bisnis internasional kita harus mengetahui atau
memahami moral atau norma-norma moral yang da di dalam bisnis internasional,
karena tidak boleh sembarangan. Norma moral bisnis yang ada di negara kita
sendiri pasti akan berbeda dengan norma moral bisnis yang ada di negara
internasional, karena setiap negara pasti mempunyai norma moral atau tata cara
dalam berbisnis yang berbeda-beda walaupun terkadang ada yang sama. Di dalam
bisnis internasional pasti ada masalah yang di sebut dengan dumping, dumping
tersebut akan memberatkan para produsen bukan konsumen.

Etika bisnis adalah cara untuk berbisnis dan meliputi semua bagian yang
berhubungan dengan perusahaan, masyarakat, dan individu. Peran dari etika bisnis
pada sebuah perusahaan adalah untuk membentuk perilaku karyawan dan
pimpinan agar hubungan antara karyawan, perusahaan, dan berbagai pihak
internal dan eksternal lain tetap sehat. Etika bisnis juga dapat dijadikan pedoman
dan standar bagi karyawan dan manajemen untuk mengerjakan tugas keseharian
dengan landasan sikap yang profesional, transparansi penuh, dan bermoral baik.
Dalam dunia bisnis, etika menjadi elemen penting yang harus diperhatikan, dan
mencakup dalam berbagai aspek baik itu individu, perusahaan, maupun
masyarakat. Etika dalam bisnis dapat juga bisa diartikan sebagai suatu
pengetahuan mengenai norma-norma dalam mengelola bisnis dan moralitas yang
berlaku secara universal, ekonomi, dan sosial. Hal ini juga yang dijadikan standar
atau pedoman bagi semua karyawan di dalam perusahaan untuk menjadikannya
sebagai pedoman dalam bekerja.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan periklanan dan etika?

2. Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan?

3. Jelaskan tentang bisnis, lingkungan hidup dan etika?

4. Apa yang dimaksud dengan etika dalam bisnis internasional?

5. Apa yang dimaksud dengan perannan etika dalam bisnis?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis.
2. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan meningkatkan wawasan mahasiswa
dan mahasiswi mengenai periklanan dan etika, tanggung jawab sosial
perusahaan, bisnis, lingkungan hidup dan etika, etika dalam bisnis
internasional dan perannan etika dalam bisnis.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Periklanan dan Etika


Periklanan atau reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis
modern.Kenyataan ini berkaitan erat dengan cara berproduksi industri modern
yang menghasilkan produk-produk dalam kuantitas besar, sehingga harus mencari
pembeli.Dan pasti ada kaitannya juga dengan sistem ekonomi pasar, di mana
kompetisi dan persaingan merupakan unsur hakiki.Iklan justru dianggap cara
ampuh untuk menonjol dalam persaingan.Dalam perkembangan periklanan, media
komunikasi modern- media cetak maupun elektronis, tapi khususnya televisi
memegang peranan dominan.
1. Fungsi periklanan
Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual
dan calon pembeli.Dalam proses komunikasi itu iklan menyampaikan sebuah
“pesan”.Dengan demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama
bermaksud memberi informasi. Seolah-olah tujuannya yang terpenting adalah
memperkenalkan sebuah produk atau jasa.
Dalam periklanan dapat dibedakan dua fungsi yaitu: Fungsi informatif dan fungsi
persuasif.Dunia bisnis sendiri sering berbicara tentang periklanan seolah-olah
fungsinya yang utama adalah menyediakan informasi.Sedangkan dalam dunia
konsumen (khususnya mereka yang lebih kritis) periklanan terutama dilihat
sebagai usaha promosi.
Iklan tentang sebuah produk baru biasanya mempunyai unsur informasi yang
kuat.
Demikian juga iklan dalam sektor jasa tertentu seperti asuransi dan pariwisata
(hotel,tour,fasilitas rekreasi) atau iklan dalam surat kabar tentang harga makanan
di toko swalayan.Iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan
mempunyai unsur persuasif yang lebih menonjol,seperti iklan tentang pakaian,
makanan,rumah.
2. Periklanan dan kebenaran
Pada umumnnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung
atau pejuang kebenaran.Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka
membohongi,menyesatkan dan bahkan menipu publik. Periklanan hampir apriori
disamakan dengan tidak bisa dipercaya.Seperti pembohongan,penyesatan, dan
penipuan merupakan pembuatan yang sekurang-kurangnya Prima facie- tidak etis.
Disamping itu iklan mempunyai juga unsur promosi.Iklan merayu
konsumen.Iklan ingin mengiming-imingi calon pembeli.ia menandaskan bahwa
produknya adalah yang terbaik atau nomor satu di bidangnya.
Dalam konteks periklanan, jauh lebih penting karena agar orang lain percaya.
Perlu diperhatikan pembedaan yang disebut antara iklan informatif dan iklan
persuasif, atau antara unsur informasi dan unsur promosi dalam iklan.Unsur
informasi selalu harus benar,karena informasi selalu diberikan agar orang percaya.
Informasi yang tidak benar akan menipu publik yang dituju.
3. Manipulasi dengan periklanan
Masalah kebenaran terutama berkaitan dengan segi informatif dari iklan
(tapi tidak secara eksklusif), sedangkan masalah manipulasi terutama berkaitan
dengan segi persuasif dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari segi
informatifnya).Dengan “manipulasi” kita maksudkan: mempengaruhi kemauan
orang lain sedemikian rupa, sehingga ia menghendaki atau menginginkan sesuatu
yang sebenarnya tidak dipilih oleh orang itu sendiri.Karena
dimanipulasi,seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya
sendiri,tapi “ditanamkan” dalam dirinya dari luar.
Sekitar tahun 1950-an bahaya terjadinya manipulasi melalui propaganda
politik dan ideologis menjadi momok yang menakuti banyak orang di masyarakat
barat.Pada waktu itu berlangsung apa yang disebut “Perang dingin” antara Blok
komunis dan Blok bebas (Amerika Serikat dan Eropa Barat).Perang Dingin itu
untuk sebagian besar merupakan perang propaganda. Propaganda yang
memanfaatkan ilmu psikologi, dikhawatirkan bisa merubah pikiran orang, sampai
mengakibatkan brain washing. Misalnya seperti,selama Perang korea 1950-1953
telah terjadi bahwa tentara Amerika yang ditangkap oleh korea utara sebagai
tahanan perang, kemudian muncul dalam film propaganda Korea Utara sedang
menjelek-jelekkan negerinya sendiri. Pemikiran mereka telah direkayasa dengan
metode cuci otak.Pengalaman semacam itu meningkatkan kekhawatiran akan
manipulasi melalui propaganda.Penilaian terhadap reklame pun pada waktu itu
ditempatkan dalam konteks kecurigaan terhadap bahaya propaganda.Dan
dikhawatirkan bahwa periklanan- seperti propaganda lain bisa memanipulasi
publik. Mulai dari ada dua cara periklanan untuk memanipulasi orang itu
Cara pertama adalah apa yang dimaksud dengan Subliminal Adverising,
dengan istilah ini dimaksudkan teknik periklanan yang sekilas menyampaikan
suatu pesan dengan begitu cepat sehingga tidak diprepsesikan dengan sadar tapi,
Tinggal dibawah ambang kesadaran ( karena itu Sub- liminal; dari kata latin limen
= ambang ).
Cara kedua yang pasti bersifat manipulatif adalah iklan yang ditujukkan
pada anak. Iklan seperti itupun harus dianggap kurang etis, karena anak belum
bisa mengambil keputusan dengan bebas dan sangat sensitif terhadap pengaruh
dari luar. Karena itu anak mudah dimanipulasi dan dipermainkan apalagi anak
tidak akan membeli produk yang diiklankan melainkan orang tuanya. Tentu saja
disini masalahnya bukan saja iklan yang ditujukan kepada remaja, tapi ada alasan
tambahan berarti apa yang di iklankan sangat merugikan kesehatan anak muda.
4. Pengontrolan terhadap iklan
Pada umumnya dikatakan bahwa pengontrolan harus dijalankan dengan tiga cara
berikut ini:
1. Kontrol oleh perintah
Di sini terletak tugas penting bagi pemerintah, yang harus melindungi
masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan. Mungkin dalam hal ini bisa
kita belajar dari Amerika Serikat. Tidak ada negara lain dimana praktek
periklanan begitu maju dan begitu insetif, namun disitu pun ada instansi-instansi
pemerintah yang mengawasi praktek periklanan dengan cukup efisien, antara lain
melalui food and Drug administration dan terutama federal Trade Commission.
Komisi terakhir ini bisa memaksakan perusahan untuk meralat iklan-iklan yang
menyesatkan. Di Indonesia iklan Tentang makanan dan obat diawasi oleh
direktorat jenderal pengawasan obat dan makanan (POM) dari Departemen
kesehatan.
2. Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan
adalah pengaturan diri atau (self-Ragulation) oleh dunia periklanan. Biasanya hal
itu dilakukan dengan menyusun kode etik sejumlah norma dan pedoman yang
disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi biro-biro
periklanan. Versi pertama dari kode etik ini telah diberlakukan pada 1981. Jika
suatu kode etik disetujui tentunya pelaksana harus diawasi juga. Janganlah kode
etik menjadi sebuah formalitas saja Yang tidak berpengaruh atas Praktek sehari-
hari.
3. Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis
periklanan. Dalam hal ini suatu cara terbukti membawa banyak hasil dalam
menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan
menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, yang sudah lama dikenal di negara-
negara maju dan sejak tahun 1970-an berada juga di Indonesia ( yayasan lembaga
konsumen Indonesia di Jakarta dan kemudian lembaga pembinaan dan
perlindungan konsumen disemarang ).
5. Penilaian etis terhadap iklan
Refleksi tentang masalah-masalah etis disekitar praktek periklanan
merupakan contoh bagus mengenai Kompleksitas pemikiran moral. Di sini
prinsip-prinsip etis memang penting tapi tersedianya prinsip-prinsi etis ternyata
tidak cukup menilai moralitas sebuah iklan. Ada empat faktor yang menyangkut
situasi yang berbeda-beda yaitu:
1. Maksud si pengiklan
Jika si pengiklan tahu bahwa produk yang diiklankan merugikan konsumen
atau dengan sengaja ia menjelekkan produk dari pesaing, iklan menjadi tidak etis.
Jika maksud si pengiklan adalah membuat iklan menyesatkan, tentu iklannya tidak
etis. Sebaliknya jika si pengiklan mengeluarkan iklan menyesatkan,tetapi
maksudnya tidak demikian,iklan itu barangkali kurang profesional tetapi tidak
bisa dinyatakan tidak etis.
2. Isi iklan
menurut isinya iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur
menyesatkan, seperti misalnya iklan tentang obat ditelevisi yang pura-pura
ditayangkan oleh tenaga medis yang memakai baju putih dan stetoskop.
Iklan tentang hal yang tidak bermoral, dengan sendirinya menjadi tidak etis ,
misalnya iklan yang menawarkan jasa seseorang Sebagai pembunuh sewaan iklan
tentang lelang budak Belian. Iklan semacam itu tanpa ragu-ragu akan ditolak
secara umum.
Bagaimana penilaian etis tentang iklan mengenai produk yang merugikan
kesehatan masyarakat? Dua contoh yang hampir “Klasik” adalah iklan rokok dan
iklan minuman keras. Pemerintah dapat membatasi atau malah meralang
periklanan semacam itu. Di Indonesia iklan tentang minuman keras dilarang
dengan tegas, tetapi iklan tentang rokok lebih liberal dari pada dinegara-negara
yang kita sebut liberal.
3. Keadaan publik yang tertuju
Dalam uraian tentang etika konsumen, kita sudah berkenalan dengan pepatah
cavead emptor, “Hendaklah si pembeli Berhati-hati. Sikap berhati-hati sebelum
membeli merupakan sikap dasar pagi calon pembeli. Demikian dalam konteks
periklanan. Publik sebaiknya mempunyai skepsis yang sehat terhadap usaha
persuasi dari periklanan. Keganasan periklanan harus diimbangi dengan sikap
kritis publik.
Yang dimengerti di sini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan
mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan.
Secara umum Bisa dikatakan bahwa periklanan mempunyai potensi besar
untuk mengipas-ngipas kecemburuan sosial dalam masyarakat dengan
memamerkan sikap konsumerisme dan hedonisme dari suatu elite kecil.
4. Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi ini
orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Sudah ada aturan main
yang disepakati secara implitis atau ekspilisit dan yang sering kali tidak dapat
dipisahkan dari etos yang menandai masyarakat itu. Sepeti halnya dibidang-
bidang lain, tradisi ini menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat
tentu masuk akal saja, bila beberapa iklan lebih mudah diterima dari pada dimana
praktek periklanan baru mula dijalankan pada skala besar. Dalam refleksi etika
tentang periklanan rupanya tidak mungkin dihindari suatu nada relativistis.

2.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan


Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR)
menurut World BusinessCouncil On Sustainable Development (WBCSD) adalah
suatu komitmen dari perusahaan untukmelaksanakan etika keperilakuan dan
berkonstribusi terhadap pembengunan ekonomi yangberkelanjutan (sustainable
economic development).
Komitmen lainnya adalah meningkatkan kualitashidup karyawan dan
keluargamya, komunitas lokal, serta masyarakat luas.Salah satu prinsip GCG
adalah masalah pertanggungjawaban (responsbility), yaitu kesesuaina
dalampengelolaan perusahaan terhadap peratutan perundang-undangan yang
berlaku dan prinsip-prinsipkorporasi yang sehat.9.1.2 Jenis-Jenis Tanggung Jawab
PerusahaanTiga jenis kepentingan publik yang dewasa ini cenderung terabaikan
oleh perusahaan adalah sebagai berikut:
1.Perusahaan hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap pemegang
sahamnya(shareholder), sedangkan masyarakat disekitar tempat perusahaan
tersebut berdomisilikurang diperhatikan.
2.Dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan semakin meningkat dan
harus ditanggungoleh masyarakat sekitar. Sementara itu, sebagian besar
keuntungan atau manfaat yangdiperoleh oleh perusahaan hanya dinikmati oleh
pemilik saham perusahaan saja.
3.Masyarakat sekitar yang menjadi korban perusahaan tersebut sebagian besar
mengalamikesulitan untuk menuntut ganti rugi kepada perusahaan. Hal itu
dikarenakan belum adahukum (regulasi) yang mengatur secara jelas tentang
akuntabilitas dan kewajibanperusahaan kepada publik.Selain tanggung jawab
perusahaan kepada pemegang saham, tanggung jawab lainnya
menyangkuttanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan tanggung jawab atas
kelestarian lingkungan hidup.
1, Tanggung jawab legal dan tanggung jawab moral perusahan
Suatu perusahaan sebagai sebuah badan hukum pasti memiliki berbagai kewajiban
dan hak.Selain hal tersebut, perusahaan juga mempunyai tanggung jawab
legal, sama halnya dengansubjek hukum yang biasa , perusahaan juga harus
menaati hukum danharus memenuhi hukumnya, apabila melakukan pelanggaran.
Disini, perusahaan dituntut agar bisnisnya mematuhi hukum dan sesuai dengan
aturan main.Hukum dipahami sebagai pendangan moral masyarakat yang
dikodifikasikan. Akan tetapi, para ahli etika bisnis khususnya Peter French
membela status moral perusahaan. Peter French berpendapat bahwa suatu
korporasi memiliki moral yang sama dengan perseorangan dan memiliki hak
istimewa, hak dan kewajiban seperti keadaan perseorangan.
Pendapat tersebut didukung oleh dua pemikiran yaitu, pertama, keputusan yang
diambil olehkorporasi hanya bisa dihubungkan dengan korporasi itu sendiri bukan
dengan beberapa orangyang bekerja pada korporasi misalnya, keputusan dua
perusahaan untuk mengadakan merger.Keputusan tersebut hanya dilakukan dari
dua korporasi tersebut bukan dari beberapa anggotanyasaja. Akantetapi banyak
yang tidak sependapat dengan hal ini.
2, Pandangan Milton Friedman mengenai tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) akan lebih mudah untuk
dipahamidengan menanyakan kepada siapa sebenarnya pengelola perusahaan
(manajer) bertanggung jawab. Dalam hal ini terdapat dua konsepsi utama
mengenai kepada siapa pengelola perusahaan bertanggung jawab
(Baron, 2005: 663) Pendapat pertama berasal dari milton Friedman.Menurut
Milton Friedman, tanggung jawab sosial perusahaan adalah menalankan bisnis
sesuaidengan keinginan pemilik perusahaan , yakni dalam bentuk menghasilkan
uang sebanyakmungkin, sementara pada saat yang sama mengindahkan aturan
dasar yang digariskan dalamsuatu masyarakat sebagaimana diatur oelh hukum dan
perundang-undangan.
3 Tanggung jawab ekonomis dan tanggung jawab social
Tanggung jawab ekonomis
Tanggung jawab ekonomis perusahaan adalah usaha perusahaan agar kinerja
ekonomisnya selalu baik.  Dalam kapitalisme liberalistis tanggung jawab itu
dilihat sebagai profit maximization  atau mendapat untung sebesar mungkin.modal
yang ditanamkan di dalamnya harus diperoleh kembali dalam jangka waktu yang
wajar (return on investment),bersama dengan laba yang wajar pula. Hal itu
merupakan tanggung jawab ekonomis perusahaan. Tanggung jawab ekonomis ini
mempunyai aspek sosial yang penting, kinerja setiap perusahaan menyumbangka
kepada kinerja ekonomi nasional, demgam sendirinya memberi kontribusi yang
berarti kepada kemakmuran masyarakat. Hal itu terutama kita sadari dalam
keadaan krisis, bila terjadi banyak pemutusan hubungan kerja dan banyak
perusahaan harus menghentikan kegiatannya.
2.2 Tanggung jawab sosial
Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggan jawabnya terhadap masyarakat
di luar tanggung jawab ekonomis, kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan
demi suatu kegiatan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi
ekonomis. Hal itu bisa terjadi dengan dua cara, yaitu positif dan negatif. Secara
positif, perusahaan bisa melakukan kegiatan yang tidak membawa keuntungan
ekonomis dan semata-mata dilangsungkan demi kesejahteraan masyarakat atau
satu kelompok di dalamnya. Contoh yang sering terjadi adalah penyelenggaraan
pelatihan keterampilan untuuk pengangguran atau mendirikan panti asuhan untuk
anak-anak yatim piatu. Jika perusahaan melibatkan diri dalam kegiatan serupa itu,
ia hanya mengeluarkan dana dan tidak mendapat sesuatu kembali. Secara negatif,
perusahaan bisa untuk menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu yang sebenarnya bisa menguntungkan dari segi bisnis, tetapi akan
merugikan masyarakat. Kegiatan-kegiatan itu dapat membawa keuntungan
ekonomis, tapi perusahaan mempunyai alasan untuk tidak melakukannya.
Contoh di bidang sosial hidup, misalnya bagi suatu pabrik kertas, yang paling
menguntungkan dari segi ekonomis adalah membuang limbah industrinya ke
dalam sungai saja. Setiap cara lain akan mengakibatkan biaya produksi naik,
sehingga dari segi ekonomis menjadi tidak menarik. Membuang limbah industri
itu di tempat lain akan memakan biaya transportasi yang besar. Membangun
instalasi pengolahan limbah hingga menjadi cairan yang tidak berbahaya, akan
memakan biaya yang lebih besar lagi. Dari segi ekonomis, jalan keluar yang
paling efektif adalah membuang limbah ke dalam sungai. Satiap cara lain akan
memberatkan pengeluaran bagi perusahaan, sehingga mengurangi keuntungan.
Hanya saja, membuang limbah dalam sungai akan mengurangi banyak pihak lain.
Masyarakat di sekitar pabrik tidak lagi bisa memanfaatkan air sungai umtuk
kepentingan rumah tangga, seperti mandi atau cuci pakaian. Jika membedakan
tanggung jawab sosial dalam arti positif dan dalam arti negatif, langsung menjadi
jelas konsekuensinya dalam rangka etika bisnis memang memikul tanggung jawab
dalam arti negatif karena tidak boleh melakukan kegiatan yang merugikan
masyarakat.
4 KINERJA SOSIAL PERUSAHAAN
Alasan pertama berkaitan dengan kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan itu
berstatus publik. Mereka mempunyai maksud tertentu, khususnya meningkatkan
citra perusahaan dimata masyarakat, baik masyarakat didekat pabriknya maupun
masyarakat luas. Sebagaimana tanggung jawab ekonomis perusahaan mempunyai
suatu aspek moral, demikian pun yang disebut «tanggung jawab sosial» ini
mempunyai suatu aspek ekonomis dan karenanya tidak lagi merupakan tanggung
jawab sosial secara murni. Contoh dalam negri adalah fasilitas bus yang
disediakan oleh perusahaan jamu bagi penjual jamu gendong maupun warungan di
jakarta, supaya dapat mudik lebaran ke Jawa Tengah.
Dengan demikian mereka memperkuat jalur pemasaran mereka yang tidak resmi
ini, sekaligus memperbaiki citra perusahaan dimata masyarakat. Kini upaya
meningkatkan citra perusahaan dengan mempraktekkan karya amal sering disebut
corporate social performance, «kinerja sosial perusahaan». Perusahaan tidak saja
mempunyai kinerja ekonomis, tetapi juga kinerja sosial. Disadari betul bahwa
bagi perusahaan masih ada hal lain yang perlu diperhatikan dari pada memperoleh
laba sebesar mungkin. Tidak kalah penting nya mempunyai hubungan baik
dengan masyarakat di sekitar pabrik dan dengan masyarakat umum, karena kinerja
ekonomis perusahaan langsung terancam kalau hubungan baik itu tidak
terjamin. Untuk mencapai tujuan itu, perlu kesediaan perusahaan untuk
menginvestasi dana dalam program-program khusus. Di Indonesia kita hanya
dapat mengharapkan bahwa bisnis akan semakin memahami pentingnya kinerja
sosial perusahaan. Dan perusahaan lebih kecil pun dapat memperoleh banyak
manfaat, jika kinerja sosial dimasukan dalam agenda usaha mereka. Upaya kinerja
sosial perusahaan tidak patut dikategorikan sebagai pelaksanaan tanggung jawab
sosial perusahaan dalam arti positif. Bahkan kasus yang di ajukan sebagai contoh
perilaku berkeutamaan dari perusahaan farmasi Merck mudah dapat ditempatkan
dalam konteks kinerja sosial ini. Dan reputasi yang baik tentu merupakan aset
yang sangat berharga baik sebuah perusahaan.
5. BEBERAPA KASUS
(SUSU FORMULA NESTLE)
Untuk membantu mereka, pada akhir abad ke-19 dikembangkan susu formula
sebagai pengganti air susu ibu . Tetapi karena berbagai alasan, lama kelamaan
semakin banyak ibu mulai memberi susu botol kepada bayinya. Jadi, sekitar 78%
memberi susu formula. Industri susu formula menjadi bisnis yang penting.
Diperkirakan, sekitar 1978 presentasi ibu-ibu yang memberi susu formula
berkurang sampai 50%. Penyusutan pasar ini tentu merupakan pukulan berat
untuk produsen susu formula. Dalam kampanye itu dipergunakan iklan seperti
«Ibu modern tahu yang terbaik untuk bayinya, yaitu susu formula Nestle», «Ibu
yang menyayangi anaknya tentu memberi susu formula Nestle». Dokter spesialis
kebidanan dan dokter spesialis anak diberi hadiah, jika mereka mempromosikan
susu formula Nestle kepada pasiennya. Wanita muda berpakaian perawat dikirim
ke desa-desa untuk mempromosikan susu formula., terutama ada lima alasan untu
memberi ASI kepada bayi di negara-negara berkembang.
1. Dari segi ekonomi: Memberi susu botol akan menambah beban bagi
keluarga yang sudah miskin; lebih baik uang dipakai untuk meningkatkan
gizi dari ibu-ibu yang menyusui.
2. Pencegahan infeksi: Melalui ASI bayi mendapat antibodi.
3. ASI lebih bergizi; susu formula yang paling bermutupun kalah dengan
ASI.
4. ASI lebih higienis; air yang ditambah pada bubuk susu sering
terkontaminasi atau botol dan dot tidak bersih.
5. Dengan memberi ASI dikurangi risiko untuk kehamilan baru.
Alasan-alasan ini amat meyakinkan untuk memberi ASI kepada bayi di negara-
negara berkembang. Karena itu kampanye promosi Nestle ini menimbulkan
kemarahan banyak orang. Beberapa LSM mengadakan aksi melawan perusahaan
Nestle, antar lain dengan menyebarkan di berbagai negara brosur berjudul Nestle
kills babies, jutaan orang dari puluhan negara bergabung dalam The international
Nestle boicot yang memboikot semua produk Nestle dan berlangsung selama 6,5
tahun. Boikot ini diselenggarakan oleh The infant formula action
coalition (Infact).
Pada Mei 1981, dalam worth heath assembly yang diselenggarakan oleh WHO
dan UNICEF, diterima sebuah kode etik pemasaran susu formula yang
disebut International code of marketing for breastmilk subtitutes. Dalam
pemungutan suara, dari 119 wakil negara yang hadir, hanya satu menolak, yaitu
Amerika Serikat, yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Ronald Reagan.
Kode etik yang meliputi delapan halaman ini melarang setiap cara pemasaran
yang tidak mengakui dengan jelas keunggulan ASI diatas susu formula.
Tetapi kesulitannya adalah bahwa pelaksanaannya tidak bisa diberikan sanksi dan
interpretasi otentik kalau tidak dijadikan peraturan hukum oleh masing-masing
negara. Lama-kelamaan Nestle dapat menerima semua ketentuan, dan pada 26
Januari 1984 boikot internasional dihentikan oleh Infact. Nestle malah menjadi
produsen susu formula yang pertama menghilangkan gambar bayi montok dari
kaleng produknya.
2.3 Bisnis, Lingkungan Hidup dan Etika
§1. Krisis lingkungan hidup
Masalah sekitar lingkungan hidup baru mulai disadari sepenuhnya dalam tahun
1960-an. Sekaligus disadari pula bahwa masalah itu secara langsung atau tidak
langsung disebabkan oleh bisnis modern, khususnya oleh cara berproduksi dalam
industri yang berlandaskan ilmu dan teknologi maju. Tentu saja, sejak permulaan
industri di Inggris akhir abad ke-18, sudah terdengar banyak keluhan tentang
pengaruh negatif dari industri atas lingkungan hidup. Dalam kesusastraan dan
sumber-sumber lain dapat kita baca bagaimana industri mengakibatkan timbulnya
kota-kota yang suram dan kotor. Tempat penghunian di sekitar pabrik pabrik
diasosiasikan dengan suasana asap, jelaga, dan bau tidak sedap. Keadaan suram
dan gelap di daerah industri, pada waktu itu sering dipertentangkan dengan
keadaan romantis di kawasan pertanian dan peternakan. Jika di sana bau pupuk
alam kadang-kadang bisa menyengat hidung juga, faktor kurang bagus itu hanya
bersifat sementara dan hilang dalam suatu suasana menyeluruh yang positif.
Sekarang polusi yang disebabkan oleh bisnis modern mencapai suatu tahap global
dan tidak terbatas pada beberapa daerah industri saja. Pertanian dan peternakan
yang dijalankan dengan cara bisnis besar-besaran tidak terluput lagi dari
pencemaran umum itu, sebaliknya sektor-sektor itu pun mempunyai andil besar
dalam merusak lingkungan hidup. Kini kita sungguh-sungguh mengalami krisis
lingkungan hidup. Mengapa sampai krisis? Karena sebagai akibat pencemaran dan
perusakan lingkungan, kelanjutan hidup sendiri terancam di bumi kita, termasuk
hidup manusia.
Dalam konteks lingkungan, dapat diterapkan pendapat Karl Marx - yang
sebetulnya dikemukakan dalam konteks lain-bahwa perubahan kuantitas bisa
mengakibatkan perubahan kualitas. Jika satu cerobong pabrik memuntahkan asap
hitam pekat ke dalam udara, dengan itu kualitas udara hampir tidak dipengaruhi.
Tetapi jika jutaan cerobong melakukan hal yang sama, udara sudah menjadi lain
dan pemakaiannya untuk bernapas bisa menyebabkan kesulitan. Jika satu pohon
ditebang, suatu daerah tidak akan berubah. Tetapi jika ratusan hektar hutan
dibabat dalam waktu singkat, daerah itu bisa mengalami erosi dan keadaan
gersang yang tidak mudah dipulihkan kembali. Inti masalah lingkungan hidup
adalah bahwa bisnis modern yang memanfaatkan ilmu dan teknologi canggih
telah membebankan alam di atas ambang toleransi. Selama alam dimanfaatkan
dalam batas, keutuhan dan keseimbangannya masih bisa bertahan. Tetapi kini
alam sudah dieksploitasi dengan melewati batas. Jika keadaan ini dilanjutkan
terus, alam dengan segala ekosistemnya akan hancur sama sekali. Tentu saja,
krisis lingkungan hidup disebabkan juga oleh faktor-faktor lain, khususnya jumlah
penduduk bumi yang semakin besar. Tetapi faktor terakhir ini pun disebabkan
oleh ilmu dan teknologi modern yang dapat memberantas banyak penyakit dan
memungkinkan manusia hidup lebih lama.
Cara berproduksi besar-besaran dalam industri modern dulu mengandaikan begitu
saja dua hal yang sekarang diakui sebagai kekeliruan besar. Pertama, bisnis
modern mengandaikan bahwa komponen-komponen lingkungan seperti air dan
udara merupakan barang umum, sehingga boleh dipakai seenaknya. Diandaikan
saja, komponen-komponen itu tidak ada pemiliknya dan karena itu tidak perlu
dilindungi seperti barang yang menjadi milik pribadi. Sejak permulaan
perkembangannya, industri kimia di seluruh dunia membuang limbahnya dalam
sungai atau laut. Mereka beranggapan, dengan tingkah laku itu tidak merugikan
seorang pun. Di kebanyakan negara hal seperti itu baru mulai dilarang menurut
hukum pada tahun 1970-an. Tetapi biarpun air dan udara tidak mempunyai
pemilik formal, ada banyak orang yang berkepentingan dengan sumber daya alam
itu, sehingga mereka dirugikan juga bila kualitasnya menurun. Bahkan sumber
daya alam yang memang menjadi milik seseorang, seperti tanah, tidak boleh.
dipakai dengan sembarangan, karena selalu bisa menyangkut kepentingan orang
lain. Industri yang memiliki tanah tidak boleh di situ membuang limbah kimia
beracun, karena pengaruh negatifnya bisa merugikan orang lain. Misalnya, air
tanah di bawahnya dapat dicemari atau tanah yang diracuni itu dengan cara lain
dapat mempengaruhi lingkungan. Jika suatu bagian alam dirusak, lingkungannya
selalu ikut terpengaruh.
Kedua, diandaikan pula bahwa sumber daya alam seperti air dan udara itu tak
terbatas. Tentu saja, secara teoretis tidak pernah disangkal bahwa bahan-bahan
alami itu akhirnya mempunyai batas juga, namun batas itu dianggap sangat jauh.
dan dalam praktek orang bertindak seakan-akan tidak ada batas sama sekali.
Diandaikan saja bahwa kualitas air dan udara tidak akan berubah, bila emisi
industri dilepaskan terus-menerus. Tidak terpikirkan bahwa minyak bumi, baru
bara, dan sumber daya alam lain pada suatu saat akan habis sama sekali, jika
diekstraksi terus-menerus melalui industri pertambangan.
Dalam situasi kita sekarang ini masih tetap berlaku bahwa kerusakan lingkungan
paling terasa dalam daerah-daerah industri, yang hampir selalu dikelilingi
kawasan penghunian yang padat. Udara di kota-kota besar seperti Jakarta dan
Surabaya sudah dicemari sampai mengganggu kesehatan, terutama disebabkan
oleh industri dan emisi dari lalu lintas kendaraan bermotor. Di daerah pegunungan
beberapa puluh kilometer dari kota-kota itu, udara masih cukup bersih. Di Jawa,
air semua sungai sudah dicemari dan tidak layak lagi untuk konsumsi. Di pulau-
pulau lain masih dapat ditemukan sungai bersih dan penuh ikan. Tetapi masalah
lingkungan hidup tidak lagi terbatas pada beberapa daerah saja, yang tentu selalu
bertambah banyaknya. Masalah lingkungan hidup tidak terbatas pula pada
beberapa negara, walaupun kerusakan lingkungan pasti paling besar di negara-
negara industri maju. Pada zaman kita, masalah lingkungan hidup sudah mencapai
suatu taraf global. Terutama ada enam problem yang dengan jelas menunjukkan
dimensi global itu: akumulasi bahan beracun, efek rumah kaca, perusakan lapisan
ozon, hujan asam, deforestasi dan penggurunan, dan kematian bentuk-bentuk
kehidupan. Sebaiknya kita memandang enam problem ini dengan lebih rinci.
1. Akumulasi bahan beracun
Industri kimia tidak diperbolehkan lagi membuang limbahnya ke dalam sungai
atau laut. Pembuangan sebelumnya sudah mengakibatkan banyak faktor negatif,
antara lain ikan tidak layak lagi dikonsumsi karena kadar merkuri di dalamnya
atau bahan beracun lainnya menjadi terlalu tinggi. Air tanah dicemari dan tidak
layak lagi diminum manusia dan ternak, karena bahan kimia yang dibuang di situ
merembes ke dalamnya. Pestisida yang dipakai untuk meningkatkan produksi
pangan, ternyata masuk dalam rantai makanan manusia, sampai dengan air susu
ibu (ASI) yang diminum oleh bayi. Beberapa herbisida seperti Silvex, yang dulu
banyak dipakai, diketahui mengandung dioksin, yang merupakan racun kuat dan
dapat mengakibatkan kanker. Fosfar dari detergen cuci membuat alga. dalam air
bertambah banyak dan oksigen berkurang, sehingga memusnahkan bentuk hidup
lain dalam air. Banyak jenis plastik, seperti misalnya polystyrene. sulit hancur
secara alami, sehingga setelah dibuang untuk periode lama sekali akan
membebankan lingkungan. Namun demikian, plastik itu banyak dipakai sebagai
kemasan makanan dan sebagainya.
Dekade-dekade terakhir ini sering timbul berita dalam pers internasional tentang
negara industri maju yang "mengekspor" limbahnya berupa bahan beracun
berbahaya ke negara-negara miskin. Negara-negara miskin itu tentu tergiur oleh
pembayaran dalam valuta asing, tetapi tidak cukup menyadari dampak negatif
untuk lingkungan hidupnya selama jangka waktu panjang. Apalagi, dengan
memakai uang suap banyak penjabat tinggi di negara-negara miskin mudah diajak
menyetujui transaksi merugikan semacam itu, tanpa menghiraukan masa depan
rakyatnya.
Risiko besar sekali untuk lingkungan dibawakan oleh penggunaan tenaga nuklir.
Seperti setiap unit teknis lainnya, reaktor-reaktor nuklir pun bisa mengalami
kecelakaan. Tetapi tidak sebanding dengan kondisi teknis lain, di sini akibatnya
untuk lingkungan dan kesehatan manusia sangat dahsyai, sebagaimana terbukti
dengan kecelakaan di Three Mile Island, Pennsylvania, Amerika Serikat pada
1979. di Chernobyl, Ukraina, pada 1986 (lihat § 6, kasus 1), atau di Fukushima,
Jepang, sesudah gempa bumi dan tsunami dahsyat pada 2011. Selain risiko
terjadinya kecelakaan, setiap reaktor nuklir memproduksi limbah nuklir seperti
plutonium yang mengandung radioaktivitas selama ribuan tahun dan sangat
membahayakan kesehatan manusia. Kontak langsung dengan limbah nuklir ini
bisa mengakibatkan penyakit kanker, keguguran untuk ibu-ibu hamil, mutasi gen,
dan sebagainya. Masalah besar sekali untuk industri nuklir adalah bagaimana
limbah nuklir yang sangat berbahaya selama periode 10.000 tahun atau lebih itu
dapat disimpan dengan aman. Transportasi bahan berbahaya ini menimbulkan
juga banyak kesulitan. Reaktor-reaktor yang tidak dipakai lagi, berabad-abad
lamanya harus dijaga terus, karena kalau tidak terisolasi dengan sempurna - masih
bisa melepaskan penyinaran radioaktif. Sampai sekarang belum ditemukan
pemecahan memuaskan untuk semua masalah lingkungan yang raksasa ini.
2. Efek rumah kaca
Menurut para ahli, suatu gejala yang sangat mengkhawatirkan adalah naiknya
suhu permukaan bumi. Hal itu disebabkan oleh greenhouse effect atau efek rumah
kaca. Panas yang diterima bumi karena penyinaran matahari, terhalang oleh
partikel partikel gas yang dilemparkan dalam atmosfer oleh ulah manusia,
sehingga tidak bisa keluar. Salah satu sebab utama adalah karbondioksida (CO).
Karbondioksida ini terlepas dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara
dan produk produk minyak bumi. Jadi, industri dan kendaraan bermotor
memainkan peranan besar dalam mengakibatkan keadaan ini. Menurut perkiraan
para ahli, setiap tahun dilemparkan lima milyar ton karbondioksida ke dalam
atmosfer. Sebagai akibat pemanasan bumi, es dan salju di kutub utara dan selatan
mencair dan permukaan laut akan naik. Jika perkembangan ini berlangsung terus,
negara-negara yang terletak di tempat rendah seperti Negeri Belanda dan
Bangladesh akan hilang dari muka bumi dan kota-kota yang dibangun di pinggir
laut akan tergenang air laut, misalnya Jakarta Utara. Kenaikan suhu bumi bisa
menyebabkan juga perubahan iklim sedunia, dengan akibat kekeringan, banjir,
taufan dan bencana alam lainnya.
3. Perusakan lapisan ozon
Bumi dikelilingi lapisan ozon (O) dalam atmosfer yang mempunyai fungsi sangat
penting, yaitu melindungi kehidupan terhadap sinar ultraviolet dari matahari.
Konsentrasi ozon itu paling besar pada ketinggian kira-kira 20-30 kilometer di
atas permukaan bumi. Rupanya 80 persen penyinaran ultraviolet dari matahari
disaring olehnya. Tetapi pengukuran melalui satelit menunjukkan semakin
menipisnya lapisan ozon itu. Sejak akhir 1970-an, terbentuk "lubang" ozon di atas
Antartika (kutub selatan) pada saat kawasan itu memasuki musim semi
(September-Oktober). Tahun 1997 ilmuwan Selandia Baru melaporkan lubang
ozon itu sudah mencapai luasan 25 juta kilometer persegi, 60 persen lebih besar
dari hasil pengukuran tahun 1980.
Perusakan lapisan ozon itu diakibatkan oleh beberapa sebab yang berbeda. Terapi
menurut para ahli, penyebab paling berpengaruh adalah pelepasan bahan CFC
(klorofluorokarbon) ke dalam udara. CFC adalah bahan kimia yang banyak
dipakai dalam kaleng penyemprotan aerosol, lemari es, dan alat AC (penyejuk),
dan juga dalam "karet" busa.
Radiasi ultraviolet dari matahari yang karena kerusakan lapisan ozon bisa
mencapai permukaan bumi, mempunyai pengaruh sangat negatif atas kesehatan
manusia dan kehidupan pada umumnya. Antara lain radiasi itu bisa
mengakibatkan penyakit kanker kulit, penyakit mata katarak, penurunan sistem
kekebalan tubuh, kerusakan bentuk-bentuk hidup dalam laut dan tanaman di darat.
4. Hujan asam
Sejak beberapa dekade terakhir ini di kawasan industri padat seperti Kanada dan
bagian utara dari Amerika Serikat, Jerman Barat, dan Negeri Belanda terjadi hujan
asam (acid rain). Asam dalam emisi industri bergabung dengan air hujan dan
mencemari daerah yang luas. Hujan asam merusak hutan dan pohon-pohon lain,
mencemari air danau, merusak gedung-gedung, dan sebagainya. Sekitar 1988
dilaporkan bahwa di Kanada 14.000 danau sudah mati, dalam arti tidak
mengandung lagi bentuk-bentuk kehidupan, dan 40.000 danau lain sedang dalam
proses ke arah yang sama. Di propinsi Quebec (Kanada) 14 persen dari pohon
sugar maple telah mati. Bagi manusia, hujan asam bisa mengakibatkan gangguan
saluran pernapasan dan paru-paru.
5. Deforestasi dan penggurunan
Kayu adalah barang yang sangat laris dalam kalangan bisnis, dan teknologi
modern menyediakan alat-alat untuk menebang pohon dengan cepat dan efisien.
Konsekuensi legis adalah hutan semakin cepat berkurang di mana-mana, termasuk
hutan tropis yang menghasilkan kayu berkualitas tinggi. Hutan dibabat juga untuk
memperoleh lahan pertanian baru. Hal itu dilakukan oleh penduduk setempat yang
bertambah banyak jumlahnya atau oleh perusahaan nasional dan internasional
yang ingin membuka lahan baru untuk peternakan atau perkebunan. Penebangan
hutan (deforestation) besar-besaran itu mempunyai dampak penting atas
lingkungan hidup. Salah satu fungsi hutan adalah menyerap karbondioksida ang
disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil (industri, kendaraan bermotor),
suatu penyebab penting terjadinya efek rumah kaca. Kalau tidak secara sistematis
hutan yang ditebang itu diganti dengan pohon-pohon baru, bisa timbul erosi pada
skala besar. Di Amerika Serikat saja diperkirakan setiap tahun kira-kira 26 milyar
ton tanah lebih banyak tererosi daripada tanah baru yang terbentuk. Jika dari kursi
pesawat terbang kita sudah sekian tahun sempat memandang warna coklat dari
sungai-sungai di Kalimantan dan Sumatra, mudah dapat kita bayangkan betapa
besar erosi juga di tanah air. Bukan saja karena penebangan, tapi juga karena
kebakaran hutan sekian tahun berturut-turut waktu musim kemarau. Di negara
negara industri, hujan asam menjadi penyebab penting kerusakan hutan, seperti
sudah kita lihat. Penebangan hutan tropis di Amazona (Brazil) dan juga di Asia
Tenggara mendapat perhatian khusus dari dunia internasional, antara lain karena
deforestasi di sana dapat mempengaruhi iklim sedunia.
Erosi tanah dapat mengakibatkan juga meluasnya penggurunan (desertification),
khususnya di negara-negara di sekitar gurun Sahara di Afrika dan juga di Amerika
Serikat. Di Mali, misalnya, selama 25 tahun terakhir ini gurun Sahara
diperkirakan merambat ke arah selatan sejauh 400 kilometer. Di banyak kota
besar, di seluruh dunia, termasuk juga Indonesia, tingkatan air tanah menurun
terus karena dipompa oleh industri, hotel-hotel, dan rumah tangga. Dengan
demikian kualitas tanah menurun juga dan air laut semakin menyusup ke dalam.
6. Keanekaan hayati
Yang dimaksud dengan "keanekaan hayati" (biodiversity) adalah jenis-jenis
kehidupan (species) yang ada di bumi. Kekayaan alam sebagian besar ditentukan
oleh banyaknya spesies. Keanekaan hayati itu sangat penting untuk segala aspek
kehidupan manusia, seperti makanan, obat-obatan, tanaman hias, dan banyak lain
lagi. Spesies kehidupan yang saat ini belum dimanfaatkan, mungkin akan berguna
di masa depan. Tetapi spesies yang punah sekarang, akan hilang lenyap dari muka
bumi untuk selamanya. Salah satu akibat besar dari kerusakan lingkungan adalah
kepunahan semakin banyak spesies hidup. Di sini penggunaan pestisida dan
herbisida memainkan peranan besar. Menurut perkiraan para ahli, kira-kira 7
persen dari jumlah spesies di daerah non-tropis kini telah punah dan di daerah
tropis 1 persen. Tetapi dengan penebangan banyak hutan tropis akhir-akhir ini,
angka-angka ini cepat bisa berubah menjadi lebih buruk lagi.
Aspek-aspek dari krisis lingkungan hidup yang dilukiskan tadi memang sangat
sumir dan paling banter mencapai taraf jurnalistik saja. Para ahli biologi,
geofisika, dan ilmu-ilmu lain pasti dapat memberikan informasi lebih lengkap dan
lebih aktual. Setiap pembahasan tentang lingkungan hidup harus berlangsung
dalam konteks multidisipliner. Tetapi suatu kesulitan besar adalah bahwa dalam
kalangan ilmiah pun tidak selalu terdapat kesepakatan. Jika kita mendengarkan
pakar-pakar fisika nuklir, misalnya, banyak yang berpendapat bahwa energi nuklir
merupakan suatu sumber energi yang aman saja, asalkan dapat dieliminir faktor
human error dengan disiplin kerja yang ketat. Ahli-ahli lain berpendapat bahwa
pemanasan bumi terutama disebabkan oleh solar storms (badai di permukaan
matahari) dan bukan oleh polusi udara saja. Perlu diakui juga ramalan ilmiah
kadang-kadang bisa meleset sama sekali. Pemboran minyak bumi dalam Teluk
Meksiko di luar dugaan justru membantu industri perikanan. Dengan dibangunnya
instalasi instalasi pemboran, ikan di perairan itu ternyata justru lebih mudah
berkembang biak. Menyaksikan diskusi antara ahli-ahli itu, seorang awam bisa
merasa bingung. Tetapi, biarpun dalam detail sering masih ada ketidakpastian,
secara menyeluruh harus diakui tanpa ragu-ragu bahwa masalah lingkungan hidup
tidak merupakan urusan nasional saja dan tidak dapat diatasi oleh suatu negara
atas tenaganya sendiri. Mau tidak mau, lingkungan hidup harus dipandang sebagai
suatu masalah global dan harus ditangani secara global pula.

§ 2. Masalah lingkungan hidup sebagai tantangan global


Dimensi global dari krisis lingkungan hidup, sekarang tidak disangkal lagi.
Selama dekade-dekade terakhir sudah diambil pelbagai inisiatif untuk membahas
dan menangani masalah-masalah lingkungan pada taraf internasional. Pada 51
Juni 1972 dibuka The United Nations Conference on the Human Environment di
Stockholm, ibu kota Swedia. Pada kesempatan itu tanggal 5 Juni ditetapkan
sebagai "Hari Lingkungan Hidup Sedunia". Dua puluh tahun kemudian diadakan
The United Nations Conference on Environment and Development di Rio de
Janeiro (3 14 Juni 1992), yang juga disebut The Earth Summit, "Pertemuan
Puncak Bumi", di mana diakui "the integral and interdependent nature of the
Earth, our home" Konferensi PBB yang untuk pertama kali dalam sejarah berhasil
mengumpulkan kepala negara dari 110 negara ini memberi kontribusi besar dalam
meningkatkan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup dan sekaligus juga
mengeluarkan linia dokumen yang dengan persetujuan semua negara anggota
PBB harus mengambil tindakan konkret untuk melindungi lingkungan hidup.
Sebelumnya sudah per nah diadakan Protocol Montreal (1988) yang mau
membatasi penggunaan CFC dan dalam hal ini cukup berhasil karena tersedianya
bahan alternatif. Sebagal tindak lanjut Konferensi Rio de Janeiro ini pada tahun
1997 disetujui Protokol Kyoto yang bermaksud membatasi emisi gas rumah kaca
seperti karbondioksida (CO2) dengan menentukan kuota yang boleh dikeluarkan
oleh setiap negara partisipan. Tujuannya adalah bahwa sekitar tahun 2010 emisi
gas rumah kaca itu harus dikurangi 5 persen, dibandingkan dengan tahun 1990.
Negara berkembang. termasuk Cina dan India, belum diikutsertakan. Konon
karena alasan itulah Amerika Serikat tidak pernah bersedia meratifikasi perjanjian
ini, tetapi agaknya alasan yang sebenarnya adalah bahwa menerima perjanjian ini
dinilai akan merugikan ekonomi mereka terlalu banyak. Dari negara yang
meratifikasi ada yang kemudian melampaui kuota mereka tetapi dalam perjanjian
tidak ditentukan sanksi untuk pelanggaran macam itu. Tahun-tahun berikutnya
diadakan konferensi-konferensi tindak lanjut atau Conferences of the Parties
(COP), antara lain konferensi di Bali tahun 2007, tetapi tidak pernah ada hasil
yang berarti.
Bulan Juni 2012 diadakan lagi Konferensi PBB di Rio de Janeiro dengan nama
resmi United Nations Conference on Sustainable Development tetapi populer
lebih sering disebut Rio+20, karena berlangsung genap 20 tahun sesudah
konferensi bersejarah pertama di sana. Tetapi konferensi ini pun tidak ada hasil
konkret, kecuali persediaan para partisipan untuk tetap melanjutkan pembicaraan
tentang masalah yang dianggap mahapenting ini. Terobosan baru tidak ada.
Konferensi Rio+20 menyetujui dokumen berjudul The future we want. Menurut
para komentator, dalam dokumen dengan 49 halaman ini 59 kali dipakai kata
reaffirm (memperteguh kembali). Hal itu sudah menjadi indikasi bahwa
konferensi ini tidak membawa sesuatu yang sungguh-sungguh baru. Pada akhir
tahun 2012 di Doha (Dakar) diadakan konferensi PBB lagi tentang Climate
Change yang diperlukan karena pada tahun 2012 Protokol Kyoto berakhir, sampai
sekarang satu-satunya persetujuan yang mengikat menurut hukum. Pertemuan
Doha menyepakati pemberlakuan Protokol Kyoto delapan tahun lagi (hingga
2020). Namun, selain Amerika Serikat yang tidak pernah ikut, Kanada, Rusia,
Jepang, dan Selandia Baru telah menyatakan tidak ikut lagi dalam Protokol
Kyoto. Negara-negara kaya yang masih ikut menyetujui komitmen untuk
menurunkan 15-16,2 persen emisi dari 1990 selama periode 2013-2020.
Konferensi-konferensi berikutnya akan membicarakan prinsip applicable to all
sesudah 2020 (jadi, juga negara berkembang harus ikut) dan prinsip equitable
(keadilan) yang harus mempertimbangkan situasi khusus setiap negara. Dengan
demikian PBB mengharapkan pada 2015 dapat mengadakan konferensi besar lagi
di Prancis di mana semua anggota PBB mencapai persetujuan tentang pembatasan
emisi gas rumah kaca sesudah 2020.
Bulan Desember 2015 di ibu kota Prancis, Paris, berlangsung konferensi PBB
yang besar dengan memakai nama teknis COP 21. Konferensi yang menghimpun
wakil dari 195 negara ini bertujuan merumuskan suatu persetujuan baru tentang
strategi bersama di bidang perubahan iklim. Sesudah perundingan panjang dan
sulit, akhirnya dapat tercapai persetujuan yang dinilai bersejarah, yaitu "the goal
of keeping the increase in the global average temperature to well below 2C above
pre industrial levels and pursuing efforts to limit the temperature increase to 1,5°C
above industrial levels". Sebelum konferensi ini diadakan. PBB sudah
mengumpulkan rencana para anggotanya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
di masa depan. Seluruhnya ada 187 negara yang mengajukan rencana mereka
masing-masing yang secara teknis disebut intended nationally determined
contributions (INDOS). Tetapi para ahli memperhitungkan bahwa semua INDCS
ini - kalau dijumlahkan akan mengakibatkan kenaikan suhu 3° Celsius di atas
keadaan pra-industri. Tantangan besar bagi PBB dalam periode yang akan datang
adalah mencocokkan tujuan bersama (kenaikan 1.5°C saja di atas keadaan pra-
industri) dengan INDCS dari negara-negara partisipan konferensi. Konferensi
Paris memberikan perhatian juga kepada program PBB yang dikenal sebagai
Reducing deforestation and forest degradation (disingkat REDD). Dalam program
ini, beberapa negara kaya menyediakan dana bagi negara yang memiliki hutan
tropis, dengan maksud mempertahankan dan memelihara hutan tropis tersebut.
Hutan tropis dianggap sangat potensial dalam mengurangi karbondioksida.
Menurut para ahli, dalam tahun 2000-an, 22-26% dari karbondioksida yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia diserap oleh hutan tropis. Ada 60 negara yang
menyatakan kesediaannya untuk memberi dana bagi maksud tersebut. Tetapi
konferensi Paris tidak berhasil menciptakan suatu mekanisme yang cocok untuk
dengan efisien menyalurkan dan mengontrol pemakaian dana yang begitu besar.
Dilihat dari belakang, usaha PBB untuk menangani lingkungan hidup sebagai
masalah global gagal terus. Sudah dihasilkan ratusan dokumen, tapi komitmen
konkret dari negara-negara anggota PBB untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
hampir tidak ada. Perlu diakui, sebab utama adalah prioritas yang diberikan setiap
negara kepada keadaan ekonominya saat ini. Di sini dunia sungguh-sungguh
menghadapi buah simalakama. Walaupun masa depan tetap dinilai sangat penting,
tidak ada negara yang bersedia mengorbankan (sekurang-kurangnya sedikit)
keadaan ekonominya sekarang kepada masa depan lingkungan hidup yang lebih
baik. Dapat diragukan apakah konferensi Paris 2015 dalam hal ini bisa menjadi
pengecualian.

§ 3. Lingkungan hidup dan ekonomi


1. Lingkungan hidup sebagai "the commons"
Sebelumnya sudah kita lihat bahwa bisnis modern mengandalkan begitu saja
status lingkungan hidup sebagai ranah umum. Dianggapnya, di sini tidak ada
pemilik dan tidak ada kepentingan pribadi. Tetapi kita lihat juga-pengandaian ini
adalah keliru. Kekeliruan itu dapat kita mengerti dengan lebih baik, jika kita
membandingkan lingkungan hidup dengan the commons. Hal itu sering dilakukan
sejak profesor Garrett Hardin dari Universitas Harvard menulis artikelnya yang
termasyhur berjudul The tragedy of the commons The commons adalah ladang
umum yang dulu dapat ditemukan dalam banyak daerah pedesaan di Eropa dan
dimanfaatkan secara bersama-sama oleh semua penduduknya (jadi, pengertian ini
mirip dengan "tanah hak ulayar" di beberapa daerah di Indonesia). Sering kali the
commons adalah padang rumput yang dipakai oleh semua penduduk kampung
sebagai tempat pengangonan bagi ternaknya. Dalam zaman modern, dengan
bertambahnya jumlah penduduk, sistem ini tidak bisa dipertahankan lagi dan
ladang umum itu diprivatisasi dengan menjualnya kepada penduduk perorangan.
Bagi masyarakat bersangkutan kejadian ini merupakan suatu perubahan sosial
ekonomi yang besar, antara lain karena menjadi awal mula pemilikan tanah dalam
kuantitas besar oleh orang kaya (the landlords). Proses dihapuskannya the
commons itu mulai di Inggris dalam abad ke-12 dan diberi nama enclosure
(pemagaran). Kemudian pemagaran dipercepat dalam periode 1450-1640 dan
1750-1860. Di Inggris pada akhir abad ke-19 proses privatisasi tanah ini praktis
sudah rampung, tetapi di negara seperti Polandia dan Cekoslovakia baru dapat
diselesaikan sesudah Perang Dunia 1.
Menurut Hardin, masalah lingkungan hidup dan masalah kependudukan dapat
dibandingkan dengan proses menghilangnya the commons. Di sini tidak ada suatu
solusi teknis, seperti dalam masalah the commons pun tidak ada jalan keluar
teknis, misalnya memakai pupuk buatan supaya tersedia rumput lebih banyak.
Solusi teknis hanya bersifat sementara dan tidak menangani masalahnya pada
akarnya. Jalan keluar yang efektif terletak di bidang moral, yakni dengan
membatasi kebebasan. Solusi ini memang bersifat moral karena pembatasan
kebebasan harus dilaksanakan dengan adil. Pembatasan kebebasan itu merupakan
suatu traged), karena kepentingan pribadi harus dikorbankan kepada kepentingan
umum. Tetapi tragedi ini tidak bisa dihindarkan. Membiarkan kebebasan dari
semua orang justru akan mengakibatkan kehancuran bagi semua orang. "Freedom
in a commons brings ruin to all", kata Hardin. Jika semua orang bebas untuk
menambah ternaknya tanpa batas, semua akan mengalami kekurangan.
2. Lingkungan hidup tidak lagi eksternalitas
Dengan demikian serentak juga harus ditinggalkan pengandaian kedua tentang
lingkungan hidup dalam bisnis modern, yakni bahwa sumber-sumber daya alam
itu tak terbatas. Mau tidak mau, perlu kita akui, lingkungan hidup dan komponen-
komponen di dalamnya tetap terbatas, walaupun barangkali tersedia dalam
kuantitas besar. Sumber daya alam pun ditandai kelangkaan. Jika para peminat
berjumlah besar, maka air, udara, dan komponen-komponen lingkungan hidup
lain menjadi barang langka dan karena itu tidak bisa dipakai lagi dengan gratis.
Akibatnya, faktor lingkungan hidup pun termasuk urusan ekonomi, karena
ekonomi adalah usaha untuk memanfaatkan barang yang langka dengan cara
paling efisien, sehingga bisa dinikmati oleh semua peminat. Kini environmental
economics sudah diterima sebagai suatu cabang penting dari ilmu ekonomi.
Karena sumber daya alam pun merupakan barang langka dan harus diberi suatu
harga ekonomis, komponen-komponen lingkungan hidup itu tidak lagi merupakan
eksternalitas untuk ekonomi. Para ekonom sudah lama berbicara tentang
externalities. Maksudnya adalah faktor-faktor yang sebenarnya bersifat ekonomis,
tapi tetap tinggal di luar perhitungan ekonomis.
3. Pembangunan berkelanjutan
Ekonomi yang sehat adalah ekonomi yang tumbuh. Predikat "baik" dinilai hanya
pantas diberikan kepada ekonomi di mana Produk Domestik Bruto (PDB) tahun
ini lebih besar dari tahun sebelumnya. Makin besar pertumbuhan makin schat pula
kondisi ekonomi tersebut. Stagnasi merupakan gejala serius yang tidak boleh
diabaikan. Bagi kebanyakan ahli ekonomi, perlunya pertumbuhan adalah suatu
dogma yang tak terguncangkan. Pada tahun 1972 the Club of Rome menerbitkan
buku Limits to Growth yang dengan menggunakan model-model komputer
membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi terus menerus tidak mungkin
dicocokkan dengan keadaan terbatas dari sumber daya alam. Dalam hal ini
mereka terutama menyoroti sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui dalam
waktu singkat, seperti minyak bumi, logam, dan batu bara. Tetapi mereka tidak
mengabaikan faktor-faktor lain seperti jumlah penduduk dan polusi. Laporan dari
Klub Roma ini banyak berjasa dalam memicu diskusi tentang perlunya membatasi
pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya semakin disadari bahwa penghabisan sumber
daya alam barangkali masih dapat diimbangi dengan ditemukannya teknologi
baru. Karena itu penghabisan sumber daya alam tidak merupakan masalah hidup
atau mati. Masalah yang lebih mendesak adalah kerusakan lingkungan hidup yang
sangat memprihatinkan. Yang secara mutlak harus dibatasi adalah tekanan
semakin besar pada sistem-sistem ekologis karena efek-efek negatif dari kegiatan
manusia. Kapasitas alam untuk menampung tekanan dari polusi udara dan air,
degradasi tanah, dan sebagainya tidak dapat diimbangi dengan teknologi baru.
Kita ingat saja masalah konkret seperti lubang lapisan ozon, efek rumah kaca, dan
penggurunan. Terutama karena faktor itulah pembatasan pertumbuhan menjadi
mutlak perlu. Ekonomi harus memikirkan kemungkinan zero growth,
“pertumbuhan nol”, atau bukan pertumbuhan sama sekali. Tetapi kalau pada suatu
hari “pertumbuhan nol” diterima sebagai kebijakan ekonomi, maka prinsip ini
tidak mungkin diterapkan di mana pun dengan cara yang sama. Ekonomi negara-
negara berkembang tidak bisa dilarang untuk tumbuh lagi.
Pengertian “pembangunan berkelanjutan” dapat memperdamaikan beberapa
pandangan tentang hubungan antara ekonomi dan lingkungan hidup yang selama
ini tampak bertentangan, sehingga sulit dijembatani. Pertentangan a yang
mendukung pertumbuhan ekonomi dan mereka yang menolaknya dapat
diperdamaikan, karena kalau kita menyetujui prinsip pembangunan berkelanjutan,
pertumbuhan tetap dimungkinkan, asalkan untuk masa depan terbuka prospek
ekonomi yang berkualitas sama. Pertentangan antara mereka yang
menomorsatukan lingkungan hidup (the environmentalists) dan mereka yang
menomorsatukan ekonomi berdasarkan teknologi maju (the industrialists) dapat
diperdamaikan juga dengan wawasan “pembangunan berkelanjutan”, sehingga
yang satu tidak perlu dikorbankan kepada yang lain.
§ 4. Hubungan manusia dengan alam
Salah satu ciri khas dari sikap manusia modern adalah usahanya untuk menguasai
dan menaklukkan alam. Alam dipandang bagaikan binatang buas yang perlu
dijinakkan oleh manusia. Tujuan itu tercapai dengan bantuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ilmu pengetahuan baru yang mulai berkembang dalam abad ke-16
dimengerti sebagai kesempatan istimewa untuk menguasai alam demi kemajuan
umat manusia. Filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626), salah seorang pemikir
pertama yang merefleksikan implikasi-implikasi dari ilmu pengetahuan baru,
sudah menekankan: knowledge is power. Dalam bukunya Novum Organum
(1620) ia menegaskan bahwa ilmu pengetahuan baru akan membawakan
“perbaikan kondisi manusia dan perluasan kekuasaannya atas alam”. Filsuf
Prancis, René Descartes (1596-1650), dalam buku kecilnya, Ulasan tentang
metode (1637), mengungkapkan juga pandangan optimistisnya bahwa dengan
mengikuti metode dari ilmu pengetahuan baru “kita dapat menjadi penguasa dan
pemilik alam” (maîtres et possesseurs de la nature). Ilmu pengetahuan modern
untuk selanjutnya selalu meneruskan proyek awal itu, yakni mau menguasai dan
memanfaatkan alam. Manusia dilihat menurut oposisinya dengan alam. Manusia
di pihak satu dan alam di pihak lain, yang kemudian diolah, dikerjakan, dan
dimanfaatkan sesuai dengan tujuan manusia.
Cara mendekati alam ini dapat disebut sikap teknokratis. Berkat cara kerja
teknokratisnya manusia modern memang berhasil memperoleh banyak sekali
manfaat. Pendekatan teknokratis terhadap alam tidak membawa berkat saja, tetapi
membawa juga banyak faktor negatif yang tampak dengan jelas dala masa krisis
lingkungan ini. Alam hanya dilihat sebagai instrumen saja. Alam didekati dengan
kekerasan destruktif, dibongkar, digali, dirusak hanya untuk memperoleh yang
dicari. Hutan ditebang untuk mendapat kayunya. Tempat lain dieksploitasi untuk
mengambil batu bara, timah, atau bahan lain.Kerusakan lingkungan yang dapat
disaksikan di banyak tempat maupun kerusakan yang tidak tampak dengan kasat
mata (seperti lubang lapisan ozon) sebagian besar disebabkan oleh ulah
teknokratis manusia dalam usahanya mencari untung ekonomis. Sekarang disadari
bahwa kita harus meninjau kembali hubungan manusia dengan alam. Manusia
tidak terpisah dari alam, apalagi bertentangan dengan alam, ia termasuk alam itu
sendiri seperti setiap makhluk hidup  lain. Pada dasarnya manusia adalah sebagian
alam. Persatuannya dengan alam itu tidak pernah boleh dilupakan. Pandangan
modern tentang alam adalah antroposentris, karena menempatkan manusia dalam
pusatnya. Pandangan baru yang kita butuhkan bila kita ingin mengatasi krisis
lingkungan, harus bersifat ekosentris, karena menempatkan alam dalam pusatnya.
Aliran dalam filsafat lingkungan yang dengan paling radikal mengemukakan
pandangan ini adalah deep ecology. Gagasan deep ecology ini untuk pertama kali
dikemukakan oleh filsuf Norwegia, Arne Naess, pada suatu kongres filsafat dan
kemudian dipublikasikan dalam bentuk artikel.(13) Deep ecology sangat
menekankan kesatuan alam. Semua makhluk hidup, termasuk manusia, tercantum
dalam alam menurut relasi-relasi tertentu. Setiap makhluk hidup menjadi
sebagaimana adanya, karena interaksi dengan semua makhluk hidup lain dan
dengan lingkungannya. Dari situ disimpulkan bahwa semua makhluk mempunyai
nilai tersendiri, karena yang satu tidak mungkin hidup tanpa yang lain. Hal itu
kadang-kadang disebut biospherical egalitarianism, yang tentu menjadi
kontroversial, bila dimaksud bahwa semua makhluk hidup mempunyai nilai yang
sama.
Deep ecology harus dibedakan dari shallow ecology, ekologi dangkal. Ekologi
dangkal itu tidak pernah sampai pada akar masalah-masalah lingkungan hidup. Ia
akan berusaha melestarikan lingkungan, supaya bermanfaat terus untuk manusia.
Dengan menekankan nilai intrinsik dari alam, ekologi-dalam sudah menginjak
radikal wilayah etika. Dapat dimengerti juga, kalau ekologi-dalam tidak
membatasi diri pada teori saja, tapi mengajak para peminat untuk melibatkan diri
dalam aksi yang kadang-kadang cukup radikal.
Daftar 8 prinsip ini bisa dilihat sebagai pandangan yang rata-rata dianut oleh
pendukung ekologi-dalam.
1. Kesejahteraan dan keadaan baik dari kehidupan manusiawi maupun
kehidupan bukan-manusiawi di bumi mempunyai nilai intrinsik. Nilai-nilai
ini tak tergantung dari bermanfaat tidaknya dunia bukan-manusiawi untuk
tujuan manusia.
2. Kekayaan dan keanekaan bentuk-bentuk hidup menyumbangkan kepada
terwujudnya nilai-nilai ini dan merupakan nilai-nilai sendiri.
3. Manusia tidak berhak mengurangi kekayaan dan keanekaan ini, kecuali
untuk memenuhi kebutuhan vitalnya.
4. Keadaan baik dari kehidupan dan kebudayaan manusia dapat dicocokkan
dengan dikuranginya secara substansial jumlah penduduk. Keadaan baik
kehidupan bukan-manusiawi memerlukan dikuranginya jumlah penduduk
itu.
5. Campur tangan manusia dengan dunia bukan-manusiawi kini terlalu besar,
dan situasi memburuk dengan pesat.
6. Karena itu kebijakan umum harus berubah. Kebijakan itu menyangkut
struktur-struktur dasar di bidang ekonomis, teknologis, dan ideologis.
Keadaan yang timbul sebagai hasilnya akan berbeda secara mendalam
dengan struktur struktur sekarang.
7. Perubahan ideologis adalah terutama menghargai kualitas kehidupan
(artinya, manusia dapat tinggal dalam situasi-situasi yang bernilai
inheren), dan bukan berpegang pada standar kehidupan yang semakin
tinggi. Akan timbul kesadaran mendalam akan perbedaan antara big [=
kuantitas] dan great [= kualitas).
8. Mereka yang menyetujui butir-butir sebelumnya berkewajiban secara
langsung dan tidak langsung untuk berusaha mengadakan perubahan-
perubahan yang perlu.

Banyak pandangan ekologi-dalam itu pantas dihargai secara positif. Menurut


hemat kami, manusia memang bisa dianggap sebagai sebagian alam. Pandangan
ekosentris adalah benar, sejauh manusia tidak mungkin dilepaskan dari alam.
Perlu diakui pula bahwa alam mempunyai nilai intrinsik, yang tidak tergantung
pada manfaatnya untuk manusia. Dan gagasan ini pasti punya konsekuensi besar
untuk etika. Khususnya etika bisnis harus memikirkan kedudukan alam sebagai
stakeholder, di samping stakeholders lain yang sudah disebut sebelumnya.
Tetapi beberapa tendensi dalam ekologi-dalam itu rupanya mengarah terlalu jauh.
Yang dimaksud terutama tempat manusia dalam alam. Pertama, seperti sudah
digarisbawahi sebelumnya, pendekatan teknokratis membawa banyak manfaat
yang tidak perlu dan bahkan tidak bisa dibuang lagi. Yang harus ditolak adalah
sifat berat sebelahnya yang menjadi destruktif. Dengan tegas kita menentang
tendensi sikap teknokratis untuk merusak alam dan tidak memeliharanya. Kedua,
jika kita menerima ekosentrisme sebagai benar, tidak boleh kita jatuh dalam
ekstrem lain, yakni "ekofasisme", di mana manusia sebagai individu dikorbankan
kepada alam sebagai keseluruhan. Walaupun ekosentrisme memang merupakan
suatu pandangan holistik yang sah, kita tidak dapat membiarkan martabat khusus
manusia tergilas oleh keagungan alam. Kesatuannya dengan alam tidak
menghindarkan bahwa manusia menduduki tempat istimewa dalam alam. Hanya
dalam diri manusia, alam menjadi sadar. Hanya manusia dapat mengatakan "aku"
dan dengan demikian dia menjadi satu-satunya bagian alam yang berbicara dan
berpikir. Karena itu hanya manusia kita sebut "persona", sebab mempunyai
martabat khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Biospherical
egalitarianism tidak bisa dibenarkan, bila maksudnya adalah persamaan martabat
semua makhluk hidup. Namun demikian, dengan mengenakan martabat istimewa
kepada pribadi manusia, martabat alam tidak dikurangi sedikit pun, tetapi justru
ditingkatkan. Karena itu pula manusia menjadi satu-satunya makhluk hidup yang
mempunyai tanggung jawab moral. Melalui manusia, alam bertanggung jawab
atas nasibnya sendiri.
 
§ 5. Mencari dasar etika untuk tanggung jawab terhadap lingkungan hidup
Di sini kita mencari dasar etika untuk tanggung jawab manusia itu. Seperti sering
terjadi, dasar etika itu disajikan oleh beberapa pendekatan yang berbeda.
1. Hak dan deontologi
Dalam sebuah artikel terkenal yang untuk pertama kali terbit pada 1974, William
T. Blackstone mengajukan pikiran bahwa setiap manusia berhak atas lingkungan
berkualitas yang memungkinkan dia untuk hidup dengan baik. la menyebutnya the
right to a livable environment. Mengapa manusia berhak atas lingkungan yang
berkualitas? Karena ia mempunyai hak moral atas segala sesuatu yang perlu untuk
hidup dengan pantas sebagai manusia, artinya yang memungkinkan dia memenuhi
kesanggupannya sebagai makhluk yang rasional dan bebas.
2. Efek rumah kaca
Menurut para ahli, suatu gejala yang sangat mengkhawatirkan adalah naiknya
suhu permukaan bumi. Hal itu disebabkan oleh greenhouse effect atau efek rumah
kaca. Panas yang diterima bumi karena penyinaran matahari, terhalang oleh
partikel partikel gas yang dilemparkan dalam atmosfer oleh ulah manusia,
sehingga tidak bisa keluar. Salah satu sebab utama adalah karbondioksida (CO2).
Karbondioksida ini terlepas dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara
dan produk produk minyak bumi. Jadi, industri dan kendaraan bermotor
memainkan peranan besar dalam mengakibatkan keadaan ini. Menurut perkiraan
para ahli, setiap tahun dilemparkan lima milyar ton karbondioksida ke dalam
atmosfer. Sebagai akibat pemanasan bumi, es dan salju di kutub utara dan selatan
mencair dan permukaan laut akan naik. Jika perkembangan ini berlangsung terus,
negara-negara yang terletak di tempat rendah seperti Negeri Belanda dan
Bangladesh akan hilang dari muka bumi dan kota-kota yang dibangun di pinggir
laut akan tergenang air laut, misalnya Jakarta Utara. Kenaikan suhu bumi bisa
menyebabkan juga perubahan iklim sedunia, dengan akibat kekeringan, banjir,
taufan dan bencana alam lainnya.
3. Perusakan lapisan ozon
Bumi dikelilingi lapisan ozon (O3) dalam atmosfer yang mempunyai fungsi
sangat penting, yaitu melindungi kehidupan terhadap sinar ultraviolet dari
matahari. Konsentrasi ozon itu paling besar pada ketinggian kira-kira 20-30
kilometer di atas permukaan bumi. Rupanya 80 persen penyinaran ultraviolet dari
matahari disaring olehnya. Tetapi pengukuran melalui satelit menunjukkan
semakin menipisnya lapisan ozon itu. Sejak akhir 1970-an, terbentuk "lubang"
ozon di atas Antartika (kutub selatan) pada saat kawasan itu memasuki musim
semi (September-Oktober). Tahun 1997 ilmuwan Selandia Baru melaporkan
lubang ozon itu sudah mencapai luasan 25 juta kilometer persegi, 60 persen lebih
besar dari hasil pengukuran tahun 1980. Perusakan lapisan ozon itu diakibatkan
oleh beberapa sebab yang berbeda. Tetapi menurut para ahli, penyebab paling
berpengaruh adalah pelepasan bahan CFC (klorofluorokarbon) ke dalam udara.
CFC adalah bahan kimia yang banyak dipakai dalam kaleng penyemprotan
aerosol, lemari es, dan alat AC (penyejuk), dan juga dalam "karet" busa.
Radiasi ultraviolet dari matahari yang karena kerusakan lapisan ozon bisa
mencapai permukaan bumi, mempunyai pengaruh sangat negatif atas kesehatan
manusia dan kehidupan pada umumnya. Antara lain radiasi itu bisa
mengakibatkan penyakit kanker kulit, penyakit mata katarak, penurunan sistem
kekebalan tubuh, kerusakan bentuk-bentuk hidup dalam laut dan tanaman di darat.
4. Hujan asam
Sejak beberapa dekade terakhir ini di kawasan industri padat seperti Kanada dan
bagian utara dari Amerika Serikat, Jerman Barat, dan Negeri Belanda terjadi hujan
asam (acid rain). Asam dalam emisi industri bergabung dengan air hujan dan
mencemari daerah yang luas. Hujan asam merusak hutan dan pohon-pohon lain,
mencemari air danau, merusak gedung-gedung, dan sebagainya. Sekitar 1988
dilaporkan bahwa di Kanada 14.000 danau sudah mati, dalam arti tidak
mengandung lagi bentuk-bentuk kehidupan, dan 40.000 danau lain sedang dalam
proses ke arah yang sama. Di propinsi Quebec (Kanada) 14 persen dari pohon
sugar maple telah mati. Bagi manusia, hujan asam bisa mengakibatkan gangguan
saluran pernapasan dan paru-paru.
5. Deforestasi dan penggurunan
Kayu adalah barang yang sangat laris dalam kalangan bisnis, dan teknologi
modern menyediakan alat-alat untuk menebang pohon dengan cepat dan efisien.
Konsekuensi logis adalah hutan semakin cepat berkurang di mana-mana, termasuk
hutan tropis yang menghasilkan kayu berkualitas tinggi. Hutan dibabat juga untuk
memperoleh lahan pertanian baru. Hal itu dilakukan oleh penduduk setempat yang
bertambah banyak jumlahnya atau oleh perusahaan nasional dan internasional
yang ingin membuka lahan baru untuk peternakan atau perkebunan. Penebangan
hutan (deforestation) besar-besaran itu mempunyai dampak penting atas
lingkungan hidup. Salah satu fungsi hutan adalah menyerap karbondioksida yang
disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil (industri, kendaraan bermotor),
suatu penyebab penting terjadinya efek rumah kaca. Kalau tidak secara sistematis
hutan yang ditebang itu diganti dengan pohon-pohon baru, bisa timbul erosi pada
skala besar.
6. Keanekaan hayati
Yang dimaksud dengan "keanekaan hayati" (biodiversity) adalah jenis jenis
kehidupan (species) yang ada di bumi. Kekayaan alam sebagian besar ditentukan.
oleh banyaknya spesies. Keanekaan hayati itu sangat penting untuk segala aspekt
kehidupan manusia, seperti makanan, obat-obatan, tanaman hias, dan banyak lain
lagi. Spesies kehidupan yang saat ini belum dimanfaatkan, mungkin akan berguna
di masa depan. Tetapi spesies yang punah sekarang, akan hilang, lenyap dari
muka bumi untuk selamanya. Salah satu akibat besar dari kerusakan lingkungan
adalah kepunahan semakin banyak spesies hidup. Di sini penggunaan pestisida
dan herbisida memainkan peranan besar. Menurut perkiraan para ahli, kira-kira 7
persen dari jumlah spesies di daerah non-tropis kini telah punah dan di daerah
tropis 1 persen. Tetapi dengan penebangan banyak hutan tropis akhir-akhir ini,
angka-angka ini cepat bisa berubah menjadi lebih buruk lagi.

§ 6. Masalah lingkungan hidup sebagai tantangan global


Dimensi global dari krisis lingkungan hidup, sekarang tidak disangkal lagi.
Selama dekade-dekade terakhir sudah diambil berbagai inisiatif membahas dan
menangani masalah-masalah lingkungan pada taraf internasional. Pada 5 Juni
1972 dibuka The United Nations Conference on the Hamer Extrement di
Stockholm, ibu kota Swedia. Pada kesempatan itu tanggal 5 Juni ditetapkan
sebagai "Hari Lingkungan Hidup Sedunia". Dua puluh tahun kemudian diadakan
The United Nations Conference on Environment and Developmena di Rio de
Janeiro (3-14 Juni 1992), yang juga disebut The Earth Summit, Pertemuan Puncak
Bumi", di mana diakui "the integral and interdependent nature of the Earth, our
home”. Konferensi PBB yang untuk pertama kali dalam sejarah berhasil
mengumpulkan kepala negara dari 110 negara ini memberi kontribusi besar dalam
meningkatkan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup dan sekaligus juga
mengeluarkan lima dokumen yang dengan persetujuan semua negara anggota
PBB harus mengambill tindakan konkret untuk melindungi lingkungan hidup.
Sebelumnya sudah pernah diadakan Protocol Montreal (1988) yang mau
membatasi penggunaan CFC dan dalam hal ini cukup berhasil karena tersedianya
bahan alternatif. Sebagai tindak lanjut Konferensi Rio de Janeiro ini pada tahun
1997 disetujui Protokol Kyoto yang bermaksud membatasi emisi gas rumah kaca
seperti karbondioksida (CO2) dengan menentukan kuota yang boleh dikeluarkan
oleh setiap negara partisipan. Tujuannya adalah bahwa sekitar tahun 2010 emisi
gas rumah kaca itu harus dikurangi 5 persen, dibandingkan dengan tahun 1990.
§ 7. Lingkungan hidup dan ekonomi
1. Lingkungan hidup sebagai "the commons"
Sebelumnya sudah kita lihat bahwa bisnis modern mengandaikan begitu saja
status lingkungan hidup sebagai ranah umum. Dianggapnya, di sini tidak ada
pemilik dan tidak ada kepentingan pribadi. Tetapi kita lihat juga-pengandaian ini
adalah keliru, Kekeliruan itu dapat kita mengerti dengan lebih baik, jika kita
membandingkan lingkungan hidup dengan the commons. Hal itu sering dilakukan
sejak profesor Garrett Hardin dari Universitas Harvard menulis artikelnya yang
termasyhur berjudul "The tragedy of the commons "The commons adalah ladang
umum yang dulu dapat ditemukan dalam banyak daerah pedesaan di Eropa dan
dimanfaatkan secara bersama-sama oleh semua penduduknya (jadi, pengertian ini
mirip dengan "tanah hak ulayat" di beberapa daerah di Indonesia). Sering kali the
commons adalah padang rumput yang dipakai oleh semua penduduk kampung
sebagai tempat pengangonan bagi ternaknya. Dalam zaman modern, dengan
bertambahnya jumlah penduduk, sistem ini tidak bisa dipertahankan lagi dan
ladang umum itu diprivatisasi dengan menjualnya kepada penduduk perorangan.
Bagi masyarakat bersangkutan kejadian ini merupakan suatu perubahan sosial
ekonomi yang besar, antara lain karena menjadi awal mula pemilikan tanah dalam
kuantitas besar oleh orang kaya (the landlords). Proses dihapuskannya the
commons itu mulai di Inggris dalam abad ke-12 dan diberi nama enclosure
(pemagaran). Kemudian pemagaran dipercepat dalam periode 1450-1640 dan
1750-1860. Di Inggris pada akhir abad ke-19 proses privatisasi tanah ini praktis
sudah rampung, tetapi di negara seperti Polandia dan Cekoslovakia baru dapat
diselesaikan sesudah Perang Dunia 1.
Menurut Hardin, masalah lingkungan hidup dan masalah kependudukan dapat
dibandingkan dengan proses menghilangnya the commons. Di sini tidak ada suatu
solusi teknis, seperti dalam masalah the commons pun tidak ada jalan keluar
teknis, misalnya memakai pupuk buatan supaya tersedia rumput lebih banyak.
Solusi teknis hanya bersifat sementara dan tidak menangani masalahnya pada
akarnya. Jalan keluar yang efektif terletak di bidang moral, yakni dengan
membatasi kebebasan. Solusi ini memang bersifat moral karena pembatasan
kebebasan harus dilaksanakan dengan adil. Pembatasan kebebasan itu merupakan
suatu tragedi, karena kepentingan pribadi harus dikorbankan kepada kepentingan
umum. Tetapi tragedi ini tidak bisa dihindarkan. Membiarkan kebebasan dari
semua orang justru akan mengakibatkan kehancuran bagi semua orang. "Freedom
in a commons brings ruin to all", kata Hardin. Jika semua orang bebas untuk
menambah ternaknya tanpa batas, semua akan mengalami kekurangan.
Tentu saja, dalam konteks lingkungan hidup tidak mungkin dipilih privatisasi
sebagai jalan keluar bagi kesulitannya, seperti dulu dilakukan dengan padang
rumput umum. Namun demikian, pembatasan kebebasan di sini pun dapat
dibenarkan secara moral. Jika ikan paus boleh saja diburu dengan bebas dalam
perairan internasional - kini lautan masih merupakan semacam commons binatang
ini tidak lama lagi akan punah untuk selamanya. Hal yang sama berlaku tentang
perikanan pada umumnya. Penggunaan air, udara, dan sumber daya alam lain pun
harus dibatasi, supaya semua orang bisa hidup dengan pantas dan sehat. The
tragedy of the commons dapat dipandang sebagai kebalikannya dari the invisible
hand menurut Adam Smith. Smith berpendapat bahwa kemakmuran umum
dengan sendirinya akan terwujud, jika semua orang mengejar kepentingan-diri di
pasar bebas. Tetapi jika semua orang mengejar kepentingan-diri masing-masing
dalam konteks lingkungan hidup, tidak akan dihasilkan kemakmuran umum,
melainkan justru kehancuran bersama.
2. Lingkungan hidup tidak lagi eksternalitas
Dengan demikian serentak juga harus ditinggalkan pengandaian kedua tentang
lingkungan hidup dalam bisnis modern, yakni bahwa sumber-sumber daya alam
itu tak terbatas. Mau tidak mau, perlu kita akui, lingkungan hidup dan komponen-
komponen di dalamnya tetap terbatas, walaupun barangkali tersedia dalam
kuantitas besar. Sumber daya alam pun ditandai kelangkaan. Jika para peminat
berjumlah besar, maka air, udara, dan komponen-komponen lingkungan hidup
lain menjadi barang langka dan karena itu tidak bisa dipakai lagi dengan gratis.
Akibatnya, faktor lingkungan hidup pun termasuk urusan ekonomi, karena
ekonomi adalah usaha untuk memanfaatkan barang yang langka dengan cara
paling efisien, sehingga bisa dinikmati oleh semua peminat. Kini environmental
economics sudah diterima sebagai suatu cabang penting dari ilmu ekonomi.
Karena sumber daya alam pun merupakan barang langka dan harus diberi suatu
harga ekonomis, komponen-komponen lingkungan hidup itu tidak lagi merupakan
eksternalitas untuk ekonomi. Para ekonom sudah lama berbicara tentang
externalities. Maksudnya adalah faktor-faktor yang sebenarnya bersifat ekonomis,
tapi tetap tinggal di luar perhitungan ekonomis Eksternalitas seperti itu
mengakibatkan pasar menjadi tidak sempurna. Dulu lingkungan hidup pun
diperlakukan sebagai eksternalitas, tapi sekarang kebiasaan lama ini tidak lagi
dapat dipertahankan. Suatu contoh bisa menjelaskan maksudnya. Jika pabrik
kertas membuang limbahnya ke dalam sungai, cara menangani limbah ini tentu
paling menguntungkan bagi perusahaan itu. Mengangkut bahan beracun itu ke
tempat lain atau membangun suatu instalasi pengolahan limbah pasti akan
menambahkan biaya. Dengan membuang limbah begitu saja, faktor biaya itu tidak
perlu diperhitungkan dalam harga kertas. Tetapi faktor ekonomis itu tetap
berperanan, hanya dibebankan pada pihak lain. Misalnya, jumlah ikan dalam
sungai akan berkurang, sehingga harga ikan di pasar setempat akan naik,
Demikian juga air tidak bisa dipakai lagi untuk mencuci pakaian, sehingga
pencucian itu harus dilakukan di tempat lain dan akan menambah biaya bagi
rumah tangga bersangkutan. Jadi, oleh perusahaan kertas itu limbah diperlakukan
sebagai eksternalitas, tetapi untuk pihak lain tetap ada efek ekonomis. Sekarang
lebih mudah disetujui bahwa efek atas lingkungan hidup itu tidak lagi boleh
diperlakukan sebagai eksternalitas ekonomis. Bukan saja dari sudut moral, tetapi
dari sudut ekonomis pun hal seperti itu tidak sehat. Namun demikian, belum
disetujui bagaimana sebaiknya faktor lingkungan diperhitungkan secara
ekonomis.
3. Pembangunan berkelanjutan
Jika krisis lingkungan dipertimbangkan dengan serius, bagi ekonomi masih ada
suatu konsekuensi lain yang sulit dihindarkan. Ekonomi selalu menekankan
perlunya pertumbuhan. Ekonomi yang sehat adalah ekonomi yang tumbuh.
Predikat "baik" dinilai hanya pantas diberikan kepada ekonomi di mana Produk
Domestik Bruto (PDB) tahun ini lebih besar dari tahun sebelumnya. Makin besar
pertumbuhan makin sehat pula kondisi ekonomi tersebut. Stagnasi merupakan
gejala serius yang tidak boleh diabaikan. Bagi kebanyakan ahli ekonomi, perlunya
pertumbuhan adalah suatu dogma yang tak terguncangkan.
Setelah dihadapi dengan masalah lingkungan, kini bagi banyak orang menjadi
pertanyaan apakah dogma ekonomi ini masih dapat dipertahankan. Yang untuk
pertama kali mempersoalkan pertumbuhan ekonomi terus-menerus adalah
kelompok cendekiawan yang dikenal dengan nama the Club of Rome. Pada tahun
1972 mereka menerbitkan buku Limits to Growth yang dengan menggunakan
model-model komputer membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi terus
menerus tidak mungkin dicocokkan dengan keadaan terbatas dari sumber daya
alam. Dalam hal ini mereka terutama menyoroti sumber daya alam yang tidak bisa
diperbaharui dalam waktu singkat, seperti minyak bumi, logam, dan batu bara.
Tetapi mereka tidak mengabaikan faktor-faktor lain seperti jumlah penduduk dan
polusi. Laporan dari Klub Roma ini banyak berjasa dalam memicu diskusi tentang
perlunya membatasi pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya semakin disadari bahwa
penghabisan sumber daya alam barangkali masih dapat diimbangi dengan
ditemukannya teknologi baru. Karena itu penghabisan sumber daya alam tidak
merupakan masalah hidup atau mati. Masalah yang lebih mendesak adalah
kerusakan lingkungan hidup yang sangat memprihatinkan. Yang secara mutlak
harus dibatasi adalah tekanan semakin besar pada sistem-sistem ekologis karena
efek-efek negatif dari kegiatan manusia.
Kapasitas alam untuk menampung tekanan dari polusi udara dan air, degradasi
tanah, dan sebagainya tidak dapat diimbangi dengan teknologi baru. Kita ingat
saja masalah konkret seperti lubang lapisan ozon efek rumah kaca, dan
penggurunan. Terutama karena faktor itulah pembatatan pertumbuhan menjadi
mutlak perlu. Ekonomi harus memikirkan kemungkinan zero growth,
"pertumbuhan nol", atau bukan pertumbuhan sama sekali. Tetapi kalau pada suatu
hari "pertumbuhan nol" diterima sebagai kebijakan ekonomi, maka prinsip ini
tidak mungkin diterapkan di mana pun dengan cara yang sama. Ekonomi negara-
negara berkembang tidak bisa dilarang untuk tumbuh lagi.
Sebuah langkah penting dalam refleksi tentang konsekuensi masalah lingkungan
hidup untuk ekonomi adalah laporan dari World Commission on Enironment and
Development (WCED), yang diberi judul Our Common Future, "Masa depan kita
bersama" (1987). Laporan ini disebut juga The Brundtland Apar, karena ketua
komisi adalah Gro Harlem Brundtland, wanita Norwegia yang pernah menjabat
sebagai perdana menteri di negerinya. Melalui laporan Brundtland ini
dipopulerkan pengertian sustainable development, "pembangunan yg
berkelanjutan". Rupanya WCED tidak untuk pertama kali menemukan ilah ini,
tetapi melalui laporan mereka pengertian ini menjadi salah satu tema terpenting
dalam upaya memikirkan masalah lingkungan hidup. WCED sendiri endefinisikan
pembangunan berkelanjutan sebagai "pembangunan yang Remenuhi kebutuhan-
kebutuhan dari generasi sekarang, tanpa membahayakan kesanggupan generasi-
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tidak dipakai secara
eksplisit. Tetapi maksudnya adalah pembangunan ekonomi selalu harus
memanfaatkan sumber daya alam demikian rupa sehingga generasi generasi
sesudah kita dapat melanjutkan pembangunan yang kita jalankan sekarang. Kita
harus memanfaatkan sumber daya alam dalam ekonomi kita, sehingga umat
manusia di masa depan dapat menjalankan ekonomi yang sama mutunya.
Implikasinya adalah bahwa setiap generasi harus mewariskan lingkungan hidup
yang sehat dan utuh dengan sumber daya alam secukupnya kepada generasi
berikutnya.
Pengertian "pembangunan berkelanjutan" dapat memperdamaikan beberapa
pandangan tentang hubungan antara ekonomi dan lingkungan hidup yang ulama
ini tampak bertentangan, sehingga sulit dijembatani. Pertentangan antara mereka
yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan mereka yang menolaknya dapat
diperdamaikan, karena kalau kita menyetujui prinsip pembangunan berkelanjutan
pertumbuhan tetap dimungkinkan, asalkan untuk masa depan terbuka prospek
ekonomi yang berkualitas sama. Pertentangan antara mereka yang menomorsatuan
lingkungan hidup (the environmentalists) dan mereka yang menomorsatukan
ekonomi berdasarkan teknologi maju (the industrialists) dapat diperdamaikan juga
dengan wawasan "pembangunan berkelanjutan", sehingga yang satu tidak perla
dikorbankan kepada yang lain.

§ 8. Hubungan manusia dengan alam


Masalah lingkungan hidup menimbulkan suatu cabang filsafat baru yang
berkembang dengan cepat, yaitu filsafat lingkungan hidup. Di sini dibuka
beberapa perspektif yang sama sekali baru, karena dalam refleksi filosofi selama
ini belum pernah terpikirkan. Beberapa unsur dari filsafat lingkungan hidup perlu
dibahas, sebab berkaitan dengan etika lingkungan hidup. Yang paling penting
adalah pergeseran paradigma dalam menyoroti hubungan manusia dengan alam.
Salah satu ciri khas dari sikap manusia adalah usahanya untuk menguasai dan
menaklukan alam. Alam dipandang bagaikan binatang buas yang perlu dijinakkan
oleh manusia. Tujuan ini tercapai dengan bantuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ilmu pengetahuan baru yang mulai berkembang dalam abad ke-16
dimengerti sebagai kesempatan istimewa untuk menguasai alam demi
kelangsungan hidup manusia. Filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1626), salah
seorang pemikir pertama yang merefleksikan implikasi-implikasi dari ilmu
pengetahuan baru, sudah menekankan: knowledgee is power. Dalam bukunya
Novum Organum (1620) ia menegaskan bahwa ilmu pengetahuan baru akan
membawakan “perbaikan kondisi manusia dan perluasan kekuasaannya atas
alam”. Ilmu pengetahuan modern untuk selanjutnya selalu meneruskan proyek
awal itu, yakni mau menguasai dan memanfaatkan alam. Manusia dilihat dari
oposisinya dengan alam. Manusia di pihak satu dan alam di pihak lain, yang
kemudia diolah, dikerjakan, dan dimanfaakan sesuai dengan tujuan manusia.
Cara mendekati alam ini dapat disebut teknokratis. Berkat cara kerjanya ini
manusia modern memang berhasil memperoleh banyak sekali manfaat.
Pendekatan teknokrais tidak hanya membawa manfaat saja, tetapi membawa
banyak faktor negatif yang tampak dengan jelas dalam masa krisis lingkungan ini.
Alam didekati dengan kekerasan destruktif; dibongkar, digali, dirusak hanya
untuk untuk memperoleh yang dicari. Hutan ditebang untuk mendapatkan
kayunya, tempat lain dieksploitasi untuk mengambil batu bara, timah, atau bahan
lain. Kerusakan lingkungan yang dapat disaksikan di banyak tempat maupun
kerusakan yang tidak tampak dengan kasat mata (seperti lubang lapisan ozon)
Sebagian besar disebabkan oleh ulah teknokratis manusia dalam usahanya
mencari untung ekonomis. Sekarang disadari bahwa kita harus meninjau Kembali
hubungan manusia dengan alam. Pada dasarnya manusia adalah Sebagian dari
alam.
Aliran dalam filsafat lingkungan yang dengan paling radikal mengemukakan
pandangan ini adalah deep ecologi. Deep ecologi menekankan kesatuan alam.
Semua makhluk hidup, termasuk manusia, tercantum dalam alam menurut relasi-
relasi tertentu. Setiap makhluk hidup menjadi sebagaimana adanya, karena
interaksi dengan semua makhluk hidup lain dan dengan lingkungannya. Dari situ
disimpulkan bahwa semua makhluk mempunyai nilai tersendiri, karena yang satu
tidak mungkin hidup tanpa yang lain.
Deep ecologi harus dibedakan dari shallow ecologi, ekolodi dangkal. Ekologi
dangkal tidak pernah sampai pada akar masalah-masalah lingkungan hidup. Ia
akan berusaha melestarikan lingkungan, supaya bermanfaat terus untuk manusia.
Ia hanya mengakui nilai instrumental dari alam. Sedangkan ekologi-dalam, alam
mempunyai nilai intrinsik, artinya nilai sendiri, tidak tergantung dari factor luar.
Ada 8 prinsip ekologi-dalam yang dirumuskan oleh dua pengarang Amerika yang
dilihat sebagai pandangan yang rata-rata dianut oleh pendukung ekologi-dalam.
1. Kesejahteraan dan keadaan baik baik dari kehidupan manusia maupun
kehidupan bukan manusiawi di bumi mempunyai nilai intrinsic. Nilai-nilai
ini tidak tergantung dari manfaat tidaknya dunia bukan-manusiawi untuk
tujuan manusia.
2. Kekayaan dan keanekaan bentuk-bentuk hidup menyumbangkan kepada
terwujudnya nilai-nilai ini dan merupakan nilai-nilai sendiri.
3. Manusia tidak berhak mengurangi kekayaan dan keanekaan ini, kecuali
untuk memenuhi kebuuhan vitalnya.
4. Keadaan baik dari kehidupan dan kebudayaan manusia dapat dicocokkan
dengan dikuranginya secara substansial jumlah penduduk.
5. Campur tangan manusia dengan dunia bukan-manusiawi kini terlalu besar,
dan situasi memburuk dengan pesat.
6. Karena ini kebijakan umum harus berubah. Kebijakan ini menyangkut
struktur-struktur dasar di bidang ekonomis, teknologis dan ideologis.
Keadaan yang timbul sebagai hasilnya akan berbeda secara mendalam
dengan struktur-struktur sekarang.
7. Perubahan ideologis adalah teruama menghargai kualitas kehidupan
(artinya, manusia dapat tinggal dalam situasi-situasi yang bernilai
inheren), dan bukan berpegang pada standar kehidupan yang semakin
tinggi.
8. Mereka yang mempunyai butir-butir sebelumnya berkewajiban secara
langsung dan tidak langsung untuk mengadakan perubahan-perubahan
yang perlu.

§ 9. Mencari dasar etika untuk tanggung jawab terhadap lingkuangan hidup


1. Hak dan deontologi
Dalam sebuah artikel terkenal yang untuk pertama kali terbit pada 1974, William
T. Blackstone mengajukan pikiran bahwa setiap manusia berhak atas lingkungan
berkualitas yang memungkinkan dia untuk hidup dengan baik.lingkungan yang
berkualitas tidak saja merupakan sesuatu yang sangat diharapkan, tetapi juga
sesuatu yang harus direalisasikan karena menjadi setiap hak manusia. Manusia
berhak atas lingkungan yang berkualitas, karena ia mempunyai hak moral atas
segala sesuatu yang perlu untuk hidup dengan pantas sebagai manusia, artinya
yang memungkinkan dia untuk memenuhi kesanggupannya sebagai makhluk yang
rasional dan bebas.
2. Utilitarianisme
Teori ini dapat dipakai guna menyediakan dasar moral bagi tanggung jawab kita
untuk melestarikan lingkungan hidup. Malah utilitarianisme dapat menunjuk jalan
keluar bagi beberapa kesulitan dalam hal ini ditimbulkan dalam pandangan hak.
Menurut utilitarianisme, suatu perbuatan atau aturan adalah baik, kalua membawa
kesenangan paling besar untuk jumlah yang paling besar atau dengan kata lain
kalua memaksimalkan manfaat. Kiranya sudah jelas, kelestarian lingkungan hdup
membawa keadaan paling menguntungkan untuk seluruh umat manusia, termasuk
juga generasi-generasi yang akan datang.
3. Keadilan
Sebagaimana sudah kita lihat, lingkungan hidup pun menyangkut soal kelangkaan
dan karena itu harus dibagi dengan adil. Perlu dianggap tidak adil, bila kita
memanfaatkan alam sedemikian rupa, sehingga orang lain, misalnya generasi-
generasi yang akan datang tidak lagi bisa memakai alam untuk memenuhi
kebutuhan mereka dengan baik. Ada tiga cara untuk mengaitkan keadilan dengan
masalah lingkungan hidup.
a. Persamaan
Jika bisnis tidak melestarikan lingkungan, akibatnya untuk semua orang tidak
sama.dengan cara mengeksploitasi ala mini para pemilik perusahaan termasuk
pemegang saham justru akan maju, tetapi terutama orang kurang mampu akan
dirugikan. Dalam studi-studi ekonomi, sudah sering dikemukakan bahwa akibat
buruk dari kerusakan lingkungan hidup terutama dirasakan oleh orang miskin.
Lingkungan hidup harus dilestarikan, karena hanya cara memakai sumber daya
alam itulah memajukan persamaan (equality).
b. Prinsip pemghematan adil
Dalam rangka pembahasannya tentang keadilan distributif, John Rawls pun
berbicara tentang masalah lingkungan hidup, tetapi ia mengaitkannya bukan
dengan keadaan sekarang, melainkan dengan generasi-generasi yang akan datang.
Kita tidak berlaku dengan adil, bila kita mewariskan lingkungan yang rusak
kepada generasi-generasi sesudah kita. Untuk itu ia merumuskan the just saving
principle, (prinsip penghematan adil). Artinya kita harus menghemat dalam
memakai sumber daya alam, sehingga masih tersisa cukup bagi generasi-generasi
yang akan datang.
c. Keadilan sosial
Masalah lingkungan hidup dapat disoroti juga dari sudut keadilan sosial.
Pelaksanaan keadilan sosial tidak tergantung  pada kemauan orang yang tertantu,
melainkan pada struktur-struktur yang terdapat dalam masyarakat di bidang
politik, sosial, ekonomi, kultural, dan sebagainya. Secara tradisional, keadilan
sosial hamper selalu dikaitkan dengan kaum buruh dalam industrialisasi abad ke-
19 dan ke-20. Pelaksanaan keadilan di bidang kesempatan kerja, Pendidikan,
pelayanan Kesehatan, dan sebagainya, tidak tergantung pada satu orang,
perusahaan, sekolah, rumah sakit atau sebagainya,. Keadilan sosial di sector
pelayanan Kesehatan, misalnya cukup terwujud di negara yang mempunyai
system asuransi Kesehatan nasional, sehingga semua warganya tercakup. Hal
yang sejenis berlaku juga dalam konteks lingkungan hidup. Jika di Eropa sau
perusahaan memutuskan untuk tidak lagi membuang limbah industrinya ke Laut
Utara, kualitas air laut dan keadaan flora serta faunanya hamper tidak terpenuhi,
selama terdapat ribuan perusahaan lain di Kawasan itu yang tetap mencemari laut
dengan membuang limbahnya.
Kini sudah tampak beberapa gejala yang menunjukkan bagaimana lingkungan
hidup memang mulai disadari sebagai suau masalah keadilan sosial yang
berdimensi global. Di mana-mana ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif
di bidang lingkungan hidup. Di beberapa negara Eropa Barat malah ada partai
politik yang memiliki sebagai program pokok memperjuangkan kualitas
lingkungan hidup. Sebagaiman dulu kaum bruh memperjuangkan keadilan sosial
melalui partai-partai sosialis, begitupun partai-partai hijau berjuang untuk
menomorsatukan lungkungan pada agenda politik.
Keadilan sosial dalam konteks lingkungan hidup barangkali lebih mudah terwujud
dengan kesadaran atau kerja sama semua individu, ketimbang keadilan sosial pada
taraf pemburuhan, karena lingkungan hidup menyangkut masa depan kia semua.
Jika ada kesadaran umum, bersama-sama bisa dicapai banyak kemajuan.

§ 10. Implementasi tanggung jawab terhadap lingkungan hidup


Jika polusi memang merugikan lingkungan, salah satu tindakan yang logis adalah
melarang semua kegiatan yang akan mengakibatkan polusi. Dalam konteks lain
kita kadang-kadang mengikuti kebijakan seradikal itu. Tetapi mengenai
lingkungan hidup sulit untuk memilih solusi yang tidak kenal kompromis ini,
karena kita harus memenuhi kebutuhan hidup kita, yang mau tidak mau akan
memberatkan lingkungan.
1. Siapa harus membayar?
Jika kita menyetujui bahwa terutama bisnislah yang mencemari lingkungan dan
karena itu bertanggung jawab untuk melindungi dan memulihkan lingkungan,
timbul pertanyaan: siapa yang membayar? Dalam konteks bisnis, setiap tindakan
untuk melindungi atau memperbaiki lingkungan, mempunyai konsekuensi
finansial juga. Akibat finansial itu harus dibebankan kepada siapa? Biasanya ada
dua jawaban yang diberikan atas pertanyaan ini: si pencemar membayar dan yang
menikmati lingkungan bersih membayar, (20) Mari kita menyelidiki dua jawaban
ini.
Jawaban pertama mengatakan: the polluter pays, “si pencemar membayar”. Orang
atau perusahaan yang mengakibatkan pencemaran harus juga menanggung biaya
untuk membersihkannya. Industri yang membuang limbah ke dalam ing harus
juga membersihkan air sungai sampai kembali ke keadaan sebelumnya.
Jawaban kedua mengatakan: those who will benefit from environmental
improvement should pay the costs, “yang ingin menikmati lingkungan bersih
harus menanggung juga biayanya Jawaban ini pun ada logikanya. Jika kita ingin
memperoleh manfaat tertentu, kita harus berusaha juga. Dalam konteks ekonomis
tidak ada sesuatu pun yang dibagi dengan gratis.
2. Bagaimana beban dibagi?
Jika kita menyetujui bahwa semua pihak ikut serta dalam membiayai lingkungan
berkualitas, tinggal lagi pertanyaan bagaimana beban finansial itu dapat dibagi
dengan fair. Hal itu harus dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan bisnis.
Untuk itu mereka antara lain bisa memanfaatkan instrumen ekonomis seperti
mekanisme pasar. Terutama tiga cara telah diusahakan yang masing-masing
mempunyai kekuatan dan kelemahan.
a) Pengaturan
Cara pertama adalah membuat peraturan mengenai polusi dari industri. Peraturan
itu bisa melarang membuang limbah beracun dalam air sungai atau laut dan
menentukan denda bila peraturan itu dilanggar.
 Pelaksanaan kontrol terhadap peraturan-peraturan macam itu menuntut
tersedianya teknologi tinggi serta personel berkualitas dan karena itu
menjadi
mahal.
 Pengontrolan efektif menjadi suatu kesulitan ekstra untuk negara-negara
berkembang.
 Di satu pihak pengaturan tentang lingkungan dapat diterapkan dengan cara
egalitarian untuk semua industri dan karena itu harus dianggap fair.
 Pengaturan di bidang polusi industri dapat menimbulkan suatu sikap
minimalistis
pada bisnis.
 Kesulitan lain adalah bahwa pengaturan ketat bisa menimbulkan efek
negatif untuk
ekonomi.
b) Insentif
Cara menangani biaya perbaikan lingkungan yang menemui lebih banyak simpati
pada bisnis Adalah memberikan insentif kepada industri yang bersedia mengambil
tindakan khusus Untuk melindungi lingkungan. Misalnya, dengan memberikan
bersyarat lunak, subsidi, Pengurangan pajak, atau sebagainya, kepada Industri
yang memakai energi terbarukan seperti energi angin, surya, panas bumi dan lain-
lain.Tetapi cara ini mempunyai juga beberapa kelemahan.
 Metode ini akan berjalan pelahan-lahan. Padahal, banyak masalah polusi
yang Disebabkan oleh industri harus segera diatasi dan tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut.
 Cara ini menguntungkan para pencemar. Mereka yang sudah lama
memproduksi Barang yang ramah lingkungan tidak memperoleh manfaat
dari metode insentif ini. Apalagi, kontrol dari pihak pemerintah di sini
agak sulit dijalankan, sehingga insentif Ini mudah disalahgunakan atau
tidak diterapkan produksi barang yang ramah Lingkungan tidak
memperoleh manfaat dari metode insentif ini.
c) Mekanisme harga
Mekanisme harga ini memungkinkan lagi beberapa variasi sesuai dengan
situasi. Polusi di Daerah di mana industri hanya sedikit, bisa dibebankan dengan
harga lebih rendah Ketimbang polusi di daerah industri padat.Cara menangani
biaya pencemaran ini Mempunyai keuntungan bahwa yang harus membayar di
sini adalah si pencemar.
Kita dapat menyimpulkan, dari tiga metode untuk membagi biaya perusakan
lingkungan tadi, tidak satu pun yang seratus persen memuaskan. Semua metode
ini berguna, tetapi mempunyai kelemahan masing-masing. Karena itu ketiga
tiganya harus dipakai sekaligus, khususnya metode pertama dan ketiga.
Pengaturan tentang lingkungan memang sangat penting.
Kepatuhan pada norma etika tidak bisa dipaksakan. Karena itu terutama dalam
konteks lingkungan hidup ini kita sangat membutuhkan peraturan hukum.
Lingkungan hidup hanya bisa dilindungi dengan baik, jika tercipta peraturan
hukum yang efektif dan lengkap demi tujuan itu.

§ 11. Beberapa kasus lingkungan hidup


Pada 26 April 1986 dini hari terjadi kecelakaan dahsyat dengan reaktor no. 4 di
kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Chernobyl, Ukraina, suatu
republik dari Uni Soviet. Reaktor itu termasuk tipe RBMK, yang terkenal lebih
murah untuk dibangun dan dieksploitasi dibanding tipetipe lain, tetapi risikonya
juga lebih besar. Kecelakaan terjadi dalam rangka menguji run down system-nya,
yang dikombinasikan dengan pemeliharaan dan pengisian beberapa elemen.
Reaktor no. 4 ini sudah operasional sejak dua tahun lebih sedikit. Yang mau diuji
adalah apakah sistem listriknya tetap stabil bila reaktor pelahan-lahan dihentikan.
Para ahli tidak sepakat tentang detail-detail sebab kecelakaan, tapi dalam waktu
singkat prosesnya tidak bisa dikontrol dan terjadi sekurang-kurangnya dua
ledakan, yang satunya diduga tergolong ledakan nuklir.
Kemudian diketahui bahwa pengelolaan PLTN Chernobyl ini mempunyai banyak
kekurangan. Mereka juga tidak siap dan terlatih untuk keadaan darurat. Sesudah
kecelakaan, tidak langsung diberikan peringatan bahaya kepada masyarakat.
Pemadaman dan pengamanan dikerjakan oleh regu-regu nasional dari luar
Chernoby.

2.4 Etika Dalam Bisnis Internasional


Sudah sejak dahulu kala bisnis atau pada waktu itu masih terbatas pada
“perdagangan “menjadi sarana penting untuk mendekatkan negara-negara dan
bahkan kebudayaan -kebudayaan yang berlain- lainan . Kalau dilihat dalam
bentuk perspektif sejarah, perdagangan merupakan faktor penting dalam
pergaulan antara bangsa-bangsa .Bertentangan dengan ekspansi politik yang terus
menerus membawakan peperangan dan penderitaan bagi negara- negara
bersangkutan , maka perdagangan justru sempat menyebarkan perdamaian dan
persaudaraan.

Internasional bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan


juga aspek etis yang baru . Tidak mengherankan jika terutama tahun – tahun
terakhir ini di beri perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis
internasional . Dalam hal ini kita akan membahas beberapa masalah moral yang
khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional .

1.Norma -norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional


Salah satu masalah besar yang sudah lama didiskusikan dalam etika
filosofi adalah relatif tidaknya norma- norma moral. Dalam bisnis internasional
kita harus bisa menyesuaikan diri dengan norma – norma etis yang berlaku di
negara di mana kita mempraktekkan bisnis. Tetapi kita juga harus berpegang pada
norma – norma etis yang berlaku di negara kita sendiri.Sebaliknya Bisnis di
negara lain tidak perlu berpegang pada norma- norma etis karena hal itu akan
merugikan posisinya pelaksanaan bisnis dengan lebih ketat dan efisien daripada di
negara berkembang. Suatu perusahaan dari negara maju akan dirugikan kalau
diluar negeri harus menerapkan semua peraturan yang berlaku di negerinya
sendiri. Seumpamanya bahwa perusahaan asing yang beroperasi di negara
berkembang harus membayar gaji sama tinggi seperti di negara asalnya . Praktis
ini tidak ada orang yang menilai perilaku perusahaan itu sebagai etis atau tidak
adil . Bukan saja di negara – negara berkembang , di negara -negara maju pun
kadang – kadang bisa di temukan perbedaan persepsi tentang apa yang di anggap
etis atau tidak adil.
Kebenaran yang dapat di temukan dalam pandangan rigorismeb moral ini
adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita . Norma – norma etis
memang bersifat umum. Yang buruk di suatu tempat tidak mungkin menjadi baik
dan terpuji di tempat lain . Namun para penganut rigorisme moral kurang
memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis .

2. Masalah “Dumping” Dalam Bisnis Internasional


Salah satu topik yang jelas termasuk etika bisnis internasional adalah
dumping produk, karena praktek kurang etis ini secara khusus berlangsung dalam
hubungan dengan negara lain. Yang dimaksud dengan dumping adalah menjual
sebuah produk dalam kuantitas besar disuatu negara lain dengan harga dibawah
harga pasar dan kadang-kadang malah dibawah biaya produksi dapat dimengerti
bahwa yang merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para
konsumen, melainkan para produsen dari produk yang sama dinegara dimana
dumping dilakukan. Para konsumen justru merasa beruntung karena dapat
membeli produk dengan harga murah, sedangkan para produsen menderita
kerugian, karena tidak sanggup menawarkan produk dengan harga semurah itu.
Dumping produk bisa diadakan dengan banyak motif yang berbeda salah
satau motif adalah bahwa si penjual mempunyai persediaan terlalu besar, sehingga
ia memutuskan untuk menjual produk bersangkutan dibawah harga saja. Motif
lebih jelek adalah berusaha untuk merebut dan monopoli dengan membanting
harga. Produk ditawarkan dengan harga begitu murah, sehingga produsen di
negara lain itu merasa tidak sanggup bersaing lagi dan terpaksa harus menutup
usahanya. Dibanyak negara maju, khususnya di Amerika serikat praktek seperti
itu dilarang didalam negeri karena adanya perundang undangan anti-trust dan anti
monopoli. Tapi pada tarif internasional dumping lebih sulit dikontrol dan di
buktikan pula. Mengapa praktek dumping produk itu tidak etis? Karena
melanggar etika pasar bebas. Kelompok bisnis yang ingin terjun kedalam bisnis
internasional, dengan sendirinya melibatkan diri untuk menghormati keutuhan
sistem pasar bebas . Dumping menghancurkan kemungkinan bagi orang bisnis
untuk bersaing pada taraf yang sama . Kalau di lakukan dengan maksud merebut
atau manopoli , dumping menjadi kurang etis juga karena merugikan konsumen .
Jadi dumping tipe ini menjadi tidak etis juga karena akibat buruk bagi konsumen .
Organinasasi perdagangan Dunia (WTO) telah dibuat sebuah dokumen tentang
dumping, tetapi hanya sebagai model untuk membuat peraturan hukun di negara-
negara anggotanya .

3. Aspek – aspek etis dari korporasi Multinasional


Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah Korporasi
Multinasional ( multinational corporations ) . Yang juga disebut korporasi
transnasional ( transnational corporatipns)
Yang dimaksud dengannya adalah perusahaan yang mempunyai investasi
langsung dalam dua negara atau lebih . Jadi, perusahaan yang mempunyai
hubungan dengan luar negeri , dengan demikian belum mencapai status korporasi
multinasional (KMN) , tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara
termasuk di dalamnya . Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda – beda.
Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dan karena
beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas
tinggi , KMN menimbulkan masalah – masalah etis sendiri . Di sini kita
membatasi diri pada masalah – masalah yang berkaitan dengan negara – negara
berkembang . KMN – KMN tentu juga menimbulkan masalah etis kalau
beroperasi di negara maju yang lain . Ada juga beberapa usaha internasional untuk
membuat kode etik bagi kegiatan korporasi – korporasi multinasional di dunia
ketiga, sepert “ Guidelines for multinational Enterprises “ dari Organization for
Economic Coorporation and Development (OECD ) (1976 ; direvisi 1984 ) dan
aturan – aturan yang di usulkan oleh commission on Transnational Corporations
dari perserikatan Bangsa – Bangsa (1990) . Akan tetapi , peraturan – peraturan itu
hanya bersifat anjuran dan belum dapat di paksakan. Karena kekosongan hukum
pada taraf internasional itu , kesdaran etis bagi KMN lebih mendesak lagi . De
George telah merumuskan sepuluh aturan etis yang di anggap paling mendesak
dalam konteks ini yaitu sebagai berikut :

1. Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian


langsung .
2. Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih bnyak manfaat daripada
kerugian bagi negara di mana mereka beroperasi.
3. Dengan kegiatan korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi
kepada pembangunan negara di mana ia beroperasi.
4. Koprorasi multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua
karyawannnya .
5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma – norma etis , korporasi
multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan berkerja sama
dengannya , bukan menentangnya.
6. Korporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”.
7. Korporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat
dalam mengembangkan dan menegakkan “background institutions “ yang
tepat .
8. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul
tanggung jawab motal atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut .
9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang beresiko tinggi ,
ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman .
10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang ,
korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian
rupa , sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara baru yang belum
berpengalaman .
4. Masalah korupsi pada taraf Internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada tarif internasional ,
namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika
bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional . Alasannya dapat
dimengerti , justru masalah korupsi dapat menimbulkan kesulitan moral besar
bagi bisnis internasional . Karena di negata satu bisa dipraktekkan apa yang tidak
mungkin diterima di negara lain . Terutama dalam konteks ini timbul pertanyaan :
tidakkah orang harus menyesuaikan diri dengan kebudayaan di negara lain ,
supaya bisnisnya lancar dan sukses ? Tidakkah di sini berlaku pribahasa Inggris :
“ When in Rome , do as the Romans do “? Kita mulai dengan memandang sebuah
kasus yang sudah boleh disebut klasik dan banyak dibicarakan dalam literatur
etika bisnis , yaitu kasus yanh menyangkut perusahaan pesawat terbang
Lockheed .

1. Skandal suap Lockheed dan usaha mencegah terjadinya kasus serupa itu .
Sekitar 1970 -an produsen pesawat terbang Amerika Serikat , Lockheed , terlibat
dalam sejumlah kasus suap ketika mengusahakan memasarkan beberapa
pesawatnya . Di kemudian hari Lockheed mengakui bahwa sejak tahun 1970 ia
telah membuat “pembayaran khusus” yang bernilai 202 juta dollar Amerika di
lima belas negara . Setelah ketahuan , semua kasus ini menimbulkan reaksi cukup
hebat , baik di negara tempat kejadian maupun di Amerika Serikay tempat
produksi perusahaan Lockheed . Setelah kasus ini di laporkan dalam pers
internasional, reaksinya menjadi sangat hebat , baik di Amerika Serikat maupun di
jepang . Di Amerika Serikat kasus suap Lockheed ini menjadi salah satu skandal
bisnis paling menggemparkan yang dikenal dalam sejarah Amerika dan diperiksa
oleh instansi kehakiman Amerika sampai detail – detail terkecilnya . Carl
Kotchian tidak ada pilihan lain daripada mengundurkan diri sebagai presiden
perusahaan Lockheed .
Kasus Lockheed ini bukan satu – satunya kasus suap yang terjadi di
Amerika waktu itu . Sebagai tanggapan atas kasus – kasus suap seperti itu DPR
Amerika Serikat merancang undang – undang yang di sebut “ Foreign Corrupt
Practices Act “ dan di tandatangani oleh Jimmy Carter pada tahun 1977 . Dengan
adanya undang – undang ini praktek – praktek yang sebelumnya tidak dilarang
secara resmi , menjadi sesuatu yang ilegal dan karena itu mendapat status yang
jelas . Dikemudian hari Undang – Undang tahun 1977 ini berpengaruh besar atas
bisnis Amerika di luar negeri .
2. Mengapa pemakaian uang suap bertentangan dengan etika ?
Setelah mempelajari berbagai aspek dari masalah suap dalam konteks
internasional , sekarang kita siap untuk menyelidiki segi etisnya . Dari sudut
pandang moral , ada alasan apa untuk menolak praktek suap itu ? Dalan refleksi
etis ini kita mengikuti lagi pemikiran De George . Dapat di sebut empat alasan
mengapa praktek suap harus di anggap tidak bermoral .

Alasan pertaman dan paling penting adalah bahwa praktek suap itu
melanggar etika pasar . Kalau kita terjun dalam bisnis tang didasarkan pada
prinsip ekonomi pasar , dengan sendirinya kita mengikat diri untuk berpegang
pada aturan – aturan pasar , dengan sendirinya kita mengikat diri untuk berpegang
pada aturan – aturan mainnya .Sedangkan sistem ekonomi pasar sebagai
keseluruhan justru dimungkinkan karena semua orang bersedia mematuhi aturan -
aturannya . Hal itu mengakibatkan antara lain bahwa harga produk merupakan
buah hasil pertarungan daya – daya pasar . Dengan prakter suap daya – daya pasar
dilumpuhkan dan para pesaing yang mempunyai prodyk sama baik dengan harga
lebih menguntungkan , tidak sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan .
Karena itu baik yang memberi uang suap maupin yang menerimannya berlaku
kurang fair terhadap prang bisnis lain . Pasar yang didistori oleh praktek suap
adalah pasar yang tidak efisien . Karena praktek suap itu pasar tidak berfungsi
seperti semestinya .

Alasan kedua mengapa praktek itu tidak etis adalah bahwa orang yang
tidak berhak , mendapat imbalan juga . Dalam sistem ekonomi mereke yang
bekerja atau berjasa mendapat imbalan . Seandainya transaksi itu terjadi secara
normal , mereka yang menerima uang suap tidak akan menerima apa – apa .
Mereka hanya mendapat uang itu karena menyalahgunakan kekuasaan , dan
dengan mereke merugikan rakyat dan negara . Yang menerima suap melanggat
kewajiban sebagai pejabat .
Alasan ketiga tidak berlaku untuk kasus Lockheed , tetapi berlaku untun
banyak kasus lain dimana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan .
Misalnya, dalam keadaan kekurangan keryas seorang penerbit mendapat
persediaan kertas baru dengan memberi uang suap . Cara berbisnis itu melanggar
alokasi yang adil . Penerbit itu tidak akan menerima persediaan baru sebanyak itu,
seandainya diikuti prosedur biasa ( misalnya, dengan menentukan jatah atau kalau
hukum – hukum ekonomi diterapkan terus dengan harga lebih tinggi ) .
Pembagian barang langkah dengan menepuh praktek suap kengakibatkan bahwa
barang diteriman oleh orang yang tidak berhak menerimannya , sedangkan orang
lain yang berhak tidak kebagian . Hal itu jelas bertentangan dengan asas keadilan .
Alsan keempat adalah bahwa praktek suap mengundang untuk melakukan
perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya . Baik perusahaan yang memberi uang suap
maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa membukukan uang
suap itu seperti mestinya . Dalam pembukuan perusahaan , uang itu dicantumkan
sebagai pos lain ( promosi , misalnya ) dan itu tentu berarti berbohong . Dan
karena tidak dicatat , si penerima tidak akan membayar pajak tentang pendapatnya
itu . Ia juga tidak bisa menggunakan uang itu secara legal untuk investasi baru
atau sebagainya . Pendeknya , orang yang terlibat dalam kasus suap , akan terlibat
dalam perbuatan kurang etis , karena terpaksa terus – menerus harus

2.5 Peranan Etika dalam Bisnis


Jika perusahaan ingin mencatat sukses dalam bisnis, menurut Richard Dé
George ia membutuhkan tiga hal pokok: produk yang baik, manajemen yang
mulus, dan etika.” Selama perusahaan memiliki produk yang bermutu serta
berguna untuk masyarakat dan di samping itu dikelola dengan manajemen yang
tepat di bidang produksi, finansial, sumber daya manusia, dan lain-lain, tetapi ia
tidak mempunyai etika, maka kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu
sandungan baginya. Banyak usaha pelatihan, pendidikan, dan penelitian diadakan
untuk membantu si pebisnis dalam menghasilkan produk yang baik dan
manajemen yang mulus. Guna memperoleh produk yang baik, si pembisnis dapat
memanfaatkan seluruh perangkat ilmu dan teknologi modern. Kita ingat saja akan
obat-obatan dari industri farmasi, elektronika yang semakin canggih, makanan
dari industri pangan dan agrobisnis, dan semua produk lain yang kini tersedia
untuk konsumen modern, Guna mencapai manajemen yang mulus, si pebisnis
dapat memakai sepenuhnya ilmu ekonomi dan teori manajemen. Kalau dulu
pebisnis mesti mengandalkan bakat alami saja, sekarang manajer yang profesional
hampir tidak mungkin lagi memiliki ketrampilan cukup tanpa pendidikan khusus.
Justru pendidikan manajemen itu membuat bisnis menjadi suatu profesi tersendiri.
Ketika Harvard Business School didirikan pada awal abad ke-20, direkturnya A.
Lawrence Lowell menyebut bisnis "the oldest of the arts, the newest of the
professions”. Selaku kegiatan ekonomis, bisnis selalu sudah dipraktekkan
sepanjang sejarah. Selaku profesi, bisnis merupakan Sesuatu yang baru, karena
sekarang tersedia pelatihan, pendidikan, dan penelitian khusus untuk memperoleh
ketrampilan di bidang itu. Kesanggupan alami saja tidak lagi mencukupi untuk
memimpin sebuah perusahaan modern.
Dan bagaimana etika? Sejak beberapa dekade terakhir ini, berangsur-
angsur tnulai diakui pula pentingnya etika dalam bisnis dan karena itu serentak
juga dalam pendidikan untuk profesi bisnis. Dibandingkan dengan segala usaha
dan program yang diadakan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dalam
bisnis, perhatian bagi etika dalam bisnis masih sangat terbatas. Tetapi yang
penting adalah bahwa peranan etika mulai diakui dan diperhatikan. Sebagai
penutup buku ini kami berusaha merumuskan beberapa kesimpulan umum tentang
berbagaj aspek dari peranan etika dalam bisnis.
1. Bisnis berlangsung dalam konteks moral
Bisnis merupakan suatu unsur penting dalam masyarakat. Hampir semua
orang terlibat di dalamnya. Kita semua membeli barang atau jasa untuk bisa hidup
atau setidak-tidaknya bisa hidup dengan lebih nyaman. Di seluruh dunia hampir
tidak ada lagi kelompok-kelompok yang “berdikari”, sehingga tidak
membutuhkan produk atau jasa orang lain. Ekonomi-ekonomi yang subsisten dari
masa lampau, sekarang tidak ditemukan lagi. Malah bisa dikatakan, makin maju
suatu masyarakat, makin besar pula ketergantungan satu sama lain di bidang
ekonomi. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern.
Namun demikian, kadangkadang kehadiran etika dalam bidang bisnis masih
diragukan. Karena itu kita perlu memandang sebentar pendapat yang menyangkal
perkaitan etika dengan bisnis.

1. Mitos mengenai bisnis amoral


Dalam masyarakat acap kali beredar anggapan bahwa bisnis tidak
mempunyai hubungan dengan etika atau moralitas. Pebisnis hanya menjalankan
pekerjaannya. Sebagaimana fungsi khusus matahari adalah memancarkan cahaya
serta panas dan di situ tidak masuk faktor etika, demikian juga pebisnis
membatasi diri pada tugasnya saja. Dalam surat kabar ibukota beberapa tahun lalu
terdapat sebuah contoh bagus mengenai sikap ini. Ketika pada bulan April 1994
polisi DK] Jakarta melontarkan "Operasi Bersih” yang bertujuan meningkatkan
keamanan dengan antara lain memberantas penjualan minuman keras yang ilegal,
seorang pemilik toko yang digerebek dalam razia polisi, dilaporkan bereaksi:
"Kita tidak pernah berpikir apa dan siapa yang minum minuman keras itu, serca
bagaimana akibatnya. Kita kan orang dagang”. Richard De George menyebut
pandangan ini the myth of gmoral business, "mitos yang mengatakan bahwa bisnis
itu amoral saja”.’ Dalam pisnis, orang menyibukkan diri (busy = sibuk) dengan
jula-beli, dengan membikin Produk atau menawarkan jasa, dengan merebut
pasaran, dengan mencari untung jus tapi orang tidak berurusan dengan etika atau
moralitas. Moralitas menjadi yrusan individu, tetapi kegiatan bisnis itu sendiri
tidak berkaitan langsung dengan ptika. Moralitas tidak mempunyai relevansi bagi
bisnis.
Kini telah terbentuk keyakinan cukup mantap bahwa bisnis tidak terlepas
dari segi-sepi moral. Bisnis tidak saja berurusan dengan angka penjualan (sales
figures) atau adanya profit pada akhir tahun anggaran. Good business memiliki
juga suatu makna moral.

2. Mengapa bisnis harus berlaku etis?


Jika tidak diragukan lagi perkaitan erat antara bisnis dan erika, masih bisa
dipertanyakan dasar bagi perkaitan itu. Mengapa bisnis Aarus berlaku etis?
Tekanannya di sini pada kata Aarus. Dengan kata lain, mengapa bisnis tidak bebas
untuk berlaku etis atau tidak? Tentu saja, berulang kali terjadi hal-hal yang tidak
etis dalam dunia bisnis. Hal itu tidak disangkal, tapi juga tidak menjadi focus
pethatian kica. Pertanyaannya bukan tentang kenyataan fakcual, melainkan
tentang normativitas: seharusnya bagaimana dan apa yang menjadi dasar untuk
keharusan itu?
Bertanya mengapa bisnis harus berlaku etis, sebetulnya sama dengan
bertanya mengapa manusia pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis di sini hanya
merupakan suatu bidang khusus dari kondisi manusia yang umum. Atas
pertanyaan dalam bentuk lebih umum ini, dalam sejarah pemikiran sudah lama
diberikan tiga jawaban. Jawaban pertama berasal dari agama, jawaban kedua
muncul dalam filsafat modern, jawaban ketiga sudah ditemukan dalam filsafac
Yunani kuno, Secara singkat kita mempelajari tiga jawaban ini dan
menerapkannya pada situasi bisnis.

a. Tuhan adalah hakim kita


Menurut agama, sesudah kehidupan jasmani ini manusia hidup terus dalam
dunia baka, di mana Tuhan sebagai Hakim Mahaagung akan menghukum
kejahatan yang pernah dilakukan dan mengganjar kebaikannya. Tidak mungkin di
sini terjadi impunity (sesuatu dibiarkan tak terhukum). Pandangan ini didasarkan
atas iman kepercayaan dan karena itu termasuk perspektif teologis, bukan
perspektif filosofis. Walaupun tentu sangat diharapkan setiap pebisnis akan
dibimbing oleh iman kepercayaannya, menjadi tugas agama (dan bukan etika
filosofis) mengajak para pemeluknya untuk tetap berpegang pada motivasi moral
ini. Karena itu jawaban pertama tadi di sini dilewati dulu.
b. Kontrak sosial
Pandangan ini melihat perilaku manusia dalam perspektif sosial. Setiap
kegiatan yang kita lakukan bersama-sama dalam masyarakat, menuntut adanya
norma-norma dan nilai-nilai moral yang kita sepakati bersama. Hidup dalam
masyarakat berarti mengikat diri untuk berpegang pada norma-norma dan
nilainilai tersebut. Kalau tidak, hidup bersama dalam masyarakat menjadi kacau
tak karuan. Coba kita bayangkan saja bagaimana gambaran mengenai masyarakat
yang tidak mengenal nilai dan norma moral. Pendeknya, hidup sosial menjadi
tidak mungkin lagi, jika tidak ada moralitas yang disctujui bersama, Memang
benar, sering terjadi pelanggaran, tetapi hal-hal icu diakui juga sebagal
pelanggaran: seharusnya tidak boleh terjadi. Kendatipun dilanggar, norma mora}
setap diakui sebagai norma.
Karena itu beberapa filsuf modern menganggap scbagai dasar moralitas
apa yang mereka sebut "kontrak sosial”, Umat manusia seolah-olah pernah
mengadakan kontrak yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada
norma-norms moral. Kontrak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga tidak
ada seorang pun yang bisa melepaskan diri daripadanya.
De George menerapkan pandangan ini atas sektor bisnis. Jika semua orang yang
terlibat dalam bisnis seperti pembeli, penjual, produsen, manajer, pekerja,
konsumen — tidak berpegang pada norma-norma moral, dalam waktu singkat
setiap bentuk bisnis akan bergeming sama sekali. Moralitas justru diandaikan
dalam kegiatan bisnis, seperti juga dalam setiap kegiatan sosial lainnya.
Bagaimana kita mau mengadakan transaksi, kontrak, perjanjian, dan sebagainya,
jika kita tidak mau berpegang pada moralitas, seperti prinsip moral "janji harus
ditepati”? De George menegaskan: "morality is the oil as well as the glue of
society, and, therefore, of business”. Minyak pelumas, karena moralitas
memperlancar kegiatan bisnis dan semua kegiatan lain dalam masyarakat. Lem,
karena moralitas mengikat dan mempersatukan orang-orang bisnis, seperti juga
semua anggota masyarakat lainnya. Di bidang bisnis juga berlaku bahwa
perbuatan imoral hanya mungkin dan bisa berhasil, karena semua orang
menyetujui berpegang pada norma-norma moral. Tipu muslihat hanya bisa
berhasil selama orang pada umumnya bersifat jujur dan bersedia untuk
mempercayai orang lain. Melanggar kepercayaan hanya mungkin, karena kita
semua sepakat mengambil kepercayaan sebagai norma yang mengikat. Moralitas
merupakan syarat mutlak yang harus diakui semua orang, jika kita ingin terjun
dalam kegiatan bisnis.

c. Keutamaan

Menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan yang baik, justru
karena hal icu baik. Yang baik mempunyai nilai intrinsik, artinya, yang baik
adalah baik karena dirinya sendiri. Malah yang baik adalah sacu-satunya hal yang
kita kejar karena dirinya sendiri. Keutamaan sebagai disposisi tetap untuk
melakukan yang baik, adalah penyempurnaan tertinggi dari kodrat manusia.
Manusia yang berlaku etis adalah baik begitu saja, baik secara menyeluruh, bukan
menurut aspek tertentu saja.
Pikiran ini pun bisa kita terapkan pada sicuasi bisnis. Orang bisnis juga
harus melakukan yang baik, karena hal itu baik. Atau dirumuskan dengan
terminologi modern, orang bisnis juga harus mempunyai integritas. Seperti
berlaku untuk setiap manusia, bagi orang bisnis pun tidak pantas, bila ia tidak
memiliki integritas, Dalam pekerjaannya, si pebisnis memang, mencari untung.
Perusahaan memang merupakan organisasi for profit. Tetapi pebisnis atau
perusahaan tidak mempunyai integritas, kalau mereka mengumpulkan kekayaan
tanpa pertimbangan moral, Bandingkan pebisnis satu yang menjadi kaya dengan
menipu dan merugikan orang lain dengan pebisnis kedua yang cukup sukses
(biarpun barangkali tidak sekaya seperti yang pertama tadi) sambil terap
mempertahankan integritas moral yang tinggi, seperti misalnya kejujuran.
Pebisnis kedua itu menjalankan pekerjaannya dengan baik. Hati nuraninya juga
akan menyaksikan hal itu. Mestinya setiap pebisnis berlaku seperti dia dan tidak
berkelakuan seperti yang pertama tadi. Yang baik harus menjadi tujuan setiap
perilaku manusia.
§ 2. Kode etik perusahaan
1. Manfaat dan kesulitan aneka macam kode etik perusahaan
Dalam sejarah, sudah lama kita mengenal kode etik profesi dalam berbagai
bentuk. Sebagai kode etik profesi yang paling tua dapat dipandang "Sumpah
Hippokrates” (abad ke-5 SM) yang merupakan permulaan suatu tradisi panjang
kode etik kedokteran sampai pada hari ini. Dalam zaman modern, selain profesi
medis, ada banyak profesi lagi yang memiliki sebuah kode etik khusus, misalnya
para pengacara, wartawan, akuncan, insinyur, dan psikolog. Fenomena ini mulai
mencuat dalam dasawarsa 1970an, antara lain karena terjadinya beberapa skandal
korupsi dalam kalangan bisnis. Perkembangan ini mulai tampak di Amerika
Serikat dan kemudian diikuti oleh Inggris dan negara-negara Eropa Barat lainnya,
Menurut survei yang dilakukan oleh Center for Business Ethics dari Bentley
College, Amerika Serikat, pada 1990, maka 93 persen dari perusahaan pada daftar
majalah fortune yang disebut "Fortune 500 service” dan "Fortune 500 industrial”
memiliki suatu kode etik perusahaan yang tertulis. Dalam sebuah survei sejenis
lima tahun gebelumnya jumlah itu sudah mencapai 75 persen. Di samping kode
ctik, menurut gurvei dari 1990 iru 25 persen perusahaan membentuk suatu komisi
ctika dan 52 persen menyelenggarakan pelatihan dalam etika untuk karyawan.”)
Di Eropa Barat juga hampir semua perusahaan besar mempunyai sebuah kode
etik. Di Indonesia kita belum mendengar tentang kemungkinan ini, kecuali pada
perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia.
Apa yang sampai sekarang kami sebut "kode etik perusahaan”, pada kenyataannya
bisa beraneka ragam. Patrick Murphy menggunakan istilah umum ethics
statements dan membedakan tiga macam. Pertama, terdapat values statements atau
pernyataan nilai. Dokumen seperti itu singkat saja dan melukiskan apa yang
dilihat oleh perusahaan sebagai misinya. Sering kali disebut nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh pendiri perusahaan. Jadi, nilai-nilai yang dikemukakan di
sini sering kali lebih luas daripada nilainilai etis saja. Kedua, ada corporate credo
atau kredo perusahaan, yang biasanya merumuskan tanggung jawab perusahaan
terhadap para stakeholder, khususnya konsumen, karyawan, pemilik saham,
masyarakat umum, dan lingkungan hidup. Manfaat kode etik perusahaan dapat
dilukiskan sebagai berikut;
1) Kode etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah
dijadikan sebagian corporate culture. Hal itu terutama penting bagi perusahaan
besar, di mana tidak semua karyawan mengenal satu sama lain. Dengan adanya
kode etik, secara intern semua karyawan terikat dengan standar etis yang sama,
schingga akan mengambil keputusan yang sama pula untuk kasuskasus yang
sejenis. Misalnya, selalu akan mereka tolak dilibatkan dalam tindak korupsi.
Secara ekstern, para stakeholder lain — seperti pemasok dan konsumen —
memaklumi apa yang bisa diharapkan dari perusahaan. Reputasi yang baik di
bidang etika merupakan aset yang amat penting bagi suatu perusahaan.
2) Kode etik dapat membantu dalam menghilangkan grey area atau kawasan
kelabu di bidang etika. Beberapa ambiguitas moral yang sering merongrong
kinerja perusahaan, dengan demikian dapat dihindarkan. Misalnya, menerima
komisi atau hadiah, kesungguhan perusahaan dalam memberantas pemakaian
tenaga kerja anak, dan keterlibatan perusahaan dalam melindungi lingkungan
hidup.
3) Kode etik dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab
sosialnya. Sudah kita lihat sebelumnya (Bab 9) bahwa tanggung jawab sosial
dalam arti negatif secara moral cukup jelas, sedangkan tanggung jawab sosial
dalam arti positif pada umumnya tidak mewajibkan perusahaan. Tetapi sangat
diharapkan perusahaan tidak membatasi diti pada standar minimal. Melalui kode
etiknya ia dapat menyatakan bagaimana ia memahami tanggung jawab sosial
dengan melampaui minimum tersebut.
4) Kode etik menyediakan bagi perusahaan — dan dunia bisnis pada umumnya -
kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri (self regulation). Dengan demikian,
negara tidak perlu campur tangan. Negara baru membuat peraturan, bila dunia
bisnis tidak berhasil mengatur dirinya sendiri dan menciptakan kerangka moral
untuk perilaku yang benar. Hal itu penting dari sudut ekonomi, karena sistem
ekonomi pasar bebas dengan itu disertai perangkat etika. Hal itu penting juga dari
sudut demokrasi, karena — sesuai dengan prinsip subsidiaritas ~ sedapat mungkin
pemerintah menunjang prakarsa dari masyarakat bisnis. Kerangka moral yang
berasal dari masyarakat bisnis itu sendiri, jauh lebih efektif ketimbang dipaksakan
dari luar.

Namun demikian, penguraian tentang kode etik perusahaan ini akan


menjadi terlalu optimistis, kalau tidak disoroti juga kelemahan besar yang
menyangkut upaya melembagakan etika dalam perusahaan ini. Memang benar,
sering ditimbulkan harapan terlampau besar dengan adanya kode etik perusahaan.
Hiarapan ini dalam kenyataan konkret kerap kali tidak terpenuhi, sehingga banyak
orang bersikap skeptis terhadap manfaat kode etik perusahaan. Membuat sebuah
kode etik ternyata tidak merupakan solusi yang cukup untuk memecahkan semua
kesulitan moral bagi perusahaan. Karena itu tidak mengherankan, bila kode etik
perusahaan menemui kritik juga." Antara lain dikemukakan tiga butir kritik
sebagai berikur."”
1) Kode etik perusahaan sering kali merupakan formalitas belaka. Fungsinya
sebatas window dressing: membuat pihak luar kagum dengan perusahaan. Kode
etik dalam bingkai kencana digantungkan pada dinding ruang kerja para direktur,
tetapi kurang berperanan dalam kegiatan sehari-hari dari perusahaan. Dengan
demikian kode etik menjadi suatu unsur public relations saja, tanpa substansi real.
2) Banyak kode etik perusahaan dirumuskan dengan terlalu umum, sehingga tidak
menunjukkan jalan keluar bagi masalah moral konkret yang dihadapi oleh
perusahaan. Setiap peraturan tertulis harus diinterpretasikan. Tetapi untuk kode
etik tidak ada instansi dan prosedur yang menyediakan interpretasi berwibawa,
kecuali keputusan dari pimpinan. Dengan demikian, manfaat kode etik sangat
berkurang, karena jika yang menentukan adalah keputusan pimpinan, mengapa
perusahaan membutuhkan kode etik lagi?
3) Kritik yang paling berat adalah bahwa jarang sekali tersedia enforcement untuk
kode etik perusahaan. Jarang sekali ada sanksi uncuk pelanggaran. Dengan
demikian kode etik menjadi kurang efektif, karena hampir tidak dirasakan
perbedaan jika ada kode etik atau tidak. Agar efektif, kode ctik (dan peraturan apa
saja) harus ditegakkan juga dan untuk ieu mau tidak mau diperlukan sanksinya.
Semua keberatan ini tidak menunjukkan bahwa kode etik itu sendiri tanpa arti.
Kode etik perusahaan tetap berguna untuk merumuskan standar etis yang jelas dan
tegas untuk semua karyawan dan jangkauan tanggung jawab sosial perusahaan,
Hanya perlu dicari lagi jalan untuk menjamin keefektifan kode etik. Supaya usaha
itu akan berhasil, terutama faktor-faktor berikuc ini dapat membantu.
1) Kode etik sebaiknya dirumuskan berdasarkan masukan dari semua karyawan,
schingga mencerminkan kesepakatan semua pihak yang terikac olehnya. Kode
etik perusahaan tidak bisa berfungsi dengan baik, kalau didrop begicu saja dari
atas (pimpinan).
2) Harus dipertimbangkan dengan teliti bidang-bidang apa dan topik-topik mana
sebaiknya tercakup oleh kode etik perusahaan. Tidak perlu dimuat halhal yang
kurang berguna dan tidak mempunyai dampak nyata, tetapi tidak boleh diabaikan
juga masalah moral apa pun yang berperanan dalam kalangan perusahaan atau
berhubungan dengan stakeholders.

3) Kode etik perusahaan sewaktu-waktu harus direvisi dan disesuaikan dengan


perkembangan intern maupun ekstern. Untuk hal ini beberapa perusahaan besar
sudah memanfaatkan jasa sebuah komisi etika atau seorang pejabat etika yang
khusus (ethical officer).
4) Yang paling penting adalah bahwa kode etik perusahaan ditegakkan secara
konsekuen dengan menerapkan sanksi. Tetapi, tentu saja, hal itu harus dilakukan
dengan fair dan adil. Harus ada prosedur juga untuk naik banding. Kehadiran
"ombudsman” dalam perusahaan dapat membantu agar semua masalah bisa
diselesaikan dengan memuaskan.

2. Ethical auditing
Suatu inisiatif yang menarik adalah pemeriksaan atas kinerja etis dan
sosial perusahaan oleh sebuah institut independen. Di Amerika Serikat inisiatif ini
sudah dilaporkan dalam dasawarsa 1980-an,"” sedangkan di Eropa baru tampak
akhir-akhir ini. Keberhasilan pemeriksaan seperti itu tentu untuk sebagian besar
tergantung pada kredibilitas institut yang melakukannya. Beberapa institut di
Eropa yang bergerak di bidang itu adalah European Institute for Business Ethics
di Breukelen, Belanda, New Economic Foundation di London, Inggris, Institute of
Social and Ethical Accountability, di London juga, dan Copenhagen Business
School di Denmark. Nama yang dipakai untuk pemeriksaan ini berbeda-beda,
seperti sering terjadi dengan bidang baru yang belum mantap. Selain ethical
auditing,dipakai juga nama ethical accounting, social auditing, stakeholder
auditing, social erformance report, dan lain-lain.
Untuk menilai kinerja finansial sebuah perusahaan sudah lama ada standarstandar
accounting yang diterima secara nasional dalam suatu negara dan malah secara
internasional, Pada akhir tahun setiap perusahaan membuat laporan yang
didasarkan atas standar-standar tersebut. Kode etik tidak lagi sebatas perhiasan
saja. Pemeriksaan atas kinerja etis dan sosial itu tidak saja dilakukan terhadap
perusahaan, tapi juga terhadap organisasi nirlaba, Organisasi-organisasi seperti itu
pun harus berpegang pada standar-standar etis, entah mereka memiliki kode etik
tertulis atau tidak. Misalnya, menjadi anch sekali, bila organisasi nirlaba scpcrti
Palang Merah Internasional menginvestasikan sebagian dananya dalam industri
senjata. Namun hal seperti itu bisa saja terjadi.

3. The Body Shop sebagai contoh


The Body Shop adalah sebuah perusahaan internasional yang berasal dari Inggris
dan bergerak di bidang kosmetika serta toiletries. Perusahaan ini didirikan oleh
Anita Roddick pada 1976, dan 20 tahun kemudian sudah mempunyai omzet
setengah miliar dollar AS. Kini The Body Shop mempunyai toko tersebar di
seluruh dunia, antara lain sekitar 300 toko di Amerika Serikat. Perusahaan ini
selalu menitikberatkan manajemen yang etis. "First and foremost are the values”
merupakan ungkapan terkenal dari Anita Roddick. Rupanya Roddick pula yang
pertama kali melontarkan gagasan mengenai audit sosial dan tis.)
Setiap dua tahun The Body Shop membiarkan dirinya diaudit dari segi
sosial dan ttis, Audit pertama itu dilakukan oleh /nstitute of Social and Ethical
Accountability dan diterbitkan dengan judul The Values Report 1995 (1996).""
Dalam audit ini antara lain diperiksa pelaksanaan dua dokumen etika yang
dimiliki perusahaan ini; The Body Shop Mission Statement dan The Body Shop
Trading Charter sebagai berikut,
THE BODY SHOP MISSION STATEMENT
Mission Statement - Our Reason for Being
To dedicate our business to the pursuit of social and environmental change
To Creatively balance the financial and human needs of our stakeholders:
employees, customers, franchisees, and shareholders.
To Courageously ensure that our business is ecologically sustainable: meeting the
needs of the present without compromising the future.
To Meaningfully contribute to local, national and international communities in
which we trade, by adopting a code of conduct which ensure care, honesty,
fairness and respect.
To Passionately campaign for the protection of the environment, human and civil
rights, and against animal testing within the cosmetics and toiletries industry.
To Tirelessly work to narrow the gap between principle and practice, whilst
making fun, passion and care part of our daily lives.
Pelaksanaan teknis dari audit etis dan sosial ini hanya bisa disinggung
dengan singkat. Values Report 1995 terdiri atas tiga pernyataan yang membahas
kinerja perusahaan di bidang sosial (HAM, kesehatan dan keselamatan kerja,
diskriminasi, dan sebagainya), di bidang lingkungan hidup, dan di bidang
perlindungan binatang (masalah yang aktual khususnya untuk perusahaan
kosmetika). Dalam laporan dari 1997 diberi uraian lebih terintegrasi. Values
Report 1995 membedakan 10 macam stakeholders dan membuat wawancara serta
angket di antara mereka. Ditentukan juga indikator-indikator kinerja. Manajemen
diberi kesempatan untuk menanggapi kelemahan yang disinyalir dengan
merumuskan Next Steps. Dalam audit berikutnya diperiksa lagi bagaimana
rencana-rencana ini ditindaklanjuti. Laporan akhir dipublikasikan (bersama
dengan ringkasan dan lembar khusus untuk karyawan) dan diharapkan komentar
dari luar.

3. Good ethics, good business


Sebagaimana sudah beberapa kali disebut sebelumnya, gerakan etika
bisnis mulai bergulir di Amerika Scrikat setelah terjadi sejumlah skandal bisnis.
Pada permulaannya sering diragukan entah etika bisnis itu mungkin. Malah
ditanyakan apakah paham "etika bisnis” tidak merupakan sebuah oxymoron atau
kontradiksi dalam sebutan, karena menurut kodratnya bisnis sering dianggap
justru tidak etis. Keraguan itu sekarang sudah banyak hilang. Rupanya dalam
dunia bisnis kini telah terbentuk sikap lebih positif. Sudah tertanam keinsafan
bahwa bisnis harus berlaku etis demi kepentingan bisnis itu sendiri. Terdengar
semboyan baru seperti Ethics pay (ctika membawa untung), Good business is
ethical business, Corporate ethics: a prime business asset. Pada sampul buku
populer tentang etika bisnis yang ditulis. Oleh Kenneth Blanchard dan Norman
Vincent Peale tertulis dengan huruf besar: Integrity pays! You don't have to cheat
to win (Integritas moral membawa untung! Tidak perlu Anda menipu untuk
menang).") Dalam kode etiknya atau dengan cara lain, kini banyak perusahaan
mengakui pentingnya etika untuk bisnis mereka.

Bahkan telah diusahakan untuk menunjukkan secara empiris bahwa


perusahaan yang mempunyai standar etis tinggi tergolong juga perusahaan yang
sukses. Mark Pastin menyusun daftar 25 perusahaan yang high ethics — high
profit." Dan ada beberapa studi lain yang memperlihatkan perkaitan positif antara
perhatian untuk etika dan keuntungan finansial. Studi-studi lain lagi tidak berhasil
membuktikan adanya perkaitan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Periklanan atau reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis


modern.Kenyataan ini berkaitan erat dengan cara berproduksi industri modern
yang menghasilkan produk-produk dalam kuantitas besar, sehingga harus mencari
pembeli.Dan pasti ada kaitannya juga dengan sistem ekonomi pasar. Iklan justru
dianggap cara ampuh untuk menonjol dalam persaingan. Dalam perkembangan
periklanan, media komunikasi modern- media cetak maupun elektronis, tapi
khususnya televisi memegang peranan dominan. Dalam periklanan dapat
dibedakan dua fungsi yaitu: Fungsi informatif dan fungsi persuasif. Dunia bisnis
sendiri sering berbicara tentang periklanan seolah-olah fungsinya yang utama
adalah menyediakan informasi.Sedangkan dalam dunia konsumen (khususnya
mereka yang lebih kritis) periklanan terutama dilihat sebagai usaha promosi.
Demikian juga iklan dalam sektor jasa tertentu seperti asuransi dan pariwisata
(hotel,tour,fasilitas rekreasi) atau iklan dalam surat kabar tentang harga makanan
di toko swalayan. Iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan
mempunyai unsur persuasif yang lebih menonjol. Manipulasi dengan periklanan
Masalah kebenaran terutama berkaitan dengan segi informatif dari iklan (tapi
tidak secara eksklusif), sedangkan masalah manipulasi terutama berkaitan dengan
segi persuasif dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari segi informatifnya). Mulai
dari ada dua cara periklanan untuk memanipulasi orang itu Cara pertama adalah
apa yang dimaksud dengan Subliminal Adverising, dengan istilah ini
dimaksudkan teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan
begitu cepat sehingga tidak diprepsesikan dengan sadar tapi, Tinggal dibawah
ambang kesadaran ( karena itu Sub- liminal; dari kata latin limen = ambang ).

Masalah sekitar lingkungan hidup baru mulai disadari sepenuhnya dalam


tahun 1960-an. Sekaligus disadari pula bahwa masalah itu secara langsung atau
tidak langsung disebabkan oleh bisnis modern, khususnya oleh cara berproduksi
dalam industri yang berlandaskan ilmu dan teknologi maju. Dalam konteks
lingkungan, dapat diterapkan pendapat Karl Marx - yang sebetulnya dikemukakan
dalam konteks lain-bahwa perubahan kuantitas bisa mengakibatkan perubahan
kualitas. Jika satu cerobong pabrik memuntahkan asap hitam pekat ke dalam
udara, dengan itu kualitas udara hampir tidak dipengaruhi. Tetapi jika jutaan
cerobong melakukan hal yang sama, udara sudah menjadi lain dan pemakaiannya
untuk bernapas bisa menyebabkan kesulitan. Jika satu pohon ditebang, suatu
daerah tidak akan berubah. Tetapi jika ratusan hektar hutan dibabat dalam waktu
singkat, daerah itu bisa mengalami erosi dan keadaan gersang yang tidak mudah
dipulihkan kembali. Inti masalah lingkungan hidup adalah bahwa bisnis modern
yang memanfaatkan ilmu dan teknologi canggih telah membebankan alam di atas
ambang toleransi. Selama alam dimanfaatkan dalam batas, keutuhan dan
keseimbangannya masih bisa bertahan. Tetapi kini alam sudah dieksploitasi
dengan melewati batas. Jika keadaan ini dilanjutkan terus, alam dengan segala
ekosistemnya akan hancur sama sekali. Tentu saja, krisis lingkungan hidup
disebabkan juga oleh faktor-faktor lain, khususnya jumlah penduduk bumi yang
semakin besar. Tetapi faktor terakhir ini pun disebabkan oleh ilmu dan teknologi
modern yang dapat memberantas banyak penyakit dan memungkinkan manusia
hidup lebih lama.
Sudah sejak dahulu kala bisnis atau pada waktu itu masih terbatas pada
“perdagangan “menjadi sarana penting untuk mendekatkan negara-negara dan
bahkan kebudayaan -kebudayaan yang berlain- lainan . Kalau dilihat dalam
bentuk perspektif sejarah, perdagangan merupakan faktor penting dalam
pergaulan antara bangsa-bangsa. Internasional bisnis yang semakin mencolok
sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru . Tidak mengherankan jika
terutama tahun – tahun terakhir ini di beri perhatian khusus kepada aspek-aspek
etis dalam bisnis internasional. Dalam bisnis internasional kita harus bisa
menyesuaikan diri dengan norma – norma etis yang berlaku di negara di mana kita
mempraktekkan bisnis. Tetapi kita juga harus berpegang pada norma – norma etis
yang berlaku di negara kita sendiri.Sebaliknya Bisnis di negara lain tidak perlu
berpegang pada norma- norma etis karena hal itu akan merugikan posisinya
pelaksanaan bisnis dengan lebih ketat dan efisien daripada di negara berkembang.
Suatu perusahaan dari negara maju akan dirugikan kalau diluar negeri harus
menerapkan semua peraturan yang berlaku di negerinya sendiri.
Jika perusahaan ingin mencatat sukses dalam bisnis, menurut Richard Dé
George ia membutuhkan tiga hal pokok: produk yang baik, manajemen yang
mulus, dan etika.” Selama perusahaan memiliki produk yang bermutu serta
berguna untuk masyarakat dan di samping itu dikelola dengan manajemen yang
tepat di bidang produksi, finansial, sumber daya manusia, dan lain-lain, tetapi ia
tidak mempunyai etika, maka kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu
sandungan baginya. Kalau dulu pebisnis mesti mengandalkan bakat alami saja,
sekarang manajer yang profesional hampir tidak mungkin lagi memiliki
ketrampilan cukup tanpa pendidikan khusus. Justru pendidikan manajemen itu
membuat bisnis menjadi suatu profesi tersendiri. Ketika Harvard Business School
didirikan pada awal abad ke-20, direkturnya A. Lawrence Lowell menyebut bisnis
"the oldest of the arts, the newest of the professions”. Selaku kegiatan ekonomis,
bisnis selalu sudah dipraktekkan sepanjang sejarah. Selaku profesi, bisnis
merupakan Sesuatu yang baru, karena sekarang tersedia pelatihan, pendidikan,
dan penelitian khusus untuk memperoleh ketrampilan di bidang itu. Kesanggupan
alami saja tidak lagi mencukupi untuk memimpin sebuah perusahaan modern.
Sebagaimana sudah beberapa kali disebut sebelumnya, gerakan etika bisnis mulai
bergulir di Amerika Scrikat setelah terjadi sejumlah skandal bisnis. Pada
permulaannya sering diragukan entah etika bisnis itu mungkin. Malah ditanyakan
apakah paham "etika bisnis” tidak merupakan sebuah oxymoron atau kontradiksi
dalam sebutan, karena menurut kodratnya bisnis sering dianggap justru tidak etis.
Keraguan itu sekarang sudah banyak hilang. Rupanya dalam dunia bisnis kini
telah terbentuk sikap lebih positif. Sudah tertanam keinsafan bahwa bisnis harus
berlaku etis demi kepentingan bisnis itu sendiri. Terdengar semboyan baru seperti
Ethics pay (ctika membawa untung), Good business is ethical business, Corporate
ethics: a prime business asset. Pada sampul buku populer tentang etika bisnis yang
ditulis
DAFTAR PUSTAKA

Buku Pengantar Etika Bisnis (Edisi Revisi)

Pengarang : K. BERTENS

Anda mungkin juga menyukai