Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

“ETIKA LEGAL KEPERAWATAN”

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK II

1. LUH EKA DESRIANA PUTRI (P07120216047)


2. INDAH CANTIKA WAHADI (P07120216048)
3. NI PUTU AYU SUCITA DEWI (P07120216049)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

PROGRAM PROFESI NERS

TAHUN AJARAN 2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga penulis berhasil
menyelesaikan makalah ini puji syukur tepat pada waktunya yang berjudul “Etika
Legal Keperawatan”
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu di
harapkan demi kesempurnaan makalah ini..
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merestui segala usaha kita.

Denpasar, 27 Juni 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................5

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................7

2.1 Pengertian Etik Keperawatan Lansia.............................................................7

2.2 Prinsip Etik.....................................................................................................8

2.3 Inform Concent...............................................................................................9

2.4 Peraturan Yang Berkaitan Dengan Kesejahteran Lansia.............................11

BAB III PENUTUP...............................................................................................13

3.1 Kesimpulan...................................................................................................13

3.2 Saran.............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Secara global populasi penuaan merupakan tantangan penting dan
kesempatan yang dihadapi oleh semua negara. Di negara-negara
berkembang, populasi penuaan mengubah sifat tuntutan pada sistem
perawatan kesehatan yang harus mengakomodasi kebutuhan populasi yang
lebih tua sambil terus untuk mengatasi masalah kesehatan prioritas lain
seperti kesehatan ibu dan anak (WHO, 2013). Peningkatan usia harapan
hidup menimbulkan peningkatan jumlah lanjut usia (Lansia) di dunia.
Lanjut usia adalah seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih (WHO
1998, dalam Nugroho 2000). Jumlah lansia usia 60 tahun secara global
diprediksikan pada tahun 2025 akan mencapai ± 1200 individu lanjut usia
dan angka sebaran lansia terbanyak diseluruh dunia terdapat dinegara
Cina, India, Amerika Serikat, dan Indonesia (Kuliah Pakar: Hendri
Purwadi, 2013).
Transisi demografi pada kelompok lansia terkait dengan status
kesehatan lansia yang lebih terjamin, sehingga usia harapan hidup lansia
lebih tinggi dibanding masa-masa sebelumnya. Pertambahan jumlah lansia
di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990 – 2025, tergolong tercepat di
dunia. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus BPS tahun
1998 masing-masing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun. Angka
di atas berbeda dengan kajian WHO (1999), dimana usia harapan hidup
orang Indonesia rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke-103
dunia (Bondan Palestin, 2011). Berdasarkan data BPS, Proyeksi Penduduk
Indonesia per Propinsi 1995 – 2005, Jakarta 1988, menerangkan bahwa
distribusi usia lanjut di Indonesia meliputi 13.75 % berada di D.I.
Yogyakarta, 10.54 % berada di Jawa Timur, 9.72 % berada di Bali, 9.55 %
berada di Jawa Tengah, 9.08 % berada di Sumatra Barat, dan 7.63 %
berada di Sulawesi Selatan (Kuliah Pakar: Bondan Paleestin, 2013).
Terlepas dari permasalahan peningkatan harapan hidup di negara
maju telah memimpin peningkatan jumlah orang tua dirawat di panti
jompo berdampak pula pada otonomi dan masalah legal etik lansia.
Mengingat kelemahan fisik dan kerusakan kapasitas mental di banyak
penduduk ini, pertanyaan muncul sebagai otonomi mereka dan untuk
perlindungan mereka dari bahaya. Pada tahun 2005, salah satu pengadilan
Jerman tertinggi, Bundesgerichtshof (BGH) mengeluarkan putusan mani
yang berurusan dengan kewajiban panti jompo dan dengan melestarikan
otonomi dan privasi dalam penghuni panti jompo (Artikel Global Medical
Ethic oleh Kai Sammet, 2007).
Isu - isu legal dan etik yang memengaruhi lansia telah mengalami
peningkatan angka kejadian di pengadilan pada masa sekarang ini.
Perawat yang merawat lansia mengalami isu etis yang unik pada golongan
usia ini. Sekelompok pertanyaan muncul pada tingkat individu yang
berkaitan dengan permasalahan penuaan dan arti manusia. Kelompok
pertanyaan kedua berkaitan dengan pengalaman subjektif dari kecacatan
dan penyakit sebagai yang dirasakan dan ditafsirkan oleh lansia dan
respons yang diberikan oleh perawat, dokter, atau tenaga kesehatan yang
lain. Serta yang terakhir kelompok ketiga masalah berpusat pada proses
pengambilan keputusan medis yang mengikutsertakan pasien, anggota
keluarga, para tenaga kesehatan, petugas lapangan, dan administrator
rumah sakit. Akhirnya, masalah etis yang berhubungan dengan lansia
sebagai suatu kelompok muncul dalam konteks masyarakat yang lebih
besar (Mickey & Patricia, 2006).
1.2 Rumusan Masalah
2. Apa Pengertian Etik Keperawatan Lansia ?
3. Apa Saja Prinsip-Prinsip Etik Keperawatan ?
4. Bagaimana Inform Concent pada Etik Keperawatan ?
5. Bagaimana Peraturan yang Berkaitan dengan Kesejahteran Lansia ?
1.3 Tujuan Penulisan
2. Untuk mengetahui Pengertian Etik keperawatan lansia.
3. Untuk mengetahui Apa Saja Prinsip-Prinsip Etik Keperawatan.
4. Untuk mengetahui Bagaimana Inform Concent pada Etik
Keperawatan.
5. Untuk mengetahui Bagaimana Peraturan yang Berkaitan dengan
Kesejahteran Lansia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etik Keperawatan Lansia

Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk

dalam hubungan dengan orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku,

karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik

dan berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik dan moral

adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah

etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian

tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual,

kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.

Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara
hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang
mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah
dideskripsikan sebagai etik perawatan. Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk
merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang
seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Keperawatan gerontik adalah suatu pelayanan profesional yang
berdasarkan ilmu dan kiat/tekhnik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-
sosial-spritual dan kultural yang holistic yang ditujukan kepada klien lanjut
usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa etik keperawatan
adalah istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya
manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang
lain khususnya dalam memberikan suatu pelayanan profesional yang
berdasarkan ilmu dan kiat/tekhnik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-
sosial-spritual dan kultural yang holistic yang ditujukan kepada klien lanjut
usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu (Darmojo, 2013)
2.2 Prinsip Etik
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita
usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996 dalam Nugroho,
(2015):
1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar
pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan
geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian,
kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita
tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak
berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective dan belas-
kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses
fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
2. Non-maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan
pada keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus
menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita.
Terdapat adagium primum non nocere (”yang penting jangan membuat
seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya  pemberian posisi
baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik
(kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata
hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis
untuk dikerjakan.
3. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri.
Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri
hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat membuat
putusan secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal
ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat.
Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita
yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-maleficence dan
beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam
berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme,
dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu
keputusan (mis. Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang
belum dewasa).
4. Justice/Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan
perlakuan yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk
memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan
pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
5. Veracity : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang
diberikan pada seorang penderita.

2.3 Inform Concent


Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan
geriatric berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada
berbagai hal sebagai berikut :
1. penderita harus ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
dan pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus
bersifat sukarela.
2. keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau
keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
3. keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental
dianggap kapabel.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian
dituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik
(pertindik) atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita
berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak
berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang
bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut tidak berguan (useless) atau
bahkan berbahaya (harmful).
Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hokum
yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan
penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas
dasar label iagnosis, antara lain terlihat dari :
a. apakan penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar ?
b. dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat ?
c. apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita
mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar) ?
d. apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya ? (misalnya tentang
keuntungan dan kerugian dari tindakan tersebut ? dan mengerti pula
berbagai pilihan yang ada) ?
Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih
terdapat fungsi yang baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak
baik, sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada usia lanjut seringkali
sudah terdapat gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran,
sehingga perlu waktu, upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui
kapasitas fungsional penderita.
Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita
untuk mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :
a. realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan
(misalnya pada keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila
gangguan tersebut demikian berat, sedangakan keputusan harus segera
diambil, maka keputusan bisa dialihkan kepada wakil hukum atau
walimkeluarga (istri/suami/anak atau pengacara). Dalam istilah asing
keadaan ini disebut sebagai surrogate decission maker.
b. Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai
aspek medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta
benda dll) maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang
melindungi kepentingan penderita yang disebut badan perlindungan
hokum (guardianship board). (Brocklehurst and Allen 1987, Kane et
al, 1994 dalam Nugroho, (2015):).
Dalam kenyatannya pengambilan keputusan ini sering dilakukan
berdasarkan keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga,
dinbanding keadaan de-jure oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering
tidak praktis, waktu lama, dan sering melelahkan baik secara fisik maupun
emosional. Oleh karena suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah
pengertian, kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat
menyebabkan penderita mengambil keputusan yang salah ( antara lain
menolak tranfusi / tindakan bedah yagn live saving). Dalam hal ini, dokter
dihadapkan pada keadaan yang sulit, dimana atas otonomi penderita tetap
harus dihargai. Yang penting adalah bahwa dokter mau mendengar semua
keluhan atau alasan penderita dan kalau mungkin memperbaiki keputusan
penderita tersebut denagn pemberian edukasi. Seringkali perlu diambil
tindakan “kompromi” antara apa yang baik menurut pertimbangan dokter dan
apa yang diinginkan oleh penderita (Hardiwinoto, 2015).

2.4 Peraturan Yang Berkaitan Dengan Kesejahteran Lansia

Landasan Hukum Di Indonesia


Berbagai perundang-undangan yang langsung mengenai lanjut usia atau yang
tidak langsung terkait dengan kesejahteraan lanjut usia telah diterbitkan sejak
1965. beberapa di antaranya adalah :
1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi
Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965
nomor 32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor
2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok
Mengenai Tenaga Kerja.
3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial.
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja.
8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman.
9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang PErkembangan
Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera.]
10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan
Perkembangan Kependudukan.
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia (Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti
undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi
Orang jompo.
15. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :
a. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah,
masyarakat dan kelembagaan.
b. Upaya pemberdayaan.
c. Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial
dan tidak potensial.
d. Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
e. Perlindungan sosial.
f. Bantuan sosial.
g. Koordinasi.
h. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
i. Ketentuan peralihan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Praktek keperawatan profesional diarahkan dengan mempergunakan standar
praktek yang merefleksikan tingkat dan harapan dan pelayanan, serta dapat
digunakan untuk evaluasi praktek keperawatan yang telah diberikan.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara
hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang
mempengaruhi perilaku profesional. Keperawatan gerontik adalah suatu
pelayanan profesional yang berdasarkan ilmu dan kiat/tekhnik keperawatan yang
berbentuk bio-psiko-sosial-spritual dan kultural yang holistic yang ditujukan
kepada klien lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa etik keperawatan
adalah istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya
manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang
lain khususnya dalam memberikan suatu pelayanan profesional yang berdasarkan
ilmu dan kiat/tekhnik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-sosial-spritual dan
kultural yang holistic yang ditujukan kepada klien lanjut usia baik sehat maupun
sakit pada tingkat individu.
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari pembaca sangatlah kami perlukan agar dalam pembuatan
makalah selanjutnya akan lebih baik dari sekarang dan kami juga berharap
pengetahuan tentang aspek legal dan etik dapat terus di kembangkan dan
diterapkan dalam bidang keperawatan gerontik.
DAFTAR PUSTAKA

Amelia Nindy. 2013. Prinsip Etika Keperawatan. Yogyakarta: D-Medika.

Block Geriatric Nursing. 2013. Kampus Alma Ata. (2013). Kesehatan Usia
Lanjut dan Permasalahannya: proses kulia pakar. Bondan Palestin.
Yogyakarta.

Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut), Edisi 2. 2013. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Ma'rifatul Lilik A.. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Lise – Lotte Jonasson., Per – Erik Liss., Björn Westerlind., & Carina Berterö.
(2010). Ethical Values in Caring Encounters on a Geriatric Ward from
the Next of Kin’s Perspective: An Interview Study. International
Journal of Nursing Practice (16). 20 – 26.
S. van der Dam., T. A. Abma., M. J. M. Kardol. G. A. M. Widdershoven. (2011).
“Here’s My Dilemma” Moral Case Deliberation as a Platform for
Discussing Everyday Ethics in Elderly Care. Health Care Ana.l (20:
250 – 267.
Nugroho, Wahjudi. 2015. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.
R, Rully. 2014. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Lansia di RSU dalam
Perspektif HAM. Jakarta: Harian Suara Pembaharuan.
SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. 2015. Pandaun Gerontologi. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai