OLEH
KELOMPOK 2 :
D-IV KEPERAWATAN / TINGKAT 4.B
2. Etiologi
Penyebab kejang demam sampai saat ini masih belum diketahui secara jelas.
Kejang demam biasanya dikaitkan dengan infeksi saluran pernapasan atas, infeksi
saluran kemih dan roseola. Kejang ini merupakan kejang umum dengan pergerakan
klonik selama kurang dari 10 menit. SSP normal dan tidak ada tanda-tanda defisit
neurologis pada saat serangan telah menghilang. Sekitar sepertiga akan mengalami
kejang demam kembali jika terjadi demam, tetapi sangat jarang yang mengalami kejang
setelah usia 6 tahun. Kejang yang lama, fokal, atau berulang, atau gambaran EEG yang
abnormal 2 minggu setelah kejang, menunjukkan diagnosis epilepsi (kejang nondemam
berulang). (Meadow, 2005)
Menurut Lumban Tobing & Mansjoer (2005), faktor yang berperan dalam
menyebabkan kejang demam antara lain :
a. Demam itu sendiri
b. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap otak).
c. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
d. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
e. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau
ensekalopati toksik sepintas.
f. Gabungan semua faktor tersebut di atas.
Menurut Amin dan Hardhi (2013) penyebab kejang demam dibedakan menjadi
intrakranial dan ekstrakranial.
a. Intrakranial meliputi :
1) Trauma (perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler.
2) Infeksi: bakteri, virus, parasit misalnya meningitis.
3) Congenital : disgesenis, kelainan serebri
b. Ekstrakranial meliputi:
1) Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan
elektrolit (Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
2) Toksik : intoksikasi, anastesi lokal, sindroma putus obat.
3) Congenital: gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan
kekurangan piridoksin.
3. Klasfikasi
Adapun klaisifikasi dari kejang demam adalah sebagai berikut :
a. Kejang Parsial (Fokal, Lokal)
1) Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat meliputi satu atau kombinasi dari hal-hal
berikut :
a) Tanda motorik – kedutan pada wajah, tangan, atau suatu bagian tubuh,
biasanya gerakan yang sama terjadi pada setiap kejang, dan dapat menjadi
merata.
b) Tanda dan gejala otomatis – muntah, berkeringat, wajah merah, dilatasi
pupil.
c) Gejala-gejala somatosensori atau sensori khusus – mendengar suara
musaik, merasa jatuh dalam suatu ruang, parestesia.
d) Gejala-gejala fisik – déjă vu (sepertiga siaga), ketakutan, penglihatan
panoramik. (Betz, 2009)
2) Kejang Parsial Kompleks
a) Gangguan kesadaran, walaupun kejang dapat dimulai sebagai suatu
kejang parsial sederhana.
b) Dapat melibatkan gerakan otomatisme atau otomatis – bibir mengecap,
mengunyah, mengorek berulang, atau gerakan tangan lainnya.
c) Dapat tanpa otomatisme – tatapan terpaku. (Betz, 2009)
b. Kejang Menyeluruh (Konvulsif atau Nonkonvulsif)
1) Kejang Lena
a) Gangguan kesadaran dan keresponsifan.
b) Dicirikan dengan tatapan terpaku yang biasanya berakhir kurang dari 15
detik.
c) Awitan dan akhir yang mendadak, setelah anak sadar dan mempunyai
perhatian penuh.
d) Biasanya dimulai antara usia 4 dan 14 tahun dan sering hilang pada usia
18 tahun. (Betz, 2009)
2) Kejang Mioklonik
a) Hentakan otot atau kelompok otot yang mendadak dan involunter.
b) Sering terlihat pada orang sehat saat mulai tidur, tetapi bila patologis
melibatkan hentakan leher, bahu, lengan atas, dan tungkai secara sinkron.
c) Biasanya berakhir kurang dari 5 detik dan terjadi berkelompok.
d) Biasanya tidak ada atau hanya terjadi perubahan tingkat kesadaran
singkat. (Betz, 2009)
3) Kejang Tonik-klonik (grand mal)
a) Dimulai dengan kehilangan kesadaran dan bagian tonik, kaku otot
ekstremitas, tubuh, dan wajah secara keseluruhan yang berakhir kurang
dari satu meit, sering didahuluioleh suatu aura.
b) Kemungkinan kehilangan kendali kandung kemih dan usus.
c) Tidak ada respirasi dan sianosis.
d) Bagian tonik yang diikuti dengan gerakan klonik ekstremitas atas dan
bawah.
e) Letargi, konfusi, dan tidur pada fase postictal. (Betz, 2009)
4) Kejang Atonik
a) Kehilangan tonus tiba-tiba yang dapat mengakibatkan turunnya kelopak
mata, kepala terkulai, atau orang tersebut jatuh ke tanah.
b) Singkat dan terjadi tanpa peringatan. (Betz, 2009)
5) Status Epileptikus
a) Biasanya kejang tonik-klonik, menyeluruh yang berulang.
b) Kesadaran antara kejang tidak didapat.
c) Potensial depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia.
d) Memerlukan penanganan medis darurat segera. (Betz, 2009)
C. Pathway
Rangsang mekanik dan biokimia
Gangguan keseimbangan cairan & elektrolit
Infeksi
bakteri,
virus &
parasit
Reaksi
Perubahan konsentrasi ion Kelainan, neurologis
Inflamasi di ruang ekstraseluler perinatal/prenatal
Proses Demam
Hipertermia
Risiko Cidera Kurang dari 15 menit (KDS) Lebih dari 15 menit (KDK)
Refleks menelan menurun Metabolisme meningkat Risiko kerusakan sel neuron otak
Risiko Aspirasi
Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
Kebutuhan O2 meningkat Suhu tubuh makin meningkat
D. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektroensefalografi (EEG) : dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus
kejang. (Betz, 2009)
2. CT scan : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan. (Betz, 2009)
3. Magneti Resonance Imaging (MRI): menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah –
daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT. (Betz, 2009)
4. Pemindaian Positron Emission Tomography (PET) : untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann
darah dalam otak. (Betz, 2009)
5. Uji laboratorium
a. Pungsi lumbal: menganalisis cairan serebrovaskuler – terutama dipakai untuk
menyingkirkan infeksi.
b. Hitung darah lengkap: mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
e. GDA
f. Kadar kalsium darah
g. Kadar natrium darah
h. Kadar magnesium darah. (Betz, 2009)
E. Penatalaksanaan Medis
Dalam penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu:
1. Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan
untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar
oksigennisasi terjami. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu,
pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan
pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti
sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul
kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya
sulit gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB<10>10kg). bila kejang tidak berhenti
dapat diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin
dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit.
Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena
fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital
diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan -1 tahun 50
mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian
diberikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara
suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi
200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan depresi
pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-
8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
2. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus
yang dicurigai sebagai meningitiss, misalnya bila ada gejala meningitis atau kejang
demam berlangsung lama.
3. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam atau (2) profilaksis
terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Untuk profilaksis intermiten diberian
diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis saat
pasien demam. Diazepam dapat diberikan pula secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak
5mg (BB<10kg)>10kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5 0 C. efek
samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsy
dikemudian hari. Profilaksis terus menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-
5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2
tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1
atau 2) yaitu :
a. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
b. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologist
sementara dan menetap.
c. Ada riwayat kejang tanpa demma pada orang tua atau saudara kandung.
d. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang multiple dalam satu episode demam.
Bila hanya mmenuhi satu criteria saja dan ingin memberikan obat jangka panjang
maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan
diazepam oral atau rectal tuap 8 jam disamping antipiretik.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko perfusi jaringan cerebral tidak efektif dibuktikan dengan faktor risiko cedera
kepala
2. Risiko aspirasi dibuktikan dengan faktor risiko penurunan tingkat kesadaran,
penurunan refleks muntah dan/atau batuk
3. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (kejang demam)
4. Risiko cedera dibuktikan dengan faktor risiko hipoksia jaringan, kegagalan mekanisme
jaringan tubuh
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
1 Risiko perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Peningkatan Tekanan
cerebral tidak efektif ……x….. jam diharapkan Perfusi Intrakranial
dibuktikan dengan faktor Serebral Meningkat dengan kriteria Observasi
risiko cedera kepala hasil: 1. Identifikasi penyebab peningkatan
1. Tingkat Kesadaran meningkat (5) TIK (mis. Lesi, gangguan
2. Demam menurun (5) metabolism, edema serebral)
3. Tekanan arteri rata-rata membaik (5) 2. Monitor tanda atau gejala
4. Tekanan darah sistolik membaik (5) peningkatan TIK (mis. Tekanan
5. Tekanan darah diastolic membaik (5) darah meningkat, tekanan nadi
melebar, bradikardi, pola napas
irregular, kesadaran menurun)
3. Monitor MAP
4. Monitor status pernapasan
5. Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
1. Cegah terjadinya kejang
2. Pertahankan suhu tubuh normal
3. Meminimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
Pemantauan Tekanan Intrakranial
Observasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena jika perlu
Regulasi Temperatur
Observasi
4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi.
5. Evaluasi
Menurut (Hidayat,2009) proses evaluasi dibagi menjadi 2 tahap yaitu:
a. Evaluasi Formatif (Merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap klien terhadap respon langsung pada intervensi
keperawatan)
b. Evaluasi Sumatif (Merefleksikan rekapitulasi dan sinopsis analisis mengenai status kesehatan klien terhadap waktu)
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Jilid
1,2. Yogyakarta : MediAction Publishing.
Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Ed. 5. Jakarta : EGC
Dewanto, George dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta : EGC
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta : salemba Medika
Hidayat A, Aziz Alimul. (2009). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Salemba Medika.
Jakarta
Mansjoer A. et al (eds). 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapeus
FKUI, pp : 17-18.
Meadow, Sir Roy. 2005. Lecture Notes Pediatrika Ed. 7. Jakarta : Erlangga
Hidayat A, Aziz Alimul. (2009). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Salemba Medika.
Jakarta
Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik Ed.3. Jakarta : EGC
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. PPNI: Jakarta.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI:
Jakarta Selatan.
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Denifisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta Selatan.
Tobing, Tumbing S.M. 2005. Neurogeriatri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, pp : 93– 133.