Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH DASAR-DASAR PERIKLANAN

“ETIKA PERIKLANAN”

Disusun Oleh:
Salsa Nabila Putri (2270201032)
Yuni Marlena (2270201011)
Rifdah Syara Putri (2270201094)
Mela Verdeah (2270201037)
Muhammad Dwi Sandi (2270201046)

Dosen Pengampu;
Rasman, M.Ikom

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Etika Periklanan”
ini tepat pada waktunya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu mata kuliah Dasar-
Dasar Periklanan, selain itu makalah ini dibuat untuk memperdalam pemahaman tentang
dasar dan etika periklanan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rasman, M.Ikom, selaku Dosen mata
kuliah Dasar-Dasar Periklanan yang telah memberikan bimbingan dan dorongan sehingga
kami dapat menambah pengetahuan dan wawasan.
Penulis menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
pada umumnya. Penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak yang
membangun.

Bengkulu, April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................................ii
Daftar Isi..............................................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2
BAB II Pembahasan............................................................................................................3
A. Etika dalam Periklanan..........................................................................................3
B. Menelaah Kasus Iklan Bermasalah.......................................................................8
C. Iklan “Build in” dari Sudut Pandang Etika............................................................14
BAB III Penutup..................................................................................................................16
A. Simpulan................................................................................................................16
Daftar Pustaka......................................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Iklan merupakan salah satu bentuk penyampaian informasi mengenai barang
dan/atau jasa dari produsen kepada konsumen, oleh sebab itu kedudukan iklan sangat
penting bagi pelaku usaha sebagai media untuk memperkenalan produk dan/atau jasa
yang ditawarkan kepada konsumen. Apabila tidak ada iklan, produk barang dan/atau jasa
tidak dapat mengalir secara lancar kepada pihak penjual maupun distributor, bahkan
produk barang dan/atau jasanya tidak akan sampai ke tangan konsumen atau
pemakainya. Iklan di identikan sebagai media promosi dan pengenalan bagi produk yang
akan di produksi atau di jual ke masyarakat.
Masa pengiklanan, pelaku usaha berkewajiban menyampaikan informasi yang
benar, lengkap, jujur, dan jelas. Pelaku usaha dalam menyampaikan informasi tersebut
harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami, serta dilarang menyembunyikan suatu
hal penting yang semestinya diketahui konsumen. Apabila informasi iklan yang
disampaikan kepada konsumen tidak lengkap dan dapat merugikan konsumen, maka
informasi tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Tetanoe, 2017).
Peraturan mengenai periklanan sebenarnya secara umum sudah diatur pada
beberapa peraturan perundang-undangan, namun dalam praktiknya masih terdapat
banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha/produsen yang dapat merugikan
konsumen. Iklan menyesatkan adalah suatu berita pesanan yang mendorong, membujuk
khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa
seperti surat kabar atau majalah, namun isi berita yang disajikan belum diketahui
kebenarannya (Paramita dan Desak, 2017).
Iklan bisa dianggap sebagai iklan yang menyesatkan atau mengelabui konsumen
jika memenuhi beberapa unsur seperti halnya bahasa superlatif, upaya penipuan produk
dengan menampilkan review produk dengan hasil yang belum pasti. Pemerintah dalam
hal mengantisipasi kerugian konsumen terutama dalam hal periklanan barang atau jasa,
membentuk sebuah Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia
(BPKN) yang memiliki fungsi untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah
tentang kebijakan perlindungan konsumen, melakukan penelitian mengenai barang/jasa
yang menyangkut keselamatan konsumen, dalam hal ini peran BPKN untuk mengawasi
iv
beredarnya suatu produk terutama periklanan, bisa dianggap layak atau tidak layak untuk
konsumen, menyesatkan atau tidak dianggap menyesatkan bagi konsumen, serta
menerima pengaduan dari konsumen atas iklan suatu produk yang dianggap mengelabui
atau menyesatkan.
Peredaran iklan yang menyesatkan sebenarnya telah diatur di dalam pasal 8 ayat
(1) undang-undang perlindungan konsumen yang di jelaskan bahwa pelaku usaha
dilarang memproduksi barang yang tidak sesuai dengan label, atau pun komposisi barang
tersebut atau pun iklan yang bertentangan dengan kepatutan masyarakat dalam aturan
kode iklan, misalkan mengiklankan yang tidak sesuai dengan realistas produk tersebut,
itu merupakan hal yang bermasalah (Netty, 2006). Oleh karena itu, aktifitas bisnis tidak
terlepas dari hukum dagang atau hukum bisnis. Seperti etika, hukum merupakan sudut
pandang normatif karena menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan (Azizah dan Hariyanto, 2021).
B. Rumusalan Masalah
1. Bagaimana Etika dalam Periklanan?
2. Bagaimana Menelaah Kasus Iklan Bermasalah?
3. Bagaimana iklan “Build In” dari Sudut Pandang Etika?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami etika dalam periklanan
2. Untuk mengetahui dan memahami menelaah kasus iklan bermasalah
3. Untuk mengetahui dan memahami iklan “build in” dari sudut pandang etika

v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Etika dalam Periklanan
Kata iklan (advertising) berasal dari bahasa Yunani. Adapun penegertian iklan
secara komprehensif adalah semua bentuk aktivitas untuk mengahadirkan dan
mempromosikan ide, barang, atau jasa secara nopersonal yang dibayar oleh sponsor
tertentu. Heru Satyanugraha membagi menjadi dua persoalan etika yang saling
berkaitan,yaitu:
1. Menyangkut kebenaran akan sebuah iklan. Pada umumnya periklanan tidak
mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang kebenaran. Kerap kali
iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik.
2. Manipulasi publik (khalayak). Hal ini berkaitan dengan segi persuasif dari iklan (tapi
juga tidak terlepas dari informasinya). Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti
motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ditanamkan dalam dirinya dari
luar (Azizah, 2016).
Etika adalah arah atau kode moral dari suatu situasi di mana seseorang bertindak
dan mempengaruhi perilaku orang atau kelompok lain. Definisi etika juga berlaku untuk
kelompok media sebagai badan utama etika yang ada. Pilihan moral juga harus
didasarkan pada norma atau nilai yang merupakan prinsip utama perilaku etis. Etika
memiliki beberapa ciri dasar yang berlaku universal:
1) Memiliki nilai moral (baik atau buruk, benar atau salah)
2) Memiliki nilai sosial (melindungi kepentingan lebih banyak orang)
3) Relatif (apa yang dianggap baik / benar dalam kelompok / era tertentu belum tentu
baik / benar di kelompok / era tertentu lain)
4) Buatan Manusia (karena dibuat untuk mengatur tingkah laku orang lain agar
bermanfaat bagi seluruh masyarakat)
5) Mempertahankan tujuan bersama (kesatuan permanen untuk mencapai tujuan grup)
(Fourqoriah dan Muhammad, 2020).
Etika periklanan harus berlandaskan nilai-nilai syariah. Dari landasan Syari’ah
mengenai ajaran etika periklanan maka Islam mengajarkan ajaran etika beriklan sebagai
berikut :

vi
a. angan mudah mengobral sumpah, jadi dalamberiklan janganlah mengucapkan janji
yang sekiranya janji itu tidak dapat dipenuhi.
b. Jujur, terbuka dan tidak menyembunyikan cacat barang dagangan.
c. Menjaga agar selalu memenuhi akad dan janji serta kesepakatan-kesepakatan
diantara dua belah pihak (pembeli dan penjual).
d. Menghindari mengiklankan kepalsuan yang bertujuan menarik perhatian pembeli
dan mendorongnya untuk membeli
e. Rela dengan laba sedikit karena itu akan mengundang kepada kecintaan manusia dan
menarik banyak pelanggan serta mendapat berkah dalam rezeki.
f. Jangan mudah mengobral sumpah, jadi dalam beriklan janganlah mengucapkan janji
yang sekiranya janji tersebut tidak bisa ditepati.
g. Menjaga agar selalu memenuhi akad dan janji serta kesepakatan-kesepakatan
diantara dua belah - pihak (pembeli dan penjual) (Hanif, 2018).
Terdapat paling kurang 3 prinsip moral yang bisa dikemukakan di sini
sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam iklan. Ketiga hal itu adalah (1)
masalah kejujuran dalam iklan, (2) masalah martabat manusia sebagai pribadi, dan (3)
tanggung jawab sosial yang mesti diemban oleh iklan. Ketiga prinsip moral yang juga
digarisbawahi oleh dokumen yang dikeluarkan dewan kepausan bidang komunikasi
sosial untuk masalah etika dalam iklan ini kemudian akan didialogkan dengan pandangan
Thomas M. Gerrett, SJ yang secara khusus menggagas prinsip-prinsip etika dalam
mempengaruhi massa (bagi iklan) dan prinsip-prinsip etis konsumsi (bagi konsumen).
1. Prinsip Kejujuran dalam Iklan
Prinsip ini berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan
seringkali dilebih-lebihkan, sehingga bukannya menyajikan informasi mengenai
persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi
bahkan menciptakan kebutuhan baru. Maka yang ditekankan di sini adalah bahwa isi
iklan yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya
dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi
logis, adalah upaya manipulasi dengan motif apa pun juga (Subroto, 2011).
Di Amerika Serikat, misalnya, dalam pembuatan iklan hal-hal berikut ini
dilarang:
1) Pesan yang tidak jujur atau yang sifatnya menyesatkan karena melebih-lebihkan
kenyataan apa adanya dari barang dan jasa yang diiklankan.

vii
2) Menafsirkan secara salah isi (content) produksi sebuah barang dan jasa, entah itu
dilakukan oleh produsen sendiri (the advertisers) atau oleh pihak editor maupun
fotografer.
3) Pernyataan-pernyataan atau pesan-pesan yang bertentangan dengan tatakrama
masyarakat.
4) Pernyataan-pernyataan yang bermaksud melecehkan perusahaan lain lewat
propaganda bahwa barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan lain itu tidak
bermutu.
5) Klaim-klaim harga yang menyesatkan,
6) Pernyataan-pernyataan atau pesan-pesan yang mengaburkan arti yang sebenarnya
dan juga tidak aplikabel, tetapi kemudian diklaim sebagai yang didukung oleh
pendapat para ahli atau otoritas ilmiah tertentu.
7) Menegaskan kualitas barang dan jasa lewat kesaksian dari konsumen tertentu yang
tidak kompeten sehingga pendapatnya tidak mencerminkan pilihan yang sejati dan
bertanggung jawab mengenai pemakaian barang dan jasa tertentu.
8) Iklan-iklan yang lebih mementingkan unsur sugesti, dalam arti menonjolkan
dimensi-dimensi emosional, dorongan-dorongan bawah-sadar dan seks, di mana
lewat hal-hal ini dimensi rasionalitas manusia tidak mendapat tempat yang wajar.
Iklan sesungguhnya adalah sebuah media informasi mengenai kelangkaan barang
dan jasa yang dibutuhkan konsumen, dengan catatan bahwa tanpa dipengaruhi oleh
aneka iklan yang canggih pun konsumen tetap mencari dan mendapatkan barang dan jasa
yang ia butuhkan karena itu merupakan kebutuhan-kebutuhan dasar. Masalahnya tentu
saja akan menjadi lain jika peran iklan bergeser menjadi upaya penumpukan profit
setinggi mungkin, sehingga yang tampak adalah iklan-iklan yang bersifat propaganda.
Hal terakhir ini yang justru ditolak secara etis, karena bukan saja melecehkan kebebasan
manusia dalam memilih barang dan jasa yang ia perlukan, tetapi juga mencoreng peran
mulia dari iklan itu sendiri selaku penyaji informasi yang jujur (Jena, 2018)
2. Prinsip Martabat Manusia sebagai Pribadi
Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi semakin
ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutn imperatif (imperative requirement). Iklan
semestinya menghormati hak dan tanggung jawab setiap orang dalam memilih secara
bertanggung jawab barang dan jasa yang ia butuhkan. Ini berhubungan dengan dimensi
kebebasan yang justeru menjadi salah satu sifat hakiki dari martabat manusia sebagai
pribadi. Maka berhadapan dengan iklan yang dikemas secanggih apa pun, setiap orang
viii
seharusnya bisa dengan bebas dan bertanggung jawab memilih untuk memenuhi
kebutuhannya atau tidak.
Manusia seakan-akan dideterminir untuk memilih barang dan jasa yang
diiklankan, hal yang membuat manusia jatuh ke dalam sebuah keniscayaan pilihan.
Keadaan ini bisa terjadi karena kebanyakan iklan dewasa ini dikemas sebegitu rupa
sehingga menyaksikan, mendengar atau membacanya segera membangkitkan “nafsu”
untuk memiliki barang dan jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa memiliki
barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarkat, dll. Jika ini terjadi
maka, menurut Thomas M. Garreth, SJ, iklan sesungguhnya melupakan satu hal yang
dalam etika iklan sendiri telah diterima: “Kewajiban bertindak rasional” dan kewajiban
“membantu orang lain untuk bertindak yang sama.”Tentang hal ini Garreth menulis:
“Kita semua berkewajiban untuk bertindak berdasarkan refleksi dan pertimbangan-
pertimbangan rasional. Tetapi sejauh sebagai manusia selalu saja terjadi bahwa kita
bertindak secara irasional. Inilah keterbatasan ruang dan waktu kita yang membuat hanya
sebagian kecil dari kita yang biasa bertindak rasional dan manusiawi. Demikianlah
dengan meminta kita bertindak secara rasional para etikawan mengkualifikasi kewajiban-
kewajiban tertentu yang mesti kita penuhi. Dengan bertindak rasional terhadap
kewajiban-kewajiban tersebut kita memperlihatkan pula tanggung jawab selalu pribadi.
Pada titik ini pula kita dievaluasi secara moral.
Thomas M. Garreth, SJ sendiri mengecam habis-habisan iklan yang semata-mata
mementingkan unsure irasional dan sugestif sebagai yang melawan cinta kasih kepada
sesama, karena iklan-iklan tipe ini melecehkan manusia sebagai animale rationale yang
semestinya selalu bertindak rasional dalam setiap tindakannya, karena hanya dengan
demikian ia bisa dengan bebas dan bertanggung jawab menentukan pilihan-pilihannya.
Lebih mengerikan lagi adalah bahwa iklan seringkali merugikan anak-anak yang tingkat
kesadaran serta otonomi moralnya masih sangat terbatas, atau juga masyarakat miskin
yang pada umumnya belum membebaskan diri dari preokupasi-preokupasi untuk
memiliki semakin banyak barang dan jasa pemuas kebutuhan.
3. Iklan dan Tanggung Jawab Sosial
Iklan harus menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru karena perananya yang
utama selaku media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan
manusia, namun dalam kenyataannya sulit dihindari bahwa iklan meningkatkan
konsumsi masyarakat. Artinya bahwa karena iklan manusia “menumpuk” barang dan
jasa pemuas kebutuhan yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer.
ix
Penumpukan barang dan jasa pada orang atau golongan masyarkat tertentu ini disebut
sebagai surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan. Menyedihkan bahwa surplus ini
hanya dialami oleh sebagai kecil masyarakat. Bahwa sebagian kecil masyarakat ini,
meskipun sudah hidup dalam kelimpahan, toh terus memperluas batasa kebutuhan
dasarnya, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan.
Dalam konteks pemikiran seperti inilah muncul ide tanggung jawab sosial dari
iklan. Masalahnya bisa dirumuskan demikian: “Bagaimana bisa menghindari surplus atau
penumpukan barang dan jasa pemuas kebutuhan pada sebagian kecil masyarakat dan
kemudian mengaturnya demi kemakmuran bersama?” Di sini tidak berlaku perntanyaan
apakah surplus pada sebagian kecil masyarakat itu perlu dihindari, karena penegasan
afirmatif-etis, bahwa surplus itu mau tidak mau harus dihindari. Para etikawan lalu setuju
untuk menolak upaya merentang batasan kebutuhan dasar hingga tak terbatas sifatnya
Ide solidaritas sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial dari iklan.
Berhadapan dengan surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan manusia, dua hal berikut
pantas dipraktekkan. Pertama, surplus barang dan jasa seharusnya disumbangkan sebagai
derma kepada orang miskin atau lembaga/institusi sosial yang berkarya untuk kebaikan
masyarakat pada umumnya (gereja, mesjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dll).
Tindakan karitatif semacam ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kehidupan
cultural masyarakat akan semakin berkembang. Kedua, menghidupi secara seimbang
pemenuhan kebutuhan fisik, biologis, psikologis, dan spiritual dengan perhatian akan
kebutuhan masyarakat pada umumnya. Perhatian terhadap hal terakhir ini bisa
diwujudnyatakan lewat kesadaran membayar pajak ataupun dalam bentuk investasi-
investasi, yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan sebagian besar masyarakat.
Masalah keutuhan serta keselamatan lingkungan hidup juga menjadi tanggung
jawab sosial iklan. . Asumsinya adalah bahwa dengan menonjolkan peran sugestif, iklan
kemudian “menciptakan” sebuah gaya hidup konsumtif. Gaya hidup ini, selain ditandai
oleh surplus barang dan jasa yang tidak perlu, juga semakin meningkatkan permintaan
(demand). Produksi barang dan jasa yang mengikuti irama permintaan pun cendrung
meningkat. Konsekuensi langsungnya adalah permintaan akan bahan mentah yang
dihasilkan dari alam untuk produksi juga meningkat. Dan untuk kepentingan logika
produksi seperti inilah alam dikeruk secara besar-besaran. Padahal sebagian dari bahan-
bahan mentah yang tersedia di alam bersifat tak-bisa-diperbarui. Selain itu, seringkali
terjadi juga bahwa sisa-sisa barang dan jasa yang telah digunakan manusia turut merusak
alam.
x
Dr. Gregory Baum, bahwa media massa dan iklan cendrung mengkonstruksi
realitas dan bahwa realitas tersebut umumnya bersifat konsumtif-materialistis yang
sungguh-sungguh mensugesti manusia untuk secara niscaya menanggapinya, maka
bahaya pengrusakan lingkungan karena mentalitas hidup konsumtif sungguh-sungguh
serius. Sama seperti yang ditegaskan dokumen kepausan mengenai etika dalam iklan,
komitmen untuk mencegah upaya pengrusakan lingkungan ada pada mereka yang
berkehendak baik, yang mau mengusahakan sebuah kehidupan bersama yang utuh dan
integral, baik antara manusia maupun dengan lingkungan tempat kediamannya (Jane,
2018).
B. Menelaah Kasus Iklan Bermasalah
Aktivitas bisnis yang sehat tidak akan bisa terlepas dari perlindungan konsumen.
Suatu penyeimbang dalam perlindungan hukum antara produsen dengan konsumen pasti
terkandung dalam aktivitas bisnis yang sehat. Konsumen akan berada pada posisi yang
lemah jika mereka tidak memperoleh perlindungan hukum yang seimbang. Dalam
konsep teori perlindungan konsumen hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan
aturan-aturan hukum yang mencakup relasi serta permasalahan antara bamyak pihak
yang berhubungan dengan jasa atau barang konsumen pada keseharian sosial. Pada Pasal
1 angka 1 UUPK sudah terdapat mengenai definisi Perlindungan Konsumen adalah
Aneka usaha untuk melakukan penjaminan hukum yang pasti guna memberi
perlindungan pada konsumen.
Asas dan Tujuan perlindungan Konsumen Pasal 2 UUPK 8/1999 membahas
beberapa asas perlindungan konsumen, yakni: Selanjutnya, Pasal 3 UUPK 8/1999
membahas tujuan perlindungan konsumen:
1) Supaya kemandirian, kemampuan, serta kesadaran konsumen dalam melindungi diri
meningkat;
2) Supaya martabat dan harkat konsumen terangkat, sehingga mereka bisa terhindar
dari akses negatif penggunaan barang atau jasa;
3) Pemberdayaan konsumen dalam menuntut hak sebagai konsumen, menentukan, dan
memilih semakin meningkat.
4) Supaya sistem perlindungan konsumen yang punya unsur kepastian hukum serta
keterbukaan informasi dan akses guna penerimaan informasi.
5) Supaya rasa sadar pelaku usaha megenai perlindungan hukum yang menjadi dampak
hadirnya perilaku bertanggung jawab dan jujur ketika berusaha bisa tumbuh.

xi
6) Supaya kualitas jasa serta barang yang memberi keselamatan konsumen, keamanan,
kenyamanan, kesehatan, dan jaminan usaha produksi jasa dan barang
Tujuan atau keadaan yang akan diwujudkan oleh sebuah usaha, itulah yang
disebut dengan perlindungan konsumen. Sebab itu, apa yang ingin dicapai dari
perlindungan konsumen harus disiapkan dan dibangun sedari awal. Kegiatan pembuatan
dan penyelenggaraan perlindungan konsumen ialah cakupan perlindungan konsumen
(Svynarky, 2021).
Diawali dengan penyadaran hingga pemberdayaan, maka secara pelan-pelan tujua
perlindungan konsumen disusun. Namun, dalam pencapaian tujuannya hanya perlu
melihat urgensinya, bukan urutannya. Contoh, jika tujuannya ialah supaya kualitas
barang meningkat, maka untuk mencapainya tidak harus menunggu agar peningkatan
kesadaran konsumen tercapai dulu. Alangkah baiknya, jika pencapaian tujuan dilakukan
dengan bersamaan (Amalia, 2018).
1. Jenis-Jenis Iklan yang Menyesatkan bagi Konsumen
Informasi iklan yang menyesatkan menurut Milton Handler, yaitu sebuah fakta
dalam iklan tersebut adalah salah, dengan harapan dapat membujuk pembeli untuk
membeli barang yang diiklankan, dan bujukan tersebut merugikan pembeli, serta dibuat
atas dasar tindakan kecuranganatau penipuan. Lima kategori praktik penyesatan
informasi melalui media iklan antara lain:
a. Iklan yang bersifat mengelabui konsumen (misleading) terkait harga, bahan kualitas,
kuantitas, kegunaan, jaminan, ketepatan waktu, garansi barang dan/atau jasa;
b. Memberikan gambaran yang secara tidak lengkap mengenai informasi barang
dan/atau jasa;
c. Tidak memenuhi janji-janji yang dinyatakan dalam iklan;
d. Mendeskripsikan/memberikan informasi iklan secara tidak tepat, keliru, maupun
salah mengenai barang dan/ atau jasa;
e. Memberikan informasi yang berlebihan mengenai kualitas, kuantitas, kegunaan,
serta kemampuan atas barang dan/atau jasa tertentu (Dijan, 2016).
Berdasarkan bentuk praktik penyesatan yang telah dijabarkan di atas, peran media
periklanan bagi pelaku usaha sangat penting dalam menarik minat beli konsumen.
Ketika konsumen tertarik atas produk yang diiklankan, pelaku usaha akan mengarahkan
konsumen untuk segera melakukan transaksi pembayaran barang dan/atau jasa yang
diminati. Setelah konsumen melakukan pembayaran ternyata produk yang dibelinya
tidak sesuai dengan apa yang telah diiklankan, seperti halnya pada kasus Iklan Citra
xii
Natural Glowing with UV dalam iklan tersebut menyatakan bahwa Iklan Citra
mengklaim mengandung 100% natural essence dan 100% natural essence green tea
yang dipercaya dengan 10 kali vitamin C yang dapat menyerahkan kulit tubuh manusia,
namun ketika konsumen membeli dan menggunakan produk tersebut ternyata tidak ada
perubahan yang signifikan terhadap tubuh konsumen. Berikut ini beberapa contoh
bentuk iklan yang menyesatkan:
1) Kurangnya informasi iklan mengenai potongan harga (discount) Hal ini
bertentangan apabila merujuk Pasal 9 ayat 1 huruf a UUPK yang menerangkan
bahwa: “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu
barang dan atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah, barang tersebut telah
memenuhi dan atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu,
gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu”.
2) Iklan yang menggunakan kata yang berlebihan Hal ini bertentangan apabila merujuk
pada Pasal 9 ayat (1) huruf j UUPK yang menerangkan bahwa: “Pelaku usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa
menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung resiko atau efek samping tanpa keterangan yang lengkap.”
3) Iklan yang mengandung janji yang belum pasti Hal ini bertentangan apabila merujuk
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf k UUPK Konsumen yang menerangkan bahwa: “Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau
jasa yang mengandung sesuatu janji yang belum pasti.”
4) Iklan yang tidak mencantumkan resiko penggunaan produk Hal ini bertentangan
apabila merujuk pada Pasal 17 ayat 1 huruf d UUPK yang menerangkan bahwa:
“Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi
mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa.”
5) Iklan yang mengelabui dengan garansi atau jaminan Hal ini bertentangan pada Bab
III butir 1.5 Kode Etik Pariwara Indonesia Amandemen 2020 yang menjelaskan
bahwa: “Suatu iklan mencantumkan garansi atau jaminan atas mutu sesuatu produk,
maka dasar-dasar jaminannya harus dapat dipertanggungjawabkan.”
6) Iklan yang mencantumkan data ilmiah yang tidak valid Hal ini bertentangan apabila
merujuk pada Bab III Butir 1.22 Kode Etik Pariwara Indonesia Amandemen 2020
yang menerangkan bahwa: “Iklan tidak boleh menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah
dan statistik untuk menyesatkan khalayak.”

xiii
Pengiklan bertanggungjawab atas informasi yang benar tentang produk yang
diberikan kepada Media iklan dan Media iklan harus memperhatikan ketepatan antara
iklan yang ditayangkan dengan pesan iklan yang diberikan oleh pengiklan, karena itu
media iklan bertanggung jawab terhadap iklan jika terjadi perubahan dalam penerbitan
yang berbeda dari informasi asli yang telah ditetapkan oleh pengiklan menjadi iklan yang
menyesatkan. Dengan demikian, untuk mencegah kerugian konsumen iklan yang
ditayangkan, pelaku usaha berkewajiban untuk memastikan isi konten iklan yang tidak
mengelabui konsumen (Sudjana, 2021).
2. Konsekuensi Hukum Iklan yang Menyesatkan Konsumen
Hadirnya peraturan tentang perlindungan konsumen untuk melindungi konsumen,
permasalahan akan timbul apabila pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang
besar membuat iklan yang bertentangan dengan asas-asas yang terdapat dalam kode etik
periklanan, untuk itu pelaku usaha periklanan harus mempertanggung jawabkan atas
iklan yang dibuatnya untuk menawarkan barang dan/jasanya kepada konsumen.
Konsekuensi hukum memiliki keterkaitan dengan pertanggungjawaban pelaku usaha atas
perbuatan yang telah dilakukan. Pada kegiatan periklanan, tanggung jawab pelaku usaha
periklanan dapat timbul ketika melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana diatur
dalam Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 17 UUPK.
Pada ketentuan Pasal 10 dan 12 UUPK pelaku usaha hendak melakukan
promosi/pengiklanan produknya diharuskan menyertakan informasi yang benar dan jujur
terkait harga, kegunaan barang dan/atau jasa, kondisi, discount, dan resiko atas
penggunaan produk yang diiklankan. Disisi lain, pelaku usaha dilarang dengan sengaja
membuat informasi yang tidak tepat dan mengelabuhi calon kosumennya, seperti:
mengelabuhi kualitas, kuantitas, garansi/jaminan produk yang sedang di iklankan
sebagaimana tertuang dalam Pasal 17 ayat (1) UUPK, yang menyatakan bahwa: “Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga
barang dan/atau jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;
d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa izin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
xiv
f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.”
Konsekuensi hukum bagi pelaku usaha yang dengan sengaja memberikan
informasi iklan menyesatkan dapat dijatuhi sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam
UUPK, antara lain:
1. Sanksi administratif tertuang dalam Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) UUPK, dimana
Badan Penyelesaian Konsumen (BPSK) dapat menjatuhkan sanksi administrasi
terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran berupa penetapan ganti rugi
paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) (Harianto dan Jamaludin,
2022).
2. Sanksi perdata tertuang dalam Pasal 1328 KUHPer, yang menyatakan bahwa:
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila
penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata
bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu
muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.”
3. Sanksi pidana tertuang dalam Pasal 62 UUPK.
4. Hukuman tambahan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 63 UUPK.
5. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
6. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
3. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atas Iklan yang
Menyesatkan
Perlindungan hukum merupakan upaya untuk melindungi konsumen yang dijamin
dalam ketentuan perundang-undangan dalam rangka mencegah adanya pelanggaran atau
hal-hal yang dapat merugikan konsumen. Bentuk perlindungan hukum terhadap
konsumen atas iklan yang menyesatkan di Indonesia meliputi dua hal yaitu perlindungan
hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif
merupakan perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dalam rangka meminimalisir
sebelum terjadinya pelanggaran seperti: melakukan pembinaan atau penyuluhan terkait
informasi iklan yang menyesatkan bagi pelaku usaha maupun konsumen, memberikan
edukasi kepada konsumen untuk selalu cermat, dalam hal ini upaya pemerintah dalam
rangka antisipasi terjadinya pelanggaran, melalui Peraturan Pemerintah No 58 Tahun
2001 tentang pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen, pasal 2 dan 3
menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan dan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha
xv
serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha, selain itu pemerintah
selalu menghimbau kepada konsumen untuk berhati-hati dalam memilih produk barang
dan/atau jasa, di samping itu memberikan aturan hukum yang menjamin konsumen
mendapatkan perlindungan hukum dan pengawasan baik dari pemerintah, lembaga
perlindungan konsumen, yang dapat dilihat pada UUPK, KUHPer, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Etika Pariwara Indonesia Amandemen
2020 (Luthvi, 2016).
Perlindungan hukum terhadap informasi iklan yang menyesatkan bagi konsumen,
terutama yang telah dilakukan oleh pemerintah yaitu adanya upaya pembinaan terhadap
pelaku usaha dan sosialisasi terhadap konsumen oleh menteri teknis terkait serta upaya
lain yang diatur dalam PP No 58 Tahun 2001 pasal 4 menyebutkan bahwa menteri
melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis
dalam hal, penyusunan kebijakan perlindungan konsumen, sosialisasi kepada masyarakat
terkait peraturan perundang undangan berkaitan perlindungan konsumen, peningkatan
peranan BPKN dan BPSK, melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
lembaga, serta hal teknis lain untuk menumbuhkan kesadaran dari pelaku usaha dan
konsumen dalam lalu lintas transaksi barang dan jasa, selain itu ada aturan lain yang
termuat pada ketentuan peraturan Bab III Pasal 4-5 UUPK mengenai hak dan kewajiban
konsumen. Hal ini menunjukan bahwa Negara Indonesia telah berupaya melindungi
konsumen dengan mengamanatkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih
tepatnya pada Pasal 4 dimana negara telah menjamin adanya hak-hak konsumen yang
harus di hormati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan periklanan, seperti;
a) Hak atas kenyamanan, kemanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/
atau jasa;
b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi derta jaminan yang dijanjikan
c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/ atau jasa;
d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

xvi
g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h) Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/ atau jasa diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i) Hak-hak yang diataur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak konsumen tersebut juga harus diimbangi dengan kewajiban yang
melekat kepada konsumen sebagaimana pada Pasal 5 UUPK yang berbunyi:
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3) Membayar dengan nilai tukar yang disepakati;
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
Disisi lain dalam rangka melindungi konsumen terdapat peraturan terkait
perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam mengiklankan produknya, larangan-
larangan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan
Pasal 17 UUPK (Prabowo dkk, 2022).
C. Iklan “Build in” dari Sudut Pandang Etika
Periklanan memiliki dua fungsi yaitu fungsi informasi dan fungsi persuasif.
Namun kenyataannya, tidak ada iklan yang dapat memberikan informasi murni, dan
tidak ada iklan yang meyakinkan. Iklan tentang produk baru biasanya memiliki pesan
yang kuat. Misalnya mengenai harga makanan di tempat wisata dan supermarket. Pada
saat yang sama, iklan tentang produk dengan banyak merek akan lebih meyakinkan,
seperti iklan tentang pakaian dan rumah bermerek.
Tercampurnya unsur informatif dan unsur persuasif dalam periklanan membuat
penilaian etis terhadapnya menjadi lebih kompleks Hal ini sebenarnya diantisipasi oleh
Etika Pariwara Indonesia (EPI) Indonesia yang memuat beberapa artikel tentang
periklanan "build-in", khususnya di radio/televisi (media elektronik). Secara etis, jika
iklan ditampilkan dalam format adlibs atau iklan, maka penyiar/presenter harus
memperkenalkannya terlebih dahulu, dan informasi selanjutnya yang harus dibaca adalah
iklan tersebut.
Perspektif EPI, selama pemirsa/konsumen diberi tahu dengan jelas bahwa bagian
dari program adalah sponsor/acara dari produk/layanan, dan tidak sengaja disamarkan
xvii
dan digabungkan ke dalam program siaran, “bawaan” produk masih diperbolehkan
tayang. Akan tetapi harus tetap mematuhi aturan/etika yang terkait dengan iklan kategori
produk tersebut. Contoh kasus untuk iklan produk makanan yang terletak pada baliho
dibelakang pemain tersebut, bisa dilihat bahwa iklan tersebut Nampak “halus” sekali
dalam meletakkan iklannya pada saat dialog antara pemain. Tapi disini pihak pengiklan
memberi tahu bahwa adegan tersebut disisipi iklan dengan memberi credit title dibawah
pada saat adegan tersebut berlangung
Jika dilihat kasus periklanan "build-in" ini sangat menarik. Strategi ini memang
sangat mempersingkat proses penayangan iklan, karena tidak ada proses produksi iklan
(hanya dalam bentuk teks/ringkasan), dan semua yang ada di belakangnya (persetujuan
ide dan eksekusi iklan, keluar/Storyboard, tes dilakukan melalui FGD, dll.), Tidak ada
proses review (untuk iklan TV melalui LSF), dan tidak perlu melaporkan ke BPOM obat
yang sebenarnya perlu dilaporkan untuk iklan / kegiatan terlebih dahulu.
Situasi "Singkat –mudah - murah" ini harus kita cermati, karena peluang
terjadinya pelanggaran etika yang relatif lebih besar. Kuncinya ada di tangan produser
TV/radio yang disponsori. Produser program harus memahami etika periklanan produk,
tidak hanya berorientasi pada keuntungan saja akan tetapi produsen / pengiklan (dan
agensi media, jika pengenalan kampanye periklanan "Build in" ini berasal darinya) juga
tetap harus menerapkan proses "Short-cut" (dengan menerapkan strategi "Build in")
untuk memahami sepenuhnya risiko yang mereka hadapi.saat melakukan promosi produk
(Fourqoniah dan Muhammad, 2020).

xviii
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Dua persoalan etika yang saling berkaitan,yaitu Menyangkut kebenaran akan sebuah
iklan dan manipulasi publik (khalayak). Terdapat paling kurang 3 prinsip moral yang
bisa dikemukakan di sini sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam
iklan. Ketiga hal itu adalah (1) masalah kejujuran dalam iklan, (2) masalah martabat
manusia sebagai pribadi, dan (3) tanggung jawab sosial yang mesti diemban oleh
iklan.
2. Aktivitas bisnis yang sehat tidak akan bisa terlepas dari perlindungan konsumen.
Asas dan Tujuan perlindungan Konsumen Pasal 2 UUPK 8/1999 membahas
beberapa asas perlindungan konsumen, yakni: Selanjutnya, Pasal 3 UUPK 8/1999
membahas tujuan perlindungan konsumen. Informasi iklan yang menyesatkan
menurut Milton Handler, yaitu sebuah fakta dalam iklan tersebut adalah salah,
dengan harapan dapat membujuk pembeli untuk membeli barang yang diiklankan,
dan bujukan tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan
kecuranganatau penipuan. Konsekuensi hukum bagi pelaku usaha yang dengan
sengaja memberikan informasi iklan menyesatkan dapat dijatuhi sanksi sebagaimana
yang telah diatur dalam UUPK. Perlindungan hukum merupakan upaya untuk
melindungi konsumen yang dijamin dalam ketentuan perundang-undangan dalam
rangka mencegah adanya pelanggaran atau hal-hal yang dapat merugikan konsumen.
3. Perspektif EPI, selama pemirsa/konsumen diberi tahu dengan jelas bahwa bagian
dari program adalah sponsor/acara dari produk/layanan, dan tidak sengaja
disamarkan dan digabungkan ke dalam program siaran, “bawaan” produk masih
diperbolehkan tayang. Akan tetapi harus tetap mematuhi aturan/etika yang terkait
xix
dengan iklan kategori produk tersebut. Jika dilihat kasus periklanan "build-in" ini
sangat menarik. Strategi ini memang sangat mempersingkat proses penayangan
iklan, karena tidak ada proses produksi iklan (hanya dalam bentuk teks/ringkasan),
dan semua yang ada di belakangnya (persetujuan ide dan eksekusi iklan,
keluar/Storyboard, tes dilakukan melalui FGD, dll.), Tidak ada proses review (untuk
iklan TV melalui LSF), dan tidak perlu melaporkan ke BPOM obat yang sebenarnya
perlu dilaporkan untuk iklan / kegiatan terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, L. 2018. Hukum Perlindungan Konsumen, 9–27. Retrieved from


http://repository.untagsby.ac.id/413/3
Azizah Mabarroh and Hariyanto Hariyanto. 2021. “Implementasi Etika Bisnis Islam
Terhadap Konsep Green Economics,” Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu
Hukum 10, no. 2: 237–52, https://doi.org/10.14421/ SH.V10I2.2392
Azizah, Mabarroh. 2016. Etika Perilaku Periklanan Dalam Bisnis Islam. JESI (Jurnal
Ekonomi Syariah Indonesia), 2016, 3.1: 37-48
Dijan Widijowati. 2016. “Peredaran Iklan Yang Menyesatkan Konsumen Dihubungkan
Dengan Hukum Perlindungan Konsumen,Pers Dan Penyiaran,” IUS
CONSTITUTUM 1, no. 2
Fourqoniah Finnah dan Muhammad Fikry Aransyah. 2020. Buku Ajar Pengantar Periklanan.
Penerbit Lakeisha
Jena Yeremias. 2018. Etika Dalam Iklan. Atma Jaya Catholic University Of Indonesia.
Reasearchgate
Hanif, H. 2018. Landasan Syariah Dalam Etika Periklanan. NUKHBATUL'ULUM: Jurnal
Bidang Kajian Islam, 4(1), 84-96
Harianto and Jamaludin. 2022. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen : Terhadap Periklanan
yang Menyesatkan. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi  Vol. V Issue
1
Luthvi Febryka Nola, “Upaya Pelindungan Hukum Secara Terpadu Bagi Tenaga Kerja
Indonesia (Tki),” Negara Hukum 7, no. 1 (2016): 40.
Netty Herawati, “TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS IKLAN YANG
MENYESATKAN,” Perspektif 11, no. 4 (2006),

xx
https://doi.org/10.30742/perspektif.v11i4.391
Paramita I Gusti Ayu Indra Dewi Dyah Pradnya and Desak Putu Dewi Kasih. 2017.
“Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Iklan Yang Menyesatkan
Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Kode Etik
Periklanan Indonesia,” Kertha Semaya 5, no. 2
Prabowo, W., Latifa, K. T., & Puspandari, R. Y. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap
Informasi Iklan Yang Menyesatkan. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan
Konstitusi, 5(1), 81-96.
Subroto, S. (2011). Etika periklanan. Cermin, (049). e-journal.upstegal.ac.id
Sudjana. 2021. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Penayangan Iklan Niaga Yang
Menyesatkan Konsumen,” Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi
12, no. 2: 1–21, https://doi.org/10.28932/ di.v12i2.3488.
Svinarky, I. 2021. Analisis Yuridis Tanggung Jawab Pelaku Usaha Akibat Pengaruh Iklan
Yang Menyesatkan. Scientia Journal: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 4(1).
Tetanoe Bernada. 2017. “Upaya Perlindungan Hukum Pada Konsumen Dalam Transaksi E-
Commerce Untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Digital Di Indonesia,”
Jurnal Hukum Dan Peradilan 6, no. 1: 1–24,
https://doi.org/10.25216/jhp.6.1.2017.1-24

xxi

Anda mungkin juga menyukai