Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DENGAN KASUS PENDARAHAN POST PARTUM

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian Pendarahan Post Partum
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc
atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum,
selama, atau sesudah lahirnya plasenta. (Dr. Fransisca S. K.)
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian:
a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi
dalam 24 jam setelah anak lahir.
b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi
antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir.
Frekuensi perdarahan post partum 4/5-15 % dari seluruh persalinan.
Berdasarkan penyebabnya :
a. Atoni uteri (50-60%).
b. Retensio plasenta (16-17%).
c. Sisa plasenta (23-24%).
d. Laserasi jalan lahir (4-5%).
e. Kelainan darah (0,5-0,8%).
2. Penyebab Perdarahan Post Partum Primer
a. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi
setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar,
lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat
dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri
ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya
plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan.
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan
bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan
pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan
ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah
lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka
delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas,
jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan
miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan
pasca persalinan.
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :
1) Partus lama

1
2) Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada
hamil kembar, hidramnion atau janin besar
3) Multiparitas Anestesi yang dalam
4) Anestesi lumbal
Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah
penanganan kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke
bawah dalam usaha melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum
terlepas dari dinding uterus.

b. Retenso Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir
setengah jam setelah janin lahir. Hal tersebut disebabkan:
1) Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan,
tapi bila sebagian plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini
merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari
dinding uterus disebabkan :
1) Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta
adhesiva)
2) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus desidua sampai miometrium (plasenta akreta)
3) Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis
menembus sampai di bawah peritoneum (plasenta perkreta).
Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar,
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran kontriksi pada bagian bawah
uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).

c. Sisa Placenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.
Perdarahan postpartum yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi
potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan
bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus
harus dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan.

d. Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam
kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan.
2
Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga
fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini
jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah
plasenta keluar. Sebab inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam
memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali
pusat pada plasenta yang belum terlepas dari insersinya. Menurut
perkembangannya inversio uteri dibagi dalam beberapa tingkat.
1) Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari
ruang tersebut
2) Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
3) Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak
di luar vagina.
Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan
tetapi, apabila kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul
rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok.
e. Robekan jalan lahir

Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.


Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya
disebabkan oleh robekan serviks atau vagina (Saifuddin, 2002). Setelah
persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum.
Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah
persalinan.

Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang


bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus
dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber
perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus
(ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan
lahir dengan perdarahan bersifat arterill atau pecahnya pembuluh darah vena.
Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan
pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan
diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi
(Manuaba, 1998).

3. Gejala Klinis Perdarahan Post Partum

3
Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak
10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru
tampak pada kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan
pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah
tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah
rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain
(Wiknjosastro, 2005).

4. Diagnosis Perdarahan Post Partum


Diagnosi perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan table berikut:

Tabel Diagnosis Perdarahan Postpartum


No. Gejala dan tanda yang Gejala dan tanda yang Diagnosis
selalu ada kadang-kadang ada kemungkinan
1. - Uterus tidak - Syok - Atonia Uteri
berkontraksi dan
lembek
- Perdarahan segera
setelah anak lahir
(Perdarahan
Pascapersalinan Primer
atau P3)
2. - Perdarahan segera - Pucat - Robekan jalan lahir
(P3) - Lemah
- Darah segar yang - Menggigil
mengalir segera setelah
bayi lahir (P3)
- Uterus kontraksi
baik
- Plasenta lengkap
3. - Plasenta belum lahir - Tali pusat putus - Retensio Plasenta
setelah 30 menit akibat traksi
- Perdarahan segera berlebihan
(P3) - Inversio uteri
- Uterus kontraksi akibat tarikan
baik - Perdarahan

4
lanjutan

4. - Plasenta atau - Uterus berkontraksi - Tertinggalnya


sebagian selaput tetapi tinggi fundus sebagian plasenta
(mengandung tidak berkurang
pembuluh darah) tidak
lengkap
- Perdarahan segera
(P3)
5. - Uterus tidak teraba - Syok - Inversio uteri
- Lumen neurogenik
vagina terisi massa - Pucat dan
- Tampak tali pusat limbung
(jika plasenta belum
lahir)
- Perdarahan segera
(P3)
- Nyeri sedikit atau
berat
5. 55

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perdarahan Post Partum Primer

1. Umur
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pasca persalinan yang dapat
mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun
fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada
usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan
dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya
komplikasi pasca persalinan terutama perdarahan akan lebih besar (Faisal, 2008).

5
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan
persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan
pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal
yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia
30-35 tahun (Wiknjosastro, 2005)

Menurut penelitian Pardosi (2005), bahwa pada tingkat kepercayaan 95% ibu yang
berumur di bawah 20 tahun atau di atas 30 tahun memiliki risiko mengalami perdarahan
postpartum 3,3 kali lebih besar dibandingkan ibu yang berumur 20 sampai 29 tahun.
Selain itu penelitian Najah (2004) menyatakan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%
umur ibu di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun bermakna sebagai faktor risiko yang
memengaruhi perdarahan postpartum.

2. Pendidikan

Wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk menikah pada usia yang lebih
tua, menunda kehamilan, mau mengikuti Keluarga Berencana (KB), dan mencari
pelayanan antenatal dan persalinan. Selain itu, mereka juga tidak akan mencari
pertolongan dukun bila hamil atau bersalin dan juga dapat memilih makanan yang bergizi.

3. Paritas
Paritas merupakan faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum primer.
Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam
menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani komplikasi
yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan semakin sering wanita
mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari 3) maka uterus semakin lemah
sehingga besar risiko komplikasi kehamilan (Manuaba, 1998).

Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas
tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih
tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat
ditangani dengan asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi
dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada
paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro, 2005).

6
4. Jarak Antar Kelahiran
Jarak antar kelahiran adalah waktu sejak kelahiran sebelumnya sampai terjadinya
kelahiran berikutnya. Jarak antar kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi kehamilan. Menurut Moir dan Meyerscough (1972) yang dikutip
Suryani (2008) menyebutkan jarak antar kelahiran sebagai faktor predisposisi perdarahan
postpartum karena persalinan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang singkat akan
mengakibatkan kontraksi uterus menjadi kurang baik. Selama kehamilan berikutnya
dibutuhkan 2-4 tahun agar kondisi tubuh ibu kembali seperti kondisi sebelumnya.

Bila jarak antar kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim dan
kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspadai
karena ada kemungkinan terjadinya perdarahan pasca persalinan.

Menurut penelitian Yuniarti (2004) proporsi kasus dengan jarak antar kelahiran
kurang dari 2 tahun sebesar 41% dengan OR jarak antar kelahiran 2,82. Hal ini berarti ibu
yang memiliki jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun berisiko 2,82 kali mengalami
perdarahan pasca persalinan.

5. Riwayat Persalinan Buruk Sebelumnya


Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan dengan hasil kehamilan dan
persalinan berikutnya. Bila riwayat persalinan yang lalu buruk petugas harus waspada
terhadap terjadinya komplikasi dalam persalinan yang akan berlangsung. Riwayat
persalinan buruk ini dapat berupa abortus, kematian janin, eklampsi dan preeklampsi,
sectio caesarea, persalinan sulit atau lama, janin besar, infeksi dan pernah mengalami
perdarahan antepartum dan postpartum.

Menurut Sulistiowati (2001) yang dikutip Suryani (2008), bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara riwayat persalinan buruk sebelumnya dengan perdarahan pasca
persalinan dan menemukan OR 2,4 kali pada ibu yang memiliki riwayat persalinan buruk
dibanding dengan ibu yang tidak memiliki riwayat persalinan buruk.

6. Anemia
Menurut World Health Organization (WHO) anemia pada ibu hamil adalah kondisi
dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 11,0 gr%.

7
Anemia dapat mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan frekuensi
komplikasi kehamilan serta persalinan. Anemia juga menyebabkan peningkatan risiko
perdarahan pasca . Rasa cepat lelah pada penderita anemia disebabkan metabolisme
energi oleh otot tidak berjalan secara sempurna karena kekurangan oksigen. Selama hamil
diperlukan lebih banyak zat besi untuk menghasilkan sel darah merah karena ibu harus
memenuhi kebutuhan janin dan dirinya sendiri dan saat bersalin ibu membutuhkan
hemoglobin untuk memberikan energi agar otot-otot uterus dapat berkontraksi dengan
baik.

8
8. Pathway

Atonia Uteri Robekan jalan rahim Invertio Uteri Retensi Plasenta/Retensi Sisa Placenta

Kegagalan miometrium (Perinium, serviks) Fundus uteri terbalik plasenta tidak dapat terlepas/masih sisa plasenta

Untuk berkontraksi terputusnya kontinuitas sebagian atau seluruhnya dalam rahim

Uterus tidak berkontraksi pembuluh darah masuk kedalam mengganggu kontraksi uterus

dan lembek cavum uteri pembuluh darah idak dapat menutup

pembuluh darah tidak lingkran kontriksi uterus

mampu berkontraksi akan mengecil

pembuluh darah cavum uteri uerus akan terisi darah

tetap terbuka

Perdarahan Post Partum (Perdarahan Pasca Persalinan)

Penurunan Jumlah

Cairan Intravaskuler Kekurangan Volume cairan


9
Jumlah hemoglobin Hipotensi

dalam darah menurun


Resiko Syok
suplai O2 dalm jaringan

menurun

Hipoksia Jaringan

5L, mukosa pucat, akral dingin,

komjungtiva anemis, nadi cepat

tapi lemah

Resiko Perfusi
Perifer Tidak
Efektif

10
9. Patofisiologi

Pada keadaan tertentu mekanisme jahitan fisiologis tidak terjadi hal ini
disebabkan terdapat adanya gangguan pada tonus uteri atau disebut atonnia
uteri, dimana proses kontrasi dan retraksi tidak berjalan dengan baik dan
maksimal. Sehingga pembuluh-pembuluh darah pada uterus tidak terkompresi
dan perdarahan tidak dapat dihentikan. Akibat dari proses kontraksi dan
retraksi tidak berjalan dengan baik juga dapat mengganggu proses pelepasan
plasenta secara utuh sehingga pada akhirnya akan menyebabkan keadaan yang
kita kenal sebagai retensio plasenta yaitu dimana keadaan plasenta belum lahir
hingga 30 menit setelah bayi lahir. (dr. Taufan, 2012)

10. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkaap harus dilakukan sejak periode antenatal.
Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil
kehamilan yang buruk.
2) Pemeriksaan golongan darah dan tes antibody harus di lakukan sejak
periode antenatal.
3) Perlu dilakukan pemeriksaan factor koagulasi sepeti waktu perdarahan
dan waktu pembekuan
b. Pemeriksaan radiologi
1) Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis
dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan
laboratorium atau radiologi dapat dilakukan. Berdasarkan pengalaman,
pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya jendela darah
dan retensi sisa plasenta.
2) USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien
dengan resiko tinggi yang memiliki factor predisposisi terjadinya
perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG
dapat juga meingkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis
plasenta akreta dan variannya.

11. Penatalaksanaan Medis

a. Resusitasi cairan

11
1) Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga
dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani
penyebab perdarahan.
2) Perlu dilakukan pemeberian oksigen dan akses intravena . selama
persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita
dengan resiko perdarahan psot partum dan dipertimbangkan jalur kedua
pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
3) Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar,
baik normal salin (NS/ NaCl) atau cairan ringer laktat melalui akses
intravena perifer. Ns merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan
karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar
obat dan tranfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat
rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila
dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah yang banyak (> 10 L), dapat
dipertimbangkan penggunaan cairan ringer laktat. Cairan yang
mengandung dekstrosa, seperti D 5 % tidak memiliki peran penanganan
perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan 1 L darah perlu
penggantian 4 – 5 L kristaloid , karena sebagian besar cairan infus tidak
tertahan di ruang intravaskuler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang
intraseluler. Pergeseran ini bersama dengan penggunaan oksitosin, dapat
menyebabkan edema perifer pada hari – hari setelah perdarahan post
partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresikan kelebihan cairan.
Perdarahan post partum lebih lebih dari 1500 mL. pada wanita hamil
yang normal dapat ditangani. Kehilangan darah yang banyak, biasanya
membutuhkan penambahan transfuse sel darah merah.
4) Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 1.500 mL/hari) dapat
menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid
yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dank arena harga serta resiko
terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka
cairan kristaloid tetap direkomendasikan .

b. Tranfusi Darah

1) Tranfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlajut dan
diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien

12
menunjukan tanda – tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi
cepat.

2) PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat
I dikasi. Para klinisi harus memperhatikan darah tranfusi, berkaitan
dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah yang tersedia dalam
keadaan gawat.

3) Tujuan tranfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan


pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume
sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah
tetesan infus. Masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL
NS pada masing – masing unit. Jangan menggunakan cairan RL untuk
tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat menyebabkan
penjendelaan.

KONSEP ASUHAN KEGAWATDARURATAN POST PARTUM

13
I. Identitas Pasien :
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, tanggal masuk RS, alasan masuk/
keluhan pasien

II. Initial survey:


A (alertness) :
V (verbal) :
P (pain) :
U (unserpons) :

III. Jenis triase :


P1 P2 P3 P4 P5

IV. SURVEY PRIMER DAN RESUSITASI


1. Pengkajian Keperawatan
A. Primary Survey
a) Airway
Airway dan kontrol servikal dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan dengan
kasus pendarahan post partum mengkaji keadaan jalan nafas antara lain, pertama
tingkat kesadaran compos mentis, pernafasan teratur, tidak ada sumbatan atau
obstruksi jalan napas, upaya nafas tidak ada, tidak ada benda asing di jalan nafas,
bunyi nafas normal, hembusan nafas terasa

b) Breathing
Breathing dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan dengan kasus pendarahan
post partum mengkaji fungsi pernafasan antara lain jenis pernafasan normal, irama
pernafasan teratur, kualitas dan kedalaman pernafasan normal (nafas dalam),
frekwensi pernafasan 20 x/menit, retraksi otot bantu nafas tidak ada retraksi
otot bantu rongga dada, kelainan dinding thoraks simetris, tidak ada perlukaan
ataupun jejas, bunyi nafas normal, hembusan nafas terasa.

14
c) Circulation
Circulation dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan dengan kasus
pendarahan post partum mengkaji keadaan sirkulasi antara lain tingkat kesadaran ,
perdarahan eksternal bisa disebabkan karena atonia uteri, inversio uteri, robekan
jalan lahir, sisa plasenta, retensio plasenta. Kapilari refill > 2 detik, tekanan darah
menurun ( ≤ 90/60 mmHg), nadi carotis teraba nadi radial cepat tetapi lemah,
akral perifer dingin, muka pucat, membran mukosa kering.

B. Secondary Survey
(Dibuat bila pasien lebih dari 2 jam diobservasi di IGD / VK)

1. RIWAYAT KESEHATAN
a. RKD
Riwayat kehamilan, penyakit pelvis, operasi, rawat inap, riwayat pre eklampsia,
trauma jalan lahir, tempat implantasi plasenta, retensi sisa plasenta.
b. RKS

Keluhan yang dirasakan saat ini yaitu: Nyeri abdomen (PQRST), perdarahan per
vaginam (jumlah >500ml, sekret, lama), Menstruasi (masa haid terakhir, masa haid
sebelumnya, pola haid), nadi lemah, pucat, lokea berwarna merah, haus, pusing,
gelisah, letih, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin.

2. PEMERIKSAAN FISIK (HEAD TO TOE)


A. Tanda-tanda Vital :
Tekanan darah : Pasien bisa mengalami hipotensi atau hipertensi.
Nadi : Takikardi berpotensi syok atau sepsis.
Suhu : Bisa menurun atau meningkat suhu pasien. Pada kasus
perdarahan hebat, suhu meningkat
Pernafasan : Frekuensi pernafasan meningkat, takipnea
B. FISIK
Kulit pucat, palung kuku, konjugtiva anemis, ekstrimitas akral dingin, CRT > 2 detik
yang menandakan pasien mengalami perdarahan interna atau eksternal dan terjadi
syok.

Pasien mengalami nyeri abdomen dengan permeriksaan abdomen. Inspeksi, melihat


distensi lokal atau umum, tumor dan pembesaran uterus, bagan uterus hamil yang

15
membesar, gerakan pernafasan abdomen menujukkan apakah mengalami kekakuan
diafragma atau otot abdomen. Bila mengalami apendisitis dengan perioritis lokal,
daerah iliaka kanan bisa tampak tak mobil. Pada pankreatitis akut, daerah epigastrium
tidak bergerak. Perhatikan parut operasi pada abdomen, terjadi karena ostruksi usus
disertai perlekatan intraabdomen. Palpasi, terdapat nyeri tekan, kekakuan otot, massa,
bagian janin dan gerakn janin bisa dipalpasi bila terdapat kasus kehamilan intrauterin.
Perkusi, membedakan kista ovarium dari asites. Aukultasi, melakukan penilaian
bising usus dan identifikasi jantung janin (DJJ), pada kasus peritonitis difus, bising
usus tidak ada atau hipoaktif. Pada gastreonteritis atau obstruksi mekanik dini, bising
usus hiperaktif.

Pemeriksaan Pelvis : melakukan pemeriksaan urin, lakukan pemeriksan inspeksi.


Inspeksi, perhatikan genetalia eksterna untuk melihat adanya peradangan, hipertrofi,
atrofi atau ulserasi, lesi, dan distribusi rambut, Periksa klitoris dan himen, perhatikan
adanya kemerahan dan eksudasi purulen pada osteum uretra eksternum. Catat adanya
sekret vagina.

Pemeriksaan Spekulum : catat sekresi vagina dan serviks, perhatikan mulut rahim
untuk melihat sekret, darah atau cairan purulen, catat adanya lesi serviks dan vagina,
ukuran, warna dan posisi serviks. Saaat spekulum dikeluarkan, inspeksi dinding
vagina, warna mukosa, ada atau tidaknya rugae, tumor atau ulserasi abnormal.

Pemeriksaan vagina : mencatat himen intake, palpasi pemebsaran dan sensitivitas


kelenjar batholin. Palpasi uretra untuk menentukan apakah pus dapat dikeluarkan dari
kelenjar skene atau ostium uretra, gunakan jari tangan untuk palpasi serviks yaitu
menentukan ukiran, posisi, bentuk, konsistensi, kehalusan dan pembukaannya.
Pelunakan serviks sebagai tanda kehamilan. Regangkan ligamentum sakrouterina dan
ligamentum kardinale (servikali transveus) menyatakan derjata kebebasan serviks dan
nyeri tekan atau perubahan bentuk.

Pemeriksaan Bimanual : Gabungan pemeriksaan digital vagina dengan palpasi


abdomen bawah, untuk evaluasi penyakit pelvis.

Permeriksaan rektovaginal : palpasi kavum douglasi posterior, ligamentum


sakrouterina, dan parametrium. Catat adanya korpus uteri yang retroversi, dinding
posterior uterus, massa, nodul, indurasi, nyeri tekan dan benjolan menyertai abses
pelvis atau perdarahan intraperitonium. Catat kelainan anus dan sakrum. Palpasi,
16
abdomen bawah secara bimanual. Periksa rektum, perhatikan hemoroid, fistula, fisura,
polip anorektum atau tumor dan kondiloma. Inpeksi, apakah ada darah atau mukus.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko Syok dibuktikan dengan perdarahan
2. Resiko perfusi perifer tidak efektif dibuktikan dengan hipotensi, kekurangan
volume cairan.
3. Intervensi
Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


Hasil
(SIKI)
(SLKI)
1 Resiko syok Setelah dilakukan Manajemen
dibuktikan tindakan perdarahan
dengan keperawatan ....x… pervaginam pasca
perdarahan jam, diharapkan persalinan
syok tidak terjadi Observasi
Observasi:
dengan
1. Periksa uterus 1. Mengetahui keadaan

(mis. TFU uteri pasca


KH:
sesuai hari melahirkan
Tingkat Syok 2. Mencegah
□ Kekuatan nadi melahirkan,
perdarahan aktif
meningkat membulat dan 3. Menyeimbangkan
□ Tidak ada penurunan keras atau antara input dan
kesadaran lembek) output
□ Akral hangat 2. Identifikasi
□ Tidak pucat Terapeutik
□ Frekuensi Nadi penyebab
kehilangan 1. Mencegah
normal
darah (mis. perdarahan berlebih
□ Frekuensi nafas 2. Memperlambat
membaik Atonia
perdarahan aktif
uteri/robekan 3. Membantu
jalan lahir) peningkatan suplai
3. Monitor jumlah
O2
kehilangan
17
darah. 4. Mencegah
Terapetik: perdarahan secara
aktif
1. Lakukan 5. Memperthankan
penekanan pada balance cairan
area perdarahan. 6. Menghentikan
2. Berikan perdarahan
kompres dingin. 7. Meningkatkan
3. Berikan oksigen kontraksi
nasal. 8. Jika Perdarahan
4. Posisikan terjadi secara aktif
supine atau maka diperlukan
Trendelenburg pemberian transfusi
5. Pasang IV line
darah
dengan selang
infus transfusi.
6. Pasang kateter
untuk
meningkatkan
kontraksi uterus.
7. Lakukan pijat
uterus.
8. Kolaborasi
pemberian
transfusi darah
(jika perlu).
2 Resiko perfusi Setelah dilakukan Pencegahaan Syok
perifer tidak tindakan
Observasi : Observasi
efektif keperawatan ....x…
dibuktikan jam, diharapkan 1. Monitor status 1. Mengetahui status

dengan perfusi perifer kardiopulmonal frekuensi nadi, nafas,

penurunan membaik dengan (frekuensi dan TD, MAP


2. Mengetahui status
tekanan darah kekuatan nadi,
O2
(hipotensi) KH: frekunsi nafas,
3. Mengetahui tingkat
Perfusi perifer TD, MAP)
kesadaran pasien
2. Monitor status
□ Warna kulit 4. Mengetahui
O2
tidak pucat keseimbangan cairan
3. Monitor tingkat
18
□ Akral kesadaran dan pasien
hangat respons pupil Terapeutik
4. Monitor status
□ Turgor kulit
cairan (turgor 1. Mempertahankan
elastis
kulit, CRT) saturasi oksigen
□ Tekanan 2. Meningkatkan TD
Terapeutik
darah Kolaborasi
normal 1. Berikan O2
1. Membantu
untuk
pemenuhan cairan
mempertahanka
n saturasi
oksigen >94 %
2. Pasang jalur IV
jika perlu
Kolaborasi

1. Kolaborasi
dalam
pemberian
Transfusi darah,
jika perlu

4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi.
5. Evaluasi
Menurut Poer. (2012), proses evaluasi dibagi menjadi 2 tahap yaitu:
a. Evaluasi Formatif (Merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap klien
terhadap respon langsung pada intervensi keperawatan)
b. Evaluasi Sumatif (Merefleksikan rekapitulasi dan sinopsis analisis mengenai status
kesehatan klien terhadap waktu)

19
DAFTAR PUSTAKA

Fransisca. 2010. Perdarahan Post Partum. Universitas Wijaya Kusuma.

Http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=8347 diakses pukul 15.04 wita pada tanggal 14


Agustus 2019.

Http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/31276/Reference.pdf?
sequence=2&isAllowed=y diakses pukul 16.20 wita pada tanggal 14 Agustus 2019.

Lubis, Ika. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../4/chapter%2520II.pdf. diakses pukul


15.13 wita pada tanggal 13 Agustus 2019.

Manuaba, I.B.G. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB. EGC. Jakarta.

Moir dan Meyerscough (1972) dikutip Suryani. 2008. Hubungan Karakteristik Ibu Bersalin
Dan Antenatal Care Dengan Perdarahan Pasca Persalinan di Rumah Sakit Umum
Dr. Pirngadi Tahun 2007. Tesis, Jurusan Pasca Sarjana USU.

Nugroho, dr,Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Nuha Medika.

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. PPNI: Jakarta.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI:
Jakarta Selatan.

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Denifisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta Selatan.

Saifuddin, AB. 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.

20
Sulistiowati. 2001. dikutip Suryani. 2008. Hubungan Karakteristik Ibu Bersalin Dan
Antenatal Care Dengan Perdarahan Pasca Persalinan di Rumah Sakit Umum Dr.
Pirngadi Tahun 2007. Tesis, Jurusan Pasca Sarjana USU.

Taber, Benzion, M. D. 1994. Manual of Gynekologi and Obstetric Emergency.


https://books.google.co.id/books?
id=yaJgK2znkmMC&pg=PA3&hl=id&source=gbs_toc_r&cad=3#v=onepage&q&f
=false (diakses pukul 14.37 wita pada tanggal 10 Agustus 2019).

Wiknjosastro H. 2005. Ilmu Kandungan. 3rd ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

21

Anda mungkin juga menyukai