Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN GADAR III

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASKEP TEORITIS KEGAWATDARURATAN


PEDIATRIK DENGAN DIAGNOSA KEJANG DEMAM

OLEH
KELOMPOK 2 :
D-IV KEPERAWATAN / TINGKAT 4.B

1. NI PUTU AYU SUCITA DEWI P07120216049


2. NI PUTU INDAH PRASTIKA DEWI P07120216050
3. NI PUTU NATIYA GIYANTI P07120216051
4. FENDY ANUGRAH PRATAMA P07120216052
5. I GUSTI AGUNG GDE INDIRA P. P07120216053
6. NI LUH DESI DIARTAMI P07120216054
7. PUTU RISMA ARIA PRADNYADEWI P07120216055
8. I GUSTI BAGUS KOMANG ALIT W. P07120216056

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PADA KASUS KEJANG DEMAM

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi Kejang Demam
Kejang demam adalah kejang yang dihubungkan dengan suatu penyakit yang
dicirikan dengan demam tinggi (suhu 38,9o−40,0oC). Kejang demam berlangsung
kurang dari 15 menit, generalisata, dan terjadi pada anak-anak tanpa kecacatan
neurologik. (Muscari, 2005)
Kejang demam juga dapat diartikan sebagai suatu kejang yang terjadi pada usia
antara 3 bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam namun tanpa adanya
tanda-tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas. (Meadow, 2005)
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang dapat terjadi karena
peningkatan suhu akibat proses ekstrakranium dengan ciri terjadi antara usia 6 bulan -
4 tahun, lamanya kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam
setelah timbulnya demam. (Hidayat, 2008)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kejang demam
merupakan bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh sebagai
akibat proses ekstrakranium (pajanan dari suatu penyakit yang dicirikan dengan demam
tinggi dimana suhunya berkisar antara 38,9o − 40,0oC) namun tanpa adanya tanda-
tanda infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas. Kejang demam ini lebih sering
terjadi pada anak usia 6 bulan – 5 tahun, dengan lama kejang kurang dari 15 menit
dapat bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya demam.

2. Etiologi
Penyebab kejang demam sampai saat ini masih belum diketahui secara jelas.
Kejang demam biasanya dikaitkan dengan infeksi saluran pernapasan atas, infeksi
saluran kemih dan roseola. Kejang ini merupakan kejang umum dengan pergerakan
klonik selama kurang dari 10 menit. SSP normal dan tidak ada tanda-tanda defisit
neurologis pada saat serangan telah menghilang. Sekitar sepertiga akan mengalami
kejang demam kembali jika terjadi demam, tetapi sangat jarang yang mengalami kejang
setelah usia 6 tahun. Kejang yang lama, fokal, atau berulang, atau gambaran EEG yang
abnormal 2 minggu setelah kejang, menunjukkan diagnosis epilepsi (kejang nondemam
berulang). (Meadow, 2005)
Menurut Lumban Tobing & Mansjoer (2005), faktor yang berperan dalam
menyebabkan kejang demam antara lain :
a. Demam itu sendiri
b. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap otak).
c. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
d. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
e. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau
ensekalopati toksik sepintas.
f. Gabungan semua faktor tersebut di atas.
Menurut Amin dan Hardhi (2013) penyebab kejang demam dibedakan menjadi
intrakranial dan ekstrakranial.
a. Intrakranial meliputi :
1) Trauma (perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler.
2) Infeksi: bakteri, virus, parasit misalnya meningitis.
3) Congenital : disgesenis, kelainan serebri
b. Ekstrakranial meliputi:
1) Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan
elektrolit (Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
2) Toksik : intoksikasi, anastesi lokal, sindroma putus obat.
3) Congenital: gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan
kekurangan piridoksin.

Beberapa faktor risiko berulangnya kejang yaitu :


1) Riwayat kejang dalam keluarga
2) Usia kurang dari 18 bulan
3) Tingginya suhu badan sebelum kejang. Makin tinggi suhu sebelum kejang demam,
semakin kecil kemungkinan kejang demam akan berulang.
4) Lamanya demam sebelum kejang. Semakin pendek jarak mulainya demam dengan
kejang, maka semakin besar risiko kejang demam berulang.

3. Klasfikasi
Adapun klaisifikasi dari kejang demam adalah sebagai berikut :
a. Kejang Parsial (Fokal, Lokal)
1) Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat meliputi satu atau kombinasi dari hal-hal
berikut :
a) Tanda motorik – kedutan pada wajah, tangan, atau suatu bagian tubuh,
biasanya gerakan yang sama terjadi pada setiap kejang, dan dapat menjadi
merata.
b) Tanda dan gejala otomatis – muntah, berkeringat, wajah merah, dilatasi
pupil.
c) Gejala-gejala somatosensori atau sensori khusus – mendengar suara
musaik, merasa jatuh dalam suatu ruang, parestesia.
d) Gejala-gejala fisik – déjă vu (sepertiga siaga), ketakutan, penglihatan
panoramik. (Betz, 2009)
2) Kejang Parsial Kompleks
a) Gangguan kesadaran, walaupun kejang dapat dimulai sebagai suatu
kejang parsial sederhana.
b) Dapat melibatkan gerakan otomatisme atau otomatis – bibir mengecap,
mengunyah, mengorek berulang, atau gerakan tangan lainnya.
c) Dapat tanpa otomatisme – tatapan terpaku. (Betz, 2009)
b. Kejang Menyeluruh (Konvulsif atau Nonkonvulsif)
1) Kejang Lena
a) Gangguan kesadaran dan keresponsifan.
b) Dicirikan dengan tatapan terpaku yang biasanya berakhir kurang dari 15
detik.
c) Awitan dan akhir yang mendadak, setelah anak sadar dan mempunyai
perhatian penuh.
d) Biasanya dimulai antara usia 4 dan 14 tahun dan sering hilang pada usia
18 tahun. (Betz, 2009)

2) Kejang Mioklonik
a) Hentakan otot atau kelompok otot yang mendadak dan involunter.
b) Sering terlihat pada orang sehat saat mulai tidur, tetapi bila patologis
melibatkan hentakan leher, bahu, lengan atas, dan tungkai secara sinkron.
c) Biasanya berakhir kurang dari 5 detik dan terjadi berkelompok.
d) Biasanya tidak ada atau hanya terjadi perubahan tingkat kesadaran
singkat. (Betz, 2009)
3) Kejang Tonik-klonik (grand mal)
a) Dimulai dengan kehilangan kesadaran dan bagian tonik, kaku otot
ekstremitas, tubuh, dan wajah secara keseluruhan yang berakhir kurang
dari satu meit, sering didahuluioleh suatu aura.
b) Kemungkinan kehilangan kendali kandung kemih dan usus.
c) Tidak ada respirasi dan sianosis.
d) Bagian tonik yang diikuti dengan gerakan klonik ekstremitas atas dan
bawah.
e) Letargi, konfusi, dan tidur pada fase postictal. (Betz, 2009)
4) Kejang Atonik
a) Kehilangan tonus tiba-tiba yang dapat mengakibatkan turunnya kelopak
mata, kepala terkulai, atau orang tersebut jatuh ke tanah.
b) Singkat dan terjadi tanpa peringatan. (Betz, 2009)
5) Status Epileptikus
a) Biasanya kejang tonik-klonik, menyeluruh yang berulang.
b) Kesadaran antara kejang tidak didapat.
c) Potensial depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia.
d) Memerlukan penanganan medis darurat segera. (Betz, 2009)

B. Tanda dan Gejala


Adapun tanda gejala yang dapat ditemukan yaitu :
1. Sebagian besar aktivitas kejang berhenti pada saat anak mendapatkan pertolongan
medis, tetapi anak mungkin dalam keadaan tidak sadar. (Muscari, 2005)
2. Orang tua atau pemberi asuhan akan menggambarkan manifestasi kejang tonik-tonik
(yi., tonik−kontraksi otot, ekstensi ekstremitas, kehilangan kontrol defekasi dan
kandung kemih, sianosis, dan kehilangan kesadaran; klonik−kontraksi dan relaksasi
ekstremitas yang teratur (ritmik); fase postiktal dikarakteristikkan dengan
ketidaksadaran persisten). (Muscari, 2005)
3. Sering ditemukan adanya riwayat keluarga dengan kejang demam. (Muscari, 2005)
4. Suhu tubuh mencapai 39oC. (Dewanto, 2009)
5. Kepala anak seperti terlempar ke atas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku,
bagian tubuh anak menjadi berguncang, gejala kejang bergantung pada jenis kejang.
(Dewanto, 2009)
6. Kulit pucat dan mungkin menjadi biru. (Dewanto, 2009)

C. Pathway
Rangsang mekanik dan biokimia
Gangguan keseimbangan cairan & elektrolit
Infeksi
bakteri,
virus &
parasit

Reaksi
Perubahan konsentrasi ion Kelainan, neurologis
Inflamasi di ruang ekstraseluler perinatal/prenatal

Proses Demam

Hipertermia

Risiko kejang berulang Ketidakseimbangan Perubahan difusi Na+ dan K+


potensial membrane
ATP ASE
Perubahan beda
potensial
Pelepasan muatan listrik semakin membrane sel
neuron
meluas keseluruh sel maupun
Risiko cidera
membrane sel sekitarnya dengan
bantuan neotransmiter
Kejang

Risiko Cidera Kurang dari 15 menit (KDS) Lebih dari 15 menit (KDK)

Kesadaran menurun Kontraksi otot meningkat


Perubahan suplay darah ke otak

Refleks menelan menurun Metabolisme meningkat Risiko kerusakan sel neuron otak

Risiko Aspirasi
Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
Kebutuhan O2 meningkat Suhu tubuh makin meningkat

risiko asfiksia Hipertermia

D. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektroensefalografi (EEG) : dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus
kejang. (Betz, 2009)
2. CT scan : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan. (Betz, 2009)
3. Magneti Resonance Imaging (MRI): menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah –
daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT. (Betz, 2009)
4. Pemindaian Positron Emission Tomography (PET) : untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann
darah dalam otak. (Betz, 2009)
5. Uji laboratorium
a. Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler – terutama dipakai untuk
menyingkirkan infeksi.
b. Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
e. GDA
f. Kadar kalsium darah
g. Kadar natrium darah
h. Kadar magnesium darah. (Betz, 2009)

E. Penatalaksanaan Medis

Dalam penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu:
1. Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan
untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar
oksigennisasi terjami. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu,
pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan
pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti
sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul
kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya
sulit gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB<10>10kg). bila kejang tidak berhenti
dapat diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin
dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit.
Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena
fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital
diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan -1 tahun 50
mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian
diberikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara
suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi
200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan depresi
pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-
8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
2. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus
yang dicurigai sebagai meningitiss, misalnya bila ada gejala meningitis atau kejang
demam berlangsung lama.
3. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam atau (2) profilaksis
terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Untuk profilaksis intermiten diberian
diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis saat
pasien demam. Diazepam dapat diberikan pula secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak
5mg (BB<10kg)>10kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5 0 C. efek
samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsy
dikemudian hari. Profilaksis terus menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-
5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2
tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1
atau 2) yaitu :
a. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
b. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologist
sementara dan menetap.
c. Ada riwayat kejang tanpa demma pada orang tua atau saudara kandung.
d. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang multiple dalam satu episode demam.
Bila hanya mmenuhi satu criteria saja dan ingin memberikan obat jangka panjang
maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan
diazepam oral atau rectal tuap 8 jam disamping antipiretik.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. PENGKAJIAN
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien dengan kejang demam menurut Greenberg (1980
: 122 – 128), Paula Krisanty (2008 : 223) :
a. Riwayat Kesehatan :
Saat terjadinya demam : keluhan sakit kepala, sering menangis, muntah atau diare,
nyeri batuk, sulit mengeluarkan dahak, sulit makan, tidak tidur nyenyak. Tanyakan
intake atau output cairan, suhu tubuh meningkat, obat yang dikonsumsi
b. Adanya riwayat kejang demam pada pasien dan keluarga
Adanya riwayat infeksi seperti saluran pernafasan atis, OMA, pneumonia,
gastroenteriks, Faringiks, brontrope, umoria, morbilivarisela dan campak.
c. Adanya riwayat trauma kepala
d. Pengkajian fisik
Pada kasus kejang demam yang biasanya dikaji adalah :
A : Airway ( jalan nafas ) karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls radang
dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh Hipotalamus
menginterpretasikan impuls menjadi demam Demam yang terlalu tinggi merangsang
kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan , sehingga jaringan otak tidak dapat lagi
mengkoordinasi persyarafan-persyarafan pada anggota gerak tubuh. wajah yang
membiru, lengan dan kakinya tesentak-sentak tak terkendali selama beberapa waktu.
Gejala ini hanya berlangsung beberapa detik, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat
membahayakan keselamatan anak balita. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi
kejang demam adalah gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika
tergigit, dan atau berbalik arah lalu menyumbat saluran pernapasan.
Tindakan yang dilakukan :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
Evaluasi :
- Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
- Jalan nafas bersih dari sumbatan
- RR dalam batas normal
- Suara nafas vesikuler
B : Breathing (pola nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama misalnya lebih
15 menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi meningkat
untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan
terjadinya asidosis.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang,
ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua
dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih
kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui
intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat
diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :
- RR dalam batas normal
- Tidak terjadi asfiksia
- Tidak terjadi hipoxia
C : Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan
kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian
hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi
epilepsi.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang,
ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua
dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih
kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui
intramuskuler, diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat
diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
Evaluasi :
- Tidak terjadi gangguan peredaran darah
- Tidak terjadi hipoxia
- Tidak terjadi kejang
- RR dalam batas normal
Selain ABC, yang biasa dikaji antara lain :
a. Tanda-tanda vital
b. Status hidrasi
c. Aktivitas yang masih dapat dilakukan
d. Adanya peningkatan : suhu tubuh, nadi, dan pernafasan, kulit teraba hangat
e. Ditemukan adanya anoreksia, mual, muntah dan penurunan berat badan
f. Adanya kelemahan dan keletihan
g. Adanya kejang
h. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan adanya peningkatan kalium,
jumlah cairan cerebrospiral meningkat dan berwarna kuning
e. Riwayat Psikososial atau Perkembangan
a. Tingkat perkembangan anak terganggu
b. Adanya kekerasan penggunaan obat – obatan seperti obat penurun panas
c. Akibat hospitalisasi
d. Penerimaan klien dan keluarga terhadap penyakit
e. Hubungan dengan teman sebaya
f. Pengetahuan keluarga
a. Tingkatkan pengetahuan keluarga yang kurang
b. Keluarga kurang mengetahui tanda dan gejala kejang demam
c. Ketidakmampuan keluarga dalam mengontrol suhu tubuh
d. Keterbatasan menerima keadaan penyakitnya
g. Pemeriksaan Penunjang (yang dilakukan) :
a. Fungsi lumbal
b. Laboratorium : pemeriksaan darah rutin, kultur urin dan kultur darah
c. Bila perlu : CT-scan dan EEG

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko perfusi jaringan cerebral tidak efektif dibuktikan dengan faktor risiko cedera
kepala
2. Risiko aspirasi dibuktikan dengan faktor risiko penurunan tingkat kesadaran,
penurunan refleks muntah dan/atau batuk
3. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (kejang demam)
4. Risiko cedera dibuktikan dengan faktor risiko hipoksia jaringan, kegagalan mekanisme
jaringan tubuh
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
1 Risiko perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Peningkatan Tekanan
cerebral tidak efektif ……x….. jam diharapkan Perfusi Intrakranial
dibuktikan dengan faktor Serebral Meningkat dengan kriteria Observasi
risiko cedera kepala hasil: 1. Identifikasi penyebab peningkatan
1. Tingkat Kesadaran meningkat (5) TIK (mis. Lesi, gangguan
2. Demam menurun (5) metabolism, edema serebral)
3. Tekanan arteri rata-rata membaik (5) 2. Monitor tanda atau gejala
4. Tekanan darah sistolik membaik (5) peningkatan TIK (mis. Tekanan
5. Tekanan darah diastolic membaik (5) darah meningkat, tekanan nadi
melebar, bradikardi, pola napas
irregular, kesadaran menurun)
3. Monitor MAP
4. Monitor status pernapasan
5. Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
1. Cegah terjadinya kejang
2. Pertahankan suhu tubuh normal
3. Meminimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
Pemantauan Tekanan Intrakranial

Observasi

1. Monitor penurunan frekuensi


jantung
2. Monitor penurunan tingkat
kesadaran
3. Monitor ireguleritas irama napas
Terapeutik
1. Pertahankan posisi kepala dan
leher netral
2. Atur interval pemantauan sesuai
kondisi pasien
3. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan
jika perlu
2 Risiko aspirasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Jalan Nafas
dibuktikan dengan ……x….. jam diharapkan Tingkat Observasi
faktor risiko penurunan Aspirasi Menurun dengan kriteria hasil: 1. Monitor pola napas (frekuensi,
tingkat kesadaran, 1. Tingkat kesadaran meningkat (5) kedalaman, usaha napas)
penurunan refleks 2. Kemampuan menelan meningkat (5) 2. Monitor bunyi napas tambahan
muntah dan/atau batuk 3. Batuk meningkat (1) (mis.gurgling, mengi, wheezing,
4. Akumulasi secret menurun (5) ronchi kering)
5. Wheezing menurun (5) Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan
napas dengan head tilt dan chin lift
2. Berikan oksigen jika perlu
Pencegahan Aspirasi
Observasi
1. Monitor tingkat kesadaran, batuk,
muntah, dan kemampuan menelan
2. Monitor status pernapasan
3. Monitor bunyi napas terutama
setelah makan atau minum
3 Hipertermia Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipertermia
berhubungan dengan ……x….. jam diharapkan Termoregulasi Observasi
proses penyakit (kejang Membaik dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi penyebab hipertermia
demam) 1. Kejang menurun (5) (mis. Dehidrasi, terpapar
2. Konsumsi oksigen meningkat (1) lingkungan panas, penggunaan
3. Pucat menurun (5) incubator)
4. Takikardi menurun (5) 2. Monitor suhu tubuh
5. Takipnea menurun (5) 3. Monitor kadar elektrolit
6. Hipoksia menurun (5) 4. Monitor haluaran urine
7. Kadar glukosa darah membaik (5) 5. Monitor komplikasi akibat
8. Pengisian kapiler membaik (5) hipertermia
9. Ventilasi membaik (5) Terapeutik
10. Tekanan darah membaik (5) 1. Sediakan lingkungan yang dingin
2. Longgarkan atau lepaskan
pakaian
3. Hindari pemberian antipiretik atau
aspirin
4. Berikan oksigen jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena jika perlu
Regulasi Temperatur

Observasi

1. Monitor suhu tubuh anak tiap 2


jam
2. Monitor tekanan darah, frekuensi
pernapasan, dan nadi
3. Monitor warna dan suhu kulit
4. Monitor dan catat tanda dan gejala
hipertermia
Terapeutik
1. Pasang alat pemantau suhu
kontinu jika perlu
2. Sesuaikan suhu linkungan dengan
kebutuhan pasien
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian antipiretik
4 Risiko cedera dibuktikan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Cidera
dengan faktor risiko ……x….. jam diharapkan Tingkat Observasi
hipoksia jaringan, Cedera Menurun dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi area lingkungan yang
kegagalan mekanisme 1. Tekanan darah membaik (5) berpotensi menyebabkan cedera
jaringan tubuh 2. Frekuensi nadi membaik (5) 2. Identifikasi obat yang berpotensi
3. Frekuensi nafas membaik (5) menyebabkan cedera
Kontrol Kejang Meningkat dengan
kriteria hasil: Pencegahan Kejang
1. Kepatuhan minum obat meningkat Observasi
(5) 1. Monitor status neurologis
2. Kemampuan melaporkan efek 2. Monitor tanda-tanda vital
samping obat meningkat (5) Terapeutik
3. Mendapatkan obat yang 1. Baringkan pasien agar tidak
dibutuhkan meningkat (1) terjatuh
4. Melaporkan frekuensi kejang 2. Rendahkan ketinggian tempat
meningkat (1) tidur
3. Pasang side-rail tempat tidur
4. Jauhkan benda-benda berbahaya
terutama benda tajam
Edukasi
1. Anjurkan segera melapor jika
merasakan aura
2. Ajarkan keluarga pertolongan
pertama pada kejang
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian anti
konvulsan jika perlu

4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi.
5. Evaluasi
Menurut (Hidayat,2009) proses evaluasi dibagi menjadi 2 tahap yaitu:
a. Evaluasi Formatif (Merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap klien terhadap respon langsung pada intervensi
keperawatan)
b. Evaluasi Sumatif (Merefleksikan rekapitulasi dan sinopsis analisis mengenai status kesehatan klien terhadap waktu)
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Jilid
1,2. Yogyakarta : MediAction Publishing.

Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Ed. 5. Jakarta : EGC

Dewanto, George dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta : EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta : salemba Medika
Hidayat A, Aziz Alimul. (2009). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Salemba Medika.
Jakarta
Mansjoer A. et al (eds). 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapeus
FKUI, pp : 17-18.

Meadow, Sir Roy. 2005. Lecture Notes Pediatrika Ed. 7. Jakarta : Erlangga
Hidayat A, Aziz Alimul. (2009). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Salemba Medika.
Jakarta
Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik Ed.3. Jakarta : EGC
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. PPNI: Jakarta.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI:
Jakarta Selatan.

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Denifisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta Selatan.

Tobing, Tumbing S.M. 2005. Neurogeriatri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, pp : 93– 133.

Anda mungkin juga menyukai